BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) atau Penyakit Paru
Obstruktif Menahun (PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang
mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner &
Suddarth, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal
dengan COPD adalah : bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma
bronchiale.
PPOM merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. PPOM
lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. PPOM juga lebih
sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang
dirurunkan.
Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang
tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan
merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang,
dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM.
1
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit paru obstruktif
menahun (PPOM) dan proses asuhan keperawatan pada klien dengan
diagnosa penyakit paru obstruktif menahun (PPOM).
2. Tujuan khusus
Mampu menjelaskan konsep dasar kebutuhan manusia tentang penyakit
paru obstruktif menahun (PPOM).
Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnose penyakit
paru obstruktif menahun (PPOM).
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
diagnose penyakit paru obstruktif menahun (PPOM).
Mampu menjelaskan tindakan keperawatan pada klien dengan diagnose
penyakit paru obstruktif menahun (PPOM).
1.3 Manfaat
Makalah ini dapat dijadikan sebagai panduan dan pedoman bagi
mahasiswa keperawatan untuk mempelajari dan memahami tentang
penyakit paru obstruktif menahun
Makalah ini dapat dijadikan panduan bagi mahasiswa keperawatan
untuk mencegah masalah yang mungkin timbul khususnya masalah
penyakit paru obstruktif menahun
Makalah ini dapat dijadikan panduan bagi mahasiswa keperawatan
untuk menambah wawasan dan pemahamana mengenai masalah
keperawatan.
BAB II
2
TUNJAUAN PUSTAKA
Penyakit paru obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary disease-
COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebaga gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah
bronchitis kronis, emfisema paru-paru, dan asma bronchial, sering juga penyakit
ini disebut dengan chronic airflow limitation (CAL) dan crhonic obstructive lung
disease (COLD)
2.1 ASMA
2.1.1 Pengertian
Asma adalah gangguan pada saluran bronchial dengan ciri
brngkospasme periodic (kontraksi Spasme pada saluran napas). Asma
merupakan penyakit yang kompleks dapat disebabkan oleh factor
biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi
Definisi lain mengatakan bahwa Asma adalah penyakit jalan
napas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon
secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
Asma terbagi menjadi alergi, ideopatik, nonalergik, dan campuran
(mixed):
1. Asma alergik/ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma yang disebabkan
oleh allergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari,
makanan, dan lain-lain). Allergen yanag paling umum adalah allergen
yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan allergen
yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan
riwayat pengobatan eczema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap
alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya
dimulai saat kanak-kanak.
3
2. Idiopatik atau nonallergic asthma/intrinsic, merupakan jenis asma yang
tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Factor-
faktor seperti infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi, dan polusi
lingkungan dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen
farmakologi, antagonis beta adrenergic, dan agen sulfite (penyedap
makanan) juga dapat berperan sebagai factor pencetus. Serangan asma
idiopatik atau nonallergic dapat menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronchitis dan
emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang
menjadi asma campuran. Bentuk asma ini baiasanya dimulai pada saat
dewasa (>35 tahun).
3. Asma campuran, merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Dikarekteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi
dan idiopatik atau nonallergi.
2.1.2 Etiologi
Sampai saat ini, etiologi asma belum diketahui dengan pasti. Namun
suatu hal yang sering kali terjadi pada semua penderita asma adalah
fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka
terhadap rangsang imunologi maupun nonimunologi. Karena sifat
tersebut, maka serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsang
baik fisik, metaboslime, kimia, allergen, infeksi, dan sebagainya. Factor
penyebab yang sering menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat
mungkin dihindarkan. Factor-faktor tersebut adalah :
a. Allergen utama : debu rumah, sepora jamur, dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti : asap, bau-bauan dan polutan
c. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim
e. Aktivitas fisik yang berlebihan
f. Lingkungan kerja
4
g. Obat-obatan
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti refluks gastroesofagus
2.1.3 Patofisiologi
Asma adalah abstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi
disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini :
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan
jalan napas
2. Pembengkakan membrane yang melapisi bronki
3. Pengisian bronki dengan mucus yang kental. Selain itu, otot-otot
bronchial dan kelenjar mukosa membesar : sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperimplasi, dengan udara
terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari
perubahan ini tidak diketahui tetapi apa yang paling diketahui
adalah keterlibatan sistem imunologis dengan saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta anapilaksis dari substansi
yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkakn
bronkospasme, pembengkakakn membrane mukosa, dan pembentukan
mucus yang sangat banyak.
