Kegagalan Imunisasi:
Kesenjangan Komunikasi Antara Petugas Kesehatan & Masyarakat
Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Utara
Basunanda Wirabaskara Siti Khodijah Parinduri
Gurendro Putro
Penerbit
Unesa University Press
ii
Basunanda Wirabaskara, dkk
Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi
Antara Petugas Kesehatan & Masyarakat Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Utara
Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email: [email protected]
Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xv, 177 hal., Illus, 15.5 x 23
ISBN: 978-979-028-942-0
copyright © 2016, Unesa University Press
SUSUNAN TIM
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
iii
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iv
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna
v
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
vi
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vii
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
I. 1. LATAR BELAKANG ......................................................... 1
I. 2. Pertanyaan Penelitian ................................................... 6
I. 3. TUJUAN ......................................................................... 6
I. 4. Metode .......................................................................... 7
I. 4.1. Penentuan Lokasi ................................................ 7
I. 4. 2. Informan Penelitian ............................................ 8
I. 4. 3. Cara Pengumpulan data ..................................... 8
I. 4. 4. Sistematika Buku ................................................ 10
BAB II SELASAR KA’BAH DALAM NAUNGAN KURMA .................. 12
II. 1. Jejak-jejak Sejarah di Aceh Utara ................................. 15
II. 1. 1. Jejak Samudera Pasai ...................................... 17
II. 1. 2. Jejak Cut Meutia ............................................. 22
II. 1. 3. Jejak Penjajahan Jepang ................................. 24
II. 2. Aceh dan Kenangan-kenangan Masa Lalu ................... 25
II. 2. 1. Tsunami ........................................................... 25
II. 2. 1. 1. Wardan ............................................ 25
II. 2. 1. 2. Meuda ............................................. 28
II. 2. 1. 3. Rajak ................................................ 31
II. 2. 1. 4. Tengku Imam ................................... 34
II. 2. 2. Darurat Militer ................................................ 36
II. 2. 3. Kriminal Akidah ............................................... 42
viii
II. 3. Penghidupan Dan Karakteristik
Masyarakat Aceh Utara ............................................... 53
II. 3. 1. Steriotype Serambi Mekah ............................... 49
II. 3. 2. Bahasa Aceh sebagai Bahasa Sehari-hari ......... 57
II. 3. 3.Tiga Dusun, Pemilahan Demografis dan
Pemilahan Sosial ............................................... 61
II. 3. 4.Pendidikan Formal Versus
Pendidikan Agama ........................................... 63
II. 3. 4. 1. Pendidikan Sekolah ........................... 63
II. 3. 4. 2. Pendidikan Agama di Dayah ............. 66
II. 3. 5. Kehidupan Sosial Ekonomi ................................ 70
II. 3. 5. 1. Gaya Hidup dan Mentallitas Kerja .... 70
II. 3. 5. 2. Solidaritas Ekonomi .......................... 77
II. 3. 5. 3. Kendala yang Dihadapi Petani dan
Nelayan Pasca Tsunami .................... 77
II. 3. 5. 4. Dampak Lingkungan .......................... 81
II. 3. 5. 5. Peluang Usaha di
Bawah Hukum Syariat ...................... 82
II. 3. 6. Pengambilan Keputusan ................................... 85
II. 3. 6. 1. Tingkat Desa ...................................... 85
II. 3. 6. 2. Tingkat Rumah Tangga ...................... 89
BAB III MENILIK KESEHATAN DESA SAWANG .............................. 93
III. 1. Potret Balita ............................................................... 93
III. 1. 1. Cakupan Balita Ditimbang ............................. 94
III. 1. 2. Apa Kabar Imunisasi? ................................... 97
III. 1. 3. Kisah ASI Eksklusif di Desa Sawang .............. 100
III. 1. 4. Dalam Kemandirian Anak Desa Sawang ........ 103
III. 2. Potret Kesehatan Lingkungan ..................................... 108
III. 2. 1. Sumber Air Bersih .......................................... 108
III. 2. 2. Saluran Pembuangan Air Limbah .................. 110
III. 3. Potret Penyakit Tidak Menular ................................... 110
ix
III. 3. 1. Mengenal Diabetes Melitus
bagi Desa Sawang ........................................ 111
III. 4. Potret Perilaku Kesehatan, Merokok .......................... 114
III. 5. Serba-Serbi Pelayanan Kesehatan ............................... 116
III. 5. 1. Puskesmas ...................................................... 116
III. 5. 2. Pustu .............................................................. 118
III. 5. 3. Bidan Desa ..................................................... 120
III.6 Arti Sakit Bagi Masyarakat Desa Sawang .................... 121
III. 7. Kepercayaan pada Sesuatu yang
Mempunyai Daya Penyembuh ................................... 123
III. 7. 1. Obat Gampong (obat tradisional) .................. 124
III. 7. 2. Rajah .............................................................. 126
III. 7. 2. 1. Rajah Suum (Rajah untuk Demam
Anak maupun Dewasa) ..................... 127
III. 7. 2. 2. Rajah Diganggu Oleh Jin ................... 128
III. 7. 3. Pengobatan Modern ...................................... 130
III. 8. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat,
Posyandu .......................................................... 131
BAB IV. IMUNISASI, TAK KENAL MAKA TAK SAYANG ................ 136
IV. 1. Nilai Anak .................................................................... 136
IV. 2. Akses Informasi dan Pemahaman Masyarakat
tentang Kesehatan. ..................................................... 142
IV. 3. Akses Imunisasi dan Kesehatan .................................. 145
IV. 4. Pro Kontra Imunisasi ................................................... 150
IV. 4. 1. Imunisasi di Mata Petugas Kesehatan .......... 150
IV. 4. 1. 1. Kendala dalam Upaya
Klarifikasi Haram .............................. 150
IV. 4. 1. 2. Kendala Program Imunisasi .............. 154
IV. 4. 2. Imunisasi di Mata para Tengku ..................... 157
IV. 4. 2. 1. Tengku Imam atau Imam Desa ........ 157
IV. 4. 2. 2. Tengku Sulaiman .............................. 158
x
IV. 4. 2. 3. Tengku Rohman ............................... 160
IV. 4. 3. Imunisasi di Mata Orang Tua ........................ 161
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................... 166
V. 1. Dilakukan Sosialisasi dengan
Melibatkan Para Tengku .......................................... 166
V. 2. Penertiban Acara TV ................................................. 167
V. 3. Meleburkan Para Petugas Kesehatan
dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ....................... 168
V. 4. Penelitian tentang Vaksin yang Menimbulkan
Efek Demam yang Berlebihan ................................ 169
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 171
GLOSARIUM .................................................................................. 173
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................... 175
TENTANG PENULIS ........................................................................ 176
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel Jumlah dan Cakupan Balita Ditimbang
di Posyandu Desa SawangJanuari-Mei Tahun 2015. .. 94
Tabel 3.2 Data 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Samudera
pada Bulan Januari-April 2015 ............................... 111
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Orang Aceh Tempoe Doeloe ............................. 13
Gambar 2.2 Lambang Kerajaan Samudera Pasai .................. 17
Gambar 2.3 Batu-batu Nisan Kuno di Lokasi Tambak ........... 19
Gambar 2.4 Masjid dan Islamic Center di Lokasi Kerajaan
Samudera Pasai ................................................. 20
Gambar 2.5 Pembangunan Museum yang Terhenti ........... 21
Gambar 2.6 Rumah Cut Meutia ............................................ 22
Gambar 2 6 Makam Cut Meutia ........................................... 23
Gambar 2 7 Goa Jepang ........................................................ 25
Gambar 2 8 Gelombang Tsunami ......................................... 26
Gambar 2 9 Sandar di Bawah Pohon Kelapa......................... 28
Gambar 2.10 Gelombang Besar .............................................. 29
Gambar 2.11 Menunggu di Pantai .......................................... 30
Gambar 2.12 Ombak Menerjang ............................................ 32
Gambar 2.13 Pantai Sawang ................................................... 33
Gambar 2.14 Pekan di Tanah pasir ......................................... 43
Gambar 2.15 Lhokseumawe dari Sawang ............................... 46
Gambar 2.16 Nongkrong di Kedai ........................................... 47
Gambar 2.17 Nonton TV di Kedai ........................................... 48
Gambar 2.18 Selasar Ka’bah dalam Naungan Kurma ............. 50
Gambar 2.19 Pengungsi Burma dan Bangladesh .................... 51
Gambar 2.20 Aturan Syariat di Masjid Baiturrahim, Lhoksukon . 54
Gambar 2.21 Goyang Duma di Tanah Serambi ....................... 55
Gambar 2.22 Manok Siyam, Sang Ayam Aduan ...................... 56
Gambar 2.23 Naik Lagi!! .......................................................... 58
Gambar 2.24 Membidik Masa Depan ..................................... 59
Gambar 2.25 Ada yang Meninggal .......................................... 62
Gambar 2.26 Menuntut Ilmu Selaju Sepeda ........................... 64
Gambar 2.27 Peringatan Isra’ Mi’raj ...................................... 68
Gambar 2.28 Ngaji, Belajar Agama ......................................... 69
xiv
Gambar 2.29 Seperti Memagari Lautan ................................. 72
Gambar 2.30 Gadis Aceh dalam Busana Muslimah ................ 34
Gambar 2.31 Pemuda Aceh .................................................... 75
Gambar 2.32 Tambak dan Gubuk di Ladang .......................... 80
Gambar 2.33 Gubuk untuk Menunggu Tambak ..................... 81
Gambar 2.34 Sun Set di Pantai Sawang .................................. 83
Gambar 2.35 Senja Pengrajin Pandan .................................... 84
Gambar 2.36 Mandi di Sumur ................................................ 88
Gambar 2.37 Gadis Manyam Emas......................................... 90
Gambar 2.38 Pesta Perkawinan Adat Aceh ............................ 91
Gambar 3.1 Balita di Desa Sawangsedang bermain dan
digendong di depan rumah di pagi hari ............ 93
Gambar 3.2 Ibu dan kader posyandu sedang mencoba
menimbang balita ............................................ 95
Gambar 3.3 Alat Penimbangan Bayi di Puskesmas .............. 96
Gambar 3.4 Buku Pencatatan Imunisasi Desa Sawang ........ 98
Gambar 3.5 Anak-anak Menggunakan Peralatam Tajam ..... 105
Gambar 3.6 Balita Buang Air Kecil di Depan Rumah ............ 106
Gambar 3.7 Sumur sebagai sumber air bersih ..................... 109
Gambar 3.8 Air minum dari sumur yang berwarna
kekuning-kuningan ........................................... 109
Gambar 3.9 Genangan Air Limbah ....................................... 110
Gambar 3.10 Hidangan makanan saat kenduri pernikahan ... 114
Gambar 3.11 Bapak Menggendong anaknya sambil merokok. .. 115
Gambar 3.12 Puskesmas Kecamatan Samudera .................... 118
Gambar 3.13 Pustu Desa Sawang ........................................... 119
Gambar 3.14 Tanaman Obat Demam Bagi Anak .................... 125
Gambar 3.15 Oen Hasan Tanaman Obat Demam Bagi Anak . 126
Gambar 3.16 Peralatan untuk meurajah ................................ 130
Gambar 3.17 Kader Posyandu dan Ibu yang membawa balita ... 132
Gambar 4. 1 Anak – anak momong adik mereka .................. 136
Gambar 4. 2 Kelereng Permainan Anak - Anaik .................... 137
xv
Gambar 4.3 Anak yang sudah tidak sekolah
mencari uang untuk kebutuhannya sendiri ...... 138
Gambar 4. 4 Jajan ................................................................... 139
Gambar 4.5 Gaya Pemuda Aceh ........................................... 140
Gambar 4.6 Muda mudi di obyek Wisata ............................. 141
Gambar 4.7 Ngopi dan Nonton Sinetron .............................. 142
Gambar 4.8 Peristiwa Parang ................................................ 145
Gambar 4.9 Aktivitas Gotong Royong ................................... 149
Gambar 4.10 Nilai-nilai agama ditanamkan
secara rutin sejak anak-anak ............................. 153
gambar 4.11 Menutup pintu untuk orang lain, Trauma konflik . 154
Gambar 4.12 Tengku Imam ..................................................... 158
Gambar 4.13 Anak – Anak menjadi urusan para ibu .............. 161
Gambar 4.14 Senja di Balik Pagar ........................................... 165
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Indonesia memiliki aneka ragam kekayaan alam, budaya, dan
penduduknya. Indonesia menjadi negara yang memiliki potensi besar
dalam memanfaatkan keanekaragamannya. Riset etnografi
merupakan salah satu cara mengenal aspek budaya Indonesia yang
memiliki keterkaitan dengan kesehatan masyarakat. Riset ini
memberikan peluang besar dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan
yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan
menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai kekuatan dan peluang
penyelesaian masalah kesehatan.
Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor sosial budaya dan
lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.
Faktorpengetahuan budaya seperti konsepsi mengenai berbagai
pantangan, hubungan sebab akibat, antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan dapat
membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal
tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali.1
Riset ini dilakukan untuk menggali setiap potensi yang ada di
masyarakat dalam rangka meningkatkan status kesehatan serta
menjadi bahan masukan bagi petugas kesehatan dan stakeholder yang
berperan dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Melalui riset ini
dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan petugas kesehatan
dalam menemukan kesesuaian program kesehatan dengan kondisi
masyarakat.
1Protocol penelitian
2
Riset etnografi digunakan secara luas pada beberapa
penelitian yang ada hubungannya dengan penyakit, termasuk:
menggali pengalaman sakit (Nichter, 1987), penggunaan ’explanatory
model’ pada penyakit dan penyerapan terhadap penyakit baru
kedalam kerangka kerja ’to observe record keeping’ (Allen, 1998).
Menyoroti praktek-praktek ritual dikamar operasi (Macqueen, 1995).
Penelitian tentang peran perawat dalam menolong persalinan di
masyarakat (Rapport &Maggs, 1997).2
Pada Etnis Laut di Kabupaten Indragiri Hilir kasus kematian
bayi yang tinggi disebabkan oleh kepercayaan bahwa penyakit yang
menyerang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene yang
disebabkan mahluk gaib. Pengobatan tersebut dilakukan oleh dukun
atau pengobat tradisional dengan cara tradisional yang beresiko
menambah parahnya penyakit.3
Keanekaragaman persepsi mengenai sehat dan sakit, yang
berimplikasi pada pemilihan cara perawatan kesehatan, umumnya
ditentukan oleh kebudayaan, yang berisi: pengetahuan, kepercayaan,
nilai, dan norma dalam kehidupan masyarakat. Lebih jelasnya,
kebudayaan menentukan apa yang menyebabkan seseorang
menderita sakit (etiologi penyakit) akibat dari kelakuannya, serta
mengapa perawatan kesehatan mengikuti cara-cara tertentu. Oleh
karena itu, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan makna
hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial dari penyakit dan
perawatan kesehatan dengan gejala biologis dan biomedis. Hubungan
antara gejala sosialbudaya dengan gejala biologis dan biomedis dapat
2 Setyowati, Etnografi Sebagai Metode Pilihan dalam Penelitian Kualitatif di Keperawatan 3 Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. 2014.Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB.
3
disebut sebagai gejala bio-budaya.4Gejala-gejala ini yang kemudian
harus disesuaikan dengan pembangunan kesehatan masyarakat.
Pembangunan kesehatan jangka panjang secara ringkas
dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Pembangunan bidang kesehatan merupakan upaya untuk
memenuhi satu hak dasar rakyat, sesuai dengan UU nomor 36 tahun
2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kesehatan.5
Masyarakat dan unsur lainnya harus diikutsertakan dalam
bentuk pemberdayaan dan kemitraan mengelola kehidupan
lingkungan yang layak sehingga konsep sehat secara paripurna dapat
tercapai. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diutamakan bagi
penduduk rentan yakni ibu, bayi, anak, usia lanjut dan keluarga miskin
yang dilaksanakan melalui peningkatan upaya pokok pembangunan
kesehatan.6
Imunisasi sebagai salah satu upaya preventif kesehatan
masyarakat dalam meningkatkan kesehatan bayi dan investasi di masa
yang akan datang. Tematik imunisasi ini dipilih berdasarkan kondisi
lapangan yang ditemukan dengan hasil studi data sekunder yang
diperoleh di awal. Imunisasi menjadi bagian dari upaya preventif
dalam mencegah terjadinya penyakit menular seperti TBC anak,
campak, difteri, pertusis, tetanus dan polio di masyarakat serta
meningkatkan imunitas bayi yang rentan terserang penyakit. Imunisasi
merupakan salah satu program nasional dari Kementerian Kesehatan
dalam mencegah terjadinya serta penularan penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
4 Rianto, Nurcahyo Tri. Etnografi Kesehatan 5 IPKM 2013 6 IPKM 2013
4
Kementerian kesehatan membagi program imunisasi pada bayi
dikelompokkan menjadi beberapa jenis vaksinasi yaitu BCG, HB0, DPT
dan HB1, DPT3 dan HB3, Polio 3 dan campak. Adanya penurunan
jumlah imunisasi pada bayi perlu mendapat perhatian dari pelaksana
program, mengingat peningkatan status kesehatan bayi sangat
dipengaruhi dari kekebalan bayi terhadap penyakit yang akan
dimunculkan, akibat ketidaklengkapan imunisasinya.7
Sebagian besar kabupaten/kota di provinsi Aceh belum dapat
mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2013 yaitu 90%. Capaian
Provinsi Aceh untuk DPT1 dan HB1 mencapai 92.341 (87%), DPT3 dan
HB3 86.603 (81%), cakupan imunisasi campak bayi mencapai 85.264
(80%) sementara yang drop out DPT1 sampai campak adalah 7.7%.
Imunisasi BCG sampai saat ini masih mencapai 92.167 (87%), Polio4
mencapai 88.693 (83%) dan imunisasi dasar lengkap 78.225
(73%).8Aceh yang telah memiliki target cakupan imunisasi sebanyak
90%, pada pelaksanaannya mencapai target imunisasi dasar lengkap
sebanyak 73%. Aceh menjadi salah satu provinsi yang perlu
meningkatkan upaya pencapaian target imunisasi.
Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif melalui
imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian imunisasi
BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan HB3 9.880
(80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916 (80.9%). Capaian
imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa capaian Aceh Utara
masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.9
Suatu kelurahan telah mencapai target Universal Child
Immunization (UCI) apabila lebih dari 80% bayi di desa tersebut
mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu 1 tahun. Pada tahun
2013 dilaporkan kabupaten Aceh Utara telah mencapai 7 Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 8 Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 9 Profil Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2013
5
Desa/Kelurahan UCI sebesar 647 (75.9%) dari 852 Desa/Kelurahan.
Dari 31 Puskesmas yang telah mencapai UCI 100% adalah Puskesmas
Nisam antara, Banda Baro, Geuredong, Tanah Pasir, Nibong dan
Seunuddon.
Berdasarkan data dia atas menunjukkan bahwa capaian
imunisasi belum mencapai target berdasarkan penghitungan. Selain
pencapaian yang belum memenuhai target, kondisi di lapangan juga
menyatakan bahwa adanya pengakuan dari pihak puskesmas terkait
dengan kendala dalam pelaksanaan imunisasi.
Aceh Utara terdiri dari beberapa kecamatan, salah satunya
ialah kecamatan Samudera yang dikenal sebagai salah satu wilayah
peninggalan Samudera Pasai, yaitu kerajaan tertua Islam yang dikenal
memiliki banyak peninggalan budaya kerajaan Samudera Pasai.
Kecamatan Samudera memiliki satu Puskesmas sebagai fasilitas
kesehatan bagi masyarakat di Kecamatan Samudera dan memiliki satu
Puskesmas Pembantu sebagai akses terdekat bagi desa yang berada
cukup jauh dari Puskesmas. Selain itu,adajuga Polindes yang belum
dimanfaatkan sebagai fasilitas kesehatan, karena bidan desa yang
bertugas tidak menempati Polindes tersebut dan tempat tinggalnya di
desa lain.
Salah satu desa yang berada di Kecamatan Samudera ialah
Desa Sawang yang merupakan salah satu desa yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak yaitu dengan jumlah 367 KK dan terdiri dari
sekitar 1500 jiwa. Desa Sawang menjadi salah satu rekomendasi
kepala puskesmas Samudera sebagai tempat untuk melihat fenomena
yang terjadi mengenai cakupan imunisasi yang rendah serta kondisi
kesehatan yang terjadi.
Berdasarkan pengalaman petugas kesehatan yang telah
bertugas menyatakan bahwa adanya isu yang beredar mengatakan
bahwa imunisasi “haram” dan penolakan masyarakat akan imunisasi
6
menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat sulit menerima
imunisasi, sehingga peneliti akan menggali lebih dalam mengenai hal
tersebut. Unsur keagamaan yang dikaitkan sebagai salah satu faktor
penghambat penerimaan masyarakat terhadap program kesehatan
menjadi perlu dikaji lebih dalam.
Oleh karena itu peneliti menjadikan imunisasi sebagai tematika
dari penelitian ini dalam menemukan rekomendasi terbaik bagi
kesehatan masyarakat Desa Sawang maupun petugas kesehatan.
I. 2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas pertanyaan penelitian ini adalah
1. Bagaimana gambaran aspek budaya yang ada di Aceh Utara?
2. Bagaimana gambaran situasi kesehatan masyarakat Aceh Utara?
3. Bagaimana aspek kebudayaan masyarakat memberikan pengaruh
terhadap rendahnya cakupan imunisasi di Aceh Utara?
I. 3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah
1. Memperoleh gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya
masyarakat Aceh Utara
2. Memperoleh gambaran situasi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA), penyakit tidak menular (PTM), Penyakit menular
(PM), dan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang
dilaksanakan di Aceh Utara.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan dalam rangka
memahami masalah rendahnya cakupan imunisasi pada etnik
Aceh Utara di Kabupaten Aceh Utara, kecamatan Samudera, desa
Sawang.
7
4. Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk
penyelesaian permasalahan kesehatan berbasis budaya Aceh
Utara.
I. 4.Metode
I. 4.1. Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan ranking Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) rendah tahun 2013,
dimana Aceh Utara menduduki ranking 424 di Indonesia. Datalain
yang mendukung status kesehatan masyarakat yang masih dalam
status kesehatan rendah. Berdasarkan studi literatur ditentukan
Kabupaten Aceh Utara sebagai sasaran lokasi penelitian di Kecamatan
Samudera.
Dasar pemilihan lokasi ditentukan berdasarkan hasil diskusi
dengan pihak Dinas Kesehatan Aceh Utara, yaitu berada di Kecamatan
Samudera yang dikenal sebagai salah satu daerah di Aceh Utara
dikenal dengan peninggalan kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Melalui Puskesmas Samudera, ditentukan Desa Sawang sebagai lokasi
penelitian yang dipilih berdasarkan jumlah penduduk terbanyak di
Kecamatan Samudera, yaitu sekitar 1.500 jiwa, dianggap sebagai salah
satu desa yang memiliki permasalahan dalam cakupan imunisasi dan
masyarakat yang masih terikat dengan budaya setempat sehingga
dianggap mampu menggambarkan unsur kebudayaan yang
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Aceh, kabupaten Aceh
Utara Kecamatan Samudera Desa Sawang selama 35 hari (24 April-28
Mei 2015) dengan metode penelitian kualitatif yang menggunakan
desain eksploratif. Dalam penelitian ini, peneliti langsung ke lapangan
mencari data melalui informan yang terkait dengan tema penelitian.
Menurut Spradley (1997) etnografi adalah suatu kebudayaan
yang mempelajari kebudayaan lain, etnografi merupakan suatu
8
bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori
etnografi, dan berbagai macam deskriptif kebudayaan.10
I. 4. 2. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah masyarakat desa Sawang yang
dianggap dapat memberikan informasi mengenai keadaan sosial
budaya dan gambaran terkait dengan permasalahan kesehatan
masyarakat desa Sawang. Teknik pengambilan dilakukan secara
purposif, yaitu sengaja memilih informan dengan kriteria tertentu.11
I. 4.3. Cara Pengumpulan data
Peneliti merupakan instrumen dari penelitian itu sendiri yang
perlu didukung oleh pedoman untuk mencari data. Instrumen
pendukung tersebut ialah pedoman indepth interview, buku catatan
harian (logbook), kamera foto, video dan perekam suara. Cara
pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi
partisipatif), wawancara mendalam, dokumentasi serta penelusuran
referensi dan data sekunder.12
Observasi partisipatif adalah proses dimana sebagai peneliti,
fokusnya adalah dirinya sendiri secara keseluruhan dalam situasi
sosial. Dengan demikian peneliti akan lebih dekat dengan masyarakat
ketika mereka berespon terhadap kehidupan, dan tidak hanya
mendengar apa yang mereka katakan tetapi mengambil semuanya
dari yang respon terkecil mereka terhadap situasinya (Goffman,
10Ningsi, Ngeolima, R., Hamzah, S., Handayani, L. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 11 Ningsi, Ngeolima, r., Hamzah, s., Handayani, l. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 12 Protokol Penelitian hal 17
9
1989).13 Observasi Partisipatif dilakukan melalui kegiatan peneliti
dengan hidup dan tinggal di salah satu rumah masyarakat serta
mengikuti berbagai kegiatan masyarakat selama penelitian
berlangsung.
Wawancara dilakukan ketika masyarakat sedang tidak bekerja
sehingga menciptakan situasi yang nyaman saat melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan dengan melakukan janji maupun
secara langsung saat bertemu dan dalam kondisi yang memungkinkan
untuk diwawancara dengan mengupayakan tidak ada pihak ketiga
sebagai sumber informasi saat wawancara.
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Utara, Puskesmas Samudera dan referensi buku-buku serta hasil
penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian. Penelusuran
data sekunder, referensi dan pustaka atau bahan dokumen lain yang
berkaitan dengan substansi penelitian menjadi data pendukung
penelitian. Data yang telah dikumpulkan mempunyai nilai penting bagi
peneliti. Data yang berhasil dikumpulkan baik data primer dan
sekunder selama penelitian berlangsung di Desa Sawang pada etnik
Aceh Utara, dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif
deskriptif.
Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
triangulasi data, yaitu digunakan variasi sumber data yang berbeda
dengan melihat kembali dan membandingkan informasi yang
diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode
kualitatif yang dilakukan dengan (a) membandingkan data hasil
pengamatan dengan wawancara yang dilakukan, (b)membandingkan
apa yang dikatakan orang di depan umum dengan yang dikatakan
secara pribadi, (c) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang
13 Setyowati. Etnografi Sebagai Metode Pilihan dalam Penelitian Kualitatif di Keperawatan
10
situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (d)
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat serta pandangan orang lain dan (e) membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil dari
perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau alasan-
alasan terjadinya perbedaan.14
Kelemahan dalam penelitian ini adalah waktu penelitian yang
dilakukan selama 35 hari (24 April – 28 Mei 2015) dalam menggali
informasi dari masyarakat sehingga memberikan ruang pada beberapa
bagian penelitian yang kurang mendalam. Waktu yang diestimasikan
selama 35 hari membatasi peneliti untuk melakukan eksplorasi pada
banyak topik pembahasan sehingga memungkinkan peneliti hanya
menggali informasi secara mendalam pada beberapa bagian saja.
1.4.4 Sistematika Buku
Bagian ini merupakan deskripsi mengenai struktur/isi buku
sehingga memudahkan pembaca mengetahui susunan isi secara
ringkas. Buku ini terdiri atas enam bab yang berisi deskripsi dan
analisis yang dilakukan berdasarkan ruang lingkup kajian dan tidak
keluar dari wilayah studi yang direncanakan. Keenam bab tersebut
dideskripsikan secara umum sebagai berikut: 1. Bab 1 menjelaskan tentang gambaran umum atas studi yang
dilakukan, latar belakang, masalah, pertanyaan penelitian,
tujuan, metode, dan sistematika buku.
2. Bab 2 menjelaskan tentang sejarah, asal-usul, serta
perkembangan yang terjadi pada masyarakat Etnik Aceh Utara.
3. Bab 3 menjelaskan tentang situasi kesehatan yang dikaitkan
dengan budaya masyarakat etnik Aceh Utara yang dijelaskan
melalui konsep sehat sakit yang dipahami oleh masyarkat,
14 Moelong dan Bardiansyah dalam Syafrina Ulfah, 2007
11
kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki daya
penyembuh, health seeking behaviour yang ada di Etnik Aceh
Utara, kejadian kesakitan, potret balita, upaya kesehatan
berbasis masyarakat, Potret Penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi.
4. Bab 4 menjelaskan secara lebih mendalam mengenai potret
penerimaan imunisasi pada masyarakat etnik Aceh Utara yang
dapat dilihat melalui analisis unsur budaya dan kesehatan yang
ada di masyarakat Desa Sawang.
5. Bab 5 menjelaskan mengenai uraian singkat atas kesimpulan
yang diperoleh dari hasil penelitian yang menjawab dari
pertanyaan penelitian dan beberapa rekomendasi yang
ditawarkan dalam menanggapi hasil studi yang telah dilakukan
dalam upaya memeperkuat dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat etnik Aceh Utara.
Dalam buku ini penulisan nama-nama tokoh disamarkan
dengan nama alias. Hal ini untuk menjaga privasi dan kerahasiaan para
informan dan tokoh-tokoh yang diceritakan.
12
BAB II
SELASAR KA’BAH DALAM NAUNGAN KURMA
Serambi Mekah di bawah Undang-undang Syariat. Sejak abad
ke 13 Aceh menjadi negara Islam di bawah pemerintahan Kerajaan
Samudera Pasai. Peri kehidupan bermasyarakat dijalankan dengan
syariat Islam. Ketika Kerajaan Samudera Pasai runtuh pada abad ke 16
sistem syariat ini terus berlanjut di bawah kepemimpinan para
pemimpin agama Islam atau Tengku.
Ketika masa penjajahan Belanda, Zentgraaff15 mencatat bahwa
perlawanan yang dilakukan orang-orang Aceh dalam Perang Aceh
(1873-1904) di samping dipimpin oleh para bangsawan dan
uleebalang juga dipimpin oleh para Tengku. Dalam buku itu pula
Zengraaff menggambarkan bagaimana perempuan Aceh yang cantik-
cantik sangat berani memimpin perlawanan terhadap penjajahan
Belanda. Keberanian para perempuan Aceh itu melebihi keberanian
para pemimpin laki-lakinya yang juga sangat berani. Para perempuan
itu memimpin perlawanan dengan bersembunyi di gunung-gunung.
“...bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang
serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh; dan
kaum wanita Aceh, melebihi kaum wanita bangsa-bangsa
lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan
merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah
dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan
cita-cita bangsa dan agama mereka.” (Zentgraaff, 1938)
15 Zentgraaff adalah mantan tentara Belanda yang pernah bertugas di aceh dan beralih profesi menjadi wartawan dengan jabatan terakhir sebagai redaktur di harian Java Bode.
13
Gambar 2.1
Orang Aceh Tempoe Doeloe
Foto : repro buku “Atjeh”
14
Demikianlah Aceh pada masa dahulu. Di bawah hukum syariat
para laki-laki gagah berani dan para perempuan tidak kalah berani
dalam membela bangsa dan agama Islam. Semangat itu ditanamkan
oleh para ibu sejak anak masih di dalam buaian.
Pada masa itu para ibu di aceh menina bobokan anak mereka
dengan lagu “Do Da Idi”, lagu rakyat aceh untuk menimang-nimang
bayi. Berbeda dengan lagu nina bobo dari daerah lain yang biasanya
berisi syair untuk melenakan bayi supaya tidur atau pernyataan
memberi perlindungan kebada bayi supaya terhindar dari penyakit
dan gangguan, lagu “Do Da Idi” menanamkan semngangat untuk
berperang membela bangsa tanpa rasa takut, iklas dengan nama
Allah.
“…
Beurijang rayek muda seudang
Tajak bantu prang ta bela Nangroe
Wahe aneuk bek ta duk le
Beudoh sare ta bela bangsa
Bek ta takot keu darah ile
Adak pih mate po ma ka rela
...” (lagu rakyat Aceh)
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:
“…
Cepatlah besar anakku sayang, tumbuh menjadi
pemuda
Supaya bisa ikut berperang membela Negara
Wahai anakku, janganlah duduk dan berpangku tangan
lagi
Mari bangkit bersama membela bangsa
Janganlah takut jika darah mengalir
Walaupun engkau mati, ibu sudah rela
... ”
15
Kondisi mental kultural orang Aceh masa lalu yang hebat itu sekarang
nyaris tidak kelihatan bekasnya.
Perubahan orientasi syariat Islam ini terjadi ketika Snouck
Hurgronje menjadi penasehat Gubernur Jenderal kolonial sejak 1898
untuk menaklukkan Aceh. Setelah gagal menghapus syariat Islam
dengan perang selama empat puluh tahun, Snouck Hurgronje
menyarankan pemerintah kolonial untuk tidak mencampuri urusan
agama dan memberikan kebebasan pada masyarakat Aceh untuk
mengembangkan agamanya. Hanya manifestasi politik Islam itu yang
dirubah di bawah panduan kebijakan pemerintah kolonial.
Tahun 1905 Perang Aceh berakhir dengan korban limapuluh
ribu tentara kolonial dan seratus ribu penduduk, serta satu juta orang
terluka. Tahun 1912 muncul Syarekat Islam yang merupakan partai
politik Hindia Belanda pertama yang berdasarkan prinsip-prinsip
Islam16.
Dengan strategi ini syariat Islam tidak lagi menyerang
pemerintah kolonial tetapi menyerang masyarakat Aceh sendiri.
Banyak larangan dikeluarkan oleh para Tengku. Orang Aceh tidak
boleh begini-begitu, perempuan Aceh tidak boleh melakukan banyak
hal. Orang Aceh menjadi sibuk menertibkan mereka sendiri untuk
tidak melanggar ‘syariat Islam’ yang dijalankan di bawah panduan
pemerintah kolonial. Meminjam istilah yang diungkapkan seorang
pemuda di Desa Sawang sekarang ini, Aceh adalah ‘tempat dengan
banyak larangan’.
II. 1. Jejak-jejak Sejarah di Aceh Utara
Memasuki Kabupaten Aceh Utara saya mulai mencari-cari
bekas-bekas peninggalan sejarah Aceh yang masyhur terdengar
sampai ke setiap bangku sekolah di seluruh Indonesia.
16 Sumber: wikipedia.org, diakses 26-6-2015.
16
“Kalau di sini ada bangunan bersejarah gak, Bang?”
“Kalau bangunan bersejarah gak ada, kalau makam ada.. , ”
Begitu obrolan saya dengan orang-orang di Aceh Utara yang
saya jumpai. Beberapa kali saya mencoba menelisik sejarah melalui
bangunan yang ada, jawaban mereka hampir sama. Tidak ada
bangunan bersejarah masa lalu. Yang masih ada adalah makam.
Makam Malikussaleh di kecamatan Samudera dan makam Cut Mutia
di Lhoksukhon.
Kalau dilihat sejarahnya, Aceh Utara merupakan pusat
kerajaan Islam terbesar dan pertama di Indonesia. Ketidak adaan
bangunan bersejarah itu cukup mengherankan bagi saya. Seperti
apakah Kerajaan Samudera Pasai waktu itu? Seperti apakah
masyarakat Aceh ini? Apa yang telah terjadi? Bermacam pertanyaan
muncul sehingga sekarang tidak ada lagi bekas dan peninggalan
kerajaan besar Islam yang tersisa.
Di Aceh Utara ini ada keturunan Ampeun. Mereka adalah
keturunan saudagar kaya yang sekarang sering menjual propertinya
untuk memenuhi gaya hidupnya karena hanya harta itu warisan yang
dia miliki. Mentalitas kerja sebagai saudagar tidak mereka warisi. Di
samping itu ada keturunan Sayid dari Gujarad. Mereka adalah
keturunan bangsawan pada masa kasultanan Islam. Keturunan
bangsawan dari masa sebelum islam adalah para teuku (bangsawan
laki-laki) dan cut (bangsawan perempuan). Keturunan Tengku adalah
mereka yang melek ilmu agama Islam. Status Tengku ini sebenarnya
tidak diwariskan tetapi bisa diraih dengan mengikuti pendidikan di
Dayah atau pesantren selama setidaknya delapan tahun. Biasanya
bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun.
Tiga status sosial yang secara tradisional menempati status
sosial atas ini dalam praktek sehari-hari bisa dibilang sudah ‘tidak ada’.
Entah sudah bergeser atau karena sistem pengetahuannya tidak
17
terwariskan, yang jelas dalam peri kehidupan masyarakat sudah
tidaklah nampak. Mungkin juga karena secara ekonomi kehidupan
mereka relatif sama. Hanya para Tengku yang secara sosial masih eksis
menjadi panutan dan didengarkan omongannya di masyarakat
meskipun tauladannya tidak sebesar dulu.
