Download - KINETIKA FERMENTASI MINUMAN VINEGAR_GRAYTTA INTANNIA_12.70.0086_E1

Transcript

27

KINETIKA FERMENTASI DI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh :Nama : Graytta IntanniaNim : 12.70.0086Kelompok : E1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara III1. 2. HASIL PENGAMATAN

2.1. Kinetika Fermentasi Produksi Minuman VinegarHasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar meliputi jumlah mikroba, optical density, pH, dan total asam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kinetika Fermentasi Produksi Minuman VinegarKelPerlakuanWaktu Mo / petakRata-rata/ Mo tiap petakRatarata/ Mo tiap ccOD (nm)pHTotal Asam (mg/ml)

1234

E1Sari Apel + S. cereviceaeN054675.502.20 x1070.22193.508.640

N247586889084.753.39 x 1081.22403.439.216

N481112141513.005.20 x 1070.92433.438.640

N721456522236.001.44 x 1081.19903.829.024

N965516263332.501.30 x 1081.51893.4711.328

E2Sari Apel + S. cereviceaeN0111211910.794.30 x 1070.18333.509.792

N248961947379.253.17 x 1081.00813.539.024

N488339504353.752.15 x 1081.55403.479.600

N722854192832.251.29 x 1081.19073.728.832

N962223143724.009.60 x 1o71.41503.4710.368

E3Sari Apel + S. cereviceaeN0118131211.004.40 x 1070.17373.479.408

N244447474846.501.86 x 1081.02123.708.448

N48106104122137117.254.69 x 1081.09973.469.024

N723656544748.251.93 x 1081.44803.849.024

N96516251415.006.00 x 1080.38643.478.830

E4Sari Apel + S. cereviceaeN0136647.252.90 x 1070.17983.479.216

N247251525756.502.26 x 1080.94433.539.024

N481318404328.501.14 x 1081.04063.459.216

N7281108145111111.254.45 x 1081.28703.619.408

N962730303229.751.19 x 1080.55483.459.024

2

E5Sari Apel + S. cereviceaeN0101471311.004.40 x 1070.17143.469.600

N2497103965888.503.54 x 1081.12813.469.216

N4811487989097.253.89 x 1080.91643.209.216

N725580705565.002.60 x 1081.06643.408.832

N966983857878.753.15 x 1080.52063.498.640

Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa tidak ada perlakuan yang membedakan antar kelompok. Seluruh kelompok menggunakan sari apel yang diberi penambahan kultur S. cereviceae. Pengujian dilakukan selama 5 hari yaitu N0, N24, N48, N72, dan N96. Dapat terlihat bahwa jumlah mikroba per cc mengalami fluktuasi namun rata rata megalami peningkatan dan cenderung menurun pada pengujian N72 atau N96. Nilai optical density yang didapatkan juga mengalami fluktuasi namun rata rata mengalami peningkatan hingga N72 dan menurun pada N96. Pengukuran nilai pH mengalami peningkatan namun pada N48 mengalami penurunan nilai pH. Sedangkan total asam yang diperolah oleh setiap kelompok setiap harinya mengalami fluktuasi.

7

2.2. Hubungan antara Absorbansi dan Waktu FermentasiHasil pengamatan mengenai hubungan antara nilai absorbansi dengan lamanya waktu fermentasi dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik1. Hubungan Absorbansi dan Waktu

Pada Grafik 1. Dapat dilihat hubungan antara absorbansi dan waktu fermentasi mengalami fluktuasi. Namun pada semua kelompok nilai absorbansi cenderung meningkat hingga pada N24 dan mengalami penurunan pada N96. Secara umum bertambahnya waktu fermentasi diikuti oleh meningkatanya nilai absorbansi.

2.3. Hubungan antara Jumlah Sel dan Waktu FermentasiHasil pengamatan mengenai hubungan antara jumlah sel mikoorganisme dengan lamanya waktu fermentasi dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel dan Waktu

Pada grafik 2 dapat dilihat hubungan dari jumlah sel dengan waktu fermentasi mengalami fluktuasi. Namun bertambahnya waktu fermentasi, jumlah sel mengalami peningkatan hingga pada N24. Pada N48 sebagian besar mengalami penurunan jumlah sel, dan kembali meningkat pada N72. Pada N96 terjadi penurunan jumlah sel pada hampir semua kelompok.

2.4. Hubungan antara Jumlah Sel dan pHHasil pengamatan mengenai hubungan antara jumlah sel mikoorganisme dengan pH dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel dan pH

Pada Grafik 3 dapat dilihat hubungan antara jumlah sel dengan pH dari produk mengalami fluktuasi. Bertambahnya jumlah sel mencapai 2 x 108 / cc membentuk pH yang cenderung meningkat pada range 3,7 - 3,9. Peningkatan jumlah sel melebihi 2 x 108 membentuk pH yang cenderung menurun mencapai 3,2 3,4. Jumlah sel yang ada pada tingkat tertinggi membentuk pH yang semakin asam.