Sistem sarap otonom mempersarapi paru. Tonus otot bronchial
diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma
idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang
5
oleh factor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan,
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini
secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan
asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
2.1.4 Tanda dan gejala
1. Batuk
2. Dispnea
3. Mengi
4. Hipoksia
5. Takikardi
6. Berkeringat
7. Pelebaran tekanan nadi
2.1.5. Pemeriksaan fisik
Dari hasil wawancara maka perawat akan dapat lebih terfokus
kepada satu sistem tubuh yang terkait dengan penyakit yang diderita
klien. Ada 2 metode pendekatan dalam pemeriksaan fisik yaitu
pendekatan sistem tubuh dan pendekatan head to toe (ujung kepala ke
kaki). Sangat direkomendasikan kita mengkombinasikan kedua
pendekatan tersebut sangat baik jikat kita sebagai perawat memulai
pemeriksaan fisik dari kepala dan leher, kemudian ke dada, dan
abdomen, daerah pelvis, genital area, dan terakhir di ekstremitas
(tangan dan kaki). Dalam hal ini dapat saja beberapa sistem tubuh
dapat dievaluasi sekaligus, sehingga pendokumentasiannya dapat
dilakukan melalui pendekatan sistem tubuh. Tehnik yang dilalkukan
meliputi : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Umummnya
semua berurutan, kecuali pengkajian fisik di abdomen, yang auskultasi
dilakukan setelah inspeksi.
Pemeriksaan fisik yang penting adalah meliputi :
6
a. tanda-tanda vital/ vital sign (suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan
darah)
b. observasi keadaan umum pasien dan perilakunya
c. kaji adanya perubahan penglihatan dan pendengaran
d. pengkajian head to toe seluruh sistem tubuh dengan memaksimalkan
tehnik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
1. Sistem Saraf Pusat
a. kaji LOC (level of consiousness) atau tingkst kesadaran : dengan
melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien terhadap waktu,
tempat, dan orang.
b. Kaji status mental
c. Kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk lokasi, durasi
tipe dan pengobatannya.
d. Kaji fungsi sensoris dan tentukan apakah normal atau mengalami
gangguan. Kaji adanya hilang rasa, rasa terbakar/panas.
e. Kaji fungsi motorik seperti : genggaman tangan, kekuatan otot,
pergerakan dan postur
f. Kaji adanya kejang atau tremor
g. Kaji catatan penggunaan obat dan diagnostik tes yang mempengarhi
SSP.
2. Sistem Kardiovaskuler
a. kaji nadi : frekuensi, irama, kualitas (keras dan lemah) serta tanda
penurunan kekuatan/pulse defisit
7
b. periksa tekanan darah : kesamaan antara tangan kanan dan kiri atau
postural hipotensi
c. inspeksivena jugularis sseperti distensi, dengan membuat posisi semi
fowlers
d. cek suhu tubuh dengan metode yang tepat, atau palpasi kulit.
e. Palpasi dada untuk menentukan bunyi jantung S1-S2 di titik tersebut
adanya bunyi jantung tambahan, murmur dan bising
f. Inspeksi membran mukosa dan warna kulit, lihat tanda sianosis
g. Palpasi adanya edema di ekstremitas dan wajah
h. Periksa adanya jari-jari tabuh dan pemeriksaan pengisian kapiler di
kuku
i. Kaji adanya tanda-tanda perdarahan (epistaksis, perdarahan saluran
cerna, phebitis, kemerahan di mata atau kulit).
j. Kaji obat-obatan yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler dan test
diagnostik.
3. Sistem Respirasi
a. kaji keadaan umum dan pemenuhan kebutuhan respirasi
b. kaji respiratoryrate, irama dan kualitasnya
c. inspeksi fungsi otot bantu napas, ukuran rongga dada, termasuk
diameter enterior dan posterior thorax, dan adanya gangguan spinal
d. palpasi posisi trakea dan adanya subkutan emfisema
e. auskultasi seluruh area paru dan kaji suara paru normal (vesikular,
bronkovesikuler atau bronkial) dan kaji juga adanya bnyi paru
patologis (wheezing, cracles atau ronkhi)
8
f. kaji adanya keluhan batuk, durasi, frekuensi dan adanya sputum/
dahak, cek warna, konsistensi dan jumlahnya dan apakah disertai
darah
g. kaji adanya keluhan SOB (shortness of breath) /sesak napas, dyspnea
dan orthopnea.
