KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN DALAM NOVEL BIBIR MERAH
KARYA ACHMAD MUNIF SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenui Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun oleh : B. Yogi Dwi Hartanto
024114040
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada: Allah yang Maha Esa yang selalu memberkahi
Bapak Paulus Samidi dan Ibu Cicilia Supatmiyati yang kucintai dalam hidupku.
v
Motto
Dedalane guna lawan sekti
Kudu andap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapak den simpangi
Ana catur mungkur
Untuk mencapai kemuliaan
Harus rendah hati
Mengalah untuk menang Mau menerima nasehat
Menghindari perselisihan
Tidak menyebar fitnah
(Mijil)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa sekripsi yang telah saya tulis
ini adalah hasil inspirasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak memuat karya orang
lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka, sebagaimana
layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta
Penulis
B. Yogi Dwi Hartanto
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : B. Yogi Dwi Hartanto Nomor Mahasiswa : 024114040
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN DALAM NOVEL BIBIR MERAH
KARYA ACHMAD MUNIF SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 05 Mei 2009
Yang menyatakan
(B. Yogi Dwi Hartanto)
vii
ABSTRAK
Dwi Hartanto, Yogi. 2009. Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan dalam Novel Bibir Merah Karya Achmad Munif. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma
Studi ini menganalisis bentuk ketidakadilan gender dan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Tujuan dari penelitian ini 1), mendiskripsikan relasi gender 2), mendiskripsikan ketidakadilan gender dan 3) mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sastra feminis, pendekatan ini digunakan untuk menganalisis karya sastra yang berkaitan dengan perempuan. Berdasarkan teori sastra feminis, relasi gender, ketidakadilan gender, dan sikap perempuan dapat dianalisis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Melalui metode analisis deskriptif penulis mendiskripsikan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi, mengumpulkan dan memilih data yang berkaitan dengan masalah, lalu menganalisis dan menjelaskan ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Langkah pertama menganalisis relasi gender langkah kedua menjelaskan ketidakadilan gender dan sikap perempuan.
Hasil analisis relasi gender dalam novel Bibir Merah berupa relasi tokoh perempuan dengan laki- laki yang meliputi, Lurah Koco dengan Rusminah, Lurah Koco dengan Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa Kapur, dan Saburosan dengan Rusminah.
Melalui relasi gender, ditunjukan dua manifestasi ketidakadilan gender yang berupa kekerasan, steriotipe dan subordinasi terhadap perempuan. Berdasarkan pemahaman mengenai ranah kekerasan, kerasan dalam novel Bibir Merah digolongkan menjadi dua yaitu kekerasan publik dan kekerasan domestik. Ada pun bentuk kekerasan yang lebih dominan dalam novel adalah kekerasan publik yang berupa kekerasan seksual dan kekerasan emosional. Sedangkan steriotip terlihat melalui pelabelan perempuan sebagai pribadi yang lemah. Sementara manifestasi ketidakadilan gender yang berupa subordinasi, terlihat melalui tersingkirnya perempuan dan hilangnya pengakuan status sosial perempuan dalam masyarakat. Sedangkan pada pembahasan sikap perempuan akibat ketidakadilan gender, terdapat tiga bentuk sikap yang dominan yaitu a) sikap perempuan sebagai subjek (Rusminah), merupakan gambaran perempuan yang bersikap tegar, teguh, dan pantang menyerah. b) sikap perempuan sebagai objek (Rusmini), merupakan gambaran perempuan yang selalu kalah, menyerah, dan pasrah terhadap nasib. c) sikap penolakan perempuan tanpa mengubah setatus sosial dan status ekonomi; bentuk sikap ini terlihat dalam diri perempuan-perempuan Desa Kapur terutama Mbok Karto dan Yu Ginah.
viii
ABSTRACT
Dwi Hartanto, Yogi. 2009. The Gender Discrmination and Women Behavior in a Novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. A Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature. Literature Faculty. Sanata Dharma University.
This study, analyzed the form of gender discrimination and woman behavior
in a novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. The purposes of this research were: (1) describe the relation of the gender, (2) explain the gender discrimination and woman behavior in Bibir Merah novel.
This research used the feminist literature approach. This approach was used to analyze the literature work that has relation with women. Based on the feminist literature theory, gender relation, gender discrimination and woman behavior could be analyzed.
This research used descriptive analyze method as the method. Through this method, the writer described the facts related to the problem, collected and chose the data, then analyzed and explained the gender discrimination and women behavior. First step, analyzed the gender relation. Next step, explained the gender discrimination and women behavior.
The result of the analysis on gender relation in Bibir Merah novel was in a form of relation between men and women, which were Lurah Koco with Rusminah, Lurah Koco with Rusmini, Lurah Koco with women in Kapur village and Saburosan with Rusminah)
Through gender relation, it was shown two discrimination gender manifestations. They were in form of violence, stereotype and subordination toward women. Based on the understanding about the nature of violence in Bibir Merah novel, there were two kinds of violence. They are public and domestic violence. The most dominant violence in that novel was the public one, which was sexual and emotional violence. Meanwhile the stereotype can be manifestation of discrimination gender that is subordination, can be seen through the woman and the lost of social status achievement in the society. Meanwhile, in the discussion about the woman attitude because of the discrimination gender, there were three form of dominant attitude. They were a.) woman behavior as subject (Rusminah), the description of stiff, strict and never give up woman, b.)woman behavior as object (Rusmini, the description of the lost, easy to give up woman, c.) the woman rejection without change economic and social status. This kind of attitude can be seen in women in Desa Kapur, especially Mbok Karto and Yu Ginah.
ix
Kata Pengantar
Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Ketidakadilan Gender
dan Sikap Perempuan” dalam Novel Bibir Merah karya Achad Munif sebuah
pendekatan Sastra Feminis. Skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa bimbingan
dan semangat dari semua pihak untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya
2. Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S, M.Hum, selaku Dosen pembimbing satu
yang telah membagikan ilmunya kepada saya.
3. Ibu Dra. Fr Tjandrasih Adji, M. Hum selaku pembimbing dua yang telah banyak
memberikan banyak masukan kepada saya.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B.Rahmanto, M.Hum.,
Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum., Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak
FX Santoso, MS., Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum.
5. Bapak Paulus Samidi dan Ibu Cicilia Supatmiyati terimakasih atas segala
pengorbanan, doa, nasihat, kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan, Fani, Eli, Ira, Agus (Bonet), Robet (Jeblox), Dian
(Catax), Ardi (Keos), Bangun dan semua teman-teman angkatan 2002 kalian
semua sangat sepesial.
7. Teman-teman KKN 2006; Haksi, Rani, Runi, Budi, Linda, Punto, dan Taji
terimakasih atas persahabatan kalian.
x
8. Keluarga FX Suhartono, Bulik Sup, dik Ema dan dik Barli yang telah
memberikan dukungan kepada penulis
9. Teman-teman Bengkel Sastra, Aji (Ompong), Jaya (Sapi), Marta (Simbek),
Dominikus (Domex), terimakasih atas persahabatan dan inspirasinya.
10. Dik Ike yang telah memberikan motivasi, cinta dan perhatian. Kamu sangat
sepesial buat aku.
11. Teman-teman Mudika Serayon Kulon Progo. Persaudaraan kita tidak akan
pernah aku lupakan.
12. Keluarga Pak Eko, Bu Endar dan Candra.
13. Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
14. Seluruh staf dan karyawan UPT perpustakan Universitas Sanata Dharma.
15. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih
dukungannya.
Saya telah berusaha sebaik mungkin sebagaimana pengalaman hidup yang
saya jalani, namun saya menyadari masih ada kekurangan dan keterbatasan
kemampuan. Apabila terdapat saran untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini saya
sangat berterimakasih .
Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada
pengetahuan khususnya di bidang Sastra Indonesia di masa yang akan datang.
Terimakasih
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA........................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR...................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 8
1.5 Tinjauan Pustaka ...................................................................... 8
1.6 Kerangka Pemikiran ................................................................. 9
1.6.1 Kritik Sastra Feminis............................................................. 9
1.6.2 Gender .................................................................................. 11
1.6.2.1 Relasi Gender ............................................................... 14
1.6.2.2 Ketidakadilan Gender................................................... 16
1.6.3 Sikap Perempuan ................................................................... 19
xii
1.7 Metodologi Penelitian.... ................................................... 20
1.7.1 Pendekatan ...................................................................... 20
1.7.2 Metode Penelitian............................................................ 21
1.7.3 Teknik Analisis Data ....................................................... 21
1.7.4 Sumber Data .................................................................... 22
1.7.5 Sistematika Penyajian ..................................................... 22
Bab II RELASI GENDER DALAM NOVEL BIBIR MERAH
2.1 Pengantar ........................................................................... 23
2.2 Lurah Koco dengan Rusminah .......................................... 24
2.3 Lurah Koco dengan Rusmini............................................. 32
2.4 Lurah Koco dengan Perempuan-Perempuan Desa Kapur. 35
2.5 Saburosan dengan Rusminah ............................................. 40
2.6 Rangkuman........................................................................ 48
Bab III KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN
3.1 Pengantar ............................................................................ 50
3.2 Ketidakadilan Gender......................................................... 50
3.2.1 Subordinasi Terhadap Perempuan............................... 51
3.2.2 Steriotipe Terhadap Perempuan .................................. 54
3.2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan ................................. 55
3.3 Sikap Perempuan akibat ketidakadilan gender................... 61
3.3.1 Sikap Rusminah........................................................... 62
3.3.2 Sikap Rusmini ............................................................ 65
3.3.3 Sikap Perempuan-Perempuan Desa Kapur ................. 66
3.4 Rangkuman......................................................................... 71
xiii
BAB 1V PENUTUP......................................................................................... 73
4.1 Kesimpulan......................................................................... 73
4.2 Saran ................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 78
LAMPIRAN .................................................................................................. 80
1
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang
dalam menyampaikan gagasan. Karya sastra sebagai media merefleksikan pandangan
pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungan, realitas sosial yang
terjadi dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan
menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris
(Sugihastuti 2007:81)
Rampan via Sugiastuti (2007:82) mengatakan bahwa penciptaan sebuah karya
sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Adapun dalam sebuah karya sastra hal-hal yang digambarkan dalam masyarakat
berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran anggota masyarakat, maupun
interaksi yang terjalin antar semua anggotanya. Secara sederhana karya sastra
mengambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, relasi laki-laki dan perempuan
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang mencerminkan
penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis
kelamin. Ada pun dalam proses ini dikuatkan oleh realitas dalam banyak kebudayaan
bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan
perempuan, hal ini membuktikan bahwa interaksi yang terjalin menuntut adanya satu
2
jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan yang lain. Pihak laki-laki merupakan
pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan
dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan bahkan pada
masyarakat (Sugihastuti, 2007: 82).
Sementara itu, kaum perempuan secara umum dirugikan dengan pembakuan
peran gender. Secara hukum pembakuan peran gender telah dilegitimasi oleh negara,
dimana suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kewajiban istri adalah
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dengan demikian peran perempuan
secara resmi diakui sebagai peran domestik yaitu mengatur urusan rumah tangga,
merawat anak dan melayani suami ( Soelaeman, 1995: 32-33).
Akan tetapi, peran pembakuan gender lebih lanjut sangatlah merugikan kaum
perempuan kelas bawah (miskin). Hal ini dikarenakan bahwa pembakuan peran
gender menyebabkan perempuan miskin menerima ketidakadilan ganda, yaitu bahwa
kaum perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan gender atau kekerasan
melainkan perempuan juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka
yang berada pada lapisan bawah masyarakat (Soelaeman, 1995 : 31 ).
Anggapan bahwa perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi alasan yang
mendasar bagi laki-laki lebih leluasa untuk mengeksploitasi sesuai dengan
keinginannya. Ada pun bagi masyarakat tradisional perempuan merupakan salah satu
kebutuhan hidup, sama seperti halnya sebuah rumah dan propertinya (Husain, 2005:
56) sedangkan bagi masyarakat beradab, perempuan merupakan budak dan
3
bergantung pada pemiliknya yang mengambil keuntungan dari pekerjaannya (Husain,
2005: 56-57).
Menurut Bhasin via Sugiastuti (2007: 93) patriarkhi merupakan sebuah
sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan. Dalam
patriarkhi melekat idiologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi dari pada
perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan
adalah bagian milik laki-laki.
Dalam budaya patriarkhi, perempuan mempunyai kedudukan serta peran yang
tidak terkemuka (kurang) sedangkan kaum laki-laki mempunyai peran dominan
dalam berbagai hal baik itu formal maupun informal. Ada pun pada dasarnya
dominasi laki-laki tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan yang antara lain
bidang sosial, politik, sosiokultural, dan religi.
Sementara itu budaya patriarkhi sangatlah berhubungan dengan peran antara
kaum perempuan dan laki-laki. Hal ini nampak dalam berbagai bidang yang
mayoritas dikuasai oleh kaum laki-laki. Dalam usaha persamaan hak perempuan
mencoba membuktikan ia bisa melakukan yang menjadi porsinya.
Adapun Andre Harjana (1981:71) menyatakan bahwa karya sastra
menyuguhkan potret kehidupan dengan mengangkat persoalan sosial dalam
masyarakat. Karya sastra tidak lepas dari keadaan sosial budaya yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Karya sastra dapat dipengarui oleh latar belakang sosial
budaya, agama, dan pandangan hidup pengarangnya. Oleh karena itu, karya sastra
berpotensi mengembangkan wawasan mengenai manusia dan segenap masalahnya.
4
Salah satu contoh dari masalah kehidupan yang diangkat seorang
pengarang dalam karyanya adalah permasalahan gender. Gender sesungguhnya
berkaitan dengan budaya (Abdullah, 1997:186). Gender muncul karena
perkembangan pola pikir manusia mengenai kedudukan wanita bersama laki-laki
dalam kehidupanya. Dalam gender dikenal sistem hierarki yang menciptakan
kelompok-kelompok itu saling tergantung bahkan bersaing untuk mempertahankan
kekuasaan masing-masing.
Gender hadir di tengah-tengah masyarakat seperti halnya kehadiran karya
sastra. Dengan demikian, ada hubungan antara karya sastra dengan gender. Dalam
penelitian ini akan dikaji novel sastra yang mengandung masalah gender. Selanjutnya
membahas wanita dalam karya sastra akan lebih mengena apabila dijembatani oleh
apa yang disebut feminisme.
Feminisme dan gender kerap menjadi topik sebuah cerita dalam sebuah
karya sastra. Begitu pula dalam novel Bibir Merah karya Ahmad Munif, pengarang
mencoba menceritakan sisi kehidupan kaum perempuan miskin yang tertindas karena
dominasi laki-laki. Selain itu melalui tokoh utama Rusminah, konflik gender dan
feminisme sangat kental. Peristiwa pemerkosaan dan fitnah sebagai dukun santet,
membawa ia bangkit menjadi seorang penyanyi siter. Karena peristiwa tersebut ia
harus terjun dalam dunia prostistusi. Rusminah sosok gadis desa itu seolah ingin
membuktikan kepada masyarakat bahwa ia mampu mengembalikan harga dirinya
yang pernah diinjak-injak oleh laki-laki.
5
Pengarang novel ini adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Gajah
Mada. Dalam dunia sastra Achmad Munif termasuk pengarang yang produktif, selain
itu ia juga aktif menulis beberapa artikel di media masa. Karya-karya sastranya antara
lain; ”Tembang-tembang” (Femina), ”Padang Perburuan” (Minggu Pagi), ”Pasir
Pantai” (Kedaulatan Rakyat), ”Birunya Langit Jogya” (Anita), ”Bayang-bayang
hitam ” (Kartini), ”Tandak dan Pria Idaman lain, Serta Primadona” (Surabaya Pos ),
” Tikungan” (Republika), ”Angin pantai Selatan dan Jalan Kehidupan” (Republika),
Perempuan-Perempuan.
Sedangkan karya novelnya yang telah diterbitkan antara lain Merpati Biru,
Perempuan Jogya sang Penindas, Primadona, Kasidah Lereng Bukit, Kembang
Kampus dan terbanglah Merpati yang diterbitkan oleh Navila dan Gitanagari. Selain
itu ia juga penulis skenario yang produktif, karya-karyanya antara lain Opera Sabun
Colek, Bayangan Ratu Pantai Selatan, Badai pasti Berlalu dan Sirkuit Kemelut.