2.5. Hubungan antara Jumlah Sel dan AbsorbansiHasil pengamatan mengenai hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan nilai absorbansi dapat dilihat pada Grafik 4 .

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dan Absorbansi

Pada Grafik 4. dapat dilihat bahwa hubungan atara jumlah sel dan nilai absorbansi mengalami fluktuasi. Pertumbuhan jumlah sel diantara 0/ cc hingga 5 x 107 / cc memiliki nilai absorbansi sebesar 0 0,5. Peningkatan jumlah sel cenderung meningkatkan nilai absorbansi. Namun terdapat data hubungan yang terbalik yaitu peningkatan jumlah mikroba diikuti dengan penurunan nilai absorbansi.

2.6. Hubungan antara Jumlah Sel dan Total AsamHasil pengamatan mengenai hubungan antara jumlah sel mikoorganisme dengan total asam dapat dilihat pada Grafik 5.

Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dan Total Asam

Pada Grafik 5. dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel dan total asam mengalami fluktuasi. Pertumbuhan jumlah sel yang rendah menghasilkan total asam yang rendah. Namun terdapat juga data yang menunjukan peningkatan total asam pada peningkatan jumlah sel.

3. 4. PEMBAHASAN

Fermentasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang memiliki citarasa dan aroma yang lebih baik. Pada proses fermentasi terjadi suatu perubahan struktur kimia dari bahan organik yang melibatkan agen biologis seperti enzim sebagai biokatalis dan peran dari mikroorganisme. Winarno et al. (1980) menambahkan bahwa pada proses fermentasi dihasilkan CO2 dan alkohol yang berasal dari pemecahan gula oleh aktivitas mikroorganisme dengan menggunakan substrat sebagai sumber karbon dan sumber makanan. Media fermentasi harus merupakan jenis bahan pangan yang kaya akan karbon dan nitrogen, karena setelah kandungan karbon, mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi tersebut akan menggunakan nitrogen. Sehingga hampir semua bahan yang mengandung C (karbon) dan N (nitrogen) dapat digunakan sebagai medium fermentasi yang sempurna untuk menghasilkan alkohol. Oleh karena itu, hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh jenis substrat, jenis dan aktivitas mikroorganisme dan proses metabolism yang terjadi

Apel merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan gizi seperti kalsium, fosgor, besi, serat, vitamin A, vitamin B1, serta vitamin C. Pada praktikum ini, bahan baku yang digunakan adalah sari buah apel. Buah apel yang kaya akan kandugan gizi tersebut tepat digunakan sebagai media fermentasi. Hal tersebut sesuai dengan teori Winarno et al. (1980) yang menyatakan bahwa media fermentasi yang memiliki kandungan gula seperti buah apel sesuai cocok digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi untuk menyediakan kebutuhan nutrisi, karbon, dan nitrogen mikroorganisme. Gula merupakan salah satu kandungan yang menjadi faktor penting dalam berlangsungnya proses fermentasi. Gula akan diurakan oleh mikroorganisme menjadi alkohol dan CO2. Fermentasi alkohol adalah suatu proses fermentasi yang tejadi secara anaerobic dengan mendekomposisi heksosa dan menghasilkan etanol serta CO2. Fermentasi oleh yeast pada gula akan menghasilkan larutan dengan kandungan alkohol 10-15%.

4.1. Cara Kerja Pembuatan Minuman Vinegar dan Pengujian

Sebagai media pertumbuhan, pengambilan sari buah apel dilakukan dengan mengepres daging buah apel menggunakan juicer. Menurut Nougeira et al. (2008), penggunaan apel dalam bentuk sari buah merupakan bentuk bahan baku yang tepat untuk membuat minuman vinegar dengan 8

proses fermentasi sehingga dihasilkan alkohol dalam kadar yang rendah. Proses penghancuran buah apel dengan juicer tersebut bertujuan untuk merusak jaringan apel sehingga kandunga gula apel keluar dan mejadi lebih mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Sari buah yang didapatkan dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring. Menurut Ikhsan (1997), penyaringan tersebut dilakukan agar ampas buah apel tidak terikut menjadi media pertumbuhan. Hal ini penting dilakukan karena ampas yang terikut masuk akan meningkatkan kekeruhan pada media pertumbuhan yang juga mempengaruhi hasil dari analisa.