h. Inspeksi membran mukosa dan warna kulit
i. Tentukan posisi yang tepat dan nyaman untuk meningkatkan fungsi
pernapasan pasien
j. Kaji apakah klien memiliki riwayat merokok (jumlah perhari) dan
berapa lama telah merokok
k. Kaji catatan obat terkait dengan sistem pernapasan dan test diagnostik
Dan lain-lain
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
2. Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar
eosinofil). Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
3. AGD : hipoksi selama serangan akut
4. Fungsi pulmonari :
Biasanya normal
Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC
agak menurun
2.1.7 Penatalaksanaan medic
9
Dalam lingkungan kedaruratan, pasien mula-mula diobati dengan
agonis beta (misalnya metaproterenol, terbutalin, dan albuterol) dan
kortikosteroid. Pasien mungkin juga membutuhkan oksigen sublemental
dan cairan intravena untuk hidrasi.
Terapi oksigen dilakukan untuk mengatasi dispnea, sianosis, dan
hipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan
masker venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran oksigen yang
diberikan didasarka pada nila-nilai gas darah. PaO2 dipertahankan
antara 65 dan 5 mmHg. Pemberian sedative merupakan kontra indikasi.
Jika tidak terdapat respon terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan
perawatan di rumah sakit.
Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas
darah (respirasi asidosis), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi
lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah kriteria lain
yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun
kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini
digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka
yang kelelahan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang
mengkondisinya tidak berespon terhadap pengobatan awal. (Suzzane
C.Smeltzer, 2001 : 612)
2.2 BRONKITIS KRONIK
2.2.1 Pengertian
Bronchitis kronik didifinisikan sebagai adanya batuk produktif yang
berlangsung tiga bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-
turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronkiolus menganggu
pernapasan yang efektif. Merokok atau pemajanan terhadap polusi
adalah penyebab utama bronchitis kronis. Pasien dengan bronchitis
kronis lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi sealuran pernapasan
10
bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, dan mikroplasma yanag luas
dapat menyebabkan episode bronchitis akut. Eksaserbasi bronchitis
kronik hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara
yang dingin dapat menyebabkan bronkospasme bagi mereka yang
rentan.
2.2.2 Etiologi
Adalah 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu
rokok, infeksi dari polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan
faktor keturunan dan status sosial.
- Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking
Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume
ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel
saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut.
- Infeksi
Eksaserbasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri.
Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan
streptococcus pneumonie.
- Polusi
Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab,
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat – zat kimia
dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat – zat pereduksi seperti
O2, zat – zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
- Keturunan
11
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan
atau tidak, kecuali pada penderita defisiensi alfa – 1 – antitripsin yang
merupakan suatu problem, dimana kelainan ini diturunkan secara
autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang
sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk
jaringan paru.
- Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan
sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan
ekonomi yang lebih jelek.
2.2.3 Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan napas, menngakibatkan hipersekresi lendir
dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia
menurun dan lebih banyak lender yang dihasilkan. Sebagai akibat,
bronkiolus menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang
berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosis, mengkibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar, yang
berperan penting dalam menghancurkan partikel asing, termasuk
bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi
pernapasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat
perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya,
mungkin terjadi perubahan paru yang irreversible, kemungkinan
menyebabkan emfisema dan bronkiektasis. (Suzzane C.Smeltzer, 2001
: 612)
2.2.4 Tanda dan gejala
12
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah
tanda dini bronchitis kronik. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh
cuaca yang dingin, lembab, dan iritan paru. Pasien biasanya
mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami infeksi
pernapasan. (Suzzane C.Smeltzer, 2001 : 612)
2.2.5 Pemeriksaan fisik
Dari hasil wawancara maka perawat akan dapat lebih terfokus
kepada satu sistem tubuh yang terkait dengan penyakit yang diderita
klien. Ada 2 metode pendekatan dalam pemeriksaan fisik yaitu
pendekatan sistem tubuh dan pendekatan head to toe (ujung kepala ke
kaki). Sangat direkomendasikan kita mengkombinasikan kedua
pendekatan tersebut sangat baik jikat kita sebagai perawat memulai
pemeriksaan fisik dari kepala dan leher, kemudian ke dada, dan
abdomen, daerah pelvis, genital area, dan terakhir di ekstremitas
(tangan dan kaki). Dalam hal ini dapat saja beberapa sistem tubuh
dapat dievaluasi sekaligus, sehingga pendokumentasiannya dapat
dilakukan melalui pendekatan sistem tubuh. Tehnik yang dilalkukan
meliputi : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Umummnya
semua berurutan, kecuali pengkajian fisik di abdomen, yang auskultasi
dilakukan setelah inspeksi.