Sedangkan dua kumpulan cerpennya masing-masing berjudul Tanda-tanda
Kebesaran Allah dan Kehormatan Ibu
Penelitian ini mengunakan pendekatan sastra feminis. Sastra feminis
merupakan cara-cara pemahaman karya sastra yang dikaitkan dengan proses produksi
maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Secara umum Feminis merupakan gerakan kaum
perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan,
dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi
maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2004:184-185). Selain itu
pengertian gender sendiri adalah perbedaan pria dan wanita akibat konstruksi
6
masyarakat yang dibuat oleh manusia dan dapat berubah sesuai tempat, waktu, dan
budaya. Wanita dikategorikan memiliki sifat-sifat seperti emosional, pasif, inferior
(bergantung) lembut dengan peran yang terbatas pada bidang keluarga. Semua sifat
tersebut diwariskan karena sifat-sifat feminis berbeda dengan laki-laki yang memiliki
sifat rasional, aktif, superior, berkuasa, keras serta mendominasi (menguasai) dalam
masyarakat. Sifat-sifat tersebut dinilai sebagai wawasan dan sifat-sifat maskulin
Dari penjelasan di atas diperoleh suatu pemahaman tentang masalah
gender, seperti istilah feminisme dan maskulin. Berdasarkan sudut pandang
linguistik, kedua istilah tersebut tergolong dalam kelas kata yang berlawanan arti satu
sama lain. Secara epistimologi istilah feminisme berakar dari istilah female yang
merunjuk pada jenis kelamin perempuan.Pelabelan negatif atau pensteriotipan wanita
ke dalam gender itulah yang memicu munculnya feminisme termasuk dalam
perkembangan dunia sastra yang ditandai dengan bermunculnya karya-karya sastra
yang bertema wanita. Karya-karya sastra semacam itu dikenal dengan karya sastra
feminis.
Sementara alasan peneliti menganalisis novel Bibir Merah karya Achmad
Munif sebagai bahan penelitian, dikarenakan bahwa novel tersebut cenderung
menganggkat persoalan sosial terutama ketertindasan perempuan akibat sistem
patriarkhi yang membuat ketidakadilan dan diskriminasi gender.
Penelitian ini menganalisis masalah gender yang ada dalam novel Bibir
Merah, yang terdiri dari bagaimana relasi gender, ketidakadilan gender dan sikap
7
perempuan dalam novel Bibir Merah. Masalah-masalah inilah yang ingin dibahas
oleh peneliti sebagai bagian dari analisis sastra feminis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah-masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana relasi gender dalam novel Bibir Merah karya Achmad
Munif?
1.2.2 Bagaimana ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Bibir
Merah karya Achmad Munif ?
1.2.3 Bagaimana sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah
karya Achmad Munif ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendiskripsikan relasi gender yang terdapat dalam novel Bibir Merah
karya Achmad Munif.
1.3.2 Mendiskripsikan ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Bibir
Merah karya Achmad Munif.
1.3.2 Mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir
Merah karya Achmad Munif.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengembangan kritik sastra di Indonesia dengan pendekatan sastra
feminis.
1.4.2 Manfaat praktis: menambah wawasan tentang feminisme yang
tergambar dalam karya sastra khususnya novel Bibir Merah karya
Achmad Munif.
1.5 Tinjauan Pustaka
Agustina. S (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Citra Wanita” dalam
Novel Bibir Merah karya Acmad Munif suatu Tinjauan Sastra Feminis,
menyimpulkan bahwa citra wanita dapat dilihat dari aspek fisik yaitu wanita
diceritakan sebagai mahkluk yang lemah dan tidak berdaya. Selain itu wanita juga
tergambar sebagai wanita yang feminim yang dapat dilihat dari caranya berhias,
berpakaian, dan bertingkah laku.
Selain itu Agustina. S (2006) juga menjelaskan citra wanita yang tergambar
dalam tokoh utama Rusminah yang tidak pernah menyerah melawan kejamnya dunia,
citra dalam keluarga tercitrakan sebagai insan yang banyak memikul tanggung jawab.
Sedangkan citra wanita dalam masyarakat yaitu wanita yang diperlakukan sewenang-
wenang dan sesuka hati oleh kaum laki-laki, martabat wanita pada novel tersebut
dicitrakan sangat rendah, kurang memiliki kemampuan, bodoh, acuh tak acuh pada
lingkungan, namun anggapan tersebut dapat diubah menjadi wanita yang maju sesuai
dengan perempuan feminim.
9
Berdasarkan skripsi Agustina. S (2006) peneliti tertarik menganalisis lebih
jauh bagaimana persoalan ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Dengan
mengetahui persoalan ketidakadilan gender akan terlihat bagaimana relasi dan sikap
perempuan dalam sistem sosial masyarakat tersebut.
1.6 Kerangka Pemikiran
1.6.1 Kritik Sastra Feminis
Feminisme menurut Goefe via Sugihastuti (2007:93) merupakan teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Bhasin via Sugihastuti (2007:93) menjelaskan bahwa patriarkhi berarti kekuasaan
bapak atau patriach. Secara umum istilah ini digunakan untuk menyebut kekuasaan
laki-laki (patriarkhi), yang antara lain kekuasaan laki-laki untuk menguasai
perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai
melalui berbagai macam cara. Patriarkhi membentuk laki-laki sebagai superordinat
dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai
superordinatnya.
Istilah pendekatan sastra feminis merupakan cara-cara pemahaman karya
sastra baik dalam kaitannya dengan cara-cara memahami karya sastra dengan proses
produksi maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Adapun dalam pengertian yang lebih
luas feminisme merupakan gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
10
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada
umumnya (Ratna, 2004:185).
Pada dasarnya teori feminisme merupakan alat kaum wanita untuk
memperjuangkan hak-haknya, erat kaitannya dengan konflik kelas dan ras, khususnya
konflik gender. Teori ini juga memaparkan konflik kelas dengan feminisme yang
memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan
hegemoni, pertentangan antar kelompok yang lemah dengan kelompok yang
dianggap lebih kuat. Teori ini juga menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarkhi (Ratna, 2006:186).
Dalam perkembangannya, teori sastra feminis tidak hanya melakukan gerakan
pada satu negara saja akan tetapi gerakan perempuan ini terjadi hampir di seluruh
dunia. Feminis menganggap bahwa gerakan ini merupakan kesadaran perempuan
terhadap hak-hak kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki (Ratna, 2006:
186-187).
Selain itu Nancy Fcott (via Murniati, 1998:XXVII) mengatakan bahwa tujuan
dari feminis adalah 1) menentang adanya posisi hierarkis di antara jenis kelamin,
persamaan bukan hanya kuantitas tetapi mencakup juga kualitas, 2) feminisme
menggugat adanya perbedaan yang mencampuradukkan seks dan gender, sehingga
perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat.
Dalam usaha persamaan hak, kaum feminis menilai adanya ketidakadilan
gender hal itu antara lain; marginalisasi, stereotip, subordinasi, beban ganda dan
kekerasan perempuan. Adapun Jajanegara (2000:4) mengatakan bahwa tujuan feminis
11
adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar
dengan kedudukan derajat laki-laki.
1.6.2 Gender
Roeman via Sugiarti (2003) menyatakan bahwa gender adalah konsep
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial.
Hubungan sosial membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau
dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan yang dapat dipertukarkan.
Sementara seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki pensifatan
seperti: memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma.
Sedangkan perempuan memiliki alat produksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk
menyusui. Organ-organ tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki
(male) dan perempuan (female) yang secara permanen tidak berubah dan merupakan
ketentuan biologis sejak lahir atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau
kodrat. Dengan kata lain, seks dipahami sebagai pemaknaan terhadap jenis kelamin
yang bersifat biologis, alamiah, dan tidak bisa diubah dalam kondisi, situasi, budaya,
12
dan tradisi apa pun. Artinya pemahaman seks tidak mengenal batas ruang dan waktu
(Fakih, 1998 & 2001).
Stereotipe tersebut, tanpa disadari telah mengantar keduanya dalam posisi
yang tidak setara atau timpang. Perempuan secara sosial ditekankan perannya di
sektor domestik, karena fungsi reproduksinya memungkinkan perempuan untuk
mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan fungsi reproduksi
yang demikian itu, perempuan dikonstruksikan untuk berperan sebagai pengasuh
anak dan pengelola rumah tangga. Sedangkan laki-laki, karena reproduksinya berbeda
dengan perempuan, diharapkan dan dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi
pencari nafkah keluarga, bekerja di luar rumah, dan menjadi pelindung keluarga
(Hayati, 2002).
Adapun menurut Oakly via Fakih (1997:71) gender berarti perbedaan yang
bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yaitu perbedaan jenis
kelamin (seks) yang merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen
berbeda, sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara
laki-laki dan perempuan yang dikontradiksikan secara sosial, yaitu perbedaan yang
bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia
melalui proses yang panjang. Caplan (Fakih, 1997:72) menyatakan bahwa perbedaan
laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan
kultural. Oleh karena itu, gender bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke
tempat dan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak
berubah.
13
Gender menentukan berbagai pengalaman hidup yang bisa kita singkap.
Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja alat-alat dan sumber
daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan
kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Gender akan menentukan
seksualitas, hubungan, dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak
secara otonom. Gender bisa menjadi satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk
kepribadian seseorang dalam hidupnya (Sugiarti: 2003)
Istilah gender berguna karena istilah itu mencakup peran sosial kaum
perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali
amat penting dalam menentukan posisinya keduanya. Demikian pula, jenis-jenis
hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki merupakan
konsekuensi dari pendifinisian perilaku gender yang semestinya oleh masyarakat.
Berbicara mengenai gender, secara tidak langsung memerlukan keterlibatan laki-laki
untuk memahami dan mendukung perubahan dalam hubungan gender yang akan
diperlukan jika keseimbangan yang lebih adil dan setara antara jenis kelamin dalam
masyarakat tercapai.
Konsep gender pada dasarnya merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih,
1996:8). Adapun Murniati (2002:15) mengatakan bahwa pada dasarnya gender
merupakan perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat,
serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender bukanlah kodrat ataupun
ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan
14
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan
tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
1.6.2.1 Relasi Gender
Pada dasarnya posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender
berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi
superordinat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, relasi dengan
perempuan dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan
inferioritas perempuan. Sebagai jenis kelamin yang memposisikan diri lebih unggul,
laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriakal
guna memperkuat hegemoni terhadap kedudukan perempuan (Sugihastuti, 2007:122).
Ada pun Fakih (1996: 84) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap kelompok
masyarakat memiliki kepentingan (interse) dan kekuasaan (power), ada pun dalam
setiap hubungan sosial selalu terdapat hubungan kaum laki-laki dan perempuan.
meskipun demikian, bahwa gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai
senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan
antara laki-laki dan perempuan.
Sugihastuti (2007:4-5) mengatakan bahwa, seks dan gender menyatu melalui
pandangan masyarakat yang mencoba untuk memadu-padankan cara bertindak
dengan kodrat biologis. Berdasarkan pandangan di atas terlihat adanya relasi laki-laki
dan perempuan yang melahirkan idiologi gender yang membuahkan budaya
patriarkhi. Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan, sehingga
perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan (Nunuk, 1996:75). Perbedaan
15
gender ini telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang
disandang oleh kaum perempuan (Sugihastuti, 2007: 278). Menurut Fakih via
Sugihastuti (2007:278-279) perbedaan gender didasarkan pada anggapan dan
penilaian oleh konstruksi sosial yang menimbulkan sifat atau stereotip yang
terkukuhkan sebagai kodrat kultural yang membutuhkan proses panjang yang telah
mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sedangkan menurut Nunuk
(1996:XIX) perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan berproses melalui budaya
dan menciptakan perbedaan gender yang kemudian melahirkan idiologi gender. Lebih
lanjut, pandangan itu kemudian dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan
demikian, laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk menguasai perempuan, kemudian
hubungan laki-laki dan perempuan yang hierarkis dianggap sudah benar.
Adapun menurut Wahjana (2000) dominasi yang dimiliki laki-laki terhadap
perempuan menjadi suatu hal yang sudah semestinya karena itu merupakan bagian
dari kejantanan dan kekuasaan laki-laki. Dengan melakukan tindak kekerasan maka
laki-laki dapat mengurangi emosi dan tekanan yang dialaminya. Sedangkan rasa
rendah diri dan keingginan perempuan untuk didominasi adalah suatu hal yang tidak
terelakan dalam hubungan perempuan dan laki-laki.
Relasi heirarkis antara laki-laki dan perempuan tersebut berdampak pada
ketidakadilan perempuan yang terdiri dari beberapa hal antara lain; pertama
perbedaan dan pembagian gender, termanifestasikan dalam bentuk subordinasi kaum
perempuan di hadapan laki-laki terutama menyangkut soal pengendalian kekuasaan.
Kedua, perbedaan dan pembagian gender membentuk stereotip terhadap kaum
16
perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Ketiga, perbedaan
gender mengakibatkan timbulnya kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan,
baik secara fisik maupun secara mental. Keempat, sosialisasi citra posisi, kodrat dan
penerimaan nasib perempuan tersebut menimbulkan anggapan pada kaum perempuan
sendiri, bahwa kondisi dan posisi yang telah ada bagi diri mereka merupakan sesuatu
yang normal dan kodrati (Sugihastuti, 2007: 279)
1.6.2.2 Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender pada dasarnya merupakan bentuk perbedaan perlakuan
berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih
yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya. Persamaan
antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, budaya dan lain-lain. Ketidakadilan gender terbentuk karena adanya
oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender yang berdampak pola
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut membawa hubungan yang
dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas
perempuan (Sugihastuti, 2001:122).
Selain itu hubungan laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan
pemahaman mengenai superioritas, pada akhirnya perempuan tidak hanya
memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya dengan laki-laki akan tetapi,
perempuan juga membentuk citra inferior dan mendorong diri sendiri kepada posisi
subordinat (Sugihastuti, 2001:122-123). Sedangkan Fakih (1997) menyatakan bahwa
17
ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki
maupun perempuan sebagai korban dari sistem.
Berdasarkan relasi gender yang ada, ketidakadilan gender dapat bersifat a)
langsung, yaitu bahwa perlakuan terbuka dan berlangsung baik disebabkan perilaku,
sikap, nilai, norma ataupun aturan yang berlaku; b) tidak langsung, bahwa seperti
peraturan sama tetapi pelaksanaanya menguntungkan jenis kelamin tertentu; c)
sistemik, yaitu bahwa ketidakadilan gender berakar dalam sejarah, norma atau
struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan
(Fausi,2008).
Dari relasi gender di atas Fakih (2006) membagi manifestasi ketidakadilan
gender menjadi berikut:
1. Subordinasi perempuan (penomorduaan), pandangan yang memposisikan
perempuan dan karya-karya lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini
bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai
pembantu dan tidak berani memperlihatkan kemampuanya. Sedangkan
bagi laki-laki menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan
perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh.
2. Marginalisasi perempuan, merupakan penempatan perempuan ke
pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang
atau tidak berani sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin.
Akibatnya perempuan selalu dinomerduakan apabila ada kesempatan
untuk memimpin.
18
3. Stereotipe terhadap perempuan, merupakan citra baku tentang individu
atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada.
Pelabelan negatif perempuan selalu berdampak negatif bagi perempuan
hal itu bahkan menimbulkan diskriminasi dan pada akhirnya dibatasi,
dipersulit, dan dimiskinkan oleh stereotipe. Pandangan stereotipe
masyarakat terhadap perempuan tersebut yakni pembakuan diskriminatif
antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan
sifat yang sepantasnya sehingga tidak bisa keluar dari kotak definisi yang
membakukan tersebut.
4. Kekerasan terhadap perempuan; Kekerasan terhadap perempuan
merupakan tindakan seseorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan
mengarahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau
penderitaan baik secara fisik, seksual, atau psikologis pada perempuan
atau sekelompok perempuan. Termasuk tindakan yang bersifat memaksa,
mengancam, dan berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang
domestik dan publik.
Menurut Sugihastuti (2007: 203) menyebutkan kekerasan terhadap perempuan
dibedakan menjadi dua yaitu kekerasan publik dan kekerasan domestik. Kekerasan
publik merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang
menjadi korban tindakanya dengan tidak memperhitungkan ranah terjadinya tindak
19
kekerasan sedangkan kekerasan domestik merupakan tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarnakan manifestasi ketidakadilan gender menurut Fakih (2006) di atas,
peneliti hanya menganalisis persoalan ketidakadilan gender yang berhubungan
dengan isi cerita, yang terdiri dari subordinasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
1.6.3 Sikap Perempuan
Pada dasarnya sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, presdisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap merupakan respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan
(Anwar, 1995:5). Sikap sosial pada dasarnya terbentuk dari adanya interaksi sosial
yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih pada sekedar
adanya kontak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial.
Menurut Sarwono (1976) sikap merupakan kesiapan seseorang untuk
bertindak pada situasi tertentu. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauh, menghindar, membenci, tidak
menyukai objek tertentu. Lebih lanjut sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan
dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, sehingga dapat berubah-
ubah sesuai dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada
saat yang berbeda-beda.
Dalam kaitanya dengan sikap perempuan, Sugihastuti (2007:94) berpendapat
bahwa perempuan yang ditindas dan dieksploitasi, menghadirkan anggapan bahwa
20
feminisme merupakan satu-satunya jalan mengakiri penindasan dan eksploitasi.
