K E S E H A T A N
I N F O B P J S
MEDIA INTERNAL BPJS KESEHATAN EDISI 73
SEMUA RUMAH SAKIT
SUDAH HARUS TERAKREDITASI
1 JULI 2019
BPJS Kesehatan, dan ketentuan persyaratan diatur dalam
peraturan menteri. Akreditasi rumah sakit juga menjadi
salah satu syarat rumah sakit untuk memperpanjang kerja
sama dengan BPJS Kesehatan.
Pada tanggal 4 Januari 2019, mengacu pada surat
Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/18/2019
tentang Perpanjangan Kerja Sama RS dengan BPJS
Kesehatan, kami melakukan seleksi dan rekredensialing
terhadap rumah sakit yang telah bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan. Hasilnya, terdapat sejumlah rumah
sakit yang tidak memenuhi syarat, salah satunya karena
akreditasi. Dengan berbagai pertimbangan serta agar
pelayanan terhadap pasien peserta JKN-KIS tidak terhenti,
Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan bersepakat
untuk memperpanjang kerja sama dengan rumah sakit
tersebut serta memberikan kesempatan sampai dengan
30 Juni 2019 untuk menyelesaikan proses akreditasi.
Kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh rumah sakit.
Akreditasi menjadi syarat yang penting untuk dipenuhi
oleh rumah sakit karena selain bertujuan menjamin mutu
layanan kesehatan kepada masyarakat, akreditasi juga dapat
menjadi bukti bahwa rumah sakit memiliki komitmen untuk
memberikan layanan yang paripurna dan sesuai standar.
Kami berharap, rumah sakit yang belum menyelesaikan
proses akreditasi dapat segera menyelesaikannya, sehingga
tercipta akses yang luas bagi peserta JKN-KIS untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Melalui CEO Message ini, saya juga menyampaikan
apresiasi kepada rumah sakit yang sudah menyediakan
sarana, prasarana sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan serta memberikan komitmen tinggi dalam
melayani peserta JKN-KIS. Semoga komitmen untuk
memberikan layanan yang terbaik, berkualitas dan tanpa
diskriminasi dapat terus kita implementasikan, sehingga
dapat mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera.
Fachmi Idris
Ceo Note
Manajemen telah menetapkan Visi
BPJS Kesehatan Tahun 2016-
2021 yaitu Terwujudnya Jaminan
Kesehatan yang Berkualitas
dan Tanpa Diskriminasi.
Penggunaan kata berkualitas
pada visi tersebut sama sekali
tidak menggeser makna kesinambungan secara finansial. Berkualitas dalam konteks ini merupakan suatu kesatuan,
baik kualitas pelayanan, kualitas pembiayaan serta kualitas
keberlangsungan finansial.
Penekanan kami pada tahun ini terdapat pada kalimat Tanpa
Diskriminasi. Jika kita lihat, makna Tanpa Diskriminasi
lebih luas dari sekedar gotong royong yang berkeadilan.
Karena jika kita berbicara tentang tanpa diskriminasi, kita
bicara juga tentang landasan undang-undang yaitu prinsip
ekuitas dan prinsip asuransi sosial. Jika kita bicara ekuitas,
semua orang punya hak yang sama untuk mendapatkan
pelayanan tanpa melihat besarnya iuran. Dalam arti yang
lebih luas, kami ingin memastikan bahwa hak-hak peserta
dilaksanakan dengan sangat baik oleh mitra kami. Inilah
pemahaman tentang Tanpa Diskriminasi.
Wujud kalimat Berkualitas dan Tanpa Diskriminasi dalam
Visi BPJS Kesehatan salah satunya hadir dalam bentuk
kebijakan akreditasi rumah sakit. Sebagai mitra BPJS
Kesehatan dalam menyediakan pelayanan kesehatan tingkat
lanjut kepada peserta JKN-KIS, rumah sakit berkewajiban
untuk memiliki akreditasi dan memenuhi standar-standar
pelayanan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan untuk
memastikan kelayakan serta mutu layanan kesehatan yang
diberikan.
Kebijakan terkait akreditasi telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Akreditasi RS serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
99 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Regulasi
ini semakin diperkuat lagi melalui Peraturan Presiden
82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 67
Perpres 82 tersebut menyebutkan untuk faskes yang
memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan
Rumah Sakit Terakreditasi, Wujudkan Jaminan Kesehatan yang Berkualitas Tanpa Diskriminasi
KILAS & PERISTIWA
5
FOKUS
6
PELANGGAN
12
akereditasi rs tergantung
komitmen
14
BENEFIT
18INSPIRASI
19
SEHAT & GAYA HIDUP
SALAM REDAKSI
PERSEPSI
DAFTAR ISI
BINCANG
10 20
BULETIN DITERBITKAN OLEH BPJS KESEHATAN :
Jln. Letjen Suprapto PO BOX 1391/JKT Jakarta Pusat Tlp. (021) 4246063, Fax. (021) 4212940
TESTIMONI16
begini aturan baru selisih biaya program jkn-kis
olahraga malam hari, amankah?
Pembaca Setia Media Info BPJS Kesehatan,
Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi faskes untuk lulus kredensialing adalah memiliki sertifikat akreditasi.
Akreditasi merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap manajemen RS karena telah memenuhi standar yang
ditentukan. Tujuan kredensialing adalah untuk menjamin dan memastikan pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien
JKN-KIS bermutu dan aman.
Seperti apa implementasi pelaksanaan pemenuhan standar pelayanan kesehatan bagi fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, rubik FOKUS akan mendalaminya. Akreditasi rumah sakit juga merupakan
sebuah proses penilaian dan penetapan kelayakan RS berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh
lembaga independen, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Dalam rubrik BINCANG Info BPJS Kesehatan juga
berkesempatan mewawancarai Ketua KARS, yang akan menjelaskan seperti apa proses akreditasi yang harus dijalani
oleh rumah sakit.
