Kecerdasan Emosional Dan Pola Asuh Orangtua

35
18 BAB II KECERDASAN EMOSIONAL DAN POLA ASUH ORANG TUA A. Karakteristik Anak Usia Dini 1. Karakteristik Perkembangan Fisik Anak Usia Dini Anak usia dini adalah istilah yang digunakan pada anak kecil dari mulai lahir sampai usia delapan tahun (Bredekamp, 1992), atau mulai lahir (masa bayi) sampai enam tahun (masa kanak-kanak) (Fawzia A. Hadis, 1996: 18). Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Ditambahkan pula oleh Yusuf (2003: 163) dengan “meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya, dan eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orangtuanya”. Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya. Yusuf (2003: 163) menjelaskan bahwa: “proporsi tubuh anak pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg; sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan tulang-tulangnya semakin besar dan kuat. Pertumbuhan giginya semakin lengkap/komplit sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan”.

description

Kecerdasan Emosional

Transcript of Kecerdasan Emosional Dan Pola Asuh Orangtua

  • 18

    BAB II

    KECERDASAN EMOSIONAL DAN POLA ASUH ORANG TUA

    A. Karakteristik Anak Usia Dini

    1. Karakteristik Perkembangan Fisik Anak Usia Dini

    Anak usia dini adalah istilah yang digunakan pada anak kecil dari mulai lahir

    sampai usia delapan tahun (Bredekamp, 1992), atau mulai lahir (masa bayi) sampai

    enam tahun (masa kanak-kanak) (Fawzia A. Hadis, 1996: 18).

    Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan

    berikutnya. Ditambahkan pula oleh Yusuf (2003: 163) dengan meningkatnya

    pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya

    memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya, dan

    eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orangtuanya.

    Perkembangan sistem syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih

    dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.

    Yusuf (2003: 163) menjelaskan bahwa:

    proporsi tubuh anak pada usia tiga tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg; sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan tulang-tulangnya semakin besar dan kuat. Pertumbuhan giginya semakin lengkap/komplit sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan.

  • 19

    Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran

    orang dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini juga terjadinya

    pertumbuhan myelinization (lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan

    penyekat berwarna putih, yaitu myelin) secara sempurna. Lapisan urat syaraf ini

    membantu transmisi impul-impul syaraf secara cepat, yang memungkinkan

    pengontrolan terhadap kegiatan-kegiatan motorik lebih seksama dan efisien.

    2. Karakteristik Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini

    Menurut Piaget (Yusuf, 2003: 165), perkembangan kognitif pada usia ini

    berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu

    menguasai operasi mental secara logis. Yang dimaksud dengan operasi adalah

    kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai

    dengan berkembangnya representasional, atau symbolic function, yaitu kemampuan

    menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan

    menggunakan simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda). Dapat juga

    dikatakan sebagai semiotic function, kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol

    (bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda, gesture, atau peristiwa) untuk melambangkan

    suatu kegiatan, benda yang nyata, atau peristiwa.

    Meskipun berpikir melalui simbol ini dipandang lebih maju dari berpikir

    periode sensorimotor, namun kemampuan berpikir ini masih mengalami keterbatasan

  • 20

    (Yusuf, 2003: 166). Keterbatasan yang menandai, atau yang menjadi karakteristik

    periode preoperasional ini adalah sebagai berikut:

    a. Egosentrisme, yang maksudnya bukan selfishness (egois), atau arogan

    (sombong), namun merujuk kepada (1) diferensiasi diri, lingkungan orang lain

    yang tidak sempurna, dan (2) kecenderungan untuk mempersepsi, memahami

    dan menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri.

    b. Kaku dalam berpikir (rigidity of tought). Salah satu karakteristik berpikir

    preoperasional adalah kaku (frozen). Salah satu contohnya, berpikirnya itu

    bersifat centration (memusat), yaitu kecenderungan berpikir atas dasar satu

    dimensi, baik mengenai objek maupun peristiwa, dan tidak menolak dimensi-

    dimensi lainnya.

    c. Semilogical reasoning. Anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-

    peristiwa alam yang misterius, yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari.

    Salah satu pemecahannya dalam menjelaskannya itu dianalogikan dengan

    tingkah laku manusia.

    3. Karakteristik Perkembangan Emosi Anak Usia Dini

    Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya

    (dirinya) berbeda dengan bukan Aku (orang lain atau benda) (Yusuf, 2003: 167).

    Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya

    dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Bersamaan dengan itu, berkembang pula

  • 21

    perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika

    lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti

    memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada diri anak

    akan berkembang sikap-sikap: (a) keras kepala/menentang, atau (b) menyerah

    menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso, dkk.

    (ed), 1982).

    Yusuf (2003: 168) mengungkapkan bahwa ada beberapa jenis emosi yang

    berkembang pada masa anak, yaitu sebagai berikut:

    a. Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap

    membahayakan.

    b. Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya.