Sementara Jayanegara (2001:52) mengatakan bahwa sikap perempuan yang bercita-
cita untuk berbagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir
dan batin akan didukung oleh gerakan feminisme, perempuan demikian akan
mengangkat kedudukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan
dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Sedangkan sikap perempuan yang merasa puas bahagia dengan hanya semata-
mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis.
Sikap perempuan demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan
kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan
dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual
(Jayanegara 2001: 51-52).
Dalam penelitian, kerangka pemikiran mengenai relasi gender, dipakai untuk
menganalisis relasi gender Lurah Koco dengan Rusminah, Lurah Koco dengan
Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa Kapur dan juga dipakai
untuk menganalisis relasi gender Saburosan dengan Rusminah. Sementara itu,
kerangka pemikiran mengenai sikap perempuan dipakai untuk menganalisis sikap
Rusminah, Rusmini, dan perempuan desa terhadap relasi laki-laki terhadap gender
serta sistem patriarkhi yang tergambar dalam novel.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Pendekatan
21
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sastra feminis.
Pendekatan sastra feminis digunakan untuk menganalisis keberadaan perempuan dan
permasalahan-permasalahan yang ada pada karya sastra, khususnya yang berkaitan
dengan masalah gender dan feminisme (Djajanegara, 2001: 51)
1.7.2 Metode Penelitian
Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya
(Ratna, 2003:34). Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis diskriptif, yaitu
mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian dilanjutkan dengan analisis. Secara
etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2003:53). Lebih lanjut
peneliti juga menganalisis relasi laki-laki perempuan, ketidakadilan gender dan sikap
perempuan yang ada di dalam novel Bibir Merah.
1.7.3 Teknik Analisis Data
Selanjutnya, penelitian ini dilakukan dengan tahap pengumpulan data dan
penganalisisan data, peneliti menggunakan teknik simak dan catat, penyimakan
terhadap isi dan novel tersebut kemudian dilanjutkan dengan teknik catat pada kartu
data. Teknik catat maksudnya pencatatan data yang digunakan dengan alat tulis,
sedangkan kartu data berupa kertas dengan ukuran dan kualitas apapun dapat
digunakan asal mampu memuat, memudahkan pembacaan dan menjamin data
(Sudaryanto, 1988:58).
22
1.7.4 Sumber Data
Judul Buku : Bibir Merah
Pengarang : Achmad Munif
Penerbit : Navila, Yogyakarta
Tebal Buku : 232 hlm : 20 cm
Tahun Terbit : 2007
1.7.4 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, dan metodologi penelitian. Bab II Relasi gender. Bab III Berisi
ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Bab IV Penutup, berisi kesimpulan dan
saran.
23
Bab II RELASI GENDER
DALAM NOVEL BIBIR MERAH KARYA ACHMAD MUNIF
2.1 Pengantar
Pada bab II ini penulis menganalisis relasi gender antara laki-laki dan
perempuan yang ada dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Analisis
tentang relasi antara laki-laki dan perempuan tersebut, membahas masalah hubungan
laki-laki dan perempuan dalam lingkup gender yang memuat konflik. Dari analisis
tersebut akan ditemukan akibat dari konflik pada relasi laki-laki dan perempuan
dalam novel.
Dalam bab ini juga akan dikemukakan relasi gender antara laki-laki dan
perempuan yang dibangun berdasarkan tingkatan sosial dan peran yang ada di dalam
masyarakat. Ada pun peran laki-laki dominan yang terdapat dalam cerita terdapat
dalam sosok Lurah Koco. Dalam cerita, pengarang menghadirkan sosok Lurah Koco
sebagai simbol kekuasaan patriarkhi yang ada dalam masyarakat Desa Kapur.
Sementara dalam cerita terdapat ideologi, bahwa laki-laki (Lurah Koco) lebih tinggi
dari pada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan
perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dalam sistem patriarkhi masyarakat
Desa Kapur, tercipta konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan,
dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut.
24
Selain Lurah Koco sebagai simbol kekuasaan patriarkhi, ia juga sebagai alat
kontrol terhadap para perempuan. Dengan demikian, simbol kekuasaan patriarkhi
Lurah Koco di atas membentuk sikap laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka
hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya.
Sementara dalam pembahasan bab dua ini, peneliti juga membahas
perempuan-perempuan yang berkaitan dengan sikap patriarkhi Lurah Koco dalam
wilayah masyarakat Desa Kapur. Ada pun perempuan yang dimaksud di atas antara
lain; Rusminah, Rusmini, Yu Ginah, Mbok Karto, Yu Sumi, dan Munah. Dari semua
sosok perempuan di atas, Rusminah dan Rusmini merupakan dua perempuan yang
berperan aktif dalam kemunculan konflik yang membangun klimak dan akhir cerita.
Ada pun hubungan relasi gender dalam cerita dijelaskan sebagai berikut.
2.2 Lurah Koco dengan Rusminah
Pada dasarnya hubungan pengembangan cerita dalam sebuah novel, tidak lain
dipengarui oleh adanya keterkaitan dan konflik tokoh yang bersangkutan. Hubungan
tokoh tersebut tidak lain merupakan sebuah upaya pengarang dalam menghadirkan
konflik dan permasalahan yang muncul melalui karakter dan dialog tokoh yang ada.
Begitu juga halnya dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif,
pengarang mencoba menghadirkan relasi gender dalam cerita sesuai dengan konflik
dan persoalan yang ada. Persoalam gender yang muncul dalam cerita, pada dasarnya
dipengarui adanya pola dominasi laki-laki terhadap kedudukan dan peran perempuan
dalam wilayah sosial masyarakat. Begitu juga halnya bahwa masalah yang mendasar
25
dalam relasi gender dalam novel Bibir Merah, dipengaruhi juga adanya pola
kekuasaan sepihak yang merugikan perempuan.
Hal ini terlihat dalam relasi gender antara Lurah Koco dengan Rusminah.
Dua perbedaan karakter dalam cerita, dihadirkan pengarang sebagai subjek yang
berbeda. Pengarang menghadirkan Lurah Koco sebagai laki-laki yang mempunyai
kekuasaan, otoritas tinggi dalam masyarakat Desa Kapur. Kedudukan dan kekuasaan
Lurah Koco sebagai seorang kepala desa, membuat ia selalu bersikap otoriter dan
memaksa warganya terutama kaum perempuan dalam melayani kebutuhan seksnya.
Selain Lurah Koco sebagai laki-laki yang berkuasa dalam masyarakat, ia juga
mempunyai ambisi sebagai seorang pemimpin yang otoriter. Hal itu merupakan
sebuah konsekuensi bahwa kedudukan dan jabatan merupakan alat untuk
mengeksploitasi warganya. Dalam masyarakat Desa Kapur, Kedudukan dan status
sebagai seorang kepala desa, merupakan kedudukan paling tinggi dalam struktur
masyarakat, karena kedudukan itulah, Lurah Koco akan menaruh dendam terhadap
warganya jika mereka tidak menghormati dan mematuhi perintahnya. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
(1) “ Lurah Koco duduk di sadel sepeda motornya dengan sikap yang pongah sekali. Matanya melirik kesana kemari. Orang yang berpapasan dengannya mengangguk takzim. Sebab Pak Lurah akan menaruh dendam amat dalam kepada penduduk desa yang tidak menganggukkan kepala jika berpapasan dengannya. Itu artinya warga desa akan mendapat kesulitan (hlm. 32)”.
Bagi masyaraka, Lurah Koco tidak lain adalah seorang penjahat. Kedudukan
sebagai seorang kepala desa yang seharusnnya mengayomi masyarakat, justru kerap
26
memaksa para perempuan untuk melayani kebutuhan seksnya. Semua itu didasari atas
paksaan dan tekanan dari Lurah Koco dalam mendapatkan perempuan untuk
dijadikan gendaan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(2)” Begini Yu” aku pesen wanti-wanti utuk menjaga si Surti. Jangan sampai ada orang lain yang lebih dulu meminum air degan itu dan aku menerima sisanya. Aku tidak mau itu. ”Mosokto Pak Lurah meminum air degan” (hlm. 36)”.
Tinggal dalam masyarakat tradisional dan marginal, membuat Lurah Koco
merasa mendapatkan keuntungan dari masyarakat setempat. Hal itu dipengaruhi
adanya pola sistem patriarkhi yang menempatkan kedudukan dan kekuasaan laki-laki
lebih tinggi dalam masyarakat Desa Kapur. Kondisi demikian, memunculkan
ideologi Lurah Koco untuk melakukan pemaksaan baik itu berupa pajak yang tinggi
maupun pemaksaan terhadap perempuan.
Bagi masyarakat Desa Kapur, kedudukan dan kekuasaan Lurah Koco
dianggap sangat merugikan, tidak terkecuali bagi Rusminah. Ia adalah salah satu
perempuan Desa Kapur yang menjadi korban nafsu Lurah Koco. Kekerasan seksual
yang dialami oleh Rusminah merupakan kekerasan publik. Hal itu menandakan
bahwa keduanya terjalin tanpa adanya hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan
ikatan perkawinan. Sementara kekerasan Lurah Koco terhadap Rusminah, tidak
berupa pelecehan seksual saja, akan tetapi juga berupa kekerasan fisik dan
emosional. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(3)” Lelaki itu dengan leluasa menjamah seluruh tubuhnya. Dengan sekuat tenaga Rusminah melawan. Namun lelaki itu terlalu kuat tubuh Rusminah menjadi lemah karena dibungkam, dengan kain.....Tapi Rusminah berhasil menarik topeng yang dikenakan
27
lelaki itu. Rusminah terkejut, lelaki itu adalah Lurah Koco. Karena topengnya terbuka, Lurah Koco semakin kalap, Rusminah dipukul sampai tidak sadarkan diri ( hlm. 173-174)”.
Berdasarkan kutipan (3) di atas terlihat adanya sikap upaya berontak
Rusminah terhadap sikap represif Lurah Koco. Kondisi demikian membuat ia
melakukan perlawanan meskipun tidak sebanding dengan kekuatan fisik yang Lurah
Koco miliki. Pelecahan seksual baginya merupakan sebuah perampasan harga diri,
karena sikap itulah ia mau mempertahankan dengan perlawanan sesuai dengan
kemampuan yang ia miliki.
Sementara keadaan Rusminah yang tidak sadarkan diri, memaksa Lurah koco
melakukan pemerkosaan tanpa ada pemberontakan darinya. Selain karena kondisi
Rusminah yang lemah, perlawanan terhadap Lurah Koco seolah tidak sebanding
dengan kekuatan fisik yang ia miliki. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(4)” Tetapi ketika sadar seluruh tubuhnya terasa sakit dan linu-linu. Dari selengkanganya keluar darah. Seluruh pakaianya terbuka (hlm. 174)”.
Berdasarkan kutipan (4) di atas, keadaan yang tidak seimbang dan posisi
Lurah Koco yang kuat, membuat Rusminah tidak mampu melawan paksaan Lurah
Koco sebagai pelaku pelecehan seksual dalam bentuk pemerkosaan. Dalam kutipan di
atas juga terlihat adanya dampak pemerkosaan yang dilakukan Lurah Koco yaitu
hilangnya dan rusaknya keperawanan Rusminah. Mengetahui bahwa dirinya telah
diperkosa oleh Lurah Koco, ia pun berinisiatif mencari adiknya yaitu Rusmini.
Keadaan yang sama pun ia lihat, bahwa tidak jauh berbeda dengan nasib yang
28
menimpanya. Rusmini juga diperkosa sama seperti halnya Lurah koco memperkosa
Rusminah. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(5)” Gadis itu terkejut, seluruh pakaian adiknya terkoyak-koyak dan dari selelengkangnya juga keluar darah (hlm.174)”.
Keberadaan Rusminah sebagai anak buruh tani, membawa ia harus
diperlakukan semena-mena oleh Lurah Koco. Berawal dari keingginan lurah Koco
untuk menikahi Rusminah itulah awal peristiwa permasalahan dimulai. Mengetahui
bahwa Lurah Koco sudah memiliki istri dan anak, ditambah ia mempunyai beberapa
gendaan, menjadikan satu alasan mengapa Rusminah menolak keinginannya. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(6)” Saya tidak mau, pak. Istri Pak Lurah sudah dua dan memiliki gendaan di mana-mana. Saya tidak mau menjadi istri ketiga Pak Lurah (hlm. 172)”.
Selain itu, kekuasaan dan otoritas Lurah Koco sebagai seorang kepala desa, ia
gunakan juga untuk memprovokasi masyarakat, bahwa orang tua Rusminah adalah
seorang dukun santet. Karena peristiwa itu pula masyarakat marah, dan membunuh
kedua orang tua Rusminah. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(7)” Mereka membawa obor dari daun kelapa kering yang dibakar. Rusminah dan adiknya Rusmini gemetar dan menangis. Ayah dan Ibunya menenangkan. Di luar orang-orang berteriak sambil mengacungkan tinju. “Bunuh tukang santet!” “Habisi mereka!” “Sudah banyak korban!” “Kita bakar Rumahnya!” “Seraaaaaaaaaaang!” Tiba-tiba pintu depan didobrak sampai hancur. Ayah dan ibunya diseret dan dipukuli ramai-ramai (hlm. 173)”.
29
Berdasarkan kutipan (7), kedudukan kekuasaan dan otoritas Lurah Koco
sebagai kepala desa, dijadikan alat untuk balas dendam terhadap keluarga Rusminah
dengan cara memfitnah. Karena kekecewaan dan sakit hati, ia pun membunuh orang
tua Rusminah.
Meski telah mendapat pelecehan seksual dalam hal ini pemerkosaan,
Rusminah tidak putus asa terhadap nasib yang menimpanya. Semangat dan sikap
balas dendam itulah yang memotivasi Rusminah untuk bangkit dari penderitaanya.
Hal itu ditunjukan Rusminah dengan bekerja sebagai seorang pengamen siter bersama
adiknya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(8)” Di Yogya, Rusminah dan Rusmini tidak hanya menjadi pengamen jalanan, tetapi juga melayani tanggapan orang punya hajat (hlm. 179).
Posisi yang termarginalkan itulah yang membawa ia harus berusaha sendiri
dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai perempuan miskin. Dalam
hubungannya dengan Lurah Koco, peristiwa pemerkosaan yang dialami Rusminah
terdapat bentuk ketidakadilan gender yang berupa marginanlisasi. Hal itu terbukti,
bahwa peristiwa pemerkosaan tersebut telah membawa ia menjadi perempuan miskin
dan tersingkir dari masyarakatnya.
Dampak peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan Lurah Koco terhadap
Rusminah, tidak hanya berakibat pada masalah ekonomi, akan tetapi juga beban
psikologis bagi mereka. Adanya beban ekonomi dan ambisi untuk balas dendam
terhadap Lurah koco, memaksa Rusminah terjun dalam dunia prostitusi, hal tersebut
30
ia lakukan dengan kesadaran tanpa paksaan dari orang lain. Hal itu terlihat dalam
kutipan sebagai berikut.
(9)” Dada Rusminah berdebar-debar. Baru kali ini ia akan melayani seorang lelaki dengan kesadaran penuh (hlm. 183)”.
Karena keadaan itu, Rusminah harus mengalami konflik batin. Satu sisi ia
ingin hidup normal akan tetapi sisi lain ia ingin mendapatkan uang yang banyak
untuk membeli tanah di Desa Kapur. Hal itulah yang memaksa dan memotivasi
Rusminah untuk menjadi orang kaya dan bisa menyingkirkan kekuasaan Lurah
Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(10)” Bukankah sudah menjadi tekad ku untuk mencari uang sebanyak-banyaknya? Bukankah aku harus menjadi orang kaya? Bukankah aku ingin memiliki tanah luas di desa? Akan saya beli semua tanah di Desa Kapur. Akan saya depak Lurah Koco dan orang-orang yang pernah membunuh bapak dan ibuku (hlm. 180)”.
Berdasarkan kutipan (10) di atas, terlihat bahwa keinginan dan motivasi besar
Rusminah untuk balas dendam terhadap Lurah Koco tampak dalam semangatnya.
Sikap diri Rusminah dalam mengambil jalan pintas sebagai seorang pekerja seks
komersial (PSK), semata-mata didasari adanya keinginan ia menguras semua harta
yang dimiliki laki-laki. Karena ambisi dan kemauan menjadi orang kaya, ia pun rela
menjual dirinya demi tercapai keinginanya. Hal itulah yang membuat Rusminah
harus menerima konsekuensi perlakuan laki-laki. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(11)” Rusminah tidak ingin menginggat apa-apa lagi. Ia pasrah, pasrah dan menyerah. Lelaki itu kuda jantan yang liar. Tubuh Rusminah lemas. Perempuan itu tertidur. Ketika bangun hari sudah pagi, Rusminah ingin menangis. Tapi ia sudah tidak lagi bisa
31
menangis. Hanya matanya saja yang berkaca-kaca. Lelaki itu sudah tidak ada, hanya di meja kamar ada amplop tebal (hlm. 182)”.
Kekecewaan dan dendam Rusminah terhadap laki-laki semakin bertambah.
