Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia ISSN : 1858 – 0358
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009 Jurnal Wacana Indonesia Merupakan Jurnal Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) dengan nomor ISSN 1858-0358 tanggal 29 Mei 2007
Terbit 3 sekali setahun setiap bulan April, Agustus dan Desember Berisi hasil penelitian, kajian dan analisis kritis Mahasiswa dan Alumni
Pascasarjana se-Indonesia
Penanggung Jawab:
Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia (Forum Wacana Indonesia)
Penyunting Ahli (Mitra Bestari):
Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropologi) Prof. DR. Djalal Tanjung (Ekologi) Dr. M. Ridhah Taqwa (Sosiologi)
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen (Studi Islam) DR. Ir. Rindit Pambayun, MS (Teknologi Pertanian)
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS (Hukum) Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum (Hukum) Prof. Dr. Ir. Zufrizal, DEA (Peternakan)
Redaktur Pelaksana:
Alum Simbolon (Ketua) Zuhri Humaidi (Wakil Ketua)
Mustari S. Lamada (Sekretaris) Nova Ekawati (Anggota) Buyung Haris (Anggota)
Layout dan Cover:
Buyung Haris
Diterbitkan Oleh:
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia Sekretariat:
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281 Website FWI: www.ppfwi.wordpress.com
Email: [email protected]
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
i
ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia
Daftar Isi/Contents
Daftar Isi (i ‐ ii)
Editorial (iii ‐ iv)
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Alum Simbolon
(1‐10)
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir
Andi Fajar Asti (11‐20)
Konsumerisme sebagai Simbol Modernitas Asliah Zainal
(21‐26)
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton-Tukangbesi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya
Burhan dan Jalil (27‐36)
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan
Kesehatan bagi Anak Terlantar Chairun Nasirin
(37‐46)
Prevention A Long Period Complication Of Diabetes Mellitus Lilis Novitarum
(47‐56)
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
ii
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta
Mahendra Wijaya (57‐66)
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs Audiens yang Aktif-Kritis
Suatu Perspektif Cultural Studies M. Ridhah Taqwa
(67‐74)
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa
Muhamad Sehol (75‐82)
Eksistensi Kesendirian Afasia - Dunia Tanpa Kata dan Simbol dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial
(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl) Musdalifah Dachrud
(83‐88)
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash Pada Proses Belajar Mengajar Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Negeri Makassar Mustari S. Lamada
(89‐96)
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia Suraji (97‐105)
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
iii
Editorial
Apa yang menarik dari sebuah jurnal? Pertanyaan seperti ini penting diajukan kembali setiap kali sebuah jurnal terbit, apalagi dalam dasawarsa terakhir di Indonesia muncul ratusan jurnal yang diterbitkan oleh banyak lembaga. Ada jurnal yang cuma terbit sekali kemudian hilang dan tak pernah jelas nasibnya, ada yang tetap terbit dengan ritme yang tidak teratur, ada juga yang secara rutin terbit meskipun dengan distribusi yang terbatas. Sulitnya, di Indonesia tidak pernah terbangun lembaga yang benar-benar memiliki disiplin dan reputasi untuk mengukur otentisitas maupun persebaran ide sebuah jurnal, misalnya dengan membuat indeks bagaimana jurnal tersebut menjadi rujukan penting dalam disiplin yang digelutinya. Parameter yang selama ini biasa dipakai adalah nilai akreditasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti), yang akhirnya menjadi simbol mahapenting bagi eksistensi sebuah jurnal. Jurnal yang memiliki predikat akreditasi akan menjadi ‘lahan subur’ bagi aktualisasi diri dosen muda maupun pegawai negeri di lingkungan departemen. Aktualisasi diri yang dimaksud tidak melulu dalam pengertian dinamisasi ilmu pengetahuan seperti peran sebuah jurnal di negara Eropa dan Amerika, tetapi seringkali hanya terkait dengan peningkatan nilai kepangkatan bagi sang dosen maupun pegawai negeri, sehingga tidak jarang ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Disinilah letak paradoksnya dunia akademik kita. Seorang penulis harus memeras otak dan keringat, menyisihkan waktu untuk penelitian maupun untuk membangun ide yang serius, dan akhirnya harus mengeluarkan dana publikasi. Dalam konteks ini menjadi penulis bukan lagi merupakan profesi yang menjanjikan, tetapi hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai standard kemapanan ekonomi tertentu.
Tentu saja hal ini tidak keliru dan sah-sah saja dilakukan, tetapi kembali pada persoalan ‘apakah sebetulnya fungsi sebuah jurnal?’. Konon, sebuah jurnal adalah laboratorium tempat segala ide dan inovasi pemikiran diolah, karenanya ia memuat paling tidak dua peranan; pertama, sebuah jurnal merupakan indikasi dari tinggi atau rendahnya, mutu atau tidaknya, diskusi intelektual yang menghidupi suatu lembaga atau komunitas. Tulisan-tulisan yang dimuat adalah kerja intelektual yang mencerminkan erudisi, etos dan integritas dari orang-orangnya. Sebab itu, jurnal yang baik hanya akan tumbuh di dalam komunitas atau lembaga yang juga kredibel. Kedua, sebuah jurnal adalah arena kontestasi. Tulisan yang dipersiapkan untuk jurnal tidak lain adalah hasil pengembaraan ide penulisnya yang berisi eskpektasi maupun persepsinya tentang manusia dan lingkungannya. Tulisan tersebut kemudian diperbandingkan dengan tulisan lainnya dalam konfigurasi akademik yang terbuka sehingga diskusi intelektual bisa terjadi. Bukan untuk menentukan siap yang kalah atau menang, akan tetapi pertama-tama untuk mengekplorasi berbagai temuan yang berbeda serta meneropong suatu masalah dari berbagai perspektif sehingga tercipta ruang diskusif yang dinamis.
Apakah jurnal yang selama ini berlabel akreditasi atau berlabel internasional sudah memenuhi dua fungsi tersebut? Agak sulit menjawab masalah ini dengan penjelasan yang singkat, akan tetapi marilah kita melihat Prisma sebagai contoh. Prisma adalah jurnal (majalah) yang muncul sejak tahun 1970-an sampai sekarang, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia. Prisma tidak pernah meng-claimdiri berlabel akreditasi atau berlabel internasional, akan tetapi agaknya kita semua sepakat bahwa ia adalah jurnal (majalah) dengan reputasi terbaik dalam sejarah
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
iv
intelektual di Indonesia. Kita ingat, di kios-kios buku di Jogja sampai sekarang Prisma edisi lama tetap diburu oleh mahasiswa dan para peminat ilmu karena ia memenuhi semacam kehausan intelektual dari khalayak yang luas. Bahkan, pada fase 1970 s/d 1990-an Prisma menjadi media pentahbisan inteletual. Para cendekiawan terkemuka atau calon cendekiawan yang kelak juga akan terkemuka hampir dipastikan pernah mempublikasikan tulisannya di jurnal ini.
Dengan demikian, satu hal yang relevan dikemukakan dalam pengantar editorial ini bahwa labelitas (akreditasi atau non akreditasi, internasional atau bukan) tidak memiliki korelasi dengan mutu jurnal. Jurnal pinggiran yang diterbitkan oleh komunitas tertentu boleh jadi akan membawa kesegaran baru bagi kepengapan akademik di tanah air, sebaliknya jurnal dengan label internasional dan terakreditasi boleh jadi tidak membawa signifikansi apapun, dan hanya menjadi simbol kemegahan di tengah dunia akademik kita yang memang lebih menyukai selebrasi daripada substansi.
Oleh sebab itu, hemat kami sebuah jurnal pada hakikatnya adalah kerja eksperimental, upaya coba-coba yang bisa gagal. Karenanya untuk terbitan kali ini, kami sebagai pengelola jurnal Wacana Indonesia ingin menyebut jurnal ini sebagai jurnal eksperimental. Kami tidak menolak labelitas, tetapi ingin mengembalikan fungsi dasar sebuah jurnal, yakni sebagai laboratorium, sebagai arena kontestasi. Pada terbitan kali ini ada 12 tulisan yang kami muat yang bisa di bagi dalam empat isu pokok; pertama, isu supremasi hukum dan regulasi politik yang berisi tiga tulisan, yaitu tulisan Alum Simbolon; Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Chairun Nasirin; Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development); Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar, dan Suraji; Menyoal Ekonomi Politik Anggaran; Telaah Era Demokrasi di Indonesia. Kedua, isu pengelolaan sumber daya alam dan budaya yang memuat tiga, yaitu tulisan Andi Fajar Asti; Pendekatan Ekosistem Terpadu; Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir, Burhan dan Jalil; Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton; Tukang Besi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya, dan Mahendra Wijaya; Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta. Ketiga, media dan pola pendidikan baru yang berisi empat tulisan, yaitu tulisan M. Ridhah Taqwa; Relasi Kuasa antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs Audiens yang Aktif-Kritis, Muhamad Sehol; Pendidikan Kecakapan Hidup dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa, Mustari S. Lamada; Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash pada PBM UNM, dan Asliah Zainal; Konsumerisme sebagai Simbol Modernitas. Keempat, isu identifikasi penyakit dan terapinya berisi dua tulisan, yaitu tulisan Lilis Novatarum; Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus, dan Musdalifah Dachrud; Eksistensi Kesendirian Afasia; Dunia Tanpa Kata dan Simbol dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial.
Spektrum dari keseluruhan tulisan-tulisan di atas memang cukup luas, namun menarik mengikuti alur pemikiran para penulisnya yang kembali mengungkapi persoalan manusia dalam seluruh konteks kehidupannya; individu, ekonomi, sosial-budaya dan politik. Sebagai proposal pemikiran, tulisan-tulisan di atas patut ditelusuri lebih jauh, meskipun kita tidak harus selalu setuju dengan isinya. Selamat membaca! (Zuhri Humaidi)
Yogyakarta, 21 Desember 2009 Salam Redaksi
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (01‐10)
1
IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
Alum Simbolon
(Staf Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan) ([email protected])
Abstract:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan mengupayakan persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha. Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan UULPM ini yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang bersaing tidak sehat agar tercipta iklim usaha yang kondusif, sehingga menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil. Agar penegakan hokum persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik maka ketelitian dari KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa dalam memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada pelaku usaha sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika memang melakukan pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan perbaikan lalu melaksanakan putusan KPPU, dari pada harus mengajukan upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah Agung menghabiskan energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang melakukan pelanggaran terhadap UULPM.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Persaingan usaha.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan mengupayakan
persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha. Persaingan sehat (fair
competition) adalah hal positif yang harus dibudayakan dalam membangun bangsa maka
dituntut sumber daya manusia yang utuh menyeluruh serta handal sehingga setiap orang
dapat memasuki bursa manapun inilah yang dibutuhkan dalam era globalisaasi.
Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan UULPM ini
yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang bersaing tidak sehat agar tercipta
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
2
iklim usaha yang kondusif, sehingga menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
Kinerja KPPU sangat berkembang jika dibandingkan dengan kinerja pada awal
pembentukan KPPU dan pemberlakuan UULPM, saat ini KPPU telah menetapkan
Rancangan Strategis 2007-2012 sebagai langkah awal dalam upaya menjadi lembaga
yang efektif dan kredibel, sehingga diharapkan pada tahun 2020 KPPU dapat menjadi
lembaga yang setara dengan lembaga serupa di negara lain yang maju. Sebagai bentuk
akuntabilitas anggota KPPU masa bakti 2006-2011, KPPU mencanangkan target strategis
periode 2007-2012 dalam tiga program utama yaitu menegakkan hukum persaingan,
menginternalisasikan nilai-nilai persaingan dan membangun kelembagaan yang efektif
dan kredibel. Komitmen KPPU adalah persaingan sehat sejahterakan rakyat, akan tetapi
harus melalui perjuangan yang panjang karena ditemui adanya tarik menarik kepentingan
antara konsumen dan produsen.
Anggota KPPU yang bertugas untuk periode 2006-2011 sejumlah tiga belas
orang terdiri dari empat orang anggota KPPU periode sebelumnya (2000-2005) dan
sembilan anggota yang dipilih melalui proses seleksi. Ketiga belas anggota KPPU
tersebut telah ditugaskan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 59/P Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006 yang dituangkan dalam
bentuk laporan tahunan. Tugas dan kewenangan KPPU diatur dalam Pasal 35 dan 36
UULPM. Pasal 35 UULPM menentukan tugas KPPU antara lain; melakukan penilaian
terhadap perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, melakukan
penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibat
terjadinya praktek monopoli, mengambil tindakan sesuai wewenang komisi, memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek
monopoli.
METODE
A. Metode Pendekatan dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative yang ditunjang
pendekatan yuridis empiris. Keduanya digunakan untuk menemukan, mengetahui dan
mengungkapkan data. Pendekatan yuridis normative merupakan pendekatan utama dalam
penelitian ini, karena titik tolak penelitian ini adalah mengungkapkan kaedah-kaedah
normative, baik dari sumber yang di dokumentasikan maupun informasi dari narasumber
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Alum Simbolon
3
yang memutus perkara-perkara pelanggaran UULPM yang diputus oleh KPPU, Hakim
Pengadilan Negeri dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Pendekatan yuridis
empiris digunakan untuk menggali asas-asas, latar belakang nilai-nilai yang mendasari,
sinkronisasi vertical dan horizontal. Data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum
primer yaitu berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan lain yang berkaitan
dengan penelitian.
Pengkajian terhadap data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum sekunder
yang berkaitan dengan materi penelitian yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer
antara lain literature, hasil penelitian, seminar lokakarya dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan materi penelitian untuk memberi kejelasan terhadap data sekunder
berupa bahan hukum primer dan sekunder. Maka dikaji juga bahan hukum tersier berupa
bahan indeksasi peraturan perundang-undangan, dan kamus hukum yang terkait dengan
materi penelitian.
B. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis
mengadakan penelitian di KPPU yang berada di ibukota negara yaitu Jakarta, dan di
KPPU Daerah di Medan. Kemudian di Pengadilan Negeri tempat putusan KPPU diajukan
keberatan dan Mahkamah Agung. Dalam penelitian yuridis normative yang ditunjang
pendekatan yuridis empiris diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu
data yang langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research).
Untuk memperoleh data primer dan sekunder dalam penelitian ini terdapat dua
prosedur pengumpulan data. Mengenai data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari
dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan (literature research) yang berupa bahan-bahan
hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.
Bahan materi hukum primer dapat berupa, norma/kaidah baik hukum tertulis maupun
tidak tertulis. Materi hukum sekunder dapat berupa hasil putusan KPPU baik yang
diajukan keberatan ataupun putusan KPPU yang diterima oleh terlapor, putusan
Pengadilan Negeri dan putusan Mahkamah Agung, hasil seminar, pertemuan ilmiah
lainnya dan artikel ilmiah menyangkut Implementasi Penegakan Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia. Dalam pengumpulan data, pertama yang diperoleh melalui:
pengumpulan data seperti catatan-catatan, kliping dan sebagainya. Data yang diperoleh
dengan melihat pada perundang-undangan dan literature yang relevan dengan penelitian
ini. Kemudian mengembangkan informasi dari responden yang ditetapkan, dan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
4
mengantisipasi data yang mungkin berubah yang didasarkan atas kondisi dan motivasi
yang terjadi. Selanjutnya pengumpulan data yang langsung didapatkan dalam penelitian
di lapangan. Data diperoleh melalui wawancara di lapangan.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus yang diputus oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, dan hal-hal yang dilakukan KPPU tahun 2007. Populasi ini
tidak akan di teliti seluruhnya tapi akan dilakukan penelitian terhadap sample. Penentuan
sample merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari
seluruh populasi (Rony, 1982:9). Pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling, maksudnya adalah menentukan sample dengan berbagai
pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan untuk menentukan sample berdasarkan
kegiatan yang dilakukan oleh KPPU yaitu kasus yang diputus oleh KPPU, Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung.
D. Analisa Data
Data yang diperoleh dari lapangan akan diperiksa, diteliti untuk menjamin apakah
data dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Kemudian proses
selanjutnya analisis data yaitu berkaitan dengan kegiatan pengujian, pengkategorian,
penginterpretasian dan pengambilalihan posisi sebagai hasil dari tujuan khusus dan
keutamaan dari penelitian ini. Data yang terkumpul ini kemudian diidentifikasi dan
dikategorikan dalam suatu sistematika tertentu. Selanjutnya dianalisis dengan
mempergunakan metode analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya
mempergunakan cara deskriptif, normative, logis, sistematis yang berpedoman pada
ketentuan hukum yang menyangkut Hukum Persaingan Usaha. Deskriptif artinya
menggambarkan atau memaparkan teori yang ada dengan data yang diperoleh dari
lapangan. Normatif artinya dasar yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Logis artinya bahwa dalam
mengalisis tidak bertentangan dengan akal dan pemikiran yang sehat. Sistematis artinya
menganalisis data secara runtut yaitu data yang satu dengan data yang lain saling
berkaitan. Hasil analisis inilah merupakan kesimpulan yang pada dasarnya merupakan
jawaban permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan prosedur analisis ini
dapat diperoleh jawaban yang tepat terhadap mata rantai hubungan yang muncul dari
situasi krisis ke dalam proses kebijaksanaan yang ada atau sekaligus kaitannya dengan
teori yang telah dikenal.
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Alum Simbolon
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hukum persaingan usaha merupakan kebutuhan yang sulit dipisahkan oleh
hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, maka kecenderungan negara-negara
maju untuk memiliki lembaga hukum persaingan peningkatannya sangat signifikan.
Meski secara teknis berbeda, baik dalam bidang peran, wewenang dan tugas yang akan
dilakukan, lembaga hukum persaingan usaha seperti paket demokratisasi bagi semua
bangsa, bahkan menjadi salah satu indikator dari upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui system ekonomi pasar. Maka keberadaan KPPU menjadi sine qua
non tidak hanya upaya demokratisasi politik dan ekonomi melainkan juga untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bagian konsiderans menunjukkan empat latar belakang lahirnya UULPM ini
yaitu:
1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang
sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar
yang wajar;
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu dengan tidak terlepas dari
kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian Internasional;
4. Bahwa untuk mewujudkan point 1,2 dan 3 atas usul DPR perlu disusun UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
Keempat aspek yang melatarbelakangi pembentukan UULPM dimaksudkan
untuk mencapai persaingan yang sehat dan wajar dalam dunia usaha dan sekaligus
menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi praktek-praktek persaingan yang tidak
sehat baik karena kepintaran pelaku usaha untuk mendekati pihak pemerintah atau
karena apapun juga. Dampak pada akhirnya dialami oleh masyarakat, karena masyarakat
yang harus menanggung akibatnya misalnya terhadap harga yang tidak kompetitief.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
6
Banyak kondisi yang merusak sendi-sendi perekonomian sehingga masyarakat yang adil
dan makmur sampai kini belum terwujud. Keinginan rakyat untuk keluar dari krisis
ekonomi didukung dengan adanya reformasi hukum yang merupakan salah satu upaya
KPPU untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan
terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.
Terciptanya persaingan usaha yang sehat akan memberikan daya tarik kepada
investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi. Dengan adanya investasi
yang masuk ke Indonesia tentunya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru
yang dapat mengatasi jumlah pengangguran yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Semakin banyak pelaku usaha yang berinvestasi tentunya semakin meningkatkan jumlah
pilihan terhadap barang dan atau jasa yang tersedia di pasar, sehingga masyarakat akan
memiliki lebih banyak pilihan terhadap barang dan atau jasa dengan kualitas dan harga
bersaing. Menciptakan persaingan yang sehat bukanlah hal yang mudah seperti
membalikkan telapak tangan, oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari
segenap lapisan masyarakat, terutama pelaku usaha dan pemerintah Dan saat ini waktu
yang tepat untuk mengubah paradigma berfikir pemerintah yang sebelumnya selalu
menjadi penentu pasar berubah menjadi pengatur pasar saja dan persaingan diserahkan
kepada mekanisme pasar. Begitu juga dengan pola berbisnis pelaku usaha perlu diberikan
pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang selama ini dijalani pelaku usaha
dan diyakini sebagai praktek bisnis yang lazim atau biasa menjalani suatu praktek bisnis
yang dilarang sejak berlakunya UULPM (KPPU RI, 2007:5).
KPPU menjadi tonggak utama untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan
usaha yang sehat. Anggota KPPU periode 2006-2011 meneruskan program periode
pertama (2000-2005) yaitu pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan
persaingan, pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan
system informasi. Tetapi penekanan angota KPPU periode 2006-2011 lebih dilakukan
terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan penegakan hukum persaingan dan
memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang
berpotensi bertentangan dengan UULPM. Fungsi penegakan hukum bertujuan untuk
menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa perilaku bisnis yang tidak sehat.
Sementara proses pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah akan mendorong
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Alum Simbolon
7
proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan persaingan yang kondusif di
seluruh sector ekonomi (Laporan KPPU RI, 2007:6).
Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi system
ekonomi pasar yang wajar. Agar implementasi dapat mencapai hasil optimal maka
dilakukan minimal dilakukan dua hal:
1. Melalui penegakan hukum persaingan.
2. Melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor
ekonomi.
Melihat bahwa KPPU sudah melaksanakan tugas dalam rangka
menimplementasikan penegakan hokum persaingan usaha terlihat pada table berikut:
Tabel 1. Putusan KPPU Tahun 2007:
No No.Perkara Pokok Perkara Tempat
1 02/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan Gizi Tahun 2006
RSUD A. Wahab Sjahranie
2 03/KPPU-L/2007 Pelanggaran dalam tender Pembangunan Gedung Kantor Pengadilan Negeri
Padang Sidimpuan, Sumatera Utara
3 04/KPPU-L/2007 Tender LCD
4 05/KPPU-L/2007 Pelanggaran tender Pekerjaan Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan
Belawan Medan Sumatera Utara
5 06/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat Pembasmi/Penyemprot Nyamuk
di DKI Jakarta.
6 07/KPPU-L/2007 Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek
7 08/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan di Dinas Pertamanan dan Pemakaman
Kota Bengkulu
8 09/KPPU-L/2007 Penetapan Harga Fumigasi oleh Ikatan Pengusaha Pengendalian Hama Indonesia (IPPHAMI)
9 10/KPPU-L/2007 RSU Ratu Zalecha Martapura
10 11/KPPU-L/2007 RSU Soppeng
11 12/KPPU-L/2007 Pengadaan Alat Kesehatan Penunjang Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi
Sukabumi
12 13/KPPU-L/200713/KPPU-
Bibit Kelapa Sawit
13 14/KPPU-L/2007 Tender Multiyears Riau Riau
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
8
14 15/KPPU-L/2007 Lelang Pembangunan Mall di Kota Prabumulih
Di Kota Prabumulih
15 16/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Pupuk PMLT (Pupuk Majemuk Lengkap Tablet)
16 17/KPPU-L/2007 PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia
17 18/KPPU-L/2007 Tender Paket Pengadaan TV Pendidikan Propinsi Sumatera Utara
18 19/KPPU-L/2007 EMI
19 20/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat Kesehatan RSUD
Brebes
20 21/KPPU-L/2007 Lelang Pengadaan Pipa PVC 6", 4", dan 2" oleh DPU, Pertambangan dan Energi Kepulauan Riau
Kepulauan Riau
21 22/KPPU-L/2008 Putusan Perkara No : Praktek Monopoli Jasa Kargo di Bandar Udara Hasanuddin.
Makassar, Sulawesi Selatan
22 23/KPPU-L/2007 Pembangunan Kembali Pasar Melawai Blok M
23 24/KPPU-L/2007 Tender Kegiatan Peningkatan Jalan Pangkalan Balai-Pengumbuk, Banyuasin.
Sumatera Selatan
24 26/KPPU-L/2007 Kartel SMS
25 27/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Jack-Up Drilling Rig di CNOOC SES Ltd
26 28/KPPU-L/2008 Jasa Pelayanan Taksi di Kota Batam di Kota Batam
27 29/KPPU-L/2007 Tender Pembangunan Jalan Hotmix di Cilacap
28 30/KPPU-L/2007 Pelelangan Umum Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan.
di Kabupaten Sanggau, Kalbar
Sumber: http://www.kppu.go.id/docs/putusan.
Implementasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh KPPU antara lain
adalah berhasil membongkar praktek persaingan usaha tidak sehat dalam industri
telekomunikasi yang dilakukan oleh Temasek Holdings Company yang merupakan salah
satu BUMN negara Singapura. Banyak perkara-perkara yang telah inkracht maupun yang
telah dibayar dendanya oleh terlapor kepada negara, diantaranya Carefour dengan trading
terms-nya serta exclusive dealing PT. Telkom dan Garuda Indonesia pada tahun 2007
menerima dan melaksanakan Putusan KPPU. Hal yang merupakan kendala dan yang
bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam
UULPM. Kegiatan evaluasi kebijakan pemerintah di tahun 2007 berjumlah 15 (lima
belas) kegiatan. Sampai dengan bulan Juni 2007, karena hal ini merupakan kendala maka
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Alum Simbolon
9
KPPU melakukan evaluasi kegiatan evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan:
Evaluasi kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Perbukuan. Evaluasi ini merupakan
inisiatif KPPU setelah KPPU menerima Menteri Pendidikan Nasional dalam diskusi
tentang industri perbukuan yang telah diubah model pengelolaannya dari monopoli
menuju kompetisi.
KESIMPULAN
Agar penegakan hokum persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik
maka ketelitian dari KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa
dalam memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat
membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada pelaku usaha
sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika memang melakukan
pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan perbaikan lalu melaksanakan putusan
KPPU, dari pada harus mengajukan upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah
Agung menghabiskan energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang
melakukan pelanggaran terhadap UULPM. Sebaiknya pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan usahanya jangan melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
SUMBER RUJUKAN
BUKU:
Adi. Rianto., 2004, Metodologi Penelitin Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta Alma, Buchari,1992, Pengantar Bisnis, Alfabeta, Bandung. Apeldoorn, L.J. Van., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha. Badrulzaman. Mariam. Darus., Aneka Hukum Bisnis, Alumni Bandung, 1994. Black, Campbell, Henry., 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn,
West Publishing, co. Bogert, George Gleason., 1952, Law of Trusts, Third Edition, Hornbook Series, St. Paul,
Minn, West Publishing, Co. Choper, Jesse H., et. al., 2002, Selected Federal and State Administrative And Regulatory
Laws, P.O. Box 64526, St. Paul, MN 55164-0526. Conte, Christopher., tanpa tahun, Garis Besar Ekonomi Amerika Serikat, Penerbit
Lembaga Penerangan, Amerika Serikat. Czako, Judith., et, al., 2003, A Handbook on Anti-Dumping Investigations, Cambridge,
University Press, WTO.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
10
D. Prayoga., Ayudha., et.al., (ed),1999, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Elips Project & Patnership for Buseniss Competition.
