1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah perlu mengadakan pembangunan dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka
pembangunan nasional adalah pembangunan umum, seperti pembangunan
jalan raya, pemukiman rakyat, pembangunan pasar tradisional, pembangunan
gedung-sekolah dan sebagainya.
Pembangunan nasional untuk kepentingan umum seperti ini
diperlukan lahan yang luas dan pemiliknya sangat banyak. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan tanah tersebut dilakukan pembebasan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung
di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
hukum tanah nasional1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat2. Hak menguasai negara tersebut,
memberikan wewenang kepaa negara, diantaranya untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa3.
Untuk melaksanakan wewenang tersebut, hal yang sudah disadari oleh
pembentuk Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa hukum tanah yang
dibangun itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia sendiri, yaitu hukum adat, secara teoretik, hukum tanah yang
1Penjelasan Umum Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
2Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal
3 ayat (2) huruf a.
1
2
dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat4, dan
pencabutan hak atas tanah oleh negara untuk kepentingan umum harus
dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan sebaiknya harus
diperoleh melalui musyawarah, maka pengambilan hak atas tanah untuk
kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat,5
sehingga sengketa akan relatif jarang terjadi. Akan tetapi kenyataannya,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ternyata banyak menimbulkan
sengketa6, antara pemerintah dengan pemilik tanah baik sebagai perseorangan
maupun badan hukum yang terkena proyek pembebasan tanah.
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
yaitu karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari
tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan
pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Manusia akan hidup senang
serba kecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dimilikinya
sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup
tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan
kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku
untuk mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.
Tanah memiliki hukumnya sendiri yaitu keberadaannya tak dapat di
tambah namun sebaliknya kebutuhan atas tanah selalu meningkat seiring
dengan jumlah penduduk. Betapa pentingnya arti sebuah tanah sehingga
sesuai dengan falsafah atau kultur masyarakat Jawa ”Sedumuk bathuk senyari
bumi”.Tersedianya tanah merupakan kunci eksistensi manusia dan
pengaturan serta penggunaannya merupakan kebutuhan yang sangat penting.
4Freiderich Carl Von Savigny, menyatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk perundang, namun hukum adalah jiwa bangsa (volgeist). Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2006, hlm. 164.
5Harbermas mengatakan bahwa validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang dibuat oleh elemen-elemen masyarakat. ia tidak melihat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi acuan validitas hukum itu sebagai nilai- nilai obyektif, karena itu, maka nilai-nilai itu harus ditemukan melalui concencus bersama, Rezaa A.A Wattimena, Melampaui Negara hukum Klasik, Locke Rausseau Harbermas, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. xvi-xvii.
6 Darwin Ginting, Kapita Selekta Hukum Agraria, Jakarta: Fokussindo Mandiri, 2013, hlm. 122
3
Tanah dalam pembangunan nasional merupakan salah satu modal dasar yang
strategis. Hal ini untuk menopang tujuan nasional sesuai yang termaktub
dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, sehingga akan terwujud suatu
masyarakat adil dan makmur baik dalam materiil maupun spirituil
berdasarkan Pancasila dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa
bernegara yang tertib, aman dan dinamis untuk mewujudkan kesejahteraan
yang adil dan merata bagi segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan suatu program pembangunan
yang terpadu dan menyeluruh dan berkelanjutan termasuk dalam bidang
pertanahan.
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata,
di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat bangsa Indonesia, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk
mewujudkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis
UUD 1945) yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat “. Dari bunyi Pasal tersebut dapat
diketahui bahwa penggunaan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang
terkandung didalam harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan suatu penjabaran dari Pancasila, maka
dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir
batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Melihat materi dari
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
4
1945 di atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara
Republik Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi
dan keadilan7. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi
pemerintah yang memerlukan tanah tersebut.8
Sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun1945, pada tanggal 24 September 1960
pemerintah mengundangkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-
Undang Pokok Agraria yang termuat dalam Lembaran Negara No.104 tahun
1960.
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti
penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan
capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan
sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan,
sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam
pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi9.
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan
magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara
individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu
persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak
ulayat10. Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
7Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Media Abadi. Yogyakarta, 2005, hlm.1
8Achmad Rubaeie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk KepentinganUmum , Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 2
9Ibid, hlm. 110Ibid, hlm.40
5
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata,
di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat bangsa Indonesia, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk
mewujudkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD
1945) yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat “. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa
penggunaan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam
harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Seluruh batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan suatu penjabaran dari Pancasila, maka
dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir
batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Melihat materi dari
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 di atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara
Republik Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi
dan keadilan11. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi
pemerintah yang memerlukan tanah tersebut12.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah dalam 11Ibid, hlm.112Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 2
6
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diartikan sebagai
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk
kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga harus
memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan13. Unsur
kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas
tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak bersama. Pasal 6 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA), menyatakan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan tanah
tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan pemegang hak
atas tanah tersebut, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan
masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi sudah termasuk juga di dalam
kepentingan masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan
13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi).Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 231
7
individu dan kepentingan umum (masyarakat) dalam pemanfaatan serta
penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945 Juncto Pasal 2 ayat (3) Juncto Pasal 6
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka terkait hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan
dan kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap harus
untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana dalam Pasal
18 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang membutuhkan
tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaanya
harus mempertimbangkan banyak hal. Argumentasinya, menurut Imam
Koeswahyono yang mengutip pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus,
bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan atau mencangkup prinsip14:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber
pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 Juncto Pasal 1 dan 2 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA));
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh seseorang
atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan
14 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. hlm. 5
8
(kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU HAM));dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka
presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa
persetujuan subyek hak menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya (selanjutnya ditulis UU No. 20 Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9
ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan
pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian dari
masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata
pencahariannya. Bilamana hal tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan
untuk keperluan pembangunan, maka dapat berdampak mengesampingkan
kepentingan perseorangan yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak
perseorangan untuk hidup secara layak. Secara tegas Hak Milik telah
mendapatkan perlindungan yang kuat dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar
1945, dinyatakan “Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan Hak
Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi
Manausia, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas tanah.
Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah seringkali
berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang mengabaikan hak atas
tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini muncul baik dalam tahap
awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti rugi yang kurang layak yang tanpa
9
melibatkan masyarakat pemegang hak atas tanah15, sehingga pengadaan tanah
yang berdalih untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi
manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria pembatasan
“kepentingan umum” yang membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh
swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian kepentingan umum
dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga dapat melanggar hak milik
atas tanah di Indonesia yang belum sepenuhnya dilindungi sistem hukum16.
Demikian juga selain perangkat aturan yang ada saat ini dilihat belum
mengakomodasi keperluan kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot
tidak layak, lantaran persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak
dihimpun dalam Undang-Undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh
Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka
melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur dalam Pasal 1 Undang-
Undang No 20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam
keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang organ
Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan pencabutan Hak Milik.
Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal17:
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan tidak
mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga dirasa sangat
mustahil untuk diterima oleh yang bersangkutan;dan/atau
15 (http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-sosial.html , 3 April 2014, jam 16.00 WIB)
16 Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 15717 Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31
10
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak memenuhi
persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air atau air yang
terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena adanya
pencemaran lingkungan.
Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan pemberian
ganti rugi, baik dalam bentuk, pelaksanaan pembayarannya maupun
besarnya ganti rugi. Pembayarannya terkadang tidak langsung tunai dan
diundur-undur dan besarnya ganti rugi tidak layak. Guna menghindari
konflik terkait pemberian ganti rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya
harus ditetapkan berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang
mempunyai kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak
pemerintah dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan.
Dengan demikian kebijakan pemerintah, akan berjalan dengan baik karena mendapat dukungan dari masyarakat, termasuk dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan. Kebijakan pemeriantah yang dilakukan dalam waktu ke waktu tentunya mengalami perkembangan, yang pada intinya bertujuan demi perbaikan. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan yang tentunya tidak sesuai harapan. Seperti yang disampaikan oleh Owen Hughes dalam Pan S. Kim.18
“Summarized for this group: “The administrative paradigma in is terminal stages and unlikely to be revbuved...(It is being replaced by) a new paradigm of public management which pust forward a different relationship betwen government, the public service aand the public”. (Paradigma administrasi berada pada tahap akhir dan tidak mungkin dibangkitkan kembali... (hal ini digantikan oleh) sebuah paradigma baru tentang manajemen pemerintah yang mengusulkan suatu hubungan yang berbeda antara pemerintah, pelayanan masyarakat dan masyarakat).
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang dilaksanakan
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah harus memperhatikan
18Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Rteview of Administrative Science. Vo. 68
11
peran tanah dalam kehidupan manusia dan dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah. Pemerintah tidak boleh mengambil
atau mencabut hak atas tanah sewenang-wenang dengan berdalih untuk
kepentingan umum tanpa mempertimbangkan prinsip penghormatan hak atas
tanah. Termasuk pengadaan tanah untuk kepentinganm umum yang terjadi di
Wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo yaitu pengadaan
tanah untuk sarana pendidikan yang dipergunakan untuk pendirian Kampus
yang memerlukan lahan seluas 9 hektar.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari
dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan
penelitian hukum dengan judul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DITINJAU DARI
TEORI HUKUM PEMBANGUNAN. (Studi Kasus di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, maka dalam
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
harus berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah, yang mencangkup
untuk kepentingan umum, ganti rugi yang layak dan tata caranya yang diatur
dengan Undang-Undang. Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dapat memberikan perlindungan hukum
bagi pemegang hak atas tanah?
2. Bagaimana Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan?
12
3. Kendala apakah yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam
suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah.
b. Mengetahui Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
c. Mengetahui kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif penelitian ini adalah :
a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analitis penulis
mengenai Hukum Agraria, terutama menyangkut prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum;
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu hukum,
mengembangkan, dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna menganalisis
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hal prinsip
13
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum; di lihat dari sisi teeori hukum pembangunan.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi persyaratan
akademis dalam mencapai Magister Hukum Konsentrasi Hukum
Kebijakan Publik di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan hanya
bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-pihak lain.
Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
Manfaat Teoretis dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum.
b. Untuk mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria
tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh;
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi
para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk
mengkaji permasalahan yang sejenis.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
15
1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah19.
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk
kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan
pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak
atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan20.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria
dinyatakan bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya
macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai baik sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian
rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
19Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 28320 Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, 2010,
hlm. 49
14
16
penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang
Pokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16
Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 53 Undang-Undang Pokok
Agraria dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama
Undang-Undang Pokok Agraria masih berlaku atau belum dicabut
dengan Undang-Undang yang baru. Macam hak atas tanah ini
adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut
hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan
dengan Undang-Undang. Hak macam tanah ini belum ada.
Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan Ramelan
dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria menyadari bahwa dalam perkembangannya
nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru
sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat, hanya
saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang
singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa
Undang-Undang Pokok Agraria. Macam hak atas tanah ini adalah
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu:21
21Ibid, hlm. 52-53
17
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam
hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai
atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat
ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial (Pasal 20 ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria). Hak milik merupakan hak yang
paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang
tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna
bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha),
yang hampir sama kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk
memberi hak atas tanah kepada warganya22.
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak dibatasi
oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih memenuhi
syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut tetap
berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya tidak lagi memmenuhi
syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut menjadi
hapus.
22 Kartini Muljadi,dkk., . Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.30
18
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan
terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung
selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat
menunjukkan:
a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan
hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka waktunya
tertentu.
b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik
juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai
diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya,
yang paling luas jika dibandingkan dengan hak lain.
b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya.
Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada
pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik:
menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan
tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak
pakai.
c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak
guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha
terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik dapat
digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk bangunan.23
Subyek hak milik atas tanah yaitu Warga Negara Indonesia
dan badan hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa oleh
pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dengan syarat-syarat. Pemberian landasan hukum yang
23 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hlm. 236-237
19
terkuat kepada badan-badan hukum untuk medapatkan hak milik atas
tanah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah24. Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa Badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan
pembatasan yang disebut pada Pasal 1, 2, dan 4 peraturan ini :
a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank
negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan
d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan
Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang
Pokok Agraria yang menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 Undang-
Undang Pokok Agraria;
(2) Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(3) Karena ditelantarkan; dan
(4) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Agraria.
b) Tanahnya musnah.
2) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh Negara, dalam
24Supriyadi,Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 66
20
jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria). Hak Guna
Usaha merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi Hak Guna Usaha tidak bersifat terkuat dan
terpenuh, dalam artian bahwa Hak Guna Usaha ini terbatas daya
berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain25.
Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria telah diakui dengan
sendirinya bahwa Hak Guna Usaha ini sebagai hak-hak baru guna
memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan
terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi, tidak
dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu hak milik
dengan orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Pasal 8 ayat (1), Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk jangka
waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat
keadaan perusahannya.
Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang paling sedikit 5
hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan
yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli,
tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan
(Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996).
Subyek Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996, dinyatakan bahwa yang dapat
mempunyai Hak Guna Usaha adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
25Ibid, hlm 110
21
Berkaitan dengan subyek Hak Guna Usaha di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang Hak Guna Usaha tersebut
beralih menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi berstatus
asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) telah beralih
ke tangan pihak asing. Bagaimana status Hak Guna Usaha -nya
tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat Sudargo
Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan hukum yaitu teori
tentang siapa yang memegang managing control, pengawasan atau
manajemen dan kontrol atas Perseroan Terbatas bersangkutan.
Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan26:
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari pemegangnya, maka karena hukum Hak Guna Usaha bersangkutan menjadi hapus dan tanah menjadi tanah negara (ayat (2) dari Pasal 3).
Hak Guna Usaha mempunyai batas waktu berlakunya. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok
Agrariadinyatakan bahwa, Hak Guna Usaha hapus karena:
a) Jangka waktunya berakhir;
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai
syarat tidak dipenuhi;
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d) Dicabut untuk kepentingan umum;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
26Ibid, hlm. 111
22
g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agrariaini diatur
kembali dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996, HGU Hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban-
kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c) Dicabut berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1961;
d) Ditelantarkan;
e) Tanahnya musnah; dan
f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka waktu
satu tahun Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri (Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria), dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya
dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya.
Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang
jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah
dapat diperbaharui haknya.
Subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan
adalah: warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19
23
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). Hak Guna Bangunan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, peralihan HGB terjadi
karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan modal, hibah, dan
pewarisan. (Pasal 34 ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).
Hak Guna Bangunan mempunyai batas waktu berlakunya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1996 dinyatakan bahwa, Hak Guna Bangunan hapus
karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;
b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya berakhir,
karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau (2) tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam pemberian Hak Guna Bangunan antara
pemegang Hak Guna Bangunan dan Hak milik atau perjanjian
penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap;
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
janghka waktu berakhir;
d) Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 1961;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang Hak Guna Bangunan
yang tidak lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak
melepaskan atau mengalihkan haknya).
4) Hak Pakai
24
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang. Hak pakai diatur dalam
Pasal 39-58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya paling
lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun. Untuk perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan
hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus ada persetujuan tertulis
terlebih dahulu pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah
hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi
atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui haknya.
5) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka waktu Hak
Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam ketentuan perjanjian sewa-
menyewa dalam Kitap Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
2. Tinjauan Tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Konsep fungsi sosial baru timbul sekitar abad ke-19 sebagai reaksi
daripada penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak dan formalistis
di dalam masa puncak perkembangan kapitalis (Hoch kapitalismus) dan
industrialisme di Eropa. Menurut Wolfgang Friedman yang dikutip
25
Sunarjati Hartono, menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang sederhana
(pra-industri) hak milik mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan seseorang,
sesuai dengan pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam
masyarakat pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat
Indonesia, apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka
yang dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang
dapat dinikmati sepenuhnya pula27.
Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai
berbagai macam hak untuk menjamin dan mempertahankan kehidupannya
di tengah-tengah masyarakat, dimana salah satunya adalah hak atas tanah.
Hak atas tanah merupakan hak yang dipunyai seseorang yang menurut
sifatnya termasuk hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak
karena hubungannya yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu
tempat dan waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat.
Hak ini masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena
adanya suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa28. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat diganggu gugat
melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa kepentingan sebagai
sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya berarti
dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai warga
masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi hukum adat
adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan penguasaan tanah
secara individual sekaligus mengandung unsur kebersamaan29. Ini berarti
bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara individual tidak dibenarkan
penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, melainkan 27 Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Alumni,
Bandung, 1978, hlm. 16-1728 Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran
Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-829Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79
26
penggunaannya harus disesuaikan dengan manfaat bagi masyarakat dan
negara. Hak milik atas tanah dalam hukum adat yang berkembang sebelum
bangsa barat datang adalah hukum adat yang merupakan hukum asli
golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta
diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa “semua
hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi
sosial hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:
ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria).
Dari ketentuan di atas berarti hak atas tanah bukanlah bersifat
pribadi semata-mata. Penggunaannya juga harus memperhatikan
kepentingan bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah yang
dikuasai itu adalah sebagian dari tanah bersama.Dalam konsep hukum
barat, pengertian fungsi sosial pada hakikatnya berupa pengurangan atau
pembatasan kebebasan individu bagi kepentingan bersama. Sebaliknya
konsep fungsi sosial dalam hukum adat dan hukum tanah nasional
merupakan bagian dari alam pikiran asli orang Indonesia. Bahwa manusia
Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus makhluk sosial, yang
mengusahakan terwujudnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
27
antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kepentingan
masyarakatnya30.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga kewajiban
dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang bersifat umum yang
dibebankan pada setiap pemegang hak atas tanah, yakni:
a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6);
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1));dan
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian
(Pasal 10)31.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria mengandung beberapa prinsip
keutamaan antara lain32:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-
hak atas tanah menurut konsepsi hukum tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya hak itu
saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan
individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga kepentingan
masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan
tanahnya, sifatnya, dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut
dimaksudkan agar tanah harus dipelihara dengan baik dan dijaga
kualitas, kesuburan serta kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak
hanya pemilik tanah saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu
kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya
atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari setiap
30Ibid, hlm. 30231Ibid, hlm. 42-4332Ibid, hal. 299
28
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa interpretasi
asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping mengandung makna bahwa
hak atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya,
sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga
berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan
perseorangan diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan33. Maka jika kepentingan umum
menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi34.
