8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
1/65
1 | Teori Kebijakan Publik
Nama : Nalora Satiningrum
NIM : F1B012064
KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI PROSES
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak
dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling
membentuk. Menurut Dye (2005, 31), bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui
dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem
politik.
Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan.
Karenanya,kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap
proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik
yangcepat, tepat danmemadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan
kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik
terhadap kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana
diungkapkan oleh Gerston (2002) bahwa kebijakan publik dibuatdan dilaksanakan pada
semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggungjawab para pembuatkebijakan akan
berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya (Gerston, 2002, 14). Selain itu
menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman
mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan adalah kepada masyarakat yang
dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman yang seperti ini, akan dapat
memastikan pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan
dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat
dipertanggungjawabkan secara memadai.
Proses kebijakan publik merupakan proses yg amat rumit dan kompleks. Oleh
karenanya untuk mengkajinya para ahli kemudian membagi proses kebijakan publik ke dalam
beberapa tahapan. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman terhadap proses tersebut
(Charles Lindblom, 1986: 3). Pembagian tersebut amat bervariasi antara ahli yang satu
dengan ahli lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan. Misalnya : ada yang
menambahkan perubahan atau penghentian kebijakan setelah evaluasi kebijakan.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
2/65
2 | Teori Kebijakan Publik
Lester dan Joseph, merumuskan 6 tahap dalam siklus pembuatan kebijakan. Langkah
pertama melakukan identifikasi permasalahan Pemerintah dan menyusun agenda, kedua
merumuskan kebijakan yang akan dibuat, ketiga menerapkan kebijakan yang akan
diputuskan, keempat melakukan evaluasi kebijakan, kelima menyusun penyempurnaan
kebijakan dan yang terakhir mengakhiri suatu kebijakan. Dari siklus tersebut jelas secara
berurut dengan sistematis Lester bersama Joseph merumuskan bagaimana siklus pembuatan
kebijakan seharusnya.
Proses Pembuatan kebijakan sejak desain hingga implementasi dan evaluasinya,
perlu dipandang sebagai suatu siklus dari serangkaian kegiatan kebijakan yang merujuk pada
pola berulang yang ditunjukkan oleh prosedur-prosedur yang berkaitan dengan proses
kebijakan publik yang secara umum ditunjukkan seperti pada gambar di atas. Dalam ilmu politik, siklus kebijakan adalah alat yang digunakan untuk menganalisis perkembangan item
kebijakan. Hal ini juga dapat disebut sebagai "pendekatan stagist", "tahapan heuristik" atau
"tahap pendekatan". Dengan demikian aturan praktis daripada kenyataan yang sebenarnya
tentang bagaimana kebijakan dibuat, tetapi telah berpengaruh dalam bagaimana para ilmuwan
politik memandang kebijakan secara umum.
Stage 1
Agenda Setting
Stage 2
Policy
Formulation
Stage 3
Policy
Implementation
Stage 4
Policy Evaluation
Stage 5
Policy Change
Stage 6
Policy
Termination
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
3/65
3 | Teori Kebijakan Publik
Siklus Kebijakan – Sebuah Model Sederhana dari Proses Kebijakan
Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan yang
terdiri dari kecerdasan, promosi, rekomendasi, pemanggilan, aplikasi, pemutusan, dan
penilaian. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi bidang studi kebijakan
dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Versi-versi yang
dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky (1978), Anderson
(1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi. Saat ini,
perbedaan antara agenda setting, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
dan evaluasi (akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara yang konvensional untuk
dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.
Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan lebih bersifat preskriptif
(menentukan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Sementara studi empiris tentang
pengambilan keputusan dan perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori
perilaku pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali
menunjukkan bahwa pembuatan keputusan pada kenyataannya biasanya tidak mengikuti
urutan tahap diskrit, perspektif tahapan masih dianggap sebagai tipe ideal dalam perencanaan
rasional dan pengambilan keputusan. Menurut model rasional, pembuatan keputusan apapun
harus didasarkan pada analisis yang komprehensif terhadap masalah dan tujuan, diikuti oleh
koleksi inklusif dan analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut. Ini meliputi analisis biaya dan manfaat dari opsi yang berbeda dan seleksi akhir dari
arah tindakan.
Perspektif tahapan Lasswell telah melampaui analisis formal dari lembaga tunggal
yang mendominasi bidang kajian tradisional administrasi publik yang berfokus pada
kontribusi dan interaksi yang berbeda dari aktor dan institusi dalam proses kebijakan.Selanjutnya, perspektif tahapan telah membantu mengatasi bias ilmu politik di sisi masukan
(perilaku politik, sikap, organisasi kepentingan) dari sistem politik. Kombinasi antara model
input-output Easton dengan perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model
siklus. Perspektif siklus menekankan proses umpan balik (loop) antara output dan input dari
pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses kebijakan berlangsung terus-menerus.
Integrasi model input-output Easton juga berkontribusi lebih lanjut pada diferensiasi dari
proses kebijakan. Alih-alih berakhir dengan keputusan untukmengadopsi program tindakan
tertentu, fokus diperluas untuk mencakup pelaksanaan kebijakan dan khususnya reaksi dari
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
4/65
4 | Teori Kebijakan Publik
kelompok sasaran yang terkena (dampak) dan dampak yang lebih luas dari kebijakan di
dalam masing-masing sektor sosial (hasil).
Hogwood dan Peters (1983) mengusulkan gagasan tentang suksesi kebijakan untuk
menggarisbawahi bahwa kebijakan baru berkembang dalam suatu lingkungan yang telah
dipadati dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum kebijakan
baru menjadi bagian utama dari lingkungan pembuatan kebijakan sistemik, sering kebijakan
lain bertindak sebagai hambatan utama bagi pengadopsian dan implementasi kebijakan baru
dalam ukuran tertentu. Pada saat yang sama, kebijakan membuat efek samping dan menjadi
penyebab masalah kebijakan berikutnya – lintas sektor (misalnya, konstruksi jalan yang
mengarah ke masalah lingkungan) serta dalam sektor-sektor (misalnya, subsidi untuk produk
pertanian menyebabkan overproduksi) – dan, karenanya, kebijakan baru itu sendiri
(―kebijakan menjadi penyebab dirinya sendiri,‖ Wildavsky 1979, 83-85).
I. Penetapan Agenda Kebijakan (Agenda-Setting)
Untuk mengetahuai tentang agenda setting kita harus mencari tahu apa itu masalah
kebijakan. Karena masalah kebijakan yang nantinya akan dibuat agenda setting. Masalah
kebijakan (lester dan stewart,2000) adalah kondisi yang menimbulkan ketidak puasan
masyarakat sehingga perlu dicari penyelesaianya. Sedangkan agenda setting adalah suatu
tahap diputuskanya masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat menjadi suatu
kebijakan (Ripley, 1985)
Agenda setting merupakan sebuah langkah awal dari keseluruhan tahapan kebijakan.
Sehingga agenda setting menjadi tahap yang sangat penting dalam analisis kebijakan. Agenda
setting adalah tahap penjelas tahapan kebijakan lainya. Didalam masalalah kebijakan dan
agenda setting ini nantinnya akan dapat diketahuai kearah mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah apakah berpihak kepada rakyat atau sebaliknya.Dalam penentuan kebijakan
public sangatlah dipengaruhi oleh factor lingkungan.