Kami menyadari, untuk meningkatkan kualitas informasi yang ada dalam media ini kami masih membutuhkan
masukan dan kritik dari pembaca sekalian. Kami ucapkan terima kasih kepada pembaca yang budiman, atas atensi
dan masukan membangun sehingga diharapkan media ini terus menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi BPJS
Kesehatan dan masyarakat serta pembaca sekalian. Selamat beraktivitas.
Redaksi
Akreditasi RS Untuk Pelayanan Kesehatan Bermutu dan Aman
OPTIMALISASI MANAJEMEN KLAIM DAN STRATEGIC PURCHASING BPJS
KESEHATAN TEKEN MOU DENGAN HIRA KORSEL
Akreditasi RS Jamin Mutu Pelayanan dan Keselamatan Pasien
SEBELUM 1 JULI 2019 Semua RS Sudah Harus Terakreditasi
Hadapi Revolusi Industri 4.0, BPJS Kesehatan Luncurkan Layanan
Mandiri Badan Usaha
KERAMAHAN DOKTER DAN PERAWAT Jadi Penyemangat Pasien
Akreditasi Mendorong RS Utamakan Mutu dan Keselamatan Pasien
Jamin Kualitas Layanan Faskes Provider BPJS Kesehatan,
Cukupkah Hanya dengan Akreditasi?
PENGARAH Fachmi Idris PENANGGUNG JAWAB Mira Anggraini PEMIMPIN UMUM Irfan Humaidi PENASIHAT
Nasihin Masha PEMIMPIN REDAKSI M.Iqbal Anas Ma’ruf SEKRETARIAT Rini Rahmitasari, Paramita Suciani REDAKTUR
Elsa Novelia, Widianti Utami, Sri Wahyuningsih, Dede Chandra S, Upik Handayani, Angela Dian, Tati Haryati Denawati, Juliana Ramdhani, Diah
Ismawardani, Ranggi Larissa Izzati, Darusman Tohir, Alhafiz DISTRIBUSI & PERCETAKAN Gusti Ngurah Catur Wiguna, Erry Endri, Asto
Bawono, Muhammad Arsyad, Imam Rahmat Muhtadin, Eko Yulianto
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 5
KILAS & PERISTIWA
Seoul - BPJS Kesehatan menandatangani Nota
Kesepahaman dengan The Health Insurance Review
And Assessment Service (HIRA) Republik Korea tentang
Kerjasama Di Bidang Asuransi Kesehatan Sosial, di
Seoul Jumat (05/04). HIRA adalah lembaga yang ditunjuk
pemerintah Korea Selatan untuk melaksanakan review
dan penilaian biaya kesehatan.
“Nota kesepahaman ini merupakan bagian dari upaya
optimalisasi dan pembenahan sistem jaminan kesehatan
sosial khususnya jaminan kesehatan di Indonesia.
Dalam bauran kebijakan pengendalian defisit JKN,
salah satu yang menjadi sorotan adalah optimalisasi
manajemen klaim dan mitigasi fraud serta memperkuat
peran BPJS Kesehatan dalam strategic purchasing
melalui pengembangan model pembiayaan dan sistem
pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Melalui nota
kesepahaman ini diharapkan ada hal yang dapat kita
adopsi untuk mengoptimalkan dua hal tersebut,” ujar
Direktur Kepatuhan, Hukum dan Hubungan Antar
Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi,
Penandatanganan MoU ini dilaksanakan oleh Jongsu
Ru selaku perwakilan Penilaian Asuransi Kesehatan
Republik Korea (HIRA). Adapun ruang lingkup Nota
Kesepahaman adalah Pengembangan Sistem Klaim
Digital dan Pengembangan Sistem Pembayaran kepada
Provider. Bentuk kerja sama berdasarkan MoU ini
dalam bentuk berikut berbagi keahlian, informasi, dan
pengalaman, menyelenggarakan seminar bersama,
konferensi, workshop, dan pertemuan tingkat profesional
lainnya serta melakukan penelitian bersama, pelatihan,
konsultasi, dan publikasi.
“Sesuai dengan perundangan BPJS Kesehatan diberi
kewenangan untuk mengembangkan model pembiayaan
dan sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan.
Implementasinya dituangkan dalam kontrak kerjasama
dengan fasilitas kesehatan dengan harapan fasilitas
kesehatan akan memberikan pelayanan yang lebih
efektif, efisien namun mutu kualitas layanan kesehatan
tetap terjaga. Untuk mengimplementasikannya
memerlukan regulasi pendukung. Ini akan menjadi upaya
kita, strategic purchasing seperti apa yang akan kita
kembangkan ke depan, sehingga efektifitas pembiayaan
pelayanan kesehatan dalam Program JKN-KIS makin
optimal,” jelas Bayu.
Jakarta, Jamkesnews - BPJS Kesehatan dilirik lembaga
penelitian internasional ternama, Institute for Health
Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington,
untuk melakukan kolaborasi penelitian bersama di bidang
kesehatan. Sebagai penyelenggara jaminan kesehatan
dengan jumlah peserta terbanyak sedunia, angka
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tercatat selama
lima tahun BPJS Kesehatan beroperasi, juga bisa dikaji
lebih dalam guna memproyeksi tren penyakit ke depan.
Dengan demikian, pembiayaan JKN-KIS bisa dialokasikan
untuk upaya pencegahan penyakit tersebut.
