STUDI EKSPLORATIF MENGENAI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
DAN DAMPAK SOSIAL KEKERASAN DALAM PACARAN
(DATING VIOLENCE) DI KALANGAN MAHASISWA
Oleh :
KARLINA SETYAWATI
D 0305006
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Remaja adalah aset dan potensi bangsa yang sangat berharga karena
mereka adalah sumber daya insani yang akan meneruskan pembangunan
nasional di masa mendatang. Masa remaja adalah masa yang rentan, karena
merupakan masa transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai
dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial.
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating)
yang melibatkan remaja perempuan dan laki-laki. Ketika masa remaja mereka
tumbuh dan berkembang mengenal masa cinta dan kasih sayang, mereka
mewujudkannya dalam sebuah hubungan berbaut rasa sayang dan rasa
memiliki. Mereka menyebutnya sebagai masa bercinta, pacaran, dating,
hubungan romantis atau apapun istilah lainnya yang melukiskan sebuah pola
ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Hal
yang menjadi motif untuk berpacaran adalah proses interaksi personal antara
dua jenis kelamin, trend status sosial, tempat untuk mencurahkan isi hati,
mencari sosok pelindung, dan memilih pasangan hidup (Al-Huda, 2009,
dikutip dari http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_
Cegah_Kekerasan_dalam_Pacaran).
Seiring berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya
dianggap sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka
2
bersama selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi
sedemikian rupa sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan
menyenangkan, bahkan dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk
pelecehan, intimidasi, kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas
namakan cinta dan kasih sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat
pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap
pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulang-
ulang. Pacaran mestinya menjadi proses pengenalan untuk melangkah ke
tahap berikutnya, yaitu perkawinan. Namun, akibat perubahan zaman dan
kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan lebih
baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi yang
tidak seharusnya. Perilaku-perilaku menyimpang pun terjadi pada remaja yang
berpacaran.
Beberapa kasus pacaran, misalnya, kehamilan yang tidak diinginkan,
aborsi, dan kekerasan pranikah yang mengakibatkan kematian pun tahun demi
tahun meningkat. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan gender menemukan bahwa
sejak tahun 1994–2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385
diantaranya adalah Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) (Komnas Perempuan,
2002 dikutip dari http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/gendervaw
02.htm).
Berdasarkan catatan Rifka Annisa, data kasus kekerasan terhadap
pacar di DIY yang masuk ke Rifka Annisa sejak 1994 hingga 2007 mencapai
3
703 kasus. Untuk tahun 2008, hingga bulan November tercatat ada 19 kasus
kekerasan dalam pacaran (http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/
kasus.kekerasan.dalam.pacaran.masih.cukup.tinggi).
Sedangkan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001, terdapat
47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan
emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami
kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi
(Kompas, 20 Juli 2002 dalam http://www.bkkbn.go.id/).
Namun, hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam
pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum
mendapat porsi perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua,
remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence,
kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai
sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja
masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa
anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah permainan
belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di kalangan
remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas
pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat.
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga (domestic violence), namun masih sedikit yang peduli pada
kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat
4
mereka sedang berpacaran atau dating violence. Banyak yang beranggapan
bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada
umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang
indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata
yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami
sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data
dari laporan korban mengenai kekerasan ini. Fenomena kekerasan dalam
pacaran seperti gunung es karena selama ini tertutupi oleh pemberitaan KDRT
(kekerasan dalam rumah tangga) padahal seringkali kekerasan dalam pacaran
inilah yang merupakan cikal bakal KDRT.
Dijelaskan dalam Jurnal Perempuan (2002:148) bahwa bentuk-bentuk
dari dating violence antara lain:
1. Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan fisik ini berupa memukul, menendang,
menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok,
mencekik, membakar bagian tubuh/ menyundut dengan rokok, pemaksaan
berhubungan seks, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat
yang membahayakan keselamatan. Ini biasanya dilakukan karena
pasangannya tidak mau menuruti kemauannya atau dianggap telah
melakukan kesalahan.
2. Kekerasan seksual
Berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan,
ciuman, atau sentuhan) tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan
5
atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan
menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik.
3. Kekerasan emosional
Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang
wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan
menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk
kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang mengandung olok-
olok, membuat seseorang jadi bahan tertawaan, mengancam, cemburu
yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang
disukai, kekerasan ekonomi, wujudnya dapat berupa pemerasan, memaksa
meminta uang, meminta barang dan sebagainya, mengisolasi, larangan
berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada
orang lain dan sebagainya.
Penyebab kekerasan dalam pacaran dalam Jurnal Perempuan tahun
2002 yang berjudul Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan, antara lain:
1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak sejak
lahir. Orang tua secara lahir memberikan hidup, bertanggung jawab dan
berkewajiban mengusahakan perkembangan anak yang sehat baik rohani
maupun jasmani. Proses ini dapat dilakukan melalui pola asuh orang tua
terhadap anaknya karena peranan dan bantuan orang tua tercermin dalam
pola asuhnya.
6
Menurut Tarsis Tarmuji (http:/www.depdiknas.go.id), “Pola asuh
orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan anaknya selama
mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi
antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah
dan hukuman, juga tanggapan terhadap keinginan anak. Oleh karena itu
orang tua besar sekali andilnya dalam pembentukan dan perkembangan,
baik fisik maupun psikis anak, terutama konsep diri anak mengingat
konsep diri merupakan inti kepribadian.
Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban
kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam
keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga
ketika dia dewasa. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya
mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang
mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti akan
mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun
sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya
suka ataupun tidak suka.
2. Peer group
Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh
kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa,
melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai,
norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam
7
kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok
semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.
Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam
memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar
pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat
meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Secara
individual, pada awalnya remaja mungkin merasa tidak nyaman dengan
hal tersebut, tetapi lama kelamaan hal ini akan membuat remaja menjadi
permisif terhadap kekerasan dan tidak berpikir panjang jika suatu ketika
memiliki kesempatan untuk melakukannya.
3. Media massa
Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap
munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang
sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual
dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan
dalam hubungan pacaran.
Sebuah riset di Amerika menganalis bahwa banyaknya tayangan
kekerasan di televisi membuat seorang anak pada usia menjelang 12 tahun
rata-rata telah menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi,
termasuk 13.400 kematian (Standfield, 1973 dikutip dari http://ruangstudio
.blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tv-merubah-anak.html).
Riset seperti ini (mungkin) belum pernah dilakukan di Indonesia,
tapi jika menghitung banyaknya program yang bernuansa kekerasan di TV
8
nasional, bukan tidak mungkin bahwa angka yang cenderung sama,
mungkin saja terjadi.
Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran,
pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan
terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan
yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif
bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan yang terjadi di
lingkungannya.
4. Kepribadian
Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian. Pada
gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah
satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang
mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah
laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak
tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi
frustrasi.
Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi
karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian
yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian
status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian
asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa
para pasangan kekasih oleh kekasihnya sendiri adalah contoh dari
kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para
9
remaja yang melakukan tindak kekerasan ini tidak pernah melakukan hal
yang sama kepada orang lain. Status sebagai pacar menyebabkannya
berperilaku keras terhadap pacarnya.
5. Peran jenis kelamin
Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah
perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan
peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki
dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan
feminim dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif,
sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya.
Walaupun kesetaraan jender sudah marak dibicarakan, namun masih
terdapat pandangan di masyarakat akan superioritas maskulin yang
diidentikkan dengan laki-laki.
Dari berbagai bentuk human relations, berpacaran merupakan
salah satu fase yang pada umumnya tidak terlewatkan oleh tiap individu di
usia remaja atau dewasa awal. Dalam prosesnya, wajar jika terjadi konflik
atau perselisihan dalam berpacaran, dan bagaimana seseorang menyikapi
konflik akan relasinya dengan lawan jenis ini diasumsikan dapat
dipengaruhi oleh peran jender yang terbentuk dalam dirinya. Konflik itu
sendiri pada akhirnya dapat menjadi kekerasan jika individu-individu di
dalamnya tidak menyikapinya dengan toleransi terhadap pasangannya.
(Jurnal Perempuan, 2002:148)
10
Penyebab berlangsungnya kekerasan terus-menerus menurut Jurnal
Perempuan ISPSI (2002, hal 148) adalah karena sikap pihak yang saling
mendukung keberlangsungan kekerasan dalam hubungan mereka, sikap
tersebut yaitu:
1. Laki-laki yang menggunakan kekerasan dalam berpacaran
a. Mereka belajar sikap dan tingkah laku tersebut dalam keluarga mereka
sendiri. 75 % dari pelaku kekerasan mengatakan bahwa mereka
menyaksikan ayah mereka telah menyiksa ibu mereka
b. Mereka berupaya untuk terus memelihara citra laki-laki macho yang
mendapat penguatan dari masyarakat dan juga media
c. Mereka sangat meyakini bahwa kontrol dan kekuasaan ada pada laki-
laki
d. Tidak mampu mengontrol diri, biasanya hanya sedikit orang yang
menyadari akibat dari tindakan kekerasan tersebut
2. Perempuan yang kelihatannya menerima kekerasan dalam berpacaran
a. Mereka mengharapkan hubungan mereka berjalan dengan mulus, dan
berharap pasangannya akan berubah pada akhirnya
b. Mereka merasa takut atau kuatir bahwa pacar mereka akan menyakiti
atau melakukan balas dendam
c. Mereka merasa bersalah atau malu
d. Mereka melihat bahwa memang tidak ada alternatif lain, dan tidak
menyadari bahwa meminta pertolongan bisa dilakukan
e. Mereka tidak memiliki dukungan baik secara sosial maupun individu
11
f. Mereka menganggap bahwa pasangan yang hanya sekali-sekali
melakukan kekerasan lebih baik dibandingkan tidak memiliki
pasangan sama sekali
g. Mereka meyakini bahwa sebetulnya tindakan kekerasan normal-
normal saja
h. Mereka berpikir bahwa tindak kekerasan akan lenyap dengan
sendirinya ketika mereka sudah menikah dan memiliki anak
Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola asuh
dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian peran
menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu kepribadian
individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk dari lingkungan
sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam pacaran tersebut pada
akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis yang mengaruhi
kehidupan sosial pelaku dan korban. Berikut ini adalah beberapa dampak
kekerasan pada masa pacaran yang kemudian akan menimbulkan adanya
dampak sosial bagi kehidupan pelaku dan korbannya (Error! Hyperlink
reference not valid. //sindy.student.um.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-
perempuan-pada-ma sa-pacaran/):
1. Menurunnya rasa percaya diri
Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki,
tidak menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak
pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan
12
membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-
temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan
menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder
untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru.
Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bentuk rasionalisasi dan
pembenaran dari laki-laki akan memperhebat bentuk kekerasan ini.
Beberapa perempuan akan menganggap hal ini wajar dia terima, bahkan
kemungkinan perempuan tersebut ikut menertawakan dirinya sendiri.
2. Meningkatnya rasa tidak berdaya
Perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan korban, termasuk
memanggil dengan panggilan yang tidak wajar atau tidak menyenangkan
akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat beruntung karena
masih ada pacarnya yang mau menjadikannya sebagai pacar. Hal ini
membuat korban merasa tidak berdaya jika ditingalkan oleh pacarnya
karena baginya pacarnya adalah segalanya. Sehingga korban menerima
apa pun perlakuan pacarnya terhadapnya sekalipun perlakuan tersebut
berupa pengekangan untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang
mengakibatkan korban terasingkan dari lingkungannya.
3. Meningkatnya rasa cemas
Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan
membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa
13
takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan
aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati
pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas yang dialami korban
secara terus menerus terbawa dalam kehidupan sehari-hari korban ketika
ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Korban menjadi sulit
mempercayai orang lain sehingga dalam kehidupan sosialnya korban sulit
bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban
terisolir dari lingkungannya.
4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi
Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan
dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban
terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini
diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan
pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin
tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat
korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.
5. Mengalami sakit fisik
Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari
tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya
seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan
tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak
mengakui adanya masalah selama hubungan kencan (Kompas, 10 Februari
14
2010). Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya
konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya.
Tindakan kekerasan dalam pacaran rentan terjadi pada remaja terutama
usia 18-21 tahun, ini adalah jenjang usia remaja yang duduk di bangku
perkuliahan atau dengan kata lain mahasiswa/ mahasiswi. Karena pada usia
tersebut minat untuk menjalin hubungan pacaran dan kecenderungan untuk
mengeksplorasinya terlihat lebih nyata. Pacaran di kalangan mahasiswa,
kadang juga tidak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel
panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan mahasiswa juga
banyak diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Tidak jarang
pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal
dari terjadinya kekerasan dan penindasan.
Latar belakang di atas mendorong penulis untuk melakukan suatu
penelitian mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak sosial kekerasan
dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa yang nantinya
diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada banyak pihak mengenai
kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa.
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan penelitian ini adalah:
a. Apa saja faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran (dating
violence) di kalangan mahasiswa?
15
b. Apa saja dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating violence) di
kalangan mahasiswa?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran
(dating violence) di kalangan mahasiswa.
b. Untuk mengetahui dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating
violence) di kalangan mahasiswa.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
pribadi maupun secara umum. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada mahasiswa pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya mengenai kekerasan dalam
pacaran (dating violence).
2. Secara Teoritis
a. Memberi alternatif solusi tentang permasalahan seputar kekerasan
dalam pacaran
b. Memberi masukan untuk mempelajari dan memecahkan masalah
kekerasan dalam pacaran
16
c. Dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian
sejenis secara lebih mendalam dan dalam lingkup yang lebih luas
E. LANDASAN TEORI
Di dalam melihat masalah-masalah dalam penelitian ini paradigma
yang digunakan adalah paradigma perilaku sosial. Menurut B.F. Skinner,
pemuka exemplar paradigma ini, obyek studi sosiologi yang konkrid-realistis
itu adalah: perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya
(behavior of man and contingencies of reinforcment) (Ritzer, 2004:69).
Dalam paradigma ini Skinner mengatakan bahwa pengertian kultur
yang diciptakan itu tidak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan
nilai sosial. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan
nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas terlihat adalah
bagaimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur
kehidupan bersamanya, dan sebagainya.
Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan
antara individu dan lingkungannya. Pokok persoalan sosiologi menurut
paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam
hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat, atau
perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah
laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan
yang terjadi dalam lingkungan aktor.
17
Dalam penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology, yang
merupakan salah satu teori yang termasuk dalam paradigma Perilaku Sosial.
Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari
tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku
aktor. Teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui
akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Jadi nyata secara metafisik teori
ini mencoba menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui
kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa yang akan datang.
Yang menarik perhatian Behavioral Sosiology adalah hubungan
historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan
tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di
masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang. Dengan
mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkah laku nyata di masa lalu akan
dapat diramalkan apakah seorang aktor akan bertingkah laku yang sama
(mengulanginya) dalam situasi sekarang.
Konsep dasar Behavioral Sosiology yang menjadi pemahamannya
adalah: “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak
ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran.
Perulangan tingkah laku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya
terhadap perilaku itu sendiri. Perulangan dirumuskan dalam perulangannya
terhadap aktor. Sesuatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap aktor
tidak akan diulang.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, behaviorisme berpendapat
bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar.
18
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang
disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para
mahasiswa karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu
masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan
(reinforcement), baik berupa tiadanya punishment (hukuman) maupun reward
(ganjaran). Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang pernah
terjadi disekitarnya tidak mendapatkan hukuman maka aksi yang sama akan
dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang.
Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru).
Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman, tetangga, media)
menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan
meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa
perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa
konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta
karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kekerasan
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain,
dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
19
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait
dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan
harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan
kekerasan terhadap orang (Krucil, 2007 dikutip dari http://republik
damai.blogspot.com//2007/06/kekerasan.html).
Dalam penelitian mengenai hubungan antara kekerasan dalam
pacaran dengan gagasan untuk melakukan bunuh diri di kalangan mahasiwa
terdapat jurnal internasional sebagai berikut:
“Aggressive personality disorders which involve high levels of
anger expression, such as antisocial, borderline, and self-harm personality
disorders, are common among domestic violence offenders.” (International
Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529)
“Gangguan kepribadian agresif (galak) pada tingkat yang tinggi
yang melibatkan ekspresi kemarahan, seperti antisosial, pembatasan, dan
gangguan kepribadian yang melukai diri sendiri adalah hal yang umum
dilakukan di antara pelaku kekerasan dalam rumah tangga”. (International
Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529)
Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999:476).
Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP
yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai
serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang (Fakih, 1996:17). Sementara menurut Johan Galtung,
terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang
20
berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa
diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa
(Warsana, 1992:30).
Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya
milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga
mahasiswa, dari kekerasan antar fakultas dalam satu perguruan tinggi,
demonstrasi dengan kekerasan, perploncoan dengan kekerasan, pacaran
dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam
banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan
proses belajar sosial.
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang
disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan
dan akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan
terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa. Di samping itu,
observasi langsung para pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan
yang dilakukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang
lalu (dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru) kemudian ditiru oleh
mahasiswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam
memecahkan suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena
pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment
maupun reward.
21
Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi
di lingkungan akademisnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik
oleh rektorat maupun kepolisian), maka aksi yang sama akan dilakukan
oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan
dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan
bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang
melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap
penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa melakukan kekerasan
tidak akan mendapatkan hukuman, maka mahasiswa akan cenderung
menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya dan
mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan
orang lain sebagai suatu hal yang tidak lagi tabu. Terutama ketika
berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya seperti pacar atau keluarga.
2. Pacaran
Pacaran bisa diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis
atau sesama jenis yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh
yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran
berdasarkan etimologinya adalah persiapan menikah.
Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran atau yang lebih
dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang menyangkut
hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi perasaan dan atau
secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran pengalaman dan hidup
bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam berumah tangga
22
(Mustika, 2009 dikutip dari http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuk-
nyata-pacaran-islami.html).
Pacaran diidentikkan dengan pengenalan antara dua individu secara
mendalam. Bisa juga diartikan terjalinnya hubungan khusus dengan lawan
jenis atau sesama jenis. Pada umumnya pacaran dilakukan sebagai upaya
pematangan (pengkondisian) sebelum bertunangan atau pernikahan.
Pacaran dilakukan dalam waktu tertentu dengan menitikberatkan
pada aktivitas berkasih sayang yang menuntut satu atau lebih pasangan
memperlihatkan perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya
yang lain (Hamzah, 2008 dikutip dari http://hamzahasdullah.multiply.com).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pacaran adalah bercintaan
dengan kekasih tetap. Bercintaan merupakan aktivitas ekspresi cinta dua
arah, antara dua pihak. Jika berlangsung secara searah saja, hanya sebatas
mencintai, maka aktivitas ini belum tergolong pacaran. Sedangkan kekasih
ialah teman lain-jenis yang dicintai. Walau dapat berlangsung dua arah,
cinta bisa pula searah saja. Karenanya, kekasih kita belum tentu adalah
orang yang mencintai kita. Tetap adalah selama mungkin, bukan sesaat.
Jadi, kekasih tetap bisa diartikan sebagai sahabat lain jenis yang dicintai
untuk selama mungkin, bukan untuk sesaat.
Pacaran berasal dari kata pacar, yang sekarang berarti kekasih.
Pacar/ kekasih berhubungan dengan perasaan ketertarikan seseorang
terhadap orang lain. Ketertarikan ini disebabkan karena banyak hal, antara
lain fisik, ketrampilan, kepandaian, kekayaan, kebangsawanan, kepribadian,
23
dsb. Jika perasaan ketertarikan itu disampaikan dan diterima atau berbalas
maka akan terbentuk sebuah komitmen pacaran. Saat itu ada semacam rasa
memiliki satu sama lain.
Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling
mengakui pasangan sebagai pacar. Demikian definisi yang dikemukakan
Reiss dalam buku Marriage and Family Development karangan Duval and
Miller, keluaran tahun 1985 (http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0309/26/muda /584131.htm).
Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai
berikut:
a. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk
berkasih-kasihan
b. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap
c. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.
Dalam jurnal internasional Prevalence of Violence Against Dating
Partners by Male and Female University Students Worldwide, Murray A.
Straus mendefinisikan pacaran sebagai berikut:
“Dating was defined as a dyadic relationship involving meeting for
social interaction and joint activities with an explicit or implicit intention to
continue the relationship until one or the other party terminates or until
some other more committed relationship is established (e.g., cohabiting,
engagement, or marriage). The social norms for dating and actual dating
behavior differ according to many dimensions, including individual
differences, racial/ethnic and socioeconomic group differences, historical
era, and cultural context. Despite these differences, there are also some
inherent structural similarities; for example, it is a dyadic relationship and
the parties usually invest time and energy. Therefore, social interactional
24
processes typical of dyads are likely to apply, regardless of whether the
relationship was arranged by parents or friends, by newspaper or by
Internet, or by one party initiating the development of a relationship.”
(Straus, 2004:792)
“Dating (pacaran) didefinisikan sebagai hubungan khusus yang
melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas
bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk
melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau
sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen didirikan
(misalnya, pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk
berpacaran dan perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak
dimensi, yang meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan
kelompok sosial ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping
perbedaan-perbedaan ini, ada juga beberapa persamaan struktural yang
melekat; sebagai contoh, sebuah hubungan khusus biasanya menghabiskan
watu dan tenaga dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, proses
interaksi sosial yang khas tersebut kemungkinan akan berlaku terlepas dari
apakah hubungan ini diatur oleh orang tua atau teman, oleh koran atau
internet, atau salah satu pihak mulai mengembangkan hubungan tersebut.”
(Straus, 2004:792)
Pacaran di kalangan mahasiswa terjalin oleh dua orang yang telah
sama-sama dewasa. Pada umumnya, mahasiswa yang berpacaran memiliki
hubungan yang lebih intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun
fisik. Keintiman ini menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat,
mulai dari yang ringan hingga berat seperti free seks dan terjadinya
dominasi berlebihan dari salah satu pihak yang berujung pada terjadinya
kekerasan dalam pacaran. Tingginya tingkat privacy sebagai mahasiswa,
mengakibatkan mahasiswa bebas melakukan apa pun tanpa ada yang
memperhatikan. Apalagi gaya pacaran anak kuliahan adalah pacaran di
kamar. Selain tidak mengeluarkan biaya (untuk makan, nonton di bioskop,
atau transport), pacaran di kamar lebih terjaga privacy-nya. Ada semacam
25
kode etik di kalangan mahasiswa bahwa jika si mahasiswa sudah mengunci
kamar, maka yang lain dilarang mengganggu.
3. Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang
mempunyai unsur kekerasan yang meliputi pemaksaan, tekanan, perusakan,
dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan
pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada
pasangan sejenis seperti gay atau lesbi (Abbot, 1992 dikutip dari
http://ariekaonly.multiply.com). Meski hubungan pacaran belum diikat
pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap
pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulang-
ulang.
Kekerasan dalam pacaran adalah perbuatan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan penelantaran termasuk juga ancaman yang
menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup hubungan pacaran.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) terjadi ketika seseorang yang
sedang berpacaran merasa terpaksa menerima segala perilaku yang
dilakukan pasangannya. KDP merupakan salah satu bentuk dari kekerasan
yang mayoritas terjadi terhadap perempuan walaupun tidak semua
korbannya adalah perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan
menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun
1994 pasal 1, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
26
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Definisi
ini juga berlaku sebaliknya jika korbannya adalah laki-laki.
Dating violence seperti lingkaran setan dimana pihak-pihak yang
terlibat sulit sekali terlepas dari lingkaran setan ini. Jika dijabarkan akan
menjadi seperti berikut:
Permintaan putus
Kekerasan fisik/
Kekerasan non fisik Pelaku meminta maaf
(menangis-nangis, bersujud, dsb)
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
Pemakluman korban
(dirasa wajar, sayang yang berlebihan) Korban menerima maaf
Kekerasan awal terjadi, contoh: posesif
Gambar 1.
Skema dating violence (Sumber: http://arieka only.multiply.com)
Pada kasus dating violence cinta telah membutakan batas
humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari
pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya kembali
27
menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak yang terlibat
dating violence kemudian mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat
lagi memakai pandangan yang normal dalam memaknai pacaran yang
sehat. Antara korban dan pelaku telah timbul suatu ketergantungan yang tak
sehat, mereka terlarut dalam kekerasan yang berselimutkan kasih sayang.
Sebagian besar menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang
harus dilaluinya dalam suka duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang
timbul pada diri korban mengenai dating violence adalah bentuk kasih
sayang yang berbeda (Arika NS, 2007 dikutip dari http://arieka
only.multiply.com).
Dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa, pada umumnya
mereka menganggap hubungan cinta sebagai hal yang serius yang biasanya
dibumbui dengan rasa sayang, sedih, duka, haru, nyaman, serta segala
perasaan lain layaknya sepasang kekasih. Ada perasaan saling melindungi,
menjaga, atau rasa takut untuk berpisah walau hanya sesaat.
Namun rasa cinta dan sayang itu bisa hancur ketika ada kondisi
hubungan dominan yang tidak seimbang. Biasanya sebagian besar kaum
laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangannya. Ketika dominasi
terjadi cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence,
kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta.
Pihak perempuan yang tidak menyadari akan menganggap bahwa ia
hanyalah makhluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih.
Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara
28
fisik maupun mental. Dan tidak ada satu pun early warning system yang
bisa dijadikan panduan untuk mengetahui dan menghindari kekerasan
dalam pacaran.
Dalam jurnal internasional Prevalence of Dating Partner Violence
and Suicidal Ideation Among Male and Female University Students
Worldwide, kekerasan dalam pacaran yang terjadi di kalangan mahasiswa
diuraikan sebagai berikut:
“Dating couples are even more likely to be violent than married
couples, despite the fact that the higher rate has been demonstrated by
more than 50 studies, starting in the 1980s (Stets & Straus, 1989;
Sugarman & Hotaling, 1989). Numerous studies in the United States and
Canada have found an extremely high prevalence of physical assault on
dating partners by university students. For example, in Canada and the
United States, 20% to 40% of students report one or more assaults in the
previous 12 months (Sugarman & Hotaling, 1989). University studies have
also indicated similar rates of physical assault by men and by women
(Sugarman & Hotaling, 1989), except for sexual assault whenwomenare
overwhelmingly the victims (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, &
Eccles, 1997). For purposes of primary prevention (Cowen, 1978; A.
O’Leary & Sweet-Jemmott, 1995), it is vital to increase our understanding
of the etiology of this dating couple violence because it can establish
patterns that persist over a lifetime (O’Leary et al., 1989; O’Leary,
Malone, & Tyree, 1994).” (International Journal of Violence Against
Dating Partner, 2004:791)
“Pasangan kencan bahkan lebih cenderung melakukan kekerasan
daripada pasangan suami istri, meskipun dalam kenyataannya tingkat yang
lebih tinggi telah dibuktikan oleh lebih dari 50 study, yang dimulai pada
tahun 1980-an (Stets & Straus, 1989; Sugarman & Hotaling, 1989).
Sejumlah penelitian di Amerika Serikat dan Canada telah menemukan
hubungan yang sangat tinggi dari serangan fisik dalam pacaran oleh
mahasiswa. Sebagai contoh, di Canada dan Amerika Serikat, 20% hingga
40% dari siswa melaporkan satu atau lebih serangan dalam 12 bulan
terakhir (Sugarman & Hotaling, 1989). Penelitian di universitas juga
menunjukkan angka yang sama serangan fisik oleh laki-laki dan perempuan
(Sugarman & Hotaling, 1989), kecuali untuk serangan sekisual ketika
perempuan adalah korbannya (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, &
Eccles, 1997). 1997). Untuk tujuan pencegahan primer(Cowen, 1978; A.
O'Leary & Sweet-Jemmott, 1995), sangat penting untuk meningkatkan
29
pengertian kita atas etiologi dari pasangan dating violence ini karena dapat
menetapkan pola-pola yang menetap sepanjang hidup (O'Leary et al., 1989;
O'Leary, Malone, & Tyree, 1994). 1989; O'Leary, Malone, & Tyree,
1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:791)
Macam-macam tanda dating violence di kalangan mahasiswa antara
lain:
a. Pertama adalah intimidation (intimidasi) yaitu perlakuan menakut-
nakuti dan menggertak pasangan dengan cara merusak benda,
bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan, atau bergaya seolah
seorang preman yang setiap waktu mengawasi gerak-gerik pacarnya.
b. Kedua violating your privacy (melanggar privasi) yaitu menerobos
area pribadi dan mengacak-acak segala rahasia diri pasangan. Perilaku
ini ditandai dengan mengambil alih catatan pribadi, sms pada
handphone hingga men-sweeping isi tas. Pelaku menganggap bahwa
orang lain tidak berhak mencampuri urusan cintanya.
c. Ketiga adalah threats (tindakan ancaman) yang lebih serius dan lebih
menakutkan. Pelaku sering memaksa korban untuk menuruti
kemauannya dengan ancaman bunuh diri, memutuskan hubungan
cinta, hingga mengancam menyebarkan foto-foto dan video pribadi
yang dibuat bersama kekasihnya.
d. Keempat using male privilege (menggunakan hak istimewa laki-laki).
Biasanya pelaku selalu menggambarkan dirinya sebagai jagoan, laki-
laki yang perkasa. Ia selalu berusaha mengalahkan cara pikir
perempuan dan tidak mau menerima argumen apa pun. Dalam tahap
30
ini, laki-laki telah menguasai perempuan untuk melakukan apa pun
kehendaknya.
e. Kelima limiting independence (membatasi kebebasan). Pelaku
mengurung kebebasan kekasihnya dengan cara mengatur penampilan
sesuai kehendaknya. Ia juga mengatur teman-teman yang harus dijauhi
atau didekati, memaksakan pengaruh rokok dan minuman keras pada
kekasihnya, serta membatasi pergaulannya. Pada saat itu, pelaku
bahkan bisa mengatur beragam rencana kekasihnya, termasuk rencana
pendidikan, masa depan, dan pekerjaan.
f. Keenam humiliation (penghinaan) yaitu tindakan mempermalukan
nama baik sang kekasih di depan umum. Perilaku ini ditandai dengan
cara mernperlakukan sang pacar dengan tidak manusiawi.
g. Ketujuh isolation (pengasingan). Tindakan mengisolasi segala bentuk
hubungan keluarga, pertemanan, sekolah, dan masyarakat dari
kekasihnya sendiri. Jenis tindakan seperti ini, seolah-olah seperti
memenjara sang kekasih dan memutuskannya dari komunikasi dunia
luar.
h. Kedelapan harassment (gangguan). Bentuk gangguan yang dilakukan
pelaku dalam berbagai macam aktivitas yang dilakukan kekasihnya.
Bahkan meskipun hubungan cinta telah berhenti, bentuk gangguan ini
tetap berlangsung. Pelaku berusaha masuk ke dalam pergaulan sosial
korban, meskipun tidak diundang atau dilarang sekalipun (Sony Set,
2009:45).
31
4. Mahasiswa
Mahasiswa atau mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang
sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan
tinggi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indone
sia).
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mahasiswa
memiliki pengertian berupa orang atau setiap orang yang terdaftar secara
resmi dan belajar di suatu perguruan tinggi (Yasyin, 1997:329).
Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di
perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa
terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial
dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung
jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab
individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga negara.
Mahasiswa secara harfiah adalah orang yang belajar di perguruan
tinggi, entah di universitas, institut atau akademi (Takwin, 2008 dikutip
dari http://bagustakwin.multiply.com). Mereka yang terdaftar sebagai
murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai mahasiswa.
Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar
sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administratif
menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang
lebih luas dari sekedar masalah administratif.
32
Mahasiswa merupakan calon pembaharu, calon cendekiawan dan
calon penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Dan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut, mahasiswa dituntut untuk memiliki tiga kualitas
psikologis yaitu keterbukaan pikiran, kemampuan berpikir kritis, dan
kreativitas.
Dunia kampus saat ini seolah menjadi dunia politik, yang sarat
dengan intrik kepentingan dan intrik politik praktis. Bahkan, tak jauh
berbeda dengan budaya politik di legislatif. Kekerasan seolah menjadi salah
satu alternatif dalam mewujudkan kepentingan politik di kampus. Pejuang-
pejuang kampus yang semestinya diwarnai aroma akademis dan keilmuan,
kemudian muncul ke permukaan dengan warna-warna yang menakutkan.
Kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi, baik lisan, tulisan, maupun beban
psikologis, tumbuh kembang di lingkungan dunia kampus.
Mahasiswa yang merupakan salah satu elemen kampus, saat ini
terjebak pada lingkungan yang dekat dengan nuansa kekerasan. Menjadikan
mereka menganggapnya bukanlah hal yang tabu lagi untuk dilihat dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh kaum akademisi
yang memiliki intelektual tinggi yang seharusnya lebih tahu mana hal yang
baik dan buruk serta lebih terbuka pemikirannya dalam menghadapi suatu
masalah. Pada akhirnya kekerasan menjamah kehidupan mahasiswa dalam
berbagai segi kehidupannya terutama permasalahan pribadi seperti dalam
menjalin hubungan dengan pasangannya.
33
Jurnal internasional yang berjudul Prevalence of Violence Against
Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide
menyebutkan beberapa alasan mengapa kekerasan dalam pacaran
difokuskan di kalangan mahasiswa:
“The International Dating Violence Study is focused on the dating
relationships of university students for a number of reasons: (a) Data on
university students can be obtained in a uniform way by inexpensive
questionnaires. This puts participation in the study within the resources of
investigators in many countries; (b) In many countries, heterosexual
relationships in the form of “dating” are more likely to exist among
university students than in other sectors of the population; (c) As indicated
above, a large number of studies show that physical assaults occur very
frequently among student dating couples; (d) Students constitute a sizeable
population in many countries. In the United States, for example, there are
about 15 million currently enrolled in colleges and universities; (e)
Students are at a formative period in their lives, especially in relation to the
development of appropriate patterns of behavior with a partner. The
patterns manifested at this age are often enduring features of their
relationship”. (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:792)
“Penelitian Dating Violence Internasional ini difokuskan pada
mahasiswa untuk sejumlah alasan: (a) Data tentang mahasiswa dapat
diperoleh dengan cara yang seragam dengan dana yang tidak mahal. Hal ini
menempatkan partisipasi dalam penelitian ini dengan sumber-sumber
penyelidikan di banyak negara; (b) Di banyak negara, hubungan
heteroseksual dalam bentuk pacaran lebih mungkin terjadi di antara
mahasiswa daripada sektor penduduk lain; (c) Sebagaimana ditunjukkan di
atas, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa serangan fisik terjadi
sangat sering terjadi di antara pasangan dating di kalangan mahasiswa; (d)
Mahasiswa merupakan populasi yang cukup besar di banyak negara. Di
Amerika Serikat, misalnya, saat ini ada sekitar 15 juta mahasiswa terdaftar
universitas; (e) Mahasiswa berada pada periode formatif kehidupan mereka,
terutama dalam kaitannya dengan pengembangan pola-pola perilaku
dengan pasangan. Pola-pola ini dibuktikan dalam usia ini sering tahan lama
fitur dari hubungan mereka (Murphy & O'Leary, 1989; O'Leary et al.,
1989; O'Leary et al., 1994; Pan, & O'Leary, 1989; O'Leary et al., 1989;
O'Leary et al., 1994; Pan, Neidig, & O'Leary, 1994). Neidig, & O'Leary,
1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner,
2004:792)
34
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan masalah yang diambil yaitu tentang faktor-faktor
penyebab dan dampak kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa
maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian eksploatif karena peneliti tidak familiar dengan masalah yang
diteliti. Topik penelitian ini masih relatif baru karena belum banyak orang
yang meneliti masalah ini. Literatur atau hasil penelitian yang membahas
permasalahan tersebut masih langka.