Gambar 1. Proses penghancuran dan penyaringan sari buah apel

Sebelum dilakukan proses fermentasi, sebanyak 250 ml media pertumbuhan yaitu sari buah apel malang disterilisasi pada suhu 80oC selama 30 menit. Menurut Realita & Debby (2010), proses sterilisasi ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan yang ada pada sari buah apel sehingga inokulum S. cereviceae dapat tumbuh dengan baik tanpa bersaing dengan mikroorganisme kontaminan serta dan dihasilkan cider apel dengan kualitas yang diharapkan. Fardiaz (1992) menambahkan bahwa proses sterilisasi sari buah apel dilakukan untuk mematikan semua jasad renik atau mikroorganisme sehingga bila ditumbuhkan suatu inokulum tidak terdapat lagi jasad renik lain yang dapat berkembang biak. Suhu merupakan faktor penting yang perlu dikontrol dalam proses fermentasi. Menurut Kumalasari (2011), suhu yang terlalu tinggi akan mematikan Saccharomyces cereviceae sehingga proses fermentasi tidak dapat berlangsung sedangkan suhu yang terlalu rendah akan menghambat proses fermentasi sehingga fermentasi akan berjalan sangat lambat.

Gambar 2. Proses sterilisasi sari buah apel malang

Sari buah apel yang sudah mengalami proses sterilisasi didinginkan terlebih dahulu untuk menurunkan suhu. Penurunan suhu harus dilakukan untuk mencegah matinya khamir S. cereviceae karena suhu yang tinggi. Mikroorganisme S. cereviceae merupakan khamir yang tidak memiliki toleransi terhadap suhu yang panas sehingga memiliki resiko kematian yang tinggi apabila dimasukan pada sari buah apel yang bersuhu panas setelah sterilisasi. Selanjutnya, sebanyak 30 ml biakan yeast S. cereviceae diambil menggunakan pipet ukur dan dimasukan ke dalam media pertumbuhan (sari buah apel malang) secara aseptis. Proses inokulasi tersebut dilakukan secara aseptis di dalam LAF (Laminar Air Flow). Menurut Dwidjeseputro (1994) perlakuan aseptis untuk pada proses inokulasi bertujuan untuk mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme patogen atau mikroorganisme yang tidak diinginkan selama proses fermentasi. Untuk mendukung perlakuan aseptis, tangan praktikan dan meja atau bagian sekitar proses inokulasi harus disemprot alkohol dan penginokulasian dilakukan di dekat bunsen api yang menyala.

Gambar 3. Proses penambahan kultur S. cereviceae pada sari buah apelS. cereviceae merupakan mikroorganisme yang sering digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol, pembentukan biomassa, dan produk metabolit lainnya. Penggunaan mikroorganisme tersebut dalam praktikum ini adalah tepat karena menurut Arthey & Ashurst (1998) strain Saccharomyces spp., khususnya S. cereviceae, S. bayanus, S. uvarum yang ditambahkan ke dalam sari buah sebagai kultur murni berperan penting dalam mengubah gula pada proses fermentasi minuman vinegar. Pernyataan tersebut berdasar pada kemampuan Saccharomyces cereviceae yang baik dalam menguraikan gula menjadi alkohol dengan tidak menghasilkan kerusakan flavor (Wang et al., 2004). Saccharomyces sp. akan berkembang biak dengan cara tunas yang bersifat multipolar atau dengan pembentukan askospora. Saccharomyces cereviceae merupakan yeast fermentasi permukaan yang membutuhkan suhu optimum antara 22-27oC selama proses fermentasi yang bekerja dengan mengubah gula menjadi alkohol dan CO2 secara enzimatik (Astawan & Astawan, 1991). Sari apel yang sudah dilakukan penambahan biakan Saccharomyces cereviceae dilakukan inkubasi dengan perlakuan shaker. Setiap hari selama lima hari dilalukan pengambilan sari apel sebagai media pertumbuhan sebanyak 25 secara aseptis. Sari apel tersebut diuji jumlah dari biomassa yang terbentuk dengan menggunakan haemocytometer, nilai Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer, pH, dan total asam dengan metode titrasi. Media pertumbuhan sari buah apel malang tersebut dilakukan inkubasi kembali dengan perlakuan shaker dan diuji kembalui 24 jam kemudian hingga didapatkan data N0, N24, N48, N72, dan N96. Penggunaan shaker dalam inkubasi tersebut berperan untuk mensuplai oksigen dan karbon pada media pertumbuhan. Dengan terjadinya proses aerasi yang karena goyangan oleh shaker maka suplai dari oksigen yang dibutuhkan dalam fermentasi secara aerobik tidak berhenti. Selain itu, shaking juga berguna dalam menghomogenkan media agar secara keseleruhan kontak dengan mikroorganisme fermentasi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Ahmad et al. (2011) mengungkapkan bahwa aerasi merupakan tahap penting yang harus dilakukan dsn dikontrol pada proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cereviceae. Selain itu Stanburry & Whitaker (1984) juga menyatakan bahwa pengadukan berfungsi untuk memperkecil ukuran gelembung-gelembung udara agar kondisi lingkungan fermentasi tetap stabil.