Direktur Institute for Health Metrics and Evaluation
(IHME) University of Washington Prof. Christopher
Murray mengatakan, terjadi pergeseran tren penyakit di
Indonesia selama 27 tahun terakhir. Ia mengungkapkan,
kolaborasi penelitian di bidang kesehatan bersama BPJS
Kesehatan diharapkan dapat membantu memprediksi
tren penyakit di masa yang akan datang, sehingga
upaya promotif dan preventif bisa dipersiapkan sejak
dini. Selain itu, juga untuk memetakan pola persebaran
penyakit di daerah-daerah Indonesia, sehingga upaya
promotif preventif yang dilakukan berjalan efektif sesuai
dengan kondisi dan karakteristik masing-masing daerah.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan
mengatakan, pihaknya siap turut serta dalam kolaborasi
penelitian di bidang kesehatan bersama IHME University
of Washington, juga para peneliti dan akademisi lainnya
yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
“Kehadiran Program JKN-KIS membawa perubahan
yang signifikan terhadap sistem pelayanan kesehatan
di Indonesia. Tentu kami membutuhkan masukan dari
berbagai pihak, termasuk akademisi dan peneliti, baik dari
dalam negeri maupun dari mancanegara. Kami dengan
senang hati membuka kesempatan untuk berkolaborasi
melakukan riset bersama di bidang kesehatan.
Harapannya, hasil riset tersebut dapat menjadi bahan
evaluasi untuk menyempurnakan pelaksanaan JKN-KIS,”
kata Fachmi.
PENELITI MANCANEGARA JAJAKI KOLABORASI BERSAMA BPJS KESEHATAN
OPTIMALISASI MANAJEMEN KLAIM DAN STRATEGIC PURCHASING BPJS KESEHATAN TEKEN MOU DENGAN HIRA KORSEL
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 6
F O K U S
Selain kredensialing bagi fasilitas kesehatan
yang baru akan bekerjasama, BPJS Kesehatan
juga melakukan rekredensialing atau evaluasi
kembali faskes yang bekerjasama akan
pemenuhan persyaratan kerjasama secara rutin sebelum
berakhirnya kontrak kerjasama. Hasil rekredensialing
ini akan dijadikan dasar untuk melanjutkan kerjasama.
Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi faskes
untuk lulus kredensialing atau rekredensialing adalah
Untuk bisa bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
dalam memberikan pelayanan kepada pasien
Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia
Sehat (JKN-KIS), sebuah fasilitas kesehatan (faskes)
harus lulus kredensialing. Tujuan kredensialing
adalah untuk memastikan fasilitas kesehatan
yang bekerjasama memenuhi standar yang telah
ditetapkan. Tentu saja fasilitas kesehatan yang lulus
kredensialing akan dapat menjamin dan memastikan
pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien JKN-KIS
bermutu dan aman.
Semua RS Sudah Harus Terakreditasi
Akreditasi RS Jamin Mutu Pelayanan dan Keselamatan Pasien
SEBELUM 1 JULI 2019
memiliki sertifikat akreditasi. Akreditasi merupakan
bentuk pengakuan pemerintah terhadap manajemen
RS karena telah memenuhi standar yang ditentukan.
Dari hasil rekredensialing selama semester dua tahun
2018 ditemukan sejumlah RS tidak memenuhi syarat
rekredensialing termasuk akreditasi, sehingga BPJS
Kesehatan tidak melanjutkan kontrak kerja sama dengan
fasilitas kesehatan tersebut.
Namun karena berbagai pertimbangan terutama dari
sisi kemanusiaan agar pelayanan kepada pasien tetap
berjalan, maka Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
melalui surat Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/
Menkes/18/2019 tentang Perpanjangan Kerja Sama RS
dengan BPJS Kesehatan tanggal 4 Januari 2019, RS
tersebut diberikan kesempatan sampai 30 Juni 2019
untuk menyelesaikan akreditasi.
“Kami memberi kesempatan kepada RS yang belum
melaksanakan akreditasi untuk melakukan pembenahan
dan perbaikan sesuai dengan ketentuan perundang-
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 7
FOKUS
Menteri Kesehatan RI
Nila Djuwita Farid Moeloek
undangan sampai dengan akhir Juni 2019,” tegas Menteri
Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita Farid Moeloek, dalam
konferensi pers yang digelar di Kantor Kemenkes,
Jakarta, Senin (7/01/2019).
Menkes pun menegaskan, selama proses akreditasi
ini berlangsung hingga Juni 2019, RS yang belum
terakreditasi tetap memberikan pelayanan kepada
pasien JKN-KIS. Agar RS yang belum terakreditasi
tersebut tetap memberikan pelayanan kepada pasien
hingga batas waktu yang diberikan, maka Menkes
mengeluarkan surat rekomendasi perpanjangan kontrak
kerja sama. Surat rekomendasi ini diberikan kepada
RS yang menyatakan komitmennya untuk melakukan
akreditasi sampai dengan 30 Juni 2019 mendatang.
Data BPJS Kesehatan menyebutkan, hingga Desember
2018 dari total 2.217 RS yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan, sebanyak 1.759 yang sudah terakreditasi.
Artinya masih ada 458 RS provider BPJS Kesehatan
yang belum terakreditasi hingga akhir 2018. Jumlah ini
terus bergerak karena sebagian RS kebetulan habis masa
berlaku akreditasinya di bulan Desember 2018.
Menkes mengingatkan RS yang belum terakreditasi
untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan agar
segera menyelesaikan akreditasinya. Proses akreditasi
tersebut diserahkan kepada Komite Akreditasi RS (KARS)
dan dipantau oleh Kemenkes. “Kemenkes tidak sendiri,
Ada BPJS Kesehatan, PERSSI, dan KARS yang akan
membantu. Semoga yang belum akreditasi bisa segera
selesai sebelum waktu yang ditentukan,” kata Menkes.
KARS sendiri menyatakan kesanggupannya untuk
melakukan proses akreditasi dimulai dari survei penilaian
hingga mengeluarkan sertifikat akreditasi. Dengan
kapasitas yang ada, KARS mampu melakukan survei
penilaian terhadap 200 RS dalam sebulan, sehingga
dalam waktu 6 bulan KARS optimis semua RS bisa
terakreditasi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, juga
kembali mengingatkan RS yang belum akreditasi tersebut
untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang diberikan.
