18
BAB II
KECERDASAN EMOSIONAL DAN POLA ASUH ORANG TUA
A. Karakteristik Anak Usia Dini
1. Karakteristik Perkembangan Fisik Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah istilah yang digunakan pada anak kecil dari mulai lahir
sampai usia delapan tahun (Bredekamp, 1992), atau mulai lahir (masa bayi) sampai
enam tahun (masa kanak-kanak) (Fawzia A. Hadis, 1996: 18).
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan
berikutnya. Ditambahkan pula oleh Yusuf (2003: 163) dengan meningkatnya
pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya
memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya, dan
eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orangtuanya.
Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih
dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.
Yusuf (2003: 163) menjelaskan bahwa:
proporsi tubuh anak pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg; sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan tulang-tulangnya semakin besar dan kuat. Pertumbuhan giginya semakin lengkap/komplit sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan.
19
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran
orang dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini juga terjadinya
pertumbuhan myelinization (lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan
penyekat berwarna putih, yaitu myelin) secara sempurna. Lapisan urat syaraf ini
membantu transmisi impul-impul syaraf secara cepat, yang memungkinkan
pengontrolan terhadap kegiatan-kegiatan motorik lebih seksama dan efisien.
2. Karakteristik Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini
Menurut Piaget (Yusuf, 2003: 165), perkembangan kognitif pada usia ini
berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu
menguasai operasi mental secara logis. Yang dimaksud dengan operasi adalah
kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai
dengan berkembangnya representasional, atau symbolic function, yaitu kemampuan
menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan
menggunakan simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga
dikatakan sebagai semiotic function, kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol
(bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda, gesture, atau peristiwa) untuk melambangkan
suatu kegiatan, benda yang nyata, atau peristiwa.
Meskipun berpikir melalui simbol ini dipandang lebih maju dari berpikir
periode sensorimotor, namun kemampuan berpikir ini masih mengalami keterbatasan
20
(Yusuf, 2003: 166). Keterbatasan yang menandai, atau yang menjadi karakteristik
periode preoperasional ini adalah sebagai berikut:
a. Egosentrisme, yang maksudnya bukan selfishness (egois), atau arogan
(sombong), namun merujuk kepada (1) diferensiasi diri, lingkungan orang lain
yang tidak sempurna, dan (2) kecenderungan untuk mempersepsi, memahami
dan menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri.
b. Kaku dalam berpikir (rigidity of tought). Salah satu karakteristik berpikir
preoperasional adalah kaku (frozen). Salah satu contohnya, berpikirnya itu
bersifat centration (memusat), yaitu kecenderungan berpikir atas dasar satu
dimensi, baik mengenai objek maupun peristiwa, dan tidak menolak dimensi-
dimensi lainnya.
c. Semilogical reasoning. Anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-
peristiwa alam yang misterius, yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pemecahannya dalam menjelaskannya itu dianalogikan dengan
tingkah laku manusia.
3. Karakteristik Perkembangan Emosi Anak Usia Dini
Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya
(dirinya) berbeda dengan bukan Aku (orang lain atau benda) (Yusuf, 2003: 167).
Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya
dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Bersamaan dengan itu, berkembang pula
21
perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika
lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti
memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada diri anak
akan berkembang sikap-sikap: (a) keras kepala/menentang, atau (b) menyerah
menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso, dkk.
(ed), 1982).
Yusuf (2003: 168) mengungkapkan bahwa ada beberapa jenis emosi yang
berkembang pada masa anak, yaitu sebagai berikut:
a. Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap
membahayakan.
b. Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya.
Kecemasan ini muncul mungkin dari situasi-situasi yang di khayalkan,
berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik perlakuan orangtua, buku-buku
bacaan/komik, radio atau film.
c. Marah, merupakan perasaan tidak senang atau benci baik terhadap orang lain,
diri sendiri, atau objek tertentu, yang diwujudkan dalam bentuk verbal atau
nonverbal. Perasaan marah merupakan reaksi terhadap situasi frustasi yang
dialaminya yaitu perasaan kecewa atau perasaaan tidak senang karena adanya
hambatan terhadap pemenuhan keinginannya.
d. Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang
telah merebut kasih sayang dari seorang yang telah mencurahkan kasih sayang
22
kepadanya. Sumber yang menimbulkan rasa cemburu biasanya bersifat situasi
sosial atau menyangkut antara hubungan dengan orang lain.
e. Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman,
karena terpenuhi keinginannya.
f. Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau
perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini
berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan dalam
berhubungan dengan orang lain atau hewan atau benda seperti mainan.
g. Phobia, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya
(takut yang abnormal) seperti takut ulat, kecoa, takut air, takut nasi dll.
h. Rasa ingin tahu (curiosity), yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui
segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Perasaan ini ditandai dengan pertanyaaan-pertanyaan yang diajukan anak.
4. Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini
Yusuf (2003: 170) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak usia
dini, dapat diklasifikasikan kedalam dua tahap (lanjutan dari dua tahap pada masa
bayi), yaitu sebagai berikut:
a. Masa ketiga (2,0-2,6) yang bercirikan:
1) Anak sudah bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna
23
2) Anak sudah mampu mamahami tentang perbandingan, seperti, kucing
lebih kecil dari kambing, dan kambing lebih kecil dari sapi.
3) Dapat menanyakan nama dan tempat, apa dan dari mana.
b. Masa keempat (2,6-6,0) yang bercirikan
1) Anak sudah mengggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2) Tingkat berfikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal
waktu, sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana,
mengapa dan bagaimana
5. Karakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia Dini
Pada usia dini (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah
tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman
sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah (Yusuf, 2003:
171):
a. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga, maupun
dalam lingkungan bergaul.
b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.
c. Anak mulai menyadari hal atau kepentingan orang lain.
d. Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer
group)
24
B. Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Oxford English Dictionary (Goleman, 2003: 114), emosi diartikan
sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan
mental yang hebat atau meluap-luap.
Sedangkan dalam kamus The American College Dictionary, emosi adalah
suatu keadaan afektif yang disadari di mana dialami perasaan seperti kegembiraan
(joy), kesedihan, takut, benci, dan cinta (dibedakan dari keadaan kognitif dan
keinginan yang disadari); dan juga perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan,
takut, benci dan cinta. (Djaali , 2007: 37).
Menurut Crow & Crow (Kuryati, 2007), emosi adalah pengalaman yang
efektif yang disertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, di mana keadaan
mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat
diperlihatkan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata. Menurut Kaplan dan
Saddock, emosi adalah keadaan perasaan yang kompleks yang mengandung
komponen kejiwaan, badan dan perilaku yang berkaitan dengan affect dan mood.
Affect merupakan ekspresi sebagai tampak oleh orang lain dan affect dapat bervariasi
sebagai respon terhadap perubahan emosi, sedangkan mood adalah suatu perasaan
yang meluas, meresap dan terus-menerus yang secara subjektif dialami dan dikatakan
oleh individu dan juga dilihat oleh orang lain.
25
Lebih lanjut, Syamsudin (1990, 17) menyatakan emosi dapat didefinisikan
sebagai suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (a
strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya sesuatu
perilaku. Gejala-gejala seperti takut, cemas, marah, dongkol, iri, cemburu, senang,
kasih sayang, simpati dan sebagainya merupakan beberapa proses manifestasi dari
keadaan emosional pada diri seseorang.
Aspek emosional dari sesuatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga
variabel yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable);
perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi apabila mengalami emosi (the
organismic variable); dan pola sambutan ekspresif atas terjadinya pengalaman
emosional itu (the response variable). Yang mungkin dapat diubah dan dipengaruhi
atau diperbaiki (oleh para pendidik atau guru) adalah variabel pertama dan ketiga (the
stimulus-response variables), sedangkan variabel kedua tidak mungkin karena
merupakan proses fisiologis yang terjadi pada organisme secara mekanis
(Syamsuddin, 1990: 17).
Goleman (2003: 411) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Semua emosi pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah
ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.
26
Istilah kecerdasan emosional (Emotional Intelligence, EI) untuk pertama
kalinya digunakan oleh dua ahli psikologi yaitu: Peter Salovey dari Universitas
Harvard, dan John Mayer dari Universitas New Hampshire, untuk menerangkan
kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Shapiro,
1997: 5). Dapat dijelaskan bahwa kualitas-kualitas ini antara lain: empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Salovey dan Mayer (1999), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
berikut:
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Salovey dan Mayer (1999) menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk
menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan
penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola
perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan.
Ada dua bagian dalam kecerdasan emosi. Bagian pertama melibatkan emosi
pemahaman intelektual. Bagian kedua melibatkan emosi yang menjangkau ke dalam
sistem intelektual dan menghasilkan pemikiran dan ide kreatif. Bagian kedua ini amat
sukar ditentukan dalam makmal tetapi dipercayai wujud.
27
Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional menunjuk
kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan
perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata
dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian, kecerdasan emosional meliputi kecerdasan diri (self
smart), dan kecerdasan dalam berhubungan dengan orang lain (people smart).
Sementara Soegeng Santoso (2002: 39) mendefinisikan kecerdasan emosi
sebagai:
kemampuan emosi yang sangat tinggi atau cerdas sehingga seseorang mampu berbuat sesuatu yang tepat dan berhasil bahkan dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi sekarang dan masa mendatang... kecerdasan emosional merupakan bagian dari kepribadian manusia dan langsung berhubungan dengan pelakunya.