Hal itu tidak hanya akibat dendam terhadap Lurah Koco, akan tetapi juga kekecewaan
terhadap para preman yang telah memperkosa adiknya hingga berakibat sakit jiwa.
Karena keadaan itu pulalah ia terus menjaga tubuhnya agar tetap laku dan banyak
laki-laki yang bisa dikuras uangnya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(12)” Dendam terhadap Rusminah kepada laki-laki semakin menjadi-jadi. Ia berusaha lebih mempercantik diri dan merawat tubuh. Tujuannya hanya satu untuk memikat lelaki dan menguras uangnya (hlm. 191)”.
Hidup bagi Rusminah adalah sebuah pilihan, masih ada hari esok yang lebih
baik. Kekecewaan dan dendam itu ia jadikan motivasi untuk mencapai cita-cita
menghancurkan kekuasaan Lurah Koco. Harga diri bagi Rusminah merupakan suatu
yang berharga, hal Itulah yang mendasari ia ingin balas dendam terhadap Lurah
Koco. Bagi Rusminah balas dendam tidak harus ia buktikan dengan perlawanan fisik
saja, akan tetapi juga perlawanan bahwa ia mampu mengembalikan harga diri
menjadi perempuan sukses.
Kesempatan untuk menjadi perempuan baik-baik itu pun seolah menjadi
kenyataan. Sampai suatu ketika ia berkenalan dengan laki-laki Jepang yang bernama
Saburosan. Ia adalah laki-laki Jepang, ayahnya seorang tentara Jepang bernama
Tetsuso San sedangkan ibunya adalah seorang jughun ianfu asal Semarang yang
bernama Bu Sayem. Terobsesi dengan Bu Sayem yang seorang pemain siter itulah,
32
Saburosan pun sangat tertarik dengan Rusminah. Karena Saburosan itu pulalah awal
kehidupan baru Rusminah dimulai.
Perjuangan Rusminah terjun dalam dunia prostitusi tidak lain didasari adanya
luka batin terhadap Lurah Koco. Semua itu ia lakukan semata-mata demi
mengembalikan harga dirinya yang pernah dirampas oleh Lurah Koco dan
masyarakat Desa Kapur pada umumnya.
2.3 Lurah Koco dengan Rusmini
Pada dasarnya ketidakadilan gender dipandang sebagai sebuah bukti dampak
dari sistem patriarkhi. Bukti adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan kerap
menimbulkkan konflik, baik baik itu secara individu maupun secara kolektif sosial.
Adanya persepsi bahwa kedudukan dan kekuasaan laki-laki menindas perempuan
merupakaan hal yang sah, dipandang sebagai bukti kelemahan sistem patriarkhi yang
selalu merugikan satu pihak dalam hal ini perempuan.
Upaya perlawanan terhadap ketidakadilan gender, pada dasarnya juga sangat
dipengarui oleh keadaan sistem sosial masyarakat setempat. Sementara itu
perlawanan akan dominasi laki-laki terhadap perempuan, cenderung dilakukan secara
rasionalitas dan kesadaran dan sikap kritis. Begitu juga halnya yang dialami oleh
Rusmini.
Sosok perempuan yang kedua ini adalah Rusmini, ia adalah saudara kandung
Rusminah. Seperti halnya Rusminah, Rusmini dilahirkan dan dibesarkan dalam
masyarakat tradisional dengan sistem patriarkhi yang sama. Meskipun lahir dari
33
keluarga yang sama, tidaklah membuat persamaan karakter dan sifat antara keduanya
berbeda.
Sosok Rusmini adalah pribadi yang rapuh. Meskipun demikian ia juga
mengalami peristiwa yang sama seperti halnya Rusminah. Seperti yang dialami
Rusminah, Rusmini adalah korban kebejatan dan kekuasaan Lurah Koco. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(13)” Gadis itu terkejut, seluruh pakaian adiknya terkoyak-koyak dan dari selengkanganya juga keluar darah. Rupanya setelah memperkosa dirinya, Lurah Koco memperkosa adiknya (hlm. 174)”.
Kutipan (13) di atas menunjukan bahwa Rusmini adalah sosok perempuan
yang masih perawan (virgin). Karena pemerkosaan itu ia harus kehilangan satu
barang yang paling berharga yaitu keperawanan. Peristiwa pemerkosaan yang
dilakukan Lurah Koco terhadap Rusmini, merupakan bukti bahwa sistem relasi dalam
masyarakat Desa Kapur masih timpang yaitu adanya sistem kekuasaan sepihak dan
dominasi patriarkhi yang membawa dampak pada perspektif laki-laki memandang
perempuan sebagai objek seksualnya.
Secara umum, pribadi Rusmini, adalah sosok perempuan lemah. Tidak seperti
halnya Rusminah yang berontak dan tidak bisa menerima semua peristiwa
pemerkosaan. Keadaan Rusmini yang rapuh dan lemah, memaksa ia harus menjalani
hidupnya dengan beban psikologis. Sikap pasrah Rusmini terhadap nasib yang
menimpanya tersebut menjadikan ia bisa menerima keadaan, dan tidak menaruh
dendam terhadap Lurah Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
34
(14)” Biarlah semuanya berlalu, Mbak. Barangkali semua itu sudah menjadi suratan nasip kita. Kita perlu mensyukuri apa yang kita terima sekarang (hlm. 95)”.
Kekerasan dan dominasi laki-laki dalam sistem sosial masih saja dialami
Rusmini. Hal itu terbukti ketika ia mengalami pelecehan seksul yang kedua kali.
Peristiwa itu terjadi ketika beberapa preman melakukan pelecehan seksual yang
berupa pemerkosaan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(15)” Rusminah terkejut ketika malam itu ia pulang dari hotel. didapatinya orang-orang berkumpul di rumahnya. Terdengar suara tanggis histeris Rumini adiknya. Rusminah menerobos masuk dan menyibak kerumunan orang-orang itu. Beberapa orang memeluk Rusmini yang terus menangis histeris. ”Ada apa. Ada apa ini’? Ia lihat kain dan pakaian Rusmini koyak-koyak, Rusminah paham apa yang terjadi (hlm. 190)”.
Dampak langsung yang di hadapi Rusmini setelah peristiwa pemerkosaan
tersebut adalah hilangnya kepercayaan dan harga diri sebagai seorang perempuan.
Beban mental dan tekanan batin Rusmini sebagai korban pelecehan seksual sangat
terlihat ketika ia mengalami ganguan sakit jiwa. Hal itu tampak dalam kutipan
sebagai berikut.
(16)” setelah perkosaan itu Rusmini shock berat dan akhirnya di bawa kerumah sakit jiwa (hlm. 191)”.
Berdasarkan kitipan (16) di atas, merupakan bukti akibat dari adanya
pelecehan seksual dilakukan laki-laki terhadap Rusmini. Beban psikologis dan beban
mental merupakan dampak nyata dari peristiwa pelecehan seksual yang membuat
Rusmini mengalami gangguan jiwa. Dengan kata lain, tindakan pelecehan seksual
35
dan pemerkosaan merupakan dampak dari ketidakadilan gender yang
termanifestasikan melalui sistem patriarkhi .
Lebih jauh dapat dilihat bahwa relasi gender antara Lurah Koco dengan
Rumani, muncul dari adanya persepsi Lurah Koco dalam memandang Rumani
sebagai objek seksualnya, hal itu juga didukung oleh kekuasaan ia sebagai seorang
kepala desa yang mempunyai otoritas dan kekuasaan penuh dalam masyarakat Desa
Kapur.
2.4 Lurah Koco dengan Perempuan-Perempuan Desa Kapur
Pada dasarnya hubungan sosial dalam masyarakat Desa Kapur dibentuk
dalam beberapa dusun. Tiap dusun dalam pemerintahan Desa Kapur terdapat kepala
dusun dan dipimpin oleh kepala desa sebagai tingkat paling atas dalam sistem
pemerintahan. Lurah Koco sebagai satu-satunya orang berkuasa dalam masyarakat
Desa Kapur, memiliki kekuasaan dan kedudukan paling tinggi dalam sistem sosial
tersebut.
Keadaan masyarakat desa yang miskin dan termarginal, membentuk
masyarakat sangat patuh dan tunduk terhadap keputusan Lurah Koco. Karena
kekuasaan dan kedudukan Lurah Koco itu pula, ia selalu memaksa para perempuan
desa untuk melayani kebutuhan seksnya. Begitu juga halnya yang dialami Yu Sumi.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(17)” wes to nduk, turuti saja keinginan Pak Lurah. Kita ini kawulonya Pak Lurah. sebagai kawula kita memang tidak punya hak untuk menolak. sebab kalau kamu tetap keras kepala, malapetaka akan menimpa kita.”
36
” Aku emoh, Mbok. Enak saja semua perempuan harus menuruti nafsu bejatnya (hlm. 37)”.
Berdasarkan kutipan (17) di atas terlihat adanya sikap Yu Sumi yang
memandang bahwa kehormatan dan harga diri merupakan suatu yang berharga.
Meski pun demikian, tidak semua para perempuan menganggap bahwa kehormatan
dan harga diri itu sangat penting. Karena kebodohan dan kemiskinan itu pulalah
banyak para perempuan mau dijadikan gendaan Lurah Koco, hal itu semata-mata
mereka lakukan karena faktor ekonomi. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai
berikut.
(18)” Atase meng tukang siter saja berani menolak Pak Lurah. Apa tidak kebangeten itu (hlm. 36)”.
Sementara bagi Yu Sumi, harga diri dan kehormatan merupakan suatu yang
sangat berarti. Kedudukan dan setatus sosial yang rendah, bukanlah dijadikan alasan
bahwa kehormatan bisa ditukar dengan materi. Karena sikap itu, ia mau
mengorbankan dirinya untuk melindungi harga diri dan kehormatan yang ia miliki.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(19)” ................Tapi berbeda dengan perempuan lainya, ia berani menolak Lurah Koco, bahkan ia pernah memukul lelaki itu dengan tangkai cangkul ketika Lurah Koco mau memperkosanya. Sejak peristiwa itu Yu Sumi selalu menyelipkan pisau di pinggangnya. itulah yang membuat Lurah Koco tidak berkutik. Setiap kali ia berusaha mendekati Sumi, gadis itu mengacungkan belati (hlm. 37)”.
Konsep harga diri dan kehormatan bagi Yu Sumi sangatlah berbeda dengan
konsep yang dimiliki perempuan pada umumnya. Ia menganggap bahwa perempuan
37
yang menjual kehormatanya, sama saja memandang dirinya sendiri sebagai barang.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(20)” ...........Kehormatan kok dijual. meskipun saya hanya tukang siter, saya tidak lenjeh, geleman. perempuan kalo sudah mau menjual kehormatanya, memandang dirinya sendiri seperti barang. Namanya barang, kalau pemakainya sudah bosan ya dibuang. Diri sendiri kok dihargai murah. Kalo perempuan sudah menganggap dirinya murah, perempuan melayani laki-laki dasarnya harus suka sama suka (hlm. 147)”.
Sikap sakit hati para perempuan desa terhadap sosok Lurah Koco sangatlah
dirasakan. Begitu juga halnya yang dirasakan oleh Mbok Karto, orang tua Yu Sumi.
Kekecewaan tersebut berawal ketika Lurah Koco mengusir Yu Sumi dari Desa
Kapur, sebagai alasan bahwa Yu Sumi tidak mau melayani nafsu seks Lurah Koco.
Di mata Mbok Karto ia beranggapan bahwa kekuasaan dan kedudukan Lurah Koco
tidaklah bisa menyamai kekuasaan Tuhan. Falsafah Jawa yang ia miliki tersebut
sangat jelas. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(21)” ............Kalo Lorah Koco mau mengusir saya , usir! Lurah Koco, Carik Dargo dan sampeyan dan lain-lain itu tinggal thek prel, seperti dahan kering yang jatuh ditiup angin. orang kok mau menyamai Gusti Allah, sing gawe urip. Pak bayan sampeyan itu menungsa seperti saya ini. Sampeyan tidak wenang menentukan nasib orang lain. Nanti gusti Allah marah kepada sampeyan. Bisa saja saya menerima perlakuan sampeyan. Tapi Gusti Allah tidak terima. Karena Gusti Allah yang menciptakan saya. Gusti Allah tidak terima kalo ciptaanya teraniaya oleh orang lain (hlm. 156)”.
Berbeda dengan halnya yang dilakukan oleh Yu Ginah. Karena kemiskinan
dan beban ekonomi, ia mau menyerahkan tubuhnya kepada Lurah Koco. Himpitan
ekonomi dan setatus sosial yang miskin telah memaksa ia menyerahkan tubuhnya
untuk ditukar dengan materi. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
38
(22)” Yu Ginah tertawa genit. Di cubitnya lengan Pak Lurah, kemudian dijatuhkan Tubuhnya dalam pelukan lelaki itu (hlm. 35)”.
Bagi Yu Ginah, sikapnya terhadap Lurah Koco semata-mata bukanlah sebuah
penghargaan terhadap dirinya, melainkan hanyalah sebuah cara agar ia bisa
memerasnya. Meskipun demikian, karena keadaan ekonomi pulalah ia mau
menyerahkan dirinya untuk ditukar dengan materi. Tidak Hanya itu saja, karena
beban ekonomi pula Yu Ginah menjual Surti anak perawan satu-satunya kepada
Lurah Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(23)” Yu Ginah tersenyum manja ketika Lurah Koco memasuki warung. ....”mana Surti Yu?” ” Oh, sekarang maunya Surti, to? sudah bosan dengan yang tua? ” Ya tidak begitu Yu. apa tidak boleh saya tanya anakmu?” ” Boleh Pak Lurah. lebih dari tanya pun boleh.” ” Jadi yang tua tidak marah, to. kalo saya mencari yang muda?” ” Yang muda masih segar. yaaaaaaa asalkan............” ” Asalkan apa?” ” Kelapa muda lebih mahal dari kelapa tua, Pak Lurah ” Edan kamu Yu. Saya tahu maksud kamu. Tapi jangan khawatir Yu
saya suka kedua-duanya ( hlm. 34)”.
Kebejatan dan rusaknya moral Lurah Koco terhadap para perempuan desa
seolah di tiru oleh aparat desa lainya. Seperti halnya Bayan Sardi. Karena kekuasaan
sebagai seorang bayan, ia juga kerap memaksa para perempuan desa untuk melayani
kebutuhan seksnya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(24)”Ndak usah takut Munah. mula-mula memang begitu. Takut, khawatir, tidak sampe hati. Itu karena kamu belum mencobanya. sekali kamu mencoba akan ketagihan, dan setiap malam kamu akan menunggu aku mengetuk pintu (hlm. 75)”.
(25)” Munah duduk di pinggir tempat tidur dekat Bayan Sardi, serta
merta Bayan Sardi memeluknya. Munah mencoba memberontak,
39
tetapi Bayan Sardi tahu pembrontakan itu lemah sekali, lelaki itu terlau berpengalaman menghadapi penolakan yang hanya setengah hati seperti itu. Penolakan basa-basi biar tidak dikatakan perempuan gatal. Namun justru penolakan setengah-setengah itu membangkitkan kelelakian Bayan Sardi. Maka dipeluknya dengan erat perempuan itu, dan seperti dugaannya Munah tidak berontak lagi. Ia justru mengglendotkan tubuhnya pada lelaki yang sebenarnya yang pantas menjadi ayahnya itu..........dan kejadianya begitu cepat. dan ketika sadar ia terbaring di sisi Bayan Sardi dengan pakaian tidak semestinya dan rambut awut-awutan. Tubuhnya penat setelah merasakan kepuasan yang luar biasa (hlm. 76-77)”.
Keadaan ekonomi yang miskin ditambah dengan kepergian suaminya ke
Jakarta itulah satu alasan menggapa Munah mau menyerahkan tubuhnya kepada
Bayan Sardi. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(26)”kasihan kang marto, Pak ” ” Apa kamu kira Marto juga tidak melakukan hal seperti ini? lelaki
Munah, lelaki. Mungkin Si Marto malahan sudah punya perempuan lain, punya gendaan atau istri lagi........
Munah berhenti menangis. Memang untuk apa menangis? toh ia sudah melayani Bayan Sardi dengan perasaan tidak terlalu terpaksa. dan ketika Bayan Sardi pamitan, Munah mengantarkan sampai di pintu belakang (hlm.77)”.
Kondisi dan keadaan masyarakat yang marginal dan di tambah dengan sistem
patriarkhi menjadi faktor mempengaruhinya keadaan Desa Kapur sangat terbelakang.
Hal itu pula yang mendorong adanya dominasi, pelecehan dan kekarasan terhadap
perempuan Desa Kapur. Meskipun demikian, adanya perlawanan dan pemberontakan
terhadap sistem patriarkhi sangat terlihat dalam sikap para perempuan yang menolak
penindasan yang dilakukan oleh Lurah Koco dan aparatnya.
40
2.5 Saburosan dengan Rusminah
Pada dasarnya relasi hubungan antara tokoh Saburosan dengan Rusminah
terjalin melalui profesi Rusminah sebagai seorang pekerja seks komersal (PSK).