    Kecemasan ini muncul mungkin dari situasi-situasi yang di khayalkan,

    berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik perlakuan orangtua, buku-buku

    bacaan/komik, radio atau film.

    c. Marah, merupakan perasaan tidak senang atau benci baik terhadap orang lain,

    diri sendiri, atau objek tertentu, yang diwujudkan dalam bentuk verbal atau

    nonverbal. Perasaan marah merupakan reaksi terhadap situasi frustasi yang

    dialaminya yaitu perasaan kecewa atau perasaaan tidak senang karena adanya

    hambatan terhadap pemenuhan keinginannya.

    d. Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang

    telah merebut kasih sayang dari seorang yang telah mencurahkan kasih sayang

  • 22

    kepadanya. Sumber yang menimbulkan rasa cemburu biasanya bersifat situasi

    sosial atau menyangkut antara hubungan dengan orang lain.

    e. Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman,

    karena terpenuhi keinginannya.

    f. Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau

    perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini

    berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan dalam

    berhubungan dengan orang lain atau hewan atau benda seperti mainan.

    g. Phobia, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya

    (takut yang abnormal) seperti takut ulat, kecoa, takut air, takut nasi dll.

    h. Rasa ingin tahu (curiosity), yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui

    segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.

    Perasaan ini ditandai dengan pertanyaaan-pertanyaan yang diajukan anak.

    4. Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini

    Yusuf (2003: 170) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak usia

    dini, dapat diklasifikasikan kedalam dua tahap (lanjutan dari dua tahap pada masa

    bayi), yaitu sebagai berikut:

    a. Masa ketiga (2,0-2,6) yang bercirikan:

    1) Anak sudah bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna

  • 23

    2) Anak sudah mampu mamahami tentang perbandingan, seperti, kucing

    lebih kecil dari kambing, dan kambing lebih kecil dari sapi.

    3) Dapat menanyakan nama dan tempat, apa dan dari mana.

    b. Masa keempat (2,6-6,0) yang bercirikan

    1) Anak sudah mengggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.

    2) Tingkat berfikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal

    waktu, sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana,

    mengapa dan bagaimana

    5. Karakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

    Pada usia dini (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah

    tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman

    sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah (Yusuf, 2003:

    171):

    a. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga, maupun

    dalam lingkungan bergaul.

    b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.

    c. Anak mulai menyadari hal atau kepentingan orang lain.

    d. Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer

    group)

  • 24

    B. Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini

    1. Pengertian Kecerdasan Emosional

    Menurut Oxford English Dictionary (Goleman, 2003: 114), emosi diartikan

    sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan

    mental yang hebat atau meluap-luap.

    Sedangkan dalam kamus The American College Dictionary, emosi adalah

    suatu keadaan afektif yang disadari di mana dialami perasaan seperti kegembiraan

    (joy), kesedihan, takut, benci, dan cinta (dibedakan dari keadaan kognitif dan

    keinginan yang disadari); dan juga perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan,

    takut, benci dan cinta. (Djaali , 2007: 37).

    Menurut Crow & Crow (Kuryati, 2007), emosi adalah pengalaman yang

    efektif yang disertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, di mana keadaan

    mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat

    diperlihatkan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata. Menurut Kaplan dan

    Saddock, emosi adalah keadaan perasaan yang kompleks yang mengandung

    komponen kejiwaan, badan dan perilaku yang berkaitan dengan affect dan mood.

    Affect merupakan ekspresi sebagai tampak oleh orang lain dan affect dapat bervariasi

    sebagai respon terhadap perubahan emosi, sedangkan mood adalah suatu perasaan

    yang meluas, meresap dan terus-menerus yang secara subjektif dialami dan dikatakan

    oleh individu dan juga dilihat oleh orang lain.

  • 25

    Lebih lanjut, Syamsudin (1990, 17) menyatakan emosi dapat didefinisikan

    sebagai suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (a

    strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya sesuatu

    perilaku. Gejala-gejala seperti takut, cemas, marah, dongkol, iri, cemburu, senang,

    kasih sayang, simpati dan sebagainya merupakan beberapa proses manifestasi dari

    keadaan emosional pada diri seseorang.

    Aspek emosional dari sesuatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga

    variabel yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable);

    perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi apabila mengalami emosi (the

    organismic variable); dan pola sambutan ekspresif atas terjadinya pengalaman

    emosional itu (the response variable). Yang mungkin dapat diubah dan dipengaruhi

    atau diperbaiki (oleh para pendidik atau guru) adalah variabel pertama dan ketiga (the

    stimulus-response variables), sedangkan variabel kedua tidak mungkin karena

    merupakan proses fisiologis yang terjadi pada organisme secara mekanis

    (Syamsuddin, 1990: 17).

    Goleman (2003: 411) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu

    perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan

    serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Semua emosi pada dasarnya adalah

    dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah

    ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.

  • 26

    Istilah kecerdasan emosional (Emotional Intelligence, EI) untuk pertama

    kalinya digunakan oleh dua ahli psikologi yaitu: Peter Salovey dari Universitas

    Harvard, dan John Mayer dari Universitas New Hampshire, untuk menerangkan

    kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Shapiro,

    1997: 5). Dapat dijelaskan bahwa kualitas-kualitas ini antara lain: empati,

    mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,

    kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar

    pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.

    Salovey dan Mayer (1999), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

    berikut:

    himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

    Salovey dan Mayer (1999) menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk

    menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan

    penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola

    perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan.

    Ada dua bagian dalam kecerdasan emosi. Bagian pertama melibatkan emosi

    pemahaman intelektual. Bagian kedua melibatkan emosi yang menjangkau ke dalam

    sistem intelektual dan menghasilkan pemikiran dan ide kreatif. Bagian kedua ini amat

    sukar ditentukan dalam makmal tetapi dipercayai wujud.

