KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
MUHAMMAD ANUGERAH NURCAHYA
E1A008282
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Disusun oleh :
MUHAMMAD ANUGERAH NURCAHYA
E1A008282
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)
Disusun oleh :
MUHAMMAD ANUGERAH NURCAHYA
E1A008282
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada, Februari 2014
Menyetujui,
Penguji I /Pembimbing I Penguji II/Pembimbing II Penguji III
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. Handri Wirastuti S, S.H.,M.H. Pranoto, S.H.,M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001 NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman,
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum
NIP. 19640923 198901 1 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : Muhammad Anugerah Nurcahya
NIM : E1A008282
Judul Skripsi : KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri
dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka
saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 24 Februari 2014
Muhammad Anugerah Nurcahya
NIM. E1A008282
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN
JUSTICE COLLABORATOR DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO (Tinjauan
Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)”, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
2. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan saran dan bantuan dalam penulisan skripsi ini;
3. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran dan bantuan dalam penulisan skripsi ini;
4. Keluarga besar ALSA LC UNSOED atas kebersamaan, persaudaraan dan pengalaman
berharga;
5. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, serta
seluruh pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
v
6. Untuk ibu Yetty Heryati yang selalu mendampingi dan terus memberi semangat
anaknya hingga masa akhir kuliah, bapak Murtado Achmad, aa Muhammad
Ardiansyah, aa Oki Firdaus, semua keluarga yang selalu mendoakan dan mendukung
dalam skripsi ini.
7. Para penghuni terakhir kontrakan “Muria”, Yunus, Bramantya, Nawaaf, Panji, Aria
Rangga dan Seluruh teman-teman yang suka main ke kontrakan seperti Kontrakan
Griya Satria, terima kasih atas dukungan dan doanya.
8. Teman-teman seperjuangan spesial Yugo, Fahmi, Prasetyo, Yoga, Tiwi, Fajar, Faisal
dan semuanya yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu yang telah telah membantu
dalam penulisan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi dapat membawa manfaat bagi penulis maupun bagi
para pembaca dan apabila di dalam skripsi ini terdapat kekeliruan, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Purwokerto, Februari 2014
Penulis,
MUHAMMAD ANUGERAH NURCAHYA
vi
“KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM KASUS
KORUPSI AGUS CONDRO (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/
PN.Jkt.Pst)”
oleh :
Muhammad Anugerah Nurcahya
E1A008282
ABSTRAK
Tindak Pidana Korupsi merupakan serious crime dan scandal crime sehingga mempunyai tempat khusus dalam pemberantasannya. Tindak pidana ini semakin berkembang dan terorganisir sehingga perlu ada langkah strategis untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir. Justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama) adalah salah satu solusi dalam mengungkap kejahatan terorganisir seperti tindak pidana korupsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa terdakwa Agus Condro dikatakan sebagai justice collaborator dalam Putusan Nomor 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst dan kekuatan pembuktian justice collaborator dalam persidangan sebelum hakim dengan pertimbangannya menjatuhkan Putusan Nomor 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst .Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif yaitu dengan mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada Putusan maupun Perundang-undangan yang berkaitan dengan Penelitian.
Penelitian yang dilakukan dari Putusan Nomor 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst diperoleh hasil sebagai berikut : Agus Condro dikatakan sebagai seorang justice collaborator karena memenuhi pedoman justice collaborator yaitu seorang yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan diatur dalam Pasal 9 Huruf a SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Dalam Putusan Nomor 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst kekuatan pembuktian justice collaborator sebagai alat bukti saksi yang diatur di Pasal 184 KUHAP berdasar peraturan bersama Peraturan Bersama LPSK, KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM bahwa justice collaborator dikatakan sebagai keterangan saksi yang dihadirkan di dalam pengadilan.
Kata Kunci :
Pembuktian, justice collaborator, korupsi
vii
The Strength of Evidence The Justice Collaborator in Agus Condro Corruption Case (Judicial
Review in Judgement No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.)
by :
Muhammad Anugerah Nurcahya
E1A008282
ABSTRACT
The criminal act, corruption is considered as a serious crime and scandal crime ,it has its own special place in its eradication. This particular crime is growing and organized so that there is a need for a strategic move to accelerate the disclosure of the organized criminal act. Justice collaborator (cooperating criminal witness) is one of the few solution in disclosure of the organized criminal act such as corruption.
The purpose of this study is to find out why the defendant, Agus Condro is said to be the justice collaborator in the Judgement No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst and the strength of the justice collaborator the trial before the judge with the consideration dropping the Judgement No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst. This research is using the method of approach by normative juridical approach which is by examining the available journals (secondary data) . The method of analysis which is used in this research are normative and qualitative, which is by processing and interpreting the data based on judgment or legislation relating to this research.
The research conducted from the Judgement No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst has the results as follows : Agus Condro is claimed to be the justice collaborator he has fulfilled his guidelines of a justice collaborator which is, the person involved is considered as one of the perpetrators of criminal acts that he did, not the main actor in the crime and testified as a witness in the judicial process set in the provisions of Article 9 Huruf a SEMA Nomor 4 Tahun 2011. In Judgement No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst which is the strength of evidence from the justice collaborator as an evidence of witness which is set in Pasal 184 KUHAP under joint regulations of Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), that the justice collaborator is considered as witness testimony presented in court.
Keywords :
evidence, justice collaborator ,corruption
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................
PRAKATA ......................................................................................…........
ABSTRAK...................................................................................................
ABSTRACT………………………………………………………………..............
DAFTAR ISI................................................................................................
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
B. Perumusan Masalah ..............................................................
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
D. Kegunaan Penelitian .............................................................
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana .......................
B. Pembuktian ............................................................................
1. Pengertian Pembuktian....................................................
2. Sistem Pembuktian……………………………..............
3. Macam-Macam Alat Bukti…………………………......
C. Justice Collaborator …………………………......................
I
ii
iii
iv
vi
vii
viii
1
6
7
7
9
14
14
16
21
38
ix
BAB III
BAB IV
1. Pengertian Justice Collaborator.......................................
2. Sejarah dan Perkembangan Justice Collabor...................
3. Alat Bukti Justice Collaborator.......................................
METODE PENELITIAN ...........................................................
A. Metode Pendekatan .............................................................
B. Spesifikasi Penelitian ...........................................................
C. Sumber Bahan ......................................................................
D. Metode Pengumpulan Bahan ...............................................
E. Metode Penyajian Bahan .....................................................
F. Metode Analisis Data ...........................................................
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................
A. Hasil Penelitian ....................................................................
1. Duduk Perkara ...............................................................
2. Dakwaan Penuntut Umum ............................................
3. Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum ...................................
4. Amar Putusan ................................................................
B. Pembahasan ..........................................................................
1. Terdakwa Agus Condro dikatakan sebagai Justice
collaborator dalam Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/
2011/ PN.Jkt.Pst...............................................................
2. Kekuatan pembuktian justice collaborator dalam
Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/
PN.Jkt.Pst..........................................................................
38
42
45
52
52
52
53
53
54
55
55
61
74
79
84
84
108
x
BAB V
PENUTUP ....................................................................................
A. Simpulan ...............................................................................
B. Saran .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
131
132
i
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era reformasi pada saat ini membuat seorang warga negara mampu
berbuat apa saja sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, tetapi segala
sesuatu yang terbuka tersebut dibatasi oleh hukum. Oleh karena itu Indonesia
disebut sebagai negara hukum. Moh. Hatta1 mengatakan tentang hukum sebagai
berikut:
“Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hukum adalah merupakan “Panglima” dan urat nadi pada segala aspek kehidupan. Perkembangan pelanggaran hukum di Indonesia saat ini semakin meluas khususnya mengenai korupsi, sebuah tindakan kejahatan pidana”.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan
dapat pula merusak nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat
berdampak membudayakan tindak pidana korupsi tersebut.2 Tindak pidana ini
tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.3 Upaya pemberantasan korupsi
tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku
korupsi.4
1 Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Hukum Pidana
Khusus, Yogyakarta: Liberty, 2009, hlm.1. 2 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm 10.
3 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.1. 4 Ibid.hlm.1.
2
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin: corruption atau corruptus, yang
artinya buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau
menfitnah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian korupsi
sebagaimana dikutip oleh Suhandi Cahaya dan Surachmin5 yang mengatakan
bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau
perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Pengertian korupsi juga diungkapkan oleh Gurnar Myrdal dalam
Ermansyah Djaja6 yaitu:
“To Include not only all formsof improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupiesin the public life but alse the actifity of the bribers. (Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktifitas-aktifitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Berbicara mengenai tindak pidana korupsi, dalam persidangan perkara
pidana hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan
5 Suhandi Cahaya dan Surachmin, Strategi & Teknik Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.hlm 10. 6 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.7.
3
seseorang apalagi saat ini kejahatan semakin berkembang secara pesat. Barda
Nawawi Arief sebagaimana dikutip Moh. Hatta7 mengungkapkan pendapatnya
tentang kejahatan adalah:
“Merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi merupakan suatu universal phenomena, tidak hanya jumlahnya saja yang meningkat tetapi juga kualitasnya dipandang serius disbanding masa-masa lalu”.
Hukum pembuktian juga memiliki peran penting bukan hanya terhadap
kejahatan konvensional tetapi juga kejahatan yang pada saat ini mendapat banyak
perhatian khusus yaitu korupsi. Korupsi merupakan kejahatan inkonvensional.
Suhadi Cahaya dan Surachmin8 menyatakan:
“Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan kemampuan berfikir aparat pemeriksa dan penegak hukum disertai pola yang sedemikian rapih. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu untuk mengantisipaso korupsi tersebut”.
Dalam pembuktian di persidangan memerlukan alat bukti yang sah,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang –
Undang Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai alat bukti salah satunya
adalah keterangan saksi. Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan
hal yang utama pada perkara pidana, atau dapat dikatakan suatu perkara pidana
tidak terlepas dari alat bukti keterangan saksi. Hampir setiap pembuktian perkara
pidana selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi dan bersesuaikan
dengan alat bukti lainnya. Saksi merupakan pihak yang terlibat dalam perkara
pidana, ia menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan
7 Moh. Hatta, Op.Cit.hlm.33. 8 Suhandi Cahaya dan Surachmin, Op.Cit.hlm 11.
4
perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit
diungkap kebenarannya. Maksud hakim menanyai saksi adalah memberikan
kesempatan untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah, ataupun jika
bersalah mengakui kesalahannya.9
Keterangan saksi merupakan alat bukti persidangan dan berguna dalam
mengungkap duduk perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian akan
dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau
tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya. Dalam proses persidangan
dikenal adanya beberapa macam saksi, salah satunya whistleblower dan justice
collaborator, peranan saksi sebagai whistleblower dan justice collaborator sangat
penting dan diperlukan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.
Whistleblower dan justice collaborator berperan untuk memudahkan
pengungkapan tindak pidana korupsi, karena whistleblower dan justice
collaborator itu sendiri tidak lain adalah orang dalam institusi tersebut, di mana
dimungkinkan telah terjadi praktik korupsi.
Keterangan saksi merupakan hal yang penting dan dibutuhkan dalam
suatu pembuktian perkara tindak pidana korupsi karena keterangan saksi akan
dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara tindak
pidana korupsi.
Tindak pidana korusi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk
sampai keseluruh lapisan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
9 Andi Hamzah,. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1990.
hlm. 162.
5
negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin
sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.10
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan jenis kejahatan extra ordinary
crime (kejahatan yang daya rusaknya luar biasa).11
Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa pula. Salah satu upaya
pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu
dengan peran whistleblower dan justice collaborator.
Peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses
pemberantasan tidak pidana korupsi, dan sebenarnya juga bisa dijadikan salah
satu upaya pemerintah dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Peran
whistleblower untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena
whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang yang berkecimpung didalam
institusi atau organisasi yang ditengarai adanya praktik korupsi dan dia juga
memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana
korupsi tersebut.
Salah satu putusan yang diteliti yaitu Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/
2011/ PN.Jkt.Pst dengan Terdakwa Agus Condro telah terbukti melakukan tindak
pidana korupsi, karena adanya kasus suap pemilihan Miranda Swaray Goeltom
10 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, Cet I,
2008, hlm. vii. 11 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana di Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghlmia
Indonesia, Cet I, 2009, hlm 320.
6
sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh anggota DPR RI periode
1999-2004 yang mana berkat laporan dari salah satu anggota 15 DPR RI dari
Fraksi Partai PDI-P Agus Condro bahwa ia dan beberapa rekannya di DPR
menerima beberapa cek yang totalnya Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang dimenangkan oleh Miranda.
Agus Condro pelapor pemberian Travelle Cheque pada pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia, ia mengakui kesalahannya, mengembalikan
uang hasil kejahatannya, tidak melarikan diri dan mengikuti semua proses hukum
sangat memudahkan aparat penegak hukum dan hakim untuk menjangkau semua
pelaku tindak pidana tersebut dan memperkecil kerugian keuangan negara akibat
tindak pidana korupsi.
Hakim memeriksa beberapa alat bukti, salah satunya adalah alat bukti
keterangan saksi sebagai justice collaborator. Saksi tersebut merupakan terdakwa
Agus Condro yang memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan saat
proses pembuktian. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna penyusunan
skripsi berjudul “KEKUATAN PEMBUKTIAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM KASUS KORUPSI AGUS CONDRO (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor
: 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
7
1. Mengapa terdakwa Agus Condro dikatakan sebagai Justice
collaborator dalam Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/
PN.Jkt.Pst?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian justice collaborator dalam Putusan
Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui terdakwa Agus Condro dikatakan sebagai Justice
collaborator dalam Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.
b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian justice collaborator dalam
Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
kepustakaan di bidang hukum pidana dapat memberikan masukan bagi
pengembangan ilmu hukum terutama dari segi penerapan ilmu hukum
acara pidana.
b. Dapat memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan serta memberikan
sumabangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian justice collaborator
terhadap tindak pidana korupsi.
8
2. Kegunaan Praktis
Untuk dapat memberikan pengetahuan bagi penulis sekaligus hasil dari
penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan
melakukan penelitian serupa. Serta dapat memberi pengetahuan tentang
bagaimana pembuktian justice collaborator terhadap tindak pidana korupsi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum pidana formal (Hukum Acara Pidana) mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana.12 Hukum pidana formal untuk membedakannya dengan
hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi
petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat
dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan
aturan tentang pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu
dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara
melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana, jadi berisi acara pidana.13 Salah satu tindak pidana, tidak terkecuali tindak
pidana korupsi kekuatan pembuktian alat bukti sangat penting sebagai jalan untuk
menjatuhkan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang selanjutnya dalam penulisan skripsi ini
ditulis KUHAP, tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi
bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,
12 Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika , 2008, hlm. 4. 13 Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta
: Ghlmia Indonesia, 2004, hlm. 1
10
putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan,
penahanan, dan lain-lain diberi definisi dalam Pasal 1.14
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang selanjutnya dalam penulisan skripsi ini
ditulis KUHAP, tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi
bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,
putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan lain-lain. Hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat
beberapa pendapat para sarjana diantaranya Andi Hamzah15 mendefinisikan
hukum acara pidana pada ruang lingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada
mencari kebenaran, penyelidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi)
oleh jaksa.
Menurut Wirjono Prodjodikoro16, pengertian hukum acara pidana adalah :
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
Istilah penggunaan hukum acara pidana dianggap sudah tepat
dibandingkan hukum tuntutan pidana yang digunakan di Belanda dengan istilah
strafvordering. Dalam KUHAP sendiri tidak menerangkan lebih lanjut mengenai
pengertian Hukum Acara Pidana, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-
bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, praperadilan, mengadili, putusan
14 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 4. 15 Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghlmia Indonesia,
Jakarta, hlm. 3. 16Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika,
2004, hlm. 7.
11
pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan,
dan yang lainnya. Pengertian hukum acara pidana lebih banyak didefinisikan oleh
para ahli hukum seperti definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen yaitu sebagai
berikut:
Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan
kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh
pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut 7. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib
itu.17 Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana
substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut
hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara
pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum
acara pidana.18
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan
ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur
penyelesaian suatu perkara pidana, yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan
hingga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang
17 Ibid. 18 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 4.
12
pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan
pidana terhadap suatu kasus pidana.19
Tujuan hukum acara pidana sendiri berdasarkan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah :
“tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”20
Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya mencari kebenaran materiil
(materiele waarheid, substantial truth) dan perlindungan hak asasi manusia
(protection of human rights). Para penegak hukum mulai dari Polisi, Jaksa sampai
pada Hakim dalam menyelidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus
berdasarkan kebenaran, harus berdasarkan hal yang benar-benar terjadi. Maka
diperlukan petugas-petugas yang handal, jujur dan berdisiplin tinggi dan tidak
cepat tergoda oleh janji-janji yang menggiurkan.21
Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan acara pidana secara umum dan tetap, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.22
19 http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 3 Desember
2013 20 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 7 21 Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Mandar Maju, hlm. 24. 22 Ibid, hlm. 1.
13
Mengenai landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP,
pada dasarnya dapat ditelaah pada huruf c Konsiderans, yang dirumuskan:
Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat mengkhayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.23
Menurut Mr.J.M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara
pidana adalah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pengambilan putusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan daripada putusan.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran
karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah,
hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang
kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana
adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya
adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan
kesejahteraan dalam masyarakat.24
Dari berbagai pengertian diatas, yang dimaksud dengan hukum acara
pidana dalam skripsi ini adalah bagaimana cara negara melalui alat-alatnya
23 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 8-9. 24 Ibid, hlm. 9.
14
melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara
pidana yang berlaku di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Tahun 1981 Nomor 76) yang mencabut HIR (Staatblad 1951 Nomor 9) jo.
Ketentuan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
B. Pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, pembuktian merupakan titik sentral di
dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan
pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk
menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di
dalam sidang pengadilan.25
Hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
apabila tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP,
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman.
Hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan
masalah pembuktian.26
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, di mana membuktikan berarti
memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret,
25http://profil-lanka.blogspot.com/2012/01/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana.html?m=1 diakses pada tanggal 20 November 2013.
26 Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 102.
15
Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di
sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2
bagian, yaitu :
a. Bagian kegiatan pengungkapan fakta
b. Bagian pekerjaan penganalisasian fakta yang sekaligus penganalisasian
hukum.27
Yahya Harahap28 memberikan arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara
pidana, antara lain :
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan;
b. Sehubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, adalah :
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang, mempergunakan alat bukti tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.
b. Majelis hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang telah ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Majelis hakim jika hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dengan keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekap pada setiap alat bukti yang ditemukan.