Dari beberapa pengertian diatas kecerdasan emosional pada anak usia dini
adalah kemampuan untuk melihat, mengamati, mengenali bahkan mempertanyakan
tenang diri sendiri ; who am I? Siapakah Aku ini sesungguhnya? Jika anak-anak
dalam usia yang relatif dini sudah bertanya kepada orang tuanya berkenaan dengan
dirinya sendiri, bagaimana saat bayi, mulai berjalan, apa kesukaannya dan berbicara
tentang rencana dan keinginannya, hal itu menandakan kecerdasan yang dimilikinya.
Lebih-lebih jika anak-anak itu mampu menahan amarah dan kekesalannya, masih
dalam batas kata-kata dan sikap argumentatif tentu hal itu sesungguhnya
menandakan kematangan jiwanya. (Suharsono, 2005: 114)
28
Selama awal masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat
ketidakseimbangan karena anak-anak keluar dari fokus, dalam arti bahwa ia mudah
terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Hal ini
tampak mencolok ada anak-anak usia 2,5 samai 3,5 dan 5,5 sampai 6,5 tahun,
meskipun ada umumnya hal ini berlaku pada hampir seluruh periode masa kanak-
kanak (Hurlock, 1980:114).
Anak yang emosinya cerdas akan mampu menata perasaannya seperti
mengatasi kesedihan, ketakutan, dan mengelola berbagai sisi emosi dalam dirinya.
Disamping itu, anak yang emosinya cerdas akan pandai memahami keadaan orang
lain, muah merasakan kesedihan dan kekhawatiran yang dirasakan temannya,
sehingga tumbuh empati mereka untuk menghibur teman tersebut.
2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosional
Ada dua dimensi emosional yang perlu diketahui oleh para pendidik, terutama
para guru di sekolah. Dua dimensi tersebut adalah senang tidak senang (pleasant-un
pleasant) atau suka tidak suka (like-dislike), dan intensitas dalam bentuk kuat-lemah
(strength-weakness) atau halus-kasarnya atau dalam dangkalnya emosi tersebut. Hal-
hal tersebut penting karena akan dapat memberikan motivasi atau dorongan
pengarahan dan kesatuan perilaku seseorang, namun juga akan merupakan hambatan-
hambatan yang bersifat fatal.
29
Sedangkan Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 1995: 45) memperluas
definisi kecerdasan emosi tersebut ke dalam 5 wilayah utama, yaitu :
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri adalah kesadaran diri (self awarness) untuk mengenali
perasaan sewaktu itu melanda, merupakan kesadaran emosional. Menurut
Mayer, kesadaran diri atau metamood, berarti waspada terhadap suasana hati
maupun pikiran tentang suasana hati (Kuryati, 2007: 28).
Lebih lanjut Kuryati (2007: 28) menyatakan bahwa kemampuan untuk
mengenali emosi diri ini, berasal dari korteks atau otak berfikir (otak rasional)
untuk mengenali bermacam-macam emosi yang dialami, kemudian data
tentang pengalaman tersebut disimpan dalam data memori seiring dengan
bertambahnya usia, anak mulai mampu membedakan atau mengenali
emosinya, misalnya rasa takut dan marah. Rasa marah itu suatu ekspresi yang
lebih sering diungkapkan pada masa anak-anak dibandingkan dengan rasa
takut.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi adalah pengendalian dan pengaturan perasaan dalam
memahami dan merespon efek-efek dari perilaku sosial berkenaan dengan
aturan emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Kemampuan mengendalikan
emosi atau perasaan, akan berpengaruh terhadap cara-cara mengekspresikan
perasaan. Kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya lewat kata-
30
kata adalah bagian penting dalam tahap perkembangan kemampuan untuk
mengekspresikan perasaannya secara tepat (Kuryati, 2007: 29).
c. Memotivasi diri sendiri
Memotivasi diri untuk mencapai tujuan terdengar sederhana, namun terasa
berat, kita harus mampu menunda keinginan, dan mengabaikan godaan demi
tercapainya tujuan.
Orang yang termotivasi mempunyai keinginan dan kemauan dalam
menghadapi dan mengatasi rintangan-rintangan. Bagi banyak orang, motivasi
diri sama dengan kerja keras, dan kerja keras akan membuahkan keberhasilan
dan kepuasan pribadi. Orang yang demikian memiliki ketekunan luar biasa,
dan ketekunan ini akan mampu menciptakan kinerja yang tinggi dalam bidang
apapun dan lebih produktif (Shapiro, 2001: 225).
Anak-anak yang termotivasi untuk belajar mampu menyelesaikan tugas,
sementara temannya menyerah. Mereka tetap tekun belajar, ketika yang lain
tergoda untuk bermain.