A. Agenda Setting: Pengakuan Masalah dan Seleksi Isu
Pembuatan kebijakan mensyaratkan pengakuan dari masalah kebijakan. Soal
pengakuan itu sendiri membutuhkan masalah sosial yang telah didefinisikan sebagai sesuatu
yang memerlukan kebutuhan intervensi negara. Langkah kedua bahwa masalah yang diakui
sebenarnya dimasukkan ke dalam agenda untuk mempertimbangkan secara serius aksi publik
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
5/65
5 | Teori Kebijakan Publik
(agenda setting). Agenda tidak lebih dari ―daftar subjek atau masalah ynag pejabat -pejabat
pemerintahan, dan orang-orang di luar pemerintah yang erat berhubungan dengan orang-
orang pejabat- pejabat, menaruh perhatian serius pada waktu tertentu.‖ (Kingdom 1995, 3)
Hasil agenda setting adalah seleksi antara beragam masalah dan isu. Ini adalah proses
penataan masalah strategi kebijakan mengenai potensi dan instrumen yang membentuk
pengembangan kebijakan pada tahap berikutnya dari siklus kebijakan. Jika asumsi ini
diterima bahwa tidak semua permasalahan yang ada bisa menerima tingkat perhatian yang
sama dan beberapa tidak diakui sama sekali (Baumgartener dan Jones 1993, 10), pertanyaan
tentang mekanisme agenda setting muncul. Apa yang dianggap sebagai masalah kebijakan?
Bagaimana dan kapan masalah kebijakan menjadi agenda pemerintah? Dan mengapa masalah
lain dikecualikan dari agenda? Selain itu, siklus perhatian masalah, dan pasang surut solusi
berhubungan dengan masalah spesifik yang menjadi aspek relevan dari studi kebijakan yang
memiliki perhatian terhadap agenda setting.
Penelitian sistematis dalam agenda setting terlebih dahulu muncul sebagai bagian dari
kritik terhadap pluralisme dalam Amerika Serikat. Salah satu pendekatan klasik
mengemukakan bahwa perdebatan politik dan karenanya, agenda setting muncul dari konflik
antara dua aktor, dengan aktor politik yang kurang kuat yang ingin meningkatkan perhatian
pada masalah (ekspansi konflik) (Schattschneider, 1960). Yang lainnya menyarankan bahwa
agenda setting ialah hasil dari suatu proses penyaringan isu dan masalah, sehingga non-
keputusan (isu-isu dan masalah yang sengaja dikeluarkan dari agenda formal). Langkah
penting dalam proses agenda setting adalah memindahkan suatu masalah dari pengakuan –
sering dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan atau aktor yang terkena
dampak – ke agenda politik formal.
Pertemuan dari sejumlah faktor dan variabel yang berinteraksi menentukan apakah isukebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi-
kondisi material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran
dan siklus ide dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi masalah dan menghubungkan
mereka dengan solusi (proposal kebijakan). Dalam konteks itu, konstelasi kepentingan antara
aktor yang relevan, kapasitas lembaga yang bertanggungjawab untuk bertindak secara efektif,
dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang berhubungan dengan masalah yang
berbeda adalah sangat penting.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
6/65
6 | Teori Kebijakan Publik
Sementara model agenda setting sebelumnya berkonsentrasi pada aspek ekonomi dan
sosial sebagai variabel penjelas, pendekatan yang lebih baru menekankan peran gagasan,
yang dinyatakan dalam wacana publik dan profesional (misalnya, komunitas epistemis; Haas
1992), dalam membentuk persepsi masalah tertentu. Baumgartner dan Jones (1993, 6)
memperkenalkan gagasan monopoli kebijakan sebagai ―monopoli dalam pemahaman politik‖
dari masalah kebijakan tertentu dan pengaturan kelembagaan yang memperkuat ―citra
kebijakan‖ tertentu, mereka menyatakan bahwa agenda setting dan perubahan kebijakan
terjadi ketika ―monopoli kebijakan‖ menjadi semakin diperdebatkan dan sebelumnya (atau
setidaknya ―non-aktif‖) aktor yang tidak berkepentingan dimobilisasi. Mengubah gambar
kebijakan sering terkait dengan perubahan ―tempat‖ kelembagaan di mana masalah-masalah
diperdebatkan (Baumgartner dan Jones, 1993;2002).
1. Karakteristik Masalah Kebijakan
Untuk menelaah isi atau masalah kebijakan, menurut Ripley perlu dipahami terlebih
dahulu kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Contoh : Penaikan Harga Bahan Bakar
Minyak. Masalah kebijakan dalam penaikan harga BBM adalah dari segi naiknya harga
minyak mentah dunia yang berpengaruh pada perekonomian suatu Negara. Dengan naiknya
harga minyak mentah dunia, pemerintah memiliki permasalahan tentang BBM apakah
nantinya pemerintah akan menaikan atau akan tetap pada harga awal. Jika pemerintah
menaikan harga BBM masalah dari kebijakan akan luas dampaknya. Terutama dari segi
ekonomi mengingat daya beli masyarakat kita yang masih rendah. Sehingga masyarakat
miskin akan bertambah. Atau dari segi social, dengan biaya produksi yang tingggi para
pengusaha akan menekan biaya produksi, dan biasanya pengusaha dalam upay penekanaan
biaya produksi akan mem-PHK karyawan.
Dengan masalah yang vital dan menyangkut masyarakat banyak. Pemerintah dituntutuntuk bijak dalam mengambil kebijakan ini, karena masalah ini menyangkut masyarakat
banyak. Dan pemerintah itu sendiri.
a. Sifat Masalah-Masalah Kebijakan
Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-
kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik. Informasi
mengenai sifat, cakupan, dan kepelikan/keruwetan suatu masalah dihasilkan dengan
menerapkan prosedur analisis-kebijakan dalam memahami masalah. Perumusan masalah,
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
7/65
7 | Teori Kebijakan Publik
yang merupakan fase penelitian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi
masalah yang saling berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan
kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan. Perumusan masalah merupakan
sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua
fase analisis kebijakan dewasa ini. Memahami masalah kebijakan adalah sangat penting,
karena para analis kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan
masalah yang salah daripada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang
tepat.
b. Ciri-ciri Masalah
Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima
begitu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari acapkali
menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan.
Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:
Saling ketergantungan dari masalah kebijakan.
Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang (misalnya, energi) kadang-kadang
mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain (misalnypa, pelayanan
kesehatan dan pengangguran). Dalam kenyataan masalah-masalah kebijalan bukan
merupakan kesatuan yang berdiri sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh sistem
masalah yang paling baik diterangkan sebagaimesses, yaitu, suatu sistem kondisi ekstenal
yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda.
Sistem masalah atau messes sulit atau bahkan tidak mungkin dipecahkan dengan
menggunakan pendekatan analitis — yaitu, pendekatan yang memecahkan masalah ke dalam
elemen-elemen atau bagian-bagian yang menyusunnya — karena jarang masalah-masalah
dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri. Kadang-kadang merupakan hal
yang mudah "untuk memecahkan sepuluh masalah yang saling terkait, daripada memecahkan
satu masalah secara sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu
pendekatan holistik , suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak
terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.
Subyektivitas dari Masalah Kebijakan.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
8/65
8 | Teori Kebijakan Publik
Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan,
diklasifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapatr suatu
anggapan bahwa masalah bersifat obyektif — misalnya, polusi udara dapat didefinisikan
sebagai tingkat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer — data yang sama mangenai polusi
dapat diinterpretasikan secara berbeda. Masalah kebijakan ―adalah suatu hasil pemikiran
yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu
situasi masalah yang diabstrakskan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang
kita alami sesungguhnya adalah merupakan adalah suatu situasi masalah, bukan masalah itu
sendiri, seperti halnya atom atau sel, merupakan suatu konstruksi konseptual. Dalam analisis
kebijakan merupakan hal yang sangat penting untuk tidak mengacaukan antara situasi
masalah dengan masalah kebijakan, karena masalah adalah barang abstrak yang timbul
dengan mentransformasikan pengalaman ke dalam penilaian manusia.
Sifat buatan dari masalah.
Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian
mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan
merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga bisa
diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif; dan karenanya,
masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial. Masalah tidak berada
di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikan, yang berarti bahwa tidak ada
keadaan masyarakat yang "alamiah" di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan
sendirinya merupakan masalah kebijakan.
Dinamika masalah kebijakan.
Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi
terhadap masalah tersebut. ―Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang
konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang."
Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis: melainkan sistem yang
bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua anggotanya yang sama persis di dalam
semua atau bahkan setiap sifat-sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap
anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3)
sifat-sifat dan perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
9/65
9 | Teori Kebijakan Publik
keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota
system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak
bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem
masalah — kejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, kesehatan — tidak
dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan
solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.
Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar —
yaitu, berbeda secara kualitatif — daripada sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Suatu
tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai
suatu piramida.
2.
Proses Membentuk Agenda Kebijakan
Agenda setting merupakan kegiatan membuat masalah publik menjadi masalah
kebijakan. Agenda,menurut Jones diartikan sebagai suatu istilah yang pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan suatu isu yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu
tindakan.
Menurut Darwin, agenda adalah suatu kesepakatan umum,yang belum tentu tertulis tentang
adanya suatu masalah publik hang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur
tangan pemerintah untuk memecahkannya.
Sementara itu, proses penyusunan agenda kebijakan menurut Anderson secara runtut
adalah:
a. Private Problems
Penyusunan agenda kebijakan diawali dari suatu masalah (problems) yg muncul di
masyarakat. Masalah ini dapat diungkapkan oleh seseorang sebagai masalah pribadi ( private
problem). Masalah private merupakan masalah-2 yg mempunyai akibat terbatas atau hanya
memyangkut satu ataunsejumlah kecil orang yg terlikbat langsung. Kemudian berkembang
lebih lanjut menjadi masalah publik ( public problem).
b. Public Problems
Masalah publik diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat yang luas,
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang -orangnyg terlibat secara tidak langsung.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
10/65
10 | Teori Kebijakan Publik
Masalah publik tersebut kemungkinan akan berkembang menjadi isue kebijakan ( policy
issues).
c. Issues
Issues menurut John,adalah problema publik yang saling bertentangan satu sama lain
(controversial public problems). Issues dapat diartian juga sebagai per bedaan-perbedaan
pendapat di masyarakat trntang persepsi dan solusi (policy action) terhadap suatu masalah
publik. Issues kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan
yang aktual dan potensial,tetapi juga mencermknkan pertentangan pandangan mengenai sifat
masalah itu sendiri. Dengan begitu, isu kebijakan merupakan hadil perbebatan tentang
definisi,klasifikasi,eksplanasi dan evaluasi masalah (Dunn,1995:97). Issues kebijakan tadi
kemudian mengalir dan masuk dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah merupakan
sejumlah daftar masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian yang serius pada
waktu tertentu. Agenda pemerintah,menurut Cobb dan Elder dalam John (1984), dibedakan
menjadi 2 macam,yaitu agenda sistemik dan agenda institusional.
d. Systemic Agenda
Agenda sistemik merupakan semua isu yang pada umumnya dirasakan oleh para
anggota masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut memang
berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah. Semakin besar suatu isu maka akan
mencapai status pada agenda sistemik dan kemudian pindah ke agenda formal atau
institusional. Pada dasarnya, proses ini akan terjadi bila suatu masalah memiliki beberapa
karakteristik, seperti spesifisitas,signifikansi sosial, relevansi temporal, kompleksitas, dan
kategoris diutamakan.
e.
Institusional agenda
Setelah adanya proses agenda sistematis dalam isu kebijakan baru masuk ke agenda
institutional yang merupakan serangkaian masalah yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritas.
Menurut Cobb dan Elder, tiga prasyarat yang dianggap diperlukan untukmasalah dalam
memperoleh status dalam agenda sistemik: (1) perhatian luas atau setidaknyakesadaran akan
masalah ini, (2) menjadi perhatian bersama dari sebagian ukuran darimasyarakat bahwa
beberapa jenis tindakan yang diperlukan menjadi obat masalah ini, dan
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
11/65
11 | Teori Kebijakan Publik
(3) persepsi bersama bahwa masalah ini merupakan masalah yang tepat untuk beberapa satua
n pemerintah dan jatuh dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan proses agenda setting
terdiri dari tiga tahap menurut Davies, (1) inisiasi, (2) difusi, dan (3) pengolahan. Pada
tahapinisiasi, masalah publik menciptakan permintaan untuk tindakan. Pada tahap difusi,
tuntutanini dialihkan ke isu-isu bagi pemerintah. Pada tahap pengolahan, masalah diubah
menjadiagenda. Davies juga berpendapat bahwa banyak isu yang dimulai dalam pemerintah
sendiridaripada asumsi umum bahwa masalah muncul dalam masyarakat umum dan bekerja
dengancara mereka ke dalam agenda pemerintah.
Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi
isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik
yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses
penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan
menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses
tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti
yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam
Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh
perhatian masyarakat.
B.
Tipologi Isu Kebijakan & Perumus Agenda Kebijakan
Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem
masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu
kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual
atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat
dari masalah-masalah itu sendiri.
Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan
jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan
sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major
issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara
jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi
pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-
organisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat
harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
12/65
12 | Teori Kebijakan Publik
mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada
tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan
lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi
kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan
kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional
issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-
pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu
minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-
proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu
liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Jones menyatakan bahwa ―not all problems become public, not all public problems
became issues, and not all issues are acted on in government agenda.‖ ( tidak semua masalah
dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu,
dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah).
Apabila menginginkan suatu kebijakan publik mampu memecahkan masalah publik
( public problem), masalah publik harus dirumuskan menjadi masalah kebijakan ( policy
problems). Menurut Tomas Dye, tahapan mendefinisikan masalah itu disebut Agenda Setting .
Kondisi masyarakat yang tidak didefinisikan sebagai masalah dan alternatif solusi tidak
pernah diusulkan, tidak akan pernah menjadi isu kebijakan ( policy issues). Kegiatan
menjadikan masalah publik ( public problems) menjadi masalah kebijakan ( policy problems)
sering disebut dengan penyusunan (agenda setting ). Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah
ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertarungkan.
Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting ) dimulai dari kegiatan fungsional,
meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada
terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh
pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui
kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah
terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian
menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan
penyelesaiannya.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
13/65
13 | Teori Kebijakan Publik
1. Tipologi Masalah Kebijakan
Terdapat tiga kelas masalah kebijakan (Dunn, 1994:146), yaitu: masalah yang
sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan
masalah yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh
tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah merupakan sistem
permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di antara masalah-masalah yang sederhana,
agak sederhana, dan run-it digambarkan dengan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-
elemen mereka.
Table 5-1. Perbedaan dalam struktur dari tiga tipe masalah kebijakan
STRUKTUR MASALAH
ELEMEN Sederhana Agak Sederhana Rumit
Pengambilam ke-
putusan
Alternatif
Kegunaan (nilai)
Hasil
Probabilitas
Satu atau beberapa
Tebatas
Konsensus
Pasti atau berisiko
Dapat dihitung
Satu atau beberapa
Terbatas
Konsensus
Tidak pasti
Tak dapat dihitung
Banyak
Tak terbatas
Konflik
Tidak diketahui
Tak dapat
dihitung
Masalah yang sederhana (well-structured problems) adalah masalah yang melibatkan
satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif kebijakan.
Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang secara
jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif
diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin
kesalahan yang rnasih dapat diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah
masalah keputusan yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari
semua alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif lebih
rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah yang sederhana.
Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif adalah masalah yang sederhana
yang meliputi pencarian titik optimum pada kendaraan lama yang harus dijual untuk yang
baru, diambil ke dalam perhitungan biaya perbaikan rata-rata bagi kendaraan lama dan
pembelian dan harga depriasi bagi kendaraan yang baru.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
14/65
14 | Teori Kebijakan Publik
Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalah-
masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang
secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan
jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-alternatif
itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin
kesalahan yang diterima (risiko); hasil-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti
bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang
agak sederhana adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan
"dilema tahanan." Dalam pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang
terpusat, di mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus
memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan
hukuman. Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing
tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika tidak
ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan
tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih
serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi jika hanya salah seorang yang
mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain
akan menerima hukuman maksimum. Pilihan "optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan
asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah
untuk mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun
hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka.
Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya tidak pasti
tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang "rasional" dapat memberi kontribusi
terhadap irasionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan
masyarakat secara keseluruhan.
Masalah yang rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-masalah yang
mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau
tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan
agak sederhana mencerminkan korsensus, maka karakteristik utama dari masalah-masalah
yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif
keebijakan dan hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan
risiko dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-hubungan
deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah. Contoh
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
15/65
15 | Teori Kebijakan Publik
masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh, yaitu, suatu masalah
di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua
orang. Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan
pilihan yang transitif-yaitu, jika alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan
alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih disukai daripada
alternatif A3 — masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.
Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured).
Satah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik, dan disiplin lainnya adalah bahwa
masalah-masalah yang, sederhana atau agak sederhana jarang dijumpai dalam lingkungan
pemerintahan yang kompleks. Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realistis untuk
menganggap keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat)
yang sama, karena kebijakan-kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang saling
berhubungan yang dibuat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di sepanjang periode
waktu yang panjang. Konsensus adalah jarang, karena pembuatan kebijakan publik
cenderung menimbulkan konflik di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing.
Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau jarang untuk dapat
mengindentifikasi seluruh alternatif pemecahan masalah, dan hal ini untuk sebagian karena
hambatan-hambatan pada perolehan informasi, dan juga karena kadang-kadang sulit untukmencapai formulasi permasalahan yang memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit
adalah sangat penting bagi analisis kebijakan publik telah diringkaskan sejumlah ilmuwan
sosial.
2. Siapa yang Merumuskan Agenda Kebijakan?
Kingdon menyatakan bahwa terdapat tiga pihak yang memiliki pandangan
atau perspektif berbeda mengenai siapa yang berhak untuk menyusun agenda setting, yaitu 1)Pandangan elit, 2) Pandangan kaum pluralist, dan 3) Pandangan pemerintah daerah.
a. Perspektif Elitis
Stewart menyatakan bahwa kaum elit beranggapan bahwa kekuatan atau pengaruh
yang dimiliki oleh elit dapat mendominasi atau mempengaruhi pembuatan keputusan publik.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas R Dye pada buku The Irony of Democracy
menjelaskan bahwa elit akan berusaha untuk mempertahankan sistem yang ada,
yakni kekuasaan di tangan elit - dengan segala hal yang dapat dilakukannya. Kaum elit yang
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
16/65
16 | Teori Kebijakan Publik
dimaksud di sini bukan hanya pihak yang memiliki jabatan politik saja, tetapi
juga pihak yang memiliki kekuasaan dalam bisnis (elit bisnis) dan juga kekuasaan dalam
militer (elit militer).
b.
Perspektif Pluralis
Kaum pluralist beranggapan bahwa pihak yang memiliki kepentingan (interest group)
memiliki dominasi untuk menyusun agenda untuk pembuatan kebijakan. Mereka
beranggapan bahwa agenda setting merupakan proses yang terjadi akibat aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh kelompok kepentingan yang dominan. Kelompok dominan tersebut akan
memberikan upaya dalam bentuk tekanan terhadap pemerintah agar keeinginannya terdapatdi
agenda setting, atau bahkan memberikan tekanan agar keinginannya sampai
diwujudkandalam sebuah kebijakan.
c.
Subgovernment
Pandangan Subgovernment menganggap bahwa terdapat 3 aktor dalam
menetapkanagenda setting, yaitu: 1) Anggota kongres pada komite atau lembaga yang isunya
dipilih; 2)Birokrat yang bertanggung jawab untuk kebijakan tersebut; 3) kelompok-kelompok
yangmengalami isu yang di angkat. Douglas Cater menyatakan bahwa hubungan antara
ketigaaktor tersebut saling terikat, namun subgovernment bekerja dengan serangkaian
hubungan pertukaran, dimana penilaian yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok klien
diperdagangkan untuk sumbangan kampanye untuk anggota kongres, informasi dari pejabat
instansi untuk anggota kongres diperdagangkan untuk apropriasi yang menguntungkan
keagen dari kongres, dan pertukaran personil terjadi antara klien kelompok dan lembaga.
Peran apa yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan agenda
pemerintah ( Agenda Setting )?1. Let it happen (membiarkan hal itu terjadi):
a. Pemerintah cenderung berperan sebagai pihak yang pasif dalam penyusunan
agenda pemerintah.
b. Pemerintah hanya berusaha untuk menjaga saluran informasi – komunikasi dan
penyelesaian masalah publik berjalan secara alami, tanpa intervensi aktif dari
policy maker .
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
17/65
17 | Teori Kebijakan Publik
c. Kondisi ini terjadi juga karena pembuat kebijakan tak mampu menjangkau
individu atau kelompok yang terkena akibat dari suatu masalah karena terlalu
kompleks dan luasnya ruang lingkup masalah tersebut.
d. Masalah publik masuk menjadi agenda pemerintah bersifat pluralistik, tergantung
bagaimana publik menyampaikan sejumlah tuntutan (atau kuantitas tekanan pada
pembuat kebijakan).
e. Kelompok yang diuntungkan adalah yang memiliki akses informasi dan
karenanya secar aktif melakukan komunikasi politik dengan pembuat kebijakan.
f.
Model ini tidak sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan, karena
realitasnya adalah kelompok2 dalam masya. Tidak memiliki akses
informasikomunikasi yang sama.
g. Model ini tidak akan pernah menjangkau kepentingan kelompok yang lemah
(kelompok masya. yang biasanya tidak mampu melakukan akses
informasikomunikasi dengan pembuat kebijakan.
2.
Encourage it to happen (mendorong supaya hal itu terjadi)
a. Pemerintah mengambil langkah aktif dengan tujuan membantu masyarakat
(terutama golongan lemah) untuk dapat menentukan dan mengartikulasikan
kepentingan dan masalah yang dihadapi.
b.
Pemerintah membantu masyarakat (mendampingi secara aktif) dalam melakukan
diagnosa terhadap masalah yang dihadapi kelompok masya. tsb dengan bantuan
lembaga mediator, contohnya melalui LSM dalam melakukan pendampingan
untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat miskin, sebagai bentuk jemput
bola dari pem. agar dapat mengakomodasikan masalah yang dihadapi kaum
lemah menjadi agenda pemerintah.
3. Make it happen (membuat suatu hal terjadi)
a.
Pemerintah berperan sangat aktif dalam mendefinisikan masalah publik,
memasukkanya menjadi Agenda Pemerintah, merumuskan alternatif pemecahan
mslh, sekaligus menentukan tujuan yang hendak dicapai.
b. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tidak menunggu sistem bekerja secara
pasif, namun secara langsung melakukan intervensi terhadap sistem yang ada atau
mengarahkan beroperasinya sistem tersebut dengan menetapkan mekanisme
pendefinisian dan menetapkan prioritas masalah dalam pemerintah.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
18/65
18 | Teori Kebijakan Publik
C. Model Penetapan Agenda Kebijakan
Cobb, Ross, dan Ross dalam Stewart mengidentifikasi tiga model yang berbeda dari
agenda setting. Model pertama adalah model inisiatif luar, yang sangat mirip dengan
modelasli diusulkan oleh Cobb dan Elder. Model kedua mereka adalah model mobilisasi,
dimanaisu-isu tersebut dimulai di dalam pemerintahan dan status agenda akhirnya tercapai.