Dalam metode penelitian ini, sampel-sampel yang ada
diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri sosiologis dan perannya di dalam
masyarakat. Kemudian dicatat kejadian-kejadian yang terjadi dan disusun
kategori atas subyek-subyek pelaku dan kategori atas kejadian-kejadian.
Dari kategori-kategori itu dikembangkan konsep sesuai dengan keadaan
yang ada di lapangan (Slamet, 2006:7).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Universitas Sebelas Maret
Surakarta, dengan pertimbangan lokasi ini dianggap sesuai dengan tujuan
penelitian, lokasi ini merupakan salah satu universitas negeri di wilayah
Surakarta dan merupakan universitas terbesar di kota ini. Sebagai
universitas yang besar UNS memiliki mahasiswa dengan jumlah yang
besar pula dengan beragam tingkah lakunya. Di lokasi ini dimungkinkan
terdapat data-data yang diperlukan.
35
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan daripada unit-unit analisis yang
memiliki spesifikasi tertentu (Slamet, 2006:40). Dalam penelitian ini
populasinya adalah seluruh pasangan kekerasan dalam pacaran (dating
violence’s couple) di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang jumlahnya kurang
dari populasi. Sampel ini diambil dari anggota populasi yang diketahui
peneliti dapat menjadi sumber informasi data yang diinginkan dan
diperlukan dalam penelitian ini. Tujuan penentuan sampel adalah
untuk memperoleh keterangan tentang obyek penelitian dengan cara
hanya mengamati sebagian dari populasi, suatu reduksi terhadap obyek
penelitian (Komaruddin, 1991:26-27).
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah tiga pasangan
kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) yang merupakan
mahasiswa UNS dari berbagai fakultas dan tiga orang teman dekat
pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran yang mengetahui
peristiwa tersebut.
c. Teknik Pengambilan Sampel
Sedangkan strategi pengambilan sampel yang peneliti gunakan
yaitu purposive sampling. Penarikan sampel dengan cara ini
36
membutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang baik dari peneliti
terhadap populasi penelitian. Dalam menentukan siapa yang masuk
menjadi anggota sampel penelitiannya, peneliti harus benar-benar
mengetahui dan beranggapan bahwa orang yang dipilihnya dapat
memberikan informasi yang diinginkan sesuai dengan permasalahan
penelitian. Untuk itu peneliti melakukan pengamatan terlebih dahulu
terhadap orang-orang yang nantinya akan dijadikan sampel dengan
memasuki lingkungannya dan mengamati perilaku berpacarannya.
Pengamatan ini betujuan agar sampel yang diambil benar-benar sesuai
dengan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber Data
1) Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari wawancara dengan
informan. Dan yang menjadi informan dari penelitian ini yaitu:
pasangan kekerasan dalam pacaran (Mala dan Adit, Tata dan Ryan,
Tya dan Affan) dan orang-orang di sekitar pelaku dan korban
(dalam hal ini teman dekat pelaku atau korban) kekerasan dalam
pacaran yang mengetahui peristiwa tersebut (Nia, Ana, dan Sari).
2) Data Sekunder
Data sekunder yaitu literatur berupa buku-buku dan
literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti
yaitu:
37
a) Dokumen:
International Journal of Midwifery & Women’s Health dan
International Journal of Violence Againts Dating Partner
b) Internet:
http://ariefbharata.multiply.com/;http://republikdamai.blogspo
t.com/;http://shodiq.com/;http://ruangstudio.blogspot.com/;htt
p://bkkbn.go.id/;http://situs.kesrepro.info/;http://kompas.com/;
http://bagustakwin.multiply.com/;http://depdiknas.go.id/;http:/
/uns.ac.id/.
c) Buku:
Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, Hentikan Kekerasan
terhadap Perempuan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Metode Penelitian Kualitatif, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Teen Dating Violence, Metode
Penelitian Sosial, Kamus Sosiologi, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
b. Metode Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data pada penelitian ini digunakan teknik-
tehnik berikut:
1) Metode observasi (pengamatan)
Tehnik observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan
pengamatan dan pencatatan suatu objek dari masalah yang diteliti.
38
Observasi itu sendiri dapat dilakukan secara sesaat maupun
berulang-ulang. Observasi ada dua, yaitu observasi participant dan
non participant. Dalam penelitian ini, peneliti memakai tehnik
observasi non participant, dimana peneliti hanya sebatas melihat
atau mengamati subyek penelitian.
Dalam penelitian ini observasi dilakukan terlebih dahulu
terhadap calon informan untuk memastikan bahwa informan
tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian. Observasi
yang pertama kali dilakukan adalah mengamati perilaku
berpacaran calon informan untuk memastikan terjadinya kekerasan
dalam pacaran dalam hubungan calon informan tersebut dengan
pacarnya. Selanjutnya setelah dipastikan sebagai informan, peneliti
mengamati perilaku berpacaran informan, mengamati bagaimana
terjadinya kekerasan dalam pacaran mahasiswa tersebut,
mengamati bagaimana latar belakang sosialnya sehingga
mahasiswa tersebut dapat melakukan kekerasan dalam pacaran
serta mengamati dampak sosial kekerasan dalam pacaran dalam
kehidupan sehari-harinya.
2) Metode in dept interview (wawancara mendalam)
Tehnik wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memperoleh data yang diinginkan dengan melakukan interaksi
langsung dengan informan. Didalam interaksi itu, peneliti berusaha
39
mengungkapkan kasus yang sedang diteliti melalui proses tanya-
jawab. Sebelum mengadakan wawancara mendalam untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan peneliti menggunakan
pembicaraan informal terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan
hubungan yang akrab antara peneliti dan informan.
Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara
dengan mahasiswa UNS dan pasangannya yang menjadi pelaku
atau korban kekerasan dalam pacaran serta teman dekatnya yang
mengetahui peristiwa tersebut. Pelaksanaan wawancara di
lapangan peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Pada pelaksanaannya daftar pertanyaan
berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi.
Inti dari pertanyaannya adalah menanyakan tentang
terjadinya kekerasan dalam pacaran mahasiswa UNS, faktor-faktor
sosial yang menyebabkannya serta dampak sosial dari perilaku
kekerasan tersebut terhadap kehidupan sosialnya.
5. Validitas Data
Pengecekan validitas data dalam penelitian ini adalah dengan
tehnik triangulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut. Maksudnya adalah
untuk mengecek balik atau membanding derajat keabsahan data tersebut
melalui waktu dan alat yang berbeda, yang dapat diperoleh melalui
beberapa cara yaitu:
40
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
b. Membandingkan keadaan dan perspektif dari seseorang dengan
berbekal pendapat dan pandangan orang lain
c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi hasil suatu dokumen
yang berkaitan (Moleong, 1998:178)
Peneliti cenderung menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi
metode. Trianggulasi data disebut juga trianggulasi sumber. Jenis
trianggulasi ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, data yang sejenis
dikumpulkan dengan berbagai sumber data yang tersedia dengan teknik
pengambilan data sama.
Kedua, data yang sejenis dikumpulkan dari sumber data yang
berbeda dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Trianggulasi
sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk
menggali data yang sejenis di sini tekanannya pada perbedaan sumber
data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain. Peneliti bisa
memperoleh dari informan yang berbeda-beda posisinya dengan teknik
wawancara mendalam, sehingga informasi dari informan yang satu bisa
dibandingkan dengan informasi dari informan lainnya. Dengan cara
menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik
pengumpulan data yang berbeda itu pun data sejenis bisa teruji
kemantapan dan kebenarannya, dan teknik ini tetap dinyatakan sebagai
teknik trianggulasi sumber.
41
Informan 1
Data wawancara Informan 2
Informan 3
Gambar 2.
Skema Trianggulasi (Sumber: HB. Sutopo, 2002:80)
Sedangkan trianggulasi metode dilakukan dengan cara
mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang sama tapi dengan
teknik pengumpulan data berbeda. Dari sini akan diketahui keabsahan
data-data tersebut.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data.
Yang menjadi dasar analisa dalam penelitian ini yaitu; seluruh data
dicermati secara mendalam, ditelaah, diberi kode mengacu pada
kepustakaan yang relevan atau apa yang dipelajari dan dibaca dari
kepustakaan tetap dilihat dari perspektif paradigma dan asumsi peneliti
sendiri.
Data yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui
wawancara diolah dan dianalisa supaya menghasilkan kesimpulan yang
valid. Ada tiga komponen pokok dalam tahap analisis (Sutopo, 2002:91)
yaitu:
42
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung
terus-menerus selama penelitian berlangsung di lapangan.
Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil
keputusan tentang kerangka kerja konseptual, permasalahan dan cara
pengumpulan data yang dipakai. Pada saat pengumpulan data
berlangsung, reduksi data dapat berupa ringkasan, mengkode,
memusatkan tema, membuat batasan permasalahan, menulis memo.
Proses reduksi ini terus berlangsung sesudah penelitian
lapangan sampai laporan akhir selesai. Data setelah diperoleh dari
lapangan akan dipilah-pilahkan sesuai dengan fokus perhatian yang
peneliti inginkan. Kemudian disusun disesuaikan dengan format yang
ditentukan oleh peneliti.
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat
suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut.
Penyajian data dalam hal ini meliputi berbagai macam matrik,
skema, jaringan kerja, keterkaitan kegiatan dan tabel. Hal itu
merupakan kegiatan yang dirancang untuk merakit informasi secara
43
teratur agar mudah dilihat, dimengerti, praktis dan mudah diterima
oleh khalayak sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung.
c. Menarik Kesimpulan (Verifikasi)
Dalam menarik sebuah kesimpulan, dapat juga diverifikasi
selama penelitian berlangsung, dengan cara merefleksi kembali apa
yang telah kembali ditemukan serta bertukar pikiran untuk
memperoleh kebenaran intersubjektif sehingga makna-makna yang
muncul dari data dapat diuji kebenarannya dan kekokohannya, yakni
yang merupakan validitasnya.
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 3.
Model Analisis Interaktif (Sumber: H. B. Sutopo, 2002:96)
44
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. Sejarah Singkat dan Lokasi Universitas Sebelas Maret
Universitas Sebelas Maret resmi didirikan sejak tanggal 11 Maret
1976, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1976 yang
ditanda tangani tanggal 8 Maret 1976 dengan nama resmi Universitas Negeri
Surakarta Sebelas Maret yang selanjutnya lazim disebut dengan singkatan
UNS saja. Namun, sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1982 nama resmi Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret diganti menjadi
hanya Universitas Sebelas Maret (Buku Data dan Informasi Universitas
Sebelas Maret, 2007).
Universitas Sebelas Maret pada awalnya merupakan gabungan dari
beberapa perguruan tinggi yang ada di kota Surakarta dan sekitarnya, antara
lain adalah:
1. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta,
2. Akademi Administrasi Negara Surakarta,
3. Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta,
4. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Surakarta (FK-
PTPN), dan
5. Universitas Gabungan Surakarta yang terdiri dari beberapa perguruan
tinggi swasta, antara lain Universitas Islam Indonesia Cabang Surakarta,
Universitas 17 Agustus Cabang Surakarta, Universitas Cokroaminoto
45
Cabang Surakarta dan Universitas Nasional Saraswati (Company Profile
Universitas Sebelas Maret).
Setelah 5 tahun melakukan konsolidasi, UNS mempersiapkan diri
untuk memulai proses perkembangannya. Pembangunan secara fisik dimulai
pada tahun 1980. Di bawah kepemimpinan dr. Prakosa, kampus yang semula
terletak di beberapa tempat disatukan dalam suatu kawasan. Lokasi tersebut
adalah di daerah Kentingan, di tepi Sungai Bengawan Solo, dengan cakupan
area sekitar 60 hektar. Di daerah Kentingan inilah, pembangunan kampus
tahap pertama berakhir pada tahun 1985.
Pembangunan fisik kampus yang tergolong cepat, juga diimbangi
dengan perkembangan di sektor yang lain. Tahun 1986, Prof. Dr. Koento
Wibisono selaku rektor berikutnya, melakukan peletakan dasar-dasar
percepatan pertumbuhan. Pada masa ini perubahan telah terjadi seperti
perkembangan yang cukup bagus dalam bidang akademik dan jumlah staf,
juga dalam penguatan infrastruktur kampus. Setelah Prof. Haris Mudjiman,
Ph.D menjadi rektor berikutnya, percepatan UNS dimulai untuk melangkah ke
arah yang lebih baik.
Universitas Sebelas Maret pada awal berdirinya terdiri dari 17 (tujuh
belas) jurusan yang tergabung dalam sembilan fakultas, yaitu:
1. Fakultas Ilmu Pendidikan
2. Fakultas Ilmu Keguruan
3. Fakultas Sastra Budaya
4. Fakultas Sosial Politik
46
5. Fakultas Hukum
6. Fakultas Ekonomi
7. Fakultas Kedokteran
8. Fakultas Pertanian
9. Fakultas Teknik.
Pada saat diresmikan, Universitas Sebelas Maret memiliki tenaga
dosen/ asisten sebanyak 810 orang yang terdiri dari 365 dosen/ asisten tetap
dan 454 dosen/ asisten tidak tetap, serta memiliki 5.578 mahasiswa. Pada
tanggal 8 Maret 1976 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K)
mengeluarkan SK No.03/C/Depk/76 yang mengantur tentang Pimpinan
Sementara Universitas Sebelas Maret, dengan Kantor Pusat Universitas
Sebelas Maret sementara bertempat di Pagelaran Keraton Surakarta dan
tempat untuk kegiatan kuliah tersebut di beberapa tempat (Buku Sejarah
Berdirinya Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret).
Universitas Sebelas Maret saat ini berpusat di jalan Ir. Sutami No.36A
Kentingan, Surakarta. Selain di Kentingan, Universitas Sebelas Maret
memiliki beberapa kampus yang letaknya terpisah, yaitu:
1. Kampus Fakultas Ekonomi program Diploma 3 di daerah Mesen
2. Kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
3. Program pendidikan (prodi) olah raga di daerah Manahan dan di Ngoresan
4. Prodi teknik mesin di daerah Pabelan dan PGSD di daerah Kleco
Surakarta
47
5. Kampus FKIP program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di
kabupaten Kebumen
B. Susunan Organisasi dan Fungsi Susunan Organisasi
Susunan organisasi Universitas Sebelas Maret ditetapkan berdasarkan
SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18 Juli 1995 tentang Organisasi dan
Tata Kerja UNS untuk jabatan struktural. Sedangkan pengembangan
organisasi non struktural didasarkan pada SK Rektor. Susunan organisasi dan
fungsi susunan organisasi menurut SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18
Juli 1995 tentang Organisasi dan Tata KerjaUNS adalah sebagai berikut:
1. Rektor
Rektor adalah pembantu menteri pendidikan dan kebudayaan di
bidang yang menjadi tugas kewajiban di samping kedudukannya selaku
pimpinan Universitas Sebelas Maret. Rektor mempunyai tugas:
a. Memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga
administrasi serta hubungannya dengan lingkungan.
b. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi, badan swasta
dan masyarakat untuk memecahkan persoalan yang timbul terutama
yang menyangkut bidang tanggung jawabnya.
Dalam menjalankan tugasnya Rektor dibantu oleh Pembantu
Rektor, yaitu:
48
a. Pembantu Rektor Bidang Akademik, selanjutnya disebut Pembantu
Rektor I, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam memimpin
pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat.
b. Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, selanjutnya disebut
Pembantu Rektor II, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam
memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi
umum.
c. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, selanjutnya disebut
Pembantu Rektor III, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam
pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan layanan kesejahteraan
mahasiswa
d. Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan dan Kerjasama,
selanjutnya disebut Pembantu Rektor IV, yang mempunyai tugas
membantu Rektor dalam perencanaan, pengembangan dan kerjasama
Universitas Sebelas Maret.
2. Dewan Penyantun
Dewan penyantun adalah sebuah dewan yang beranggotakan
tokoh-tokoh masyarakat yang diadakan untuk membantu perkembangan
perguruan tinggi yang bersangkutan. Dewan penyantun memiliki tugas
sebagai berikut:
a. Mengasuh hubungan baik antara masyarakat, instansi pemerintah dan
badan swasta dengan perguruan tinggi.
49
b. Membantu memecahkan permasalahan perguruan tinggi.
c. Membantu perkembangan perguruan tinggi.
d. Menampung aspirasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam
meningkatkan peranan dan pengembangan perguruan tinggi.
3. Senat Universitas
Senat Universitas Sebelas Maret merupakan badan normatif dan
perwakilan tertinggi di universitas yang diketuai oleh rektor dan
didampingi oleh sekretaris beserta sejumlah anggota. Anggota senat terdiri
dari para guru besar, guru besar emeritus, pimpinan fakultas atau lembaga
dan perwakilan dosen dari setiap fakultas.
Senat Universitas terdiri dari 6 komisi, yaitu:
a. Komisi A (Pendidikan dan Pengajaran)
b. Komisi B (Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)
c. Komisi C (Kemahasiswaan dan Alumni)
d. Komisi D (Administrasi Keuangan dan Kesejahteraan)
e. Komisi E (Pengembangan dan Kerjasama)
f. Komisi F (Penilaian Tenaga Akademik dan Tata Cara Akademik)
4. Biro beserta bagian dan sub bagian
a. Biro Administrasi Akademik (BAA)
Biro Administrasi Akademik (BAA) adalah pembantu
pimpinan di bidang administrasi akademik di bawah dan bertanggung
jawab secara langsung kepada Rektor. BAA mempunyai tugas
melaksanakan layanan teknis dan administrasi di bidang akademik di
50
lingkungan UNS. Untuk melaksanakan tugas tersebut BAA
mempunyai fungsi:
1) Melaksanakan administrasi pendidikan dan evaluasi, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat
2) Melaksanakan urusan administrasi di bidang kerjasama
3) Melaksanakan registrasi dan statistik
4) Melaksanakan sarana administrasi pendidikan
BAA terdiri atas:
1) Bagian Pendidikan bertugas melaksanakan administrasi pendidikan
dan evaluasi, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2) Bagian Kerjasama bertugas melaksanakan administrasi kerjasama.
b. Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK)
Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) adalah unsur
pembantu pimpinan di bidang administrasi umum dan keungan yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Rektor.