27 http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/,
diakses pada tanggal 10 November 2012 28 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 36.
16
c. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.29
Penjelasan pedoman pelaksanaan KUHAP merumuskan tujuan hukum
acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil. Hakim yang memeriksa suatu perkara yang menuju
ke arah ditemukannya kebenaran material, berdasar mana ia akan menjatuhkan
putusan, biasanya menemui kesulitan karena betapa tidak, kebenaran material
yang dicari itu telah lewat beberapa waktu, kadang-kadang peristiwanya terjadi
beberapa bulan lampau, bahkan kadang-kadang berselang beberapa tahun.30
2. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian dan alat-alat bukti termuat dalam BAB XVI Bagian
Keempat Pasal 83 sampai dengan Pasal 232 KUHAP, merupakan bagian yang
terpenting dari proses pemeriksaan perkara pidana. Kewajiban hukum pidana
dalam menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh
kebenaran materiil terhadap :
a. Perbuatan mana yang dapat dianggap terbukti
b. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan
yang dilakukan kepadanya
c. Delik apa yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu
29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 273.
30 Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 103.
17
d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa31
Hari Sasangka dan Lili Rosita berpendapat bahwa :
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut secara kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.32
Ada 4 sistem pembuktian, yaitu :
1. Positief Wettelijke Bewijs Theorie (Teori pembuktian berdasarkan undang-
undang secara positif)
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang-undang. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan
hakim tidak dapat diperluas sama sekali. Teori pembuktian ini sekarang tidak
mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan
pembuktian yang disebut oleh undang-undang.33
Menurut Wirjono Prodjodikoro34 :
Teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
Menurut Simons35 :
Sistem atau teori undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif dan
31 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Bandung : Mandar Maju,2001, hlm. 98-99.
32 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003, hlm. 10.
33 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 251. 34 Ibid. 35 Mohammad Taufik Makarao, Op. cit, hlm. 104.
18
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitur (inqisitoir) dalam acara pidana.
Menurut M. Yahya Harahap36 :
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2. Conviction Intime Theorie (Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
melulu)
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut
keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime. Disadari
bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu
membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh
karena itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri.37
Sistem pembuktian convictim in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan
hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan
boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya
dalam sidang pengadilan. Hasil pemeriksaan alat-alat bukti dapat juga
36 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 278. 37 Andi Hamzah, Op. cit., hlm 252.
19
diabaikan oleh hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian convictim in timemempunyai
kelemahan, hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa
semata-mata atas “dasar keyakinan” tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang
cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana
yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan
alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa. Keyakinan hakim yang paling dominan atau yang paling
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang
sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.38
3. La Conviction Raisonnee Theorie (Teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim atas alasan yang logis)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim
dijatuhkan dengan suatu motivasi.39
Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam salah tidaknya
terdakwa. Sistem pembuktian ini, keyakinan hakim “dibatasi”, jika dalam
sistem pembuktian convictim in timeperan keyakinan hakim leluasa tanpa
batas, maka dalam sistem convictim-raisoneekeyakinan hakim harus didukung
38 Ibid 39Ibid, hlm. 253.
20
dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-
dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal.40
4. Negatief Wettelijk Theorie (Teori pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif)
Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en
grondslag, kata D. Simons), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada
keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu
bersumberkan pada peraturan undang-undang. Hal tersebut terakhir ini sesuai
dengan Pasal 183 KUHAP tersebut, yang mengatakan bahwa dari dua bukti
sah itu diperoleh keyakinan hakim.41
Menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif untuk menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang,
2. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang.42
Pasal 183 KUHAP merumuskan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
40 Ibid. 41 Ibid, hlm. 256. 42 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 279.
21
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman merumuskan :
“Tidak seorang pun dapat djatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Wirdjono Prodjodikoro43 berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-
undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan
dua alasan :
1. Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
2. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum hukum
pembuktian tindak pidana, maka dari segi hukum khusus hukum pembuktian
untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan di dalam hukum
pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberlakukan hukum pembuktian yang
memiliki segi kekhususan terutama berkenaan dengan bahan-bahan yang dapat
digunakan hakim dalam membentuk alat bukti petunjuk dan tentang sistem
pembuktian, khususnya beban pembuktian.44
3. Macam-macam Alat Bukti
43 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 257. 44 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori Dan Praktik, Jakarta : Maharini Press, 2008
hlm. 78.
22
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :
a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat
(1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya
sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang
saksi nyatakan di sidang pengadilan”.45
Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka (26) KUHAP adalah :
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Pengecualian menjadi saksi
termuat dalam Pasal 168 KUHAP :
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa
45 http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/,
diakses pada tanggal 10 November 2012.
23
Di samping karena hubungan kekeluargaan, ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP
bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi
keterangan sebagai saksi.
1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian di
bawah sumpah ialah :
a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 185 ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa baik pendapat maupun
rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan
saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dirumuskan dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain
atau testimonium de auditu.
Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang
sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang mendengar orang lain
mengatakan atau menceritakan sesuatu, atau apa yang di dalam ilmu hukum acara
pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence.46
Menurut Andi Hamzah, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang
mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan
46 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 264.
24
selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil,
dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana keterangan
seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin
kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence, patut tidak
dipakai di Indonesia.47
Kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian ditolak juga oleh S.M.
Amin yang mengatakan sebagai berikut :
“Memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat “didengar, dilihat, atau dialami sendiri” tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah.”48
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada
pemeriksaan keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian
atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau
kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan dan
ketentuan :
1. Harus mengucap sumpah atau janji
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP sebelum saksi memberikan
keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. 49 Adapun sumpah atau
janji:
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing. b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan
yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
47 Ibid. 48 Ibid, hlm. 265. 49 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 286.
25
Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Saat pengucapan
sumpah atau janji:
a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan. b. Sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan
keterangan dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan.
Pasal 161 KUHAP mengatur mengenai saksi yang menolak untuk
mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah :
a. Dikenakan sandera b. Penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hukum ketua sidang c. Penyanderaan dilakukan paling lama 14 hari (Pasal 161 KUHAP)
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan
yang sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir (27) KUHAP :
a. Saksi lihat sendiri b. Saksi dengar sendiri c. Saksi alami sendiri d. Menyebut alasan dari pengetahuannya itu
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan
Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang
berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau
dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai
sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu dinyatakan di sidang
pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside
26
the court) bukan alat bukti dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.50
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang
saksi saja belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis
nullus testis”, ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum
hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi
lain atau alat bukti lain maka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup
untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.51
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan
secara “kuntitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu
keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah
membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya apabila menghadirkan
saksi banyak, jika secara kualitatif keterangan saksi berdiri sendiri tanpa
adanya saling hubungan antarayang satu dengan yang lain yang dapat
mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu.52
Ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan beberapa orang saksi
baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian,
50 Ibid. 51 Ibid. 52 Ibid.
27
apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai saling berhubungan serta saling
menguatkan tentang suatu keadaan atau kejadian tertentu.53
Seiring dengan perkembangan teknologi di masa sekarang, saksi tidak
harus di hadirkan di muka persidangan, dapat melalui suatu media yang
dinamakan Teleconference. Penerapan kali pertama telekonferensi dalam
persidangan di Indonesia dilakukan tahun 2002. Ketika itu mantan presiden BJ
Habibie memberikan kesaksian dari Hamburg Jerman untuk persidangan kasus
korupsi pengadaan beras di Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan. Sidang itu
diselenggarakan terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.54
Cara bersaksi seperti itu debatable mengingat dalam pengertian kesaksian
di persidangan, seharusnya saksi hadir secara fisik (syarat material). Bila saksi
tidak hadir langsung dan hanya memberikan keterangan secara tertulis maka
pembuktiannya menjadi ''tidak bernilai'' karena tidak memenuhi syarat formal
sebagaimana diatur dalam KUHAP. Demikian pula kesaksian hasil telekonferensi
bisa mengakibatkan nilai keterangan saksi berubah hanya menjadi alat bukti
petunjuk, atau bahkan sebatas keterangan tambahan, tidak sebagai keterangan
pokok.55
b. Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli atau saksi ahli menurut Pasal 1 butir (28)
KUHAP dirumuskan sebagai berikut :
“Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
53 Ibid. 54 Hibnu Nugroho, 20 Juni 2013, Nilai Pembuktian Telekonferensi, SuaraMerdeka.com. 55 M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 293.
28
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, hal ini
pun ditegaskan dalam Pasal 186 KUHAP. Penjelasan Pasal ini merumuskan:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Ketentuan Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP,
jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat
melalui prosedur sebagai berikut:
1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. 2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang.56
Tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan ahli oleh
KUHAP. Dalam Pasal 343 Nederlandse Strafvordering (Ned. Sv.) diberikan
definisi apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai berikut :
“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.” 57
Dikaitkan antara Pasal 133 KUHAP dengan Pasal 186 KUHAP, terdapat
dua bentuk keterangan ahli, yaitu:
1. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum;
2. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk keterangan secara langsung di
sidang pengadilan yang dituangkan dalam catatan berita acara persidangan.58
Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat dan menentukan. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama
56 Ibid., hlm. 296. 57 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 273. 58 Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 125.
29
halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan
saksi. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan ahli adalah:
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”
Keterangan ahli tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
menentukan. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Hakim
dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian
harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral demi terwujudnya
kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. 59
2. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP
Keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat
bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan
terdakwa. Keterangan ahli dianggap dapat cukup membuktikan kesalahan
terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.60
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang61 berpendapat bahwa :
Mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim oleh seorang ahli merupakan syarat positif bagi ahli yang bersangkutan, agar keterangan yang diberikan di sidang pengadilan itu dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP.
Isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai
apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah
59 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 304. 60 Ibid. 61 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 421.
30
mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.62
c. Surat
Surat menurut Asser-Anema ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-
tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Menurut A. Pitlo, surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang
menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta,
sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan.63
Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebut alat-alat bukti, maka hanya ada
satu Pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal
187. Pasal tersebut terdiri dari 4 ayat :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.64
Pasal 187 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut diatas disebut juga akte otentik,
berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti
notaris, panitera pengadilan, juru sita, surat izin bangunan, surat izin ekspor,
paspor, surat izin mengendarai (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir,
62 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 274. 63 Mohammad Taufik Makarao, Op. cit, hlm. 127. 64 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 275.
31
dan sebagainya.65 Pasal 187 ayat (3) KUHAP, misalnya keterangan ahli yang
berbentuk laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun,
dan sebagainya.66
Pasal 187 ayat (4) KUHAP, ini disebut juga surat atau akte di bawah tangan.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, Pasal 187 ayat (5) KUHAP adalah surat
yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada
hubungannya dengan alat bukti yang lain dapat dijadikan sebagai alat bukti
tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain. Misalnya, surat cinta
antara dua remaja, yang dapat membuka “kemungkinan” sebab-sebab atau latar
belakang kematian salah satu remaja itu, seperti ada cemburu, kehamilan sebelum
nikah, dan lain-lain.67
Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi
teoritis serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur
dalam KUHAP, yaitu:
1. Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a,
b, dan c KUHAP adalah alat bukti surat yang “sempurna”. Sebab-sebab
bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut
formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan
dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi
keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang dan pembuatan serta
65 Mohammad Taufik Makarao, Op. cit. 66 Ibid, hlm. 128. 67 Ibid.
32
keterangan yang terkandung dalam surat yang dibuat atas sumpah jabatan
maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187
huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti surat yang bernilai “sempurna”.
Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal
yang sempurna”, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain,
b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya,
c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat
berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat
dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain,
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di
dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa
alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.68
2. Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal
187 KUHAP, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan yang mengikat”.
Nilai kekuatan pembuktian surat, sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi yang “bersifat bebas”. Tanpa mengurangi sifat
kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b,
dan c KUHAP sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya
mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk
68 M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 310.
33
menilai nilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau
menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat
tersebut, didasarkan pada beberapa asas, antara lain :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran
materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari
kebenaran formal. Dengan asas ini, hakim bebas menilai kebenaran yang
terkandung pada alat bukti surat. Walaupun dari segi formal alat bukti
surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan
formal itu, “dapat” disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan
kebenaran materiil.
b. Asas keyakinan hakim berdasar Pasal 183, KUHAP menganut ajaran
sistem pembuktian “menurut undang-undang secara negatif”. Hakim baru
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan
terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, dan atas keterbuktian itu hakim “yakin”, terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Bertitik tolak dari sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif, dalam mewujudkan “keyakinan hakim” menilai
salah atau tidaknya terdakwa, “memberi kebebasan” sepenuhnya kepada
hakim untuk menilai setiap kekuatan pembuktian yang diperolehnya dalam
persidangan.
c. Asas batas minimum pembuktian, bagaimanapun sifat kesempurnaan yang
melekat pada alat bukti surat, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri. Ia tetap memerlukan dukungan dari alat bukti
34
lainnya. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, mesti tunduk pada asas
“batas minimum pembuktian” yang telah ditentukan Pasal 183 KUHAP.
Bertitik tolak dari prinsip atau asas batas minimum pembuktian,
bagaimanapun sempurnanya “satu” alat bukti surat, kesempurnaannya itu
tidak dapat berdiri sendiri, harus dibantu lagi dengan paling sedikit “satu”
alat bukti yang lain guna memenuhi apa yang telah ditentukan oleh asas
batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.69
d. Petunjuk
Petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam
mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat
bukti dengan alat bukti lainnya dan hanya memilih yang ada persesuaiannya satu
sama lain.70 Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah :
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa alat bukti petunjuk,
bentuknya sebagai alat bukti yang asesor (tergantung) pada alat bukti lain. Kalau
alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada dalam persidangan pengadilan,
dengan sendirinya tidak ada alat bukti petunjuk. Berbeda dengan alat bukti saksi
69Ibid, hlm. 311. 70 http://hukumzone.blogspot.com/2011/05/macam-macam-alat-bukti-dalam-hukum.html
diakses pada tanggal 10 November 2013.
35
misalnya, bisa hadir tanpa hadirnya alat bukti petunjuk. Dengan demikian, alat
bukti petunjuk selamanya tergantung dari alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk
baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti lain belum dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa.71
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang lain, di
mana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan pembuktiannya, maka
dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian petunjuk adalah bebas. Hakim tidak
terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat
bukti, petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap
terikat pada prinsip minimum pembuktian.72
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan
yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa
dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.73 Menurut Pasal
189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah :
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Pasal 189 ayat (2) KUHAP merumuskan :
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
71 Mohammad Taufik Makarao, Op. cit, hlm. 130. 72 Ibid. 73 M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 318.
36
Terhadap bunyi Pasal tersebut, M. Yahya Harahap74 mengatakan, bentuk
keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang
diberikan di luar sidang ialah :
a. Keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. Dan keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan; c. Serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik
dan terdakwa. Pada bagian lain dikatakan pula, ditinjau dari segi hukum pembuktian, rekonstruksi tersebut termasuk keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa di luar sidang.
Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut
undang-undang, diperlukan beberapa asas antara lain:
1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan
Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu
harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan
“yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa maupun pernyataan yang berupa
“penjelasan” atau “jawaban” terdakwa atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau penasihat
hukum.75
2. Perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
merupakan pernyataan atau penjelasan :
a. Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”, b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa, c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa, d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya
sendiri.76
74 Mohammad Taufik Makarao, Op. cit, hlm. 131. 75 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 320. 76 Ibid.
37
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa adalah sebagai berikut:
1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti
keterangan terdakwa. Hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung
di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat
bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Seandainya hakim
hendak menjadikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan
pembuktian kesalahan terdakwa harus dilengkapi dengan alasan yang
argumentatif dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.77
2. Memenuhi batas minimum pembuktian
Asas penilaian yang harus diperhatikan hakim yakni ketentuan yang
dirumuskan pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa:
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.
Asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang terdakwa
pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya
telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.78
3. Memenuhi asas keyakinan hakim
Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas
minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan “keyakinan hakim”
bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan
77 Ibid, hlm. 332. 78 Ibid.
38
yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183
KUHAP yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di
samping dipenuhinya asas batas minimum pembuktian sebagai alat bukti yang
sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan
keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.79
C. Justice Collaborator
1. Pengertian Justice collaborator
Istilah justice collaborator bukanlah istilah hukum karena tidak bisa
ditemui dalam KUHAP, namun istilah ini dapat sudah dipakai pada praktik
hukum Indonesia, justice collaborator merupakan pihak yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana dan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkannya. Seseorang dapat dikatakan justice collaborator jika dia turut
terlibat dalam tindak pidana yang diungkapkannya, tetapi jika hanya sebagai
pengungkap fakta tanpa terlibat dikatakan sebagai whistleblower.
Menurut Quentin Dempster80, pengertian whistleblower adalah:
“Peniup peluit disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, dialah yang bersiul, berceloteh, membocorkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran”.
79 Ibid. 80 Quentin Dempster, Whistleblower, Jakarta: Elsam, 2006. hlm. 1.
39
Sementara itu Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian
whistleblower adalah “pembocor rahasia” atau pengadu, selanjutnya Mardjono
Reksodiputro81 menjelaskan:
“Dia adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia dikalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi itu berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam sementara ini di Indonesia informasi yang diharapkan dibocorkan adalah kegiatan-kegiatan yang tidak sah, melawan hukum maupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri adalah “orang dalam” di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yang dibocorkan. Karena ia orang dalam maka ia menempuh resiko atas perbuatannya”.
Perbedaan mendasar antara whistleblower dan justice collaborator terletak
pada subjeknya, dimana subjek whistleblower adalah seseorang yang mengadukan
dan mengungkap tindak pidana terorganisir sebelum ia menjadi tersangka atau
sering disebut sebagai saksi pelapor, sedangkan pengertian justice collaborator
menurut poin 9 a SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah yang bersangkutan
merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam
SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam
kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan. Dalam perkembangannya, praktik whistleblower tidak berjalan
sendirian, ia diikuti dengan praktik justice collaborator.
Didalam beberapa literatur juga dikatakan bahwa justice collaborator
dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup pluit yang mau bekerja
sama dengan aparat penegak hukum atau partisipant whistleblower. Si pembocor
rahasia haruslah orang yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau
81 Sigit Artantojati,” Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice collaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. hlm. 55-56.