II. 1. 1. Jejak Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri tahun 1297 merupakan
kerajaan Islam pertama dan terbesar di Indonesia. Pada masa
kerajaan ini, yaitu pada periode abad ke 13-16, Samudera Pasai
menjadi penghasil rempah-rempah terbesar di dunia dan menguasai
perdagangan di nusantara. Pelabuhan Samudera Pasai ramai
dikunjungi pedagang dan saudagar dari seluruhdunia. Nama kerajaan
tersebut, Samudera, kemudian menjadi nama baru bagi pulau tempat
kerajaan tersebut berada. Disebut oleh orang-orang Portugis
dengan lafal Sumatra17.
Gambar 2.2
Lambang Kerajaan Samudera Pasai
Foto : Wirabaskara
17 Kesultanan Samudera Pasai, melayuonline.com.
18
Makam Meurah Silu, yang ketika menjadi raja pertama
kerajaan Samudera Pasai bergelar Sultan Malik Ash Shalih terletak di
Desa Beringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Masyarakat di sini menyebutnya Malikussaleh. Makam ini terletak
tidak jauh dari pantai. Dikenal sebagai makam pemimpin Islam yang
suci dunia-akhirat, sebagaimana diwartakan oleh juru kunci kepada
setiap peziarah yang datang. Ketika tsunami melanda Aceh air laut
yang akan menerjang makam ini terbelah sehingga makam tidak
diterjang tsunami dan tidak mengalami kerusakan. Kejadian ini
semakin meyakinkan masyarakat tentang kesucian Malikussaleh.
Di sekitar komplek makam Malikussaleh ini tersebar makam
raja-raja dan panglima kerajaan Samudera Pasai. Terdapat setidaknya
dua belas kompleks makam raja-raja dan panglima yang masih terjaga
dan dipagari sebagai Benda Cagar Budaya.
Kompleks-kompleks makam tersebut tersebar di desa-desa di
wilayah selatan Kecamatan Samudera, yang dibelah dari timur ke
barat oleh jalan Medan Banda Aceh. Di luar kompleks-kompleks
makam yang sudah dipagari tersebut terdapat banyak makam tidak
dikenal yang mempunyai bentuk batu nisan yang sama dengan yang
ada di dalam kompleks-kompleks.
Makam-makam yang ada di luar pagar kompleks-kompleks ini
tidak dirawat oleh warga, bahkan cenderung tidak dianggap sama
sekali. “Itu makam orang-orang Turkey, bukan makam orang sini,”
kata Pak Syam ketika dia mulai bercerita tentang sejarah pembuatan
tambak di Desa Sawang ini.
“Pertama kali orang membuat tambak itu tahun enam
puluhan di Blang Nibong. Itu, di kampung sebelah situ.
Dekat saja. Dia orang miskin, tidak punya sawah untuk
digarap. Lalu dia menggarap tanah hutan—tanah yang
tidak ada pemiliknya—untuk dijadikan tambak. Lalau dia
menanam bandeng. Bibitnya dia cari di laut. Kalau di Desa
19
Beringin lebih lama lagi. Mungkin sebelum itu sudah ada.
Ketika saya lahir sudah ada tambak-tambak di sana.
Kemudian sekitar tahun tujuh puluh tujuh orrang ramai
membuat tambak di sini. Dulunya tambak-tambak itu
adalah sawah. Karena hasil tambak jauh lebih banyak dari
hasil sawah orang membuatnya menjadi tambak.”
Di wilayah Utara Kecamatan Aceh utara ini masyarakat banyak
membuat tambak karena letaknya yang dekat dengan laut. Beberapa
kompleks makam yang tidak terletak di tengah kampung sudah
dikelilingi oleh tambak. Pada waktu masyarakat membuat tambak ini
mereka banyak menemukan pecahan keramik dan gerabah serta batu
nisan yang tidak mereka kenal. Pecahan keramik dan gerabah serta
batu-batu nisan itu disingkirkan saja ke pinggir bersama tanah yang
dijadikan pematang tambak. Selang beberapa tahun ada juga batu
nisan yang tiba-tiba muncul di tengah tambak dan dibiarkan saja.
Sebuah nisan yang sekarang berada di dalam komplek makam Balee
Batee bahkan dulu dipakai orang untuk mengasah parang sehingga
meninggalkan bekas cekungan untuk mengasah. Makam-makam kuno
itu sepertinya profan saja bagi masyarakat di Aceh Utara.
Gambar 2.3
Batu-batu Nisan Kuno di Lokasi Tambak
Foto : Wirabaskara
Masyarakat di Desa Sawang sebagaimana masyarakat Aceh
Utara pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di atas tanah di
mana dulu berdiri kerajaan Islam besar bernama Samudera Pasai.
20
Meskipun tinggal di atas tanah yang sama tetapi masyarakat sekarang
sudah ‘putus mata rantai’ dengan tradisi moyangnya. Keahlian dan
kemampuan yang dulu tentulah ada dan maju pada masa Kasultanan
Samudera Pasai sekarang tidak ada lagi. Sebuah desa bernama Blang
Pande di Kecamatan Tanah Pasir mungkin menjadi satu-satunya desa
yang masih mewarisi keahlian menjadi pande besi.
Orang-orang tua tidak menceritakan sejarahnya pada anak-
cucu. Sekarang tidak ada lagi yang tahu cerita tentang leluhur mereka
dari jaman Kerajaan Samudera Pasai. Apa lagi cerita dari masa
kerajaan Hindu. Ada beberapa orang yang tahu sedikit tentang
informasi Kerajaan Samudera Pasai tetapi pengetahuan mereka
sebatas apa yang bisa dicari di google. Pengetahuan itu bukan mereka
dengar dari cerita-cerita orang tua. Tidak ada tradisi lisan yang
menceritakan sejarah masa lalu mereka secara turun-temurun.
Gambar 2.4 Masjid dan Islamic Center di Lokasi Kerajaan Samudera Pasai
Foto: Wirabaskara
21
Putus sudah pengetahuan mereka dengan sejarah masa lalu
yang mempunyai nama besar. Tidak ada lagi yang diketahui kecuali
bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam, yang dibawa dan
disebarkan pertama kali oleh Sultan Malikussaleh—raja pertama
Kerajaan Samudera Pasai.
Perhatian pemerintah daerah terhadap peninggalan ini
sebenarnya sudah ada. Di atas tanah yang diperkirakan tempat
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai dibangun masjid dan Islamic
Center serta sebuah musium besar sedang dibangun. Desain kedua
bangunan ini sepertinya tidak ada unsur Aceh massa lalunya.
Kontemporer saja.
Gambar 2.5
Pembangunan Museum yang Terhenti
Foto: Wirabaskara
22
II. 1. 2. Jejak Cut Meutia
Gambar 2. 6
Rumah Cut Meutia
Foto: Wirabaskara
Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah di Indonesia
Aceh menyumbangkan beberapa nama pahlawan besar. Di samping
Cut Nya’ Dhien, Cut Meutia adalah nama pejuang perempuan yang
masih dikenal masyarakat. Cut Meutia lahir pada tahun 1870 di Desa
Pirak, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara. Beliau wafat
dalam pertempuran dengan pasukan Marsose Belanda pimpinan
Sersan Mosselman di hulu Sungai Peutoe pada tanggal 25 Oktober
1910. Atas keputusan para pengikutnya beliau dimakamkan di Gunong
Lipeh yang merupakan tempat kejadian18.
Rumah Cut Meutia masih berdiri dengan cantik dan terpelihara
sebagai cagar budaya di Aceh Utara. Makamnya yang dulunya
bernisan batu bundar sebesar bola juga sudah dipugar. Batu bundar
yang menjadi nisan di makam-makam kuno khas masyarakat Aceh
18 Sebagaimana tertulis dalam prasasti di depan monumen rumah kediaman Cut Meutia.
23
Utara sudah berubah menjadi makam yang bagus seperti makam raja-
raja Kerajaan Samudera Pasai.
Gambar 2. 6
Makam Cut Meutia
Foto: atjehliterature.blogspot.com
Hanya peninggalan rumah dan makam Cut Meutia itu yang
masih ada dan diketahui masyarakat di Aceh Utara pada umumnya.
Cerita perjuangannya tidak banyak yang tahu, kecuali bahwa beliau
adalah pahlawan nasional yang berjuang melawan penjajahan
Belanda.
Cerita perjuangan kemerdekaan yang masih kuat diingat oleh
orang-orang Aceh Utara adalah ketika Bung Karno sebagai presiden
pertama Repoeblik Indonesia datang ke Aceh untuk minta bantuan.
Oleh masyarakat Aceh Bung Karno diberi uang dan pesawat untuk
menjalankan diplomasi dengan luar negeri. Karena inilah Aceh
menjadi daerah istimewa.
24
Tidak terlalu jelas kenapa peristiwa ini begitu diingat oleh
masyarakat. Mungkin di samping karena peristiwanya belum terlalu
lama juga karena kekecewaan yang dalam masyarakat Aceh pada
pemerintah Indonesia. Besarnya bantuan yang diberikan masyarakat
Aceh pada awal berdirinya Republik Indonesia ini menunjukkan
harapan yang besar dari masyarakat Aceh atas masa depan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Apa lacur ternyata pemerintah Jakarta
berkhianat. Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer. Status darurat
militer diberlakukan. Konflik yang terjadi memporak-porandakan
tatanan masyarakat dan meninggalkan trauma yang dalam.
II. 1. 3. Jejak Penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang adalah masa yang paling sulit dalam
ingatan masyarakat Aceh Utara. Pada masa ini makanan sangat mahal.
Pihak penjajah Jepang membeli semua padi yang ada dan
membuangnya ke laut. Semua padi yang ada harus boleh dibeli oleh
Jepang. Kalau tidak boleh, dipaksa.
Masyarakat kelaparan. Uang yang dipunyai tidak bisa
digunakan untuk membeli bahan pangan karena tidak ada persediaan.
Orang memakan apa saja yang bisa dimakan, dari mulai talas sampai
jantung pohon pisang.
Masa penjajahan ini meninggalkan sebuah situs yang dibangun
di atas bukit Blang Panyang, Lhokseumawe. Jepang membangun
Sebuah goa pertahanan di atas bukit itu. Masyarakat sekarang
menyebutnya Goa Jepang.
Pemerintah daerah membangun komplek situs Goa Jepang itu
menjadi taman wisata. Banyak warga yang mengunjungi taman ini
pada hari libur. Banyak juga yang berpacaran di sini, sambil
memandang pelabuhan Lhokseumawe di bawahnya. Pemandangan
matahari terbenam juga tampak dari taman ini ketika hari cerah.
25
Gambar 2. 7
Goa Jepang
Foto: Wirabaskara
II. 2. Aceh dan Kenangan-kenangan Masa Lalu
II. 2. 1. Tsunami
II. 2. 1. 1. Wardan
Wardan adalah seorang pemuda yang menjadi tuna netra sejak
usia tujuh bulan. Usianya enam belas tahun ketika pagi itu, 26
desember 2004, dia dan ke tiga adiknya bermain di pantai. Seperti
biasanya yang dilakukan oleh banyak orang di Desa Sawang, Aceh
Utara pada hari minggu pagi.
Air laut surut tiba-tiba! Begitu yang dia ketahui dari teriakan
orang-orang di pantai. Sejenak kemudian air laut naik tinggi. Dia tahu
itu dari suara histeris orang-orang yang berlarian panik. Dia
menggandeng tangan ketiga adiknya dan ikut lari. Pikirannya kosong.
Hal seperti ini belum pernah terjadi. Dia tidak punya pengalaman
26
apapun untuk harus bagaimana. Dia tidak punya pengalaman yang
bisa dijadikan referensi.
Gambar 2. 8
Gelombang Tsunami
Foto: Wirabaskara
Jalan-jalan di desa, nalurinya sudah kenal benar. Dia hanya
berlari secepat mungkin seperti suara orang-orang yang berlarian
sambil berteriak-teriak histeris. Sampai sekarang dia tidak tahu apa
yang diteriakkan oleh orang-orang pada waktu itu. Pikirannya kosong.
Panik. Dia hanya memikirkan keselamatan adik-adiknya. Berlari
secepat-cepatnya. Bergandengan tangan dengan adik-adiknya. Erat-
erat.
Dia sedang akan melewati desanya menuju tambak-tambak di
selatan desa ketika dia merasakan lumpur hangat merambat di
kakinya. Hangat dia rasakan setinggi mata kaki. Sekejap kemudian
ombak besar menghempasnya. Pegangan tangan mereka terlepas
oleh kuatnya hempasan ombak naik. Sebagai anak pantai, meski tidak
bisa melihat, sedikit-sedikit Wardan bisa berenang. Kuatnya arus
ombak naik menenggelamkannya beberapa kali. Airnya hangat. Entah
berapa teguk air dia minum, yang jelas banyak karena dia muntah
setelahnya.
Tersangkut pada rumpun bambu dia memeluk sebatang pokok
yang besar. Memeluknya erat-erat. Pelukan paling erat yang pernah
27
dia lakukan. Seperti pelukan anak kecil di kaki ibunya karena tidak
mau ditinggal pergi.
Ketika air surut pelan-pelan dia turun. Dia mendatangi suara
adik perempuannya yang memanggil tidak jauh dari situ. Rupanya
adiknya berhasil memeluk erat sebatang pohon kelapa. Dua adik laki-
lakinya terhempas jauh darinya diselamatkan oleh nasib. Orang-orang
yang selamat sudah mulai saling menolong ketika suara orang-orang
histeris lagi. Terjadi gelombang pasang ke dua!
Dia menopang adik perepmpuannya di pundaknya menaiki
pohon kelapa. Untunglah dia bisa memanjat pohon kelapa. Di atas
pohon kelapa dia mendengar suara seorang nenek memanggil
namanya meminta tolong. “Wardan, tolong saya..,” suara itu masih
terngiang sampai sekarang.
“Bukannya tidak sayang, Bang tapi kek mana. Kondisi saya kek
gini,” begitu Wardan menceritakan kondisinya waktu itu sebagai
seorang tuna netra. Kepanikan yang dia alami tanpa dia bisa melihat
apa yang sedang terjadi dan pikiran dia tentang keselamatan adik-
adiknya memaksanya berhadapan dengan situasi yang sangat jauh
dari kemampuannya. Dia tidak bisa menolong nenek itu. Akhirnya
nenek itu menjadi salah satu korban meninggal. Tenggelam diterjang
gelombang pasang ke dua.
Air belum surut benar ketika ayahnya datang naik perahu
motor sampai di bawah pohon kelapanya. Waktu tsunami itu terjadi
ayahnya sedang melaut jauh mencari ikan. Setelah mengikat
perahunya di pokok pohon kelapa ayahnya menyuruhnya turun.
Kemudian berjalan kaki mereka mencari ibu dan adik-adiknya yang
lain. Lupa dengan perahu yang ditambat. Sejak itu ayahnya sudah
tidak melaut lagi. Matanya sudah tidak jelas melihat karena katarak.
28
Gambar 2. 9
Sandar di Bawah Pohon Kelapa
Foto: Wirabaskara
II. 2. 1. 2. Meuda
Meuda. Enam bulan yang lalu dia meminang Meutia, gadis
yang dia kenal di perantauan, Medan. Dia masih bekerja di
perantauan waktu meminang Meutia dan merencanakan untuk segera
menikah. Empat bulan setelah pinangannya diterima dia pulang ke
Sawang, kampung halaman mereka. Malam minggu ketika apel ke
rumah Meutia, kekasihnya itu mengajaknya ke pantai besok minggu
paginya.
“Jangan ke pantai, karena saya akan melaut,” Meuda menolak
ajakan kekasihnya itu karena dia sekarang melaut untuk mencari ikan
sebagai mata pencahariannya.
29
“Ya sudah, kalau begitu saya akan ke pantai sendiri, menunggu Abang
pulang.”
Keesokan paginya, minggu, 26 desember 2004, ketika berlabuh
jam enam pagi Meuda tidak menjumpai kekasihnya ada di antara
kerumunan orang yang sejak jam empat pagi menunggu nelayan
berlabuh, para pedagang ikan. Karena tubuhnya sangat letih Meuda
memutuskan untuk pulang dan tidur. Baru saja terlelap dia terbangun
oleh hiruk pikuk suara orang-orang yang berteriak menyuruh warga
kampung untuk lari karena air laut sudah naik sampai ke kampung.
Meski mendengar suara gemuruh Meuda tidak percaya teriakan
orang-orang. Dia mengira suara gemuruh itu adalah suara rombongan
sepeda motor karena beberapa hari sebelumnya Pak Geucik, sebutan
untuk kepala desa, bilang bahwa akan ada rombongan motor yang
datang ke desa.
Gambar 2. 10
Gelombang Besar
Foto: Wirabaskara
Tergagap Meuda menyelamatkan diri ketika ternyata air laut
benar-benar naik menenggelamkan Desa Sawang. Dia memanjat
pohon kelapa. Air menerjang sampai ketinggian empat meter di
30
kampung. Di pantai air bahkan menerjang lebih dari tujuh meter
tingginya. Terlihat dari sebuah perahu yang tersangkut di pohon
cemara besar yang ada di pantai.
Ketika air sudah surut keadaan sangat sepi. Senyap dan mati.
Turun dari pohon kelapa Meuda mengira hanya dirinya seorang yang
selamat dari musibah itu. Berselang dari keheningan itu mulai
terdengar suara orang muncul satu demi satu dari kejauhan. Orang-
orang dengan wajah kosong itu mulai berkumpul mendapati kampung
mereka yang habis luluh lantak. Hanya pohon-pohon kelapa dan
beberapa pohon besar yang bertahan. Beberapa rumah panggung
terlihat bisa bertahan. Selainnya itu, semua hilang dibawa tsunami.
Gambar 2. 11
Menunggu di Pantai
Foto: Wirabaskara
31
Ada seratus delapan puluh19 korban meninggal dunia di
kampungnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua dan anak-
anak. Salah satu korban itu adalah Meutia, kekasih hatinya yang
ditemukan empat hari setelah tsunami. Tersangkut di rumpun bambu
dengan perhiasan dan gelang-gelang yang masih dipakai. Gambaran
gelang-gelang yang dipakai kekasihnya itu masih kuat dalam ingatan
Meuda. Ternyata kekasihnya itu benar datang ke pantai untuk
menunggunya. Jam tujuh pagi, setelah dia pulang dan tidur.
Itulah kenangan terakhir Meuda tentang mantan kekasihnya.
Masih tergambar jelas dan detail dalam ingatan, lebih dari sepuluh
tahun setelah kejadian. Sampai saat ini, di usianya yang empat puluh
tahun Meuda masih membujang.
II. 2. 1. 3. Rajak
Lain Meuda, lain Rajak. Hari minggu pantai ramai dengan
wisatawan. Pagi itu dia dan banyak anak-anak Desa Sawang sedang
bermain sepak bola di pantai. Seperti biasanya hari minggu, pantai
tampak ceria.
Semua kegiatan di pantai sejenak berhenti ketika air laut tiba-
tiba surut. Surut sejauh mata memandang. Ada yang bilang dua
kilometer, ada yang bilang tiga kilometer. Ikan-ikan dan udang
menggelepar-gelepar kehilangan air. Perahu-perahu nelayan yang
sedang mencari ikan tidak jauh dari pantai tiba-tiba sandar di dasar
laut. Banyak orang-orang yang lari ke tengah mengambil ikan-ikan
yang ditinggal surut oleh air laut. Rajak hanya diam termangu melihat
itu semua. Tidak biasanya air surut sejauh itu dan dalam waktu yang
sangat singkat.
19 Ada juga yang bilang korbannya dua ratus jiwa, ada pula yang bilang korbannya adalah tiga ratus jiwa. Tidak usah diperdebatkan mana yang benar karena bukan itu pokok bahasannya.
32
Di titik terjauh air surut, muncul gelombang besar air laut yang
menjulang tinggi. Sampai kelihatan oleh orang-orang di kampung.
Seperti raksasa besar yang melihat mangsa kecil-kecil. Raksasa itu
kemudian menghempas turun menjadi ombak pasang besar. Merayap
cepat ke arah daratan.
Ketika air kembali naik orang berlarian ke arah daratan. Ke
arah desa. Rajak tetap diam karena mengira air hanya akan kembali
naik sampai di garis pantai. Seperti sedia kala. Pikirannya berubah
ketika melihat ombak yang naik tinggi seperti raksasa itu menghempas
turun. Menerjang ke arah daratan. Perahu-perahu nelayan yang
sandar di dasar laut terbalik diterjang gelombang naik.
Gambar 2. 12
Ombak Menerjang
Foto: Wirabaskara
Rajak spontan berbalik arah dan lari ke arah tambak-tambak di
selatan desa. Itulah tempat paling jauh untuk menyelamatkan diri
yang ada dalam pikirannya. Dalam larinya berkali-kali Rajak menoleh
ke belakang melihat ombak tinggi yang beberapa langkah di
belakangnya. Lebih tinggi dari orang dewasa. Bergerak semakin
mendekat. Ketika melewati jalan desa dia membatalkan niatnya untuk
33
lari ke arah tambak-tambak di selatan desa. Dia ingat adik-adiknya di
rumah.
Spontan dia berbelok arah ke arah barat. Ke arah rumahnya.
Niatnya mendadak dibatalkan karena dari arah barat ombak datang
dengan kekuatan yang lebih besar dari ombak yang mengejarnya.
Rajak tidak bisa lari ke mana-mana lagi. Pohon jambu besar
yang ada di pinggir jalan di dekatnya dengan cepat dia raih dan dia
panjat setinggi-tingginya. Dari atas pohon jambu dia melihat desanya
habis disapu air laut. Air laut yang berwarna keruh dan seperti
berminyak.
Air sudah mulai surut. Jalan desa sudah kelihatan. Orang-orang
sudah mulai turun dari atas pohon dan mencari keluarga mereka.
Rajak pun demikian pula. Dia turun dari pohon jambu dan berlari
pulang.
Hanya dalam beberapa ayunan kaki Rajak sampai di halaman
rumahnya. Rajak melihat adik perempuannya masih mencengkeram di
atas pohon. “Adik-adik di mana?” tergesa Rajak bertanya pada
adiknya. Tidak terpikir olehnya rumah tembok milik orang tuanya yang
seharusnya ada di depan matanya sudah hilang.
Adiknya hanya diam menunjuk ke arah bawah. Di arah yang
ditunjuk adiknya Rajak melihat lengan kecil adik bungsunya tersangkut
pada sampah tsunami. Rajak bergegas mengangkat jasad kecil adik
bungsunya. Di bawahnya dia melihat kaki adiknya yang lebih besar,
juga tersangkut oleh sampah yang sama.
Rajak baru mau mengangkat jasad adik ke duanya ketika tiba-
tiba terdengar suara menderu. Lebih pelan dari yang tadi. Orang-
orang panik lagi akan datangnya ombak susulan. Kakinya tergores luka
ketika dia bergegas menyelamatkan diri lagi. Ombak datang menyapu
desa untuk yang ke dua kalinya. Lebih dasyat dan lebih tinggi
menerjang kampung karena sudah tidak ada lagi rumah-rumah dan
34
pohon-pohon yang menghalangi. Karena ombak susulan inilah korban
meninggal di Desa Sawang menjadi besar.
II. 2. 1. 4. Tengku Imam
Lain Meuda lain Rajak, lain pula Tengku Imam yang menjadi
Imam Desa di Desa Sawang. Minggu pagi sebelum memulai kegiatan
rutin terjadi gempa hebat. Semua orang berhamburan ke luar rumah.
Gempa itu terjadi sebentar saja.
Setelah semua kembali tenang Tengku Imam memulai rutinitas
minggunya. Dia kayuh sepedanya ke meunasah, balai pertemuan dan
pengajian di desa. Melenggang dengan sepeda Tengku Imam
mengayuh ke arah timur menyusuri jalan desa.
Pengajian rutin minggu pagi yang dia pimpin pagi itu hampir
saja berjalan normal ketika mereka semua di dalam meunasah
mendengar dua20 kali suara ledakan hebat. Kemudian terdengar suara
menderu seperti mesin diesel besar di dalam tanah.
“Itu suara apa, Pak?” Bertanya seorang muridnya.
“Itu suara mobil Ford Rider,” Tengku Imam yang juga tidak tahu suara
apa itu mencoba menenangkan murid-muridnya supaya pengajian
bisa berjalan normal.
“Tapi suara mobil Ford Rider tidak seperti itu,” seorang muridnya berani
berbeda pendapat.
Suara menderu itu terdengar semakin besar dan semakin
dekat. Pengajian tiba-tiba bubar. Anak-anak lari berhamburan ke luar.
Tengku Imam tidak kalah terburu. Dia pancal sepedanya kuat-kuat ke
arah barat. Pulang ke rumahnya. Dia memikirkan keselamatan
keluarganya. Belum sampai ke rumahnya dari arah barat air laut
datang menerjang apa saja. Sekilas Tengku Imam melihat anak-anak
20 Beberapa orang bilang suara ledakan terdengar tiga kali.
35
dan istrinya sudah dibantu tetangga naik ke atas atap rumah
panggungnya dengan berpegangan pada pohon pepaya.
Air laut seperti menyongsongnya dari arah barat. Bergegas
Tengku Imam meninggalkan sepedanya diterjang air pasang. Berlari ke
arah selatan sambil sesekali menoleh ke belakang. Pikirannya
berkecamuk, kalau benar ini air laut naik maka habislah semua orang.
Dengan berlinangan air mata Tengku Imam berdoa, “ya Allah
lindungilah semua hambamu, ya Allah.” Tengku Imam tidak hanya
mendoakan keluarganya tapi semua orang!
Melewati tambak-tambak milik warga di selatan desa tambak-
tambak itu membantu pelarian Tengku Imam. Terjangan air pasang itu
terhenti setiap kali melewati tambak-tambak. Air pasang akan mengisi
dulu tambak-tambak itu sampai luber baru kemudian meneruskan
penerjangannya. Terjangan air pasang itu juga tidak hanya ke arah
daratan, ke arah selatan. Air pasang itu bergerak menyamping dulu
untuk saling mengisi. Setelah rata baru menerjang ke selatan.
Air sudah mulai surut tapi Tengku Imam tidak sabar untuk
menunggunya selesai. Pikirannya berkecamuk, bagaimana nasib anak-
anak dan istrinya di rumah. Ketika air sudah di bawah pinggang
Tengku Imam mulai berjalan menembus arus surutnya air. Melewati
daerah yang lebih rendah dan tambak-tambak Tengku Imam berenang
sekuat tenaga. Kepalanya bergemuruh memikirkan anak-anak dan
istrinya.
Sampai di rumah anak-anak dan istrinya sudah tidak ada.
Mereka sudah diangkut oleh bus ke pengungsian. Waktu itu semua
kendaraan yang lewat di jalan propinsi yang melintasi Kecamatan
Samudera diharuskan untuk membantu mengangkut pengungsi dari
desa-desa yang diterjang tsunami.
Begitulah kenangan warga Desa Sawang tentang desa mereka.
Hantaman bencana tsunami yang menerjang sebelas tahun lalu masih
36
jelas tergambar dalam ingatan mereka. Teriakan-teriakan orang
histeris membaca takbir dan syahadat mengingatkan mereka akan
datangnya hari akhir. Hukuman dari Allah datang karena manusia
telah banyak berbuat dosa! Syariat Islam harus ditegakkan!
Pengalaman ini menghantui kehidupan warga yang sudah
berjalan normal. Ketika ada angin besar atau suara bergemuruh
mereka masih khawatir. Ada peringatan dari Allah lagi. Hukum syariat
ditegakkan supaya orang tidak lagi berbuat dosa. Supaya Allah tidak
menjatuhkan hukumannya lagi.
Pasca tsunami banyak orang terjangkit kolera dan desentri di
pengungsian. Mereka susah diajari hidup sehat dengan menjaga
kebersihan. Mereka tetap buang air besar di parit, sebagaimana
kebiasaan mereka di kampung untuk mandi dan buang air besar di
tempat terbuka. Begitulah aturan untuk orang Islam di Desa Sawang.
Setahun setelah tsunami itu pohon-pohon sudah mulai
bersemi. Desa sudah nampak hijau. Orang-orang tinggal di rumah-
rumah bantuan NGO asing. Rumah-rumah tembok sederhana dengan
dua kamar. Banyak bantuan dari NGO masuk ketika itu. Beberapa
pemuda bekerja menjadi asisten bagi staf NGO.
Selain perumahan ada juga bantuan untuk usaha. Pertanian,
nelayan, dan perikanan tambak. Kehidupan mulai pulih berjalan,
meski tsunami masih menyisakan bekas bagi para petani dan nelayan
di Desa Sawang. Semua bantuan untuk usaha itu sekarang sudah
habis. Tanpa bekas. Segala sektor ekonomi berjalan sebagaimana
biasanya, sesuai kapasitasnya.
II. 2. 2. Darurat Militer
“Kalau sekarang keadaan sudah aman, tidak seperti jaman
darurat militer,” begitu lelaki berusia empatpuluh tahun itu memulai
ceritanya tentang keadaan di Desa Sawang di masa darurat militer. Dia
37
mulai ceritanya ketika hanya tinggal kami berdua duduk di gubuk yang
ada di pantai. Siang mulai menjemput ketika satu demi satu pemuda
yang bersama kami ngobrol bercanda dan berolok-olok sejak pagi
mulai pergi. Sepertinya saya baru saja mencairkan suasana
‘ketegangan’ yang ada. Kecurigaan mereka terhadap saya sudah
mencair dengan canda di antara kami tadi.
“Dulu GAM tinggal di pantai ini. Jumlah mereka ada lima ratus
orang.” Laki-laki itu melanjutkan ceritanya tentang GAM di Desa
Sawang yang mendapatkan senjata dari Bandung.
“Dulu GAM punya intel di tentara, sehingga sebelum
diputuskan ‘darurat militer’ oleh Megawati mereka sudah
tahu. Waktu itu mereka sempat membeli seribu21 pucuk
senjata dari Bandung. Sehari sebelum diputuskan ‘darurat
militer’ mereka pesta di pantai dengan menyembelih
beberapa ekor kerbau. Ketika tentara datang dan
mengepung lokasi GAM sudah tidak ada. Tentara-tentara
itu hanya mendapati jejak-jejak sepatu.”
21 Angka seribu ini sepertinya ‘perumpamaan’ saja. Semacam hiperbola. Variasi pasti ada, sebagaimana ciri dalam cerita folklore. Sebenarnya masih perlu diakukan cek dan recek terhadap angka ini tetapi karena keterbatasan waktu belum sempat dilakukan. Pertimbangan saya adalah angka ini tidak terlalu signifikan terhadap tema penelitian. Keterbatasan waktu memuat saya lebih fokus pada trauma-trauma akibat pemberlakuan “darurat militer” ini pada masyarakat.
38
Gambar 2. 13
Pantai Sawang
Foto: Wirabaskara
GAM dulu muncul tahun 1975/1976 karena Exxon
memenangan hak eksplorasi gas bumi di Lhokseumawe. Mereka
menolak orang luar mengeksplorasi kekayaan alam di Aceh.
Pada masa konflik—darurat militer, posisi TNI, GAM, dan
masyarakat serba saling ketakutan. TNI takut sama GAM, GAM takut
sama TNI, dan masyarakat takut sama kedua-duanya. “Pada waktu itu
posisi kami warga desa serba sulit. Kami seperti semut yang mati di
antara dua gajah yang bertarung,” Pak Syam memulai ceritanya pada
suatu siang di kedai kopi.
Kebanyakan masyarakat takut berpergian jauh karena harus
melewati pos penjagaan TNI yang ada di setiap kampung. Tentara
GAM tidak membuat pos penjagaan. Mereka berpindah-pindah.
Keduanya memakai seragam loreng yang sama. Masyarakat
membedakannya dengan senjata yang mereka panggul. Pasukan GAM
biasa memanggul AK 47, sedang pasukan TNI memanggul M16.
39
Patroli GAM dan patroli TNI sering lalu lalang di kampung-
kampung, termasuk di Desa Sawang dengan naik sepeda motor.
Jumlah setiap kelompok patroli itu sekitar sepuluh sampai limabelas
orang. Satu batalion, berboncengan naik sepeda motor. Orang yang
membonceng dengan posisi siaga. Sambil melihat kiri kanan siap
menembak.
Meskipun begitu, antara pasukan TNI dan pasukan GAM saling
tahu jadwal patroli masing-masing sehingga mereka bisa saling
menghindar. Di Desa Sawang tidak pernah terjadi kontak senjata
antara keduanya. Kontak senjata paling dekat terjadi di desa tetangga.
Kontak senjata itu terjadi karena ada pasukan GAM yang berani
menghadang patroli pasukan TNI. Pasukan GAM yang berasal dari
daerah-daerah tertentu memang dikenal pemberani dan tak punya
rasa takut. Bahkan pasukan GAM dari daerah-daerah ini berani
menghadang patroli pasukan TNI sendirian.
Pada masa darurat militer itu banyak pemuda dari Desa
Sawang yang merantau. Kebanyakan mereka merantau ke Medan
atau Malaysia. Menjadi buruh illegal karena untuk mengurus
legalitasnya terlalu mahal. Berbeda dengan para migran dari Jawa
yang bekerja sangat rajin, orang-orang Aceh yang menjadi buruh
migran itu bekerja dengan lebih santai. “Karena niat mereka
sebenarnya bukan bekerja tetapi melarikan diri dari situasi konflik di
daerahnya,” begitulah cerita TengkuSulaiman yang pada waktu itu
sedang merantau sehingga melihat perbedaan antara perantauan dari
Aceh dan dari Jawa di Medan dan sekitarnya.
Ketika konflik banyak pengusaha pertanian/tambak di Aceh
asal daerah lain diusir. Karena diusir mereka menjual murah
tambaknya pada orang lokal. Sampai sekarang masih ada orang-orang
yang menjadi korban konflik dan menyimpan dendam.
40
Jaman konflik orang tidak bebas berpendapat. Kalau ada orang
yang ngomong miring sedikit saja, malam harinya dia akan hilang.
Pada waktu itu tidak ada rasa aman pada masyarakat.
“Dulu orang kampung kalau salah ngomong akan dianggap
GAM. Di sisi lain orang Aceh dan GAM mencurigai
pendatang sebagai intel militer. Orang yang salah
mengibarkan bendera atau posisi bendera terbalik maka
mayatnya akan ada di bawah tiang bendera itu pada
malam harinya.” (wawancara dengan Andre)
Akibat dari adanya konflik bersenjata di Desa Sawang ini dulu
sering ada orang kerasukan. Banyak orang kerasukkan di pantai atau
bahkan di dayah. Mereka kerasukan korban konflik. Di samping itu
juga banyak hantu orang-orang yang menjadi korban konflik tersebut.
Akibatnya orang tidak berani ke pantai sendirian. Dayah menjadi sepi.
Untuk mengatasi hal itu masyarakat sering melakukan ritual doa
keliling kampung dengan dipimpin oleh Tengku. Sudah beberapa
tahun ini tidak pernah ada lagi yang kerasukan ataupun melihat hantu.
Konflik yang mulai tahun 78 dan berkecamuk hebat pada
tahun 90 sampai tsunami telah memberikan trauma pada masyarakat.
Masih banyak orang-orang Aceh yang dulu menjadi korban konflik ini
yang menyimpan dendam. Hal ini bisa menjadi sebab potensi konflik
yang serius yang tidak berkesudahan.
Trauma konflik ini membuat masyarakat mempunyai keingin
tahuan yang tinggi terhadap pendatang. Gerak-gerik pendatang selalu
diikuti. Orang-orang akan menyelidik dengan bertanya pada orang
yang sudah pernah berhubungan dengan pendatang itu. Orang-orang
asing yang masuk ke desa dicurigai sebagai intel. Pedagang tempat
tidur kayu yang berkeliling dengan sepeda dicurigai sebagai intel
ketika masuk ke kampung karena masyarakat melihat usahanya tidak
masuk akal.
41
“Dia membawa tempat tidur itu keliling kampung-
kampung naik sepeda itu untungnya berapa? Tidak
mungkin dia orang yang mencari uang.”
Begitulah kecurigaan masyarakat terhadap orang asing yang
kegiatannya dianggap tidak masuk akal. bagi mereka bekerja dengan
penghasilan sehari tujuhpuluh ribu saja tidak masuk akal untuk hidup,
apa lagi berjualan tempat tidur kayu yang keuntungannya jelas kurang
dari itu dan belum tentu laku!
Trauma konflik militer ini juga berdampak pada kurangnya
kesiagaan masyarakat terhadap bencana. Ketika tsunami terjadi
banyak orang tidak waspada. Meskipun terdengar tiga kali dentuman
besar dan suara gemuruh ombak naik banyak yang tidak mengira
bahwa itu adalah hal yang tidak seharusnya terjadi. “Waktu itu masih
darurat militer. Ketika masa darurat militer baku tembak biasa
terjadi.” Suara-suara itu dikira suara pertempuran besar. Orang-orang
yang tinggal di desa-desa yang agak jauh dari pantai, yang tidak
terkena dampak tsunami banyak bertanya pada para pengungsi yang
lewat tentang apa yang terjadi. Mereka tidak percaya ketika diberi
tahu bahwa air laut naik. “Mana ada air laut naik?”
Setelah tsunami pemerintah berdamai dengan GAM. Status
darurat militer dihapus. Provinsi Aceh diberi hak otonomi khusus.