BAUK mempunyai tugas memberikan pelayanan administrasi umum
dan keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut BAUK mempunyai
fungsi:
1) Melakukan urusan tata usaha, rumah tangga, hukum, dan tata
laksana
2) Melaksanakan administrasi kepegawaian
3) Melakukan administrasi keuangan
51
4) Melaksanakan administrasi perlengkapan
BAUK terdiri atas:
1) Bagian Tata Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana
mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga,
hukum, dan tata laksana. Untuk melaksanakan tugas tersebut Tata
Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana mempunyai
fungsi:
Melaksanakan ketatausahaan
Melaksanakan urusan rumah tangga
Melaksanakan hukum dan tata laksana
2) Bagian Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan urusan
kepegawaian. Untuk melaksanakan tugas tersebut bagian
kepegawaian mempunyai fungsi:
Melaksanakan administrasi tenaga akademik
Melaksanakan administrasi tenaga administratif
3) Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan administrasi
keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret. Untuk
melaksanakan tugas tersebut bagian keuangan mempunyai fungsi:
Melaksanakan administrasi anggaran rutin dan
megkoordinasikan anggaran keuangan
Melaksanakan administrasi dana yang berasal dari masyarakat
Melaksanakan monitoring dan evaluasi
52
4) Bagian Perlengkapan mempunyai tugas melaksanakan administrasi
perlengkapan. Untuk melaksanakan tugas tersebut bagian
perlengkapan mempunyai fungsi:
Melaksanakan administrasi pengadaan dan pemeliharaan
perlengkapan
Melaksanakan inventarisasi dan mempersiapkan usul
penghapusan barang perlengkapan
c. Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK)
Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK) adalah unsur
pembantu pimpinan di bidang kemahasiswaan yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada rektor. BAK mempunyai
tugas memberikan pelayanan administrasi kemahasiswaan. Untuk
dapat melaksanakan tugas tersebut BAK mempunyai fungsi:
1) Melaksanakan administrasi minat, penalaran, dan informasi
kemahasiswaan
2) Melaksanakan layanan kesejahteraan mahasiswa
BAK terdiri atas:
1) Bagian Minat, Penalaran, dan Informasi Kemahasiswaan bertugas
melaksanakan administrasi minat, penalaran, fasilitas, dan
informasi kemahasiswaan.
2) Bagian Kesejahteraan bertugas melaksanakan layanan
kesejahteraan mahasiswa.
53
d. Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI)
Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI)
adalah unsur pembantu pimpinan di bidang perencanaan dan sistem
informasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Rektor. BAPSI mempunyai tugas melaksanakan layanan
administrasi perencanaan dan sistem informasi. Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, BAPSI mempunyai fungsi:
1) Melaksanakan administrasi perencanaan akademik.
2) Melaksanakan administrasi sistem informasi.
BAPSI terdiri atas:
1) Bagian Perencanaan bertugas melaksanakan administrasi
perencanaan akademik dan fisik.
2) Bagian Sistem Informasi bertugas melaksanakan administrasi
sistem informasi.
5. Fakultas
Fakultas adalah unsur pelaksana akademika yang melaksanakan
tugas pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret yang berada di bawah
Rektor. Fakultas dipimpin oleh Dekan yang bertanggung jawab langsung
kepada Rektor. Dalam melaksanakan tugas, Dekan dibantu oleh tiga orang
Pembantu Dekan. Fakultas mempunyai tugas mengkoordinasi dan
melaksanakan pendidikan akademika dan profesional dalam satu atau
seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian tertentu.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, fakultas mempunyai fungsi:
54
a. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan
b. Melaksanakan penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian
c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
d. Melaksanakan pembinaan civitas akademika
e. Melaksanakan urusan tata usaha fakultas
Menurut pasal 10, fakultas terdiri dari:
a. Dekan dan Pembantu Dekan
1) Dekan mempunyai tugas memimpin, menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, membina
tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi, dan
administrasi fakultas, dan bertanggung jawab kepada Rektor.
2) Pembantu Dekan terdiri atas:
a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut
Pembantu Dekan I yang mempunyai tugas membantu Dekan
dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi yang selanjutnya disebut
Pembantu dekan II yang mempunyai tugas membantu Dekan
dalam memimpin dalam pelaksanaan kegiatan di bidang
keuangan dan administrasi umum.
c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya
disebut Pembantu Dekan III yang mempunyai tugas membantu
55
Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan
layanan kesejahteraan mahasiswa.
b. Senat Fakultas
Senat fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi
di lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan
kebijakan dan peraturan universitas. Senat fakultas terdiri atas guru
besar, pimpinan fakultas, ketua jurusan, dan wakil dosen. Senat
fakultas diketuai oleh Dekan yang dibantu oleh seorang sekretaris
senat yang dipilih diantara anggotanya.
c. Jurusan/ Bagian
Jurusan atau bagian adalah unsur pelaksana akademik pada
fakultas di bidang studi tertentu yang berada dibawah Dekan. Jurusan
atau bagian mempunyai tugas melaksanakan pendidikan akademika
dan professional dalam sebagian atau satu cabang ilmu, pengetahuan,
teknologi, dan kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada ketua
jurusan/ bagian. Jurusan atau bagian dipimpin oleh ketua jurusan yang
dipilih diantara dosen dan bertanggung jawab langsung kepada Dekan.
Dalam melaksanakantugas sehari-hari, ketua jurusan/ bagian dibantu
oleh seorang sekretaris jurusan/ bagian.
d. Laboratorium
Laboratorium merupakan perangkat penunjang pelaksanaan
pendidikan pada jurusan atau bagian dalam pendidikan akademika dan
professional. Laboratorium mempunyai tugas melakukan kegiatan
56
dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian tertentu
sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok jurusan/ bagian sesuai
dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.
e. Dosen
Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan
melatih mahasiswa serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Dosen terdiri dari dosen biasa, dosen luar biasa dan dosen
tamu, dengan jenis dan kepangkatan dosen tersebut menyesuaikan
peraturan perundang-undangan.
f. Bagian Tata Usaha (TU)
Bagian Tata Usaha (TU) mempunyai tugas melaksanakan
administrasi umum, perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pendidikan di fakultas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut tata
usaha mempunyai fungsi:
a) Melaksanakan administrasi umum dan perlengkapan
b) Melaksanakan administrasi keuangan dan kepegawaian
c) Melaksanakan administrasi pendidikan
d) Melaksanakan administrasi kemahasiswaan dan alumni
Bagian TU dari masing-masing fakultas terdiri dari:
a) Sub Bagian Pendidikan bertugas melakukan administrasi
pendidikan.
b) Sub Bagian Umum dan Perlengkapan bertugas melakukan urusan
tata usaha, rumah tangga dan perlengkapan.
57
c) Sub Bagian Keuangan dan kepegawaian bertugas melakukan
administrasi keuangan dan kepegawaian.
d) Sub Bagian Kemahasiswaan bertugas administrasi kemahasiswaan
dan alumni.
Universitas Sebelas Maret memiliki sembilan fakultas, yaitu:
Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas
Ekonomi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
6. Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret memiliki 1 program pasca sarjana
dengan rincian 24 program studi jenjang S2, 11 prodi Pendidikan Dokter
Spesialis I, 4 prodi jenjang S3, 1 prodi profesi, dan 9 prodi keahlian.
7. Lembaga Penelitian dan Pengembangan
a. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas
pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret di bidang penelitian dan
pengabdian masyarakat dibawah Rektor. Kedudukan LPPM adalah
untuk memfasilitasi dan mendukung aktivitas pusat untuk melakukan
perannya sebagai produksi ilmu pengetahuan. LPPM terdiri dari 18
pusat, yaitu:
1) Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKwu)
58
2) Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)
3) Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW)
4) Pusat Penelitian Kependudukan (PPK)
5) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPARI)
6) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual
(PPHKI)
7) Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (PPPG)
8) Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Biodiversitas (PPPBB)
9) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Gizi dan Kesehatan
Masyarakat (PPPGKM)
10) Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah
(PUSLITDESGANDA)
11) Pusat Kajian dan Pengembangan Teknologi dan Kolaborasi
Industri (PKPTKI)
12) Pusat Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat (PPMM)
13) Pusat Pengkajian Kebijakan Daerah dan Kelembagaan (PPKDK)
14) Pusat Penelitian Rehabilitasi dan Remediasi (PPRR)
15) Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (PPPKHANKAM)
16) Pusat Penelitian dan Pengembangan Olah Raga (PUSLITBANG
OR)
17) Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)
59
18) Pusat Studi Kesehatan Seksual (PPSKS)
(Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret 2007)
b. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP)
Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) terus berupaya
mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas dan meningkatkan
mutu akademik Universitas Sebelas Maret, antara lain melalui
peningkatan kualitas dan materi pengajaran, penyempurnaan sistem
pembelajaran yang mengarah pada belajar aktif dan mandiri serta
penyempurnaan evaluasi belajar mengajar. Dalam pengembangan misi
tersebut LPP dibantu oleh 2 pusat, yaitu: Pusat Pengembangan Sistem
Pembelajaran (PPSP) dan Pusat Bimbingan dan Konseling dan
Pembinaan Karier (PBKPK).
8. Unsur Penunjang Akademik
Universitas Sebelas Maret memiliki unit-unit penunjang
pendidikan, antara lain adalah UPT Pusat Komputer, UPT Perpustakaan,
UPT Pelayanan dan Pengembangan Bahasa (P2B), UPT Laboratorium
MIPA Pusat, UPT UNS Press, UPT Mata Kuliah Umum.
9. Kantor Humas dan Kerjasama
Kantor Humas dan Kerjasama merupakan kantor yang menangani
hal komunikasi dengan pihak eksternal, pengenalan dan pencitraan
universitas, serta menjalin kerjasama dengan berbagai instansi baik
instansi pemerintah, swasta, masyarakat, yayasan atau organisasi
kemasyarakatan serta media massa. Bagian Humas dan Kerjasama
60
memiliki kantor yang terpisah karena pembagian kerja di antara keduanya
memiliki perbedaan. Fungsi Humas hanya sebagai fasilitator karena kerja-
kerja humas bersifat fungsional sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh
bagian kerjasama.
10. Kantor Penjaminan Mutu
Kantor Penjaminan Mutu merupakan kantor yang memiliki fungsi
dalam aspek pengelolaan manajemen serta kualitas produk akademik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik
kepercayaan masyarakat terus dibangun melalui upaya-upaya penjaminan
kualitas secara berkelanjutan yang dimplementasikan dengan
menyempurnakan sistem akuntabilitas kinerja secara terukur, terprogram
dan transparan.
C. Jumlah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta
1. Jumlah mahasiswa Program S1 Reguler Universitas Sebelas Maret tahun
akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010
Tabel 1
Jumlah Mahasiswa S1 Regular UNS
FAKULTAS
Tahun Akademik
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa 268 296 280 387 346
ISIP 284 278 274 314 235
Hukum 268 250 244 348 380
61
Ekonomi 278 305 296 403 343
Kedokteran 244 293 299 314 298
Pertanian 309 432 380 419 397
Tehnik 272 387 443 525 371
KIP 640 826 911 1930 1721
MIPA 174 236 284 370 342
UNS 2737 3303 3411 5010 4433
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Jumlah mahasiswa Program Diploma Universitas Sebelas Maret tahun
akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010
Tabel 2
Jumlah Mahasiswa Diploma UNS
FAKULTAS
Tahun Akademik
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa 399 359 333 273 279
ISIP 412 373 357 394 399
Ekonomi 443 500 534 555 570
Kedokteran 225 65 274 245 239
Pertanian 125 110 88 138 139
Tehnik 234 220 240 287 226
MIPA 141 146 209 266 302
UNS 1979 1773 2035 2158 2154
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
62
3. Jumlah mahasiswa Program S1 Non Reguler Universitas Sebelas Maret
tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010
Tabel 3
Jumlah Mahasiswa S1 Non Regular UNS
FAKULTAS
Tahun Akademik
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa 43 87 81 0 0
ISIP 176 183 207 0 135
Hukum 130 130 170 0 0
Ekonomi 274 307 284 0 196
Pertanian 61 56 105 0 22
Tehnik 168 197 223 0 51
KIP 0 367 687 127 360
UNS 852 1327 1775 127 764
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Jumlah mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010
Tabel 4
Jumlah Mahasiswa Pasca Sarjana UNS
FAKULTAS
Tahun Akademik
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Pasca Sarjana 419 456 1007 688 1622
Pasca Sarjana (S3) 0 0 0 0 53
UNS 419 456 1007 688 1675
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
63
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Profil informan
Pada bagian ini akan dideskripsikan mengenai profil informan
yang menunjukkan adanya kekerasan dalam pacaran dalam kehidupan
mereka ataupun kehidupan orang di sekitarnya yang mereka ketahui. Para
informan ini akan menguraikan penyebab dan dampak sosial kekerasan
dalam pacaran bagi kehidupan pelaku dan korban atau dengan kata lain
para informan diminta untuk menceritakan apa yang mereka ketahui
tentang penyebab sosial dan dampak sosial kekerasan dalam pacaran.
Jawaban para informan ini berasal dari pengalaman pribadi dan
pengetahuan yang mereka peroleh dengan mengamati orang-orang di
sekitarnya yang mengalami kekerasan dalam pacaran baik sebagai korban
ataupun pelaku. Dalam penelitian ini informan yang diambil adalah
pasangan kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) dan orang-
orang di sekitar pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran (dalam hal ini
teman dekat korban atau pelaku) yang mengetahui peristiwa tersebut
berikut penyebab dan dampak sosialnya bagi kehidupan pelaku dan
korban. Informan dalam penelitian ini adalah tiga pasangan kekerasan
dalam pacaran dan tiga orang teman dekat mereka. Adapun profil
informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
64
a. Informan 1
Informan pertama dalam penelitian ini adalah pasangan Adit
dan Mala. Adit berumur 23 tahun sedangkan Mala selisih satu tahun di
bawahnya. Mereka sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adit pada program Sarjana (S1)
Non Regular Fakultas Teknik dan Mala program Diploma (D3)
Fakultas Pertanian. Saat ini Adit tinggal di salah satu rumah kos di
kawasan Intitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sedangkan Mala tinggal
di sebuah rumah kontrakan di Jl. Ki Hajar Dewantara di samping
keduanya masih tinggal di rumah kedua orang tuanya masing-masing
di Purwodadi dan Boyolali.
Adit mulai mengenal Mala ketika mereka bertemu di counter
hp milik teman Adit. Mereka berteman dan kurang lebih sebulan
kemudian mereka menjalin hubungan pacaran. Intensitas pertemuan
mereka setelah menjalin hubungan pacaran cukup tinggi, hampir setiap
hari mereka bertemu. Gaya pacaran mereka adalah pacaran di kamar
karena mayoritas waktu pertemuannya dihabiskan di kamar kos Adit.
Hal ini mereka lakukan karena menurut pendapat mereka pacaran di
kamar lebih terjaga privacy-nya. Aktivitas dating mereka antara lain
ngobrol, nonton televisi, bermain game, mengerjakan tugas kuliah
bersama, dll. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas dating di luar
seperti jalan-jalan, nonton film di bioskop, hang out atau makan.
Hubungan Adit dan Mala telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun.
65
Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah kurangnya
pengertian satu sama lain dan meningkatnya sensitivitas masing-
masing karena intensitas pertemuan yang tinggi. Sensitivitas yang
tinggi ini sangat berpotensi menimbulkan konflik diantara keduanya.
1) Aktivitas
Aktivitas Mala sehari-hari adalah kuliah, mengerjakan
Tugas Akhir, menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah
kontrakan, hang out dengan teman-teman kampus atau teman-
teman satu kontrakan, dan dating. Hobby Mala adalah nyalon dan
shoping.
Mala tidak aktif di organisasi kemahasiswaan di
kampusnya karena ia kurang berminat dengan hal tersebut, begitu
pula dengan Adit. Namun di rumah mereka mengikuti organisasi
kepemudaan walaupun tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan
organisasi tersebut.
Kegiatan Adit tidak jauh berbeda dengan Mala; kuliah,
menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di kos, hang out bersama
teman-teman, menghabiskan waktu bersama Mala dan hobbynya
adalah bermain game online di salah satu game center di Jl. Surya
Utama belakang kampus UNS.
2) Latar belakang keluarga
Adit merupakan anak sulung dari tiga bersaudara dengan
dua orang adik laki-laki, sedangkan Mala anak kedua dari empat
66
bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan dua orang adik
laki-laki.
Keduanya berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang
tua Mala adalah pengrajin tembaga yang cukup sukses di daerah
Cepogo, Boyolali sedangkan ayah dan ibu Adit adalah seorang
pegawai negeri sipil (PNS).
3) Latar belakang agama
Keluarga Adit adalah penganut agama yang kurang taat.
Adit memaparkan bahwa ayah dan ibunya jarang melaksanakan
salat walaupun keduanya beragama Islam. Orang tua Adit juga
membebaskan Adit dan adik-adiknya untuk mengerjakan ibadah
atau tidak.
Mala berasal dari keluarga dengan latar belakang agama
yang kuat. Ayah dan Ibu Mala rajin melaksanakan ibadah seperti
salat, puasa, dll. Mereka juga menghimbau anak-anaknya yang
perempuan untuk mengenakan jilbab.