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali perasaan dan keinginan orang lain dari sudut pandang
orang lain tersebut, adalah kemampuan berempati. Menurut Surya (2003: 3),
empati memiliki makna sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain
secara paripurna baik yang tampak maupun yang terkandung khususnya aspek
perasaan, pikiran dan keinginan. Dengan berempati (Surya, 2003: 3) kita
31
berusaha menempatkan diri kita dalam suasana perasaan, pikiran dan
keinginan orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya memahami perasaan
orang lain, akan tetapi mampu menghayati bagaimana perasaan kita apabila
berada dalam sitasi orang lain.
e. Membina Hubungan
Seni membina hubungan dengan orang lain erat hubungannya dengan
keterampilan emosi yang lain. Kuryati (2007: 31) menjelaskan agar terampil
membina hubungan dengan orang lain kita harus mampu mengenal dan
mengelola emosi mereka. Untuk mengelola emosi orang lain kita perlu
terlebih dahulu mengendalikan diri, mengendalikan emosi yang mungkin
berpengaruh buruk dalam hubungan sosial, dan mengekspresikan diri.
3. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini
Pada anak usia dini, anak sudah menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya)
tidak sama dengan bukan aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari
pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda
lain (Yusuf, 2003: 167).
Anak menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang
lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Bersamaan
dengan itu berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari
lingkungannya. Apabila lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga
32
diri anak, seperti memperlakukan anak dengan keras, atau kurang menyayangi, maka
pada diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala, menyerah menjadi
penurut, pemalu, dan lain-lain (Yusuf, 2003: 167).
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Pada Anak
Banyak faktor yang mempengaruhi kuat dan seringnya emosi dalam awal
masa kanak-kanak. Menurut Kuryati (2007: 33), emosi sangat kuat pada usia tertentu
dan berkurang pada usia yang lain. Ledakan amarah, misalnya mencapai puncaknya
antara usia dua dan empat, setelah itu amarah berlangsung tidak terlampau lama dan
berubah menjadi merajuk, merenung. Rasa takut juga mengikuti pola yang sama,
sebagian karena anak sadar bahwa situasi yang tadinya ditakuti ternyata tidak
menakutkan dan sebagian karena adanya tekanan sosial yang menyebabkan ia merasa
harus menyembunyikan ketakutannya. Sebaliknya, cemburu mulai sekitar dua tahun
dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia anak.
Menurut Saidah (2003: 51) faktor genetik dan faktor lingkungan adalah faktor
penentu tumbuh kembang seorang anak secara keseluruhan, termasuk perkembangan
emosinya. Faktor genetik adalah faktor bawaan yang menentukan sifat bawaan anak
tersebut. Jadi potensi anak tersebut memang menjadi ciri khas yang ditemukan dari
orangtuanya. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan pada anak dalam
konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut berada.
Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai (provider) kebutuhan dasar anak untuk
33
tumbuh kembang. Jadi faktor genetik/heredokonstusional menentukan potensial anak
namun faktor lingkungan menentukan tercapai tidaknya potensial tersebut.
Kuryati (2007: 34) menambahkan kecerdasan emosi bisa menguat atau
terkikis bergantung pada apa yang dihadapi anak setiap hari. Kecerdasan emosional
anak bisa menguat, bila orangtua melatih anak-anaknya untuk memecahkan masalah,
menghadapkan mereka pada rintangan dan tantangan baru, bersikap empati,
menetapkan batas-batas yang tegas, mewajibkan sikap patuh, dan sebagainya.
Sehingga anak dapat mengendalikan diri, lebih bertanggung jawab, bersikap adaptif,
dan sikap lainnya yang diharapkan.
C. Pola Asuh Orang Tua
1. Konsep Keluarga
M.I Soelaeman (1978, dalam Yusuf, 2003: 35-36) mengemukakan pendapat
para ahli mengenai pengertian keluarga, yaitu:
a. F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandangan sosiologis,
keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu:
1) Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah
atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan clan atau marga;
2) Dalam arti sempit, keluarga meliputi orangtua dan anak.
b. Maciver menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat di mana-
mana, yaitu:
34
1) Hubungan berpasangan kedua jenis,
2) Perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengkokohkan hubungan
tersebut,
3) Pengakuan akan keturunan,
4) Kehidupan ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati bersama, dan
5) Kehidupan berumah tangga.
Dalam nada yang sama, Sudardja Adiwikarta (1988) dan Sigelman & Shaffer
(1995) dalam Yusuf (2003: 36) berpendapat bahwa keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap masyarakat di dunia
(universe) atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial
yang lebih besar.
2. Peran dan Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadidan kecerdasan emosional anak. Perawatan orangtua yang
penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat (Yusuf,
2003: 37).
Yusuf (2003: 37) menyatakan bahwa keluarga yang bahagia merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama
35
anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya
secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman,
kasih sayang dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.
Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasa, akan tetapi juga
menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan
keinginan untuk menumbuh kembangkan anak yang dicintainya.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluaga ini, Yusuf (2003: 38)
mengemukakan bahwa secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai:
a. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya,
b. Sumber pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikis,
c. Sumber kasih sayang dan penerimaan,
d. Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota
masyarakat yang baik,
e. Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap
tepat,
f. Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka
menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan,
g. Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial
yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,
h. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi,
baik di sekolah maupun di masyarakat,
36
i. Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, dan
j. Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk
mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan luar rumah tidak
memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, Yusuf (2003: 38) menambahkan
bahwa fungsi keluarga ini dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut:
a. Fungsi biologis
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas,
kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar biologisnya.
b. Fungsi ekonomis
Keluarga (dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi
anggota keluarganya (istri dan anak).
c. Fungsi pendidikan
Keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanamam, pembimbingan
atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya dan keterampilan-keterampilan
tertentu yang bermanfaat bagi anak.
d. Fungsi sosialisasi
Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-
nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh
para anggotanya
37
e. Fungsi perlindungan
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari
gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-
psikologis) para anggotanya.
f. Fungsi rekreatif
Keluarga berfungsi sebagai pemberi kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan
penuh semangat bagi anggotanya.
g. Fungsi agama
Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai agama kepada anak-anak
agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.
3. Konsep Tentang Pola Asuh
a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Soelaeman (1994: 10) upaya orang tua dalam merealisasikan peran
dan fungsi di keluraga akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam
membimbing, mendidik dan merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat
berkembang dengan baik. Cara orang tua dalam mengasuh anak inilah yang
kemudian disebut dengan pola asuh orang tua.
Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999: 778) pola asuh
berasal dari dua kata yakni pola dan asuh. Pola artinya model, sedangkan asuh berarti
membimbing, membantu, dan melatih. Jadi pola asuh adalah menjaga (merawat dan
38
mendidik) anak atau membimbing, membantu atau melatih supaya yang dibimbing
dapat berdiri sendiri.
Syaodih (1999: 10) selanjutnya menyatakan bahwa pola asuh orang tua
adalah kecenderungan yang relatif menetap dari orang tua dalam memberikan
didikkan, bimbingan dan perawatan kepada anak-anaknya.
Chaplin (2994: 290), seorang pakar psikologi memberikan pengertian pola
asuh dengan menggunakan istilah maternal behavior sebagai tingkah laku yang
diperlukan untuk memelihara dan mengasuh anak.
Petranto (2006: 5), seorang psikolog klinis LPT UI memberi pengertian pola
asuh orang tua sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif
konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi
negatif maupun positif.
Dari beberapa pengertian pola asuh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pola asuh orang tua adalah cara perlakuan orang tua dalam membimbing, merawat,
melatih, dan berinteraksi dengan anaknya, dilakukan relatif konsisten dengan tujuan
agar anak dapat hidup lebih baik di masa yang akan datang.
b. Model-model Pola Asuh Orang Tua
Banyak penelitian tentang pola asuh orang tua memandang penting
pengklasifikasian. Hal ini penting untuk memahami pengaruh kuat dari pola asuh
39
tersebut. Merujuk pada pendapat Baumrind (Santrock, 002: 257), psikolog pada
umumnya setuju membagi pola asuh orang tua ini ke dalam tiga klasifikasi yaitu:
1) Authoritative parenting, ialah suatu gaya pengasuhan (pola asuh) yang
mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang
ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta
kasih sayang kepada anak. Pengasuhan otoritatif diasosiasikan dengan
kompetensi sosial anak-anak. Selain itu pola asuh ini juga memprioritaskan
kepentingan anak, tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua
dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu menyadari tindakannya pada
rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui
kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak
untuk memilih dan melakukan sesuatu tindakan. Hubungan orang tua
demokratis biasanya ditandai dengan kontrol yang tinggi dan kehangatan yang
tinggi.
2) Authoritarian parenting, ialah suatu gaya pengasuhan (pola asuh) yang
membatasi dan menghukum, menuntut anak untuk mengikuti perintah-
perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang
otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang
yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan
40
otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak. Pola asuh
otoriter juga cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau
makan, maka tidak akan diberi uang jajan. Orang tua tipe ini juga cenderung
memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan
apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak akan segan
menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengneal kompromi, dan
dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak
memberikan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
Hubungan orang tua otoriter biasanya di tandai dengan kontrol yang tinggi
dan kehangatan yang rendah.
