PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 138
ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM
Mustamam
Fakultas Hukum UISU
ABSTRACT
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan kias, istihsan,
istishlah, dan lain-lain merupakan cara-cara yang ditempuh oleh para mujtahid dalam
menetapkan hukum untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan kehendak al-Qur’an
dan sunnah. Barangkali lebih tepat kalau al-Qur’an dan sunnah dinamakan sumber hukum,
sedangkan kias, istihsan, istishlah, dan lain-lain disebut metode istinbath hukum.
Key word : istihsan, istinbath Hukum
A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa sumber ajaran Islam yang
pertama dan utama adalah al-
Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, melalui
Malaikat Jibril. Atas dasar wahyu
inilah Nabi Muhammad saw
menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul dalam
masyarakat Islam ketika itu.
Dalam kenyataannya tidak semua
persoalan yang terjadi pada
masyarakat ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam
keadaan seperti itu, Nabi
menyelesaikannya dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan
bahkan terkadang tidak jarang pula
melalui musyawarah dengan para
sahabat. Al-Qur’an hanya memuat
prinsip-prinsip dasar dan tidak
menjelaskan segala sesuatu secara
rinci. Perinciannya, khusus dalam
masalah ibadat, diberikan oleh
hadis. Sedangkan dalam bidang
muamalat, prinsip-prinsip dasar
itu, yang belum dijelaskan oleh
Rasulullah saw diserahkan kepada
umat untuk mengaturnya.
Dalam bidang muamalat, di
luar prinsip-prinsip dasar al-
Qur’an dan penjelasan rasul,
diberikan kebebasan kepada
hamba untuk mengaturnya secara
baik dan dapat merealisasi tujuan
syariat. Karena bidang muamalat
itu menyangkut hubungan manusia
dengan manusia.
Pada periode sahabat,
manakala daerah yang dikuasai
Islam bertambah luas sementara
masalah-masalah yang dihadapi
juga bertambah kompleks, sedang
Nabi tempat bertanya tidak ada
lagi, umatpun menyelesaikan
sendiri persoalannya berdasarkan
al-Qur’an dan hadis Nabi. Namun,
dalam kenyataannya tidak semua
persoalan yang timbul dapat
dikembalikan kepada al-Qur’an
dan Sunnah Nabi secara eksplisit.
Untuk menyelesaikan persoalan
yang tidak dijumpai dalam kedua
sumber itu, para ulama melakukan
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 139
ijtihad pula. Namun oleh karena
wahyu tidak turun lagi dan Nabi
sebagai tempat bertanyapun sudah
wafat, maka tidak ada suatu batu
penguji yang kuat untuk
menyatakan benar atau tidaknya
hasil ijtihad itu. Untuk mengatasi
masalah ini dipakailah ijmak.
Dengan demikian putusan hukum
yang diambil secara suara bulat
bersama, lebih kuat daripada
putusan hukum yang dibuat oleh
satu orang atau beberapa orang.45
Dengan terpencar-
pencarnya para ulama, ijmak tidak
mungkin lagi dilakukan. Akhirnya
masing-masing ulama melakukan
istinbath hukum sendiri. Maka
lahirlah bermacam-macam metode
Istinbath hukum seperti kias,
istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab,
dan syar’ man qablana. Dan
metode-metode istinbath hukum
itu selanjutnya menjadi obyek
kajian ilmu ushul Fikih.
Al-Qur’an dan sunnah
merupakan sumber hukum,
sedangkan kias, istihsan, istishlah,
dan lain-lain merupakan cara-cara
yang ditempuh oleh para mujtahid
dalam menetapkan hukum untuk
mendapatkan hukum yang sesuai
dengan kehendak al-Qur’an dan
sunnah. Barangkali lebih tepat
kalau al-Qur’an dan sunnah
dinamakan sumber hukum,
sedangkan kias, istihsan, istishlah,
dan lain-lain disebut metode
istinbath hukum.
Berdasarkan uraian di atas
maka di antara masalah pokok
45 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 4.
yang ingin disampaikan pada
makalah ini adalah apa dan
bagaimana pengertian istihsan
yang sebenarnya, dan yang paling
mendasar bagaimana kehujjahan
istihsan sebagai suatu metode
istinbath hukum dalam hukum
islam.