Model kedua ini mirip dengan yang disarankan earlierby Davies. Model ketiga mereka
disebut model inisiatif dalam, yang menggambarkan sebuah proses di mana masalah muncul
dalam pemerintah tetapi tidak diperluas ke masyarakat umum. Pendukung isu itu diinginkan
untuk menjaga masalah dalam arena pemerintahan secara eksklusif.
Cobb & Elder (Anderson, 1979) mengklasifikasikan agenda kebijakan atas dua jenis, yaitu:
1.
Agenda Sistemik ( systemic agenda): terdiri atas semua isu yang dipandang secara
umum oleh anggota masyarakat sebagai masalah yang patut memperoleh perhatian
publik, mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap
jenjang pemerintahan masing-masing.
2.
Agenda Pemerintah ( governmental agenda): adalah serangkaian masalah yang secara
tegas mendapat perhatian aktif dan serius dari pembuat kebijakan, guna mendapatkan
penyelesaian melalui kebijakan publik yang otoritatif.
Kapan suatu isu kebijakan menjadi Systemic Agenda ?
Issue itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan
kesadaran masyarakat.
Adanya persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas, bahwa beberapa
tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah itu.
Adanya persepsi yang sama dari masyarakat, bahwa masalah itu adalah merupakan
suatu kewajiban dan tanggung jawab yang syah dari beberapa unit pemerintahan
(Cobb dan Elder dalam Jones 1984).
Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase
berikut (Jones, 1996):
1.
Problem definition agenda → pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
perhatian serius dari pembuat kebijakan.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
19/65
19 | Teori Kebijakan Publik
2. Proposal agenda → pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah menuju
pemecahan masalah.
3. Bargaining agenda → pada fase ini usulan-usulan kebijakan ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius.
4.
Continuing agenda → pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus
pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi kebijakan publik.
Kondisi Nondecision-making
Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat
mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh
para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk
melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa
pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau
dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk
bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin
dapat dilakukan dengan cara:
1.
Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakantekanan;
2.
Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat
kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak
merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik
yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye
mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat
keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.
II. Perumusan Kebijakan Publik (Policy Formulation)
Selama tahap dari siklus kebijakan, dinyatakan masalah, proposal, dan tuntutan
berubah ke dalam program pemerintah. Formulasi kebijakan dan adopsi mencakup definisi
tujuan – apa yang harus dicapai dengan kebijakan – dan pertimbangan alternatif tindakan
yang berbeda. Beberapa penulis membedakan antara perumusan (alternatif untuk tindakan)
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
20/65
20 | Teori Kebijakan Publik
dan adopsi akhir (keputusan formal untuk mengambil kebijakan). Karena kebijakan tidak
akan selalu diformalkan ke program terpisah dan pemisahan yang jelas antara formulasi dan
pengambilan keputusan sangat sering mungkin terjadi, kita memperlakukan mereka sebagai
sub tahapan satu panggung dari siklus kebijakan.
Dalam upaya mencoba untuk memperhitungkan gaya, pola, dan hasil yang berbeda
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, studi tentang tahap kerangka siklus
telah sangat berorientasi teori. Selama dua dekade terakhir ini, koneksi berbuah dengan teori
keputusan organisasi yang telah berkembang. Pada saat yang sama, studi perumusan
kebijakan telah lama sangat dipengaruhi oleh upaya untuk memperbaiki praktek dalam
pemerintah dengan memperkenalkan teknik dan alat perumusan keputusan yang lebih
rasional. Hal ini menjadi paling nyata selama masa kejayaan perencanaan politik dan
kebijakan reformasi di 1960-an dan 1970-an. Analisis kebijakan adalah bagian dari koalisi
reformasi yang terlibat dalam pengembangan alat-alat dan metode untuk mengidentifikasi
kebijakan yang efektif dan hemat biaya (Wittrock, Wegner, dan Wollmann 1991, 43-51;
Wollmann 1984).
Ilmuwan politik berpendapat (Lindblom 1968; Wildavsky 1979) bahwa pengambilan
keputusan tidak hanya terdiri dari pengumpulan informasi dan pengolahan (analisis), tetapi
terutama terdiri dari resolusi konflik dalam dan diantara aktor-aktor publik dan swasta dan
pemerintah departemen (interaksi). Dalam hal pola interaksi antar departemen, Mayntz dan
Scharpf (1975) berpendapat bahwa biasanya mengikuti jenis koordinasi negatif (berdasarkan
urutan partisipasi departemen yang berbeda setelah program kebijakan awal telah disusun)
bbukan dari usaha ambisius dan kompleks koordinasi positif (penyatuan solusi kebijakan
yang disarankan sebagai bagian dari penyusunan), sehingga mengarah ke proses khas
pembuatan kebijakan yang reaktif. Tujuan ilmu politik berbasis analisis kebijakan ialah untuk
menyarankan pengaturan kelembagaan yang akan mendukung pembuatan kebijakan yang
lebih aktif.
Pemerintah dan PNS lebih tinggi tidak sepenuhnya lepas dari masyarakat yang lebih
luas ketika merumuskan kebijakan; sebaliknya, mereka terus-menerus berinteraksi dengan
aktor-aktor sosial dan membentuk pola hubungan yang agak stabil (jaringan kebijakan).
Sedangkan keputusan akhir dari kebijakan tertentu tetap berada di wilayah lembaga yang
bertanggungjawab (terutama kabinet, menteri, DPR), keputusan ini didahului oleh proses
negosiasi pembentukan kebijakan lebih atau kurang informal, dengan menteri departemen
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
21/65
21 | Teori Kebijakan Publik
(dan unit dalam departemen), kelompok kepentingan terorganisir dan, tergantung pada sistem
politik, anggota parlemen terpilih dan rekan mereka sebagai pemain utama. Sejumlah
penelitian kebijakan dengan yakin berpendapat bahwa proses-proses dalam tahap awal
pembuatan keputusan sangat mempengaruhi hasil akhir dan sangat sering membentuk
kebijakan yang lebih besar daripada proses akhir dalam arena parlemen (Kenis dan
Schneider, 1991). Selain itu, penelitian ini menjadi argumen yang kuat dalam membantah
model rasional perumusan keputusan. Alih-alih pilihan rasional antara kebijakan alternatif,
hasil pengambilan keputusan dari tawar-menawar antara aktor-aktor yang beragam dalam
subsistem kebijakan yang – hasil yang ditentukan oleh sumber daya konstelasi dan kekuatan
(substensial dan kelembagaan) kepentingan aktor yang terlibat dan proses penyesuaian yang
saling menguntungkan partisan. Dengan demikian, membentuk gaya khas (Lindblom
1959,1979) dari pembentukan kebijakan semacam ini, terutama dalam alokasi anggaran
(Wildavsky 1964,1988).
A. Alternatif / Solusi Masalah Kebijakan
Formulasi kebijakan merupakan tahap proses kebijakan di mana program yang
bersangkutan dan diterima tindakan untuk menangani beberapa masalah publik tertentu
diidentifikasi dan disahkan menjadi hukum (Lester dan Stewart, 2000). Perumusan usulan
kebijakan publik adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang
perlu untuk menyelesaikan masalah. Perumusan kebijakan publik menyangkut upaya
menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untukmasalah-masalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi (Anderson, 1976). Perumusan kebijakan sebagai
alternatif kebijakan/proses perumusan usulan kebijakan. Perumusan usulan kebijakan yang
baik dan komprehensif akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan para perumus kebijakan
dalam merumuskan masalah kebijakan yang terdiri dari tahap-tahap: identifikasi alternatif →
definisi dan rumuskan alternatif → penilaian alternatif → pemilihan alternatif ―yang paling
memungkinkan.‖
Untuk menghasilkan perumusan usulan kebijakan yangkomprehensif, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
Jumlah dari masalah yang ditangani. Apakah usulankebijakan akan menyampaikan
seluruh masalah dalamsuatu lingkup masalah?ataukah hanya ditujukan
padacontohnya semata?