40
tidak terlibat didalam tindak pidana yang dilaporkan itu. 82 Dari pengertian
partisipant whistleblower sesungguhnya seorang justice collaborator adalah
seorang pelapor yang melaporkan tindak pidana (whistleblower) yang
berpartisipasi atau ikut serta didalam melakukan tindak pidana. Whistleblower dan
justice collaborator merupakan bentuk peran serta masyarakat yang tumbuh dari
suatu kesadaran membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana
yang tidak banyak diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat penegak
hukum.83 Maka ada privilege khusus untuk whistleblower dan justice collabolator
dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan terbitnya. SEMA Nomor 04
Tahun 2011. Oleh karena itu saksi dan/ atau korban dengan kriteria tertentu, yaitu
mempunyai keterangan yang sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu
tindak pidana serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan jiwa saksi
dan/ atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan perlindungan
hukumnya.84
Secara yuridis normatif, berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006,
Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Justice collaborator tidak ada tempat untuk
mendapatkan perlindungan secara hukum, artinya tidak adanya suatu kepastian
hukum yang jelas bagi seorang justice collaborator. Bahkan, seorang saksi yang
juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
82 Firman Wijaya, Op. cit, hlm 11. 83 Ibid, hlm 16. 84 Lies Sulistiani, et.. Al., Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan
Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Hlm 1-2.
41
yang akan dijatuhkan. Sementara itu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2011 angka 9 huruf a, justice collaborator dimaknai sebagai seorang
pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui
perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Syarat untuk seseorang dapat dikatakan sebagai justice collaborator
adalah:
1. Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius
dan atau teroganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba,
terorisme, TPPU, traficing, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana
ringan tidak mengenal istilah ini.
2. Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan
yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat
penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga
memudahkan kinerja aparat penegak hukum.
3. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama
dalam perkara tersebut karena kehadirannya sebagai justice
collaborator adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam
kasus tersebut. Dia hanya berperan sedikit didalam terjadinya perkara
itu tetapi mengetahui banyak tentang perkara pidana yang terjadi itu.
4. Dia mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia
mengembalikan aset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu
secara tertulis.
42
5. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang
sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat
mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap
pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau
mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana85.
Terdakwa Agus Condro merupakan seseorang yang berperan dalam
mengungkap adanya tindak pidana dan sekaligus ikut serta dalam tindak pidana
tersebut. Sehingga dalam keterangan saksi di pembuktian persidangan Agus
Condro dikatakan justice collabator.
2. Sejarah Perkembangan Justice Collaborator
Justice collaborator diterapkan pertama kali pada tahun 1963 di Amerika
Serikat. Dimana saat itu, seorang mafia Italia-Amerika bernama Joseph Valachi
memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kongres Amerika Serikat. Atas
kesaksiannya tersebut, Joseph Valachi menjadi mafia yang pertama kali
melanggar sumpah para mafia yang disebut omerta. Pada dasarnya, omerta
merupakan sumpah diam yang diyakini para mafia baik karena rasa takut ataupun
kesetiaan terhadap kelompok mafianya.86 Joseph Valachi dalam kesaksiannya,
menjelaskan secara rinci mengenai struktur internal mafia dan kejahatan
terorganisasi yang dilakukan oleh kelompok mafianya yang dipimpin oleh Vito
Genovese. Atas kesaksiannya tersebut, Pemerintah Amerika melalui Federal
Bureau of Investigation (FBI) memutuskan untuk memberikan perlindungan ketat
85 Sigit Artantojati, Op. cit. hlm. 90. 86 Febri Diansyah, Kematian Whistleblower, dari http://news.okezone.com/read/2011/0 3/31/58/440804/kematian-whistleblower diakses pada tanggal 10 Januari 2014.
43
pada Joseph Valachi. Sejak saat itulah keyakinan bahwa perlindungan terhadap
justice collaborator atau saksi yang juga menjadi bagian dari sebuah struktur
kejahatan dinilai sangat penting.87 Berikut perkembangan justice collaborator di
beberapa negara dunia :
1. Amerika Serikat
Pada tahun 1970, Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Organized
Crime Control Act (Undang-Undang tentang Pengendalian Kejahatan
Terorganisir) yang memberi Jaksa Agung kewenangan untuk melindungi
justice collaborator.88 Ketentuan ini berfungsi untuk memberi keamanan
terhadap saksi yang bersedia bekerjasama dan memberikan kesaksian atas
kejahatan terorganisir atau tindak pidana serius lainnya. Adapun bentuk
perlindungannya berupa:
a. Relokasi;
b. Pemisahan penahanan (incarcerated witnesses/prisoner-witnesses).
Terdapat lebih dari 8500 justice collaborator dan 9900 anggota
keluarganya yang memperoleh perlindungan berdasarkan ketentuan
tersebut sejak tahun 1971. Masa pelaksanaan dan pendampingan finansial
oleh pemerintah untuk membantu para justice collaborator memulai
kehidupan baru, adalah 22 bulan. Namun justice collaborator dapat
menghubungi perwakilan program setiap saat apabila ancaman kembali
muncul. Sekitar 30% dari justice collaborator saat ini yang mengikuti
87 Ibid. 88 Ibid.
44
berasal dari warga asing dengan berdasar pada pengakuan atas kasus yang
terjadi di Amerika Serikat.
2. Pengaturan di Italia
Pemberian perlindungan terhadap justice collaborator untuk pertama kali
dikenal pada tahun 1984 di Italia dengan adanya persidangan Maxi Trial,
dengan pengakuan Tommaso Buscetta, seorang anggota mafia Sisilia yang
bekerjasama dengan pihak peradilan Italia dalam membongkar jaringan
mafia dalam persidangan dan berhasil memenjarakan 350 anggota mafia.
Atas pengakuannya tersebut, Buscetta mendapatkan bentuk perlindungan
sebagai berikut:
a. Identitas baru; dan
b. Relokasi ke daerah baru.
Dalam sistem hukum Italia, dasar hukum pengaturan atas perlindungan
terhadap saksi dan pentiti (or collaborators with justice) diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 yang kemudian disesuaikan dalam
Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1991, dan kemudian diamandemen
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2001, mengatur bahwa:
New provisions on kidnapping and on witness protection and protection
and punishment of criminals collaborating with justice.
Pada dasarnya saat ini ide justice collaborator diperoleh dari Pasal 37
Ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003
yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003
45
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi).89 Ketentuan serupa juga
terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Yang
Terorganisasi (United Nation Convention Against Transnational Organized
Crimes, 2000). Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009 telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang
terorganisir tersebut, oleh karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi
tersebut sepatutnya diadopsi di dalam peraturan perundang-undangan
terkait.90Aparat penegak hukum di Indonesia sepertinya sudah mulai menyadari
pentingnya peran seorang justice collaborator di dalam membantu pembuktian
tindak pidana yang terorganisir.91
3. Alat Bukti Justice collaborator
Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik
Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah
Agung (MA) justice collaborator diartikan sebagai seorang saksi yang juga
merupakan pelaku, tetapi mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka
membongkar suatu perkara, bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi
jika aset itu ada pada dirinya.92 Sehingga dengan begitu muncul pembuktian alat
bukti yang berasal dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan hakim karena
memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal dari Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama (Justice collaborator).
89 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. 90 Ibid. 91 http://www.lpsk.go.id/page/50ef7bb5b4681, diakses tanggal 10 Januari 2014.
92 http://news.detik.com/read/2011/10/11/225302/1741925/10/ Diakses tanggal 13 November 2013.
46
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 26 menyatakan
bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.93 Sebelum mengambil keputusan
perkara pidana di persidangan, hakim membutuhkan alat-alat bukti yang
medukung dalam proses pembuktian. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
disebutkan mengenai alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam
mengambil keputusan, alat bukti itu ialah :
a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa.
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak suatu perkara pidana
yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi94. Hampir semua
pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan
saksi sekurang-kurangn ya di samping pembuktian dengan alat bukti keterangan
saksi,
‘‘Tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarka keapda pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktia dengan alat bukti keterangan saksi’’.95
93Soenarto Surodibroto, 2007, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung Dan Hoge Raad, Radjagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 355. 94 Ziad, Op Cit, hlm 70. 95 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm 286.
47
Keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat
(1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya
sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang
saksi nyatakan di sidang pengadilan”.96
Banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat
mendukung tugas dari aparat penegak hukum dengan mengingat dalam kejahatan-
kejahatan yang secara sistematis terorganisir sudah barang tentu pihak-pihak yang
terkait dalam kejahatan mengetahui aktor utama sebagai otak pelaku kejahatan
tersebut.
Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1
butir 1 juga menyatakan :
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.
Secara makna tidak ada yang berbeda hanya saja ada sedikit
penyempurnaan bahasa saja.
Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga
memberikan penjelasan bahwa :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
96 Ibid.
48
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”. Uraian di atas penunjukkan bahwa saksi dalam proses peradilan adalah
faktor penting dalam setiap tahap dalam proses peradilan pidana. Suryono Sutarto
lebih luas mengemukakan bahwa saksi adalah orang yang memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Wirjono Projodikoro97 memaknai bahwa Seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seoalah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya.
Dengan pengertian saksi ini menunjukkan bahwa betapa berartinya sebuah
kesaksian dalam proses peradilan pidana, agar terungkapnya sebuah tindak
pidana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saksi adalah sesorang yang
memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana untuk menemukan titik
terang apakah suatu tindak pidana benarbenar terjadi sebagaimana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 135 ayat
(1) KUHAP dapat diketahui sebagai berikut :
1. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
97 Wirjono Projodikoro, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Raja Gravindo,
Jakarta, hlm. 7.
49
2. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnya dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.98
Pasal 108 ayat (1) KUHAP merumuskan :
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Rumusan di atas dapat ditafsirkan bahwa yang diterangkan oleh saksi adalah
yang dialami, yang dilihat / disaksikan. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tercantum arti “saksi” antara lain:
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya,
dilihatnya atau dialaminya sendiri”.99
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184
KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1
(satu) pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang
dimaksud dengan keterangan saksi serta bagaimana tentang kekuatan
pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP merumuskan sebagai berikut :
98 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 266. 99Leden Marpaung,op. cit. , hlm. 32.
50
1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5. Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya b. Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.
7. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
8. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
9. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Menurut M, Yahya Harahap100 agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi aturan
ketentuan sebagai berikut:
1. Harus mengucapkan sumpah dan janji 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Alat bukti berupa keterangan saksi menempati urutan pertama, hal tersebut
juga diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP, yang rumusannya yaitu:
“Yang pertama-tama di dengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. ”
100 Ibid hlm 286.
51
Menurut D. Simons dalam buku Andi Hamzah101 mengemukakan bahwa:
Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian.Batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban
merumuskan pengertian saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
101 Andi Hamzah, op. cit. , hlm. 269.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka
sehingga disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Dalam penelitian
dengan pendekatan yuridis normatif ada dua unsur yaitu unsur ideal dan
unsur riil, unsur ideal mencakup susila dan rasio manusia, rasio manusia
menghasilkan pengertian/pokok/dasar dalam hukum seperti masyarakat
hukum, peristiwa hukum, subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban
dan hubungan hukum, sehingga unsur ideal menghasilkan kaidah-kaidah
hukum melalui filsafat hukum dan normwissenschaft atau
sollenwissenschaft.102
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah dengan penelitian preskritif,
yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan saran–saran mengenai apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu.103 Khususnya untuk
mengetahui istilah dan pembuktian justice collaborator dalam tindak pidana
korupsi Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.
C. Sumber Bahan
102 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 14. 103 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007, hlm. 22.
53
Pada penulisan ini sumber data yang diperlukan adalah data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Dari bahan hukum tersebut dapat diuraikan sebgai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Diperoleh dari putusan pengadilan yang sudah tetap yang diperoleh dari
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/
2011/ PN.Jkt.Pst.
b. Bahan Hukum Sekunder
Data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, literatur, serta
data-data lain yang relevan dengan obyek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, contohnya adalah Kamus Hukum.104
D. Metode Pengumpulan Bahan
Sumber data diperoleh dengan melakukan studi pustaka terhadap
peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur, Yurisprudensi, doktrin
yang berhubungan dengan penelitian.
E. Metode Penyajian Bahan
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
d isajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun
104 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hlm. 38.
54
secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang
utuh.
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis
normatif kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan
pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada
norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
1. Duduk perkara
Terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman Lumban Toruan,
Poltak Sitorus dan Willem Max Tutuarima selaku pegawai negeri atau
penyelenggara negara yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) masa jabatan Tahun 1999-2004 berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor : 313/m Tahun Tanggal 28 September 1999
baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama Dudhie Makmun Murod, M.B.A
(perkaranya telah disidangkan secara terpisah) dan bersama-sama pula dengan
Panda Nababan, Soetanto Pranoro, Budiningsih, Muh. Iqbal, Matheos Pormes,
Engelina Patiasina, Niluh Mariani Tirtasari, Soewarno (berkas perkara diajukan
secara terpisah), Izedrik Emir Moeis dan Sukardjo Hardjosoewirjo. Pada hari dan
tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Juni 2004 setidak-tidaknya
pada waktu-waktu lain dalam Tahun 2004, bertempat di restoran bebek bali di
komplek Taman Ria Senayan Jakarta, Gedung NusantaraI DPR RI Jl. Gatot
Subroto Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang herdasarkan-
pasal 5 jo pasal 34 huruf a Undang-Undang no.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa
dan mengadilinya telah menerima pemberian atau janji yaitu menerima pemberian
uang seluruhnya senilai Rp.9.800.000.000,- {sembilan miliyar delapan ratus juta
56
rupiah) dalam bentuk Travellers Cheque Bank Intemasional Indonesia (TC BII)
dari Nunun Nurbaeti melalui Ahmad Hakim Safari MJ als. Arie Malangjudo, yang
diberikan karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya yaitu mereka
terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman Lumban Toruan, Poltak
Sitorus dan Willem Max Tutuarima mengetahui bahwa pemberian tersebut
diberikan karena mereka terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR RI telah
melaksanakan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana
ditentukan dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Lndonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
serta keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02 A DPR
RI/l/2001 -2002 tanggal 10 september 2001, dengan imbalan sejumlah uang,
perbuatan mana dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
- Mereka terdakwa selaku Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI) dari fraksi Partai Demokrat Indonesia
Perjuangan (PDI-P), pada sekitar awal bulan mei 2004 bersama dengan
Anggota Komisi IX lainnya menerima tugas dari Pimpinan DPR-RI untuk
melaksanakan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test)
dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia
sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden Rl MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 41 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank lndonesia sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, dengan 3 (tiga)
57
orang calon yaitu Miranda Swaray Gultom, hartadi a. Sarwono, dan Budi
Rochadi;
- Mereka terdakwa selanjutnya pada sekitar bulan Juni 2004 bertempat di
ruang rapat Fraksi PDI-P DPR-RI lantai 1 gedung Nusantara I DPR-RI
mengikuti rapat internal fraksi PDI-P, yang dihadiri oleh seluruh Anggota
Komisi lX dari Fraksi PDI-P dan anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P
lainnya yaitu Tjahjo Kumolo selaku Ketua Fraksi PDI-P serta Panda
Nababan selaku Sekretaris Fraksi PDI-P, membahas seluruh kegiatan yang
dilaksanakan disemua komisi termasuk agenda Komisi lX tentang
pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia, yang mana
dalam rapat internal tersebut Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa untuk
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia, Fraksi PDI-P akan
mencalonkan dan mendukung Miranda Swaray Gultom, sebagai calon
Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia, sehingga Anggota Fraksi PDI-P
pada Komisi IX diminta untuk mengamankan dan berkonsentrasi penuh
dalam pemilihan tersebut;
- Mereka terdakwa, selanjutnya mengikuti pertemuan berikutnya yang
dipimpin oleh Izedrik Emir Moeis bertempat di ruang rapat Poksi 9
Gedung DPR-RI, yang dihadiri oleh anggota Komisi lX DPR-RI dari
fraksi PDI-P dan Sekretaris Fraksi PDI-P Panda Nababan yang mana
dalam pertemuan tersebut Tjahjo Kumolo kembali memberikan arahan
dengan mengatakan bahwa Anggota Fraksi PDI-P di Komisi lX DPR Rl
harus menjaga soliditas suara karena telah bersepakat untuk memilih
58
Miranda Swaray Gultom, sebagai Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia,
dan Panda Nababan ditunjuk sebagai Koordinator Pemenangan Miranda
Swaray Gultom, setain itu juga ada pembicaraan bahwa Miranda Swaray
Gultom bersedia memberikan uang berkisar antara Rp.300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) hingga Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) dan
anggota komisi IX dari Fraksi PDI-P akan dipertemukan dengan Mirada
Swaray Gultom;
- Mereka terdakwa kemudian pada hari Sabtu tanggal 29 Mei 2A04 sekitar
pukul 16:00 WIB bertempat. di Klub Bimasena ruang Dwarawati Hotel
Dharmawangsa Jakarta mengikuti pertemuan dengan Miranda Swaray
Gultom, yang dihadiri pula oleh Tjahjo Kumolo, Panda Nababan, Izedrik
Emir Moeis, dan Anggcta Komisi lX DPR-Rl dari Fraksi PDI-P lainnya
dalam rangka mengenal pribadi Miranda Swaray Gultom dan upaya
pemenangannya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia,
yang mana dalam pertemuan tersebut miranda swaray Gultom selain
menyampaikan visi dan misinya juga melakukan klarifikasi tentang isu
pernikahan pertama dan agamanya;
- Mereka terdakwa pada tanggal 8 Juni 2004, bertempat di ruang rapat
Komisi IX DPR-RI periode tahun 1999 – 2004 Lantai 1 Gedung
Nusantara I DPR-RI, mengikuti pelaksanaan presentasi dalam rangka uji
kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap 3 (tiga) calon
Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia yaitu Miranda Swaray Gultom,
hartadi A. Sarwono, dan Budi Rochadi yarg dilanjutkan dengan acara
59
pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia melalui
mekanisme voting, yang mana dalam voting tersebut Miranda Swaray
Gultom terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia urtuk
masa jabatan 2004-2009;
- Selanjutnya beberapa saat setelah selesai acara pemilihan Deputi Gubernur
Senior Bank lndonesia tersebut, Panda Nababan menghubungi H. Dudhie
Makmun Murod, MBA melalui telepon untuk menemui seseorang yang
bernama Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo di restoran
Bebek Bali di komplek Taman Ria di Senayan untuk menerima titipan dari
Nunun Nurbaeti, untuk memenuhi permintaan Panda Nababan tersebul
kemudian H Dudhie Makmun Murod menghubungi Ahmad Hakim Safari
MJ alias Arie Malangjudo melalui telepon dengan mengatakan akan
mengambil titipan dengan kode merah dan disepakati tempat
pertemuannya di Restoran Bebek Bali komplek Taman Ria Senayan, yang
mana sebelumnya Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo telah
diminta Nunun Nurbaeti untuk menyerahkan amplop berisi TC BII dalam
tas karton yang sudah diberi label dengan warna merah, kuning, hijat dan
putih;
- Sesampainya di restoran Bebek Bali H Dudhie Makmun Murod, MBA
melalui telepon menanyakan posisi keberadaan Ahmad Hakim Safari MJ
alias Arie Malangjudo, selanjutnya meminta Ahmad Hakim Safari MJ
alias Arie Malangjudo supaya masuk ke restoran dan ketika H. Dudhii
Makmun Murod. MBA bertemu Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie
60
Malangjudo langsung menanyakan apakah ia yang membawa titipan dari
Nunun Nurbaeti dan dibenarkan oleh Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie
Malangjudo, kemudian H. Dudhie Makmun Murod, MBA menerima
sebuah tas karton berlabel warna merah berisi TC Bll dalam amplop
tertutup dari Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo sebagaimana
arahan dari Nunun Nurbaeti;
- Bahwa H. Dudhie makmun murod, MBA setelah menerima TC Bll senilai
Rp.9.800.000.000,-(sembilan milyar delapan ratus juta rupiah) tersebut
kemudian memberitahu Panda Nababan dan oleh Panda Nababan
disarankan untuk dibagikan kepada anggota Komisi lX dari Fraksi PDI-P,
dengan rincian mereka Terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein,
Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus dan Willem Max Tutuarima
masing-masing mendapat bagian dari H. Dudhie Makmun Murod, MBA
sebanyak 10 lembar TC Bll senilai Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta
Rupiah) dan lainnya dibagikan kepada
No Nama Jumlah
1 H. Dudhie Makmun Murod, MBA Rp.500.000.000,-
2 Ni luh mariani tirtasari Rp.500.000.000,-
3 Aberson M. Sihaloho Rp.500.000.000,-
4 Mateos pormes Rp.350.000.000,-
5 Suwarno Rp.500.000.000,-
6 Sutanto pranoto Rp.600.000.000,-
7 Muh. Iqbal Rp.500.000.000,-
61
8 Enggelina patiasina Rp.500.000.000,-
9 Budiningsih Rp.500.000.000,-
10 Panda nababan Rp.14.500.000,-
11 Suratal hawe. Rp.500.000.000,-
12 Jeffrey tongas lumanbatu Rp.500.000.000,-
Selebihnya dibagikan oleh Panda Nababan kepada Sukardjo Hardjosoewirjo
senilai Rp.200.000.000,- (dua ratus iuta rupiah) dan Izedrik Emir Moeis seniiai
Rp. 200 000.000,-(dua ratus iuta rupian);
Mereka terdakwa mengetahui bahwa pemberian TC Bll tersebut berkaitar, dengan
proses Pemenangan Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi Gubemur Senior
Bank lndonesia dalam pelaksanaan Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
lndonesia, bertentangan dengan kewajiban para terdakwa sebagai anggota Komisi
lX DPR Rl yang dilarang menerima imbalan dari pihak lain dalam menjalankan
tugas
2. Dakwaan Penuntut Umum
Terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan alternatif
sebagai berikut :
a. Kesatu
Perbuatan Mereka terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman
Lumban Toruan, Poltak Sitorus dan Willem Max Tutuarima diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) butir b Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
62
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUH
Pidana.