Sebelum 1 Juli 2019, seluruh RS yang bekerjasama BPJS
Kesehatan harus memiliki sertifikat akreditasi. Jika tidak,
pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan
benar-benar dilakukan. Pasien yang dilayani RS tersebut
akan dipindahkan ke RS lain. Hal ini tentu tidak diinginkan
bersama, terutama RS yang akan kehilangan pasien.
Fachmi mengatakan, tidak semua RS yang dihentikan
kontrak kerja samanya karena masalah akreditasi.
Sebagian di antaranya karena tidak lolos rekredensialing,
tidak beroperasi lagi, dan melakukan wanprestasi
dalam memberikan pelayanan kepada pasien, misalnya
memberlakukan iur biaya, dan lain-lain. Dari jumlah RS
yang tidak dilanjutkan kontrak kerja samanya oleh BPJS
Kesehatan pada 4 Januari 2019 lalu, dua di antaranya
telah terakreditasi, tetapi tidak memenuhi syarat
rekredensialing yang lain. Pasien yang sempat dilayani di
dua RS tersebut dipindahkan ke RS lain.
Kontrak kerja sama yang tidak dilanjutkan terhadap
RS yang tidak memenuhi syarat rekredensialing tidak
dilakukan secara semena-semena atau sepihak. Dalam
prosesnya, BPJS Kesehatan mempertimbangkan
pendapat dinas kesehatan dan asosiasi faskes di sebuah
daerah. BPJS Kesehatan juga melakukan pemetaan
analisis kebutuhan faskes di sebuah daerah untuk
memastikan bahwa penghentian kontrak kerja sama
itu tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat.
Apabila di sebuah daerah jumlah faskes terbatas, maka
BPJS Kesehatan memberikan toleransi untuk tetap
bekerja sama dengan tetap meminta komitmen fasilitas
kesehatan untuk memenuhi persyaratan yang ada.
Tujuannya untuk memastikan pelayanan terhadap pasien
diberikan sesuai standar mutu dan aman bagi pasien.
Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS
Kesehatan untuk menyeleksi faskes yang ingin
bergabung, antara lain sumber daya manusia (tenaga
medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan
prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan.
Khusus faskes milik swasta wajib memperbaharui
kontraknya setiap tahun. Namun pada dasarnya kontrak
sifatnya sukarela. Hakekat dari kontrak adalah semangat
mutual benefit.
“Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama,
dilakukan rekredensialing untuk memastikan benefit
yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai
kontrak selama ini,” ujar Fachmi.
Fachmi menegaskan, pihaknya memberlakukan syarat
kredensialing secara ketat semata-mata untuk melindungi
pasien JKN-KIS dalam memperoleh pelayanan. Apabila
RS ingin melayani pasien JKN-KIS, maka harus memenuhi
syarat dan standar yang ditetapkan pemerintah maupun
BPJS Kesehatan. Termasuk syarat akreditasi sebagai
bentuk pengakuan pemerintah terhadap manajemen RS
yang telah memenuhi standar sebagaimana diwajibkan
peraturan perundang-undangan.
Jadi, manakala ada pemutusan kontrak kerja sama yang
dilakukan BPJS Kesehatan, itu murni karena adanya
syarat-syarat yang tidak dipenuhi oleh RS. Tidak ada
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 8
kaitannya dengan defisit pembiayaan program JKN-
KIS seperti yang diisukan selama ini. Mismatch antara
penerimaan dari iuran peserta dengan pengeluaran
untuk membayar klaim manfaat yang dinikmati peserta
memang benar terjadi. Tetapi, hingga saat ini pembayaran
klaim layanan tetap dilaksanakan BPJS Kesehatan
sesuai ketentuan yang berlaku. Maksimal 15 hari sejak
dokumen klaim diajukan oleh RS dan memenuhi syarat,
maka BPJS Kesehatan akan membayarnya.
Kalau pun ada yang belum dibayarkan, RS bisa
memanfaatkan skema pembiayaan Supply Chain
Financing (SCF). SCF adalah program yang diinisiasi oleh
BPJS Kesehatan dengan menggandeng sejumlah bank
untuk memberikan pinjaman dana ke RS yang bekerja
sama. Tujuannya agar cash flow RS tetap berjalan lancar.
BPJS Kesehatan sendiri juga dikenai sanksi apabila
menunggak kepada RS berupa denda 1% dari total
tunggakan setiap bulannya.
Tenggat Waktu
Menurut Menkes, ketentuan akreditasi ini bukan sesuatu
yang mendadak. Tenggat waktu yang diberikan untuk
RS melakukan akreditasi sudah cukup, sejak program
JKN-KIS dilaksanakan 1 Januari 2014, dan diperpanjang
hingga 1 Januari 2019. Bahkan Kemenkes telah
mengingatkan RS, kepala daerah dan dinas kesehatan
hingga 12 Desember 2018 untuk segera menyelesaikan
akreditasinya. Namun, sampai batas waktu yang
diberikan ternyata masih ada RS yang sama sekali tidak
terakreditasi atau pun belum memperbarui akreditasinya
yang sudah habis masa berlaku.
Menkes menegaskan, setelah 30 Juni 2019 apabila masih
ada RS yang bekerja sama BPJS Kesehatan belum juga
terakreditasi, Kemenkes akan mengevaluasinya kembali.
Apabila masalahnya hanya urusan administrasi, maka
Kemenkes akan membantu mempercepat prosesnya.
Tetapi, apabila memang disengaja atau tidak ada upaya
sama sekali dari RS yang bersangkutan, maka Kemenkes
akan mengambil tindakan tegas.
“Kami akan liat permasalahannya di mana. Kalau hanya
soal dokumen, kami tunggu. Tetapi kalau agak vital,
misalnya sama sekali tidak ada upaya atau komitmen,
kami akan tegas. Kami akan tanya, masih mau jalan
(operasional-red) atau tidak,” kata Menkes pada acara
pelantikan Pengurus Pusat Persatuan RS Seluruh
Indonesia (PERSI) periode 2018-2021.