B. Pengertian Istihsan.
Istihsan termasuk salah
satu metode ijtihad yang
diperselisihkan oleh para ulama,
meskipun dalam kenyataannya,
semua ulama menggunakannya
secara praktis. Pada dasarnya, para
ulama menggunakan istihsan
dalam arti lughawi (bahasa), yaitu
berbuat sesuatu yang lebih baik.
Tetapi dalam pengertian istilahnya
(yang biasa berlaku), para ulama
berbeda pendapat disebabkan oleh
perbedaan dalam memahami dan
mendefinisikan istihsan itu. Ulama
yang menggunakan metode
istihsan dalam berijtihad
mendefinisikan istihsan dengan
pengertian yang berlainan dengan
definisi dari orang yang menolak
cara istihsan. Sebaliknya ulama
yang menolak penggunaan istihsan
mendefinisikan istihsan dengan
pengertian tidak seperti yang
didefinisikan pihak yang
menggunakannya. Seandainya
mereka sepakat dalam
mengartikan (mendefinisikan)
istihsan itu, maka mereka tidak
akan berbeda pendapat dalam
menggunakannya sebagai suatu
metode ijtihad.
Secara etimologis istihsan
berarti memperhitungkan sesuatu
lebih baik, atau adanya sesuatu itu
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 140
lebih baik, atau mengikuti sesuatu
yang lebih baik, atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti, krena
memang disuruh untuk itu.46
Dari arti lughawi di atas tergambar
adanya seseorang yang
menghadapi dua hal yang
keduanya baik. Namun ada hal
yang mendorongnya untuk
meninggalkan satu di antaranya
dan menetapkan untuk mengambil
yang satunya lagi, karena itulah
yang dianggapnya lebih baik untuk
diamalkan.
Abdul Wahhab Khallaf,
mengemukakan pengertian istihsan
itu sebagai berikut bahwa secara
bahasa, istihsan berarti
menganggap baik terhadap
sesuatu. Menurut istilah ulama
ushul, istihsan ini dimaksudkan
pindahnya seorang mujtahid dari
tuntutan kias jail kepada kias
khafi, atau dari dalil kully kepada
hukum takhshish lantaran terdapat
dalil yang menyebabkan mujtahid
menyalahkan berpikirnya, dan
mementingkan perpindahan. 47
Karenanya, jika terdapat
suatu kejadian yang tidak ada nash
hukumnya, maka di dalam rangka
membahasnya ada dua segi yang
saling berlawanan, yaitu segi
zhahir yang berkehendak adanya
suatu hukum, dan segi khafi (tak
tampak) yang menghendaki
adanya hukum lain.
Dalam hal ini, pada diri
mujtahid sudah terdapat dalil yang 46 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld. 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 325. 47 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Risalah, Bandung, 1985, h. 118.
lebih mendahulukan pandangan
khafi. Kemudian, karena
pindahnya kepada pandangan yang
zhahir (nyata) ini, menurut syarak
disebut sebagai Al-Istihsan. Begitu
pula jika ada hukum kully pada
diri mujtahid, kemudian
didapatinya dalil yang
menghendaki adanya pengecualian
juz’iyah dari hukum kully, dan
memberikan tetapnya hukum lain
kepada juz’iyah, menurut syara’
juga disebut sebagai istihsan.48
Lebih lanjut Satria Effendi,
mengemukakan bahwa istihsan
qiyasi terjadi pada suatu kasus
yang mungkin dilakukan padanya
salah satu dari dua bentuk qiyas,
yaitu qiyas jail atau qiyas khafi.
Seperti telah dijelaskan kedua
istilah tersebut pada pembagian
qiyas, dan pada dasarnya bila
dilihat dari segi kejelasan illat-nya
maka qiyas jail lebih pantas
didahulukan atas qiyas khafi.
Namun, menurut mazhab Hanafi,
bilamana mujtahid memandang
bahwa qiyas khafi lebih besar
kemaslahatan yang dikandungnya
dibandingkan dengan qiyas jail,
maka qiyas jail itu boleh
ditinggalkan dan yang dipakai
adalah hasil qiyas khafi. Praktik
seperti itulah yang dikenal dengan
istihsan qiyasi. Contohnya,
menurut kesimpulan qiyas jail, hak
pengairan yang berada di atas
tanah pertanian yang diwakafkan,
tidak dianggap ikut diwakafkan
kecuali jika ditegaskan dalam ikrar
wakaf, disamakan (di-qiyas-kan)
48 Ibid.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 141
dengan praktik jual beli karena
sama-sama menghilangkan milik.