  • 27

    Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional menunjuk

    kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan

    perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata

    dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan

    orang lain. Dengan demikian, kecerdasan emosional meliputi kecerdasan diri (self

    smart), dan kecerdasan dalam berhubungan dengan orang lain (people smart).

    Sementara Soegeng Santoso (2002: 39) mendefinisikan kecerdasan emosi

    sebagai:

    kemampuan emosi yang sangat tinggi atau cerdas sehingga seseorang mampu berbuat sesuatu yang tepat dan berhasil bahkan dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi sekarang dan masa mendatang... kecerdasan emosional merupakan bagian dari kepribadian manusia dan langsung berhubungan dengan pelakunya.

    Dari beberapa pengertian diatas kecerdasan emosional pada anak usia dini

    adalah kemampuan untuk melihat, mengamati, mengenali bahkan mempertanyakan

    tenang diri sendiri ; who am I? Siapakah Aku ini sesungguhnya? Jika anak-anak

    dalam usia yang relatif dini sudah bertanya kepada orang tuanya berkenaan dengan

    dirinya sendiri, bagaimana saat bayi, mulai berjalan, apa kesukaannya dan berbicara

    tentang rencana dan keinginannya, hal itu menandakan kecerdasan yang dimilikinya.

    Lebih-lebih jika anak-anak itu mampu menahan amarah dan kekesalannya, masih

    dalam batas kata-kata dan sikap argumentatif tentu hal itu sesungguhnya

    menandakan kematangan jiwanya. (Suharsono, 2005: 114)

  • 28

    Selama awal masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat

    ketidakseimbangan karena anak-anak keluar dari fokus, dalam arti bahwa ia mudah

    terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Hal ini

    tampak mencolok ada anak-anak usia 2,5 samai 3,5 dan 5,5 sampai 6,5 tahun,

    meskipun ada umumnya hal ini berlaku pada hampir seluruh periode masa kanak-

    kanak (Hurlock, 1980:114).

    Anak yang emosinya cerdas akan mampu menata perasaannya seperti

    mengatasi kesedihan, ketakutan, dan mengelola berbagai sisi emosi dalam dirinya.

    Disamping itu, anak yang emosinya cerdas akan pandai memahami keadaan orang

    lain, muah merasakan kesedihan dan kekhawatiran yang dirasakan temannya,

    sehingga tumbuh empati mereka untuk menghibur teman tersebut.

    2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosional

    Ada dua dimensi emosional yang perlu diketahui oleh para pendidik, terutama

    para guru di sekolah. Dua dimensi tersebut adalah senang tidak senang (pleasant-un

    pleasant) atau suka tidak suka (like-dislike), dan intensitas dalam bentuk kuat-lemah

    (strength-weakness) atau halus-kasarnya atau dalam dangkalnya emosi tersebut. Hal-

    hal tersebut penting karena akan dapat memberikan motivasi atau dorongan

    pengarahan dan kesatuan perilaku seseorang, namun juga akan merupakan hambatan-

    hambatan yang bersifat fatal.

  • 29

    Sedangkan Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 1995: 45) memperluas

    definisi kecerdasan emosi tersebut ke dalam 5 wilayah utama, yaitu :

    a. Mengenali emosi diri

    Mengenali emosi diri adalah kesadaran diri (self awarness) untuk mengenali

    perasaan sewaktu itu melanda, merupakan kesadaran emosional. Menurut

    Mayer, kesadaran diri atau metamood, berarti waspada terhadap suasana hati

    maupun pikiran tentang suasana hati (Kuryati, 2007: 28).

    Lebih lanjut Kuryati (2007: 28) menyatakan bahwa kemampuan untuk

    mengenali emosi diri ini, berasal dari korteks atau otak berfikir (otak rasional)

    untuk mengenali bermacam-macam emosi yang dialami, kemudian data

    tentang pengalaman tersebut disimpan dalam data memori seiring dengan

    bertambahnya usia, anak mulai mampu membedakan atau mengenali

    emosinya, misalnya rasa takut dan marah. Rasa marah itu suatu ekspresi yang

    lebih sering diungkapkan pada masa anak-anak dibandingkan dengan rasa

    takut.

    b. Mengelola emosi

    Mengelola emosi adalah pengendalian dan pengaturan perasaan dalam

    memahami dan merespon efek-efek dari perilaku sosial berkenaan dengan

    aturan emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Kemampuan mengendalikan

    emosi atau perasaan, akan berpengaruh terhadap cara-cara mengekspresikan

    perasaan. Kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya lewat kata-

  • 30

    kata adalah bagian penting dalam tahap perkembangan kemampuan untuk

    mengekspresikan perasaannya secara tepat (Kuryati, 2007: 29).

    c. Memotivasi diri sendiri

    Memotivasi diri untuk mencapai tujuan terdengar sederhana, namun terasa

    berat, kita harus mampu menunda keinginan, dan mengabaikan godaan demi

    tercapainya tujuan.

    Orang yang termotivasi mempunyai keinginan dan kemauan dalam

    menghadapi dan mengatasi rintangan-rintangan. Bagi banyak orang, motivasi

    diri sama dengan kerja keras, dan kerja keras akan membuahkan keberhasilan

    dan kepuasan pribadi. Orang yang demikian memiliki ketekunan luar biasa,

    dan ketekunan ini akan mampu menciptakan kinerja yang tinggi dalam bidang

    apapun dan lebih produktif (Shapiro, 2001: 225).