3. Tinjauan Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
a. Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah menyediakan
tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan
sesuatu sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan35.
Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan infrastruktur
negara sesuai program pemerintah yang telah ditentukan. Bukan tidak
ada tanah yang tersedia, tetapi tanah bebas dari hak orang atau badan
hukum yang justru dibutuhkan oleh pemerintah untuk kepentingan
pembangunan sesuai strategi pembangunan nasional, diperlukan (tanah)
demi terlaksananya program bertalian dengan proyek yang telah
direncanakan36.33 Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi
(Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 7934Boedi Harsono,Op. Cit. hlm. 298-29935 John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 1993,
hlm. 3136Ibid, hal. 31-32
29
Menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 dikatakan
bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas
tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65 Tahun
2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan adalah kegiatanh
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak adan
adil kepada pihak yang berhak. Dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan mendasarkan pada
asas: Kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan,
kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan serta
kesetaraan.
b. Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
1) Pengertian Kepentingan Umum :
Istilah kepentingan umum, pertama kali bermula dari
ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, “...kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat,,,,”. Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang No. 20
Tahun 1961 sebagai pelaksana Pasal 18 Undang-Undang Pokok
Agraria, menyatakan “ ,,,kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersamadari rakyat, sedemikian
pula kepentingan pembangunan,,,”. Pasal 1 butir 5 Peraturan
Presiden No 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi
30
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No 36 Tahun
2005), menyatakan, “ Kepentingan umum adalah kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat”. Hakikat Kepentingan Umum
dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang
banyak atau tujuan sosial yang luas. John Salindeho telah
merumuskan bahwa kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan
memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas
atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara37.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6)Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, yang dimaksud kepentingan umum dalah
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh Pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973
(sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud dengan
kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut
menyangkut kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
kepentingan masyarakat luas dan/atau kepentingan rakyat
banyak/bersama dan/atau, kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum meliputi bidang-bidang pertahanan,
pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan
dan seni budaya, kesejahteraan olahraga, keselamatan umum
terhadap bencana alam, kesejahteraan sosisal, makam/kuburan,
37Ibid, hal. 40
31
pariwisata dan rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat
bagi kesejahteraan umum.
Pasal 5 Peraturan Presiden No 65 tahun 2006, menyatakan
bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki atau
akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang
atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/
air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan
lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
2) Karakteristik Kepentingan Umum ;
Menurut Adrian Suteji, ada tiga prinsip suatu kegiatan benar-
benar untuk kepentingan umum, yaitu :
a) Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.
Bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan
perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan
umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun
negara.
b) Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah.
Bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk
kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c) Tidak mencari keuntungan.
32
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga
benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan
untuk mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa
kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh
mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat, kriteria
bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk kepentingan
umum, yaitu :38
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk kepentingan
umum agar memiliki kualifikasi untuk kepentingan umum harus
memenuhi salah satu sifat dari beberapa sifat yang telah
ditentukan dalam daftar sifat kepentingan sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang
memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk kepentingan
umum agar mempunyai kualifikasi sebagai kegiatan untuk
kepentingan umum harus memenuhi syarat bentuk kepentingan
umum sebagaimana Pasal 2 lampiran Instruksi Presiden 1973
(bahwa sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam
rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada
masyarakat yang bersangkutan, sudah termasuk dalam rencana
induk pembangunan dari daerah yang bersangkutan dan yang telah
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
38 Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75
33
setempat) dan Pasal 5 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005;
dan;
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk kepentingan
umum sehingga benar-benar berbeda dengan bukan kepentingan
umum, maka harus memasukkan ciri-ciri kepentingan umum,
yaitu bahwa kegiatan tersebut benar-benar dimiliki pemerintah,
dikelola oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan.
c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku,
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak
atas tanah. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang
disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 Tahun 2006 mengatakan
bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam, yakni: Pertama,
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kedua, jual-beli, tukar-
menukar, atau cara lain yang disepakati secara suka rela oleh pihak-
pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama dan
kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara sukarela
(voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis cara pengadaan
dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara
suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan ini disebut sebagai
pemindahan hak, dengan cara pemindahan hak tersebut, hak atas tanah
langsung berpindah dari pihak yang empunya kepada pihak yang
membutuhkan. Jika yang ditempuh adalah cara pelepasan atau
penyerahan hak, maka setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan”
34
status tanah menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan
permohonan hak oleh pihak yang membutuhkan tanah39. Cara
pengadaan yang dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang
telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1961
merupakan pengadaan tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang
empunya tanah (compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik Indonesia
sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara pengadaan tanah, baik
untuk kepentingan umum, usaha maupun pribadi. Cara yang digunakan
tergantung pada:40
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan
tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan dalam
menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk menetapkan sistem
tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup jika sudah diketahui41:
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau yang
tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:
a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas tanah
yang dipunyainya,atau
b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya;
3) Status hukum yang memerlukan tanah
39 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
40Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 541Ibid, hal. 5-6
35
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai bersedia
menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya,
apakah yang memerlukannya:
a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, atau
b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah dapat
disusun dalam suatu sistem sebagai berikut42:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara, maka
tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan dan
pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka acaranya
adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan untuk melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian
ganti-rugi atas tanam tumbuh rakyat yang ada diatasnya.
Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai dengan
status pihak yang akan menggunakannya melalui cara permohonan
pemberian hak tersebut di atas.
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara yang
digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya kesediaan yang
empunya tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan,
dengan ketentuan:
a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela, maka
ditempuh:
(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-menukar
atau hibah, yaitu jika yang memerlukan memenuhi syarat
sebagai subyek hak tanah yang dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak yang
42Ibid, hlm. 6-7
36
memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi subyek hak
yang semula menentukan status tanah tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia menyerahkannya
dengan suka rela, apabila syarat-syarat telah terpenuhi, maka
dapat ditempuh acara pencabutan hak, sebagai cara
pengambilan tanah secara paksa43.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan
tanah untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah
Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan untuk
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan,
tanaman dan benda –benda lain yang ada kaitannya dengan tanah
yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya
akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang
terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah
mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam
bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak
maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh
43 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14
37
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang
hak atas tanah;
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah
dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang
memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-benda lain
yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah,
sehingga didapat kesepakatan baik mengenai pelaksanaan
pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya. Berdasarkan Pasal
12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan
langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para
pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah. Sementara itu
berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini telah memperkenalkan
pembatasan waktu (120 hari) dan konsepsi konsinyasi (penitipan uang
38
di Pengadilan Negeri setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan
penilai, batasan waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat
menghindarkan berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus
untuk menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, yaitu:
pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan pengadaan tanah
untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah yang dilakukan Pemerintah
dibagi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan pengadaan
tanah bukan untuk kepentingan umum (misalnya: kepentingan
komersial). Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa
pula digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan komersial,
yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum termasuk
pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial lainnya44.
Agar lebih jelasnya, berikut digambarkan alur atau bagan
pengadaan Tanah Untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
44Ibid, hlm. 5
39
40
41
42
d. Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah dan Ganti Kerugian dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Di dalam diktum pertimbangan Peraturan PresidenNo. 36
Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan PresidenNo.
65 Tahun 2006, menyatakan “bahwa dengan meningkatnya
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka
pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap
memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah”. Pasal 4 menyatakan “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah.”.Maria S.W. Soemardjono
berpendapat prinsip penghormatan ini diberikan kepada pemegang hak
atas tanah (subyek), karena konstitusi menjamin hak seseorang atas
tanah yang merupakan hak ekonominya.
43
Kebijakan pengambilalihan tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut45:
1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang
berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik
maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara
waktu atau selama-lamanya, tanpa membedakan bahwa mereka
yang tergusur tetap tinggal di tempat semula atau pindah ke lokasi
lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada
hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan
untuk kepentingan umum46, maka ganti kerugian yang diberikan
harus memperhitungkan:
(3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya;
(5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan memberikan
alternatif lokasi baru yang dilengkapai dengan fasilitas dan
pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang
setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil alaihan.
Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan bangunan
seyogyanya didasarkan pada biaya pengggantian nyata. Bila
diperlukan dapat diminta jasa penilai independent untuk
melakukan taksiran ganti kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan harus
diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas,
mencangkup:
a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat; 45 S.W. Soemardjono, Op. Cit. hlm. 90-9146Ibid, hlm. 80
44
b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain;
c) Penyewa bangunan;
d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan pekerjaan;
e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan kerja
atau penghasilan; dan
f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang akan
kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.
4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena
penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak dilaksanakan
survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman kembali,
dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan sungguh-sungguh
terjamin;
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus
ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali,
integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan semenjak
awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan oleh kedua belah
pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan
menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses
pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta tatacara
penyampaiannya.
Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan dalam
memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan
penghormatan kepada seorang yang haknya dikurangi dengan
memberikan imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya
sebelum hak tersebut dikurangi atau diambil, sehingga yang
45
bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan. Karena
setidaknya kerugian yang akan terjadi itu meliputi47 :
1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke hutan dan
sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah kepunyaan bersama);
2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik lain);
3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena
ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam lainnya);
dan
4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat (tempat-
tempat religius, tempat ibadah, kuburan, hak atas sumber daya
alam).
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat
fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup
yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Peraturan
PresidenNo 65 tahun 2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas (Pasal 15
ayat (1) Peraturan PresidenNo.65 tahun 2006):
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia;
47 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 33
46
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.
4. Tinjauan tentang Kebijakan
a. Kebijakan Publik
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini dengan segala
kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai
kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam
bidang antara lain kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang
kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi,
hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich, kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu48 .
Harold D. Laswell memberikan definisi kebijakan publik
sebagai berikut :49
1) Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.
2) Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.
48 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hlm.16
49 Setiono, Materi Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2004, hlm. 4
47
Lebih lanjut James Anderson menyatakan 4 (empat) aspek
kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi : 50
1) Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
2) Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan Undang-Undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya.
3) Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah.
4) Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Positif : kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negatif : kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
b. Implementasi Kebijakan
1) Definisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi hukum dan berbagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik untuk bekerja sama menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan51. Menurut Masmanian
bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan putusan kebijakan
dasar, dalam bentuk Undang-Undang atau keputusan-keputusan
eksekutif. Keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin
diatasi, menyebut secara tegas tujuannya dari berbagai cara untuk
mengatur proses implementasinya.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan
makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa : “memahami apa
yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku
atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan
50 Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 1851 Budi Winarno, Op. Cit. hlm. 101
48
yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, mencakup baik
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat/kejadian-
kejadian”52
2) Konsep atau Model Implementasi Kebijakan
a) Model Meter dan Horn
Implementasi merupakan proses yang dinamis, Van Meter
dan Van Horn membuat ikatan (linkages) yang dibentuk antara
sumber-sumber kebijakan dan tiga komponen lainnya. Menurut
mereka tipe dan tingkatan sumber daya yang disediakan oleh
keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan
komunikasi dan pelaksanaan. Pada sisi lain, kecenderungan para
pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya
sumber daya.53
b) Model Grindle
Implementasi kebijakan menurut Grindle didasarkan oleh isi
kebijakan dan konteksnya. Ide dasar Grindle muncul setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek
individual dan biaya telah disediakan maka implementasi
kebijakan dilaksanakan54
c) Model Sabatier dan Mazmanian
Menurut Sabatier dan Mazmanian implementasi kebijakan
mempunyai fungsi dari tiga variabel yaitu (1) karakteristik
masalah, (2) struktur manajemen program tercermin dalam
berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan
dan (3) faktor-faktor diluar aturan. Implementasi akan efektif
apabila dalam pelaksanaannya mematuhi apa yang sudah
52Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebiajkan Publik, Alumni, Bandung, 2004. hlm. 6553Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 11954Ibid, hlm. 113
49
digariskan oleh peraturan atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis.55
Dilihat dari ketiga konsep tersebut di atas, Konsep dalam
tulisan ini termasuk Model Grindle, dalam hal ini
pengimplementasian kebijakan tentang pengadaan tanah untuk
pembangunan demi kepentingan umum (Studi kasus di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo).
3) Pendekatan Implementasi
Menurut Solichin Abdul Wahab ada empat pendekatan dalam
implementasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas implementasi
yaitu :
1. Pendekatan StrukturalPendekatan ini ada dua bentuk yaitu struktur yang bersifat organis dan pendekatan struktur matrik.
2. Pendekatan Prosedural dan Manajerial Perlu dibedakan antara merencanakan perubahan dan merencanakan untuk melakukan perubahan. Dalam hal pertama, implementasi dipandang sebagai semata-mata masalah teknis atau masalah manajerial, prosedur-prosedur yang dimaksud termasuk diantaranya menyangkut penjadwalan (scheduling), perenacanaan (planning) dan pengawasan (control). Teknik manajerial merupakan perwujudan dari pendekatan ini ialah perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (network planning and control-MPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja, proyek dapat dilaksanakan dan implementasinya dapat diawasi dengan cara identifikasi tugas-tugas dan urutan-urutan logis, sehingga tugas tersebut dapat dilaksanakan.
3. Pendekatan KeperilakuanAda dua bentuk dalam pendekatan ini : Pertama, OD (organisitional development/pengembangan organisasi). OD adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan dalam ilmu-ilmu kepribadian; Kedua, bentuk management by objectives (MBO). MBO adalah suatu pendekatan penggabungan unsur-unsur yang terdapat dalam pendekatan prosedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. Jelasnya MBO berusaha menjembatani antara tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya.
55 Ibid, hlm. 114
50
4. Pendekatan PolitikPendekatan politik secara fundamental menentang asumsi yang diketengahkan oleh ketiga pendekatan terdahulu khususnya pendekatan perilaku. Keberhasilan suatu kebijakan pada akhirnya akan tergantung pada kesediaan dan kemampuan kelompok-kelompok dominan/berpengaruh. Situasi tertentu distribusi kekuasaan kemungkinan dapat pula menimbulkan kemacetan pada saat implementasi kebijakan, walaupun sebenarnya kebijakan tersebut secara formal telah disahkan 56
c. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari :57
1) Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan public saling
memperkuat satu dengan yang lain. Sebuah produk hukum tanpa ada
proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan
kehilangan makna substansinya. Sebaliknya sebuah proses kebijakan
publik tanpa ada legalisasi hukum, akan lemah pada tatanan
operasionalnya.
2) Penerapan/implementasi hukum dan kebijakan public.
Menurut Setiono58 pada dasarnya di dalam penerapan hukum
tergantung pada 4 unsur :
a) Unsur hukum
56Solichin Abdul Wahab, Loc. Cit, hal 11057 Setiono, Loc. Cit. hal 5 58 Ibid, hal. 4
51
Unsur hukum disini oleh Setiono diartikan sebagai produk atau
kalimat, aturan-aturan hukum. Kalimat-kalimat hukum harus ditata
sedemikian rupa hingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk
hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas dengan tetap
mengacu kepada satu pemaknaan hukum. Namun bukan berarti
pemaknaan yang diberikan oleh pembentuk hukum harus
dipaksanakan sedemikian rupa, sehingga di semua tempat harus
direalisasikan sama persis dengan apa yang dimaksud oleh para
pembentuk hukum. Modifikasi-modifikasi oleh penerap hukum
dilapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju
pemaknaan ideal dari aturan hukum yang dimaksud.
b) Unsur Struktural
Unsur struktural adalah berkaitan dengan lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum.
Pentingnya unsur struktural pada penerapan hukum ada dua :
(1) Organisasi atau institusi seperti apa yang tepat untuk
melaksanakan Undang-Undang tertentu.
(2) Bagaimana organisasi itu dapat menjalankan tugasnya
dengan baik.
Berkaitan dengan aspek pemilihan organisasi atau institusi
maka pengambilan keputusan harus ekstra hati-hati untuk memilih
organisasi atau institusi mana yang dianggap relevan dengan
produk hukum yang hendak diterapkan itu. Kemudian berkaitan
dengan aspek bagaimana organisasi yang telah ditunjuk mampu
optimal dalam menjalankan tugasnya, ini berkaitan dengan
manajemen yang ada pada perusahaan. Tidak jarang terjadi
organisasi yang ditunjuk sudah tepat namun kinerja organisasi
52
sangat lemah dan tidak professional, sehingga tugas-tugas yang
dibebankan tidak dapat dijalankan dengan baik. Kebijakan publik
dalam hal ini lebih berperan dalam bagaimana organisasi atau
instansi pelaksana itu seharusnya ditata dan bertindak agar tugas-
tugas yang dibebankan hukum kepadanya dapat dijalankan dengan
baik. Menunjuk orang yang dipercaya untuk mengendalikan
organisasi tersebut harus dipilih yang mempunyai kemampuan
dalam unsur structural ini lebih dominant berposisi sebagai sebuah
seni, yaitu bagaimana ia mampu melaksanakan kreasi sedemikian
rupa sehingga organisasi dapat tampil dengan baik.
c) Unsur Masyarakat
Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial politik dan sosial
ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas
diterapkannya sebuah aturan hukum. Kondisi masyarakat yang ada
harus diselesaikan lebih dahulu demi terselenggara dan lancarnya
penerapan hukum.
d) Unsur budaya
Dalam unsur ini ada dua hal. Pertama : sedapat mungkin
diupayakan bagaimana agar produk hukum atau Undang-Undang
yang dibuat itu dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam
masyarakat. Kedua : bagaimana produk hukum yang tidak sesuai
dengan budaya dalam masyarakat dapat diterima masyarakat.
Disinilah kebijakan publik akan sangat berperan. Namun harus
diingat bahwa kebijakan publik yang diambil harus berdasar
hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi.
3) Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan publik adalah suatu evaluasi yang akan
menilai apakah kebijakan publik sudah sesuai dengan yang diharapkan
atau belum. Evaluasi kebijakan publik adalah sebagai hakim yang
53
menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai
tujuan. Evaluasi publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada
layak diteruskan, direvisi, atau bahkan dihentikan sama sekali.
