A. KEBERAGAMAN DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Dalam masyarakat, yang terdiri dari manusia-manusia, terdapat suatu
kehidupan kolektif, yaitu hidup bersama individu-idnividu sejenisnya dalam
satu gabungan. Dalam pergaulannya, antara makhluk dalam kehidupannya,
terdapat azas-azas, seperti azas egoisme atau azas “mendahulukan kepentingan
diri sendiri di atas kepentingan yang lain” sehingga menyebabkan individu itu
dapat bertahan hisup dalam alam yang kejam. Selain itu ada juga azas altruisme
atau azas “hidup berbakti untuk kepentingan yang lain” yang juga dapat
membuat individu itu sedemikian kuatnya utnuk bertahan dalam proses sleksi
alam ayng kejam. Otak manusia telah mengembangkan suatu kemampuan yang
disebut “akal”, yang mampu untuk membayangkan dirinya serta peristiwa-
peristiwa yang mungkin terjadi terhadap dirinya sehingga dengan demikian
manusia dapat mengadakan pilihan serta seleksi terhadap berbagai alternatif
dalam tingkah lakunya untuk mencapai efektivitas yang optimal dalam
mempertahankan hidup.
Apabila ditemukan suatu tingkah laku yang efektif dalam
menanggulangi masalah, tingkah laku itu akan diulangi lagi setiap masalah
serupa timbul, kemudian setiap individi akan mengomunikasikan pola tingkah
laku tersebut kepada individu-individu lain dalam kehidupan kolektif sehingga
pola itu menjadi mantap dan menjadi suatu adat istiadat yang dilaksanakan oleh
sebagian besar warga kolektif itu, yang mana pola ini didapat dari proses
belajar. Oleh karena pola-pola tindakan tersebut adalah hasil dari pelajaran,
1
pola-pola tersebut dapat berubah dengan lebih cepat daripada perubahan bentuk
organismenya. Sebagai contoh adalah tigapuluh tahun hingga empatpuluh
tahun yang lalu orang-orang Indonesia banyak yang tinggal dalam rumah-
rumah besar bagi kelompok kerabatnya yangluas, dan dari musim ke musim
menanam padi di sawah sebagai petani. Sekarang keturuanan langsung dari
petani-petani itu telah banyak yang tinggal dalam rumah-rumah gedung atau
kompleks perumahan, dan banyak menghabiskan waktunya di kantor.
Perubahan-perubahan pola tindakan tersebut tidak sama cepatnya pada
satu kolektif manusia dan kolektif manusia di tempat lain di muka bumi ini, ada
yang lebih lambat dan ada yang lebih cepat. Proses perubahan yang berbeda-
beda itu menyebabkan timbulnya suatu aneka warna yang besar sekali antara
beribu-ribu kesatuan hidup manusia yang berada di muka bumi ini.
Sebenarnya, aneka warna dalam pola tingkah laku manusia bukanlah
disebabkan oleh aneka warna ciri ras, melainkan karena kolektif-kolektif di
mana manusia itu bergaul dan berinteraksi. Dalam masyarakat akan tampak
kesatuan-kesatuan manusia yang lebih khusus, yang berbeda satu dengan yang
lain disebabkan karena adat-istiadat dan bahasa yang berbeda, kadang-kadang
juga karena perbedaan agama, atau karena kombinasi keduanya. Pada dasarnya,
yang menyebabkan keberagaman dalam masyarakat (terutama masyarakat
kota) adalah adanya perbedaan suku bangsa dari masing-masing orang.
Suku bangsa adalah bagian dari suatu bangsa. Suku bangsa mempunyai
ciri-ciri mendasar tertentu. Ciri-ciri itu biasanya berkaitan dengan asal-usul dan
kebudayaan. Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mengenal suatu
suku bangsa: ciri fisik, bahasa, adat istiadat, dan kesenian yang sama. Contoh
ciri fisik, antara lain warna kulit, rambut, wajah, dan bentuk badan. Ciri-ciri
inilah yang membedakan satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Suku
bangsa merupakan kumpulan kerabat (keluarga) luas. Mereka percaya bahwa
mereka berasal dari keturunan yang sama. Mereka juga merasa sebagai satu
golongan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai bahasa dan adat
istiadat sendiri yang berasal dari nenek moyang mereka. Keragaman suku
bangsa di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
2
1. perbedaan ras asal,
2. perbedaan lingkungan geografis,
3. perbedaan latar belakang sejarah,
4. perkembangan daerah,
5. perbedaan agama atau kepercayaan, dan
6. kemampuan adaptasi atau menyesuaikan diri
Setiap manusia mempunyai suatu akal atau pikiran yang cenderung
menuntut dirinya untuk bertahan hidup (survive) di tempat yang baru. Dalam
bergaul atau berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat, seorang
individu akan berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya meskipun
masih membawa atribut suku bangsa yang dimilikinya, dan hal inilah yang
menyebabkan keberagaman dalam masyarakat itu. Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa dalam masyarakat terdapat kesatuan-kesatuan manusia
yang sifatnya lebih khusus karena memiliki persamaan identitas, yaitu
persamaan suku bangsa seperti bahasa daerah atau adat-istiadat yang dimiliki
oleh nenek moyang mereka. Tapi apabila dalam konteks masyarakat yang lebih
luas, setiap individu akan berinteraksi dengan individu yang lain meskipun
berbeda asal-usulnya hanya untuk dapat hidup bersama-sama saling
berdampingan demi terwujudnya tujuan hidup yang dicita-citakan, karena pada
dasarnya untuk bertahan hidup individu yang satu akan bergantung kepada
individu yang lain. Kemudian pemikiran untuk bertahan hidup itu akan
diinterpretasikan kedalam suatu pola tingkah laku yang efektif untuk
menangani masalah bersama dalam masyarakat sehingga timbul suatu pola
tingkah laku yang baru dalam masyarakat tersebut yang kemudian menjadi
adat-istiadat baru yang dijalankan oleh anggota masyarakat itu.
Mengenai permasalah kesatuan hidup manusia yang lebih khusus tadi,
hal itu merujuk kepada kolektif-kolektif manusia yang ada dalam masyarakat
itu. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat terdapat
keberagaman karena adanya perbedaan mendasar dari kehidupan kolektif
manusia masyarakat Pariaman, kehidupan kolektif masyarakat Padang,
kehidupan kolektif masyarakat Bukit Tinggi, dan sebagainya. Dalam
3
masyarakat Pariaman juga terdapat keberagaman karena dipengaruhi oleh
disiplin yang dianut oleh suatu keluarga yang satu berbeda dengan keluarga
lain, atau misalnya juga karena agama. Seperti contoh lain adalah di Jawa
terdapat dua suku bangsa Jawa, meskipun sama adat-istiadat dan bahasanya,
tetapi berbeda dalam konteks agamanya, yaitu yang satu beragama Islam
Santri, dan lainnya menganut Islam Kejawen. Dan apabila kita melihat ke
dalam konteks masyarakat yang lebih luas lagi, misalnya Indonesia,
masyarakat Pariaman bukan dikenal sebagai masyarakat Pariaman lagi,
melainkan sebagai kolektif masyarakat Sumatera Barat. Keberagaman terjadi
karena adanya perbedaan suku bangsa. Di Jakarta, yang mana masyarakatnya
lebih modern, keberagaman dalam masyarakat terjadi karena adanya kesatuan-
kesatuan manusia yang lebih khusus tersebut (karena adanya perbedaan suku
bangsa yang dimiliki oleh kesatuan manusia yang satu dengan suku bangsa
kesatuan manusia lain), namun tidak akan dikenal secara spesifik (apakah dia
orang Bukit Tinggi atau orang Pariaman), tetapi dia dikenal karena identitas
suku bangsa yang melekat pada dirinya saja. Orang yang kampungnya di Bukit
Tinggi akan dianggap sebagai orang Padang (sebutan umum untuk orang
Sumatera Barat oleh orang-orang Jakarta). Dan apabila orang Bukit Tinggi
tersebut pergi ke luar negeri, anggaplah Amerika Serikat, dia tidak dikenal
sebagai orang Padang (Sumatera Barat) lagi, tetapi sebagai orang Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh pola pikir manusia yang berusaha untuk bertahan hidup
dalam suatu masyarakat dan cara mereka untuk bergaul atau berinteraksi
dengan individu lain dalam masyarakat tersebut, mereka akan berusaha
menyesuaikan diri agar diterima dalam masyarakat di mana mereka hidup.
Dengan demikian, dalam suatu masyarakat terdapat berbagai keragaman suku
bangsa.