Keadaan dan posisi ia sebagai seorang pelacur merupakan akibat dan dampak sosial
dari kekuasaan Lurah Koco. Sikap ia yang termarginalkan dalam masyarakat,
membawa ia berambisi ingin mengembalikan harga diri yang pernah dirampas oleh
Lurah Koco dengan jalan menjadi perempuan sukses.
Luka batin dan motivasi balas dendam itulah satu alasan Rusminah terjun
dalam dunia prostitusi. Pekerja seks komersiel (PSK) bagi Rusminah merupakan satu
lebel yang harus ia terima dari profesi yang ia jalani. Baginya profesi tersebut
merupakan jalan pintas dari sebuah pelarian sakit hati dari semua laki-laki yang
pernah menyakitnya. Himpitan ekonomi dan motivasi balas dendam terhadap Lurah
Koco itulah yang menjadi konflik batin bagi rusminah yang sangat sulit untuk
disembuhkan.
Pengalaman dan kenyataan pahit sebagai perempuan panggilan bagi
Rusminah adalah sebuah resiko, meskipun demikian harapan untuk menjadi
perempuan baik itu pun datang. Berawal dari perkenalanya dengan laki-laki Jepang
bernama Saburosan itulah kehidupan rumanti berubah.
Saburosan adalah sosok laki-laki yang berasal dari Jepang, ia adalah anak dari
seorang tentara Jepang. Ayahnya bernama Tetsu Sosan sedangkan ibunya adalah
seorang jughun ianfu asal Semarang yang bernama Bu Sayem. Latar belakang masa
lalu itulah yang yang membuat sikap Saburosan sangat menghormati Rusminah
41
sebagai seorang PSK. Tidak seperti halnya perempuan-perempuan lain pada waktu
itu, Bu Sayem mendapatkan perlakuan istimewa dari Tetsu sosan. Hal itu terlihat
dalam kutipan sebagai berikut.
(27)” Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang harus melayani serdadu-serdadu itu, Sayem hanya melayani Tetsuo san. Setiap malam ia harus main siter dan melantunkan tembang (hlm. 201)”.
Bagi Saburosan sosok Rusminah adalah pribadi yang mirip ibunya. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(28)” Yu Rus tidak jelek. Yu Rus mirip ibu saya. Ibu saya juga cantik lho.”
” Seperti saya ?” ” Ibu saya orang Jawa Yu, dari Semarang”(hlm. 198)”.
Kehadiran Saburosan dalam kehidupan Rusminah merupakan awal perubahan
sikap akan pribadi Rusminah sebagai seorang pekerja seks komersiel (PSK). Tidak
seperti halnya laki-laki lain yang menganggap bahwa tubuh Rusminah adalah barang
yang bisa dihargai dengan uang, Saburosan justru menganggap bahwa sosok
Rusminah adalah gambaran Ibunya. Karena sikapnya tersebut ia tidak
memperlakukan Rusminah sebagai seorang PSK. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(29)” Di dalam kamar itu Saburosan hanya mencium kedua pipinya (hlm, 199)”.
Hubungan batin Saburusan dengan ibunya sebagai keturunan orang jawa
dijadikan alasan mengapa ia tidak mau tidur dengan Rusminah. Hal inilah yang
42
mendorong Saburosan sangat menghormati Rusminah. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(30)” Sebagai laki-laki saya ini sama dengan lelaki lain. Tapi pantang bagi saya tidur dengan perempuan Jawa. Setiap ada keinginan untuk itu, wajah ibu saya selalu membayang (hlm. 203)”.
Karena sikap itu pulalah ia mempunyai prinsip bahwa ia tidak akan menikah
dengan perempuan jawa. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(31)” Tidak mungkin Yu Rus, tidak mungkin. Memang saya belum punya istri. Tetapi kalo saya mencari istri tidak mungkin saya memilih wanita Jawa (hlm. 205)“.
Melihat dan mengetahui sikap Saburosan yang ramah dan bisa menghargai
profesinya tersebut, terjalin hubungan istimewa antara Saburosan dengan Rusminah.
Hal inilah yang melahirkan hubungan mereka semakin dekat. Hal itu terlihat dalam
kutipan sebagai berikut.
(32)“ Lama-lama hubungan mereka seperti ibu dan anak atau kakak dan adik sekalipun usia mereka sebenarnya hampir sama (hlm. 204)“.
Merasa terjalin hubungan mereka sebagai seorang kakak dan adik, Saburosan
pun berinisiatif mengubah dan mengajak Rusminah untuk menjalani hidupnya
sebagai perempuan baik-baik. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(33)“ Putuskan berhenti sekarang Yu. Yu Rus masih muda. Begini Yu saya punya usul bagaimana kalo sampeyan mulai hidup baru dengan mendirikan usaha (hlm. 204)“.
Adanya pandangan dan sikap diri Rusminah yang tidak mampu, menjadikan
satu alasan Rusminah sulit untuk kembali menjadi perempuan baik-baik. Karena
43
relasi hubungna itu pulalah ia harus menerima dan membuka perasaanya terhadap
laki-laki. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(34)“ Saya ini orang bodoh Saburosan.“ Jangan khawatir Yu, kan ada saya. Selama saya di Indonesia saya akan sering-sering ke Yogya.“ ”apakah saya bisa ?“ ” Mesti bisa. Yu Rus sebenarnya tidak bodoh. Orang yang tidak sekolah belum tentu bodoh (hlm. 205)“.
Melalui relasi dengan Saburosan, Rusminah hadir sebagai tokoh yang
mempunyai karakter dan kepribadian berbeda. Semua itu tercipta karena adanya
jalinan kerjasama yang membawa pada perubahan dirinya. Ada pun bagi Rusminah
kehadiran Saburosan merupakan kekuatan yang mampu menumbuhkan rasa percaya
diri. Sosok perubahan diri Rusminah dari perempuan lemah menjadi perempuan
sukses, merupakan bukti kongkret bahwa balas dendam dan ambisi merupakan
motivasi yang mampu mengubah segalanya.
Selain itu hadirnya Saburosan dalam diri Rusminah juga membuktikan adanya
peran gender bahwa laki-laki diposisikan sebagai kunci permasalahan. Sumber
permasalahan yang dihadapi Rusminah berakar dari laki-laki dan diakhiri oleh laki-
laki. Bagaimana pun juga Semua itu membawa pada anggapan adanya sikap
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki.
Lebih lanjut relasi gender di atas dipandang sebagai hubungan laki-laki dan
perempuan yang saling memberikan peran terhadap masing-masing dan
mempengarui sikap diantara keduanya. Selain itu adanya pandangan bahwa
kedudukan dan peran laki-laki yang dominan memberikan pemahaman bahwa pada
44
dasarnya laki-laki adalah objek yang mampu memberikan solusi dalam setiap konflik
yang dialami oleh perempuan.
Dalam kaitan relasi gender antara Saburosan dan Rusminah, terdapat unsur
ketimpangan sosial antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dalam penyelesaian
konflik. Rusminah, diposisikan sebagai kaum marginal sedangkan Saburosan
mempunyai peran dominan yang berperan sebagai simbol kekuasaan positip. Konsep
inilah yang mengubah pandangan Rusminah sebagai pekerja seks komersial (PSK)
mau mengubah jalan hidupanya atas kuasa Saburosan.
Sementara pandangan dan konsep hidup tradisional bagi Rusminah, bukan
menjadi alasan ia bersikap secara tradisional pula. Adanya keinginan besar untuk
mengubah hidup menjadi perempuan sukses, menjadi alasan ia mau menerima
tawaran Saburosan untuk membuka usaha sendiri. Sementara itu adanya dorongan
dari luar dan kemauan untuk mengubah hidup, mendorong ia meninggalkan
profesinya sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK). Hal itu terlihat dalam
kutipan sebagai berikut.
(35)“ Usaha kecil-kecilan yang didirikan Rusminah (Rumanti) dengan bimbingan Saburo-san terus berkembang. Akhirnya ia bisa mendirikan perusahaan perkebunan yang besar (hlm, 205)“.
Berdasarkan kutipan (35) di atas menunjukan, kesuksesan yang diraih
Rusminah merupakan hasil campur tangan laki-laki dalam hal ini Saburosan. Peran
Saburosan dalam menggembalikan identitas dirinya dari perempuan marginal
menjadi perempuan sukses, tidak lain karena latar belakang ibunya sebagai keturunan
orang jawa.
45
Sosok Rusminah sebagai pribadi yang tegar, ingin membuktikan dan
menunjukan kepada masyarakat Desa kapur, bahwa ia mampu mengembalikan harga
diri yang pernah dirampas oleh Lurah Koco dan masyarakat pada umumnya. Selain
itu, karena adanya hubungan relasi gender diatara keduanya, telah membawa
perubahan dalam diri Rusminah. Kesabaran dan keuletan Rusminah dalam mengolah
usahanya membawa ia menduduki sebagai kepala perusahan. Karena setatus dan
kedudukan itu pula, ia berharap mampu mengembalikan harga diri yang pernah
dirampas oleh Lurah Koco
Bukti perlawanan akan dominasi dan kekuasaan Lurah Koco itu ia buktikan
dengan cara ia mampu membeli tanah di Desa Kapur. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(36)“ Kalo kalian memang tidak bisa membebaskan tanah itu, saya sendiri akan turun tangan. Tapi inggat, besok pagi kalian sudah harus hengkang dari kantor ini. Jangan khawatir anda-anda tidak pergi dengan cuma-cuma (Hlm,3)“.
Kekuasaan Rusminah sebagai pemimpin perusahaan merupakan bukti
kemenangan ia melawan ketertindasan dan kebobrokan sistem sosial yang ada
dimasyarakat. Bahwa perlawanan ia sebagai perempuan lemah, terlihat dari usaha ia
mampu mematahkan dominasi dan kekuasaan tunggal yang ada di dalam masyarakat
Desa Kapur tersebut.
Perlawanan akan dominasi laki-laki itulah gambaran tokoh Rusminah. Ia
harus berjuang dan melawan penindasan yang dilakukan oleh sistem yang berlaku,
baik itu oleh Lurah Koco maupun masyarakat Desa Kapur. Karena sikap yang ia
46
miliki itu, ia bisa mengembalikan harga diri yang pernah dirampas oleh Lurah Koco.
Bagi Rusminah sistem patriarkhi tersebut telah merampas semua hak yang ia miliki.
Karena sistem patriarkhi itu pula ia ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa
tidak selamanya perempuan lemah dijadikan kurban oleh sistem yang berlaku.
Ketidakadilan gender dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan
bentuk dari akibat sistem patriarkhi, bahwa karena sistem tersebut Rusminah
termotivasi untuk mengembalikan hak yang dirampas oleh laki-laki dalam hal ini
Lurah Koco dan masyarakat Desa Kapur pada umumnya. Bagi Rusminah,
penguasaan dan pengembalian hak yang dirampas laki-laki dalam ruang publik
merupakan sesuatu yang harus dihargai, dan bukan dianggap sebagai sesuatu luar
biasa dan mengancam kedudukan atau posisi laki-laki.
Meskipun demikian, kekuasaan dan dominasi laki-laki atau sistem patriarkhi
yang ada dimasyarakat, kerap disahkan oleh sistem sosial yang ada. Hal itu memaksa
kekuasaan laki-laki merujuk pada kekerasan terhadap perempuan. Sikap kekuasaan
yang berujung pada kekerasan perempuan tersebut pada dasarnya digunakan laki-laki
untuk mengontrol dan menundukkan perempuan. Selain itu, kekerasan juga dianggap
sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Dalam kaitannya dengan sikap Rusminah
di atas, terdapat gambaran sikap perlawanan yang dipicu dari penindasan laki-laki
terhadap perempuan. Sementara sistem patriarkhi juga telah membentuk laki-laki
sebagai peran dominan dalam masyarakat.
Pada kenyataanya bahwa komitmen Rusminah sebagai perempuan tertindas
didasari adanya usaha mengubah hidupnya menjadi perempuan yang lebih baik.
47
Selain itu, adanya usaha pembebasan dari tekanan laki-laki, dijadikan pola
pembrontakan Rusminah melawan sistem patriarkhi. Adanya sikap dan hubungan
antar tokoh di atas, terlihat adanya perlawanan yang disebabkan persosalan gender.
Bahwa pada dasarnya sikap laki-laki yang dominan telah mengesampingkan fungsi
dan peran gender yang membuat dan mengakibatkan peran dan kekudukan
perempuan tersingkir.
48
2.6 Rangkuman
Dari pembahasan bab dua di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
relasi gender terbentuk karena adanya oposisi jenis kelamin yang melahirkan
prasangka gender. Selain itu, adanya tindakan represi laki-laki (Lurah Koco dan
Bayan Sardi) terhadap perempuan, menjadikan sistem kontrol patriarkhi berupaya
menegaskan kedudukan yang tidak setara antara dua jenis kelamin. Karena relasi
gender yang timpang itu pulalah, terjadi ketidakadilan gender yang dialami oleh
perempuan.
Ada pun bentuk-bentuk relasi gender yang ada adalah, adanya relasi Lurah
Koco dengan Rusminah, Lurah koco dengan Rusmini, Lurah Koco dengan
perempuan-perempuan Desa Kapur dan hubungan relasi antara Saburosan dengan
Rusminah. Sementara relasi gender yang terbentuk berdasarkan sistem patriarkhi
juga mendorong munculnya superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan dalam
masyarakat Desa Kapur.
Begitu juga halnya bahwa citra inferioritas yang disandang para tokoh
perempuan dalam novel Bibir Merah, menyiratkan ketertindasan perempuan secara
mental, yang muncul sebagai sebuah bentuk kekalahan perempuan dalam
hubungannya dengan dunia patriarkhi.
Sebagai lawan jenis Lurah Koco, perempuan-perempuan Desa Kapur
merupakan objek eksploitasi yang tidak hanya dari sisi seksual, tetapi juga dari sisi
stereotip perempuan sebagai mahkluk yang lemah. Meskipun dalam bentuk yang
berbeda, Rusminah, Rusmini, Mbok Karto, Yu Sumi, Yu Ginah dan Munah tetap
49
kalah dalam hubungannya dengan dunia patriarkhi yang melingkupi kehidupan dan
fungsi sosial mereka. Meskipun demikian, sikap dan perlawanan terhadap sistem
patriarkhi terlihat dari sikap dan perbuatan tokoh tersebut melawan otoritas Lurah
Koco.
Terkait dengan ideologi relasi gender di atas, muncul mekanisme kontrol
terhadap seksualitas perempuan, bahwa tubuh perempuan sebagai objek yang pantas
dinikmati oleh laki-laki. Selain itu, adanya cara pandang laki-laki dalam
memposisikan perempuan sebagai patner lawan jenis, telah disampingkan dan
disimpangkan sebagai tujuan kontrol eksploitasi seksual laki-laki.
Dari segi kekuasaan, dominasi patriarkhi di atas telah melahirkan kekerasan
yang berupa kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Ada pun bentuk kekerasan
tersebut berdampak pada reaksi perlawanan yang dilakukan perempuan yang berupa
semangat sikap balas dendam. Meskipun demikian, hal yang menarik dari uraian di
atas ialah bahwa adanya fakta banyaknya reaksi korban yang muncul dalam bentuk
menghindar terhadap kekerasan yang terjadi. Hal itu terjadi karena banyaknya korban
yang merespon tindakan kekerasan terhadap dirinya dengan cara diam. Korban tidak
bisa menghindar dari kekerasan yang menimpa dirinya, dan tidak bisa pula melawan
pelaku. Respon yang kemudian dimunculkan korban ialah sikap pasif dalam bentuk
diam.
Untuk itu dalam bab III akan mengkaji secara lebih mendalam mengenai
ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Dari analisis ini akan terungkap
bagaimana ketidakadilan gender dan sikap perempuan dapat terjadi.
50
Bab III
KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN 3.1 Pengantar
Pada bab III ini peneliti menganalisis ketidakadilan gender dan sikap
perempuan dengan menggunakan tinjauan sastra feminis, yaitu pendekatan tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Peneliti menggunakan teori sastra feminis karena sebagian besar tokoh perempuan
dalam cerita mengalami ketidakadilan gender yang melahirkan sikap perlawanan
terhadap sistem patriarkhi. Dalam bab ini akan dikemukakan ketidakadilan gender
dan sikap perempuan yang dialami perempuan-perempuan Desa Kapur.
3.2 Ketidakadilan Gender
Lahirnya dominasi laki-laki terhadap perempuan, bersumber dari adanya
sistem patriarkhi yang mengakar dalam nilai sosial budaya masyarakat. Bahwa karena
sistem patriarkhi, muncul adanya konstruksi sosial laki-laki berkuasa penuh
mengendalikan perempuan. Ada pun dalam analisis ketidakadilan gender dan sikap
perempuan dalam novel Bibir Merah ditemukan tiga manifestasi ketidakadilan
gender yakni subordinasi, steriotipe dan kekerasan terhadap perempuan. Analisis
manifestasi ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel tersebut akan dianalisis
sebagai berikut.