3) Permissive Parenting, menurut Maccoby & Martin (Santrock, 2002: 258)
mengemukakan bahwa pengasuhan yang permissive terjadi dalam dua bentuk,
yaitu permissive indulgent dan permissive indifferent. Permissive indulgent
ialah suatu gaya pengasuahan (pola asuh) dimana orang tua sangat terlihat
dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau
kendali terhadap anak-anaknya. Pola asuh permissive indulgent diasosiasikan
dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri. Hubungan
orang tua permissive indulgent biasanya ditandai dengan kontrol yang rendah
dan kehangatan yang tinggi. Permissive indifferent ialah suatu gaya
pengasuahan (pola asuh) dimana orang tua sangat tidak terlihat dalam
41
kehidupan anak. Pola asuh permissive indifferent diasosiasikan dengan
inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri dan tidak
membangun kemandirian dengan baik. Pola asuh permissive indifferent dapat
diidentifikasikan sebagai tipe penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya
memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu
mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja,
dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Hubungan
orang tua permissive indifferent biasanya ditandai dengan kontrol yang rendah
dan kehangatan yang rendah pula.
Masih menurut Baumrind (Papalia, 2001: 300), menyatakan bahwa model
pola asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah:
1) Authoritharian, dalam pola asuh ini orang tua mencoba untuk membuat anak-
anaknya memenuhi standar dari perilakunya, kewenangannya untuk
menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan kurang hangat
dari orang tua lainnya.
2) Permissive, dalam pola asuh ini orang tua serba membolehkan, mandiri, self
expresion dan self regulation. Para orang tua lebih mempertimbangkan pada
kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya. Mereka pada umumnya
membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk dapat
memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat
peraturan, mereka menjelaskan alasan mereka. Mereka juga
42
membicarakannya dengan anak-anak mengenai keputusan dari
kebijaksanaannya dan jarang menghukum. Mereka bersahabat, tidak
mengawasi dan tidak memaksa.
3) Authoritative, dalam pola asuh ini orang tua menghargai keperibadian anak-
anaknya tetapi juga menitikberatkan pada pemaksaan. Mereka percaya pada
kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi mereka juga
menghargai keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, minatnya, pilihannya
dan kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta
anak-anaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya
dan mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum
dengan bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa
kompromi, tetapi kemudian menjelaskan alasannya dibalik perilaku dan
desakan memberi dan menerima.
Pola asuh yang diterapkan orang tua menurut Hurlock (Yusuf, 2007: 49)
adalah sebagai berikut:
1) Pola Asuh Overprotection (terlalu melindungi)
Dalam pola asuh ini terjadi kontak yang berlebihan antara orang tua dan anak,
perawatan/pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus, meskipun
anak sudah mampu merawat dirinya sendiri, mengawasi kegiatan anak secara
berlebihan, memecahkan masalah anak.
43
2) Permissiviness (pembolehan)
Pada pola asuh ini orang tua memberikan kebebasan untuk berpikir atau
berusaha, menerima gagasan atau pendapat, membuat anak merasa diterima
dan merasa kuat, toleran dan memahami kelemahan anak, cenderung lebih
suka memberi yang diminta anak daripada menerima.
3) Rejection (penolakan)
Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah bersikap masa bodoh,
bersikap kaku, kurang memperdulikan kesejahteraan anak, menampilkan
sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak.
4) Acceptance (penerimaan)
Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah memberikan perhatian dan
cinta kasih yang tulus kepada anak, menempatkan anak dalam posisi yang
penting di dalam rumah, mengembangkan hubungan yang hangat dengan
anak, bersikap respek terhadap anak, mendorong anak untuk menyatakan
perasaan atau pendapatnya, berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan
mau mendengarkan masalahnya.
5) Submission (penyerahan)
Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah senantiasa memberikan
sesuatu yang diminta anak, membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.
44
6) Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin)
Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah mudah memberikan
hukuman, menanamkan kedisiplinan secara keras.
Pola asuh dalam penelitian ini ditetapkan pada empat model pola yang
dikemukakan oleh Baumrind (1971) dan Maccoby & Martin (983) yaitu
authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent.
c. Dimensi-dimensi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua terhadap anaknya dapat terbagi dalam dua dimensi yaitu
dimensi kontrol dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam Santrock, 2002: 259).
Menurut Baumrind (Chodijah, 2009 :31) kedua dimensi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Dimensi kontrol (demandingess). Dimensi ini berhubungan dengan
sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah
laku yang bertanggungjawab dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada
orangtua yang menuntut dan berharap banyak dari anak, ada pula yang
bersifat permisif dan kurang menuntut. Pengertian kontrol mencakup:
a) Restrictiveness/pembatasan-pembatasan, keadaan ini ditandai dengan
banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak. Orangtua cenderung
melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa disertai
45
penjelasan yang memadai mengapa hal tersebut tidak boleh serta
bagaimana sebaiknya dilakukan.