    Anak-anak yang termotivasi untuk belajar mampu menyelesaikan tugas,

    sementara temannya menyerah. Mereka tetap tekun belajar, ketika yang lain

    tergoda untuk bermain.

    d. Mengenali emosi orang lain

    Kemampuan mengenali perasaan dan keinginan orang lain dari sudut pandang

    orang lain tersebut, adalah kemampuan berempati. Menurut Surya (2003: 3),

    empati memiliki makna sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain

    secara paripurna baik yang tampak maupun yang terkandung khususnya aspek

    perasaan, pikiran dan keinginan. Dengan berempati (Surya, 2003: 3) kita

  • 31

    berusaha menempatkan diri kita dalam suasana perasaan, pikiran dan

    keinginan orang lain. Dengan demikian, kita tidak hanya memahami perasaan

    orang lain, akan tetapi mampu menghayati bagaimana perasaan kita apabila

    berada dalam sitasi orang lain.

    e. Membina Hubungan

    Seni membina hubungan dengan orang lain erat hubungannya dengan

    keterampilan emosi yang lain. Kuryati (2007: 31) menjelaskan agar terampil

    membina hubungan dengan orang lain kita harus mampu mengenal dan

    mengelola emosi mereka. Untuk mengelola emosi orang lain kita perlu

    terlebih dahulu mengendalikan diri, mengendalikan emosi yang mungkin

    berpengaruh buruk dalam hubungan sosial, dan mengekspresikan diri.

    3. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini

    Pada anak usia dini, anak sudah menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya)

    tidak sama dengan bukan aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari

    pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda

    lain (Yusuf, 2003: 167).

    Anak menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang

    lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Bersamaan

    dengan itu berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari

    lingkungannya. Apabila lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga

  • 32

    diri anak, seperti memperlakukan anak dengan keras, atau kurang menyayangi, maka

    pada diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala, menyerah menjadi

    penurut, pemalu, dan lain-lain (Yusuf, 2003: 167).

    4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Pada Anak

    Banyak faktor yang mempengaruhi kuat dan seringnya emosi dalam awal

    masa kanak-kanak. Menurut Kuryati (2007: 33), emosi sangat kuat pada usia tertentu

    dan berkurang pada usia yang lain. Ledakan amarah, misalnya mencapai puncaknya

    antara usia dua dan empat, setelah itu amarah berlangsung tidak terlampau lama dan

    berubah menjadi merajuk, merenung. Rasa takut juga mengikuti pola yang sama,

    sebagian karena anak sadar bahwa situasi yang tadinya ditakuti ternyata tidak

    menakutkan dan sebagian karena adanya tekanan sosial yang menyebabkan ia merasa

    harus menyembunyikan ketakutannya. Sebaliknya, cemburu mulai sekitar dua tahun

    dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia anak.

    Menurut Saidah (2003: 51) faktor genetik dan faktor lingkungan adalah faktor

    penentu tumbuh kembang seorang anak secara keseluruhan, termasuk perkembangan

    emosinya. Faktor genetik adalah faktor bawaan yang menentukan sifat bawaan anak

    tersebut. Jadi potensi anak tersebut memang menjadi ciri khas yang ditemukan dari

    orangtuanya. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan pada anak dalam

    konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut berada.

    Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai (provider) kebutuhan dasar anak untuk

  • 33

    tumbuh kembang. Jadi faktor genetik/heredokonstusional menentukan potensial anak

    namun faktor lingkungan menentukan tercapai tidaknya potensial tersebut.

    Kuryati (2007: 34) menambahkan kecerdasan emosi bisa menguat atau

    terkikis bergantung pada apa yang dihadapi anak setiap hari. Kecerdasan emosional

    anak bisa menguat, bila orangtua melatih anak-anaknya untuk memecahkan masalah,

    menghadapkan mereka pada rintangan dan tantangan baru, bersikap empati,

    menetapkan batas-batas yang tegas, mewajibkan sikap patuh, dan sebagainya.

    Sehingga anak dapat mengendalikan diri, lebih bertanggung jawab, bersikap adaptif,

    dan sikap lainnya yang diharapkan.

    C. Pola Asuh Orang Tua

    1. Konsep Keluarga

    M.I Soelaeman (1978, dalam Yusuf, 2003: 35-36) mengemukakan pendapat

    para ahli mengenai pengertian keluarga, yaitu:

    a. F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandangan sosiologis,

    keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu:

    1) Dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah

    atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan clan atau marga;

    2) Dalam arti sempit, keluarga meliputi orangtua dan anak.

    b. Maciver menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat di mana-

    mana, yaitu:

  • 34

    1) Hubungan berpasangan kedua jenis,

    2) Perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengkokohkan hubungan

    tersebut,

    3) Pengakuan akan keturunan,

    4) Kehidupan ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati bersama, dan

    5) Kehidupan berumah tangga.

    Dalam nada yang sama, Sudardja Adiwikarta (1988) dan Sigelman & Shaffer

    (1995) dalam Yusuf (2003: 36) berpendapat bahwa keluarga merupakan unit sosial

    terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap masyarakat di dunia

    (universe) atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial

    yang lebih besar.