Erawaty, A.F. Elly., 1999, Membenahi Perilaku Pelaku Bisnis Melalu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Friedman Lawrence M., 1986, The Legal System; A social Science Perspective, New York, Russel Sage Fondation.
Fromm, Bill., Tanpa tahun, Kocak dan Menyenangkan Sepuluh Hukum Bisnis dan Bagaimana Melanggarnya
Fuadi, Munir., 2003, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Friedman, W., 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis & Problema Keadilan, Rajawali Press, Jakarta.
PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Keputusan Presiden RI No.162/M tahun 2000. Pengangkatan Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.
Keputusan Presiden RI No. 94/M Tahun 2005 Tentang Perpanjangan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.
Keputusan Presiden RI No.59/P Tahun 2006 Tentang Pemberhentian Keanggotaan komisi masa jabatan 2000-2005, dan Pengangkatan Keanggotaan KPPU masa jabatan 2006-20011
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (11‐20)
11
PENDEKATAN EKOSISTEM TERPADU: STRATEGI DALAM PENGELOLAAN LAUT DAN PESISIR
Andi Fajar Asti (Presiden Direktur LSM Diagnosa Institute Sul-Sel/ www.diagnose-institute.org)
Abstract:
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki kawasan pesisir yang sangat potensial untuk berbagai opsi pembangunan. Banyaknya limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke dalam wilayah pesisir, perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk menciptakan pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan. Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi.
Kata Kunci: Ekosistem Terpadu, laut dan pesisir.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah
dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity
dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki kawasan pesisir yang sangat potensial
untuk berbagai opsi pembangunan. Namun demikian dengan semakin meningkatnya
pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi
berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain),
maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut itu semakin
meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan
kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang ada
disekitarnya.
Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan kerusakan
lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan paradigma dan praktek pembangunan
yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
12
berkelanjutan (sustainable development). Cenderung bersifat ekstratif serta dominasi
kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat
(pesisir). Seharusnya lebih bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggung-jawabkan
(accountable), efektif dan efisien, pemerataan serta mendukung supremasi hukum.
Dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara
terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan),
mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar
dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku
pembangunan (stakeholders).
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu memberikan solusi dalam
menyusun strategi pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan,
berdasarkan analisis terhadap sejumlah isu dan permasalahan serta karakteristik wilayah
pesisir. Pada saatnya diharapkan dapat tercapai tujuan-tujuan pembangunan ekonomi,
perbaikan kualitas lingkungan serta menghindari adanya konflik jangka panjang di
wilayah tersebut. Untuk itu perlu dilakukan reformasi paradigma dan pola pembangunan
kelautan, yang meliputi perbaikan seperangkat kebijakan yang bersifat teknis dan bersifat
pengaturan (governance).
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Pengelolaan Terpadu
Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya
keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan
yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki
kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:
1. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
2. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6. Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Andi Fajar Asti
13
7. Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah.
8. Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah
pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.
Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas
sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari
sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh
karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan
dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management,
ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir
secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht
1998; Kay and Alder 1999).
Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interative dan
evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan
berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan
ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang
terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,
sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah
keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik
tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang
sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3)
kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa
lingkungan pesisir.
Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir
secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)
keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.
Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
14
yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh
segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan
suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan
keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting,
sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai
pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Secara skematik kerangka konsep studi disajikan sebagai berikut:
Gambar 1. Skematik kerangka konsep studi
Kawasan Pesisir dan Laut
Perikanan Pertambangan Perhubungan Laut Energi Kelautan
Pariwisata Bahari DLL
Isu, Permasalahan, peluan dan Tantangan
ICZM
1. PENATAAN DAN PERENCANAAN • Identifikasi dan analisis • permasalahan • Pendefinisian tujuan dan sasaran • Pemilihan Strategi • Pemilihan struktur implementasi
2. FORMULASI • Mengadopsi program secara
formal • Pengamanan dana untuk • implementasi
3. IMPLEMENTASI • Kegiatan Pembangunan • Penegakan kebijakan dan • peraturan-peraturan • Pemantauan
4. EVALUASI • Analisis kemajuan dan permasalahan • Redefinisi ruang lingkup untuk
pengelolaan pesisir
Tahap Pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Pesisir Berkelanjutan
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Andi Fajar Asti
15
B. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan
Berkelanjutan.
1. Strategi Pengelolaan Terpadu
Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan
sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air
permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia.
Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah
pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan
antara lingkungan darat (bumi), lingkungan laut, dan aktivitas manusia.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan
keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki
pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998).
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan
suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan
yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir
sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu
kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).
2. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan
Dari batasan di atas jelas bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi
pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan
hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan
berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan
kesejahteraan bersama.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
16
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama
yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan
dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan
ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan,
pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang
mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan visi pengelolaan.
Strategi pengelolaan pesisir yang difokuskan untuk menangani isu konflik
pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi pengguna ruang dan
kebutuhannya, (2) Penyusunan rencana tata ruang pesisir, (3) Penetapan sempadan pantai
dan penanaman mangrove, (4) Pengendalian reklamasi pantai, (5) Pengetatan baku mutu
limbah dan manajemen persampahan, (6) Penataan permukiman kumuh, (7) Perbaikan
sistem drainase, (8) Penegakan hukum secara konsisten.
Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir,
sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun target pengelolaan
adalah teratasinya permasalahan turunan dari konflik pemanfaatan ruang, melalui
partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah secara terpadu, yang didukung
penegakan hukum secara konsisten, yaitu: (1) Tersusun dan dipatuhinya tata ruang
wilayah pesisir , (2) Terkendalinya reklamasi pantai, (3) Terkendalinya pencemaran
perairan, (4) Tertatanya permukiman kumuh, (5) Kembalinya sempadan pantai dan
rehabilitasi mangrove, (6) Terkendalinya masalah banjir, (7) Terkendalinya masalah
abrasi, (8) Terkendalinya sedimentasi.
Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan
sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi
kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan
dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan
Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus
dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan
kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-
rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan
wilayah pesisir itu sendiri.
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Andi Fajar Asti
17
C. Pendekatan Ekosistem Terpadu dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Antar
Masyarakat Internasional
Pendekatan ekosistem, seperti yang diadopsi oleh banyak perjanjian multi-lateral
tentang lingkungan, menyediakan kerangka yang penting untuk menilai keanekaragaman
hayati dan ekosistem dengan mengevaluasi potensi The Convention on Biological
Diversity (CBD) yang merujuk kepada pendekatan ekosistem sebagai suatu strategi untuk
diintegrasikan terhadap pengelolaan tanah, air, dan sumber daya alam yang
mempromosikan konservasi yang berkelanjutan dengan menggunakan cara-cara yang
adil. Aplikasi dan pendekatan ekosistem fokus terhadap hubungan fungsional dalam suatu
proses ekosistem, perhatian terhadap manfaat distribusi yang mengalir dari ekosistem,
penggunaan praktik pengelolaan adaptif, kebutuhan untuk melakukan tindakan
manajemen di beberapa skala, dan kerjasama antar-sektoral.
Adapun pendekatan lain, seperti pengelolaan sumber daya air terpadu dan laut
dan pesisir terpadu pengelolaan kawasan, ini sesuai dengan pendekatan ekosistem dan
mendukung aplikasi di berbagai sektor atau biomes, termasuk pesisir dan kelautan
lingkungan. Faktanya, penerapan pendekatan ekosistem di wilayah pesisir dan laut yang
dibangun pada konsep manajemen terpadu, sudah banyak digunakan untuk pengelolaan
daerah-daerah tersebut.
Hal ini melibatkan perencanaan komprehensif dan peraturan dari aktivitas
manusia terhadap set multiple yang kompleks, dan sering konflik, objektif dan bertujuan
untuk meminimalisasi konflik di antara pengguna yang menggunakan dan pengguna
sementara memastikan jangka panjang kesinambungan. Pendekatan ekosistem yang
merupakan evolusi terpadu pengelolaan pesisir dan laut, dengan lebih menekankan pada
tujuan dan sasaran ekosistem dan hasilnya. Pindah ke sebuah pendekatan ekosistem harus
dianggap sebagai langkah evolusioner dalam terpadu manajemen dan tindakan.
Salah satu hal penting yang berubah secara langsung dalam ekosistem laut lebih
dari 50 tahun adalah cara memancing yang memberikan efek pada struktur, fungsi dan
keanakeragaman dari laut. Tekanan perikanan tangkap (memancing) sangatlah kuat pada
salah satu sistem kelautan di seluruh dunia, biomassa dari ikan tangkapan di lautan (baik
ikan yang di tangkap atau target tangkapan dan juga yang tidak sengaja tertangkap) telah
mengalami penurunan sebesar 90 % dari level utama dari omset industri perikanan. Pada
area ini stok dari ikan tangkapan di seluruh dunia mengalami penurunan, yaitu telah
mengalami overfishing atau penangkapan ikan sudah melebihi kapasitas maximum
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
18
kemampuan nya untuk pulih kembali. Dari penelitian sebelumnya telah digambarkan
bahwa perikanan global telah mencapai puncak pada tahun 1980-an, dan sekarang
menolak disamping peningkatan usaha dan juga kekuatan perikanan, dengan sedikit
tanda dari kecenderungan yang berlaku
Beberapa negara telah mulai melaksakan pendekatan ekosistem pada area laut
secara luas misalnya Canada, Australia, Inggris, termasuk menggunakan perencanaan
daerah kelautan sebagai alat untuk mengimplementasikan pendekatan ekosistem dan
pembangunan kelautan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan.
Pada tahun 2004 UNEP “Regional Sea Program” telah setuju untuk
meningkatkan visi secara terbuka dan intergrasi menajemen yang berdasarkan kepada
pendekatan ekosistem, yang dimana prioritas dan konsentrasinya berhubungan dengan
menajemen pesisir dan laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.
Selama ini aplikasi yang paling ekstensif dalam pendekatan ekosistem adalah
“Large Marine Ecosystem” (LME) yang merupakan proyek yang didanai oleh “Global
Environmental Facility” (GEF) yang menuju kepada pembangunan kooperasi sub-
regional terhadap ekosistem berdasarkan manajemen kelautan. LME mewakili cara
pragmatik untuk membantu lebih dari 120 negara dalam mengoperasikan pendekatan
ekosistem dalam suatu wilayah yang cukup luas termasuk perhatian antar garis pemisah
atau garis batas. Proyek tersebut mencakup Laut Merah dan Teluk Aden, Laut
Mediterania, Laut Hitam, Laut Baltik, Paparan Patagonian, Aliran arus Bengeula, Aliran
arus Guinea, Kepulauan di Samudera pasifik, Laut Kuning, dan Laut Cina Selatan/Teluk
Thailand. Proyek ini juga di persiapkan untuk Aliran arus Canary, Kepulauan Caribbean,
Aliran arus Anghulas dan Somali, Teluk Bengal, Aliran arus Humboldt dan Teluk
Meksiko.
Disamping pengertian kontemporer tentang pengelolaan ekosistem dimana
manusia termasuk didalamnya (pengelolaan ekosistem dikenal sebagai pengelolaan dari
aktifitas manusia yang mempengaruhi ekosistem dan bukan pengelolaan ekosistem dari
komponen alami mereka), banyak proyek yang menggunakan pendekatan ekosistem
tetapi tidak memperhatikan pengaruh manusianya. Salah satu contohnya proyek “World
Bank” yang terdapat di Tanzania dan Zanzibar (Proyek Pengelolaan Lingkungan Laut dan
Pesisir (MACEMP) atau disebut “Blueprint 2050”) yang mempunyai masalah
perlindungan ekologi, desain pelindungan laut (perlindungan 10% dari laut pada 2012
dan bertambah menjadi 20 % pada 2025), dan pada waktu yang bersamaan juga harus
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Andi Fajar Asti
19
meringankan kemiskinan dan menjamin asuransi yang berkelanjutan bagi proyek
tersebut.
Salah satu pemisah dalam mengimplementasikan pengelolaan dasar ekosistem
adalah kurangnya pengawasan data bagi indikator ekologi dan sosial-ekonomi didalam
skala ekosistem, termasuk juga kekurangan dalam data dasar. Hanya beberapa ekosistem
laut yang mempunyai data sistematik dalam jangka waktu yang lama yang mengenai
status dan kecenderungan dari sistem alami dan sosial. Perhatian pada komunitas pesisir
yang tidak mempunyai tindakan secara periodik terhadap kondisi sosial ekonomi,
menyebabkan kemustahilan dalam mengukur kemajuan dari keberhasilan MDG dalam
meringankan atau mengatasi kemiskinan yang terdapat pada daerah pesisir.
Pengelolaan terintegrasi batas laut dalam aturan Badan Zona Ekonomi Ekslusif
(EEZ) adalah 200 mil dari garis pantai, menghendaki adanya pengembangan konsep-
konsep yang baru, prosedur-prosedur, dan struktur-struktur. Seperti halnya manfaat
kerjasama antar negara, dalam hal mengambarkan dan pembagian pelajaran serta praktek-
praktek yang baik, seperti peningkatan formula rumusan kebijakan kelautan nasional,
banyak Negara khususnya pulau kecil yang tergabung dalam (SIDS), akan membutuhkan
bantuan dalam memetakan dan membatasi EEZs mereka serta mengembangkan lembaga
atau institusi dan prosedur-prosedur yang baru.
Suatu analisa terbaru tindakan-tindakan nasional yang berdasarkan pada
Barbados Programme Action. Menurut Berjuntai et al. (2005) bahwa pengelolaan secara
integral pesisir pantai sudah ada dan dibentuk oleh beberapa negara yang tergabung
dalam SIDS yang berlangsung diakhir dekade, dengan demikian memerlukan
pengembangan pada tahap yang berikutnya.
Puncak Kebijakan kelautan yang diadakan di Lisbon, Portugal, Oktober 2005,
sekitar kurang lebih 40 negara mengomentari usaha-usaha mereka untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan integral kelautan yang berhubungan dengan konflik-konflik
kesepakatan penggunaan ganda diantara mereka seperti halnya para agen pemakai dan
pengelola, degradasi sumber daya laut dan kehilangan peluang untuk pembangunan
ekonomi. kebijakan-kebijakan nasional yang berbeda sama halnya dengan membangun
kaitan menggunakan istilah menyeluruh prinsip-prinsip dan kebutuhan yang transparan
atau nyata, keterlibatan publik dan stakeholder, tunjangan untuk aksi kerjasama, dan
tanggun-jawab administrasi kelautan nasional yang jelas dan transparansi. GEF (global
environmental facility) mendukung pengembangan mengenai kebijakan-kebijakan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
20
regional kelautan yang mengutamakan sumber daya dan batas-batas kelautan yang
disepakati 15 Large Marine Ecosystems (LMES).
KESIMPULAN
Pengelolaan eksositem kawasan laut dan pesisir secar terpadu pada dasarnya
adalah sama dengan mengadopsi pendekatan yang holistik dan terpadu yang meliputi
dimensi lingkungan dan sosial ekonomi, tetapi skala operasi dan tingkat intervensi
pengelolaannya mungkin beragam dengan mengacu pada skala geografis. Banyaknya
limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke dalam wilayah pesisir,
perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga
perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk
menciptakan pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan.
Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan
ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi
keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders,
sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi,
perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi. Selain itu bantuan
finansial dari Global Environmental Facility (GEF) dan instansi bilateral maupun
multilateral berkontribusi terhadap penerapan konsep dan pendekatan ini pada tingkat
daerah, nasional maupun regional.
SUMBER RUJUKAN
Cicin-Sain and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Pres, Washington DC.
Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita,Jakarta.
Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai dan Kawasan Pantai Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kemaritiman, Jakarta.
Kay, R. And J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.
Nybaken,W.J. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia, Jakarta.
Sorensen, J.C. and S.T. McCreary. 1990. Institutional Arrangement for Managing Resources and Environment 2nd ed. Coastal Publication No. 1. Renewable Resources Information Series. US National Park Services and US Agency for International Development, Washington DC.
www.lestari-m3.org Powered by Joomla! Generated: 1 March, 2009, 03:54
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (21‐26)
21
KONSUMERISME SEBAGAI SIMBOL MODERNITAS
Asliah Zainal (Staf Pengajar pada Jurusan Dakwah STAIN Kendari)
Abstract:
This paper try to describe mode of consumsion the modern society and how they interprete the symbols in the social and cultural sphere. Modernity as one of the globalization impact tends to bring society in the popular culture, it is consumerism. Why people tend to paralyze their logical thinking (as the one of modern characteristic) in the way to faced commodities of capitalism. Apparently, there are close relevances between the flooding of exotic advertisement in the capitalis industry, the paralyzing of logical thinking of merchandises, and finally the rising of deceived conciousness. The result is modern society with consumerism preference brings to the situation of anomic, which is the interaction among them is the contractual interaction, mechanical solidarity, and the distance relationship. Whereas they try to built the pseudo- identity and tends to be fragile. The modern society put on the consumerism symbols because they are fear if they are not part of group. Modernity in the process of seeking the identity makes society like to create the manipulative symbols to cause themselves not be alienated from the society and culture. In that process people are in the ambiguity, in the liminal, which is arrange the communities with the manipulative symbols.
Kata Kunci: Modernity, Consumersism, Popular Culture, Identity,
Symbols.
PENDAHULUAN
Dalam alam modernitas sebagai dampak globalisasi, manusia memproduksi
simbol sekaligus memaknainya sebagai referen dan atribut-atribut kemodernan. Simbol-
simbol modern ini berbeda secara signifikan dengan simbol-simbol pada masyarakat
tradisional.
Konsumerisme merupakan salah satu gaya hidup masyarakat modern yang
mengacu kepada apa yang dimakan, apa yang dikenakan, dipertontonkan, apa yang
dilakukan untuk menghabiskan waktu. Konsumerisme demikian menunjukan identitas
diri yang dicirikan atau disimbolkan oleh atribut-atribut tertentu. Tulisan ini berupaya
untuk mengungkap pola konsumsi masyarakat modern dan bagaimana simbol-simbol
modernitas tersebut dimaknai secara sosial budaya.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
22
KONSUMERISME SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MASSA
Ciri modernitas yang membawa dampak materialisme dewasa ini diwakili oleh
kehadiran mall, fasilitas dan sarana pendidikan, tempat rekreasi, tempat hiburan, bioskop,
perbankanan, dan sebagainya. Ciri-ciri modernitas tersebut kemudian dihubungkan
dengan pola konsumsi masyarakat modern itu sendiri. Pola konsumsi ini mengacu kepada
apa yang dimakan, apa yang dikenakan, apa yang dipertontonkan, apa yang dilakukan
dalam menghabiskan waktu mereka dalam kehidupan. Cara-cara manusia menghabiskan
waktu pun menjadi komoditas kapitalisme. Hal-hal yang tadinya bersifat “leissure”
menghabiskan waktu menjadi nilai bisnis di mata kaum pemilik modal (kapitalis). Cara
manusia bersantai, bepergian, berolah raga, atau bahkan bermain dianggap sebagai
sebuah “pekerjaan” tertentu (Briggs, 2006: 233).
Ia menjadi bernilai bisnis dan menjadi bagian dari pola konsumsi. Konsumerisme
ini merupakan salah satu dari budaya massa. Yang dimaksudkan dengan budaya massa
adalah budaya yang menyenangkan, disukai banyak orang, bahkan budaya masa ini
diartikulasikan sebagai budaya “sub standard” (Storey, 1993: 11). Karena sifatnya yang
sub standard, maka ia sebetulnya tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi oleh masa untuk
dikonsumsi oleh masaa. Segmen pasar dari budaya pasar ini adalah sosok-sosok
konsumen yang tidak bisa memilih, budaya ini dimiliki atau bahkan dikuasai tanpa
berpikir panjang dan tanpa perhitungan.
Mengapa manusia modern cenderung melumpuhkan sikap kritisnya dalam
menyikapi budaya massa, termasuk budaya konsumerisme? Mengapa manusia modern
yang konon dicirikan rasionalitas cenderung terus terbius untuk membeli komoditi-
komoditi dan rayuan visual eksotis dari barang-barang tersebut? Pertanyaan tersebut akan
dijawab dengan asumsi bahwa ada hubungan antara kesadaran manusia, informasi, dan
konsep keterasingan itu sendiri. Informasi yang diterima individu secara terus menerus
yang mengarahkan pada sikap mengiyakan atau menolak, akan membentuknya menjadi
transformasi informasi. Bila transformasi tersebut memberikan solusi yang
mensejahterakan dan bukan mencelakakan, maka hal itu disebut sebagai proses
emansipasi dan kesadaran kritis menjadi kesadaran emansipatorik (Sutrisno, t.t: 150).
Penjelasan ini belumlah dapat menjawab pertanyaan mengapa jika manusia sudah
memiliki tiga bentuk kesadaran demikian (kesadaran kritis, transformasi dan
emansipatorik), akan tetapi menjadi tidak kritis atas rayuan komoditas konsumerisme.
Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas Asliah Zainal
23
Ada tiga hal yang menjadikan manusia menjadi tumpul daya kritisnya menghadapi
rayuan visual eksotis benda-benda komoditas; (a) Banjir eksotisme iklan dalam industri
kapitalis membuat apa saja menjadi benda dan mimpi serta menyadari secara kritis dalam
reifikasi, (b) Kesadaran manusia dibuat terbuai oleh fethisisme atau pemberhalaan yang
melumpuhkan rasioalitas. Orang lalu menjadi tidak merasaa percaya diri, tidak
beridentitas karena tidak memiliki merk-merk tertentu, (c) Berlakunya kesadaran semu
yang membentuk dan memberhalakan sublimasi yang seolah-olah menjadikan manusia
kuat sebagaimana dimodelkan oleh iklan. Iklan telah menciptakan kesadaran semu
manusia (Sutrisno, t.t: 152).
Ketiga hal tersebutlah yang mengalahkan kesaran kritis manusia modern dengan
eksotisme mimpi yang ditawarkan iklan menjadi mimpi-mimpi semu dan akhirnya
melahirkan kesadaran semu. Oleh sebab itu, budaya massa sebagaimana halnya
konsumerisme dianggap sebagai dunia impian kolektif. Mimpi dan kesadaran semu telah
melahirkan manusia-manusia yang teralienasi dari dunia dan kehidupannnya.
Dampak modernitas dalam masyarakat berimplikasi pada kehidupan sosial
budaya. Ide-ide globalisasi dan modernisasi membawa masyarakat dari identitas
pertanian kepada masyarakat industri, dari masyarakat tradisional dengan ciri mistis dan
spritualitas menuju masyarakat modern yang rasional-materialistis. Belum lagi perubahan
yang sangat cepat dari kebudayaan oral menunju pada kebudayaan membaca-menulis
(literacy) menjadikan individu-individu mengalami kekagetan budaya (cultural shock).
Individu-individu yang mengalami shok budaya ini merasakan ada gap antara
kebudayaan sebelumnya yang selama ini melingkupinya menuju pada kebudayaan baru
yang sama sekali tidak dikenalnya. Akibat yang bisa dipastikan adalah manusia-manusia
modern menjadi teralienasi dari kebudayaan dan masyarakatnya sendiri. Istilah yang
diperkenalkan Durkheim adalah anomi, sebuah keadaan dimana nilai, norma, dan aturan
yang selama ini dijadikan pegangan menjadi terburai dan tercerai berai.
Bentuk-bentuk alienasi masyarakat modern demikian sangat jamak ditemukan
dalam msaarakat modern atau disebut pula dengan masyarakat transisional. Disebut
sebagai masyarakat transisional sebab ia mengikuti cara hidup modernitas, akan tetapi
belum sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai kebudayaan lama yang selama ini dianutnya.
Sifat ambiguitas inilah yang banyak melanda manusia-manusia modern yang teralienasi
dari masyarakat dan kebudayaannya sendiri.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
24
Konsep destination shopping ini yang secara tidak sadar membentuk impian dan
kesadaran semu para konsumer dan akhirnya melahirkan pola-pola konsumerisme yang
tak akan pernah akan ada habisnya. Akhirnya, berbelanja juga dianggap sebagai sebuah
pekerjaan, sebuah aktivitas sosial dan suatu saat menjadi kompetisi baik kompetisi untuk
diri sendiri (memutuskan membeli atau tidak) juga terlebih untuk kompetisi pada teman
dan anggota masyarakat lain (sebagai simbol status, gengsi dan image manusia modern
dan tidak ketinggalan zaman).
Kemodernan diidentikkan dengan gaya hidup, status, kelas sosial, gengsi, dan
citra tertentu. Manusia membeli sesuatu bukan lagi ditujukan demi tujuan substansi
materi benda itu sendiri akan tetapi oleh gengsi, status, dan citra pribadi dan juga
kelompok. Tidak ada lagi keintiman hubungan antara dua personal atau kelompok. Satu-
satunya interaksi yang terjadi dalam interaksi dunia konsumerisme adalah simulacra,
dangkal dan kurang bermutu (Putranto, dalam Sutrisno, t.t: 200). Hal ini bisa dijumpai
dalam interaksi yang ditemukan dalam restoran-restoran cepat saji, penerimaan oleh
resepsionis bank atau hotel, dan tempat-tempat perbelanjaan pada umumnya.
Konsumsi bagaimanapun merupakan sektor yang anomik. Meskipun mengikuti
pola hidup konsumerisme yang diperlihatkan individu menunjukan sebuah sikap pasivitas
dari individu yang bersangkutan, konsumsi sesungguhnya adalah sebuah perilaku yang
aktif dan kolektif. Ia bersifat aktif karena merupakan sebuah paksaan, sebuah moral oleh
sistem masyarakat (Baudrillard, 2004 91). Jadi, bisa jadi konsumsi juga merupakan
sebuah institusi yang berfungsi integratif dan kontrol sosial bagi anggota masyarakatnya.
Pola konsumerisme yang dilakukan oleh masyarakat tertentu kemudian membentuknya
menjadi masyarakat konsumsi. Masarakat konsumsi dalam kondisi demikian menjadi
sarana sosialisasi pembelajaran konsumsi. Masyarakat konsumsi lewat paksaan yang
dilakukan oleh kontrol sosial (melalui atomisasi pribadi konsumen) melahirkan
masyarakat yang memiliki solidaritas organik, bersifat kontraktual, dan berjarak, bukan
lagi masyarakat yang mengacu pada solidaritas mekanik sebagaimana awalnya atau
hubungan-hubungan familiar.