Evaluasi kebijakan dibedakan dalam 3 (tiga) macam:
a) Evaluasi AdministratifEvaluasi administratif adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau instansi-instansi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait dengan program tertentu.
b) Evaluasi yudisialEvaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan obyek-obyek hukum: apa ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan evaluasi yudicial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan, kejaksaan, PTUN dan sebagainya.
c) Evaluasi PolitikEvaluasi politik pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun parpol. Namun sesungguhnya evaluasi politik bisa juga dilakukan oleh masyarakat scara umum.59
Penelitian ini dapat dikatakan mengkajiImplementasiUndang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
pembangunan demi kepentingan umum. Mengingat evaluasi yang
dipergunakan lebih kepada apa yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo terkait dalam pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.Seperti
halnya pemikiran Thomas R. DYE tentang kebijakan. Teori Thomas
R.DYE dalam penelitian ini dapat dikatakan menyangkut kepentingan
orang banyak. Sehingga apa yang diperbuat oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonsobo sehubungan dengan kebijakan di bidang pengadaan
59Ibid, hal.. 6
54
tanah untuk pembangunan sudah merupakan suatu kebijakan, Sehingga
relevan dengan pemikiran atau Teori Thomas R. DYE.
Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan
perhatian, untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making
process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan
dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R. Dye
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government choose
to do or not to do” (Thomas R. Dye dalam Esmi Warasih
Pujirahayu) .secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan
dalam kalimat sebagai berikut:60
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan
kenyatan (what defference it makes?)
Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif
yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku
kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-
tindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidak-
tidaknya menyangkut tiga hal penting dalam menyusun agenda kebijakan
yaitu :
(1) Membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah;
(2) Membuat batasan masalah;
(3) Mobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. 61
60 Esmi Warassih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 8
61 A.G Subarsomo, Evaluasi kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.11
55
Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin
relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu
melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena
memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula
keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di
dalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang
dapat saling mempengaruhi.
d. Kebijakan Yuridis Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan Undang-
Undang yang ditunggu tunggu, peraturan perUndang-Undangan
sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang
kehilangan tanahnya. Undang-Undang ini diharapankan pelaksanaannya
dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau
wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan
tanah, peraturan perUndang-Undangan sebelumnya dipandang masih
menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan
pembangunan sesuai rencana.
Ada beberapa Pasal yang perlu mendapat perhatian antara lain:
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang ini: “Pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10
menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil
kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. memang baik
terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih baik lagi
menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas
56
keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada
Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 Undang-Undang ini. Kalimat:
“Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan
tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib
ditegaskan pada Undang-Undang ini. Seharusnya ada keseimbangan
hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil
dan layak oleh pihak yang berhak.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah
dilakukan bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini
dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada
bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus
dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Dimungkinkan dalam
pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi
di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit.
Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya akan naik, oleh karena
itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada bidang tanah yang
tergusur habis.
Diatur pada Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu
yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat
difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang
Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya.
Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya
dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan
tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan
57
spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan
perUndang-Undangan sebelumnya.
Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1) Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil
penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(5).
2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima
Ganti Kerugian wajib:
a. melakukan pelepasan hak; dan
b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan
Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga
Pertanahan.
3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-
satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari.
4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas
Kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
diserahkan.
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan
bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut
hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini
mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat
diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta
hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19
ayat (2)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria
58
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. Undang-Undang Pokok
Agrariamenegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat
pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian
yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah
berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian
hari masih dapat diganggu gugat.
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan
“yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan
sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu
tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik
tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk
kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat
di kemudian hari.
Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada saat
pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah
dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),
kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi
hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlakudan tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
59
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang
berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan
represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak
Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak
sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang,
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang-
Undang ini sendiri.
5. Teori Hukum Pembangunan
a. Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusuma Atmaja.
Teori hukum pembangunan yang berkembang di Indonesia tak bisa
dilepaskan dari nama Mochtar Kusuma Atmadja. Pengadiannya di
kampus dan di birokrat telah ikut membantu penyebaran pandangan-
pandangannya tentang hukum. Dikenal sebagai pakar hukum
internasional, Mochtar pernah diangkat menjadi Menteri Kehakiman
(1974-1978) dan Menteri Luar Negeri (1978-1988).Gagasan-gagasan
Mochtar telah dimasukkan sebagai materi hukum dalam Pelita I (1970-
1975). Pada intinya teori hukum pembangunan menegaskan hukum harus
bisa didayagunakan untuk kepentingan pembangunan. Pemikiran
Mochtar sedikit banyak mengenalkan mahasiswa hukum di Indonesia
dengan sebutan law is a tool of social engineering.
Pokok-pokok pikiran Mochtar terkait dengan fase kedua dari Teori
Hukum Pembangunan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1) Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk
menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti Northrop,
Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui Mochtar
sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai menulis dan
60
menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat hukum Pancasila,
dan Negara hukum Pancasila.
2) Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada umumnya
adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan Mochtar
dengan tujuan hukum dalam suatu Negara hukum Pancasila. Dalam
setiap Negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena itu, harus pula
tunduk pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya
keadilan social (sila kelima dari Pancasila)
3) Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan
kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal
ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas
persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara pancasila pada
analisis di atas adalah keadilan social, maka fungsi hukum jadinya
adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita dalam kenyataan.
4) Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak akan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan.
Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi pelanggaran hukum,
yaitu ketika hukum yang mengatur tidak berhasil atau terganggu
dalam menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam penegakkan
hukum ini dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa perkara dan
memberi keputusannya berdasarkan hukum dan demi keadilan.
5) Penegakkan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi terkait
terakhir juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri. Untuk
itulah perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa berpekara itu adalah demi
menegakkan hukum dan keadilan, tidak semata-mata demi
memenangan perkara.
6) Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya.
Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur tindakan
manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum mengatur
61
aspek tindapan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus bagi
aparat penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi,
yang dijalankan demi penegakkan Undang-Undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi
memegang kerahasiaan profesi.
7) Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan yang
diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization) pada usaha-
usaha besar pembinaan bangsa (a great nation building effort). Pada
tahap pertama memang tekanan diberikan pada pelembagaan usaha-
usaha atau proses ini, sehingga orang perorangan mungkin terdesak,
namun hal ini tidak berarti individualitas dari orang perorangan
tersebut tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, mengingat
analisis terakhir terhadap satua-satuan masyarakat itu akan berujung
pada individu juga.
8) Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut
didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 sebagai suatu kenyataan
dan landasan berpikir dan bertindak manusia Indonesia.
9) Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan prinsip-
prinsip sebagi berikut:
a) Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus percaya
pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan Indonesia yang
lebih baik;
b) Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik Negara
yang pada titik puncaknya telah menerima pancasila sebagai asas
tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
c) Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang perorangan
maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga pengertian individu
tidak bisa dilepaskan dari pengertian masyarakat tempat individu
itu mendapat kesempatan berkembang sepenuhnya.
62
10) Manusia Indonesia “masa kini” yang terlibat dalam pembangunan
tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan modern,
yang mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:
a) Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan “asal saja”;
b) Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk Negara,
pikiran, dan waktu) untuk tujuan-tujuan produktif;
c) Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan persaingan;
d) Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk
mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha,
terlepas dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini dalam
agama atau norma-norma etika;
e) Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati rekan
pergaulan dan hal ini juga menjadi modal dasar yang penting
dalam usaha dana perdagangan;
f) Tegas tetapi bijaksaja, mengingat tegas penting untuk
menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam
berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait
dengan pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan tersebut;
g) Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi resiko demi
perubahan dan perbaikan serta berhati-hati agar resiko tersebut
dilandasi perhitungan yang matang;
h) Teguh memegang prinsip (prinsipiil), yakni sifat untuk tidak mudah
goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang baik dan
menjerumuskan.62
Mochtar memang belum sempat menuliskan secara detail
perkembangan dari fase pertama pemikirannya tentang Teori Hukum
Pembangunan ini. Cukup banyak prinsip-prinsip pokok dari fase
pertama pemikiran tersbeut yang masih dipertahankan, misalnya,
62 Shidarta, dkk, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. HuMa, Jakarta, 2012, hlm. 124-128
63
konsep tentang fungsi hukum sebagai law as a tool of social
engineering, tetap dipertahankan.63
Perhatian Mochtar terhadap hukum kebiasaan juga masih cukup
menonjol. Tampaknya ia melihat hukum kebiasaan ini lebih cocok
dengan kondisi Indonesia dalam iklim globalisasi dewasa ini. Mochtar
memang tidak lari kea rah penekanan hukum adat gaya lama, tetapi
lebih ke konsep hukum adat dalam masyarakat modern Indonesia
sebagaimana dapat di baca dalam tulisan-tulisan M.B.Hooker.64
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh Mochtar
ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli hukum Indonesia.
Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal sebagai ciri-ciri hukum adat
di Indonesia, yakni kongkret, kontan, dan komunal, seiring dengan
perjalanan zaman telah mengalami pergeseran-pergeseran tajam. Saat
ini, misalnya, di desa-desa jual beli sepeda motor telah dilakukan
dengan sistem kredit. Sikap-sikap individualistis juga terlihat makin
menonjol. Artinya, temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional
tersebut perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna
sebagai hipotesis.65
Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran Mochtar
dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli hukum Indonesia
agar mau menukik kepada pencarian teori dan filsafat hukum Indonesia
yang lebih membumi. Pada fase kedua ini Mochtar telah beranjak dari
seorang pemikir teoretikan menuju pemikir filosofikal. Apabila
seseorang ilmuwan mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya
ia sedang bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua
pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik, dan
sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar
filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi Mochtar,
sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari sudut filsafat
63Ibid, hlm. 29-3064Ibid, hlm. 3065Ibid, hlm. 30
64
hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangan yang menyeluruh tentang
aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini, maka filsafat Pancasila
(termasuk filsafat hukum Pancasila) ala Mochtar akan berbeda dengan
filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh hukum lainnya. Dalam konteks ini,
Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma Atmadja bias
didekati pada fase kedua ini dengan menggunakan kerangka berfikir
filsafat Pancasila, sehinggan hasil analisis kita terhadap Teori Hukum
Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan berkembang
menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan.66
b. Teori Hukum Pembangunan Romli Atmasasmita
Romli Atmasasmita dengan melakukan pendekatan BSE (Bureucratic
and Social Engineering) yang kemudian disebut dengan nama teori
hukum pembangunan generasi II (1980). Konsep pendekatan BSE
(Bureucratic and Social Engineering) dalam pembangunan nasional
hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika baik aparat penyelenggara
negara dan warga negara telah memahami fungsi dan peranan hukum
sebagai berikut :67
1) Hukum tidak dipandang sebagai seperangkat norma yang harus di patuhi oleh masyarakat melainan juga harus dipandang sebagai sarana hukum yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukum dan pejabat publik;
2) Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi.
3) Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemengan kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims);
4) Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan dalam masa peralihan (transisional), baik dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, tidak dapat dilaksanakan secara optimal
66Ibid, hlm. 30-3167Romli Atma Sasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising, 2012, hlm.
83
65
hanya dengan menggunakan pendekatan preventif dan represif semata, melainkan juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif;
5) Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal dalam pembangunan nasional, maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap dan cara berpikir (mindset) dan perilaku (behavior) aparatur birokrasi dan masyarakat bersama-sama.
c. Teori Hukum Pembangunan Achmad Ali
Menuru Achmad Ali, hukum merupakan seperangkat
kaidah,norma serta nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat yang
menentukan apa yang boleh dan yang tidak dibolehkan untuk
dilaksanakan. Dalam pandangan Achmad Ali, hukum dimanifestasikan
dalam wujud:
1) Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen); dan
2) Hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).
Selanjutnya beliau menambahkan bahwa yang utama adalah
hukum sebagai kenyataan dimana memuat keseluruhan kaidah social
yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi yang ada dalam
masyarakat tersebut. Oleh karena itu definisi hukum menurut Achmad
Ali yaitu: “Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang
tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Hukum tersebut bersumber baik dari masyarakat
sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas
tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan
oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya.
Jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi
otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.”
Berdasarkan pandangan di atas maka kita dapat menggambarkan
bagaimana hukum itu menjadi sangat penting untuk mengatur tatanan
kehidupan bernegara. Akan tetapi hal tersebut dirasa tidak mudah ketika
66
kita mengkaji hukum itu dalam kenyataanya di masyarakat. Mochtar
Kusumaatmadja, dalam bukunya yang berjudul Fungsi dan
Perkembangan Hukum dalam Pembangungan Nasional yang dikutip
dalam buku Achmad Ali: “kesulitan dalam menggunakan hukum
sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan masyarakat
ialah harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian bagi
masyarakat.”68 Oleh karena itu kajian hukum sebagai kenyataan dalam
masyarakat memiliki persoalan yang lebih kompleks karena melibatkan
keseluruhan aspek lain dari kehidupan manusia. Jika demikian
bagaimana hukum bisa diketahui berhasil atau tidak dalam suatu
masyarakat. Tentunya harus diketahui dulu
Indikator keberhasilan hukum, indikatornya adalah mampu
tidaknya hukum mewujudkan “harmonisasi” di antara warga
masyarakat, dan ketika harmonisasi telah terwujud, maka itu dianggap
perwujudan dari ide keadilan, juga kedamaian senantiasa melahirkan
kemanfaatan bagi masyarakat sebagai suatu totalitas
Penegasan yang dikemukakan oleh.Achmad Ali69 bahwa
hakikat pembangunan hukum merupakan hubungan timbal balik dari
tiga komponen yakni struktur, substansi, dan kultur hukum serta
tambahan unsur oleh beliau yakni profesionalisme dan kepemimpinan
yang saling terkait dengan fungsi dan tujuan hukum. ketika komponen
tersebut dipisahkan satu sama lain maka munculah istilah “penyakit
hukum” dan inilah ciri kegagalan hukum. Oleh karena itu dengan
penyatuan komponen-komponen tersebut hukum Timur yang diwakili
salah satunya oleh Jepang bertujuan untuk menghasilkan putusan yang
bersifat “win win solution” dan berbeda proses hukum Barat yang
sifatnya “win or lose” di antara pihak yang terlibat dalam suatu proses
hukum.
68Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm. 4769Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Gramedia, Jakarta, 2000,
hlm. 207
67
d. Teori Hukum Pembangunan M. Sofyan Lubis.
M. Sofyan Lubis menyimpulkan bahwa hakikat
Pembangunan Hukum adalah bagaimana merubah perilaku manusia ke
arah kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap nilai-nilai yang hidup
dan diberlakukan dalam masyarakat. Tegasnya membangun perilaku
manusia dan masyarakat harus di dalam konteks kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara dimana mereka mengerti dan bersedia
menjalankan kewajiban hukumnya sebagai warganegara dan mengerti
tentang bagaimana menuntut hak-hak yang dijamin secara hukum
dalam proses hukum itu sendiri. Dalam konteks ini jelas pembangunan
tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan kepatuhan manusia atau
masyarakat terhadap nilai-nilai hukum. Pembangunan hukum harus
dilakukan secara simultan dengan perencanaan pembangunan lainnya
yang dilaksanakan dalam proses perencanaan pembangunan suatu
bangsa secara global, karena sasaran akhir (goal end) perencanaan
pembangunan adalah “prilaku manusia” yang mematuhi nilai-nilai
pembangunan itu sendiri. Pembangunan hukum harus dilakukan secara
simultan dan sinergi dengan aspek pembangunan lainnya. Tanpa seperti
itu ia menjadi utopia, sehingga hukum hanya bisa dipatuhi oleh
masyarakat di dalam system pemerintahan yang otoriter.
Dari beberapa teori tersebut pada intinya,titik persamaan yang
ditemukan adalah sama-sama menghendaki agar hukum memiliki
peranan jauh ke depan, yaitu memberikan arah dan dorongan
perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat yang tertib, adil,
dan sejahtera. Peranan hukum bukan sekedar sebagai alat (tools)
melainkan harus dipahami sebagai saranan (dinamis) untuk mencapai
kemajuan peradaban masyarakat.
5. Teori Implementasi
68
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :70
a. Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna
mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Penerapan, Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for
carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu). Kalau
pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijaksanaan keputusan
dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanaan keputusan
kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan, pemerintah eksekutif atau dekrit
persiden).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi
batasan : berlakunya suatu hukum atau peraturan perUndang-
Undangan di dalam masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses implementasi adalah
keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat
pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan. Pada umumnya, keputusan
tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan
berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui beberapa
tahapan tertentu, yang biasanya diawali dengan kebijakan dalam
bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan
pelaksananya.
Memperhatikan pendapat tersebut di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber-sumber didalamnya termasuk manusia, 70Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319
69
dana, kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh
swasta (individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan).
Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, yang
memperhitungkan baik keputusan yang fundamental maupun
keputusan yang inkramental dan memberikan urutan teratas bagi
proses pembuatan kebijakan fundamental yang memberikan arahan
dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan dan inkramental
yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan itu tercapai.71
6. Penelitian yang Relevan.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :
a. Penelitian Tesis Bukhari (2008) Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dengan Judul Problematika Pelaksanaan Kepentingan
Umum (Studi Kasus pada Pembangunan Kampus UNIMAL di Desa
Reuleut Timur Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara. Fokus
Penelitian ini mengkaji tentang Prosedur pelaksanaan pelepasan hak atas
tanah untuk pembangunan kampus Universitas Malikussaleh, hambatan
apa yang ditemui pada pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan
kampus Universitas Malikussaleh serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi hambatan yang ditemui antara pemilik tanah dan Universitas
Malikussaleh di lapangan.
b. Penelitian Tesis Andi Rio Edris (2002), Program Magaister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul
Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagti Pembangunan u ntuk kepentingan
Umum berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 (Studi kasus
Pembangunan Terminal di Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbulharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta). Penelitian ini 71Ibid, hlm. 193
70
menitikberatkan pada aspek Prosedur pembebasan Tanah serta
Permberian ganti rugi beserta permasalahan yang muncul di lapangan.
c. Penelitian Tesis Rinda Rahmi (2008), Program Pascasarjana Universitas
Andalas dengan judul Pelaksaaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum di Kota Padang. Penelitian ini menitik
beratkan tentangpelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
di kota Padang, pihak yang berwenang dalam pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, kendala yang dihadapi dalam
pengadaan tanah serta peranan Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kasus tentang
pengadaan tanah dan pembahasannya.
d. Penelitian Tesis Wahyu Candra Alam (2010), Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Kurang dari satu hektar
dan penetapan ganti kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran Jalan Gatot
Subroto di Kota Tangerang). Penelitian ini meneliti tentang pelaksanaan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang Luasnya Kurang
Dari Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya dalam
pembangunan Pelebaran Jalan Gatot Subroto dan pembuatan Over Pass
di Kota Tangerang, serta peraturan yang berlaku apakah sudah
memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terkena pembangunan
tersebut.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tesis ini
meneliti tentang Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan dan jugauntuk Mengetahui
Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Kabupaten
Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
71
B. Kerangka Pemikiran
Pembangunan merupakan indikator “hidupnya” sebuah Negara hanya
akan bermanfaat bagi masyarakat jika ada aturan yang menjadi landasan
utama. Aturan bisa berjalan lancar jika masyarakat ikut berpartisipasi di
dalamnya. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi yang dilakukan secara
terus menerus mengingat budaya yang beragam di Indonesia. Salah satunya
adalah aturan bidang pertanahan. Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan
manusia sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 yang manyatakan “Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui hak menguasai
dari negara ini maka negara akan dapat senantiasa mengendalikan atau
mengarahkan pengelolaan fungsi tanah sesuai dengan peraturan dan
kebijakan yang ada. Hal ini memberikan hak bagi negara untuk campur
tangan, dengan pengertian bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak akan
terlepas dari hak menguasai negara tersebut, karena kepentingan nasional
diatas kepentingan individu atau kelompok. Atau dengan kata lain, setiap
pemegang hak atas tanah tidak boleh mengabaikan fungsi sosial dari tanah
tersebut (Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria).
Alur pemikiran Penulis tentang Implementasi Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di tinjau
dari Teori Hukum Pembangunan yang terjadia di kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo dapat digambarkan bahwa pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum bermula dari konsep dalam Undang-
Undang Pokok Agrariadan konsep fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 Undang-
Undang Pokok Agrariamenyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Dari ketentuan tersebut, penggunaan hak tanah tidak hanya
menyangkut kepentingan individu atau golongan pemegang hak atas tanah
tersebut, melainkan harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas
(kepentingan umum). Interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, disamping
72
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat
dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi
masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum dengan berdasarkan asas
kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan,
keikutsertaan,kesejahteraan, keberlanjutans serta asas keselarasan.
Dalam hal ini penulis menganalisis penjabaran Implementasi Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum dengan Teori Hukum Mochtar Kusumatmaja, Teori
Hukum Pembangunan Romli Atmasasmita, Teori Hukum Pembangunan
Achmad Ali serta Teori Hukum Pembangunan M. Sofyan Lubis.
pengiterpretasikan peraturan perUndang-Undangan yang terkait, dan putusan
pengadilan serta mengkaitkan dengan teori-teori, doktrin-doktrin maupun
asas-asas yang berkaitan dengan prinsip pengadaan tanah untuk kepentingan
umum. Prinsip Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum tersebut dapat tercemin melalui interpretasi konsep kepentingan
umum, musyawarah dalam pelaksanaannya, dan ganti kerugian bagi
pemegang hak atas tanah. Konsep kepentingan umum dalam peraturan
perUndang-Undangan di Indonesia dengan menyeimbangkan antara
kepentingan umum (Pemerintah) dengan kepentingan pribadi pemegang hak
atas tanah. Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian maupun masalah lain yang timbul dari
kegiatan pengadaan tanah tersebut, atas dasar kedudukan yang setara dan
sederajad antara pihak yang membutuhkan tanah dalam hal ini pemerintah
dengan pemegang hak atas tanah. Pemberian ganti rugi sebagai penghormatan
dari segi ekonomi dari pemegang hak atas tanah supaya tidak mengalami
kemunduran kondisi ekonomi maupun sosialnya. Ketertiban atau keteraturan
dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang
diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya. Hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana
73
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki
ke arah pembaharuan
Dari analisis konsep kepentingan umum, musyawarah dan pemberian
ganti kerugian pengadaan tanah dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia maka dapat ditarik kesimpulan mengenai konstruksi hukum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum. Berdasarkan
uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu kerangka pemikiran yang
diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
Teori Hukum Pembangunan
Teori Implementasi HukumPijakan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum :1. Konsep Kepentingan
Umum2. Musyawarah3. Ganti kerugian
Fakta Hukum:Penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum:
Tujuan dengan diadakannya pengadaan untuk Pembangunan demi kepentingan umum
1. Pasal 33 UUD 19452. UU No. 12 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
3. UUPA (Undang-Undang No.5 Th 1960)
4. Undang-Undang No. 20 Th 1961
5. Keppres No. 55 Th 19936. Perpres No. 36 Th 2005
Sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Th 2006 terakhir dengan Perpres No. 71 Tahun 2012
74
Bagan 2. Kerangka Pemikiran
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi
bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi72.Penelitian hukum dilakukan untuk
mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul dan hasil yang dicapai adalah
untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum
yang diajukan73.Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan
digunakan, maka terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat mengenai
metode, demikian pula penelitian.
72 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 35
73Ibid, hlm. 41
75
Metode menurut Setiono74 adalah suatu alat untuk mencari jawaban
dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus
jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian dalam penulisan ini
termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau non doktrinal serta di dukung
dengan data sekunder, sedangkan dilihat dari sifatnya termasuk penelitian
yang deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan
mendeskripsikan tentang Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo .
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu
tata cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif-analitis. Data diskriptif
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh75.
Metode penelitian kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan
manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam,
total menyeluruh, dalam arti tidak mengenal pemilihan-pemilihan gejala
secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif (disebut variabel).
Metode kualitatif dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi oleh
peneliti atau naturlistik76
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima)
konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti
dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut:77
74Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
75Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 250
76 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001, hlm. 54
77Setiono. OP. Cit. hlm. 3
75
76
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam)
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perUndang-Undangan;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim;
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empiric ;
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia).
Penelitian ini mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang
menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh
Setiono78 yaitu hukum yang ada dalam benak manusia. Penelitian ini akan
menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa
secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data
yang akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam
bentuk penelitian evaluatif. Menurut Setiono79, yang dimaksud dengan
penelitian yang berbentuk evaluatif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk menilai program-program yang dijalankan. Penelitian hukum empiris
ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (in depth
interview) dengan para responden dan narasumber yang berkompeten dan
terkait dengan masalah yang diteliti (objek yang diteliti), untuk mendapatkan
data primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.
B. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang mempelajari
ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
78 Setiono, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS. 2005, hlm. 7
79Ibid, hlm. 6
77
hukum80. Tujuan dari penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya mengenai prinsip penghormatan hak
atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah :
a. Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
b. Perpustakaan Pascasarjana UNS
c. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
d. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
Alasan pemilihan lokasi adalah:
a. Permasalahan yang diteliti relatif baru
b. Data tersedia Lengkap dan layak untuk diteliti.
c. Tersedia akses internet
d. Mudah membandingkan literatur yang satu dengan literatur lainnya
D. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data
yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Namun untuk
kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti, maka akan
disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang berguna untuk
melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau
data dasar81. Adapun yang termasuk dalam data primer dalam penelitian
ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan tentang
80 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 22
81 Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 12
78
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunandi Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo.
b. Data sekunder, adalah data yang berasal dari data-data yang sudah
tersedia misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-buku. Data
Sekunder dapat berupa bahan hukum Primer, Sekunder maupun Tertier82.
Adapun yang termasuk Bahan Hukum Primer dalam penelitian ini
meliputi :
1) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria;
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4) Undang-UndangNo. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
6) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional
7) Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
8) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012 tentangpetunjuk teknis pelaksanaan
pengadaan tanah;
9) Permendagri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan
Biaya pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
10) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan
Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
82 Setioo, Op. Cit. hlm. .6
79
Pembangunan untuk kepentingan Umum yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
11) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
12) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Ketentuan Pelaksanaam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
13) Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan.
14) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan
pertanahan
2. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil
wawancara kepada pejabat yang berwenang dalam hal
Pengimplementasian Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Sumber data primer adalah data atau
keterangan yang diperoleh semua pihak terkait langsung dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini, bertindak
sebagai informan adalah pejabat dan staf di lingkungan Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan
secara langsung berupa keterangan yang mendukung data primer.
Sumber data sekunder merupakan pendapat para ahli, dokumen-
80
dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur-literatur yang
mendukung data. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
3) Bahan-bahan hukum Primer :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
d) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
e) Peraturan presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
f) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan
g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Ketentuan
Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
h) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan Pertanahan
i) Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
j) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012tentangpetunjuk teknis
pelaksanaan pengadaan tanah;
k) Permendagri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan
Biaya pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
l) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan
Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
81
Pembangunan untuk kepentingan Umum yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
m) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer adalah :
a) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Kewenangan Pertanahan
di Indonesia;
b) Buku-buku terkait dengan Hukum Agraria
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia
b) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia, Indonesia- Inggris
c) Kamus Hukum
E. Teknik Pengumpulan data
Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan wawancara,
yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan
secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap secara langsung.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang
kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka83. Secara umum ada
dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin (terstruktur) dan
wawancara dengan teknik bebasa (tidak terstruktur) yang disebut
wawancara mendalam (in-depth interviewing)84. Dalama wawancara ini
dilakukan dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-83 Burhan Ashofa, Op. Cit. hlm. 9584 HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif. UNS Press. Surakarta, 2002, hlm. . 58
82
pihak yang dapat mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan
atas sejumlah data yang diperlukan.
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin (terstruktur)
dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara, penulis membuat
pedoman wawancara dengan pengembagan secara bebas sebanyak mungkin
sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh. Metode wawancara ini
dilakukan dalam rangka memperoleh data primer serta pendapat-pendapat
dari para pihak yang berkaitan dengan Pengimplementasian Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Selain itu juga mempergunakan
metode Observasi yaitu dengan cara mengamati suatu obyek yang diteliti,
setelah itu mencatat dan mencocokkan dengan teori agar tercapai sasaran
penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan adanya
beberapa hal yang tidak sempat poneliti tanyakan ataupun tidak terjawabnya
pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, sehingga peneliti bisa
mendapatkan data yang lengkap.
Wawancara dilakukan kepada Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi
Survei Pengukuran dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo serta Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Wawancara
juga dilakukan terhadap masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan
adanya pembangunan sarana kepentingan umum berupa pembangunan
kampus, diantaranya kepada H. Sholeh Rosyadi selaku yang keberatan serta
Riani Sadiati, salah satu masyarakat yang menyetujui atau tidak keberatan
dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum.
83
2. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca,
memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti,
yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat
informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan
dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan terhadap:
a. Buku-buku literatur.
b. Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
c. Dokumen
F. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus
dianalisis. Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan
dimanfaatkan sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan
penelitian. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif karena data yang diperoleh bukan angka atau yang akan di-angkakan
secara statistik. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data kualitatif adalah
suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif analitis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh85.
Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang
diteliti dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu
dijawab dalam penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah
diperoleh disusun sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian
data tersebut diolah dalam bentuk sajian data. Setelah pengumpulan data
selesai, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi berdasarkan
semua hal yang terdapat dalam reduksi data maupun sajian datanya. Misalnya
untuk mengetahui jawaban, tentang bagaimana Pengimplementasian Undang-85Soerjono Soekanto, Op. Cit. hal. 154
84
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo, maka penulis menanyakan langsung ke
pokok permasalahannya. Kemudian dari jawaban yang diperoleh tersebut
diolah menjadi sajian data untuk kemudian dianalisis. Setelah data tersebut
selesai dianalisis kemudian disimpulkan. Apabila di dalam kesimpulannya
dirasa kurang mantap, maka penulis kembali melakukan kegiatan pengumpulan
data yang sudah terfokus dan juga pendalaman data.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif
yaitu model analaisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga
tahap/komponen berupa reduksi data, sajian data serta penarikan
kesimpulan/verivikasi dalam suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut
sehingga data terkumpul akan berhuibungan satu dengan lainnya secara
oromatis86.
Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses
pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak di antara tiga
komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama proses data terus
berlangsung. Setelah proses pengumpulan data selesai, peneliti bergerak diantara
tiga komponen analisis dengan menggunakan waktu penelitian yang masih
tersisa..
Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:87
86 HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 8687Ibid, hlm. 87
85
Gambar : 3
Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data berlangsung
terus-menerus bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai
sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.
Reduksi data bukanlah merupakan suatu hal yang terpisah dari
analisis dan merupakan bagian dari analisis.
Pengumpulan Data
( II )
Sajian Data
(I)
Reduksi Data
(III ) Penarikan KKesimpulan/Verifikasi
86
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif
mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar,
tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-
mula belum jelas meningkat lebih terperinci dan mengakar dengan
kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di verifikasi selama penelitian
berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni
merupakan validitasnya88
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif.
Seorang peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu
selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara
kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi
selama sisa waktu penelitiannya. Kemudian komponen-komponen
yang diperoleh adalah komponen-komponen yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah
analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data-data yang diperoleh.88Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hal. 18-19
87
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Tata Cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo, tentu saja berbeda dengan pengadaan barang dan
jasa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengadaan Tanah Untuk
pembangunan di Kabupaten Wonosobo mengacu pada ketentuan atau
tata cara yang berlaku.Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan demi
Kepentingan Umum di Kabupaten Wonosobo, salah satunya adalah
Pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk Pembangunan sarana
Pendidikan di Wonosobo, berupa kawasan kampus sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo. Tujuannya adalah :
a. Mendukung peningkatan status sarana pendidikan menjadi Universitas
Negeri.
b. Dengan statusnya yang merupakan Perguruan Tinggi Negeri
diharapkan biayanya relatif lebih murah sehingga terjangkau
masyarakat menengah ke bawah.
Lokasi Pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo ini
berada di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomarto, Kabupaten Wonosobo,
Provinsi Jawa Tengah dengan luas 9 (sembilan) hektar.
88
Tabel. 1
Luas Penggunaan lahan untuk pembangunan sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo
KODE UNSUR PENUNJANG LUAS ( M2)
A Ruang kantor Administrasi FTP 500
B Gedung Multimedia FTP 1.500
C Rauang Laboratorium FTP 10.000
D Gedung perkuliahan FTP 2.000
E Gedung Serbaguna untuk FTP dan FPT 2.000
F Kebun Praktek/ Percobaan FTP 17.000
G Gedung Perpustakaan untuk FTP dan FPT 1.000
H Ruang Dosen FTP 500
I Sarana Olah Raga Untuk FTP dan FPT 2.000
J Ruang Komputer FTP 500
K Masjid 500
L Lahan parkir untuk FTP dan FPT 10.000
M Jalan dan drainase 12.500
N Ruang Kantor Administrasi FPT 500
O Gedung Multimedia FPT 1.500
P Lahan Laboratorium FPT 10.000
Q Lahan terbuka (Kandang dan Kolam) 15.000
R Gedung Perkuliahan FPT 2.000
S Ruang Dosen FPT 500
T Ruang komputer FPT 500
Jumlah lahan yang dibutuhkan 90.000
Sumber : Dokumen Pelaksanaan Pengadaan Tanah oleh Pemerintah
Kabupaten Wonosobo untuk pembangunan Prasarana
87
89
Pendidikan di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomerto,
Kabuypaten Wonosobo Tahun 2013.
Tata cara pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum di Kabupaten Wonosobo berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012. Kita ketahui bahwa pada tahun 2012 awal bulan Januari,
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Semula pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur oleh strata
perundangan yang lebih rendah yaitu, Keppres 55 tahun 1994, Perpres 36
Tahun 2005 dan perubahannya, Perpres No. 65 tahn 2006. Terdapat
perbedaan yang cukup mendasar antara ketentuan perundangan yang
lama dan yang baru (Undang-Undang). Perbedaan paling nyata terdapat
pada proses penetapan lokasi hingga pemberian ganti kerugian. Untuk
jelasnya saya uraikan sebagai berikut :
Dari Hasil Penelitian berdasarkan wawancara dengan Santosa,
SH. MKn selaku Kepala seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo pada tanggal 6 Januari 2015,
diperoleh data bahwa Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo,
khususnya pengadaan tanah untuk pendidikan (kampus) yang terletak di
Desa Sidorejo, Kecamatan Selomarto, Kabupaten Wonosoboterdiri dari
tahapan :
a. Perencanaan
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah
dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana
90
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja
Pemerintah Instansi yang bersangkutan (yang memerlukan tanah).
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
disusun dalam bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang
paling sedikit memuat: maksud dan tujuan rencana pembangunan,
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional dan Daerah, letak tanah, luas tanah yang
dibutuhkan, gambaran umum status tanah, perkiraan waktu
pelaksanaan Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan
pembangunan, perkiraan nilai tanah; dan rencana
penganggaran. Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah disusun
berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ditetapkan oleh Instansi
yang memerlukan tanah.diserahkan kepada pemerintah provinsi.
b. Persiapan
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi,
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah melaksanakan:
1) pemberitahuan rencana pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada
masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum, baik langsung maupun tidak langsung.
2) pendataan awal lokasi rencana pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan
awal lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
3) Konsultasi publik rencana pembangunan.
91
Konsultasi publik rencana pembangunan, dilaksanakan
untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari
pihak yang berhak. Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan
pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan
umumatau di tempat yang disepakati. Pelibatan pihak yang berhak
dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan
oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan.
Kesepakatan dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
Atas dasar kesepakatan , instansi yang memerlukan tanah
mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
Gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan
permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan
dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila
sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan terdapat
pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan,
dilaksanakan Konsultasi publik ulang dengan pihak yang keberatan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.Apabila dalam konsultasi
publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan mengenai
rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah
melaporkan keberatan kepada gubernur setempat. Gubernur
membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana
lokasi pembangunan.