Aneka warna kesatuan hidup manusia dalam masyarakat juga dapat
disebabkan oleh adanya lapisan-lapisan sosial yang berbeda-beda secara
horizontal. Warga dari suatu masyarakat atau bahkan negara dapat kita golong-
golongkan misalnya ke dalam golongan petani, buruh, pedagang, pegawai
4
pemerintahan, bangsawan, dan lain-lain, yang masing-masing mempunyai pola
tingkah laku, adat-istiadat, dan gaya hidup yang berbeda-beda.
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang penuh dengan keragaman..
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Indonesia terdiri atas 34 provinsi
dengan ribuan pulau yang ada di dalamnya. Luas dan besarnya wilayah
Indonesia berpengaruh terhadap banyaknya keberagaman yang dimiliki bangsa
Indonesia. Keberagaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat yang terdapat
banyak perbedaan dalam berbagai bidang. Perbedaan tersebut terutama dalam
hal suku bangsa, ras, agama, keyakinan, ideologi politik, sosial-budaya,
ekonomi, dan jenis kelamin. Keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia
merupakan kekayaan dan keindahan bangsa.Namun Indonesia mampu
mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa
Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.
Keragaman budaya adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain
kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan
dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan
kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir,
dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan
tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di
Indonesia yang berbeda.
5
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi
proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah
ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang
dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung
perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan
agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara
dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang
tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga
keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke
modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia
dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya.
Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi.
Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat
Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan
yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya
meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar
peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada
6
abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup
pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat
dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun
interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan
peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia
dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga
mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah
singgungan antar peradaban itu.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup
secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel.
Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel
dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam
konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban
dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan
kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan
antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai”Bhinneka
Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya
bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata
namun kepada konteks kebudayaan.Didasari pula bahwa dengan jumlah
kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara,
dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman
agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang
dimakan pun beraneka ragam. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk yang memiliki karakteristi yang unik ini dapat dilihat dari budaya
gotong royong, teposliro, budaya menghormati orang tua (cium tangan), dan
lain sebagainya.
Kebaragaman masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik yang datang dari dalam maupun luar masyarakat. Hal ini juga dipengaruhi
oleh faktor alam, diri sendiri, dan masyarakat . Secara umum keberagaman
masyarakat Indonesia disebabkan oleh:
1. Letak strategis wilayah Indonesia
7
Coba kalian amati letak geogarfi Indonesia dalam peta dunia. Letak
Indonsia yang stategis yaitu di antara dua Samudera Pasific dan
Samudera Indonesia, serta dua benua Asia dan Australia
mengakibatkan wilayah kita menjadi jalur perdagangan
internasional. Lalu lintas perdangangan tidak hanya membawa
komoditas dagang, namun juga pengaruh kebudayaan mereka
terhadap budaya Indonesia. Kedatangan bangsa asing yang berbeda
ras, kemudian menetap di Indonesia mengakibatkan perbedaan ras.
Juga agama dan kepercayaan mereka.
2. Kondisi negara kepulauan
Negara Indonesia terdiri beribu-ribu pulau yang secara fisik terpisah-
pisah. Keadaan ini menghambat hubungan antarmasyarakat dari
pulau yang berbeda-beda. Setiap masyarakat di kepulauan
mengembangkan budaya mereka masing-masing, sesuai dengan
tingkat kemajuan dan lingkungan masing-masing. Hal ini
mengakibatkan perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya, peran laki-
laki dan perempuan, dan kepercayaan atau agama.
3. Perbedaan kondisi alam
Kondisi alam yang berbeda seperti daerah pantai, pegunungan,
daerah subur, padang rumput, pegunungan, dataran rendah, rawa,
laut mengakibatkan perbedaan masyarakat. Juga kondisi kekayaan
alam, tanaman yang dapat tumbuh, hewan yang hidup di sekitarnya.
Masyarakat di daerah pantai berbeda dengan masyarakat
pegunungan, seperti perbedaan bentuk rumah, mata pencaharian,
makanan pokok, pakaian, kesenian, bahkan kepercayaan.
4. Keadaan transportasi dan komunikasi
Kemajuan sarana transportasi dan komunikasi juga mempengaruhi
perbedaan masyarakat Indonesia. Kemudahan sarana ini membawa
masyarakat mudah berhubungan dengan masyarakat lain, meskipun
jarak dan kondisi alam yang sulit. Sebaliknya sarana yang terbatas
juga memjadi penyebab keberagaman masyarakat Indonesia.
8
5. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan
Sikap masyarakat terhadap sesuatu yang baru baik yang datang dari
dalam maupun luar masyarakat membawa pengaruh terhadap
perbedaan masyarakat Indonesia. Ada masyarakat yang mudah
menerima orang asing atau budaya lain, seperti masyarakat
perkotaan. Namun ada juga sebagian masyarakat yang tetap bertahan
pada budaya sendiri, tidak mau menerima budaya luar.
B. Arti penting memahami keberagaman dalam masyarakat
Pernahkah kalian bepergian ke pulau-pulau atau daerah-daerah lain di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia? Coba ceritakan pengalaman kalian
ketika berkunjung ke lain pulau atau ke lain daerah tempat tinggal kalian di
depan kelas. Nah, dengan mengetahui pulau-pulau atau daerah-daerah di
Indonesia kita dapat mengetahui perbedaan secara kewilayahan dan perbedaan
sosial budaya masyarakat Indonesia.
Aspek kewilayahan menjelaskan, bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah merupakan negara kepulauan dengan ribuan pulau besar kecil
di dalamnya. Satu pulau dengan pulau yang lain dipisahkan oleh bentangan laut
yang sangat luas. Kondisi wilayah yang demikian menjadikan keterpisahan
antara satu bagian wilayah negara dengan wilayah negara yang lain dalam
9
negara Indonesia. Di samping itu juga terdapatnya jarak yang jauh antara pusat
dengan daerah. Terbawa oleh kondisi kewilayahan tersebut, perlu disadari oleh
semua pihak bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya rawan
terjadinya perpecahan (disintegrasi). Kenyataan lain menunjukkan, bahwa
pemerintah dihadapkan pada persoalan adanya daerah yang ingin memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aspek sosial budaya menjelaskan, bahwa masyarakat Indonesia diwarnai oleh
berbagai macam perbedaan, baik perbedaan suku, ras, agama, kebudayaan, dan
bahasa. Kondisi sosial budaya yang demikian menjadikan kehidupan bangsa
Indonesia menyimpan potensi terjadinya konflik. Kenyataan juga
menunjukkan, bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia sering terjadi konflik
antar-kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan
tersebut. Sampai saat ini, konflik-konflik yang terjadi tidak menimbulkan
perpecahan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian kenyataan
semacam itu perlu manjadikan perhatian semua pihak agar dapat
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tetap terjaga
Atas dasar dua alasan tersebut, maka penting sekali memahami keberagaman
dalam masyarakat Indonesia yang ditujukan untuk mengusahakan dan
mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanpa kesadaran akan keberagaman yang kita miliki, bangsa Indonesia bisa
saja terjerumus ke arah perpecahan.
Keberagaman masyarakat Indonesia memiliki dampak positif sekaligus
dampak negatif bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.. Dampak
positif memberikan manfaat bagi perkembangan dan kemajuan, sedangkan
dampak negatif mengakibatkan ketidakharmonisan bahkan kehancuran bangsa
dan negara. Keberagaman suku bangsa, budaya, ras, agama, dan gender
menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia. Kita tidak
10
hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga keindahan dalam keberagaman
masyarakat Indonesia.
Perbedaan dalam lingkungan sekolah juga memiliki manfaat bagi pelajar, guru,
dan sekolah. Bayangkan apabila setiap saat semua pelajar dan guru selalu
memiliki pendapat yang sama, cara berpakain yang sama, cara berbicara yang
sama. Maka kehidupan sekolah akan “monoton atau hambar”. Kreatifitas dan
inovasi akan lebih berkembang apabila memungkinkan perbedaan pendapat,
berpikir, dan berkreasi.
Keragaman adalah takdir bagi kita, masyarakat Indonesia. Sehingga, keinginan
untuk menyeragamankan masyarakat adalah kesia-siaan. Tragisnya,
keragaman, khususnya agama, selalu menjadi lahan paling sensitif untuk
melahirkan konflik. Konflik akibat keragaman alami. Menjadi masalah
kemudian jika konflik tersebut bermuara pada aksi kekerasan. Perusakan harta
benda, penganiayaan , bahkan pembunuhan. Artikel ini ingin mengkaji
keragaman dari beberapa perspektif: personal, sosial dan institusional. Dengan
cara itu, berharap kita sadar bahwa keragaman tidak sepantasnya menjadi
sumber petaka, melah sebaliknya menjadi sumber daya untuk membangun
bangsa lebih kuat dan bisa bersaing dengan nagara lain.