MAKNA SIMBOL KONSUMERISME DALAM DUNIA MODERN
Simbol sebagai tanda dalam kehidupan memiliki hubungan dengan suatu tanda
lain dalam kehidupan. Simbol kemudian harus dibedakan dengan tanda dan lambang
tersebut. Ada tiga tipe tanda dalam kehidupan manusia sebagaimana diungkapkan Charles
Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas Asliah Zainal
25
Pierce (dalam Saifuddin, 2005: 291), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon mencerminkan
obyeknya dalam hal tertentu (salib adalah ikon Kristen); indeks memiliki keterkaitan
secara fisik dengan obyeknya, misalnya mawar sebagai indeks kelompok bunga;
sedangkan simbol berarti sesuatu yang berarti bagi obyeknya, karena ditafsirkan
sedemikian rupa melalui kesepakatan dan penggunaannya.
Karakteristik simbol sebagaimana diungkapkan diatas menerangkan bahwa
simbol itu merupakan sesuatu yang arbitrer. Pemaknaan yang disimbolkan adalah mana
suka tergantung atas individu atau subyek dan interest tertentu. Simbol juga
merepresentasikan sesuatu yang abstrak yang tidak mudah diobservasi atau divisualisasi.
Di samping itu, simbol juga dilekatkan untuk mengatur dan mengacu pada obyek yang
disimbolkan.
Konsumerisme sesungguhnya adalah manipulasi simbol. Simbol diciptakan untuk
kemudian dimaknai secara manipulatif demi untuk mengecoh makna sebenarnya yang
diacu oleh simbol-simbol tersebut. Konsumerisme dalam restoran cepat saji yang
dicirikan oleh interaksi simulacra (dangkal dan kurang intim), pelayanan yang diberikan
dalam hotel atau perbankan, cara manusia berbelanja, menghabiskan waktu (rekreasi),
atau bermain dimanipulasi oleh simbol-simbol hubungan atau interaksi yang dangkal,
kontraktual, berjarak, dan sporadik.
Manusia modern yang berada dalam masa transisi dicirikan oleh identitas diri
yang membingungkan (ambigu). Mereka berada dalam alam ambang yang jika mereka
masih memegang nilai-nilai lama dalam ketradsionalan mereka, akan dikatakan
ketinggalan zaman. Akan tetapi, jika mereka akan mengikuti pola kebudayaan baru yang
serba modern nilai-nilai baru tersebut belum terbentuk secara konkrit. Manusia-manusia
yang mengalami kebingungan ini berada dalam fase ambang (threshold). Manusia
modern dikatakan Sairin (2002: 172) juga bisa diidentifikasi sebagai masyarakat
transisional yang ambigu/liminal (neither here and nor there).
Konsumerisme sesungguhnya menyimbolkan impian dan kesadaran semu.
Konsumerisme memberi ruang bagi eskapisme (pelarian) bukan semata pada dunia yang
lain (dunia mimpi), akan tetapi juga pelarian dari utopia manusia sendiri. Mimpi
ditawarkan oleh iklan secara bombastis menjadikannya bukan semata sebagai impian
semata lagi. Komoditas-komoditas yang ditawarkan iklan menjanjikan mimpi akan jadi
kenyataan (the dream come true) dan akhirnya mimpi itu sendiri bukan lagi sesuatu yang
utopis bagi manusia modern. Mall adalah katedral konsumsi. Konsumerisme dewasa ini
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
26
dimetaforkan sebagai agama. Sebagaimana agama, ia memiliki potensi dan komoditas
untuk dipuja dan ritualnya berupa pertukaran uang dan barang.
KESIMPULAN
Modernitas yang berada dalam proses yang terus menerus dan proses pencarian
identitas, menjadikan manusia modern menciptakan simbol-simbol manipulatif untuk
menjadikan dirinya tidak teralienasi dari masyarakat dan kebudayaannya. Dalam proses
yang terus menerus seperti itu manusia berada dalam masyarakat yang ambigu, berada
dalam alam liminal, yang membentuk komunitas-komunitas dengan ciri-ciri simbol yang
manipulatif.
SUMBER RUJUKAN
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baulrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Briggs, Asa & Peter Burke. 2006. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fieldman, Philip. 1980. Psychological Problems. New York: John Wiley & Sons.
Klaffke, Pamela. 2003. Spree; a Cultural Hystory of Shoping. Van Couver: Arsenal Pulp Press.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer; Sutau Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia; Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Storey, John. 1993. Teori Budaya dan Budaya Pop; Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.
Sutrisno, Mudji, et.al. t.t. Cultural Studies; Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan.
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (27‐36)
27
POTENSI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS ALAM DAN BUDAYA
Burhan1) dan Jalil2)
1) Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Kendari e-mail: [email protected] dan [email protected]
2)Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Buton, Prov. Sulawesi Tenggara
Abstract:
Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Daerah karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang sangat kompleks. Kompleksitas struktur geologi tersebutlah yang diduga mengontrol sistem kekayaan wisata alam dan budaya di daerah ini. Sistem wisata alam dan budaya daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi perlu terus dikembangkan agar dapat memberikan manfaat berlimpah bagi daerah ini.
Kata Kunci: kawasan karst, mikrokontinen, pariwisata alam dan budaya.
PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu
yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Proses tersebut telah menghasilkan
konfigurasi yang menarik mengenai keterkaitan antar aspek, khususnya aspek-aspek
geofisik dan geologi. Keterkaitan tersebut menandai transformasi kawasan karst
mikrokontinen Buton-Tukangbesi (Satyana, et al., 2008; dan Tanjung, et al., 2008) baik
dimensi spasial maupun dimensi temporalnya. Harapannya akibat transformasi kawasan
karst tersebut baik dimensi spasial dan temporal dapat disajikan dalam tulisan ini.
Berpijak pada hasil penelitian pemodelan struktur bawah permukaan kawasan
regional Sulawesi Tenggara dan kawasan Busur Banda bagian barat berdasarkan kajian
anomali gravitasi (Burhan, 2009), tulisan ini juga diarahkan untuk melengkapi dan
mensosialisasikan informasi mengenai keadaan karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi,
yang jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dapat mendukung potensi
pengembangan pariwisata di daerah ini, terutama wisata alam dan budaya.
Penguatan data yang menjangkau dimensi spasial sekaligus temporal ini, adalah
modal utama untuk merumuskan nilai strategis kawasan karst, yang dapat memandu kita
kearah pelebaran visi dan rancangan pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak.
Pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak diharapkan dapat mendukung program
pemerintah dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan pariwisata, yaitu
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
28
untuk menumbuhkan pemahaman dan perkembangan masyarakat terhadap kebudayaan
dan pariwisata, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan menumbuhkan sikap
kritis terhadap fakta sejarah dan serta memperkokoh ketahanan bangsa (Anonim, 2008).
Hal lain yang tidak kalah penting untuk disadari bahwa pembangunan bidang kebudayaan
dan pariwisata memiliki peran penting dalam memperbaiki struktur kehidupan bangsa,
apalagi dengan adanya persoalan kompleks dan bersifat multidimensional yang saat ini
masih berlanjut setelah terjadinya krisis berkepanjangan, serta meningkatnya ancaman
keamanan secara global.
STRUKTUR GEOLOGI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI
Keadaan geologi daerah karst Mikrokontinent Buton-Tukangbesi telah
berlangsung sejak jutaan tahun yang lalu hingga saat ini, namun secara umum telah mulai
dijelaskan dan ditekuni oleh van Bemmelen (1949), Hamilton (1979), Katili (1978),
Fortuin, et al. (1990), Smith dan Silver (1991), Davidson (1991), Koswara dan Sukarna
(1994), Sikumbang, et al. (1995), Ali, et al. (1996), Eldburg dan Foden (1999a), Milsom,
et al. (1999, 2000), Eldburg, et al., (2002), Tobing (2005), Satyana, et al., (2008) dan
Tanjung, et al., (2008).
Daerah karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang
sangat kompleks. Menurut van Bemelen (1949), mikrokontinen Buton-Tukangbesi adalah
salah satu pulau yang berasal dari Lengan Tenggara Sulawesi. Pecahan-pecahan Lengan
Tenggara Sulawesi terdiri atas beberapa pulau yang disebut gugusan kepulauan Buton.
Pulau Buton (atau Butung), Muna, Kabaena, dan Wawonii adalah pulau-pulau besar dari
gugusan kepulauan ini serta Kepulauan Tukangbesi adalah gugusan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau ini terpisah dari Lengan Tenggara Sulawesi dengan selat-selat yang cukup
sempit. Kepulauan ini merupakan antiklin naik sehingga membentuk cekungan berarah
baratlaut (NW). lipatan-lipatan setempat mengandung deretan coral memanjang yang
berumur neogene hingga pleistocene, sebagai contoh di pulau Buton bagian selatan
terdapat 14 terraces (petak-petak) pada ketinggian 703 m diatas mean sea level (gunung
Kontu).
Blok-blok kerak dibawah permukaan dari kepulauan Buton ini umumnya
menyebar secara radial ke segala arah terutama berarah timur, tenggara, selatan dan barat
daya. Bawah permukaan pulau Wawonii berarah timur hingga terhubung dengan lantai
cekungan Banda bagian utara. Kedalaman batimetri mencapai 5100 m hingga 6500 m.
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya
Burhan dan Jalil
29
Selanjutnya, muncul blok-irisan gugusan kepulauan Tukang Besi yang berasal dari Buton
bagian tengah yang berarah tenggara. Palung Buton ini membujur sejajar (parallel)
dengan blok-blok kepulauan Tukang Besi yang dipisahkan kurang lebih oleh tiga sifat
(triangular blok) yang berbeda dengan pulau Hagedis (Batuatas) dan pulau Kabia. Blok-
blok ini berakhir pada bagian selatan Buton dan alas blok ini menerus dari arah barat
hingga berakhir pada cekungan banda bagian selatan. Daerah ini mempunyai kedalaman
kira-kira 2000 m. Pada pulau Batuatas terdapat lipatan coral muda pada ketinggian 193
diatas mean sea level (msl). Pada daerah Buton selatan-barat terdapat punggungan yang
memanjang ke barat daya melalui pulau-pulau kecil yang dimulai dari pulau Kadatua dan
Siompu menerus hingga teluk Bone.
Rata-rata orogenic daerah ini sangat aneh, karena susunan sayatan kerak berarah
radial (beberapa di antaranya terangkat seiring waktu, terjadi tumbukan antar blok hingga
sampai pada kedalaman ribuan meter). Menurut Hamilton (1979) dan Katili (1978), Pulau
Buton dan Kepulauan Tukangbesi merupakan salah mikrokontinen yang berasal dari
batas bagian utara benua Australia yang akibat adanya lempeng tektonik sehingga Pulau
Buton berada pada posisinya saat ini. Mikrokontinen–mikrokontinen yang diduga kuat
berasal dari batas bagian utara benua Australia bukan hanya pulau Buton saja, tetapi juga
adalah mikrokontinen Banggai-Sula, Seram, Buru dan Kepala Burung Papua. Hal ini
dilihat dari kandungan hidrokarbon yang berlimpah di daerah-daerah tersebut (Tobing,
2005; Satyana et al., 2008 dan Tanjung, et al., 2008).
PARIWISATA ALAM DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI
Singer (2006) mengemukakan bahwa sebelumnya, banyak orang lebih mengenal
Buton sebagai penghasil aspal alami terbesar di Asia yang hingga saat ini diperkirakan
masih terdapat deposit aspal sekitar 650 juta ton. Saat ini, Pulau Buton tidak hanya
dikenal dari aspal alamnya, tetapi juga dikenal sebagai pintu gerbang wisata di Sulawesi
Tenggara. Buton dan pulau-pulau disekitarnya memiliki potensi wisata alam kelas dunia
jika dikembangkan. Potensi alam tersebut antara lain : wisata bahari Pantai Nirwana,
wisata bahari Taman Nasional Wakatobi, wisata bahari Pulau Kabaena, wisata bahari
Basilika (Batuatas, Siompu, Liwutongkidi, Kadatua), wisata alam hutan alami
Lambusango, Suaka Margasatwa Buton Utara, Wisata alam karst Wasampuarona, wisata
alam daerah bekas penambangan aspal, dan wisata gua karst Buton (Purwanto, 2006).
Pada tulisan ini, penulis hanya akan menulis sedikit contoh kekayaan wisata alam di
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
30
daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi, yaitu Hutan Lambusango dan Taman
Nasional Laut Wakatobi.
Hutan Lambusango memiliki luas 65.000 ha. Hutan ini terbagi atas berbagai
status yaitu : Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi.
Posisi Hutan Lambusango terletak pada kawasan strategis, karena terletak di jantung
Pulau Buton. Jarak dari Bau-Bau ke pusat Hutan Lambusango di resort Labundo-bundo
sekitar 63 Km, dapat ditempuh dengan jalan darat sekitar 2 jam. Hutan Lambusango
sering disebut sebagai benteng terakhir kehidupan anoa (Bubalus sp.). Anoa dikenal
sebagai satwa endemik Sulawesi yang sekarang statusnya terancam punah (endangered).
Hingga saat ini anoa di Hutan Lambusango masih ditemukan sekitar 100 individu. Satwa
lainnya yang unik dan umum ditemui di Hutan Lambusango adalah : Julang Sulawesi
(Aceros cassidix), Tangkasi (Tarsius sp.), Andoke (Macaca ochreata brunescens),
Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), dan Musang Tenggalung (Viverra tangalunga).
Di Hutan Lambusango terdapat suatu kawasan unik yang disebut, Padang Kuku.
Tempat ini disebut dengan hutan kerdil (cloud forest) atau hutan berkabut pegunungan
tropis (tropical mount cloud forest). Kondisi hutan seperti Padang Kuku, umumnya
ditemukan di wilayah lain pada daerah sub alpin (ketinggian di atas 2000 m dpL).
Padahal, kawasan Padang Kuku di Hutan Lambusango hanya berada pada ketinggian
300-370 m dpL, luasnya sekitar 500 ha. Wisatawan yang berkunjung di daerah ini akan
akan menemukan tipe vegetasi yang lain dengan didominasi oleh pohon kerdil bengkok-
bengkok, dan berdaun tebal. Di Padang Kuku, jika cuaca cerah, para wisatawan dapat
melihat keindahan matahari terbenam (sunset) dari puncak bukit.
Berdasarkan hasil citra satelit (Gambar 4), diketahui bahwa luas terumbu karang
di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan
sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter
(jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar
terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomia, rataan
terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak
terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah
tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48
kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi.
Struktur geologi daerah karst mikrokontinen Buton-Tukang besi yang cukup
kompleks tersebut di atas menghadirkan keadaan bentang alam yang sangat indah, baik di
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya
Burhan dan Jalil
31
atas permukaan lautnya maupun keadaan bawah lautnya. Panorama alam tersebut belum
terjamah dan terkelola dengan baik, meskipun telah mampu mendatangkan banyak
wisatawan mancanegara, terutama di daerah-daerah bawah laut Pulau Hoga dan sekitar
Kepulauan Tukangbesi. Kawasan alam bawah laut Tukangbesi berada pada pusat dari
segitiga karang dunia (the heart of coral triangle centre), sehingga kawasan taman
Tukangbesi dikenal sebagai Surga Nyata Bawah Laut. Tukangbesi memiliki kekayaan
sumberdaya laut yang melimpah dan eksotik. Air laut yang sangat jernih, terumbu karang
yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan laut seperti ikan paus, ikan duyung,
ikan lumba-lumba, ikan napoleon dan berbagai jenis ikan hias lainnya serta berbagai jenis
tumbuhan laut, layaknya sebuah taman di lautan.
Kekayaan sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya
dengan panorama bawah laut yang menakjubkan (Gambar 1), menjadikan Taman
Nasional kepulauan Wakatobi dijuluki surga bawah laut di antara pusat segitiga karang
dunia (The heart of coral triangle centre, Gambar 2) yaitu wilayah yang memiliki
keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan)
tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon.
Kekayaan keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai
Taman Nasional Laut (Gambar 3), berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No
393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha.
PARIWISATA BUDAYA DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI
Selain keindahan alam (landscape beauty), Buton juga kaya sejarah dan budaya.
Buton merupakan pusat kesultanan besar yang wilayahnya meliputi Pulau Buton, Muna,
Kabaena, Kepulauan Tukangbesi, Rumbia dan Poleang, karenanya Buton memiliki
kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Hampir di seluruh pulau, dapat dijumpai
peningggalan kuno yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Wisata budaya terbesar
adalah peninggalan budaya berupa Benteng Keraton Buton di Kecamatan Wolio. Benteng
keraton ini berdiri megah di atas perbukitan yang menghijau, sehingga menambah
keindahan bentang alam Buton dan sekitarnya. Benteng keraton Buton ini masih berdiri
kokoh di usianya yang lebih 4 abad (dibangun pada abad ke-16), dan merupakan benteng
terluas di dunia dengan panjang 2.740 meter, tebal 1-2 meter dan tinggi 2-8 meter.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
32
Beberapa situs bekas peninggalan kesultanan Buton di sekitar keraton buton
adalah masjid agung keraton, kasulana tombi (tiang bendera kuno), Malige (rumah
kediaman Sultan), dan Makam Sultan Murhum. Masjid Agung Keraton dibangun pada
abad XVII, yaitu pada masa pemerintahan kesultanan Sakiudin Durul Alam. Disamping
sebagai tempat ibadah, juga dijadikan sebagai tempat bermunajat (memohon) kepada
Allah, SWT, dan juga dijadikan sebagai tempat pelantikan dan pengambilan sumpah
sultan Buton. Tak jauh dari Masjid Agung Keraton Buton, masih berdiri dengan tegak
tiang bendera kuno yang dikenal dengan istilah kasulana tombi (bahasa wolio) yang
berada pada sebelah kiri Masjid Agung Keraton Buton. Kasulana tombi ini didirikan pada
tahun 1712 dengan tinggi 21 meter. Wisata budaya Makam Sultan Murhum dapat
dijumpai disisi barat laut masjid. Murhum merupakan raja terkahir dari 6 raja dan sultan
pertama dan 38 sultan, dan dianugerahi gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis, yang
memerintah pada kurun waktu 1538-1584.
Di Buton terdapat sedikitnya lima bahasa daerah yang menggambarkan
banyaknya kelompok etnis sebagai penduduk asli. Masing-masing etnis memiliki corak
budaya sendiri. Adapun kelima bahasa daerah di bekas wilayah kesultanan itu adalah
Wolio, Ciacia, Tukang Besi (disebut bahasa pulau-pulau), Muna, dan Moronene.
Promosi wisata budaya di era Orde Baru dikemas dalam bentuk Festival Keraton
setiap tanggal 12-13 September di kompleks Keraton Buton. Festival tersebut merupakan
peristiwa budaya yang mampu memobilisasi partisipasi masyarakat Buton. Puluhan ribu
warga masyarakat secara spontan ikut berperan dalam setiap kali festival sebagai pelaku
maupun penonton. Dalam festival tersebut ditampilkan berbagai atraksi budaya antara
lain peragaan upacara perkawinan adat Wolio (Buton), upacara pingitan, perebutan uang
logam yang dibuang ke laut, dan pekande-kandea. Pekande-kandea merupakan pesta adat
tersendiri yang menampilkan aneka ragam makanan tradisional. Di luar festival, pesta
pekandekandea biasanya dilaksanakan dalam rangka hari raya Idul Fitri.
Dahulu acara pekakande-kandea dijadikan wahana tempat pertemuan para muda-
mudi sebelum melangsungkan perkawinan. Setiap tamu yang hadir diberi makan/disuap
(tompa) oleh seorang gadis cantik dan sebagai balasan dari sang tamu diberinya sedikit
uang sebagai tanda hubungan kemanusiaan yang sangat baik. Selain itu, ada juga upacara
Posuo. Posuo, adalah suatu upacara ritual masyarakat Buton, yang merupakan suatu
proses peralihan dari gadis remaja menjadi dewasa dan dilaksanakan selama 7 hari 8
malam. Dalam prosesi tersebut para gadis diberikan pengetahuan tentang pendidikan
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya
Burhan dan Jalil
33
nilai-nilai etika menurut adat dan agama, di samping itu mereka juga mendapat latihan
fisik untuk menuju perilaku dewasa sehingga dapat berpenampilan cantik dan anggun.
PENUTUP
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka disimpulkan bahwa
kekayaan wisata alam dan budaya di daerah Karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi tidak
terlepas dari proses fisik dan non fisik yang berlangsung terus menerus sejak masa
lampau hingga saat ini. Harapannya kekayaan wisata alam dan budaya tersebut tetap
dapat dipertahankan dan dikembangkan secara maksimal, bahkan semakin ditingkatkan
dengan tetap mempertahankan keaslian warisan alam dan budaya tersebut.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Forum Mahasiswa Pascasarjana Se-Indonesia (FWI) yang telah
mendukung dengan tiada henti-hentinya upaya penulisan ini.
SUMBER RUJUKAN
Anonim, 2008, Informasi Taman Nasional Wakatobi, www.tamannasionalwakatobi.org Diunduh pada tanggal 9 November 2008.
Anonim, 2008, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2007, Biro Perencanaan dan Hukum, Sekretariat Jenderal DepBudPar RI, Jakarta, Maret 2008.
Ali, J. R., Milsom, J., Finch, E. M. and Mubroto, B., 1996, SE Sundaland Accretion: Palaeomagnetic Evidence of Large Plio-Pleistocene Thin-Skin Rotations in Buton. In: Hall, R. & Blundell, D. J. (eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia. Geological Society, London, Special Publications 106, 431–443.
Burhan, 2009, Pemodelan Struktur Bawah Permukaan Kawasan Regional Sulawesi Tenggara dan Kawasan Busur Banda Bagian Barat Berdasarkan Kajian Anomali Gravitasi, Tesis S2 FMIPA (tak terpublikasi), UGM, Yogyakarta.
Davidson, J. W., 1991, The geology and prospectivity of Buton Island, S.E. Sulawesi, Indonesia. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, 20th Annual Convention, pp. 209–233.
Elburg, M.A., van Leeuwen, T., Foden, J., and Muhardjo, 2002, Origin Of Geochemical Variability By Arc–Continent Collision In The Biru Area, Southern Sulawesi (Indonesia), Journal of Petrology Volume 43 No.4 P.581-606.
Elburg, M. A. and Foden, J., 1999a, Geochemical Response to Varying Tectonic Settings: an Example from Southern Sulawesi (Indonesia). Geochimica et Cosmochimica Acta 63, 1155–1172.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
34
Fortuin, A. R., De Smet, M. E. M., Hadiwasatra, S., van Marle, L. J., Troelstra, S. R. and Tjokrosapoetro, S., 1990, Late Cenozoic Sedimentary and Tectonic History of South Buton, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 4, 107–124.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey Professional Paper 1078, 345 pp.
Milsom, J., Ali, J. and Sudarwono, 1999, Structure and Collision History of the Buton Continental Fragment, Eastern Indonesia. AAPG Bulletin, 83, 1666–1689.
Milsom, J., Thurow, J. and Roques, D., 2000, Sulawesi Dispersal and Evolution of the Northern Banda Arc. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Indonesian Petroleum Association, Proceedings of the 27th Annual Convention, pp. 495–505.
Katili, J, 1978. Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics 45, 289-322.
Koswara, A., dan Sukarna, D., 1994, Geologi Lembar Tukangbesi, Sulawesi, Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi, Bandung, Indonesia.
Purwanto, E., 2006, Membangun Pasar Ekowisata Buton, Editorial Buletin Lambusango Lestari, Edisi X Juni 2006.
Satyana, A.H., Armandita, C., and Tarigan, R.L., 2008, Collision and Post-Collision Tectonics in Indonesia: Roles for Basin Formation and Petroleum Systems, Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.
Sikumbang, N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B., Gafoer, S., 1995, Geologi Lembar Buton, Sulawesi Tenggara, P3G.
Singer, H.A, 2006, Pesona Buton Sebagai Pintu Wisata di Sulawesi Tenggara, Laporan Utama Buletin Lambusango Lestari, Edisi X Juni 2006.
Smith, R. B. and Silver, E. A., 1991, Geology of a Miocene Collision Complex, Buton, Eastern Indonesia. Geological Society of America Bulletin 103, 660–678.
Tanjung, H., Sukarno, N., Yuskar, Y., Hermawan, H., Zeiza, A.D., Sinaga, B.P.H., Sunandar, F., and Ferdyant, F., 2008, Field Observation of Southern Buton: an Oveview of Hidrocarbon Manifestation and its Geological Setting, Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.
Tobing, S.M., 2005, Inventarisasi Bitumen Padat di Daerah Sampolawa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Kolokium Hasil lapangan-DIM.
van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1A and II, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago, 2nd Edition, Martinus, Nilhoff, The Haque, New York.
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya
Burhan dan Jalil
35
Gambar 1. Keindahan Bawah Laut Taman Nasional Laut Wakatobi (Wong, 2007 dalam Anonim, 2008 )
Gambar 2. Pusat segitiga Karang Dunia (Coral Tri-angle Centre)
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
36
Gambar 3. Peta Kawasan Nasional Kepulauan Wakatobi
Gambar 4 Gugusan karang/atol di Kepulauan Tukangbesi
Gambar 5. Kukus Beruang di Hutan Lambusango (Singer, 2006)
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (37‐46)
37
REINVENTING PEMBANGUNAN SOSIAL (Social Development): UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENINGKATKAN DERAJAT
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK TERLANTAR
Chairun Nasirin Staf Pengajar pada STIKES Mataram
Abstract:
Masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial di daerah yang lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di daerahnya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan sosial. Sementara itu pembangunan sosial sering berinteraksi dengan dimensi pembangunan sosial. Karena itu, dalam pengoperasian kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Penyelengaraan program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan keterlibatan pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo (2008), ada beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial bagi masyarakat, yaitu: (1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar sesuai dengan ketentuan, (2) menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “penerima bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi dana Sistem Jaminan Sosial Nasional di daerah terkait; dan saran/usul kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional
Kata Kunci: Reinventing, Anak Terlantar.