4) Karakter informan
Berdasarkan keterangan dari Nia, teman dekat Mala yang
menjadi informan kedua dalam penelitian ini, Adit memiliki
karakter yang cuek. Hal itu juga terlihat dari cara dia berpakaian
yang santai. Sedangkan Mala adalah orang yang baik dan suka
menolong, namun terkadang ia bersikap keras kepada Adit, tambah
Nia dalam keterangannya. Sifat Mala yang suka menolong juga
67
tampak ketika Peneliti memintanya untuk menjadi informan dalam
penelitian ini, dia langsung menyetujuinya dan memberikan waktu
kepada Peneliti untuk melakukan wawancara.
5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran
Dalam menjalani hubungan ini Adit dan Mala membuat
komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya. Komitmen-
komitmen tersebut meliputi: saling menghargai, setia dan saling
percaya. Ketiga komitmen tersebut dibuat agar hubungan mereka
dapat berjalan dengan lancar. Namun, seiring berjalannya waktu
komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Ketika terjadi pelanggaran komitmen, akan terjadi
konflik yang menyulut kemarahan salah satu pihak terhadap pihak
yang melanggar komitmen tersebut. Kemarahan ini akan
memuncak dan terjadilah kekerasan dalam pacaran. Adit dan Mala
sama-sama pernah menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam
pacaran.
Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Adit dan
Mala adalah sebagai berikut:
a) Kekerasan Fisik (Physical Abuse)
Adit pernah memukul, mencubit Mala hingga memar-
memar, menendang, mendorong sekuat tenaga, menonjok dan
mencekik.
68
Sedangkan Mala pernah mencubit Adit hingga memar-
memar, menampar, memukul, dan mendorong sekuat tenaga.
Kesemuanya itu merupakan tindakan pelecehan fisik
yang menimbulkan rasa takut dan menjadi suatu tekanan
tersendiri bagi korban. Pelaku kekerasan tidak menghargai dan
menjaga fisik pasangannya tetapi sebaliknya malah
melukainya.
b) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)
Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan
Adit adalah mencaci maki dengan kata-kata kasar, membuat
Mala merasa bersalah, intimidasi dengan menggertak dan
merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga
membuat Mala ketakutan.
Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan
Mala adalah cemburu yang berlebihan, memaksa pasangannya
untuk tidak melakukan kegiatan yang disukai (melarang Adit
bermain game online kesukaannnya dengan ancaman akan
ditinggalkan), dan melanggar privasi dengan men-sweeping
handphone Adit.
Kesemuanya itu termasuk pelecehan psikologis karena
pelaku tidak menjaga kondisi psikologis korban yang
merupakan pasangannya tetapi malah memberikan berbagai
69
tekanan dengan tindakan kekerasan emosional sehingga korban
terganggu kestabilan psikologisnya.
6) Solusi setelah terjadi kekerasan
Dalam menghadapi kekerasan yang terjadi dalam
hubungannya, Adit dan Mala beranggapan bahwa hubungan
mereka didasari perasaan yang positif (cinta dan kasih sayang),
sehingga ketika pasangannya marah, mereka berpikir karena
pasangannya memang sedang lelah, kesal, bad mood atau mungkin
karena kesalahan mereka sendiri, sehingga pasangannya marah.
Yang kemudian mucul adalah perasaan menyalahkan diri sendiri
dan merasa pantas diperlakukan seperti itu. Karena itu, setelah
terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka dan emosi telah
mereda, hubungan Adit dan Mala akan kembali seperti semula.
Adit dan Mala sama-sama menyadari bahwa keduanya
memiliki kecenderungan untuk berbuat kasar terhadap
pasangannya namun mereka berusaha untuk sedikit demi sedikit
menghilangkan kebiasaan buruknya tersebut dan lebih bijaksana
dalam menghadapi masalah serta lebih menghargai satu sama lain.
b. Informan 2
Informan berikutnya adalah Nia. Nia adalah teman dekat Mala.
Mereka mulai berteman semenjak Nia pindah dari tempat kosnya yang
lama ke rumah kontrakan yang sama dengan Mala. Nia yang
merupakan sulung dari dua bersaudara ini saat ini masih berstatus
70
sebagai mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Saat ini Nia sedang sibuk menyusun skripsi untuk menyelesaikan
program sarjananya.
Nia yang asli Salatiga ini mengetahui terjadinya kekerasan
dalam hubungan Adit dan Mala dari cerita Mala kepadanya. Selain itu,
beberapa kali Nia menemukan luka memar dan lebam pada tubuh
Mala. Terkadang Mala juga terlihat begitu tertekan. Berdasarkan cerita
Mala dan pengamatan Nia kekerasan yang terjadi antara Adit dan Mala
adalah kekerasan emosional dan fisik.
Di mata Nia, Mala adalah seorang teman yang baik dan suka
menolong. Namun, Mala terkadang bersikap keras kepada
pasangannya. Berdasarkan pengamatan Nia, Mala menjadi seperti itu
karena orang tuanya yang keras dan kurang memperhatikannya.
c. Informan 3
Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian
ini adalah Ryan dan Tata. Keduanya saat ini ia berumur 22 tahun.
Ryan telah menyelesaikan pendidikan diplomanya (D1) di salah satu
akademi swasta di Surakarta dan saat ini bekerja di Batam. Sedangkan
Tata masih berstatus sebagai mahasiswi program diploma (D3) di
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan bekerja di salah satu bank swasta di kota Solo.
71
Saat ini Ryan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Batam. Ia
bermukim disana sejak kuliah D-1nya selesai dan bekerja disana. Ryan
pulang ke daerah asalnya di Boyolali hanya pada hari Raya Idul Fitri.
Sedangkan Tata bertempat tinggal di rumah kos di daerah Ngoresan
disamping tinggal di rumah orang tuanya. Kebanyakan waktu Tata
dihabiskan di Solo karena tuntutan pekerjaan dan kuliahnya. Hanya
pada akhir pekan Tata pulang ke Boyolali.
Ryan dan Tata berteman sejak kelas 2 SMA. Mereka menjalin
hubungan pacaran hanya selisih beberapa bulan setelah keduanya
berkenalan. Mereka telah menjalin hubungan selama kurang lebih 5
tahun. Pada awalnya mereka menjalin hubungan layaknya remaja lain
dengan intensitas pertemuan yang cukup sering, apalagi mereka
bersekolah di SMA yang sama. Hingga akhirnya gaya pacaran mereka
berubah menjadi long distance relationship (hubungan jarak jauh)
semenjak Ryan diterima bekerja di Batam. Intensitas pertemuan
mereka sangat jarang, hanya setahun sekali ketika Ryan pulang ke
Boyolali pada saat hari raya Idul Fitri, namun komunikasi lewat
berbagai media terus berjalan. Aktifitas dating mereka ketika jauh
hanyalah berbicara lewat telepon, mengirim message melalui sms atau
email dan facebook’an. Sedangkan aktifitas dating mereka kertika
bertemu antara lain jalan-jalan, nonton bioskop, makan, atau hang out
berdua.
72
Kendala yang mereka hadapi dalam menjalin hubungan jarak
jauh cukup banyak seperti rentan terjadi kesalahfahaman, godaan dari
pihak ketiga, dan meningkatnya sensitivitas masing-masing karena
banyak kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasangan yang berada
jauh dari pasangannya.
1) Aktivitas
Aktivitas Ryan di Batam adalah bekerja di salah satu pabrik
di kota Batam, melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah
kontrakannya, dan terkadang jalan-jalan dengan teman-temannya
pada saat ia libur bekerja. Dan aktivitas Tata setiap harinya adalah
bekerja di kantornya yang terletak di Jl. Slamet Riyadi Surakarta,
mengerjakan Tugas Akhir, melakukan pekerjaan sehari-hari di kos,
dan jalan-jalan dengan teman-teman kampus atau teman-teman
kosnya.
Saat ini Ryan tidak mengikuti kegiatan organisasi apa pun
di tempat perantauannya sedangkan Tata walaupun tidak mengikuti
organisasi kemahasiswaan di kampusnya, di rumah ia aktif sebagai
pengurus RISMA (Remaja Islam Masjid) dan Karang Taruna.
2) Latar belakang keluarga
Ryan dan Tata merupakan anak sulung dalam keluarganya,
masing-masing dari dua bersaudara dengan satu orang adik laki-
laki dan tiga bersaudara dengan dua orang adik laki-laki.
73
Berdasarkan keterangan dari Ana, teman dekat Tata, Tata
berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang cukup
berada, ayahnya adalah seorang wiraswastawan yang sukses.
Sedangkan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang
ekonomi yang lebih sederhana, orang tua Ryan juga
wiraswastawan tetapi tidak sesukses orang tua Tata.
3) Latar belakang agama
Tata dan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang
agama yang kuat, terutama Tata. Kakek Tata adalah seorang Kyai
Nahdhatul Ulama di daerahnya. Bahkan rumah Tata digunakan
sebagai kantor cabang Nahdhatul Ulama. Orang tua Ryan dan Tata
juga penganut agama yang taat. Mereka rajin mengerjakan ibadah
wajib dan sunah dalam agamanya seperti salat, puasa sunah dan
wajib, tadarus Al-Qur’an, pengajian, dll.
4) Karakter informan
Berdasarkan keterangan dari Ana, sahabat Tata yang sudah
mengenal Ryan dan Tata sejak SMA, Ryan dan Tata memiliki
karerakter yang tidak jauh berbeda. Keduanya adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap pekerjaan, rajin beribadah, dan
humoris. Berdasarkan pengamatan peneliti, karakter informan yang
rajin beribadah terlihat ketika wawancara peneliti dengan Tata
terhenti karena Tata ingin mengerjakan salat terlebih dahulu.
Karakter Ryan yang bertanggung jawab terlihat ketika ia menolak
74
untuk diwawancara pada saat bekerja dan meminta untuk
wawancara di lain waktu ketika ia sedang free. Dalam pengamatan
Peneliti, hal ini menunjukkan bahwa Ryan bertanggung jawab atas
pekerjaannya dan ia bertanggung jawab pula atas kesediaannya
menjadi informan dalam penelitian ini.
5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran
Dalam hubungan yang dijalani Ryan dan Tata terdapat
beberapa komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya, meliputi
komitmen untuk saling menjaga kepercayaan, keseriusan menjalani
hubungan, berusaha memenuhi permintaaan pasangannya dan yang
utama adalah komitmen untuk menikah. Fungsi utama dari
komitmen tersebut adalah agar tidak saling menyakiti satu sama
lain dan untuk membuktikan keseriusan keduanya. Namun, seiring
berjalannya waktu komitmen-komitmen tersebut tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya walaupun keduanya telah berusaha
untuk menaatinya. Ryan merupakan korban kekerasan emosional
dalam pacaran, begitu pula dengan Tata.
Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Ryan dan
Tata adalah:
a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)
Interaksi yang terbatas membuat keduanya menjadi
kurang bisa mengerti kesibukan satu sama lain dan membuat
keduanya sering bertengkar karena salah paham. Pada akhirnya
75
Ryan menjadi possesif. Akibatnya Tata sering mengalami
kekerasan non fisik atau kekerasan emosional. Ryan sering
merasa cemburu yang berlebihan, pemaksaaan untuk tidak
melakukan kegiatan yang disukai bahkan kegiatan akademis
sekalipun, caci maki, dan pemberian julukan yang mengandung
olok-olok juga pernah dilontarkan Ryan kepada Tata ketika
sedang marah.
Kekerasan ini menimbulkan perasaan tertekan, tidak
bebas dan tidak nyaman pada diri Tata. Begitu pula dengan
Tata, tidak sekali dua kali ia membuat Ryan merasa tertekan
karena tidak bersedia menuruti permintaannya. Menurut Ryan,
dia sudah lelah bekerja di tempat yang jauh dengan jam kerja
yang cukup padat demi masa depannya dengan Tata tetapi Tata
tidak bisa memenuhi harapannya. Ryan merasa kecewa hingga
tertekan batinnya.
Yang terjadi disini adalah pelecehan psikologis dimana
pelaku memberikan tekanan yang mengganggu keadaan
psikologis korban, padahal seharusnya ia menjaga keadaan
psikologis pasangannya.
6) Solusi setelah terjadi kekerasan
Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, pada
awalnya mereka akan meminta untuk putus seperti kesepakatan
awal bahwa jika terjadi pelanggaran komitmen hukumannya adalah
76
pemutusan hubungan tersebut, tetapi kemudian hubungan mereka
akan membaik ketika pihak yang bersalah bersedia minta maaf dan
memperbaiki kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahannya tersebut.
Ryan dan Tata menanggapi kekerasan emosional dalam
hubungannya sebagi suatu hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam
hubungan orang berpacaran. Mereka beranggapan bahwa
hubungan mereka didasari perasaan yang positif untuk tujuan yang
positif juga. Hal-hal buruk yang terjadi di dalamnya mereka
anggap sebagai ujian bagi keberlangsungan hubungan mereka.
d. Informan 4
Informan selanjutnya adalah Ana. Dia adalah teman dekat Tata
dan Ryan. Mereka bersekolah di SMA yang sama dan saat ini Tata dan
Ana tinggal di tempat kos yang sama. Ana yang masih berstatus
mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) Fakultas Ekonomi di
Universitas Sebelas Maret Surakarta ini berumur 22 tahun.
Kegiatannya saat ini adalah menyusun skripsi untuk menyelesaikan
program sarjananya.
Sulung dari tiga bersaudara ini sudah berteman lama dengan
Tata dan Ryan tetapi mulai mengetahui terjadinya kekerasan dalam
hubungan Tata dengan Ryan sejak ia tinggal dengan Tata di tempat
kos yang sama. Di matanya, hubungan Tata dan Ryan berjalan dengan
baik tetapi sering diwarnai dengan pertengkaran. Beberapa kali Ana
77
mendapati temannya itu menangis setelah bertengkar dengan pacarnya.
Tata juga sering bercerita kepadanya tentang hubungannya dengan
Ryan. Berdasarkan cerita Tata dan pengamatan Ana, Ana
menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi antara Ryan dan Tata
adalah kekerasan emosional.
e. Informan 5
Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian
ini adalah Affan dan Tya. Affan berumur 25 tahun dan Tya selisih dua
tahun di bawahnya. Affan bekerja sebagai operator warnet di daerah
tempat tinggalnya sedangkan Tya adalah mahasiswi tingkat akhir
program sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Saat ini Affan dan Tya tinggal di rumah orang tuanya masing-
masing di Kota Klaten. Mereka pertama kali bertemu saat Tya masih
duduk di bangku SMA. Mereka bertemu ketika Tya mengunjungi salah
satu salon di kotanya itu yang pada saat itu juga merupakan tempat
kerja Affan. Hubungan mereka berlanjut hingga beberapa bulan
kemudian mereka resmi menjalin hubungan pacaran. Hubungan
mereka telah berjalan dalam hitungan tahun dan putus-nyambung
selama beberapa kali.
Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah masalah
pengertian dan penerimaan satu sama lain. Aktivitas dating mereka
78
jalan-jalan, nonton bioskop, makan dan terkadang Tya menemani
Affan bekerja.
1) Aktivitas
Aktivitas Tya saat ini adalah mencari pekerjaan karena dia
telah menyelesaikan skripsinya dan hanya tinggal menunggu
wisuda. Selain itu, aktivitas lainnya adalah aktivitas rutin sehari-
hari seperti menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah, hang
out dengan teman-temannya, dan menghabiskan waktu dengan
pacarnya dengan berbagai kegiatan.
Tya tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan di
kampusnya atau organisasi serupa di luar. Sejak SD dia tidak
berminat untuk mengikuti organisasi-organisasi formal dalam
lingkungan sekolah kecuali diwajibkan. Sedangkan Affan hanya
mengikuti organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya.
Kegiatan Affan sehari-hari adalah bekerja sebagai operator
warnet di salah satu warnet di Kota Klaten, menyelesaikan
pekerjaan sehari-hari di rumah, hang out bersama teman-teman
atau pacarnya.
2) Latar belakang keluarga
Affan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan
seorang adik perempuan. Sedangkan Tya yang merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan
seorang adik perempuan.
79
Dari segi ekonomi, keluarga Affan tergolong keluarga
sederhana. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan orang tua Affan
yang bekerja wiraswasta untuk membiayainya kuliah. Affan hanya
bersekolah hingga SMA dan harus bekerja setelah lulus SMA.
Sedangkan Tya berasal dari keluarga yang cukup berada, ayahnya
adalah seorang pengusaha dan ibunya bekerja sebagai PNS. Hal ini
juga tampak dari keseharian Tya yang sering bergonta ganti mobil
serta hobby-nya berbelanja.
3) Latar belakang agama
Affan dan Tya berasal dari keluarga penganut agama yang
cukup taat. Keluarga mereka taat melaksanakan ibadah seperti salat
dan puasa.
4) Karakter informan
Berdasarkan keterangan dari Sari, teman dekat Tya, Tya
adalah orang yang terbuka, royal dan humoris, namun Tya
memiliki sifat buruk yaitu agak sombong. Dan menurut Sari lagi,
Affan memiliki karakter yang kurang baik. Affan sering bersikap
genit di tempat kerjanya kepada user warnet yang dianggapnya
menarik, Affan juga orang yang pelit.
5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran
Dalam hubungan yang dijalani Affan dan Tya terdapat
beberapa komitmen yang meliputi komitmen untuk saling setia,
keseriusan menjalani hubungan, dan menikah. Fungsi utama dari
komitmen-komitmen tersebut adalah agar hubungan keduanya
80
dapat berjalan dengan baik dan langgeng. Seiring berjalannya
waktu, komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Kurangnya pengertian diantara keduanya
membuat mereka sering bertengkar. Tya dan Affan sama-sama
merupakan korban dan pelaku kekerasan dalam pacaran.
Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Affan dan
Tya adalah sebagai berikut:
a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)
Kekerasan emosional yang pernah dilakukan Affan
kepada Tya adalah kurangnya perhatian Affan kepada Tya,
sikap Affan yang menginginkan Tya selalu ada ketika dia
butuh tetapi dia tidak jarang ada ketika Tya membutuhkannya,
serta pemerasan (pemaksaan pemberian kebutuhan ekonomi).