Pemeriksaan fisik yang penting adalah meliputi :
tanda-tanda vital/ vital sign (suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan
darah)
observasi keadaan umum pasien dan perilakunya
kaji adanya perubahan penglihatan dan pendengaran
pengkajian head to toe seluruh sistem tubuh dengan memaksimalkan
tehnik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
4. Sistem Saraf Pusat
13
kaji LOC (level of consiousness) atau tingkst kesadaran : dengan
melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien terhadap waktu,
tempat, dan orang.
Kaji status mental
Kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk lokasi, durasi
tipe dan pengobatannya.
Kaji fungsi sensoris dan tentukan apakah normal atau mengalami
gangguan. Kaji adanya hilang rasa, rasa terbakar/panas.
Kaji fungsi motorik seperti : genggaman tangan, kekuatan otot,
pergerakan dan postur
Kaji adanya kejang atau tremor
Kaji catatan penggunaan obat dan diagnostik tes yang mempengarhi
SSP.
5. Sistem Kardiovaskuler
kaji nadi : frekuensi, irama, kualitas (keras dan lemah) serta tanda
penurunan kekuatan/pulse defisit
periksa tekanan darah : kesamaan antara tangan kanan dan kiri atau
postural hipotensi
inspeksivena jugularis sseperti distensi, dengan membuat posisi semi
fowlers
cek suhu tubuh dengan metode yang tepat, atau palpasi kulit.
Palpasi dada untuk menentukan bunyi jantung S1-S2 di titik tersebut
adanya bunyi jantung tambahan, murmur dan bising
Inspeksi membran mukosa dan warna kulit, lihat tanda sianosis
Palpasi adanya edema di ekstremitas dan wajah
14
Periksa adanya jari-jari tabuh dan pemeriksaan pengisian kapiler di
kuku
Kaji adanya tanda-tanda perdarahan (epistaksis, perdarahan saluran
cerna, phebitis, kemerahan di mata atau kulit).
Kaji obat-obatan yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler dan test
diagnostik.
6. Sistem Respirasi
Kaji keadaan umum dan pemenuhan kebutuhan respirasi
Kaji respiratoryrate, irama dan kualitasnya
Inspeksi fungsi otot bantu napas, ukuran rongga dada, termasuk
diameter enterior dan posterior thorax, dan adanya gangguan spinal
Palpasi posisi trakea dan adanya subkutan emfisema
Auskultasi seluruh area paru dan kaji suara paru normal (vesikular,
bronkovesikuler atau bronkial) dan kaji juga adanya bnyi paru
patologis (wheezing, cracles atau ronkhi)
Kaji adanya keluhan batuk, durasi, frekuensi dan adanya sputum/
dahak, cek warna, konsistensi dan jumlahnya dan apakah disertai darah
Kaji adanya keluhan sob (shortness of breath) /sesak napas, dyspnea
dan orthopnea.
Inspeksi membran mukosa dan warna kulit
Tentukan posisi yang tepat dan nyaman untuk meningkatkan fungsi
pernapasan pasien
Kaji apakah klien memiliki riwayat merokok (jumlah perhari) dan
berapa lama telah merokok
Kaji catatan obat terkait dengan sistem pernapasan dan test diagnostik
Dan lain-lain
2.2.6 Pemeriksaan penunjang15
1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnea
2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma
normal/mendatar
3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV),
kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat
2.2.7 Penatalaksanaan medic
Objek utama pengobatan adalah untuk menjaga agar bronkiolus
terbuka dan berfungsi, untuk memudahkakn pembuangan sekresi
bronchial, untuk mencegah infeksi, dan untuk mencegah kecacatan.
Perubahan dalam pola sputum (sifat, warna, jumlah, ketebalan) dan
dalam pola betuk adalah tanda yang penting untuk dicatat. Infeksi
bakteri kambuhan diobati dengan terapi antibiotic berdasarkan hasil
pemerikasaan kultur dan sensitivitas.
Untuk membantu membuang sekresi bronchial, diresepkan
bronkodilator untuk menghilangkan brongkospasme dan mengurangi
obstruksi jalan napas sehingga lebih banyak oksigen didistribusikan ke
seluruh bagian paru, dan ventilasi alveolar diperbaiki. Drainase
postural dan perkusi dada setelah pengobatan biasanya sangat
membantu, terutama jika terdapat bronkiektasis. Cairan (yang
diberikan peroral atau parenteral jika brokospasme berat) adalah
bagian penting dari terapi, karena hidrasi yang baik membantu untuk
mengencerkan sekresi sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan
dengan membatuk-batukkannya. Terapi kortikosteroid mungkin
digunakan ketika pasien tidak menunjukan keberhasilan terhadap
pengukuran yang lebih konservatif. Pasien harus berhenti merokok
karena menyebabkan bronkokonstriksi, melumpuhkan silia, yang
penting dalam membuang partikel yang mengiritasi, dan
16
menginaktivasi surfaktan, yang memainkan peran penting dalam
memudahkan pengembangan paru-paru. Perokok juga lebih rentan
terhadap infeksi bronchial.