51
3.2.1 Subordinasi terhadap Perempuan
Pada bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini, perempuan telah dianggap
sebagai kaum yang tidak penting dan berada dalam dominasi laki-laki. Pada kasus
tersubordinasinya perempuan dalam kehidupan laki-laki ini, kedudukan perempuan
dianggap tidak penting dan selalu dilemahkan. Pandangan ini bagi perempuan
menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok bayangan
dan tidak berani memperlihatkan kemampuanya sebagai pribadi. Bagi laki-laki,
pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan perempuan
muncul sebagai pribadi yang utuh (Murniati,2004: XXII). Sistem ini tidak hanya
terjadi pada wanita yang miskin, akan tetapi juga perempuan yang tegar, kaya, dan
intelek.
Hal tersebut terlihat dalam sosok tokoh Yu Sumi dan Mbok Karto dalam
novel Bibir Merah. Karena kedudukan dan status sosialnya yang rendah, ia selalu
dipandang sebagai perempuan yang tidak penting. Karena status dan kedudukan itu
pula, ia sering mendapat tekanan dan paksaan untuk melayani kebutuhan seks Lurah
Koco. Sikap dan kebijakan Lurah Koco yang menganggap bahwa perempuan bisa
dieksploitasi secara seksual, mendorong Yu Sumi melakukan perlawanan. Ia tidak
mau Lurah Koco memandang rendah dirinya hanya melihat dari status sosialnya saja.
Karena sikap Pak Koco yang selalu merendahkan dirinya, Yu Sumi pun selalu
melawan, baik secara fisik maupun dengan kata-kata. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
52
(37)Tapi berbeda dengan perempuan lainnya, ia berani menolak Lurah Koco. Bahkan ia pernah memukul lelaki itu dengan tangkai cangkul ketika Lurah Koco mau memperkosanya. Sejak peristiwa itu Yu Sumi selalu menyelipkan pisau di pinggangnya ( hlm. 90)”.
(38) “Tidak sudi, Nyah. Kehormatan kok dijual. Meskipun saya hanya
tukang siter, saya tidak lenjeh, geleman. Perempuan kalo sudah mau menjual kehormatannya, memandang dirinya sendiri seperti barang. Namanya barang, kalo pemakainya sudah bosan ya dibuang. Diri kok dihargai murah. Kalo perempuan sudah menganggap dirinya murah, orang lain akan menghargainya lebih murah. Perempuan melayani laki-laki dasarnya harus suka sama suka. Tidak ada paksaan” (hlm. 147)”.
Dari kutipan (37) dan (38) di atas dapat diketahui bahwa Yu Sumi tidak
menerima pandangan atau pola pikir yang menempatkan seorang perempuan berada
di bawah laki-laki. Ia juga tidak menghendaki adanya sistem dominasi dan
superioritas laki-laki yang menempatkan perempuan harus dikontrol dan dikuasai
laki-laki. Hal yang dijunjung tinggi dan diharapkan Yu Sumi dalam masyarakat
adalah adanya penghargaan dan pengakuan atas diri perempuan yang sederajat bukan
sebagai perempuan yang tersubordinasi.
Dampak langsung yang dihadapi Yu Sumi karena sikap Lurah Koco yang
merendahkan dirinya itu, berakibat pada tersingkirnya ia dari lingkungan sosialnya.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(39)”suara nglangut, sedih derita seorang perempuan tua yang merindukan anak perempuan satu-satunya. Yu Sumi anak perempuanya sudah lima tahun tidak berani lama tinggal di Desa Kapur karena ulah Lurah Koco (hlm. 36)”.
Subordinasi perempuan di atas, pada dasarnya berakar dari serangkaian
hambatan yang berdasarkan adat kebiasaan dan hukum yang membatasi serta
53
keberhasilan perempuan pada apa yang disebut dunia publik. Karena masyarakat
mempunyai keyakinan yang salah bahwa perempuan secara alamiah tidak secerdas
laki-laki. Sebagai akibat dari politik meminggirkan ini, potensi yang sesungguhnya
dari perempuan tidak terpenuhi.
Kasus subordinasi atas diri wanita, tampaknya merupakan satu pola kultural
dan struktural yang tidak dapat dengan mudah dihapus dalam kehidupan. Sistem
struktural dalam masyarakat pada umumnya masih menganggap perempuan berada di
bawah laki-laki. Dengan demikian, kehidupan perempuan pun selalu dikontrol laki-
laki. Untuk dapat lepas dari pola dan sistem tersebut maka diperlukan sikap dan
perjuangan dari pihak kaum wanita dan kaum laki-laki, sebab masalah subordinasi ini
hakikatnya bukan masalah perempuan, tetapi merupakan masalah sosial yang perlu
diperjuangkan bersama.
Subordinasi terhadap perempuan dalam novel Bibir Merah terlihat melalui
tersingkrnya perempuan dan hilangnya pengakuan status perempuan dalam
masyarakat. Selain itu terlihat pula adanya penempatan perempuan lebih rendah dari
pada laki-laki yang dialami oleh tokoh Yu Ginah dan Mbok Karto, membuktikan
masih adanya pengakuan bahwa kedudukan laki-laki (Lurah Koco) masih dominan
sebagai relasi perempuan. Bukti adanya subordinasi terhadap perempuan juga tampak
dalam sikap laki-laki (Lurah Koco) yang selalu mengeksploitasi tubuh perempuan
sebagai objek seksual. Hal itu juga membuktikan bahwa kedudukan dan kekuasaan
mempengarui proses tersubordinasinya perempuan.
54
3.2.2 Steriotipe terhadap Perempuan
Dalam persoalan steriotipe perempuan disini terungkap adanya
kecenderungan perempuan melabelkan diri sebagai perempuan kelas kedua.
Persoalan steriotip perempuan terlihat dari sikap perempuan yang menganggab dan
memandang dirinya sebagai kaum bawahan. Hal itu terlihat ketika perempuan
mempunyai kedudukan lemah dalam setatus sosial, baik dalam keluarga maupun
dalam sistem sosial masyarakat. Lahirnya steriotip perempuan pada dasarnya selalu
bersumber dari bagaimana peran dan posisi perempuan dalam fungsi masyarakat.
Kedudukan perempuan selalu dipandang hanya dari sisi penandaan saja hal itu sangat
memperjelas bahwa steriotip perempuan lebih cenderung menimbulkan ketidakadilan
gender.
Begitu juga halnya dalam novel Bibir Merah, pelabelan dan penandaan
perempuan sebagai pribadi lemah seolah terlihat dalam peran dan kedudukan istri
Bento yang menganggab bahwa melayani atasan merupakan hal yang wajar dalam
hubungan atasan dan Bawahan. Hal itu diawali ketika Bento mengingginkan
kedudukan sebagai seorang bayan, mengantikan Bayan Sardi. Kesempatan
mempunyai kedudukan dan jabatan sebagai seorang Bayan, ternyata harus dibayar
dengan menyerahkan istrinya untuk melayani Lurah Koco. Penyesalan istri bento
terhadap sikap suaminya itu terlihat ketika ia harus melayani Lurah Koco. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(39) Perempuan itu memukul dada suaminya . tanggisanya makin keras. Bento membiarkan saja istrinya memukuli dadanya.
55
Lelaki itu diam terpaku. Nist,nista, memang nista demi kedudukan bayan? Bento menghelus rambut istrinya. (Hlm. 166)
Kejadian dan peristiwa itu seolah telah memukul harga dirinya, meskipun
demikian istri Bentopun seolah menyadari bahwa sebagai istri bawahan ia harus
melayani atasanya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(40) Ia memandang kedatangan Lurah Koco sebagai sesuatu yang sudah jamak istri bawahan melayani atasan suaminya (Hlm167)
Berdasarakan kutipan di atas terlihat adanya sikap istri Bento yang menyerah
dan mengangab tindakkanya merupakan hal yang pantas dalam hubungan atasan dan
bawahan. Hal ini juga menandakan adanya pola pikir istri Bento yang menyadari
bahwa melayani atasan sama ia juga melayani suaminya, karena sikap itu pula ia
mau menerima sikap perlakuan Lurah Koco atasan Bento.
3.2.3 Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan yang di maksud di sini mencakup kekerasan emosional dan
kekerasan seksual yang berupa pemerkosaan Sementara adanya perbedaan gender
dan sosialisasi gender yang amat lama, mengakibatkan kaum perempuan secara fisik
lemah dan laki-laki umumnya lebih kuat. Selain itu dominasi dan kekuasaan laki-laki
merupakan satu faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Mas’ Udi (1997:58) mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah
suatu bentuk ketidakadilan gender atau suatu konsekuensi dari adanya relasi dan
norma sosial. Dalam perspektif gender, kondisi ini kemudian dikaitkan adanya suatu
budaya patriarkhi yang sejak awal sejarah membentuk peradapan manusia, yaitu
56
suatu budaya yang menganggap bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara.
Secara struktural kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi
penundukan yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang
lebih inferior dibandingkan dengan laki-laki, ada pun secara struktural budaya
patriarkhi memberikan legitimasi terhadap keniscayaan kekerasaan terhadap
perempuan. Budaya patriarkhi yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan
tersebut, disebabkan oleh kecenderungan laki-laki dalam menempatkan diri sebagai
kelompok dominan yang mengendalikan seksualitas dan identitas gender perempuan.
Dari bahan penelitian yang ada, novel Bibir Merah lebih banyak menampilkan
kekerasan perempuan dalam bentuk kekerasan seksual. Dalam wilayah relasi antara
pelaku dan korban, kekerasan dalam novel Bibir Merah dibagi menjadi dua yaitu
kekerasan publik dan kekerasan domestik. Kekerasan publik merupakan kekerasan
terhadap perempuan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan atau relasi berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang menjadi
korban tindakannya dengan tidak memperhitungkan ranah terjadinya tindak
kekerasan tersebut. Sedangkan kekerasan domestik merupakan tindak kekerasan yang
terdapat dalam lingkup rumah tangga.
Dalam novel Bibir Merah bentuk kekerasan seksual banyak dialami oleh
perempuan Desa Kapur. Seperti halnya Rusminah dan Rusmini. Kedua perempuan
tersebut mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Lurah Koco. Ia adalah
simbol kekuasaan masyarakat Desa Kapur yang menganggap bahwa dengan
57
kekuasaan ia mampu melakukan keinginannya. Karena kekuasaan dan kedudukannya
itu, ia memperlakukan perempuan dengan sewenang-wenang. Ia menganggap bahwa
semua perempuan cantik yang berada di Desa Kapur berhak untuk dijadikan objek
seksualnya.
Karena sistem patriarkhi itu pula, Lurah Koco selalu menilai perempuan dari
sudut peran dan bentuk fisiknya. Begitu juga halnya yang dilakukan Lurah Koco
ketika bertemu dengan Rusminah. Karena kecantikan dan sensual tubuhnya, ia
berambisi memiliki dan menikmati tubuhnya. Sikap Lurah Koco yang tertarik dengan
tubuh Rusminah tersebut membuat ia selalu memandang bahwa tubuh Rusminah
pantas sebagai objek seksualnya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(41) Setiap kali Lurah Koco memandangnya seluruh bulu-bulu di tubuhnya meregang. Mata Lurah Koco bagaikan mata serigala yang ingin menerkam mangsanya (hlm.172)”.
Begitu juga halnya kekerasan (violence), terjadi ketika Lurah Koco memaksa
Rusminah melayani nafsu seksnya. Bentuk kekerasan seksual tersebut terlihat dalam
kutipan sebagai berikut.
(42) Rusminah dan Rusmini ketakutan. Lelaki itu mendekat langsung menyeret di tempat tidurnya, sementara Rusmini mencoba menghalangi perbuatan lelaki itu. Tetapi lelaki itu dengan leluasa menjamah seluruh tubuhnya dengan sekuat tenaga Rusminah melawan, namun lelaki itu terlalu kuat (hlm.174)”.
Kutipan (42) di atas menunjukan bahwa Lurah Koco memiliki sifat yang
merendahkan perempuan, dan menganggap bahwa perempuan sebagai objek seksual
dan pemuas nafsu. Dengan kekuasaan sebagai seorang lurah ia mempunyai hak untuk
menindas dan memperlakukan perempuan sesuai dengan keinginannya. Dalam
58
kutipan (42) itu pula, terlihat adanya sikap dominasi dan kekuatan laki-laki yang
ingin ditampilkan sebagai upaya menguasai tubuh perempuan. Pemerkosaan yang
dilakukan Lurah koco terhadap Rusminah dan Rusmini didasari adanya kekecewaan
Lurah Koco terhadap Rusminah karena telah menolak untuk dijadikan istrinya.
Sementara itu kekuasaan dan kedudukannya sebagai seorang kepala desa
dijadikan alat untuk menguasai dan menindas Rusminah sebagai perempuan miskin
di Desa Kapur. Sikap represi Lurah Koco itu, terlihat ketika ia melakukan kekerasan
seksual yang berupa pemerkosaan terhadap mereka. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(43) Tapi Rusminah berhasil menarik topeng yang dikenakan lelaki itu. Rusminah terkejut lelaki itu adalah Lurah koco. Karena terbuka Lurah Koco semakin kalap. Rusminah dipukul sampai tidak sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang diperbuat Lurah Koco terhadapnya, tetapi ketika sadar seluruh tubuhnya terasa sakit dan linu. Dari selangkangannya keluar darah. Seluruh pakaiannya terbuka Rusminah bangkit dan tertatih-tatih mendekati Rusmini. Gadis itu terkejut seluruh pakaian adiknya terkoyak-koyak dan dari selangkanganya keluar darah (hlm .174)”.
Berdasarkan kutipan (43) di atas diketahui bahwa Rusminah dan Rusmini
mengalami kekerasan karena sikap Lurah Koco. Perlakuan itu merupakan perkosaan
atas diri Rusminah, karena pada dasarnya perkosaan itu terjadi jika seseorang
melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang
bersangkutan. Tindakan Lurah Koco itu membuktikan bahwa laki-laki telah
menghianati istrinya sendiri. Penyelewengan yang di lakukan oleh Lurah Koco,
59
memperjelas kenyataan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan penyelewengan
dengan berbagai cara.
Selain itu, Lurah Koco yang seharusnya menjaga, melindungi, dan
menyejahterakan warga desanya, justru memperlakukan warganya sebagai objek
seksual dan pemuas nafsu. Ia sebagai laki-laki yang mempunyai kekuasaan, selalu
memposisikan perempuan sebagai pemanis dalam kehidupan. Perempuan hanya bisa
dijadikan objek seksualnya dan diperlakukan seenaknya. Setereotip Lurah Koco,
cenderung tidak bisa menghargai martabat perempuan, dan ia hanya memandang
perempuan dari setatus sosialnya saja.
Berdasarkan hubungan relasi kekerasan, sosok Rusminah dan Rusmini hanya
mengalami kekerasan dalam wilayah publik. Hal itu membuktikan, bahwa pelaku dan
korban tidak memiliki relasi kekerabatan atau perkawinan. Relasi yang ada ketika
peristiwa tersebut terjadi ialah hubungan antara aparat desa dengan warganya.
Sementara dalam kutipan (43) nampak sikap Rusminah dan Rusmini yang tidak bisa
menghindar dari usaha Lurah koco merebut seksualitasnya. Dalam kasus kekerasan
tersebut, terlihat adanya kecenderungan laki-laki melakukan tindakan kekerasan
terhadap perempuan baik fisik maupun psikis yang disebabkan oleh adanya pengaruh
kultur yang menempatkan wanita di bawah dominasi laki-laki.
Fakta lain yang terlihat dalam kekerasan di atas membuktikan adanya sistem
dominasi dan superioritas laki-laki. Adanya anggapan bahwa laki-laki lebih tinggi
dari pada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa
60
perempuan adalah bagian dari milik laki-laki memunculkan ideologi kekerasan laki-
laki terhadap lawan jenisnya dalam hal ini adalah perempuan.
Begitu juga halnya bahwa kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan
Lurah Koco, telah membuat Rusminah dan Rusmini meninggalkan Desa Kapur. Hal
itu ia lakukan semata-mata karena trauma dan takut terhadap sikap Lurah Koco yang
arogan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(44) “ Apa betul kalian, anak keluarga yang dituduh tukang santet itu?” Rusminah dan Rusmini menanggis sesenggrukan.
“wes nduk, wes nduk, dengan tanggis itu saya sudah tahu bahwa dugaan saya benar.” “Dari Wonodadi kalian naik colt ke kabupaten. Di terminal kabupaten banyak bis ke Solo, Semarang, Yogya. Kalian tinggal pilih mau kemana.” “Kami mau ke Jogya saja Bu” (hlm. 178)”.
Berdasarkan kutipan (44) di atas dampak kekerasan yang dialami oleh
Rusminah dan Rusmini berakibat pada termarjinalnya dan tersingkirnya ia dari
linkungan sosialnya, yaitu keluarga dan masyarakat Desa Kapur. Karena kekerasan
itu pula ia juga harus menanggung aib dan trauma terhadap peristiwa pemerkosaan.