Partai lokal diperbolehkan. Mantan anggota GAM mendirikan Partai
Aceh dan dua kali menang pemilu. Partai Aceh memegang sebagian
besar jabatan di pemerintahan dan DPRD. Sayangnya kondisi ini tidak
menyelesaikan semua masalah. Gosip beredar. Orang-orang dari
Partai Aceh hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri dan
kelompoknya.
Meskipun sebagian besar masyarakat senang dengan keadaan
sekarang yang lebih damai tetapi potensi konflik masih ada. Mantan
anggota GAM yang tidak mendapat kedudukan dalam sistem
demokrasi baru ini bersitegang dengan mantan anggota GAM yang
42
menjabat. Konflik baru muncul. Kadang-kadang diwarnai baku tembak
dan culik-menculik. Mantan anggota GAM yang duduk di kursi
pemerintahan dituduh lalai dengan mandat perjuangan. Para pejabat
pemerintahan Kabupaten Aceh Utara banyak yang tinggal di kota
Lhokseumawe dan melalaikan kewajiban. Partai Rakyat Aceh yang
merupakan partai lokal tandingan mulai mendapat simpati
masyarakat untuk bisa lebih amanah dalam memegang mandat.
Para pejabat meminta militer untuk menjaga keamanan
mereka. Jadilah mantan anggota GAM yang melakukan perlawanan
terhadap elit pemerintah yang dulu merupakan kawan seperjuangan
ini kini berhadapan dengan militer. Dua orang anggota militer diculik
dan dibunuh sebelum kami masuk ke Aceh Utara ini. Para penculik itu
tidak mengendara mobil. Mereka hanya berjalan aki saja menculik dua
orang anggota militer.
Militer melakukan ‘penertiban’. Sekian pucuk senjata
ditemukan di Aceh Utara dalam sebuah operasi militer. Berita seperti
itu muncul di TV nasional, di samping berita penculikan dua anggota
militer dan operasi pembersihan ladang-ladang ganja. Akibatnya
konflik horisontal antar mantan anggota GAM ini menjadi konflik
perlawanan dengan pemerintah pusat.
Keadaan memang membuat keder bagi orang luar untuk
masuk. Bahkan para sopir mobil rental dari Banda Aceh-Medan yang
pasti lewat Aceh Utara tidak berani lewat malam hari. Mereka yang
dari Banda Aceh selalu menjadwalkan sampai di Medan sore hari.
Menginab di Medan dan baru pulang esok harinya.
II. 2. 3. Kriminal Akidah
Pernah ada kelompok Islam aliran keras masuk ke Desa
Sawang dan minta ijin pada Tengku untuk bisa tidur di masjid. Alasan
mereka masuk ke Desa Sawang adalah untuk belajar tentang agama
Islam di Desa Sawang dan mengajak masyarakat untuk lebih taat
43
beribadah. Dilihat dari pakaian dan perangainya mereka bukanlah
orang Islam dari aliran yang sama dengan Islam di Desa Sawang.
Kelompok ini berasal dari berbagai etnis—tidak hanya orang Aceh.
Tengku tidak memberikan ijin pada mereka untuk tidur di masjid.
Mereka tetep bersikukuh untuk bisa tinggal di Desa Sawang. Mereka
minta untuk diperbolehkan mendirikan tenda di halaman masjid.
Karena bersikeras untuk tinggal mereka diusir dan dikejar oleh massa.
Aliran agama dari luar seperti ini tidak bisa masuk Desa
Sawang karena masyarakatnya tegas menolak. Norma agama di
bawah kepemimpinan para Tengku memang masih kuat dalam
membentengi desa dari ajaran yang berbeda. Banyaknya Tengku di
Desa Sawang menjadi salah satu penyebab kuatnya penjagaan norma
agama ini.
Gambar 2. 14
Pekan di Tanah pasir
Foto: Wirabaskara
Kondisi yang agak longgar terjadi di Kecamatan Tanah Pasir
karena di sana ada pasar yang ramai oleh warga dari berbagai desa
dan kecamatan di sekitarnya. Banyaknya orang yang datang
44
berkegiatan di pasar inilah yang membuat orang-orang di sana
terbiasa dengan kepercayaan atau keyakinan yang berbeda. Dulu di
Kecamatan Tanah Pasir ini pernah ada kelompok Islam aliran yang
berbeda cara beribadahnya dengan masyarakat Aceh pada umumnya.
Ketika pemimpin kelompok ini meninggal dunia para pengikutnya
diharuskan oleh masyarakat untuk kembali masuk Islam seperti dulu.
ODEK. Begitulah masyarakat menyebut NGO asing tersebut.
Penyebutan itu tidaklah tepat benar tetapi digunakan karena lafal
orang Aceh lebih mudah mengucapkannya. Issu yang beredar tentang
NGO itu telah membangkitkan trauma masyarakat seluruh Aceh.
Terjadi penembakan di kantor NGO tersebut di Kecamatan
Matangkuli, Aceh Utara. Masyarakat melakukan perlawanan dan
penolakan yang khas dalam kasak-kusuk. Kondisi sosial di Aceh Utara
menjadi diam membara.
Dalam issu yang beredar tentang ODEK ini masyarakat tidak
mengetahui dengan jelas lembaga tersebut berasal dari mana,
dananya dari mana, dan ke Aceh mau menjalankan program apa?
ODEK akhirnya menjadi terlarang karena dia bekerja mencari
anggota ke desa-desa dengan target setiap desa minimal empat puluh
orang. Setiap anggota akan digaji dua juta per bulan tanpa kerja.
Mereka hanya harus mencari anggota baru dari desanya. Setelah
terkumpul banyak orang mereka kemudian merencanakan
membangun gereja. Karena inilah masyarakat di Aceh Utara menolak.
Masyarakat yang sudah mendengar issu kristenisasi yang
dilakukan ODEK ini menolak untuk bergabung. Mereka tidak mau
“menjual agama”. Karena masalah ekonomi, kemiskinan, beberapa
orang mau bergabung. NGO ini mendanai program apapun yang
diajukan anggotanya dengan syarat minta foto kopi KTP sampai
terkumpul empatpuluh foto kopi KTP sebagai syarat untuk
membangun gereja. Program ini sebenarnya sudah mulai di Banda
45
Aceh lima tahun lalu, hanya saja masuk ke Kabupaten Aceh Utara
baru-baru ini saja.
Ketika surat permohonan ijin untuk masuk ke desa sampai di
tangan Pak Geucik sepontan masyarakat menolaknya. Identitas
lembaga ODEK tidak jelas dan issu kristenisasi yang dilakukannya
menjadi penyebab kenapa masyarakat Desa Sawang menolaknya. Ini
adalah kriminal akidah. Sebuah pelanggaran serius terhadap syariat
Islam. Mereka tidak mau menukar agama mereka dengan uang.
NGO ini diusir ke luar dari Aceh. Masyarakat yang terlanjur
bergabung disadarkan untuk kembali ke jalan syariat.
II. 3. Penghidupan Dan Karakteristik Masyarakat Aceh Utara
Desa Sawang terletak sekitar dua puluh kilometer jauhnya dari
kota Lhokseumawe, ke arah barat. Sekitar duapuluh kilometer ke arah
timur terletak kota Lhoksukon yang merupakan ibu kota provinsi Aceh
Utara. Masyarakat Desa Sawang lebih memilih pergi ke Lhokseumawe
dari pada ke Lhoksukon karena Lhokseumawe menawarkan fasilitas
yang lebih bagus dan beragam. Fasiitas pendidikan, agama, toko-toko,
kuliner, dan tempat wisata untuk anak muda ada di Lhokseumawe.
Bahkan tempat untuk nongkrong, pacaran dan balap liar juga ada.
Para pejabat pemerintah Kabupaten Aceh Utara kebanyakan tinggal di
kota Lhokseumawe. Bahkan kantor bupati dan beberapa kantor
pemerintah Kabupaten Aceh Utara masih berada di kota ini.
Jarak sekitar duapuluh kilometer ini secara sosial jauh bagi
masyarakat di Desa Sawang karena kebanyakan dari mereka tidak bisa
pergi ke kota Lhokseumawe tanpa niat yang besar. Mereka harus
punya kendaraan atau ada pinjaman kendaraan serta uang untuk
membeli bensin dan sedikit uang saku.
46
Gambar 2. 15
Lhokseumawe dari Sawang
Foto: Wirabaskara
Secara sosial pengaruh kultur Kota Lhokseumawe tidaklah
begitu kuat karena interaksi sosial dengan kota Lhokseumawe
sangatlah jarang. Belum tentu sebulan sekali mereka pergi ke kota
Lhokseumawe. Bahkan banyak yang nyaris tidak pernah berpergian
sejauh itu.
Untuk dapat menangkap siaran TV mereka harus memasang
parabola. Tidak semua orang mempunyai TV dengan parabola.
Masyarakat Desa Sawang sebagaimana kebiasaan yang ada di seluruh
Provinsi Aceh pada umumnya mempunyai kebiasaan ‘minum kopi’.
Banyak kedai kopi bisa dijumpai di desa kecil ini. Beberapa kedai yang
cukup besar juga menyediakan barang-barang kelontong. Untuk desa
dengan masalah ekonomi sebagai masalah yang paling besar—
menurut pandangan para Tengku dan keluhan dari banyak orang, gaya
hidup nongkrong di kedai ini termasuk konsumtif.
Para lelaki biasa duduk istirahat atau nongkrong di kedai-kedai
ini. Mereka tidak selalu minum kopi yang direbus khas Aceh—bukan
diseduh. Banyak juga yang minum beragam minuman instan yang
diseduh, aneka minuman dalam kemasan gelas plastik, atau juga es
47
sirup. Di sinilah para lelaki biasa ngobrol sambil merokok yang
kebanyakan mereka beli secara ketengan. Jarang orang membeli
rokok sebungkus.
Gambar 2. 16
Nongkrong di Kedai
Foto: Wirabaskara
Beberapa kedai ini memasang TV untuk ditonton
pelanggannya. Di sinilah mereka menonton sinetron-sinetron dan
acara favorit mereka. Kadang-kadang ada juga orang yang hanya ikut
duduk saja tanpa membeli minuman atau rokok ketengan. Tidak
punya uang. Itulah masalah yang banyak terjadi. Di buku catatan
hutang pemilik kedai bisa tertulis daftar hutang yang panjang dari
para pelanggannya. Kadang-kadang orang yang hanya duduk-duduk
saja menjadi membeli sebatang rokok secara bon. Kalau mau
menghindari memperpanjang daftar dalam buku bon mereka akan
menarik diri dari pergaulan kedai ini.
Kebiasaan ngopi dan merokok di kedai ini sudah berlangsung
sejak lama. Dulu kedai kopi menjadi pasar. Informasi dan transaksi
hasil bumi terjadi di kedai kopi. Sekarang orang di kedai kopi dibuat
nyaman dengan kursi-kursi dan tv sehingga nyaman meski hanya
48
untuk duduk nongkrong dan ngobrol. Dulu kedai kopi banyak di tepi
laut dan di gunung. Minum kopi sebelum berangkat ke laut dilakukan
para nelayan supaya tidak ngantuk. Di gunung kebiasaan itu dilakukan
untuk mengusir hawa dingin.
Gambar 2.17
Nonton TV di Kedai
Foto: Wirabaskara
Di Desa sawang kedai-kedai ini punya pangsa pasar sendiri.
Ada kedai khusus tokoh desa dan Tengku-Tengku, ada kedai khusus
orang tua, dan ada kedai yang menjadi langganan anak muda.
Pengkategorian kedai-kedai ini terjadi secara alamiah yang
dipengaruhi oleh pemiliknya. Di kedai Pak Geucik secara alami akan
didatangi oleh para Tengku dan elit desa. Kedai yang pemiliknya relatif
muda secara alami didatangi oleh para pemuda. Meskipun begitu
pengkategorian ini tidaklah terlalu ketat. Kadang-kadang ada pemuda
yang nongkrong di kedai Pak Geucik karena letaknya yang dekat
rumah, kadang-kadang ada pemuda lain yang ikut nongkrong di situ
karena melihat ada teman di situ, atau ada Tengku yang mampir
nongkrong di kedai anak muda, dan seterusnya.
Di samping itu seseorang akan cenderung menghindar duduk
satu kedai dengan saudaranya atau orang tuanya. Hal ini tidak baik
karena disamping buku hutang satu keluarga akan ngumpul di satu
49
kedai tetapi yang lebih penting adalah ketidak bebasan ngomong
ketika ada saudara atau orang tuanya di situ. Seseorang akan berada
dalam keadaan kikuk ketika ada saudara atau—apa lagi—orang
tuanya. Dia akan menjaga omongannya karena takut kalau ‘salah
omong’, dalam artian mengatakan sesuatu yang tidak pas secara
moral.
Jadi mereka malu duduk satu kedai dengan keluarga. Jarang
orang bercanda dengan abangnya atau adiknya. Biasanya saudara
yang lebih tua akan menegur adiknya kalau ngomong atau
berkelakuan yang tidak pantas. Orang tua harus disegani. Karena
itulah para pemuda biasanya baik-baik ketika di rumah. Lain bila
dengan orang lain atau teman sebaya. Mereka bisa bicara dan
bercanda lepas. Begitulah norma agama ditegakkan.
Menggunakan peci pada saat upacara keagamaan adalah suatu
kepantasan. Demikian juga sarung. Orang-orang dengan posisi sosial
tertentu akan diingatkan untuk menggunakan sarung dan peci, supaya
pantas dengan statusnya. Rambut yang sedikit kepanjangan akan
diingatkan untuk dipotong. Rambut masuk kategori kepanjangan
ketika kulit kepalanya sudah tidak kelihatan. ‘Seperti
perempuan’, kata mereka. Begitulah norma agama ditegakkan, secara
hierarkis. Masalah pelanggaran kecil mereka saling mengingatkan.
Masalah besar diingatkan dan diselesaikan oleh Tengku. Tindakan
kriminal dan asusila diselesaikan oleh massa.
II. 3. 1. Steriotype Serambi Mekah
“Where are you from?”
“Moslem.”
“Country?”
“Moslem.”
“Myanmar?”
50
Menggelelngkan kepala, laki-laki itu kemudian menjawab, “Burma,”
sambil menepuk dadanya, kemudian memegang pundak lelaki di
sebelahnya, “Bangla.”
Gambar 2. 18
Selasar Ka’bah dalam Naungan Kurma
Foto: Wirabaskara
Begitulah ketika saya mulai mencoba berkomunikasi dengan
para pengungsi dari Burma dan Banglades yang ada di pantai Kuala
Cangkul, Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara. Mereka
sebenarnya mau menjadi buruh imigran illegal ke Malaysia tapi tidak
boleh masuk. Setelah terombang-ambing selama tiga bulan di laut
akhirnya 584 orang pengungsi itu mendarat di Aceh Utara—jarak yang
sebenarnya bisa mereka tempuh selama duapuluh tujuh hari. Enam
orang dari mereka meninggal selama tiga bulan teromabang-ambing
di laut, sampai akhirnya mendarat di langsa, Aceh Timur. Karena tidak
ada tempat yang lapang untuk menampung mereka kemudian
dipindah ke Kuala Cangkul.
“Assalamualaikum,” begitu mereka mengucap salam setiap
ada orang yang lewat di dekat mereka. Berita tentang kedatangan
mereka menarik banyak warga sekitar untuk melihat. Ratusan orang
51
datang melihat sore itu, jumat 15 Mei 2015. Setiap ditanya dan tidak
mengerti mereka menjawab, “Moslem.” “No Melayu, no English,”
begitu mereka menjelaskan pada saya. “Moslem, Indonesia Moslem,”
lelaki itu menjelaskan sambil mendekatkan dua jari telunjuknya.
Sebuah jawaban dari komunikasi tarzan di antara kami menjelaskan
pada saya bahwa solidaritas sesama muslim lah yang mereka
harapkan dari setiap jawaban “Moslem” dari mereka. Para pengungsi
itu tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Gambar 2. 18
Pengungsi Burma dan Banglades
Foto: Wirabaskara
Hari ke empat para pengungsi itu di Aceh Utara, para
pengungsi yang berasal dari banglades dipindahkan ke Lhokseumawe
untuk dikembalikan ke negaranya karena mereka mengungsi tanpa
ada alasan yang kuat. Sementara tiga ratusan pengungsi asal Burma
tetap di Kuala Cangkul karena mereka di kampungnya sana ada perang
agama. Pemilahan dan keputusan ini dibuat dari komunikasi antara
52
panitia yang mengurusi pengungsi dengan salah seorang pengungsi
yang masih muda yang bisa bahasa Melayu.
Pada hari ke empat ini pula datang lagi pengungsi dari daerah
yang sama, mendarat di Langsa, Aceh Timur sebanyak delapan ratusan
orang. “Panglima TNI di Jakarta menginstruksikan untuk tidak lagi
membawa mereka mendarat di wilayah Indonesia. Kalau mau
menolong di perbatasan laut saja,” begitu cerita seorang pemuda
yang mengikuti berita di TV.
“Mereka itu orangnya bau, karena banyak makan bawang
bombai.” “Kemarin ada dua atau tiga orang dari mereka yang melepas
gelang pitanya dan lari dari lokasi tapi ditangkap oleh warga dan
dikembalikan. Mereka itu orangnya susah diatur.” “Mereka senang
tinggal di Aceh, dikasih makan.” Begitulah realitas pengungsi Rohingya
dari Myanmar ini diperbincangkan oleh masyarakat di Aceh Utara
yang melihatnya selama beberapa hari. Pada umumnya masyarakat
tidak ada yang menganggapnya sebagai pengungsi Rohingya dari
Myanmar. Pemahaman mereka diperoleh dari cerita yang beredar
dari mulut ke mulut bahwa mereka adalah pengungsi dari Burma dan
Banglades yang mengungsi ke Aceh karena konflik agama. Steriotype
yang terbentuk atas para pengungsi ini cenderung paten dalam
anggapan masyarakat di Desa Sawang.
Serambi Mekah. Julukan yang melekat pada Aceh ini
mengarahkan steriotype orang luar dalam memandang masyarakat
Aceh. Diberlakukannya Syariat Islam menjadi hukum di Aceh setelah
tsunami semakin memperkuat steriotype ini. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang tertutup terhadap pengaruh dari luar karena mereka
ketat memegang hukum syariat.
Baru-baru ini ada banyak demonstrasi di Banda Aceh.
Masyarakat menuntut ditegakkannya hukum syariat yang semakin
hari semakin longgar. Unsur politik dalam masalah ini adalah
53
perseteruan antara Partai Aceh dengan Partai Rakyat Aceh. Begitu
cerita seorang pemuda ketika kami ngobrol di warung kopi pada suatu
siang. Memang kalau tidak mendengar dari pemuda itu saya tidak
tahu masalah itu. Ketika di Banda Aceh bulan lalu saya juga tidak
mendengar maupun melihat ada demonstrasi sama sekali. Bukan
masalah benar atau tidaknya demonstrasi ini yang menjadi pokok
bahasan saya tetapi bahwa longgarnya penegakan aturan hukum
syariat sudah mulai meresahkan beberapa orang.
Hukum syariat memang menjadi norma yang kuat dipegang
masyarakat untuk mengatur desa. Di bawah kepemimpinan para
Tengku di desa hukum syariat itu ditegakkan melalui norma sosial
yang berlaku. Ketika ada pihak luar yang masuk ke desa oleh
masyarakat akan disaring dengan hukum syariat itu. Sesuatu yang
berbau kafir akan dengan tegas ditolak. Kriminal akidah adalah
kejahatan yang serius di kampung.
Secara permukaan memang terlihat masyarakat memegang
hukum syariat dengan taat. Ketika lebih dalam melihat, seperti
diceritakan oleh Imam Desa, hukum syariat itu sebenarnya hanya
pagar yang tegas membentengi masyarakat di kampung dari
kejahatan akidah dan rongrongan orang kafir. Dia menjadi bemper
yang kuat untuk membendung kejahatan akidah dari luar desa.
Di dalam desa sendiri orang menjalani hidup mereka dengan
aturan yang lebih longgar. Misalnya ada larangan memainkan
keyboard di dalam kampung. ‘Musik itu haram’. Dalam acara pesta
perkawinan masyarakat dilarang menanggap organ tunggal sebagai
hiburan seperti di kota-kota lain di wilayah Indonesia. Pertunjukan
organ tunggal atau band musik secara resmi diperbolehkan ketika
perayaan tujuh belas Agustus di lapangan kota Lhokseumawe. Hanya
di lapangan. Di luar itu tidak boleh. Kadang-kadang ada juga
pertunjukan musik dari artis-artis Jakarta yang sedang populer.
54
Kadang juga pertunjukan itu dibatalkan beberapa hari menjelang
pertunjukan. Masyarakat Desa Sawang tidak tahu kenapa dibatalkan.
Gambar 2. 20
Aturan Syariat di Masjid Baiturrahim, Lhoksukon
Foto: Wirabaskara
Kalau pertunjukan rafa’i boleh. Sejenis musik dengan iringan
rebana khas Aceh. Dalam pertunjukan rafa’i ini dipertontonkan
‘tarian’ orang yang menusuk dirinya dengan pisau tajam tanpa terluka.
Pertunjukan ini biasa digelar pada acara-acara perayaan di desa. Desa
sawang dulu punya kelompok rafa’i tapi karena alat-alat musik
rafa’inya sudah rusak kelompok rafa’i di Desa Sawang fakum. Tidak
ada biaya untuk memperbaikinya.
Di luar masalah organ tunggal, musik diputar di dalam
kampung. Orang menonton sinetron yang diiringi soundtrack. Meski
tidak banyak dan jarang tapi kadang ada orang yang memutar musik
keras-keras, bahkan musik dangdut. Ayu Ting-ting adalah nama
penyanyi dangdut yang sedang populer. “Goyang Duma” lantunan Cita
Citata adalah lagu dangdut yang menggema di seantero Aceh. “Kalau
muter lagu itu tidak apa-apa, asal tidak bergoyang saja. Kalau
55
bergoyang hanya boleh sebatas kepala saja,” begitulah aturan tentang
musik yang ‘haram’ dijalani oleh masyarakat Kampung Sawang.
Dalam kenyataannya meskipun jarang tetapi berjoget dalam
iringan lagu dangdut yang diputer keras-keras itu terjadi juga, yaitu
ketika dalam sebuah pesta perkawinan sound sistem mendendangkan
irama “Goyang Dumang”. Memang hanya satu-dua laki-laki bujang
yang berani berjoget dalam irama ini, tapi mereka mendapat support
dan keceriaan dari anak-anak, perempuan, dan pemuda yang lain.
Semua orang tertawa. “Kalau berjoget dengan iringan keyboard, itu
yang dilarang,” begitulah larangan berjoget mereka jalani.
Gambar 2. 21
Goyang Duma di Tanah Serambi
Foto: Wirabaskara
Ketika waktu Maghrib menjelang semua aktifitas warga
berhenti. Orang-orang yang bekerja pulang. Kedai-kedai tutup.
Saatnya untuk sholat Maghrib. Begitu pula setiap jumatan dan ketika
ada pengajian. Saat waktu beribadah tidak boleh ada aktiitas duniawi.
Bukan berarti tidak ada orang yang tidak menjalankan ibadah. Mereka
yang tidak ikut ibadah tidak menampakkan diri. Tidak patut dilihat
orang. Apalagi saat Maghrib atau jumatan karena itu ibadah wajib.
Kalau saat pengajian bisa dijumpai beberapa orang duduk-
duduk di depan kedai yang tutup. Pintu kedai yang dibuka sedikit
56
melayani orang-oang yang membeli rokok untuk menemani obrolan
mereka. Kedai yang buka sedikit di malam hari pengajian wajib bagi
seluruh warga kampung yang diadakan di meunasah seperti ini akan
dimarahi oleh Imam Desa kalau ketahuan.
Gambar 2. 22
Manok Siyam, Sang Ayam Aduan
Foto: Wirabaskara
Sabung ayam juga terjadi di bawah naungan hukum syariat ini.
Manok Siyam adalah istilah lokal untuk ayam Bangkok. Sore hari para
pemuda berkumpul di tempat yang telah disepakati. Sudut-sudut
belakang kampung yang tidak dilalui orang menjadi tempat yang
biasanya dipilih. Mereka tidak berangkat ramai-ramai menuju TKP.
Sendiri-sendiri atau berdua saja. Ayam jago juga tidak ditenteng
sebagaimana layaknya orang berangkat sabung ayam, dengan
bangga. Mereka membawa ayam aduan dengan dibungkus karung.
“Kalau ada yang tanya, apa itu? Dijawab saja, pohon kelapa,” seloroh
Isak, seorang pemuda yang ayam jagonya mati pada musim flu burung
beberapa bulan lalu. “Taruhannya gak banyak, paling seratus ribu,”
lanjutnya. Sabung ayam ini berlangsung sebentar saja. Hanya dua atau
57
tiga jam. Mereka akan bubar menjelang adzan maghrib jam tujuh
sore.
Ketika musim flu burung beberapa bulan yang lalu semua
ayam aduan mati. Sekarang beberapa orang mulai memelihara lagi
anakan ayam bangkok. “Kalau di sini harga anakan yang masih kecil
lima puluh ribu, tapi ayamnya gak bagus,” begitu Isak menceritakan
dulu membeli ayam jago yang baru menetas di Banda Aceh seharga
seratus ribu. Ayam jago kebanggaannya yang ikut mati dimakan flu
burung musim lalu.
Begitulah hukum syariat dijalankan oleh masyarakat di Desa
Sawang. Ada gradasi dalam pelaksanaan suatu aturan atau larangan.
Para Tengku dan kaum agamis akan dengan tegas menjalankan apa
yang diwajibkan dan tidak melakukan apa yang dilarang oleh syariat.
Melanggar aturan ini adalah suatu ketidak pantasan bagi golongan ini.
Untuk golongan yang lebih longgar mereka menjalani aturan
tersebut dengan lebih longgar. Tidak apa-apa bagi mereka tidak
mengikuti pengajian wajib bagi warga kampung yang diadakan
seminggu sekali. Hanya saja mereka tidak menampakkan ketidak
hadirannya dalam pengajian ini. Sembunyi di sudut-sudut gelap
kampung atau di dalam rumah.
II. 3. 2. Bahasa Aceh sebagai Bahasa Sehari-hari
Ketika awal kedatangan kami di Desa Sawang Pak Geucik,
sebutan untuk kepala desa di aceh, bilang bahwa warganya
kebanyakan tidak bisa berbahasa Indonesia. Perbandingannya
mungkin sekitar 30 : 70. Hanya 30% yang bisa berbahasa Indonesia.
Mereka adalah tamatan SMA atau kuliah dan yang pernah merantau.
Tingkat pendidikan di sini relatif rendah. Banyak yang hanya tamatan
SD.
58
Banyak folklore berkembang terkait masalah keterbatasan
berbahasa Indonesia ini. Dengan seting waktu pada masa darurat
militer mereka menceritakan bagaimana orang Aceh banyak dihajar
oleh TNI karena keterbatasan mereka berbahasa Indonesia. Salah satu
contoh folklore itu misalnya:
Ada orang kampung yang disuruh oleh aparat TNI
untuk memanjat pohon kelapa. Ketika turun orang
kampung itu ditanya oleh aparat TNI,
“Masih kuat gak?”
“Kuat, Pak...”
“Naik lagi!”
Ketika turun orang kampung itu bilang, “kuat, Pak...”
“Naik lagi!”...
Gambar 2. 23
Naik Lagi!!
Foto: Wirabaskara
Begitulah orang kampung itu disuruh naik pohon kelapa lagi
dan lagi, sampai mati gemetaran. “Kuat” dalam Bahasa Aceh berarti
tubuh sudah gemetaran karena kelelahan.
59
Anak-anak kecil kebanyakan belum bisa berbahasa Indonesia.
Ketika memasuki usia SD mereka baru berkenalan dengan Bahasa
Indonesia. Menginjak kelas empat SD baru mereka bisa agak lancar
berbahasa indonesia dan diajak berkomunikasi dengan Bahasa
Indonesia, meski masih sepatah-sepatah.
Gambar 2. 24
Membidik Masa Depan
Foto: Wirabaskara
Orang-orang yang tidak lancar berbahasa Indonesia pada
awalnya kurang percaya diri ketika diajak berbahasa Indonesia.
Kemampuan berbahasa Indonesia mereka memang masih setengah-
setengah. Mereka berbicara dalam bahasa campuran antara Bahasa
Indonesia dan bahasa daerah.
Orang dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang lancar
menjadi ‘perhatian’. “Mungkin mereka orang Aceh juga, mungkin
orang luar.” Kalau dia orang Aceh kemungkinan besar mereka pernah
lama merantau ke luar Aceh seperti Medan atau tinggal bersama
orang dari etnis lain. Mereka yang telah lulus sarjana atau menempuh
perguruan tinggi pun jika belum pernah merantau kemampuan
berbahasa Indonesianya sama pada level ini. Hal ini karena Bahasa
Indonesia sangat jarang mereka gunakan, bahkan di sekolah-sekolah.
60
Dalam kesehariannya masyarakat Desa Sawang seperti
masyarakat di Kabupaten Aceh Utara pada umumnya berbicara
dengan bahasa daerah. Di rumah, di kampung, di kantor, dan di
sekolah mereka berbicara dalam bahasa daerah. Berbicara dalam
Bahasa indonesia dengan sesama orang Aceh adalah lucu dan kikuk.
Bahasa Indonesia mereka sangat medok dengan dialek Aceh
yang sangat kental. Kosa kata bahasa Indonesia mereka juga sangat
terbatas. Ketika berbicara Bahasa Indonesia mereka masih banyak
menggunakan istilah bahasa lokal karena keterbatasan kosa kata
Bahasa Indonesia tersebut. Istilah-istilah serapan dari bahasa asing
juga susah mereka ucapkan dengan benar karena istilah-istilah
tersebut tidak pernah dipakai dalam perbincangan sehari-hari mereka.
Seorang pemuda yang kuliah di politeknik dengan terbata-bata
mengatakan jurusan ‘kuitansi’ untuk mengatakan “akuntansi” bisa
terjadi. Termasuk kata “imunisasi”. Banyak yang seperti belum pernah
mendengar. Mengucap ulang pun sulit bagi lidah mereka.
Di samping itu kesalahan yang banyak terjadi adalah
pemaknaan mana subyek dan mana obyek. Hal ini disebabkan karena
ketidak jelasan pemahaman mereka tentang arti awalan dan akhiran
serta fungsi kata penghubung. Misalnya, “saya bertanya pada orang”
dengan “saya ditanyai orang” sulit mereka bedakan. Mereka
cenderung menganggap tokoh yang disebutkan di muka sebagai
subyek pelaku dan tokoh yang disebutkan di belakang sebagai obyek
penderita. Hal ini karena dalam dialek mereka, mereka mengatakan
dengan “saya ada tanya sama orang” atau “orang ada tanya sama
saya”.
Akibat lain dari ketidak pahaman tentang arti imbuhan dan
kata sambung ini adalah kerancuan tentang kalimat dengan makna
positif atau negatif. Kadang-kadang mereka mengatakan suatu kalimat
negatif dengan makna positif atau sebaliknya. Misalnya dalam
61
percakapan saya dengan seorang pemuda umur dua puluh tujuh
tahun,
“Di sini orang miskin kawin dengan orang miskin, orang
kaya kawin dengan orang kaya,” pemuda itu bercerita.
“Kalau orang kaya kawin dengan orang miskin ada gak?”
Saya bertanya lebih jauh.
“Kalau orang kaya yang kawin dengan orang miskin itu
tidak ada. Mungkin ada tapi tidak banyak. Orang kaya
kawin dengan orang miskin, laki-lakinya yang kaya. Kalau
perempuannya yang miskin, itu tidak ada.”
Dalam kalimat terakhirnya, yang dia maksud adalah “perempuannya
yang kaya” tetapi dia mengatakan “perempuannya yang miskin”.
Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat
Desa Sawang ini menjadi kendala yang besar dalam komunikasi antara
orang luar, NGO, maupun aparat pemerintah dengan masyarakat.
Seperti pada kasus di pengungsian pasca tsunami 2004 lalu. Para
pengungsi tetap buang air besar sembarangan sehingga banyak yang
terjangkit kolera dan disentri. Di sana masyarakat tetap buang air
besar seperti kebiasaan mereka di kampung meskipun sudah diajarkan
untuk perperilaku hidup sehat. Omongan para petugas yang
disampaikan dengan bahasa Indonesia mungkin sulit dimengerti, dan
seandainya dimengerti pun dalam prakteknya harus seperti apa
mereka tetap tidak tahu.
II. 3. 3. Tiga Dusun, Pemilahan Demografis dan Pemilahan
Sosial
Tingkat keterbukaan masyarakat Desa Sawang secara umum
dibedakan menjadi dua, Sawang barat dan Sawang timur. Di Sawang
timur—yang merupakan ‘koalisi’ antara dusun Sawang Timur dengan
Sawang Tengah—orang relatif lebih terbuka. Banyak yang pernah
merantau. Kebanyakan para perantauan itu bekerja ke Medan atau
62
menjadi TKI illegal ke Malaysia. Di antara mereka bahkan ada yang
bisa sedikit berbahasa Jawa karena berinteraksi dengan orang Jawa
ketika di Medan atau berinteraksi dengan transmigran asal Jawa di
Aceh.
Di Sawang Barat masyarakatnya lebih tertutup, meskipun
sebenarnya ada juga masyarakat Sawang Barat yang merantau. Di
wilayah ini orang yang berbicara dengan bahasa non Aceh akan
dicemooh. Mereka lebih ketat dalam menolak budaya dari luar. Lokasi
Pustu Sawang ada di wilayah barat ini.
Gambar 2. 25
Ada yang Meninggal
Foto: Wirabaskara
Hubungan sosial antara kedua wilayah ini tidak terlalu erat.
Mungkin karena secara geografis memang berjauhan—sekitar satu
kilometer—atau mungkin juga disebabkan karena pembagian
63
kelompok solidaritas yang dilakukan masyarakat di Desa Sawang.
Sekitar tiga ratus lima puluhan KK terlalu banyak untuk berorganisasi
sosial dan berkumpul dalam satu kegiatan atau gotong royong.
Ketika ada kematian, upacara kenduri akan dilakukan selama
tujuh hari berturut-turut dengan mengundang kelompok masyarakat
yang berbeda. Tetangga dari dusun Sawang barat, Sawang tengah,
dan sawang Timur datang dalam kelompok dan hari yang berbeda.
Ketika ada upacara duek pakat mereka saling mendatangi dan
menyumbang tapi untuk pesta pernikahannya terjadi tidak saling
mengundang dan tidak saling mengunjungi, meski tidak secara total.
Perbedaan aspirasi politik juga menambah ketidak harmonisan ini.
Ketidak harmonisan ini memang tidaklah terlalu keras. Hubungan
formal masih bisa dijaga.
II. 3. 4. Pendidikan Formal Versus Pendidikan Agama
II. 3. 4. 1. Pendidikan Sekolah
“Hari ini saja saya tidak masuk sekolah,” begitu cerita Amel
anak kelas 1 SMP di Desa Sawang. Sedangkan siang itu dia masih
menggenakan seragam putih biru.
“Kenapa tidak masuk sekolah?”
“Malas. Sekolahnya tidak bagus, bosan.”
“Tidak dimarahi sama gurunya?”
“Tidak takut.”
Begitulah Amel menceritakan keadaan di sekolahnya. Jumlah
murid di kelasnya sekitar dua puluhan. Setiap hari ada saja murid yang
tidak masuk sekolah. Kadang lebih dari separo murid yang tidak masuk
sekolah. Guru-gurunya juga setali tiga uang. Guru-guru itu bercerita
kepada para murid bahwa gaji mereka belum dibayarkan, jadi mereka
malas mengajar.
Issue korupsi kepala sekolah beredar di lingkungan sekolah,
dan meluber ke desa. Uang tunjangan yang dijanjikan empat ratus
64
lima puluh ribu per anak hanya diberikan lima puluh ribu saja. Itu pun
untuk bulan ini tidak ada. Kalau ada murid yang menanyakan dijawab
oleh guru, “uangnya dibawa tuyul.”
Sekolahnya memang masih baru, sekitar dua-tiga tahun.
Sebenarnya ada sekolah bagus di kampung-kampung lain, tapi oleh
para pemuda anak-anak di sini tidak boleh sekolah di kampung lain.
Harus di kampung sendiri biar sekolah di kampung bisa maju.
Gambar 2. 26
Menuntut Ilmu Selaju Sepeda
Foto: Wirabaskara
Pendidikan di Kampung Sawang memang tidak terlalu
dianggap penting oleh banyak masyarakatnya. Banyak yang hanya
lulusan SD atau SMP. Untuk kalangan anak muda sekarang memang
relatif sudah banyak yang sudah lulus SMA dibandingkan jaman dulu.