Selama proses inkubasi, wadah fermentasi (botol kaca) harus dijaga agar tidak terkontaminasi oleh lingkungan luar sehingga harus ditutup dengan plastik yang sudah disterilisasi seperti teori dari Rahman (1992) yang menyatakan bahwa botol kaca diberi penutup kapas, busa, plastik, aluminium foil atau bahan lain yang dapat menjaga kesterilan media. Menurut Fardiaz (1992), suhu optimal untuk inkubasi adalah 25 30oC yang merupakan suhu ruang.

Gambar 4. Inkubasi dengan perlakua shaker

Pengukuran biomassa diawali dengan mengambil sampel menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada plat haemocytometer yang bersih tanpa terbentuk gelembung. Pembersihan plat dilakukan dengan cara menyemprotkan alkohol dan dikeringkan dengan menggunakan tissue. Plat yang sudah ditetesi dengan sampel ditutup menggunakan kaca objek yang juga sudah steril. Penghitungan jumlah biomassa dilakukan menggunakan mikroskop dan diamati dengan melakukan penghitungan pada N0, N24, N48, N72 dan N96. Haemocytometer adalah alat yang terdiri dari beberapa ruang dengan batas garis-garis yang terlihat pada mikroskop (Chen & Chiang, 2011). Alat ini berfungsi untuk menghitung cepat konsentrasi sel yang rendah pada suatu ruang hitung bebentuk petak petak kecil (Hadioetomo, 1993). Haemocytometer terdiri dari sembilan kotak besar dengan tiga garis di setiap sisinya sebagai pembatas dan di dalamnya terdapat 16 buah kotak kecil. Perhitungan jumlah sel dilakukan pada empat kotak besar dengan bantuan handcounter. Jumlah sel yang didapat pada keempat kotak besar dirata rata dan selanjutnya dihitung untuk mendapatkan nilai jumlah mikroorganisme per cc. Metode perhitungan jumlah sel yang dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Atlas (1984) yaitu pengukuran biomassa sel dilakukan dengan menggunakan alat haemocytometer yang ditetesi oleh sampel lalu ditutup menggunakan penutup kaca tipis dengan pengamatan dibawah mikroskop. Jumlah sel tiap cc dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Keterangan:Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm

Gambar 5. Proses Penetesan Sampel dan Perhitungan Sel dengan Haemocytometer

1234

Gambar 6. Pembacaan dan Perhitungan Jumlah Sel pada Plat Haemocytometer

Pengukuran nilai optical density (OD) dilakukan dengan menggunakan instrument spektrofotometer dengan panjang hgelombang 660 nm. Penggunaan panjang gelombang tersebut sesuai dengan pernyataan dari Sevda & Rodrigues (2011) bahwa penentuan jumlah biomassa Saccharomyces dengan metode pengukuran OD digunakan panjang gelombang sebesar 660 nm. Nilai absorbansi yang dihasilkan dicatat, dan dilakukan kembali setiap hari selama lima hari.

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. Sampel sebanyak 10 meter diukur pH pada N0, N24, N48, N72 dan N96, kemudian dicatat. Nilai pH yang didapat menggambarkan kekuatan suatu asam pada bahan pangan. pH meter merupakan instrument pengukur pH yang lebih teliti dibandingkan dengan menggunakan kertas lakmus (Martoharsono, 1994). Sedangkan untuk analisa total asam dilakukan dengan metode titrasi. Titrasi dilakukan dengan menggunankan NaOH 0,1 N sebagai titran dan indikator PP. Penggunaan indikator PP ini sesuai dengan pernyataan dari Chang (1991) bahwa penggunaan indikator PP dipilih karena disesuaikan dengan penggunaan titran NaOH yang bersifat basa. Indikator PP akan bereaksi dengan basa dan menghasilkan perubahan warna. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna pada larutan sampel menjadi kecokelatan. Perubahan warna tersebut menunjukan titik dimana asam sudah dinetralkan oleh basa secara sempurna. Menurut Salomon (1987), titrasi bertujuan untuk mengukur keasaman dengan prinsip penetralan oleh penambahan basa, dengan kata lain basa dapat menetraklan asam (Petrucci, 1992).

Gambar 7. Proses Titrasi dan Perubahan Warna Sampel Setelah Ditritasi

Menurut Day & Underwood (1992) dalam melakukan titrasi sebaiknya dilakukan perlahan agar larutan titran yang digunakan dalam titrasi tidak menempel pada dinding buret dan titik perubahan warna tidak terlewat. Dalam melakukan titrasi, pembacaan volume zat titran dilakukan dengan membaca meniskus cekung larutan. Penentuan kadar total titrasi dihitung denga rumus berikut :Total asam (mg/ ml) =