Persoalan ketidakadilan gender yang berupa kekerasan terhadap perempuan
dalam novel cenderung berupa kekerasan publik. Kekerasan tersebut terdiri dari
kekerasan seksual dan kekerasan emosional. Ada pun bentuk kekerasan seksual yang
dialami oleh tokoh perempuan adalah berupa pemerkosaan. Sedangkan bentuk
kekerasan emosional, lebih banyak dialami karena adanya persepsi bahwa perempuan
merupakan objek seksual laki-laki. Dalam ketidakadilan gender yang berupa
61
kekerasan terhadap perempuan di atas, tidak ditemukanya adanya kekerasan dalam
wilayah domestik.
3.3 Sikap Perempuan Akibat Ketidakadilan Gender
Sikap pada dasarnya suatu bentuk atau reaksi perasaan. Secara lebih
operasional sikap terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable)
terhadap objek tersebut (Berkowitz dalam Azwar 1995). La Pierre (via Azwar 1995)
mengatakan, sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial; atau secara sederhana
sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
Sikap tersebut akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap
objeknya. Hal itu dikarenakan manusia tidak dilahirkan dengan sikap-sikap tertentu
akan tetapi, sikap dibentuk sepanjang perkembangan kehidupan. Sikap berperan besar
dalam kehidupan manusia. Sebab, sikap yang sudah terbentuk pada diri seseorang
akan turut menentukan cara-cara tingkah lakunya terhadap suatu objek.
Dalam kaitannya dengan sikap perempuan yang ada dalam novel Bibir Merah,
terdapat sikap perlawanan yang muncul akibat dari ketidakadilan gender. Hal itu
berupa sikap perempuan sebagai subjek dan sosok perempuan sebagai objek. Sikap
perempuan sebagai subjek adalah bahwa perempuan digambarkan sebagai pribadi
yang tegar, teguh, pantang menyerah dan mandiri. Adapun perempuan sebagai objek
adalah, bahwa perempuan digambarkan sebagai pribadi yang rapuh, selalu kalah,
62
menyerah dan pasrah. Sikap-sikap tokoh perempuan terhadap ketidakadilan gender
dalam relasi laki-laki dan perempuan tersebut sebagai berikut;
3.3.1 Sikap Rusminah
Kekerasan seksual dan kekerasan fisik yang dialami Rusminah yang
dilakukan Lurah Koco terhadap dirinya, membuktikan bahwa adanya pola kekuasaan
laki-laki menguasai tubuh perempuan sebagai objek seksualnya. Seperti halnya
Rusminah, peristiwa pemerkosaan dan pemukulan yang dilakukan Lurah Koco
terhadap dirinya tidak mengubah hidupnya sebagai perempuan tegar, meskipun pada
dasarnya dalam masyarakat ia telah diposisikan sebagai objek pemuas napsu.
Kondisi ia yang pantang menyerah tersebut membuat ia termotivasi balas dendan
terhadap Lurah Koco.
Kondisi Rusminah sebagai sosok perempuan subjek, merupakan gambaran
seorang perempuan yang bersikap tegar, teguh, pantang menyerah kepada keadaan.
Hal itu terlihat dalam dirinya, bahwa setelah diperkosa ia tidak lantas trauma dan
tidak mau berusaha bangkit. Karena beban ekonomi dan motivasi balas dendam
terhadap Lurah Koco, Rusminah pun terjun sebagai seorang pekerja sek komersial.
Kesadaran ia sebagai pekerja seks komersial didasari bahwa suatu saat ia bisa
menjadi perempuan kaya dan mampu membeli tanah di Desa Kapur. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
(45)” Bukankah sudah menjadi tekadku untuk mencari uang sebanyak-banyaknya? Bukankah aku harus menjadi orang kaya. Bukankah aku ingin memiliki tanah luas di desa? Akan saya beli semua tanah di Desa Kapur. Akan saya depak Lurah Koco dan orang-orang yang pernah membunuh bapak dan ibuku (hlm. 180)”.
63
(46)” Yu Rus memang bersalah. Mulai hari ini Yu Rus sudah menjadi
perempuan lenjeh,geleman. Tapi Yu Rus inggin dapat uang banyak. Asal kamu tidak,ya? Biar Yu Rus yang kotor…..”maafkan Yu Rus. Sejak berangkat ke sini Yu Rus sudah bertekad akan mencari uang sebanyak-banyaknya. Kita tidak boleh tetap miskin adikku. Hanya permintaan saya Yu Rus saja yang rusak, kamu jangan ya? Kalo banyak uang Yu Rus bisa lebih melindungi kamu. Mudah-mudahan kamu memahami sikap Yu Rus ini (hlm. 182-183)”.
Kutipan (45) dan (46) di atas menunjukkan ketegasan ia sebagai pekerja seks
komersial, bahwa motivasi dan tujuan utama ia terjun dalam dunia pelacuran karena
adanya dorongan balas dendam dan keinginan membeli tanah di desa. Sikap
Rusminah yang menunjukan ketegasanya sebagai perempuan subjek terlihat ketika ia
menyadari penuh melayani laki-laki. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
(47)” Dada Rusminah berdebar-debar. Baru kali ini ia melayani seorang lelaki dengan kesadaran penuh. Dulu ketika keperawananya direnggut Lurah Koco tanpa kesadaran sama sekali (hlm. 181)”.
Ambisi dan keinginan ia sebagai perempuan kaya pada akhirnya menjadi
sebuah kenyataan. Berawal dari perkenalanya dengan Saburosan, ia mendapatkan
modal untuk membuka sebuah usaha. Kehadiran sosok Saburosan dimata Rusminah
sangatlah berperan penting dalam mengubah setatus dan kedudukan ia sebagai
perempuan pekerja seks komersiel (PSK). Sosok Saburosan yang baik dimata
Rusminah menjadikan ia termotivasi mengubah hidupnya menjadi perempuan sukses.
Kegagalan dan pengalaman pahit Rusminah di masa lalu, seolah terobati dengan
kehadiran Saburosan yang memandang dan mengangab Rusminah sebagai
Saudaranya. Begitu juga halnya Kerja keras dan keuletanya dalam mengolah usaha,
64
akhirnya mengantarkan ia menjadi perempuan sukses. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(48)” Kita Harus ingat, Bu Rum itu orang bisnis. Naluri bisnisnya tinggi. Kemungkinan apa yang kita tidak lihat terlihat olehnya. Jadi kita tidak perlu macam-macam. Pokonya kita turuti saja kehendaknya. Kita ini bawahan. Memang kita ini staf, tetapi kalau di depan Bu Rum, kita sama saja dengan tukang sapu yang harus menuruti perintah (hlm.11)”.
Ketika ia sudah mampu menjadi perempuan sukses, keinginan membeli tanah
di Desa Kapur pun menjadi kenyataan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(49)” Kalo kalian memang tidak bisa membebaskan tanah itu, saya sendiri akan turun tanggan. Tapi inggat, besok pagi kalian sudah harus hengkang dari kantor ini. Jangan khawatir anda-anda tidak pergi dengan Cuma-Cuma (hlm. 3)”.
Karena harta dan materi yang ia miliki, Rusminah pun merasa kuat
mengimbangi kekuasaan yang dimiliki Lurah Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
(50)” Barangkali sudah saatnya Lurah Koco lengser dari kedudukanya sebagai rajak kecil di Desa Kapur. Kesewenang-wenagan yang sudah menahun harus dihancurkan. Untuk kepentingan itu ia tidak segan mengeluaarkan uang berapapun besarnya (hlm.94)”.
(51)” Rasanya tidak sabar lagi menunggu kejatuhan Lurah Koco.
Selama Lurah Koco masih berkuasa hidupnya tidak bisa tenang. Ia seperti diburu masa lalu yang bukan main pedih, sakit, menderita.terasa apa yang sudah dicapainya sekarang belum bisa menghapuskan penderitaan masa lalu (hlm. 94)”.
Dari beberapa deskripsi di atas, Rusminah dihadirkan pengarang sebagai
tokoh subjek. Hal itu dilihat dari ketegaran, kemauan keras, dan sikap pantang
menyerah yang dimiliki Rusminah. Dia berhasil mencari hidup dan kekayaan dengan
65
waktu sangat panjang. Ia dihadirkan sebagai subjek sehingga mampu bersikap sesuai
dengan hak-hak dan kewajibanya sebagai seorang perempuan.
3.3.2 Sikap Rusmini
Kehadiran Rusmini dalam cerita digambarkan sebagai pribadi yang rapuh. Ia
adalah perempuan yang lemah baik secara fisik maupun secara mental. Sosok
Rusmini adalah gambaran tokoh yang diposisikan sebagai objek, bahwa ia adalah
sosok yang selalu menyerah, kalah dan pasrah.
Rusmini dihadirkan pengarang sebagai tokoh yang pasrah. Hal tersebut
terlihat pascapemerkosaan yang dilakukan oleh Lurah Koco. Ia menganggap bahwa
peristiwa pemerkosaan yang dialami dirinya merupakan bagian dari perjalanan
hidupnya. Hal itulah yang membuat ia bisa menerima semua peristiwa yang menimpa
dirinya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(52)” Tapi adiknya itu memang perempuan lembut, sabar, yang bisa menerima nasib dengan pasrah. Ia sendiri tidak percaya apa yang pernah menimpa dirinya adalah kehendak Yang Maha Kuasa (hlm. 94)”.
(53)” Kamu tidak tau apa yang aku rasakan adikku. Kamu memang lemah. Kamu terlalu pemaaf. Kamu tidak tau bahwa perlu ada yang inggin aku tunjukan kepada orang-orang di Desa Kapur bahwa kita masih bisa bangkit dari reruntuhan. Rusmini, apakah kamu tidak meraskan peristiwa itu? Bapak ibu difitnah dibunuh. Rumah dibakar. Apakah kamu tidak merasakan itu? (hlm. 196)”.
Berdasarkan kutipan (52) dan (53) di atas, terlihat sikap Rusmini sebagai
objek. Keadaan ia yang lemah dan rapuh menjadikan dirinya bisa menerima peristiwa
itu. Meskipun demikian, peristiwa pemerkosaan yang dilakukan oleh bebarapa
66
preman telah membuat Rusmini mengalami gangguan kejiwaan. Hal itu terlihat
dalam kutipan sebagai berikut.
(54)” Rusminah menerobos masuk dan menyibak kerumunan orang-orang itu. Beberapa orang memeluk Rusmini yang terus menangis histeris “Ada apa. Ada apa ini? Ia lihat kain dan pakaian Rusmini koyak-koyak. Rusminah paham apa yang terjadi (hlm.190)”.
Kutipan di atas merupakan bukti, bahwa Rusmini selalu diposisikan sebagai
sosok tokoh yang kalah. Tokoh ini dihadirkan sebagai objek untuk mengambarkan
ketidakberdayaan perempuan terhadap laki-laki. Bahwa ia adalah korban kekuasaan
dan dominasi laki-laki yang selalu memandang perempuan hanya dari sisi seksualnya
saja. Ia juga merasa harga dirinya sebagai seorang perempuan telah dirampas. Hal
tersebut merupakan bukt jika kekuasaan laki-laki telah menempatkan ia sebagai
perempuan yang marginal.
3.3.3 Sikap Perempuan-Perempuan Desa Kapur
Pada dasarnya munculnya relasi gender yang timpang telah melahirkan
diskriminasi terhadap pihak lain dalam hal ini adalah perempuan. Persoalan itu tidak
lepas dari adanya hubungan kekuasaan di antara pihak-pihak yang berelasi.
Kecenderungan kekuasaan untuk menormalisasi relasi dengan menganggap fenomena
tertentu sebagai hal yang lumrah dan wajar, telah mengakibatkan diterimanya sebuah
relasi asimetris oleh pihak yang dikuasai menjadi sebuah kewajaran.
Begitu juga halnya dalam masyarakat Desa Kapur, kondisi masyarakat yang
miskin dan termarginal mendorong lahirnya hubungan relasi yang melanggengkan
67
suatu dominasi dan reproduksi kepatuhan. Hal tersebut juga didukung adanya
institusionalisasi kekuasaan yang melembaga dan aturan-aturan sosial yang ikut
melanggengkan.
Berkaitan dengan persoalan ketidakadilan gender dalam wilayah masyarakat
Desa Kapur, kedudukan dan peran perempuan selalu mendapat tekanan dari
kekuasaan yang ada. Hal itu terlihat dari sikap perempuan yang mengalami
ketidakadilan gender. Sikap-sikap ketidakadilan gender itu sangat dipenggaruhi
dengan adanya sistem patriarkhi yang mengakar dalam sistem sosial masyarakat.
Kekerasan dan subordinasi perempuan merupakan contoh nyata bahwa ketidakadilan
gender lahir dari adanya sistem sosial yang melanggengkan sistem dominasi dan
kekuasaan sepihak.
Bagi perempuan Desa Kapur, kekuasaan dan kedudukan Lurah Koco sebagai
seorang Kepala Desa, telah melahirkan sikap diskriminatif pada jenis kelamin lain
yang mengakibatkan hubungan asimetris yang termanifestasikan dalam bentuk
kebijakan sampai keputusan deskriminatif seksual. Dalam relasi asimetris tersebut
ditemukan relasi kekuasaan dalam superioritas laki-laki (male dominance), yang
mengambil bentuk nyata dalam segala aspek pemerintahan.
Sikap lemahnya perempuan dan adanya tekanan dari kekuasaan laki-laki
membuat beberapa perempuan harus pasrah dengan keadaan mereka. Kondisi itulah
yang melahirkan adanya keterpaksaan perempuan Desa Kapur untuk patuh terhadap
perintah Lurah Koco. Meskipun demikian, adanya tekanan dan paksaan Lurah Koco
68
dalam mengeksploitasi tubuh perempuan, menjadikan beberapa perempuan bersikap
berani melawan otoritas Lurah Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(55)” Ada apa mencari saya? Saya sudah tua. Apa sampeyan masuk mau sama saya ? ”Mbok Karto, kamu sudah tua, tapi bicaramu ngaco.” ............kalo Pak Bayan mau usir saya, usir! Kalo Lurah Koco mau mengusir saya, usir! Lurah Koco, carik Dargo dan sampeyan dan lain-lain itu tinggal tek prel, seperti dahan kering yang jatuh ditiup angin. Orang kok mau menyamai Gusti Allah, sing gawe urip. Pak bayan sampeyan itu manungsa seperti saya ini. Sampeyan tidak wenang menentukan nasib orang lain. Nanti Gusti Allah marah kepada sampeyan. Bisa saja kami menerima perlakuan sampeyan, tapi Gusti Allah tidak menerima. Karena Gusti Allah yang menciptakan saya Gusti Allah tidak terima kalo ciptaannya teraniaya oleh orang lain (hlm. 156)”.
Kutipan (55) di atas menunjukan adanya pola perlawanan perempuan akibat
penindasan yang dilakukan Lura Koco. Tersubordinasinya perempuan yang dianggap
tidak penting dalam masyarakat mengindikasikan adanya ketidakadilan dan
diskriminasi laki-laki terhadap perempuan. Sikap lain yang muncul akibat
diskriminasi yang dilakukan laki-laki adalah, adanya upaya ketergantungan
perempuan terhadap laki-laki karena faktor kemiskinan. Hal itu terlihat dalam
kutipan sebagai berikut
(56)” Yu Ginah tersenyum manja ketika Lurah Koco memasuki warung ”Mana Surti, Yu ? ”Oh, sekarang maunya Surti, to? Sudah bosan dengan yang tua?” ya tidak begitu, yu. Apa tidak boleh saya tanya anakmu?” ................jadi yang tua tidak marah to. Kalo saya mencari yang muda? Yang muda masih segar. Yaaaaaaaa asalkan.... Asalkan apa?” ”Kelapa muda lebih mahal dari kelapa tua, Pak Lurah
69
” Edan kamu Yu. Saya tahu maksud kamu. Tapi jangan khawatir Yu. Saya tetap suka kedua-duanya .......Yu Ginah tertawa Genit. Dicubitnya lengan Pak Lurah (hlm. 34-35)”.
Kutipan (56) di atas menunjukan adanya kesenjangan sosial antara
perempuan Desa Kapur dengan Lurah Koco yang membawa ketergantungan
ekonomi. Hal itu pula yang juga menguatkan laki-laki menganggap bahwa
perempuan pantas dianggap sebagai objek seksualnya.
Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa bentuk sikap perempuan akibat
ketidakadilan gender dapat dibedakan menjadi tiga macam.1) adanya sikap
perempuan sebagai subjek, merupakan gambaran sosok perempuan yang bersikap
tegar, teguh, dan pantang menyerah terhadap bentuk ketidakadilan gender. Selain itu
karakter sikap perempuan sebagai subjek, juga terlihat dari adanya penolakan
terhadap semua hal yang merendahkan harga diri kaum perempuan. Sikap perempuan
sebagai subjek di atas terlihat dalam pribadi tokoh Rusminah. Ia berkeinginan
mengembalikan harga diri yang pernah dirampas oleh Lurah Koco dan masyarakat
Desa Kapur pada umumnya.