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
22/65
22 | Teori Kebijakan Publik
Lingkup Analisis. Apakah lingkup analisis usulankebijakan akan melayani semua
aspek masalah? Ataukahhanya melayani aspek tertentu saja?
Memperkirakan dampak . Apakah usulan kebijakan yangdiformulasi sudah diuji semua
dampaknya? Ataukahpengujian dibatasi pada dampak langsung dalam suatulingkup issusaja?
Kegiatan perumusan usulan: mengidentifikasi alternatif, mendefinisikan dan
merumuskan alternatif, menilai alternatif, dan memilih alternatif yang paling baik.
Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat atau cara yang dapat digunakan
untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung sejumlah tujuan dan sasaran yang
telahditentukan sebelumnya (Mustopadijaja). Menurut William N. Dunn, alternatif kebijakan
(policy alternatives) adalah arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat memberi
sumbangan kepada pencapaian nilai dan karena itu kepada pemecahan masalah kebijakan.
Brewer dan De Leon menggambarkan alternatif kebijakan sebagai pilihan diantara alternatif-
alternatif kebijakan yang telah berhasil diusulkan bagi pemecahan masalah yang sudah
diperkirakan.
Pada prinsipnya, alternatif kebijakan adalah alat atau cara-cara dan juga merupakan
pilihan-pilihan yang dipergunakan dalam
perumusan kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga dapat
dilaksanakan oleh aktor-aktor kebijakan publik.
Alternatif kebijakan dapat dikatakan sebagai tahapan politik dengan mengajukan berbagai
solusi potensial bagi masalah yang dihadapi pembuat kebijakan publik. Pilihan yang paling
mungkin diputuskan bukan untukmengambil tindakan khusus, melainkan untuk penemuan
penyelesaian masalah dengan jalan yang terbaik.
Cara Menentukan Alternatif atau Solusi Masalah Kebijakan
Tahap I : Mengidentifikasi Alternatif Kebijakan
Masalah-masalah yang telah dengan jelas dirumuskandan dimasukkan dalam
agenda kebijakan akan disusun pilihan pemecahannya dengan mengidentifikasi
alternatif-alternatif yang berguna atau berhubungan dengan pemecahan masalah.
Dalam situasi masalah yang sama, mungkin saja diidentifikasi alternatif yang
pernah dibuat, tetapi diperlukan juga kreativitas analis kebijakan untuk
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
23/65
23 | Teori Kebijakan Publik
menemukan alternatif-alternatif kebijakan yang baru dan diidentifikasi
karakteristiknya secara jelas.
Identifikasi yang benar dan jelas untuk setiap alternatifkebijakan akan
mempermudah proses perumusanal ternatif kebijakan tersebut.
Tahap II : Pendefinisian dan Perumusan Alternatif
Tujuan: Alternatif-alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan
nampak jelas pengertiannya.
Pendefinisian alternatif ―jelas‖, artinya mudah menilai dan mempertimbangkan
aspek positif dan negatif dari setiap alternatif.
Menurut W.N. Dunn, cara rumuskan alternatif sebagai berikut: Didapat dari para ahli atau pejabat publik,
Menggunakan metode ilmiah,
Memanfaatkan kasus yang paralel dengan masalah yang akandianalisis, dan
Menggunakan analogi
Tahap III : Penilaian Alternatif
Menilai alternatif adalah kegiatan pemberian bobot (harga) padasetiapalternatif, sehingga nampak jelas bahwasetiap alternatif mempunyai nilai bobot
kelebihan atau kekurangannya masing-masing, atau dapat diketahui konsekuensi
setiap alternatif (baik positif maupun negatif).
Tujuan: Mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai tingkat efektivitas,
efisiensi,dan visibilitas setiap alternatif yang diajukan dalam mencapai apa yang
menjadi tujuan yang telah ditetapkan.
Kriteria penilaian menurut W.N. Dunn (1994):
Technical Rationality, menyangkut pilihan yang melibatkanperbandingan antar
alternatif berdasarkan kemampuan darimasing-masing alternatif dalam
mempromosikan pemecahan yang efektif terhadap masalah publik yang dihadapi.
Economic Rationality, menyangkut pilihan yang melibatkan perbandingan antar
alternatif berdasarkan kemampuan masing-masing alternatif dalam
mempromosikan pemecahan masalah publik secara efisien, yang biasanya
dihitung berdasarkan perbandingan antara biaya total (total cost) dengan manfaat
yang diperoleh (benefits) bagi masyarakat.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
24/65
24 | Teori Kebijakan Publik
Legal Rationality, berkenaan dengan penilaian alternatif berdasarkan kemampuan
dalam tingkat komformitas legal (sejalan tidaknya atau mendukung tidaknya)
terhadap aturan perundang-undangan yang ada.
Social Rationality, berkaitan dengan perbandinganalternatif berdasarkankemampuannya dalam memelihara dan mempertahankan serta memperbaiki
instutusi-institusi sosial,atau dengan kata lain, apakah suatu alternatif
mempromosi institusionalisasi norma-norma atau nilai-nilai yang diakui
masyarakat.
Substantive Rationality, adalah suatu bentuk gabungandari rasionalitas (multiple
forms of rationality) yang menyangkut kriteria-kriteria sebelumnya yaitu kriteria
teknis, ekonomis, hukum, dan sosial. Teknik ini memilih atau merekomendasikan
suatu alternatif kebijakan secara rasionaldengan sistem rangking, dimana total
skor yang paling sedikit akan dianggap sebagai yang paling baik.
Tahap IV : Pemilihan Alternatif
Memilih alternatif yang ―memuaskan‖ atau ―yang paling mungkin dilaksanakan‖
setelah dilakukannya penilaian alternatif-alternatif oleh para analis kebijakan.
Alternatif yang dipilih secara memuaskanakan menjadi usulan kebijakan (policy
proposal) yang dianggap dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif.
B. Aktor-aktor Yang Terlibat dalam Perumusan Kebijakan
Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa: Kelompok yang terlibat
dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok
formal seperti badan – badan administrasi pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:
1. Kelompok kepentingan (interest groups), seperti kelompok buruh, dan kelompok
perusahaan;
2.
Kelompok partai politik;
3. Warga negara individual;
Kelompok besar tersebut kemudian jika dianalisis secara lebih detail maka aktor
kebijakan yang sering kali terlibat dalam proses perundingan dan pengambilan kebijakan
internal birokrasi dapat berupa:
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
25/65
25 | Teori Kebijakan Publik
a. Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu (authoritative). Yang pertama adalah
relevan dengan konsep yang selalu melibatkan tiga oknum penting di dalamnya yaitu
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi. Kelompok yang
kedua adalah mereka yang secara serius seringkali terlibat di luar kelompok tersebut
baik secara langsung mendukung ataupun menolak hasil kebijakan yang ada. Pada
kelompok yang kedua inilah seringkali wujudnya dapat berupa kelompok
kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau enterpreneur serta
para intelektual yang ada.
Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat di bagi menjadi kelompok
formal dan kelompok non formal. Kelompok formal biasanya terdiri dari aktor resmi yang
mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif.
Sedangkan pada aktor non formal terdiri dari masyarakat baik individu, kelompok
kepentingan maupun aktor partai politik.