Berdasarkan wawancara dengan Santosa, SH. MKn selaku
Kepala seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo pada tanggal 6 Januari 2015, menyatakan
bahwa Tim terdiri atas:
92
(a) Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota;
(b) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota;
(c) Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota;
(d) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota;
(e) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; dan
(f) Akademisi sebagai anggota.
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau
ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
permohonan oleh gubernur. Gubernur, berdasarkan rekomendasi
tim mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas
rencana lokasi pembangunan. Dalam hal ditolaknya keberatan atas
rencana lokasi pembangunan, gubernur menetapkan lokasi
pembangunan. Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan, gubernur memberitahukan kepada Instansi
yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi
pembangunan di tempat lain.
Setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat
keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya
penetapan lokasi. Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima
atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
93
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi
diterima. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan dalam
waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu)
tahun. Jika dalam jangka waktu penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum tidak terpenuhi, maka penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan proses ulang
terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya.
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum ditetapkan, Gubernur bersama instansi yang memerlukan
tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Pengumuman dimaksudkan untuk
pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di lokasi tersebut akan
dilaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Bersamaan
dengan telah diumumkannya penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum, Pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan
hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah melalui
lembaga pertanahan. Beralihnya hak dilakukan dengan
memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai
pengumuman penetapan lokasi
c. Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum yang telah ditetapkan,, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga
pertanahan.
94
Berdasarkan wawancara dengan Santosa, SH. MKn selaku Kepala
seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo pada tanggal 6 Januari 2015, menyatakan
bahwa Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi:
1) inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
2) penilaian ganti kerugian;3) musyawarah penetapan ganti kerugian;4) pemberian ganti kerugian; dan5) pelepasan tanah Instansi.
Kelima hal tersebut di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, serta Pemanfaatan Tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang meliputi kegiatan:
(1) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tana.
(2) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan objek pengadaan
tanah.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di kantor
desa/kelurahan, kantor kecamata, dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
yang dilakukan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan.
Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek
hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang
berhak dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga Pertanahan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak diumumkan hasil inventarisasi. Apabila keberatan atas hasil
inventarisasi dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
95
diterimanya pengajuan. Dalam hal masih juga terdapat keberatan
atas hasil inventarisasi inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan. Hasil
pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh
Lembaga Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan
pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.
b) Penilaian Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan menetapkan penilai sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga Pertanahan
mengumumkan penilai yang telah ditetapkan untuk melaksanakan
penilaian objek pengadaan tanah. Penilai yang ditetapkan wajib
bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan dan
apabila terdapat pelanggaran dikenakan sanksi administratif
dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
(1) Tanah
(2) Ruang atas tanah dan bawah tanah
(3) Bangunan
(4) Tanaman
(5) Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
(6) Kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan
nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan
hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
dengan berita acara dan menjadi dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena
Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan
96
sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak
dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
(a) Uang
(b) Tanah pengganti
(c) Permukiman kembali
(d) kepemilikan saham, atau
(e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
c) Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak
yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian. Berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti
kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita
acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14(empat belas) hari kerja setelah musyawarah
penetapan ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah
Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian
97
kepada pihak yang mengajukan keberatan. Dalam hal Pihak yang
Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi
tidak mengajukan keberatan dalam waktu tersebut, pihak yang
berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian.
d) Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah
diberikan langsung kepada pihak yang perhak. Ganti kerugian
diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan hasil penilaian
yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian Ganti Kerugian
Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
(1) Melakukan pelepasan hak dan
(2) Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah
melalui Lembaga Pertanahan.
Bukti yang dimaksud merupakan satu-satunya alat bukti yang
sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat dikemudian
hari. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian bertanggung
jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang diserahkan.Tuntutan pihak lain atas objek
pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang
memerlukan tanah menjadi tanggung jawab pihak yang berhak
menerima ganti kerugian.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau
putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung, Ganti Kerugian
dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
Penitipan ganti kerugian Di Pengadilan Negeri juga dapat
dilakukan terhadap:
(1) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya, atau
98
(2) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
(a) Sedang menjadi objek perkara di pengadilan
(b) Masih dipersengketakan kepemilikannya
(c) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau
(d) menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan
Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah
dititipkan di Pengadilan Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah
dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
e) Pelepasan Tanah Instansi
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang
milik negara/daerah. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau
dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun
2012.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dilakukan oleh pejabat
yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan
untuk itu. Pelepasan objek pengadaan tanah tidak diberikan Ganti
Kerugian, kecuali:
a) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang
dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
b) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c) Objek pengadaan tanah kas desa.
99
Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan dalam
bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. Pelepasan objek
pengadaan tanah dilaksanakan paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum. Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum selesai
dalam waktu tersebut, dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi
tanah negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan
bagi kepentingan umum.
b. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah setelah:
1) Pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan
pelepasan hak dilaksanakan; dan/atau
2) Pemberian ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan
Negeri.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil
pengadaan tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik
sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung
dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum.Sebelum penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum terlebih dahulu
disampaikan pemberitahuan kepada pihak yang berhak. Dalam hal
terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan pengadaan tanah,
Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan
kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah wajib
mendaftarkan tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan.
100
c. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan oleh Pemerintah. Pemantauan dan
evaluasi hasil penyerahan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang telah diperoleh, dilakukan oleh Lembaga Pertanahan.
Kesemuanya tersebut juga diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2012. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Perpres ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan
pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Hal ini merupakan
amanat dari pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal 59 Undang-
UndangNomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Lebih lanjut Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi Hak
Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo dalam penjelasannya pada tanggal 6 Januari 2015,
menyatakan bahwa hal-hal pokok yang diatur dalam Perpres
tersebut, antara lain:
Keharusan setiap instansi yang memerlukan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, untuk menyusun
dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang antara lain memuat
tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata
Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan,
gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah, dan untuk
selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah
dimana letak tanah berada;
1) Pembentukan Tim Persiapan oleh Gubernur, yang
beranggotakan Bupati/Walikota, SKPD Provinsi terkait,
instansi yang memerlukan tanah dan instansi terkait lainnya,
untuk antara lain melaksanakan pemberitahuan rencana
101
pembangunan, melakukan pendataan awal lokasi rencana
pembangunan, dan melaksanakan konsultasi publik rencana
pembangunan;
2) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan konsultasi publik oleh
Tim Persiapan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak pembangunan secara
langsung, untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana
pembangunan;
3) Keharusan bagi Gubernur untuk membentuk Tim Kajian
Keberatan sebelum mengeluarkan penetapan lokasi
pembangunan, dalam hal masih terdapat pihak yang tidak
sepakat atau keberatan atas lokasi rencana pembangunan;
4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah oleh
Kepala BPN, yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala
Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi
geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan);
5) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pengadaan tanah oleh
pelaksana pengadaan tanah, meliputi antara lain inventarisasi
dan identifikasi data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah serta data pihak yang berhak termasuk
obyek pengadaan tanah; penyusunan Peta Bidang Tanah dan
daftar nominatif; penetapan besarnya nilai ganti kerugian yang
didasarkan pada hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik;
pelaksanaan musyawarah; dan pemberian ganti kerugian;
pelepasan hak obyek pengadaan tanah; serta penyerahan hasil
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah;
6) Pengaturan pemberian ganti kerugian yang dapat diberikan
dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali,
kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua
102
belah pihak, baik berdiri sendiri maupun gabungan dari
beberapa bentuk ganti kerugian tersebut (namun demikian
dalam musyawarah, pelaksana pengadaan tanah
mengutamakan pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang);
7) Pengaturan ganti kerugian dalam keadaan khusus, yaitu
meliputi pengaturan dimana sejak ditetapkannya lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak yang berhak
hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada pelaksana
pengadaan tanah; dan ketentuan bahwa pelaksana pengadaan
tanah dapat memprioritaskan atau mendahulukan pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang membutuhkan
pemberian ganti kerugian dalam keadaan mendesak, maksimal
25% dari perkiraan ganti kerugian berdasarkan NJOP tahun
sebelumnya;
8) Syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di pengadilan
negeri, yaitu dalam hal adanya penolakan dari pihak yang
berhak, padahal hasil musyawarah yang telah dilaksanakan,
tidak ada keberatan sebelumnya; pihak yang berhak tidak
diketahui keberadaannya; dan obyek pengadaan tanah menjadi
obyek perkara di Pengadilan, masih disengketakan
kepemilikannya, diletakkan sita, atau menjadi jaminan bank;
9) Penegasan bahwa obyek pengadaan tanah yang telah dititipkan
di Pengadilan Negeri dan obyek tanah yang telah diberikan
ganti kerugian, maka hubungan hukum antara pihak yang
berhak dengan tanahnya menjadi putus;
10) Pengaturan sumber pendanaan pengadaan tanah yang berasal
dari APBN dan/atau APBD;
11) Ketentuan yang memungkinkan pemberian insentif perpajakan
kepada pihak yang berhak, yang mendukung penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
103
dan tidak melakukan gugatan atas putusan penetapan lokasi
dan putusan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.
12) Pengaturan kembali bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Selain pengaturan pokok di atas, Perpres ini juga mengatur
durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum secara tegas dan konkrit.
Dalam Perpres itu ditegaskan, bahwa durasi waktu keseluruhan
penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum
paling lama (maksimal) 583 hari.
d. Sumber dana Pengadaan Tanah
Dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
tidak terlepas adanya pendanaan. Berdasaarkan wawancara dengan
Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
Pada tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa:
“Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Dana pengadaan tanah yang dimaksud meliputi dana:
1) Perencanaa
2) Persiapan
3) Pelaksanaan
4) Penyerahan hasil
5) Administrasi dan pengelolaan; dan
6) Sosialisasi.
104
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Instansi dan dituangkan dalam dokumen penganggaran
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.
e. Perlindungan Hukum
Dalam hal pemberina perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah ada beberapa hak yang diberikan kepada memegang hak
atas tanah, khususnya masyarakat yang tekena pembebasan lahan
yang diperuntukkan bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.Hal ini penting agar masyarakat yang terkena penggusuran
mengetahui dan mendapatkan hak-haknya serta perlindungan
hukumnya. Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, pihak yang
berhak mempunyai hak:
1) Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah; dan
2) Memperoleh informasi mengenai pengadaan tanah.
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
masyarakat dapat berperan serta, antara lain:
(a) Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai
pengadaan tanah; dan
(b) Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan
tanah.
Dengan demikian Proses pengadaan Tanmah demi
kepentingan umum terkait pembangunan sarana pendidikan
(kampus) dapat berjalan dengan baik dan masyarakat merasa
terlindungi hak-haknya secara hukum.
Agar lebih Jelasnya, berikut digambarkan perencanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten
Wonosobo, berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 dan
105
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembaangunan untuk Kepentingan Umum.
106
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Dalam hal Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan dari hasil penelitian
dapat dijelaskan bahwa :
Teori Hukum Pembangunan tidak terlepas adanya fungsi dan
peranan hukum dalam pembangunan nasional, semua masyarakat yang
sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi
agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur yang
dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau
kombinasi keduanya. Hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Sungguh
ideal, akan tetapi Teori Hukum Pembangunan justru dalam praktik
pembentukan hukum dan penegakan hukum masih mengalami hambatan-
hambatan yang dikarenakan sukarnya menentukan tujuan dari
perkembangan hukum (pembaruan), sedikitnya data empiris yang dapat
digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, dan
sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Yang lebih parah lagi,
adanya upaya destruktif pengambil kebijakan yang kerap memanfaatkan
107
celah untuk menggunakan hukum sekedar sebagai alat dengan tujuan
memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada
kepentingan dan manfaat bagi masyarakat.
Pengadaan tanah Untuk Pembangunan demi kepentingan Umum
dalam pengadaan tanah untuk sarana pendidikan di Kabupaten
Wonosobo mengacu pada Undang-Undang No. 2 tahun 2012 Usaha
kegiatan yang dilakukan yang menimbulkan dampak besar dan penting
adalah pada tahap sosialisasi dan pembebasan lahan. Usaha yang
dilakukan antara lain :
a. Sosialisasi.
Sosialisasi merupakan upaya pengenalan kepada masyarakat tentang
kegiatan pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk pembangunan
Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo. hal ini penting dilakukan
agar supaya secara dini masyarakat telah mengetahuinya, sehingga
kegiatan-keegiatan yang hendak dilakukan oleh proyek mendapat
respon yang positif dari masyarakat serta dapat berjalan dengan wajar
dan lancar.
Berdasarkan wawancara dengan Santosa, SH. MKn selaku
Kepala seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo pada tanggal 6 Januari 2015, menyatakan
bahwa sosialisasi yang dilakuan dalam pengadaan tanah untuk sarana
pendidikan di Kabupaten Wonosobo dengan cara :
1) Pemasaangan papan pengumuman di lokasi calon kampus.2) Pemasangan pengumuman melalui spanduk, ditempatkan pada ruas
jalan yang relatif banyak dilewati orang3) tatap muka langsung dengan masyarakat dengan cara
mengumpulkan warga masyarakat, khususnya mereka yang lahannya dibutuhkan untuk pembangunan
4) Menginformsikan melalui perangkat desa untuk disampaikan kepada warga masyarakat.
Sasaran sosialisasi pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah
Daerah untuk pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten
108
Wonosobo adalah masyarakat di Desa Sidorejo Kecamatan Selomarto.
Kegiatan sosialisasi ini akan menimbulkan damapak terjadinya
persepsi dan sikap masyarakat yang terpolarisasi di desa tersebut.
Tentu ada sebagaian warga masyarakat yang sangat antusias terhadap
kegiatan ini, sementara ada juga yang merasa khawatir.
Antusias masyarakat timbul karena adanya harapan bisa
memperoleh manfaat dari adanya kegiatan pengadaan tanah
Pemerintah daerah untuk pembangunan saran Pendidikan di
Wonosobo, seperti mendapatkan pekerjaan di kampus, atau adanya
dampak pembangunan kampus yang meningkatkan pendapatan
melalui penyediaan kos, mendirikan kantin, membuka usaha fotocopy.
Adapun kekhawatiran bisa timbul karena takut ada penggusuran, ada
pemaksaan jual tanah dengan harga rendah, atau pengaruh khodupan
mahasiswa yang dinilai negatif.
b. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah Daerah
untuk pembangunan Sarana Pendidikan di kabupaten Wonosobo
digunakan untuk pembangunan kampus yang memerlukan lahan
seluas 90.000 m2 atau 9 Ha.
Pembebasan lahan berdampak pada alih fungsi lahan serta
kemungkinan timbul gangguan ketertiban dan keamanan. Alih fungsi
lahan terjadi dari lahan tegalan menjadi kawasan kampus sarana
pendidian di Kabupaten Wonosobo. Selain alih fungsi lahan dampak
selanjutnya adalah pengurangan luas lahan untuk usaha tani yang
bersifat permanen. Sementara uang ganti lahan yang dibebaskan
sering kali digunakan untuk membeli barang-barang konsumtif
maupun barang mewah yang dapat mengakibatkan rasa irihati orang-
orang disekitarnya. Bahkan tidak jarang mereka menjadi sasaran
pencurian, perampokan, sehingga ketertiban dan keamanan yang
semula tenang menjadi terusik.
c. Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus
109
Luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan kampus Sarana
Pendidikan di Kabupaten Wonosobo mencapai 9 Ha. Pada lahan
peruntukan kampus ini perlu dibuat batas lokasi dengan lahan milik
pihak lain. Dengan membuat pagar keliling disamping dengan
membuat patok batas lokasi kampus.
d. Pengaturan Pemanfaatan lahan
Lahan peruntukan pembangunan sarana pendidkan di Wonosobo
mencapai 9 Ha. Lahan seluas itu tidak serta merta dibangun kampus
sekaligus, sehingga masih tersisa lahan yang belum dibangun. Agar
terhindar dari lahana tidur, lahan tersebut tetap digarap dengan model
kemitraan yaitu melibatkan petani di sekitar lokasi kampus.
3. Kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Tanah menjadi suatu barang yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi, khususnya yang berada dikawasan strategis. Mengetahui hal itu
seseorang akan rela mempertahankan tanahnya secara mati-matian jika
hak kepemilikan tanahnya direbut oleh orang lain. Berbagai macam cara
akan ditempuh sebagian orang untuk mempertahankan kepemilikan
tanahnya. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria tanah
mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentinggan
pribadinya, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat
Pembangunan infrastruktur seperti : jalan, pembangkit tenaga
listrik berperan sangat penting dalam menunjang berkembangnya
perekonomian suatu bangsa. Tanpa adanya fasilitas tersebut gerakan
ekonomi akan sangat lambat. Akan tetapi, tanah yang merupakan suatu
wadah bagi pembangunan telah banyak dilekati dengan hak (tanah
110
hak) ,sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya. Untuk
itu, sebagai salah satu solusi dari masalah tersebut adalah dengan
mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” (oleh pemerintah
dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum)
inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seringkali terhambat pada proses pengadaan tanah.
Menurut Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran
dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo dalam wawancara tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa :
“ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pengadaan tanah yaitu faktor psikologis masyarakat dan faktor dana, selama ini sering menjadi masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih dikarenakan oleh faktor dana daripada faktor psikologis masyarakat. Ini terbukti bahwa selama ini yang menjadi permasalahan dalam pengadaan tanah bukan mengenai ada-tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, melainkan karena para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan tidak sesuai dengan harga pasar setempat”.
Terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada umumnya
disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah
dengan harga yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat selaku
pemilik tanah biasanya menolak harga dari pemerintah yang menurut
mereka terlalu murah. Mereka akan mematok harga lebih tinggi dari
harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga pasar, bahkan ada
masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan pada harga
111
sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum.
Ada sebagian kecil masyarakat yang keberatan dengan besaran
nilai penggantian ganti rugi. Mereka beranggapan bahwa nilai yang
diberikan sebagai ganti rugi pembebasan lahan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Salah satunya adalah H. Sholeh Rosyadi yang beralamat di
Kelurahan Jaraksari Rt. 002/ RW. 002, Wonosobo dalam wawancara
tanggal 13 Januari 2015 menjelaskan :
Pemberian ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat, jauh dari nilai yang diharapkan. Sebenrnya saya menyetujui asal nilai penggantian pembebasan lahan besarannya sesuai dengan yang diajukan pemilik lahan.