Indonesia terdiri dari 17.504 pulau. Sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh penduduk
dengan 359 suku[1] dan 726 bahasa[2]. Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1969
—yang baru saja dipertahankan Mahkamah Konstitusi—Indonesia memiliki
lima agama “resmi”. Pada masa presiden Abdurahman Wahid, pemerintah
mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Meski hanya enam, di dalam
masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran yang berwujud
dalam organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan hidup dan
berkembang di Indonesia.
Namun demikian, pengakuan kita akan keragaman baru nampak di permukaan.
Selama 30 tahun, rezim Orde Baru merayakan keragaman dari segi fisik, dan
11
pada saat bersamaan, menekan keragaman substansial dalam rangka menjaga
stabilitas negara. Pengetahuan mengenai berbagai jenis suku, adat, budaya dan
agama muncul dalam setiap pelajaran sekolah. Namun, keragaman hanya boleh
memperkenalkan diri di ruang publik di bawah kuasa dan kendali rezim.
Sehingga, harmoni sosial masyarakat kita sangat bergantung pada rezim Orde
Baru. Ketika presiden Soeharto mundur, rezim Orde Baru runtuh, keragaman
menjadi malapetaka. Keragaman menjadi sumber konflik yang berujung pada
aksi kekerasan.
Kini, 12 tahun pasca reformasi, Indonesia kelabu. Serangkaian kerusuhan sosial
bernuansa etnis, agama, separatisme dan terorisme terjadi. Kerusuhan di
Kalimantan antara suku Dayak dan suku Madura. Di Maluku dan Poso, perang
saudara beda agama berkecamuk. Belakangan, kelompok kepercayaan dan
aliran keagamaan yang dianggap sesat menjadi korban kekerasan massa.
Kontroversi rumah ibadah yang diiringi dengan pembakaran di sejumlah
daerah, khususnya pulau Jawa, belum reda hingga kini. Juga beberapa gerakan
seperatis di sejumlah daerah bermunculan. Aceh, Maluku dan Papua adalah tiga
wilayah yang sempat ingin memisahkan diri. Terakhir, kita disbukkan oleh aksi
terorisme yang berlindung di balik wajah agama Islam.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa pengetahuan tentang keragaman
yang diajarkan di sekolah tidak berbanding lurus dengan harmoni sosial?
Kenapa kita lebih sering memaknai keragaman atau pluralisme sebagai
ancaman ketimbang rahmat? Lalu bagaimana mengelola keragaman agar
kehidupan sosial kita tetap harmoni dan menjadi sumber kekuatan di mata
dunia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita telusuri akar keragaman
dari sudut pandangan eksistensial (personal) manusia. Melalui akar personal
kita akan melihat sejauh mana keragaman mungkin dan di mana batasannya.
Kemudian, akar keragaman juga bisa kita temukan dalam kehidupan sosial.
Keragaman individu dalam kehidupan sosial lalu mengerucut menjadi identitas
12
kelompok. Dalam konteks inilah diskusi mengenai politik identitas menjadi
krusial untuk menelusuri akar keragaman pada dimensi sosial.
Terakhir, keragaman dapat kita lihat wujudnya dalam kerangka institusional.
Keragaman yang merupakan anugerah bagaimanapun sudah menjadi bahan
renungan para founding fathers dalam merumuskan Indonesia. Untuk itu
keragaman perlu ditelusuri dari segi bagaimana negara mengelolanya. Untuk
tujuan tersebut, tulisan ini akan menelusuri bagaimana nasib keragaman pada
masa transisi. Atas dasar penelusuran tersebut, kita akan menimbang
bagaimana keragaman bisa menjadi sumber berkat kekuatan Indonesia di masa
yang akan datang dan di mata dunia ketimbang musibah.
Akar Keragaman: Dimensi Eksistensial
Keragaman dalam pengertian paling radikal, menyangkut perbedaan antar
manusia. Saya dan Anda berbeda. Masing-masing kita berbeda cara
memandang dan memahami pemandangan yang ada di hadapan kita. Begitu
juga dengan saudara sedarah pasti berbeda. Bahkan dua saudara kembar
sekalipun, tak luput dari perbedaan. Manusia pada dasarnya unik. Pada titik
tertentu, keunikannya tersebut tak terbandingkan dengan manusia lainya.
Perbedaan ini bermula dari keterbatasan pada diri manusia. Keterbatasan ini
bukan sekedar berangkat dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan
yang terbatas. Keterbatasan manusia dapat kita telusuri secara empirik dari
perangkat lunak yang menjadi dasar ekspresi manusia. Manusia lahir melalui
13
tiga perangkat ini, panca indra, akal dan bahasa. Interaksi manusia atas dasar
perangkat lunak tersebut, yang memiliki keterbatasan, melahirkan perbedaan
pada saat menyatakan diri di ruang publik.
Keterbatasan panca indera
Pertama, panca indera. Panca indera pada masa pencerahan mula-mula dilirik
sebagai sumber pengetahuan. David Hume bahkan menilai bahwa tidak ada
pengetahuan tanpa pencerapan panca indera atau pengetahuan empirik. Hume
meyakini bahwa tidak ada hukum kausalitas atau sebab akibat. Pengetahuan
manusia adalah untaian pengalaman inderawi (Hume, 1955). Misalnya, kaca
pecah setelah batu menyentuhnya, tidak berarti batu menyebabkan kaca pecah.
Tetapi peristiwa batu berurutan dengan peristiwa pecahnya kaca.
Namun begitu, pandangan Hume tidak cukup kokoh. Panca indera memiliki
keterbatasannya sendiri. Keterbatasan panca indera terletak pada keterbatasan
organ fisiknya. Mata hanya bisa memandang ada yang ada di hadapan dan
dalam jarak pandangan tertentu. Telinga hanya bisa mendengar dalam jarak dan
arah angin tententu. Demikian juga indera perasa, hanya bisa merasakan apa
yang tersentuh oleh kulit. Bahkan kombinasi semua panca indera dalam
mencerap objek terbatasi ruang dan waktu.
Keterbatasan panca indera menyumbangkan banyak perbedaan dalam
memahami sesuatu. Contoh paling terkenal adalah analogi tiga orang buta
meraba gajah. Masing-masing diminta mendefinisikan gajah tersebut. Orang
yang menyentuh badan gajah, dia mengatakan bahwa gajah itu keras dan besar.
Orang kedua menyentuh kaki gajah dan menyatakan bahwa gajah itu bulat.
Sementara orang ketiga memegang belalai dan menilai bahwa gajah itu
panjang. Masing-masing berbeda tentang apa itu gajah lantaran keterbatasan
indera rasa saat menyentuh gajah.
Begitu juga ketika kita memahami ajaran agama. Kita tak ubahnya tiga orang
buta tersebut. Meski kita punya perangkat lunak panca indea yang bisa kita
pakai untuk membaca literatur, kita tidak bisa mengelak dari keterbatasan
14
panca indera. Sehingga hasil bacaan atas teks tersebut menghasilkan jawaban
yang berbeda-beda. Bahkan analisis atas teks yang terang benderang sekali pun.
Di sinilah letak keragaman bersumber: lantaran keterbatasan panca indera.
Keterbatasan akal
Kedua, akal. Akal lebih luas ketimbang panca indera. Jika indera tidak bisa
mengatasi objek yang ia cerap pada ruang dan waktu yang berbeda, maka akal
diyakini dapat mengatasi keterbatasan tersebut. Objek yang dicerap panca
indera pada masa tertentu tersimpan pada memori. Sekumpulan memori
kemudian menjadi dasar akal melakukan inferensi atau kesimpulan-
kesimpulan. Melalui akalnya, manusia dapat mengerti prinsip-prinsip umum
pola hubungan antar objek. Akal kemudian diyakini sebagai sumber
pengatahuan utama. Rene Descartes, filsuf modern yang merumuskan
pemikiran ini, melahirkan jargon terkenal: cogeto ergo sum [aku berpikir maka
aku ada] (Descartes, 1977).