Atau
b. Kedua
Perbuatan mereka Terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman
Lumban Toruan Poltak Sitorus Dan Willem Max Tutuarima diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55
ayat (1) ke- 1 KUH Pidana;
3. Kesaksian saksi-saksi a charge
Untuk membuktikan surat dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan
saksi-saksi dipersidangan sebagai berikut :
3.1 Saksi KRISNA PRIBADI, dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
Saksi bekerja di Bank Bll pada bagian control Acount, pada tanggal 8 Juli
2OO4 benar ada permintaan Traveller Cheque dari PT. First Mujur
sebanyak 480 lembar dengan nilai per lembar Rp.50 Juta,- sehingga total
seluruhnya adalah Rp.24 Milyar, setahu saksi PT First Mujur membeli TC
dari Bank Bll melalui Bank Arthar Graha dan siapa nama yang melakukan
63
transaksi tersebut saksi tidak tahu, menurut saksi Traveller Cheque
tersebut meskipun telah diserahkan kepada pihak lain akan tetapi masin
bisa dimonitor apabila dicairkair, karena pada saat pencairan akan terlihat
identitas pihak yang mencairkan, bahwa data-data yang ditunjukkan
penyidik tentang nama-nama mencairkan Traveller Cheque tersebut adalah
sama dengan data-data ada pada kantor saksi.
3.2 Saksi DUDHIE MAKMUN MUROD, dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah anggota komisi lX DPR-RI periode 1999-2004 dari Fraksi
PDI-P dan bersama-sarna dengan para Terdakwa di komisi lX DPR-RI
periode 1999-2004, yang pada tanggal B Juni 2004 mengikuti proses
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia dan pada waktu itu
salah satu pesertanya adalah MIRANDA SWARAY GULTOM, pada
tanggal 8 Juni 2004, ketika proses pemilihan tersebut berjalan saksi
ditelpon oleh Sdr. Panda Nababan agar mengambil titipan dari lbu Nunun
Nurbaeti yang akan diserahkan oleh saksi Ari Malang Judo di Restoran
Bebek Bali di daerah Taman Ria Senayan Jakarta, setelah itu menerima
titipan tersebut yang berupa amplop coklat besar dan di dalamnya ada
amplop-amplop warna putih, kemudian atas perintah Sdr Panda Nababan
amplop-amplop tersebut untuk dibagikan kepada teman-teman dari Fraksi
PDI-P yang ada di Komisi lX, namun setelah saks laporkan kepada Sdr
Emir Moeis sebagai Ketua, oleh yang bersangkuta' diminta untuk dibawa
ke ruangannya dan disanalah amplop-amplop tersebut dibagi, amplop-
64
amplop tersebut masing-masing ada namanya dan saksi mengetahui kalau
amplop-amplop tersebut isinya Traveller Cheque setelah dibuka di
ruangan Sdr.Emir Moeis, setahu saksi para Terdakwa mendapat bagian
masing-masing 10 lembar Traveller Cheque dengan nilai total setiap orang
Rp.500 Juta; bahwa saksi juga merangkap sebagai bendahara fraksi dan
selama ini tidak pernah kampanye legislatif maupun kampanye pilpres
karena di dalam fraksi tidak pernah ada dana untuk itu, pada saat
penyerahan Traveller Cheque kepada para Terdakwa saks tidak pernah
menjelaskan bahwa itu untuk keperluan kampanye Legislati maupun
Pilpres, saksi pada saat membagi amplop yang berisi Traveller C tersebut
tidak ingat kepada siapa saja, karena jumlah anggotanya banyak, namun
seingat saksi Terdakwa AGUS CONDRO PRAYITNO saksi yang
memberikan, sedangkan masih ada sisa yang belum sempat dibagi dan
akhirnya yang membagi Sdr. EMIR MOEIS, saksi pernah mengikuti
pertemuan di Hotel Dharmawangsa dan d Ruang Fraksi Gedung Nusantara
yang semua itu adalah dalam rangka penggalangan untuk mendukung
MIRANDA SWARAY GULTOM;
3.3 Saksi TRUCIANA RATNA FARIDA SITORUS, dibawah sumpah pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah isteri dariTerdakwa Poltak Sitorus, saksi pernah diminta
untuk mencairkan Traveller Cheque BII (TC BII) antara bulan Juni-Juli
sebanyak I lembar yang saksi cairkan 1 atau 2 lembar setiap pencairan,
saksi tidak mengetahui dari mana Traveller Cheque tersebut, namun setahu
65
saksi dana yang berasal dari pencairan Traveller Cheque tersebut
dipergunakan ole h Terdakwa Poltak Sitorus untuk kampanye PilPres,
Traveller Cheque yang saksi cairkan sebanyak 8 lembar, masingmasing
nilai perlembar nya Rp.50 Juta, sehingga totat semuanya adalah Rp.400
Juta dan seluruhnya diserahkan kepada Terdakwa Poltak Sitorus saksi
mengetahui anak saksi vang bernama Trinanda Septina Purnama Sitorus
juga mencairkan 2 lembar Traveller Cheque, dengan nilai seluruhnya Rp
100 Juta, saksi membenarkan Foto Copy Traveller Cheque yang saksi
cairkan yang ditunjukkan di persidangan;
3.4 Saksi TRINANDA SEPTINA PURNAMA SITORUS, dibawah sumpah
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah puteri dari Terdakwa Poltak Sitorus, saksi pernah diminta
untuk mencairkan Traveller Cheque oleh terdakwa Poltak Sitorus
sebanyak 2 lembar dengan nilai Rp.50 Juta per lembarnya, sehingga
jumlah seluruhnya Rp.100 Juta, saksi tidak tahu dari mana Traveller
Cheque tersebut demikian juga peruntukannya, saksi pernah diminta untuk
mencairkan Traveller Cheque oleh terdakwa Poltak Sitorus sebanyak 2
lembar dengan nilai Rp.50 Juta per lembarnya, sehingga jumlah
seluruhnya Rp.100 Juta, saksi tidak tahu dari mana Traveller Cheque
tersebut demikian juga peruntukannya, uang hasil pencairan Traveller
Cheque tersebut oleh saksi diserahkan kepada Terdakwa Poltak Sitorus,
saksi membenarkan Foto Copy Traveller Cheque yang saksi cairkan yang
ditunjukkan di persidangan, uang hasil pencairan Traveller Cheque
66
tersebut oleh saksi diserahkan kepada Terdakwa Poltak Sitorus, saksi
membenarkan Foto Copy Traveller Cheque yang saksi cairkan yang
ditunjukkan di persidangan.
3.5 Saksi ESTHER WIWIEK PRIWANTI, dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Saksi pernah menerima 3 lembar Traveller Cheque BII sebagai
pembayaran pembelian 1 unit kios di ITC Depok atas nama Rusman
Lumban Toruan, senilai per lembarnya Rp,50 Juta, saksi tidak mengetahui
berapa lagi Terdakwa Rusman Lumban Toruan menambah dengan uang
tunai karena saksi tidak tahu berapa nilai seluruhnya kios yang dibeli oleh
Terdakwa Rusman Lumban Toruan, saksi membenarkan barang bukti
berupa foto copy Traveller Cheque yang saksi terima yang ditunjukkan di
persidangan;
3.6 Saksi WAHYU BUDIONO, dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan
sebagai berikut:
Saksi tidak kenal dengan para Terdakwa, saksi bekerja pada PT.
Phinisindo Zamrud Nusantara yang bergerak di bidang property, pada
tanggal 11 Juni 2004 pernah diminta mencairkan 3 lembar Traveller
Cheque Bll senilai per lembarnya Rp.50 juta, sehingga jumlah seluruhnya
Rp.150 juta, saksi mengetahui Traveller Cheque tersebut adalah untuk
pembayaran Kios yang ada di ITC Depok, namun saksi tidak tahu dari
mana dan berapa harga Kios yang dibeli, saksi membenarkan barang bukti
67
yang ditunjukkan di persidangan adalah foto copy Traveller Cheque yang
saksi cairkan;
3.7 Saksi TIONGKU SINAGA, dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah sesama jemaat gereja ciengan Terdakwa Rusman Lumban
Toruan, saksi adalah Ketua pembangunan gereja sejak tahun 2004 sampai
dengan sekarang, saksi pernah menerima sumbangan untuk pembangunan
gereja dari Terdakwa Rusman Lumhan Toruan dan diberikan dalam
bentuk Traveller Cheque Bll sebanyak 2 lembar, dengan nilai
perlembarnya Rp.50 juta, setelah menerima Traveller Cheque tersebut oleh
saksi diserahkan kepada saksi Junjungan Dolok Saribu selaku bendahara,
saksi membenarkan foto copy Traveller Cheque yang saksi terima dari
Terdakwa Rusman Lumban Toruan yang ditunjukkan di persidangan.
3.8 Saksi BENEDICTUS SEMAR MIHARJA WAHI alias BENNY SEMAN
MIHARJA, dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
Saksi tidak kenal dengan para Terdakwa, saksi pernah diminta mencairkan
Traveller Cheque sebanyak 1 lembar dengan nilal Rp.50 juta yang berasal
dari Sdr. Zaenal Arifin, yaitu anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P, pada saat
mau mencairkan Traveller Cheque tersebut Sdr. Zaenal Arifin mengatakan
untuk dana kampanye PilPres Mega – Hasyim, uang hasil pencairan
tersebut oleh saksi dipergunakan untuk kampanye PilPres untuk wilayah
68
kota Bekasi, barang bukti yang ditunjukkan di persidangan adalah Foto
Copy Traveller Cheque yang saksi cairkan
3.9 Saksi Prof. MIRANDA SWARAY GULTOM, S.E., M.A., Phd., dibawah
sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai betikut:
Saksi kenal dengan terdakwa Max Moein, Poltak Sitorus dan Williem Max
Tutuarima, pada bulan Juni 2014 telah dicalonkan untuk menjadi Deputi
Gubernur Senior Bank lndonesia dan oleh karenanya saksi mempersiapkan
untuk Fit and Profer test, sebelum test tersebut dilakukan, saksi telah
melakukan pertemuan dengan para anggota Komisi lX dari Fraksi PDI-P
di Hotel Dharmawangsa dengan maksud, saksi akan menyampaikan visi
dan misi selain saksi minta agar didalam pelaksanaan Fit and profer test
tidak lagi dipersoalkan masalah pribadi/keluarga saksi, dalam pertemuan
di Hotel Dharmawangsa tersebut yang mempunyai inisiatif adalah saksi
dan biaya untuk menyelenggarakan pertemuan tersebut dibayar oleh saksi,
selain melakukan pertemuan dengan anggota DPR -Rl dari komisi lX dari
Fraksi PDI-P saksi juga mengadakan pertemuan dengan anggota DPR-RI
komisi lX dari Fraksi ABRI yang berjumlah 4 orang di kantor saksi di
Niaga Tower, Bahwa seingat saksi yang hadir pada pertemuan di Hotel
Dharmawangsa selain para terdakwa juga ada Sdr. Panda Nababan dan
saksi Dhudi Makmun Murod, saksi kenal dengan Sdri, Nrrnun Nurbaeti
dalam kegiatan sosialita dan karena anak saksi dengan anak Sdri. Nunun
Nurbaeti sama-sama sekolah di San Fransisco, disamping itu saksi pernah
menawari Sdri. Nunun Nurbaeti untuk menjadi Sekretaris GABSI, seingat
69
saksi Sdri. Nunun Nurbaeti pernah datang ke kantor saksi bersama dengan
cucu dan susternya, namun tentang keikut sertaannya Ari Malang judo
saksi agak lupa, saksi sering bertemu dengan Sdri.Nunun Nurbaeti pada
acara-acara Fashion show, Perkawinan dan kegiatan-kegiatan social, saksi
tidak tahu menahu tentang Traveller Cheque yang dibagi bagi kepada para
anggota Komisi lX ketika pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
lndonesia, saksi mendengar hal tersebut dari pemberitaan di mas media,
pada pertemuan di hotel Dharmawangsa antara saksi dan para anggota
Komisi lX dari Fraksi PDI-P tidak ada janji-janji tertentu, termasuk saksi
tidak pernah menjanjikan akan memberi dana Rp.300 Juta sampai Rp.500
Juta kepada para anggota Komisi lX dari Fraksi PDI-P tersebut;
3.10 Saksi TJAHJO KUMOLO, S.H., dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah Ketua Fraksi PDI-P sejak tahun 2003 sampai sekarang,
menurut saksi para Terdakwa adalah anggota Komisi IX DPR-RI bersama
14-15 anggota lainnya dari Fraksi PDI-P yang pada tanggal 8 Juni 2004
mengikuti pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank lndonesia, Bahwa
tentang pencalonan Saksi Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi
Gubernur senior Bank lndonesia Fraksi PDI-P mendukung yang
bersangkutan, karena dianggap cakap dan memenuhi persyaratan, tentang
informasi pembagian Traveller Cheque saksi tidak tahu menahu, namun
ketika masalah tersebut mencuat, saksi pernah menanyakan kepada Saksi
Dudhie Makmun Murod dan dijelaskan bahwa Traveller cheque tersebut
70
langsung dibagikan kepada anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P,
mengenai dana untuk kampanye baik Legislatif maupun pilpres dari fraksi
PDI-P tidak pernah menyediakan dana karena Fraksi tidak punya dana
untuk itu dan untuk keperluan kampanye semuanya dengan biaya masing-
masing anggota, saksi pernah menanyakan juga kepada Terdakwa Rusman
Lumban Toruan dan Willem Max Tutuarima tentang penerimaan trateller
cheque tersebut dan yang bersangkutan membenarkan, saksi membenarkan
Sdr.Panda Nababan adalah Sekretaris Fraksi PDl-P dan tentang perintah
sdr. panda Nababan kepada Dudhi Makmun Murod agar mengambil
Traveller Cheque di Restaurant Bebek Bali, saksi tidak tahu menahu, saksi
tidak kenal dengan sdri. Nunun Nurbaeti
3.11 Saksi UDJU DJUHAERI, dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan
sebagai
berikut:
Saksi adalah anggota Komisi IX DPR-Rl dari Fraksi ABRI, saksi kenal
dengan para Terdakwa karena dalam satu persidangan pada Komisi lX
yang membidangi Keuangan, BUMN dan Bappenas, sebelum pemilihan
Sdri. Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank
lndonesia, saksi bersama Sdr. Darsup yusuf, Suyitno dan Sulistyadi semua
dari Fraksi ABRI mendatangi kantor Saksi lrliranda Swaray Gultom untuk
mengetahui misi dan visinya, saksi kenal Sdri. Nunun Nurabaeti dan
suaminya Sdr.Acang Darajatun karena senior saksi, yaitu sewaktu Sdr.
Adang Darajatun sebagai Wakapolri saksi sebagai Direktur lntel, Bahwa
71
saksi pada tanggal B Juni 2oo4 pernah menerima telpon dan seorang
wanita yang saksi perkirakan adalah Sdri. Nunun lJurbaeti, yang meminta
saksi bersama teman-temannya datang di Jln,Riau No.17 Menteng dan
setelah sampai disana oleh saksi Ari MalangJudo memberi bingkisan ,
kemudian setelah dibuka isinya adalah Traveller Cheque sebanyak
masing-masing 10 lembar dengan nilai per lembar Rp.50 Juta, saksi
mempergunakan uang Cari pencairan Traveller Cheque untuk keperluan
sehari-hari, saksi sebenarnya tidak memilih Saksi Miranda Swaray Gultom
karena soal keyakinan, saksi membenarkan barang bukti yang di tunjukkan
di persidangan yaitu Foto Copy Traveller Cheque yang saksi terima.