Ada beberapa RS yang belum terakreditasi beralasan
mahalnya biaya untuk memenuhi standar akreditasi.
Menurut Menkes, mendirikan RS tidak seperti
membangun rumah makan. Mestinya pemilik dan
manajemen RS sudah mengetahui dan memahami
adanya prosedural yang harus dipatuhi, termasuk standar
akreditasi.
Menurut Menkes, akreditasi ini sangat tergantung pada
komitmen pemilik dan direktur RS. Tanpa komitmen,
maka sebuah RS akan sulit untuk mendapat akreditasi.
Sebab, banyak hal yang harus dipenuhi. Nyatanya,
sebagian besar atau kira-kira 65% dari RS yang belum
terakreditasi tersebut dikarenakan masalah administrasi.
Hanya sedikit yang mengeluhkan biaya mahal dalam
proses akreditasi dan biaya untuk melengkapi sarana
prasarana. Oleh karena itu, Menkes meminta PERSI
untuk mendorong komitmen RS yang menjadi
anggotanya agar segera memenuhi syarat akreditasi dari
pemerintah.
Selain komitmen pemilik dan direktur RS, luasnya wilayah
Indonesia dan sulitnya kondisi geografis di sebagian
daerah juga menjadi kendala bagi sebagian RS untuk
memenuhi standar akreditasi. Untuk RS di kabupaten
daerah terpencil atau perbatasan tidak bisa diberlakukan
standar akreditasi penuh yang sama dengan RS di Pulau
F O K U S
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 9
Jawa atau daerah lain yang aksesnya mudah. Untuk RS
di daerah-derah terpencil, seperti di Asmat Papua dan
daerah pelosok lainnya perlu diberikan keringanan, yaitu
hanya memenuhi standar akreditasi dasar.
“KARS nantinya tidak memakai syarat akreditasi penuh.
Cukup hanya 4 syarat dasar saja, kalau itu dipenuhi, kami
anggap kualitasnya sudah cukup untuk melayani,” kata
Menkes.
Akreditasi mencakup hal-hal detil dalam pelayanan.
Misalnya, ruangan intensive care unit (ICU) harus
dilengkapi air conditioning (AC) dan steril untuk mencegah
penularan infeksi. Untuk pengendalian penularan infeksi,
RS juga wajib menyediakan fasilitas cuci tangan di setiap
sudut ruangan. Setiap tenaga RS, perawat, dokter hingga
pengunjung wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah
menyentuh pasien.
Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemkes, Bambang Wibowo,
menambahkan, sejauh ini belum ada pengaturan sanksi
bagi RS yang tidak melakukan akreditasi. Namun, RS
tetap terancam tidak boleh melayani pasien JKN-KIS
apabila tidak terakreditasi. Sanksi ini mestinya jadi
pertimbangan pihak RS, mengingat seluruh penduduk
Indonesia akan menjadi peserta JKN-KIS. RS tentu tidak
ingin kehilangan pasien hanya karena tidak memenuhi
prosedur.
Selain itu, RS juga mestinya menyadari bahwa akreditasi
bukan hanya demi keselamatan pasien, tetapi untuk
dokter, tenaga kesehatan lain dan RS itu sendiri. Bagi
pasien, tentu saja mendapatkan pelayanan yang bermutu
dan aman. Bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya
dapat memberikan pelayanan sesuai hak-hak pasien
tanpa harus takut membuat kesalahan atau pelanggaran
yang bisa berakhir pada proses hukum. Demikian
pula RS-nya, dengan pelayanan terstandar dan sesuai
ketentuan, maka potensi untuk terjadi kesalahan dalam
pelayanan bisa diminimalisir.
Ketua PERSI periode 2018-2021, Kuntjoro Adi Purjanto,
mengungkapkan, bersama PERSSI daerah pihaknya
sedang mendiagnosa hambatan yang dihadapi RS
yang belum terakreditasi di semua wilayah. Sejauh ini,
persoalan yang dihadapi RS bukan pada biaya akreditasi,
melainkan lebih kepada persiapan operasional dan
melengkapi sarana RS. Dengan hebohnya isu akreditasi
di bulan Januari 2019 lalu, menjadi momentum bagi RS
untuk mengoreksi diri.
Akreditasi Wajib
Akreditasi merupakan bentuk perlindungan pemerintah
terhadap masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan aman sebagaimana amanat
UUD 1945 Pasal 28H ayat 1. Wajib akreditasi diamanatkan
UU 44/2009 tentang RS. Kemudian diatur lebih lanjut
dalam Permenkes 56/2014 tentang Klasifikasi dan
Perijinan RS, Permenkes 34/2017 tentang Akreditasi RS,
dan Permenkes 71/2013 tentang Pelayanan Kesehatan
pada JKN. Permenkes 71 diubah menjadi Permenkes
99/2015. Aturan ini diperkuat lagi dalam Perpres 82 tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan. Di pasal 67 Perpres
82 tersebut menyebutkan untuk faskes yang memenuhi
persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS
Kesehatan, dan ketentuan persyaratan diatur dalam
peraturan menteri.
Menteri Kesehatan mengatakan, untuk menjamin mutu
pelayanan yang baik dan keselamatan pasien harus
dibuktikan melalui akreditasi. Mutu pelayanan RS adalah
dimensi yang sangat strategis untuk mencapai Universal
Health Coverage (UHC) dan Sustainable Development
Goals (SDGs), yakni kehidupan sehat dan sejahtera.
“Berbagai bukti pelayanan kesehatan bemutu rendah
akan berbahaya bagi pasien serta membuang uang
dan waktu. Ini (mutu) yang harus dijaga betul, mutu
pelayanan, kita tidak boleh memberikan mutu yang
buruk,” kata Menteri Kesehatan saat meresmikan
penyerahan sertifikat akreditasi ISQUA yang kedua untuk
organisasi KARS dan sertifikat akreditasi ISQUA yang
pertama untuk Standar Nasional Akreditasi RS (SNARS)
Edisi 1, di Jakarta, baru-baru ini.
Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), seluruh
RS dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan,
sehingga mampu bersaing dengan faskes PMA di
Indonesia maupun di luar negeri. Akreditasi RS sangat
penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap kualitas layanan RS di Indonesia. Dengan
kualitas yang kompetitif dengan negara maju, diharapkan
orang kaya Indonesia tidak perlu berobat ke negara lain,
seperti Singapura, Malaysia, dan Australia. Devisa negara
ikut keluar ke negeri orang. Padahal apa yang dibutuhkan
dari pelayanan kesehatan di luar negeri itu sebetulnya
ada juga di Indonesia. Kemampuan dokter dan dokter
spesialis di dalam negeri tidak kalah handalnya. Tetapi,
kualitas pelayanan itu perlu dibuktikan sehingga
meningkatkan kepercayaan masyarakat. Salah satu
buktinya adalah dengan terakreditasi.
FOKUS
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 10
B I N C A N G
Tergantung KomitmenAKREDITASI RS Ketua Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Dr. dr. Sutoto
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 11
BINCANG
Akreditasi rumah sakit
(RS) merupakan sebuah
proses penilaian dan
penetapan kelayakan RS
berdasarkan standar pelayanan
yang telah ditetapkan oleh
lembaga independen, yaitu Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Awalnya standar akreditasi RS
mulai ditetapkan 1995. Seiring
pekembangan dunia kesehatan,
standar akreditasi RS diperbarui
menjadi standar akreditasi versi
2012 yang disusun dan ditetapkan
pada tahun 2012.
Dengan melihat pola tuntutan
pelayanan RS yang semakin
meningkat dan potensi
pengembangan standar akreditasi
yang diberlakukan untuk nasional,
maka pada akhir 2017 KARS
menetapkan kebijakan baru
mengenai Standar Akreditasi
Rumah Sakit (SNARS) edisi 1. RS
yang bekerja sama BPJS Kesehatan
wajib terakreditasi, sebagai salah
satu persyaratan wajib dalam
kredensialing. Apa saja persiapan
RS untuk dapat akreditasi? Berikut
kutipan wawancara Media Info BPJS
Kesehatan dengan Ketua KARS, Dr.
dr. Sutoto, di Jakarta, baru-baru ini.
Sebelum bicara soal bagaimana
RS harus terakreditasi, bisakah
Bapak gambarkan sedikit soal
KARS ?
KARS mendapatkan sertifikasi
internasional SNARS dari ISQUA
atau International Society for Quality
in Health Care, yaitu lembaga
akreditasi dunia yang melakukan
akreditasi untuk lembaga akreditasi
di seluruh dunia. KARS telah
mendapatkan tiga sertifikat ISQUA
dari segi kelembagaan, surveyor,
dan standar akreditasi. Artinya
KARS sebagai badan akreditasi
telah mendapat pengakuan sebagai
lembaga akreditasi internasional.
Karena itu, dalam melakukan
akreditasi RS telah memiliki kualitas
akreditasi yang sama dengan
lembaga akreditasi terkenal dunia
lainnya.
Artinya lagi RS yang terakreditas
KARS di dalam negeri tidak kalah
bersaing dengan RS di negara lain.
Karena rakyat Indonesia memang
berhak dapat pelayanan berkualitas.
WHO bilang pelayanan yang tidak
berkualitas adalah omong kosong.
Karena tanpa akreditasi, pelayanan
yang diberikan bukan mengobati,
malah membahayakan pasien. Kami
punya surveyor 700 orang, dan sekali
turun 3 orang dalam satu kali survei.
Jadi dari kapasitasnya setiap bulan
kami bisa lakukan survei penilaian
terhadap 200 RS.
Apa saja standar yang harus
dipenuhi RS ?
Ada 335 standar yang harus
dipenuhi dengan 1.345 elemen
penilaian. Empat standar paling
penting, di antaranya keselamatan
pasien, kualifikasi dan pendidilan
staf, hak pasien dan keluarga, serta
pencegahan dan pengendalian
infeksi. Karena RS juga termasuk
sumber kuman, maka pencegahan
infeksi wajib diberlakukan. Jangan
sampai pasien atau pengunjung
di RS pulang ke rumah dengan
membawa infeksi. Atau sebaliknya
pengunjung justru membawa infeksi
bagi pasien.
Karena itu standarnya adalah setiap
pengunjung atau pun tenaga medis
RS wajib mencuci tangan sebelum
dan sesudah memegang pasien.
Standar lainnya adalah manajemen
fasilitas dan keselamatan. Misalnya,
semua staf RS harus dilatih berulang
ulang bagaimana evakuasi pasien
ketika dalam kondisi darurat, seperti
kebakaran, gempa, dan lain-lain.
Kemudian standar kompetensi dan
kewenangan tenaga medis termasuk
perawat dan staf. Harus dipastikan
pasien memang ditanggani oleh
tenaga yang berkompeten di
bidangnya. RS juga wajib memiliki
instalasi pengolah air limbah (impal)
dan sertifikatnya. Ini sangat penting
untuk memastikan limbah RS tidak
membahayakan masyarakat.
Apa yang harus dipersiapkan RS
untuk mendapat akreditasi ?
Nomor satu, RS harus punya ijin
operasional. Kedua, punya impal
dengan ijinnya. Ketiga, direkturnya
mesti seorang staf medis sesuai
ketentuan undang-undang, yaitu
dokter atau dokter gigi. Berikutnya,
RS sudah harus mempelajari SNARS,
kemudian dibuatkan regulasinya
dan langsung diimplementasikan.