    2. Peran dan Fungsi Keluarga

    Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

    mengembangkan pribadidan kecerdasan emosional anak. Perawatan orangtua yang

    penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama

    maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk

    mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat (Yusuf,

    2003: 37).

    Yusuf (2003: 37) menyatakan bahwa keluarga yang bahagia merupakan

    suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama

  • 35

    anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya

    secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman,

    kasih sayang dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.

    Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasa, akan tetapi juga

    menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan

    keinginan untuk menumbuh kembangkan anak yang dicintainya.

    Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluaga ini, Yusuf (2003: 38)

    mengemukakan bahwa secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai:

    a. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya,

    b. Sumber pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikis,

    c. Sumber kasih sayang dan penerimaan,

    d. Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota

    masyarakat yang baik,

    e. Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap

    tepat,

    f. Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka

    menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan,

    g. Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial

    yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,

    h. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi,

    baik di sekolah maupun di masyarakat,

  • 36

    i. Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, dan

    j. Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk

    mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan luar rumah tidak

    memungkinkan.

    Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, Yusuf (2003: 38) menambahkan

    bahwa fungsi keluarga ini dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut:

    a. Fungsi biologis

    Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas,

    kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi

    kebutuhan dasar biologisnya.

    b. Fungsi ekonomis

    Keluarga (dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi

    anggota keluarganya (istri dan anak).

    c. Fungsi pendidikan

    Keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanamam, pembimbingan

    atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya dan keterampilan-keterampilan

    tertentu yang bermanfaat bagi anak.

    d. Fungsi sosialisasi

    Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-

    nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh

    para anggotanya

  • 37

    e. Fungsi perlindungan

    Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari

    gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-

    psikologis) para anggotanya.

    f. Fungsi rekreatif

    Keluarga berfungsi sebagai pemberi kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan

    penuh semangat bagi anggotanya.

    g. Fungsi agama

    Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai agama kepada anak-anak

    agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.

    3. Konsep Tentang Pola Asuh

    a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

    Menurut Soelaeman (1994: 10) upaya orang tua dalam merealisasikan peran

    dan fungsi di keluraga akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam

    membimbing, mendidik dan merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat

    berkembang dengan baik. Cara orang tua dalam mengasuh anak inilah yang

    kemudian disebut dengan pola asuh orang tua.

    Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999: 778) pola asuh

    berasal dari dua kata yakni pola dan asuh. Pola artinya model, sedangkan asuh berarti

    membimbing, membantu, dan melatih. Jadi pola asuh adalah menjaga (merawat dan

  • 38

    mendidik) anak atau membimbing, membantu atau melatih supaya yang dibimbing

    dapat berdiri sendiri.

    Syaodih (1999: 10) selanjutnya menyatakan bahwa pola asuh orang tua

    adalah kecenderungan yang relatif menetap dari orang tua dalam memberikan

    didikkan, bimbingan dan perawatan kepada anak-anaknya.

    Chaplin (2994: 290), seorang pakar psikologi memberikan pengertian pola

    asuh dengan menggunakan istilah maternal behavior sebagai tingkah laku yang

    diperlukan untuk memelihara dan mengasuh anak.

    Petranto (2006: 5), seorang psikolog klinis LPT UI memberi pengertian pola

    asuh orang tua sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif

    konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi

    negatif maupun positif.

    Dari beberapa pengertian pola asuh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    pola asuh orang tua adalah cara perlakuan orang tua dalam membimbing, merawat,

    melatih, dan berinteraksi dengan anaknya, dilakukan relatif konsisten dengan tujuan

    agar anak dapat hidup lebih baik di masa yang akan datang.

    b. Model-model Pola Asuh Orang Tua

    Banyak penelitian tentang pola asuh orang tua memandang penting

    pengklasifikasian. Hal ini penting untuk memahami pengaruh kuat dari pola asuh

  • 39

    tersebut. Merujuk pada pendapat Baumrind (Santrock, 002: 257), psikolog pada

    umumnya setuju membagi pola asuh orang tua ini ke dalam tiga klasifikasi yaitu:

    1) Authoritative parenting, ialah suatu gaya pengasuhan (pola asuh) yang

    mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan

    pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang

    ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta

    kasih sayang kepada anak. Pengasuhan otoritatif diasosiasikan dengan

    kompetensi sosial anak-anak. Selain itu pola asuh ini juga memprioritaskan

    kepentingan anak, tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua

    dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu menyadari tindakannya pada

    rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis

    terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui

    kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak

    untuk memilih dan melakukan sesuatu tindakan. Hubungan orang tua

    demokratis biasanya ditandai dengan kontrol yang tinggi dan kehangatan yang

    tinggi.

    2) Authoritarian parenting, ialah suatu gaya pengasuhan (pola asuh) yang

    membatasi dan menghukum, menuntut anak untuk mengikuti perintah-

    perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang

    otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang

    yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan

  • 40

    otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak. Pola asuh

    otoriter juga cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,

    biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau

    makan, maka tidak akan diberi uang jajan. Orang tua tipe ini juga cenderung

    memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan

    apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak akan segan

    menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengneal kompromi, dan

    dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak

    memberikan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

    Hubungan orang tua otoriter biasanya di tandai dengan kontrol yang tinggi

    dan kehangatan yang rendah.