PENDAHULUAN
Semakin kompleksnya masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial
di daerah yang lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses
merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di daerahnya
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan sosial. Sementara
itu pembangunan sosial sering berinteraksi dengan dimensi pembangunan sosial. Karena
itu, dalam pengoperasian kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru,
dimana negara ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Karena itu
paradigma pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang tentunya
harus dapat merespon perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang dinamis
dan semakin kompleks tersebut.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
38
Dalam kenyataannya, perubahan proses pembangunan merupakan hasil tindakan
yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang
paradigma pembangunan kesejahteraan sosial akan lebih bertumpu pada hak asasi
manusia, demokratisasi dan peningkatan peran sipil dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial yang lebih adil (Chamsyah, 2006), dan negara seharusnya berpihak
kepada rakyat secara keseluruhan, dan bukan berpihak kepada salah satu kelompok atau
golongan tertentu (Budiman, 2002).
Adapun paradigma pembangunan yang dimaksudkan, Chamsyah (2006) lebih
lanjut menjabarkan pembangunan yang dimaksud sebagai berikut: Pertama pembangunan
menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Kedua, hasil pembangunan
selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Ketiga, pembangunan mengaktualisasikan
potensi dan budaya lokal. Keempat, pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga
negara. Kelima, pemberdayaan peyandang masalah kesejahteraan sosial menjadi
komitmen bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Keenam,
pendekatan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial dilakukan secara
individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara terpadu. Oleh karena itu pengertian
pembangunan yang dimaksudkan akan dapat mendorong dilakukannya antisipasi yang
terus-menerus terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk perubahan yang
diakibatkan oleh proses pembangunan itu sendiri (Soetomo, 2008), serta merupakan suatu
orientasi pembgunan yang tiada akhir (Tjokroamidjojo, 1980).
Paradigma diatas secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses
pengembangan kapasitas masyarakat untuk dapat membangun secara mandiri yang
didalamnya juga terkandung proses belajar yang terus menerus sehingga tujuan
pembangunan sosial yang diharapkan dari suatu pemerintahan diharapkan dapat:
(1) meningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat; (2) menjamin
berlakunya hukum dan ketertiban masyarakat (law and order); (3) menjamin kebebasan
berpendapat dan memilih; (4) mengurangi ketegangan-ketegangan sosial; (5)
mempertahankan diri dari serangan-serangan luar; dan (6) menyediakan sarana-sarana
kesehatan serta pendidikan secara memadai (Suryadi, 2006).
Data menunjukan bahwa pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia
18 tahun atau 35,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Empat puluh persen atau
33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan, dan 45,8 juta tinggal di pedesaan (Depsos,
2004). Permasalahan anak terlantar merupakan fenomena utama yang dihadapi oleh
Departemen Sosial hingga saat ini. Disamping itupula, pemenuhan hak dan kebutuhan
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar
Chairun Nasirin
39
anak tentunya tidak terlepas dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh
kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah
kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu
strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan
kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi
masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi
masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu
ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi
yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.
PEMBANGUNAN SOSIAL (SOCIAL DEVELOPMENT)
Pembangunan sosial merupakan bentuk karya yang terstruktur dan berimplikasi
luas terhadap kualitas hidup manusia. Hal ini karena konstruksi pembangunan tersebut
terdiri atas serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan
manusia. Analogi ini menyiratkan bahwa karya terstruktur tersebut dilakukan melalui
pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan selama ini, yang ternyata telah
mengantarkan Bangsa Indonesia memasuki millenium ketiga dengan berbagai
konsekuensinya.
Setiap negara dengan wilayah yang luas, seperti halnya Indonesia tentunya
membutuhkan suatu sistem pemerintahan daerah yang efektif. Sistem ini tidak hanya
sebagai alat untuk melaksanakan berbagai program pemerintah di berbagai daerah yang
bersangkutan melainkan juga merupakan alat bagi masyarakat setempat agar dapat
berperan serta dalam, dan menentukan prioritas untuk membangun daerahnya sendiri.
Penguatan kelembagaan sosial lokal merupakan salah satu modal pembangunan
kesejahteraan sosial yang dapat dilakukan melalui strategi pemberdayaan. Strategi ini
merupakan upaya yang di arahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu dengan
meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan sosial lokal, serta menurut Dasgupta &
Serageldin (1999) sebagai social progress dari suatu kelompok masyarakat, yang dapat
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
40
menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial
di daerah.
Kehidupan masyarakat yang sejahtera merupakan kondisi ideal dan menjadi
dambaan setiap warga masyarakat (Soetomo, 2008), karena itu merupakan kewajiban
negara (state obligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk
memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (Raper, 2008).
Masalah sosial yang terkait dengan keterlantaran anak merupakan fenomena sosial yang
tidak dapat dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi
masyarakat yang tinggal di perkotaan, dimana salah satu faktor dominan yang akan
mempengaruhi perkembangan masalah sosial tersebut adalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu dampak negatif terhadap meningkatnya
arus urbanisasi dari daerah pedesaan menuju kota.
Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta kurangnya pengetahuan dan
ketrampilan menyebabkan mereka banyak mempertahankan hidupnya dengan terpaksa
menjadi anak terlantar (Gwads, dkk, 2008; dan Hendayana, dkk. 2008) memahami bahwa
keterlantaran dan tidak memiliki rumah tinggal tetap serta tidak mempunyai pekerjaan
tetap merupakan salah satu pemicu bagi anak untuk bekerja di jalan-jalan (street
economy) untuk mencukupi ekonomi keluarga mereka.
Keterlantaran (neglected) merupakan fenomena sosial yang banyak kita jumpai
terjadi tidak saja di Indonesia, namun juga pada belahan dunia lainnya. Le Roux (1998)
berpendapat bahwa “The phenomenon of neglected children children, an offspring of the
modern urban evirontment, represents one of humanity’s most complex and serious
challengges”. Fenomena keterlantaran ini tentunya tidak terlepas dari adanya urbanisasi
yang mengharapkan adanya perubahan kehidupan dan penghidupan pada arah yang lebih
baik dimasa mendatang. Chang, Rhee & Berthold (2008) berpendapat bahwa kebanyakan
anak-anak yang mengalami masalah keterlantaran ini karena mereka pada umumnya tidak
mempunyai rumah tinggal yang tetap, serta orang tua mereka tidak mampu untuk
membeli rumah bagi keluarga mereka. Selain itu, adanya faktor lain yang tidak
menunjang bagi keluarga dalam meningkatkan kesejaheraan hidup, seperti pendapatan
rendah (low paying jobs) dibawah rata-rata serta tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.
Masalah keterlantaran umumnya banyak dialami oleh anak-anak yang kurang
beruntung secara ekonomi yang sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin
dan tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya. Selain itu, kondisi
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar
Chairun Nasirin
41
ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam proses perumusan kebijakan
(Winarno, 2007). Oleh karena itu, para aktor yang terlibat dalam merumuskan suatu
kebijakan khususnya kebijakan sosial bagi anak terlantar tentunya tidak bisa terlepas dari
konsdisi sosial ekonomi yang melingkupinya.
Dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 menggatikan UU Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberikan kewenangan untuk dapat
mengatur jalannya fungsi pemerintahan, seperti halnya upaya pemerintah dalam
meningkatkan kemandirian anak terlantar. Karena itu, walaupun Indonesia menganut
prinsip negara kesatuan dimana pusat kekuasaan berada pada pemerintah pusat, namun
dengan menyadari keberagaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, baik kondisi sosial,
ekonomi maupun budaya, dan dengan diberlakukannya kebijakan ini tentunya hal-hal
yang berkaitan dengan masalah sosial seperti halnya anak terlantar (neglected) tentunya
dapat berjalan baik.
Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh
kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah
kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu
strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan
kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi
masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi
masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu
ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi
yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.
ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK TERLANTAR
Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial seperti anak
terlantar, dimaksudkan sebagai upaya pemerintahan daerah dalam mengangkat anak-anak
penyandang masalah sosial ke taraf pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas.
Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial, seperti anak terlantar,
menurut Peters (2007) bahwa pendidikan dapat menciptakan anak lebih kreatif dan dapat
membangun kepercayaan dirinya. Sehingga deskriminasi pendidikan bagi anak yang
mengalami masalah sosial ini dapat diatasi oleh pemerintah dalam rangka membangun
bangsa dan negara.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
42
Disamping itu, sekolah-sekolah umum yang menangani masalah anak terlantar ini
juga diharapkan tidak terjadi adanya diskriminasi perlakuan dalam pendidikan, sehingga
pendidikan itupula dapat dirasakan oleh yang mengalami masalah sosial tersebut. Hal ini
karena pendidikan juga merupakan kebijakan sebuah negara dalam menghasilkan
sumberdaya manusia yang diperlukan, dan merupakan human capital investment, yang
dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi sektor publik maupun sektor swasta. Karena
itu wajar bila sekolah dirancang dan diselenggarakan sesuai dengan cita-cita dan
kebutuhan yang berkembang dalam suatu masyarakat dan negara. Dengan kata lain,
pendidikan sesungguhnya merupakan instrumen dan sekaligus investasi yang penting
artinya, tidak hanya bagi kelangsungan hidup suatu negara dan masyarakat, tetapi juga
untuk kemajuan negara beserta masyarakat itu sendiri.
Hubungan sosial keluarga merupakan bagian penting bagi kehidupan anak.
Roditti (2005) menyarankan beberapa pendekatan dalam mengatasi anak, yaitu: (a)
emotional support yang berhubungan dengan masalah sosial, dimana seseorang dapat
mengungkapkan perasaan untuk mengatasi masalah yang dihadapi; (b) informational
support; seperti menyiapkan pendidikan tanpa harus membayar uang sekolah yang mahal
bagi mereka yang kurang mampu, serta dapat memberikan banyak informasi yang terkait
dengan masalah keterlantaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan negara; (c)
concrete services, yaitu memberikan pelayanan anak, melakukan kegiatan sosial
membantu mereka yang kurang beruntung, dan memberikan pengetahuan yang berkaitan
dengan tata cara perawatan kebersihan lingkungan.
UPAYA PEMERINTAH UNTUK MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN
Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan upaya untuk
mencapai tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang bercita-cita mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam pengoperasian kekuasaan
negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara ternyata tidak berpihak
pada kepentingan rakyat seluruhnya (Suryadi, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
negara seharusnya berpihak pada rakyat secara keseluruhan dan tidak berpihak kepada
salah satu kelompok tertentu, yang sebagian masyarakat tersebut hidup dalam kondisi
yang tidak menguntungkan dan mengalami kesulitan serta keterbatasan dalam mengakses
berbagai pelayanan sosial. Hal tersebut umumnya diakibatkan oleh kejadian perubahan
sosial ekonomi yang berkepanjangan yang berakibat pada masih adanya masyarakat
dengan kondisi yang memerlukan perlindungan sosial, seperti halnya anak terlantar
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar
Chairun Nasirin
43
(neglected children). Karena itu harapan dan tujuan dalam pembangunan tentunya tidak
terlepas dari peningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat dalam rangka
mengurangi ketegangan-ketegangan sosial.
Rawls (2006) dalam bukunya yang berjudul ‘A Theory of Justice’, menjelaskan
bahwa untuk mencapai keadilan sosial, terdapat dua prinsip keadilan, (1) setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang
sama bagi semua orang; (2) ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian
rupa sehingga (a) dapat diharpakan memberi keuntungan semua orang, dan (b) semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Karena itu Ikbar (2006) menyarankan
masalah ekonomi lebih merupakan suatu integrated social science of public purpose. Dan
masalah sosial, tentunya merupakan masalah yang tidak terlepas dari masalah kemiskinan
yang membutuhkan penanganan khusus dari pemerintah.
Dalam konsep pembangunan sosial yang ditawarkan diatas, tujuan pembangunan
mencakup peningkatan kesejahteraan bagi anak terlantar dan pemerataan pendapatan.
Karena itu, pembangunan juga tidak terlepas pada aspek-aspek kualitatif dari
pembangunan, yaitu pada hal-hal yang mencakup masalah kemiskinan, kesenjangan, dan
human resource development. Disamping itu, pentingnya peranan kaum elit terhadap
kaum marginal dan kelompok minoritas dalam pembangunan merupakan suatu hal utama
dalam pemerataan pembangunan. Oleh sebab itu, fungsi pemerintah tentunya erat
kaitannya dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah dan dapat
terdistribusi secara proporsional.
KEBIJAKAN SOSIAL BAGI ANAK TERLANTAR
Dalam beberapa literatur di jelaskan bahwa keterlantaran dan kenakalan anak
merupakan masalah sosial yang erat kaitannya dengan permasalahan kebijakan sosial.
Kebijakan sosial kadang dinyatakan sebagai bentuk respon terhadap masalah sosial.
Walaupun demikian, sebetulnya kebijakan sosial mempunyai kedudukan lebih dari
sekedar respon terhadap masalah sosial (Chapple, dkk. 2005; Soetomo, 2008). Hal itu
disebabkan oleh karena kebijakan sosial yang tidak hanya memberikan fokus perhatian
terhadap masalah itu sendiri, akan tetapi juga merancang suatu relasi sosial.
Lain halnya dengan Soetomo (2008) yang menjelaskan adanya dua bentuk respon
yang berkaitan dengan masalah sosial ini, yaitu respon langsung dan respon tidak
langsung. Respon langsung yaitu respon yang ditujukan kepada kelompok sasaran
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
44
tertentu yang menjadi penyandang masalah misalnya anak terlantar atau orang miskin.
Bentuknya dapat berupa pemberian pelayanan atau bantuan untuk meringankan beban
kehidupan kelompok ini, atau paling tidak agar penyandang masalah ini dapat tetap hidup
walaupun dalam kondisi minimal yang sesuai dengan harkat martabatnya sebagai
manusia. Respon tidak langsung yaitu dalam menangani masalah tentunya tidak langsung
pada penyandang masalah, melainkan pada pihak yang terkait dengan masalah tersebut.
Masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diharapkan, dengan demikian
dibutuhkan upaya untuk melakukan perubahan, perbaikan atau pemecahan masalah serta
kebijakan sosial yang merupakan salah satu bentuk upaya tersebut. Karena itu dalam
suatu kebijakan tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur pada pelayanan, seperti
kesehatan, pendidikan, perumahan, dan bukan masalah teknis melainkan cenderung pada
segi regulasi dan distribusinya.
Pemberdayaan merupakan suatu strategi pembangunan yang diarahkan langsung
pada akar persoalannya yaitu dengan meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan
sosial lokal yang diduga dapat menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah (Friedmann, 1992). Pemberdayaan
(empowering) hanya dapat terjadi dalam suatu lingkungan institusi yang kondusif yang
terdiri dari sistem fungsi legislasi dan proses pemilihan yang tepat, legal dan yudisial.
Terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutuan (sustainable human
development) tidak hanya tergantung pada kemampuan negara untuk dapat memerintah
dengan baik, namun juga pemerintah tersebut tentunya harus mampu menyediakan
pekerjaan yang dapat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, serta dapat memobilisasi
berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi,
dan politik. Dan dapat menciptakan mekanisme alokasi manfaat sosial (social benefits),
dan memberikan suara kelompok miskin dan keterlantaran dalam pembentukan keputusan
politik dan pemerintah (political and government decision making) untuk melindungi dan
memperkuat budaya, keyakinan agama dan nilai-nilai.
KESIMPULAN
Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintah adalah sesuatu yang penting
bagi proses kehidupan masyarakat, sekecil apapun kelompoknya, bahkan sebagai individu
sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah (Sarundajang, 2002). Dan secara sadar
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar
Chairun Nasirin
45
atau tidak sadar, harus diakui bahwa banyak sisi kehidupan kita sehari-hari yang erat
hubungannya dengan fungsi-fungsi pemerintah di dalamnya.
Penyelengaraan program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan
keterlibatan pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program
jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo (2008), ada
beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial bagi masyarakat, yaitu:
(1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar
sesuai dengan ketentuan, (2) menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk
“penerima bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima
bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya
sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi dana Sistem Jaminan Sosial
Nasional di daerah terkait; dan saran/usul kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Karena itu, pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari pelanggaran
dan invasi masyarakat lainnya dan sejauh mungkin bertugas melindungi setiap anggota
masyarakat dari ketidakadilan atau tekanan dari tekanan dari anggota masyarakat lainnya
(Muluk, 2007). Disisi lain sudah menjadi idaman bagi masyarakat negara-negara di dunia
untuk memperloleh tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mampu
mengelola pemerintahan secara baik pula. Oleh karena itu, Kessler, dkk (2005)
menyarankan perlunya best practice bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
dalam menangani masalah sosial dengan melakukan pendekatan sistem bagi anak yang
mempunyai masalah sosial tersebut.
SUMBER RUJUKAN
Chamsyah, Bachtiar. 2006. Reinventing Departemen Sosial Dalam Konteks pembangunan Sosial Indonesia. Jakarta: RM Books.
Chapple, Constance L. 2005. Child Neglect and Adolescent Violence: Examining the Effects of Self-Control and Peer rejection. Journal of Violence and Victims. Vol. 20 (1).
Chang, Janet., Rhee, Siyon & Berthold, S. megan. 2008. Child Abuse and Neglect in Cambodian Refugee families: Characteristics and Implications for Practice. Journal of Child Welfare. 87 (1).
Dasgupta, Partha & Serageldin, I. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington, DC: The World Bank.
Ikbar, Yanuar. 2006. Ekonomi Politik Internasional Implementasi Konsep Dan Teori. Bandung: Refika Aditama.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
46
Kessler, Michelle L, Gira, Emmanuelle & Poertner, John. 2005. Moving Best Parctice to Evidence-Based Practice in Child Welfare. The Journal of Contemporary Social Services. Vol. 82 (2).
Raper, Michael. 2008. Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia. Jakarta: TURC.
Rawls, John. 2006. Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roditti, Martha G. 2008. Undersatnding Communities of Neglectful Parents: Child Caregiving Networks and Child Neglect. Journal of Child Welfare. Vol. 82 (2).
Sarundajang, S.H. 2002. Arus Balik kekuasaan Daerah. Jakarta: CV. Muliasari.
Suryadi, Budi. 2006. Ekonomi Politik Modern Suatu pengantar. Yogyakarta: IRCiSoD.
Suyanto, Bagong. 2003. Pelanggaran Hak dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan. Surabaya: Airlangga University Press.
Suyanto, Bagong & Karnaji. 2005. Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga University Press.
Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses.Yogyakarta: Media Pressindo.
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (47‐56)
47
PREVENTION A LONG PERIOD COMPLICATION OF DIABETES MELLITUS
Lilis Novitarum (Staf Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan)
Abstract:
Diabetes mellitus is one of from many metabolic diseases that increase because underway lifestyle. Many factor can influence this disease, such as: age, lifestyle, overweight, ethnic and homeland. When Diabetes Mellitus is not handling immediately can make along period complication that make Damage organ system, in fact disablement or death. If the patient of DM can controlled and maintain Blood Glucose Degree in limit normally every time, so it can decrease along period complication. For avoid the complication is needful independent handling, until the patient have to knowledge, skill and attitude for adaptive with implementation of diabetes in daily living. Behavior is a response or reaction individual for stimulus is come from outside although inside itself. Obedience is definition as fidelity of patient to implement therapy method that the doctor recommended or another staff health. The behavior factor has a big influence for health status an individual or community.
Kata Kunci: Diabetes Mellitus, a long Period Complication, Behavior.
PENDAHULUAN
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan diabetes yang
tidak tergantung insulin. Penatalaksanaan terapi bagi penderita diabetes melitus meliputi
diet diabetes, latihan fisik, penyuluhan kesehatan masyarakat, obat hipoglikemi, dan
cangkok pankreas. Untuk menghindari komplikasi diperlukan penanganan secara mandiri
sehingga pasien DM harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk
menyesuaikan dirinya dengan penatalaksanaan diabetes dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Kepatuhan didefinisikan sebagai ketaatan
pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.
NIDDM pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa
darah tetap terjadi, maka diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik
oral. Sedangkan intervensi diet untuk mengendalikan glukosa darah merupakan salah
satu intervensi penting bagi pasien NIDDM. Tujuan intervensi diet ini adalah mengatur
kadar glukosa dan lemak darah,mendapatkan berat badan yang seimbang, dan
menghasilkan status gizi yang adekuat. Pengobatan diabetes tergantung pada
pengontrolan diet dan pengobatan.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
48
Penderita NIDDM meliputi 90 % sampai 95 % dari penderita diabetes melitus.
Dalam 30 tahun atau sekitar tahun 2020, penduduk Indonesia akan meningkat sebesar 40
% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 % sampai
dengan 136 %. Di Jawa Timur sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi
diabetes di pedesaan adalah 1,47 % dan di perkotaan adalah 1,43%.
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
NIDDM merupakan diabetes yang tidak tergantung insulin (Smeltzer, 2002).
Pada NIDDM terdapat 2 permasalahan utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus di permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi
insulin pada NIDDM disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Pada orang yang
kegemukan atau terlalu banyak makan makanan yang mewah, hepar akan tetap
memetabolisme makanan menjadi glukosa yang dilepaskan dalam darah. Awalnya sel
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan insulin. Sehingga insulin akan
terikat pada reseptor khusus di permukaan sel dan terjadilah reaksi intra sel. Tetapi jika
peningkatan glukosa terjadi secara terus menerus maka sel beta pankreas akan mengalami
kelelahan yang akhirnya terjadi gangguan sekresi insulin (Waspadji, 1999).
Faktor-faktor resiko yang menunjang terjadinya NIDDM menurut (Smeltzer,
2002):
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
Obesitas
Riwayat keluarga
Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli
Amerika tertentu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menderita diabetes
tipe II dibandingkan golongan Afro-Amerika)
Meningkatnya prevalensi Diabetes mellitus di berbagai negara berkembang
sebagai akibat dari peningkatan kemakmuran negara yang bersangkutan.
Peningkatan gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya
prevalensi penyakit degeneratif, seperti Diabetes Melitus. Di samping itu, cara hidup
yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore hari bahkan sampai malam hari
duduk di belakang meja akan menyebabkan tidak ada kesempatan untuk rekreasi dan
olahraga. Apalagi bagi para eksekutif yang hampir tiap hari harus lunch atau dinner
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus Lilis Novitarum
49
dengan relasinya dengan menu makanan barat yang “wah”. Pola hidup yang beresiko
seperti inilah yang menyebabkan tingginya prevalensi penyakit Diabetes Mellitus.
Komplikasi Jangka Panjang Diabetes Melitus (DM)
Komplikasi jangka panjang DM menurut Waspadji (1999) pada dasarnya terjadi
pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh ( Angiopati Diabetik ). Angiopati
diabetik dibagi menjadi 2, yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati
(mikrovaskuler). Komplikasi jangka panjang DM (Smeltzer, 2002):
1. Makrovaskuler
Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi
aterosklerotik.
a. Penyakit Arteri Koroner
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50 %
hingga 60 % dari semua kematian pada pasien diabetes. Salah satu ciri unik pada
penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien diabetes adalah tidak terdapat
gejala iskhemik yang khas karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi
neuroreseptor sehingga menumpulkan nyeri. Jadi pasien mungkin tidak
memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah koroner dan dapat
mengalami infark miokard asimtomatik dimana gejala khas yang lainnya tidak
dialami.
b. Penyakit Serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan
embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran
darah sehinga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan
iskhemik sepintas (Transient Ischemic Attack : TIA) dan stroke.
Kesembuhan dari serangan stroke dapat terhalang pada pasien yang kadar glukosa
darahnya tinggi ketika dan segera setelah diagnosis cerebrovaskular accident dibuat.
Gejala penyakit ini mencakup keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,
bicara pelo dan kelemahan.
c. Penyakit Vaskuler Perifer
Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut
nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan.
Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini merupakan
penyebab utama meningkatnya insidens gangren dan amputasi pada pasien diabetes.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
50
2. Mikrovaskuler
Ada dua tempat dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius, yaitu
mata dan ginjal.
a. Retinopati diabetik
Kelainan mata ini disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil pada
retina mata. 3 stadium utama retinopati :
• Retinopati non proliferatif
Sebanyak 90% penderita diabetes memperlihatkan manifestasi klinis yang
membuktikan adanya retinopati non proliferatif. Komplikasinya adalah edeme
makula, terjadi kurang lebih 10% penderita IDDM dan NIDDM dan dapat
mengakibatkan distorsi visual serta kehilangan penglihatan total.
• Retinopati pra proliferatif
Seperti retinopati non proliferatif, jika mengalami perubahan visual terjadi
selama stadium pra proliferatif maka keadaan ini biasanya disebabkan edema
makula.
• Retinopati proliferatif
Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retinopati proliferatif ini
disebabkan oleh perdarahan vitreus atau ablasio retina . Apabila terjadi
perdarahan, korpus vitreus akan menjadi keruh dan tidak dapat
mentransmisikan cahaya, akibatnya akan terjadi kehilangan penglihatan.
Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus adalah terbentuknya jaringan parut
fibrosa yang disebabkan resorbsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan
parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi ablasio retina dan akhirnya
terjadi kebutaan.
Gejala yang menunjukkan perdarahan adalah :
• Klien melaporkan benda tampak melayang/mengambang
• Klien melaporkan benda seperti sarang laba-laba
• Klien melaporkan perubahan penglihatan yang mendadak (penglihatan
yang berkabut)
Komplikasi oftalmologi yang lain adalah :
• Katarak : katarak terjadi pada usia yang lebih muda di antara pasien-pasien
yang lain.
• Glaukoma : glaukoma terjadi dengan frekuensi yang agak lebih tinggi pada
populasi diabetes.
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus Lilis Novitarum
51
b. Nefropati
Penyandang IDDM sering memperlihatkan tanda-tanda permulaan penyakit renal
setelah 15 hingga 20 tahun kemudian, sementara pasien NIDDM dapat terkena
penyakit renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosis diabetes ditegakkan.
Sebagian besar tanda dan gejala disfungsi renal pada penyandang diabetes serupa
dengan pasien non-DM.
Tanda dan gejala :
Kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema periorbital,
pembesaran vena leher. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering
bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
Pulmoner : sputum kental dan liat, napas dangkal, napas kusmaul.
Gastrointestinal : napas bau amonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia,
mual-muntah, konstipasi dan diare, perdarahan saluran cerna.
Muskuloskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang4.
c. Neuropati Diabetes
Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.
Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.
2 tipe neuropati diabetik yang sering muncul :
• Polineuropati sensorik
Polineuropati ini sering mengenai bagian distal serabut saraf khususnya
ekstremitas bawah.