Bahkkan sedikit di antara pemuda itu sampai bangku kuliah. Ada juga
yang lulusan kuliah tapi tidak bekerja seperti yang diharapkan sebagai
seorang sarjana. Doni yang lulus FKIP sempat menjadi guru honorer
dengan gaji jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
65
Karena tidak bisa menjadi guru PNS dia keluar dan bekerja serabutan
seperti pemuda lain yang tidak kuliah. Kejadian ini menjadi
pembenaran bagi para orang tua dan para pemuda untuk tidak
sekolah tinggi-tinggi, kalau toh menganggur juga.
Birokrasi uang adalah stereotype yang dilekatkan pada orang-
orang pemerintah Aceh oleh masyarakatnya. Meskipun sudah lulus
sarjana mereka harus membayar untuk menjadi pegawai negri. Andre
yang punya saudara yang kuliah kebidanan di Medan bercerita bahwa
untuk bisa kerja praktek di wilayah provinsi Aceh saudaranya itu
membayar delapan juta. Di kalangan masyarakat juga beredar issue
bahwa untuk bisa menjadi pegawai pemerintah mereka harus
menyogok. Karena itulah sedikitnya warga Desa Sawang yang menjadi
pegawai--hanya satu atau dua yang jadi pegawai--dimaklumi.
“Minat sekolah anak-anak tergantung dari kesadaran orang
tua masing-masing,” begitu pandangan Wardan yang tidak pernah
sekolah karena tuna netra. Pandangannya ada benarnya, meski tidak
mutlak seperti itu. Seperti halnya kasus tentang orang Aceh yang
pemalas, kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang karena
‘diturunkan’ dari orang tua-orang tua terdahulu. Apa yang dilakukan
orang-orang sekarang—dan apa yang dilakukan anak-anak—adalah
duplikasi dari apa yang dilakukan orang tua mereka dahulu.
Kecenderungan anak sekolah membolos sekolah atau bahkan
mogok berhenti sekolah karena berbagai alasan. Kebanyakan alasan
mereka membolos sekolah atau berhenti sekolah adalah karena
adanya rasa bosan di sekolah dan malu karena tidak bisa menuruti
standar pergaulan. Alasan yang dibuat anak-anak sekolah ini misalnya
minta uang saku sejumlah tertentu atau sepeda motor. Jumlah kasus
seperti ini tidak banyak. Kebanyakan pemuda tamat SMA, meski ada
juga beberapa anak yang putus SMP. Setelah tamat SMA kebanyakan
tidak melanjutkan kuliah entah karena tidak ada biaya atau tidak
berminat kuliah. “Untuk apa kuliah?”
66
Menurut Wardan alasan tidak ada biaya ini tidak cukup kuat
untuk tidak sekolah. Kalau niatnya untuk sekolah kuat orang bisa
bekerja sepulang sekolah. Begitulah pendapatnya sebagai pemuda
yang tidak bisa mengikuti pendidikan formal karena menyandang tuna
netra sejak bayi. Dalam sudut pandangnya kesempatan sekolah bagi
teman-temannya yang normal sebenarnya adalah peluang yang
sangat mahal.
Ada juga anak sekolah yang meminta sepeda motor dengan
ancaman mogok sekolah, merusak barang-barang di rumah, atau
bahkan bunuh diri. Orang tua terpaksa menuruti. Ada yang dengan
menjual sapi, sawah atau tambak. Seekor sapi besar bisa terjual
sampai dua belas juta, tapi sapi rata-rata harganya tuju atau delapan
juta rupiah. Pemenuhan keinginan anak untuk punya sepeda motor ini
tidak serta merta membuat anak benar-benar menyelesaikan
sekolahnya. Bisa jadi sekolah anaknya menjadi semakin jauh sampai
ke tempat-tempat nongrong atau tempat wisata di kota
Lhokseumawe. Sekedar nongkrong, pacaran atau bahkan balap liar
dengan taruhan, sampai akhirnya benar-benar tidak berangkat
sekolah. Putus.
II. 3. 4. 2. Pendidikan Agama di Dayah
Peribahasa Aceh mengatakan ‘rejeki Tengku iup on kay, rejeki
orang bangsat lam batee’, yang berarti rejeki Tengku ada di bawah
daun, rejeki orang biasa (yang tidak taat agama) ada di dalam batu.
Peribahasa ini menggambarkan kemudahan seseorang dalam mencari
rejeki ketika menjadi Tengku. Ibarat kata hanya tinggal mengambilnya
di bawah daun. Sedangkan orang biasa harus kerja keras untuk
mendapatkan rejeki. Entah kerja di tambak, ke laut, atau ke sawah.
Mereka harus bekerja keras, ibarat memecah batu untuk mengambil
rejeki di dalamnya.
67
Menjadi Tengku bukanlah hal yang sulit diraih. Orang yang
sudah melek agama, menjalankan shalat lima waktu dan menjalankan
rukun islam, mereka sudah dipanggil Tengku oleh masyarakat. Para
Tengku biasa dimintai tolong oleh masyarakat untuk memimpin doa-
doa dalam setiap upacara, seperti kenduri, duek pakat, tahlil, atau
lainnya. Untuk jasa ini mereka dibayar lima puluh sampai seratus ribu
rupiah. Orang biasa harus kerja di sawah, di tambak, atau di laut untuk
mendapat rejeki yang sama.
Ada motif ekonomi dalam penegakan ibadah dan pengajian
yang dilakukan para Tengku karena dari pengajian dan berbagai
upacara keagamaan seperti inilah para Tengku mendapatkan
rejekinya. Seorang Tengku akan mendapatkan honor dua ratus ribu
setiap menjadi imam dalam sholat jumat. Jadi dalam sebulan dia bisa
mendapat delapan ratus ribu dari ibadah jumatan ini. Kalau dirata-
rata, ditambah honor dari memimpin berbagai upacara keagamaan,
seorang Tengku bisa mendapat penghasilan dua juta per bulan tanpa
harus kepanasan di bawah terik matahari atau membanting cangkul.
Seorang Tengku yang populer di kampung-kampung honor
untuk mengisi pengajian bisa sampai satu setengah juta, seperti dalam
kasus pengajian peringatan Isra Mi’raj malam tanggal 11 mei 2025
lalu. Tengku yang diundang untuk mengisi ceramah adalah Tengku
dari kampung tetangga yang populer di kampung-kampung. Di
samping popularitas Tengku tersebut tidak dipakainya Tengku dari
kampung sendiri untuk mengisi ceramah malam itu adalah karena
masyarakat di kampung Sawang sudah biasa mendengar ceramah
para Tengku tersebut.
68
Gambar 2. 26
Peringatan Isra’ Mi’raj
Foto: Wirabaskara
Di samping itu menjadi Tengku adalah status yang terpandang
karena ketaatannya menjalankan agama. Omongan mereka didengar
dan dianut oleh seluruh warga. Karena inilan menjadi Tengku banyak
dicita-citakan oleh anak-anak dan para orang tua.
Mereka lebih mementingkan anak mereka untuk mengaji,
belajar pada para Tengku di desa atau mondok di dayah terkenal yang
jauh. Dayah adalah pesantren tradisional di Aceh. Sistem pendidikan
di dayah ini adalah pendidikan informal yang tidak disetarakan dengan
pendidikan formal. Mereka memilih pendidikan agama di dayah ini
supaya menjadi orang yang agamanya kuat. Tidak kafir.
Banyak pemuda yang dulu malas-malasan menyelesaikan SD-
nya. Amin, misalnya, yang dengan malas-malasan akhirnya lulus SD
tahun 1999. Itu sudah istimewa menurutnya karena ketika setelah
kelas tiga SD, setelah bisa baca tulis, dia sudah malas-malasan sekolah.
Dalam seminggu dia paling hanya berangkat dua atau tiga kali saja.
69
Selain itu dia tidak pernah sampai sekolah. Mungkin ke tambak atau
entah main di mana.
Gambar 2. 27
Ngaji, Belajar Agama
Foto: Wirabaskara
Teman satu kelasnya waktu itu berjumlah empat puluh orang.
Ketika lulus SD tahun 1999 hanya dua orang yang melanjutkan ke
SMP. Selainnya itu mereka bekerja ke laut, ke sawah, atau ke tambak.
Empat tahun kemudian Amin disuruh orang tuanya untuk mondok ke
dayah. Waktu itu untuk mendaftar dia membayar seratus tigapuluh
ribu, uang gedung per tahun seratus lima puluh ribu, dan uang
bulanan lima belas ribu. Setelah lewat enam tahun, ketika sudah kelas
tujuh dia sudah tidak harus bayar lagi karena dia sudah ikut mengajar
adik kelasnya. Dia belajar di dayah selama sepuluh tahunan.
Memang banyak yang milih belajar ngaji di dayah-dayah atau
pesantren yang dikenal bagus meski jauh dari rumah. Mereka bisa
mondok di dayah untuk belajar mengaji paling rendah delapan tahun
70
atau bahkan sampai limabelas tahun. Mereka yang memilih belajar
mengaji ini biasanya ditempuh setelah lulus SD atau SMP. Mereka
tidak melanjutkan pendidikan sekolahnya tetapi memilih belajar ngaji
biar bisa menjadi Tengku. Status sosial yang tinggi dan realistis dari
pada bercita-cita menjadi pegawai. Untuk menjadi pegawai orang
harus nyogok. Begitulah anggapan orang-orang. Kadang-kadang anak
tidak ingin menjadi Tengku tapi tidak melanjutkan sekolah melainkan
belajar ngaji di dayah karena paksaan orang tuanya. Kalau lulus SMA
kebanyakan sudah malas mengaji. Anak-anak perempuan setelah
selesai sekolah akan mengaji. Selesai mengaji mereka akan pulang dan
menikah. Untuk laki-laki kebanyakan kerja atau merantau ke Malaysia.
Selesai belajar di dayah selama sepuluh atau lima belas tahun
mereka tidak bisa langsung menjadi Tengku karena sudah banyak
Tengku yang lebih senior. Dia akan bekerja seperti pemuda yang lain,
bahkan merantau menjadi TKI illegal ke Malaysia.
Belajar mengaji di dayah selama sepuluh atau lima belas tahun
ini juga membuat kenapa para pemuda di sini relatif terlambat
menikah. Ketika lulus SD atau SMP umur dua belas atau lima belas
mereka menempuh pendidikan di dayah selama sepuluh atau lima
belas tahun. Keluar dari dayah umurnya sudah akhir dua puluhan atau
tiga puluh tahun.
II. 3. 5. Kehidupan Sosial Ekonomi
II. 3. 5. 1.Gaya Hidup dan Mentallitas Kerja
“Masyarakat Desa Sawang ini keturunan bangsawan jadi
malas disuruh kerja. Ketika rekonstruksi Aceh pasca
tsunami banyak tenaga buruh bangunan dari luar Aceh.
Orang sini mana mau kerja kek gitu?”
Begitulah Andre menceritakan kenapa Orang Aceh tidak mau
kerja jadi buruh bangunan dengan upah delapan puluh ribu per hari.
Orang luar Aceh itu mungkin hanya dibayar limapuluh ribu per hari.
71
Orang-orang Aceh yang sekarang bekerja sebagai buruh bangunan itu
karena kepepet.
Kenyataan bahwa orang Aceh itu pemalas diakui banyak
orang, dari orang biasa sampai tokoh-tokohnya. “Orang Aceh, tidak
hanya di Sawang ini, tapi di seluruh Aceh itu pada umumnya
pemalas,” begitu TengkuSulaiman menceritakan kesimpulan dari
pengalamannya mengelana selama tiga bulan tanpa membawa uang
sampai ke Riau. Dari pengalamannya TengkuSulaiman melihat orang-
orang dari etnis lain yang sudah tidak ada di rumah setelah subuh.
Mereka baru pulang bekerja setelah sore.
”Orang Aceh mana ada yang begitu. Mereka bangun
siang. Setelah itu nongkrong di warung, minum kopi dan
merokok. Siang mereka pulang untuk makan. Setelah itu
tidur lagi,” begitu TengkuSulaiman melihat etnisnya.
Kebiasaan para pemuda yang hanya nongkrong-nongkrong,
minum kopi, merokok, dan ngobrol menghabiskan waktu sampai larut
malam memang kebiasaan yang diwariskan dari para orang tua. Para
orang tua sejak dulu memang tidak memberikan contoh kegigihan
dalam bekerja.
Begitu pula dalam pandangan Imam Desa melihat diri dan
sekitarnya. Kebanyakan orang sehari-hari hanya menikmati waktu
tanpa ada yang bermanfaat. Kebiasaan ini mungkin menjadi salah satu
sebab kenapa keadaan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sawang
pada khususnya relatif miskin, bahkan dibandingkan dengan desa-
desa lain di kabupaten Aceh Utara.
Seorang bapak muda yang dalam beberapa hari ini saya lihat
sedang membuat pagar yang mengelilingi pekarangan rumahnya
akhirnya berkesempatan ngobrol. Dia berencana menanam lada di
pekarangan rumahnya yang luasnya sekitar seribu meter persegi itu.
Ada yang sudah memberinya bibit. Sebenarnya luas pekarangan
72
rumahnya tiga atau empat kali lebih luas dari yang dia pagari. Dia
hanya memagari semampunya biar cepat selesai. “Kalau memagari
semua, itu seperti memagari lautan,” begitu perumpamaan dia.
Pekarangan harus dipagari untuk menanam supaya tanaman tidak
dimakan kambing atau sapi.
Gambar 2. 28
Seperti Memagari Lautan
Foto: Wirabaskara
Kepada Pak Syam saya memberikan contoh apa yang terjadi di
Wonosobo, Jawa tengah di mana orang berhitung sejak sangat dini
ketika berencana membangun rumah. Di Wonosobo ini ketika orang
berencana membangun rumah umur tiga puluh maka ketika dia
berumur dua puluh dua mulai menanam sengon, sehingga ketika tiba
waktunya dia membangun rumah dia sudah punya kayu. Atau ketika
seseorang merencanakan menikahkan anaknya maka setahun
sebelumnya sudah dihitung. Dia akan menanam ubi kayu yang akan
dipanen delapan bulan. Ubi kayu akan ditanam yang banyaknya
tertentu dengan kisaran hasil panen sepuluh juta. Padi juga disiapkan
untuk panen pada waktu yang berdekatan. Sehingga ketika tiba
73
waktunya dia mengadakan pesta pernikahan dia sudah punya uang
dan beras, dan mungkin juga kambing atau sapi.
Cerita yang saya sampaikan memang sangat kontras dengan
yang terjadi di Desa Sawang. Di sini sering terdengar kalimat, “hana
peng,” yang berarti “tidak ada uang” sehingga perkawinan diundur-
undur. Dengan contoh yang saya sampaikan dari Wonosobo itu
meskipun “hana peng” tetapi acara tetap bisa dilakukan, dengan
perencanaan.
Komentar Pak Syam pendek saja. “Di sini orang tua tidak
memberi contoh seperti itu.” Jadi apa yang terjadi ini sudah turun-
temurun. Mereka malas bekerja dan suka nongkrong di kedai kopi
sejak para orang tua mereka dahulu. Masyarakat tidak punya referensi
untuk melakukan strategi seperti yang dilakukan masyarakat di
Wonosobo. Jadi yang dilakukan ketika berbenturan dengan masalah
“biaya” mereka larinya ke Malaysia. Menjadi buruh migran illegal.
Kerja, langsung dapat uang banyak. Kalau bekerja di Malaysia mereka
bisa menyimpan uang tiga juta rupiah setiap bulannya. Dalam lima
atau sepuluh tahun merantau di Malaysia mereka bisa membawa
pulang seratus atau dua ratus juta rupiah. Ketika pergi ke Malaysia
belum memungkinkan mereka tidak menempuh alternatif lain yang
sebanding hasilnya.
“Na peng na ineung, hana peng hana ineung” adalah ujaran
yang populer di kalangan pemuda di Desa Sawang. Dalam bahasa
Indonesia berarti “ada uang ada perempuan, tidak ada uang tidak ada
perempuan”. Para pemuda di sini memang relatif terlambat kawin
untuk ukuran orang desa. Mereka bisa membujang sampai umur tiga
puluhan. Salah satu sebabnya adalah karena mas kawin bagi
perempuan Aceh dirasa mahal bagi mereka. Seorang perempuan biasa
meminta mas kawin sepuluh, dua belas, bahkan sampai limabelas
manyam emas. Untuk harga satu manyam setara dengan tiga gram
emas sekarang sekitar satu setengah juta rupiah. Jumlah itu adalah
74
jumlah yang sangat banyak bagi warga Desa Sawang yang kurang
produktif.
Gambar 2. 30
Gadis Aceh dalam Busana Muslimah
Foto: Wirabaskara
Sebenarnya tidak semua perempuan aceh memasang mahar
sebesar itu. Ada juga perempuan yang bisa dimahari dengan dua atau
tiga manyam emas untuk diperistri. Mereka adalah perempuan-
perempuan dari kelas ekonomi yang kekurangan. Perempuan-
perempuan dari kelas sosial ini kurang dilirik para pemuda karena
gengsi mereka.
Orang Aceh gengsinya tinggi. Mereka sangat menjaga
penampilan mereka. Pakaian bagus dan kendaraan baru adalah
kebanggaan para pemuda untuk memikat lawan jenisnya. Di balik
penampilan itu apapun dikorbankan. Ketika seorang pemuda sudah
bersolek maka tidak kelihatanlah nasib mereka sebenarnya.
75
Gambar 2. 30
Pemuda Aceh
Foto: Wirabaskara
Kebanyakan para pemuda ini tidak mau bekerja dengan gaji
delapanratus ribu atau bahkan satu setengah juta per bulan. Uang
segitu bahkan untuk kebutuhan sendiri saja tidak cukup. Kalau ada
yang menerima pekerjaan seperti itu, tidak akan berlangsung lama.
“Untuk sendiri saja gak cukup, apa lagi keluarga?” Karena inilah
banyak pemuda di kampung yang memilih menganggur kebingungan
untuk memenuhi gaya hidup mereka.
Karena pertimbangan inilah banyak pemuda yang menjadi
tenaga kerja illegal ke Malaysia. Illegal karena mereka tidak mampu
mengurus legalitasnya yang lebih dari dua juta untuk tiga bulan.
Setelah itu harus mengurus perpanjangan. Dalam tiga atau lima tahun
bekerja di Malaysia mereka akan bisa membawa pulang uang sampai
seratus juta. Itu kalau beruntung. Kalau tidak beruntung dan
ditangkap kepolisian Malaysia mereka akan ditahan selama beberapa
bulan dan kemudian dipulangkan. Resiko ini menjadi pertimbangan
penting ketika seseorang memutuskan berangkat ke Malaysia.
Seorang pemuda menceritakan beberapa waktu lalu ada
mahasiswi dari Medan kerja praktek lapangan di desa. Ketika didekati
oleh seorang pemuda desa, pemuda itu tertawa dalam hati
mendengar pandangan sang mahasiswi, “kalau menikah dengan
76
Orang Aceh itu kebutuhan biologisnya terjamin tetapi kebutuhan
ekonominya terancam.”
Pekerjaan dengan penghasilan pas-pasan seperti ke sawah, ke
tambak, ke laut, atau menjadi buruh kasar kadang mereka lakukan
tanpa ada keyakinan menatap masa depan. Hanya sekedar untuk
menutup hutang di kedai dan jajan sehari-hari. Ketika sudah menikah
seorang pemuda akan mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi
nafkah keluarganya. Ketika itulah mau tidak mau mereka harus
bekerja setiap hari.
Pak Mulia tidak membeli sepeda motor karena menurut dia
orang kalau punya sepeda motor akan malas kerja. Dia akan main ke
sana ke sini saja dengan sepeda motornya itu. Dia memilih
mengunakan uangnya untuk modal menyewa tambak-tambak milik
warga yang tidak dirawat. Dia sekarang punya delapan petak tambak.
Tujuh petak diantaranya menyewa dan satu petak milik sendiri. Kalau
ada uang banyak dari hasil tambak dia gunakan untuk membeli emas
atau lembu untuk tabungan. Dia juga sudah gunakan tabungannya
untuk membantu biaya orang tuanya naik haji.
Dalam pandangan masyarakat orang kaya itu kalau dia punya
tambak banyak dan sudah naik haji. Naik haji adalah indikator status
ekonomi seseorang sebagai orang kaya.
“Kalau belum naik haji maka ‘kekayaan’ harta mereka
masih sebatas untuk dirinya sendiri. Seperti itu belum
masuk kategori kaya. Ada yang satu keluarga punya
sepeda motor dua atau tiga tapi dia masih mengambil
beras miskin. Itu tidak kaya,” begitu penjelasan Isak.
77
II. 3. 5. 2. Solidaritas Ekonomi
Kadang-kadang terjadi sebuah keluarga kehabisan beras dan
belum ada rejeki. Ketika hal seperti ini terjadi mereka akan minta pada
tetangga. Begitulah mereka saling tolong untuk mengatasi masalah.
Saling minta beras ini sering terjadi. Kadang-kadang juga berhutang
beras ke kedai kalau masalah kehabisan beras ini tidak segera
terselesaikan sementara untuk minta lagi mereka malu.
Kebiasaan saling membantu ini terjadi sejak masa lajang.
Mereka biasa saling memberi uang pada teman yang kelihatan tidak
punya uang. Sekedar limaribu atau sepuluh ribu rupiah. Kalau tidak
ada uang lebih mungkin hanya sekedar berbagi rokok atau traktir
minum kopi di kedai.
Seorang pemuda bisa berhutang di kedai sampai ratusan ribu
untuk minum kopi dan membeli rokok ketengan. Kadang pemilik kedai
menegor orang yang punya hutang kalau terlalu lama gak bayar atau
ketika punya sedikit uang malah jajan di kedai lain. Jadi ada uang atau
tidak ada uang pemilik kedai akan menuntut para pelanggan untuk
jajan di kedai miliknya.
II. 3. 5. 3. Kendala yang Dihadapi Petani dan Nelayan Pasca
Tsunami
“Aceh ini tanahnya paling subur. Tanam kayu tumbuh, tanam
tai juga tumbuh.” Begitulah masyarakat Aceh menggambarkan
kesuburan tanahnya. Batang-batang kayu yang mereka tanam (untuk
membuat pagar) akan tumbuh, bahkan tai (musang) pun bisa
tumbuh—karena musang makan biji-bijian.
Sayangnya kesuburan tanah tersebut tidaklah dimanfaatkan
secara maksimal. Sistem pertanian masih mengandalkan air hujan.
Ketika memasuki musim kemarau di mana hujan sudah jarang turun
mereka harus menyirami tanaman dengan air sumur yang dibuat di
78
dekat ladang. Ketika musim kemarau benar-benar datang kebanyakan
sawah dan ladang ini dibiarkan kosong tidak digarap.
Dari dua tokoh agama paling berpengaruh di Desa Sawang
diperoleh pendapat yang sama dalam melihat permasalahan yang
paling utama yang terjadi di desa, yaitu “ekonomi”. Di samping
mentalitas kerja yang kurang, kemiskinan ini juga disebabkan oleh
kondisi tanah sawah dan tambak yang ‘bermasalah’.
“Tanah tidak seperti dulu. Sekarang tanah sudah bergaram.”
Panenan padi jauh berkurang. Kalau sebelum tsunami sawah bisa
menghasilkan sepuluh sampai lima belas karung sekarang hanya
menghasilkan tiga karung. Butir-butir padi tidak lagi padat. Dari
sepuluh kilogram padi hanya menjadi lima atau enam kilogram beras.
Pohon kelapa miskin berbuah. Tambak-tambak tidak lagi
menguntungkan untuk memelihara udang.
“Tambak sudah kena virus,” begitu ungkapan warga melihat
tambak-tambak yang coba ditanami udang habis dalam seminggu, dua
minggu, atau tiga minggu. Hanya satu-dua yang bisa bertahan sampai
panen. Itupun dalam waktu yang lebih lama dan panenan yang tidak
lagi melimpah.
Di samping dampak tsunami yang oleh masyarakat dianggap
menjadi penyebab berkurangnya hasil pertanian dan perikanan di
Desa Sawang ada juga anggapan bahwa berkurangnya hasil ikan dari
laut dan tambak disebabkan oleh limbah yang dibuang ke laut oleh PT.
Exxon dan PT. Arun. Dugaan ini tidaklah populer di kalangan
masyarakat Desa Sawang. Hanya satu-dua orang saja yang mempunyai
pemikiran ini.
“Sebelum tsunami hasil udang di laut bagus. Tambak juga
bagus. Sekarang udang jarang di laut dan tambak juga
susah untuk udang. Mungkin efek dari limbah itu,“ begitu
79
dugaan Andre yang lulusan S1 dan pernah kerja untuk
NGO asing pasca tsunami.
Masyarakat juga tidak ada yang tahu kemungkinan kegagalan
tambak itu karena kendala teknis. Secara teknis tambak sekarang ini
banyak yang gagal karena saluran masuk dan keluar air tidak lancar.
Hanya ada satu saluran saja untuk masuk dan keluarnya air di tambak-
tambak itu. Akibatnya sirkulasi air tambak tidak lancar. Tambak-
tambak itu mendapatkan kendala untuk mendapatkan air baru dari
laut yang bersih. Siklus air keluar akan terkendala oleh air pasang
sehingga air yang seharusnya mengalir ke luar dari tambak akan
berbalik masuk ke tambak lagi.
Ketidak lancaran sirkulasi air ini mengakibatkan menumpuknya
bibit penyakit di dalam tambak. Terlebih lagi tidak semua tambak ada
saluran airnya. Tambak-tambak yang tidak mempunyai saluran air ini
harus menggunakan pompa air setiap dua minggu untuk mengisi
menggantikan air yang meresap ke dalam tanah dan menguap.
Tambak yang tanpa saluran air ini akan menumpuk jauh lebih banyak
bibit penyakit bagi ikan atau udang yang ditebar di dalamnya. Untuk
ikan bandeng, nila, atau kakap yang banyak dipelihara mungkin masih
tahan terhadap bibit-bibit penyakit tersebut tetapi untuk udang yang
membutuhkan lingkungan yang terjaga bersih dan sehat akan
berpotensi besar untuk gagal.
Akibatnya banyak warga yang malas mengerjakan tambaknya
lagi. Mereka menyewakan tambak-tambak itu. Dua juta sampai lima
juta per sepuluh tahun. Ada juga yang menggadaikannya sepuluh juta.
Setiap petaknya, luasnya sekitar dua ribu meter persegi. Untuk
tambak-tambak yang tidak terjangkau oleh air mereka harus
menyewa pompa air untuk mengisinya. Sewa pompa air tigapuluh
lima ribu per jam. Butuh waktu lima sampai sepuluh jam untuk
mengisinya. Dua minggu sekali.
80
Kebanyakan tambak sekarang ditanami ikan bandeng, nila.
Sedikit yang masih mencoba menanam udang. Ada yang khusus
menanam udang dalam satu petak tambak dan ada yang mencampur
udang dengan ikan lain. Ikan dan udang yang dipelihara di tambak
kebanyakan tidak dikasih makan. “Kalau ikan di tambak dikasih
makan, kalau orang tahu mereka tidak suka. Rasanya kurang enak.”
Gambar 2. 32
Tambak dan Gubuk di Ladang
Foto: Wirabaskara
Tidak banyak bibit yang ditanam setiap petak ukuran seribu
sampai duaribu meter persegi itu. Di salah satu petaknya Pak Mulia
menanam limaratus ekor bibit bandeng. Ada juga dia pernah
menanam tujuh ratus bibit ikan kakap. Bulan Januari kemarin banjir
menerjang tambak-tambaknya yang siap panen. Semuanya delapan
petak. Dia kehilangan tujuh belas juta untuk modal mengerjakan
tambak-tambaknya itu. Dia iklas saja. Tidak ada kekecewaan di
wajahnya. Untuk modal tambaknya sekarang dia menggunakan semua
81
tabungannya. Tabungannya yang berupa emas dan lembu itu sekarang
sudah habis untuk modal tambak-tambaknya.
II. 3. 5. 4. Dampak Lingkungan
Di Desa Sawang ini sebenarnya hanya ada seekor nyamuk,
tetapi temannya sangat banyak. Sebagai daerah pesisir dengan suhu
udara yang panas, hal ini sebenarnya wajar saja. Seperti halnya
daerah-daerah pesisir di seluruh Indonesia yang suhu udaranya panas
nyamuk bisa hidup dan berkembang biak dengan baik.
Gambar 2. 33
Gubuk untuk Menunggu Tambak
Foto : Wirabaskara
Apa lagi di Desa Sawang ini. Banyaknya tambak yang ada di
sekitar desa oleh masyarakat dianggap menjadi penyebabnya.
Nyamuk berkembang biak di tambak-tambak itu. Ketika selesai panen
tambak akan dikeringkan dan diberi racun untuk membunuh bibit
penyakit di dalam tambak supaya ikan atau udang yang akan ditanam
82
nantinya tidak terserang penyakit. Setelah diracun dan didiamkan
selama beberapa hari tambak akan diisi air. Pada saat itulah nyamuk
akan berkembang biak secara besar-besaran di tambak yang baru diisi
air itu. Pada saat bibit ikan atau udang ditebar, jentik-jentik nyamuk
itulah makanan mereka. Apa lagi udang, jentik-jentik nyamuk sangat
disukai oleh udang. Jadi jentik-jentik nyamuk itu memang dipelihara.
Ketika ikan atau udang sudah berumur tiga atau empat minggu baru
bisa diberi pakan tambahan, kalau pakan alami di dalam tambak
seperti lumut tidak banyak.
II. 3. 5. 5. Peluang Usaha di Bawah Hukum Syariat
“Tempat dengan banyak aturan.” Pada awalnya saya tidak
terlalu memberi perhatian ketika seorang pemuda mengatakan hal itu
dalam obrolan di warung pada suatu siang. Di malam harinya dalam
obrolan lain saya mendapat cerita yang menjelaskannya dari Rudi.
Tahun 1994 pantai sangat ramai karena dibuka untuk wisatawan. Pada
awalnyya dia membantu kakaknya berjualan makanan dan minuman
kemasan. Keuntungan yang lumayan membuatnya kemudian memilih
untuk berjualan sendiri. Di samping itu dia juga membuat sumur untuk
mandi bilas bagi wisatawan setelah mandi di laut. Dia masih kecil
ketika itu, tapi dia sudah bisa membayari orang untuk menunggu
sumurnya dengan bagi hasil 2:1.
Di jalan masuk ke pantai para pemuda membikin pos yang
menarik iuran bagi wisatawan yang mau masuk. Hasil dari tiket masuk
ini dibagi untuk yang menjaga dan kampung untuk membangun
manasah serta berbagai keperluan kampung.
Pagi, Minggu 24 desember 2004 tsunami melanda. Itu adalah
hukuman dari Allah kepada masyarakat yang banyak melanggar
aturan agama. Para Tengku di desa merasa perilaku wisatawan
semakin tidak terkendali. Mereka mendekati maksiat. Pasangan
muda-mudi mulai banyak yang mojok di sudut-sudut pantai.
83
Keputusan diambil oleh para tetua desa. Pantai ditutup. Masyarakat
menerima keputusan ini karena memang seperti itulah seharusnya.
Mereka yang dulu mencari nafkah di pantai dengan menjual makanan,
menyewakan sumur untuk mandi bilas, dan para pemuda kampung
yang membuat portal untuk menarik tiket masuk dari para wisatawan
mengiklaskan usahanya.
Gambar 2. 33
Sun Set di Pantai Sawang
Foto : Wirabaskara
Di desa lain ada contoh wisata pantai yang menerapkan
peraturan. Mereka membuat garis pembatas untuk memisahkan
wisatawan laki-laki dan perempuan seperti di masjid. Hal itu untuk
menjauhkan wisatawan dari mendekati maksiat. Para Tengku tetap
merasa akan sangat kesulitan untuk mengatur wisatawan. Jangankan
orang lain, warga sendiri pun sulit untuk diatur oleh mereka. Pantai di
Desa Sawang tetap ditutup. Para pemuda dan anak-anak yang mencari
penghidupan di pantai taat dengan keputusan itu. Mereka rela
melepaskan sumber penghasilan itu.
84
Dulu orang banyak yang membuat kerajinan dari pandan hutan
untuk mengisi kegiatan ketika pekerjaan ke sawah sela. Ketika jeda
masa tanam dengan masa panen orang-orang mencari pandan hutan
yang banyak tumbuh di pantai. Daun-daun pandan itu kemudian
mereka olah dan di simpan. Setelah selesai kegiatan di sawah, pada
musim kemarau mereka membuat kerucut untuk memasak nasi dan
tikar-tikar dengan bermacam motif yang banyak dibeli pedagang dari
berbagai daerah. Waktu itu ketika musim kemarau di mana sawah
tidak bisa ditanami masyarakat masih bisa mendapat penghasilan.
Gambar 2. 35
Senja Pengrajin Pandan
Foto : Wirabaskara
Sekarang hanya tinggal satu-dua orang yang masih membuat
kerajinan dari daun pandan itu. Daun pandan sudah sulit didapat.
Pandan hutan yang banyak tumbuh di pantai sudah dibersihkan warga
supaya pantai tidak lagi kondusif untuk mojok pasangan-pasangan
muda-mudi yang berwisata ke pantai. Supaya orang-orang tidak bisa
lagi mendekati maksiat di pantai.
Sistem pengetahuan yang agamis masyarakat yang taat pada
para Tengku sebagai pemimpin agama memang menjadi fatalistik
85
karena tidak dibarengi kecukupan wawasan dan ilmu dunia. Tsunami
yang terjadi sebelas tahun yang lalu adalah hukuman Allah karena
Desa Sawang membiarkan wisatawan mendekati maksiat. Maka dari
itu pantai ditutup dari wisatawan untuk mencegah jatuhnya hukuman
Allah lagi.
Tsunami, petir yang menyambar-nyambar, angin ribut, dan
berbagai bencana alam yang terjadi adalah tanda-tanda.
Menunjukkan hari kiamat sudah dekat. Penjelasan ilmu alam
bukannya tidak dipercaya, tetapi bukan seperti itu yang telah
dikatangan Tengku-Tengku. Ketika saya menjelaskan pada Wardan
tentang apa itu awan, bagai mana air menguap, dan bagaimana terjadi
hujan, dia mengangguk-angguk. Lain ketika saya mencoba
menjelaskan bagaimana tsunami terjadi. “Bukannya saya tak percaya
ilmu pengetahuan, Bang. Tsunami, petir yang menyambar-nyambar,
itu adalah tanda bahwa hari kiamat sudah dekat. Itu kata Tengku-
Tengku di kampung.” Dia menolak penjelasan ilmiah dari saya karena
sudah punya referensi yang dikatakan oleh para Tengku di kampung.
Apa yang dia dengar adalah tidak benar kalau berbeda dengan apa
yang telah diomongkan oleh para Tengku.
II. 3. 6. Pengambilan Keputusan
II. 3. 6. 1. Tingkat Desa
Di tingkat desa terdapat tiga tokoh yang mempunyai otoritas
dan berperan dalam pengambilan keputusan yang bersifat publik atau
menyangkut harkat masyarakat di kampung. Ke tiga tokoh itu adalah
Pak Geucik atau Kepala Desa atau Kepala Kampung. Sebutan “desa”
dipakai secara resmi dan administrasi pemerintahan. Secara sosial
kultural masyarakat menyebutnya “kampung”. Secara administratif
pemerintahan desa Pak Geucik berperan dalam hal menyutujui dan
mengeluarkan surat-surat dan perijinan. Secara sosial Pak Geucik
86
berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di
kampung yang meliputi sengketa atau konflik antar warga.
Penyelesaian konflik dan masalah secara kekeluargaan di
tingkat desa oleh Pak Geucik secara resmi memang diperkenankan di
Kabupaten Aceh Utara. Dalam menyelesaikan perselisihan antar
warga ini kadang keputusan Pak Geucik tidak diterima oleh warga
yang bersengketa. Ketika terjadi ketidak terimaan seperti ini
permasalahan baru dilimpahkan ke Polsek Samudera.
Sebagai contoh misalnya perselisihan kepemilikan atas ternak
sapi. Masyarakat di Desa Sawang dan desa-desa lainnya memiliki
kebiasaan melepas ternak sapi mereka dan hanya mengandangkannya
pada masa-masa tertentu seperti masa tanam padi atau panen.
Karena berkeliaran selama berbulan-bulan dan gerombolan sapi ini
saling bercampur kadang-kadang ada sapi yang hilang atau mati.
Pemilik sapi yang hilang atau mati ini kadang-kadang mengklaim
bahwa bukan sapinya yang hilang atau mati sehingga dia tetap
menghitung jumlah sapinya seperti semula. Salah satu sapinya tentu
saja menimbulkan sengketa karena ada pemilik lain yang meyakini
bahwa sapi tersebut adalah miliknya. Keputusan Pak Geucik dalam
menyelesaikan sengketa ini kadang tidak diterima oleh pihak yang
kalah sehingga penyelesaian dilimpahkan ke Polsek Samudera. Di
tangan aparat Polsek Samudera keputusan pasti dituruti. Aparat
Polsek Samudera biasanya memutuskan dengan cara menaruh
gerombolan sapi ke dua belah pihak yang bersengketa secara terpisah.