    3) Permissive Parenting, menurut Maccoby & Martin (Santrock, 2002: 258)

    mengemukakan bahwa pengasuhan yang permissive terjadi dalam dua bentuk,

    yaitu permissive indulgent dan permissive indifferent. Permissive indulgent

    ialah suatu gaya pengasuahan (pola asuh) dimana orang tua sangat terlihat

    dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau

    kendali terhadap anak-anaknya. Pola asuh permissive indulgent diasosiasikan

    dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri. Hubungan

    orang tua permissive indulgent biasanya ditandai dengan kontrol yang rendah

    dan kehangatan yang tinggi. Permissive indifferent ialah suatu gaya

    pengasuahan (pola asuh) dimana orang tua sangat tidak terlihat dalam

  • 41

    kehidupan anak. Pola asuh permissive indifferent diasosiasikan dengan

    inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri dan tidak

    membangun kemandirian dengan baik. Pola asuh permissive indifferent dapat

    diidentifikasikan sebagai tipe penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya

    memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu

    mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja,

    dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Hubungan

    orang tua permissive indifferent biasanya ditandai dengan kontrol yang rendah

    dan kehangatan yang rendah pula.

    Masih menurut Baumrind (Papalia, 2001: 300), menyatakan bahwa model

    pola asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah:

    1) Authoritharian, dalam pola asuh ini orang tua mencoba untuk membuat anak-

    anaknya memenuhi standar dari perilakunya, kewenangannya untuk

    menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan kurang hangat

    dari orang tua lainnya.

    2) Permissive, dalam pola asuh ini orang tua serba membolehkan, mandiri, self

    expresion dan self regulation. Para orang tua lebih mempertimbangkan pada

    kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya. Mereka pada umumnya

    membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk dapat

    memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat

    peraturan, mereka menjelaskan alasan mereka. Mereka juga

  • 42

    membicarakannya dengan anak-anak mengenai keputusan dari

    kebijaksanaannya dan jarang menghukum. Mereka bersahabat, tidak

    mengawasi dan tidak memaksa.

    3) Authoritative, dalam pola asuh ini orang tua menghargai keperibadian anak-

    anaknya tetapi juga menitikberatkan pada pemaksaan. Mereka percaya pada

    kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi mereka juga

    menghargai keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, minatnya, pilihannya

    dan kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta

    anak-anaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya

    dan mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum

    dengan bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa

    kompromi, tetapi kemudian menjelaskan alasannya dibalik perilaku dan

    desakan memberi dan menerima.

    Pola asuh yang diterapkan orang tua menurut Hurlock (Yusuf, 2007: 49)

    adalah sebagai berikut:

    1) Pola Asuh Overprotection (terlalu melindungi)

    Dalam pola asuh ini terjadi kontak yang berlebihan antara orang tua dan anak,

    perawatan/pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus, meskipun

    anak sudah mampu merawat dirinya sendiri, mengawasi kegiatan anak secara

    berlebihan, memecahkan masalah anak.

  • 43

    2) Permissiviness (pembolehan)

    Pada pola asuh ini orang tua memberikan kebebasan untuk berpikir atau

    berusaha, menerima gagasan atau pendapat, membuat anak merasa diterima

    dan merasa kuat, toleran dan memahami kelemahan anak, cenderung lebih

    suka memberi yang diminta anak daripada menerima.

    3) Rejection (penolakan)

    Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah bersikap masa bodoh,

    bersikap kaku, kurang memperdulikan kesejahteraan anak, menampilkan

    sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak.

    4) Acceptance (penerimaan)

    Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah memberikan perhatian dan

    cinta kasih yang tulus kepada anak, menempatkan anak dalam posisi yang

    penting di dalam rumah, mengembangkan hubungan yang hangat dengan

    anak, bersikap respek terhadap anak, mendorong anak untuk menyatakan

    perasaan atau pendapatnya, berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan

    mau mendengarkan masalahnya.

    5) Submission (penyerahan)

    Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah senantiasa memberikan

    sesuatu yang diminta anak, membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.

  • 44

    6) Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin)

    Karakteristik orang tua dalam pola asuh ini adalah mudah memberikan

    hukuman, menanamkan kedisiplinan secara keras.

    Pola asuh dalam penelitian ini ditetapkan pada empat model pola yang

    dikemukakan oleh Baumrind (1971) dan Maccoby & Martin (983) yaitu

    authoritarian, authoritative, permissive indulgent dan permissive indifferent.

    c. Dimensi-dimensi Pola Asuh Orang Tua

    Pola asuh orang tua terhadap anaknya dapat terbagi dalam dua dimensi yaitu

    dimensi kontrol dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam Santrock, 2002: 259).