Gejala awal : parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan rasa terbakar)
khususnya pada malam hari. Dengan bertambah beratnya neuropati, kaki
terasa baal (mati rasa). Di samping itu penurunan fungsi proprioseptif
(kesadaran terhadap postur tubuh serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta
berat badan) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat
menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
• Neuropati otonom sistem saraf pusat
Neuropati pada otonom mengakibatkan berbagai disfungsi yang mengenai
hampir seluruh organ tubuh.
Gejala : nocturnal diare, distensi bladder, takikardi, muka bengkak.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
52
PENCEGAHAN KOMPLIKASI JANGKA PANJANG DM
Untuk menunda munculnya komplikasi penyakit DM maka pasien DM
dianjurkan melakukan hal-hal seperti berikut :
1. Melakukan Perencanaan makan (Diet)
Dalam konsensus yang telah disepakati, kata diet diganti dengan istilah
perencanaan makanan (meal planning) untuk memberikan kesan kepada pasien agar
tidak terlalu menakutkan, karena kata diet selalu dihubungkan dengan pasien atau dengan
segala larangan jenis makanan sehingga kepatuhan pasien menjadi lemah. Dalam
merencanakan diet pada penderita DM harus dipikirkan matang-matang apakah diet itu
akan dipatuhi atau tidak. Jalan terbaik untuk itu adalah kita harus membuat perencanaan
makanan yang cocok untuk setiap penderita, artinya perencanaan makanan harus
dilakukan secara individualisasi sesuai dengan cara hidup, pola jam kerjanya, latar
belakang budaya, tingkat pendidikan, penghasilan, dan lain-lain. Menurut Smeltzer
(2002) Diet untuk mengendalikan kalori dapat dilakukan dengan menghitung kebutuhan
kalori seseorang dengan menggunakan rumus Harris Benedict untuk menentukan Basal
Energy Expenditure (BEE).
BEE (Wanita) = 655 + (9.6 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan
dalam cm) – (4.7 x umur dalam tahun)
BEE (Laki-laki) = 66 + (13.7 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan
dalam cm) – (6.8 x umur dalam tahun)
Menurut Gibson (1990) apabila penderita tidak mengetahui tinggi badannya dan
penderita harus bedrest maka dipakai rumus tinggi badan dengan pengukuran knee hight
(KH):
Laki-laki : [2.02 x KH (cm)] – [(0.04 x umur (th)] + 64.19
Wanita : [1.83 x KH (cm)] – [0.24 x umur (th)] + 84.88
Faktor aktivitas kemudian dikalikan dengan BEE untuk menghasilkan jumlah
kalori yang diperlukan agar berat badan dapat dipertahankan dengan jumlah prosentase
sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998) :
aktivitas ringan/tidur : 20 % dari BEE
aktivitas sedang : 35 % dari BEE
aktivitas berat : 50 % dari BEE
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus Lilis Novitarum
53
sedangkan tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori
Ringan Sedang Berat Mengendarai mobil Memancing Kerja lab. Kerja sekretaris Mengajar
Kerja rumah tangga Bersepeda Bowling Jalan cepat Berkebun
Aerobic Bersepeda Memanjat Menari Lari
Sumber data : Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998
Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaklah mengikuti pedoman 3 J
(Jumlah, Jadwal, Jenis ), artinya :
J 1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah.
Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan status gizi penderita,
adanya kasus-kasus tertentu, aktivitas, BB dan TB.
J 2 : Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan intervalnya. Pada dasarnya diet diberikan
dengan 3 kali makan utama dan 3 kali makan antara (snack = kudapan) dalam jarak
waktu interval 3 jam.
J 3 : Jenis makanan yang manis harus dihindari termasuk pantang buah golongan A dan
makanan lain yang manis. Buah-buahan yang termasuk golongan A, yaitu : sawo,
jeruk, nanas, rambutan, durian, nangka, anggur dan sebagainya. Sedangkan buah
yang dianjurkan adalah buah yang kurang manis (buah golongan B) misalnya :
pepaya, kedondong, apel, pisang, salak, tomat, semangka.
Berikut ini makanan yang harus dipantang dan yang boleh dimakan adalah
sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998):
1). Dilarang secara mutlak semua makanan yang mengandung gula, seperti: gula,
glukosa, selai, marmelede, madu, sirop, coklat, kue tarcis, buah-buahan kaleng,
lemon, bir.
2). Yang boleh dimakan secara terbatas adalah es krim, cake, bubur, kentang, puding,
nasi, buah-buahan, mentega, margarin.
3). Yang boleh dimakan secara bebas adalah daging, ikan laut, telur, sayuran, sop
bening, teh dan kopi tanpa gula, susu.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
54
Langkah-langkah dalam menggunakan daftar penukar untuk merencanakan diet:
1. Hitung kebutuhan Kkal setiap hari
2. Bagi Kkal yang diijinkan di antara protein, karbohidrat dan lemak (biasanya protein
diberikan 12-20 % atau 0,8 g per kg BB, karbohidrat 50-60 %, dan lemak 30 % dari
total Kkal.)
3. Tentukan beberapa penukar dari daftar yang dapat memenuhi jumlah karbohidrat,
lemak dan protein.
4. Buat penukar makanan dan snack didistribusikan tiap hari.
Pasien harus mengkonsumsi makanan penukar dalam jumlah yang sama dan pada
waktu yang sama setiap harinya (Moore, 1997). Setiap kali makan harus mengandung
karbohidrat, lemak, protein untuk memperlambat pencernaan dan absorbsi. Jika
menggunakan insulin, makanan dan snack harus dikoordinasikan dengan mula kerja atau
aktivitas puncak, dan lama kerja insulin. Karbohidrat harus selalu ada pada segala
aktivitas insulin untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.
Karbohidrat kompleks (serat dan tepung) harus ditekankan dan serat dianjurkan
untuk dikonsumsi 35-45 g/hari. Serat yang larut mempunyai pektin, gum, dan
hemiselulose yang mempunyai efek menurunkan kolesterol dan gula darah. Sumber serat
yang baik adalah buah-buahan.
Lemak. Karena prevalensi penyakit jantung koroner pada DM. Lemak jenuh
harus dibatasi sampai sepertiga atau kurang dari kalori lemak yang dianjurkan dan lemak
tak jenuh harus memenuhi sepertiga dari total kalori lemak.
Alkohol. Alkohol mempunyai banyak hal yang tidak menguntungkan untuk
penderita DM, dan alkohol memberikan 7 Kkal /gram di mana dapat memberikan
kontribusi terhadap kelebihan BB dan dapat memperburuk hiperlipidemia dan dapat
mencetuskan hipoglikemia terutama bila tidak makan. Walaupun demikian, bila pasien
sangat ingin dan disetujui oleh dokternya maka alkohol masih bisa diminum. Diharapkan
tidak lebih dari 57 g sekali minum dan frekuensinya tidak lebih dari 1-2 kali seminggu.
Makanan harus dimakan pada waktu minum alkohol atau sebelum tidur jika alkohol
diminum pada larut malam. Adalah lebih baik bila penderita DM dengan kegemukan
untuk tidak minum alkohol sama sekali.
Natrium. Direkomendasikan pada individu dengan DM untuk makan tidak lebih
dari 3 g natrium setiap harinya, karena kecenderungan akan hipertensi.
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus Lilis Novitarum
55
Pemanis diabetes. Pemanis bergizi atau mengandung kalori dan tak bergizi atau
bebas kalori dapat dipakai dalam jumlah sedang pada individu dengan DM. Pemanis
bergizi termasuk sukrosa (gula pasir), fruktosa, dan sorbitol sebagai gula alkohol. Dalam
jumlah kecil dapat dipakai dalam perencanaan diet. Sorbitol dan fruktosa sering
digunakan pada produk “bebas gula”. Pemanis tidak bergizi di pasaran seperti aspartam
dan sakarin.
2. Melakukan Olah Raga teratur
Dianjurkan melakukan olahraga selama satu jam setiap hari. Khusus bagi
penderita DM, dilakukan latihan senam, berupa pemanasan 10 menit, inti 20 menit, dan
pendinginan 10 menit, dengan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu. Dengan olah raga
maka tubuh akan berusaha meningkatkan metabolisme yang memerlukan energi dari
glukosa sehingga akan menurunkan kadar glukosa dalam darah. Hal ini bila dilakukan
secara teratur akan menjaga kadar glukosa darah normal dan akan mencegah terjadinya
komplikasi DM.
3. Mengkonsumsi Obat teratur
Pasien DM akan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
obat-obatan DM disarankan diminum atau diinjeksikan dengan dosis yang tepat dan
waktu yang tepat. Dengan dosis yang tepat akan menyebabkan pengontrolan glukosa
darah terjadi, tetapi sebaliknya jika pasien memakan obat dalam dosis yang berlebihan
dengan harapan supaya bisa cepat menurunkan kadar gula darah akan menyebabkan
hipoglikemia pada pasien yang kalau dibiarkan saja akan menyebabkan penurunan
kesadaran. Dengan waktu yang tepat maka pengontrolan glukosa dalam darah akan
terjadi dengan baik.
4. Melakukan kontrol gula darah secara teratur
Pemeriksaan laboratorium juga sangat menunjang pencegahan komplikasi DM.
Dengan teraturnya pemeriksaan gula darah maka tim medis dan pasien akan mengetahui
kestabilan gula darah. Bila gula darah stabil maka secara bertahap pihak medis akan
menurunkan dosis obat diabetes supaya tidak terjadi hipoglikemik.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
56
PENUTUP
Pada dasarnya komplikasi DM bisa dicegah dengan gaya hidup yang sehat dari
pasien itu sendiri. Tetapi tidak menutup kemungkinan, walaupun pasien mempunyai
pengetahuan cukup tetapi tidak mau merubah gaya hidupnya akan menyebabkan
komplikasi jangka panjang DM. Hal ini sangat berhubungan dengan penatalaksanaan
pengobatan DM memerlukan waktu yang panjang sehingga pasien merasa bosan dan
kurang patuh terhadap terapinya.
SUMBER RUJUKAN
Bagian Gizi RS dr. Cipto Mangunkusumo & Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 1996. Penuntun Diet. PT Gramedia. Jakarta.
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2 Edisi Alih Bahasa. EGC. Jakarta.
Depkes RI. 1990. Dasar-dasar Perilaku Manusia. Depkes RI. Jakarta.
Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO. 1998. Pedoman Diet Diabetes Melitus Di Rumah Sakit. Jakarta : FKUI.
Gibson, Rosalinds. 1990. Principles of Nutritional assessment. New York : Oxford University Press.
Ignativius, Donna D & Bayne, Marilyn Larner. 1991. Medical-Surgical Nursing : a nursing process approach. Philadelphia : W. B. Saunders Company.
Kee, Joyce L & hayes, evelyn R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Moore, Mary Courtney. 1997. Terapi Diet Dan Nutrisi. Hipokrates. Jakarta.
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Gajahmada Univercity. Yogyakarta.
Tjokropranowo, Askandar. 1994. Diabetes Melitus. PT Gramedia Pustaka Tama. Jakarta
Waspadji. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (57‐66)
57
PROSES PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI SOSIAL BUDAYA PENGUSAHA BATIK DI SURAKARTA
Mahendra Wijaya
Jurusan Sosiologi FISIP UNS [email protected]
Abstract
The goal of this research is to understand the process of the economy social culture formation of batik industrialist. The research method is naturalistic inquiry. The batik craffman (pengrajin pembatik) and trades women (bakul batik) is interrelated with the structue of nuclear family. Parent give a knowledge and skill of batik work or batik trading (culture capital) to their childs since underage. The parent motivated their teenagers for work in batik (economy capital). Batik craffman need capital and fine works by relationship with supervisor who works on supervisor (social capital)
The process of economy social culture capital formation of owner (juragan) and big trades (saudagar) is interrelation with the extended family structure.. Economic capital such is business and money, social capital such as social netwoking and the culture capital such knowledge skill exercion formed and grow up on a extended family as generation to generation.
Kata Kunci: economy capital, social capital , cultural capital and capital
formation.
PENDAHULUAN
Keberadaan batik tulis dengan corak atau pola batik Surakarta berasal dari
Karaton Surakarta (Doellah, 2002: 10). Pakoe Boewono III membuat busana dengan gaya
batik Surakarta baik corak atau pola, warna maupun makna pemakaiannya. Pada awal
abad ke 20, di bawah hegemoni budaya Karaton Kasunanan Surakarta telah berkembang
produsen sekaligus pedagang batik pribumi yang dikenal istilah lokal dengan sebutan
juragan Mbok Mase. Ia dikenal sebagai orang yang bekerja keras, disiplin,ulet, tidak gila
hormat tapi hemat, tidak mau kompromi, menabung dan tidak berfoya-foya (Soedarmono,
1987: 119). Pada tahun 1912 berdiri assosiasi dagang produsen dan pedagang batik
pribumi muslim pertama Sarekat Dagang Islam (SDI) Keberadaan assosiasi dagang itu
meningkatkan jaringan organisasi produksi dan perdagangan batik meluas dari
Laweyan sampai ke pelosok kota-kota besar di Indonesia.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
58
Pemerintah kolonialis Belanda melakukan tekanan politik ekonomi secara terus-
menerus akhirnya membuat Sarekat Dagang Islam menjadi lemah dan mengakibatkan
kemunduran jaringan perdagangan batik pribumi (Larson, 2001: 72). Kemunduran
tersebut berangsur-angsur menimbulkan pergeseran dari industri rumah tangga mandiri
ke nempakke, yaitu jaringan hubungan relasional antar unit-unit usaha produksi
terspesialisasi sebagai suatu cara untuk bertahan.
Pemerintahan Orde Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang
bertujuan untuk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Program benteng secara umum
dianggap distorsi dan gagal menumbuhkan wiraswasta pribumi di Indonesia, namun di
bidang perbatikan program tersebut menimbulkan efek positif, yaitu pemupukan modal,
penyerapan tenaga kerja, peningkatan keterampilan kerja, dan meluasnya industri batik
tulis dan cap di berbagai penjuru Kota Surakarta (Nurhandiantomo, 2004: 66).
Orde Baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi yang
mengutamakan industri padat modal, teknologi mekanisasi impor, dan produk massal.
Pada tahun 1970-an, terjadi pertumbuhan industri garmen dan printing bermotif batik
yang mempunyai nilai kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk batik
cap. Persaingan ekonomi komersial secara terus-menerus mengakibatkan batik cap kalah
bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Akan tetapi industri kerajinan batik tulis
di Surakarta tetap dapat bertahan. Hal itu disebabkan oleh kemampuan pengusaha batik
dalam mempertahankan spesifikasi produk batik tulis, yang corak dan fungsi
pemakaiannya terkait dengan adat Jawa serta kekuatan modal ekonomi social budaya
(Dwiningrum, 1997: 5-7).
Pada bulan Mei 1988 di Surakarta terjadi kerusuhan sosial. Ironisnya dalam
kondisi ekonomi terpuruk, pada pertengahan Oktober 1999 terjadi lagi kerusuhan sosial
Surakarta (Mulyadi, 1999: 467). Kerusuhan sosial beruntun tersebut mengakibatkan harga
bahan baku batik impor naik hingga 300 persen, permintaan masyarakat akan kain batik
menurun dan industri batik tulis, cap dan printing cenderung menurun. Dalam kurun
waktu yang relatif cepat industri kerajinan batik kembali bangkit yang ditandai dengan
beroperasinya 170 unit usaha batik di kampung batik Laweyan dan 25 unit usaha batik di
kampung batik Kauman serta 36 unit usaha batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam
Kota Surakarta. Tekanan terhadap industri kerajinan batik terus berlangsung dari waktu
ke waktu dan pengusaha batik selalu dapat mengatasinya.
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta Mahendra Wijaya
59
KERANGKA TEORITIK
Modal sosial sebagai suatu kepercayaan, norma-norma resiprositas dan jaringan
sosial yang memungkinkan terbentuknya koordinasi dan kerja sama untuk berbagi
keuntungan dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sebagaimana halnya
Bourdieu (Bourdieu, 1988) mengemukakan modal terdiri dari modal ekonomi dan modal
sosial. Modal ekonomi terkait dengan kepemilikan barang, benda dan uang yang dapat
digunakan bagi keperluan investasi. Modal sosial terkait dengan keterikatan dalam
hubungan-hubungan sosial, sedangkan modal budaya terkait dengan penguasaan
pengetahuan. Keduanya dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh kedudukan
sosial.
Putnam membagi tipologi modal sosial menjadi pola bonding social capital dan
bridging social capital (Putnam, 2000). Pola bonding social capital, jaringan sosial
yang terbentuk secara eksklusif (inward looking). Sebaliknya pola bridging sosial capital,
jaringan sosial terbentuk secara inklusif (outward looking). Dalam konteks jaringan
sosial ekonomi, Rutten mengungkapkan jaringan hubungan relasional antar aktor-aktor
ekonomi dalam proses industrialisasi di Asia menggunakan pola jaringan sosial ekonomi
mutualisme dan dominasi (Rutten, 2003: 22). Pola jaringan sosial ekonomi mutualisme
mengikuti hubungan balance reciprocity dan pola jaringan sosial ekonomi dominasi
mengikuti hubungan general reciprocity. Pola jaringan sosial ekonomi dapat membentuk
pola bonding social capital atau pola bridging social capital. Pola jaringan sosial
ekonomi yang terbentuk melalui kerja sama antara industri di suatu daerah dengan
daerah lain cenderung membentuk pola bridging social capital. Sebaliknya jaringan
sosial ekonomi dominasi antara industri besar dengan pekerja rumahan di dalam suatu
ruangan daerah tertentu cenderung membentuk pola bonding sosial capital.
Karenanya penelitian ini menggunakan metode naturalistic inquary, yaitu suatu
cara untuk menggambarkan proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya. Dalam
naturalistic inquary peneliti sebagai kunci utama dalam mengumpulkan data dan
menafsir data. Informan diperlakukan sebagai subyek dan hubungannya dengan peneliti
bersifat interaktif (Lincoln, 1985). Lokasi penelitian di kampung batik Laweyan dan
Pasar Klewer dengan alasan sebagai berikut: pertama, Kota Surakarta berhubungan
dengan “cultural heritage” warisan budaya batik khas Jawa. Kedua, kampung batik
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
60
Laweyan dan Pasar Klewer merupakan sub culture area produksi dan perdagangan
batik.
Jenis data terdiri dua, yakni data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi
sejarah, dokumen, artefak, catatan-catatan, peta, monografi, memo dan lain-lain. Data
tersebut akan diperoleh dari pengusaha batik dan istansi terkait. Sedangkan data primer
meliputi kata-kata, aktivitas sehari-hari, teks naratif, simbol simbol, dan lain-lain. Data
primer diperoleh langsung dari juragan, saudagar, pengrajin, pembatik, konsumen batik
dan tokoh perbatikan yang terkait.
SEJARAH INDUSTRI BATIK
1. Sejarah Industri Kerajinan Batik Tulis Surakarta
Asal usul batik tulis Jawa kuno, baik dari segi corak maupun sisi komersialnya
tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Mataraman. Desa Laweyan merupakan desa
kuno yang sudah ada sebelum berdirinya kerajaan Pajang. Penduduk desa Laweyan
hanyalah masyarakat kecil atau biasa disebut wong lumrah, tidak banyak meninggalkan
situs sejarah yang berarti. Desa Laweyan15 baru dianggap berarti setelah dikaitkan
dengan keberadaan situs sejarah Ki Ageng Anis seorang pejabat negara kadipaten
Pajang yang bertempat tinggal di Laweyan pada tahun 1546 Masehi (Priyatmono, 2000).
Kampung batik Laweyan di Surakarta berkembang sebagai kampung santri yang taat
menjalankan ibadah Agama Islam. Arti dan makna kerja sebagai ibadah dan sillahturohmi
mendatangkan barokah telah mengakar ke dalam kehidupan sosial ekonomi para santri.
Keberadaan batik tidak hanya sebagai simbol seni budaya Jawa namun juga sebagai
simbol kesejahteraan santri dan kemakmuran masjid. Hal itu mendukung terpeliharanya
hubungan saling percaya, norma-norma resiprositas dan kerja sama dalam hubungan-
hubungan produksi dan dagang
Keberadaan batik tulis corak Surakarta muncul sejak Pakoe Boewono II
memberikan wasiat kepada Pakoe Boewono III untuk membuat busana sendiri dengan
corak Surakarta Raja Pakoe Boewono menciptakan dan memberi maka pola batik terkait
dengan tradisi budaya Jawa. Tradisi budaya Jawa tidak lepas dari tata cara dan upacara.
Tata cara dapat diartikan sebagai proses jalannya upacara, artinya ubarampe yang
dipergunakan sebagai sarana upacara. Batik sebagai umbarampe upacara tradisi Jawa
mengandung makna simbolis yang berisi tentang suatu doa kepada Tuhan.
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta Mahendra Wijaya
61
Pemanfaatan batik sebagai sarana upacara tradisi Jawa memberi kekuatan batin bagi
pelaku-pelakunya dan untuk nguri-uri budaya keraton.
2. Sejarah Industri Kerajinan Batik Non Tulis (Batik Cap dan Printing)
Batik cap muncul sekitar tahun 1815 di Semarang, batik cap merupakan hasil
suatu proses membikin stempel dari tembaga untuk membuat lukisan lilin pada kain
dengan cara dicapkan (Susanto, 1980). Stempel disebut cap, pengerjaannya disebut
mencap dan hasil kain yang dicap disebut kain batik cap. Perkembangan teknologi batik
tersebut melipatgandakan produksi sekitar 10 kali lipat, waktu produksi lebih cepat, dan
biaya lebih murah daripada batik tulis. Batik cap dibawa dari Kota Semarang ke Kota
Surakarta sekitar awal abad ke 20. Batik cap berkembang dengan cepatnya di Laweyan
dan Kauman Surakarta, sehingga kawasan tersebut terkenal dengan sebutan tempatnya
juragan batik dan saudagar batik.
Istilah batik printing muncul sekitar tahun 1970-an, berawal dari perubahan
penggunaan bahan baku kain berbahan serat buatan, seperti polyester, polamyda , dan
lycra. Proses pembatikan pada kain berbahan serat buatan dengan cara menggunakan
teknik sablon dan cetak printing. Kain hasil teknik-teknik tersebut biasanya disebut
dengan tekstil dengan pola yang tersusun dari ragam hias batik atau batik printing.
Pertumbuhan industri batik printing terkait dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru
yang berorientasi pada ekonomi komersial dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Mode
produksi manufaktur batik printing menghasilkan batik printing secara massal, kualitas
halus dan harga relatif murah dibandingkan dengan batik cap.
INDUSTRI KERAJINAN BATIK MASA KINI DI SURAKARTA
Struktur ekonomi Kota Surakarta masih bertumpu pada sektor industri
pengolahan, perdagangan, rumah makan dan hotel. Hal itu tampak dari sebagian besar
atau sebanyak 67,10 persen penduduk Kota Surakarta bekerja di bidang industri
pengolahan dan perdagangan, rumah makan, serta hotel. Salah satu sub bidang industri
pengolahan dan perdagangan adalah industri batik. Industri batik tersebar di wilayah
Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan lainnya. Pusat perdagangan batik beroperasi di 38
pasar tradisional dan beberapa pasar modern yang terdapat di Kota Surakarta.
Perkembangan industri batik di Kota Surakarta terkonsentrasi di sentra-sentra
industri batik Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan industri batik mandiri lainnya
tersebar di berbagai wilayah di Surakarta. Industri batik masih menjadi andalan ekonomi
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
62
yang dapat memberi peluang kerja dan pendapatan bagi ribuan tenaga kerja di Kota
Surakarta dan sekitarnya. Pada tahun 2006, perkembangan jumlah industri batik yang
dapat bertahan dari tekanan ekonomi sebanyak 231 unit industri, masing-masing di
kampung batik Laweyan terdapat 170 industri, Kauman sebanyak 25 industri dan lainnya
tersebar di berbagai wilayah di Surakarta sebanyak 36 industri. Industri kerajinan batik
tulis, cap, dan printing tersebut dapat memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi
ribuan tenaga kerja yang berasal dari Surakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu industri
batik menjadi salah satu tumpuan utama perekonomian Kota Surakarta.
PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Proses pembentukkan modal ekonomi sosial budaya dapat terakumulasi melalui
investasi, warisan dan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh
pemiliknya untuk mengoperasionalkan penempatannya. Pengelola industri rumah tangga
batik tulis dan kios batik di kampung batik Laweyan dan Kauman Surakarta dikenal
dengan sebutan pengrajin pembatik dan bakul wade. Pengelola pabrikan batik
cap/manufaktur batik printing dan toko batik dikenal dengan sebutan juragan dan
saudagar batik.
1. Juragan dan Saudagar Batik.
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya terkait dengan struktur
keluarga besar juragan dan saudagar batik. Struktur keluarga besar di Laweyan Solo
terdiri dari Mbok Masse sepuh-Mas Nganten sepuh dan Mbok Mase-Mas Nganten serta
Den Bagus-Den Rara adalah serangkaian kakek-nenek, bapak-ibu dan anak perempuan–
anak laki-laki yang gigih dan ulet mengelola usaha batik. Keluarga besar
mengembangkan kelompok usaha induk-semang berdasarkan ikatan kekerabatan menurut
garis keturunan. Hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan
saling percaya, hubungan saling tolong-menolong dan hubungan kerja sama di bidang
usaha perbatikan. Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial-ekonomi
bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan
pendapatan di bidang usaha perbatikan. Kelompok induk semang sebagai saluran kerja
sama bisnis, seperti saling memberikan informasi pasar, saling pinjam meminjam
barangan dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam-meminjam sarana transportasi
serta saling memberi order pekerjaan.
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta Mahendra Wijaya
63
Juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial dan
budaya seraca turun–temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi
dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan
manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan
jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan
ketrampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap
menjalankan kegiatan usaha.
Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya
operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja. Satu siklus kerja selama 1 bulan.
Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran
modal uang tunai yang dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam
mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme
pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: Pertama, juragan dan
saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan
selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar
mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang
baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan
bulan ke satu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan
batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan
ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan
sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga
siklus kerja atau tiga kali.