4.2. Hubungan antara Waktu dan Nilai AbsorbansiPada hasil pengamatan didapatkan bahwa semakin bertambahnya waktu inkubasi maka nilai absorbansi cenderung meningkat. Peningkatan sangat jelas terlihat pada N24 dan N72. Namun pada N96 dihasilkan nilai absorbansi yang menurun Peningkatan nilai absorbansi ini dapat terjadi karena manurut Rahman (1992), semakin keruhnya sampel disebabkan oleh aktivitas yeast dalam mengubah gula menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lainnya selama fermentasi. Dihasilkannya berbagai metabolit tersebut yang menyebabkan warna dari sampel semakin keruh akibat kekeruhan terakumulasi setiap harinya. Kekeruhan yang terbentuk menghasilkan nilai absrobansi yang terukur semakin tinggi. Peningkatan dan penurunan nilai absorbansi pada N96 juga dapat dijelaskan oleh Jomdecha & Prateepasen (2006) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka nilai absorbansi yang terukur oleh spektrofotometer semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena jumlah sel yeast yang tumbuh selama fermentasi tersebut semakin meningkat, namun pada tahap akhir fermentasi yaitu pada N96 akan terjadi penurunan jumlah mikroorganisme karena mikroorganisme sudah memasuki fase kematian dimana jumlah sel yeast semakin berkurang.

Perubahan peningkatan yang tidak signifikan pada N48 oleh kelompok E2, E3 dan E4 dapat dijelaskan oleh teori dari Laily et al. (2004) bahwa nilai OD menunjukkan terjadinya fase pertumbuhan bakteri yang sangat jelas. Nilai OD ini akan stabil pada fase adaptasi, namun nilai kekeruhan akan mengalami peningkatan saat masuk fase eksponensial karena adanya penambahan jumlah sel. Ketidaksesusaian data didapat pada kelompok E1 dan E5 yang mengalami penurunan pada fermentasi N48. Hal tersebur tersebut dijelaskan oleh Ewing (1976) bahwa ketidaksesuain data absorbansi yang didapatkan dapat disebabkan oleh ketidaktepatan dalam melakukan pengukuran menggunakan spektofotometer meliputi penempatan kuvet yang tidak tepat, tidak bersihnya kuvet yang digunakan, serta sampel terkontaminasi oleh pengotor lain yang menyebabkan sampel keruh.

4.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Lama Waktu FermentasiBerdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil peningkatan jumlah mikroorganisme pada bertambahnya waktu fermentasi. Namun terjadi juga penurunan jumlah sel mikroorganisme pada N48 pada E1, E2, dan E4 dan, serta pada N96 seluruh kelompok cenderung mengalami penurunan. Peningkatan dan penurunan jumlah sel mikrooganisme ini berkaitan dengan fase pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini dijelaskan oleh Fardiaz (1992) bahwa awal waktu inkubasi merupakan fase lag pertumbuhan mikroorganisme yang merupakan waktu dimana mikroorganisme melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Selanjutnya mikroorganisme memasuki fase log dimana mikroorganisme akan tumbuh dengan cepat sehingga jumlah sel mikroorganisme akan bertambah banyak.

Gambar 8. Kurva pertumbuhan sel yeast

Menurut Mahreni (2011), fase pertumbuhan sel dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu fase lag (pertubuhan sama dengan nol), fase percepatan pertumbuhan (pertumbuhan cepat mengikuti kurve eksponensial), fase stagnan (kecepatan pertumbuhan tetap), dan fase kematian (pertumbuhan semakin lambat dan sebagian sel mati). Menurut Triwahyuni et al. (2012), sel yeast akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat pada masa inkubasi 24-48 jam karena yeast berada pada fase eksponensial yang merupakan waktu dimana jumlah yeast akan meningkat sangat tinggi. Setelah melewati waktu inkubasi melebihi 48 jam, sel yeast mulai memasuki fase stasioner yaitu fase dimana yeast tidak mengalami peningkatan pertumbuhan karena sumber nutrisi pada media pertumbuhan yang digunakan semakin terbatas jumlahnya. Setelah fase stasioner, sel mikroorganisme akan memasuki fase kematian yang menyebebakan jumlah sel yeast mengalami pertumbuhan yang rendah bahkan ctidak bertumbuh kembali karenakan media pertumbuhan sudah habis. Teori tersebut sesuai dengan data yang didapatkan pada praktikum ini bahwa pada N72 peningkatan jumlah sel mikroorganisme tidak signifikan, hal tersebut dikarenakan sel yeast telah memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan sel tidak meningkat sebanyak dan secepat fase log. Hal tersebut didukung oleh Sari et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses fermentasi yang berlangsung lebih dari 3 hari mengurangi kadar alkohol yang ditandai dengan penurunan jumlah sel yeast.