    Menurut Baumrind (Chodijah, 2009 :31) kedua dimensi tersebut dapat dijelaskan

    sebagai berikut:

    1) Dimensi kontrol (demandingess). Dimensi ini berhubungan dengan

    sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah

    laku yang bertanggungjawab dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada

    orangtua yang menuntut dan berharap banyak dari anak, ada pula yang

    bersifat permisif dan kurang menuntut. Pengertian kontrol mencakup:

    a) Restrictiveness/pembatasan-pembatasan, keadaan ini ditandai dengan

    banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak. Orangtua cenderung

    melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa disertai

  • 45

    penjelasan yang memadai mengapa hal tersebut tidak boleh serta

    bagaimana sebaiknya dilakukan.

    b) Demandingness/tuntutan, dapat dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan

    yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orangtua

    dapat bermacam-macam antara lain ada orang tua yang mengharapkan

    anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak untuk

    cepat beradaptasi dimanapun ia berada dan lain-lain.

    c) Strictness/keketatan, dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan

    tegas, dengan tujuan agar anak mematuhi dan memenuhi semua aturan

    dan tuntutan yang diberikan orangtua. Beberapa penelitian

    memperlihatkan bahwa sikap ketat yang dilakukan secara konsisten

    mempunyai korelasi positif dengan kemampuan mengendalikan impuls

    agresif, memiliki kontrol diri yang adekuat, impulsif. Medinus (Chodijah,

    2009: 32) menekankan bahwa disiplin yang ditekankan secara keras,

    tidak konsisiten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentimen,

    kekerasan, dan kecemasan pada anak.

    d) Intrusivness/campur tangan, intrusivness disini memperlihatkan suatu

    keadaan dimana orangtua melakukan intervensi terhadap anak dalam

    semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut menyebabkan anak kurang

    dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran bahwa dirinya

    mempunyai kontrol sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada

  • 46

    dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap

    tidak berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi.

    Sebaliknya anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa

    bahwa ia dapat mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan

    sehingga ia akan lebih aktif, mandiri dan memiliki inisiatif.

    e) Arbitrary exercise of power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang,

    orangtua yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memiliki

    kontrol yang tinggi dalam menegakkan aturan-aturan dan pembatasan-

    pembatasan. Orangtua mungkin akan menggunakan hukuman bila

    perilaku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum

    anak, orangtua tidak memberikan penjelasan-penjelasan.

    2) Dimensi kehangatan (responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan

    tingkat respon orangtua terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam

    penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat menerima, ada pula yang tidak

    responsif dan menolak (Steinberg dalam Triani, 2003). Orangtua yang

    responsif adalah orangtua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat

    diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.

    Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar terhadap anak serta

    memberikan kasih sayang. Orangtua juga memberikan fasilitas-fasilitas untuk

    mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain yang menunjukan

    adanya kehangatan yaitu:

  • 47

    a) Orangtua yang memperhatikan kesejahteraan anak.

    b) Cepat tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.

    c) Bersedia meluangkan waktu agar bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan.

    d) Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan anak serta menunjukan

    cinta kasihnya.

    e) Peka terhadap keadaan emosi anak.

    Tentang kehangatan, Maccoby (Chodijah, 2009: 33) mengatakan lebih lanjut

    bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak karena

    dapat menciptakan suasana yang menyenangkan anak dalam kehidupan

    keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan

    menghasilkan anak yang mudah di didik.

    4. Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kecerdasan Emosional Anak

    Pola asuh orangtua dalam pengasuhan anak, sangat mempengaruhi

    perkembangan emosional anak, karena dari perlakuan ini anak mendapatkan kesan-

    kesan yang akan membentuk perilaku emosinya. Hal tersebut sejalan dengan

    pandangan Petranto (2006: 6) yang menyatakan pengaruh dari pola asuh yang

    diterapkan orangtua terhadap anaknya, yaitu:

    a. Pola asuh yang demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang

    mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman,

  • 48

    mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan

    kooperatif terhadap orang lain.

    b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,

    pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar

    norma, berkepribadian lemah, cemas, menarik diri.

    c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,

    agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri dan kurang matang secara sosial.

    d. Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody,

    impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem

    (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.

    Lebih lanjut Baumrind (Yusuf, 2003: 51) menggambarkan pengaruh

    parenting style terhadap perilaku anak, yang tersaji dalam tabel sebagai berikut:

    Tabel 2.1. Pengaruh Parenting Style Terhadap Perilaku Anak

    Parenting Style Sikap atau perilaku orang tua Profil perilaku anak Authoritarian Sikap acceptance rendah,

    namun kontrolnya tinggi

    Suka menghukum secara fisik

    Bersikap mengomando (mengharuskan memerintah anak untuk melakukan

    sesuatu tanpa kompromi)

    Mudah tersinggung

    Penakut

    Pemurung, tidak bahagia

    Mudah terpengaruh

    Mudah stress

    Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas

    Tidak bersahabat

  • 49

    Bersikap kaku (keras) Cenderung emosional dan

    bersikap menolak

    Permissive/Laissez

    Faiere

    Sikap acceptance tinggi,

    namun kontrolnya rendah

    Memberi kebebasan kepada

    anak untuk menyatakan

    dorongan/ keinginannya

    Bersikap impulsif dan agresif

    Kurang memberontak

    Kurang memiliki rasa

    percaya diri dan pengendalian diri

    Suka mendominasi

    Tidak jelas arah hidupnya Prestasinya rendah

    Authoritative Sikap acceptance tinggi dan kontrolnya tinggi

    Bersikap responsive

    terhadap kebutuhan anak

    Mendorong anak untuk

    menyatakan pendapat atau pertanyaan

    Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk

    Bersikap bersahabat

    Memiliki rasa percaya diri

    Mampu mengendalikan

    diri (self control) Bersikap sopan

    Mau bekerjasama Memiliki rasa ingin tahu

    yang tinggi

    Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas

    Berorientasi terhadap prestasi.