Meski akal dapat melengkapi pencerapan panca indera, bukan berarti akal
sempurna. Immanuel Kant, filsuf yang disebut-sebut sebagai puncak abad
pencerahan (aufklarung), menunjukan keterbatasannya. Menurut Kant, akal
terbatas pada 12 kategori. Akal hanya mampu melakukan inferensi manakala ia
menggunakan kategori yang tersedia. Tanpa kategori-kategori, akal tidak
berguna. Ia tidak lebih dari gudang data (Kant, 1965).
Kelemahan akal melalui 12 kategori yang dimilikinya hanya menyaring objek
fisik dalam bingkai ruang dan waktu. Akal tidak mampu memberi jawaban
pasti atas persoalan metafisika. Keberadaan Tuhan misalnya. Analisis akal
yang mengandalkan kategori tidak dapat menyentuh Tuhan. Sehingga
pengetahuan tentang Tuhan yang diturunkan atas dasar inferensi akal bukan
jawaban pasti sebagimana pengetahuan yang menolak keberadaanya atas dasar
inferensi akal tersebut.
Contoh lain, fenomena santet. Setidaknya hingga kini, belum ada temuan
ilmiah yang bisa menjelaskan fenomena santet. Bagaimana mungkin ada
15
sejumlah barang dalam perut tanpa diketahui asal mulanya. Keterbatasan akan
juga terjadi pada 11 kategori lainnya untuk menjelaskan fenomena metafiska.
Pada gilirannya, keterbatasan akal menyumbang pada perbedaan pendapat dan
kepercayaan. Baik itu atas objek fisika atau metafisika. Perbedaan terhadap
objek fisik terbukti dengan munculnya sejumlah teori fisika dan temuan
berbeda pada masing-masing zaman. Temuan Isac Newton tentang gravitasi
mempengaruhi cara berpikir sains selama tiga abad. Teori Newton kemudian
runtuh oleh temuan Einstain tentang teori relativitas. Perbedaan ini
membuktikan bahwa akal terbatas dan menghasilkan pemahaman berbeda-beda
atas objek yang sama. Keragaman lantaran keterbatasan akal niscaya
hukumnya.
Jika keterbatasan akal atas objek fisik bisa melahirkan perbedaan persepsi,
maka pengetahuan tentang Tuhan sudah pasti berbeda. Bahkan keragaman
pengetahuan tentang Tuhan seberagam jumlah manusia. Masing-masing kita
mengalami perjumpaan pengalaman berbeda-beda sehingga kita memersepsi
keberadaan atau penolakan atas-Nya. Oleh karenannya, kita tidak perlu heran
jika ada perdebatan antara orang yang percaya keberadaan Tuhan, melalui
agama atau tidak, dengan mereka yang atheis. Perdebatan tersebut semata-mata
lantaran akal pikir manusia terbatas.
Keterbatasan bahasa
Dalam perkembangannya, muncul gagasan bahwa keterbatasan indera dan akal
sebagai akar keragaman diperuncing oleh bahasa. Perbedaan dan keragaman
pengetahuan atas dasar indera dan akal makin nyata keragamannya ketika
dirumuskan dalam bahasa. Bahkan Ferdinand de Saussure meyakini bahwa
tidak ada pengetahuan tanpa bahasa (Saussure, 1974). Sehingga, akar
perbedaan dan keragaman sesungguhnya pada keterbatasan bahasa.
Keterbatasan bermula dari kenyataan bahwa bahasa merupakan sistem tanda.
Sementara tanda memiliki keterbatasannya sendiri. Keterbatasan tanda inilah
yang kemudian menjadi garis batas bahasa. Tanda terbatas lantaran ia terdiri
16
dari konsep dan bentuk. Hubungan antara konsep dan makna seolah taksir.
Kata gajah hanya merujuk pada hewan besar dan memiliki belalai. Kata gajah
tidak bisa digunakan untuk menandai hewan kecil dan bersayap. Bagaimana
dengan dua kata yang bisa yang sama untuk makna yang berbeda?
Misalnya apel dan apel. Yang satu merujuk pada jenis buah, yang kedua
fenomena lelaki mengunjungi kekasih. Kedua kata ini juga pada akhirnya
terbatas manakala muncul dalam rangkaian kata dalam satu kalimat.
Keterbatasan tanda kemudian melahirkan perubahan dan keragaman bahasa.
Pertautan dan rajutan satu tanda dengan tanda lainnya menentukan makna.
Kalimat “saya sakit kepala,” sebagai contoh. Bila rajutan huruf berubah, makna
dengan sendirinya berubah. Kata sakit pada kalimat tersebut jika huruf
vokal idi depan ditukar dan a di belakang, hasilnya bisa berubah: “saya sikat
kepala.” Begitu juga dengan perubaha tatanan kata, makna kalimatnya juga bisa
berubah. Misalnya susunan kalimat kita tukar menjadi “kepala sikat saya” tentu
maknanya berubah.
Keragaman atas dasar keterbatasan bahasa melahirkan keragaman berpikir
umat manusia. Perbedaan antara Newton dan Einstain tidak lebih karena
rumusan bahasa yang berbeda. Perbedaan keduanya bermula dari keterbatasan
bahasa yang dimiliki masing-masing pemikir paling berpengaruh tersebut. jika
ilmuan fisika bisa berbeda lantaran rumusan bahasanya, apalagi keyakinan akan
dunia metafisika. Perbedaan agama dengan ribuan keyakinannya yang ada di
dunia adalah bukti betapa masing-masing orang mengambil cara ucap yang
berbeda untuk memahami dan menghayati Sang Ada Absolut. Pilihan masing-
masing orang atas bahasanya adalah keragaman tersendiri dalam kehidupan
manusia. Di sinilah pluralitas eksistensial itu bercokol.
Keragaman atas dasar keterbatasan bahasa ini jadi kian kompleks manakala
berhadapan dengan teks, ruang dan waktu. Teks dalam konteks ini adalah
seluruh objek dan peristiwa yang ada di hadapan kita. Tidak hanya dalam arti
teks tertulis, tetapi juga tes tidak tertulis. Sementara ruang dan waktu
membingkai cara kita menghadapi teks. Tidak sekedar beragam lantaran
17
keterbatasan tanda, keterbatasan merumuskan dalam memaknai teks makin
meneguhkan bahwa keragaman persepsi pada diri manusia tak terbantahkan.
Keragaman pemaknaan atas teks berangkat dari debat panjang mengenai
objektivitas makna. Pertanyaanya apakah kita, kini, dapat mengungkap makna
sebenarnya (makna sebagaimana dimaksud oleh pengarang) suatu teks?
Schleiermacher percaya bahwa kita dapat dan harus mengungkap makna
sebagaimana dimaksud si pengarang. Caranya? Sistem bahasa, di manapun dan
kapanpun mesti memiliki struktur. Dengan menelusuri struktur, penafsir dapat
memahami makna bahasanya. Sementara, makna utuh teks dimungkinkan
dengan mencari semangat zaman kala teks tersebut ditulis (dalam tradisi umat
Islam asbabun nuzul). Makna objektif, Schleiermacher yakin, niscaya dapat
direngkuh (Schleiermacher, 1959).
Namun demikian, keyakinan Scheleirmacher ini tidak bisa mejelaskan
kenyataan bahwa para penafsir bisa melahirkan tafsir yang berbeda-beda,
padahal pada ruang dan waktu yang sama. Gadamer mengingatkan bahwa
Scheleimacher melupakan peran penafsir. Bagi Gadamer, betapapun usaha
penafsir keras untuk mencapai objektivitas makna, penafsir berhadapan dengan
kenyataan bahwa ia memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda.
Latar belakang dan pengalaman ini membentuk pola pikir dan perspektif
masing-masing penafsir (Gadamer, 1975).
Karena itulah, menurut Gadamer, penafsir tak dapat diremehkan. Ia
menyumbangkan banyak hal dalam mengungkap makna teks. Secara
eksistensial, kita hidup tidak di ruang hampa. Saya hidup sudah menduduki
“jabatan” sebagai seorang sunda, anak gunung, Islam NU turunan, dan
sebagainya. “Jabatan” tersebut melekat dalam pemahaman kita dan menjadi
penyangga dan penentu cara kita memilih cara ucap mengungkap makna teks.
Tak hanya ruang, waktu pun ikut menentukan jenis kita dalam memaknai objek
atau peristiwa yang ada dihadapan kita.
Dengan demikian, akar eksistensial keragaman atau pluralitas manusia terletak
keterbatasan panca indera, akal dan bahasa. Menyeragamkan pikiran, persepsi
18
dan pengetahuan selalu menelan korban. Sebab pada dasarnya, manusia unik
dan masing-masing tampil dalam kesunyiannya masing-masing.