Pada N96 peningkatan jumlah sel yeast ini dapat terjadi karena pada akhir masa fermentasi pertumbuhan yeast sudah memasuki fase kematian. Fase kematian tersebut dapat terjadi, karena menurut Amenaghawon et al. (2012) kematian yeast dapat terjadi akibat keberadaan etanol yang diproduksi oleh yeast dalam jumlah yang besar. Etanol ini akan dihasilkan dari gula selama proses fermentasi berlangsung, sehingga gula akan habis menjadi etanol. Sehingga terjadi akumulasi etanol pada media, dan dapat menghambat maupun menghentikan pertumbuhan yeast. Clark (2007) mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah sel berbanding lurus dengan lama waktu fermentasi, namun menurun pada N96 karena mikroorganisme berada pada fase kematian.

Ketidaksesuaian dialami oleh kelompok E1, E2, dan E4 yang mengalami penurunan pada N48 serta pada kelompok E5 yang mengalami peningkatan jumlah yeast pada N96. Ketidaksesuaian tersebut dapat terjadi karena adanya ketidaktepatan dalam melakukan perhitungan jumah sel serta pengambilan sampel dengan mikrooganisme yang tidak merata akibat lamanya selang waktu mendiamkan sampel untuk menunggu mikroskop. Sampel yang didiamkan tanpa dilakukan shaking akan menyebabkan tidak meratanya mikroorganisme.

Gambar 9. Hasil Uji Haemocytometer di Bawah Mikroskop

4.4. Hubungan antara Jumlah Sel Mikrooganisme dengan pHBerdasarkan hasil pengamatan yang disajikan dalam bentuk grafik hubungan, didapatkan hasil bahwa peningkatan jumlah mikoorganisme cenderung meningkatkan nilai pH. Namun data hubungan tersebut masih fluktuasi pada sebagian besar kelompok dengan ditemukannya penurunan pH pada tingkat jumlah sel mikrooganisme tertinggi. Triwahyuni et al. (2012) meenjelaskan bahwa peningkatan lama proses fermentasi meningkatkan jumlah sel yeast selama fase log berlangsung juga meningkat produksi alkohol juga meningkat, sehingga akan terjadi penurunan nilai pH karena alkohol bersifat asam lemah. Pernyataan tersebut di dukung oleh Azizah et al. (2012) yang menyatakan bahwa selama proses fermentasi oleh yeast yang bersifat homofermentatif dan menghasilkan alkohol sehingga semakin lama proses fermentasi maka semakin tinggi pertumbuhan jumlah sel mikroorganisme yang menyebabkan jumlah produksi alkohol semakin banyak, diikuti dengan menurunnya pH. Selain itu, Kartohardjono et al. (2007) juga menjelaskan proses fermentasi menghasilkan CO2 yang bersifat gas asam (acid whey). Teori tersebut sesuai dengan hasil yang didapatkan pada praktikum ini, karena tingkat pertumbuhan tertinggi menghasilkan pH yang asam yaitu pada range pH 3,4 3,5.

Hubungan yang fluktuasi disebabkan menghambatnya pertumbuhan sel mikroorganisme yang dikarenakan jumlah etanol yang dihasilkan terlalu banyak. Sedangkan menurut Yalcin & Ozbas (2008) tingkat keasaman akan mempengaruhi proses fermentasi yang berlangsung. Peningkatan pH akan menurunkan laju produksi biomassa sel yeast karena pH optimum yeast adalah 4. Teori tersebut didukung dengan pernyataan dari Gurvinder & Pooja (2011) bahwa pH pada pertumbuhan yeast merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses fermentasi dan pertumbuhan khamir S. Cerevisiae. Berdasarkan teori tersebut, pH tinggi pada pertumbuhan sel yang rendah oleh kelompok E1 dan E3 disebabkan terhambatnya pertumbuhan karena pH media tidak optimum.

4.5. Hubungan antara Jumlah Sel Mikroorganisme dan AbsorbansiNilai absorbansi adalah nilai konstan dari intensitas penyerapan cahaya yang dipengaruhi oleh konsentrasi larutan. Semakin pekat konsentrasi sebuah larutan maka semakin tinggi nilak absorbansi yang terukur (Wilford, 1987). Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan dalam bentuk grafik hubungan, didapatkan hubungan peningkatan jumlah sel mikroorganisme cenderung meningkatkan nilai absorbansi. Namun sebagian besar kelompok mengalami fluktuasi hubungan dengan didapatkannya nilai absorbansi yang tinggi pada pertumbuhan sel yang rendah. Menurut Rahman (1992) semakin keruh sampel menunjukkan semakin tingginya aktivitas dari sel yeast untuk mengubah gula menjadi alkohol dan hasil metabolit lainnya. Alkohol dan metabolit yang dihasilkan tersebut merupakan komponen utama yang menyebabkan kekeruahan pada sampel. Maka semakin banyak jumlah mikroorganisme, semakin tinggi pula nilai absorbansi (OD).

Hasil yang fluktuatif pada praktikum ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ketidaktepatan dalam melakukan pengukuran menggunakan spektofotometer meliputi penempatan kuvet yang tidak tepat, tidak bersihnya kuvet yang digunakan, serta sampel terkontaminasi oleh pengotor lain yang menyebabkan sampel keruh. Selain itu, ketidaksesuaian ini dapat disebabkan masih adanya ampas buah apel terbawa dalam sampel yang diukur.