Namun akhirnya H. Sholeh Rosyadi, menerima atau tidak
keberatan dengan adanya pemberian besaran ganti rugi, setelah melalui
musyawarah serta penjelasan dari panitia pengadaan lahan yang akan
dipergunakan untuk pembangunan sarana pendidikan atau kampus di
Wonosobo.
Sebenarnya banyak yang setuju dengan adanya pemberian ganti
rugi pembebasan lahan yang dipergunakan untuk membangun sarana
pendidikan yaitu sebuah kampus. Salah satunya adalah Riani Sadiati
yang beralamat di Jalan Sabuk Alu No. 03 Kelurahan Pager Kukuh
Wonosobo. Dalam wawancara yang dilakukan tanggal 13 Januari 2015
Riani Sadiati menjelaskan :
Kami sangat mendukung dengan adanya pembangunan sarana pendidikan yang dipergunakan untuk kepeentingan umum. Masyarakat tentu menyadari bahwa pembangunan dapat berjalan dengan lancar tentu haruslah mendapat dukungan dari seluruh masyarakat, khususnya masyarakat yang terkena dampak dari pembangunan lahan tersebut yaitu pemilik lahan. Kami menyadari bahwa masyarakat tentu sudah memikirkan besaran ganti rugi lahan yang sesuai dengan harga pasaran serta berkeadilan.
112
Pemerintah dalam menetapkan besarnya ganti rugi selama ini
hanya menghitung pada aspek fisik saja. Besarnya ganti rugi seharusnya
juga memperhitungkan aspek non fisik terhadap warga yang terkena
dampak dari pembangunan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (11).
Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran dan
Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo menambahkan
bahwa :
“kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan, dan tanam-tanaman, tetapi juga meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ke tempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang”.
Sering juga memperkeruh masalah dalam proses pengadaan
tanah adalah adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin
mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanas-manasi masyarakat
untuk meminta harga yang sangat tinggi/ tidak wajar, yang
mengakibatkan pembangunan terhambat karena penyelesaian menjadi
berlarut-larut dan berkepanjangan. Pihak ini bisa saja dari warga yang
tidak mau diganti rugi dan mempengaruhi warga yang lain agar menolak
harga ganti rugi dari pemerintah. Dan tak jarang pula kondisi tersebut
memicu suatu benturan antar warga.
Sejak berlakunya Keppres Nomor 34 tahun 2003 maka
penanganan permasalahan pengadaan tanah termasuk kegiatan
pengadaan tanah lebih banyak dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Dari 10 Kota/Kab yang menjadi sample, hanya kota Surabaya dan
Sidoarjo yang masih tetap eksis melaksanakan kegiatan tersebut dengan
adanya surat dari Walikota/Bupati yang isinya tetap menyerahkan
pelaksanaannya pada Badan Pertanahan Nasional terutama dari segi
administrasi.
Peran Pemda dalam kegiatan Pengadaan Tanah cukup tinggi, seperti :
113
a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sebelum
kegiatan dilaksanakan,
b. melakukan inventarisasi tanah yang akan terkena kegiatan,
c. memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya
kegiatan pengadaan tanah tersebut untuk dilaksanakan melalui
pertemuan dengan masyarakat,
d. mengadakan rapat dikecamatan, dan
e. menfasilitasi rapat koordinasi dengan instansi terkait pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut.
Akibat adanya Keppres tersebut maka segala administrasi yang
berkaitan dengan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Pemda, BPN sama
sekali tidak memiliki arsip mengenai kegiatan pengadaan tanah yang ada
di wilayahnya karena semua arsip ada di Pemerintah Daerah.
Kelemahannya jika terjadi permasalahan Badan Pertanahan Nasional
kesulitan untuk membantu menanganinya.
Peran Kantor Pertanahan Nasional saat ini dalam kegiatan
pengadaan tanah dapat dikatakan hanya membantu Pemda melaksanakan
berbagai kegiatan pengadaan tanah seperti sosialisasi, penyuluhan dan
mediasi dengan para pihak jika terjadi permsalahan,Badan Pertanahan
Nasionalhanya memberikan saran atau masukan dalam pelaksanaan atau
dalam rapat koordinasi. Badan Pertanahan Nasionaltetap berperan
terutama dalam penelitian data administrasi dan peninjauan lapangan,
dan dalam kepanitiaan Wakil Ketua II dipegang Kakan Pertanahan dan
Sekretaris II ada pada Badan Pertanahan Nasional.
Selain itu keberhasilan suatu kegiatan pengadaan tanah juga
ditentukan oleh penyuluhan yang dilakukan apakah dapat memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pembangunan
yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan penyuluhan sebelum dilaksanakannya kegiatan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
frekwensinya berkisar rata-rata 3 x di setiap daerah, yang menjadi
114
pelaksana dari setiap kegiatan penyuluhan adalah Pemerintah daerah dan
instansi yang terkait dan masuk dalam kepanitiaan Pengadaan Tanah.
Dan lokasi penyuluhan pada umumnya dilakukan dilokasi pengadaan
tanah atau di kantor Desa tempat dilaksanakannya kegiatan pengadaan
tanah.
Pengumuman dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kabupaten/kota,
kantor camat dan kantor Kelurahan/Desa setempat selama 1 bulan. Jika
ada keberatan yang diajukan dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan itu,
yang oleh Panitia dianggap beralasan, maka Panitia mengadakan
perubahan terhadap daftar dan peta tersebut.
Dari hasil penelitian ini diperoleh data penentuan bentuk dan
besarnya ganti rugi melalui musyawarah antara instansi pengguna tanah
dan masyarakat pemilik tanah yang difasilitasi oleh panitia dilakukan
secara langsung kepada pemilik tanah dengan frekwensi pada umumnya
berjalan 1-3 x pertemuan, bahkan ada yang 2 x musyawarah sudah
tercapai kesepakatan.
Hanya saja proses musyawarah yang terjadi tidak ada komunikasi
dua arah, Pemerintah sudah menetapkan harga atau biaya ganti rugi yang
akan diberikan, dan masyarakat harus bisa menerima harga ganti rugi
yang ditawarkan itu. Sehingga musyawarah yang dilaksanakan selama ini
terkesan hanya merupakan mekanisme formal saja, dilaksanakan namun
kurang memperhatikan aspirasi pemilik tanah sehingga akhirnya setelah
kegiatan berjalan muncul keberatan dari pemilik tanah.
Adapun Jangka waktu musyawarah dalam Keppres Nomor 55
tahun 1993 tidak ditetapkan, hal ini berbeda dengan Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 yang menetapkan jangka waktu 90 hari dan
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang menetapkan jangka waktu
musyawarah lebih lama yaitu 120 hari.
Selain itu mekanisme pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah
yang diperoleh dalam penelitian ini bervariasi, sebagian besar responden
(60 %) menyatakan pembayaran ganti rugi selama ini melalui
115
bank/panitia, sisanya menggunakan pembayaran langsung dengan
menerima cek cash dari pimpro. Dalam penetapan ganti rugi selama ini
yang menjadi dasar penetapan adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
tahun berjalan dan harga pasar, hal ini sejalan dengan peraturan yang
digunakan pada waktu pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah yaitu
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dan peraturan pelaksananya
PMNA Nomor 1 tahun 1994.
Menjadi persoalan manakala pemegang hak atas tanah menuntut
besarnya ganti rugi atas berdasarkan harga pasar karena hal ini dinilai
layak olehnya, sedangkan Pemerintah atau pemerintah daerah yang
memerlukan tanah menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah
berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi Dan Bangunan
(PBB) tahun terakhir karena hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat 1 Perpres
Nomor 36 tahun 2005. Kalau dasar perhitungan ganti rugi atas tanah
didasarkan atas NJOP PBB tahun terakhir, maka hal ini kurang
memberikan penghargaan terhadap hak atas tanah karena NJOP PBB
sangat jauh dari harga pasar.
Ada perangkat baru yang tugasnya membantu Panitia Pengadaan
Tanah dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yaitu
Lembaga/Tim Penilai harga tanah. Dalam pasal 1 angka 12 Perpres
Nomor 36 tahun 2005 dinyatakan bahwa Lembaga/Tim Penilai harga
tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk
menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna
mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi.
Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah jika
terjadi permasalahan antara para pihak mengenai besaran ganti rugi kalau
diperlukan menjadi mediator para pihak yang bersengketa (50 %),
sisanya menyatakan selalu menjadi mediator jika terjadi permasalahan.
Sebagai mediator, keputusan yang ditetapkannya adalah keputusan
sebagai pihak ketiga yang sifatnya hanya membantu terwujudnya
kesepakatan diantara para pihak. Bagi mediator tidak ada kewenangan
116
untuk memaksakan keputusannya agar dipatuhi oleh para pihak yang
dibantunya.
Adapun yang menjadi Kendala Panitia Pengadaan Tanah dalam
pelaksanaan tugas, adalah :
a. Norma/peraturan :
1) petunjuk pelaksanaan kurang lengkap
2) berbenturan dengan hak ulayat
b. Personil :kurang memadai, kurang keahlian
c. Sarana/Prasarana/peta: tidak memadai
d. Pembiayaan :tidak memadai, belum mendukung, terbentur anggaran
belanja daerah.
Pada intinya permasalahan yang ditemui di lapangan dalam proses
pengadaan tanah menurut Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei
Pengukuran dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam wawancara tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa :
“ Proses sosialisasi yang kurang maksimal dalam penetapan ganti kerugian atas tanah garapan masyarakat sehingga memicu keresahan masyarakat petani yang tanahnya akan terpakai. Lokasi tanah yang akan dipakai oleh pemerintah dalam pembangunan Sarana Pendidikan adalah ttanah garapan. Masyarakat mencurigai bahwa pendekatan yang dipakai pemerintah daerah dalam pembangunan Kampus adalah pendekatan proyek semata”.
Namun dengan pendekatan serta upaya yang maksimal dan terus
menerus, akhirnya masyarakat menyadari akan arti penting sarana
pendidikan. Disamping Lokasi yang diperuntukkan bagi Kampus
(Perguruan Tinggi) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khususnya masyarakat sekitar kampus.
Lebih lanjutKarjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran
dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo dalam
wawancara tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa :
117
“Kurangnya anggaran dari pemeriintah daerah melalui anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka lahan yang seharusnya dibebaskan seluas 9 ha, hanya dapat dibebaskan seluas 4,8 ha”, pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Wonosobo, tentu akan mencari jalan keluar, dengan jalan dianggarkan untuk tahun-tahun berikutnya melalui anggaran pendapatan dan Belanja Daerah, agar kebutuhan lahan ke depan dapat tercukupi.
Dengan penganggaran kembali melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Tahun berikutnya, tentu kebutuhan lahan yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah yang akan dipergunakan untuk pembangunan sarana pendidikan dapat tercukupi.
B. Pembahasan
1. Tata Cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat Memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Prosedur pengadaan tanah yang ada pada Undang-Undang ini
adalah hanya untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hal
tersebut sudah disebutkan secara limitatif dalam Undang-Undangini.
Diluar dari yang disebutkan oleh Undang-Undang ini tidak dapat
dilaksanakan menurut Undang-Undang ini, namun dilaksanakan menurut
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di
Kabupaten Wonosobo diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo yang diangkat oleh Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa tengah dengan mempertimbangkan efisiensi,
efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia. Kepala Kantor
pertanahan Kabupaten sebagai ketua Pelaksana Pengadaan Tanah betugas
melaksanakan tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan :
118
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum;
3. Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan
tanah;
4. Dokumen pengadaan tanah berdasarkan kepada keputusan Gubernur
Jawa tengah tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
pembangunan;
5. Ketentuan lain yang terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Dokumen tanahapan pelaksanaan pengadaan tanah dalam pembangunan
Kampus di Kabupaten Wonosobo antara lain meliputi :
a. Penyiapan pelaksanaan;
b. Inventarisasi dan identifikasi;
c. Penetapan penilai;
d. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
e. Pemberian ganti kerugian;
f. Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
g. Penitipan ganti kerugian;
h. Pelepasan obyek pengadaan tanah;
i. Pemutusan hubungan hokum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah;
j. Pendokumentasi peta bidang, daftar nominatif dan data administrasi
pengadaan tanah; dan
k. Penyerahan hasil pengadaan tanah.
Kepala kantor pertanahan kabupaten sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah akan melaporka pelaksanaan pengadaan tanah kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui kepala
119
kantor wilayah badan pertanahan nasional profinsi Jawa Tengah.
Menyangkut biaya pelaksanaan pengadaan tanah dibebankan pada
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) kabupaten.
Instansi yang terlibat dalam penyediaan tanah serta kapasitas
kewenangan dalam menentukan kebijakan antara lain adalah :
a. Prasjatakim/Bapeda berwenang dalam hal tata ruang.
b. Instansi yang memerlukan tanah berwewenang dalam hal penyiapan
dokumen.
c. Kehutanan berwenang dalam kawasan hutan
d. BPN berwewenang dalam pertimbangan teknis pertanahan dalam
pelaksanaan pengadaan tanah.
e. Gubernur berwewenang dalam penetapan lokasi.
f. Bupati/walikota terkait apabila penetapan lokasi didelegasikn oleh
Gubernur.
Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur,
yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah, perubahan
penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Persyaratan dalam permohonan penetapan lokasi pembangunan:
1. Surat permohonan dari instansi yang memerlukan tanah
2. Dokumen perencanaan
3. Surat rekomendasi dari instansi yang berwewenang atas kesesuaian
RT,RW
Pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Wonosobo saat ini
terhadap program pengadaan tanah yang sedang berjalan atau belum
selesai setelah lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 masih
menggunakan aturan lama yaituPerpres No.36 Tahun 2005 jo Perpres
No.65 Tahun 2006 jo Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 2007, yang berlaku sampai tahun 2014, tapi bagi program
120
pengadaan tanah yang dibuat sejak Januari 2012 telah menggunakan
ketentuan baru.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum selama ini
belum semuanya sesuai dengan konsep ideal, seperti dalam penentuan
ganti kerugian yang bersifat nonfisik belum reakomodasi sepenuhnya,
dalam hal ini harus ada keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pengadaan tanah sangat menetukan sekali demi kelancaran pelaksanaan
pengadaan tanah.Sebaliknya sudah ada kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah yang mendukung masyarakat seperti pembebasan lahan yaitu
sebelum dilakukan pembebasan lahan dalam tahap konstruksi telah
dilakukan survey, penetapan lokasi dan perijinan. Pada tahap
prakonstruksi terlebih dahulu telah dilakukan :
1. Survey, penetapan lokasi dan perijinan dengan memperhatikan
a. Keresahan masyarakat
b. Sikap dan persepsi masyarakat
2. Pembebasan lahan dengan memperhatikan :
a. Keresahan masyarakat
b. Sikap dan persepsi masyarakat
Pada saat survey, penetapan lokasi dan perijinan diperkirakan
menimbulkan dampak terhadap keresahan masyarakat. Penetuan
batas lahan yang akan dipergunakan telah selesai pelepasan hak
kepemilikan lama kepada pemilikan baru. Suvey didampingi
aparat setempat yang benar-benar mengetahui kepemilikan dan
luasnya.
Apabila terjadi suatu dampak negatif dari suatu kejadian, maka
masyarakat terdekat dengan kegiatan tersebut yang pertama kali
kena imbasnya, karena itu dampak terhadap keresahan
masyarakat perlu dikelola.Begitupun pada kegiatan pembebasan
lahan diperkirakan menimbulkan dampak pada keresahan
121
masyarakat, terutama pada masyarakat yang lahannya terkena
pembebasan lahan. Walaupun cara pembebasan lahan dilakukan
tanpa perantara dan sesuai dengan kesepakatan bersama, namun
dampak terhadap keresahan masyarakat saat pembebasan lahan
perlu dikelola.
Prosedur untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum ini
sangatlah rumit dan sulit bagi instansi yang memerlukan tanah. Untuk
Instansi ang memerlukan pengadaan tanah butuh waktu yang lama untuk
bisa mencapai kesepakatan dengan banyak keberatan dari pihak yang
berhak. Selain itu juga terlalu banyak izin dari lembaga – lembaga lain.
Selain waktu yang lama, dana yang habis untuk mendapatkan pengadaan
atas tanah menurut Undang-Undangini juga sangat besar. Prosedur yang
ada di dalam Undang-Undangini sangat rentan akan terjadi perselisihan
antara pihak yang berhak dengan instansi yang memerlukan, maupun
dengan pemerintah. Prosedur yang rumit dan sulit ini yang dapat
menghambat pembangunan nasional untuk semakin maju.
Terlalu banyak izin yang dilakukan dalam Undang-Undangini,
sangat rentan terjadi gratifikasi atau hal – hal melanggar hukum lainnya.
Jika sudah terjadi hal tersebut, maka yang akan dirugikan adalah pihak
yang berhak. Namun, tidak juga harus dengan mudah bagi instansi
melakukan pengadaan tanah, hal tersebut akan mengorbankan pihak yang
berhak juga.
Sebagaimana yang akan dibangun adalah demi kepentingan umum,
seharusnya dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat. Apabila
dilaksanakan dengan mudah dan cepat maka akan langsung dapat
dirasakan hasilnya. Namun, perlulah dilakukan ganti kerugian yang adil
dan layak bagi para pihak yang berhak. Agar dapat dilakukan dengan
mudah dan cepat serta adil bagi para pihak yang berhak, maka diperlukan
pengawasan dari masyarakat agar tidak dihambat – hambat oleh pihak-
pihak yang memberikan izin untuk pengadaan tanah.
122
.Pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang
terkandung di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan,
keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan sesuai dengan
nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Hukum tanah nasional mengakui dan
menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan dengan
tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada Negara
berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan,
mengadakan pengelolaan, serta menyelenggarakan dan mengadakan
pengawasan yang tertuang dalam pokok-pokok pengadaan tanah sebagai
berikut:
1.Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya tanah untuk
kepentingan umum dan pendanaannya.