3.12 Saksi DR. ENDIN AJ SOEFIHARA, M.MA, dibawah sumpah pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah anggota Komisi lX DPR-RI periode 1999-2004 dari Fraksi
PPP, saksi pada tanggal I Juni 2044 turut memilih Deputi Gubernur Senior
Bank lndonesia, salah satu pesertanya adalah Saksi Miranda Swaray
Gultom, saksi kenal dengan Sdri.Nunun Nurbaeti karena pernah sama-
sama hadir pada acara Halal bil halal masyarakat Jawa Barat, saksi pernah
menerima Traveller Cheque dari Saksi Ari MalangJudo yang diterima
saksi di Hotel Atlet Century dan jumlahnya 10 lembar dengan nilai per
lembar Rp.50 Juta, sehingga jumlah seluruhnya adalah Rp.500 Juta,
awalnya saksi tidak mengetahui pemberian Traveller Cheque tersebut ada
kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Bank lndonesia, saksi baru
mengetahui ketika diperiksa di KPK, saksi tidak menggunakan Traveller
72
Cheque tersebut urrtuk kepentingan pribadi, karena menuruy saksi
terhadap barang yang tidak jelas asal usulnya adalah subhat yaitu antara
halal dan haram, sehingga barang tersebut saksi titipkan kepada seseorang
dengan alasan apabila di kemudian hari bermasalah akan dikembalikan,
bahwa Traveller Cheque tersebut saksi titipkan kepada Sdr. Daniel
Tanjung dan sekarang sudah dikembalikan kepada KPK, saksi tidak
pernah melakukan pertemuan dengan saksi Miranda Swaray Gultom
sebelum pemilihan Deputi Gubernur Senior berlangsung dan saksi tidak
memilih saksi Miranda Swaray Gultom pada saat voting dilakukan, saksi
membenarkan barang bukti Traveller Cheque yang saksi terima yang
ditunjukkan di persidangan;
3.13 Saksi lr. IZEDRIK EMIR MOIES, Msi, dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Saksi adalah Ketue Komisl lX pada saat ada pemilihan Deputi Gubernur
Senior Bank lndonesia, saksi dengan para TerdaKwa Karena sesama
anggola komisi IX DPR-Rl yang pada waktu itu ikut dalam pemilihan
Deputi Gubernur Senior, saksi ikut melakukan pertemuan dengan saksi
Miranda Swaray Gultom di Hotel Dharmawangsa, karena ada instruksi
dari Sdr.Panda Nababan selaku sekretaris Fraksi, dalam pertemuan
tersebut tidak ada kesepakatan-kesepakatan apapun, kecualr hanya terbatas
pada penyampaian misi dan visi dari saksi Miranda Swaray gultom, saksi
bersama-sama dengan saksi Dudhi Makmun Murod membagi-bagi amplop
kepada para anggota Komisi lX dari Fraksi PDI-P termasuk para
73
Terdakwa di ruang komisi akan tetapi ada yang dibagi langsung oleh Saksi
Dudhi Makmun Murod di ruangan lain, saksi mendengar ketika
pembagian amplop tersebut saksi Dudhi Makmun Murod mengatakan
kepada teman-teman bahwa ini upah capek dan ini untuk bergerak di
daerah, akan tetapi ada juga yang disampaikan dengan bahasa daerah,
saksi mempercayai bahwa pembagian tersebut ada kaitannya dengan upah
capek karena habis ada pemilihan Deputi Gubernur Senior, pada waktu itu
saksi tidak mau menerima amplop tersebut karena saksi tidak enak dengan
Miranda Swaray Gultom, sebab yang bersangkutan adalah teman
sekolahnya, secara logika amplop tersebut dapat diduga bersal dari Saksi
Miranda Swaray Gultom, karena ada kata-kata upah capek dari saksi
Dudhi Makmun Murod dan ketika itu hanya ada satu kegiatan, akhirnya
amplop yang diterima oleh saksi diserahkan kepada sdr.Panda Nababan
dan saksi tidak tahu dikemanakan amplop tersebut oleh sdr. Panda
Nababan, beberapa waktu kemudian saksi diberi amplop lagi oleh
Sdr.Panda Nababan dan saksi menduga bahwa amplop yang diberikan
tersebut juga yang dulu-dulu itu juga, namun oleh karena kata Sdr.Panda
Nababan amplop tersebut adalah bantuan dari Fraksi maka saksi terima
dan seianjutnya diserahkan kepada staf saksi dan dicairkan untuk dikirim
ke Kalimantan Timur untuk keperluan konsituante, saksi telah
mengembalikan uang yang diterima kepada KPK sebesar Rp 200 Juta,
saksi tidak kenal dengan Sdri Nunun Nurbaiti dan saksi tidak tahu menahu
hubungannya dengan Sdri miranda Swaray Gultom:
74
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Membaca tuntutan pidana jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri jakarta
Pusat telah mendengar pemembacaan requisitoir (tuntutan pidana) penuntut umum
pada komisi pemberantasan korupsi yang dibacakan pada persidangan tanggal 01
juni 2011 yang pada pokoknya menuntut supaya majelis hakim pada pengadilan
tindak pidana korupsi yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan.
1) menyatakan terdakwa Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman
Lumban Toruan, Poltak Sitorus dan Willem Max Tutuarima turut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUH pidana sebagaimana
dalam dakwaan KEDUA.
2) Menjatuhkan pidana terhadap :
2.1 Terdakwa Agus Condro Prayitno Pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6(enam) bulan dikurangi masa tahanan dan denda Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) , bulan kurungan, dengan
perintah supaya terdakwa tetap dalam tahanan.
2.2 Terdakwa Max Moein Pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6
(enam) bulan dikurangi masa tahanan dan denda Rp 50.000.000,- (lima
75
putuh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, dengan perintah
supaya terdakwa tetap dalam tahanan.
2.3 Terdakwa Rusman Lumban Toruan Pidana penjara setama 2(dua)
tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan dan. denda
Rp.50.000.000,- (lima putuh juta rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan
kurungan, dengan perintah supaya terdakwa tetap daram tahanan.
2.4 Terdakwa Willem Max Tutuarima pidana penjara serama 2(dua) tahun
dikurangi masa tahanan dan denda Rp.50.000.000,- (lima putuh juta
rupiah) subsidiair 3(tiga) bulan kurungan, dengan perintah supaya
terdakwa tetap dalam tahanan.
3) Menghukum pula Terdakwa Max Moein dan Terdakwa Rusman Lumban
Toruan untuk dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan uang dan
barang-barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi atau kekayaan
yang senilai dengan hasil kejahatan tersebut, yaitu masing-masing sebesar
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), yang ada pada para Terdakwa
tersebut dan keluarganya.
4) Menyatakan barang bukti berupa:
4.1 Uang tunai sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
pengembalian dari terdakwa Agus Condro Prayitno (BB-350).
Dirampas untuk Negara.
4.2 1(Satu) Bundel dokumen perjanjian perikatan/bukti setor pembayaran
apartemen Teluk lntan atas nama Agus condro prayitno, dengan
perincian : (BB No.9)
76
a. (Lima belas) lembar asli surat perjanjian pengikatan jual beli
nomer: 1367/PPJB/ATI/VI/06 tanggal 12 Juni 2006 dengan pihak
pertama atas nama PT.TRIKA BUMI PERTIWI dan pihak kedua
atas nama AGUS CONDRO PRAYITNO dan Lampirannya.
b. l(satu) bunde asli bukti setor pembayaran kepada PT TRIKA Bumi
Pertiwidari Agus Condro Prayitno sebagai bukti pembayaran`
kepemilikan apartemen Teluk lntan pada Tower:T6 Lantai :L11
Nomer: C.
c. 1(satu) lembar asli lamprran cara pembayaran apartemen oleh
Agus Condro Prayitno pada apartemen Teluk lntan lantai 11 type
70 yang ditandatangani oleh pembeli atas nama Agus Condro
Prayitno
d. 1(satu) lembar foto copy - bukti serah terima anak kunci unit
hunian Apartemen Teluk Intan dengan nama pemilik Agus Condro
Prayitno tanggal 2l Mei 2008
e. 1(satu) lembar asli surat Pesanan Nomer: 000469 dengan nama
pemohon Agus Condro Prayitno pada apartemen Teluk Intan;
f. 1(Satu) buah amplop dengan tulisan PT.Trika Bumi
Pertiwiapariemen Teluk lntan Jalan Teluk lntan RayaTeluk Gong
JakartaUtara dengan isi amplop : 1(Satu) 7 buah anak kunci
apartemen Teluk Intan Nomer: C dan Lantai: 11, 1(Satu) buah
kartu Tower Topaz dengan nomer R06 00488 dan 1(satu) buah
kartu dengan nomer: 2007-100748.C.
77
4.3. 1( Satu ) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Repubiik
lndonesia Nomor 31 3/M Tahun 1999 tentang peresmran keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004 dengan nomor urut 87(Delapan puluh tujuh) atas
nama Drs.Poltak Sitorus mewakili Partai Demokrasi lndonesia
Perjuangan daerah pemilihan Lampung Kabupaten '-ampung selatan
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 september 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Habibie (BB No.1) Dikembalikan kepada istri
almarhum Poltak Sitorus yaitu saksi Truciana Ratna Farida Sitorus,
4.4. 1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik lndonesia
Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan tahun 1999-
2004 dengan nomer urut 126 (Seratus dua puluh enam) atas nama
Rusman Lumbantoruan,B.Th mewakili Partai Demokrasi lnoonesia
Perjuangan daerah pemilihan Jawa Barat Kotamadya Depok
),yangditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1999 oleh
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE. (BB No.2).Dikembalikan
kepada Terdakwa RUSMAN LUMBAN TORUAN.
4.5.1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik lndonesia
Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan tahun 1999-
2004 dengan nomer urut 131 (Seratus tiga puluh satu) atas nama
Drs.Agus Condro Prayitno mewakili Partai Demokrasi lndonesia
78
Perjuangan daerah pemilihan Jawa Tengah Kabupaten Batang yang
ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Habibie.(BB No.3) Dikembalikan kepada
Terdakwa Agus Condro Prayitno;
4.6.1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik lndonesia
Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan Dewan
perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan tahun 1999-
2004dengan nomor urut 150 (Seratus lima puluh) atas nama
WilllemM.Tutuarima.SH mewakili Partai Demokrasi lndonesia
Perjuangandaerah pemilihan Jawa Tengah Kabupaten semarang yang
ditetapkan diJakarta pada tanggal 28 September 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Habibie. (BB No.4).Dikembatikan kepada
Terdakwa Willlem Max Tutuarima;
4.7. 1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik lndonesia
Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan tahun 1999-
2004 dengan nomer urut 179 (Seratus tujuh puluh sembilan) atas nama
MAX MOEIN,MA.,MBA mewakili Partai Demokrasi lndonesia
Perjuangan daerah pemilihan Kalimantan Barat Kotamadya Pontianak
yang ditetapkandi Jakarta pada tanggal 28 September 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Hablbie. (BB No'5), Dikembatikan kepada
Terdakwa Max Moein;
79
4.8.Barang bukti no 8-352 dilampirkan dalam berkas perkara (Lihat
lampiran penelitian ini)
5) Menetapkan Menyatakan Terdakwa 1 (Agus condro prayitno), Terdakwa
II (Max Moein), Terdakwa III (Rusman Lumban Toruan) dan Terdakwa V
(Williem Max Tutuarima) membayar biaya perkara masing – masing
sebesar Rp.10.000.-(sepuluh ribu rupiah)
5. Amar Putusan
MENGADILI:
a. Menyatakan Terdakwa 1 (Agus condro prayitno), Terdakwa II (Max
Moein), Terdakwa III (Rusman Lumban Toruan) dan Terdakwa V
(Williem Max Tutuarima) tersebut diatas telah terbukti dengan sah dan
meyakinkan bersalah metakukan tindak pidana “korupsi bersama-sama” :
b. Menjatuhkan pidana :
- Terhadap Terdakwa I (Agus Condro Prayitno) oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1(satu) tahun dan 3(tiga) bulan;
- Terdakwa II (Max Moein) oleh karena itu dengan pidana penjara selama
1(satu) Tahun dan 8 (delapan) bulan;
- Terdakawa III (Rusman Lumban Toruan) oleh karera ltu dengan pidana
penjara selama l (satu) tahun dan 8(delapan) bulan
- Terdakvra V (Williem Max Tutuarima) oleh karena itu karena pidana
penjaraselama 1(satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
c. Menjatuhkan pula pidana denda kepada Terdakwa I (Agus Condro
Prayitno) Terdakwa ll (Max Moein), Terdakwa lll (Rusman Lumban
80
Toruan) terdakwa v (williem MaxTutuarima), masing- masing sebesar Rp
50.000.000.-(lima puluh Juta Rupiah) dan apabila tidak bisa dibayar
diganti dengan kurungan –masing-masing selama 3 (tiga) bulan
d. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh para
Terdakwadikurangkan seluruhnya denean masa pidana yang dijatuhkan;
e. Memerintahkan agar para Terdakwa tetap ditahan;
f. Menetapkan barang bukti berupa : (sebagaimana terlampir dalam
penelitian ini)
- No.1 Uang tunai sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
pengembaliandari Terdakwa AGUS CONDRO PRAYITNO (BB-350);
- No.2 l(Satu) Bundel dokumen perjanjian perikatan/bukti setor pembayaran
apartemen Teluk lntan atas nama Agus Condro Prayitno, dengan
perincian: (BB No. 9), dengan perincian :
a) 15 (Lima belas) lembar asli surat perjanjian pengikatan jual beli nomcr
: 1367/PPJB/ATIA/VI/06 ta.nggal 12 Juni 2006 dengan pihak pertama
atas nama PT.Trika Bumi Pertiwi dan pihak kedua atas nama AGUS
CONDRO PRAYITNO dan Lampirannya;
b) 1 (satu) bundel asli bukti setor pembayaran kepada PT Trika Bumi
Pertiwi dari AGUS CONDRO PRAYITNO sebagai bukti pembayaran
kepemilikan apartemen Teluk lntan pada Tower T6 Lantai: L11 Nomer
C:
c) 1(satu) lembar asli lampiran cara pembayaran aparlemen oleh
AgusCondro Prayitno pada apartemen Teluk lntan lantai Lantai: L11
81
Nomer C yang ditandatangani oleh Pembeli atas nama Agus Condro
Prayitno;
d) 1 (satu) lembar foto copy burkti serah terina anak kunci unit hunian
apartemen Teluk lntan dengan nama pemilik Agus Condro
Prayitnotanggal 21 Mei 2008;
e) 1(satu) lembar asli Surat Pesanan Nomer, 000469 dengan
namapemohon Agus Condro Prayitno pada apartemen Teluk lntan;
f) 1 (Satu) buah amplop dengan tulisan PT.Trika Bumi Pertiwiapariemen
Teluk lntan Jalan Teluk lntan RayaTeluk Gong JakartaUtara dengan isi
amplop : 1(Satu) 7 buah anak kunci apartemen Teluk Intan Nomer: C
dan Lantai: 11, 1(Satu) buah kartu Tower Topaz dengan nomer R06
00488 dan 1(satu) buah kartu dengan nomer:2007-100748.C.
Dirampas untuk negara;
- No.3. 1( Satu ) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Repubiik
lndonesia Nomor 31 3/M Tahun 1999 tentang peresmran keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004 dengan nomor urut 87(Delapan puluh tujuh) atas
nama Drs.Poltak Sitorus mewakili Partai Demokrasi lndonesia
Perjuangan daerah pemilihan Lampung Kabupaten '-ampung selatan
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 september 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Habibie (BB No.1) Dikembalikan kepada istri
almarhum Poltak Sitorus yaitu saksi Truciana Ratna Farida Sitorus,
82
- No.4 1 ( Satu ) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik
lndonesiaNomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004 dengan nomer urut 126 (Seratus dua puluh enam)
atas nama Rusman Lumbantoruan,B.Th mewakili Partai Demokrasi
lnoonesia Perjuangan daerah pemilihan Jawa Barat Kotamadya Depok
),yangditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1999
olehBACHARUDDIN JUSUF HABIBIE. (BB No.2).Dikembalikan
kepada Terdakwa RUSMAN LUMBAN TORUAN.
- No.5. 1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik
lndonesiaNomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004 dengan nomer urut 131 (Seratus tiga puluh satu) atas
nama Drs.Agus Condro Prayitno mewakili Partai Demokrasi
lndonesia Perjuangan daerah pemilihan Jawa Tengah Kabupaten
Batang yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1999
oleh Bacharuddin Jusuf Habibie.(BB No.3) Dikembalikan kepada
Terdakwa Agus Condro Prayitno;
- No.6. 1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik
lndonesia Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan
Dewan perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004dengan nomor urut 150 (Seratus lima puluh) atas
nama WilllemM.Tutuarima.SH mewakili Partai Demokrasi lndonesia
83
Perjuangandaerah pemilihan Jawa Tengah Kabupaten semarang yang
ditetapkan diJakarta pada tanggal 28 September 1999 oleh
Bacharuddin Jusuf Habibie. (BB No.4).Dikembatikan kepada
Terdakwa Willlem Max Tutuarima;
- No.7. 1(Satu) Lembar ASLI Petikan Keputusan Presiden Republik
lndonesia Nomor 313/M tahun 1999 tentang peresmian keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih untuk masa keanggotaan
tahun 1999-2004 dengan nomer urut 179 (Seratus tujuh puluh
sembilan) atas nama MAX MOEIN,MA.,MBA mewakili Partai
Demokrasi lndonesia Perjuangan daerah pemilihan Kalimantan Barat
Kotamadya Pontianak yang ditetapkandi Jakarta pada tanggal 28
September 1999 oleh Bacharuddin Jusuf Hablbie. (BB No'5),
Dikembatikan kepada Terdakwa Max Moein;
- Barang bukti no 8-352 dilampirkan dalam berkas perkara (Lihat
lampiran penelitian ini)
g. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa I Agus Condro
Prayitno, terdakwa II Max Moein, terdakwa III Rusman Lumban
Toruan, terdakwa IV Poltak Sitorus dan terdakwa V Willem Max
Tutuarima masing – masing Rp.10.000.-(sepuluh ribu rupiah)
Demikianlah diputuskan pada hari kamis, tanggal 16 juni 2011 dalam
rapat permusyawaratan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada
pengadilan negeri jakarta pusat yang terdiri suhartoyo, SH., MH, selaku ketua
majelis hakim, serta para hakim anggota terdiri : 1.Pangeran Napitupulu,SH.,MH,
84
2.H.achmad linon, SH., MH, 3 slamet subagyo, SH., MH, 4 Sofialdi, SH, putusan
diucapkan dalam persidangan yang terbukan untuk umum pada hari kamis,
tanggal 16 juni 2011 oleh hakim ketua yang didampingi oleh hakim-hakim
anggota tersebut diatas, dibantu oleh Rustianti, SH., MH, selaku panitera
pengganti serta dihadiri oleh Muchammad . Rum, SH., MH dkk, penuntut umum
pada komisi pemeberantasan korupsi, terdakwa I, terdakwa II, terdakwa III,
terdakwa IV, dan terdakwa V dengan didampingi Tim penaasihat Hukumnya
masing-masing.