Akar Keragaman: Dimensi Sosial
Namun begitu, keterbatasan panca indera, akal dan bahasa yang mendasari
keragaman tidak berarti memusnahkan persamaan. Sebab keragaman hanya
mungkin manakala di sana ada persamaan. Apa yang kita sebut berbeda
lantaran ada bagian-bagain tertentu pada kesunyian manusia yang sama.
Persamaan dan perbedaan pada diri manusia dengan melihatnya pada dimensi
sosial. Interaksi antar manusia di lingkungan sosial melahirkan sejumlah
persamaan dan perbedaan.
Interaksi yang melahirkan perbedaan dan persamaan pada gilirannya
membentuk kelompok-kelompok. Kelompok tersebut mulai dari sekala kecil
[keluarga] hingga terbesar [bangsa]. Persamaan-persamaan yang teridentifikasi
dalam kelompok inilah yang kini kita kenal dengan identitas. Identitas saya
Sunda karena saya mengidentifkasi ada sejumlah kesamaan dengan orang-
orang yang seringkali dirumuskan sebagai Sunda. Persamaan tersebut misalnya
jenis bahasa yang sama.
Identifikasi ini pada saat yang bersamaan berlangsung setelah mengeliminasi
perbedaan-perbedaan yang ada. Saya menemukan diri saya Sunda setelah saya
mengeliminasi perbedaan saya yang berasal dari Garut dengan orang Sunda
lain yang berasal dari wilayah Tasikmalaya. Dan begitu seterusnya hingga
identitas transnasional, yaitu agama. Saya merasakan satu identitas dengan
warga muslim Palestina lantaran teridentifikasi sama-sama mengacu pada kitab
suci yang sama: al-Quran.
Proses identifikasi diri tersebut seringkali muncul begitu saja. Saya tidak perlu
merenung terlalu panjang untuk sampai pada kesimpulan bahwa saya orang
Sunda. Identifikasi berlangsung di alam bawah sadar. Karena itulah muncul
perdebatan dari asal mula identitas. Sebagian pemikir meyakini bahwa identitas
yang beragam ini adalah anugerah Ilahi. Identitas tercipta seiring Tuhan
19
menciptakan manusia. Oleh karenannya, bagi mereka identitas memiliki
karakter yang tetap dan tidak akan berubah seiring ruang dan waktu. Identitas
Sunda sudah ada sejak zaman ajali dan tidak akan berubah hingga dunia ini
kiamat.
Pandangan bahwa identitas sebagai given tidak bisa menjelaskan mengapa ada
orang yang dengan mudah berganti identitas. Lebih dari itu, kadang satu
identitas menghilang sementara identitas lainnya muncul. Untuk itulah, pemikir
seperti Michel Foucault mengajukan pandangan bahwa identitas pada dasarnya
cair dan dapat berubah seiring ruang dan waktu (Foucault, 1970). Sebab
identitas merupakan bentukan manusia melalui interaksinya sepanjang sejarah.
Saya seorang Sunda, tetapi dengan mudah saya bisa menghilangkan kesundaan
saya dan beralih menjadi identitas Indonesia misalnya. Hari ini saya bisa
mengidentifikasi diri sebagai NU dan di lain waktu saya bermotamorfosa
menjadi Muhammadiyah.
Keragaman identitas di ruang publik tidak tumbuh berkembang dengan mulus.
Selalu saja ada gesekan antara satu identitas dengan identitas lainnya. Gesekan
tersebut didorong oleh faktor kekuasaan. Kehendak berkuasa tak terelakan pada
diri manusia manakala ia tampil ruang publik. Terlebih dia tampil mewakili
identitas tertentu. Dia akan merasa paling berhak menentukan aturan main
ketimbang indetitas lainnya. Sehingga identitas tertentu bisa menghakimi atau
meminggirkan identitas lainnya. Dari segi inilah kita mengenal istilah politik
identitas.
Politik identitas, menurut A. Syafii Maarif, mulanya adalah gerakan mahasiswa
di Amerika tahun 60-an atas dasar penindasan ekonomi maupun rasial (Maarif,
2010). Gerakan mahasiswa memperjuangakn hak-hak kelompok ekonomi dan
ras tertentu yang tersingkir, khususnya warga Afro-Amerika. Tujuan mereka
adalah bagaimana warga kelas kedua bisa tampail ddi ruang publik secara
setara dengan kelompok lainnya.
Belakangan politik identitas tidak hanya menjadi basis gerakan marxis, tetapi
identitas atas dasar sosial, budaya dan keagamaan juga mulai memperlihatkan
20
gejala yang sama. Pertumbuhan penduduk muslim di Eropa dan Amerika yang
makin membesar melatari politik identitas tumbuh berkembang di sana. Di
antara penduduk muslim tersebut, menurut Buya, umumnya sulit beradaptasi
dengan budaya setempat. Mereka yang kurang terdirik gagap menghadapi
perbedaan identitas yang ada. Mereka meyakini kelompok lain harus musnah
demi tegaknya kelompok mereka di ruang publik. Akibat paling nyata, bagi
Maarif, adalah bom bunuh diri yang menewaskan banyak orang di Madrid,
Inggris dan Amerika.
Karena itulah, dari sudut dimensi sosial, akar keragaman terletak pada
bagaimana identitas tampil di ruang publik yang tidak jarang menimbulkan
gesekan. Di sinilah jarak antara pengetahuan akan keragaman artifisial tidak
berbanding lurus dengan harmoni di lingkungan sosial kita. Alih-alih harmoni,
perbedaan identitas lebih sering tampil dengan berbagai konflik dan bahkan
berakhir menjadi aksi kekerasan.
Keragaman Berkat atau Musibat? Dimensi Institusional
Keragaman eksistensial yang mengambil wujud sosialnya dalam politik
identitas, akan menjadi rahmat atau musibat bergantung pada bagaimana
institusi negara mengelolanya. Rezim ikut menentukan apakah keragaman
identitas bisa dipertahankan sebagai sumber kekuatan atau sumber kelemahan
suatu bangsa. Indonesia pada masa rezim Orde Baru pernah diakui sebagai
macan asia dalam berbagai bidang. Olah raga, beberapa kali Indonesia merajai
sejumlah perlombaan olah raga tingkat Asia. Kemudian, dari segi ekonomi
Indonesia adalah negara berkembang di Asia siap bersaing dengan negara maju
lainnya di Amerika dan Eropa. Pada masa ini, negara memanfaatkan
sumberdaya manusia dari berbagai latarbelakang identitas-identitas yang ada.
Namun sayang, keragaman sebagai sumber kekuatan bangsa sifatnya top-down.
Artinya harmoni dan penggalaman kekuatan datang dari atas ke bawah, dari
negara ke warga. Siapa saja membantah upaya ini dia akan berhadapan dengan
moncong senjata karena dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.
Keragaman sebagai sumber kekuatan bangsa tidak tumbuh dari kesadaran
21
warga. Gotong royong yang selalu kita banggakan sebagai jati diri bangsa,
sejatinya bentukan rezim.
Situasi berubah pada saat Soeharto mundur, rezim Orde Baru runtuh.
Perbedaan identitas kemudian menjadi sumber musibat bagi seluruh komponen
masyarakat. Politik identitas mengambil bentuk dalam aksi-aksi kekerasan dan
kerusuhan atas nama suku dan agama. Ini adalah bukti bahwa kesadaran
harmoni tidak muncul dari kesadaran warga. Sehingga masa transisi menuju
demokrasi menjadi ajang kelompok-kelompok dengan identitas tertentu
meneguhkan keberadaan dan kekuasaannya.
Pada masa transisi negara lemah. Pemerintahan lebih fokus pada upaya
memantapkan struktur politik yang lebih adil dan demokratis. Selain itu,
kemampuan negara di bidang keamanan melemah. Lembaga keamanan tidak
lagi percaya diri sebagaimana pada masa sebelumnya. Lembaga keamanan
mendapat tekanan dari berbagai pihak dan dianggap lembaga paling
berlumuran dosa sebagai garda terdepan dalam pelanggaran hak asasi manusia
pada masa rezim sebelumnya. Kelemahan negara pada masa transisi inilah
yang kemudian politik identitas antar masyarakat tidak jarang berakhir dengan
aksi kekerasan. Dalam konteks inilah keragaman bangsa menjadi musibat bagi
warganya.