Dalam jual beli, hak
pengairan yang berada di atas
sebidang tanah yang dijual tidak
dianggap termasuk kepada yang
dijual kecuali jika ditegaskan
dalam akad jual beli. Namun
berdasarkan istihsan yang
berorientasi kepada kemaslahatan,
hak untuk mengairi itu termasuk
ke dalam tanah wakaf meskipun
tidak ditegaskan pada waktu
berikrar wakaf, karena di – qiyas-
kan kepada sewa menyewa dengan
persamaan ‘illat sama-sama untuk
diambil manfaatnya. Dilihat dari
segi manfaatnya, qiyas yang
disebut terakhir ini lebih kuat
pengaruh hukumnya karena
sejalan dengan tujuan
disyariatkannya wakaf, yaitu untuk
diambil manfaatnya.49
Adapun pengertian istihsan
secara istilahi, ada beberapa
definisi istihsan yang dirumuskan
ulama ushul. Di antara definisi itu
ada yang berbeda akibat adanya
perbedaan titik pandang. Ada juga
definisi yang disepakati semua
pihak, namun di antaranya ada
yang diperselisihkan dalam
pengamalannya.
Ibnu Subki mengajukan dua
rumusan definisi, yaitu:
Beralih dari penggunaan
suatu qiyas kepada qiyas lain yang
lebih kuat daripadanya dan beralih
dari penggunaan sebuah dalil
49 Satria Effendi, Uhul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 144.
kepada adat kebiasaan karena
suatu kemaslahatan.50
Sementara itu menurut
Imam al-Bazdawi, ahli ushul fikih
Mazhab Hanafi, mendefinisikan
istihsan dengan, berpaling dari
kehendak kias (biasa) kepada kias
yang lebih kuat atau pengkhususan
kias berdasarkan dalil yang lebih
kuat. Menurutnya, dalam kasus-
kasus tertentu metode kias sulit
untuk diterapkan, karena illat
(motivasi hukum) yang ada pada
kias amat lemah. Oleh sebab itu,
perlu dicarikan metode lain yang
mengandung motivasi hukum yang
lebih kuat, sehingga hukum yang
diterapkan pada kasus tersebut
lebih tepat dan sejalan dengan
tujuan syarak.51
Dengan redaksi yang
sedikit berbeda, Imam as-Sarakhsi
(ahli ushul fikih Mazhab Hanafi)
mengatakan istihsan itu berarti
meninggalkan (metode) kias dan
mengamalkan (metode) yang lebih
kuat dari itu, karena adanya dalil
yang menghendakinya serta lebih
sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia. 52
Sementara itu Imam asy-
Syatibi (ahli ushul fikih Mazhab
Maliki) mendefinisikan istihsan
dengan, memberlakukan
kemaslahatan parsial ketika
berhadapan dengan kaidah umum.
Kemudian ia menambahkan bahwa
hakikat istihsan adalah
mendahulukan al-maslahah al-
50 Ibid, 51 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jld.3, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, h. 770 52 Ibid.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 142
mursalah (maslahat) dari kias.
Oleh sebab itu, bagi ulama mazhab
Maliki teori istihsan merupakan
salah satu teori dalam mencapai
kemaslahatan yang merupakan
tujuan syarak dalam menetapkan
hukum. Imam asy-Syatibi
selanjutnya mengatakan bahwa
istihsan tidak semata-mata
didasarkan pada logika dan hawa
nafsu, tetapi didasarkan pada dalil
yang lebih kuat. Dalil yang
menyebabkan pemalingan ini
adalah nas (ayat atau hadis),
Ijmak, urf (adat kebiasaan yang
berlaku umum), dan adakalanya
melalui kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan menghilangkan
kesulitan. Dengan demikian,
menurut Imam asy-Syatibi, kaidah
istihsan merupakan penerapan
kaidah al-maslahah (kemaslahatan)
yang didukung oleh syarak melalui
induksi sejumlah nash; bukan oleh
nash yang parsial.53
C. Macam-macam Istihsan
Dari definisi yang
dikemukakan di atas tampak
bahwa Ibn al- Arabi memberikan
pengertian yang lebih luas
terhadap istihsan dengan
memasukkan ke dalamnya
berpegang kepada dalil apapun
yang bertentangan dengan umum
nas atau kias yang umum. Sesuai
dengan pengertian itu ia membagi
istihsan kepada empat macam,
yaitu:
1. Istihsan dengan ‘urf.
Imam Malik mengatakan
bahwa mazhabnya
53 Ibid, h. 771
meninggalkan dalil umum
karena ada ‘urf. Ia menolak
sumpah karena ‘urf. Kalau
seseorang bersumpah tidak
akan memasuki rumah, maka
qiyas lafzhi, menurut bahasa,
memasuki setiap tempat yang
bernama rumah seperti mesjid
berarti melanggar sumpah.