B. Pembahasan
1. Terdakwa Agus Condro dikatakan sebagai justice collaborator dalam
Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.
Tindak Pidana Korupsi merupakan serious crime dan scandal crime
sehingga mempunyai tempat khusus dalam pemberantasannya. Tindak pidana ini
semakin berkembang dan terorganisir yang mana selalu melakukan dengan cara
yang tidak mudah diketahui selain itu juga dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan yang tinggi yang mempunyai kekuasaan. Peningkatan
tindak pidana korupsi menyebabkan banyak kerugian bagi negara, selain
infrastruktur dan pembangunan yang terhambat juga mengakibatkan menderitanya
warga masyarakat akibat adanya tindak pidana korupsi.
Kejahatan yang terorganisir seperti ini harus ditindak dengan penanganan
yang tepat, resolusi dan penerapan harus semakin berkembang yang dikarenakan
tindak pidana korupsi juga semakin berkembang dengan cara-cara menghilangkan
85
uang negara tanpa meninggalkan jejak. Maka dengan begitu aparat penegak
hukum harus lebih cermat dalam setiap mengungkap tindak pidana korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi yang diungkap oleh pelaku terbilang jarang,
dikarenakan perlindungan hukum untuk pengungkap masih belum jelas sehingga
resiko akan datang. Justice collaborator dan whistleblower adalah langkah
strategis untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir dan
memudahkan pelaku untuk menempuh jalan taubat. Walaupun demikian masih
ada permasalahan dalam tingkat peraturan perundang-undangannya karena justice
collaborator dan whistleblower belum diatur dalam undang-undang. Itulah
mengapa diperlukan political will yang kuat baik dari semua pihak yang
berkepentiangan untuk mengimplementasikan justice collaborator dan
whistleblower terutama dalam kasus pemberantasan korupsi. Namun perlu
digarisbawahi juga agar KPK dan para penegak hukum lainnya jangan hanya
menunggu dan bergantung pada para whistleblower dan justice collaborator,
karena masyarakat tidak ingin melihat KPK dan penegak hukum yang impoten
dan pasif, tapi ingin melihat KPK dan penegak hukum yang aktif dan progressif.
Justice Collaborator, menurut Firman Wijaya merupakan peran serta
masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat hukum
mengungkap kejahatan atau tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang dan
melaporkan hal tersebut kepada aparat hukum. Peran Justice collaborator lahir
dari kondisi negara yang berangkat dari kesulitan penyidik dan penuntut umum
dalam mengungkap, mengusut, dan menghukum para pelaku kejahatan
terorganisir yang sangat merugikan kepentingan umum.
86
Para pelaku kejahatan yang terorganisir begitu sulit dijangkau secara
hukum karena rapi dan canggihnya suatu tindak kejahatan sehingga hampir-
hampir “tidak meninggalkan jejak pembuktian”. Pelaku kejahatan memiliki
jaringan yang luas hampir disemua sektor kekuasaan, termasuk kekuasaan hukum,
dan para pelaku kejahatan terorganisir tidak segan-segan untuk menghabisi siapa
saja yang dengan tindakan balasan (retaliation).
Dari sudut Hukum Acara Pidana, ada tingkat kesulitan pembuktian karena
prinsip bukti utama dalam tindak pidana adalah kesaksian. Karakter kejahatan
terorganisir yang berlaku di kalangan pelaku kejahatan adalah loyalitas yang
dikenal dengan “kesaksian diam atau sumpah diam (omerta), yaitu komitmen dan
aturan yang tidak tertulis di antara anggota mafia yang tidak mudah digoyahkan.
Pelanggaran atas omerta tersebut adalah nyawa tebusannya bagi siapa pun yang
melanggarnya. Oleh karena itu, peranan dari justice collaborator merupakan
sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkapkan dan membongkar
kejahatan terorganisir, baik yang termasuk scandal crime maupun serious crime
dalam tindak pidana. Justice collaborator dapat dijadikan alat bantu pembuktian
di dalam pengungkapan kejahatan dimensi baru (new dimention crime), seperti
perbuatan korupsi yang mana merugikan perekonomian negara serta modus-
modus korupsi menggunakan hi-tech, bantuan dana dari hasil kejahatan corporate
crime, customer fraud, illegal fishing, illegal labour, dan cyber crime.
Justice collaborator memiliki peran dalam mengungkap suatu kasus.
Justice Collaborator yang di atur dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 yang mana isi
dari peraturan tersebut masih terdapat kerancuan. Direktur Lembaga Pengkajian
87
Hukum dan Strategi Nasional Ahmad Rifai menilai bahwa penawaran justice
collaborator kepada tersangka korupsi adalah satu bentuk ketidakmampuan KPK.
Justice collaborator terkesan hanya digunakan KPK ketika lembaga anti korupsi
ini tidak mampu membuktikan keterlibatan seseorang dalam sebuah kasus.
Posisi justice collaborator sangat relavan bagi sistem peradilan pidana
Indonesia guna mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan suatu
kejahatan yang terorganisir dan sulit pembuktiannya. Para pelaku kejahatan
terorganisir seringkali sulit dapat diproses secara hukum karena terlalu sedikit
bukti-bukti yang dapat diajukan, belum lagi tidak adanya kesaksian yang mampu
memberatkan posisi pelaku utama kejahatan terorganisir.
Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan
mengenai justice collaborator kecuali Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi/Korban. Undang-Undang ini pun tidak memberikan
“hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit” atau
biasa disebut whistleblower.
Justice collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan
penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang
berkaitan dengan organisasi kejahatan. Dalam konteks ini, kasus korupsi di
Indonesia yang tidak pernah dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif,
keberadaan ketentuan justice collaborator merupakan celah hukum yang
diharapkan memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan.
Secara yuridis normatif, berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006,
Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Justice Collaborator mengartikan saksi pelaku yang
88
bekerja sama, tetapi tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara
hukum, artinya tidak adanya suatu kepastian hukum yang jelas bagi seorang
justice collaborator. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang
sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 2011, justice
collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): ”Salah seorang tersangka atau
terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang
sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu
mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.
Pasal 52 ayat (2):
” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya ringan dalam
tindak pidana korupsi, maka yang membantu mengungkap tindak pidana
korupsi dapat dikurangi pidananya.”
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung 4 Tahun 2011 angka 8 huruf a,
mengatur mengenai pedoman seorang whistleblower yaitu:
“ Pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang
melibatkan pelopor tindak pidana (whistleblower) adalah sebagai berikut:
a. Yang Bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan
tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.”
89
Mardjono Reksodiputro105 menjelaskan pengertian whistleblower adalah:
“Dia adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya
bersifat rahasia dikalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi
itu berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam sementara ini di
Indonesia informasi yang diharapkan dibocorkan adalah kegiatan-kegiatan yang
tidak sah, melawan hukum maupun bertentangan dengan moral yang baik. Si
pembocor sendiri adalah “orang dalam” di organisasi tersebut, dia dapat terlibat
ataupun tidak dalam kegiatan yang dibocorkan. Karena ia orang dalam maka ia
menempuh resiko atas perbuatannya”.
Sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 angka 9
huruf a, juga mengatur pedoman seorang justice collaborator yaitu:
“ Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja
sama (justice collaborator) adalah sebagai berikut:
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana
kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan
tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses
peradilan.”
Dalam perkara Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst ini
Terdakwa Agus Condro telah melakukan tindak pidana korupsi, berawal dari
pengungkapan Agus Condro mengenai adanya indikasi suap pemilihan Miranda
Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh anggota
105 Sigit Artantojati,” Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
collaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. hlm. 55-56.
90
DPR RI periode 1999-2004 yang mana berkat laporan dari salah satu anggota 15
DPR RI dari Fraksi Partai PDI-P Agus Condro bahwa ia dan beberapa rekannya di
DPR menerima beberapa cek yang totalnya Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang dimenangkan oleh
Miranda. Agus Condro pelapor pemberian Travelle Cheque pada pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, ia mengakui kesalahannya,
mengembalikan uang hasil kejahatannya, tidak melarikan diri dan mengikuti
semua proses hukum sangat memudahkan aparat penegak hukum dan hakim
untuk menjangkau semua pelaku tindak pidana tersebut dan memperkecil
kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Dari fakta hukum yang ada pengungkapan yang dilakukan Agus Condro
lebih tepat dikatakan sebagai justice collaborator karena dia sosok yang
mengungkapkan pertama kali bahwa ada tindak pidana terorganisir, dengan
maksud dan tujuan tertentu yang karena jabatannya mampu mengubah sesuatu
atau dapat merugikan kekayaan Negara. Dia turut terlibat dalam tindak pidana
korupsi ini yang memenuhi unsur-unsur pedoman bagi seorang justice
collaborator, Agus Condro tidak dapat dikatakan sebagai seorang whistleblower
karena dia juga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi yang dia ungkap.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung 4 Tahun 2011 angka 8 huruf a,
mengatur mengenai pedoman seorang whistleblower yaitu:
“ Pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang
melibatkan pelopor tindak pidana (whistleblower) adalah sebagai berikut:
91
a. Yang Bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan
tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.”
Menurut Quentin Dempster106, pengertian whistleblower adalah:
“Peniup peluit disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, dialah yang bersiul, berceloteh, membocorkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran”.
Sementara itu Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian
whistleblower adalah “pembocor rahasia” atau pengadu, selanjutnya Mardjono
Reksodiputro107 menjelaskan:
“Dia adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia dikalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi itu berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam sementara ini di Indonesia informasi yang diharapkan dibocorkan adalah kegiatan-kegiatan yang tidak sah, melawan hukum maupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri adalah “orang dalam” di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yang dibocorkan. Karena ia orang dalam maka ia menempuh resiko atas perbuatannya”
Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan beberapa pendapat bahwa
unsur seorang whistleblower dan justice collaborator terletak di bagian turut
terlibat dan tidak turut terlibat, Dalam perkara Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/
2011/ PN.Jkt.Pst ini Terdakwa Agus Condro telah terbukti secara sah dan
106 Quentin Dempster, Whistleblower, Jakarta: Elsam, 2006. hlm. 1. 107 Sigit Artantojati,” Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
collaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. hlm. 55-56.
92
menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, yang menguatkan pada dirinya
terpenuhi unsur seorang justice collaborator.
Bentuk kerjasama Agus Condro sebagai seorang justice collaborator
dimulai ketika pengakuan politisi PDIP Agus Condro pada 4 Jui 2008. Ia
mengaku menerima suap dalam bentuk cek perjalanan. Ia juga menyatakan ada
anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang juga menerima suap.
Menindaklanjuti itu, pada 9 September 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya aliran 480 lembar cek pelawat
ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo,
seorang asisten Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun.
Kasus ini kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan pada 9 Juni 2009.
Agus sebelumnya mengaku menerima 10 lembar traveler's cheque terbitan
Bank Internasional Indonesia senilai Rp 500 juta itu dua pekan setelah Miranda
Goeltom terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior BI pada 8 Juni 2004. Ia
mengungkapkan, tujuh nama koleganya di PDIP menerima suap serupa. Tawaran
suap, menurut Agus, muncul dalam rapat Fraksi PDI Perjuangan beberapa hari
sebelum uji kelayakan dan kepatutan calon Deputi Gubernur Senior BI digelar
pada 8 Juni 2004. Suara fraksi diarahkan kepada Miranda. Sebelum pemilihan,
pertemuan dengan Miranda pun digelar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Menurut
Agus, koleganya, Panda Nababan, memimpin pertemuan itu. Miranda Goeltom
mengaku tidak mengetahui perkara yang melibatkan Agus Condro. Adapun Panda
Nababan tegas membantah dan menyebutnya rekayasa. Selain menyerahkan
93
fotokopi buku tabungan Bank BII, juga ada penyerahan kuitansi pembelian mobil
Mercedes Benz C-200 yang dibeli dengan uang dari Bank Indonesia beserta
fotokopi surat-surat mobil.
Sebanyak tiga lembar cek itu dicairkan pada 10 Juni 2004 di Bank BII
Cabang Thamrin, Jakarta, senilai Rp 150 juta. Duit itu kemudian dipakai membeli
Mercedes di Slipi. Pada tanggal 11 Juni, Agus mencairkan lagi tujuh lembar cek
di Bank BII Pekalongan. Selain mencairkan cek, uang yang baru dicairkan itu
langsung disimpan di nomor rekening yang baru ia buka. Dari bukti itu, KPK bisa
melacak siapa yang membayar cek. Politikus Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Agus Condro, kemarin menyerahkan sejumlah dokumen ke Komisi
Pemberantasan Korupsi. Inilah bukti bahwa pernyataannya tentang adanya suap
Rp 500 juta di balik pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia empat tahun lalu bukan sekadar omong kosong. Dokumen
yang diserahkan berupa fotokopi kuitansi pembelian mobil Mercedes Benz C-200
dan fotokopi buku tabungan Bank Internasional Indonesia cabang Pekalongan.
Bukti itu bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri asal-muasal 10
lembar cek perjalanan yang diterimanya.
Kronologi pencairan menurut Agus Condro pada tanggal 8 Juni 2004
Komisi IX (Keuangan dan Perbankan) DPR memilih Miranda S. Goeltom sebagai
Deputi Gubernur Senior BI menggantikan Anwar Nasution. Kemudian di tanggal
9 Juni 2004 Menerima 10 lembar traveler's cheque dalam sebuah amplop di ruang
Emir Moes, Ketua Komisi IX asal Fraksi PDI Perjuangan, di lantai 10 gedung
Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta, seusai sidang Komisi ia menerima 10 lembar
94
traveler's cheque lebih tepatnya sehari setelah pemilihan. Atau sekitar dua pekan
setelah kepulangan dari New Delhi. Aku meninggalkan New Delhi 23 Mei 2004 .
Uang tersebut langsung dipakai membeli Mercedes Benz C-200 di Slipi, Jakarta
Barat. 11 Juni 2004 Mencairkan tujuh lembar cek perjalanan sisanya di BII
cabang Pekalongan. Saat itu juga membuka rekening tabungan baru untuk
menyimpan uang hasil pencairan cek.
Dari pengungkapan ini yang awalnya tidak mempunyai kekuatan hukum
karena ada beberapa pernyataan yang dikeluarkan dan disebarkan kepada para
wartawan yang dikemukakan di beberapa media,kemudian Dalam perkara Putusan
Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst ini Terdakwa Agus Condro
memberikan keterangan yang berkekuatan hukum dalam bentuk pemeberian
keterangan sebagai saksi untuk tahap pemeriksaan terhadap terdakwa Max Moein,
Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus dan Willem Max Tutuarima yang
dirumuskan bahwa Agus Condro tepat dikatakan sebagai justice collaborator
karena ia yang pertama memulai mengatakan tentang adanya tindak pidana
korupsi,dan yang membedakan perkara ini lain, karena pengungkap juga bagian
dari pelaku tindak pidana korupsi. Pengungkap ialah Agus Condro yang
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan ia juga mengakui
turut terlibat dalam perbuatannya dan bila memberikan keterangan sebagai saksi
di pengadilan maka dikatakan sebagai justice collaborator. Dengan adanya
pengungkapan ini membantu KPK dalam mengusut secara jelas perihal perkara
tersebut
95
Dari pengertian partisipant whistleblower sesungguhnya seorang justice
collaborator adalah seorang pelapor yang melaporkan tindak pidana
(whistleblower) yang berpartisipasi atau ikut serta didalam melakukan tindak
pidana. Whistleblower dan justice collaborator merupakan bentuk peran serta
masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat penegak hukum
mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang dan melaporkannya
kepada aparat penegak hukum.108 Maka ada privilege khusus untuk whistleblower
dan justice collabolator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan
terbitnya. SEMA Nomor 04 Tahun 2011. Oleh karena itu saksi dan/ atau korban
dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang sangat penting dalam
pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana serta mengalami ancaman yang
sangat membahayakan jiwa saksi dan/ atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak
dan jaminan perlindungan hukumnya.109
Syarat untuk seseorang dapat dikatakan sebagai justice collaborator
adalah:
6. Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius
dan atau teroganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba,
terorisme, TPPU, traficing, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana
ringan tidak mengenal istilah ini.
Yang dimaksud dengan tindak pidana serius dan/ atau
terorganisir menurut Peraturan Bersama tentang perlindungan bagi
pelapor, saksi pelapor, saksi pelaku yang bekerja sama adalah yang
108 Ibid, hlm 16. 109 Lies Sulistiani, et.. Al., Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan
Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Hlm 1-2.
96
disebutkan pada Pasal 1 butir 4. Tindak pidana yang harus diungkap
agar seseorang dapat dinyatakan justice collaborator antara lain adalah
tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
narkotika/psikotropika, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang,
kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang menimbulkan bahaya dan
mengancam kehidupan masyarakat luas110 . sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya peran justice collaborator memang sangat
diperlukan untuk mengungkap tindak-tindak pidana yang seperti
inikebanyakan dalam kejahatan yang terorganisir para pelaku telah
mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain dimana ikatan itu
digunakan satu sama lain dalam proses hukum111. Yang dapat
dibuktikan oleh pelaku yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Pengertian korupsi juga diungkapkan oleh Gurnar Myrdal dalam
Ermansyah Djaja112 yaitu:
“To Include not only all formsof improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupiesin the public life but alse the actifity of the bribers. (Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktifitas-aktifitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.
110 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama Tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor,dan Saksi Pelaku yang bekerjasama. Pasal 4. 111 Abdul Haris Semendawai, “Pokok-pokok Pikiran Mengeai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksaan Perlindungan Saksi di Indonesia.
112 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.7.