2) Adanya sikap perempuan sebagai objek (Rusmini), merupakan gambaran
sosok perempuan yang selalu kalah, menyerah,dan pasra terhadap nasib dan keadaan.
Sikap di yang lemah telah membuat ia bisa menerima semua perlakuan laki-laki.
Karena sikap itu pula ia selalu menganggap bahwa peristiwa yang ia alami
merupakan kehendak Tuhan.3) Adanya sikap penolakan perempuan tanpa mengubah
setatus sosial dan status ekonomi, merupakan gambaran perempuan yang selalu
70
memandang positif bahwa status sosial dan status ekonomi bukanlah sebuah alasan
menyerahkan kehormatan dan harga diri. Sikap penolakan perempuan tersebut
terlihat dalam sosok tokoh Mbok Karto dan Yu Sumi sebagai perempuan Desa
Kapur. Karena kehormatan dan harga diri, mereka berani melawan sikap penindasan
yang dilakukan laki-laki dalam hal ini adalah Lurah Koco
71
3.4 Rangkuman
Dalam analisis ketidakadilan gender dan sikap perempuan dalam novel Bibir
Merah di atas, ditemukan dua manifestasi ketidakadilan gender. 1) Kekerasan.
Kekerasan yang terdapat dalam novel Bibir Merah merupakan kekerasan publik yang
meliputi kekerasan seksual dan kekerasan emosional. Kekerasan seksual dalam novel
ini berupa pemerkosaan yang dialami oleh Rusminah dan Rusmini yang berakibat
pada termarginal dan tersingkirnya mereka dari lingkungan sosialnya. Ada pun
bentuk kekerasan emosional yang dialami Rusminah dan Rumini adalah adanya
beban traumatik terhadap peristiwa pemerkosaan yang mengakibatkan ganguan
kejiwaan.2) Streriotip dalam novel terlihat melalui peran perempuan yang melabelkan
diri sebagai perempuan lemah. Hal itu ia tunjukan dengan sikap loyalitas terhadap
atasan yang berupa pelayanan seks dalam kedudukan dan setatus sebagai atasan dan
bawahan. 3) Subordinasi. Subordinasi terhadap perempuan dalam novel terlihat
melalui tersingkrnya perempuan dan hilangnya pengakuan status perempuan dalam
masyarakat yang dialami Yu Ginah dan Mbok Karto. Bukti adanya subordinasi
terhadap perempuan juga tampak dalam sikap laki-laki (Lurah Koco) yang selalu
mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seksual..
Kemudian untuk sikap perempuan akibat ketidakadilan gender, dapat
disimpulkan menjadi tiga yaitu, 1) sikap perempuan sebagai subjek (Rusminah),
merupakan gambaran sosok perempuan yang memiliki ketegaran, kemauan keras, dan
sikap pantang menyerah.2) sikap perempuan sebagai objek (Rusmini), merupakan
gambaran perempuan yang selalu menyerah, kalah, dan pasrah.3) Sikap perempuan
72
sebagai objek yang menolak diskriminasi secara halus, sikap ini terlihat dalam sosok
tokoh perempuan-perempuan Desa Kapur dalam hal ini adalah Mbok Karto dan Yu
Ginah.
73
Bab IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa novel Bibir
Merah Karya Achmad Munif merupakan novel sosial yang mengangkat latar
kehidupan kaum perempuan dalam masyarakat marginal. Keadaan sistem sosial
masyarakat yang patriarkhi, telah membawa hubungan peran antara laki-laki dan
perempuan menjadi tipang. Selain itu, adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat,
juga melahirkan adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan
Dalam mengkaji ”Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan”, peneliti
menggunakan pendekatan kritik sastra feminisme. Pendekatan kritik sastra feminisme
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang erat kaitanya dengan
konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender yang terdapat dalam novel.
Dalam pembahasan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah
masyarakat Desa Kapur, terdapat hubungan antara Lurah Koco dengan Rusminah ,
Lurah Koco dengan Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa
Kapur, dan Saburosan dengan Rusminah.
Karakter relasi antara tokoh laki-laki dan perempunan yang pertama adalah,
adanya hubungan antara Lurah Koco dengan Rusminah yang terbentuk dari adanya
kegagalan keingginan Lurah Koco menjadikan Rusminah sebagai istrinya. Sikap
kekecewaan itulah yang melahirkan Lurah Koco melakukan pelecehan seksual yang
74
berupa pemerkosaan. Karena kekecewaan itu pula, orang tua Rusminah juga dibunuh
oleh masyarakat atas suruhan Lurah Koco. Karakter hubungan antara tokoh laki-laki
dan perempuan yang kedua adalah, adanya hubungan antara Lurah Koco dengan
Rusmini, hubungan tersebut muncul dari sikap Lurah Koco yang menganggap bahwa
tubuh Rusmini sebagai objek seksualnya. Karena sikap itulah Lurah Koco melakukan
pemerkosaan sebagai pemuas nafsunya. Karakter hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang ketiga adalah, adanya hubungan antara Lurah Koco dengan
perempuan-perempuan Desa Kapur. Persoalan yang mendasari dalam hubungan
tersebut adalah, adanya sikap Lurah Koco yang menganggap kedudukan dan
kekuasaan merupakan alat yang bisa menguasai perempuan yang ia ingginkan.
Adanya keingginan menguasai perempuan sebagai objek seksualnya, menjadikan
beberapa perempuan memberontak dan melawan. Hal itu terlihat dalam sikap Mbok
Karto dan Yu Sumi. Mereka menganggap bahwa status sosial dan keadaan ekonomi
bukanlah sebuah alasan mereka harus menyerahkan harga dirinya. Karakter hubungan
laki-laki dan perempuan yang keempat adalah, adanya hubungan tokoh antara
Saburosan dan Rusminah. Bahwa hadirnya hubungan mereka muncul dari status
Rusminah sebagai seorang pekerja seks komersial. Latar kehidupan ia sebagai
keturunan orang jawa itulah yang mendasari ia bersikap sopan terhadap Rusminah.
Karena kondisi itulah, ia tertarik memberikan modal untuk membuka sebuah usaha.
Bagi Rusminah sendiri, hubungan ia dengan Saburosan telah membuat ia mampu
bisa mengembalikan harga dirinya yang pernah dirampas olah Lurah Koco
75
Sementara melalui pembahasan relasi gender, dapat dianalisis manifestasi
ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Dalam manifestasi tersebut terdapat tiga
bentuk ketidakadilan gender yang berupa subordinasi, steriotipe dan kekerasan
terhadap perempuan. Berdasarkan pemahaman mengenai penentuan ranah kekerasan,
kerasan dalam novel Bibir Merah dibagi menjadi dua yaitu kekerasan publik dan
kekerasan domestik.
Lebih lanjut, bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Bibir Merah lebih
fokus pada bentuk kekerasan publik. Bentuk-bentuk kekerasan publik yang dialami
Rusminah dan Rusmini meliputi; kekerasan emosional dan kekerasan seksual yang
berupa deskriminasi dan pemerkosaan. Hal ini menandakan bahwa antara pelaku dan
korban tidak memiliki hubungan kekerabatan. Adapun dalam persoalan steriotipe
perempuan terlihat adanya upaya sikap pelabelan diri perempuan yang dibentuk
berdasarkan tingkatan kedudukan sosial antara penguasa dan masyarakat. Sedangkan
manifestasi ketidakadilan gender yang berupa subordinasi, terlihat melalui
tersingkirnya perempuan dan hilangnya pengakuan status sosial perempuan dalam
masyarakat. Bukti adanya subordinasi terhadap perempuan juga tampak dalam sikap
laki-laki (Lurah Koco) yang selalu memaksa mengeksploitasi tubuh perempuan
sebagai objek seksualnya.
Sedangkan pada pembahasan sikap perempuan akibat ketidakadilan gender,
terdapat tiga bentuk sikap yang dominan yaitu 1) sikap perempuan sebagai subjek
(Rusminah), merupakan gambaran perempuan yang bersikap tegar, teguh, dan
pantang menyerah. 2) sikap perempuan sebagai objek (Rusmini), merupakan
76
gambaran perempuan yang selalu kalah, menyerah, dan pasrah terhadap nasip. 3)
Adanya sikap penolakan perempuan tanpa mengubah setatus sosial dan status
ekonomi, merupakan gambaran perempuan yang selalu memandang positif, bahwa
status sosial dan status ekonomi bukanlah sebuah alasan untuk menyerahkan
kehormatan dan harga diri. Hal ini terlihat dalam sikap Mbok Karto dan Yu Sumi.
Dari semua hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa munculnya
ketidakadilan gender dan sikap perempuan dipengaruhi oleh adanya sistem patriarkhi
dan inferioritas perempuan baik dalam struktur sosial maupun dalam budaya.
77
4.2 Saran
Novel Bibir Merah adalah sebuah novel yang tidak hanya menggambarkan
tentang kondisi sosial masyarakat tertentu. Namun novel ini juga menggambarkan
keadaan kondisi perempuan yang tertindas akibat ketidakadilan gender dan
diskriminasi laki-laki. Bahwa kedudukan perempuan dianggap rendah dan bisa
dieksploitasi secara seksual. Selain menceritakan kondisi perempuan akibat
eksploitasi laki-laki, novel ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana relasi
antara laki-laki terbentuk dalam sistem sosial masyarakat patriarkhi.
Kajian terhadap novel ini tidak hanya terbatas pada satu pendekatan saja akan
tetapi, masih memungkinkan untuk mengkajinya dengan pendekatan yang lain.
Misalnya teori psikologi untuk mengkaji dampak kekerasan yang dilakukan laki-laki
terhadap perempuan.
Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Semua itu terjadi akibat keterbatasan dari penulis sendiri. Sehingga
guna perbaikan lebih lanjut penulis menerima segala saran dan kritik. Selain itu
penulis juga menyarankan kepada siapa saja yang tertarik dalam penelitian terhadap
karya sastra indonesia terutama novel Bibir Merah masih banyak memungkinkan
untuk mengkaji novel ini dengan menggunakan teori atau pendekatan yang lain.
78
Daftar Pustaka
Abdulah, Irwan, 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM
Agustina.2006. ”Citra Wanita dalam Novel Bibir Merah karya Achmad Munif”.(http://www.google.com) didownload tgl 12 november 2006
Ahmad fausi.2008. Gender resepro dot Info (htpp:// www.google.com) didownload tgl 6 januari 2009
Azwar.1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dzuhayatin, Siti Rahini dan Susi Eja Yuarsi. 2002. Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Fakif, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Harjana,Andre.1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Husain, Ali. 2005. Membela Perempuan Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama. Al Huda.
Hidayat, Rahmat: 2004. Ilmu yang Seksis. Yogyakarta: Jendela.
La Pona dkk.2002. Menggagas Tempat yang Aman Bagi Perempuan: kasus di Papua. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada
Mas’ Udi, Masdar F.1997. Perempuan dalam Wacana Keislaman, dalam Perempuan dan Pemberdayaan. Kumpulan karangan untuk menghormati Ulang Tahun ke-70 Ibu Saparinah Sadli. Jakarta: Kerjasama Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Harian Kompas dan Obor.
Munandar, Soelaeman. 1995. lmu Sosial Dasar. Bandung: Eresko.
Munif, Achmad.2004. Bibir Merah.Yogyakarta. Navila
Mukmin,Hidayat.1980. Beberapa Aspek Perjuangan Wanita Indonesia. Bandung: Binacipta
Murniati, Nunuk.2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera.
79
Nurgiyantoro. Burhan. 1995. Teori Pengajian Fiksi.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono, S.W. 1976. Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
Sudaryanto.1998. Metode Linguistik: Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yoggyakarta: Gajah Mada University Press
Sugiarti.2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. Malang: UMM Press.
Sugihastuti, 2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti, 2007. Gender dan InferioritasPperempuan Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw,A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
80
Lampiran
Sinopsis
Novel Bibir Merah Karya Ahcmad Munif pada dasarnya adalah novel sosial
yang menceritakan kondisi kehidupan masyarakat Desa Kapur. Novel ini merupakan
penggambaran realitas hidup masyarakat marginal yang dikemas dengan konflik dan
persoalan sosial masyarakat kelas bawah.
Achmad Munif pada dasarnya ingin membawa pembaca mengetahui lebih
jauh tentang perjuangan perempuan-perempuan Desa Kapur yang tertindas yang
tereksploitasi secara seksual. Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup
perempuan Desa Kapur yang bernama Rusminah. Ia adalah gadis desa anak dari
seorang buruh tani, ayahnya adalah seorang petani ladang sedangkan ibunya adalah
seorang paes manten. Rusminah merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Secara sistem sosial, masyarakat Desa Kapur dipimpin oleh seorang kepala
Desa yang bernama Pak Koco. Ia merupakan satu-satunya orang yang berkuasa dan
mempunyai kedudukan paling tinggi dalam sistem sosial masyarakat tersebut.
Dimata masyarakat, sosok Lurah Koco merupakan sosok pemimpin yang arogan dan
suka memaksa. Karena kedudukan dan kekuasaanya itu, ia selalu memperalat
perempuan untuk dijadikan gendaanya. Begitu juga halnya Rusminah, karena
kecantikan dan kepolosanya ia harus menerima perlakuan dan pelecehan dari Pak
Koco.
81
Berawal dari penolakan keinginan Lurah Koco untuk menjadikan Rusminah
sebagai istrinya itulah awal peristiwa kekerasan. Mengetahui penolakan Rusminah
terhadap tawaran untuk dijadikan istrinya, Lurah Koco pun berinisiatip balas dendam.
Kekuasaan Lurah Koco yang otoriter dan selalu memaksa, mengakibatkan Rusminah
mengalami kekerasaan dan pelecehan.
Kekerasan dan pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya tersebut adalah
berupa pemerkosaan. Tidak hanya pemerkosaan, orang tua Rusminah juga dibunuh
karena dituduh sebagai dukun santet. Pemerkosaan yang dilakukan Lurah Koco
terhadap Rusminah juga dialami oleh Rusmini yang merupakan adik Rusminah. Ia
juga diperkosa dan dipukul seperti layaknya binatang.
Akibat dari tindakan pemerkosaan tersebut Rusminah dan Rusmini
meninggalkan desa dan pergi ke kota Yogyakarta, hal itu karena mereka takut akan
ancaman dari Lurah Koco. Pertama kali ia di Yogyakarta, ia bekerja sebagai
pengamen siter selama dua bulan. Karena keadaan ekonomi yang kurang bisa
memenui kebutuhan hidup, Rumanti pun terjun dalam dunia prostitusi. Setatusnya
sebagai seorang pekerja seks komersiel telah membawa ia mampu mencukupi
kebutuhan hidupnya selama tinggal di Yogyakarta.
Hingga sampai suatu ketika ia bertemu dengan Saburosan, lelaki Jepang yang
bekerja sebagai seorang diplomat di Jakarta. Kerena perkenalan itu pula Rusminah
mendapat tawaran untuk membuka sebuah usaha. Adanya kemauan Rusminah untuk
menggubah hidup dan keingginan balas dendam terhadap Lurah Koco, menjadi satu
motivasi ia menekuni usaha tersebut.
82
Keuletan dan motivasi besar untuk balas dendam terhadap Lurah Koco,
ternyata menghasilkan buah yang berupa kesuksesan. Berkat bimbingan dan modal
yang diberikan Saburosan itulah akhirnya Rusminah mampu mendirikan sebuah
perusahaan pertanian. Setatus Rusminah sebagai seorang pengusaha tidak mengubah
cita-citanya yang terpendam, yaitu membeli tanah di Desa Kapur. Ambisi Rusminah
membeli tanah di desa kelahiranya tersebut, menjadi satu alasan bahwa ia bisa
mengembalikan harga diri yang pernah dirampas oleh Lurah Koco dan masyarakat
Desa Kapur pada umumnya.
83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Benedektus Yogi Dwi Hartanto lahir di Yogyakarta 26 tahun
silam, tanggal 5 september 1983. Lahir dan dibesarkan di
Purwosari Girimulyo Kulon Progo, Yogyakarta. Pendidikan
awal di TK Kanisius Pelem Dukuh pada tahun 1989-1990.
Sekolah Dasar tahun 1990-1996 di SD Kanisius Pelem
Dukuh dan dilanjutkan di SMP Sanjaya Girimulyo. Pendidikan selanjutnya
diselesaikan pula selama tiga tahun di SMU Bruderan Purworejo.
Setelah lulus dari SMU melanjutkan kuliah di Universitas Sanata Dharma
tahun 2002-2009 jurusan Sastra Indonesia. Selama menjadi mahasiswa Sastra
Indonesia di USD pernah aktif di Bengkel Sastra, pernah mengikuti pentas teater
dengan judul ”Kapai-Kapai tahun 2005. Tugas akhir menyusun Skripsi dengan judul
Ketidakadilan Gender dalam Novel Bibir Merah Karya Achmad Munif Tinjauan
Sastra Feminis.
Top Related