2. Pengrajin Pembatik dan Bakul Batik
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin
pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua memberikan
pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik kepada anak-anaknya sejak usia
dini (sekitar 12 tahun). Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya yang menginjak
remaja (sekitar 16 tahun) untuk mencari nafkah sendiri. Pengrajin pembatik
membutuhkan modal usaha berupa bahan baku kain, malam dan peralatan membatik
seperti canting, anglo, gawangan, dingklik, tepas, dan lain-lain. Pengrajin pembatik
berusaha menjalin hubungan kerja dengan para mandor penggarap atau carik di sekitar
lingkungan tempat tinggalnya. Jika ada order, maka para mandor penggarap atau carik
akan memberi modal usaha, pekerjaan dan pendapatan kepada pengrajin pembatik.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
64
Seorang pengrajin pembatik menyelesaikan sehelai kain batik tulis butuh waktu sekitar
dua minggu hingga satu bulan tergantung rumit tidaknya pola batik yang dikerjakan.
Hubungan ketetanggaan mendorong terbentuknya jalinan hubungan kerja kontrak
borongan. Mandor penggarap memberi order pekerjaan, modal usaha, upah sedangkan
pengrajin pembatik menyediakan tenaga, ketrampilan dan kepatuhan.
Orang tua memberi pengetahuan dan ketrampilan berdagang kepada anak sejak
usia remaja atau sekitar 15 tahun. Para bakul batik memperoleh modal barang dagangan
dengan cara srempetan, ngempit dan nempil dari juragan atau saudagar batik. Seorang
bakul batik memperoleh pinjaman barang dagangan dengan cara srempetan jika ia telah
dipercaya oleh juragan atau saudagar batik. Juragan atau saudagar batik memberi
waktu pinjaman barang dagangan tanpa bunga selama 7 hari. Jika para bakul batik
mengambil barang dagangan pada hari Senin, maka hari Senin pagi berikutnya harus
membayar barangan dagangan tersebut kepada juragan atau saudagar batik. Ngempit
hampir sama dengan srempetan hanya waktunya lebih terbatas, hari ini pinjam besok pagi
harus mengembalikan atau elunasi. Sementara itu jika bakul batik tidak memiliki
barang dagangan tertentu yang dibutuhkan konsumen maka ia akan nempil barang
dagangan dari juragan atau saudagar. Bakul batik memperoleh keuntungan dari selisih
harga jual konsumen dikurangi harga dasar yang ditetapkan oleh juragan atau saudagar
batik. saudagar batik .Hal itu menunjukkan modal barang dagangan bakul batik sangat
tergantung dari juragan atau saudagar batik.
Dalam pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari
mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu di masa
depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan
bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik.Pengrajin
pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan
pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak
langsung nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam
hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan
bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan
kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketatanggaan dan keagamaan di
pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo
slro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain.
Pengrajin pembatik dan bakul batik memanfaatkan kelompok-kelompok sosial
keagamaan sebagai media kerja sama untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan.
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta Mahendra Wijaya
65
KESIMPULAN
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin
pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua
memberikan pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik (modal budaya )
kepada anak-anaknya sejak usia dini. Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya
yang menginjak remaja untuk mencari nafkah sendiri (modal ekonomi). Pengrajin
pembatik membutuhkan modal usaha dan pekerjaan dengan cara menjalin hubungan
kerja dengan para mandor penggarap (modal social). Jaringan sosial ekonomi
perbatikan di dalam sentra industri mengikuti pola bonding sosial capital.
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya juragan dan saudagar batik
terkait dengan struktur keluarga besar. Modal ekonomi (perusahaan dan uang), modal
social (jaringan sosia) dan modal budaya (pengetahuan dan ketrampilan usaha)
terbentuk dan berkembang melalui keluarga besar secara turun-temurun. Jaringan
sosial ekonomi perbatikan dari sentra industri ke luar sentra industri (pasar dan
perusahaan batik) mengikuti pola bridging social capital.
Kebijakan pengembangan industri rumah tangga (pengrajin pembatik dan bakul)
sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan modal budaya seperti pelatihan
membuat pola batik,teknik pewarnaan dan pembukuan sederhana. Sedangkan kebijakan
pengembangan pabrikan batik cap dan manufacture batik printing sebaiknya lebih
bereorientasi pada pengembangan modal social seperti jaringan pemasaran.
SUMBER RUJUKAN
Bourdieu, Pierre .1988. Homo Academikus. Polity Press. English.
Braudel, Fernand. 1982. The Wheels Of Commerce. (Volume 2 of Civilization and Capitalism. 15 th – 18 Century). Harper and Row. New York.
Clyde, Mitchell J. 1967. Social Networks in Urban Situations Analyses of Personal
Relationships in Central African Towns. Manchester University Press. Manchester
Doellah, H Santosa.2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi Surakarta. Surakarta.
Dwiningrum, Siti Irene.1997. Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di DaerahIstimewa Yogyakarta. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Geertz, Cllifford.1973. The Interpretation of Culture. Basic Book. London.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
66
Honggopuro, Kalinggo KRT . 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan. Penerbit. Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta.
Larson, George D.1990. Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lincoln, Yvonna S and Guba, Egon C.1985. Naturalistic Inquary. Beverly Hill:Sage Publication. California.
Mulyadi, Hari M dan Sudarmono.1999 Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit. Studi.RadikalisasiSosial. Wong Solo dan kerusuhan Mei 1998. LPTP. Central Grafika. Surakarta.
Nurhadiantomo.2004.Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri Dan Hukum
Keadilan Sosial Muhammadiyah University Press. Surakarta.
Putnam, Robert D.2000. Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community. .Simon and Schuster. New York.
Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Saudagar Batik di Laweyan Pada Awal Abad XX.Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Susanto, Sewan SK. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Departemen Perindustrian R.I. Jakarta.
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (67‐74)
67
RELASI KUASA ANTARA MEDIA TELEVISI YANG DOMINATIF-HEGEMONIK VS AUDIENS YANG AKTIF-KRITIS
Suatu Perspektif Cultural Studies
M. Ridhah Taqwa (Staf Pengajar Fisip Unsri dan Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Se
Indonesia) ([email protected])
Abstract:
The media of television which is the way of live for human in postmodernism period. The influenced is more signify in making the society culture based on capitalist ideology (market). There are three models to understand the media which more dominated by economy politics important such us manipulative models, plurality and hegemonic. From 3 model understanding are identified 3 models industry ideology media are (1) as representative for all circle society, (2) as class dominate, and (3) as hegemonic space for whom has the power as politic economy. Furthermore, because of the orientation of third ideology have tendencies nowadays, is much better the audiences conditioned is not only passive but should be critics for political and economic interest of media industry, particularly television.
Kata Kunci : media, audiens, plurality, hegemoni, aktif, kritis.
PENDAHULUAN
Selama satu dekade terakhir Televisi mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Selain jumlah stasiun TV dalam dan luar negeri yang makin banyak, jam tayang
yang semakin lama (24 jam), juga ditandai dengan pemirsa yang makin signifikan
jumlahnya pertahun. Waktu yang dihabiskan untuk menyaksikan berbagai tayangan
media semakin lama, karena program TV yang ditayangkan pun semakin bervariasi.
Semua itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi-
komunikasi yang sangat pesat, sehingga berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia
dapat dinikmati dalam waktu yang bersamaan, saat berlangsungnya peristiwa itu, seperti
siaran langsung pertandingan sepak bola. Media pun semakin signifikan pengaruhnya
terhadap kehidupan masyarakat, seiring dengan makin bervariasinya berita-informasi,
iklan dan hiburan yang diproduksi media, khususnya media Televisi.
Mengingat banyak dimensi yang terkait dengan keberadaan media, maka materi
bahasan ini akan difokuskan pada analisis teks media dan kedudukan audiens dengan
menggunakan pendekatan cultural studies (CS). Pilihan pendekatan ini terutama dengan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
68
alasan bahwa pendekatan CS mengakomodasi sejumlah pendekatan dari berbagai disiplin
ilmu sosial, seiring dengan kompleksitasnya dimensi (ekonomi, politik, sosial dan
budaya) media itu sendiri, khususnya TV. Dengan demikian fenomena yang dianalisis
diharapkan semakin tajam dan yang paling penting komprehensif.
TIGA MODEL MEMAHAMI MEDIA
Perhatian terhadap media dari perspektif CS terutama setelah perkembangan TV
yang semakin mengglobal, sehingga berubah dari siaran pelayanan publik menuju ke arah
TV komersial yang didominasi oleh korporasi multi-media sebagai suatu upaya
menemukan sinergi dan konvergensi. Dengan perubahan tersebut kepentingan ekonomi
politik terhadap media pun berkembang, dan pemahaman kita terhadap media hendaknya
didasarkan pada kepentingan tersebut. Dalam konteks ini, Barker mencoba menawarkan
3 model untuk memahami berita atau informasi yang disampaikan melalui media, yaitu:
1. Model Manipulatif
Dalam model ini media dilihat sebagi refleksi masyarakat yang didominasi kelas
dan idiologi secara sadar yang disodorkan oleh pengendali alokatif. Hal ini sebagai
konsekuensi langsung dan aktif dari terkonsentrasinya kepemilikan media di tangan
orang-orang yang mapan, atau oleh manipulasi pemerintah dan tekanan informal lain.
Meskipun ada banyak contoh manipulasi langsung atas berita, namun model ini dianggap
terlalu kasar dalam konteks demokrasi plural barat. Kebebasan semu diberikan pada
pengendali operasional dan atau wartawan, dan sejumlah kendala hukum dan pengaturan
berita serta posisi penonton. Ringkasnya, model ini menggunakan kekuasaan ekonomi
politik untuk mendominasi media, termasuk TV. Pada masa kekuasaan orde baru model
manifulatif inilah yang banyak dikembangkan sebagai instrumen penguasa mengontrol
media massa, khususnya melalui Departemen Penerangan dan PWI.
2. Model Pluralis
Model ini menyatakan bahwa kekuatan pasar yang mengarah pada pluralitas
pasar dan aneka ragam suara yang mengarah kepada penonton yang berbeda. Jika terjadi
konsentrasi pemilikan media, maka tidak terjadi kontrol kepemilikan karena adanya
independensi staf profesional. Media dapat menayangkan satu isu, dan menyingkirkan isu
lain dengan alasan bahwa penenton menentukan pilihannya berdasar pada mekanisme
pasar. Hanya pemirsa yang sadar akan pandangan politik dan gaya presentasional media
yang dapat memilih atau menonton acara yang disukai. Model ini tampaknya cukup
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis M. Ridhah Taqwa
69
demokratis, karena memberikan ruang terbuka bagi pemirsa untuk menentukan pilihan
dari sejumlah alternatif stasiun dan siaran TV.
3. Model Hegemonik
Model ini cukup populer bagi Cultural Studies. Meskipun kebudayaan tertentu
dapat dikonstruksi dalam berbagai ragam makna, namun suatu unsur makna berpotensi
sebagai induk atau yang dominan. Proses penciptaan, pemeliharan dan reproduksi
serangkaian makna inilah yang oleh Gramsci disebut hegemoni budaya. Hegemoni bukan
diterima, melainkan dimenangkan dan terus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang, dan
selanjutnya menjadikan kebudayaan sebagai lahan konflik dan perjuangan untuk mencari
makna. Dengan model hegemonik ini, idiologi berita bukan akibat intervensi langsung
pemilik atau manipulasi secara sadar oleh wartawan, melainkan akibat rutinitas dan
praktek kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi dan kode, bagaimana
berbagai hal dilakukan, memproduksi idiologi sebagai suatu common sence.
Menurut Zia dan van Loon ada 4 komponen dasar dari industri media yang
mengemas pesan dan produk, yaitu : (1) pesan atau produk itu sendiri; (2) khalayak yang
meneguk pesan dan mengkomsumsi produk; (3) teknologi yang selalu berubah, yang
membentuk, baik industri maupun cara pesan tersebut dikomunikasikan; dan (4)
penampakan akhir produk tersebut. Keempat komponen ini secara simultan berinteraksi
di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati ruang yang diperjuangkan secara terus-
menerus. Jadi perubahan bentuk ruang budaya, pesan-produk dan proses jual beli akan
menimbulkan pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Dengan mengacu pada
tiga model idiologi media dan empat komponen dasar industri media, akan dicoba untuk
menganalisis sejumlah tema dan kemudian dihubungkan dengan posisi atau perilaku
audiens, bersifat aktif atau pasif.
Media sebagai Ruang Dominasi Kelas
Sementara itu, jika model manipulatif yang berlaku maka kelas yang berkuasalah,
baik secara ekonomi maupun politik yang terwakili kepentingannya dalam industri media.
Mereka yang memiliki sumberdaya untuk mengontrol isi media, dan dengan kemampuan
pengendalian alokatif ini, maka media dapat diintervensi untuk memuat atau tidak
memuat materi tertentu di dalam media. Dengan demikian, model ini lebih
mengandalkan power dibanding dengan kekuatan idiologis.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
70
Untuk mendalami lebih jauh tentang kemampuan suatu rezim mengontrol secara
sistematis isi media, kita dapat berkaca pada masa pemerintahan orde baru, khususnya
pada pengendalian bahasa media. Pada masa ini media (khususnya cetak) sering
berurusan secara intensif dengan birokrasi. Hasil survai LP3Y pada tahun 1992 misalnya,
menemukan bahwa 46% informasi yang dipublikasikan media cetak bersumber dari
pemerintah, 39% dari masyarakat, komunitas politik dan bisnis, dan 15% dari berbagai
sumber.
Menurut Dakhidae tidak ada suatu periode dalam sejarah dimana suatu rezim
memberi perhatian yang sangat besar terhadap bahasa, sebagaimana rezim orde baru.
Rezim ini merasa perlu mengawasi bahasa dan memelihara semacam hukum atau aturan
bagi perilaku linguistik. Kecenderungan kontrol berbahsa ini berlanjut terus hingga akhir
kekuasaan orde baru meskipun dengan skala kecil dan terbatas. Menjelang runtuhnya
kekuasaan orde baru, seorang penyiar SCTV (Ira Koesno) misalnya, sempat diskorsing
setelah keceplosan bertanya yang dipandang mengusik dominasi kekuasaan orde baru
dalam wawancara dengan Sarwono Kusumaatmaja.
Media Sebagai Ruang Hegemonik
Model hegemonik lebih halus karena dengan rutinitas dari praktek kerja para staf
media yang telah melembaga sehingga kekuatan dominasi tersebut tidak lagi terasa. Jadi
ada permain dibelakang layar yang tidak menunjukan penampakannya, namun
pengaruhnya sangat kuat. Dengan demikian media dapat menjadi sarana bagi suatu
kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Dalam konteks ini
teori Gramsci tentang hegemoni layak dijadikan rujukan yang menekankan pada
bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok yang
dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan.
Antonio Gramsci yang mempopulerkan konsep hegemoni berpendapat bahwa
kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi materail dari sarana
ekonomi dan relasi produksi tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama
menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-
syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, sedang yang kedua meliputi perluasan
dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ (secara sukerala) dari kelompok yang didominasi oleh
kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Dengan
demikian proses hegemoni bekerja melalui cara kerja yang tampak wajar.
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis M. Ridhah Taqwa
71
Apa yang disebut sebagai nilai berita dalam kerja-kerja jurnalistik seringkali
secara tidak sadar menggiring pada upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah yang
justru sudah menjadi korban. Kasus-kasus pemerkosaan dilayar kaca misalnya, seringkali
menampakan sisi perempuan malang, seorang pekerja malam, janda cantik dan lainnya.
Common sense lain yang berhubungan praktek kerja jurnalis adalah kecenderungan untuk
menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini berhubungan dengan
kebisaan untuk menampilkan apa yang menarik diberitakan bagi publik. Berita
demonstrasi misalnya, yang ditampilkan adalah bentrokannya, bukan materi
demonstrasinya.
Perilaku Audiens: Aktif vs Pasif
Ada dua arus pemikiran tentang perilaku audiens (massa). Di satu sisi ada yang
memandang audiens bersifat aktif, sedang disisi lain ada pula yang memandang audien
bersifat pasif. Kedua arus pemikiran ini sudah lama berdebat seru tentang, apakah benar
audien benar-benar merupakan partner dialog yang relatif seimbang atau sebaliknya
mereka telah menjadi korban yang relatif pasif dan akan menerima apa saja yang
diberikan kepada mereka. Kunci perdebatan budaya ini berputar disekitar kemungkinan
dialog dengan media yang pada kenyataannya ditransformasikan menjadi sesuatu yang
lebih bersifat monolog. Dalam monolog seseorang berbicara untuk menapikan semua
orang lain. Para audien tidak bisa memberikan respon, mereka hanya menyerap apa yang
diberikan atau disodorkan oleh media.
Adorno dan Horkheimer memberikan sebuah ekspresi bahwa dialog media betul-
betul sebuah monolog pada pihak budaya industri. Selanjutnya keduanya mencoba
merumuskan tiga persoalan tentang posisi audien dalam budaya industri pada buku
Dialectic of Enlightenment, yaitu :
1). Budaya industri melihat dan menciptakan audiens tunggal. Argumen ini
mengisyaratkan bahwa budaya industri sendiri adalah budaya monolitik, maka
audiens budaya industri juga akan monolitik pula;
2). Audien monolitik yang tunggal dari budaya industri adalah massa yang pasif,
mereka tidak aktif baik pada, maupun untuk diri mereka sendiri
3). Dalam massa audien tunggal masing-masing individu merasa asing dengan
individu lainnya. Keduanya menegaskan bahwa media komunikasi modern
mempunyai dampak pengasingan; bukanlah sekedar paradoks intelektual.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
72
Berbeda dengan paradigma audiens pasif, kerangka kerja yang telah
mendominasi penelitian terhadap penonton dalam tradisi cultural studies, yaitu paradigma
audiens aktif. Tradisi ini menunjukkan bahwa penonton bukanlah orang bodoh secara
kultural melainkan produsen makna aktif dalam konteks budaya mereka sendiri.
Paradigma ini berkembang sebagai reaksi atas berbagai hasil kajian atas penonton dengan
asumsi bahwa penonton TV memiliki karakter pasif dengan makna dan pesan TV yang
diterima begitu saja. Banyak hasil penelitian yang memahami aktifitas penonton dalam
konteks perilaku menyatakan bahwa penonton meniru kekerasan dalam televisi. Yang
lain menggunakan korelasi statistik untuk membuktikan bahwa menonton TV memiliki
efek tertentu.
Para pendukung pendekatan audiens aktif berpendapat bahwa bukti-bukti
perilaku penonton tidak sekedar inkonklusif dan kontradiktif. Penonton TV bukanlah
massa yang tak terbedakan yang terdiri dari kumpulan individu dan terisolasi. Namun
penonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang
terkait erat dengan makna. Audiens adalah produsen makna aktif dan tidak sekedar
menerima begitu saja makna tekstual yang diidentifikasi oleh para kritikus. Mereka
melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi social. Jadi paradigma audiens aktif
merepresentasikan suatu perpindahan minat dari angka kepada makna, dari satu makna
tekstual kepada makna tekstual lain, dari penonton umum ke penonton khusus.
Akhirnya pendukung positif penonton TV dalam tradisi cultural studies
menyimpulkan:
Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan
pengetahuan luas, bukan produk dari teks yang distrukturkan;
Makin terikat oleh cara teks distrukturkan dan oleh konteks demostik dan
konteks budaya dalam menonton;
Penonton perlu dipahami dalam konteks dimana mereka menonton TV dan
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas sehari-hari;
Penonton dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas,
mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat;
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis M. Ridhah Taqwa
73
Proses konstruksi makna dan tempat TV dalam rutinitas bergeser dari
kebudayaan yang satu ke kebudayaan lain, berubah dalam konteks kelas dan
gender dalam komunitas budaya yang sama.
Dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran swasta, apakah kecenderungan itu
berarti pemaknaan terhadap teks media/TV semakin berkurang, atau justru sebaliknya.
Semakin banyak pilihan program bagi penonton, semakin banyak pula yang harus
dimaknai. Apakah dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran dan variasi program,
audiens semakin pasif atau semakin aktif dan kritis untuk menyikapi dominasi dan
hegemoni industri media? Fenomena inilah yang menarik dan masih perlu untuk dikaji
lebih lanjut.
SUMBER RUJUKAN
Barker, Chris. 2005. Cultural Studiers, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana. Yogjakarta.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan 4, LKIS. Yogjakarta.
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. 1969. Dialectic of Enlightenment. The Seabury Press, New York.
Harris, David. 1992. From Class Struggle to the Politics of Pleasure, the Effects of Granscianism on Cultural Studies. Routledge, London and New York.
Kellner, Douglas. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. Routledge, London and New York.
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, (editor). 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Mizan, Bandung.
Piliang, Yasraf A. 2004. Dunia yang dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Jalasutra, Yogyakarta.
Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginners. Mizan, Bandung.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Juxtapose- Kreasi Wacana. Yogjakarta.
http://rumputliar.wordpress.com/2009/02/25/review-kuliah-hari-ini-status-ontologis-etnografi-media/ Diunduh 25 September 2009.
http://books.google.co.id/books?. Diunduh 25 September 2009.
http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/12/Media_dan_Anak_Sekadar-Mengelola_Kecemasan.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
74
http://www.virtual.co.id/blog/cyberpr/pergeseran-peran-agenda-setting-komunikasi-massa-dan-apa-maknanya/
http://www.lambah.net/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=1
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (75‐82)
75
PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (Life Skill Education) DAN KONTRIBUSINYA UNTUK KEMAJUAN BANGSA
Muhamad Sehol (Mahasiswa Pendidikan Sains Program Pascasarjana Univ. Negeri Yogyakarta)
Abstract:
Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan. Kata Kunci: Life, Skill, Education.
PENDAHULUAN
Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education telah menjadi
wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan Nasional sejak
beberapa tahun yang lalu, dan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan. Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada
pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya
PP nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah atau sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP
maupun dalam panduan BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah
diharuskan memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, sekolah tetap
diberi keleluasaan untuk mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam
proses pembelajaran. Hal inipun akan berimplikasi terhadap perlunya sekolah
menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup.
Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya
yaitu pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan,
kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
76
peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian
kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil
dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi
melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga
tidak berdampak pada alokasi waktu yang ditetapkan.
Dalam paper ini, akan dikaji berbagai perspektif kecakapan hidup sebagai
bagian dari upaya merespon dinamika ketersediaan SDM handal untuk menopang
kemajuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan.
PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR KECAKAPAN HIDUP
Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian
kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki
makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai
keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang
memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam
kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1)
kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan
akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.
Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup
merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang,
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu,
kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin
(1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi
dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri.
Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu
(vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional
seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah,
mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi
(Dikdasmen, 2002).
Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam
pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan
bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan
kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja.
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa
Muhamad Sehol
77
Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1)
kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan
peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang
memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan
peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan
pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam
membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika
hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi
dari permasalahannya (Dikdaksmen, 2002).
Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah/daerah memiliki kewenangan yang luas
untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta
didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Berkenaan dengan itu, Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman
multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll)
merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa. Keanekaragaman
harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan kecakapan hidup. Pengenalan keadaan
lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih
mengakrabkan dengan lingkungan kehidupan peserta didik. Pengenalan dan
pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan
kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan
kompetensi peserta didik.
Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program pendidikan
kecakapan hidup dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
dilandasi kenyataan bahwa dalam pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata
tetapi juga pada pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat
direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Sekolah tempat program pendidikan
dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan
kecakapan hidup di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik
mengenai keterampilan-keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman peserta
didik dalam keseharian pada lingkungannya. Untuk memudahkan pelaksanaan program
pendidikan kecakapan hidup diperlukan adanya model pengembangan yang bersifat
umum untuk membantu guru/sekolah dalam mengembangkan muatan kecakapan hidup
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
78
dalam proses pembelajaran. Pendidikan kecakapan hidup bukan merupakan mata
pelajaran yang berdiri sendiri melainkan terintegrasi melalui matapelajaran-
matapelajaran, sehingga pedidikan kecapakan hidup dapat merupakan bagian dari semua
mata pelajaran yang ada.i samping itu perlu kesadaran bersama bahwa peningkatan mutu
pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan pemerataan daya
tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu pendidikan sehingga
mampu menjangkau seluruh masyarakat.
KONSEP KECAKAPAN HIDUP
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama,
yaitu: (i) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan (ii). Kecakapan hidup
spesifik (specific life skill/SLS).
Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan.
Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan
sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri
(self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri
pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan
dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir
mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan
mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam
kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan
kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau
keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau
kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik
terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.
Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan
keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar
(basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill).
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa
Muhamad Sehol
79
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian
untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari
dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Apabila hal ini dapat dicapai, maka
ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada
meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas
nasional akan meningkat secara bertahap. Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah
dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 1. Konsep kecakapan hidup
PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DAN STANDAR ISI
Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan
berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar
kompetensi lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan.
Oleh karena itu, pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu
kepada standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar
kompetensi lulusan merupakan salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan.
Standar isi terdiri dari: ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan
dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata
pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan.
Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar kurikulum, (2) struktur kurikulum,
(3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban belajar, dan (5) kalender
pendidikan.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
80
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh
program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan
menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
penyusunan program pembelajaran sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar
2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran
3. Mengembangkan indikator
4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup
5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan
6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal
berikut:
1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia
2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama yang berlaku
3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan bakat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya
4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan Program kecakapan hidup hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik dalam memasuki dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik
5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal, sosial, akademis, dan vokasional
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut:
a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d) Kelompok mata pelajaran estetika
e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Semua dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta
didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa
Muhamad Sehol
81
tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap
mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang
pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah
menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah
pertama berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat
perkembagan psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan
contoh dominasi pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/
SMP, SMA, dan SMK.
PENEKANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI TIAP JENJANG PENDIDIKAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang
diberikan sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya
mempersiapkan peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya
pendidikan kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam
pengembangan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri, berani
menghadapi problema kehidupan, serta mampu memecahkan persoalan secara kreatif.
Pendidikan kecakapan hidup bukan mata pelajaran baru, akan tetapi sebagai alat dan
bukan sebagai tujuan. Penerapan konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan
kondisi peserta didik dan lingkungannya seperti substansi yang dipelajari, karakter
peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya.
Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing
jenjang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang
Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan
hidup dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada
jenjang TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata
pelajaran masih kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin
berkurang dan substansi mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1
dan S2, porsi kecakapan hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar.
TK SD SMP SMA Si S2 dst
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
82
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup terintegrasi dengan beragam mata
pelajaran yang ada di semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya pada mata pelajaran
Matematika yang mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup di dalamnya, selain
mengajarkan peserta didik agar pandai matematika, juga pandai memanfaatkannya dalam
kehidupan sehari-hari, seperti: membaca data, menganalisis data, membuat kesimpulan,
mempelajari ilmu lain, dan sebagainya.