97
PAF Laminating 113 menyatakan bahwa kejahatan menerima suap
dala bentuk pemeberian atau janji dalam rumusan 418 KUHP harus
diandasi bahwa:
a. Oleh pengetahuan atau oleh kepatutan dapat menduga dari
pegawai negeri yang bersangkutan bahwa pemberian atau janji
ada hubungannya dengan sesuatu kekuasaan sesuatu kewenangan
yang ia milki karena jabatann, atau
b. Oleh anggapan orang yang memberikan pemberian atau janji itu
ada hubungannya dengan kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki oleh penerimaan pemberian atau janji karena jabatan.
Dalam pasal 2 Undang-Undang RI No.28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebeas korupsi, kolusi, dan
negpotisme dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“penyelenggaraan negara” meliputi:
1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara
3. Mentri ;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku;
113 Firman Wijaya, hlm.91.
98
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitanya dengan
penyelenggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku114
Unsur “menerima hadiah atau janji” bahwa yang dimaksud
dengan menerima hadiah atau janji dalam unsur ini adalah menerima
segala sesuatu yang mempunyai nilai baik sesuatu yang bernilai
tersebut berwujud maupun tidak berwujud, sedangkan janji yang
dimaksudkan dalam unsur ini adalah seseorang yang telah
menawarkan sesuatu dan akan dipenuhi sesuai dengan yang
diperjanjikan pada saat tawaran tersebut diberikan.
Pengungkapan perkara ini berawal dari pengakuan politisi
PDIP Agus Condro pada 4 Jui 2008. Ia mengaku menerima suap dalam
bentuk cek perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota Komisi IX
DPR periode 1999-2004 yang juga menerima suap. Telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga tepat dikatakan memenuhi syarat awal tindak pidana tersebut
termasuk kategori tindak pidana yang serius yaitu tindak pidana
korupsi.
7. Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan
yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat
114 Firman Wijaya, hlm.87.
99
penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga
memudahkan kinerja aparat penegak hukum.
Pentingnya informasi, bukti, maupun kesaksian yang
diberikan oleh justice collaborator dalam menindak suatu tindak
pidana merupaka factor penting apakah yang bersangkutan layak
mendapatkan perlindungan, tanpa adanya informasi, bukti, maupun
kesaksian yang diberikan dari yang bersangkutan maka suatu tindak
pidana tidak dapat atau sangat sulit terungkap atau terbukti di
pengadilan karena tidak adanya bukti dari sumber lain115. UNODC
juga melihat bahwa nilai dan relevansi kesaksian seorang justice
collaborator merupakansalah satu kriteria yang utama agar yang
bersangkutan dapat diberikan perlindungan. Sebisa mungkin seorang
justice collaborator sudah memeberikan pernyataan yang seutuhnya
dan komprehensif sebelum penilaian dilakukan dan sebelum orang
tersebut dimasukkan ke dalam proses perlindungan atau proses
penilaian bukan sekedar bujuk rayu atas kerjasama saksi di
pengadilan116
Setelah adanya pengungkapan awal yang diberikan oleh
Agus Condro, yang kemudian dikembangkan oleh penyidik KPK dan
terbukalah adanya tindak pidana untuk terpilihnya Miranda Gultom
menjadi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sehingga segala
pengungkapan awal yang diberikan Agus Condro itu signifikan,
115 United Nations Office on Drugs and Crime. Hlm.24. 116Ibid. hlm. 64.
100
relevan dan andal, yang kemudian keterangannya dapat digunakan
oleh penyidik KPK untuk menelusuri lebih dalam mengenai
penyuapan yang terjadi di tubuh DPR-RI.
8. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama
dalam perkara tersebut karena kehadirannya sebagai justice
collaborator adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam
kasus tersebut. Dia hanya berperan sedikit didalam terjadinya perkara
itu tetapi mengetahui banyak tentang perkara pidana yang terjadi itu.
Dalam hukum acara pidana tidak dikenal istilah pelaku
utama. Menurut R. Soesilo, terdapat 4 (empat) macam pelaku
penyertaan yang dapat dihukum sebagai seorang yang melakukan
tindak pidana, yaitu orang yang melakukan (pleger), orang yang
menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan
(medepleger), dan orang yang dengan pemberiannya, salah memakai
kekuasaa, memakai kekerasan, dan sebagaimana dengan segaja
membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker)117
Golongan-golongan di atas berbeda dengan golongan orang
yang membantu melakukan. Orang yang dengan sengaja memeberikan
bantuan pada waktu atau sebelum dilakukannya kejahatan akan
dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan
(medeplichting) dan menurut Pasal 57 KUHP hukumana pokoknya
akan dipotong sepertiga. Sifat dari medeplichting ini hanya
117 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal.
101
membantu saja dan tidak boleh melakukan suatu unsur perbuatan
pelaksaan tindak pidana sebagaimana golongan “turut melaksanakan”
(medeplegen). Adapun dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan
bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak
dijelaskan apakah yang dimaksud dengan pelaku utama itu adalah
orang yang membantu melakukan (medeplichting), orang yang dibujuk
melakukan atau orang yang turut melakukan (medeplegen).
Dalam penyidikan lebih dalam oleh penyidik KPK, peran
Agus Condro bukan merupakan pelaku utama, tetapi dia ikut serta
dalam adanya pemberian traveler's cheque sebagai posisi Komisi IX
asal Fraksi PDI Perjuangan untuk mendukung pemilihan Miranda
Gultom menjadi Gubernur Senior Bank Indonesia.
9. Dia mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia
mengembalikan aset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu
secara tertulis.
Sedikit berbeda dengan SEMA No. 1 Tahun 2011,
Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor,
dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak mensyaratkan adanya
pengakuan dari yang bersangkutan untuk mendapat perlindungan
sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Peraturan Bersama tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama mensyaratkan adanya kesediaan mengembalika sejumlah
aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan.
102
Pengembalian sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang
bersangkutan dianggap sebagai bentuk dari pengakuan yang
merupakan suatu hal yang penting sebagai bagian dari bargain atau
penawaran agar penghapusan penuntutan dapat dilakukan secara
efektif. Dengan berseia mengembalikan aset tersebut otomatis Saksi
Pelaku yang Bekerjasama tersebut sudah mengakui kejahatan yang
dilakukannya. Pengakuan atas segala kejahatan yang dilakukannya
diberikan secara lengkap. Tanpa pegakuan tersebut penghapusan
penuntutan secara administratif akan sulit dilakukan.118
Pernyataan tertulis akan mengembalikan sejumlah aset
yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan tidak diatur
mekanismenya dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi
Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. jika
merujuk pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, maka
pernyataan tertulis itu merupakan suatu pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlidungan saksi. Pernyataan tersebut
merupakan suatu bentuk memorandum of understanding yang dalam
kebanyakan kasus dijadikan sebagai dokumen yang menjelaskan
secara rinci mengenai hak dan kewajiban baik dari kedua belah pihak,
yaitu dari lembaga perlindungan saksi dan dari saksi itu sendiri.
memorandum of understanding ini tidak dapat dianggap sebagai
sebuah perjanjian yang dapat digugat dimukan pengadilan namun tetap
118 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. hlm. 25.
103
diperlukan oleh lembaga perlindungan saksi dalam menghadapi
complain atau tuntutan dari saksi dalam pelaksanaan perlindungan.119
Dalam Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst, hakim
dalam pertimbangannya berisikan terdakwa Agus Condro telah
mengakui segala kesalahannya, dan semua aset dikembalikan kepada
Negara berupa:
1. Uang tunai sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
pengembaliandari Terdakwa AGUS CONDRO PRAYITNO (BB-
350);
2. (Satu) Bundel dokumen perjanjian perikatan/bukti setor
pembayaran apartemen Teluk lntan atas nama Agus Condro
Prayitno, dengan perincian: (BB No. 9), dengan perincian :
a) 15 (Lima belas) lembar asli surat perjanjian pengikatan jual
beli nomcr : 1367/PPJB/ATIA/VI/06 ta.nggal 12 Juni 2006
dengan pihak pertama atas nama PT.Trika Bumi Pertiwi dan
pihak kedua atas nama AGUS CONDRO PRAYITNO dan
Lampirannya;
b) 1 (satu) bundel asli bukti setor pembayaran kepada PT Trika
Bumi Pertiwi dari AGUS CONDRO PRAYITNO sebagai bukti
pembayaran kepemilikan apartemen Teluk lntan pada Tower
T6 Lantai: L11 Nomer C:
119 United Nations Office on Drugs and Crime. Hlm.65.
104
c) 1(satu) lembar asli lampiran cara pembayaran aparlemen oleh
AgusCondro Prayitno pada apartemen Teluk lntan lantai
Lantai: L11 Nomer C yang ditandatangani oleh Pembeli atas
nama Agus Condro Prayitno;
d) 1 (satu) lembar foto copy burkti serah terina anak kunci unit
hunian apartemen Teluk lntan dengan nama pemilik Agus
Condro Prayitnotanggal 21 Mei 2008;
e) 1(satu) lembar asli Surat Pesanan Nomer, 000469 dengan
namapemohon Agus Condro Prayitno pada apartemen Teluk
lntan;
f) 1 (Satu) buah amplop dengan tulisan PT.Trika Bumi
Pertiwiapariemen Teluk lntan Jalan Teluk lntan RayaTeluk
Gong JakartaUtara dengan isi amplop : 1(Satu) 7 buah anak
kunci apartemen Teluk Intan Nomer: C dan Lantai: 11, 1(Satu)
buah kartu Tower Topaz dengan nomer R06 00488 dan 1(satu)
buah kartu dengan nomer:2007-100748.C.
5. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat
signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat
mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap
pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau
mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana120.
120 Sigit Artantojati, Op. cit. hlm. 90.
105
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut umum menyampaikan
hal yang memperkuat keterangan Agus Condro sebagai justice
collaborator memberikan kemudahan dalam pengungkapan pembuktian
adanya tindak pidana korupsi seperti:
“Menimbang, bahwa unsur tersebut apabila dihubungkan dengan fakta- fakta yang terungkap dalam persidangan telah terungkap : bahwa Terdakwa I AGUS CONDRO PRAYITNO, Terdakwa II MAX MOEIN, Terdakwa III RUSAN LUMBAN TORUAN dan Terdakwa V WILLIEM MAX TUTUARIMA berdasarkan keterangan saksi – saksi dan pengakuan para Terdakwa sendiri benar telah menerima Traveller Chawue Bil masing – masing sebanyak 10 (sepuuh) lembar senilai Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).” “Menimbang, bahwa para Terdakwa mengetahui pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya selaku anggota komisi IX DPR RI, hanya Terdakwa II MAX MOEIN, Terdakwa III RUSMAN LUMBAN TORUAN dan Terdakwa V WILLIEM MAX TUTUARIMA awalnya tidak mengetahui bahwa penerimaan Traveller Chawue Bil tersebut adanya kaitannya dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.”
“Menimbang, bahwa para Terdakwa mengertahui adanya kode etik DPR No. 03B/DPR/I/2001-2002 tanggal 16 Oktober 2001 yang menyatakan : “Anggota Dewan dilarang menerima imbalan atau hadiah dan pihak lain sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku” . dan para Terdakwa juga mengetahui ketentuan pasal 5 UU No.28 Tahun 1999 tentang penyeenggaraan negara bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melarang bagi penyelenggara negara mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, seharusnya enolak untuk menerima pemberian tersebut atau langsung melaporkan pemberian tersebut kepada penegak hukum.”
Kemudian penuntut umum dalam tuntutanya
mempertimbangkan saksi pelaku yang berkerja sama dalam
pengembalian aset seperti:
106
“Menimbang, bahwa Terdakwa I (AGUS CONDRO PRAYITNO) dalam proses penyidikan telah mengembalikan uang sebesar Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan menyerahakn satu buah apartemen teluk intan, jalan Teluk Intan Raya, Teluk Gong, Jakarta Utara dengan dokumen berupa 1(satu) bundel dokumen perjanjian perikatan/bukti setor pembayaran apartemen teluk intan atas nama Agus Condro Prayitno, dengan perincian: ( BB No.9) dengan perincian :
a. 15 (lima belas) lembar asli surat perjanjian pengikatan jual beli nomer : 1367/PPJB/ATIA/VI/06 tanggal 12 Juni 2006 dengan pihak pertama atas nama PT. TRIKA BUMI PERTIWI dengan pihak kedua atas nama AGUS CONDRO PRAYITNO dan lampirannya;
b. 1(satu) bundel asli bukti setor pembayaran kepada PT TRIKA BUMI PERTIWI dari AGUS CONDRO PRAYITNO sebagai bukti pembayaran kepemilikan Apartemen Teluk Intan pada Tower: T6 lantai L11 Nomer C;
c. 1 (satu) lembar asli lampiran cara pembayaran apartemen oleh AGUS CONDRO PRAYITNO pada apartemen teluk intan lantai 11 type 70 yang ditandatangani oeh pembeli atas nama AGUS CONDRO PRAYITNO;
d. 1 (satu) lembar foto copy bukti serah terima anak kunci hunian apartemen teluk intan dengan nama pemilik AGUS CONDRO PRAYITNO tanggal 21 Mei 2008;
e. 1 (satu) lembar asli surat pemesanan Nomer : 000469 dengan nama pemohon AGUS CONDRO PRAYITNO pada Apartemen Teluk Intan;
f. 1 (satu) buah amplop dengan tulisan PT.TRIKA BUMI PERTIWI apartemen Teluk Intan Jalan Teluk Intan Raya, Teluk Gong Jakarta Utara dengan isi amplop: 1 (satu) buah anak kunci apartemen Teluk Intan Nomer : C dan Lantai : 11, 1 (satu) buah kartu tower topasz dengan nomer R06 00488 dan 1 (satu) buah kartu dengan nomer: 2007-100748.C.”
Pengungkapan keterangan yang diberikan Agus Condro
yang ditindak lanjuti oleh penyidik menghasilkan selain menjadikan
Agus Condro sebagai terdakwa, juga muncul , terdakwa Max Moein,
terdakwa Rusman Lumban Toruan, dan terdakwa Willem Max turut
menerima terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
107
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 undang-undang
nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dan dengan begitu
keterangannya dalam pengadilannya digunakan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam memenuhi pembuktian alat bukti.
Sehingga dapat dikatakan justice collaborator merupakan alat bukti saksi,
yang keterangannya diungkap melalui sidang pengadilan. Pada dasarnya setiap
orang yang melihat, mendengar atau megalami sendiri suatu peristiwa yang ada
sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi121. Dalam hukum acara
pidana ada ketentuan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang
diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Hibnu Nugroho122 menerangkan bahwa:
“Saksi adalah seseorang yang mendengar, melihat, atau mengalami telah terjadinya suatu tindak pidana, sehingga kedudukannya sangat penting guna mengungkap suatu tindak pidana serta membuktikan keterlibatan seorang tersangka” Menurut pendapat P.A.F. Lamintang123:
“Keterangan saksi yang tidak didasarkan pada pengetahuan sendiri,
melainkan didengar dari orang lain atau yang lain disebut testimonium de
auditu itu tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai kesaksian”.
Menurut Sudikno Mertokusumo dan Teguh Samudra menerangkan:
121 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana Perdata dan Korupsi Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011, hlm, 44. 122 Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Semarang: Bandan Penerbit UNDIP, 2010, hlm 34. 123 Ziad, Op Cit, hlm 69.
108
“Kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan pengadilan tentang peristiwa yang sedang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisa dan pribadi oleh orang yang bukan merupakan salah satu diantara pihak yang sedang berperkara”.
Hal yang membedakannya yaitu Agus Condro dalam keterangannya sudah
memenuhi unsur dikatakan sebagai saksi karena mendengar, melihat, atau
mengalami telah terjadinya suatu tindak pidana, tetapi dapat dikembangkan
karena terjadinya tindak pidana tersebut dalam sebuah bentuk yang terorganisir
yang merupakan tindak pidana korupsi, setelah dilakukan penyidikan bahwa Agus
Condro juga terlibat dalam kasus yang telah ia ungkap. Dengan begitu dalam
persidangan dengan terdakwa lain seperti Poltak Sitorus, Max Moein, Rusman
Lumban Toruan, Williem Max, keterangan yang diberikan Agus Condro dalam
persidangan merupakan keterangan saksi, keterangan yang lebih mampu dapat
dijadikan pertimbangan oleh hakim sebelum memutuskan tindak pidana tersebut
maka dengan begitu Agus Condro dikatakan sebagai justice collaborator. Hal
itulah yang membuat posisi justice collaborator meskipun juga dikatakan sebagai
keterangan saksi, tetapi setiap keterangan mempunyai dalil pernyataan yang kuat
yang dijadikan pedoman hakim dalam memutus tindak pidana korupsi.
2. Kekuatan pembuktian justice collaborator dalam Putusan Nomor : 14/
Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst.
Dalam pengungkapan tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana
korupsi terutama dilingkungan aparat publik yang terkait dengan administrasi,
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan yang membahas kepentingan umum
diperlukan pengungkapan yang mampu dapat menjerat semuanya. Di dalam
hukum acara pidana, pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan
perkara di Pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi
109
suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau
salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.124
Hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
apabila tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP,
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman.
Hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan
masalah pembuktian.125
Sebelum mengambil keputusan perkara pidana di persidangan, hakim
membutuhkan alat-alat bukti yang medukung dalam proses pembuktian.
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai alat bukti yang sah
untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti itu ialah :
f. Keterangan Saksi g. Keterangan Ahli h. Surat i. Petunjuk j. Keterangan Terdakwa.
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak suatu perkara pidana
yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi126. Hampir semua
pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan
124http://profil-lanka.blogspot.com/2012/01/pembuktian-dalam-hukum-
acarapidana.html?m=1 diakses pada tanggal 20 November 2013. 125 Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 102.
126 Ziad, Op Cit, hlm 70.
110
saksi sekurang-kurangn ya di samping pembuktian dengan alat bukti keterangan
saksi,
‘‘Tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarka keapda pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktia dengan alat bukti keterangan saksi’’.127
Keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat
(1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya
sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang
saksi nyatakan di sidang pengadilan”.128
Banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat
mendukung tugas dari aparat penegak hukum dengan mengingat dalam kejahatan-
kejahatan yang secara sistematis terorganisir sudah barang tentu pihak-pihak yang
terkait dalam kejahatan mengetahui aktor utama sebagai otak pelaku kejahatan
tersebut.
Terhadap saksi pelaku yang melakukan tindak pidana dan memberikan
keterangan kepada aparat penegak hukum dimana dirinya merasa telah melakukan
tindakan yang dapat merugikan kepentingan Negara, atau masyarakat itu dapat
diartikan sebagai bentuk kejasama yang bersifat kooperatif. Itu sebabnya
pemerintah dan Negara beserta elemen-elemen Melalui surat edaran mahkamah
127 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm 286.