b) Demandingness/tuntutan, dapat dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan
yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orangtua
dapat bermacam-macam antara lain ada orang tua yang mengharapkan
anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak untuk
cepat beradaptasi dimanapun ia berada dan lain-lain.
c) Strictness/keketatan, dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan
tegas, dengan tujuan agar anak mematuhi dan memenuhi semua aturan
dan tuntutan yang diberikan orangtua. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa sikap ketat yang dilakukan secara konsisten
mempunyai korelasi positif dengan kemampuan mengendalikan impuls
agresif, memiliki kontrol diri yang adekuat, impulsif. Medinus (Chodijah,
2009: 32) menekankan bahwa disiplin yang ditekankan secara keras,
tidak konsisiten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentimen,
kekerasan, dan kecemasan pada anak.
d) Intrusivness/campur tangan, intrusivness disini memperlihatkan suatu
keadaan dimana orangtua melakukan intervensi terhadap anak dalam
semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut menyebabkan anak kurang
dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran bahwa dirinya
mempunyai kontrol sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada
46
dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap
tidak berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi.
Sebaliknya anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa
bahwa ia dapat mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan
sehingga ia akan lebih aktif, mandiri dan memiliki inisiatif.
e) Arbitrary exercise of power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang,
orangtua yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memiliki
kontrol yang tinggi dalam menegakkan aturan-aturan dan pembatasan-
pembatasan. Orangtua mungkin akan menggunakan hukuman bila
perilaku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum
anak, orangtua tidak memberikan penjelasan-penjelasan.
2) Dimensi kehangatan (responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan
tingkat respon orangtua terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam
penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat menerima, ada pula yang tidak
responsif dan menolak (Steinberg dalam Triani, 2003). Orangtua yang
responsif adalah orangtua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat
diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.
Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar terhadap anak serta
memberikan kasih sayang. Orangtua juga memberikan fasilitas-fasilitas untuk
mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain yang menunjukan
adanya kehangatan yaitu:
47
a) Orangtua yang memperhatikan kesejahteraan anak.
b) Cepat tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.
c) Bersedia meluangkan waktu agar bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan.
d) Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan anak serta menunjukan
cinta kasihnya.
e) Peka terhadap keadaan emosi anak.
Tentang kehangatan, Maccoby (Chodijah, 2009: 33) mengatakan lebih lanjut
bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak karena
dapat menciptakan suasana yang menyenangkan anak dalam kehidupan
keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan
menghasilkan anak yang mudah di didik.
4. Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kecerdasan Emosional Anak
Pola asuh orangtua dalam pengasuhan anak, sangat mempengaruhi
perkembangan emosional anak, karena dari perlakuan ini anak mendapatkan kesan-
kesan yang akan membentuk perilaku emosinya. Hal tersebut sejalan dengan
pandangan Petranto (2006: 6) yang menyatakan pengaruh dari pola asuh yang
diterapkan orangtua terhadap anaknya, yaitu:
a. Pola asuh yang demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang
mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman,
48
mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan
kooperatif terhadap orang lain.
b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar
norma, berkepribadian lemah, cemas, menarik diri.
c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri dan kurang matang secara sosial.
d. Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody,
impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem
(harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.
Lebih lanjut Baumrind (Yusuf, 2003: 51) menggambarkan pengaruh
parenting style terhadap perilaku anak, yang tersaji dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1. Pengaruh Parenting Style Terhadap Perilaku Anak
Parenting Style Sikap atau perilaku orang tua Profil perilaku anak Authoritarian Sikap acceptance rendah,
namun kontrolnya tinggi
Suka menghukum secara fisik
Bersikap mengomando (mengharuskan memerintah anak untuk melakukan
sesuatu tanpa kompromi)
Mudah tersinggung
Penakut
Pemurung, tidak bahagia
Mudah terpengaruh
Mudah stress
Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas
Tidak bersahabat
49
Bersikap kaku (keras) Cenderung emosional dan
bersikap menolak
Permissive/Laissez
Faiere
Sikap acceptance tinggi,
namun kontrolnya rendah
Memberi kebebasan kepada
anak untuk menyatakan
dorongan/ keinginannya
Bersikap impulsif dan agresif
Kurang memberontak
Kurang memiliki rasa
percaya diri dan pengendalian diri
Suka mendominasi
Tidak jelas arah hidupnya Prestasinya rendah
Authoritative Sikap acceptance tinggi dan kontrolnya tinggi
Bersikap responsive
terhadap kebutuhan anak
Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan
Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk
Bersikap bersahabat
Memiliki rasa percaya diri
Mampu mengendalikan
diri (self control) Bersikap sopan
Mau bekerjasama Memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi
Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas
Berorientasi terhadap prestasi.
50
D. Penelitian-penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian empirik yang mengungkapkan tentang pentingnya
kecerdasan emosional mendeskripsikan bahwa tanpa pengendalian emosi, akan
memunculkan perilaku-perilaku yang menimbulkan kerugian bagi individu sendiri.