2.3 EMFISEMA
2.3.1 Pengertian
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang
ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai
destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut maka dapat dkatakan
bahwa tidak termasuk emfisema jika ditemukan kelainan berupa
pelebaran ruang udara (alveoulus) tanpa disertai adanya destruksi
jaringan. Namun, keadaan tersebut hanya overinflation. (kapita)
Atau bisa juga dikatakan bahwa emfisema merupakan suatu
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dan kerusakan
dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang
mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada
kenyataannya ketika pasien mengalami gejala fungsi paru sering sudah
mengalami kerusakan yang ireversible. Dibarengi dengan bronchitis
obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.
2.3.2 Etiologi
Merokok merupakan penyebab enfisema. Akan tetapi, pada sedikit
pasien (dalam presentasi yang kecil) terdapat predisposisi familiar
terhadap emfisema yang bisa diidentifikasi kaitan dengan abnormalitas
protein plasma defisiensi, anti tripsin-α1, yang merupakan suatu enzim
inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan merusak
jaringan paru. Individu yang secara genetic sensitive terhadap daktor-
faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen)
dan, pada waktunya mengalami gejala-gejala obstruktif kronis. Sangat
penting bahwa karier defek genegtik ini harus diidentifikasikan untuk
memungkinkan modifikasi factor-faktor lingkungan untuk menghambat
17
atau mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit konseling gengetik
juga harus diberikan. (Suzzane C.Smeltzer, 2001 : 612)
2.3.3 Patofisiologi
Pada emfisema, beberapaa factor penyebab obstruksi jalan napas
yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki ; produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan recoil elastic jalan napas, dan kolaps bronkiolus
serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu proses yang
dipercepat oleh infeksi kambuhan), area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang,
menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada
pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir
penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan,
mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri
(hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring
kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang
tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah
kanan (korstripulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema.
Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
leher, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak
mampu untuk membengikitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan
sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru-
paru yang mengalami emfisema, memperberat masalah.
18
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai
oleh peningkatan tahanan jalan napas) ke aliran masuk dan kealiran
keluar udara dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi
kronik. Untuk megalirkan udara ke dalam dannke luar paru-paru,
dibutuhkan tekanan negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam
tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi.
Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Dari pada menjalani aksi
pasif involuter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-
otot. Dan iga-iga terpiksasi pada persendiannya. Dada seperti tong
(barel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas
paru karena adanya kecendrungan yang berkelanjutan pada dinding
dada untuk mengembung.
Pada beberapa kasus barel chest terjadi akibat kifosis dimana
tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya menjadi
membulat dan cembung. Beberapa pasien membungkuk ke depan untuk
dapat bernapas, menggunakan otot-otot aksesori pernapasan. Restraksi
fosa supraklapikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu
melengkung ke depan. Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen
juga berkontraksi saat inspirasi. Terjadi penurunan proresif dalam
kapasitas vital. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak
memungikinkan. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal.
2.3.4 Tanda dan gejala
Dispnea
Takipnea
Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
Hipoksemia
Hiperkapnia
19
Anoreksia
Penurunan BB
Kelemahan
2.3.5 Pemeriksaan fisik
Secara umum tindakan pemeriksaan fisik pada emfisema paru
adalah sama dengan pemerikasaan fisik pada asma dan bronkitis kronis
2.3.6 Pemeriksaan penunjang
a. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya
diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda
vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada
asma; penurunan emfisema
d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat
menurun pada bronkitis dan asma
g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema);
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis
20
i. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma)
j. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan de
fisiensi dan diagnosa emfisema primer
k. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi
l. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
m. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi
paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.
2.3.7 Penatalaksanaan medic
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi
obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan
terapeutik mencakup:
Tindakan pemgobatan dimaksudkan untuk memperbaiki ventilasi
dan menurunkan upaya bernapas
Pencegahan dan pengobatan cepat infeksi
Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi
volmunari
Pemeliharaaan kondisi linkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan
Dukungan psikologis
21
Penyuluhan pasien dan rehabilitas yang bersinambungan
Bronkodilator. Bronkodolator diresepkan untuk mendilatasi jalan
napas karena preparat ini melawan baik edema mukosa maupun spasme
muscular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan napas
maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.