128 Ibid.
111
agung nomor 4 tahun 2011 hadirlah saksi pelaku dari tindak pidana yang sama
dalam tindak pidana tertentu yang diminta oleh penegak hukum untuk
bekerjasama dalam rangka mengungkap kejahatan yang dilakukan secara
terorganisir.
Dibentuknya SEMA Nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi Whistle
Blower dan Justice Collaborator atau saksi korban dan saksi pelaku ini mengacu
pada Ratifikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Kejahatan Anti
Korupsi dimana Indonesia telah terikat dalam perjanjian internasional pada tahun
2003. Aturan yang berlaku didalam konvensi kejahatan Anti Korupsi tersebut
ialah dimana setiap orang apabila telah bekerjasama secara substansial dengan
penyidik penegak hukum maka setiap Negara wajib dengan mempertimbangkan
memberikan kekebalan dari penuntutan pidana karena mengingat mereka telah
bersama-sama memberikan informasi kepada pihak yang bersangkutan. Sekalipun
memang hal tersebut merupakan tindakan pengkhianatan dari pelaku yang sama-
sama melakukan kejahatan secara sistemik. Tetapi adanya aturan untuk supaya
memiliki kekebalan dari penuntutan secara mutlak oleh undang-undang tidaklah
bagi saksi pelaku atau justice collaborator kecuali kekebalan dari penuntutan
setiap keterangan yang diucapkan dalam persidangan sebagaimana diatur dalam
pasal 10 undang-undang nomor 13 tahun 2006 dimana saksi dan korban tidak
dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian
yang akan diberikannya.
Dalam putusan Nomor : 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Penuntut
Umum untuk membuktikan dakwaannya, telah mengajukan saksi-saksi yang
112
terkait dengan tindak pidana korupsi tersebut. Penuntut Umum juga menghadirkan
Agus Condro sebagai justice collaborator untuk memberikan keterangan sebagai
saksi atas pengungkapan yang awalnya ia berikan, keterangan yang membuktikan
bahwa terdakwa Max Moein, terdakwa Rusman Lumban Toruan, dan terdakwa
Willem Max juga terbukti bersalah serta mengungkap aktor utama dalam tindak
pidana korupsi ini.
Justice collaborator memiliki peranan yang sangat dominan dalam
membantu membongkar dan mengungkap kasus korupsi. Dilihat dari posisi jutice
collaborator, maka ada sebuah posisi yang strategis yang dimiliki oleh seorang
justice collaborator. Hal itu dikarenakan, seorang justice collaborator adalah
orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan
dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun dalam hal ini
posisi dari justice collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya
suatu tindak pidana korupsi. Orang yang demikian tersebut dapat dijadikan
sumber informasi dalam kaitannyadengan adanya tersangka dan alat bukti lain
dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penyidik. Oleh karena
itu, perlindungan hukum yang maksimal sangatlah dibutuhkan bagi Justice
Collaborator untuk tetap menjaga konsistensinya dalam mengungkap tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2)
merumuskan:
“Seorang saksi yang yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabilaia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.”
113
Pengaturan justice collaborator tidak mengaturnya secara rinci mengenai
kedudukan seorang justice collaborator dalam pembuktian di pengadilan.
Sementara ini Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 angka 9
huruf a, menjelaskan pedoman justice collaborator:
“Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi didalam proses peradilan.” Dalam SEMA merujuk bahwa seorang justice collaborator memberikan
keterangan sebagai saksi didalam proses peradilan yang diperkuat melalui
peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) Justice
collaborator merupakan alat bukti saksi yang dapat diajukan pada tahap
penyidikan maupun pada tahap persidangan. Justice collaborator diartikan
sebagai seorang saksi yang juga merupakan pelaku, tetapi mau bekerja sama
dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara, bahkan
mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi jika aset itu ada pada dirinya.129
Sehingga dengan begitu muncul pembuktian alat bukti yang berasal dari alat bukti
saksi dan menguatkan keyakinan hakim karena memperoleh keterangan dalam
pembuktian saksi berasal dari Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
collaborator). Dalam Putusan Nomor : 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst ,cara
129 http://news.detik.com/read/2011/10/11/225302/1741925/10/ Diakses tanggal 13
November 2013.
114
membuktikan adanya tindak pidana korupsi dalam pembuktian Agus Condro
sebagai Justice collaborator yang telah dirumuskan sebagai keterangan saksi.
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 26 menyatakan
bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.130
Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1
butir 1 juga menyatakan :
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.
Secara makna tidak ada yang berbeda hanya saja ada sedikit
penyempurnaan bahasa saja.
Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga
memberikan penjelasan bahwa :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”. Uraian di atas penunjukkan bahwa saksi dalam proses peradilan adalah
faktor penting dalam setiap tahap dalam proses peradilan pidana. Suryono Sutarto
lebih luas mengemukakan bahwa saksi adalah orang yang memberikan keterangan
130 Soenarto Surodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung Dan Hoge Raad, Jakarta: Radjagrafindo Persada, 2007, hlm. 355
115
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Wirjono Projodikoro131 memaknai bahwa Seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seoalah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya.
Dengan pengertian saksi ini menunjukkan bahwa betapa berartinya sebuah
kesaksian dalam proses peradilan pidana, agar terungkapnya sebuah tindak
pidana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saksi adalah sesorang yang
memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana untuk menemukan titik
terang apakah suatu tindak pidana benarbenar terjadi sebagaimana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 135 ayat
(1) KUHAP dapat diketahui sebagai berikut :
4. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
5. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnya dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
6. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan
131 Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Raja Gravindo,
2004 hlm. 7.
116
dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.132
Pasal 108 ayat (1) KUHAP merumuskan :
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Rumusan di atas dapat ditafsirkan bahwa yang diterangkan oleh saksi adalah
yang dialami, yang dilihat / disaksikan. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tercantum arti “saksi” antara lain:
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya,
dilihatnya atau dialaminya sendiri”.133
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184
KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1
(satu) pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang
dimaksud dengan keterangan saksi serta bagaimana tentang kekuatan
pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP merumuskan sebagai berikut :
10. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.
11. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
12. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
13. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang
132 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 266. 133Leden Marpaung,op. cit. , hlm. 32.
117
lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
14. Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
15. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya b. Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.
16. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
17. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
18. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Menurut M, Yahya Harahap134 agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi aturan
ketentuan sebagai berikut:
6. Harus mengucapkan sumpah dan janji 7. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti 8. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan 9. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup 10. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Agus Condro sebagai Justice collaborator dapat memberikat keterangan di
dalam pengadilan. Sesuai peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi
Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
Mahkamah Agung (MA) justice collaborator diartikan sebagai seorang saksi yang
juga merupakan pelaku, tetapi mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam
rangka membongkar suatu perkara. Agus Condro dikatakan keterangannya
134 Ibid hlm 286.
118
sebagai keterangan saksi sehingga harus memenuhi ketentuan aturan sebagai saksi
agar keterangannya dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai
pembuktian.
Undang-undang menentukan bahwa agar keterangan saksi dianggap sah
dan mempunyai kekuatan pembuktian maka seorang saksi harus mengucapkan
sumpah atau janji sebagaimana ditentukan dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang
merumuskan :
‘‘Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya’’.
Pasal 160 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat
mutlak.135
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan
penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian keterangan saksi yang
berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, atau
dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan saksi itu dinyatakan di sidang pengadilan.
135 Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar
Grafika., 2009, hlm 263.
119
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut rumusan
pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan
sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara
agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang
sebenarnya.
Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah
atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi
pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Berkaitan dengan hal
tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib
mengucapkan “sebelum” saksi memberikan keterangan, akan tetapi dalam hal
yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan
“sesudah” saksi memberikan keterangan.136
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji,sudah
ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
136 Ibid., hlm. 286.
120
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan dengan
bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau
dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang
diberikan di luar pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman
sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat
dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu
tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh
sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai
sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa
keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain,
tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan
121
Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi
yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus
dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.
Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti,
keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang
apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang
dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti,
sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua
alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai
sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya.
Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
122
Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat
dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, atau “ unus testis nullus testis”.137 Hal tersebut berarti jika alat bukti
yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka keterangan
yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Menurut D. Simons dalam buku Andi Hamzah138 mengemukakan
bahwa:
Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian.Batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi).
Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal
yang dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi.
b. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu
harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya,
alat bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP.
Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan dengan
adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup
137 Ibid., hlm. 288. 138 Andi Hamzah, op. cit. , hlm. 269.
123
membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang seperti itu adalah
keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika keterangan
para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau
keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”. Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa
orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan
pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan
serta saling menguatkan. Justice collaborator sebagai alat bukti saksi
memberikan posisi yang berbeda, yang tentunya lebih mampu memberikan
keterangan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tersebut karena
Agus Condro sebagai justice collaborator merupakan orang di dalam yang ikut
terlibat dalam tindak pidana tersebut. Jika keterangan saksi yang banyak saling
bertentangan satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus
disingkirkan menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan
seperti itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.139
139Ibid., hlm. 290.
124
Mengenai nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi menurut Yahya
Harahap adalah sebagai berikut:140
a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang
sempurna (Volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di
dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan
menentukan (Beshessende Bewijskracht). Oleh karena itu, alat
bukti saksi kesaksian sebagaimana alat bukti yang sah, tidak
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau dapat
dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah
bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak
mengikat.
b. Nilai kekuatan pembuktian tergantung pada penilaian hakim
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
tidak menentukan, yang sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim
bebas menilai kesempurnaan dan kebenarannya, tergantung pada
penilaian hakim untuk menaggapnya sempurna atau tidak.
Dalam sistem pembuktian justice collaborator berdasarkan nilai
pembuktiannya undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk
Theorie), pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda 140 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika ,2009, hlm.294-295.
125
(dubbel en grondslag, kata D. Simons), yaitu pada peraturan undang-
undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-
undang. Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP
tersebut, yang mengatakan bahwa dari dua bukti sah itu diperoleh
keyakinan hakim.141
Menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu :
3. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang,
4. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.142
Pasal 183 KUHAP merumuskan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman merumuskan :
“Tidak seorang pun dapat djatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
141 Ibid, hlm. 256. 142 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 279.
126
positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in
time.143
Menurut Wirjono Prodjodikoro144 sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatitief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
Wirdjono Prodjodikoro145 juga berpendapat bahwa sistem pembuktian
berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya
dipertahankan berdasarkan dua alasan :
3. Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
4. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem
143 Ibid. 144 Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 257. 145 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 257.
127
yang saling bertolak belakang tersebut, terwujud suatu “sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakimyang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.146
Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidaknya
seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau
hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketetuan dan cara
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Seorang terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan
itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian tersebut,
untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang,
2. Dan keyakinan hakim yang harus didasarkan atas cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang.147
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini
memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menetukan salah dan
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur tersebut.
Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung
146 M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 279. 147 Ibid.
128
keterbuktian kesalahan terdakwa.148 Misalnya ditinjau dari segi cara dan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup
terbukti, tetapi walaupun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” dengan
kesalahan terdakwa, dalam hal tersebut maka terdakwa tidak dapat dinyatakan
bersalah. Sebaliknya jika hakim benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa
melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi keyakinan tersebut tidak
didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti itupun terdakwa tidak
dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua unsur atau
komponen tersebut harus saling mendukung.149
Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum hukum
pembuktian tindak pidana, maka dari segi hukum khusus hukum pembuktian
untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan di dalam hukum
pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberlakukan hukum pembuktian yang
memiliki segi kekhususan terutama berkenaan dengan bahan-bahan yang dapat
digunakan hakim dalam membentuk alat bukti petunjuk dan tentang sistem
pembuktian, khususnya beban pembuktian.150
Sesuai dengan peraturan dan teori tersebut dalam keterangan saksi Agus
Condro sebagai justice collaborator keterangannya memenuhi unsur keterangan
148 Ibid. 149 Ibid.. 150 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori Dan Praktik, Jakarta : Maharini Press, 2008,
hlm. 78.
129
saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan
pembuktian harus dipenuhi aturan ketentuan seperti:
1. Harus mengucapkan sumpah dan janji 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Hal yang menjadi tolak ukur perbedaan seorang saksi biasa dengan saksi
sebagai justice collaborator dikarenakan Agus Condro seorang justice
collaborator merupakan orang dalam organisasi dari adanya tindak pidana
korupsi tersebut, dia mengungkapnya, tetapi turut terlibat dalam tindak pidana
korupsi tersebut, yang membuat motivasi Agus Condro sebagai justice
collaborator bila membantu aparat penegak hukum dalam tahap pemeriksaan dan
penyidikan untuk mengungkap pelaku-pelaku lain serta pelaku utama dan perkara
ini maka ada sebuah penghargaan (reward) dengan pengurangan hukuman
dibanding terdakwa-terdakwa lainnya dengan nilai pelanggaran terhadap korupi
yang sama.
Dalam setiap keterangan Agus Condro sebagai justice collaborator juga
diperkuat oleh keterangan dari saksi-saksi dan juga bukti-bukti yang lain dengan
begitu membuat pertimbangan hakim dalam menentukan bersalahnya terdakwa
lebih kuat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan dalam
persidangan tersebut dapat dipergunakan untuk “menguatkan” keyakinan hakim,
Keterangan saksi yang dibacakan tersebut dapat bernilai dan dipergunakan
sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang
130
dibacakan mempunyai “saling kesesuaian” dengan alat bukti yang sah tersebut
dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.
131
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Agus Condro dikatakan sebagai justice collaborator dalam Putusan Nomor
: 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst karena Agus Condro memenuhi unsur
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 9 huruf a mengenai pedoman bagi
seorang justice collaborator dan dari keterangan yang diberikan Agus
Condro dalam pengadilan serta dijadikan pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tersebut yang membuktikan dirinya masuk dalam kriteria
syarat-syarat sebagai seorang justice collaborator.
2. Kekuatan pembuktian justice collaborator dalam Putusan Nomor : 14/
Pid.B/ Tpk/ 2011/ PN.Jkt.Pst yaitu :
a. Sesuai dengan peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung,
Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan Mahkamah Agung (MA) Justice collaborator merupakan
alat bukti saksi yang dapat diajukan pada tahap penyidikan maupun
pada tahap persidangan. Pada saat persidangan justice collaborator
memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa tindak pidana
korupsi lainnya dari hasil pengungkapan yang ia lakukan.
132
b. Dari hasil keterangan yang diberikan Agus Condro tersebut kemudian
diteliti lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan bukti-bukti lainnya.
Dari sinilah dapat menyimpulkan bahwa Agus Condro sebagai justice
collaborator dengan keterangannya dalam persidangan dapat
menguatkan pembuktian tindak pidana korupsi yang ia ungkap untuk
para terdakwa lainnya dan mengungkap siapa pelaku utama dalam
perkara korupsi ini. Selain justice collaborator sebagai alat bukti
saksi, namun harus ada alat bukti lain untuk mendukungnya sebagai
bahan pertimbangan hakim sebelum memutuskan perkara, karena
minimal pembuktian adalah adanya dua alat bukti yang ada kaitannya
dengan suatu tindak pidana korupsi.
B. Saran
Sebaiknya Pemerintah membuat pengaturan yang lebih lanjut tentang
peraturan perundang-undangan baru yang mengatur secara spesifik mengenai
justice collaborator dan perlindungannya dalam bentuk Undang-Undang
sehingga membuat lembaga penegak hukum, baik itu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) dan Mahkamah Agung (MA) dapat mengakomodir sebuah
konsep sistem pemikiran yang tepat dalam penerapan justice collaborator.
Dengan terlindunginya seorang justice collaborator membuat pengungkapan
terhadap perkara-perkara yang terorganisir yang dilakukan kaum intelektual
bisa lebih mudah diungkap.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Cahaya, Suhandi dan Surachmin. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika. Dempster, Quentin. 2006. Whistleblower. Jakarta: Elsam. Djaja, Ermasyah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta : Sinar
Grafika.
Hamzah, Andi, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika.
__________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
__________, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika.
__________, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika.
Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika.
__________, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Bandung: Mandar Maju. Hatta, Moh. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum &
Hukum Pidana Khusus. Yogyakarta:Liberty. Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Cetakan Ketiga. Banyumedia Publishing. Mahmud Marzuki, Peter, 2007 Penelitian Hukum. Jakarta, Kencana Prenada
Media Group.
Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat bukti (seri Pemerataan Keadilan 10), cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Maryani, Enong. 1997. Antropologi. Bandung: Grafindo Media Pratama. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup. Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju, hlm.
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta : Sinar Grafika.
Lies Sulistiani, et.. Al., Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Prinst, Darwan.2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Bandung : Citra
Adhitya Bakti Projodikoro, Wirjono.2004.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: PT. Raja
Gravindo. Pohan, Agustinus. 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif. Denpasar: Pustaka
Lasaran. Prinst, Darwan, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra
Adhitya Bakti.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Bandung : Mandar Maju.
Ramelan, 2001, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Puslitbang Diklat Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Salam, Moch. Faisal 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju.
Simanjuntak, Nikolas.2009.Acara Pidana di Indonesia Dalam Sirkus Hukum,Bogor: Ghlmia Indonesia, Cet I.
Surodibroto,Soenarto.2007.KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad. Jakarta: Radjagrafindo Persada.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung : Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Samosir, C. Djisman, 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan. Bina
Cipta: Bandung. Taufik Makarao, Mohammad, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan
Praktek, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Wijaya, Firman. 2012. Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Penaku. Wijaya, Firman, 2008, Peradilan Korupsi Teori Dan Praktik, Jakarta : Maharini
Press.
B. Peraturan Perundang-undangan : Indonesia, Undang-UndangNomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. , Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
C. Sumber Lainnya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) Puslitbang Diklat Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sigit Artantojati, 2010, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, 20 Juni 2013, Nilai Pembuktian Telekonferensi,
SuaraMerdeka.com
http://news.detik.com/read/2011/10/11/225302/1741925/10/, Diakses tanggal 13 November 2013.
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/, diakses pada tanggal 15 November 2013.
http://hukumzone.blogspot.com/2011/05/macam-macam-alat-bukti-dalam-
hukum.html diakses pada tanggal 15 November 2013. http://news.detik.com/read/2011/10/11/225302/1741925/10/ Diakses tanggal 13
November 2013. http://www.wikiapbn.org/artikel/Tindak_Pidana_Korupsi, diakses pada tanggal 20
November 2013. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 3
Desember 2013 http://profil-lanka.blogspot.com/2012/01/pembuktian-dalam-hukum-acara-
pidana.html?m=1 diakses pada tanggal 20 November 2013.
Top Related