Menurut Howlett dan Ramesh (1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi yang
berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain:
1. eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui pemilihan umum (elected officials);
2.
pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed officials);
3. kelompok kepentingan (interest group);
4. organisasi peneliti; dan
5. media massa.
Selain lima hal tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik antara lain:
1. bentuk organisasi negara;
2. struktur birokrasi;
3. organisasi kemasyarakatan;
4. kelompok bisnis.
Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara (2010:88-89), para aktor
perumus kebijakan terdiri dari:
1. agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat karier. Mereka adalah aktor yang
mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan (inisiator kebijakan);
2. kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat eksekutif. Keterlibatan presiden dan
perumusan kebijakan ditunjukan dengan pembentukan komisi kepresidenan, task
forces dan komite antar organisasi;
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
26/65
26 | Teori Kebijakan Publik
3. Konggres (lembaga legislatif); lembaga ini berperan dalam melegislasi kebijakan
baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap keliru. Dinegara-negara demokrasi,
peran legislatif dalam perumusan kebijakan didasarkan pada keberadaan mekanisme
check and balances dengan pihak eksekutif;
4. Kelompok kepentingan; dinegara demokrasi, kelompok kepentingan merupakan aktor
yang terlibat dalam perumusan kebijakan spesifik.
Sementara Winarno (2007:123) bahwa kelompok-kelompok yang terlibat dalam
proses perumusan kebijakan publik dibagi kedalam dua kelompok, yakni para pemeran serta
resmi dan para pemeranserta tidak resmi. Kelompok pemeranserta resmi adalah agen-agen
pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok
pemeranserta tidak resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan
warganegara individu. Sedangkan Moore (1995:112) secara umum aktor yang terlibat dalam
permusan kebijakan publik yaitu, aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil
society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik.
Selanjutnya Lidblom (1980) dalam Agustino (2008:41) aktor pembuat kebijakan,
dalam sistem pemerintahan demokratis, merupakan interaksi antara dua aktor besar, yaitu
Insede Government Actors (IGA) dan Outside Government Actors (OGA). Para aktor
pembuat kebijakan ini terlibat sejak kebijakan publik itu masih berupa issu dalam agenda
setting hingga proses pengambilan keputusan berlangsung. Yang termasuk dalam kategori
Insede Government Actors (IGA) adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus
pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi. Sedangkan yang termasuk dalam kategori
Outside Government Actors (OGA) diantaranya, lembaga legislatif, lembaga yudikatif,
militer, partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan serta media — massa.
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2006:
46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non
pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula
aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan
kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
27/65
27 | Teori Kebijakan Publik
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi
penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh
Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak
resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi
mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan
mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba
untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal
kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat
semua pemeran serta ( participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang
atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta
saling mengawasi.
Interaksi Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik
Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang
sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri.
Interaksi aktor dan kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang
dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Menurut howlett dan
Ramesh dalam Madani (2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah
mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik
berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di
dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor
kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai
konsern terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang
terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat,
kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.
Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan
memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
28/65
28 | Teori Kebijakan Publik
dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan
macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah
kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua
kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan
yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).
C. Model-Model Perumusan Kebijakan
Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para
ahli antara lain : Model Institusional, Model Elit – Massa, Model Kelompok, Model Sistem –
Politik, Model Rational-Comprehensive, Model Incremental, Model Mixed-Scanning.
Model-model ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang sangat
rumit, dan sekaligus mudah dimengerti. Untuk pemahaman lebih lanjut maka dapat
dijabarkan model tersebut sebagai berikut :
1.
Model Institusional . Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan
dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah.
2. Model Elit Massa. Menurut Nicholas Henry (1975) dalam Setyodarmodjo
(2005:251) model ini memandang administrator-adminitrator pemerintahan tidaklah
tampil sebagai ―pelayan rakyat‖ melainkan lebih bertindak sebagai
―penguasa‖. Dalam model elit-massa ini, kekuasaan pemerintah berada ditangan
kaum elit. Kaum elitlah yang menentukan kebijakan publik, sedang pejabat
pemerintah atau para administrator hanya melaksanakan kebijakan yang ditentukan
oleh kaum elit. Dengan demikian masyarakat hanya tinggal menerima apa saja yangdikehendaki pejabat.
3. Model Kelompok . Model ini menganut paham David B. Truman (1951) dalam Islamy
(2007:42) yang menyatakan bahwa interkasi kelompok-kelompok adalah merupakan
kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama
mengikatkan baik secara formal maupun informal kedalam kelompok kepentingan
(interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-
kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori kelompok, kebijakan publik adalah
merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasi perjuangan
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
29/65
29 | Teori Kebijakan Publik
kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik
adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.
4.
Model Sistem Politik . Model ini sebenarnya merupakan pengembangan dari teori
sistem David Easton. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi
(input, withinputs, outputs dan feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai
respon suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya,
5. Model Rasional : Menggambarkan keadaan yang senyatanya terhadap yang terjadi
dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya
dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah
yang akan digunakan untuk:
Menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan
eksternal.
Memuaskan permintaan lingkungan.
Memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan.
6. Komprehensif : Merupakan model yang terkenal dan juga paling luas dterima
dikalangan para pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari
beberapa elemen yaitu :
Pembuat keputusan dihadapkan kepada masalah tertentu.
Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat
keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
Konsekwensi-konsekwensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap
pemilihan alternatif diteliti.
Antara alternatif dengan konsekwensi yang menyertainya dapat dibandingkan
dengan alternatif lainnya.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan (intended
goal). Model Rational Comprehensive didasarkan atas teori ekonomi atau konsep
manusia ekonomi (consept of an economic man). Dalam model ini konsep rasionalitas
sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan
yang rasional itu adalah suatu kebijakan yang sangat efisien — dimana rasio antara
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
30/65
30 | Teori Kebijakan Publik
nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi
dibandingkan dengan alternative-alternatif yang lain.
7.
Incramental : Model penambahan, yang berawal dari kritik terhadap model rasional
komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Dalam
aplikasinya, bahwa ia berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut
dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional
komprehensif. Model ini bersifat deskriptif, artinya bahwa model ini menggambarkan
secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan.
8.
Mixed Scanning : Model ini merupakan upaya mengambungkan antara model rasional
dengan model incremental. Amitai Etzioni (1967) memperkenalkan teori sebagai
suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental,
menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang
menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-
keputusan pokok dan menjalankannya seteleh keputusan itu tercapai. Pada dasarnya
model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. (Nugroho, 2004:124).
D. Faktor-Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan
a. Faktor Politik.
Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor
kebijakan (policy aktor), baik aktor – aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,
panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media
massa, LSM dan lain-lain).
b.
Faktor Ekonomi / Finansial.
Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan
menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah
kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba
untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan
keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami
defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan masyarakat.
c.
Faktor Administrasi / Organisatoris.
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
31/65
31 | Teori Kebijakan Publik
Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh
kemampuan administrative yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan
melaksanakan kebijakan itu. Dalam kemampuan administrative termasuk kemampuan
Sumber Daya Aparatur yang melaksanakan kebijakan pemerintahan, kadang kala banyak
dipaksakan dengan Sumber Daya yang ada, misalnya dengan terbukanya aturan untuk
memperbolehkan daerah melakukan pemekaran daerah, maka dengan segala usaha dan upaya
yang ada Provinsi, Kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran, bayangkan saja sekarang
saja untuk Indonesia keadaan tahun 2013 sudah ada 34 Provinsi dengan 497 Kabupaten/Kota,
tetapi pertanyaan yang timbul apakah Sumber Daya Aparatur yang mendukungnya sudah
sesuai dengan kompetensi (persyaratan) yang sudah ditetapkan oleh aturan tersendiri.