Medikasi ini mencakup agonis β-adrenergik
(metaproterenol,isoproterenol) dan metilxantin (tefilin, aminofilin),
yang menghasilkan dilatasi bronchial melalui mekanisme yang berbeda.
Bronkodilator munkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per
rectal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol
bertekanan, nebuleser balon-genggam, nebuleser dorongan-pompa,
inhaler dosis-terukur, atau IPPB.
Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, yang termasuk takikardia, disritmia jantung, dan
perangsangan sistem saraf pusa. Metilxantin dapat juga menyebabkan
gangguan gastrointestinal seperti mual muntah. Karena efek samping
ini umum, dosis dapat disesuaikan dengan cermat sesuai dengan
toleransi pasien dan respon klinis.
Terapi aerosol. Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi
serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering
kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel
dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi
dideposisikan dalam-dalam didalam percabangan trakeobronkial.
Aerosol yang dinebuleser menghilangkan bronkuspasme,
menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal
ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu
mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi . alat
nebulizer dengan balon genggam dan aerosol dosis terukur memberikan
peredaan yang cepat bagi pasien. Nebulise dengan tenaga listrik dan
nebulizer dengan tenaga udara sangat membantu jika pasien mengalami
22
kerusakan ventilasi yang lebih parah. Perbaikan saturasi oksigen dari
darah arteri dan reduksi kandungan karbondioksidanya membantu
dalam menghilangkan hipoksia pasien dan memberikan peredaan besar
akibat keletihan pernapasan yang konstan.
Tindakan nebulizer dengan oksigen harus diberikan dengan
waspada pada pasien yang mengalami penaikan tekanan karbondioksida
secara kronis dan pasien yang bernapas pada stimli hipoksik.
Pengobatan infeksi, pasien dengan emfisema rentan terhadap infeksi
paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S.
pneumonia, H. influenza, dan bronhamila katerhalis adalah organism
yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi anti mikroba dengan
tetrasiklin, amfisilin, amoksisilin, atau trimetoprim-sulfametoxazol
(bactrim) diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda
pertama infeksi pernapasan, seperti yang dibuktikan dengan sputum
purulen, batuk meningkat dan demam.
Kortikosteroid tetap menjadi controversial dalam pengobatan
emfisema. Kortikosteroid digunakan setelah tidakan lain untuk
melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi tidak menunjukan hasil.
Prednisone biasanya diresepkan.
Dosis digunakan untuk menjaga pasien pada dosiis yang terendah
mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan
peniongkatan napsu makan. Jangka panjang, pasien mungkin
mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati
steroid, dan pembentukan katarak.
Oksigenasi. Terapi oksigen dapat meningkatkan kelansungan hidup
pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan
konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2. Hingga antara
65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya
16 jam perhari, dengan 24 Jam lebih baik.modalitas ini dapat
menghilangkan gejala-gejala pasien dan memperbaiki kualitas hidup
23
pasien. Beberapa pasien perlu menggunakan oksigen di rumah dalam
jangka waktu yang panjang.
Metode pemberian oksigen dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :
a. Sistem aliran rendah
Tehnik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditunjukan untuk
klien yang memerlukan O2 tetap amsih mampu bernapas dengan pola
pernapasan normal, misalnya klien dengan volume tidal 500 ml dengan
kecepatan pernapasan 16-20 kali permenit. Contoh sistm aliran rendah
ini adalah : kateter nasal, kanul nasal, sungkup muka sederhana,
sungkup muka dengan kantong rebreathing, sungkup muka dengan
kantong non rebrathing.
1. Kateter nasal merupakan alat sederhana yang dapat memberikan O2
secara kontinudengan aliran 1-6 l/mnt dengan konsentrasi 24%-
44%.
Keuntungan : pemberian O2 Stabil, klien bebas bergerak, makan dan
berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai
kateter peghisap
Kerugian : tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari
45%, tehnik memasukan kateter nasal lebih sulit dari pada kanul
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput
lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 l/mnt dapat
menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.
2. Kanula nasal merupakan alat sederhana yang dapa memberkan O2
kontinue dengan aliran 1-6 l/mnt dengan konsentrasi O2 sama
dengan kateter nasal.
24
Keuntungan : pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernapasan teratur, mudah memasukan kanul dibanding kateter,
klien bebas makan. Bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien
dan nyaman.