Kemudian sapi yang disengketakan akan dilepas di tengah dan disuruh
memilih sendiri rombongannya. Rombongan yang dipilih oleh sapi
itulah yang diputuskan sebagai pemiliknya.
Tokoh ke dua dalam pengambilan keputusan di tingkat desa
adalah Tengku Raja. Dia adalah Tengku yang memimpin masjid
sehingga kadang disebut juga dengan Tengku Masjid. Karena masjid di
Desa Sawang ini dipakai oleh empat kampung, yaitu Sawang, Puuk,
87
Matang Ulim, dan Blang Nibong maka kepemimpinan Tengku Raja ini
meliputi keempat kampung tersebut. Tengku Raja memegang otoritas
dalam menyetujui tanggal perkawinan atau ijab seseorang dan Tengku
Raja ini pula nantinya yang akan menikahkannya.
Tokoh ke tiga adalah Tengku Imam atau Imam Desa. Tengku
Imam ini memegang otoritas dalam menyetujui tanggal pesta
perkawinan dan berbagai upacara atau perayaan agama di kampung.
Tengku Imam ini pula yang memimpin setiap upacara adat keagamaan
yang diadakan di kampung. Masing-masing kampung yang ada di
bawah kepemimpinan Tengku Raja tersebut di atas mempunyai
Tengku Imam sendiri-sendiri. Warga yang diayomi oleh Tengku Imam
ini sama dengan warga yang diayomi Pak Geucik. Satu kampung.
Ketiga tokoh inilah yang memegang kunci keputusan untuk
menerima atau menolak suatu program atau kelompok dari luar untuk
masuk ke desa. Ke tiganya adalah laki-laki. Saringan pertama untuk
mempertimbangkan suatu kelompok diterima masuk ke desa adalah
“dari mana” dan “tujuannya apa?”
Ketidak jelasan atas kedua pertanyaan tersebut akan
mengundang kecurigaan orang yang akan masuk ke desa sebagai
“intelijen” atau “orang yang akan melakukan kriminal akidah.” Nama
pemerintah manjadi jaminan awal bagi masyarakat desa untuk
menerima kehadiran orang atau program ke desa. Masyarakat relatif
tidak ada penolakan dengan pemerintah meskipun ada trauma
“Darurat Militer” yang menggores dalam.
Di samping Tengku Imam dan Tengku Raja, para Tengku juga
menjadi panutan yang ditaati oleh masyarakat. Informasi yang masuk
ke masyarakat akan disaring oleh informasi yang mereka peroleh dari
para Tengku. Misalnya informasi tentang tsunami secara ilmiah,
bahwa tsunami yang terjadi merupakan gejala alam. Informasi tentang
tsunami sebagai gejala alam seperti ini meskipun sering mereka
88
dengar tetapi tidak mereka percayai karena berbenturan dengan
informasi dari para Tengku yang mengatakan bahwa tsunami terjadi
sebagai hukuman dari Allah karena manusia telah banyak berbuat
maksiat.
Hal seperti itu juga yang mungkin terjadi di pengungsian pasca
tsunami 2004 lalu. Para pengungsi tetap buang air besar di sembarang
tempat meskipun para relawan kesehatan sudah berkali-kali
menyarankan untuk berperilaku sehat. Di samping kemungkinan
kendala bahasa yang tidak dimengerti oleh masyarakat ada baiknya
penyampaian informasi seperti itu dilakukan dengan melibatkan para
Tengku supaya informasi yang disampaikan didengar oleh masyarakat.
Gambar 2. 36
Mandi di Sumur
Foto : Wirabaskara
Dalam tradisi Islam mereka hanya menuruti apa yang
dikatakan oleh para Tengku di desa. Melibatkan para Tengku untuk
89
menyampaikan informasi ini dibutuhkan untuk menghindari benturan
informasi dengan tafsir atas syariat Islam yang dijalankan sehari-hari.
Dalam kasus tersebut Masyarakat di Desa Sawang meyakini bahwa
sebagai orang Islam mereka tidak boleh mandi atau buang air besar di
kamar mandi/WC yang tertutup. Mereka harus melakukannya di
tempat yang terbuka, sehingga kalaupun membuat kamar mandi
mereka membuat kamar mandi yang terbuka.
Masyarakat di Desa sawang biasa mandi di tempat yang
terbuka. Mereka membalut tubuhnya dengan kain sarung atau jarit
untuk menutupi aurat ketika mandi di tempat yang terbuka. Aturan
yang diyakini adalah orang Islam tidak boleh telanjang meskipun di
dalam kamar mandi yang tertutup rapat karena malaikat masih bisa
melihat. Sehingga telanjang di dalam kamar mandi akan tetap terlihat
auratnya oleh malaikat.
II. 3. 6. 2. Tingkat Rumah Tangga
Sebuah rumah tangga dimulai ketika seorang laki-laki mampu
membayar mas kawin kepada seorang perempuan. Mas kawin itu
berupa sepuluh manyam emas. Bisa kurang bisa lebih, tergantung dari
status sosial ekonomi keluarga perempuan. Satu manyam setara
dengan tiga gram emas yang harganya kurang lebih satu setengah juta
rupiah. Di samping manyam emas tersebut ada pula seperangkat alat
sholat atau barang remeh-temeh lain yang menyertainya sebagai mas
kawin. Barang ini jarang dibahas karena jauh lebih mudah dipenuhi
dari pada manyam emas yang diminta. Kalau tidak ada manyam emas
harus ada “uang hangus” yang besarnya setara. Misalnya uang hangus
sepuluh juta.
“Perempuan Aceh itu mahal,” begitulah perbincangan para
bujang. Mas kawin yang diminta keluarga perempuan bisa membuat
seorang laki-laki kalang kabut. Kalau keluarga laki-laki tidak bisa
mengadakan permintaan tersebut maka dia harus mencari sendiri.
90
Bekerja dan mengumpulkan uangnya selama bertahun-tahun. Itu pun
belum tentu terkumpul. Malaysia adalah alternatif yang melegakan
bagi yang mampu berangkat ke sana.
Gambar 2. 37
Gadis Manyam Emas
Foto : Wirabaskara
Setelah siap dengan maharnya perkawinan bisa dilaksanakan.
Ijab dulu saja. Pestanya bisa langsung diadakan setelah ijab atau
waktu lain menurut kemampuan dan kesiapan keluarga perempuan.
Seminggu sebelum hari pesta tuan rumah akan mengadakan upacara
duekpakat. Secara harafiah duek pakat ini berarti duduk dalam
kesepakatan.
Pada acara yang diadakan selepas mahrib ini tetangga akan
berdatangan untuk sekedar menikmati kue dan minuman yang
disajikan dan kemudian membayar kue yang dimakannya. Besaran
sumbangan ini suka rela, tergantung kemampuan pemberi. Setiap
sumbangan akan dicatat oleh empat orang kasir. Dua orang kasir laki-
laki bertugas menerima pembayaran dari kelompok laki-laki dan dua
orang kasir perempuan menerima pembayaran dari kelompok
perempuan. Kelompok laki-laki duduk terpisah dari kelompok
91
perempuan. Dalam sebuah acara duek pakat di Desa Sawang biasa
terkumpul tiga sampai lima juta. Di desa-desa lain yang lebih sejahtera
bisa terkumpul sampai dua puluhan juta.
Pada keramaian acara seperti ini laki-laki bertugas
membersihkan tempat, memasang tenda dan berbagai peralatan,
memasak masakan dalam porsi besar dengan panci besar, menyajikan
hidangan, dan berbagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga berat
lainnya. Sedang perempuan bertugas meracik bumbu dan bahan
masakan, memasak masakan yang ringan-ringan seperti kue-kue,
mempersiapkan makanan untuk disajikan, dan mencuci piring.
Kalau upacara ijab dipimpin oleh laki-laki, yaitu Tengku Raja.
Sedangkan dalam upacara adat perkawinan ini akan dipimpin oleh
seorang perempuan yang dituakan. Beliaulah yang akan memimpin
setiap prosesi dalam pesta tersebut.
Gambar 2. 38
Pesta Perkawinan Adat Aceh
Foto : Wirabaskara
Demikianlah rumah tangganya menjadi sah secara agama dan
adat. Suami akan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya. Suami harus berkerja. Sering juga perempuan membantu
berkerja menggarap sawahnya sendiri atau menjadi buruh tani. Di luar
92
waktu berkerja itu perempuan bertanggung jawab mengurusi
keperluan rumahnya. Dari mulai mencari kayu bakar, belanja, mencuci
pakaian, memasak, sampai mengurusi anak. Suami kadang-kadang
membantu pekerjaan itu tapi hanya sedikit saja. Laki-laki lebih banyak
menggunakan waktu luangnya untuk nongkrong di kedai.
Orang yang sudah menikah dan masih tinggal di rumah orang
tua hidup dalam satu tungku. Dapur keluarga dalam satu rumah
menjadi satu, tidak memisah tiap keluarga inti. Kalau ada keluarga inti
yang mau membuat dapur atau tungku sendiri dia harus memisah
rumah. Kalau ada masa sulit ekonomi bila sebuah keluarga kehabisan
bahan makanan mereka akan mengeluh pada tetangga yang dekat
untuk diberi uang atau beras. Kalau tidak mengeluh, orang lain tidak
akan tahu kalau keluarganya kehabisan bahan makanan jadi tidak
dibantu. Solidaritas seperti ini sudah terbangun sejak masa lajang. Di
kalangan pemuda lajang mereka saling memberi ketika ada kawan
yang tidak punya uang. Sekedar rokok ketengan atau jajan di kedai.
Kadang juga mereka saling mengasih uang, sekedar lima ribu atau
sepuluh ribu.
93
BAB III
MENILIK KESEHATAN DESA SAWANG
III. 1. Potret Balita
Desa Sawang menjadi salah satu desa di Kecamatan Samudera
yang memiliki potret jumlah balita yang cukup banyak, berdasarkan
data yang diberikan oleh bidan desa kepada peneliti, pada tahun 2015
terdiri dari sejumlah 33 ibu hamil, 31 ibu bersalin, 30 bayi, 218 balita,
328 WUS22, dan 370 PUS23. Artinya, dari jumlah sasaran kelompok
umur tersebut terdapat 21% nya merupakan kelompok balita dan 25%
dari kelompok umur tersebut merupakan bayi dan balita24. Saat
melakukan observasi banyak ditemukan balita yang sedang bermain,
berada di ayunan anak maupun digendong di Desa Sawang. ”Disini
lebih banyak anak-anak, pemuda-pemudinya malah sedikit”(Agis).
Dunia penuh dengan keceriaan anak dapat ditemukan disini.
Gambar 3.1
Balita di Desa Sawangsedang bermain dan digendong di depan rumah di pagi
hari.
Sumber: Khodijah
22 Singkatan dari Wanita Usia Subur 23 Singkatan dari Pasangan Usia Subur 24 Data diperoleh dari catatan bidan desa
94
III. 1. 1. Cakupan Balita Ditimbang
Indikator program yang dihitung untuk penimbangan Balita
ditimbang adalah D/S dimana D adalah jumlah balita ditimbang berat
badannya di sarana pelayanan kesehatan termasuk posyandu di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Sedangkan S adalah jumlah
semua balita yang ada di seluruh posyandu yang melaporkan di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Pada tahun 2013 tercatat
bahwa cakupan D/S yang ditimbang di Kabupaten Aceh Utara
sebanyak 45.807 balita (83.7%).25Sedangkan menurut IPKM, cakupan
balita ditimbang di Aceh Utara sebanyak 52.0% yang dapat diartikan
bahwa setiap sepuluh balita, 5 balita melakukan penimbangan di Aceh
Utara.26 Melihat secara langsung di Desa Sawang, Peneliti menemukan
beberapa hal yang perlu digali kembali.
Penimbangan balita dilakukan di Posyandu Desa Sawang dan
biasanya dilakukan di meunasah27. Kegiatan penimbangan dilakukan
oleh kader kepada balita dan dilakukan pencatatan setiap bulannya
sehingga diperoleh data hasil penimbangan berat badan setiap
bulannya yang dapat dievalusi oleh bidan desa.
Tabel 3.1 Tabel Jumlah dan Cakupan Balita Ditimbang di Posyandu Desa Sawang pada bulan Januari-Mei Tahun 2015.
Bulan Jumlah ditimbang D/S
Januari 248 96 38%
Februari 248 96 38%
Maret 248 100 40%
April 248 100 40%
Mei 248 27 10%
Sumber: Pencatatan bidan Desa Sawang.
Melalui hasil pencatatan di posyandu Desa Sawang pada
tahun 2015 ditemukan bahwa pada bulan Januari balita di Desa 25 Profil Kesehatan Aceh Utara 2013 26 IPKM Tahun 2013 27 Balai tempat kegiatan masyarakat
95
Sawang yang mengalami peningkatan berat badan sebanyak 83 balita
sedangkan yang mengalami berat badan turun sebanyak 13 balita.
Pada bulan Februari diperoleh 87 balita mengalami peningkatan berat
badan dan sebanyak 9 balita mengalami berat badan turun. Pada
bulan Maret diperoleh 93 balita mengalami peningkatan berat badan
dan sebanyak 7 balita mengalami berat badan turun. Di Bulan April
terjadi peningkatan berat badan pada 91 balita dan terjadi penurunan
berat badan pada 9 balita.
Berdasarkan pencatatan tersebut. Jumlah rata-rata balita yang
ditimbang di posyandu dan puskesmas sebanyak 98 balita, sedangkan
pada pelaksanaan posyandu yang dilaksanakan pada bulan Mei
tercatat 27 balita yang melakukan penimbangan di posyandu.
Cakupan penimbangan balita di Desa Sawang ialah sebanyak 40%
pada bulan April, namun terjadi penurunan angka menjadi 10% pada
bulan Mei, yaitu saat peneliti sedang berada di Desa Sawang.28
Gambar 3.2
Ibu balita sedang menimbang balita yang ketakutan.
Sumber: Dokumentasi peneliti
28 Berdasarkan perhitungan cakupan D/S melalui data yang diperoleh dari bidan Desa Sawang .
96
Kegiatan penimbangan dilakukan setiap pelaksanaan kegiatan
Posyandu. Desa Sawang memiliki timbangan yang disediakan untuk
kegiatan posyandu setiap bulannya serta dikelola oleh kader.
Peralatan timbangan dalam kondisi yang baik. Penimbangan dilakukan
oleh kader dan dilanjutkan pencatatan oleh petugas puskesmas.
Dalam pelaksanaan penimbangan berat badan balita ini dilakukan
pencatatan oleh petugas puskesmas, sedangkan kader dan ibu balita
tidak melakukan pencatatan serta tidak dilakukan pengisian KMS29
untuk ibu balita.
Gambar 3.3
Alat Penimbangan Bayi di Puskesmas
Sumber: Dokumentasi peneliti
Penimbangan tidak hanya dilakukan di Posyandu, beberapa
masyarakat pergi ke puskesmas dan melakukan penimbangan balita
sekaligus dengan program imunisasi balita yang diselenggarakan oleh
Puskesmas Samudera. Pencatatan jumlah balita ditimbang merupakan
hasil dari pencatatan balita ditimbang di Posyandu Desa Sawang
ditambah dengan penimbangan balita di Puskesmas Samudera.
29 Kartu Menuju Sehat
97
III. 1. 2. Apa Kabar Imunisasi?
Imunisasi merupakan pemberian vaksin terhadap bayi agar
tidak terkena penyakit infeksi yang berbahaya. Imunisasi bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak
akibat penyakit infeksi.30 Itulah alasan mengapa imunisasi dilakukan di
seluruh daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh. Selain itu,
program prioritas yang ditentukan oleh provinsi Aceh di sektor
kesehatan ialah kesehatan ibu dan anak, gizi, pemberantasan
penyakit menular dan termasuk imunisasi.
Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan yang ada di Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh, capaian cakupan imunisasi untuk DPT1 dan
HB1 mencapai 92.341 (87%), DPT3 dan HB3 86.603 (81%), cakupan
imunisasi campak bayi mencapai 85.264 (80%) sementara yang drop
out DPT1 sampai campak adalah 7.7%. Imunisasi BCG sampai saat ini
masih mencapai 92.167 (87%), Polio4 mencapai 88.693 (83%) dan
imunisasi dasar lengkap 78.225 (73%).31Provinsi Aceh memiliki target
cakupan imunisasi sebanyak 90%32, akan tetapi pelaksanaannya masih
belum mencapai angka tersebut, imunisasi dasar lengkap yang telah
tercatat di kabupaten Aceh Utara yaitu 73%, selisih 17% untuk
mencapai target 90%.
Kabupaten Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif
melalui imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian
imunisasi BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan
HB3 9.880 (80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916
(80.9%).33 Capaian imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa
capaian Aceh Utara masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.
30 Profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2013 31Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 32 Profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2013 33 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013
98
Target cakupan imunisasi Desa Sawang di tahun 2015 ialah
80%.34 Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan yang dilakukan
oleh bidan Desa Sawang di Puskesmas Samudera pada tahun 2015
pada bulan Januari-April diperoleh hasil capaian cakupan imunisasi di
Desa Sawang sebagai berikut, untuk capaian imunisasi HB0 sebesar
9.1 %, capaian imunisasi BCG sebesar 9.1 %, capaian imunisasi DPT
sebesar 0%, capaian imunisasi Polio 1 sebesar 25%, capaian imunisasi
Polio 4 sebesar 9.1 % dan capaian imunisasi Campak sebesar 9.1 %.35
Angka tersebut menunjukkan adanya range yang cukup jauh antara
target dan capaian di lapangan.
Pencatatan dan pelaporan dilakukan setiap bulannya kepada
Puskesmas Samudera oleh bidan desa yang bertugas. Bidan Desa yang
berada di Sawang terdiri dari satu orang bidan desa dan satu orang
kepala pustu yang juga dapat memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat di Desa Sawang. Kegiatan imunisasi tercatat
merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan di posyandu maupun di
Puskesmas Samudera. Pencatatan dilakukan di buku kuning bidan dan
dilaporkan kepada puskesmas setiap bulannya untuk dilakukan
pencatatan dan pelaporan setiap bulannya oleh Puskesmas Samudera.
Gambar 3.4
Buku Pencatatan Imunisasi Desa Sawang
Sumber: Dokumentasi peneliti
34 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013 35 Data Imunisasi 40 Desa Puskesmas Samudera tahun 2015
99
Berdasarkan hasil pencatatan tersebut tidak ditemukan bayi yang
memperoleh imunisasi secara lengkap di desa Sawang. Namun
berdasarkan informasi yang disampaikan oleh bidan desa, terdapat
bayi yang memperoleh imunisasi secara lengkap.
“Ada imunisasi yang lengkap.Ada yang mau emang mau,
enggak usah kita bilang, kadang kan datang sendiri gitu.
Kadang ada yang lagi demam kan kita enggak berani. Imunisasi
lengkap ada, tapi catatannya di buku kuning, di puskesmas
bukunya”(Bidan Desa).
Peneliti pun mendatangi puskesmas untuk menemukan data
masyarakat Desa Sawang yang memperoleh imunsasi lengkap, namun
menurut pengamatan terhadap buku tersebut tidak ditemukan balita
yang telah melakukan imunisasi lengkap tercatat.Sedangkan
berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa informan
yang memiliki anak balita maupun yang telah tumbuh dewasa, tidak
ditemukan anak yang telah memperoleh imunisasi lengkap.
“Ya cuman timbang aja enggak ada suntik,kan suntik enggak dikasih
sama Ayahnya.”36 (Ibu N)
“Kalau posyandu ikut-ikut cuman enggak di kasih suntiknya itu,kasih
vitaminya aja udah cukup.”(Ayah R)
“Ya belum ni.ya kan kek kemaren rencana mau dibawak pas
imunisasi di laksanakan di menasah yakan?ya tau-taunya imunisasi
udah siap kadang – kadang kek kemaren mau dibawak udah cuaca
agak mendung yakan udah engak berani lagi saya bawak karna takut
sama petir.dia pun kemaren udah tidur gitu.” (Bu F)
Dalam pelaksanaanya, imunisasi dilakukan oleh bidan dan
petugas kesehatan dari puskesmas. Petugas kesehatan sendiri
mengalami beberapa kendala dan tantangan dalam melaksanakan
imunisasi sehingga capaian yang diperoleh belum mencapai target dan
36
Disuntik diartikan sebagai imunisasi bagi masyarakat Desa Sawang.
100
menjadi salah satu fokus utama bagi puskesmas dalam mengatasinya
agar memperoleh peningkatan cakupan imunisasi di Desa Sawang.
Beberapa upaya yang dilakukan ialah melakukan imunisasi
door to door, “. Tiap bulan saya adakan bagi yang mau tetap mau kan,
ada program sweeping37 ke rumah-rumah juga. Tapi gimana kita buat
kok enggak mau ya tetap nggak mau gitu.” Begitulah bidan desa
mengupayakan imunisasi dapat berjalan dan terlaksana di Desa
Sawang.
Masyarakat Desa Sawang sendiri menyatakan bahwa beberapa
kali kegiatan posyandu masih kurang dalam hal sosialisasi ataupun
pengumuman kepada masyarakat sehingga beberapa ibu pun datang
terlambat dan tidak mengikuti imunisasi. Selain itu, beberapa juga
mengatakan bahwa adanya larangan dari suami untuk tidak
diimunisasi yang menggunakan suntik. “Ya cuman timbang aja enggak
ada suntik, kan suntik enggak diberi ijin sama Ayahnya.”(Nisa) Alasan
lainnya bagi masyarakat yang tidak mengikuti imunisasi ialah
banyaknya bekerja yang membuat ibu tidak mungkin membawa
anaknya ke posyandu karena sibuk mengurus kedua anaknya di rumah
yang masih bayi dan balita.
III.1.3. Kisah ASI Eksklusif di Desa Sawang
ASI38 merupakan investasi besar bagi perkembangan balita
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi balita. ASI merupakan makanan
khusus bayi dalam memenuhi kebutuhan kalori, asam lemak, laktosa
dan asam amino dalam proporsi yang tepat. ASI juga memberikan
perlindungan pada bayi baru lahir karena kaya akan imunoglobulin
sebagai antibodi yang diperlukan untuk kekebalan tubuhnya.39
37Sweeping yang dimaksudkan ialah melakukan imunisasi secara aktif dengan berkeliling desa dari rumah ke rumah untuk melakukan imunisasi. 38 Singkatan dari Air Susu Ibu 39 Suhardjo.Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:2000
101
Bagi masyarakat Desa Sawang, pemberian ASI merupakan
salah satu hal penting yang dipercaya baik untuk kesehatan, selain itu
adanya perintah menyusui dalam Al-Qur’an40 juga turut mendorong
perilaku menyusui anak di Desa Sawang. “Iya 2 tahun dulu disusuin.
Kan ada juga dalam Al-Qur’an ya. Waktu berhentiinnya macem-
macem caranya”(KR)
ASI bagi Ibu Fifi yang memiliki anak berusia 6 bulan memilih
menggunakan susu formula di awal kelahiran anaknya disebabkan
karena ASI tidak keluar di 7 hari pertama kelahiran anaknya sehingga
harus menggunakan susu formula selama tujuh hari. Namun setelah
itu Ibu Fifi melanjutkan dengan pemberian ASI. Lain hal nya dengan Bu
Fifi, Ibu Faiz dapat langsung memberikan ASI setelah melahirkan,
namun karena terhambat dengan pekerjaannya sebagai guru sehingga
ia sedang mencoba membiasakan anaknya agar bisa meminum susu
formula, walaupun setelah dicoba ternyata anaknya muntah. Alasan
beliau ialah karena Bu F harus bekerja setiap pagi ke sekolah sehingga
tidak bisa memberikan ASI terus menerus, sedangkan anaknya pun
akan dirawat oleh adiknya di rumah sampai ia pulang dari sekolah.
“ASI lah. Kalau dia dikasih susu kan muntah, karna kan
saya sekolah, pengen nya sih kan dua-duanya dia mau
karena dia maunya ASI ya apa boleh buat kan. Karna
udah pernah saya coba kasih kemaren sekali disuruh
sama ayahnya kan. Pas di minum muntah dia.”(Bu F)
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan
minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan, air susu ibu merupakan
makanan dan minuman terbaik untuk bayi usia 0-6 bulan karena
mengandung unsur gizi yang dibutuhkan guna perlindungan,
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pemberian ASI harus tetap
40 Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233(Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyususi secara sempurna.)
102
dilanjutkan sampai bayi usia 2 tahun walaupun bayi sudah makan.41
Pemberian ASI eksklusif harus dilakukan selama 6 bulan. Persentase
bayi yang diberi ASI eksklusif di Provinsi Aceh pada tahun 2012
mencapai 27%.42Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Aceh Utara pada
tahun 2013 sebesar 55,27%. 43
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa
ibu, semua ibu menyatakan memberikan ASI kepada anaknya namun
juga memberikan tambahan lain selain ASI. Hal ini tentunya
menggagalkan program ASI eksklusif yang baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan bayi dan balita. Informan Ibu K menyatakan
bahwa sejak usia 1 bulan anaknya telah diberikan pisang dan nasi.
Begitu juga dengan Bu N, ibu muda berusia 17 tahun yang memiliki
anak berusi 3 bulan pun telah memberikan bubur instan kemasan
untuk anaknya.
“Pas lahir ada sebulan dia makan nasi pisang terus
saya kasih,Ya siap sebulan itu udah enggak mau lagi
dia nasi pisangnya,jadi saya kasih bubur sun aja.Apa
susu enggak ada susu. ASI terus dari pertama dia.” (Bu
N)
Masyarakat menilai bahwa anak-anak membutuhkan asupan
lain selain ASI sebagai sumber makanan bagi anaknya. Kebiasaan
memberikan pisang setelah lahir pun dilakukan oleh para ibu dan jika
anaknya tidak menerima pisang dan nasi tersebut, maka akan diganti
dengan makanan pengganti lainnya yang dianggap dapat
mengenyangkan bayi seperti bubur instan kemasan dan biskuit.
Salah seorang bidan yang bertugas di Pustu Desa Sawang pun
mengatakan bahwa dalam meningkatkan cakupan ASI eksklusif masih
mengalami kesulitan. Setiap kali membantu persalinan, Bu Dhea akan
menyampaikan kepada para ibu untuk tidak memberikan pisang
41 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013 hal 19 42 Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2012 43 Profil Kesehatan Aceh Utara tahun 2013
103
kepada anaknya, namun tetap saja diberikan oleh para ibu. Suatu
ketika ada ibu yang datang membawa anaknya karena mencret,
kemudian bu Dhea pun mengatakan itulah akibatnya jika anak bayi
diberi pisang. Para ibu pun biasanya akan memberikan jawaban yang
relatif sama yaitu menjawab bahwa anaknya akan menangis terus
menerus jika tidak diberi makanan. Meskipun begitu, sebagai bidan
yang berada di Desa Sawang bu Dhea terus memberikan edukasi
mengenai ASI eksklusif kepada masyarakat, terutama para ibu.
Menurut paparan bu Dhea, masih ada ibu yang menurut dan
merasakan manfaatnya sehingga menjadi percontohan bagi bu Dhea
kepada ibu-ibu yang lain.
III.1.4. Dalam Kemandirian Anak Desa Sawang
Pola pengasuhan merupakan salah satu hal penting dalam
membangun dan mendidik generasi selanjutnya.Balita sebagai masa
emas dalam mendidik anak dan membentuk perilaku anak yang dapat
melekat hingga masa pertumbahannya menjadi seorang remaja
maupun dewasa. Selain membangun perilaku sehat sejak kecil,
merupakan investasi bagi Desa Sawang sendiri dalam menghasilkan
generasi yang sehat dan berkualitas. Ahli mengemukakan bahwa gizi
kurang pada masa bayi dan anak-anak mengakibatkan kelainan yang
sulit atau tidak dapat disembuhkan dan menghambat dalam
perkembangan selanjutnya.44
Sawang sebagai desa yang ramai akan balita, hampir 25% dari
penduduknya, memiliki banyak cara dalam melakukan pola asuh
terhadap anak-anaknya yang dapat diamati. Pola asuh tersebut pun
beragam dan dipengaruhi oleh aktivitas orang tuanya.“Biasanya anak-
anak makan-makan snack gak makan nasi, tapi si Mirah mau. Makan
terus, susu,roti.”(Ibu Mirah)
44Stoch&Smythe, 1963 dalam Suhardjo.Pemberian Makanan Tambahan pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:Kanisius.2000.hal 13
104
Dengan sepedanya, Mirah setiap hari mengayuhkan sepeda di
depan rumahnya. Bersama temannya ia selalu bermain di sekitar
rumah yang mudah dipantau oleh ibunya. Setiap pagi setelah selesai
mandi, ia bersama temannya akan bermain dengan sepedanya. Setiap
hari, kecuali ia dan keluarganya pergi. Ayah Mirah bekerja jauh dari
Desa Sawang, dan biasanya pulang seminggu sekali atau dua minggu
sekali. Setiap kali ayahnya pulang, merupakan waktu penting yang
digunakan untuk acara keluarga. Mirah tumbuh dalam pantauan
ibunya, saat makan, mandi dan bermain. Ibu Mirah menjaga sekaligus
mendidik Mirah pada masa pertumbuhannya. Mirah menyukai jajan,
menjadi alasan ibu Mirah membuka kedai yang menjual khusus
jajanan anak-anak. Hal ini selain dapat memantau makanan atau
minuman anak, ibu Mirah juga merasa tidak perlu lagi mengantar
anaknya jajan saat sedang sibuk di rumah.“Karena si Mirah suka jajan
makanya buka kedai ini, jadi kalau lagi nyuci ga susah ngatar-ngantar
lagi. Kan bilang mak jajan, waktu kita ada kerjaan”(Ibu Mirah)
Zuleha sudah terbiasa tidur bersama Wati45 , begitu juga
kakak-kakaknya. Zuleha merupakan anak bu geuchik yang memiliki
tanggung jawab menghadiri dan membantu pada setiap pelaksanaan
kenduri di Desa Sawang. Selain itu, bu geuchik46 juga sebagai kader
Posyandu dan memiliki kesibukan sehari-hari menjaga kedai. Belum
lagi pekerjaan rumah tangga, seperti menyuci, memasak dan
menyetrika. Memang sejak anak perempuannya yang kedua, ketiga
dan Zuleha dirawat oleh Wati, bahkan anak-anaknya tidak mau tidur
bersama ibunya. Zuleha tumbuh dan kembang bersama Wati, pada
siang hari biasanya Zuleha datang ke kedei dan bermain di kedei
berjumpa ayah dan ibunya.
”Zuleha ga mau itu tidur sama saya, waktu itu pernah
saya bilang kan nanti dibelikan ini itu kalau mau tidur
45 Sebutan terhadap kakak ibunya (tante) 46 Panggilan kepala desa di Desa Sawang
105
sama saya, tapi tetap saja tidak mau. Kakak-kakaknya
dulu juga gitu.”(bu geuchik)
Zuleha dididik dengan kemandirian sehingga ia tumbuh
menjadi anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan melakukan
segala sesuatunya sendiri. Pola makan yang biasa dilakukan ialah saat
merasa lapar, Zuleha akan meminta makan pada Wati saat lapar. Ia
sangat menyukai makan sendiri dengan menggunakan tangannya, saat
akan disuap oleh kakaknya, ia justru akan marah dan tidak mau
makan. Begitu juga dengan makanan lainnya, seperti mangga, ia akan
mengambil pisau dan mengupasnya sendiri. Zuleha pun tanpa rasa
takut menggunakan pisau, meskipun telah dilarang, Zuleha akan
menolak dan tetap menggunakan pisau tersebut dan hal tersebut
menjadi sesuatu yang biasa bagi masyarakat. Saat ditanyakan kepada
salah satu informan yang biasa menjaga anak dikatakan bahwa
menjadi hal yang biasa.
Gambar 3.5
Anak-anak Menggunakan Peralatam Tajam
Sumber:Dokumentasi peneliti
Zuleha melihat dan meniru perilaku orang dewasa sehingga ia
melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain yang ia lihat. Perilaku
membuang air kecil pun dilakukan karena mengikuti apa yang
106
dilakukan oleh kakaknya. Saat dirasa kesulitan memperoleh air47,
Zuleha akan langsung membuang air di halaman rumahnya. Perilaku
membuang air kecil di halaman tersebut menjadi salah satu perhatian
peneliti dalam pola pengajaran perilaku hidup bersih dan sehat.
Zuleha tidak mencuci tangannya setelah buang air kecil di halaman,
setelah itu Zuleha akan kembali melakukan aktivitas seperti makan
dan minum.
Sumber air memang diperoleh dari sumur sehingga anak-anak
perlu memperoleh air dengan bantuan orang dewasa. Pada beberapa
kesempatan saat di rumah bu geuchik, Zuleha bermain dengan kakak
dan teman-temannya di rumah tanpa pengawasan orang tua. Kakak
Zuleha yang biasa menjaganya di rumah berusia 8 tahun dan 13 tahun.
Minul yang masih berusia 8 tahun memiliki aktivitas sekolah dan
bermain setiap harinya. Sedangkan Selvi sekolah dan melakukan
pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Saat
Wati memiliki kegiatan lain untuk dilakukan, maka Zuleha akan tinggal
di rumah dan diasuh oleh kakak-kakaknya. Pola asuh yang diterima
pun lebih banyak melalui apa yang diberikan oleh kakak-kakaknya dan
Wati.
Gambar 3.6
Balita Buang Air Kecil di Depan Rumah
Sumber: Dokumentasi peneliti
47karena sumber air di kamar mandi harus diambil dengan timba air di sumur
107
Minul merupakan anak keempat dari lima bersaudara yang
berusia 8 tahun. Setiap pagi, ayah dan ibunya sudah berangkat ke
kedai sehingga ia terbiasa untuk bangun sendiri. Setiap hari Senin,
Minul tidak berangkat ke sekolah karena ada upacara. “Kalau Senin
dia memang gak ke sekolah, malas ada upacara.”(bu geuchik) Selain
hari senin, Minul akan bangun pagi dan berangkat ke sekolah.
Sebelum berangkat, Minul mencuci muka dan langsung menggunakan
pakaian sekolahnya, berangkat dengan sepedanya dan terkadang
bersama temannya. Minul tidak mandi dan sikat gigi di pagi hari,
cukup dengan mencuci muka Minul berangkat ke sekolah, lagi
kemandiriannya memutuskan untuk tidak mandi, sikat gigi dan
sarapan.
Kakaknya bernama Selvi, sekolah di SMP Sawang yang dapat
dilalui dengan berjalan kaki setiap harinya. Selvi setiap paginya
berangkat bersama temannya dan beberapa kali dibangunkan oleh
temannya yang mengajak Selvi berangkat sekolah bersama. Selvi
mandi dan berangkat sekolah bersama teman-temannya. Ketika Selvi
bangun lebih pagi, ia akan mencuci piring terlebih dahulu.
Keduanya berangkat ke sekolah tanpa sarapan pagi. Biasanya
setiap sekolah akan diberikan uang jajan dan anak-anak akan membeli
makanan atau minuman di sekolahnya. Kebiasaan sarapan pagi belum
biasa dilakukan oleh anak-anak begitu juga para orang tua yang belum
menjadikan sarapan sebagai kebiasaan. “Kadang-kadang kue, ga ada
lauk malas masak.”(RIKA)Sedangkan informan bu geuchik mengatakan
“ Kalau gak ada Siti, disini biasanya gak masak pagi, disini gak makan
pagi.”(bu geuchik)
Mengenai makan, Minul tidak menyukai ikan ataupun ayam.
Ketika makanan yang tersedia adalah ikan, Minul akan ke kedei
mengambil telur dan menggorengnya sendiri sebelum makan. Hampir
setiap hari Minul memakan menu telur tanpa sayur, karena ia pun
tidak menyukai sayur. Lain lagi dengan adiknya. Zuleha menyukai ikan,
ia biasa makan sedikit-sedikit namun berulang kali, dalam sehari saja
108
ia dapat makan nasi sampai lima kali dengan jadwal makan yang tidak
teratur, kapan lapar disitulah makan atau saat melihat kakaknya
makan ia pun ingin ikut makan.
Kemandirian mereka membuat mereka makan dengan jadwal
sesuka hati, bahkan terkadang tidak makan, hanya jajan makanan di
kedei seperti mie atau memakan buah-buahan yang dapat langsung
dipetik dari pohon. Salah satu yang mendukung kebiasaan hidup sehat
di Desa Sawang ialah banyaknya ditemukan buah-buahan di Desa
Sawang. Saat sedang berbuah pohon mangga, setiap hari anak-anak
pun akan makan mangga yang diambil langsung dari pohonnya, begitu
juga dengan pohon jambu dan buah lainnya. Anak-anak akan
mengambil buah dan saling berbagi dengan temannya saat bermain.
Buah menjadi makanan konsumsi sehari-hari secara gratis dan sehat.
Jumlah yang dimakan pun lebih dari satu buah.