Penelitian pertama, Goleman (Anggraeni 2009: 2) mengemukakan kecakapan dalam
mengelola emosi akan membuat individu terhindar dari hal-hal yang mungkin dapat
menjerumuskannya dalam kesulitan bila ia tidak dapat mengelola emosinya.
Penelitian kedua, Young (Matualesy, 2007: 10), mengemukakan bahwa dampak
negatif dari suatu perilaku yang muncul karena ketidakmampuan dalam
mengendalikan impuls emosi, sehingga menimbulkan kerugian pada diri individu.
Pada tahun 50-an Terman (Surya, 2003: 2) mengadakan penelitian
longitudinal selama sepuluh tahun terhadap 1000 orang anak yang tergolong sangat
cerdas berdasarkan tes inteligensinya. Dari studi itu ditemukan bahwa anak-anak
cerdas memang memiliki keunggulan dalam prestasi belajarnya, lebih cepat lulus,
lebih cepat mendapat pekerjaan, akan tetapi mereka banyak mengalami kesulitan
dalam interaksi dengan lingkungan dimana dia hidup. Kuryati (2007: 2) menjelaskan
studi tersebut, hanyalah merupakan salah satu gambaran empiris yang mendukung
asumsi mengenai besarnya kontribusi faktor non-intelektual terhadap perwujudan diri
seseorang meskipun dengan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu aspek non
intelektual adalah kualitas emosional yang kemudian oleh Goleman disebut sebagai
kecerdasan emosional.
51
Selain dilihat dari penelitian diatas, hasil penelitian berikut ini
menggambarkan hubungan pola asuh orang tua atau kontribusi pola asuh orangtua
terhadap kecerdasan emosional anak. Penelitian-penelitin tersebut diantaranya:
1. Nandang Kosim, (2008) dalam penelitiannya terhadap Taman Kanak-kanak
se-Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, mengenai kontribusi pola
asuh orangtua dan bimbingan guru memiliki hubungan positif yang cukup
kuat terhadap kecerdasan emosional anak. Hal ini ditunjukkan oleh angka
koefisien korelasi sebesar 0,499. Adapun kontribusi variabel X1 terhadap Y
sebesar 24,90%. Jadi, Kecerdasan Emosional Anak 75,10% dipengaruhi oleh
faktor lain. Selanjutnya hasil Uji-t, menunjukkan bahwa t hitung (4,850) lebih
besar dari t tabel (1,669), maka Ho ditolak atau signifikan. Artinya, terdapat
hubungan dan berkontribusi positif yang signifikan antara pola asuh orangtua
dengan kecerdasan emosional anak Taman Kanak-kanak di Kecamatan
Pandeglang, Kabupaten Pandeglang. Atau, semakin kondusif pola asuh
orangtua, maka akan semakin baik pula kecerdasan emosional anak Taman
Kanak-kanak di Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang.
2. Murphey, D.A (2002) dalam Chodijah (2009: 36) dalam penelitiannya
mengenai pengukuran level komunitas terhadap kesiapan anak-anak untuk
bersekolah yang dilakukan pada 3.370 sampel anak TK di sekolah umum
Vermont, menunjukan hasil bahwa perbedaan pola asuh orangtua terhadap
anaknya turut berpengaruh pada perkembangan anak. Dimana 70% anak-anak
52
dengan pengalaman pengasuhan yang baik menunjukan pemenuhan
kriterianya dalam semua item (perkembangan sosial dan emosi, komunikasi,
kognitif, dan pengetahuan umum), dibandingkan dengan 30% anak-anak yang
mendapat pengalaman pengasuhan yang baik.
3. Kuryati, (2007) dalam penelitiannya mengenai Hubungan Asuhan Dengan
Kecerdasan Emosional Anak di beberapa Taman Kanak-kanak Kabupaten
Indramayu memberikan hasil bahwa Hubungan asuhan orang tua dengan
kecerdasan emosional anak di Taman Kanak-kanak di Kabupaten Indramayu
sangat signifikan. Selain itu Kontribusi asuhan orang tua terhadap
perkembangan kecerdasan emosional anak usia 4 -6 tahun di Taman Kanak-
kanak di Kabupaten Indramayu sangat signifikan. Hal ini menggambarkan
bahwa tingkat kecerdasan emosional anak-anak tersebut sangat ditentukan
oleh asuhan yang diterapkan oleh para orang tuanya.
Dari beberapa penelitian diatas dapat terlihat bahwa kontribusi pola asuh
orangtua berpengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan emosioal anak. Namun
dalam penelitian ini penulis bermaksud ingin mengkaji mengenai perbedaan
kecerdasan emosional anak yang ditinjau dari pola asuh orangtuanya.
Top Related