Selain itu sikap Affan yang sering dekat dengan perempuan
lain membuat Tya merasa marah, cemburu dan tertekan.
Sedangkan kekerasan emosional yang pernah dilakukan
Tya kepada Affan adalah cemburu berlebihan, possesif
(pemaksaan untuk tidak bergaul dengan teman lain jenis),
ketidakjujuran, dan mempermalukan nama baik Affan di depan
umum (melalui facebook).
Pelecehan yang terjadi dalam hubungan Affan dan Tya
adalah pelecehan psikologis dimana keduanya menyakiti psikis
pasangannnya dengan berbagai tindakan kekerasan emosional
hingga pembunuhan karakter.
81
6) Solusi setelah terjadi kekerasan
Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, dan
pertengkaran mereda. Akan ada dua pilihan untuk ke depannya,
memutuskan hubungan atau salah satu pihak mengakui kesalahan
dan bersedia meminta maaf. Beberapa kali Affan dan Tya
mengambil permintaan maaf untuk menyelesaikan konflik ini
sehingga hubungan mereka berjalan kembali. Namun, beberapa
kali pula pemutusan hubungan yang mereka ambil sebagai jalan
keluar. Namun setelah terjadinya perpisahan, dalam jangka waktu
yang tidak lama mereka akan segera bersama-sama lagi karena
keduanya mengaku masih saling menyayangi.
f. Informan 6
Informan terakhir adalah Sari. Dia adalah teman dekat Tya.
Mereka berteman sejak SMA. Mereka bersekolah di SMA yang sama
dan kuliah di universitas yang sama. Sari yang berumur 23 tahun ini
telah menyelesaikan studi S1nya di Fakultas Kedokteran UNS dan saat
ini sedang co ass.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini mulai mengetahui
terjadinya kekerasan dalam hubungan Affan dengan Tya sejak SMA.
Di matanya, Affan hanya memanfaatkan temannya itu. Tya sering
mengeluh kepadan Sari tentang sikap Affan yang cuek dan genit. Sari
menyimpulkan berdasarkan cerita Tya dan pengamatannya, kekerasan
yang terjadi antara Affan dan Tya adalah kekerasan emosional
terutama kekerasan ekonomi.
82
83
84
85
2. Gambaran Umum Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa
Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang
mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik
maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat
dilakukan oleh pria maupun wanita.
Hal khas yang sering muncul dalam kasus-kasus kekerasan dalam
pacaran adalah bahwa korban cenderung lemah dan amat mencintai
pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan
akan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada saat
inilah, karena korban sangat mencintainya dan berharap sang pacar akan
benar-benar insyaf, maka dia serta merta memaafkannya, dan hubungan
diharapkan bisa berjalan lancar kembali. Padahal kekerasan dalam pacaran
ini seperti sesuatu yang berpola, ada siklusnya. Seseorang yang pada
dasarnya memiliki kebiasaan bersikap kasar pada pasangannya, akan
cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah menjadi bagian dari
kepribadiannya, dan merupakan caranya untuk menghadapi konflik atau
masalah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia, teman dekat Mala,
salah satu korban kekerasan dalam pacaran berikut:
“Mala itu udah cinta mati ma pacarnya, jadi mau disakitin ampe
gimana juga tetep aja masih sayang. Padahal dia tu ma cowoknya
sering berantem ampe ngamuk-ngamuk dan saling mukul gitu. Si
Aditnya juga sama aja, sering diamuk Mala tapi tetep aja ga mau
putus. Abis berantem pasti nyesel dan minta maaf, terus baekan
lagi. Gitu-gitu terus dari dulu.”
86
Hal serupa diungkapkan Ana pada wawancara tanggal 9 Maret
2010:
“Tata ma Ryan sering banget berantem. Abis berantem pasti jadi
kacau semua. Tata nangis, males makan. Ryannya juga mabuk-
mabukan. Udah tau gitu masih aja dipertahanin, katanya sech
udah terlanjur sayang.”
Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata
di tubuh korban. Bentuk dari kekerasan fisik ini berupa memukul,
menendang, mendorong sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar
menampar, menonjok, dan mencekik. Seperti dikutip dalam wawancara
dengan Mala berikut:
“Aku pernah dipukul ma pacarku, trus didorong ampe aku jatuh.
Trus pernah ditonjok ma dicekik. Dicubitin ampe memar juga
pernah. Kalau yang aku laku’in ke dia, aku pernah nampar dia,
mukul ma nyubit-nyubit juga pernah. Itu yang aku sadar,
terkadang pas lagi marah banget aku ma dia ampe enggak sadar
pernah ngapain aja. Semuanya terjadi begitu aja kalau udah
kalap.”
2. Kekerasan emosional
Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang
wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan
menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk
kekerasan non fisik ini berupa caci maki, membuat korban merasa
bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi dengan
menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga
membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan, membatasi
87
pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, melanggar privasi,
possesif, pemerasan, dan pencemaran nama baik. Seperti yang
diungkapkan oleh Adit pada petikan wawancara di bawah ini:
“Aku kalau lagi marah jadi kasar ma cewekku, kadang aku maki-
maki dia kalau salahnya udah keterlaluan tapi enggak nyadar-
nyadar juga, biar dia nyadar ma kesalahannya dan enggak
ngulangin lagi. Kalau udah marah banget aku bisa ampe
ngebanting barang-barang juga. Tapi dia juga sering ngelarang-
ngelarang aku maen game online padahal aku suka maen game
online. Dia juga suka buka-buka hpku tanpa seijinku dulu. Jadi
kayak enggak punya privasi lagi.”
Hal yang lain diungkapkan Ryan pada wawancara tanggal 6
Maret 2010 berikut:
“Gara-gara PJJ aku sering ngerasa enggak percaya ma cewekku
jadinya malah jadi possesif dan jealousan.”
Hal yang lain diungkapkan Tya pada wawancara tanggal 10
Maret 2010:
“Cowokku tu kurang perhatian ma ceweknya, dia tu pengen’e
aku selalu ada pas dia butuh, tapi kalau pas aku yang butuh
dianya ngilang. Tu anak enggak modal juga jadi cowok, pelit.
Dari pertama jadian ampe sekarang bisa diitung pake jari kapan
dia ngeluarin duit pas kita lagi jalan. Udah gitu temen-temen
ceweknya banyak, bikin jealous aja.”
Hal yang lain diungkapkan Affan pada wawancara tanggal 14
Maret 2010:
“Cewekku pernah bikin status di fb seolah-olah hubungan kami
tu udah kayak suami istri, aku malu banget gara-gara hal itu.
Foto mesra kami juga dia upload di fb, privasi kami berdua jadi
konsumsi publik.”
Umumnya para remaja korban kekerasan tidak menceritakan
kepada pihak yang berwenang terhadap masalah ini, bahkan kepada orang
88
tuanya. Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang
ada dengan berbagai cara atau dalih.
Kasus kekerasan yang tidak dilaporkan biasanya karena korban
merasa iba karena pelaku memohon maaf sedemikian rupa setelah
melakukan kekerasan, sehingga korban percaya bahwa pelaku benar-benar
menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya. Selain itu juga
karena menganggap hal tersebut masalah privasi diantara mereka berdua
yang tidak seharusnya dicampuri oleh orang lain. Seperti yang
diungkapkan Adit pada wawancara tanggal 7 Maret berikut:
“Enggak perlu dilaporin ke pihak manapun karena itu privasi kami
berdua, kami enggak mau pihak luar ikut campur dalam hubungan
kami. Lagian udah minta maaf juga jadi enggak perlu diperpanjang
lagi. Konflik dalam pacaran kan hal biasa.”
Hal yang senada diungkapkan Mala pada wawancara tanggal 8
Maret 2010 berikut:
“Kasian kalau dilaporin, ntar malah panjang urusannya dan semua
orang jadi tahu. Malu juga kan. Yang penting udah minta maaf dan
nyadarin kesalahannya.”
Kekerasan, apapun bentuknya, adalah suatu hal yang akan
mengakar dan akan terjadi berulang. Sikap menyesal dan pernyataan maaf
yang dilakukan pelaku adalah suatu fase reda dari suatu siklus. Biasanya
setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan
kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut
emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi.
Dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan
mahasiswa sudah muncul adanya saling ketergantungan yang tidak sehat
89
antara pelaku dan korban, korban dating violence menganggap bahwa
perlakuan yang diterimanya adalah wajar sebagai konsekuensi dari sebuah
hubungan.
Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari pelaku
namun selalu saja korban memaafkan dan akhirnya kembali menjalani
hubungan yang tak sehat ini. Pihak-pihak yang terlibat dating violence
mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan
yang normal dalam memaknai pacaran yang sehat. Mereka menganggap
bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka
duka sebuah hubungan.
MATRIK 2
JENIS-JENIS KEKERASAN DALAM PACARAN
No Jenis Kekerasan Bentuk kekerasan
1 Kekerasan fisik Memukul
Menendang
Mendorong sekuat tenaga
Mencubit hingga memar-memar
Menampar
Menonjok
Mencekik
dll
2 Kekerasan non fisik
(emosional)
Caci maki
Membuat korban merasa bersalah dan
menyalahkan diri sendiri terus menerus
Intimidasi dengan menggertak dan
merusak benda-benda yang ada di
sekitarnya sehingga membuat korban
ketakutan
90
Cemburu yang berlebihan
Membatasi pasangannya untuk
melakukan kegiatan yang disukai
Melanggar privasi
Possesif
Pemerasan
Pencemaran nama baik
dll
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
3. Faktor-Faktor Sosial Penyebab Kekerasan dalam Pacaran di
Kalangan Mahasiswa
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, semua
informan yang termasuk pasangan kekerasan dalam pacaran pernah
menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Dan
faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
pacaran di kalangan mahasiswa menurut jurnal ISPSI (2002:148) adalah
sebagai berikut:
a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh
dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional
yang timbul dalam lingkungan keluarga seperti family stress (stress
pada diri individu yang disebabkan oleh permasalahan-permasalhan di
dalam keluarga), yang kurang diperhatikan oleh orang tua memicu
timbulnya permasalahan bagi anak di masa yang akan datang.
Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau
situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi
91
fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada
umumnya.
Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua sebagai
korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect dengan
harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan
sikap disiplin yang ketat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia
berikut:
“Orang tua Mala dua-duanya sama-sama keras. Kalau ibu Mala
kerasnya lewat omongan, beliau sering marah-marahin suami
ma anak-anaknya. Tapi kalau bapaknya Mala kerasnya maen
tangan. Mungkin itu nurun ke Mala, makanya dia jadi tega
ngasarin Adit.”
Hal senada diungkapkan Tata pada wawancara tanggal 12
Maret 2010:
“Orang tuaku banyak nuntut ke aku. Aku harus begini lah
harus begitu lah. Aku enggak krasan di tempat kerjaku yang
sekarang aja enggak dibolehin pindah. Kadang tertekan juga
tapi gimana lagi, namanya juga ma orang tua.”
Stres berasal dari situasi tertentu misalnya krisis ekonomi
dalam keluarga, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut:
“Affan tu keluarganya biasa aja, enggak kaya lah. Buat
nguliahin Affan aja orang tuanya enggak mampu. Sejak
ketemu Tya, tu anak kayak nemu’in tambang emas.”
Hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran (role
model) yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran
yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang
normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam
92
pacaran akan muncul. Walaupun secara logika anak membenci
perilaku kekerasan yang dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi
secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia
menghadapi konflik di saat remaja atau dewasanya. Seperti dikutip
dalam wawancara dengan Ryan berikut:
“Aku dulu waktu kecil sering ngeliat ayahku bentak-bentak ibu
make kata-kata kasar kalau lagi marah.”
Hal senada diungkapkan Mala pada kutipan wawancara
berikut:
“Waktu kecil aku pernah liat bapakku mukul ibu. Kadang
bapak juga mukul, njewer, atau nendang aku ma ade-adeku
kalau kita enggak nurut.”
Semua tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa
merupakan ekspresi perasaan-perasaan yang tertekan yang dialami
selama bertahun-tahun sejak kecil. Ada paradigma salah dalam
mendidik anak. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan
melakukan tindakan keras seperti menjewer, memukul, mencubit, bisa
menekankan disiplin pada diri anak. Padahal sama sekali tidak. Justru
perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam diri anak tersebut,
dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia melakukan
kekerasan serupa atau lebih.
Adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil
merupakan akar kekerasan. Ini terutama karena budaya pengasuhan di
Indonesia yang umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan
terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola
93
kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan
tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak
menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun
tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse (kekerasan) pada waktu
kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser (pelaku kekerasan) juga
ketika dia dewasa.
b. Peer group
Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam
memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar
pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan
dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.
Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mala berikut:
“Kekerasan dalam pacaran itu udah biasa sekarang. Temenku
ada yang gitu juga, bahkan lebih parah dari aku. Jadi aku
nganggepnya bukan hal yang aneh lagi. Udah enggak kaget
juga kalau itu terjadi ma aku. Palagi sering banget ketemunya,
jadinya sering berantem juga.”
Dengan melihat terjadinya kekerasan dalam pacaran yang
terjadi pada teman, individu akan merasa bahwa hal tersebut bukan hal
yang tabu dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hubungan
pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi dalam pacaran akan
meningkat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut:
“Lama-lama udah enggak asing lagi ya ma kekerasan dalam
pacaran. Temen-temenku banyak yang ngalamin, biasanya sech
kekerasan fisik ma emosional. Tapi itu urusan masing-masing.
Aku enggak mau ikut campur kecuali kalau orangnya minta
tolong ma aku. Mau ada kekerasan atau enggak dalam
hubungan mereka udah jadi pilihannya.”
94
c. Media massa
Media seperti televisi, radio, koran, majalah atau internet ikut
berperan dalam membentuk kebiasaan melakukan kekerasan.
Tayangan berita berisi kekerasan seperti demonstrasi mahasiswa,
bentrokan massa dengan aparat pemerintah, kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan dalam pacaran, atau kejahatan yang mengandung
unsur kekerasan; film dan sinetron yang mengandung adegan
kekerasan dan pornoaksi; serta game-game di internet yang
menampilkan adegan kekerasan direkam sangat baik oleh remaja dan
anak-anak. Seperti petikan wawancara dengan Adit di bawah ini:
“Aku biasa liat adegan kekerasan terutama di game. Aku kan
hobby maen game online. Selain itu palingan liat di film-film
action atau berita-berita di tv. Sekarang kan banyak banget
kasus-kasus kekerasan.”
Remaja dan anak-anak akan menganggap bahwa itu semua
wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa. Banyaknya
memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini
bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di
lingkungannya. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam
program siaran televisi dapat memicu tindakan kekerasan terhadap
pasangan.
Hal di atas dikarenakan terjadinya proses belajar sosial.
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang
disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
95
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang
efisien. Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang kekerasan
berpotensi menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para
mahasiswa.
Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh
penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun
reward. Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang
terjadi disekitarnya yang dilakukan oleh sesama mahasiswa tidak
mendapatkan hukuman, melainkan hal sebaliknya maka aksi yang
sama akan dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan
datang. Tidak ada ketegasan dalam menerapkan aturan main yang
seharusnya menjadi kesepakatan bersama bahwa melakukan kekerasan
akan mendapatkan hukuman. Hal ini dapat menimbulkan
kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan dapat membentuk
persepsi terhadap penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa
melakukan kekerasan tidak akan mendapatkan hukuman, maka
mahasiswa akan cenderung menggunakan kekerasan untuk
memperjuangkan kepentingannya. Seperti petikan wawancara dengan
Tya di bawah ini:
“Keras ma pacar kan enggak ada hukumannya, orang hubungan
ini juga enggak ada aturan resminya. Lagian pacar-pacar aku
ini, hak aku juga mau gimana-gimana ma dia.”
d. Kepribadian
Selain pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil, akar
kekerasan yang lain adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku
96
tindak kekerasan. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai
dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai
tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber
mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah
lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang
mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan mereka hanya
memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan
mudah sekali menimbulkan frustrasi. Seperti petikan wawancara
dengan Affan di bawah ini:
“Aku enggak mampu ngikutin gaya hidup cewekku yang serba
wah, ortuku pas-pasan. Aku hidup juga make uangku sendiri.”
Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama
adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut.
Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan
tingkah laku agresi. Keputusan untuk menggunakan salah satu dari
ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku
merasa dirinya lemah/ minoritas ataukah kuat/ mayoritas. Bila dia
merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan
tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.
Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi
apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa
dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi
yang menyebabkan frustrasi. Seperti lanjutan petikan wawancara
dengan Affan di bawah ini:
97
“Karena dia tetep enggak mau aku tinggalin, ya sudah
konsekuensinya dia yang biaya’in hubungan kami. Akunya
enggak ada duit.”
Akar kekerasan berikutnya adalah karena faktor kepribadian.
Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan
kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola
agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini
dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif
bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang
menyebabkannya menjadi frustrasi. Seperti petikan wawancara dengan
Tata di bawah ini:
“Saking deketnya ma Ryan aku jadi lebih sensitif, mudah
tersinggung atau marah kalau dia enggak mau ngasih yang aku
minta. Terus kalau dia marahin aku dan buat aku terpojok, ntar
aku gantian marah ma dia.”
Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga
terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah
kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya.
Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda
dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Para mahasiswa
yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal
yang sama kepada orang lain. Status sebagai pemegang dominasi
dalam hubungan pacaran menyebabkannya berperilaku keras terhadap
pasangannya. Seperti petikan wawancara dengan Ryan di bawah ini:
“Aku kerasnya ma Tata aja, ma orang lain sech santai-santai
aja kalau tu orang enggak bikin masalah ma aku.”
98
Hal senada diungkapkan Affan pada kutipan wawancara
berikut:
“Aku kayak gitu ma cewekku doank, kan gara-garanya dia
juga yang gaya hidupnya mewah ampe enggak kejangkau ma
aku.”