III. 2. Potret Kesehatan Lingkungan
Lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kesehatan, menurut
teori H.L Blum menyatakan bahwa lingkungan menjadi salah satu
faktor mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
III.2.1. Sumber Air Bersih
Air menjadi salah satu kehidupan yang tak dapat dilepaskan
dari kehidupan desa Sawang, dari kegiatan personal hygiene sampai
kegiatan menyiram tanaman di ladang menjadikan air sebagai
kebutuhan. Sumber air bersih yang tersedia di Desa Sawang ialah air
sumur yang digunakan untuk kebutuhan personal hygiene, memasak,
mencuci, air minum, bahkan menyiram tanaman di ladang-ladang
masyarakat. Setiap rumah memiliki sumur sebagai sumber utama air
bersih. Sumur yang digunakan merupakan sumur cincin dengan
kedalaman sekitar 5 meter. Air diambil menggunakan timba. Air yang
yang diperoleh beragam, ada yang beruntung dengan air yang jernih
dan tidak berwarna, namun ada juga yang memperoleh air sumur
yang berwarna kekuning-kuningan.
109
Gambar 3.7
Sumur sebagai sumber air bersih
Sumber:Dokumentasi peneliti
Air sumur digunakan sebagai sumber air minum, air akan di
masak dengan kayu bakar dan siap diminum oleh masyarakat. Air
tersebut pun ada yang berwarna dan ada yang jernih, bergantung
pada kondisi sumur. Pada musim kemarau, jumlah air akan menjadi
lebih sedikit, namun kebutuhan air selalu ada untuk masyarakat.
Sebagian masyarakat pun mulai menggunakan air isi ulang sebagai
sumber air minum sehari-hari. Harga air isi ulang yang dijual di desa
Sawang ialah Rp5.000,00 sampai dengan Rp6.000,00 per galon.
Gambar 3.8
Air minum dari sumur yang berwarna kekuning-kuningan.
Sumber: Dokumentasi peneliti
110
III.2.2. Saluran Pembuangan Air Limbah
Setiap rumah menghasilkan air limbah rumah tangga, begitu
juga setiap kamar mandi yang menghasilkan air limbah. Kebiasaan
mandi di alam terbuka mengahasilkan genangan-genangan air hasil
pakai, begitu juga air yang dibuang dari kamar mandi hasil kegiatan
mandi dan mencuci. Setiap rumah di Desa Sawang memiliki halaman
ataupun tanah kosong di sekitar rumah. Air limbah dibuang di tanah
terbuka dan tidak ada pembuatan saluran pembuangan air limbah. Air
dibiarkan mengalir dan menghasilkan genangan berwarna dan berbau.
Gambar 3.9
Genangan Air Limbah
Sumber: Dokumentasi peneliti
Genangan air tersebut menjadi salah satu penemuan yang
selain mengganggu estetika alam juga dapat menjadi sumber
penyebaran penyakit. Genangan yang berada di sekitar rumah dimana
anak-anak menggunakannya sebagai area bermain dapat menjadi
salah satu faktor penyebaran penyakit.
III.3. Potret Penyakit Tidak Menular
Gaya hidup, pola makan, kebiasaan merokok dan asupan gizi
mempengaruhi status kesehatan masyarakat, termasuk menjadi salah
satu faktor pendorong penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular
menjadi salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan
meningkatkan angka kesakitan pada masyarakat.
111
Tabel 3.2 Data 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Samudera pada
Bulan Januari-April 2015
No. Penyakit Januari Februari Maret April
1. ISPA 124 127 155 130
2. Dispepsia 150 162 168 156
3. DM 90 100 82 88
4. Gastritis 87 89 95 98
5. Hipertensi 80 98 180 145
6. Hipotensi 76 72 80 66
7. Remathoid Arthritis 70 64 70 75
8. Dermatitis 66 57 60 71
9. Conjuntivitis 65 80 86 89
10. Asma Bronchial 50 70 68 69 Sumber: Data Puskesmas Samudera bulan Januari-April tahun 2015
Berdasarkan hasil pencatatan data kunjungan di Puskesmas
Samudera menunjukkan bahwa penyakit ISPA, Dispepsia, DM,
Gastritis, Hipertensi, Hipotensi, Remathoid Arthritis, Dermatitis,
Conjuntivitis, dan Asma Bronchial merupakan sepuluh penyakit
terbanyak yang dijumpai di Puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan, penyakit tidak menular yang banyak ditemukan di
Desa Sawang ialah diabetes melitus.“Diabetes, banyak itu dulu yang
meninggal karena kencing manis disini. Klo orang Aceh bilangnya
darah manih.”(RIKA)
III.3.1. Mengenal Diabetes Melitus bagi Desa Sawang
Berdasarkan IPKM 2013 menunjukkan skor prevalensi diabetes
melitus ialah 1.1. Diabetes melitus disebut juga sebagai salah satu
penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat.
Diabetes melitus memiliki cerita tersendiri bagi masyarakat
desa sawang. Kenangan mengenai kerabat dan keluarga yang terkena
penyakit diabetes melitus menjadi pelajaran mengenai diabetes
melitus. Melalui pengalaman keluarga yang terserang penyakit
diabetes melitus dan kemudian meninggal, masyarakat mengenal
112
faktor penyebab diabetes yang salah satunya ialah karena konsumsi
makanan yang manis secara berlebihan.
Pengetahuan tentang diabetes pun baik, saat ditanya kepada
Pak Geuchik mengenai Diabetes Melitus, ia pun mampu menjelaskan
bahwa jika terkena penyakit diabetes saat kadar gulanya lebih dari
200 dan menyebutkan pantangan-pantangan. “Ayah berapa
gulanya?kalau diabetes diatas 200 itu diabetes, kalau dibawah 200 itu
normal. Kurangi makan nasi kalau diabetes”(Pak geuchik). Pak geuchik
sendiri terkena penyakit diabetes sejak 2 tahun lalu. Tubuhnya
semakin kurus diakibatkan diabetes. Banyak orang pada saat itu
mengatakan bahwa umurnya tidak lama lagi, karena kebanyakan
orang di Desa Sawang yang terkena diabetes melitus mengalami
kematian.“Ada disini yang kena darah manih, tapi meninggal semua.
Biar pantang juga gak sembuh”(RIKA)
”Kata orang-orang itu banyak itu yang bilang ke pak geuchik
bentar lagi itu karena sudah kurus, tapi sekarang
Alhamdulillah sekarang udah sembuh. Kalau diabetes gak
boleh banyak makan nasi, sekarang pak geuchik makannya
sedikit gak banyak kayak dulu. Lihatkan foto pak geuchik?
Dulu besar badannya.”(Bu Geuchik)
Masyarakat beranggapan bahwa penyakit diabetes melitus
adalah salah satu penyakit yang akan berakhir dengan kematian dan
sangat sulit untuk memperoleh kesembuhan. Informan Rajak yang
ayahnya mengalami kematian akibat penyakit diabetes pun
mengetahui mengenai diabetes melitus yang lebih dikenal kencing
manis atau darah manih dalam bahasa Aceh sebagai penyakit yang
mengakibatkan kematian.
“Gak sembuh. Meninggal. 1 tahun lebih, karena kan kami
pengobatannya pun kurang. Sempat ke dokter.
Berobatnya gratis, dua kali ke dokter. Gulanya turun. Yang
namanya penyakit gula ini kan gak sanggup pantang,
bawaannya laper aja. Karena itu ga berpantang, terus
kambuh lagi bawa ke rumah sakit. Alhamdulillah sembuh.
113
Pulang lah ke kampung. Beberapa bulan kemudian
kambuh lagi. Yang dulunya badan gemuk tiba-tiba kurus.”
Pengobatan yang dilakukan oleh ayah Rajak ialah melalui obat
tradisional yang diperoleh dari informasi masyarakat dari mulut ke
mulut, namun tidak memberikan kesembuhan pada kondisi ayahnya.
Setelah itu dibawa ke rumah sakit, sempat mengalami kesembuhan
dan setelah beberapa bulan kembali kambuh dan meninggal. “Orang
bilang oh ini obatnya, kami kasih, gak sembuh kan, kami cari, jumpa
orang lagi kami kasi.apa yang orang bilang kami kasi.” (Rajak)
Pencegahan diabetes dapat dilakukan masyarakat dengan
berperilaku sehat, tidak merokok, makanan bergizi dan seimbang,
atau pun bisa diet, membatasi diri dengan makanan tertentu atau
kegiatan jasmani yang memadai.48Perilaku prventif yang dilakukan
oleh masyarakat ialah melalui cara memasak dan memilih jenis beras
yang akan dimasak. Menurut informan mengatakan bahwa dengan
memasak di api akan lebih baik bagi penderita diabetes, karena airnya
dapat dibuang. Sedangkan jenis beras yang baik untuk dipilih ialah
jenis beras bulog. “Kayak pak geuchik tu kan masak nasinya di api, gak
di kosmos. Airnya dibuang.Pak geuchik kan kena darah manih”(RIKA)
Makanan menjadi salah satu hal yang sulit dihindari di Desa
Sawang, dalam beberapa acara masyarakat, makanan merupakan
bagian terpenting. Setiap acara memiliki prosesi dimana akan
dihidangkan makanan-makanan yang manis. Salah satunya adalah
kenduri pernikahan dimana akan dihidangkan aneka makanan manis
yang dihias dan dihidangkan. Kebiasaan memakan makanan manis
menjadi salah satu faktor resiko terhadap kejadian penyakit diabetes
melitus.
48 Bustan, MN.Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.2007.Jakarta :Rineka Cipta, hal:115
114
Gambar 3.10
Hidangan makanan saat kenduri pernikahan
Sumber: Dokumentasi peneliti
III.4. Potret Perilaku Kesehatan, Merokok
Mayoritas masyarakat Desa Sawang mengonsumsi rokok
setiap harinya. IPKM Aceh Utara terhadap perilaku merokok di aceh
Utara sendiri ialah 27,9249. Merokok dilakukan dimana saja, di dalam
rumah maupun di luar rumah. Kegiatan merokok dapat dilakukan
ketika sedang duduk bersama di kedai maupun saat berjalan dan
bahkan saat sedang menggendong anak.
Bagi pemuda, rokok merupakan identitas diri sebagai pemuda
di Desa Sawang. Salah satu informan merupakan pemuda Desa
Sawang berusia 26 tahun mengakui bahwa ia memulai merokok sejak
lulus SMA, alasannya ialah karena teman-temannya merokok dan jika
tidak merokok akan dianggap seperti wanita.
“Ngerokok, dulu gak pernah merokok. Tamat SMA
kemaren. Itu pun gak candu. Kalau sekarang mau buang
pun bisa. Paling 3 batang. Gak kuat lah merokoknya.
Kadang-kadang kan pening. Merokok pun kalau bergaul
sama kawan-kawan aja. Dibilang inilah itulah. Lambang
kepemudaan klo gak merokok dibilang tante. Kalau keluar
49 Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013.
115
sama kawan-kawan. Klo beli rokok perbungkus jarang
lah.”(Rajak)
Rokok tersedia di kedei-kedei tempat pemuda maupun
masyarakat berkumpul, biasanya dijual dalam bentuk per batang.
Tidak sulit untuk memperoleh rokok karena selain dijual perbatang,
kedei juga akan memberikan jika dibayar belakangan.50
Gambar 3.11
Bapak Menggendong anaknya sambil merokok.
Sumber : Dokumentasi peneliti
Merokok memang menjadi sebuah kebiasaaan bagi
masyarakat, namun seharusnya bukan menjadi kebiasaan balita untuk
mengisap asap rokok. Ancaman asap rokok terhadap balita
merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan karena dapat
berpengaruh terhadap kesehatan anak di masa depan. Tercemar asap
rokok dari perokok pasif dari orang tua atau orang dewasa serumah
atau di lingkungannya.Keterpaparan rokok tentunya tidak disadari
oleh orang tua dapat berpengaruh terhadap kesehatan anaknya.51
Rokok merupakan konsumsi masyarakat berbagai kalangan,
anak muda sampai para lanjut usia. Bagi pemuda, saat duduk di kedai
merokok merupakan identitas sebagai pemuda. Selain pemuda, para
50 Boleh berhutang terlebih dahulu. 51 Bustan, MN.2007..Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta :Rineka Cipta, hal:206
116
bapak dan tokoh masyarakat pun mengonsumsi rokok sebagai
konsumsi sehari-hari. Tengku dan pak geuchik juga mengonsumsi
rokok dalam kesehariannya. Saat pengajian ibu-ibu dilaksanakan,
Tengku pun menyampaikan isi dari pengajian sambil mengisap rokok,
terhitung 3 batang telah dihisap selama 2 jam pengajian berlangsung.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum pengajian dimulai, ibu-ibu
akan menyediakan satu bungkus rokok untuk Tengku. Konsumsi rokok
rata-rata per hari mencapai 3-6 batang rokok. Rokok yang dikonsumsi
pun beraneka ragam.
Selain rokok buatan pabrik, ditemukan juga masyarakat yang
masih menggunakan rokok daun. Nenek Iam merupakan salah
seorang nenek yang biasa menggunakan rokok daun. Selain itu,
ditemukan juga pada acara-acara keagaamaan seperti acara dakwah52
yang dilaksanakan pada malam hari anak-anak laki-laki bermain-main
dengan daun rokok tersebut. Dalam hal ini, tidak ada orang dewasa
yang melarang. Saat ditanya kepada salah seorang ayah yang juga
perokok, mengenai apakah ia mengizinkan anaknya untuk merokok
ayahnya pun tertawa dan menyatakan belum membolehkan karena
belum bisa menghasilkan uang sendiri. “Belum punya uang ko udah
mau merokok, belum boleh lah.”
III.5. Serba-Serbi Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan menjadi perhatian penting peneliti, sebab pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor yang mendukung derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang ada di Desa Sawang terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas Kecamatan Samudera, Puskesmas Pembantu Sawang dan Bidan Desa.
III.5.1. Puskesmas
Fasiltas kesehatan di Kecamatan Samudera ialah Puskesmas Samudera yang terletak di tepi jalan raya. Ruangan pelayanan
52 Acara Isra Mi’raj
117
kesehatan yang ada di Puskesmas ialah ruang KIA53, KB54, MTBS55, poli pria, poli wanita, jiwa, dan imunisasi Di Puskesmas ini terdapat poli wanita dan poli pria, maksudnya ialah pelayanan kesehatan sama seperti poli umum namun pada pelaksanaannya di Aceh Utara khususnya Puskesmas Samudera dilakukan pemisahan. Poli pria digunakan sebagai tempat pelayanan poli umum untuk pria saja sedangkan poli wanita merupakan poli umum yang digunakan khusus untuk wanita. Begitulah Aceh menyimpan keistimewaan dalam memisahkan laki-laki dan permpuan dalam kegiatan sehari-harinya, termasuk pelayanan kesehatan.
Berjalan menuju puskesmas, kita akan menemukan seorang ibu berjualan tepat di depan puskesmas, menjual air mineral dan jajanan anak-anak seperti permen dan snack ringan. Memasuki puskesmas, pasien harus melepas alas kaki untuk menjaga kebersihan puskesmas, disediakan pula rak sandal dan sepatu namun lebih banyak yang melepasnya di depan pintu masuk puskesmas. Sebelum melakuakan pemeriksaan pasien akan melakukan pendaftaran di meja pendaftaran yang telah tersedia.
Puskesmas Samudera dipimpin oleh seorang perempuan yang
berasal dari kota Medan, beliau menjabat sebagai kepala Puskesmas
Samudera. Meskipun telah lama di Aceh, kepala puskesmas mengakui
kemampunnya berbahasa Aceh masih belum begitu lancar. Hal ini
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukandi desa-desa yang
justru mengharuskan menggunakan bahasa Aceh.
Puskesmas Samudera biasa dikenal dengan sebutan Puskesmas Geudong. Masyarakat datang berobat secara gratis karena menggunakan kartu JKRA56 ataupun sekarang telah ada JKN57. Hal ini justru menyebabkan angka kunjungan semakin meningkat dan
53 Kesehatan Ibu dan Anak 54 Keluarga Berencana 55 Manajemen Terpadu Balita Sakit 56 Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh 57 Jaminan Kesehatan Nasional
118
masyarakat banyak yang berobat.Upaya preventif menjadi perhatian penting bagi puskesmas dalam menjalankan program-programnya.
Gambar 3.11
Puskesmas Kecamatan Samudera Sumber : Dokumentasi peneliti
Puskesmas Samudera memberikan pelayanan kesehatan pada hari Senin sampai dengan hari Jumat, sedangkan di hari Sabtu hanya ada petugas piket yang menunggu di Puskesmas. Masyarakat sudah mengetahui jadwal tersebut sehingga jika akan ke puskesmas haruslah pada hari Senin-Jumat. Begitu juga dengan kegiatan yang dilakukan di Desa Sawang yang melibatkan petugas kesehatan, tidak dilakukan pada hari Sabtu.
III.5.2. Pustu Pustu, Puskesmas Pembantu merupakan salah satu fasilitas
kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sawang. Pustu Desa Sawang telah ada sejak tahun 2000 hingga saat ini masih berdiri dan mengalami beberapa renovasi. Di pustu tersebut tinggal seorang bidan yang juga merupakan kepala pustu. Pelayanan kesehatan yang diberikan ialah 08.00-16.45 dengan jumlah petugas pustu terdiri dari delapan orang. Namun, karena adanya kepala pustu yang tinggal di pustu menyebabkan pelayanan kesehatan tetap Petugas pustu akan bekerja secara bergantian yaitu setiap 3 hari sekali.
119
“Ganti-ganti. Karena pasiennya juga ga rame. karena kondisi jalannya juga jelek kali. Mereka kan dari lhokseumawe. Jauh.. Sebenarnya setiap hari. Cuma ka Dhea kasi dispensasi kan. Supaya ga capek kali.”(Bidan Dhea)
Kunjungan pasien ke Pustu berasal dari beberapa desa, tidak hanya Desa Sawang, pasien juga datang dari Desa Puuk dan Blang Nibong. Kunjungan rata-rata yang ada ialah 25 orang menurut pencatatan yang dilakukan oleh kepala pustu. Pasien bisa datang di pagi hari, siang hari maupun malam hari karena bidan tetap menerima pelayanan kesehatan.
Gambar 3.13
Pustu Desa Sawang Sumber: Zakir
Bidan Dhea telah menjadi kepala Pustu dan tinggal di Desa Sawang sejak tahun 2008. Pelayanan kesehatan yang ada di Pustu diberikan secara gratis, namun persediaan obat yang tidak mencukupi menyebabkan bidan desa memungut biaya untuk memenuhi kebutuhan obat pasien jika obat dari puskesmas habis.
120
“Persediaan obat kurang. Kadang saya beli sendiri nanti pasiennya bayar. Kadang saya memberitahu pasiennya mereka yang beli obatnya sendiri. Makanya kadang bayar disini kalautidak ada obat.Kan kasihan,sudah datang kesini tapi tidak ada obatnya.” (Bidan Dhea)
Adanya Pustu memudahkan akses bagi masyarakat Desa Sawang dalam memperoleh pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Masyarakat dapat datang untuk berobat dan tidak dipungut biaya. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat bahwa jika dilakukan berobat di pagi hari atau siang hari gratis, namun jika di malam hari bayar. Begitu pula disampaikan oleh Bidan Dhea bahwa untuk pengobatan di malam hari dikenakan biaya jika obat puskesmas tidak tersedia.
III.5.3. Bidan Desa
Bidan Desa merupakan salah satu petugas kesehatan yang bertanggung jawab terhadap upaya kesehatan yang dilakukan di desa Sawang. Bidan Desa Sawangyang bertugas saat ini telah 4 tahun mengabdi di Desa Sawang, “kakak sudah 4 tahun.”(Bides).
Bidan Desa Sawangyang bertugas sehari-hari tinggal di desa lain, sedangkan polindes yang disediakan tidak dimanfaatkan sebagai fasilitas kesehatan. Bangunan Polindes terletak di Desa Sawangtepat di depan kuburan sudah dipenuhi oleh tanaman liar yang membuat polindes harus memperoleh sedikit perbaikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala puskesmas, Kepala puskesmas sendiri menyadari bahwa mengalami kesulitan dalam menemukan bidan yang mau tinggal di polindes tersebut, berbagai alasan bidan, seperti tidak bisa tinggal sendiri karena masih lajang, atau sudah berkeluarga dan begitu juga pak geuchik tidak dapat memaksa bidan untuk tinggal di polindes.
Berada di desa lain tentunya menyebabkan bidan desa tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat. Selain itu, bidan desa juga tidak melakukan pelayanan pengobatan kepada masyarakat. Masalah penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Desa Sawangdilakukan di pencatatan pustu sehingga bidan desa tidak memiliki data
121
tersebut.“Gak tahu ya, karena kakak disitu kan ga buka pengobatan”(Bidan Desa).
Bidan desa melaksanakan upaya kesehatan seperti posyandu yang dilakukan setiap bulannya. Pada beberapa bulan ini, bidan desa sedang hamil dan digantikan oleh bidan desa lain untuk penyelenggaraan posyandu. Pelaksanaan posyandu dilakukan oleh para kader melalui arahan bidan desa. Bidan desa menghubungi salah satu kader posyandu dan mengatakan bahwa posyandu tetap dilaksanakan dan akan digantikan oleh bidan desa lain. Bidan desa pun menghubungi kader posyandu dan meminta untuk membelikan jajanan biscuit untuk diberikan kepada balita yang datang ke posyandu.
III.6 Arti Sakit Bagi Masyarakat Desa Sawang
Masyarakat Desa Sawangmerasakan sakit bukan menjadi penghalang untuk bekerja, sakit ringan yang biasa dirasakan dan didefinisikan bagi masyarakat ialah sakit kepala, sakit perut, sakit kaki, demam, dan batuk sebagai penyakit yang dapat disembuhkan dengan sendirinya. Ada yang membiarkannya dan percaya akan sembuh sendiri, makan atau minum obat gampong, ada yang dilakukan dengan Rajah, dan ada pula yang membeli obat warung. Penyakit-penyakit yang dianggap ringan biasanya masyarakat lebih banyak memilih untuk tidak mendatangi petugas kesehatan. Disamping jadwal petugas kesehatan yang tidak selalu ada, masyarakat pun memiliki kepercayaan akan penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya.
Lain hal nya dengan penyakit yang sudah dianggap berat dan perlu pengobatan serius bagi masyarakat akan dibawa ke fasilitas kesehatan. Masyarakat menjadikan beberapa penyakit sebagai penyakit berat seperti penyakit diabetes melitus dan typus. Penyakit diabetes melitus dianggap sebagai penyakit yang berujung pada kematian bagi penderitanya. Masyarakat yang mengalami diabetes melitus akan mendatangi fasilitas kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit terdekat yaitu R.S cut meutia yang terletak di Lhokseumawe. Selain memperoleh pengobatan medis, masyarakat juga akan menggunakan obat gampong sebagai penyembuh.
122
“Ya kalau sakit ringan sih kek kepala,paling minum
paramek udah sembuh kan,sama sakit perut biasa. Kalau
sakit berat ya gula,tipes,kangker jarang sih,ya dibawak ke
rumah sakit cut muetia kok emang udah berat kek
gitu.”(RIKA)
TengkuSulaiman yang dijumpai di sebuah kedei mengatakan
bahwa penyebab sakit ialah gaya hidup masyarakat sawang sendiri
bukan berasal dari makanan yang dimakan. Kebiasaan masyarakat
duduk-duduk di kedai.
“Penyakit yang biasa diderita oleh masyarakat ialah
reumatik. Hal tersebut terjadi disebabkan beberap
kebiasaaan masyarakat, yaitu begadang bahkan tidak
tidur, baru tidur di pagi harinya, tidak ada olahraga,
banyak meminum kopi, makan tidak teratur, duduk-
duduk di kedei sambil merokok. Hal ini menyebabkan
tidak adanya pembakaran racun dalam tubuh di malam
hari. Sedangkan kebiasaan minum kopimenyebabkan gas
bertambah.” (Tengku S)
Sakit lainnya yang dipercaya oleh masyarakat ialah konsep
sakit berdasarkan kepercayaan personalistik seperti diganggu jin.
Penyakit diganggu jin dapat ditunjukkan dengan perilaku seperti orang
kesurupan. Terdapat salah satu masyarakat yang pernah mengalami
sakit tersebut yang ditunjukkan dengan gejala sering mengalami
pingsan, tiba-tiba berlari masuk ke sumur, meminta darah orang dan
merasa kesakitan. “Merasuk setan, pingsan, lari, turun ke sumur.
Diminta darah orang.”(Bu N) Awalnya didiagnosa kanker payudara,
namun akhirnya dapat sembuh dengan Rajah dan dipercaya bahwa
penyakit yang dialami merupakan penyakit yang disebabkan oleh
gangguan jin. “Di rumah sakit dibilang kanker, padahal bukan,
termasuk jin anak bajeung. I taptap (digigit dalamnya). Orang lain iri
nengok anaknya.”Salah seorang informan yang merupakan seorang
ibu yang melakukan Rajah kepada anaknya ”Gak bisa kalo sakit hantu.
Dibawa ke langsa. Ke orang yang meuRajah.”
123
Penyakit karma yaitu penyakit gila yang dianggap disebabkan
karena dosa kepada ibunya. Masyarakat percaya bahwa penyebab
sakit manusia yaitu berkaitan juga dengan sistem kepercayaan. Sakit
yang disebabkan karena doa seorang ibu yang dianggap punya
kekuatan dikabulkan menjadi salah satu faktor terjadinya penyakit
gila.
“Dia kan waktu masih muda marah uangnya dihabisin
sama kakaknya yang mau kawin. Dia ngamuk pohon
pisang ditebang semua, kata ibunya biar aja aku mau
lihat. Kan didengar sama Allah doa seorang ibu kan. Itu
kata orang-orang yang dulu.” (RIKA)
Konsep sehat-sakit yang diyakini oleh masyarakat Desa
Sawangpun tidak terlepas dari konsep kepercayaan unsur religi.
Konsep sakit yang dipercaya oleh amsyarakat Desa Sawangmemiliki
pola pencarian pengobatan yang berbeda sehingga memiliki
pembagian tokoh yang mampu membantu dalam proses
penyembuhan. Namun, dalam kedua pengobatan tersebut
kepercayaan kepada Allah swt sebagai satu keyakinan yang tidak
dapat dipisahkan.
III. 7. Kepercayaan pada Sesuatu yang Mempunyai Daya
Penyembuh
Sehat dan sakit merupakan kuasa Allah swt. Masyarakat Desa
Sawang memiliki kepercayaan bahwa segala penyakit memiliki
penyembuhnya sesuai dengan yang disampaikan dalam Islam.
Penyembuhan yang dipercaya bagi masyarakat Desa Sawang terdiri
dari beberapa cara, yang dapat dilakukan dengan salah satu cara
pengobatan ataupun melalui kombinasi beberapa cara pengobatan.
Pola pencarian pengobatan (Health seeking behavior) yang
diyakini oleh masyarakat dapat memberikan kesembuhan terhadap
penyakit yang diderita terdiri dari obat gampong, Rajah, dan
124
pengobatan medis. Meskipun terdapat beberapa pola pencarian
pengobatan di masyarakat Desa Sawang, namun setiap pola pencarian
pengobatan masyarakat menjadikan keyakinan kepada Allah swt.
sebagai syarat utamanya karena setiap kesembuhan merupakan atas
izin Allah swt.
III. 7. 1. Obat Gampong (obat tradisional)
Obat Gampong merupakan ramuan obat tradisional yang telah
diwariskan turun temurun, merupakan kepercayaan masyarakat
setempat hasil dari percakapan mulut ke mulut. Masyarakat memilih
obat gampong sebagai pengobatan pertama dalam pola pencarian
kesehatan beberapa penyakit tertentu. Obat gampong yang dipercaya
bagi masyarakat bersumber dari tanaman sekitar yang dipercaya
memiliki khasiat dalam tubuh. Beberpa obat gampong yang dipercaya
oleh masyarakat ialah:
Oen mulu digunakan sebagai obat panas. Obat ini dibuat dengan
cara daun diremas dengan air kemudian diberi gula sedikit dan
diminum untuk menghilangkan demam. Tanaman ini dipercaya dapat
menurunkan demam. Tanaman ini memililiki bunga berwarna putih
seperti bunga melati. Selain diminum, daun juga dapat digunakan
dengan menumbuk daun tersebut dan menempelkannya. Oen mulu
memberikan rasa dingin sehingga dapat menurunkan demam yang
merupakan rasa panas.
125
Gambar 3.14 Oen MuluTanaman Obat Demam Bagi Anak
Sumber: Dokumentasi peneliti
Oen Hasan merupakan daun dari tanaman yang digunakan
sebagai pagar di rumah masyarakat. Selai itu oen hasan juga dapat
digunakan sebagai obat demam dan obat batuk. Cara
menggunakannya ialah dengan meremas daun dengan air. Setelah
diperoleh air hasil remasan yang disaring kemudian dapat diminum
langsung atau dapat juga hasil remasan digunakan sebagai kompres.
“Kok obat panas sih biasanya (daun mulu ) untuk menurunkan panas
anak.Itu pertama daunya di remes dengan air lalu disaring yang
diminum hanya airnya saja.Dan ada juga yang memakai tepung
kanji,digosok di badannya anak- anak yang sakit panas.”(Nek T)
126
Gambar 3.15 Oen Hasan Tanaman Obat Demam Bagi Anak
Sumber: Dokumentasi peneliti
III. 7. 2. Rajah
Rajah merupakan salah satu cara pengobatan yang dipercaya
dapat memberikan penyembuhan terhadap sakit. Bagi masyarakat
Desa Sawang rajah merupakan pengobatan yang pertama kali
dilakukan dalam pencarian pengobatan, termasuk pada pengobatan
anak yang panas, disebut dengan rajahsuum. Rajahsuum dapat
dilakukan oleh orang tuanya sendiri atau orang-orang yang dipercaya
dapat melakukannya. Rajah yang dilakukan di masyarakat ialah
meminta kesembuhan kepada Allah swt melalui doa-doa dan air.
Kepercayaan bahwa air yang telah didoakan memiliki khasiat terhadap
kesembuhan.
Rajah dilakukan untuk beberapa kondisi, ada yang melakukan
rajah untuk gejala demam, ada pula rajah untuk mengobati masalah
kesurupan atau diganggu jin bahkan ada juga Rajah yang dilakukan
untuk melihat jodoh. Rajah dipercaya sebagai salah satu upaya
pengobatan yang diperoleh dari Allah swt. sehingga tidak ada
pantangan ataupun syarat, selain itu kesembuhan merupakan
127
kehendak Allah. Masyarakat Desa Sawang pun dapat melakukan
beberapa kali rajah hingga memperoleh kesembuhan.
III. 7. 2. 1. Rajah Suum (Rajah untuk Demam Anak maupun Dewasa)
Penyakit demam merupakan hal yang biasa terjadi pada anak-
anak karena hampir semua penyakit memiliki gejala dengan terjadinya
demam, begitu juga dengan rajah suum. Rajah suum dapat dilakukan
oleh orang tuanya atau orang-orang yang dianggap pintar meurajah.
Rajah suum dilakukan dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an
kepada air yang sudah disiapkan. Ayat-ayat yang dibacakan ialah surat
Al Fatihah, surat Al Nas, Al Falaq, Al-Ikhlas, dan doa-doa lain yang
dibacakan sesuai dengan permintaan untuk disembuhkan dari sakit.
Salah seorang nenek yang biasa melakukan Rajah suum bertahun-
tahun pun mengatakan bahwa raja suum bukanlah dikhususkan untuk
anak-anak melainkan semua umur, ketika panas diRajah.
“Oo kalau do’a untuk orang sakit panas mau anak-anak
atau orang udah dewasa doa sih sama saja semua
doa’a.Ya doa’a ada dalam Al-qur’an. Seperti al-fatihah dan
do’a yang di pakek oleh Nabi Ibrahim waktu mau dibakar
sama orang firaun dulu “kunna yanaa”. Ya yang pertama
kan kita mohon bagi yang sakit kan biar sembuh kalau
panas biar dingin. Habes itu Bismillahirahmanirrahim.
Bismillah dengan nama Allah tetap urat beuteutap darah
gure geumeulake bak shiah,shiah geumeulake bak
Nabi,Nabi geumeulake bak Allah beu euk tawa peutre
beugisa sijuk beujeut ban leupi sikeuleupi ban
timah,berkat do’a tuwan patimah berkat kalimah Lailah
hailllauhlah muhammadur rasulullah SAW. Ya itulah do’a
saya pakai untuk orang-orang yang sakit panas.”
Beberapa informan mengatakan bahwa dengan dirajah anak-
anak biasanya sembuh, ada yang dengan sekali rajah ada pula yang
beberapa kali rajah. Namun demikian, para ibu biasanya memberikan
128
obat gampong selain rajah. Jika tidak sembuh juga, ibu akan
membawanya ke fasilitas kesehatan tanpa meninggalkan Rajah.
III. 7. 2. 2. Rajah Diganggu Oleh Jin
Berbeda dengan Rajah suum, ada pula salah seorang ahli rajah
di Desa Sawangyang dipercaya memiliki kemampuan untuk melakukan
rajah dalam mengobati penyakit akibat diganggu jin. Bu N merupakan
seorang ibu yang memiliki aktivitas sehari-hari pergi ke ladang. Ia
memiliki dua orang anak. Anaknya yang pertama baru saja menikah
tahun 2014 lalu di usianya yang ke 18 tahun dan anaknya yang kedua
masih berusia sekitar 7 tahun.
Berdasarkan hasil wawancara, menurut Bu N ia baru memiliki
kemampuan melakukan rajah sekitar satu tahun yang lalu
menyatakan bahwa kemampuannya melakukan Rajah berawal dari
kejadian anaknya yang mengalami sakit parah. Ketika itu ia telah
membawa anaknya ke dokter, pada dokter pertama dikatakan bahwa
anaknya terkena kanker, namun kemudian ia membawa anaknya ke
dokter lain, dan dokter kedua pun mengatakan bahwa anaknya tidak
dapat disembuhkan secara medis. Dokter tersebut justru
menyarankan untuk membawa anaknya ke dukun kampung. “Satu
dokter bilang kanker, satu dokter bilang gabisa ini, obat kampong aja.”
Akhirnya Bu N pun melakukan pengobatan ke beberapa dukun,
setelah sepuluh dukun ternyata tidak sembuh juga. Suatu malam ia
berdoa kepada Allah setelah solat untuk kesembuhan anaknya karena
kini kedua anaknya sakit sedangkan uang sudah tidak ada lagi.
Bagi Bu N pengobatan ke fasilitas kesehatan lebih membantu
dibandingkan harus ke dukun. Ketika akan berobat ke fasilitas
kesehatan atau rumah sakit dapat diperoleh dengan gratis sedang
ketika berobat ke dukun harus menyiapkan banyak uang karena
dukun akan meminta bayarannya di awal. “Kalo ke dokter kan gratis
untuk berobat. Minta dukun2 kan susah, ditanya dulu anaknya perlu
sembuh? Ada uang 1 juta, dua juta.. Susah. Udah sepuluh dukun gak
129
sembuh.”Akhirnya setelah menghabiskan banyak uang, Bu N pun
berdoa kepada Allah swt untuk kesembuhan anaknya karena uangnya
telah habis.
“Termasuk setan, jin.. sedih uang udah habis, berobat
sekitar setahun ga sembuh-sembuh. Ayahnya susah kan,
gak ada uang berobat anak. Sesudah solat berdoa minta
sama Allah. Terjadi satu malam anak saya sakit berat,
uang 7 ribu rupiah. Mama adik mau meninggal kata anak
saya.”
Setelah mengalami masa sulit, Bu N pun berdoa kepada Allah,
hingga saat suatu hari anaknya semakin parah dan ia pun memperoleh
kemampuan untuk melakukan rajah kepada anaknya di rumahnya
setelah solat subuh.Kemampuan ini yang kemudian menjadi
keyakinan bahwa apa yang telah ditemukan merupakan obat yang
diperoleh melalui pertolongan Allah.
“Waktu kejadian mamak yang meuajah, satu malam aku
tidur kan aku mimpi orang datang. Malam mimpi, bangun
mimpi, aku satu buah jeruk. Aku ambil aku tengok untuk
berobat anaknya terjadilah aku berobat mendoakan anak
tengok buah jeruknya. Dan menemukan mata cincin,
dipakai anak yang di dayah gak tau dari mana. Air sesudah
solat subuh saya suruh anak keluar, dia takut. Di depan
rumah keluar anaknya diambil, dicabut anaknya. Ini kan di
dalam air. Airnya dipakai untuk orang sakit.”(Bu N)
Saat ini Bu N dikenal masyarakat sebagai salah satu orang yang
pandai meurajah di Desa Sawang. Masyarakat sekitar yang mengalami
sakit karena gangguan jin berobat kepada beliau dan bahkan terdapat
pasien yang datang dari jauh untuk dirajah. Berawal dari meurajah
anaknya sendiri, kini Bu N telah menjadi orang yang meurajah di Desa
Sawang.