Akan tetapi Malik melakukan
istihsan dengan
mentakhshishkan umum lafazh
dengan ‘urf dan kebiasaan
dalam praktek. Menurut Malik,
masuk mesjid tidaklah
melanggar sumpah karena
mesjid tidak dinamakan rumah
dalam ‘urf pembicaraan.54
2. Istihsan dengan maslahat.
Adapun meninggalkan dalil
umum karena maslahat
dicontohkan dengan jaminan
buruh yang berserikat. Buruh
yang berserikat itu pada
asalnya orang yang terpercaya.
Dan orang yang terpercaya
tidak perlu dijamin kecuali
karena telah tampak
kecurangannya. Akan tetapi
Malik menetapkan hukum lain
dengan istihsan dan
meninggalkan kaidah asal ini
karena kurangnya tanggung
jawab dan seringnya terjadi
keterlaluan dan khianat pada
para buruh. Kebiasaanlah yang
menyebabkan Malik
menempatkan buruh pada
posisi penggugat yang tidak
diterima gugatannya tentang
adanya suatu kerusakan tanpa
keterangan, padahal pada
54 Iskandar Usman, op.cit., hlm. 26.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 143
asalnya pekerja adalah
terdakwa (tergugat) karena
lahir nas menunjukkan
demikian.55
3. Istihsan dengan ijmak.
Adapun meninggalkan kaidah
umum atau dalil umum karena
ada ijmak, dicontohkan dengan
kewajiban orang yang
memotong ekor keledai
tunggangan untuk membayar
seluruh harga keledai itu.
Hukum itu dianggap
pengecualian dari kaidah
umum, karena kaidah umum
menetapkan kewajiban
membayar kerugian sebesar
harga yang berkurang dari
benda yang rusak yang
disebabkan oleh perbuatannya.
Kalau seseorang memukul
binatang sampai pincang,
kaidah umum hanya
menetapkan kewajiban
membayar suatu harga yang
berkurang akibat pukulannya
itu. Segi istihsan yang
sandarannya ijmak dari
ketentuan yang mewajibkan
atas orang yang memotong
ekor keledai tunggangan untuk
membayar seluruh harga
keledai itu adalah bahwa
keledai tunggangan itu
digunakan untuk kenderaan,
bukan untuk kepentingan lain.
Maka dengan terpotongnya
ekor keledai itu akan hilanglah
seluruh kemaslahatannya
ditinjau dari penggunaan
khusus ini, karena bila
dihubungkan dengan
55 Ibid.
kegunaannya , keledai itu
seperti seperti tidak ada sama
sekali, terpotongnya ekor
keledai itu seperti hilangnya
keledai itu sendiri. Dan
pembayaran kerugian
merupakan satu-satunya
pilihan, karena terpotongnya
ekor keledai tersebut telah
mengakibatkan pemiliknya
teraniaya. Kemelaratan yang
menimpa pemilik keledai
karena terpotongnya ekor
keledainya itu harus dibayar
dengan harga keledai
seluruhnya.56
4. Istihsan dengan kaidah raf al-
harj wa al- masyaqqat.
Kaidah raf al-harj wa al-
masyaqqat merupakan kaidah
yang qath’I dalam agama.
Contohnya adalah
meninggalkan kehendak dalil
pada masalah kecil untuk
menghilangkan kesukaran dan
memberikan kelapangan
kepada masyarakat. Golongan
Malikiyah membolehkan
pemakaian kamar mandi
umum tanpa ketentuan jumlah
sewa, lamanya masa
pemakaian, dan jumlah air
yang digunakan, padahal pada
asalnya yang demikian
dilarang, sebab mengandung
al-gharar (ketidakpastian). Dan
ketidakpastian biasanya dapat
menimbulkan pertentangan.
Akan tetapi mereka
mengatakan, semua itu jika
tidak ditentukan dengan ‘urf
akan mengakibatkan
56 Ibid., hlm. 27.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 144
kemudaratan. Pada hal ada
kaidah fikih yang mengatakan
tidak mungkin menghilangkan
al-gharar secara keseluruhan,
karena berarti menyempitkan
lapangan muamalat. Yang
mungkin dituntut adalah
penyempurnaan dan
menjauhkan hal-hal yang dapat
menimbulkan pertentangan,
dan hal itu berarti pelengkap
(tahsiniyyat). Apabila
mengutamakan pelengkap itu
dapat membawa kepada
batalnya kemaslahatan yang
pokok (daruriyyat) maka
pelengkap itu harus
digugurkan seluruhnya.57
5. Al- Istihsan bi an-nash
(istihsan berdasarkan ayat atau
hadis). Maksudnya, ada ayat
atau hadis tentang hukum
sesuatu kasus yang berbeda
dengan ketentuan kaidah
umum. Menurut ketentuan
umum atau kias, wasiat itu
tidak boleh, karena
pemindahan hak milik kepada
penerima wasiat dilakukan
ketika orang yang berwasiat
tidak cakap lagi, yaitu setelah
wafat. Tetapi, kaidah umum ini
dikecualikan melalui firman
Allah SWT dalam surah an-
Nisa’ (4) ayat 11 ;
(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya.
Berdasarkan ayat ini, kaidah
umum itu tidak berlaku untuk
57 Ibid., hlm. 28.
masalah wasiat. Misal istihsan
dengan sunnah Rasulullah saw
adalah dalam kasus orang yang
makan dan minum karena lupa
ketika ia sedang puasa.
Menurut kaidah umum (kias),
puasa orang ini batal karena ia
telah memasukkan sesuatu ke
dalam kerongkongannya dan
tidak menahan puasanya
sampai berbuka. Akan tetapi,
hukum ini dikecualikan oleh
hadis Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Imam at-
Tirmidzi :58
نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم من
صومه فإنما أطعمه الله وسقاه.
Siapa yang makan atau minum
karena lupa tidak batal
puasanya, karena hal itu
merupakan rezeki yang
diturunkan Allah kepadanya.59
6. Sementara itu Totok
Jumantoro dan Samsul Munir
Amin dalam Kamus Ilmu
Ushul Fikih mengemukakan
bahwa ada istihsan bi adh-
Dharurah, yaitu istihsan
berdasarkan darurat. Artinya
ada keadaan-keadaan darurat
yang menyebabkan seorang
mujtahid tidak memberlakukan
kaidah umum atau qiyas.
Contohnya dalam kasus sumur
yang kemasukan najis.
Menurut kaidah umum, sumur
58 Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 771. 59 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 6, No. riwayat 1952, hlm. 28. Lihat juga ; Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad (Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 19, No. riwayat 9125, hlm. 168. Lihat juga; Ad- Darimi, Sunan Ad-Darimi (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), Juz. 5, No. riwayat 1779, hlm. 232.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 145
itu sulit untuk dibersihkan
dengan mengeluarkan seluruh
air sumur tersebut, karena
sumur yang sumbernya dari
mata air sulit untuk
dikeringkan. Ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa dalam
keadaan seperti ini, untuk
menghilangkan najis cukup
dengan memasukkan beberapa
gallon air ke dalam sumur,
karena keadaan darurat
menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan dalam
mendapatkan air untuk
beribadah dan kebutuhan
lainnya.60
D. Kehujjahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan
macam-macam istihsan, tampak
bahwa istihsan itu pada dasarnya
bukan merupakan sumber
pembentukan hukum yang berdiri
sendiri. Sebab, hukum-hukum
yang tersebut pada macam yang
pertama, berdasarkan dalil kias
khafi yang diutamakan dibanding
kias jail, lantaran hal-hal yang
dapat menenteramkan mujtahid
dengan jalan istihsan. Kemudian,
macam istihsan yang kedua,
hukum-hukum antara lain, dalil
maslahah yang menuntut
pengecualian pada bagian hukum
kully, atau yang dikemukakan
sebagai jalan istihsan.
Yang menggunakan hujjah
istihsan ini, kebanyakan adalah
ulama Hanafiyah. Alasan mereka
terhadap dipakainya istihsan
sebagai hujjah adalah bahwa
60 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 138.
istidlal dengan jalan istihsan hanya
merupakan istidlal dengan kias
khafi yang dimenangkan atau
diutamakan dari kias jail, atau
merupakan kemenangan kias
terhadap kias lainnya yang
berlawanan dengan dalil yang
menuntut adanya kemenangan,
atau merupakan istidlal dengan
jalan maslahah mursalah terhadap
pengecualian hukum kully. Dan
semua ini merupakan istidlal yang
benar.61
Sebagaimana telah
diuraikan di atas bahwa fikih
Maliki merupakan fikih yang
sangat memperhatikan kaidah-
kaidah umum dan dasar-dasar
yang universal karena kaidah-
kaidah dan dasar-dasar itu bersifat
qath’I (tegas, pasti). Dan karena
dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang
dihasilkan oleh akal manusia) yang
memberi faedah qath’i tidak qath’i
dengan sendirinya, maka cara
sampai kepada qath’I adalah
melalui induksi.
Dengan demikian maka kaidah
istihsan dalam hubungannya
dengan dalil fikih merupakan suatu
kaidah yang qath’I yang diambil
pengertiannya dari sejumlah dalil
nas yang saling dukung
mendukung kepada suatu
pengertian yang memberi faedah
qath’I .
Oleh karena itu kaidah
istihsan itu merupakan kaidah
umum yang ditarik secara induksi
pada tingkat umum yang dari
lafazh itu, diterapkan kepada
setiap peristiwa yang ada 61 Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hlm. 122.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 146
relevansinya dan ditetapkan
hukumnya dengan
memasukkannya ke dalam
kategori obyek yang umum itu,
jika peristiwa itu merupakan
msalah khusus.
Di antara ulama yang
sangat besar perhatiannya dalam
kajian istihsan sebagai metode
penetpan hukum Islam adalah al-
Syatibi. Ia mengungkapkan dalil-
dalil syara’ yang secara kolektif
memberi faedah qath’I yang
dijadikan sebagai kaidah istihsan
yang dibenarkan oleh al-Syar’i.
Contoh-contohnya menurut al-
Syatibi banyak terdapat di dalam
Islam. Seperti berutang
(meminjam uang), pada dasarnya
adalah riba, karena utang itu
adalah menukar uang dengan uang
sampai ajal (suatu tempo) yang
disepakati bersama. Akan tetapi
pinjaman itu dibolehkan karena
bermanfaat dan dapat membantu
orang yang membutuhkan. Kalau
pinjam-meminjam itu tetap
dilarang sesuai dengan hukum
dasarnya, hal itu menyusahkan
umat manusia dan menghalangi
asas tolong-menolong dengan cara
ini.
Demikian juga halnya
dengan jamak antara shalat
maghrib dan isya Karen ada
masyaqqat (kesukaran), seperti
ketika dalam perjalanan, jamak
shalat orang musafir, qashar
(pemendekan) shalat, berbuka
(tidak berpuasa) ketika dalam
perjalanan jauh, shalat khauf (
shalat dalam keadaan takut), dan
kelonggaran-kelonggaran lain
yang serupa. Semua itu pada
hakikatnya kembali kepada
pengutamaan tujuan pencapaian
kemaslahatan-kemaslahatan dan
menolak kerusakan secara khusus,
karena dalil umum menghendaki
tercegahnya kerusakan itu. Sebab
bila tetap diperlakukan dalil
umum, maka dapat mengakibatkan
hilangnya kemaslahatan yang
dikehendaki oleh dalil itu. Maka
dengan demikian memelihara
tujuan itu seoptimal mungkin
merupakan suatu kewajiban.
Termasuk dalam kategori
itu juga masalah melihat aurat
untuk kepentingan pengobatan,
masalah qirad (mnemberi modal
kepada orang lain untuk
diperdagangkan dengan perjanjian
bagi hasil), musaaqat (sistem bagi
hasil berkebun), dan salm (jual beli
pesanan).
Semua itu menurut al-Syatibi
menjadi semacam dalil yang
menunjukkan keabsahan
berpendapat dengan kaidah ini,
dan dasar itulah yang dijadikan
pegangan oleh Malik dan sahabat-
sahabatnya.62
Selanjutnya menurut al-
Syatibi bahwa beramal dengan
kaidah istihsan itu berarti beramal
dengan nas-nas syarak yang
dihasilkan secara induktif. Dan
seorang mujtahid apabila
mentakhshishkan umum nas
dengan maslahat atau
mengutamakan maslahat atas kias,
itu tidak lain daripada menerapkan
nas-nas syariat yang menjadikan
takhshish atau pengutamaan itu
sebagai suatu kaidah yang
62 Iskandar Usman, op.cit., hlm. 33.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 147
dibenarkan oleh al-syar’I dan
menetapkan hukum-hukum cabang
sesuai dengan kaidah itu dan
menjadikan pegangan dalam
pembuatan perundang-undangan.
Al-Syatibi mengatakan bahwa ada
berita dari Imam Malik yang
mengatakan bahwa istihsan adalah
90% dari ilmu. Ishbagh
meriwayatkan dari Ibn al-Qayyim
dari Malik, ia mengatakan bahwa
kadang-kadang Malik lebih sering
melakukan istihsan daripada kias.
Demikian juga ada berita dari
Malik yang menyebutkan bahwa
orang yang tenggelam dalam kias
nyaris menentang sunnah.63
Dalam msalah istihsan,
ulama Malikiyah mengakui bahwa
Imam Malik menganggap baik
mentakhshishkan dalil umum
dengan maslahat dan mereka
menjelaskan bahwa istihsan adalah
mengutamakan maslahat atas kias.
Artinya bahwa maslahat yang
diutamakan atas kias dan dalil
umum adalah maslahat yang sesuai
dengan kehendak syarak, tidak
menghilangkan salah satu dasar
dari dsar-dasar syarak.
Kehujjahan istihsan
menurut golongan Hanafiyah
dapat pula dikemukakan secara
sederhana, bahwa istihsan itu bisa
menjadi dalil syarak. Istihsan
dapat menetapkan hukum yang
berbeda dengan hukum yang
ditetapkan oleh kias atau umum
nas. Tegasnya menurut mereka,
istihsan dapat dijadikan dalil
(hujjat). Al-Taftazani mengatakan
bahwa istihsan adalah salah satu
63 Ibid., hlm. 39.
dari dalil-dalil yang disepakati
oleh para ulama, karena istihsan
didasarkan kepada nas, atau
kepada ijmmak, atau kepada
darurat, atau kepada kias khafi.
Untuk mendukung
kehujjahan istihsan, golongan
Hanafiah mengemukakan alasan
atau dalil dari al-Qur’an, sunnah,
dan ijmak.64
Dalil dari al-Quran yang
mereka kemukakan adalah:
1. Surat al-Zumar (39) ayat 18
yang berbunyi:
Yang mendengarkan
Perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang
yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai
akal.
2. Surat al- Zumar (39) ayat 55
yang berbunyi:
Dan ikutilah Sebaik-baik apa
yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba,
sedang kamu tidak
menyadarinya.
E. Penutup
Dari uraian di atas tampak
bahwa terdapat perbedaan
pendapat ulama ushul fikih dalam
menetapkan istihsan sebagai salah
satu metode / dalil dalam
menetapkan hukum syarak. Ulama
mazhab Syafi’I, az-Zahiri, Syi’ah,
dan Mu’tazilah tidak menerima
64 Ibid., hlm. 62.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 148
istihsan sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syarak.
Berdasarkan analisa Imam asy-
Syafi’i terhadap surat an-Nisa’
ayat 59 bahwa apabila boleh
meninggalkan kias dan mengambil
dalil lain, maka hal ini berarti
membolehkan seseorang
menetapkan hukum berdasarkan
akal dan hawa nafsunya semata.
Istihsan, menurut Imam asy-
Syafi’i, termasuk berdalil melalui
akal dan hawa nafsu saja.65
Sedangkan menurut ulama
Mazhab Hanafi, Maliki, dan
Hanbali, istihsan merupakan dalil
yang kuat dalam menetapkan
hukum syarak.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld.
2, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-
Kaidah Hukum Islam, Risalah,
Bandung, 1985
Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad
(Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 19, No.
riwayat 9125
Ad- Darimi, Sunan Ad-Darimi
(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,
t.t.), Juz. 5, No. riwayat 1779
Iskandar Usman, Istihsan dan
Pembaharuan Hukum Islam, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994
65 Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 772.
Muslim, Shahih Muslim (Beirut:
dar Jail, t.t.), Juz. 6, No. riwayat
1952
Satria Effendi, Uhul Fiqh,
Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009
Tim Penyusun, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jld.3, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000
Totok Jumantoro, Samsul Munir
Amin, Kamus Ushul Fikih,
Amzah, Jakarta, 2009,
Top Related