LIFE SKILL DALAM APLIKASINYA MENGATASI PENGANGGURAN
a) Community College
Dalam rangka menampung anak putus sekolah SLTP/MTs dan tamatan
SMU atau MA dan yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi maka perlu
dikembangkan lembaga pendidikan pelatihan yang dapat memberikan kecakapan
vocational yang disebut sebagai community college.
b) Profil kecakapan Vokasional yang berkembang di masyarakat
1. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh SMK
SMK melalui penerapan kurikulum mengmbangkan Kejuruan terkesan
hanya terkonsentrasi pada kejuruan tertentu seperti teknologi bisnis dan
manajemen.
2. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh Balai Latihan Kerja
BLK mengembangkan Latihan Kerja UKM Seperti : Teknologi mekanik,
otomotif, listrik, konstruksi tata niaga dan aneka pertanian .
3. Profil Kecakapan Vokasional yang dikembangkan lembaga pendidikan dan
pelatihan
c) Pengembangan life skill pada SMU yang berkeunggulan khusus
Penyelenggaraan SMU berwawasan khusus dengan asumsi bahwa
pendidikan di SMU tidak hanya berorientasi pada academic skillnya tetapi juga
penguasaan keterampilan kejuruan tertentu. Hal karena banyak lulusan SMU
(46,9%) tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dengan demikian
pengembangan SMU berkeunggulan khusus akan menciptakan output yang
memiliki kmampuan ganda.
SUMBER RUJUKAN
Balitbang Puskur 2008, Model pendidikan life skill, Jakarta : Depdiknas
Anwar (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup, Bandung : Alfa Beta
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (83‐88)
83
EKSISTENSI KESENDIRIAN AFASIA - DUNIA TANPA KATA DAN SIMBOL - DALAM KESENDIRIAN EMOSIONAL DAN KESENDIRIAN SOSIAL
(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl)
Musdalifah Dachrud (Staf Pengajar STAIN Manado)
Abstract:
Bertambahnya jumlah gangguan peredaran darah otak (CDV) atau istilah medis lain cedera pembulu darah otak (CVA) dan trauma kapitis, mmengindikasikan jumlah kasus dengan gejala sisa neurologik juga makin meningkat. Gejala sisa elementer yang paling menyolok adalah hemiparesis dan gejala sisa fungsi luhur yang paling banyak adalah afasia. Pada kasus CVD/CVA, kemungkinan seorang pasien menderita afasia adalah 25%, karena separuhnya menderita hemiparesis dekstra dan separuh dari ini mungkin menderita afasia.
Kata Kunci: Afasia, Kesendirian, emosional, social.
PENDAHULUAN
The Agency for Health Care Policy and Research Post-Stroke Rehabilitation
Clinical Practice Guidelines mendefinisikan afasia sebagai hilangnya kemampuan untuk
berkomunikasi dengan lisan bahkan isyarat, atau secara tertulis atau ketidakmampuan
untuk memahami komunikasi tersebut atau hilangnya kemampuan berbahasa (Gresham,
1995).
Darley (1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan tentang suatu
kerusakan atau pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa
cerebral hemisphere.
Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dan dapat pula
dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadau et al.,
2000)
Definisi lain mengungkapkan afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan
cognitive communication yang berhubungan denngan kerusakan otak lainnya seperti
dementia, dan traumatic brain injury (Orange, 1998). Bagaimanapun, penjelasan terhadap
afasia tidak sederhana semata-mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan sebagai
suatu kesatuan klinis yang kompleks.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
84
Secara klinis Kertezs (1979) menguraikan afasia sebagai bagian dari neurology
dimana gangguan terjadi pada pusat bahasa yang ditandai oleh paraphasias, kesukaran
menemukan kata-kata, pemahaman yang berbeda dan berubah lemah, berkaitan puala
dengan gangguan membaca dan menulis yang lazim seperti dysarthria, konstruksi non-
verbal, kesulitan menyelesaikan masalah serta kelemahan dalam memberi dan merespon
melalui isyarat (impairment of gasture).
Penderita afasia dalam psikologi dikategorikan dalam developmental
psychopathology. Perkembangan kehidupan mereka berbeda dengan individu normal
lainnya. Beberapa kajian tentang penderita afasia lebih banyak dikaitkan dengan
neurologi atau neurolinguistik (Fabbro, 2001). Sehingga menjadi motivasi tersendiri
untuk mengadakan pengkajian yang berbeda dengan kajian yang telah ada sebelumnya.
Tulisan ini akan lebih difokuskan pada kajian fenomena psikologis penderita afasia yang
terasing dalam kesendirian karena kehilangan dunia kata dan simbol yang pernah
dimilikinya
KESENDIRIAN TANPA KATA DAN SIMBOL
Hidup tanpa perantara komunikasi baik kata maupun simbol dengan dunia diluar
diri ibarat keterasingan hidup akibat putusnya jembatan yang menghubungkan. Dunia
diam tanpa stimulus dan respon, itulah yang dirasakan oleh para penderita afasia.
Dampak dari kerusakan berbahasa adalah pada kehidupan interpersonal, dengan
kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Interaksi mengisyaratkan
simbol-simbol dan tanda-tanda yang mengartikan suatu hal sebagai persetujuan pada
konteks kultur tertentu (Charon, 1989). Kata-kata, uang, tanda-tanda dan banyak ekspresi
non verbal lainnya seperti mengangguk untuk ya dan menggeleng untuk tidak adalah
contoh dari simbol-simbol. Untuk tujuan berkomunikasi, harus digunakan simbol-simbol
yang sesuai yang diterima sebagai pembawa arti dalam masyarakat. Komunikasi juga
melibatkan kemampuan memacu sebuah arti tertentu dalam pikiran orang lain dan
memahami apa yang ingin disampaikan oleh orang lain. Dan bagi afasia, kesulitan yang
parah adalah hilangnnya simbol-simbol yang penting untuk bahasa. Bukan hanya kata
lisan atau tulisan yang hilang dan tidak memiliki arti, tetapi juga simbol-simbol
pelengkap seperti mengangguk dan menggeleng, mengenali ekspresi kesenangan atau
kesedihan ataukah suara yang meninggi dalam kemarahan.
Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial
Musdalifah Dachrud
85
Akibat gangguan kemampuan untuk simbolisasi, eksistensi yang paling serius
dari afasia muncul dalam wujud kesendirian, perasaan malu, tersingkir, sikap dan
pengalaman dengan orang lain menjadi berubah menjadi kegagalan.
KESENDIRIAN SOSIAL
Menjadi bagian dari orang lain adalah hal yang didambakan oleh setiap orang.
Siapapun akan membutuhkan dan berkeinginan untuk merasakan secara menyeluruh
dalam dirinya bahwa ia adalah orang yang memiliki arti atau hidupnya bermakna bagi
orang lain (Zammuner, 2008). Terasing dari kehidupan bertetangga, bersahabat,
berkenalan, atau kontak sosial lainnya merupakan kesendirian dalam dunia sosial (Nolen,
2006; Caciappo, 2002 dan Vandewater, 1997). Sebagaimana halnya keberadaan penderita
afasia yang memperjuangkan kembalinya kemampuan berbahasa yang pernah begitu
mudah mengantarkannnya dalam berkomunikasi.
Perasaan kesendirian, terkurung dalam tubuh, muncul sebagai hal yang
menciptakan jarak dengan orang lain. Ketidakmampuan mengenali siapa lawan bicara,
situasi saat berbicara, dimana berbicara karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan
lancar. Terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi mengakibatkan identitas diri
sepertinya menghilang dan menganggap diri sebagai orang cacat. Tidak tahu akan diri
dan tidak mampu mempertahankan harga diri membuat mudah dalam menilai buruk
terhadap maksud-maksud baik orang lain. Kesendirian pun semakin diperkuat saat orang
lain mengabaikan dan tidak peduli dengan komunikasi yang dilakukan dengan
mengisolasi diri. Berbagai kondisi sulit itu memunculkan perasaan-perasaan keterasingan
yang mencakup kehidupan internal dan dunia sekitar (Van der Gaag, 2005).
KESENDIRIAN EMOSIONAL
Komunikasi verval tiba-tiba berhenti (afasia Broca) atau dapat berbicara lancar
namun tidak masuk akal (afasia Wernicke). Menemukan diri sendiri dalam situasi seperti
ini pada umumnya diterima sebagai pengalaman yang menakutkan sebagai akibat yang
berhubungan dengan perasaan-perasaan terkejut dan takut. Bahkan ada yang bingung dan
tidak dapat bertindak secara rasional. Gejolak pun muncul karena ketidakmampuan
untuk menerima bahwa diri tidak dapat berbicara.
Penderita afasia yang mengalami depresi saat menemukan dirinya sebagai orang
yang afasia akan mengalami pengurangan kepercayaan diri, yang dapat merubah citra
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
86
dirinya (Tenner, Gerstenberger dan Keller, 1989). Pengalaman depresi lebih lanjut akan
dapat mempengaruhi motivasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kebebasan
fungsional, karena kegagalan untuk ikut berpartisipasi dalam komunitas akibat
kemampuan verbal yang rusak, sering menghasilkan perasaan-perasaan kesendirian dan
isolasi. (Wahrborg, 1991).
KONSEP ISOLASI DALAM TEORI EGO PSIKOLOGI FREUD
Konsep dari ego psikologi digunakan oleh pakar ego psikologi (Freud, 1966;
Blanck dan Blanck, 1974) untuk menjelaskan proses-proses mental dimana perasaan-
perasaan terpisah dari pikiran. Isolasi sebagai sebuah karakteristik personal dalam
kenyataanya dapat menjadi hal yang problematis, tetapi disisi lain juga merupakan sebuah
sumber penting dalam momen-momen ancaman dan panik. Isolasi perasaan-perasaan
sepertinya menjadi kemungkinan yang dapat mengesampingkannya untuk bertindak
dalam suatu cara yang rasional. Orang akan menjadi sadar akan afasianya saat dia sedang
sendiri dirumah, atau ditempat rehabilitasi saat perawat meninggalkannya sendiri.
Kemampuan pengetahuannya dengan segera menunjukkan bahwa dia harus menekan
perasaannya untuk mendapatkan bantuan orang lain dan memakai kemampaun isolasi dan
rasionalitasnya sebagai sebuah strategi sadar. Hal ini berlawanan dengan teori mekanisme
pertahanan psikologi tidak sadar dimana menghadapinya dengan penyingkapan dan
pembebasan perasaan-perasaan tertekan yang telah diasingkan pada bagian pikiran yang
berbeda (Breuer dan Freud, 1895)
TEORI FENOMENOLOGI HUSSERL
Teori fenomenologi dari intensionalitas membantu memahami penangkapan
realitas non verbal dan pre reflektif semacam ini. Dengan memakai konsep
“intensionalitas”, Husserl tidak meragukan tentang kekuatan bawaan dari apa yang
disebut sebagai “sikap alami” yaitu “terbenam setiap hari dalam keberadaan dan
pengalaman seseorang, dimana kita meremehkan bahwa dunia adalah seperti apa yang
kita terima, dan bahwa orang lain mengalami dunia seperti yang kita alami” (Husserl,
1970; Dahlberg et al., 2001). Dalam tindakan intensionalitas, kita tidak merefleksikan
secara kritis, kita hanya ada dalam dunia keseharian dimana kita tinggal.
Saat terjadi afasia, maka terjadi kehilangan kemampuan untuk bergerak dari
sebuah sikap alami ke sebuah sikap yang lebih reflektif. Dunia sekitar dipahami dalam
Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial
Musdalifah Dachrud
87
cara yang sama seperti udara yang dihirup. Jelas tidak perlu untuk menganalisa
pengalaman-pengalaman yang sudah ada selama tidak memiliki akses pada kata-kata.
Apakah mungkin untuk mengenali realita secara intensional tanpa kata-kata?
Menurut Marleau-Ponty (1989), salah satu pengikut Husserl, kesimpulan semacam ini
sepertinya tidak masuk akal. Kata-kata bukanlah sebuah prasyarat untuk pemikiran.
Sebaliknya pemikiran adalah prasyarat untuk bahasa.
Kata tidaklah tanpa arti, karena dibalik dunia ada sebuah operasi kategorial, tapi arti ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki kata dan tidak memiliki, karena kata dipikirkan baru memiliki arti, kata tetap menjadi sebuah wadah kosong. Ini hanyalah sebuah fenomena artikulasi suara, atau kesadaran akan fenomena semacam itu, tapi dalam setiap kasus bahasa ini terjadi, tapi merupakan sebuah penyertaan eksternal dari pemikiran (Marleau Ponty, 1989, h. 177). Lebih lanjut satu aspek dari intensionalitas adalah kemampuan untuk berpikir
keseluruhan, tanpa kata-kata segera setelah terserang afasia. Pasien afasia tidak hanya
menangkap dan mengenali realitanya, tetapi juga selanjutnya akan terkejut dengan
ketenangan dan juga kemampuannya untuk menangani situasi akut. Bahkan yang
memiliki elemen-elemen yang kuat, seperti pada afasia impresif akan ingat dan mampu
menjelaskan tahap akut, meskipun terdapat fakta bahwa ada kebingungan ketika ini
muncul.
Oleh karena itu, afasia tidak menurunkan persepsi atau kemampuan cepat untuk
mengenali sesuatu sebagai sesuatu, namun sebaliknya; tindakan intensionalitas muncul
sebagai sebuah pengalaman yang lebih kuat daripada sebelumnya katika kata-kata hilang
yang diinterpretasikan sebagai sebuah “bahasa meta”, sebuah bahasa non verbal dan
tenang, tersembunyi dibalik bahasa verbal dan tidak dapat diakses oleh seseorang yang
dapat berbicara. “Bahasa meta” adalah arti yang sempurna dan lengkap, terdiri dari
keseluruhan arti. Arti ini dipahami sebagai kebenaran yang absolut, tidak lagi
mempertimbangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif lainnya, karena makna sudah
ada.
Dalam proses ini, bahasa tidak dianggap sebagai sebuah kumpulan aturan-aturan
yang pasti. Keajaiban nyata dari bahasa akan ditemukan ketika pasien afasia menemukan
arti dalam kata-kata orang lain dan mampu mengekspresikan arti sendiri.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
88
DAFTAR RUJUKAN
Blanck, G., & Blanck, R. (1974). Ego psychology _/ Theory and Practice. New York: Columbia University Press.
Brindley, P., Copeland M., Demain C., and Martin P. (1989). A comparison of the speech of ten chronic Broca’s aphasics following intensive and non intensive periods of therapy. Aphasiology, 3:695-479.
Charon, J. M. (1989). Symbolic Interactionism. An Introduction, an Interpretation, an Integration. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Dahlberg, K., Drew, N., & Nystro¨m, M. (2001). Reflective Lifeworld Research. Lund: Studentlitteratur.
Darley, FL. (1982). Aphasia. Philadelphia, Pa: WB Saunders.
Ferro, J. M., & Madureira, S. (1997). Aphasia. Type, Age and Cerebral Infarct Localisation. Journal of Neurology, 244, 505_/509.
Freud, A. (1966). The writings of Anna Freud. Vol II The ego and the mechanism of defence. New York: International Hallmark Press.
Kertesz, A. (1979). Aphasia and Associated Disorders: Taxonomy, Localization and Racovery. Naw York: Grune and Startton.
Laska, A. C., Hellbom, A., Murray, V., Kahan, T., & von Arbin, M. (2001). Aphasia in Acute Stroke and Relation to Outcome. Journal of Internal Medicine, 24, 413-422.
Merleau-Ponty, M. (1989). Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith. London: Routledge.
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Preface. In S. Nadeau, L. J. G. Rothi, & B. Crosson (Eds.), Aphasia and language: Theory to practice. New York: Guilford Press.
Nolen-Hoeksema, S., Ahrens, C. (2002). Age, Differences and Similarities in the Correlates of Depressive Symptoms. Psychology and Aging, 17 (I), 116-124.
Orange, JB., and Kertesz A. (1998). Efficacy of language therapy for aphasia. In: Physical Medicine and Rehabilitation: State of the Art Reviews. Philadelphia, Pa: Hanley-Belfus, Inc; :501–517.
Poeck, K., Huber W., and Willmes K. (1989). Outcome of intensive language treatment in aphasia. Journal Speech Hear Disorder, 54:471–479
Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley N., and Bhogal SK. (2002). Evidence-based review of stroke rehabilitation. Heart and Stroke Foundation Ontario and Ministry of Health and Long-Term Care of Ontario.
Tanner, D. C., Gerstenberger, D. L., & Keller, C. S. (1989). Guidelines for Treatment of Chronic Depression in the Aphatic Patient. Rehabilitation Nursing, 2, 80_/81.
Vandewater, E. A., Ostrove, J. M., & Stewart, A. J. (1997). Predicting women’s well-being in midlife: The importance of personality depelovement and social role involvements. Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1147-1160.
Zammuner, V. L. (2008). Italian’s social and emotional loneliness: The result of five studies. International Journal of Sciences, 3 (2), 108-120.
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (89‐96)
89
PERANAN MEDIA KOMPUTER BERBASIS MAKROMEDIA FLASH PADA PROSES BELAJAR MENGAJAR JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK
ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Mustari S. Lamada (Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM)
Abstract:
The research aim at finding out the student’s learning achievement who were thougt by using computer media based on Makromedia Flash and those who were not thougt the media. The research is non equivalent control group design research in valuing to variable namely independent variable: (1) the student’s learning by using computer media based on makromedia (2) The student’s learning without using computer media based on makromedia flash. The dependent variable the student learning achievement in electrical installation of education electrical engineering department, engineering faculty in makassar state university consisted of 74 student’s. In analyzing the data of the research the statistic to be used was the descriptive and imperential statistic, with t-test. The result of statistic analysis showed that the mean score of leaving electrical installation of the student’s who were tought by using computer media based on makromedia flash 20,06 mean while the mean score of learning electrical installation of the student who were thougt without using the media was 16,35. the result of the research showed that there was significant difference of the leaving achievement in electrical installation of education electrical department, engineering faculty, makassar state university between the taught by using computer media based on makromedia flash and those who did not use the media.
Kata-kata Kunci: Media Komputer, Makromedia Flash, Rangkaian Listrik.
PENDAHULUAN
Pendidikan saat ini sedang digalakkan oleh setiap negara di dunia. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia pendidikan menyesuaikan diri pada
perubahan yang serba kompleks dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pada
masa lampau tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan
tuntutan zaman saat ini, oleh karena itu setiap ilmu pengetahuan perlu dikembangkan
karena sarana yang akan digunakan semakin canggih dan modern sehingga sumber daya
manusia harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan (Sadiman, 2000). Munculnya produk
teknologi yang dapat digunakan dalam pendidikan memberi kesempatan kepada pendidik
untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui proses belajar mengajar..
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
90
Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku akibat
interaksi individu dengan lingkungan. Perilaku ini mengandung pengertian yang
luas, yang mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya.
Setiap perilaku ada yang nampak (diamati) ada pula yang tidak bisa diamati. Perilaku
yang bisa diamati disebut penampilan atau behavioral performance, sedangkan yang
tidak bisa diamati disebut kecenderungan perilaku behavioral tendensi. Dalam pengertian
lain belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah
kesan dari bahan yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas belajar terjadilah
perubahan dalam diri individu. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil bila terjadi
perubahan dalam diri individu. Secara psikologis belajar merupakan suatu proses
perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sardiman (2000),
bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku atau kemampuan, dengan serangkaian
kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengar, meniru dan sebagainya.
Perubahan yang didapatkan adalah kemampuan baru yang bertahan lama, karena
adanya usaha pada individu yang belajar. Sedangkan Slameto (1995) mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannyaDengan fasilitas dan
kemampuan komputer materi pelajaran yang telah dimanipulasi dengan baik melalui
program aplikasi akan lebih mudah dimengerti oleh peserta didik lebih meningkatkan
minat belajar peserta didik, serta memberikan dorongan lebih kuat kepada peserta didik
untuk mengikuti pelajaran. komputer merupakan salah satu media alternatif yang dapat
digunakan dengan cara membuat suatu program mengenai materi yang akan diajarkan
kemudian hasilnya langsung disampaikan di depan peserta didik secara visualisasi,
animasi dan simulasi.
Dengan memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, dalam hal ini
program Makromedia Flash yang dirancang sebagai aplikasi presentasi khususnya
dalam PBM akan memudahkan pengajar dalam mengajar dan memudahkan memahami
bahan kajian, serta dapat menciptakan iklim belajar-mengajar yang menarik dan
menyenangkan, sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam mencapai tujuan
yang telah dirumuskan, artinya peserta didik dengan sendirinya dapat meningkatkan
minat belajar, sehingga mampu berpikir, bertindak, dan berbuat.
Penggunaan media komputer berbasis Makromedia Flash dalam PBM
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM
Mustari S. Lamada
91
dianggap merupakan hal yang baru, khususnya pada mahasiswa Jurusan Pendidikan
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Namun, Melalui
penggunaan media pembelajaran yang optimal, dalam proses belajar mengajar,
khususnya media komputer sebagai sumber informasi peserta didik. Program tersebut
dipandang cukup efektif dan efisien dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk
menyerap materi pelajaran dengan mudah.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian Non Equivalent Control Grup Design dan
melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas: 1) Pembelajaran menggunakan media
komputer berbasis Makromedia Flash 2) Pembelajaran tanpa menggunakan media dan
variabel terikat: Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik
Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar sebanyak 74 mahasiswa.
Variabel yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah:Variabel bebas, yaitu:
Kelompok Eksperimen yaitu pembelajaran rangkaian listrik dengan menggunakan
media komputer berbasis Makromedia Flash. Kelompok kontrol adalah Pembelajaran
rangkaian listrik dengan yang tidak menggunakan media komputer. Variabel terikat,
yaitu hasil belajar rangkaian listrik yang dicapai oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.
Pengujian hipotesis ini menggunakan uji-t dua pihak. Hipotesisnya adalah:
“terdapat perbedaan yang signifikan dalam pencapaian hasil belajar rangkaian listrik
mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran yang tidak
menggunakan media.
Dilihat dari jenis variabel yang diteliti serta ada tidaknya perlakuan yang
sengaja dilakukan, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
eksperimen.
HASIL
Hasil pengumpulan data menunjukkkan bahwa terdapat perbedaan antara
kelompok mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash sebagai kelompok eksperimen dan kelompok mahasiswa yang diajar
dengan yang tidak menggunakan media sebagai kontrol.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
92
Tabel 1. Statistik Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro FT UNM
Statistik Nilai Statistik
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Ukuran sampel
Skor tertinggi
Skor terendah
Rentang skor
Skor rata-rata
Standar deviasi
Varians
16
24
15
9
20,06
2,59
15,16
17
22
12
10
16,35
3,04
17,54
Tabel.1 di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata yang diperoleh mahasiswa
pada kelompok eksperimen adalah 20,06 dari skor total (30) yang mungkin dicapai. Jika
skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran menggunakan media
komputer berbasis Makromedia Flash kedalam tiga kategori, maka diperoleh distribusi
frekuensi skor dan persentase seperti yang ditunjukkan sebagai berikut (1) ketegori redah
25% (2) kategori sedang 50 % (3) kategori tinggi 25%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hasil belajar mahasiswa yang berada pada kategori rendah memiliki persentase
25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Pada kategori sedang memiliki
persentase 50% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori
tinggi memiliki persentase 25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini
dapat pula dilihat pada grafik (4.1) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash berada pada kategori sedang.
Selanjutnya untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa skor rata-rata yang
diperoleh mahasiswa pada kelompok eksperimen adalah 16,35 dari skor total (30) yang
mungkin dicapai. Jika skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran
yang tidak menggunakan media dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu kelompok
yang berada pada kategori rendah memiliki persentase 29,41% dengan jumlah mahasiswa
sebanyak 5 orang. Pada kategori sedang memiliki persentase 47,06% dengan jumlah
mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori tinggi memiliki persentase
23,53% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini dapat pula dilihat pada
grafik (4.2) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran yang tidak menggunakan media berada pada kategori sedang.
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM
Mustari S. Lamada
93
PEMBAHASAN
Dari hasil analisis deskriptif pada tabel 4.1, yang memperlihatkan bahwa
berdasarkan kategori, hasil belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik
Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran
dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan media. Jika hasil belajar rangkaian listrik
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri
Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash dikategorikan sedang maka secara klasikal hasil belajar yang tidak
menggunakan media dikategorikan rendah. Selain itu berdasarkan skor rata-rata, hasil
belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Negeri Makassar yang menggunakan media komputer berbasis Makromedia
Flash lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan media. Jika skor rata-rata hasil
belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media
komputer berbasis Makromedia Flash sebesar 20,06, sedangkan yang tidak menggunakan
media sebesar 16,35.
Adanya perbedaan skor hasil belajar dari kedua kelompok dalam penelitian ini
tentunya tidak terlepas dari prediksi teori-teori yang telah dikemukakan pada bab terdahulu
yang menyatakan bahwa dengan menggunakan pembelajaran berbasis komputer maka,
mahasiswa lebih termotivasi dan lebih terfokus perhatiannya pada proses pembelajaran
sedang berlangsung. Selain itu animo mahasiswa untuk tetap memperhatikan penjelasan
pengajar pada saat pembelajaran yang dimediasi dengan komputer sangat besar. Hal ini
terlihat jelas pada saat penulis melakukan penelitian, dimana kelas yang diajar dengan
menggunakan media komputer mahasiswa memperhatikan pengajar dalam menyajikan
materi pelajaran dan interaksi tanya jawab antara mahasiswa dengan pengajar begitu
lancar. Selain itu dengan gerakan-gerakan tiga dimensi yang dipancarkan oleh layar
komputer dengan menggunakan LCD semakin memberikan hasrat keingintahuan
mahasiswa terhadap materi pelajaran yang dipaparkan.
Untuk memperkuat hasil analisis dskriptif tersebut maka dilakukan pengujian
lanjutan dengan menggunakan statistik inferensial. Berdasarkan hasil analisis inferensial
terlihat bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara hasil belajar rangkaian listrik
mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
94
Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran yang tidak
menggunakan media dengan nilai thitung sebesar 3,79. Dapat pula dikatakan bahwa terdapat
pengaruh positif pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash dan yang tidak menggunakan media. selain itu Nilai ini semakin
memperjelas bahwa kontribusi sebuah media pembelajaran sangat besar dalam
menentukan tingkat hasil belajar rangkaian listrik. Adanya perbedaan skor antara
mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash
dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan
oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga
mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang
memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak
menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan
skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia
Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak
menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis
Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran
rangkaian listrik.