5.6. Hubungan Jumlah Sel Mikoorganisme dengan Total AsamBerdasarkan data yang didapat dari hasil pengamatan, peningkatan jumlah sel yeast cenderung meningkatkan total asam yang terukut. Namun data didapatkan pula hubungan yang fluktuatif dengan didapatkannya total asam yang tinggi pada jumlah sel yang rendah. Sreeramulu et al. (2000) menyatakan bahwa dengan semakin lamanya waktu fermentasi mempengaruhi peningkatan jumlah sel yeast yang meningkatkan metabolisme dalam mengkonversi gula menjadi alkohol dan sejumlah asam organik. Alkohol dan asam organik yang dihasilkan bersifat asam sehingga pH sampel semakin rendah akibat pelepasan proton (H+). Dengan bertambahnya jumlah sel maka total asam meningkat karena pH semakin rendah. Hal ini disebabkan ketidakakuratan metode titrasi dalam menentukan pH dari suatu larutan karena terdapat perbedaan persepsi praktikan dalam menentukan titik akhir titrasi. Martoharsono (1994) juga menambahkan bahwa pengukuran keasaman dari suatu larutan akan lebih teliti bila dengan menggunakan pH meter dibandingkan dengan metode titrasi dan kertas lakmus.

19

5.

6. KESIMPULAN

Proses fermentasi menghasilkan CO2 dan alkohol yang berasal dari pemecahan gula oleh aktivitas mikroorganisme. Apel merupakan bahan pangan yang kaya akan gul, gizi seperti kalsium, fosgor, besi, serat, vitamin A, vitamin B1, serta vitamin C. Proses penghancuran buah apel dengan juicer bertujuan untuk merusak jaringan apel dan mengeluarkan kandungan gula. Sterilisasi ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan. Saccharomyces cereviceae berkemampuan baik dalam menguraikan gula menjadi alkohol dengan tidak menghasilkan kerusakan flavor Shaker dalam inkubasi bertujuan untuk proses aerasi dan agitasi Haemocytometer adalah alat yang terdiri dari beberapa ruang dengan batas garis-garis yang terlihat pada mikroskop yang berfungsi untuk menghitung cepat konsentrasi sel. Pengukuran nilai optical density (OD) dilakukan dengan menggunakan instrument spektrofotometer Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter Analisa total asam dilakukan dengan metode titrasi. Bertambahnya waktu inkubasi meningkatkan nilai absorbansi dan jumlah sel mikroorganisme Kekeruhan sampel disebabkan oleh aktivitas yeast dalam mengubah gula menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lainnya selama fermentasi Jumlah mikroorganisme berkurang pada tahap akhir fermentasi Sel yeast mengalami pertumbuhan yang sangat cepat pada masa inkubasi 24-48 jam Peningkatan jumlah sel yeast meningkat produksi alkohol yang meningkatkan nilai absrobansi, menurunkan pH, dan meningkatkan total asam.

20

Semarang, 8 Juli 2015Praktikan,Asisten dosen, Bernardus Daniel Metta Meliani Chaterine MeilaniGraytta Intannia12.70.0086

21

7.

8. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, F.; A. T. Jameel; M. H. Kamarudin & M. Mel. (2011). Study of Growth Kinetic and Modeling of Ethanol Production by Saccharomyces cerevisae. African Journal of Biotechnology, Vol. 16 (81) : 18842-18846. Malaysia.

Amenaghawon, N. A.; C. O. Okieimen & S. E. Ogbeide. (2012). Kinetic Modelling of Ethanol Inhibition during Alcohol fermentation of Corn Stover using Saccharomyces cerevisiae. International Journal of Engineering Research and Applications (IJERA), Vol. 2 (4) : 798-803. Nigeria.

Anagnostopoulos, V. A.; B. D. Symeopoulos & M. J. Soupioni. (2010). Effect of Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells. Global NEST Journal, Vol 12 (3) : 288-295.

Arthey, D. & P. R. Ashurst. (1998). Fruit Processing. Chapman & Hall. London.

Astawan, M. A. & M. Astawan. (1991).Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama.CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard Publishing Company. New York.

Azizah, N. A.; N. Al-Baarri & S. Mulyani. (2012). Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 1 (2) : 72-77. Semarang.

Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.

Chen, Y. W. & P. J. Chiang. (2011). Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology, Vol. 58 : 719-722.

Clark, J. (2007). Hukum Beer-Lambert. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/spektrum_serapan_ultraviolet-tampak__uv-vis_/hukum_beer_lambert/. Diakses tanggal 6 Juli 2015 pukul 20.00

Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Dwidjoseputro, A., (1994). Pengantar fisiologi tumbuhan , PT GramediaPustaka. Jakarta.