  • 50

    D. Penelitian-penelitian Terdahulu

    Beberapa penelitian empirik yang mengungkapkan tentang pentingnya

    kecerdasan emosional mendeskripsikan bahwa tanpa pengendalian emosi, akan

    memunculkan perilaku-perilaku yang menimbulkan kerugian bagi individu sendiri.

    Penelitian pertama, Goleman (Anggraeni 2009: 2) mengemukakan kecakapan dalam

    mengelola emosi akan membuat individu terhindar dari hal-hal yang mungkin dapat

    menjerumuskannya dalam kesulitan bila ia tidak dapat mengelola emosinya.

    Penelitian kedua, Young (Matualesy, 2007: 10), mengemukakan bahwa dampak

    negatif dari suatu perilaku yang muncul karena ketidakmampuan dalam

    mengendalikan impuls emosi, sehingga menimbulkan kerugian pada diri individu.

    Pada tahun 50-an Terman (Surya, 2003: 2) mengadakan penelitian

    longitudinal selama sepuluh tahun terhadap 1000 orang anak yang tergolong sangat

    cerdas berdasarkan tes inteligensinya. Dari studi itu ditemukan bahwa anak-anak

    cerdas memang memiliki keunggulan dalam prestasi belajarnya, lebih cepat lulus,

    lebih cepat mendapat pekerjaan, akan tetapi mereka banyak mengalami kesulitan

    dalam interaksi dengan lingkungan dimana dia hidup. Kuryati (2007: 2) menjelaskan

    studi tersebut, hanyalah merupakan salah satu gambaran empiris yang mendukung

    asumsi mengenai besarnya kontribusi faktor non-intelektual terhadap perwujudan diri

    seseorang meskipun dengan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu aspek non

    intelektual adalah kualitas emosional yang kemudian oleh Goleman disebut sebagai

    kecerdasan emosional.

  • 51

    Selain dilihat dari penelitian diatas, hasil penelitian berikut ini

    menggambarkan hubungan pola asuh orang tua atau kontribusi pola asuh orangtua

    terhadap kecerdasan emosional anak. Penelitian-penelitin tersebut diantaranya:

    1. Nandang Kosim, (2008) dalam penelitiannya terhadap Taman Kanak-kanak

    se-Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, mengenai kontribusi pola

    asuh orangtua dan bimbingan guru memiliki hubungan positif yang cukup

    kuat terhadap kecerdasan emosional anak. Hal ini ditunjukkan oleh angka

    koefisien korelasi sebesar 0,499. Adapun kontribusi variabel X1 terhadap Y

    sebesar 24,90%. Jadi, Kecerdasan Emosional Anak 75,10% dipengaruhi oleh

    faktor lain. Selanjutnya hasil Uji-t, menunjukkan bahwa t hitung (4,850) lebih

    besar dari t tabel (1,669), maka Ho ditolak atau signifikan. Artinya, terdapat

    hubungan dan berkontribusi positif yang signifikan antara pola asuh orangtua

    dengan kecerdasan emosional anak Taman Kanak-kanak di Kecamatan

    Pandeglang, Kabupaten Pandeglang. Atau, semakin kondusif pola asuh

    orangtua, maka akan semakin baik pula kecerdasan emosional anak Taman

    Kanak-kanak di Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang.

    2. Murphey, D.A (2002) dalam Chodijah (2009: 36) dalam penelitiannya

    mengenai pengukuran level komunitas terhadap kesiapan anak-anak untuk

    bersekolah yang dilakukan pada 3.370 sampel anak TK di sekolah umum

    Vermont, menunjukan hasil bahwa perbedaan pola asuh orangtua terhadap

    anaknya turut berpengaruh pada perkembangan anak. Dimana 70% anak-anak

  • 52

    dengan pengalaman pengasuhan yang baik menunjukan pemenuhan

    kriterianya dalam semua item (perkembangan sosial dan emosi, komunikasi,

    kognitif, dan pengetahuan umum), dibandingkan dengan 30% anak-anak yang

    mendapat pengalaman pengasuhan yang baik.

    3. Kuryati, (2007) dalam penelitiannya mengenai Hubungan Asuhan Dengan

    Kecerdasan Emosional Anak di beberapa Taman Kanak-kanak Kabupaten

    Indramayu memberikan hasil bahwa Hubungan asuhan orang tua dengan

    kecerdasan emosional anak di Taman Kanak-kanak di Kabupaten Indramayu

    sangat signifikan. Selain itu Kontribusi asuhan orang tua terhadap

    perkembangan kecerdasan emosional anak usia 4 -6 tahun di Taman Kanak-

    kanak di Kabupaten Indramayu sangat signifikan. Hal ini menggambarkan

    bahwa tingkat kecerdasan emosional anak-anak tersebut sangat ditentukan

    oleh asuhan yang diterapkan oleh para orang tuanya.

    Dari beberapa penelitian diatas dapat terlihat bahwa kontribusi pola asuh

    orangtua berpengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan emosioal anak. Namun

    dalam penelitian ini penulis bermaksud ingin mengkaji mengenai perbedaan

    kecerdasan emosional anak yang ditinjau dari pola asuh orangtuanya.