Seseorang yang pada dasarnya punya kebiasaan bersikap kasar
pada pasangan, akan cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah
menjadi bagian kepribadiannya, dan merupakan cara dia untuk
menghadapi konflik atau masalah. Seperti petikan wawancara dengan
Tata di bawah ini:
“Tiap kali berantem pasti maki-maki ma ngomong kasar lagi,
udah kebiasaan.”
Hal senada diungkapkan Nia pada kutipan wawancara berikut:
“Adit ma Mala itu engak pernah kapok. Kalau marahan pasti
maen tangan lagi. Katanya sech uda pengen berubah tapi masih
aja kayak gitu.”
e. Peran jenis kelamin
Dalam berpacaran, wajar jika terjadi konflik atau perselisihan.
Bagaimana seseorang menyikapi konflik akan relasinya dengan lawan
jenis ini dapat dipengaruhi oleh peran jenis kelamin. Dalam
masyarakat kita yang lekat dengan budaya pariarkhi, peran laki-laki
lebih menonjol dalam suatu hubungan dibandingkan perempuan.
Kontrol dan kekuasaan ada di tangan laki-laki. Seperti petikan
wawancara dengan Ryan di bawah ini:
“Pacaran itu kaya suami istri. Pemimpinnya harus tetap laki-
laki biar entar kalau udah beneran jadi istri udah terbiasa
ngormatin suaminya.”
99
Anggapan ini kemudian akan menimbulkan terjadinya
dominasi dalam hubungan. Dominasi yang terjadi dalam suatu
hubungan akan memicu terjadinya konflik yang berbuntut pada
terjadinya kekerasan dalam pacaran. Seperti petikan wawancara
dengan Tya di bawah ini:
“Hubunganku didominasi cowokku makanya kadang dia jadi
seenaknya sendiri.”
Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan
peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-
laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan
perempuan feminine dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang
wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang
agresifitasnya. Pada awalnya perempuan pelaku kekerasan ini tidak
berkeinginan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya,
namun karena tidak mampu lagi menahan emosi, mereka pun
melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Seperti petikan
wawancara dengan Mala di bawah ini:
“Awalnya aku enggak ada niat sama sekali buat kasar ma dia.
Dia yang mulai duluan, ya aku balas. Tapi abis itu kadang-
kadang aku yang mulai kasar duluan kalau lagi marah.”
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan
kekerasan dalam pacaran pada remaja perempuan dan laki-laki dimana
baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama sebagai
pelaku kekerasan, tetapi jika dilihat kuantitas dan kualitas
100
kekerasannya, perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan
laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya
ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut
oleh masyarakat luas. Seperti petikan wawancara dengan Nia berikut:
“Adit ma Mala sama-sama pernah jadi pelaku ma korban, tapi
kalau diliat dari seringnya ma kualitasnya jelas lebih sering
Adit. Adit kan cowok, tenaganya lebih gedhe daripada Mala.”
Hal senada diungkapkan Sari pada kutipan wawancara berikut:
“Kalau ngebandingin kekerasan emisional yang pernah
dilaku’in Affan ma Tya, dari kualitas ma kuantitasnya lebih
sering Affan. Tya gitu-gitu orangnya setia, tapi kalau Affan
maen mata kanan kiri mulu.”
Ketidakadilan dalam hal gender selama ini telah terpatri dalam
kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap
sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan
kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas”
menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
MATRIK 3
FAKTOR-FAKTOR SOSIAL
PENYEBAB KEKERASAN DALAM PACARAN
No Faktor-Faktor
Sosial
Keadaan faktor sosial Pengaruhnya terhadap
perilaku kekerasan dalam
pacaran mahasiswa
1 Pola asuh dan
lingkungan
keluarga
Pola asuh diwarnai dengan
perilaku kekerasan dan
lingkungan keluarga tidak
menyenangkan.
Berpengaruh pada model peran
(role model) yang dianut oleh
anak pada masa dewasanya.
2 Peer group Lingkungan teman sebaya
yang terdiri dari orang-
Memberikan kontribusi yang
besar semakin tingginya angka
101
orang yang pernah terlibat
kekerasan
kekerasan antar pasangan
3 Media massa Media massa yang
menampilkan berbagai
macam adegan dan
pemberitaan mengenai
kekerasan
Memicu tindakan kekerasan
terhadap pasangan
4 Kepribadian Gaya hidup modern yang
menyebabkan frustrasi dan
pada akhirnya
menimbulkan gangguan
kepribadian
Reaksi terhadap frustrasi salah
satunya adalah dengan
melakukan tingkah laku agresi
5 Peran jenis
kelamin
Budaya pariarkhi dalam
masyarakat lebih
menonjolkan peran laki-laki
dalam suatu hubungan
sehingga menimbulkan
munculnya dominasi dalam
hubungan
Dominasi yang terjadi dalam
suatu hubungan akan memicu
terjadinya konflik yang
berbuntut pada terjadinya
kekerasan dalam pacaran
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
4. Dampak Sosial Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa
Kekerasan dalam pacaran menimbulkan berbagai dampak baik
fisik, maupun psikis.
a. Dampak fisik
Dampak fisik kekerasan dalam pacaran bisa berupa memar,
lecet, lebam, luka bakar, dsb. Seperti petikan wawancara dengan Mala
berikut ini;
“Luka fisik yang pernah aku alamin gara-gara dikasarin ma
cowokku palingan memar-memar ma lecet karena dicubitin,
trus lebam karena dipukul ma ditonjok.”
102
b. Dampak psikis
Dampak psikis bagi korban berupa sakit hati, harga diri yang
terluka, terhina, depresi, menyalahkan diri sendiri, rasa malu, merasa
sedih, bingung, cemas, tertekan, tidak bebas, tidak nyaman dan merasa
bersalah. Seperti petikan wawancara dengan Tata berikut ini;
“Gara-gara sering dimaki-maki ma dibentak-bentak cowokku
kadang aku ngerasa hina banget, udah kaya enggak dihargai
lagi. Sakit sech tapi mungkin emang aku yang salah.”
Hal senada diungkapkan Tya pada kutipan wawancara berikut:
“Sikap cowokku yang cuek itu kadang bikin aku tertekan,
padahal aku udah usahain sebisa mungkin buat nyenengin dia,
masih aja salah. Bikin bingung ma was-was. Takutnya dia
macam-macam di belakangku.”
Selain itu juga adanya pengalaman abuse pada diri korban akan
berpotensi untuk menjadikannya seorang abuser (pelaku kekerasan)
juga ketika di kemudian hari.
Dampak psikis bagi pelaku adalah pelaku mengalami gangguan
kepribadian dengan pola agresif, sehingga ia terbiasa mengambil jalan
kekerasan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
dihadapinya karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari
kepribadiannya. Seperti petikan wawancara dengan Adit berikut ini;
“Tiap kali ada masalah pasti berantem, udah kebiasaan gitu.
Tapi aku pengennya enggak gitu terus. Nyoba lebih sabar.”
Dampak-dampak fisik dan psikis di atas akan mempengaruhi
kehidupan sosial pelaku dan korban, atau dengan kata lain
menyebabkan dampak sosial bagi kehidupan korban dan pelaku
103
kekerasan dalam pacaran. Berikut ini adalah beberapa dampak fisik
dan psikis kekerasan pada masa pacaran yang menyebabkan timbulnya
dampak sosial bagi pelaku dan korbannya (http://sindy.student.
umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan-pada-masa-pa
caran/):
1) Menurunnya rasa percaya diri
Kekerasan dalam pacaran akan menyebabkan penurunan
rasa percaya diri korban dalam kehidupan sosialnya. Kekerasan
dalam pacaran, terutama kekerasan emosional menciptakan suatu
perasaan tertekan pada diri korban. Perasaan tertekan ini kemudian
menyebabkan frustasi, korban merasa gagal dalam hidupnya.
Kegagalan ini akan mengembangkan penilaian negatif dalam diri
korban terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau
situasi yang dihadapinya. Rasa percaya diri korban menjadi lemah
yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari
kehidupan korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki
kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan
kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul
terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya,
korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Seperti petikan wawancara
dengan Mala berikut ini;
104
“Aku suka enggak pede kalau masuk ke lingkungan baru,
jadinya susah dapat teman. Minder aja, ngerasa enggak
sepadan ma orang lain.”
Salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan dalam pacaran
adalah kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat kata-
kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut
biasanya bermakna melecehkan pasangan, menganggap pasangan
sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti pasangan, memberikan
julukan negatif kepada pasangan, mempermalukan pasangan dan
memberikan kesan bahwa pasangan tidak diharapkan akan
memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan pasangan dan
dapat memengaruhi citra diri mereka. Seperti petikan wawancara
dengan Affan berikut ini;
”Malu banget pas Tya bikin status yang aneh-aneh gitu,
seolah-olah kami itu udah tidur bareng dan aku sering
nyakitin dia. Jadi enggak pede nongol di fb, temen-temenku
juga jadi negative thinking ke aku. Menghambat pergaulan
aja.”
Kekerasan verbal terhadap pasangan akan menumbuhkan
sakit hati hingga membuat mereka berpikir seperti yang kerap
diucapkan oleh pasangannya tersebut. Jika pasangan mengatakan
bahwa pasangannya bodoh atau jelek, maka dia akan menganggap
dirinya demikian. Dampaknya tidak terjadi secara langsung, namun
melalui proses. Karena ucapan-ucapan bernada menghina dan
merendahkan itu akan direkam dalam memori korban. Semakin
lama, maka akan bertambah berat dan membuat korban memiliki
105
pencitraan negatif terhadap dirinya sendiri. Remaja yang sering
mengalami kekerasan verbal di kemudian hari akan hilang rasa
percaya dirinya. Hilangnya kepercayaan diri tersebut akan
menghambat kehidupan sosial korban dimana korban akan sulit
bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2) Meningkatnya rasa tidak berdaya
Kekerasan dalam pacaran meningkatkan ketergantungan
korban terhadap pelakunya. Hal ini terjadi karena pengekangan
pelaku terhadap korban dalam bergaul membuatnya terasingkan
dari lingkungan sosialnya. Seperti petikan wawancara dengan Ana
berikut ini;
”Gara-gara Ryan over posssesif ma Tata, Tata jadi susah
pergaul. Mau temenan ma temen baru dilarang-larang ma
Ryan, takut Tata macem-macem. Jadinya Tata enggak bisa
lepas dari Ryan. Kata Tata sech kalau lepas dari Ryan dia
ngerasa enggak punya siapa-siapa lagi.”
Korban kekerasan dalam pacaran akan merasa tidak
berdaya dan tidak mampu melakukan apa-apa tanpa pasangannya.
Korban merasa sendiri karena sudah terlalu bergantung pada
pasangannya. Hal ini akan membuat korban tidak bisa
mengembangkan diri dalam kehidupan sosialnya.
Selain itu perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan
korban akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna
dan tidak berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat
beruntung karena masih ada pacarnya yang mau menjadikannya
106
sebagai pacar. Hal ini membuat korban merasa tidak berdaya jika
ditingalkan oleh pacarnya karena baginya pacarnya adalah
segalanya sehingga korban menerima segala perlakuan pacarnya
terhadapnya. Seperti yang diungkapkan Mala pada petikan
wawancara berikut ini;
”Lama-lama aku jadi mikir kalau yang diomongin Adit itu
bener. Aku emang udah enggak ada harganya lagi. Kalau
Adit ninggalin aku, pasti enggak ada lagi yang mau ma
aku.”
3) Meningkatnya rasa cemas
Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus
akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Hal ini
akan mempengaruhi cara korban bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain dan selalu
merasa curiga. Seperti petikan wawancara dengan Tya berikut ini;
”Aku sering cemas, takut cowokku macem-macem.
Masalahnya dia itu banyak temen ceweknya dan lebih
mentingin temen-temennya daripada aku. Aku jadi enggak
percaya’an ma orang lain, apalagi ma orang-orang yang
aku anggep bakalan ngerusak hubunganku ma dia.”
Korban yang sulit mempercayai orang lain dalam
kehidupan sosialnya menjadi sulit bergaul dengan orang lain, lama
kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari
lingkungannya.
4) Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi
Ketergantungan antara korban terhadap pasangannya akan
berakibat kepada menurunnya produktivitasa kerja atau prestasi.
107
Hal ini terjadi ketika sedang terjadi konflik antara korban dan
pelaku hingga terjadi kekerasan, korban akan merasa tertekan,
cemas, sedih, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu akan membuat
korban menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya dan menurun
produktivitasnya. Selain itu pembatasan pelaku terhadap korban
juga akan membatasi ruang gerak aktivitas sosial korban untuk
berinteraksi dengan orang lain terutama dengan orang-orang yang
dianggap pelaku akan membahayakan hubungannya dengan
korban. Seperti petikan wawancara dengan Ana berikut ini;
”Tata jadi kehambat ngerjain TAnya gara-gara Ryan
ngebatasin dia ketemu ma Adi. Padahal si Adi itu cuma
bantu Tata bikin program buat TAnya. Tata kesulitan buat
bikin program sendiri.”
Hal senada diungkapkan Adit pada kutipan wawancara
berikut:
“Kadang aku cemas kalau mau ngelaku’in sesuatu. Takut
salah di mata cewekku dan bikin dia marah-marah.”
Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang
yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas
pacarnya. Pelaku mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak
senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas
rutin kegemarannya. Seperti petikan wawancara dengan Tata
berikut ini;
“Ryan terkadang enggak suka aku jalan ma temen-temenku,
katanya sech aku terlalu mentingin mereka daripada dia.
Jadinya aku batalin dech, padahal sebenarnya aku suka
108
jalan-jalan ma temen-temen, lumayan lah buat ngilangin
stress.”
5) Mengalami sakit fisik
Luka fisik yang dialami korban seperti memar, lecet,
lebam, luka bakar, dsb terutama yang meninggalkan bekas akan
membuat korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya
karena merasa malu dan takut sehingga kehidupan sosialnya
terhambat. Seperti yang diungkapkan Nia pada petikan wawancara
berikut ini;
”Gara-gara dicubit ampe memar-memar, Mala enggak mau
berangkat kuliah sampai bekas lukanya itu hilang. Dia kaya
gitu karena malu dan dia enggak mau banyak orang tahu
kalau dia ma cowoknya sering berantem.”
MATRIK 4
DAMPAK KEKERASAN DALAM PACARAN
No Jenis
Dampak
Kekerasan
Dampak kekerasan Dampak Terhadap
Kehidupan Sosial
1. Psikis a. Menurunnya rasa
percaya diri
Korban merasa minder
untuk bergaul terutama
ketika memasuki
lingkungan yang baru.
Akibatnya, korban
terhambat kehidupan
sosialnya karena tidak
mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
109
b. Meningkatnya
rasa tidak berdaya
Korban terisolir dari
lingkungan sosialnya
akibat pengekangan
pelaku.
c. Meningkatnya
rasa cemas
Mempengaruhi cara
korban bersosialisasi
dengan lingkungan sekitar.
Korban menjadi sulit
mempercayai orang lain
dan selalu merasa curiga,
akibatnya dalam kehidupan
sosialnya korban sulit
bergaul dengan orang lain,
lama kelamaan hal ini akan
membuat korban terisolir
dari lingkungannya.
d. Menurunnya
produktivitas
kerja atau prestasi
Terbatasnya ruang gerak
aktivitas sosial korban.
2. Fisik Mengalami sakit fisik Korban enggan
berinteraksi dengan
lingkungannya karena
merasa malu dan takut
sehingga kehidupan
sosialnya terhambat.
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
B. PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology yang masuk ke
dalam paradigma definisi sosial. Teori ini menekankan hubungan antara akibat
110
dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku
aktor.
Kekerasan dalam pacaran yang meliputi kekerasan fisik dan non fisik
(emosional) dapat terjadi karena tingkah laku sosial di dalam lingkungan
pelaku dan korban secara langsung maupun tidak langsung mendorong pelaku
untuk melakukan tindakan kekerasan.
Tingkah laku sosial ini meliputi:
1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena
berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta
diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional,
2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang
pernah terlibat kekerasan,
3. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan
mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi,
4. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan
kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain yang
menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan
kepribadian dengan pola agresif,
5. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran
laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan
laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan.
111
Pengaruhnya terhadap mahasiswa yang kemudian secara langsung
maupun tidak langsung mendorong mereka untuk melakukan tindakan
kekerasan meliputi:
1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan serta
diwarnai dengan kekerasan berpengaruh pada model peran (role model)
yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran yang
dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau
model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran akan
muncul. Walaupun secara logika anak membenci perilaku kekerasan yang
dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu
terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik di saat
remaja atau dewasanya. Perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam
diri anak tersebut, dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia
melakukan kekerasan serupa atau lebih.
2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang
pernah terlibat kekerasan memberikan kontribusi yang besar semakin
tingginya angka kekerasan antar pasangan. Dengan melihat terjadinya
kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada teman, individu akan merasa
bahwa hal tersebut bukan hal yang tabu dan merupakan hal yang biasa
terjadi dalam hubungan pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi
dalam pacaran akan meningkat. Selain itu hal ini dapat terjadi karena
adanya proses belajar sosial. Manusia cenderung melakukan repetisi
terhadap perilaku orang disekitarnya.
112
3. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam media massa dapat
memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. Hal ini terjadi karena
berbagai macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan direkam
sangat baik oleh remaja dan anak-anak. Mereka akan menganggap bahwa
itu semua wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa.
Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para
remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di
lingkungannya dikarenakan terjadinya proses belajar sosial.
4. Reaksi terhadap frustrasi salah satunya adalah dengan melakukan tingkah
laku agresi. Bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan
tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Pada
gangguan jiwa yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian dengan
pola agresif, orang menjadi mudah tersinggung dan destruktif bila
keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang
menyebabkannya menjadi frustrasi.