Tetapi, persiapan itu menjadi cepat
atau lama tergantung dari kecepatan
belajar dari RS. Kalau ngebut,
maka tiga bulan sudah bisa terima
sertifikat akreditasi. Tergantung
juga komitmen. Kalau yang tidak
komitmen sampai tiga tahun pun
tidak berbuat apa-apa.
Setelah semuanya dipersiapkan, RS
mengajukan permintaan ke KARS.
Dalam hal ini KARS bersifat pasif,
artinya menunggu permintaan RS.
Kami tidak bisa memaksa RS untuk
akreditasi. Untuk memudahkan
RS memenuhi standar, kami
kembangkan pendaftaran berbasis
teknologi. Misalnya, sismadak
(sistem manajemen dokumentasi
areditasi) dan sirsak (sistem
informasi RS). RS bisa kirim
permintaan akreditasi ke email.
Lalu, kami merespon dengan
mengirimkan tim surveyor ke RS
bersangkutan untuk melakukan
survei penilaian. Setelah semua
prosedur lengkap, paling cepat satu
bulan kemudian sertifikat akreditasi
sudah bisa keluar.
Tetapi, setelah dapat sertifikat
akreditasi bukan berarti selesai di situ.
RS harus tetap mempertahankan
standarnya. Karena setiap tahun
KARS lakukan survei verifikasi
untuk melihat apakah standar
tersebut dipertahankan atau tidak.
Ada penandatanganan komitmen
perjanjian jika ada pelanggaran akan
dinvestigasi oleh KARS.
Masih banyak RS tidak
terakreditasi, apa kendalanya ?
Akreditasi sangat tergantung
komitmen direktur dan pemiliknya.
Kalau tidak ada komitmen maka sulit.
Misalnya, dia sudah tau peraturannya,
kalau limbah RS itu harus diolah agar
tidak membahayakan masyarakat,
tetapi alasannya butuh biaya
mahal. Harusnya dia tau, bikin RS
tidak sama dengan bikin restoran.
Seharusnya tahu prosedur dan
standar yang memang harus
dilengkapi. Terakreditasi tidak hanya
menguntungkan pasien, tetapi
tenaga medis dan RS itu sendiri.
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 12
B E N E F I T
12
Pada dasarnya peserta Jaminan Kesehatan
Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS)
berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan
perorangan, mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan
obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat
Jaminan Kesehatan ini terdiri atas manfaat medis dan
nonmedis.
Manfaat medis diberikan sesuai dengan indikasi
medis dan standar pelayanan serta tidak dibedakan
berdasarkan besaran iuran peserta. Manfaat nonmedis
diberikan berdasarkan besaran iuran peserta misalnya
ruang perawatan rawat inap kelas 1, 2, dan 3.
Peserta JKN-KIS dapat meningkatkan perawatan yang
lebih tinggi dari haknya, seperti menggunakan rawat
jalan eksekutif atau melakukan kenaikan kelas ruang
perawatan inap di rumah sakit (RS). Caranya dengan
mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar
selisih antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan
biaya akibat peningkatan pelayanan. Selisih biaya akibat
peningkatan pelayanan ini dapat dibayar langsung oleh
peserta yang bersangkutan; pemberi kerja; atau asuransi
kesehatan tambahan.
Tapi peningkatan perawatan ini tidak berlaku untuk
peserta penerima bantuan iuran (PBI) JKN-KIS, peserta
yang didaftarkan pemerintah daerah (Pemda) dan
peserta pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK) termasuk anggota
keluarganya.
Pengaturan mengenai peningkatan perawatan tersebut
diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No.51 Tahun 2018 tentang Pengenaan
Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan
Kesehatan. Regulasi ini sebagai acuan dalam pengenaan
urun biaya dan selisih biaya sebagai bagian upaya kendali
mutu dan kendali biaya serta pencegahan penyalahgunaan
pelayanan di fasilitas kesehatan (faskes). Sekaligus untuk
Selisih Biaya Program JKN-KIS
BEGINI ATURAN BARU
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 13
BENEFIT
13
meningkatkan kualitas dan kesinambungan program
jaminan kesehatan.
Beleid ini mengatur bahwa peningkatan kelas perawatan
hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas
yang menjadi hak peserta. Misalnya, peserta dengan hak
perawatan kelas 3, hanya boleh untuk naik satu tingkat
yakni ke ruang perawatan kelas 2.
Untuk rawat jalan eksekutif, pelayanan ini merupakan
pelayanan kesehatan rawat jalan nonreguler di RS
melalui pelayanan dokter spesialis-subspesialis dalam
satu fasilitas ruangan terpadu secara khusus tanpa
menginap di rumah sakit dengan sarana dan prasarana
di atas standar. Pelayanan rawat jalan eksekutif ini hanya
diberikan oleh poliklinik eksekutif terstandardisasi di RS
yang telah terakreditasi.Pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai prosedur termasuk peningkatan kelas perawatan
lebih dari satu tingkat tidak dijamin dalam program JKN-
KIS.
Besaran Selisih Biaya
Dalam rangka memberikan kepastian dan melindungi
hak pasien, besaran pembayaran selisih biaya ini juga
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.51 Tahun 2018. Pertama, untuk peningkatan kelas
pelayanan rawat inap dari kelas 3 ke kelas 2, dan dari
kelas 2 ke kelas 1, harus membayar selisih biaya antara
tarif INA-CBG pada kelas rawat inap lebih tinggi yang
dipilih dengan tarif INA-CBG pada kelas rawat inap yang
sesuai dengan hak Peserta.
Kedua, untuk peningkatan kelas pelayanan rawat inap
di atas kelas 1, harus membayar selisih biaya paling
banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
tarif INA-CBG kelas 1. Sedangkan untuk peserta JKN-KIS
yang memilih pelayanan di poliklinik rawat jalan eksekutif
membayar biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif
paling banyak sebesar Rp400 ribu untuk setiap episode
rawat jalan.