Politik identitas di Indonesia pada masa transisi ini makin mengerikan. Gerakan
sosial atas nama identitas keagamaan, khususnya Islam seringkali berakhir
dengan menelan korban. Mulai dari isu aliran sesat, rumah ibadah tak berizin,
dan menegakkan negara Islam dengan teror sebagai jalan. Meski mesjid di
Indonesia umumnya masih dalam kendali NU dan Muhammadiyah, dua
organisasi moderat dan penopang demokrasi, Maarif menilai bahwa gerakan
Islamis dan salafis radikal mulai berkibar di Indonesia. Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) adalah tiga organisasi yang hingga kini memperjuangkan syariat Islam
sebagai sistem negara. FPI adalah organsiasi sosial yang lebih sering tampail di
muka publik dengan wajah yang beringas.
22
Sementara MMI dan HTI tidak tampak menggunakan cara kekerasan dalam
mewujudkan agendanya. Namun begitu, kedua organisasi ini tidak bersedia
menggunakan jalur demokrasi yang tersedia. Mereka menilai demokrasi adalah
sistem manusia yang bertentangan dengan hukum dan aturan main dari Tuhan.
Terakhir, gerakan keagamaan Islam di bawah organisasi Jamaah Islamiyah
menyalurkan aspirasinya melalui jalur kekerasan melaui sejumlah aksi teror.
Maarif yakin bahwa politik identitas bukan ancaman berarti jika kita benar-
benar menghayati dan mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang
tercermin dalam Pancasila. Namun begitu, Pancasila di sini, mengutip gagasan
Nurcholish Madjid, tidak boleh ditafsir secara monolitik. Kita harus membuka
tafsir atas Pancasila agar dengannya dapat mengawal keragaman identitas dan
budaya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penghayatan tersebut mendorong sitem demokrasi sebagai mekanisme dalam
perebutan kekuasaan dan pengambilan kebijakan secara adil dan transparan.
Sehingga kontestasi dengan sendirinya melahirkan kedaharan bahwa
keragaman adalah berkah dan sumber kekuatan.
Harmonisasi Keragaman
Jika keragaman identitas mengakar dalam setiap diri kita, maka keharmonisan
sosial harus kita ciptakan sendiri. Untuk itu perlu kesadaran masing-masing
kita bahwa keragaman tidak bisa kita tolak. Juga kita tidak bisa memaksakan
orang lain sama dengan kita. Sebab perbedaan dan keragaman adalah hakikat
kemanusiaan akibat panca indera akal dan bahasa kita yang terbatas.
23
Namun apakah kesadaran saja cukup? Tentu saja tidak. Dalam survei LSI
bersama Lazuardi Birru tahun 2010 menunjukkan bahwa umumnya masyarakat
Indonesia intoleran. Enam dari 10 orang Indonesia tidak bisa menerima
disekitarnya dibangun rumah ibadah agama lain. Lalu bagaimana mengatasi
intoleransi yang umum seperti ini?
Untuk mengatasinya adalah komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum.
Agenda penegakkan hukum harus menjadi prioritas mempercepat masa transisi
menuju konsolidasi demokrasi. Aturan main dan hukum yang dibuat melalui
mekanisme demokrasi harus dikawal dengan baik. Siapa saja yang melanggara
aturan main dia harus mendapatkan hukuman sebagaimana diatur dalam UU
yang berlaku. Siapa saja yang tampil dengan wajah beringas dan melakukan
tindakan kriminal, ia akan berhadapan dengan penegak hukum yang tegas.
Sehingga, sikap intoleransi buah dari politik identitas yang mengarah pada
tindakan dengan kekerasan tidak berani muncul.
Menekan warga untuk tidak menyalurkan aspirasinya melalui cara kekerasan
saja tidak cukup. Upaya ini harus dibarengi dengan membuka ruang kontestasi
yang selebar-lebarnya. Sehingga, aspirasi tersalurkan dengan baik dan melalui
mekanisme yang adil, transparan dan bertangung jawab. Dengan begitu,
keragaman akan tetap kita rayakan melalui kontestasi yang sehat. Pertaruangan
kekuatan berbagai elemen dengan sendirnya akan menyeleksi anak-anak
terbaik bangsa. Dengan begitu, kemungkinan kita bersaing dengan negara lain
semakin lebar.
Di lain pihak, kontestasi juga menuntut para pesertanya tampil mengesankan di
hadapan seluruh lapisan masyarakat. Sebab dukungan masyarakat adalah
kekuatan utama kontestasi ini. Sehingga gerakan sosial berbasis identitas
keagamaan sekalipun akan mencari dukunagn tak hanya dari identitas yang ia
miliki tetapi juga lintas identitas. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai
yang membuka diri terhadap keanggotaan non-muslim dalam partainya.
Dengan demikian, politik identitas bisa menjadi berkah atau kekuatan jika
rezim memperkuat mekanisme demokrasi dan memperlebar kesempatan setiap
24
warga berkompetisi. Jika tidak politik identitas adalah sumber malapetaka yang
setiap hari mengancam keberadaan warga, khususnya dengan identitas
minoritas.
Dengan demikian, keragaman memiliki akar terdalam dalam diri kita. Yakni
keterbatasan sumber pengetahuan kita, panca indera, akal dan bahasa.
Keterbatasan diri ini, dalam interaksi sosialnya, kemudian melahirkan
pengelompokan-pengelompokan di masyarakat menjadi identitas. Sayangnya
Konstelasi antar identitas tidak hanya melahirkan kerjasama tetapi juga
seringkali berbuntut kekerasan dan menelan korban. Konstelasi yang tidak
menguntungkan ini umumnya dalam masa transisi, di mana negara masih
berkonsentrasi memperbaiki mekanisme menuju sistem demokrasi yang adil,
transparan dan terbuka.
Oleh karena itu, agar keragaman menjadi kekuatan ketimbang malapetaka, kita
memerlukan harmonisasi. Harmonisasi keragaman harus datang pertama-tama
dari dalam diri, bukan dari luar. Kesadaran tersebut adalah kesadaran
eksistensial. Yakni, perbedaan dan keragaman tidak bisa kita tolak. Sekaligus
kita juga tidak bisa memaksakan keragaman menjadi keseragaman.
Akan tetapi, adalah wajar jika tidak seluruh umat manusia memiliki kesadaran
ini. Mesti ada sebagai pihak yang ingin menghempaskan pihak lainnya demi
kekuasaan di ruang publik. Oleh karena itu, kesadaran diri saja tidak cukup.
Kita membutuhkan ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum yang
berlaku. Sembari pada saat yang bersamaan menciptakan ruang kontestasi yang
adil, transparan dan bertanggung jawab
C. PERILAKU TOLERAN TERHADAP KEBERAGAMAN
AGAMA, SUKU, RAS, BUDAYA DAN GENDER
Semua manusia pada dasarnya sama. Membeda-bedakan perlakuan terhadap
sesama manusia karena warna kulit atau bentuk fisik lainnya adalah sebuah
kesalahan. Tuhan menciptakan manusia berbeda dan beragam. Perbedaan itu
25
adalah anugerah yang harus kita syukuri. Mengapa kita harus bersyukur dengan
keragaman itu? Dengan keragaman, kita menjadi bangsa yang besar dan arif
dalam bertindak. Agar keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi sebuah
kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persatuan dan kesatuan di sebuah negara yang beragam dapat diciptakan salah
satunya dengan perilaku masyarakat yang menghormati keberagaman bangsa
dalam wujud perilaku toleran terhadap keberagaman tersebut. Sikap toleransi
berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan
berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Toleransi sejati didasarkan sikap hormat terhadap martabat manusia, hati
nurani, dan keyakinan, serta keikhlasan sesama apa pun agama, suku,
golongan, ideologi atau pandangannya.
Perhatikan dan bacalah penjelasan perilaku toleran terhadap keberagaman
agama, suku, ras, budaya, dan gender di bawah ini.
1. Perilaku Toleran dalam Kehidupan Beragama
Semua orang di Indonesia tentu menyakini salah satu agama atau kepercayaan
yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang ada
di Indonesia. Agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Khonghucu. Bukankah kalian sejak kecil sudah meyakini dan
melaksanakan ajaran agama yang kalian anut.
26
Negara menjamin warga negaranya untuk menganut dan mengamalkan ajaran
agamanya masing-masing. Jaminan negara terhadap warga negara untuk
memeluk dan beribadah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Bunyi
lengkap Pasal 29 ayat (2) adalah “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam kehidupan berbangsa, seperti kita ketahui keberagaman dalam agama itu
benar-benar terjadi. Agama tidak mengajarkan untuk memaksakan keyakinan
kita kepada orang lain. Oleh karena itu, bentuk perilaku kehidupan dalam
keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam bentuk:
menghormati agama yang diyakini oleh orang lain;
tidak memaksakan keyakinan agama kita kepada orang yang berbeda agama;
bersikap toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh yang
memiliki keyakinan dan agama yang berbeda
melaksanakan ajaran agama dengan baik; serta
tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan
dianut oleh orang lain.