5. Dominasi yang terjadi dalam suatu hubungan akan memicu terjadinya
konflik yang berbuntut pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.
Walaupun laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pelaku dan
korban kekerasan dalam pacaran, namun secara kuantitas dan kualitasnya,
perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena
pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas.
113
Dalam teori Behavioral Sociology, behaviorisme berpendapat bahwa
kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia cenderung melakukan
repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang
dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai
pemecahan masalah yang efisien. Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya
peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa karena dianggap sebagai solusi
efektif dalam memecahkan suatu masalah.
Tingkah laku kekerasan terjadi karena adanya modelling (belajar
meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman dan media massa)
menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan
meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa
perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa
konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta
karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.
Dari hasil temuan di lapangan, selain faktor-faktor penyebab kekerasan
dalam pacaran, peneliti juga menemukan beberapa dampak kekerasan dalam
pacaran yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurunnya rasa percaya diri pada korban karena perasaan tertekan yang
diakibatkan oleh kekerasan emosional. Hal ini kemudian merujuk pada
adanya beberapa aspek dari kehidupan korban tersebut dimana ia merasa
tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan
kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul
114
terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban
terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
2. Meningkatnya rasa tidak berdaya karena ketergantungan korban terhadap
pelaku kekerasan. Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul
membuat korban terasingkan (terisolir) dari lingkungan sosialnya dan
hanya berinteraksi dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat
tergantung pada pelaku dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan
merasa hidup sendirian.
3. Meningkatnya rasa cemas akibat perasaan tertekan yang dialami korban
secara terus menerus. Hal ini akan mempengaruhi cara korban
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit
mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga.
4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi disebabkan karena konflik
yang terjadi antara korban dan pelaku membuat korban merasa tertekan,
cemas, sedih, dan sebagainya yang membuat korban menjadi tidak
bersemangat dalam hidupnya dan menurun produktivitasnya. Pengekangan
pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial
korban.
5. Mengalami sakit fisik yang akan membuat korban enggan berinteraksi
dengan lingkungannya karena merasa malu dan takut, sehingga kehidupan
sosialnya terhambat.
115
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kesimpulan Empiris
Masa remaja adalah masa yang rentan, karena merupakan masa
transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai dengan
perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial. Salah
satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating). Seiring
berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya dianggap
sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka bersama
selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi sedemikian rupa
sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan menyenangkan, bahkan
dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk pelecehan, intimidasi,
kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas namakan cinta dan kasih
sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata banyak
yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Akibat perubahan zaman
dan kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan
lebih baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi
yang tidak seharusnya.
116
Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam pacaran
merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum mendapat porsi
perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua, remaja, dan
guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence,
kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai
sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja
masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa
anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah
permainan belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di
kalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan
kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat.
Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain:
a. Kekerasan fisik, bentuknya berupa memukul, menendang, mendorong
sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar menampar, menonjok,
mencekik, dll.
b. Kekerasan non fisik (emosional) berupa caci maki, membuat korban
merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi
dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya
sehingga membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan,
membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai,
melanggar privasi, possesif, pemerasan, pencemaran nama baik, dll.
117
Penyebab kekerasan dalam berpacaran antara lain:
a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena
berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta
diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional,
b. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang
pernah terlibat kekerasan,
c. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan
mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi,
d. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi
sedangkan kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain
yang menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan
kepribadian dengan pola agresif,
e. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran
laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan
laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan.
Sedangkan dampak kekerasan dalam berpacaran antara lain:
a. Menurunnya rasa percaya diri
Agresivitas dalam berkomunikasi, seperti: membentak, memaki,
tidak menghargai pendapat korban, melarang bergaul, tidak pernah diajak
diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan membuat
korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-temannya
118
maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa
percaya diri pada diri korban. Rasa percaya diri korban menjadi lemah
yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan
korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki kompetensi, tidak
memiliki keyakinan, kemampuan dan kepercayaan bahwa dia bisa.
Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki
lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya
karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b. Meningkatnya rasa tidak berdaya
Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul membuat
korban terasingkan dari lingkungan sosialnya dan hanya berinteraksi
dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat tergantung pada pelaku
dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan merasa hidup sendirian.
c. Meningkatnya rasa cemas
Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan
membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa
takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan
aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati
pacarnya dan membuat pacarnya marah. Hal ini mempengaruhi cara
korban bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit
mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. Akibatnya, dalam
119
kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama
kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.
d. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi
Pengekangan pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang
gerak aktivitas sosial korban. Pengawasan yang dilakukan pelaku
menjadikan korban terbatas ruang geraknya. Hal ini diperparah dengan
beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika
mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin tidak
melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat
korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.
e. Mengalami sakit fisik
Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya
konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya yang akan membuat korban
enggan berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Kesimpulan Teoritis
Berdasarkan paradigma Perilaku Sosial yang dikemukakan oleh B.F.
Skinner adalah tepat khususnya penggunaan teori Behavioral Sosiology
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Teori ini memusatkan perhatiannya
kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam
lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Yang menarik perhatian
Behavioral Sosiology adalah hubungan historis antara akibat tingkah laku
120
yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi
sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi
tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan,
lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang
pernah terlibat kekerasan, media massa yang menampilkan berbagai macam
tayangan kekerasan, gaya hidup modern menyebabkan frustrasi, dan budaya
pariarkhi yang melekat dalam masyarakat memeberikan pembelajaran kepada
individu mengenai kekerasan. Terjadilah proses modelling (belajar meniru).
Behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil
belajar. Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media)
menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan
meniru tindakan kekerasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jadi,
behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang
perilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi
individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-
model untuk melakukannya.
3. Kesimpulan Metodologis
Penelitian ini menggunakan strategi yang sangat sederhana yaitu
dengan menggunakan metode observasi yang dilakukan untuk mengamati
secara langsung perilaku pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran.
121
Dalam observasi tentang kekerasan dalam pacaran ini menggunakan
observasi non participant yaitu di mana peneliti tidak ikut aktif dalam
melakukan kegiatan yang ada tetapi hanya sebatas mengamati perilaku pelaku
dan korban kekerasan dalam pacaran.
Setelah diperoleh gambaran tentang kekerasan dalam pacaran, maka
perlu mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab berbagai
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga perlu diadakan
wawancara yang mendalam dengan para informan yaitu pasangan kekerasan
dalam pacaran dan orang-orang terdekatnya yang mengetahui hal tersebut.
Selain observasi dan wawancara peneliti juga menggunakan data
sekunder sebagai tambahan dalam mendapatkan informasi. Data sekunder
yang peneliti gunakan meliputi buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan
dengan kekerasan dalam pacaran.
Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan metode purposive
sampling, purposive sampling berguna untuk mendapatkan informan yang
tepat untuk menguasai permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Dan
secara metodologis, penelitian ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah:
a. Penelitian kualitatif mampu mengungkapkan realita secara mendalam
karena mengungkapkan realita internal seperti pola pikir manusia dengan
122
segala subyektivitasnya, emosi dan nilai-nilai sehingga mampu
memberikan gambaran realita sebagai adanya.
b. Kebenaran dalam penelitian kualitatif merupakan hasil, interprestasi yang
dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data.
Kekurangannya adalah:
a. Tidak semua hasil penelitian kualitatif dapat digeneralisasikan,
generalisasi hanya dapat dilakukan dalam batas waktu dan konteks
penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, dimungkinkan emosi, pandangan dan
prasangka peneliti ikut masuk dalam analisa atau hasil penelitian.
B. Saran
1. Bagi Korban
a. Membantu pasangan yang melakukan kekerasan untuk memiliki rasa
percaya diri (biasanya pasangan yang melakukan kekerasan memiliki
riwayat kekerasan dan kekurangan kebutuhan kasih sayang / afiliasi);
b. Bersikap tegas pada pasangan yang melakukan kekerasan (menolak
kekerasan yang dilakukan oleh pasangan);
c. Jika pasangan tetap melakukan kekerasan, sebaiknya berpikir dua kali
untuk meneruskan hubungan dengannya;
d. Berani berkata tidak;
123
e. Belajar menjadi diri sendiri. Jangan membiarkan kekerasan dalam
berpacaran menimpa hanya karena ingin menyenangkan pacar. Kita bisa
belajar menjadi diri sendiri. Selama sikap dan perbuatan kita positif,
pertahankan. Karena peran kita lebih banyak dibentuk oleh pola
pengasuhan yang dipengaruhi budaya, untuk mengubahnya kita juga harus
mulai dengan proses pembelajaran baru;
f. Cari dukungan, jika perlu buatlah komunitas anti kekerasan. Karena
kekerasan dalam pacaran juga dipengaruhi oleh aspek budaya, untuk
mengubahnya juga harus dilakukan bersama-sama secara massal.
Ungkapkan dan kampanyekan pikiran kita, cari teman yang sependapat.
Secara bersama terus kampanyekan keinginan kita untuk menolak
kekerasan dalam berpacaran;
g. Cari bantuan orang tua, teman, dan juga para ahli.
2. Bagi Pelaku
a. Segera meminta bantuan pada Psikolog untuk mendapatkan terapi yang
tepat untuk mengatasi pikiran-pikiran irasional, mungkin pelaku
mengalami kecanduan cinta sehingga melakukan kekerasan pada pacar
Anda.
b. Segera menyadari bahaya dari perilakunya, baik bagi dirinya sendiri
ataupun bagi pasangannya.
124
c. Melakukan pengendalian emosi dengan pelatihan yoga, latihan
pernafasan, dsb.
3. Bagi Lingkungan Sosial
a. Pasangan pacaran
Untuk mencegah terjadinya kekerasan pada masa pacaran, perlu
membuat komitmen dengan pacar untuk tidak adanya kekerasan dalam
pacaran dan menerapkan pacaran yang sehat. Adapun, pacaran yang sehat
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Adanya rasa saling percaya.
2) Adanya rasa saling menghargai.
3) Adanya waktu untuk dihabiskan oleh mereka berdua tetapi juga
menghargai waktu untuk saling sendiri.
4) Tidak mengisolasi pasangan.
5) Tidak memanipulasi pasangan.
6) Adanya rasa saling memahami perasaan masing-masing.
7) Hubungan pacaran juga disertai dengan hubungan pertemanan yang
akrab di antara mereka berdua.
Definisikan dengan konkret makna pacaran dan bagaimana
hubungan akan dibina. Pacaran seharusnya merupakan keputusan sadar
dengan penuh pertimbangan dan itikad baik sepasang manusia, melibatkan
aspek emosi, keyakinan, sosial, dan budaya. Tentu ada unsur
pembelajaran, penghargaan, penghormatan, komunikasi yang dapat
125
menjadi pendekatan positif. Jika terjadi kekerasan dalam pacaran, berarti
tujuan ini tidak tercapai lagi.
b. Orang tua
Mengubah paradigma dalam keluarga, bahwa kekerasan adalah
salah satu bentuk pendidikan disiplin pada anak.
c. Pemerintah
Pemerintah harus tegas pada media, mensensor adegan kekerasan
di TV dan media lain. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih
tajam. Selain itu juga diadakan sosialisasi berupa kampanye, pidato dan
talkshow bahwa tindakan kekerasan pada anak-anak harus dihentikan.
d. Masyarakat
Kepada korban, masyarakat sekitar perlu meyakinkan dia untuk
berkata tidak untuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya,
membantunya melihat pilihan dan alternatif yang mungkin dan
menumbuhkan kepercayaan dirinya.
Bagi pelaku kekerasan, sebelumnya perlu telusuri apa penyebab
dari perilakunya tersebut, apakah ada peristiwa buruk atau perilaku
traumatik sehingga dia menggunakan cara penyelesaian konflik dengan
cara kekerasan atau pada penyebab lainnya. Pelaku dibantu dengan
dibawa ke psikolog atau psikiater untuk melakukan konseling ataupun
psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret. 2007. Surakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Jurnal Perempuan. 2002. Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta : Sinar Grafika
Offset.
Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Set, Sony. 2009. Teen Dating Violence - Stop Kekerasan Dalam Pacaran!.
Yogyakarta : Kanisius.
Slamet, Y. 1990. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : UNS Press.
Soekanto, Soerjono. 1999. Kamus Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Warsana, Windhu. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta.
Internet:
Al-Huda, Arief Bathara. 2009. Kenali dan Cegah Kekerasan dalam Pacaran.
http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_Cegah_Kekerasa
n_dalam_Pacaran. (4 Juli 2009, 09:30 WIB)
Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. http://uns.ac.id// (22 Juli
2010, 19:30)
Hamzah. 2008. Pacaran sebagai Alat Ukur Seleksi Pasangan Hidup.
http://hamzahasdullah.multiply.com. (5 Juli 2009, 15:05 WIB)
Krucil. 2007. Kekerasan. http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.
Html. (5 Juli 2009, 15:10 WIB)
Minna, Konnichiwa. 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Masa Pacaran.
http://sindy.student.umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan -
pada-masa-pacaran/. (5 Juli 2009, 16:05 WIB)
Mustika, M. Shodiq. 2009. Definisi dan Bentuk Nyata “Pacaran Islami”.
http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuk-nyata-pacaran-islami.html. (5
Juli 2009, 15:05 WIB)
N. S., Arika. 2007. Love Shouldn’t Hurt Sebuah Ulasan tentang Dating Violence.
http://ariekaonly.multiply.com/journal/.../LOVE_SHOULDNT_HURT_sebua
h_ulasan_tentang_DATING_VIOLENCE_Keke. (30 Juni 2009, 16:30 WIB)
Phyrman. 2009. Tayangan Kekerasan di TV Merubah “Anak Normal” Menjadi
Agresif. http://ruangstudio.blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tv-
merubah-anak.html. (1 Agustus 2009, 19:00 WIB)
Redaksi. 2002. Pengaruh Sebaya hingga Kekerasan. http://bkkbn.go.id/. (4 Juli 2009,
10:00 WIB)
Redaksi. 2007. Kekerasan dalam Pacaran: Sebuah Fenomena yang Terjadi pada
Remaja. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/ gendervaw02.htm. (1
Juli 2009, 05:05 WIB)
Redaksi. 2008. Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Masih Cukup Tinggi.
http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/kasus.kekerasan.dalampac
aran.masih.cukup.tinggi. (28 Juni 2009, 22:15 WIB)
Redaksi. 2010. Berbagai Resiko Pacaran di Usia Belia. http://female.kompas. com/.
(3 Maret 2010, 16:00 WIB)
Takwin, Bagus. 2008. Menjadi Mahasiswa. http://bagustakwin.multiply.com. (6
September 2009 15:45 WIB)
http://kompas.com/kompas-cetak/0309/26/ muda/584131.htm. (4 September 2009,
12:30 WIB)
http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indonesia. (30 Juni 2009,
16:35 WIB)
http://depdiknas.go.id/. (3 Maret 2010, 16:15 WIB)
Jurnal:
Chan, Ko Ling, Straus, M. A., Brownridge, Douglas A., Tiwari, Agnes And Leung,
W. C. 2008. International Journal of Midwifery & Women’s Health. Amerika:
Elsevier Inc.
Straus, M. A. 2004. Violence Againts Dating Partner, Vol 10 No. 7. University of
New Hampshire : Sage Publications.
82
1. Pasangan Kekerasan dalam Pacaran
No Nama Umur Pendidikan Aktivitas Latar
belakang
keluarga
Latar
belakang
agaman
Karakter
infoman
Kekerasan
yang terjadi
dalam pacaran
Solusi setelah
terjadi
kekrasan
1 Mala 22 thn D3 Fakultas
Pertanian
Kuliah Cukup berada
Taat ibadah
Baik dan suka
menolong
Fisik dan
emosional
Memaafkan
pasangan
2 Adit 23 thn S1 Non Regular
Fakultas Teknik
Kuliah
Cukup berada
Tidak taat
ibadah
Cuek Fisik dan
emosional
Berbaikan
kembali
setelah emosi
mereda
3 Tata 22 thn D3 Fakultas
MIPA
Kuliah dan
bekerja
Cukup berada
Taat ibadah
Tanggung
jawab,
humoris, rajin
ibadah
Emosional
Meminta putus
namun
kemudian
bersedia
memaafkan
pasangan
ketika emosi
sudah mereda
4 Ryan 22 thn D1 Bekerja Sederhana Taat ibadah Tanggung Emosional Berbaikan
83
2. Teman Dekat Pelaku / Korban Kekerasan dalam Pacaran
No Nama Umur Aktivitas Hubungan dengan
pelaku atau korban
Kekerasan dalam
pacaran yang terjadi
pada pelaku / korban
Mulai mengetahui
terjadinya kekerasan
dalam pacaran
Karakter korban /
pelaku menurut
informan
1 Nia 22 thn Kuliah Teman dekat Mala Fisik dan emosional + 1 tahun yang lalu Mala baik dan suka
jawab, rajin
ibadah,
humoris
setelah pihak
yang salah
bersedia
meminta maaf
7 Tya S1 Fakultas
Hukum
Kuliah
Cukup berada
Taat ibadah
Terbuka dan
royal tapi agak
sombong
Emosional
Putus namun
beberapa saat
kemudian
jadian lagi
8 Affan 25 thn SMA Bekerja Sederhana
Taat ibadah
Genit dan pelit
Emosional
Putus namun
beberapa saat
kemudian
jadian lagi
84
menolong namun
terkadang bersikap
keras kepada
pasangannya,
sedangkan Adit cuek
2 Ana 22 thn Kuliah Teman dekat Tata
Emosional
+ 2 tahun yang lalu
Bertanggung jawab
terhadap pekerjaan,
rajin beribadah, usil,
dan humoris.
3 Sari 23 thn Co ass
Teman dekat Tya
Emosional
+ 6 tahun yang lalu
Terbuka, royal dan
humoris, namun agak
sombong, sedangkan
Affan genit dan pelit.
Sumber : Data primer, diolah Maret 2010
Top Related