Kemudian apakah organisasi pemerintah daerah yang dibentuk sudah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan
pembentukan organisasi (tidak tumpang tindih/overlaping). Apalagi sesuai konsep reformasi
birokrasi yang sedang diakbarkan mulai dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penataan kelembagaan tidak boleh adanya
tumpang tindih antara organisasi yang satu dan yang lainnya, seandainya ini terjadi harus
dilakukan evaluasi kembali.
d.
Faktor Teknologi.
Apakah teknologi yang ada dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan, apabila
kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan. Secara kenyataan teknologi yang ada pada
prinsipnya dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, tetapi kadang kala
permasalahan adalah yang mempergunakan teknologynya (SDM) tidak siap dengan
teknology yang ada, contoh sederhana perangkat komputer / laptop hanya dipergunakan
kebanyakan untuk mengetik, dan kalau dilihat kepada program-program yang ada dalam
perangkat tersebut mampu mengimplementasikan untuk kegiatan-kegiatan/penciptaan lainnya
tergantung kepada kesiapan SDA nya.
e.
Faktor Sosial, budaya dan Agama.
Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama
atau yang sering disebut masalah SARA, seperti yang baru terjadi di Kota Padang dalam
rencana pembangunan Rumah Sakit SLAOM dan kegiatan ekonomi, dikritik oleh masyarakat
dan lembaga-lembaga masyarakat, karena akan berpengaruh tegaknya agama Islam. Hal ini
juga harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah, disatu sisi Pemerintah ingin memajukan
daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mendatangkan investor luar untuk
membangun daerah, dan disatu sisi masyarakat juga melakukan protes terhadap rencana
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
32/65
32 | Teori Kebijakan Publik
pembangunan tersebut, maka disinilah yang diperlukan sekali Sinergi antara masyarakat dan
pemerintah sehingga mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama dalam membangun
daerahnya.
f. Faktor Pertahanan dan keamanan.
Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara/daerah, misalnya dalam pembangunan
gerbang batas negara/daerah yang kadang-kadang dapat menimbulkan konflik antar daerah
dan masyarakat, maka itu yang sangat diperlukan disini adalah melakukan sosialisasi dengan
berbagai pihak yang terkait dan koordinasi antara negara dengan negara atau antara daerah
yang berbatasan.
III.
Implementasi Kebijakan Publik (Policy Implementation)
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya
diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai: ‖Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-
keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar
dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan‖.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran
ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat
teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the
application by government`s administrative machinery to the problems.” Kemudian Edward
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
33/65
33 | Teori Kebijakan Publik
III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making
between establishment of a policy…And the consequences of the policy for the people whom
it affects.”
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa
implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan
setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro
menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses
kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan
dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan
ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: ―The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams
or blue prints jackets unless they are implemented” .
Proses implementasi kebijakan yang ideal akan mencakup elemen inti sebagai berikut:
Spesifikasi detail program, yaitu bagaimana dan dimana lembaga/organisasi program
seharusnya akan dieksekusi? Bagaimana hukum/program ditafsirkan?
Alokasi sumber daya, yaitu bagaimana anggaran didistribusikan? Personil yang mana
yang akan mengeksekusi program? Unit organisasi yang mana yang akan
bertanggungjawab untuk eksekusi?
Keputusan, yaitu bagaimana keputusan kasus tunggal dilakukan?
Deteksi tahap pelaksanaan sebagai missing link (Hargove, 1975) di dalam studi
kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu inovasi konseptual yang paling penting dari
penelitian kebijakan pada 1970-an. Sebelumnya, pelaksanaan kabijakan ini tidak diakui
sebagai tahap yang terpisah di dalam atau elemen dari proses pembuatan kebijakan.
Awalnya, implementasi dipandang dari perspektif yang kemudian disebut pendekatan
top-down. Pelaksanaan studi generasi pertama sehingga berbagi pemahaman hirarki, top-
down pemerintahan, setidaknya sebagai ukuran normatif bagi penelitian hasil implementasi.
Penelitian Implementasi tertarik dalam mengembangkan teori tentang pekerjaan apa. Salah
satu cara untuk melakukan ini adalah menilai efektivitas berbagai jenis instrumen kebijakan
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
34/65
34 | Teori Kebijakan Publik
berdasarkan teori tertentu tentang hubungan sebab dan akibat. Instrumen kebijakan telah telah
diklasifikasikan ke dalam peraturan, keuangan, informasi, dan alat kebijakan organisasi.
Perspektif bottom-up menyarankan sejumlah reorientasi analisis yang kemudian
diterima dalam penerapan yang lebih luas dan literatur kebijakan. Pertama, peran sentral
lembaga implementasi dan personil mereka dalam membentuk hasil kebijakan yang
sebenarnya telah mengakui; khususnya pola mengatasi tuntutan yang beragam dan
bertentangan yang sering dikaitkan dengan kebijakan adalah tema penelitian yang berulang.
Kedua, fokus pada kebijakan tunggal dianggap sebagai masukan ke dalam proses
pelengkapan implementasi, jika tidak diganti, oleh perspektif yang dianggap kebijakan
sebagai hasil dari pelaksanaan hasil dari interaksi pelaku yang berbeda dan program yang
berbeda.
Singkatnya, penelitian implementasi memainkan peran utama dalam memicu
penelitian kebijakan melangkah jauh dari suatu negara terpusat, yang terutama tertarik dalam
meningkatkan internal administrasi dan kapasitas pemerintah dan meningkatkan desain
program dan implementasi. Sejak akhir tahun 1980-an, penelitian kebijakan terutama tertarik
pada pola interaksi negara-masyarakat dan perhatiannya telah bergeser terhadap pengaturan
institusional bidang organisasi dalam masyarakat yang lebih luas (misalnya, kesehatan,
pendidikan, atau bagian ilmu). Jaringan kebijakan dan negosiasi mode koordinasi antara
aktor-aktor publik dan swasta tidak saja (analitis) dianggap sebagai pola meresap yang
mendasari pembuatan kebijakan-kontemporer, namun juga (normatif) dianggap sebagai cara
yang efektif dari pemerintahan yang mencerminkan kondisi modern masyarakat. Studi
pembuatan kebijakan semakin menurun mengikuti model tahap tradisional, namun
mancakup semua jenis aktor di bidang organisasi dan peraturan, dengan demikian
mengurangi kerangka siklus kebijakan.
A. Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi
Proses implementasi program dalam sebuah kebijakan, tentunya ada aktor-aktor yang
terlibat. Aktor-aktor itu bisa berasal dari masyarakat sipil, pemerintahan,maupun pihak
swasta. Masyarakat sipil misalkan organisasi komunitas, organisasi inisering merancang
kebijakan politik yang berlabel masyarakat. Dengan sendirinyamasyarakat, baik itu individu
maupun kelompok terlibat dalam implementasi programyang telah legislasi. Kemudian, aktor
dari pemerintahannya seperti birokrasi yangmenjadi agen administrasi yang paling
8/17/2019 Kebijakan_Publik_Sebagai_Proses.pdf
35/65
35 | Teori Kebijakan Publik
bertanggungjawab atas implementasi kebijakan. Serta badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif yang dalam implementasinya mereka menentukan berbagai peraturan yang spesifik
yang paling mendasar.
Menurut Anderson dan Lester dan Stewart (Solahuddin K, 2009:100), dalam tahapan
implementasi terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal dari kalangan
pemerintah maupun masyarakat, dan diidentifikasi dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga
peradilan, kelompok-kelompok penekan dan organisasi komunitas.
1. Birokrasi
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi
seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:27): ‖Bureaucraciesare dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not
dominant‖. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi