BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman ilmu hukum pun mengalami perkembangan salah
satunya berkaitan dengan hukum khusus yang membahas masalah tubuh, kesehatan, dan
nyawa manusia dalam bidang ilmu kedokteran forensik dan medikolegal (Mun’im,
2009). Hal tersebut terkait dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang tidak
dapat disepelekan bahkan sering kali merenggut nyawa seseorang, seperti kecelakaan,
pembunuhan, bunuh diri, dan lain sebagainya dimana hal tersebut perlu ditindak lanjuti
untuk mengusut alur dari kejadian demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak
berwajib.
Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai
ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah
sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Namun
disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi
sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan juga aturan-aturan
yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan pengenalan terhadap
bukti-bukti fisik (contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya) (Purwadianto 2000).
Ilmu kedokteran Forensik merupakan salah satu disiplin ilmu yang menerapkan
ilmu kedokteran klinis sebagai upaya penegakan hukum dan keadilan (Budiyanto, 1999).
Seiring perkembangan waktu, telah terjadi banyak kemajuan dalam ilmu kedokteran
Forensik dan ilmu kedokteran Forensik berkembang menjadi ilmu yang mencakup
berbagai aspek ilmu pengetahuan dan dalam ilmu kedokteran Forensik identifikasi
merupakan hal yang penting (Amir, 2008).
1
Peningkatan kasus kriminal semakin meningkat dengan motif dan modus yang
beragam, hal ini menyebabkan semakin pentingnya ilmu kedokteran Forensik. Autopsi
atau pemeriksaan post mortem, berfungsi sebagai prosedur medik untuk menentukan
penyebab, lama kematian, atau mengevaluasi proses penyakit, dan trauma yang terjadi
terhadap korban (Amir,2008).
Berdasarkan pasal 179 KUH Pidana (Moeljatno, 1996), setiap orang yang dimintai
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman (forensik) atau dokter, berkewajiban
memberikan keterangan ahli demi keadilan. Demikian juga pasal 53 ayat (2) Undang-
undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan ditegaskan bahwa tenaga kesehatan dapat
dilibatkan dalam upaya pembuktian dengan melakukan tindakan medis tertentu, baik
dalam perkara pidana maupun perkara lainnya melalui permintaan tertulis oleh pejabat
yang berwenang yang menangani kasus tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kedokteran gigi forensik berperan dalam kasus hukum di Indonesia.
1.3 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Forensik
2.1.1 Pengertian Forensik
Forensik (berasal dari bahasa Yunani ’Forensis’ yang berarti debat atau
perdebatan) adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu (sains). Forensik
biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana (tindak melawan hukum). Dalam
buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai
penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan
penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan,
observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian)
barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut (mun’im 2009).
Menurut Djohansyah Lukman bahwa ilmu kedokteran gigi forensik adalah
terapan dari semua disiplin ilmu kedokteran gigi yang berkaitan erat dalam
penyidikan demi terapan hukum dan proses peradilan (Lukman, 2010).
2.1.2 Fungsi Forensik
Fungsi utama dari Ilmu Kedokteran Forensik adalah untuk membantu
proses penegakan hukum dan keadilan, khususnya didalam perkara pidana yang
menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. ( Olluwasuwa, 2009)
2.1.3 Obyek Pemeriksaan Kedokteran Gigi Forensik
Obyek pemeriksaan dalam penyidikan secara garis besar :
a. Korban Hidup
b. Korban mati/ mayat
3
c. Sebagai pelaku
d. Benda-benda mati yang terdapat disekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara):
1. Bekas pola gigitan pada tubuh mayat
2. Air liur disekitar bekas pola gigitan
3. Bercak-bercak darah korban
4. Bercak-bercak darah pelaku.
e. Benda-benda fisik yang dianggap sebagai barang bukti :
1. Gigi palsu lepasan sebagian (partial denture)
2. Gigi palsu utuh (full denture)
3. Mahkotan dan jembatan ( crownand bridge)
4. Gigi-geligi yang lepas dari rahang korban
5. Patahan gigi-geligi dari korban
6. Kemungkinan terdapat patahan rahang yang lepas dari korban baik rahang
atas atau rahang bawah.
f. Semua jaringan rongga mulut (pipi bagian dalam, bibir yang lepas yang
terdapat di TKP) (Lukman, 2006)
2.1.4 Metode Forensik
Identifikasi forensik pada dasarnya terdiri dari 2 utama :
a. Identifikasi Komparatif
Identifikasi komparatif yaitu apabila tersedia data post-mortem
(pemeriksaan jenazah) dan ante-mortem (data sebelum meninggal, mengenai
ciri-ciri fisik, pakaian, identitas khusus berupa tahi lalat, bekas luka/operasi,
dll), dalam suatu komunitas yang terbatas.
b. Identifikasi Rekonstruktif
Identifikasi rekonstruktif yaitu apabila tidak tersedia data ante-mortem
dan dalam komunitas yang tidak terbatas (Idries, 2009).
4
2.1.5 Dasar Hukum Forensik
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
a. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
(Dahlan,2009).
b. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat
(Dahlan,2009).
2.2 Autopsi
2.2.1 Pengertian
Autopsi atau pemeriksaan post mortem, berfungsi sebagai prosedur medik
untuk menentukan penyebab, lama kematian, atau mengevaluasi proses penyakit,
dan trauma yang terjadi terhadap korban (Amir,2008).
Autopsi dapat dilakukan dengan dua cara, autopsi luar dan autopsi dalam.
Dalam autopsi, korban ditemukan dalam berbagai keadaan, potongan tubuh,
kerangka, jenazah yang membusuk, atau yang baru meninggal. Penyebab
kematiannya pun bisa beragam, akibat perbuatan kriminal, bunuh diri, dan
bencana alam (Amir,2008).
2.2.2 Alat-Alat Autopsi
Untuk autopsi tidak diperlukan alat khusus dan mahal, cukup :
a. Timbangan besar untuk menimbang mayat
b. Timbangan kecil untuk menimbang organ
c. Pisau : dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.
d. Gunting : berujubg runcing dan tajam.
5
e. Piset : anatomis dan bedah
f. Gergaji : gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel
g. Forseps atau cunam untuk melepaskan dura meter
h. Gelas takar 1 liter
i. Pahat
j. Palu
k. Meteran
l. Jarum dan benang
m. Sarung tangan
n. Baskom dan ember
o. Air yang mengalir (Hamdani, 1992).
2.2.3 Yang Berhak Melakukan Autopsi
Yang berhak melakukan otopsi adalah:
1. Bila ada luka maka diperiksa oleh dokter spesialis bedah
2. Kejahatan keasusilaan maka diperiksa oleh dokter obsgyn
3. Keracunan maka diperiksa oleh dokter internis
4. Kekerasan pada mata maka diperiksa oleh dokter spesialis mata
2.2.4 Tujuan Pemeriksaan Autopsi Forensik
Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk :
a. Membantu penentuan identitas mayat
b. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian
c. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan
6
d. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk
visum et repertum (Mansjoer, 2000).
e. Sedangkan korban mati diperiksa oleh dokter forensik (Standish, 1997)
2.3 Visum et Repertum
2.3.1 Pengertian
Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan
dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang
bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh manusia yang
diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas permintaan penyidik
untuk kepentingan peradilan. (Amir, 2008)
2.3.2 Jenis - Jenis Visum et Repertum
Jenis visum et repertum pada orang hidup terdiri dari (Idries, 2009)
a. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena korban tidak
tindakan khusus atau perawatan dengan perkataan lain korban mengalami
luka - luka ringan.
b. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara berhubung
korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal ini dokter
membuat visum tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar penyidik
dapat melakukan penyidikan walaupun visum akhir menyusul kemudian.
c. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa perawatan
dari korban oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya telah dibuat
visum sementara untuk awal penyidikan. Visum tersebut dapat lebih dari satu
visum tergantung dari dokter atau rumah sakit yang merawat korban.
7
Jenis visum et repertum pada orang mati atau mayat
a. Pemeriksaan luar adalah dapat diminta oleh penyidik tanpa
pemeriksaan dalam atau otopsi berdasarkan KUHP pasal 133.
b. Pemeriksaan luar dan dalam adalah jenazah : sesuai dengan KUHAP
pasal 134 ayat 1 Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2
Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan
pembedahan tersebut. Ayat 3 Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga pihak yang perlu diberitahu tidak
ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
2.3.3 Yang Berhak Meminta Visum et Repertum
Yang berhak meminta visum et repertum adalah :
a. Penyidik
b. Hakim pidana
c. Hakim perdata
d. Hakim agama
Yang berhak membuat visum et repertum (KUHAP Pasal 133 ayat 1)
a. Ahli kedokteran kehakiman
b. Dokter atau ahli lainnya
8
2.3.4 Prosedur Permintaan Visum et Repertum Hidup
a. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan secara lisan / telepon /
via pos.
b. Korban adalah BB, maka permintaan VetR harus diserahkan sendiri
oleh polisi bersama-sama korban/tersangka.
c. Tidak dibenarkan permintaan VetR tentang sesuatu peristiwa yang
telah lampau, mengingat rahasia kedokteran (Instruksi Kapolri
No.Ins/E/20/IX/75).
Prosedur Permintaan Visum et Repertum Mati (Mayat)
a. Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan melalui
telepon, lisan atau pos.
b. Mayat diantar bersama-sama SPVR oleh polisi ke Bgn Ilmu Kedokteran
Forensik.
c. Mayat harus diikatkan label yang memuat Identitas mayat ( KUHAP
pasal 133 ayat 3).
2.3.5 Peranan dan Fungsi Visum Et Repertum
Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di
dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. ( Afif, 2010).
9
2.3.6 Manfaat Visum Et Repertum
Manfaat dari visum et repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu
perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk pengungkapan
kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin diselesaikan secara tuntas.
(Soeparmono, 2002). Visum et repertum juga berguna untuk membantu pihak
tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli
dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangn
yang meringankan atau menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli. (Soeparmono,
2002).
2.3.7 Dasar Hukum Visum et Repertum
Dalam KUHP pasal 186 dan 187
a. Pasal 186 : Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan
b. Pasal 187 (c) : Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya.
10
BAB III
CONCEPTUAL MAPPING
3.1 Concept Mapping
11
Tindak Pidana
Dilaporkan Ke Polisi Ditemukan Oleh Polisi
Penyelidikan
Penyidik
Surat Permintaan VeR / Surat Keterangan Dokter
Dr Forensik Drg/Drg Forensik
Visum et Repertum Catatan Pemeriksaan Odontologi
Bukti Hukum
Pengadilan
3.2 Hipotesa
12
BAB IV
PEMBAHASAN
Dengan kemajuan jaman yang diimbangi kemajuan teknologi yang selama ini begitu
memberikan dampak positif bagi kemajuan indonesia ternyata juga memiliki dampak negatif
dalam bidang kejahatan yang mengakibatkan kematian pada korban. Akibat dari kemajuan
teknologi ini timbul pula berbagai macam kejahatan yang bervariasi dan kulitasnya pun
semakin meningkat, bukan hanya kualitas kejahatan yang semakin meningkat tapi
kuantitasnya pun juga semakin meningkat, akibat dari kejahatan yang memiliki kualitas
tinggi tersebut tim penyidik pun memiliki beberapa hambatan dalam menyelesaikan kasus
yang ada dikarenakan banyak kejadian yang membuat korbannya kehilangan latar
belakangnya. Karena variasi kejahatan yang semakin meningkat ini akhirnya memaksa
petugas yang berwenang untuk melakukan penyidikan yang berkualitas pula seperti halnya
contoh kejahatan pembunuhan dan pembuangan jejaknya maka memaksa pihak berwenang
untuk melakukan penyidikan yang tidak biasa lagi misalnya dengan cara melakukan
penyidikan forensik. Penyidikan forensik ini berguna untuk mengetahui asal usul korban.
Dalam perkembangannya Ilmu kedokteran forensik sangat berperan dalam
pengusutan suatu kasus kematian. Dalam forensik terdapat beberapa usaha yang dapat
dilakukan untuk mengusut alur suatu kasus dari segi medis yaitu rekam medis, pemeriksaan
barang bukti dan autopsi forensik. (Djohansyah, 2006)
Dalam pemeriksaan barang bukti dokter dibutuhkan agar lebih mudah menemukan
identitas dan penyebab kematian seperti memeriksa bercak darah yang mengering dibaju
korban atau mengambil benda korban yang masih ada bercak darah atau sperma. Autopsi
forensik dilakukan pembedahan pada tubuh mayat dengan tujuan mengetahui ciri dan
karakteristik mayat terlebih pada mayat yang sudah tidak dapat dikenali.
13
Sedangkan fungsi dari rekam medis itu sendiri adalah memberikan informasi secara
tertulis dan sistematis riwayat kesehatan si mayat saat hidup untuk dicocokkan dengan hasil
autopsi forensik. Apabila barang bukti, autopsi forensik dan rekam medis telah dilaksanakan,
akan di dapat data-data yang di dalamnya berisi banyak informasi baik dari aksi (autopsi),
dan administrasi(rekam medis) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi mayat. (Abdul
dan Legowo. 2008).
Setelah mendapatkan data-data rekam medik, dokkter dibantu oleh dokter gigi
membuat Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat
dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa
temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Kemudian
hasil dari VeR dibawa ke pengadilan untuk dilakukan proses hukum (Amir, 2003).
Yang paling berhubungan dengan hukum yaitu tanggung jawabnya dokter gigi
terhadap hukum. Dalam hal hukum dokter gigi berperan sebagai saksi ahli dalam
persidangan. Dalam persidangan ini dokter gigi diharapkan dapat menjelaskan secara ilmiah
hasil yang didapat dalam melakukan penyidikannya karena kesaksian dokter gigi disini akan
dijadikan sebagai barang bukti untuk menyelesaikan kasus yang sedang diselidiki tersebut.
Setelah semua tanggung jawab dokter gigi dijalankan maka dokter gigi telah selesai dalam
peranyya dalam melakukkan penyidikan forensik selanjutnya hanya tugas tim penyidik atau
pihak berwajib untuk memutuskan siapa yang bersalah dalam kasus tersebut (Abdul dan
Legowo. 2008).
14
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Untuk melakukan identifikasi pada suatu kasus tindakan forensik, peran dari dokter
gigi sangat diperlukan untuk mengungkap identitas dari korban yang identitasnya belum
diketahui. Selain itu dokter gigi berhak memberikan identitas rekam medis kepada pihak
pengadilan sesuai kode etik kedokteran untuk membantu proses penyidikan pihak
kepolisian.
5.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyarankan kepada pihak penyidik dari
kepolisian dapat bekerjasama dengan tim forensik untuk memperjelas identitas suatu
korban yang belum dikenal. Khususnya untuk mahasiswa fakultas kedokteran gigi
diharapkan menambahkan wawasan tentang peran dokter gigi dalam hal forensik,
sehingga kelak bila sudah profesi dapat diterapkan untuk membantu pihak penyidik
dalam mengungkap masalah forensik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amir. 2008. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Pustaka Dwipura: Jakarta.
Djohansyah, Lukman. 2006. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jakarta : CV Agung Seto.
Idries, Abdul M. 2009. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Barat : Binarupa
Aksara.
Mun’in, Abdul dan Legowo. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. CV Sagung Seto:Jakarta.
Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-
Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek
Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.
Standish SM, Stimson PG. The scope of Forensic Dentistry. The Dental Clinics of North
Amerika 1997.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 133 ayat 3
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 187 butir c.
16
Top Related