Ewing, G. W. (1976).Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book Company. USA.

22

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gurvinder, S. K. & Pooja. (2011). Status of Wine Production from Guava (Psidium guajava L.): A Traditional Fruit of India. African Journal of Food Science, Vol. 5 (16) : 851-860. India.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan Gula Terhadap Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming. Semarang.

Jomdecha, C. & A. Prateepasen. (2006). The Research of Low Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia Pacific Conference on NDT. Auckland, New Zealand.

Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi & Yuliusman. (2007). Absorbsi CO2 dari Campurannya dengan CH4 atau N2 melalui Kontaktor Membran Serat Berongga Menggunakan Pelarut Air. Jurnal Teknologi, Vol. 11 (2): 97-102.

Kumalasari, I. J. (2011). Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi terhadap Kadar Etanol Hasil Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas (Ananas sativus). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Kwartiningsih, E & L. Nuning S. M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi Vinegar. Ekuilibrium, Vol. 4 (1) : 8-12.

Laily, N.; Atariansah; D. Nuraini; S. Istini; I. Susanti & L. Hartono. (2004). Kinetika Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasteurianum Pada Kultur Kocok. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mahreni & Sri Suhenry. (2011). Kinetika Pertumbuhan Sel Sacharomyces cerevisiae dalam Media Tepung Kulit Pisang. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses.

Martoharsono, S. (1994). Biokimia Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nogueira, A; J. M. Le Quere; P. Gestin; A. Michel; G. Wosiacki & J. F. Drilleau. (2008). Slow Fermentation in French Cider Processing due to Partial Biomass Reduction. Journal Inst. Brew., Vol. 114 (2) : 102-110.

Petrucci, R & Suminar. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.

Realita, T. & M. S. Debby. (2010). Teknologi Fermentasi. Widya Padjajaran. Bandung.

Sari, I. M.; Noverita & Yulneriwarni. (2008). Pemanfaatan Jerami Padi dan Alang- Alang dalam Fermentasi Etanol Menggunakan Kapang Trichoderma viride dan khamir Saccharomycess cerevisiae. VisVitalis, Vol. 5 (2) : 55-62.

Sevda, S. B. & Rodrigues L. (2011). Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal of Food Process Technol., Vol. 2 (4). India.

Solomon, S. (1987). Introduction to General, Organic, and Biological Chemistry. Mc. Graw-Hill Inc. USA.

Sreeramulu; Guttapadu; Y. Zhu & W. Knol. (2000). Kombucha Fermentation and Its Antimicrobial Activity. Journal Agriculture Food Chem., Vol. 48 (6) : 2589-2594.

Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah & T. idiyanti. (2012). The Effect of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae Concentration on Fermentation Process for Bioethanol Production from Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31-34.

Wang, D.; Y. Xu; J. Hu & G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing, Vol. 110 (4) : 340-346.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yalcin & Ozbas. (2008). Effects of Ph and Temperature on Growth and Glycerol Production Kinetics of Two Indigenous Wine Strains of Saccharomyces cerevisiae from Turkey. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 39 : 325-332.

23

9.

10. PERHITUNGAN

10.1. Perhitungan Perhitungan Kelompok E1Perhitungan Rata-rata / MO tiap cc

Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm= 0,00025 mm3= 0,00000025 cc= 2,5 x 10-7 ccN0N24N48N72N96

Perhitungan Total AsamTotal Asam =N0Total Asam =mg/mlN24Total Asam =mg/mlN48Total Asam = mg/mlN72Total Asam = mg/mlN96Total Asam = mg/ml

25

Perhitungan Kelompok E2Perhitungan Rata-rata / MO tiap cc

N0N24N48N72N96

Perhitungan Total AsamTotal Asam =N0Total Asam =mg/mlN24Total Asam =mg/mlN48Total Asam = mg/mlN72Total Asam = mg/mlN96Total Asam = mg/ml

Perhitungan Kelompok E3Perhitungan Rata-rata / MO tiap cc

N0N24N48N72N96

Perhitungan Total AsamTotal Asam =N0Total Asam =mg/mlN24Total Asam =mg/mlN48Total Asam = mg/mlN72Total Asam = mg/mlN96Total Asam = mg/ml

Perhitungan Kelompok E4Perhitungan Rata-rata / MO tiap cc

N0N24N48N72N96

Perhitungan Total AsamTotal Asam =N0Total Asam =mg/mlN24Total Asam =mg/mlN48Total Asam = mg/mlN72Total Asam = mg/mlN96Total Asam = mg/ml

Perhitungan Kelompok E5Perhitungan Rata-rata / MO tiap cc

N0N24N48N72N96

Perhitungan Total AsamTotal Asam =N0Total Asam =mg/mlN24Total Asam =mg/mlN48Total Asam = mg/mlN72Total Asam = mg/mlN96Total Asam =mg/ml

10.2. Laporan Sementara10.3. Jurnal