Kerugian : tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%,
suplai o2 berkurang bila klien bernapas lewat mulut, mudah lepas
karena ke dalam kanul haya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
3. Sungkup muka sederhana merupakan alat pemberian O2 kontinu
atau selang seling 5-8 l/mnt dengan konsentrasi O2 40-60%.
Keuntungan : konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter
atau kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui
pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam
pemberian terapi aerosol.
Kerugian : tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%,
dapat menyebabkan penumpukan C O2 ika aliran rendah
4. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : suatu tehnik
pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60-80% dengan aliran
8-12 l/mnt
Keuntungan : konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selapu lendir.
Kerugian : tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah daat menyebabkan penumpukan CO2, kantong
O2 bisa berlipat.
25
5. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing merupakan tehnik
pemberian O2 mencapai 99% dengan aliran 8-12 l/mnt dimana udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi.
Keuntungan : konsentrasi O2 yang diperleh dapat mencapai 100%,
tidak mengeringkan selaput lendir.
Kerugian : kantong O2 bisa terlipat.
b. Sistem aliran tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe pernapasan, sehingga dengan tehnik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun
contoh tehnik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan
ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang
dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang dihimpit untuk
mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya
udara luar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih
banyak. Aliran udara pada alat ini sekitar 4-14 l/mnt dengan
konsentrasi 30-55%
Keuntungan : konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan
petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola napas
terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontri serta tidak
terjadi penumpukan CO2.
26
Kerugian : pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka
yang lain pada aliran rendah.
27
WEB OFF CAUTION
Pencetus serangan
(alergen, emosi/stres, obat-obatan, infeksi)
Reaksi antigen dan antibodi
Release vasoactive substance(histamin, bradikinin, anafilatoxin)
Konttriksi otot polos permeablitas kapiler sekresi mukus
Bronchospasme Kontraksi otot polos produksi mukusEdema mukosa
Hipersekrsi
obstruksi saluran napas
Hipoventilasi Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
Gangguan difusi gas di alveoli
Hipoxemia hiperkapnia
28
Ketidak simbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
tubuh (risiko aktual)Bersihan jalan
napas tak efektif
Kecemasan berhubungan dengana kesulitan bernapas san takut tercekik
Kerusakan pertukaran gas gas
Intoleransi terhadap aktivitas berhubungan dengan oksigenasi yang tidak adekuat dan dyspnea.
Perubahan pola tidur berhubungan dengan dypnea dan stimulus eksternal.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH GANGGUAN
SISTEM PERNAPASAN “PPOM”
3.1 Pengkajian keperawatan
3.1.1 Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada
pasien dengan PPOM didapatkan keluhan berupa batuk yang
disebabkan oleh inflamasi kronis bronkiolus
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan PPOM biasanya akan diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti batuk, sesak nafas, dan sebagainya. Perlu juga
ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-
keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumoni, gagal jantung, dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor
predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab seperti Ca paru,
asma, TB paru dan lain sebagainya.
29
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan
yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi
kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan
merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa
menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan
minum sebelum dan selama MRS
2) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS.
Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih
banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain
akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
1) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang
terpenuhi dan Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas
minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi
30
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh
perawat dan keluarganya.
2) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu
tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur
dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari
lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit,
dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain
sebagainya.
3) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan
mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah
tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya.
Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami
perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal
pasien.
4) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang
tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada.
Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa
penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam
hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif
terhadap dirinya.
5) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan,
demikian juga dengan proses berpikirnya.
6) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks
intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien
berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
7) Pola penanggulangan stress
31
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya
akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya
pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang
mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
8) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan
dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini
adalah suatu cobaan dari Tuhan.
3.1.2 Analisa Data
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan
dianalisa sehingga dapat ditemukan adanya masalah yang muncul pada
penderita PPOM. Selanjutnya masalah tersebut dirumuskan dalam
diagnosa keperawatan.
3.2 Diagnose keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan
Bronkospasme
2. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan peningkatan
produksi secret (secret yang tertahan atau kental)
3. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan menurunnya
energy/fatigue
4. Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan napas,
kelelahan.
5. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai O2
(obstruksi jalan napas oleh secret, bronkospasme dan terperangkapnya
udara)
6. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan destruksi alveoli
7. Kecemasan berhubungan dengana kesulitan bernapas san takut tercekik
8. Intoleransi terhadap aktivitas berhubungan dengan oksigenasi yang tidak
adekuat dan dyspnea.