Menyimak hasil penelitian, dapat dipaparkan bahwa pembelajaran pada pola
pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih efektif,
karena menempatkan mahasiswa dalam proses penemuan, dimana semua mahasiswa
dituntut untuk berpartisipasi langsung dalam melengkapi dan memecahkan masalah yang
sedang dihadapi. Kenyataan ini sejalan dengan kajian teori dan hipotesis yang telah
dikemukakan, bahwa pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash mahasiswa akan termotivasi dalam mengikuti materi pelajaran yang
disajikan.
Pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash
lebih mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Dimana semua mahasiswa
diarahkan langsung untuk mengetahui seluruh rangkaian proses pembelajaran, mulai dari
mengenal alat, bahan, tujuan yang ingin dicapai, sehingga semua mahasiswa berperan
aktif dalam proses belajar mengajar terutama pada saat melakukan praktikum nantinya.
Dalam hal ini semua mahasiswa mempunyai kesempatan mencari jawaban dan
menemukan sendiri solusi setiap permasalahan. Dengan cara ini akan membuat suasana
belajar menyenangkan dan tidak membosankan, akibatnya semua mahasiswa turut untuk
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM
Mustari S. Lamada
95
memikirkan dan menemukan ide-ide kreatif sehingga tercipta sikap ilmiah yang pada
akhirnya akan meningkatkan hasil belajarnya.
Berbeda halnya pada pola pembelajaran yang tidak menggunakan media,
walaupun metode ini menempatkan mahasiswa pada penemuan pemecahan masalah
namun masih cenderung didominasi oleh pengajar dimana pengajar sengaja
memperagakan tindakan, proses atau prosedur yang dilakukan kepada mahasiswa sendiri,
sehingga tidak semua mahasiswa dapat terlibat langsung dengan bahan pelajaran,
terutama ketika mahasiswa mendemonstrasikan alat di depan kelompok tidak semua
mahasiswa dapat memperhatikan, akibatnya sebagian mahasiswa kurang termotivasi dan
antusias pada saat pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa pola pembelajaran
menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik dari pada pola
pembelajaran yang tidak menggunakan media. Dengan demikian salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa adalah
dengan memberikan pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash khususnya bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro
Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.
Oleh karena itu pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis
Makromedia Flash sangatlah diperlukan terutama pada mata kuliah yang materinya
membahas masalah-masalah rangkaian listrik. Selain itu sebelum menerapkan
pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash seorang
pengajar terlebih dahulu memperkenalkan instruksi-instruksi yang dilakukan dalam
pembelajaran tersebut agar mahasiswa mempunyai pengetahuan dasar tentang penggunaan
komputer sebagai media pembelajaran. selain itu kemampuan pengajar terhadap sarana
komputer sangat diharapkan agar supaya tidak ketinggalan di dalam menghadapi
perkembangan kemajuan teknologi komputer.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian disempulkan bahwa terdapat perbedaan skor antara
mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash
dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan
oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga
mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
96
memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak
menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan
skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia
Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak
menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis
Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran
rangkaian listrik. Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa yang diajar dengan
menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash yaitu (20,06) lebih tinggi
dibandingkan dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media
yaitu (16,35). Terdapat perbedaan hasil belajar yang berarti antara mahasiswa yang diajar
dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash dengan siswa yang
diajar dengan yang tidak menggunakan media.
DAFTAR RUJUKAN
Arif S. Sadiman, Dkk. 2000. Media Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.
Caronge.1983. Media Pendidikan. MIPA IKIP Ujungpandang.
Sudjana, 1987. Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru.
Sardiman, 2000. Media Pendidikan IV. Jakarta: Depdikbud.
Slameto,1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bima Aksara.
Syafiie dan Machfud. 1992. Pandai Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Syaiful Bachri Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, 1992. Metode Statistik Bandung: Tarsito
Wacana Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (97‐105)
97
MENYOAL EKONOMI POLITIK ANGGARAN: TELAAH ERA DEMOKRASI DI INDONESIA
Suraji Kandidat Doktor UGM & Direktur Eksekutif Matapena Institute
Menterjemahkan Buku Teories Political Economics Karya JAMES A. CAPORASO&DAVID P. LEVINE. Cambridge University Press, 1992.
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2009
Abstract:
The effort to determine the appropriate formulation in the determining of financials is the financial forward to whom and how is to actualize it? Thus the finance should have dimension on the justice. Furthermore, the finance of political economy certainly will closely relate to the effort of the state and government to give any appropriate social guarantee to the people especially to the people under the poverty line. The pattern of the relationship of which transparent, accountable, democratic between the government with the people and the prejudice will prevent while the state/government/legislation able to conduct the good process and profitable toward the society and not the officials. The finance also could be perceived as the political perspective whereas it could be translated as the state guarantee to struggle the social finance of which more prioritized rather than the official expenditures finance or the given institutions. Thus the political and economical context of finance will relate with whoever have role and ability in state in giving guarantee toward its society. However in fact the political economy is perceived and conducted in short term context and only bring profit to the related parties. The regulation in the program determination is only lies on the level of mutual interest of the actor, whereas the society often does not know the process and the participation in determining to what extent the process which happened. Even the society does not know how many percent of the finance to be granted to their prosperity. Related to the analysis of political economy in the finance are the certain in the study of social knowledge because the political economy used the supradisciplinary approach. The focus of this analysis is on every issue or obligation, of which directly or indirectly involving the public interest and also in a great number of their consideration to be granted in the problems relate to the public policy. It is may caused by the political economy in principal relates to the political decision concern on the finance conditions and whoever has right to be granted those finance. Thus it should be answer about the political economy of finance is how the public finance.
Kata Kunci: Finance – Political Economy – Society
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai masalah anggaran dihubungkan dengan kajian ekonomi
politik memang masih sangat asing di bahas oleh ilmuan, baik ilmuan ekonomi yang
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
98
khusus mengkaji ekonomi politik maupun para sarjana hukum ekonomi yang memang
didesain untuk terlibat langsung dalam proses anggaran. Anggaran yang menjadi inti dari
pengelolaan pemerintah telah mengalami banyak masalah terutama berkaitan dengan
proses politik dan penentuan anggaran yang dikhususkan untuk rakyat.
Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk di
dalamnya adalah Indonesia, anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu
yang menguntungkan pihak aktor ataupun institusi kelembagaan negara dan secara
yuridis anggaran sekedar dipahami sebagai aturun baku yang sudah ada. Padahal
anggaran sejak awal hingga saat ini merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa,
karena anggaran diletakkan pada pengambilan kebijakan publik oleh negara, artinya
dapat dimaknai sebagai investasi politik warga dengan memiliki hak untuk menentukan
dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara, serta anggaran tersebut sesuai
dengan sesuatu yang dibutuhkan oleh rakyat.
PEMBAHASAN
A. Esensi Anggaran
Dalam memahami persoalan politik dan demokrasi dalam merekonstruksikan
Indonesia adalah tergantung pada jenis elite yang berkuasa. Jika elit yang berkuasa di
negeri ini memahami rakyatnya, memahami perbedaan, dan memahami kondisi
bangsanya maka demokrasi akan menampakkan wujudnya sesuai yang diharapkan.
Seperti pendapat Linz dan Stepen (2000) yang menjelaskan bahwa kejatuhan dan
kebangkitan kembali demokrasi tidak menelaah variabel-variabel konflik kelas atau
kendala ekonomi tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau
kepemimpinan. Peran elit politik menjelmakan peran hakikat negara serta konsep negara
bagi kekuasan negara tersebut.
Dalam memahami beberapa konsep negara, tentu tidak lepas dari teori negara
kontemporer yang sangat terkenal yaitu: Pertama, bentuk negara kesatuan yang terdiri
dari negara kesatuan dengan sistem sentralisasi yaitu pemerintahan pusat
menyelenggarakan seluruh urusan kenegaraan, sementara pemerintah daerah merupakan
pihak yang dimintai untuk melaksanakan perintah pusat. Kedua, Sistem desentralisasi
yaitu daerah diberikan kebebasan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya
sendiri secara otonomi (Kansil, 2001). Sistem keduanya telah dinikmati oleh negeri ini
pada era orde baru dan era roformasi. Keduanya memaknai negara sebagai alat
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia Suraji
99
kekuasaan dan pendistribusian kekuasaan secara otonomi. Fungsi yang terakir kini telah
dimaknai sebagai keharusan di dalam membangun negara atapun daerah yang diyakini
sebagai alat untuk lebih baik.
Konsep negara juga dimaknai oleh Russel (1954) sebagai pembagian kekuasaan
yang mentertibkan kebutuhan rakyat diatas segalanya. Sehingga pemusatan kekuasaan
politik akan berdampak pada penghancuran kemampuan umat manusia (Parma, 2001).
Maka nilai positif yang dikembangankan bagi demokrasi dan desentralisasi adalah
terbangunnya nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa
(national unity), pemerintahan demokratis (democratic government), kemandirian sebagai
penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi
(Leemans, 1970).
Perubahan yang tengah terjadi secara struktural dan fundamental di era reformasi
di Indonesia saat ini memberikan hikmah terselubung bahwa transparansi, akuntabilitas,
keadilan dan partisipasi publik dalam pembangunan sosial ekonomi harus menjadi bagian
dari paradigma pembangunan. Distribusi kekuasaan politik, administrasif, fiskal dan
pembangunan ekonomi ke daerah diyakini akan menciptakan partisipasi publik yang
besar untuk membangun daerah (wilayah) masing-masing, sehingga kesenjangan
antardaerah dapat dikurangi. Keharusan pengelolaan aset dengan program restrukturisasi
aset dan pengembangan infrastuktur teknologi informasi manajemen aset dilandasi
dengan kebijakan umum atas pemisahan wewenang pengelolaan antara pemerintah pusat
dan daerah.
Sinyalemen ini sudah menjadi kenyataan di banyak daerah. Beberapa saat lalu,
Departemen Dalam Negeri mengajukan permohonan ke kejaksaan dan kepolisian untuk
memeriksa anggota DPRD di 18 propinsi, baik dalam kasus pidana maupun perdata. Ada
dua sangkaan pada mereka : pertama, dugaan kejahatan individual dan kedua, kejahatan
kolektif.
Kejahatan individual dilakukan sendiri-sendiri oleh anggota dewan bekerjasama
dengan pihak lain, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Sedangkan kejahatan
kolektif adalah manipulasi mata anggaran untuk kepentingan individu melalui keputusan
dewan. Indikasi tersebut terlihat pada kebijakan rapel kenaikan gaji anggota dewan,
penambahan fasilitas atas nama peningkatan kinerja semisal pengadaan laptop bagi
anggota dewan, maupun biaya komunikasi yang terjadi hampir bersamaan dengan
kenaikan gaji pegawai pemerintah di tengah-tengah penderitaan rakyat/masyarakat yang
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
100
belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan dari dampak krisis moneter serta keuangan
negara yang selalu disebut-sebut dalam jumlah yang mengkhawatirkan; hanya bisa terjadi
jika terjadi sinergi mutualisme antara eksekutif dan legislatif. Permasalahan yang terjadi
saat ini adalah:
1. Masalah di balik otonomi
Di balik harapan yang serba indah tersirat berbagai kekhawatiran. Banyak
analis meragukan kesiapan daerah, terutama dari sisi keuangan, sisi yang paling
sering diperdebatkan. Dari sisi keuangan ini pila menyeruak kekhawatiran IMF yang
bercermin dari pengalaman beberapa negara Amerika Latin. Kekhawatiran ini
ditambah lagi dengan kekhawatiran 'desentralisasi' korupsi.
Yang lebih ekstrim adalah kekhawatiran munculnya 'raja-raja' kecil di daerah
yang tidak kalah hebatnya dalam ber-KKN, karena justru lepasnya peran kontrol dari
"pusat". "Pusat" di sini bukan hanya berarti pemerintah pusat, tetapi juga pressure
group seperti media, LSM, dan kampus. Keberasdaan kelompok penekan yang tidak
merata di daerah dapar mengurangi fungsi kontrol dari pihak-pihak di luar
pemerintahan.
2. Perubahan Paradigma
Sindroma 'raja kecil' yang mungkin muncul harus dicegah sejak awal, jika
tidak ingin cita-cita indah otonomi layu sebelum berkembangdan berakhir dengan
kekecewaan masyarakat daerah yang sangat mendambakan kemajuan. Atas kegagalan
ini para punggawa di daerah tidak dapat lagi berkelit dan mencari kambing hitam
bahwa kegagalan itu karena 'orang pusat'. Otonomi telah memberikan otoritas yang
lebih luas kepada para pelaku di daerah dan dengan sendirinya juga memberikan
tanggungjawab yang lebih besar.
Diperlukan perubahan sudut pandang (paradigm shift) para pejabat dan
pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (public
services). Artinya para pegawai adalah 'alat' untuk melayani publik, dan bukan
sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tercermin dalam
kesadaran peran (role awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi
(organization culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi
dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan
mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organisasi harus diperkuat,
sehingga setiap anggota oragnisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia Suraji
101
referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan.
3. Manajemen Otonomi
Secara konseptual dalam membangun kemandirian daerah pasca otonomi
daerah, harus mengacu kepada kaidah-kaidah perencanaan strategis, manajemen
strategis, dan evaluasi strategis dalam rangka mengelola, dan memanfaatkan seluruh
potensi sumber daya yang dimiliki daerah.
Terdapat empat hal utama yang harus diperhatikan dalam menyusun Rencana
Strategis Pembangunan, yaitu sistem informasi, manajemen tata ruang wilayah,
sistem jaringan kerjasama, serta pedoman operasionalnya. Dalam sistem informasi
pembangunan dilakukan kajian yang meliputi proses identifikasi dan analisis
terhadap potensi, kendala, peluang, dan tantangan pembangunan, berikut kajian
terhadap potensi pengembangan sumber daya, tingkat produktifitas, kelayakan
pengembangannya, serta kerangka waktunya. Dalam kajian ini sebaiknya juga
meliputi informasi dan akses jaringan pemasaran sumber daya dalam lingkup lokal,
regional, nasional, dan internasional. Perencanaan yang berkaitan dengan manajemen
tata ruang wilayah akan bertumpu pada kajian yang meliputi proses identifikasi dan
analisis terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang wilayah
daratan, lautan, dan udara.
Kecenderungan organisasi jejaring (network organization) yang melanda
dunia bisnis juga patut diterapkan dalam organisasi pemerintah daerah. Kajian
mengenai jejaring ini meliputi proses identifikasi dan analisis terhadap sistem,
pola/bentuk, dan mekanisme kerja sama yang dapat dilakukan oleh semua pihak,
dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun internasional.
Sejauh ini terdapat tiga mistifikasi terhadap anggaran. Pertama, anggaran adalah
persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya, seseorang harus memiliki kecakapan
dan tingkat pendidikan tertentu. Tidaklah mudah mementahkan anggapan yang mendarah
daging itu karena anggaran memiliki struktur, sistem dan mekanisme yang biasanya
hanya dimengerti oleh mereka dengan kecakapan khusus. Dan sialnya, (atau untungnya?)
akses terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran tidak dimilik semua
orang. Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu yang mengntungkan pihak
aktor atau institusi kelembagaan negara dan secara yuridis anggaran sekedar dipahami
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
102
sebagai aturan baku yang sudah ada. Kedua, anggaran hanyalah urusan proyek-proyek
pembangunan dan sumber finansial lainnya. Ujung-ujungnya pada keengganan
pemerintah untuk keluar dari kungkungan cengkeraman indikator-indikator yang
mengaburkan implikasinya pada kelompok masyarakat yang rentan. Kaum miskin dan
warga rentan justru menjadi pemikul beban dari implikasi anggaran. Ketiga, anggaran
adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah. Setidaknya sejak merdeka
hingga saat ini pemerintah selalu mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat
eksklusif di wilayah monopoli mereka, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat
(Fuady, 2002)
Salah satu unsur yang penting yang harus dipenuhi dalam penentuan anggaran
adalah tersedianya ruang yang luas bagi rakyat atas akses seluruh proses sosial, politik
dan ekonomi. Terpenuhinya unsur keterbukaan dalam pengelolaan anggaran oleh
merupakan syarat terpenting bagi terwujudnya demokrasi anggaran. Sebab aspek inilah
yang dituntut oleh mekanisme kerja sistem politik yang demokratis, dimana keterbukaan
atau transparansi menjadi penting disediakan oleh negara (Irianto, 2005).
Penyimpangan yang terjadi akibat dari ekonomi politik anggaran, maka
diperlukan cara-cara baru dalam merumuskan dan mengelola anggaran agar dapat
memberikan pelayanan kepada rakyat. Cara-cara sepihak, memperjuangkan golongan,
institusi sendiri adalah pengkianatan terhadap rakyat. Menurut Syafii (2004) sebagai
moral politik kotor yang dapat merusak institusi negara yang telah diberikan mandat oleh
rakyatnya. Rakyat telah memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur
kehidupan bersama yang beradab, sekalipun dilingkungan masyarakat sendiri terdapat
pihak yang apriori. Sikap demikian perlu dihadirkan dengan wajah yang menyejukkan di
era saat ini untuk mencapai kesejahteraan umum dengan mengarahkan semua tindakan
politik untuk kepentingan bersama (Suseno, 2003).
Upaya untuk menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran adalah
mengenai keadilan anggaran, yang terkait dengan erat dengan usaha negara dan
pemerintah memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat terutama pada lapisan
masyarakat yang rentan. Pola hubungan yang transparan, terukur, serta demokratis antara
pemerintah dan masyarakat akan mereduksi rasa curiga manakala negara melalui
pemerintah di eksekutif dan dewan di legislatif mampu melakukan proses dengan baik
dan memerhatikan kepentingan rakyat yang secara nyata dapat dirasakan rakyat.
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia Suraji
103
B. Ekonomi Politik Anggaran.
Kemunculan ilmu ekonomi politik menimbulkan perdebatan tentang apa
tanggung jawab dari negara (atau negarawan/pejabat) dalam kaitannya dengan ke negara.
Perdebatan ini masih berlangsung sampai sekarang dan tetap menjadi sebuah pertanyaan
utama di dalam ilmu ekonomi politik. Apakah negara bertanggungjawab untuk
menentukan kebutuhan mana yang akan dipenuhi dan bertanggungjawab untuk
menggalang sumber daya untuk menjamin berhasilnya pemenuhan itu? Ataukah
kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi dengan lebih baik kalau penggalangan sumber
daya diserahkan kepada pihak swasta? Pertanyaan lainnya adalah apakah masalah-
masalah seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dll. disediakan oleh
warga negara sendiri atau swasta dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki
sendiri? Ataukah kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi oleh negara?
Perdebatan ini mengandung beberapa masalah di dalamnya dimana masalah-
masalah ini berusaha dijawab oleh berbagai pendekatan yang ada dalam ekonomi politik.
Pendekatan-pendekatan yang paling menonjol selama ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok.
1). Masalah-masalah yang timbul karena ide tentang pasar yang mengatur dirinya
sendiri (self regulating market). Pertanyaannya adalah sejauh mana sebuah sistem
yang terdiri dari pelaku-pelaku pasar yang bertindak atas nama pribadi dan
mementingkan kepentingan dirinya sendiri lewat kontrak pertukaran mampu
memuaskan kebutuhan mereka dengan sumber daya yang terbatas jumlahnya?.
Untuk masa modern sekarang, pertanyaan ini sama dengan pertanyaan apakah
intervensi politik ke dalam perekonomian bisa meningkatkan atau justru
menghambat pemenuhan kebutuhan?
2). Masalah-masalah tentang konsep agenda publik. Bagaimana hubungan antara
kebutuhan publik dengan kebutuhan pribadi? Apakah tujuan dari didirikannya
negara adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pribadi dari para warga
negara sehingga perekonomian akan diregulasi oleh negara hanya selama
perekonomian tidak berhasil memenuhi kebutuhan pribadi saat sumber daya yang
tersedia sebenarnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu? Sejauh
mana relevansi dari kepentingan pribadi dengan penetapan tujuan-tujuan publik?
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
104
KESIMPULAN
Secara umum masalah anggaran adalah masalah yang menjadi tanggungjawab
negara untuk memberikan pelayanan, keadilan, dan hak-hak bagi publik. Apa yang terjadi
pada saat ini persoalan anggaran menjadi arena baru bagi kekuasan dan elit-elit
kepentingan untuk berebut mengajukan ketersediaan anggaran yang diasumsikan menurut
mereka semata untuk kepentingan publik. Walaupun terjadi era otonomi, perubahan
paradigma pengelolaan anggaran, kepentingan anggaran tetap terjadi baik di tingkat
daerah maupun nasional.
Upaya yang harus diformulasikan dalam masalah anggaran adalah bagaimana
keadilan anggaran menjadi political will oleh pihak eksekutif mapun legislatif, maka
ekonomi politik anggaran adalah bagaimana negara memberikan jaminan sosial yang
tepat bagi rakyat atas dasar hak-hak rakyat sebagai pihak yang dilayani bukan
penggebiran anggaran dengan dalih untuk rakyat. Dengan demikian anggaran dapat
dimaknai sebagai terbangunnya sistem anggaran yang menggambarkan adanya
kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemerintah dalam peningkatan
pelayanan publik bagi masyarakat.
Terkait dengan analisis ekonomi politik dalam anggaran adalah keharusan dalam
kajian ilmu-ilmu sosial karena ekonomi politik menggunakan pendekatan supradisiplin
(supradiciplinary approach). Fokus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan,
yang langsung ataupun tidak langsung yang melibatkan kepentingan publik serta sebagian
besar perhatianya dicurahkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan
publik. Hal ini juga karena ekonomi politik pada dasarnya menyangkut keputusan politik
mengenai kondisi anggaran dan siapa yang berhak menerima anggaran tersebut. Sehingga
dapat dijawab analisis ekonomi politik anggaran adalah bagaimana anggaran utuk rakyat.
SUMBER RUJUKAN
James A.Caporasa dan David P.Levine, 1992, Teori-teori Ekonomi Politik, Cambridge University Press.
Edi Slamet Irianto, 2005, Pajak dan demokrasi Negara, Pustaka Pelajar Yogyakrta.
Liz dan Stepen, 2000, Pilitical Man, The Social Bases of Politics, New York.
Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Geamedia.
Puro Santoso, 2004, Dalam Kata Sambutan Menjaring Anggaran Untuk rakyat, Yayasan Trifa& IDEA.
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia Suraji
105
Annonymous. 2000. Modul workshop. IDEA-Yogyakarta. Workshop Penganggaran Daerah untuk Anggota DPRD Propindi DIY, 6-9 November 2000.
---------------. 2003. Rekaman Proses. IDEA-Yogyakarta. Workshop Partisipasi Masyarakat dalam Anggaran, 28-29 Juli 2003.
Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat. YOI. Jakarta.
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Munir, Badrul. Perencanaan Anggaran Kinerja. Memangkas Inefisiensi Anggaran daerah. Samawa Center. Mataram.
Santoso, Purwo. 2004. Menjaring Anggaran untuk Rakyat. Yayasan Tifa-Idea. Yogyakarta
Siregar, Doll. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara. Peran Konsultan Penilai dalam Pemulihan Ekonomi Nasional. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Thomas, Vinod. et al. 2001. The Quality of Growth (terjemahan). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan. Bisnis Indonesia era Orde Baru da ditengah krisis moneter. Brawijaya University Press. Malang.
Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern (cetakan keenam). Rajawali Press. Jakarta.
Lain-lain :
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Dominasi Politisasi Birokrasi oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 4 Maret 2000. KCM.
Langkah Awal Reformasi Birokrasi. (Memahami Perombakan di Sekretariat Negara). oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 29 Januari 2000. KCM.
Politik Anggaran Publik. 2002. PR Cyber Media.
Teories Political Economics Karya JAMES A. CAPORASO DAN DAVID P. LEVINE. Cambridge University Press, 1992. di terjemahkan oleh SURAJI Pustaka Pelajar, 2009.
ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia
PERSYARATAN DAN PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL
1. Tulisan dapat berupa Artikel Hasil Penelitian maupun Artikel Konseptual (lepas) di bidang berbagai disiplin ilmu. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang 10 - 15 halaman, ukuran kertas A4 dengan tipe huruf Standar (Body), font 12, spasi 1,5, margin 4-3, 4-3. Artikel harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris 100 - 150 kata dan kata kunci 3 - 5 kata.
2. Sistematika artikel hasil penelitian harus memuat : Judul, Nama Penulis, Lembaga Asal dan email), Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
3. Sistematika Artikel Konseptual (lepas) harus memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat dengan sub judul sesuai dngan kebutuhan), Penutup dan Daftar Pustaka.
4. Penulisan Daftar Pustaka disusun secara alphabets dengan ketentuan sebagai berikut: a) Buku: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang
pengarang dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), penerbit, tempat penerbitan.
b) Makalah: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama forumnya/seminar, tempat , tanggal dan tahun.
c) Artikel Suatu Jurnal: Penulisan dimulai dengan nama penulis artikel (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul artikel dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal (dicetak miring) volume, nomor, bulan dan tahun.
d) Karangan/Esai dalam suatu buku kumpulan karangan/esai. Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul karangan/esai (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat dicetak miring),
e) webside, tanggal diakses. 5. Daftar Pustaka hendaknya dirujuk dari edisi mutakhir (terbitan 10 tahun terakhir) dan sangat
disarankan berasal dari jurnal. 6. Penulisan kutipan menggunakan model bodynote. Cara penulisan seperti pada angka 4 di atas,
tetapi nama pengarang tidak dibalik penulisannya. Penulisan halaman disingkat menjadi “hlm”. 7. Artikel dalam bentuk print out, disket atau via email yang disertai dengan Curriculum Vitae
dapat dikirim atau diserahkan secara langsung paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: JURNAL WACANA INDONESIA.
8. Dewan Penyunting berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan melalui email. Penulisan yang artikelnya dimuat, memberi kontribusi percetakan sejumlah Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dan bagi artikel hasil penelitian dan Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) bagi artikel konseptual (lepas). Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan.
9. Jumlah halaman jurnal Wacana Indonesia sebanyak 100 - 120 halaman
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia Sekretariat:
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281 Website FWI: www.ppfwi.wordpress.com
Email: [email protected]
Top Related