Rajah dilakukan di rumah Bu N dengan peralatan air dan biji
pala yang digenggam untuk dapat melihat penyakit yang diderita oleh
130
pasiennya. Beberapa pasien pun ada yang membawa jerigen sebagai
tempat air yang sudah diberikan doa untuk dimandikan atau diminum
beberapa hari ke depan setelah dirajah. Proses rajah biasanya
berlangsung sekitar 30 menit. Air yang didoakan merupakan air sumur
yang belum dimasak namun telah diberikan doa oleh Bu N.
“Dikasi air, dibawa jeregen, bisa digosok atau diminum.
Obat disuru baca sebelum minum.
Bismillahirrahmanirrahim, segala syarat, segala hikmat
segala doa Ya Allah yang lun bersyarat. 7 hari berturut-
turut. Kehendak Allah. Ini kan melalui Allah.”
Gambar 3.16
Peralatan untuk meurajah
Sumber : Dokumentasi peneliti
Selain jin, Bu N mengatakan bahwa ada juga yang datang
untuk melihat jodoh. Saat melakukan rajah akan ada doa yang
berbeda saat melakukan rajah untuk melihat jodoh. Rajah ini
dilakukan seperti biasa dan Bu N akan melihat melalui buah
jeruk. Namun, tidak banyak masyarakat yang datang untuk
Rajah jodoh.
III. 7. 3. Pengobatan Modern
Pengobatan medis dilakukan dengan membeli obat di warung
ataupun pergi ke fasilitas kesehatan. Fasilitas Kesehatan yang tersedia
adalah Pustu dan Puskesmas Samudera. Kedei menjadi tempat utama
bagi kaum pria dalam beraktivitas sehari-hari, semua kalangan ada
131
disana. Kedei bukan hanya sebagai tempat membeli keperluan sehari-
hari, fungsi kedei juga menjadi tempat berkumpul para pemuda saat
tidak bekerja atau tempat berbincang-bincang yang ditemani oleh
rokok dan secangkir kopi atau stroop58. Ada juga kedei yang difasilitasi
dengan TV, sehingga dapat berkumpul dan nonton bareng. Sungguh
menjadi media untuk saling mengenal, bahkan berita pun dapat
diperoleh di kedai saat terjadi diskusi antar pengunjung kedei.
Salah satu kedei juga menjual obat, sebut saja kedai yang
menjual obat sakit gigi dan banyak penduduk yang datang membeli
obat tersebut, meskipun datang di malam hari karena dipercaya
manjur. Obat tersebut dibeli pemilik kedei di toko obat yang berada di
daerah kota bagi masyarakat setempat, yaitu biasa disebut geudong.
Harga obat yang dijual adalah Rp 1.000,00 per tablet dan dalam 1
minggu akan habis sekitar 30 tablet. Pemilik kedai pun mengatakan
bahwa tidak semua orang bisa membeli obat tersebut, hanya
langganan yang sudah dikenal oleh penjual di toko obat, seperti
pemilik kedei X ini. Konsumsi obat masyarakat Desa Sawang dapat
diperoleh fasilitas kesehatan maupun dibeli di kedei-kedei.
III. 8. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat, Posyandu
Posyandu dilakukan di Desa SawangKabupaten Aceh Utara
setiap bulannya, tutur seorang kader posyandu yang sedang menyapu
meunasah. Posyandu dilakukan setiap bulan di tanggal 16, namun
sering disesuaikan kembali dengan masyarakat jika akan dilaksanakan
acara di masyarakat, atau tanggal 16 jatuh pada hari Minggu, maka
dilakukan di hari selanjutnya. Posyandu biasa dilakukan pada pukul
09.00-12.00 WIB. Tepat hari ini, tanggal 19 Mei dilakukan Posyandu di
meunasah desa Sawang. Pada pukul 09.30 meunasah masih terlihat
kosong, ternyata ada seorang kader yang sedang menunggu kader
lainnya untuk mempersiapkan posyandu. Kami pun berjalan menuju
meunasah dan memulai menyapu meunasah dan tak lama kader
58 Minuman berwarna seperti sirup
132
lainnya pun datang dan seorang ibu yang membawa bayinya yang
berusia 6 bulan. Tikar dan timbangan pun dikeluarkan oleh kader dari
ruangan penyimpanan di meunasah.
Gambar 3.17 Kader Posyandu dan Ibu yang membawa balita sedang menunggu petugas
puskesmas di meunasah. Sumber: Dokumentasi peneliti
Seluruh kader sudah berkumpul dan menunggu petugas
kesehatan yang akan datang. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB,
namun petugas kesehatan yang menggantikan bidan desa belum juga
datang. Kader tidak ada yang menggunakan HP untuk dapat
menghubungi bidan desa pada saat itu, sehingga peneliti pun
membantu menghubungi bidan dan menanyakan petugas kesehatan
yag belum juga datang, tak lama kemudian datang dua orang
berpakaian putih membawa termos dan tas perlengkapan.
Setelah petugas Posyandu datang maka pengumuman pun
disampaikan oleh salah seorang bapak yang sedang bekerja di sekitar
meunasah. Pengumuman disampaikan dengan menggunakan bahasa
Aceh Utara dan disertai sedikit lelucon, karena terlihat para ibu
tertawa mendengarnya. Pengumuman melalui pengeras suara di
meunasah memang dilakukan ketika petugas puskesmas datang dan
hanya boleh diumumkan oleh laki-laki. “Kata bu geuchik klo
perempuan yang umumkan haram kan ya.” Sebut salah seorang warga
133
sehingga para ibu hamil, ibu-ibu yang memiliki balita pun langsung
datang setelah pengumuman tersebut terdengar. Ada pula yang
datang karena melihat ibu-ibu yang berbondong-bondong berjalan
menuju meunasah. “ Ibu-ibu yang lain pada ke posyandu, kan malu ya
kalau gak ke posyandu sendiri” ujar salah satu ibu muda yang saat
ditanya mengetahui kegiatan posyandu tersebut dari mana.
Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) merupakan salah satu
bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk
memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat
guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak
balita.59 Posyandu sebagai salah satu upaya kesehatan masyarakat
bersumberdaya masyarakat. Kegiatan ini merupakan program yang
melibatkan masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai subjek dan
juga sasarannya. Berjalannya posyandu merupakan peran besar
masyarakat itu sendiri, sedangkan petugas kesehatan ialah sebagai
fasilitator dalam hal ini.
Kader menjadi bagian penting dalam berjalan atau tidaknya
kegiatan posyandu di masyarakat. Kader posyandu di Desa
Sawangsendiri terdiri dari lima orang sedangkan yang masih aktif ialah
sebanyak 4 orang. Satu kader telah menikah dan pindah ke Banda
Aceh bersama suaminya. Ke-empat kader sudah menjadi kader kurang
lebih selama 4 tahun. Saat ditanya mengapa masih bertahan menjadi
kader, salah satu kader pun menjawabnya.
“Saya udah bilang sama Bu Rima mau berhenti, cape tapi
ga digaji, setahun baru dikasih uangnya tapi kata Bu Rima
jangan dulu turun, nanti.. nanti terus, ya jadi saya masih
jadi kader”(tertawa).
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan masih
menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan sebagai subjek
59 Buku Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012 hal 2
134
pembangunan kesehatan. Bila masyarakat berperan aktif, seharusnya
berbagai masalah kesehatan yang timbul dewasa ini tidak perlu
terjadi.60
Waktu menunjukkan pukul 10.00 kegiatan posyandu pun
dimulai. Para kader menyambut ibu-ibu yang berdatangan dan mulai
menimbang bayi satu persatu. Kondisinya ramai oleh berbagai suara,
dari suara anak-anak yang menangis, suara percakapan ibu-ibu dan
suara petugas kesehatan yang sedang menjelaskan kepada ibu bayi.
Peserta yang hadir ialah para ibu yang membawa bayinya dan ibu
hamil. Jumlah peserta yang hadir berdasarkan pencatatan petugas
puskesmas adalah sebanyak 28 orang yang terdiri dari bayi dan ibu
hamil.
Posyandu dikenal dengan kegiatan lima meja, dimulai dengan
pendaftaran, penimbangan, pencatatan, pemberian edukasi, dan
pelayanan kesehatan.61 Kegiatan Posyandu kali ini difasilitasi oleh
petugas kesehatan yang menggantikan bidan Desa Sawangyang
sedang cuti hamil. Petugas kesehatan tersebut banyak bertanya
kepada kader terkait perlengkapan yang ada dan lebih banyak ibu-ibu
yang aktif menimbang dan melaporkan agar dicatat kepada petugas
kesehatan. Petugas kesehatan pun melakukan pemeriksaan pada ibu
hamil terlebih dahulu kemudian suntik imunisasi. Sedangkan untuk
penimbangan dan pemberian polio dilakukan oleh kader.
Pencatatan pun dilakukan oleh petugas kesehatan dalam
secarik kertas buku catatan petugas kesehatan. Ibu hamil yang
diperiksa memperoleh buku KIA, sedangkan para ibu yang membawa
bayinya tidak diberikan KMS sebagai pencatatan untuk kesehatan
bayi. Kartu Menuju Sehat ialah alat untuk mencatat dan mengamati
perkembangan kesehatan anak yang mudah dilakukan oleh para ibu
60 IPKM 2013 61 Panduan Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012
135
sehingga para ibu mengetahui kondisi kesehtan anaknya62.Kartu
Menuju Sehat merupakan slah satu cara dalam mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan balita. Dalam pelaksanaannya,
posyandu di Desa Sawangada peserta yang memperoleh edukasi dan
tidak memperoleh edukasi, bahkan memungkinkan peserta yang tidak
masuk dalam pencatatan.
Kegiatan Posyandu berakhir pada pukul 12.00 WIB, seluruh ibu
pun pulang secara berbondong-bondong. Setiap anak memperoleh 1
biskuit sepulang dari posyandu. Bidan posyandu sebelumnya memang
telah menitipkan kepada kader agar membeli biskuit seharga
Rp20.000,00 untuk para peserta posyandu. Pembagian biscuit
dilakukan oleh kader posyandu. Seluruh peserta posyandu
mendapatkan biscuit meskipun usianya masih dibawah 6 bulan. Hal
tersebut tentunya menjadi perhatian penting dan bertolak belakang
dengan program ASI eksklusif yang seharusnya ibu tidak memberikan
makanan apapun sebelum berusia 6 bulan.
62 Suhaardjo. .2000.Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:Kanisius.hal:120
136
BAB IV
IMUNISASI, TAK KENAL MAKA TAK SAYANG
IV. 1. Nilai Anak
Di Desa Sawang masih banyak keluarga yang mempunyai
banyak anak. Lima atau tujuh anak adalah biasa. Jumlah anak paling
banyak yang saya dengar adalah sembilan anak. Dipelihara sendiri
tanpa pembantu. Salah satu akibat dari banyak anak ini adalah
kemampuan anak-anak dalam momong adik-adik mereka yang masih
balita ketika ibu sedang bekerja.
Gambar 4. 1
Anak-anak Momong Adik-adik Mereka
Foto : Wirabaskara
Salah satu sebab banyaknya jumlah anak ini adalah pentingnya nilai
anak laki-laki di mata masyarakat. Seorang ibu muda yang baru punya
satu anak perempuan berumur tigabelas bulan bilang rencananya
hanya akan punya anak tiga saja. Satu perempuan dan dua adiknya
nanti laki-laki. “Anak laki-laki paling tidak dua, Bang.” Kalau nanti
anaknya lahir ada yang perempuan dia akan terus punya anak sampai
setidaknya punya dua anak laki-laki.
137
Demikian juga Pak Mulia. Ketiga anaknya perempuan. Kelas
empat SD, kelas dua SD, dan paling kecil tiga tahun. Dia masih ingin
punya anak laki-laki. “Anak laki-laki setidak-tidaknya jumlahnya sama
dengan anak perempuan.” Jadi dia masih ingin punya tiga anak laki-
laki lagi. Istrinya sekarang berumur tiga puluh tiga tahun. Perempuan
paling tua yang melahirkan anak di Desa Sawang umurnya lima puluh
tahun, tapi itu jarang. Kebanyakan umur di bawah lima puluh tahun.
“Sekitar empat puluh lah.”
Gambar 4. 2
Kelereng, Permainan Anak-anak
Foto : Wirabaskara
Anak laki-laki menduduki nilai penting untuk mewarisi ilmu
yang dimiliki ayahnya. Ilmu agama bisa menjadi modal sosial jika
dikuasai laki-laki. Dia bisa menjadi seorang Tengku. Pada perempuan,
dia bisa saja menjadi seorang ‘umi’, mengajar agama pada anak-anak.
Status ‘umi’ ini hanya bisa melekat pada perempuan lajang. Ketika
138
menikah seorang ‘umi’ akan meninggalkan statusnya dan menjadi ibu
rumah tangga.
Anak yang masih sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab
orang tuanya. Semua kebutuhan sekolah, uang saku, dan uang jajan
harus dipenuhi. Semua kebutuhan itu menjadi tanggung jawab ayah,
bahkan ketika anak minta sepeda motor.
Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berkurang ketika
anak berhenti atau selesai sekolah. Bahkan ketika anak berhenti
sekolah setelah lulus SD atau SMP. Kala anak tidak melanjutkan
pendidikan ke Dayah atau pesantren maka anak harus mencari uang
sendiri untuk kebutuhan pribadinya. Orang tua hanya menyediakan
makan saja.
Gambar 4. 3
Anak yang Sudah Tidak Sekolah Mencari Uang untuk Kebutuhannya Sendiri
Foto : Wirabaskara
Menangis adalah senjata ampuh bagi anak kecil. Seperti
kebanyakan orang tua di daerah lain di Indonesia, di Desa Sawang
139
orang tua tidak tahan ketika anak mereka menangis. Hal ini membuat
orang tua cenderung menuruti semua permintaan anak mereka. Anak
kecil dan balita kebanyakan hanya meminta jajan pabrikan, dari snack
sampai mie instan. Kebutuhan jajan anak termasuk tinggi karena bisa
mencapai lebih dari limaribu rupiah setiap harinya.
Gambar 4. 4
Jajan
Foto : Wirabaskara
Ketidak tegaan pada anak yang menangis ini dimulai sejak bayi.
Orang tua sangat menghindari situasi yang membuat bayinya
menangis, termasuk imunisasi. Imunisasi dihindari karena membuat
bayi menangis.
Kebiasaan anak dituruti kemauannya ini terbawa sampai ketika
mereka memasuki usia sekolah. Meski tidak lagi menangis ketika
permintaan mereka tidak bisa dipenuhi oleh orang tuanya mereka
melakukan ‘pemberontakan’. Mereka membolos sekolah sebagai
bentuk protes. Misalnya tidak diberi uang saku untuk jajan di sekolah
mereka tetap berangkat sekolah dari rumah tetapi tidak sampai di
sekolah. Mereka menghabiskan waktu jam sekolah di rumah teman
atau main saja.
140
Gambar 4. 5
Gaya Pemuda Aceh
Foto : Wirabaskara
Pada usia SMA63 permintaan semakin besar. Beberapa kasus
terjadi anak SMA minta kendaraan bermotor dengan merk tertentu
sesuai keinginannya. Anak-anak SMA yang memaksa minta sepeda
motor ini akan mogok sekolah kalau tidak dibelikan. Ada juga yang
berani memaksa orang tuanya dengan ancaman bersenjatakan parang
atau dengan merusak barang-barang yang ada di rumah. Menuruti
keinginan anak SMA ini bukan menjadi jaminan bahwa anak tersebut
akan menyelesaikan SMAnya. Dengan sepeda motor baru
kebanggaannya anak SMA akan meninggalkan sekolah dan bisa main
ke tempat yang lebih jauh. Pacaran atau ikut balap liar di kota
Lhokseumawe.
63 Ada juga satu kasus anak yang kuliah di Politeknik yang mogok kuliah karena permintaan sepeda motor barunya tidak dituruti. Dia meninggalkan kuliahnya yang sudah berjalan dua tahun dengan beasiswa dari pemerintah.
141
Gambar 4. 6
Muda-mudi di Obyek Wisata
Foto : Wirabaskara
IV. 2. Akses Informasi dan Pemahaman Masyarakat tentang
Kesehatan.
Sinetron menjadi hiburan favorit masyarakat desa Sawang
sebagaimana masyarakat di desa-desa lain di Indonesia. Mereka yang
tidak mempunyai TV dengan antena parabola akan menonton di
rumah tetangga atau di kedai kopi. “Manusia Harimau” adalah
sinetron paling populer saat ini.
Dari sinetron inilah masyarakat membangun konstruksi
pemahaman mereka atas realitas luas di luar desanya. Hantu-hantu
dalam sinetron horor adalah hantu yang mereka takuti ketika malam
hari. Hantu-hantu tradisional sudah tidak ada karena tidak dipercaya
oleh syariat Islam. Grandong adalah hantu yang ditakuti oleh orang
yang takut hantu karena setiap hari muncul di layar kaca.
142
Gambar 4. 7
Ngopi dan Nonton Sinetron
Foto : Wirabaskara
Dulu sinetron dengan judul “Putri yang Ditukar” menjadi
favorit di sini. Cerita dalam sinetron tersebut di mana bayi yang baru
lahir bisa ditukar di rumah sakit membentuk konstruksi pemahaman
masyarakat tentang realitas rumah sakit yang sebenarnya. Cerita
dalam sinetron itulah satu-satunya ‘realitas’ yang dialami masyarakat
tentang rumah sakit. Hadir setiap hari dari senin sampai jumat selama
lebih dari dua jam dalam kurun waktu setahun lebih.
Akibatnya masyarakat tidak percaya dengan rumah sakit.
Mereka beranggapan kalau melahirkan di rumah sakit anak mereka
bisa dipertukarkan oleh dokter atau bidan. Mereka menghindari
rumah sakit karena tidak ingin hal itu menimpa pada mereka.
Di samping sinetron, masyarakat juga bergerak berdasar isu-
isu. Isu-isu yang berkaitan dengan hukum syariat bisa jadi diyakini
kebenarannya sebagai syariat itu sendiri. Mengenai imunisasi memang
ada isu yang menyebar di masyarakat desa bahwa vaksin untuk
143
imunisasi itu mengandung babi. Karena itulah ada wacana imunisasi
haram.
Karena ada yang menghembuskan isu bahwa vaksin imunisasi
itu dibuat dari lemak babi. Bagi orang Islam yang haram itu babi dan
anjing. Prinsip Islam di Aceh kalau darah ini sudah kotor maka tidak
bisa hilang. Kalau anak diimunisasi/diinjeksi dengan babi mereka takut
akan mengalir darah kotor itu pada keturunannya dan darah kotor
tersebut akan diturunkan. Mereka takut mengalir dosa dalam darah
keturunan mereka.
Meskipun ada tetapi issu vaksin yang mengandung babi itu
sangat sedikit warga yang pernah dengar. Para Tengku di desa bahkan
juga belum pernah mendengar issu vaksin yang mengandung babi
tersebut. Ada Tengku yang pernah mendengar issu tersebut karena
ditanyai oleh ibu-ibu ketika pengajian. Karena tidak tahu-menahu
tentang imunisasi dan vaksin para Tengku cenderung meletakkan
masalah imunisasi itu di luar otoritasnya. Masalah imunisasi itu adalah
otoritas para ibu.
Isu haram yang lebih diyakini oleh masyarakat adalah issu
tentang tupperware.Tupperware dilarang digunakan karena isu
mengandung babi ini. Masyarakat tidak menggunakan tupperware
karena dianggap haram, Menurut saya tidak digunakannya
tupperware ini lebih disebabkan karena harganya yang terlalu mahal
dari pada karena isu mengandung babi tersebut.
Sedangkan isu vaksin imunisasi yang mengandung babi
sebenarnya tidak terlalu diperdulikan masyarakat. Bahkan sebagian
besar masyarakat tidak tahu apa itu imunisasi, apa lagi terkait isu
vaksin yang mengandung babi. Pengetahuan masyarakat tentang
imunisasi ini sebatas suntik atau tetes pada bayi, sebatas pada apa
yang bisa mereka lihat.
Banyaknya orang tua yang tidak mengimunisasi bayi mereka
lebih disebabkan oleh isu-isu yang beredar berkenaan masalah
144
dampak imunisasi tersebut di kampung. Banyak kasus terjadi
imunisasi yang disuntikkan di lengan atas bisa menimbulkan bengkak
dan demam panas dingin pada anak selama tiga sampai lima hari.
Akibatnya imunisasi ini dihindari ketika anak masih bayi. Kasihan
anaknya yang masih bayi. Di samping kasihan hal yang penting yang
menjadi kekhawatiran orang tua atas kasus demam pada bayi setelah
imunisasi ini adalah kekhawatiran kalau nanti terjadi step pada bayi
mereka.
Kalau sudah masuk SD ada imunisasi dari sekolah. Itulah yang
menjadi sebab kenapa mereka tidak memberikan imunisasi,
khususnya yang disuntikkan di lengan pada anak bayi mereka. Anak
laki-laki Mak Leyla yang mendapat imunisasi yang disuntikkan di
lengan atas ini di sekolah puang manangis karena bengkak. Oleh Mak
Leyla lengan anaknya itu dikompres dengan botol yang diisi air hangat.
“kalau sudah SD dia sudah kuat, kalau masih bayi kasihan.”
Imunisasi ini pada umumnya menjadi otoritas ibu sepenuhnya.
Ayah pada umumnya tidak tahu menahu. Tapi ketika terjadi bengkak
dan demam ayah juga ikut khawatir. Kadang sang ayah mendatangi
kader posyandu dan marah-marah karena anak bayinya bengkak dan
demam setelah diimunisasi di posyandu. Bahkan pernah ada seorang
ayah dari dusun barat yang murka mendatangi bidan sambil
membawa parang. Isu yang berkembang di dusun timur “pernah ada
yang membunuh bidan.”
Selama ini tidak ada sosialisasi yang jelas tentang imunisasi ke
masyarakat. Petugas kesehatan jarang memberikan penjelasan yang
memadai tentang imunisasi itu. Penjelasan tentang efek demam yang
wajar terjadi pada bayi setelah diimunisasi itu seperti apa dan
bagaimana tidak pernah disampaikan oleh bidan yang turun ke desa.
“Bidan hanya memberikan imunisasi dan sudah, giliran yang lain,”
cerita Ibu Fatimah ketika mengimunisasikan bayinya. Jadi demam
sebagai efek imunisasi itu tidak dianggap wajar oleh masyarakat.
145
Jangankan efek demam, tentang kenapa bayi yang diimunisasi
menangis pun masyarakat juga tidak tahu.
Gambar 4. 8
Peristiwa “Parang”, Issue Utama yang Menggambarkan Hubungan
Masyarakat dengan Petugas Kesehatan
Foto : Wirabaskara
IV. 3. Akses Imunisasi dan Kesehatan
Posyandu yang diadakan sebulan sekali tanggalnya tidak
menentu karena kadang-kadang bertabrakan hari dengan hari jumat
atau hari sembahyang, hari sabtu dan minggu di mana puskesmas
libur, atau bertabrakan dengan acara di kampung sehingga harus
diundur.
146
Sosialisasi untuk kegiatan posyandu pun juga menghadapi
kendala. Ibu-ibu kader posyandu tidak bisa membuat pengumuman.
Perempuan tidak boleh membuat pengumuman menurut aturan
syariat. Para kader posyandu harus minta tolong pada laki-laki untuk
membuat pengumuman. Sering kali permintaan tolong itu hanya
diiyakan tapi tidak segera dilaksanakan sehingga lupa. Akibatnya
banyak warga dan ibu-ibu sering kali tidak tahu ketika ada posyandu.
Setiap kali posyandu petugas kesehatan dari puskesmas
datang untuk memberikan imunisasi. Kebanyakan orang tua dengan
balita tidak datang ke posyandu ini karena bermacam alasan yang
membuat mereka malas ke posyandu. Alasan yang membuat para ibu
dengan balita malas datang ke posyandu itu datang dari pihak
puskesmas dan dari pihak masyarakat sendiri.
Dari pihak puskesmas antara lain karena petugas kesehatan
dari puskesmas tidak membawa vaksin yang cukup dan tidak
membawa obat untuk penurun panas setelah imunisasi. Masyarakat
disuruh membeli sendiri obatnya. Untuk membeli obat, mereka tidak
punya uang. Sedang penyebab dari masyarakat misalnya adanya rasa
malu bagi ibu muda yang baru punya anak pertama. Mereka malu
memperbincangkan kehamilan, kelahiran dan anak bayinya itu. Di
samping itu tidak semua warga masyarakat Desa Sawang tahu jadwal
imunisasi itu karena kendala sosialisasi pelaksanaan posyandu.
Pada kegiatan imunisasi di Desa Sawang tanggal 19 Mei 2015
kemarin hanya duapuluh tujuh balita yang melakukan penimbangan
dari lebih duaratus balita di Desa Sawang. Selama kegiatan posyandu,
tidak ada bayi yang disuntik meskipun vaksin sudah tersedia di dalam
termos yang dibawa oleh bidan petugas kesehatan yang bertugas.
Bidan menanyakan kepada beberapa ibu yang hadir, “sudah
melakukan suntik apa?” Sang ibu pun kebingungan dan akhirnya bidan
menunjukkan bagian-bagian tempat imunisasi dan mencoba menerka
suntik apa yang belum. Ternyata bayi memang belum ada diberikan
vaksin imunisasi suntik, ada juga yang akan melanjutkan suntik BCG
147
dan ada yang akan melakukan suntik DPT setelah ibu berdiskusi
panjang dengan bidan.
Setelah terjadi kesepakatan antara ibu dan bidan untuk
disuntik, bidan pun menanyakan apakah memiliki obat panas? Karena
saat itu stok obat di puskesmas sudah habis sehingga bidan tidak
membawa, ketika ditanya ke pustu apakah ada persediaannya
ternyata pun tidak ada. Bidan menyarankan untuk membeli sendiri
dan setelah disuntik harus langsung diberikan obat tersebut. Setelah
itu kedua ibu pun kembali ragu dan menyatakan kendalanya membeli
obat yaitu tidak ada uang dan membelinya harus ke Geudong.
Jaraknya tidak terlalu jauh namun jika naik RBT sekitar Rp 8.000,00
dan jika dihitung ongkos pulang pergimya yaitu Rp 16.000,00.
Akhirnya bidan pun menyatakan, “Bulan depan saja kalau begitu ya,
saya bawa obatnya, tapi kalau saya lagi yang menggantikan, kalau
yang lain nanti saya pesankan.” Alhasil, hari ini tidak ada suntik-
menyuntik.
Biasanya kebanyakan orang tua dengan balita datang ke
posyandu karena ada pemberian makanan tambahan seperti bubur
kacang hijau. Sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh bungkus bubur
kacang hijau akan habis dibagikan.
“Kalau ada pembagian makanan tambahan seperti ini
banyak yang datang, apa lagi kalau ada pembagian susu
formula. Mereka yang tidak kebagian susu formula akan
marah,”
Begitu penjelasan Bu Geucik selaku ketua kader posyandu. “Ketika ada
pemberian makanan tambahan atau susu formula mereka datang
untuk minta jatah pembagian itu tanpa mau untuk diimunisasi
anaknya,” lanjut Bu Geucik.
Imunisasi juga merupakan bagian dari kegiatan posyandu yang
dilakukan di meunasah. Pelaksanaan imunisasi dilakukan oleh bidan
desa yang bertanggung jawab dan para kader.
148
“Kalau tidak disuruh saya sebenarnya malas,” begitu Bu
Geucik menuturkan keberatannya menjadi ketua kader posyandu.
Sebagai kader posyandu posisi mereka serba sulit. Mereka menjadi
pelaksana di kampung untuk kegiatan posyandu yang memberikan
pelayanan imunisasi. Ketika terjadi kasus bengkak dan demam mereka
menjadi orang-orang yang dituntut tanggung jawabnya oleh
masyarakat, sementara mereka tidak tahu-menahu.
Pak Mulia, warga Desa Sawang yang menikah dengan
perempuan dari Desa Tanah Teudong bercerita bahwa di Tanah
Teudong bidan Pustunya tidak menginap. Mereka pulang setelah
selesai kerja. Hal itu tidak masalah bagi pelayanan kesehatan di
desanya karena di sana sudah banyak orang yang menjadi bidan dan
buka praktek di desa. Mereka bekerja sebagai bidan desa di desa lain
dan pulang ke rumah untuk membuka praktek di desanya. Masyarakat
di desanya itu lebih suka pergi ke bidan-bidan desa yang buka praktek
di rumah itu meskipun harus membayar dari pada ke bidan Pustu.
Mereka lebih percaya dengan bidan-bidan yang sudah mereka kenal
dan menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka.
Petugas bidan desa di Polindes jarang datang ke desa. Bidan
PTT tidak mau tinggal karena alasan lajang dan Pak Geucik juga tidak
dapat memaksa. Polindes yang seharusnya juga menjadi rumah dinas
bidan desa pun kosong tidak terpakai. Hal ini tidak terlalu menjadi
masalah karena di Desa Sawang ini ada Pustunya. Mayoritas petugas
puskesmas juga tinggal di kota Lhokseumawe yang sudah lebih
heterogen dan menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya.
Bu Dhea yang menjadi bidan Pustu Sawang tinggal di Pustu.
Dia biasa membantu persalinan atau mengobati orang sakit. Dalam
kehidupan sehari-hari bidan Pustu itu membatasi pergaulan dengan
masyarakat sekitar hanya sebatas urusan kesehatan, kehamilan dan
melahirkan.
Pelayanan yang diberikan Bu Dhea cukup baik karena di desa-
desa lain ada bidan yang ‘nakal’ dengan menganjurkan operasi cesar
149
pada ibu yang mau melahirkan. Biaya untuk operasi cesar ini meliputi
ambulan 1 juta dan biaya operasi 7 juta. Di Desa Sawang Bu Dhea
dikenal sabar. Dia selalu berusaha menangani kelahiran secara
normal. Istri Andre waktu mau melahirkan anak pertamanya periksa
ke bidan Dhea ketika merasa akan melahirkan. Karena oleh Bidan
Dhea dibilang masih lama istrinya merasa kurang puas. Dia
memeriksakan kehamilannya ke dokter spesialis. Oleh dokter spesialis
dibilang waktunya sudah dekat. Kemudian istrinya mencari pelayanan
untuk melahirkan ke bidan yang lebih senior dari Bidan Dhea yang
masih ada hubungan saudara.
Gambar 4. 9
Aktivitas Gotong Royong, Mempererat Hubungan Sosial dan Persaudaraan
Foto : Wirabaskara
Ini juga menjadi alasan kenapa warga desa di Tanah Teudong
memilih melakukan pemeriksaan ke bidan lokal (warga setempat)
yang buka praktek di desa itu meskipun harus membayar. Pemilihan
ini didasarkan pada perasaan kenal dan dekat secara sosial dengan
bidan lokal. Mereka saling kenal dan terlibat dalam aktivitas sosial
sehari-hari. Kedekatan sosial ini tidak terjadi pada bidan desa atau
bidan Pustu yang berasal dari luar desa.Ada jarak sosial di antara
150
mereka. Jarak sosial ini walau bagaimanapun juga memunculkan
perasaan tidak nyaman meskipun pelayanan yang diberikan gratis.
IV. 4. Pro Kontra Imunisasi
Kenyataan atas penolakan masyarakat terhadap imunisasi di
Desa Sawang diakui oleh pihak petugas kesehatan maupun warga
masyarakat, baik para Tengku maupun masyarakat biasa. Hanya saja
ada perbedaan dalam melihat sebab-sebab yang menjadi dasar
penolakan masyarakat terhadap imunisasi tersebut.
IV. 4. 1. Imunisasi di Mata Petugas Kesehatan
IV. 4. 1. 1. Kendala dalam Upaya Klarifikasi Haram
Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif melalui
imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian imunisasi
BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan HB3 9.880
(80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916 (80.9%). Capaian
imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa capaian Aceh Utara
masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.64 Melalui hasil
observasi imunisasi dalam posyandu yang dilaksanakan pada tanggal
19 Mei 2015, dari 27 balita hanya 2 bayi yang melakukan imunisasi
polio dan tidak ada imunisasi lainnya. Sedangkan dari wawancara dan
observasi selama di lapangan sangat langka dijumpai bayi yang
melakukan imuniasasi lengkap.
Pelayanan kesehatan masyarakat primer merupakan salah satu
fokus kementerian kesehatan saat ini dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan yang kini menjadi prioritas
bagi Desa Sawangialah Imunisasi, PHBS, Gizi dan KIA begitulah tutur
kepala Puskesmas Samudera.
“Peralatan, kartu KMS ada, peralatan penyimpanan
vaksin, dibawa bidan desa dengan termos masing-masing,
64 Profil Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2013
151
peralatann dan SDM cukup, namun kesadaran masyarakat
dianggap belum maksimal.”
Imunisasi haram, begitulah yang disampaikan oleh petugas
puskesmas yang telah menjumpai masyarakat untuk melakukan
imunisasi. Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan oleh petugas
sendiri, beberapa menolak dengan alasan imunisasi haram sambil
menyampaikan beberapa hadist. Dalam hal ini, petugas pun
menyampaikan alasan-alasan sesuai dengan alasan medis dan tak
membantah berkaitan dengan hadist yang disampaikan. Namun
masyarakat tetap pada pendirian imunisasi haram.
Imunisasi merupakan salah satu permasalahan yang belum
juga terpecahkan bagi petugas kesehatan. Hal ini juga menjadi catatan
bagi kepala puskesmas kepada petugas kesehatan. Imunisasi haram,
hal tersebut menjadi ancaman yang dirasakan sulit bagi petugas
kesehatan dalam melaksanakan imunisasi. Selain cara pandang
imunisasi haram, pengetahuan akan imunisasi, pengambilan
keputusan pada suami, perbedaan realita dengan konsep imunisasi
dan masih adanya petugas kesehatan yang tidak mempercayai
imunisasi menjadi kendala dalam menyukseskan imunisasi.
“Dinas juga buat seminar seminar, buat rapat, Tengku-
Tengku juga diundang, orang yang paham tentang
imunisasi, paham tentang agama untuk menjelaskan
bahwa imunisasi itu tidak haram.”
Sebelumnya telah dilakukan seminar yang diselenggarakan
oleh dinas kesehatan aceh utara terkait vaksin haram. Dalam seminar
tersebut mendatangkan para Tengku dan ahli di bagian imunisasi yang
menjelaskan bahwa imunisasi tidak haram. Namun, ketika petugas
kesehatan turun dan menyampaikan kepada masyarakat, masih
belum mampu.
Pihak Puskesmas menganggap para ibu sudah memiliki
pengetahuan akan pentingnya imunisasi, namun keputusan tetap ada
pada sang suami. Penyuluhan pun telah diupayakan agar suaminya
152
datang, namun tetap mengalami kesulitan karena biasanya suaminya
bekerja. Meskipun sang istri telah mengetahui baiknya imunisasi,
tetap saja akhirnya anaknya tidak diimunisasi karena tidak
diperbolehkan oleh suami.
“Kami juga menjelaskan kalau ini tidak haram, cuma kami
kan menjelaskan ke masyarakat gak sepandai Tengku-
Tengku menjelaskan. Jadi kan kalau udah keluar hadis,
kami juga gak bisa bantah.”
Begitulah kesulitan yang dihadapi petugas kesehatan dalam
berkomunikasi dengan masyarakat di desa-desa. Ketika omongan
mereka berbenturan dengan omongan para Tengku komunikasi
menjadi terkunci. Ada kekhawatiran para petugas kalau salah omong,
dalam arti apa yang mereka omongkan bertentangan dengan moral
agama masyarakat. Secara sosial kesalahan seperti ini memang bisa
berakibat fatal untuk bisa tetap masuk ke lingkungan desa.
“Disini agamanya kuat, agamanya sangat kuat, jadi
salah-salah ngomong tentang agama kena arak kita”
Di samping masalah kuatnya agama yang dipegang oleh
masyarakat, para petugas kesehatan juga mengalami kendala bahasa
untuk berkomunikasi dengan warga. Meski mereka mengerti ketika
ada yang berbicara dalam bahasa aceh tetapi mereka kesulitan ketika
harus menyampaikan sesuatu dalam bahasa Aceh.
“Kendalanya memang di bahasa. Saya paham.Kalau ada
yang ngomong saya ngerti apa maksudnya tapi
bagaimana menyampaikannya ke mereka itu saya gak
bisa.”
153
Gambar 4. 10
Nilai-nilai Agama Ditanamkan Secara Rutin Sejak Masa Anak-anak
Foto : Wirabaskara
Dalam pelaksanaannya tidak sedikit tantangan yang dihadapi
oleh petugas. Pintu rumah warga yang segera ditutup ketika didatangi
petugas kesehatan yang akan melakukan imunisasi dari pintu ke pintu
sudah menjadi hal biasa. Ada juga yang mengatakan, “hana peng,”
karena imunisasi tidak menjadi sesuatu yang dianggap
menguntungkan di hadapan masyarakat. Hal-hal seperti ini adalah
contoh-contoh reaksi masyarakat ketika apa yang dilakukan dan
diomongkan oleh petugas kesehatan tidak selaras dengan ajaran para
Tengku.