9. Perubahan pola tidur berhubungan dengan dypnea dan stimulus eksternal.
32
10. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan dispnea
11. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan efek samping pengobatan
12. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan produksi sputum
13. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan anoreksia, nausea/vomiting
3.3 Perencanaan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan :
Bronkospasme
Peningkatan produksi secret (secret yang tertahan atau kental)
Menurunnya energy/fatigue
Data-data
Pasien mengeluh sulit untuk bernapas
Perubahan kedalaman/ jumlah napas, dan penggunaan otot bantu
pernapasan
Suara napas abnormal seperti wheezing, ronchi, dan crackles
Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
Intervensi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
klien bisa bernapas dengan normal dengan kriteria hasil :
Tidak ada cemas
RR dalam batas normaml
Irama napas dalam batas normal
Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
33
Bebas dari suara napas tambahan
Intervensi keperawatan (NIC)
1) Penurunan kecemasan
Rasional : memberikan ketenangan dan kenyamanan pada pasien.
2) Lakukan Fisioterapi dada
Rasional : dengan melakukan fisioterapi dada, dapat membantu
mengurangi gejala-gejala yang timbul oleh karena penyakit yang
diderita.
3) Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
4) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan
serta foto thorax.
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat
dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang
paru.
5) Pemberian posisi untuk memaksimalkan ventilasi
Membaringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk,
dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
ekspansi paru bisa maksimal.
6) Memonitor respirasi
Rasional : dengan memonitor respirasi, dapat mengetahui
perkembangan pasien.
7) Memonitor keadaan umum
34
Rasional : Dengan memonitor keadaan umum, kita dapat melihat
sejauh mana perkembangan klien sehingga dapat mengambil tindakan
yang tepat.
8) Memonitor tanda-tanda vital seperti : suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanan darah
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan :
Kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh secret, bronkospasme
dan terperangkapnya udara)
Destruksi alveoli
Data-data :
Dispnea
Bingung, lemah
Tidak mampu mengeluarkan secret
Nilai ABGs abnormal (hipoksia dan hiperkapnea)
Perubahan tanda-tanda vital
Menurunya toleransi aktivitas
Intervensi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
klien bisa bernapas dengan normal dengan kriteria hasil :
Status mental dalam batas normal
Bernapas dengan mudah
Tidak ada sianosis
PO2 dan PCO2 dalam batas normal
35
Saturasi O2 dalam rrentang normal
Intervensi keperawatan (NIC)
1) Manajmen asam dan basa tubuh
2) Manajmen jalan napas
3) Latihan batuk
4) Peningkatan aktivitas
5) Terapi oksigen
6) Memonitor respirasi
7) Memonitor tanda-tanda vital seperti : suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanan darah
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan :
Dispnea
Efek samping pengobatan
Produksi sputum
Anoreksia, nausea/vomiting
Data-data :
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot, tonus otot jelek
Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
Tidak bernapsu untuk makan dan tidak tertarik makan
intervensi
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, kebutuhan
akan intake cairan dan makanan terpenuhi dengan kriteria hasil :
Intake makanan adekuat
Intake cairan peroral adekuat
36
Intake cairan adekuat
Intake kalori adekuat
Intake protein, karbohidrat, dan lemak juga adekuat
Control berat badan :
Mampu menjaga intake kalori secara optimal
Mampu menjaga keseimbangan cairan
Mampu mengontrol intake makanan secara adekuat
Intervensi keperawatan (NIC)
1) Manajmen cairan
2) Memonitor cairan
3) Status diet
4) Manajmen gangguan makan
5) Manajmen nutrisi
6) Terapi nutrisi
7) Konseling nutrisi
8) Pengaturan nutrisi
9) Terapi menelan
10) Memonitor tanda-tanda vital seperti : suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanan darah
11) Bantuan untuk peningkatan BB
12) Manajmen berat badan
3.4 Tindakan keperawatan
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat
37
dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien
dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana
intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien (Budianna Keliat, 1994,4).
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan
melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian
ulang (US. Midar H, dkk, 1989).
BAB III38
PENUTUP
KESIMPULAN
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) adalah kondisi dimana aliran
udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses penyakit ini sering kali
merupakan kombinasi dari dua atau tiga kondisi berikut ini dengan satu penyebab
primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer tersebut yaitu :
1. Asma
2. Bronkitis kronis
3. Emfisema
Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak
berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan
merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang,
dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM.
DAFTAR PUSTAKA
39
Tanujaya, Edward. 2008. Asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem
pernapasan. Jakarta : salemba medika
Corwin, Elisabeth. 2000. Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC
40