2.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai
dengan:
a.Rencana tata ruang wilayah
b.Rencana pembangunan nasional/daerah
c.Rencana strategis
d.Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah
3.Pengadaan tanah diselenggarakan melalui perencanaandengan
melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan.
4.Penyelenggaraan pengadaan tanah memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
5.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakandengan
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil. (vide Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Dilhat dari kriteria pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Tanah untuk kepentingan umum yang digunakan untuk pembangunan,
antara lain:
123
a. Pertahanan dan keamanan nasional
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api,stasiun kereta
api,dan fasilitas operasi kereta api.
c. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya.
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal.
e. Infrastrusktur minyak, gas dan panas bumi
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah
i. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah
j. Fasilitas keselamatan umum
k. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah.
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbukahijau publik
m. Cagar alam dan cagar budaya
n. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa
o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status
sewa
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah, dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum (vide Pasal 10 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012).
Dari kriteria tersebeut diatas, Pembebasan lahan di Kabupaten
Wonosobo, termasuak dalam kriteria pembangunan untuk kepentingan
umum. Penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
Pemerintah. Tanahnya selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah atau
Pemerintah daerah.
Tahapan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umumdiselenggarakan melalui 4 tahapan, yaitu:
a.Perencanaan
124
b.Persiapan
c.Pelaksanaan
d.Penyerahan hasil (videPasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil wawancara selama
penelitian yang dilakukaan dengan Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi
Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
pada tanggal 6 Januari 2015.
Pada intinya Perencanaan Pengadaan Tanah Perencanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum didasarkan atas rencana tata
ruang wilayah dan prioritaspembangunan yang tercantum dalam rencana
pembangunan jangka menengah, rencana strategis, rencana kerja
pemerintah instansi yang bersangkutan (vide Pasal 14 Undang-Undang No.
2 Tahun 2012).
Perencanaan tersebut disusun dalam bentuk dokumen perencanaan
pengadaan tanah yang paling sedikit memuat:
a.Maksud dan tujuan rencana pembangunan
b.Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana
pembangunan nasional dan daerah.
c.Letak tanah
d.Luas tanah yang dibutuhkan
e.Gambaran umum status tanah
f.Perkiraaan waktu pelaksanaan pengadaan tanah
g.Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan
h.Perkiraaan nilai tanah
i.Rencana penganggaran Penyusunan dokumen perencanaan pengadaan
tanah dapat dilakukan secara bersama-sama oleh instansi yang
memerlukan tanah bersama dengan instansi teknis terkait atau dapat
dibantu oleh lembaga professional yang ditunjuk oleh instansi yang
memerlukan tanah.
125
Dokumen perencanaan pengadaan tanah disusun berdasarkan studi
kelayakan yang ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah dan
mencakup: diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Studi kelayakan
a.Survey sosial ekonomi
b.Kelayakan lokasi
c.Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat
d.Perkiraan nilai tanah
e.Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat
dari pengadaan tanah dan pembangunan, dan
f.Studi lain yang diperlukan (vide Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun
2012).
Persiapan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah
bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan
pengadaan tanah melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan,
pendataan awal lokasi rencana pembangunan dan konsultasi publik
rencana pembangunan. (vide Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun
2012).
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan
kepadamasyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum, baik langsung (sosialisasi, tatapmuka atau surat pemberitahuan)
maupun tidak langsung (melalui media cetak atau media elektronik).
(vide Pasal 17 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Pendataan awal tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal
lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan
konsultasi publik rencana pembangunan. (vide Pasal 18 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012).
126
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang
berhak. Dalam konsultasi publik, instansi yang memerlukan tanah
menjelaskan anatara lain menegenai rencana pembangunan dan cara
penghitungan ganti kerugian yang akan dilakukan oleh penilai. Konsultasi
publik tersebut dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana
pembangunan kepentingan umum atau ditempat yang disepakati.
Keterlibatan pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan
dengan surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana
pembangunan. Kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang
berhak dituangkankedalam bentuk berita acara kesepakatan. atas dasar
kesepakatan, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan
penetapan lokasi kepada gubernur. Gubernur menetapkan lokasi dalam
waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya pengajuan
permohonan penetapan oleh instansi yang memerlukan tanah. (vide Pasal
19 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Perlu diketahui bahwa konsultasi publik ialah proses komunikasi
dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. (videPasal 1 ayat (8) Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012). Konsultasi publik rencana pembangunan
dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 hari kerja. (vide Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Apabila sampai dengan jangka waktu 60 hari kerja pelaksanaan
konsultasi publik recana pembangunan terdapat pihak yang keberatan
mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan konsultasi publik
ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 hari kerja. (vide Pasal
20 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Dalam hal konsultasi ulang masih terdapat pihak yang keberatan
mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah
127
melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat. Untuk
menanggapi keberatan rencana lokasi pembangunan tersebut, Gubernur
membentuk tim yang terdiri atas:
a.Sekretaris daerah propinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota
b.Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris
merangkap anggota
c.Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan
sebagai anggota
d.Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota
e.Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota
f.Akademisi sebagai anggota Tim yang dibentuk oleh gubernur tersebut
mempunyai tugas menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan
dan melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan,
serta membuat rekomendasi diterima atau di tolaknya keberatan. Hasil
dari kajian tim berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan
rencana lokasi pembangunan dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur dengan berdasar
rekomendasi tersebut, mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas rencana lokasi pembangunan. (vide Pasal 21 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012).
Dalam hal gubernur mengeluarkan keputusan menolak
keberatanatas rencana lokasi pembangunan maka gubernur menetapkan
lokasi pembangunan. Sebaliknya apabila diterima, gubernur
memberitahukan kepada instansi yang memerlukan tanah untuk
mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain. (vide Pasal 22
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umumdiberikan dalam waktu diberikan dalam waktu 2 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 1 tahun. Dalam hal jangka waktu penetapan
lokasi tersebut tidak terpenuhi, penetapan lokasi pembangunan untuk
128
kepentingan umum dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah (tanah
yang belum dilepaskan haknya dari pihak yang berhak sampai jangka
waktu penetapan berakhir) yang belum selesai pengadaannya. Terhadap
sisa tanah, apabila instansi yang memerlukan tanah tetap membutuhkan
tanah tersebut, proses pengadaan tanah harus diajukan dari awal. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menjamin keabsahan pengadaan tanah sisa.
(vide Pasal 25 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Gubernur bersama dengan instansi yang memerlukan tanah
mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Hal ini dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di
lokasi tersebut akan dilaksanakan pembanguna untuk kepentingan umum.
(vide Pasal 26 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Pelaksanaan Pengadaan Tanah berdasarkan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan.
Pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah tersebut meliputi:
(1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah
(2) Penilaian ganti kerugian
(3) Musyawarah penetapan ganti kerugian
(4) Pemberian ganti kerugian
(5) Pelepasan tanah instansi
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,
pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga pertanahan. Beralihnya
hak tersebut dilakukan dengan memberikan ganti kerugian yang nilainya
ditetapkan saat nilai pengumuman penetapan lokasi. Yang dimaksud
dengan nilai pengumuman penetapan lokasi ialah bahwa penilai dalam
menentukan ganti kerugian didasarkan nilai objek pengadaan tanah pada
tanggal pengumuman penetapan lokasi. (vide Pasal 27 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012).
129
Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
dan Pemanfaatan Tanah Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk
mengetahui pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Inventarisasi
dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah meliputi kegiatan:
a)Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah, dan
b)Pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari kerja.
(Vide Pasal 28 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Hasil inventarisasi dan identifikasi memuat daftar nominasi pihak
yang berhak dan objek pengadaan tanah. Pihak yang berhak meliputi
nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek
pengadaan tanah meliputi letak, luas, status serta jenis pengguanaan dan
pemanfaatan tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di
kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Hasil inventarisasi dan
identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
wajib diumumkan secara bertahap, parsial atau keseluruhan meliputi
subjek hak, luas, letak dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
(Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Penilaian Ganti Kerugian, dalam hal ini Lembaga pertanahan
menetapkan penilai sesuai denganketentuan mengenai pengadaan
barang/jasa instansi pemerintah dan mengumumkan penilai yang telah
ditetapkan untuk melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah. (vide
Pasal 31 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
a)Tanah
b)Ruang atas tanah dan bawah tanah
130
c)Bangunan
d)Tanaman
e)Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
f)Kerugian lain yang dapat dinilai (kerugian non fisik yang dapat
disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan
usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi dan
nilai atas properti sisa). (vide Pasal 33 Undang-Undang No. 2 Tahun
2012).
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a.Uang
b.Tanah Pengganti
c.Permukiman kembali (Proses kegiatan penyediaan tanah pengganti
kepada pihak yang berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan
dalam proses pengadaan tanah)
d.Kepemilikan saham (penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum terkait dan/atau pengelolaannya yang
didasari kesepakatan antar pihak)
e.Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak (vide Pasal 36
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012). Selain itu Lembaga pertanahan
melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling
lama 30 haru kerja sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada
lembaga pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut, menjadi dasar
pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dalam berita acara
kesepakatan. (vide Pasal 37 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan
langsung kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian pada
prinsipnya harus diserahkan langsung kepada pihak yang berhak atas ganti
131
kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang berhak karena hukum dapat
memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris.
Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang
berhak atas ganti kerugian. Yang berhak antara lain:
a)Pemegang hak atas tanah
b)Pemegang hak pengelolaan
c)Nadzir, untuk tanah wakaf
d)Pemilik tanah bekas milik adat
e)Masyarakat hukum adat
f)Pihak yang menguasai tanah Negara dengan itikad baik
g)Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan
hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian dan/atau putusanPengadilan Negeri/Mahkamah Agung. (vide
Pasal 40 jo. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012). Pada
saat pemberian ganti kerugian, pihak yang berhak menerima ganti
kerugian wajib:
a)Melakukan pelepasan hak
b)Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah
kepada instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga pertanahan.
Bukti penguasaan merupakan satu-satunya alat bukti yang sah
menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila terdapat pihak
lain menuntut atas objek pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada
instansi yang memerlukan tanah, maka hal tersebut menjadi tanggung
jawab pihak yang berhak. (vide Pasal 41 ayat (3) & (5) UU No. 12 Tahun
2012).
Pihak yang berhak menerima ganti kerugian bertanggung jawab
atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
diserahkan. Dan bagi ada yang melanggar hal tersebut, akan dikenai sanksi
132
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (vide
Pasal 41 ayat (4) & (6) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung, maka ganti kerugian dititipkan di Pengadilan
Negeri setempat. Penitipan ganti kerugian juga dilakukan terhadap:
a) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya, atau
b) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian:
(1) Sedang menjadi objek perkara di pengadilan
(2) Masih dipersengketakan kepemilikannya
(3) Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau
(4) Menjadi jaminan di bank
(vide Pasal 42 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak
telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di
Pengadilan Negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan
tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. (vide Pasal
43 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Selanjutnya Lembaga pertanahan menyerahkan hasil pengadaan
tanahkepada instansi yang memerlukan tanah setelah:
a) Pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak danpelepasan hak
serta menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan
tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga
pertanahan telah dilaksanakan. Dan/atau
b) Pemberian ganti rugi yang telah dititpkan di pengadilan negeri. Instansi
yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan
pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud diatas.(videPasal 48 Undang-Undang No. 2
Tahun 2012).
133
Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah yang
telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(vide Pasal 50 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Pada tahap akhirnya adalah Pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh pemerintah. Pemantauan dan evaluasi hasil penyerahan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang telah diperoleh dilakukan oleh
lembaga pertanahan. (vide Pasal 51 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012).
Hal tersebut diatas merupakan tata cara pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan demi kepentingan Umum berupa tempat Pendidikan
(Kampus) di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Sidorejo, Kecamatan
Selomerto, Kabupaten Wonosobo yang menghabiskan lahan seluas 90 Ha.
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum berupa
sarana pendidikan yang terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomerto
Kabupaten Wonosobo Provoinsi Jawa Tengah, dalam pelaksanaannya
tidak terlepas dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam Pengimplementasiannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan ada beberapa tahapan,
sebagaimana dalam ketentuan pengadaan tanah untuk pembangunan pada
umumnya. Tahapan pengimplementasiannya dalah meliputi:
a. Sosialisasi.
Sosialisasi merupakan upaya pengenalan kepada masyarakat tentang
kegiatan pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk pembangunan
Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo. Sosialisasi yang dilakuan
dalam pengadaan tanah untuk sarana pendidikan di Kabupaten
Wonosobo dengan cara :
134
1) Pemasaangan papan pengumuman di lokasi calon kampus.
2) Pemasangan pengumuman melalui spanduk, ditempatkan pada
ruas jalan yang relatif banyak dilewati orang
3) tatap muka langsung dengan masyarakat dengan cara
mengumpulkan warga masyarakat, khususnya mereka yang
lahannya dibutuhkan untuk pembangunan
4) Menginformsikan melalui perangkat desa untuk disampaikan
kepada warga masyarakat.
Sasaran sosialisasi pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah
Daerah untuk pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten
Wonosobo adalah masyarakat di Desa Sidorejo Kecamatan Selomarto.
Kegiatan sosialisasi ini akan menimbulkan dampak terjadinya
persepsi dan sikap masyarakat yang terpolarisasi di desa tersebut.
Tentu ada sebagaian warga masyarakat yang sangat antusias terhadap
kegiatan ini, sementara ada juga yang merasa khawatir.
b. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah Daerah
untuk pembangunan Sarana Pendidikan di kabupaten Wonosobo
digunakan untuk pembangunan kampus yang memerlukan lahan
seluas 90.000 m2 atau 9 Ha.
Pembebasan lahan ini tentunya juga selalu mengacu pada ketentuan
hukum yang berlaku sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Masyarakat diberi pengertian serfta ganti rugi sesuai dengan
kesepakatan serta ketentuan yang berlaku.
e. Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus
Luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan kampus Sarana
Pendidikan di Kabupaten Wonosobo mencapai 9 Ha. Pada lahan
peruntukan kampus ini perlu dibuat batas lokasi dengan lahan milik
pihak lain. Dengan membuat pagar keliling disamping dengan
membuat patok batas lokasi kampus.
f. Pengaturan Pemanfaatan lahan
135
Lahan peruntukan pembangunan sarana pendidkan di Wonosobo
mencapai 9 Ha. Lahan seluas itu tidak serta merta dibangun kampus
sekaligus, sehingga masih tersisa lahan yang belum dibangun. Agar
terhindar dari lahana tidur, lahan tersebut tetap digarap dengan model
kemitraan yaitu melibatkan petani di sekitar lokasi kampus.
Pada Prinsipnya pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Dalam Undang-Undang ini pengadaan tanah adalah
untuk kepentingan Umum, artinya menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum pihak yang berhak. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh Pemerintah.Pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum setelah pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Tanah yang selanjutnya dibangun sesuatu untuk kepentingan
umum akan menjadi milik Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Sehubungan dengan teori hukum pembangunan, bahwa hakikat
pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu meliputi segala segi dari
kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi kehidupan.
Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan sehingga
peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur
demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan
pengadilan atau bahkan kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan
dalam proses pembangunan. Adapun masalah-masalah dalam suatu
masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur oleh hukum
secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu :
Pertama,masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi
136
seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spritual
masyarakat, Kedua,masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat
dan kemajuan pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor lain dalam
masyarakat terutama faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan, serta
bertambah pentingnya peranan teknologi dalam kehidupan masyarakat
moderen.
Jika dikaji secara substansial, maka teori hukum pembangunan
merupakan hasil modifikasi dari Teori Roscoe Pound Law as a tool of
social enginering yang di negara Barat yang dikenal sebagai aliran
Pragmatig legal realism yang kemudian diubah menjadi hukum sebagai
sarana pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan adalah
bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai
alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan disamping
fungsi hukum untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (order).
Pengembangan teori hukum sebagai sarana pembangunan
masyarakat di Indonesia memiliki jangkauan dan ruang lingkup yang
lebih lebih luas jika dibandingkan dari tempat asalnya sendiri karena
beberapa alasan, yaitu: Pertama,bahwa dalam proses pembaruan hukum
di Indonesia lebih menonjolkan pada perundang-undangan walaupun
yurisprudensi juga memegang peranan, berbeda dengan keadaan di
Amerika dimana teori Roscoe Pound ditujukan pada pembaruan dari
keputusan-keputusan pengadilan khususya Supreme Court sebagai
mahkamah tertinggi. Kedua, bahwa dalam pengembangan di Indonesia,
masyarakat menolak pandangan aplikasi mechanistis yang teradapat pada
konsepsi Law as a tool of social engineering yang digambarkan dengan
kata tool yang akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda
dengan penerapan legisme dalam sejarah hukum yang dahulu pernah
diterapkan oleh Hindia Belanda, namun masyarakat Indonesia lebih
memaknai hukum sebagai sarana pembangunan serta dipengaruhi pula
oleh pendekatan-pendekatan filasafat budaya dari Northrop dan
137
pendekatan Policy oriented. Ketiga,bahwa bangsa Indonesia sebenarnya
telah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaruan, sehingga pada
hakikatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri
berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor
yang berakar dalam sejarah masyarakat bangsa Indonesia.
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran dari teori hukum
pembangunan yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa teori
hukum pembangunan didukung oleh aliran-aliran filsafat hukum mulai
sejak era Yunani hingga sekarang yaitu : hukum itu berlaku universal dan
abadi, aliran hukum positif (Positivisme hukum) yang berarti hukum
sebagai perintah penguasa, hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat (living law),hukum harus memberikan
perlindungan bagi masyarakat golongan rendah serta hukum dapat
mencerminkan nilai sosial budaya masyarakat dan mengadung sistem
nilai. Namun ada hambatan-hambatan yang dihadapi teori hukum
pembangunan adalah sebagai berikut :
a. Sukarnya menentukan tujuan dari pembangungan hukum
(pembaruan);
b. Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan
suatu analisis dekriptif dan prediktif;
c. Sukarnya mengadakan ukuran yang obyektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.