154
Gambar 4. 11
Menutup Pintu untuk Orang Lain, Trauma Konflik
Foto : Wirabaskara
IV. 4. 1. 2. Kendala Program Imunisasi
Petugas kesehatan mengupayakan peningkatan cakupan
imunisasi melalui beberapa cara. Kegiatan posyandu merupakan salah
satu sarana dalam memberikan imunisasi kepada masyarakat.
Kegiatan Posyandu dilakukan setiap bulannya di tanggal 16, jika ada
perubahan maka dapat dikomunikasikan kembali. Namun, kepala
puskesmas memberikan kebijakan untuk seluruh posyandu dilakukan
di tanggal 16 setiap bulannya. Dalam kegiatan posyandu tersebut
155
dilakukan pemberian imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil serta
kegiatan variasi lainnya. Posyandu saja belum mampu menjaring
banyak orang, hingga akhirnya petugas pun melakukan imunisasi dari
pintu ke pintu. Upaya tersebut masih memerlukan dukungan berbagai
pihak sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam memberikan
opini di masyarakat seperti Tengku maupun pak geuchik.
Selain masalah yang bersifat sosial yang dihadapi para petugas
kesehatan mereka menghadapi juga masalah fisik. Muncul efek
samping yang di luar kewajaran akibat vaksin imunisasi. Efek fisik itu
misalnya pertumbuhan badan anak menjadi terhambat.
“Kayak mana ya dokter, masyarakat keluhannya itu
memang betul. Setelah imunisasi pertumbuhan badannya
makin gak meningkat, itu banyak, rata-rata. Jadikan kita
bilang bukan karena imunisasi, mungkin…”
Penelitian tentang masalah ini juga sudah lama dilakukan tapi
belum ada hasil yang bisa dijadikan pedoman untuk mengatasi
masalah.
“Pertumbuhannnya memang agak terganggu setelah
diimunisasi. Kita juga gak tau itu salahnya di mana. Ya kita
juga kan gak bisa nyalahkan vaksin kita. Jadi kira-kira
mana yang masih bagus kualitasnya, mana yang expired
itu sudah disisihkan, teliti ini sudah berapa tahun ya, 8
tahun.”
Di samping kendala pertumbuhan anak masyarakat juga
mengeluhkan anak mereka yang justru terlihat sakit-sakitan setelah
mendapat imunisasi. Di mata masyarakat anak-anak yang tidak
mendapat imunisasi justru terlihat lebih sehat.
“Karena setelah disuntik mereka lihat anaknya ko kayak
anak semakin sakit. Dibandingkan dengan anak-anak yang
tidak diimunisasi, lebih sehat anak-anak yang tidak
diimunisasi itu.”
156
Sementara para orang tua melihat bahwa dampak imunisasi
yang diberikan secara suntik menimbulkan bengkak dan demam pada
bayi. Akibatnya banyak yang menolak imunisasi yang diberikan secara
suntik. Pro dan kontra suntik imunisasi menjadi masalah bagi petugas
kesehatan dalam meningkatkan cakupan imunisasi di desa Sawang.
Masalah tubuh bayi yang akan menjadi demam sebagai salah satu
tanda bekerjanya vaksinasi dalam tubuh bayi pun menjadi catatan
tersendiri bagi petugas kesehatan. Sejak awal, petugas puskesmas
sudah memberi peringatan kepada ibu sebelum disuntik bahwa jika
anaknya menjadi demam itu adalah sebagai reaksi dan membuat
kesepakatan tak tertulis agar nantinya tidak malah menyalahkan bidan
yang memberi suntikan.
Reaksi keras orang tua juga terjadi akibat dampak imunisasi ini.
Peristiwa yang menjadi preseden di Desa Sawang ini merupakan reaksi
seorang ayah akibat anaknya yang menjadi sakit setelah imunisasi.
Saat itu anaknya mengikuti imunisasi 2 kali suntik yaitu di
bagian lengan dan paha. Petugas menjelaskan agar bekas suntikan
bagian paha dikompres. Mayoritas masyarakat yang belum lancar dan
terbiasa dengan bahasa Indonesia tidak menghiraukan himbauannya
sehingga paha anak tersebut tidak dikompres. Akhirnya paha anaknya
semakin membengkak dan sang ayah pun mencari pertolongan bidan.
Kesal terhadap pelayanan yang diberikan bidan, ditambah lagi
bidan desa yang tidak tinggal di tempat membuatnya semakin marah
dan mencari bidan yang memberikan imunisasi kepada anaknya.
Bukan hanya bidan desa, salah satu kader posyandu pun ditegur
dengan tebasan parang di pekarangan rumahnya.
“Jadi keluarganya meninggal saat tsunami. Menikah lagi
punya anak satu. Mungkin karena sayang kali sama
anaknya, ya.Saya juga salah kemarin sendiri. Kan sekali
suntik langsung dapet BCG dan DPT mungkin dengan
bahasa saya juga yang kurang dimengerti, nanti setelah
disuntik dikompres ya bu. Dia ga kompres jadi bengkak,
157
dia bawa lagi ke bidan praktek Bu Uli habis tu kan udah
turun, tapi suaminya udah sempat marangi pagar kader
itu, ditebas.”
Reaksi masyarakat yang seperti ini menjadi referensi bagi para
tenaga kesehatan yang masuk ke kampung-kampung untuk sebisa
mungkin ‘tidak berbuat salah’. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan akibat amarah warga.
IV. 4. 2. Imunisasi di Mata para Tengku
IV. 4. 2. 1. Tengku Imam atau Imam Desa Ngobrol dengan Tengku Imam di warung Pak Geucik, siang, 28
April 2015. Sebagai imam desa dia adalah orang nomor dua di desa,
setelah Pak Geucik sebagai kepala desa. Dalam urusan agama dan
adat Islam dia adalah orang nomor satu di desa.
Tentang imunisasi Tengku Imam tidak tahu imunisasi itu apa
dan untuk apa, obat yang dipakai apa dan dari mana dia juga tidak
tahu. Bahwa adat atau agama melarang imunisasi juga tidak. Dia ada
dengar ada ibu-ibu yang menolak ketika ditawari imunisasi oleh bidan
untuk bayinya di puskesmas, tetapi bahwa imunisasi itu haram adalah
tidak.
Bu Imam tidak mengimunisasi anaknya yang paling kecil
sekarang umur dua tahun. Dia hanya diimunisasi sekali ketika umur
enam bulan karena disuruh bidan. Ketia anaknya itu umur tiga bulan
sakit panas dan diperiksakan ke Puskesmas Gedung. Waktu itu
anaknya diberi suntikan dan dia dibilangi sama Bidan untuk imunisasi
anaknya. Umur enam bulan dia membawa anaknya ke Puskesmas
Gedung untuk imunisasi yang disuntik di lengan kiri atas (DPT).
158
Gambar 4. 12
Tengku Imam
Foto : Wirabaskara
Setelah itu dia tidak mengimunisasi anaknya karena ‘malas’.
Anaknya selalu menangis ketika dibawa ke Posyandu karena melihat
jarum suntik. Akibatnya dia memutuskan untuk tidak membawa
anaknya ke Posyandu dan tidak diimunisasi.
IV. 4. 2. 2. TengkuSulaiman
“Imunisasi bukan satu hal yang sangat menguntungkan,
tidak imunisasi bukan satu hal yang merugikan.”
(TengkuSulaiman, 2015)
TengkuSulaiman adalah Tengku yang dianggap paling pintar di
Desa Sawang. Dia adalah orang yang sering dimintai tolong oleh warga
di Desa Sawang dan di desa-desa sekitarnya bila ada masalah. Pada
Pemilu 2014 lalu dia mencalonkan diri sebagai caleg dari PAN tapi
kalah karena ada calon lain yang mencalonkan diri untuk ke tiga
kalinya. Karena sudah dua kali gagal untuk kesempatan Pemilu 2014
kemarin warga mufakat memberikan suara mereka untuk calon lain
tersebut sehingga jadi. “Kalau sampai gagal lagi kan kasihan,” begitu
pertimbangan warga. Sedangkan suara warga tidak bisa dipecah
karena akan mengakibatkan ke duanya tidak akan jadi. Keputusan
159
tersebut demi mempertimbangkan paling tidak ada wakil rakyat dari
kampung mereka.
“Seringya dokter atau petugas kesehatan itu tidak terbuka.
Mereka itu seringnya menutup-nutupi,” begitu TengkuSulaiman
memulai ceritanya. Sebagai seorang tamatan SMP dia relatif banyak
tahu tentang obat-obatan. Dia tahu diazepam itu untuk apa, dan juga
beberapa jenis obat lain. Pengetahuannya itu dia dapatkan dari rasa
ingin tahunya yang dulu pernah bercita-cita mendirikan apotek.
Karena terbentur masalah ‘argo’ selepas SMP dia hanya melanjutkan
belajar di pondok pesantren di Aceh Barat.
Pengalamannya di rumah sakit Cut Mutia ketika mengantar
anak bungsunya yang sekarang berumur tiga tahun, dokter tidak
terbuka dengan apa yang akan dia lakukan terhadap anaknya. Dia
melihat dokter membawa serum imunisasi dengan sembunyi-
sembunyi. Unrtuk memberi keleluasaan pada dokter tersebut
TengkuSulaiman meninggalkan dokter itu mendekati anaknya dalam
gendongan istrinya. Sesaat kemudian TengkuSulaiman masuk lagi dan
bertanya pada istrinya apakah tadi dokter memberikan suntikan
imunisasi. Istrinya mengiyakan.
Pada saat itu dia tidak bertanya pada dokter karena dari
pengalamannya dokter biasanya tidak suka jika ditanyai. Mereka ketus
atau bahkan marah tanpa ada jawaban yang jelas. Pengalaman
dengan dokter yang seperti ini didapatkan oleh TengkuSulaiman
karena dia biasa dimintai tolong oleh warga Kampung Sawang dan
sekitarnya bila ada kasus kesehatan yang serius khususnya terkait
masalah depresi.
Sebenarnya dokter bisa bilang bahwa mereka juga tidak tahu
bagi dia sudah tidak masalah. Dia bisa mengerti. Ini malah dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi. Meski ditolerir tetapi hal ini tidak
berkenan di hati sang Tengku.
160
Terhadap ke tiga anaknya TengkuSulaiman tidak memberikan
imunisasi. Pun seandainya oleh istrinya anak-anaknya diimunisasi dia
juga tidak tahu. Itu sepenuhnya urusan istrinya dan dia sama sekali
tidak masalah atas keputusann istrinya. “Memberikan imunisasi tidak
banyak untungnya, tidak memberikan imunisasi juga tidak ada
ruginya,’’ begitu TengkuSulaiman mengatakan pendiriannya dalam
bahasa Aceh. ‘’Imunisasi bukanlah sesuatu yang sangat penting
asalkan kita bisa menjaga kesehatan,’’ begitu dia melanjutkan.
IV. 4. 2. 3. Tengku Rohman
Berbeda dengan para Tengku di Desa Sawang, Imunisasi
memang dianggap haram bagi Tengku Rohman. Imunisasi sempat
menjadi perdebatan di Indonesia bahwa vaksinasi meningitis yang
diberikan untuk jemaah haji mengandung minyak babi boleh
dipergunakan atau tidak untuk alasan kesehatan. Imunisasi inilah yang
menjadi pembahasan bagi ulama di Aceh dan sepakat untuk tidak
menggunakan vaksinasi tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa apa yang diharamkan adalah haram kecuali dalam keadaan
terdesak ataupun untuk mengobati sedangkan vaksinasi merupakan
pencegahan. Hal ini menjadi dasar bahwa imunisasi yang diberikan
kepada jemaah haji merupakan haram dan para Tengku tidak
memperbolehkannya.
Saat ditanya mengenai imunisasi balita, Tengku pun
menjelaskan bahwa imunisasi merupakan salah satu program yang
diberikan untuk kemaslahatan umat. Segala kebijakan yang dilakukan
untuk kemaslahatan umat tentunya Tengku akan mendukung asalkan
bahan yang digunakan merupakan bahan yang memang halal.
Sejauh ini Tengku mendukung adanya program imunisasi
untuk balita karena memang dipercaya telah menurunkan angka
kesakitan beberapa penyakit. Salah satunya ialah penyakit campak
yang ketika dahulu merupakan penyakit yang sangat banyak didierita
oleh masyarakat, setelah adanya imunisasi kini campak jarang
161
ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, Tengku pun menyatakan bahwa
ia memberikan tanggapan positif terhadap program imunisasi anak.
IV. 4. 3. Imunisasi di Mata Orang Tua
Secara umum masalah anak-anak sepenuhnya menjadi urusan
ibunya. Termasuk untuk urusan imunisasi. Banyak para bapak yang
bilang bahwa anak mereka tidak diimunisasi. Ketika ditanya lebih jauh
mereka sebenarnya tidak tahu apakah anak mereka diimunisasi atau
tidak. Itu urusan ibu-ibu. Penyuluhan kesehatan, posyandu, dan
semua informasi yang disampaikan pada para ibu tidak sampai pada
para bapak. Itu berarti sepenuhnya urusan ibu-ibu. Ibu-ibu baru bilang
pada suaminya kalau anak mereka membutuhkan biaya yang harus
dialokasikan di luar biaya kebutuhan sehari-hari.
Gambar 4. 13
Anak-anak Menjadi Urusan Para Ibu
Foto : Wirabaskara
Pak Mulia punya anak tiga. Dia bilang ketiga anaknya
diimunisasi. Anak yang paling tua kelas empat SD tiga kali diimunisasi.
Imunisasi itu dilakukan sekali ketika lahir dan dua kali di sekolah.
Anaknya yang ke dua kelas dua SD sudah dua kali diimunisasi. Sekali
162
ketika lahir dan sekali di sekolah. Anak bungsunya umur tiga tahun
baru sekali diimunisasi.
Salah seorang bapak muda memahami imunisasi sebagai
upaya pencegahan penyakit, jadi bisa dilakukan pencegahan sendiri di
rumah tanpa harus di suntik saat bayi. Ketika sudah besar di sekolah
pun akan memperoleh imunisasi sehingga anaknya pun tidak
diperbolehkan disuntik. “Kalau imunisasi itu kan untuk mencegah gitu
kan. Ya bisalah kita jaga sendiri.”
Para bapaklah yang kebanyakan melarang istri mereka untuk
memberi imunisasi pada bayi mereka. Ketika diimunisasi biasanya
anak akan menangis. Di samping itu gejala demam pada bayi yang
ditimbulkan akibat imunisasi membuat para orang tua menolak
bayinya diimunisasi. Bagi para orang tua tidak memberikan imunisasi
pertimbangannya adalah kasihan pada anaknya.
Ketidak tahuan masyarakat tentang apa dampak imunisasi dan
manfaatnya menjadi penyebabnya. Beberapa warga yang tahu
sebatas bahwa imunisasi itu untuk mencegah penyakit beranggapan
bahwa pencegahan itu bisa dilakukan di rumah. Kenyataan ini
diperkuat bahwa penyakit-penyakit yang dicegah oleh imunisasi tidak
berjangkit di Desa Sawang.
“Kalau orang tua-tua yang anaknya sudah banyak,
mereka anaknya tidak imunisasi. Kalau anaknya baru satu
seperti saya, ikut imunisasi. Ada juga beberapa ibu yang
dilarang memberi imunisasi oleh suaminya karena
kasihan anaknya menangis kalau diimunisasi.”
Begitulah penuturan Bu Fatimah tentang imunisasi di desanya.
Hanya orang tua dari keluarga muda saja yang tahu imunisasi. Para
orang tua generasi sebelumnya yang anaknya sudah sudah banyak
tidak tahu imunisasi. Anak Bu Fatimah yang berumur tigabelas bulan
sudah lima kali imunisasi. Masih kurang satu kali lagi besok kalau
umurnya dua tahun. Untuk buku catatan imunisasi dia tidak ada. Dia
hanya mengingat saja. Biasa bidan yang mau memberi imunisasi pada
163
anaknya bertanya dulu, “yang di suntik di paha sudah belum?” “Yang
ditetes sudah belum?” Begitulah para ibu mengingat imunisasi untuk
anak mereka. Mereka tidak terlalu tahu imunisasi yang diberikan itu
imunisasi apa saja. Imunisasi biasa diberikan di posyandu. Biasanya Bu
Geucik sebagai ketua kader posyandu yang memerintahkan imunisasi
itu.
Penyuluhan atau sosialisasi dari petugas kesehatan di Desa
Sawang baru sekali diadakan. Penyuluhan itu diadakan beberapa
waktu lalu sebelum kedatangan kami tim peneliti dari kementrian
kesehatan. Sebulan sebelumnya kami survey ke desa Sawang diantar
oleh dokter kepala Puskesmas Samudra. Pada kesempatan itu Bu
dokter menghubungi Pak Geucik untuk memperkenalkan kami
sekaligus meminta bantuan untuk diadakan pertemuan dengan warga.
Para petugas kesehatan dalam penyuluhan itu menyampaikan materi
dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Aceh. Kalau ada warga yang
belum paham apa yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia ada
petugas kesehatan lain yang akan menjelaskan dengan Bahasa Aceh.
Acara itu mendadak dibubarkan ketika ada angin besar melanda.
Sebelum itu belum pernah ada penyuluhan atau sosialisasi dari
petugas kesehatan
Sebagian ibu yang mengetahui pentingnya imunisasi untuk
kesehatan, namun mayoritas tetap tidak mau anaknya disuntik.
Imunisasi dianggap sebagai pencegahan agar anak tidak sakit. Di sisi
lain imunisasi juga dianggap sebagai salah satu penyebab demam dan
penghambat pertumbuhan. Terdapat beberapa kasus yang
menunjukkan bahwa anak yang diimunisasi justru jadi mudah sakit.
Ada juga anggapan bahwa imunisasi dan tidak imunisasi sama saja,
karena dari beberapa anaknya yang mengikuti imunisasi dan tidak
mengikuti imunisasi sama-sama sehat.
Sebagian besar ibu memilih untuk hanya memberikan
imunisasi polio yang diberikan dengan tetes dan menghindari
imunisasi dengan suntik. Alasan utamanya ialah khawatir anak
164
menjadi demam dan suami pun tidak mengizinkan karena alasan
tersebut. Selain itu terdapat juga pandangan bahwa setelah disuntik
justru menjadi mudah sakit, dan pada anak yang tidak disuntik justru
tetap sehat dan tidak sakit.
Emaknya Fifi. Fifi adalah anak pertamanya berusia enam
setengah bulan. Tidak pernah imunisasi ataupun dibawa ke posyandu.
Pada waktu kelahiran anaknya itu dia tidak tahu apakah anaknya
diimunisasi atau tidak. Bidan yang menolong kelahirannya pun juga
tidak memberi tahu harus imunisasi. Ketika ada jadwal posyandu dia
diundang. Kakak ipar dia adalah kader posyandu. Ketika tiba waktunya
posyandu dia juga disamperin oleh tetangga tetapi dia tidak pernah
ikut untuk kegiatan ke posyandu. Berat badan anaknya dia tidak tahu
karena tidak pernah ditimbang. Bayinya memang terlihat montok
karena diberi asi. Sekarang sudah diberi makanan tambahan berupa
bubur instan. dia tidak pernah membawa anaknya ke Posyandu
karena dia malu, masih anak pertama.
Demikianlah sebagian besar orang tua di Desa Sawang yang
tidak memberikan imunisasi kepada bayi mereka disebabkan oleh
beberapa hal. Sebab pertama adalah karena tidak tahu. Hal ini biasa
terjadi pada orang tua yang pendidikannya rendah dan tidak bisa
berbahasa Indonesia sehingga pergaulan mereka dengan dunia luar
juga sangat terbatas. Sebab ke dua adalah orang tua menolak
memberikan imunisasi karena melihat akibat demam pada bayi yang
diimunisasi sehingga bayi menjadi rewel selama beberapa hari. Para
orang tua ini beranggapan bahwa untuk pencegahan penyakit bissa
dilakukan dengan menjaga kesehatan bayi di rumaah. Sebab yang ke
tiga adalah adanya rasa malu orang tua, terutama ibu muda yang baru
mempunyai satu anak.
165
Gambar 4. 14
Senja di Balik Pagar
Foto : Wirabaskara
166
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Keterlibatan para Tengku dalam mobilisasi dan pergerakan
sosial ekonomi masyarakat ini sangatlah perlu. Tantangannya adalah
keterbatasan pengetahuan umum para Tengku ini. Langkah pertama
perlulah kiranya dibuat rumusan informasi yang akan disampaikan
tersebut menurut syariat Islam dan perlunya menjalankan syariat
Islam tersebut, bukan hanya tahu dan memahami saja tanpa ada
praktiknya.
Beberapa rekomendasi untuk mengatasi masalah imunisasi
secara khusus dan masalah kesehatan pada umumnya ini antara lain :
V. 1. Dilakukan Sosialisasi dengan Melibatkan Para Tengku
Salah satu hal yang menyebabkan ketidak berhasilan program
imunisasi pada bayi ini disebabkan adanya kesenjangan komunikasi.
Kemampuan berbahasa Indonesia masyarakat Sawang yang
terbatas—bahkan banyak orang tua dan anak-anak yang tidak bisa
berbahasa Indonesia—menjadi ‘communication bug’ dalam masalah
ini. Keengganan petugas kesehatan di tingkat desa seperti bidan desa
atau bidan Pustu untuk tinggal di desa tempat tugasnya dan hidup
bersosialisasi menjadi bagian dari masyarakat memperlebar jarak
untuk saling memahami.
Kebanyakan orang tua yang tidak tahu tentang imunisasi.
Pengetahuan mereka kebanyakan hanya sebatas suntik atau tetes
untuk bayi mereka. Bila petugas kesehatan tidak menawari imunisasi
untuk bayi mereka, mereka cenderung tidak membawa bayi mereka
untuk imunisasi. Jadi tidak ada kesadaran untuk memberikan
imunisasi pada bayinya.
167
Jadi ketidak lancaran program imunisasi ini karena tidak
adanya sosialisasi dan penjelasan kepada warga. Sosialisasi dan
penjelasan di sini dalam artian sampai bisa membuat warga
masyarakat mengerti apa itu imunisasi, apa efeknya dan tujuannya
untuk apa.
Untuk melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat ini
sangat perlu melibatkan para Tengku di desa. Para Tengku itulah yang
nantinya omongannya akan didengarkan dan dianut oleh warganya.
Peran Tengku di sini adalah untuk menghindari benturan informasi
terkait dengan aturan syariat yang dipegang teguh oleh warga.
Informasi yang berlawanan dengan hukum syariat yang disampaikan
oleh para Tengku akan bisa meruntuhkan informasi itu sendiri di mata
masyarakat desa. Masyarakat akan menolak informasi tersebut dan
mengingatnya sebagai sesuatu yang terlarang.
V. 2. Penertiban Acara TV
Sosialisasi dan penyadaran tentang kesehatan bagi masyarakat
sangatlah perlu dilakukan. Tingkat pendidikan masyarakat yang
rendah mengakibatkan dipegangnya informasi tentang kesehatan ini
dari issu-issu atau acara TV. Sering kali informasi ini adalah informasi
yang kontra produktif bagi kesehatan masyarakat itu sendiri. Banyak
juga yang bahkan tidak ada informasi apapun terkait kesehatan
masyarakat.
Lepas tangannya pemerintah terhadap pendidikan secara luas
juga sudah saatnya dikoreksi. Acara-acara yang ditayangkan TV
seharusnya lebih bernuansa informasi dari pada cerita khayalan yang
menyesatkan. Pada masyarakat yang tinggal di desa-desa dengan
tingkat pendidikan yang relatif masih kurang hal ini berdampak
negatif. Masyarakat cenderung mencari pembenaran atas ketidak
mampuan dan keterbatasan yang dialaminya dari acara TV, bukan
meningkatkan kemampuan untuk bisa memenuhi standar hidup yang
lebih baik. Yang dipilih adalah yang jauh lebih mudah.
168
Acara-acara TV yang menjadi favorit di desa-desa seharusnya
ditertibkan demi mempertimbangkan kultur masyarakat pedesaan.
Ketika acara TV seperti sinetron itu menyajikan cerita yang tidak benar
atau tidak mungkin terjadi di dunia nyata bagi masyarakat pedesaan
acara itu menyebarkan “dusta”. Dia memberikan informasi palsu pada
masyarakat. Sayangnya sebagian masyarakat tidak tahu bahwa cerita
dalam sinetron itu tidak benar sehingga menganggapnya sebagai
informasi yang benar.
Hal seperti ini bisa berdampak kontra produktif dalam
pembangunan. Pihak produser dan stasiun TV tentu saja tidak bisa
diharapkan dalam hal ini. Mereka hanya bekerja mencari uang
sebanyak mungkin. Pemerintahlah yang seharusnya mengambil
tanggung jawab.
Sosialisasi tentang imunisasi atau tentang bagaimana
menyikapi isu lemak babi akan sangat efektif bila disisipkan dalam
serial sinetron. Disampaikan dengan benar dan mudah dimengerti
secara bertanggung jawab. Informasi-informasi ini jika disampaikan
dalam serial sinetron favorit akan terserap sampai ke kampung-
kampung dan akan menjadi referensi masyarakat dalam berpikir dan
memutuskan sesuatu.
V. 3. Meleburkan Para Petugas Kesehatan dalam Kehidupan
Sosial Masyarakat
Bidan desa di Kabupaten Aceh Utara banyak yang tidak
menginap di desa. Mereka bahkan ada yang jarang datang ke Pustu.
Terlebih lagi para bidan PTT juga sama. Wacana bidan desa yang tidak
tinggal di desa ini muncul juga di film lokal berbahasa Aceh yang VCD-
nya beredar dan menjadi hiburan banyak masyarakat di Desa Sawang,
terutama yang tidak bisa bahasa Indonesia. Mungkin ada baiknya
mempertimbangkan asal bidan untuk menjadi bidan desa. Bidan desa
yang ditugaskan dari desa setempat atau desa terdekat sehingga
169
mereka mau menetap di desa. Seperti Bidan Dhea yang menginap di
Pustu Sawang karena dia dari desa yang dekat.
Di samping itu bidan dan tenaga medis lainya sebaiknya
membaur dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Untuk ini
mental untuk menjadi tenaga medis di pedesaan harus dibangun sejak
masa pendidikan. Sistim atau kurikulum pendidikan para tenaga
medis pedesaan harus mempersiapkan untuk hal ini.
V. 4. Penelitian tentang Vaksin yang Menimbulkan Efek
Demam yang Berlebihan
Mereka yang tahu tentang imunisasi juga banyak yang
menolak imunisasi untuk bayi mereka karena efek bengkak dan
demam yang membuat bayi rewel. Para orang tua ini mengandalkan
imunisasi untuk anak mereka kalau sudah masuk SD. Pihak SD biasa
memberikan imunisasi pada siswa mereka dari kelas satu, dua, dan
tiga. Anak usia SD dianggap lebih mampu menghadapi bengkak dan
demam akibat imunisasi.
Memang ada kecenderungan warga untuk menolak imunisasi
untuk anak mereka karena mereka tidak tahu anaknya mau diapakan.
“Kalau ada apa-apa nanti siapa yang bertanggung jawab?”
Kekhawatiran paling mendasar para orang tua bila bayinya diimunisasi
adalah terjadinya bengkak dan demam antara tiga sampai lima hari.
Hal ini banyak terjadi terutama untuk imunisasi BCG yang disuntikkan
di lengan atas. Ketakutan mereka adalah kalau nanti terjadi step pada
bayinya. Step atau panas yang tinggi pada bayi memang merupakan
hal yang serius karena berpotensi menimbulkan kelainan permanen
pada bayi. Di samping itu ketika terjadi demam maka selama tiga
sampai lima hari tersebut bayi akan rewel, dan itu sangat merepotkan
bagi orang tua.
Penanganan atas masalah ini adalah merupakan hal yang
serius untuk dilakukan oleh pemerintah jika memang program
170
imunisasi lengkap ini masih dianggap perlu untuk dilanjutkan.
Timbulnya bengkak dan demam selama tiga sampai lima hari setelah
imunisasi adalah efek yang berlebihan. Hal ini juga tidak hanya terjadi
di Desa Sawang tetapi juga di desa-desa di berbagai pelosok Indonesia
yang pada tahun ini menjadi lokasi untuk penelitian etnografi dari
Kementrian Kesehatan.
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah yang
sebenarnya terjadi dengan vaksin ini. Apakah telah terjadi kerusakan
pada vaksin karena perjalanan jauh untuk mencapai desa-desa yang
terpencil itu? Ataukan masyarakat yang hidup di daerah terpencil
tidak cocok dengan vaksin yang dipakai untuk masyarakat yang lebih
mudah dijangkau karena pola konsumsinya atau gaya hidupnya? Atau
ada hal yang lain yang menyebabkan vaksin tersebut menimbulkan
efek yang berlebihan?
Muncul dan berkembangnya penolakan masyarakat atas
program imunisasi—termasuk berkembangnya wacana bahwa
imunisasi itu haram, jika ada—adalah reaksi masyarakat atas resiko
efek vaksin yang berlebihan tersebut. Tidak memperdulikan masalah
efek vaksin yang berlebihan tersebut dan menimpakan semua beban
dan resiko pada para orang tua demi suksesnya program imunisasi
adalah kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak bijaksana.
171
PUSTAKA
Kemenkes RI,“Protokol Riset Khusus Budaya Kesehatan”, 2015.
Ratnawati, Atik Tri., dkk., “Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu
Sosial Budaya”, Kepel Press, Yogyakarta, 2005.
Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. Tangis Budak
dari Negeri Seribu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri
Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB.
2014.
Kresno, Sudarti, “Aspek Sosial Budaya dalam Kesehatan”, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2005.
Faisal, Sanapiah, “Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi”, YA3,
Malang, 1990.
Kementrian Kesehatan RI, “Sistem Kesehatan nasional”, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta, 2009.
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013
Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2012
Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013
Spradley, James P., “Metode Etnografi”, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta,
1997.
Ningsi, Ngeolima, r., Hamzah, s., Handayani, l. Rekam Jejak Terengi.
Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi
Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014.
Ahimsa Putra, Heddy Shri, “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial
Budaya”, Kepel Press, Yogyakarta, 2005.
Emzir, “Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data”, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
172
Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi”, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 1990.
Foser dan Anderson, “Antropologi Kesehatan”, UI Press, Jakarta, 2011.
Ulfah, Syafrina,“Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi dalam
Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD)”,
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatera Utara,Medan, 2013.
Linda, Maas T., “Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi Budaya dan
Dampak Kesehatannya”, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatra Utara, 2004.
Kerajaan Samudera Pasai,
http://melayuonline.com/ind/history/dig/63, diakses 25
Juni 2015
NN, “Christiaan Snouck Hurgronje”,
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Cristian_Snouck_Hurgronje,
diakses 26 juni 2015.
Zentgraaff, H.C., “Atjeh”, Koninklijke Drukkerij De Unie, Batavia, 1938.
Syamsyudin, T., dkk. “Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Aceh”, Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan
Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Data Imunisasi 40 Desa Puskesmas Samudera tahun 2015
NN, “7 Jenis Virus yang Dapat Dicegah Melalui Imunisasi”,
http://gusdwi.info/7-jenis-virus-yang-dapat-dicegah-
melalui-imunisasi-bayi-dan-anak.html, diakses 24 Juni 2015.
Suhardjo,“Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak”, Kanisius,
Yogyakarta, 2000.
Bustan, MN., “Epidemiologi Penyakit Tidak Menular”, Rineka Cipta,
Jakarta, 2007.
Buku Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012
173
GLOSARIUM
ASI : Air Susu Ibu ASI eksklusif : Pemberian ASI saja tanpa makanan minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan Balita : Bayi dibawah lima tahun Boh krut : Buah jeruk purut Dakwah : Acara ceramah Islam Dayah : Pesantren Door to door : Dari rumah ke rumah secara langsung. Darah mameh : Kencing Manis, Penyakit Diabetes Melitus. Duek pakat : Acara desa sebelum kenduri, yaitu mendatangi rumah yang akan kenduri dan mengadakan musyawarah Gampong : Kampong Geuchik : Kepala desa Grandong : Hantu yang ditakuti oleh orang yang takut
hantu karena setiap hari muncul di layar kaca Hana peng : Tidak punya uang Haram : Tidak diperbolehkan dalam hukum Islam Imunisasi : Pemberian vaksin untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat I taptap : Digigit Jak u pasi : Ayo ke pantai Jep ie : Minum Air JKN : Jaminan Kesehatan Nasional JKRA : Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh Kader Posyandu : Masyarakat penggerak kegiatan posyandu KB : Keluarga Berencana Kedei : Warung tempat membeli kebutuhan sehari-hari dan duduk-duduk mengobrol. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KMS : Kartu Menuju Sehat sebagai pencatatan
174
kesehatan ibu hamil dan balita Meunasah : Balai tempat kegiatan masyarakat MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit Oeun mulu : Daun mulu Oen pulot : Daun pandan Oen Ranup : Daun sirih Polindes : Pos Persalinan Desa Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu Pustu : Puskesmas Pembantu Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Rajah : Pengobatan dengan doa RBT : Jasa antar dengan motor Stroop : Minuman berwarna, sirup Suum : Panas Sweeping : Melakukan imunisasi secara aktif dengan berkeliling desa dari rumah ke rumah untuk melakukan imunisasi. Tangkai : Obat-obatan untuk ibu hamil/anak-anak yang sudah di kasih do’anya. Tengku : Sebutan tokoh agama Islam di Aceh UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat Umi : Guru mengaji Vaksin : Bahan antigenik yang digunakan untuk
menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme
alami atau “liar” WUS : Wanita Usia Subur
175
UCAPAN TERIMA KASIH
Sebuah perjalanan yang penuh tantangan ketika kami dari Tima Riset Etnografi Kesehatan bisa sampai ke Desa Sawang, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Issu-issu yang kami dengar sebelum berangkat dan ketika mengurus perijinan sempat membuat kami menumpuk keberanian untuk tetap pada rencana, Penelitian di Aceh Utara.
Terima kasih yang tak terhingga sebelumnya kami sampaikan kepada segenap jajaran Pemerintah Daerah Aceh Utara, Dinas Kesehatan Aceh Utara, Camat Samudera, Puskesmas Samudera, Pustu Sawang, Pak Geucik Sawang, dan seluruh masyarakat Desa Sawang yang baik menerima kami selama lebih dari satu bulan di sana.
Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada seluruh staff PUSHUM Surabaya yang telah membiayai penelitian ini. Teman-teman tim REK 2015 yang saling mengisi dalam workshop perencanaan maupun workshop penulisan di Surabaya. Semoga barokah.
Untuk warga Desa Sawang pada khususnya saya begitu berharap hasil penelitian ini dapat memberikan paling tidak satu langkah menuju kebaikan.
Salam berusaha dan salam sejahtera,
Tim REK Aceh Utara 2015
176
TENTANG PENULIS
Basunanda Wirabaskara.
Menyelesaikan pendidikan-nya di
Jurusan Antropologi UGM,
Yogyakarta pada tahun 1998.
Setelah itu banyak melakukan
penelitian, baik kuantitatif maupun
kualitatif. Latar belakang
pendidikannya di Jurusan
Antropologi UGM menjadi dasar yang kuat untuk menjadi seorang
etnografer. Berbagai penelitian etnografi pernah dilakukan. Kombinasi
dengan minatnya dalam bidang fotografi membuatnya menjadi
seorang etnofotografer. Metode etnofotografi ini memang belum
banyak dikenal luas, tetapi metode ini adalah metode etnografi yang
didukung dengan data foto yang mampu menyampaikan hal-hal yang
tidak terlihat dan tidak terkatakan dalam metode etnografi.
Siti Khodijah Parinduri, SKM. Anak
ketiga dari empat bersaudara. Lahir di
Bogor, 14 Oktober 1991 dari pasangan
M. Zuhdi Parinduri dan Khairani
Nasution. Lulus dari SMA Negeri 1
Bogor, merantau menempuh
pendidikan Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Universitas Sumatera
Utara peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dan lulus
tahun 2014. Kini melanjutkan studi di Universitas Indonesia di Fakultas
Kesehatan Masyarakat peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Menulis merupakan ekspresi diri dalam menebarkan ilmu dan
manfaat. Mencintai Indonesia dan menularkannya melalui tulisan.
177
Meraih gelar doktor di Program Pascasarjana Universitas Airlangga
tahun 2003-2008. Pernah bekerja di Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1991-2001. Kemudian
pindah menjadi peneliti di Badan Litbangkes Kemeterian Kesehatan RI
tahun 2001 sampai sekarang. Sebagai Peneliti di Pusat Humaniora
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura
No.17 Surabaya.
Gurendro Putro. Lahir di Surakarta,
19 Juni 1967. Pendidikan SDN
Wotsogo IV lulus 1980,
Menyelesaikan pendikan SMPN I
Jatirogo tahun 1983, Melanjutkan
SMAN I Tuban lulus tahun 1986.
Menyelesaikan studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Universitas Airlangga
tahun 1990, kemudian melanjutkan
S2 Program Pascasarjana Universitas
Airlanga tahun 1994-1996.