27
Perilaku baik dalam kehidupan beragama tersebut sebaiknya kita laksanakan,
baik dikeluarganya, sekolah, masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara
2. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Suku dan Ras di Indonesia
Perbedaan suku dan ras antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
hendaknya tidak menjadi kendala dalam membangun persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia maupun dalam pergaulan dunia. Kita harus menghormati
harkat dan martabat manusia yang lain. Marilah kita mengembangkan
semangat persaudaraan dengan sesama manusia dengan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.
Suku bangsa di Indonesia
Perbedaan kita dengan orang lain tidak berarti bahwa orang lain lebih baik dari
kita atau kita lebih baik dari orang lain. Baik dan buruknya penilaian orang lain
kepada kita bukan karena warna, rupa, dan bentuk, melainkan karena baik dan
buruknya kita dalam berperilaku. Oleh karena itu, sebaiknya kita berperilaku
baik kepada semua orang tanpa memandang berbagai perbedaan tersebut.
3. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia tentu menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Kita tentu harus
28
bersemangat untuk memelihara dan menjaga kebudayaan bangsa Indonesia.
Siapa lagi yang akan mempertahankan budaya bangsa jika bukan kita sendiri.
Bagi seorang pelajar perilaku dan semangat kebangsaan dalam
mempertahankan keberagaman budaya bangsa di antaranya dapat dilaksanakan
dengan:
mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
mempelajari dan menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan minat
dan kesenangannya;
merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri; dan
menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia.
4. Kesadaran Gender
Tuhan menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Hubungan sosial antara laki-laki
dan perempuan itulah yang dinamakan dengan jenis kelamin. Jadi, jenis
kelamin merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki
dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan tersebut dilihat berdasarkan
sifat kodrat.
Pengertian gender tidak didasarkan pada sifat kodrat manusia. Gender adalah
konsep hubungan sosial yang membedakan kedudukan, fungsi, dan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Gender dibentuk dan
29
berkembang seiring dengan budaya masyarakat. Gender bukan bawaan sejak
lahir.
Tiap-tiap masyarakat memiliki perkembangan budayanya sendiri, demikian
pula dalam perkembangan budaya bangsa Indonesia. Pemahaman gender di
Indonesia tentulah akan sejalan dengan perkembangan budaya bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran gender bersifat dinamis
dan dapat berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Kesadaran gender bararti meletakan kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat secara sejajar. Misalnya dalam keluarga,
maka setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian
rumah tempat tinggalnya. Anak laki-laki atau anak perempuan, keduanya bisa
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tempat tinggalnya. Di sekolah, laki-
laki atau perempuan sama-sama dapat menjadi guru. Dalam masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan dapat mengambil peran yang berguna bagi sesama
manusia lainnya.
D. SUKU SUKU YANG ADA DI INDONESIA
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beribu pulau yang terbentang dari Sabang di
barat sampai ke Merauke di timur. Indonesia di kenal dengan bangsa yang kaya akan
keragaman etnik, suku, adat istiadat, budaya, agama, serta bahasa. Hal itu dapat di
lihat dari cara hidup masyarakat nya, makanan nya , bahasa daerah, lagu daerah, alat
musik, pakaian nya, dan lain - lain. suku bangsa yang beraneka ragam budaya yang
hidup secara berdampingan merupakan kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia
sebagai bagian sari negara negara dunia, kita patut bangga, karena kita Bhineka
Tunggal Ika,berbeda beda tetapi tetap satu jua.
Meskipun ada teori yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai nenek
moyang yang sama, kenyataannya ada beraneka ragam suku bangsa yang mendiami
wilayah Indonesia.Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah suku bangsa di
Indonesia. Namun Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil sensus penduduk terakhir
2010, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Jumlah yang fantastis
30
dari segi jumlah. Dapat dibayangkan betapa keaneka-ragaman suku bangsa di
Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh:
a. perbedaan ras asal,
b. perbedaan lingkungan geografis,
c. perbedaan latar belakang sejarah,
d. perkembangan daerah,
e. perbedaan agama atau kepercayaan, dan
f. kemampuan adaptasi atau menyesuaikan diri.
Daftar Lengkap Suku-Suku Yang Ada Di Nusantara – Indonesia adalah negara
kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau, baik pulau besar maupun kecil. Dari
sekian banyak pulau tersebut, ada beraneka ragam kebudayaan yang terdapat di
dalamnya. Kebudayaan-kebudayan tersebut lahir dari berbagai macam suku bangsa
yang berdiam di tanah Kepulauan Nusantara. Nama - nama suku bangsa yang ada di
Indonesia berdasarkan provinsinya ialah sebagai berikut :
* Suku Aceh di Aceh: kabupaten Aceh Besar
* Suku Alas di kabupaten Aceh Tenggara
* Suku Alor di NTT: kabupaten Alor
* Suku Ambon di kota Ambon
* Suku Ampana di Sulawesi Tengah
* Suku Anak Dalam di Jambi
* Suku Aneuk Jamee di kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya
* Suku Arab-Indonesia
* Suku Aru di Maluku: Kepulauan Aru
31
* Suku Asmat di Papua
* Suku Abung di Lampung
* Suku Bali di Bali
* Suku Balantak di Sulawesi Tengah
* Suku Banggai di Sulawesi Tengah: Kabupaten Banggai Kepulauan
* Suku Baduy di Banten
* Suku Bajau di Kalimantan Timur
* Suku Bangka di Bangka Belitung
* Suku Banjar di Kalimantan Selatan
* Suku Batak di Sumatera Utara
* Suku Batin di Jambi
* Suku Bawean di Jawa Timur: Gresik
* Suku Belitung di Bangka Belitung
* Suku Bentong di Sulawesi Selatan
32
* Suku Berau di Kalimantan Timur: kabupaten Berau
* Suku Betawi di Jakarta
* Suku Bima NTB: kota Bima
* Suku Boti di kabupaten Timor Tengah Selatan
* Suku Bolang Mongondow di Sulawesi Utara: Kabupaten Bolaang Mongondow
* Suku Bugis di Sulawesi Selatan
* Suku Bungku di Sulawesi Tengah: Kabupaten Morowali
* Suku Buru di Maluku: Kabupaten Buru
* Suku Buol di Sulawesi Tengah: Kabupaten Buol
* Suku Buton di Sulawesi Tenggara: Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau
* Suku Bonai di Riau: Kabupaten Rokan Hilir
* Suku Damal di Mimika
* Suku Dampeles di Sulawesi Tengah
* Suku Dani di Papua: Lembah Baliem
33
* Suku Dairi di Sumatera Utara
* Suku Dayak di Kalimantan
* Suku Dompu NTB: Kabupaten Dompu
* Suku Donggo, Bima
* Suku Donggala di Sulawesi Tengah
* Suku Dondo di Sulawesi Tengah: Kabupaten Toli-Toli
* Suku Duri Terletak di bagian utara Kabupaten Enrekang berbatasan dengan
Kabupaten Tana Toraja, meliputi tiga kecamatan induk Anggeraja, Baraka, dan Alla
di Sulawesi Selatan
* Suku Eropa-Indonesia (orang Indo atau peranakan Eropa-Indonesia)
* Suku Flores di NTT: Flores Timur
* Suku Gayo di Aceh: Gayo Lues Aceh Tengah Bener Meriah
* Suku Gorontalo di Gorontalo: Kota Gorontalo
* Suku Gumai di Sumatera Selatan: Lahat
* Suku India-Indonesia
* Suku Banten di Banten
* Suku Cirebon di Jawa Barat: Kota Cirebon
* Suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta
* Suku Jambi di Jambi: Kota Jambi
* Suku Kei di Maluku Tenggara: Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual
* Suku Kaili di Sulawesi Tengah: Kota Palu
* Suku Kaur di Bengkulu: Kabupaten Kaur
* Suku Kayu Agung di Sumatera Selatan
* Suku Kerinci di Jambi: Kabupaten Kerinci
* Suku Komering di Sumatera Selatan: Kabupaten Ogan Komering Ilir, Baturaja
* Suku Konjo Pegunungan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
* Suku Konjo Pesisir, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan
34
* Suku Kubu di Jambi dan Sumatera Selatan
* Suku Kulawi di Sulawesi Tengah
* Suku Kutai di Kalimantan Timur: Kutai Kartanegara
* Suku Kluet di Aceh: Aceh Selatan
* Suku Krui di Lampung
* Suku Laut, Kepulauan Riau
* Suku Lampung di Lampung
* Suku Lematang di Sumatera Selatan
* Suku Lembak, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu
* Suku Lintang, Sumatera Selatan
* Suku Lom, Bangka Belitung
* Suku Lore, Sulawesi Tengah
* Suku Lubu, daerah perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi
Sumatera Barat
* Suku Madura di Jawa Timur
* Suku Makassar di Sulawesi Selatan: Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar,
Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba (sebagian),
Kabupaten Sinjai (bagian perbatasan Kab Gowa)Kabupaten Maros (sebagian)
Kabupaten Pangkep (sebagian)Kota Makassar
* Suku Mamasa (Toraja Barat) di Sulawesi Barat: Kabupaten Mamasa
* Suku Mandar Sulawesi Barat: Polewali Mandar
* Suku Melayu (Suku Melayu Riau di Riau, Suku Melayu Tamiang di Aceh: Aceh
Tamiang)
* Suku Mentawai di Sumatera Barat: Kabupaten Kepulauan Mentawai
* Suku Minahasa di Sulawesi Utara: Kabupaten Minahasa terdiri 9 subetnik :
* Suku Minangkabau, Sumatera Barat
* Suku Mori, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah
35
* Suku Muko-Muko di Bengkulu: Kabupaten Mukomuko
* Suku Muna di Sulawesi Tenggara: Kabupaten Muna
* Suku Muyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua
* Suku Mekongga di Sulawes Tenggara: Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka
Utara
* Suku Nias di Sumatera Utara: Kabupaten Nias, Nias Selatan
* Suku Osing di Banyuwangi Jawa Timur
* Suku Ogan di Sumatera Selatan
* Suku Ocu di Kabupaten Kampar, Riau
* Suku Papua/Irian
* Suku Asmat di Kabupaten Asmat
* Suku Biak di Kabupaten Biak Numfor
* Suku Dani, Lembah Baliem, Papua
* Suku Ekagi, daerah Paniai, Abepura, Papua
* Suku Amungme di Mimika
* Suku Bauzi, Mamberamo hilir, Papua utara
* Suku Arfak di Manokwari
* Suku Kamoro di Mimika
* Suku Palembang di Sumatera Selatan: Kota Palembang
* Suku Pamona di Sulawesi Tengah: Kabupaten Poso
* Suku Pasemah di Sumatera Selatan
* Suku Pesisi di Sumatera Utara: Tapanuli Tengah
* Suku Pasir di Kalimantan Timur: Kabupaten Pasir
* Suku Rawa, Rokan Hilir, Riau
* Suku Rejang di Bengkulu: Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, dan
Kabupaten Rejang Lebong
* Suku Rote di NTT: Kabupaten Rote Ndao
* Suku Rongga di NTT Kabupaten Manggarai Timur
* Suku Saluan di Sulawesi Tengah
* Suku Sambas (Melayu Sambas) di Kalimantan Barat: Kabupaten Sambas
* Suku Sangir di Sulawesi Utara: Kepulauan Sangihe
36
* Suku Sasak di NTB, Lombok
* Suku Sekak Bangka
* Suku Sekayu di Sumatera Selatan
* Suku Semendo di Bengkulu, Sumatera Selatan: Muara Enim
* Suku Serawai di Bengkulu: Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Seluma
* Suku Simeulue di Aceh: Kabupaten Simeulue
* Suku Sumbawa Di NTB: Kabupaten Sumbawa
* Suku Sumba di NTT: Sumba Barat, Sumba Timur
* Suku Sunda di Jawa Barat
* Suku Talaud di Sulawesi Utara: Kepulauan Talaud
* Suku Talang Mamak di Riau: Indragiri Hulu
* Suku Tamiang di Aceh: Kabupaten Aceh Tamiang
37
* Suku Tengger di Jawa Timur Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo lereng G.
Bromo
* Suku Ternate di Maluku Utara: Kota Ternate
* Suku Tidore di Maluku Utara: Kota Tidore
* Suku Timor di NTT, Kota Kupang
* Suku Tionghoa-Indonesia
* Suku Tojo di Sulawesi Tengah: Kabupaten Tojo Una-Una
* Suku Toraja di Sulawesi Selatan: Tana Toraja
* Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara: Kendari
* Suku Toli Toli di Sulawesi Tengah: Kabupaten Toli-Toli
* Suku Tomini di Sulawesi Tengah: Kabupaten Parigi Moutong
* Suku Una-una di Sulawesi Tengah: Kabupaten Tojo Una-Una
* Suku Ulu di Sumatera utara: mandailing natal
* Suku Wolio di Sulawesi Tenggara: Buton
38
E. TARIAN YANG ADA DI INDONESIA
1. TARIAN-TARIAN DAERAH ISTIMEWA ACEH.Tari Seudati, berasal dari Arab dengan latar belakang agama Islam. Sebuah tarian dinamis penuh keseimbangan dengan suasana keagamaan. Tarian ini sangat disenangi dan terkenal di daerah Aceh
tari seudati
Tari Saman Meuseukat, di lakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam
tari saman meuseukat
2. TARIAN-TARIAN DAERAH BALITari legong, merupakan tarian yang berlatar belakang kisah cuinta Raja dari lasem. Diterikan secara dinamis dan memikat hati.
39
tari legong
Tari Kecak, sebuah tari berdasarkan cerita dan Kitab Ramayana yang mengisahken tentang bala tentara monyet dari Hanuman dari Sugriwa.
tari kecakTari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi “ucapan selamat datang”, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi.
40
tari pendet
3. TARIAN-TARIAN DAERAH BENGKULUTari Andun, dari Bengkulu Selatan ini merupakan sebuah tarian guna menyambut para tamu yang dihormati.
tari andunTari Bidadari Teminang Anak, tarian ini dapat pula diartikan bidadari meminang anak. Tarian adat ini berasal dari Rejang Lebong.
tari bidadari.teminang anak
4. TARI-TARIAN DAERAH DKI-JAKATATari Topeng, merupakan sebuah tari tradisional Betawi dalam menyambut tamu agung.
41
Tari topeng
Tari Yopong, adalah tari persembahan untuk menghormati tamu negara.
tari yopong
5. TARI-TARIAN DAERAH JAMBITari Sekapur Sirih, merupakan tari persembahan. Tari adat jambi ini hanyak persamaannya dengan tari Melayu.
tari sekapur sirih
42
Tari Selampir Delapan, merupakan tari pergaulan muda-mudi dan sangat digemari di daerah Jambi.
tari selampir
6. TARIAN-TARIAN DAERAH JAWA BARATTari Topeng Kuncaran, merupakan sebuah tarian yang mengisahkan dendam kesumat seorang raja karena cintanya ditolak.
tari topeng kuncaran
Tari Merak, sebuah tari yang mengisahkan kehidupan burung merak yang serba indah dan memukau.
tari merak
43
7. TARI-TARIAN DAERAH JAWA TENGAHTari Serimpi, sebuah tarian keraton pada masa silam dengan suasana lembut, agung dan menawan.
tari serimpi
Tari Blambangan Cakil, mengisahkan perjuangan Srikandi melawan Buto Cakil (raksasa). Sebuah perlambang penumpasan angkara murka.
tari blambang cakil
44
8. TARI-TARIAN DAERAH JAWA TIMURTari Remong, sebuah tarian dari Surabaya yang melambangkan jiwa, kepahlawanan. Ditarikan pada waktu menyambut para tamu.
tari remong
Reog Ponorogo, merupakan tari daerah Jawa Timur yang menunjukkan keperkasaan, kejantanan dan kegagahan.
reog ponorogo
9. TARI-TARIAN DAERAH KALIMANTAN BARATTari Monong, merupakan tari penolak penyakit agar si penderita dapat sembuh kembali penari berlaku seperti dukun dengan jampi-jampi
tari monong
45
Tari Zapin Tembung, Merupakan suatu tari pergaulan dalam masyarakat Kalimantan Barat.
tari zapin tembung
10. TARI-TARIAN DAERAH KALIMANTAN SELATANTari Baksa Kembang, merupakan tari selamat datang pada tamu agung dengan menyampaikan untaian bunga.
tari baksa kembang
Tari Radab rahayu, di pertunjukan pada upacara tepung tawar, sebelum pengantin pria dan wanita di persandingkan.
46
47
Top Related