Hal ini tentu relevan dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmaja
dengan Teori Hukum pembangunan. Pokok-pokok pikiran Mochtar
terkait dengan dari Teori Hukum Pembangunan dapat dikatakan bahwa
dasar pijakan Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental
untuk menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti
Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui
Mochtar sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai menulis dan
menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat hukum Pancasila, dan
Negara hukum Pancasila.Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama
138
hukum pada umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan
ini dikaitkan Mochtar dengan tujuan hukum dalam suatu Negara hukum
Pancasila. Dalam setiap Negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena
itu, harus pula tunduk pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di
dalamnya keadilan sosial (sila kelima dari Pancasila). Pengadaan tanag
yang diperuantukkan bakgi pembangunan tentu berpijak pada prinsip
keadilan dan ketertiban umum. Hal ini tentu tidak terlepas adanya tujuan
dari pembangunan itu sendiri.
Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan
kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal
ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas
persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara pancasila pada analisis
di atas adalah keadilan sosial, maka fungsi hukum jadinya adalah untuk
mewujudkan tujuan atau cita-cita dalam kenyataan.
Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak
akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan.
Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi pelanggaran hukum,
yaitu ketika hukum yang mengatur tidak berhasil atau terganggu dalam
menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam penegakkan hukum ini
dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa perkara dan memberi
keputusannya berdasarkan hukum dan demi keadilan. Penegakkan
hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
atau advokat) melainkan pada instansi terkait terakhir juga bergantung
pada pencari keadilan itu sendiri. Untuk itulah perlu ditumbuhkan
kesadaran bahwa berpekara itu adalah demi menegakkan hukum dan
keadilan, tidak semata-mata demi memenangan perkara.
Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di
dalamnya. Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang
mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur
tindakan manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum
mengatur aspek tindapan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus
139
bagi aparat penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi,
yang dijalankan demi penegakkan Undang-Undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi
memegang kerahasiaan profesi.
Teori Pembangunan ada penekanan, tahap pertama
pembangunan yang diberikan pada upaya pelembagaan
(institutionalization) pada usaha-usaha besar pembinaan bangsa (a great
nation building effort). Pada tahap pertama memang tekanan diberikan
pada pelembagaan usaha-usaha atau proses ini, sehingga orang
perorangan mungkin terdesak, namun hal ini tidak berarti individualitas
dari orang perorangan tersebut tidak boleh diberi kesempatan untuk
berkembang, mengingat analisis terakhir terhadap satua-satuan
masyarakat itu akan berujung pada individu juga.Persoalan manusia di
dalam pembangunan Indonesia tersebut didasarkan pada asumsi
penerimaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan
bertindak manusia Indonesia.
Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagi berikut: Selain percaya pada Tuhan Yang Maha
Esa, juga harus percaya pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan
Indonesia yang lebih baik, sebagai insan politik, harus committed pada
sistem politik Negara yang pada titik puncaknya telah menerima
pancasila sebagai asas tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang perorangan maupun
sebagai anggota masyarakat, sehingga pengertian individu tidak bisa
dilepaskan dari pengertian masyarakat tempat individu itu mendapat
kesempatan berkembang sepenuhnya.
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh Mochtar
ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli hukum Indonesia.
Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal sebagai ciri-ciri hukum adat di
Indonesia, yakni kongkret, kontan, dan komunal, seiring dengan
140
perjalanan zaman telah mengalami pergeseran-pergeseran tajam. Saat ini,
misalnya, di desa-desa jual beli sepeda motor telah dilakukan dengan
sistem kredit. Sikap-sikap individualistic juga terlihat makin menonjol.
Artinya, temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional tersebut
perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna sebagai
hipotesis.
Seprti halnya Achmad Ali, hukum merupakan seperangkat
kaidah, norma serta nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat yang
menentukan apa yang boleh dan yang tidak dibolehkan untuk
dilaksanakan. Achmad Ali memberikan pandangan bahwa hukum
dimanifestasikan dalam wujud Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai
sollen); danHukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).
Berdasarkan pandangan di atas maka kita dapat menggambarkan
bagaimana hukum itu menjadi sangat penting untuk mengatur tatanan
kehidupan bernegara. Akan tetapi hal tersebut dirasa tidak mudah ketika
kita mengkaji hukum itu dalam kenyataanya di masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa hakikat pembangunan hukum merupakan hubungan
timbal balik dari tiga komponen yakni struktur, substansi, dan kultur
hukum serta yakni profesionalisme dan kepemimpinan yang saling
terkait dengan fungsi dan tujuan hukum. Bahkan M. Sofyan Lubis juga
menyimpulkan bahwa hakikat Pembangunan Hukum adalah bagaimana
merubah perilaku manusia ke arah kesadaran dan kepatuhan hukum
terhadap nilai-nilai yang hidup dan diberlakukan dalam masyarakat.
Tegasnya membangun perilaku manusia dan masyarakat harus di dalam
konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dimana mereka
mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban hukumnya sebagai
warganegara dan mengerti tentang bagaimana menuntut hak-hak yang
dijamin secara hukum dalam proses hukum itu sendiri.
Teori Hukum Pembangunan telah memberi inspirasi bagi para
ahli hukum Indonesia agar mau menukik kepada pencarian teori dan
filsafat hukum Indonesia yang lebih membumi. Pada fase kedua ini Teori
141
Pembangunan telah beranjak dari pemikir teoretikan menuju pemikir
filosofikal. Dengan mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya
ia sedang bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua
pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik, dan
sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar filsafatnya
itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila, sebenarnya tidak cukup
hanya menganalisisnya dari sudut filsafat hukum saja, tetapi juga
pandangan-pandangan yang menyeluruh tentang aspek kehidupan
lainnya.
Dilihat dari Teori Implementasi bahwa pengimplementasian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo, merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber-
sumber didalamnya termasuk manusia, dana, kemampuan organisional,
baik oleh pemerintah maupun oleh swasta (individu atau kelompok untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat
kebijakan dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo
dalam upaya pengadaan tanah untuk pembangunan yang akan
dipergunakan untuk kepentingan umum yaitu pendirian sebuah kampus.
3. Kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan
Kendaladalam Proses Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum berdasarkan penelitian yang tim lakukan di
Kabupaten Wonosobo dengan berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun
2012, saat ini program pengdaan tanah belum tersosialisasikan secara lebih
baik, mengingat Undang-Undang tersebut masih baru. Oleh karena itu
dirasa perlu kajian dan penyamaan persepsi dalam menafsirkan amanat
Undang-Undang dan pemahaman yang sama dalam pelaksanaan Undang-
142
Undang tersebut. Kendala lainnya berkaitan dengan penetapan lokasi oleh
Gubernur melalui proses relatif panjang, begitupun proses pembebasan
tanah dihadapkan dengan kepentingan masyarakat dari proses penilaian
ganti kerugian serta musyawarah penetapan ganti kerugian dengan warga
masyarakat relatif sulit untuk titik temu dan kesepakatan.
Praktek penggantian kerugian selama ini ada kecenderungan ganti
kerugian ini ditekankan sedemikian rupa sehingga menyulitkan bagi
pelaksana kegiatan atau panitia menyepakati ganti kerugian dengan
pemilik tanah, tidak jarang hal ini memicu sengketa bahkan cenderung
menjadi momok bagi panitia atas tuduhan korupsi.
Sebetulnya pada saat proses pembebasan tanah dihadapkan dengan
kepentingan warga masyarakat hambatannya ada seperti :
a. Prokontra masyarakat dalam pengadaan tanah tetap ada.
b. Sulitnya menentukan harga setempat sesuai dengan lokasi.
c. faktor psikologis masyarakat dan faktor dana, selama ini sering menjadi
masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih
dikarenakan oleh faktor dana daripada faktor psikologis masyarakat. Ini
terbukti bahwa selama ini yang menjadi permasalahan dalam pengadaan
tanah bukan mengenai ada-tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, melainkan karena
para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan
tidak sesuai dengan harga pasar setempat.
d. Selama ini terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada umumnya
disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah
dengan harga yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat selaku
pemilik tanah biasanya menolak harga dari pemerintah yang menurut
mereka terlalu murah. Mereka akan mematok harga lebih tinggi dari
harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga pasar, bahkan ada
masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan pada harga
sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum.
143
e. Adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan
keuntungan pribadi dengan memanas-manasi masyarakat untuk
meminta harga yang sangat tinggi/ tidak wajar, yang mengakibatkan
pembangunan terhambat karena penyelesaian menjadi berlarut-larut dan
berkepanjangan. Pihak ini bisa saja dari warga yang tidak mau diganti
rugi dan mempengaruhi warga yang lain agar menolak harga ganti rugi
dari pemerintah. Dan tak jarang pula kondisi tersebut memicu suatu
benturan antar warga.
Dengan adanya pendekatan serta musyawarah yang dilakukan oleh
Pemerintah, pada akhirnya masyarakat yang tidak setuju atau masyarakat
yang keberatan, pada akhirnya menerima. Upaya yang dilakukan dengan
musyawarah kekeluargaan, dengan tidak meninggalkan nilai nilai keadilan
akhirnya kesepakatan dapat ercapai, sehingga kendala ini dapat teratasi.
Dari hasil penelitin juga dapat dijelaskan bahwa Pemerintah daerah
terus berupaya agar lahan yang dibutuhkan dapat tercukupi, meskipun
Anggaran yang dibutuhkan belum sepenuhnya dapat membebaskan lahan
seluas 9 ha, dikarenakan yang dapat dibebaskan dan diberi ganti rugi baru
seluas 4,8 ha, pemerintah daerah akan menganggarkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daeraah untuk anggaran di tahun-tahun yang akan
datang. Hal ini merupakan komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten
Wonosobo, dalam upaya meningkatkan sarana pendidikan melalui
pembangunan sebuah kampus.
Selain hal tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 pelaksanaannya di daerah
lebih lanjut diatur dengan peraturan Gubernur bukan dengan Peraturan
Daerah. Adanya kelemahan terhadap undang-undang ini, dimana Undang-
Undang No.2 Tahun 2012 tidak membedakan antara pengadaan tanah dan
pencabutan hak atas tanah, akibatnya Undang-Undang No. 20 Tahun 1961
seakan tidak Berfungsi lagi, pada hal Undang-Undang tersebut tidak
dicabut oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Lainnya undang-undang
144
ini menggunakan pengadilan sebagai tempat legitimasi pemaksaan dalam
pengadaan tanah.
Dilihat dari teori Hukum Pembangunan, Teori hukum
pembangunan memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu fungsi
hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban (order)
yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya
suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Disamping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya,
serta sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antara manusia dalam
masyarakat hanya diatur oleh hukum, namun juga ditentukan oleh agama,
kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial
lainya. Oleh karenanya, antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya
terdapat jalinan hubungan yang erat antara yang satu dan lainnya. Namun
jika ada ketidaksesuaian antara kaidah hukum dan kaidah sosial, maka
dalam penataan kembali ketentuan-ketentuan hukum dilakukan dengan
cara yang teratur, baik mengenai bentuk, cara maupun alat
pelaksanaannya. Selain itu bahwahukum dan kekuasaan mempunyai
hubungan timbal balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaanya karena tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan
merupakan kaidah sosial yag berisikan anjuran belaka. Sebaliknya
kekuasaan ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, dan juga hukum
sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku di
suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga
145
dapat dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (The living law) dalam masyarakat yang
tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu sendiri.
Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya hukum
merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan dari apa
yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat membantu
proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum sebagai alat
untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus sangat
berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga harus
mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan masyarakat.
Dengan adanya aturan berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012, maka aturan ini dapat dikatakan :
1. Hukum tidak dipandang sebagai seperangkat norma yang harus di
patuhi oleh masyarakat melainan juga harus dipandang sebagai sarana
hukum yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukum dan
pejabat publik;
2. Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat
semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi.
3. Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata
kepentingan pemengan kekuasaan (negara) melainkan juga harus
dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan
(stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims);
4. Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan
dalam masa peralihan (transisional), baik dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik, tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya
dengan menggunakan pendekatan preventif dan represif semata,
melainkan juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif;
5. Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal
dalam pembangunan nasional, maka hukum tidak semata-mata
146
dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus
dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap dan cara berpikir
(mindset) dan perilaku (behavior) aparatur birokrasi dan masyarakat
bersama-sama.
Pada akhirnya dengan adanya pembangunan hukum ketertiban
atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan
merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya
serta Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah
pembaharuan.
147
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan1. Tata cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo, khususnya pengadaan tanah
untuk pendidikan yang terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomarto,
Kabupaten Wonosobo terdiri dari tahapan yaitu
a. Perencanaan,
b. Persiapan meliputi pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan
awal lokasi rencana pembangunan, Konsultasi publik rencana
pembangunan
c. Pelaksanaan Pengadaan Tanah meliputi Inventarisasi dan Identifikasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan,
d. Pemanfaatan Tanah,
e. Penilaian Ganti Kerugian,
f. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian,
g. Pemberian Ganti Kerugian
148
h. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah.
Mengacu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum; Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan
tanah; Dokumen pengadaan tanah berdasarkan kepada keputusan
Gubernur Jawa Tengah tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
pembangunan;Ketentuan lain yang terkait dengan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Dokumen pelaksanaan pengadaan tanah antara lain meliputi :
a. Penyiapan pelaksanaan;
b. Inventarisasi dan identifikasi;
c. Penetapan penilai;
d. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
e. Pemberian ganti kerugian;
f. Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
g. Penitipan ganti kerugian;
h. Pelepasan obyek pengadaan tanah;
i. Pemutusan hubungan hokum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah;
j. Pendokumentasi peta bidang, daftar nominative dan data administrasi
pengadaan tanah; dan
k. Penyerahan hasil pengadaan tanah.
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
147
149
bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu meliputi
segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi
kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan
sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang diawali
dengana Persiapan, Perencanaan, Pelaksanaan Pengadaan Tanah,
Pemantauan dan Evaluasi yang diimplementasikan melalui Sosialisasi,
Pembebasan Lahan, Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus serta
Pengaturan Pemanfaatan lahan dengan tujuan untuk kesejahteraan bagi
masyarakat sesuai dengan tujuan dan cita-cita Pancasila, seperti halnya
pijakan dari Teori hukum Pembangunan.
3. Kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
dalam Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
antara lain :
a. Prokontra masyarakat dalam pengadaan tanah, serta sulitnya
menentukan harga setempat sesuai dengan lokasi.
b. Faktor psikologis masyarakat dan faktor dana
c. Ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang
dikehendaki oleh masyarakat.
d. Adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan
keuntungan pribadi.
e. Kurangnya anggaran dari Aanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang diperuntukkan bagi pembebasan lahan.
150
C. Implikasi
Konsekuensi logis dari kesimpulan yang diperoleh khususnya menyangkut
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan demi kepentingan Umum di Kabupaten
Wonosobo maka mengandung implikasi, yaitu:
1. Tata cara Pengadaan tanah demi Kepentingan Umum dengan berlandaskan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah, di Kabupaten Wonosobo.
2. Dengan diimplementasikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunan maka Pengadaan Tanah yang
diperuntukkan bagi kepentingan umum berupa sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo dapat berjalan dengan lancar.
3. Dengan adanya Kendala yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan, pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan di Kabupaten Wonosobo mengalami kendala
namun dapat diselesaikan sehingga masyarakat merasa terlindungi dari sisi
hukum.
D. Saran
Saran yang dapat disampaikan antara lain adalah :
1. Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara maksimal tentang Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012, baik terhadap panitia pelaksanan maupun
terhadap masyarakat, sehingga terdapat suatu persamaan persepsi
mengenai pengertian, makna, tujuan, dan prosedur pengadaan tanah untuk
pembangunan demi kepentingan umum.
2. Bagi Pegawai
151
Perlu ada Pelatihan bagi Pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN)
terkait dengan Proses Penanganan Kasus-kasus pembebasn tanah yang
berpijak pada Hak Asasi Manusia.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat hendaknya menyadari akan arti penting pengadaan tanah
untuk pembangunan demi kepentingan umum, khususnya Pembangunan
sarana dan prasarana kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Achmad Ali, 1999, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Gramedia
___________, 2000, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Gramedia
Adrian Suteji. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang : Bayumedia Publishing.
Ari Purwadi. “Implikasi Pencabutan Hak Atas Tanah terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia”Dimuat dalam Jurnal Legality.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/295
Bambang Sadono. 3 April 2014. Hambatan Fungsi Sosial. Sosiologi Pertanahan. http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-sosial.html. [26 Februari 2014 pukul 12:17 WIB].
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Burhan Ashofa, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta
152
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo
Citorejo Waciman dan Kawan-Kawan v. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Menteri Pekerjaan Umum, Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991 (Perkara Kedungombo).
Darwin Ginting, 2013, Kapita Selekta Hukum Agraria, Jakarta: Fokussindo Mandiri
Esmi Warassih Pujirahayu,2005. Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama
H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No. 5 Th. III November 1988
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies. 2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf
Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Halm 5. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI.
John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (edisi Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.
John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartini Muljadi,dkk. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.
KitabUndang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja Karya.
151
153
Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau Mundur?” Kompas, 11 Mei 2005.
. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi Revisi +). Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Yogyakarta : Media Abadi.
Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Rteview of Administrative Science. Vo. 68
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rezaa A.A Wattimena, 2007, Melampaoi Negara hukum Klasik, Locke Rausseau Harbermas, Yogyakarta: Kanisius
Romli Atma Sasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising
Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Adtya Bakti.
________ 2006, “Membedah Hukum Progresif”, Jakarta, Kompas Media Nusantara
Setiono. 2002. Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS.
________. 2005. Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS.
Shidarta, dkk, 2012, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: HuMa.
154
Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta: Karunia-Universitas Terbuka.
Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa)
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermedia.
Sunarjati Hartono. 1978. Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriadi S,. 2005. “Pembaharuan Pengaturan Pertanahan Nasioanal sebagai Wujud Gerakan Sosial”., Jurnal Reformasi Hukum. Vol.VII No. 1. Jakarta: Jurnal Mimbar Universitas Islam Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Solichin Abdul Wahab, 2004. Analisis Kebiajkan Publik, Bandung, Alumni
_______.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Thomas R. DYE, 1981, Understanding Public Policy. Florida: State University
Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih Communication.
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
155
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
156
\
LAMPIRAN
157
Top Related