Kewajiban Faskes
Permenkes No.51 Tahun 2018 mewajibkan faskes untuk
menginformasikan ketentuan mengenai selisih biaya
kepada peserta atau keluarga peserta sebelum menerima
pelayanan kesehatan. Informasi yang disampaikan itu
dilakukan secara langsung pada saat pendaftaran dan
bisa juga secara tidak langsung melalui media informasi
di faskes.
Informasi yang disampaikan tersebut paling sedikit
menjelaskan mengenai biaya pelayanan yang ditanggung
BPJS Kesehatan dan besaran selisih biaya yang harus
ditanggung peserta. Peserta atau keluarga peserta yang
telah mendapatkan dan memahami informasi ini harus
memberikan persetujuan kesediaan membayar selisih
biaya sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan.
Selisih biaya dibayarkan oleh peserta kepada faskes
setelah mendapatkan pelayanan kesehatan.
Standar Poliklinik Eksekutif
Bagi peserta yang ingin mendapatkan pelayanan
rawat jalan eksekutif, perlu diketahui bahwa BPJS
Kesehatan hanya menjamin pelayanan di poliklinik
eksekutif yang sesuai standar sebagaimana diatur dalam
Permenkes No.11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di RS. Regulasi ini
mengatur pelayanan rawat jalan eksekutif di RS hanya
diselenggarakan pada RS kelas A, B, dan C milik
pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. RS ini harus
terakreditasi.
Poliklinik eksekutif harus memenuhi persyaratan
meliputi ketenagaan, pengorganisasian, dan bangunan,
sarana, dan prasarana. Misalnya, dokter spesialis-
subspesialis hanya melakukan pelayanan di rawat jalan
eksekutif sesuai jadwal yang ditentukan dan tepat waktu.
Bangunan, sarana, dan prasarana harus terletak dalam
satu zona area pelayanan tersendiri dan terpisah dari
rawat jalan reguler.
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 14
P E L A N G G A N
14
Pesatnya perkembangan teknologi informasi
menandai bergulirnya revolusi industri 4.0.
Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan
masyarakat saat ini menggunakan jaringan
internet dan gawai. Sebagai upaya menghadapi kekinian,
BPJS Kesehatan telah menggulirkan sejumlah kebijakan
seperti aplikasi Mobile JKN, rujukan daring (online),
pembayaran iuran melalui berbagai kanal termasuk
autodebet, dan memperbarui aplikasi Elektronik Data
Badan Usaha (E-DABU).
Berbagai kebijakan yang diterbitkan BPJS Kesehatan
untuk menghadapi perkembangan ‘zaman now’ itu
dilakukan antara lain untuk mendekatkan pelayanan
kepada peserta JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Terkait
pelayanan bagi Badan Usaha (BU), BPJS Kesehatan telah
menyediakan loket khusus di setiap kantor cabang atau
disebut juga sebagai loket korporasi.
Loket pelayanan korporasi ini membantu BU untuk
melakukan pendaftaran atau memperbarui data
kepesertaan. Seiring meningkatnya jumlah badan usaha
yang menggunakan aplikasi E-DABU, loket korporasi
dihapus menjadi Layanan Mandiri BU.
Melalui aplikasi E-DABU, badan usaha tidak perlu repot
meluangkan waktu untuk bertandang ke kantor BPJS
Kesehatan. Badan usaha bisa mengerjakan sendiri
proses pendaftaran dan memperbarui data kepesertaan
untuk karyawannya melalui aplikasi E-DABU.
Aplikasi E-DABU bisa diakses dimana saja, yang
dibutuhkan adalah perangkat komputer yang terhubung
dengan jaringan komunikasi dan data (internet). Setelah
perangkat itu terpenuhi, badan usaha hanya perlu
membuka laman E-DABU (https://new-edabu.bpjs-
kesehatan.go.id/new).
Sampai saat ini tren pemanfaatan aplikasi E-DABU terus
meningkat dan jumlah kunjungan ke loket korporasi
mengalami penurunan. Layanan Mandiri BU sudah
bergulir sejak 1 Januari 2019.
BPJS Kesehatan Luncurkan Layanan Mandiri Badan Usaha
Hadapi Revolusi Industri 4.0,
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 15
PELANGGAN
15
Layanan Mandiri BU bisa dimanfaatkan dengan cara
menyambangi kantor cabang BPJS Kesehatan terdekat.
Selanjutnya badan usaha dapat menggunakan perangkat
yang telah disediakan untuk mengakses E-DABU secara
mandiri. Jika BU mengalami kesulitan dan membutuhkan
bantuan, petugas BPJS Kesehatan yang ada di kantor
cabang tersebut akan membantu.
Layanan Mandiri BU ini ditujukan untuk BU yang
menghadapi kendala dalam mengakses E-DABU.
Kendala ini biasanya disebabkan oleh keterbatasan akses
jaringan, komunikasi dan data (internet). Bagi badan
usaha yang tidak mengalami kendala ini, bisa langsung
mengakses E-DABU dimana saja.
Guna mendorong agar pelaksanaan kebijakan ini bisa
berjalan lancar, setiap kantor cabang BPJS Kesehatan
secara rutin melakukan sosialisasi dan edukasi kepada
seluruh peserta termasuk badan usaha. Selaras itu
aplikasi E-DABU terus disempurnakan dan fiturnya
disesuaikan dengan kebutuhan badan usaha.
Dengan bergulirnya Layanan Mandiri BU ini diharapkan
badan usaha bisa memanfaatkan waktu lebih efisien
karena tidak perlu mendatangi kantor BPJS Kesehatan.
Kebutuhan badan usaha untuk mendaftar dan
memperbarui data kepesertaan bisa dilakukan lewat
aplikasi E-DABU.
Sekilas E-DABU
Aplikasi E-DABU merupakan salah satu alat untuk
membantu mempercepat pendaftaran peserta badan
usaha atau korporasi. Aplikasi ini terus dilakukan
penyempurnaan, mengacu proses bisnis dan
mengakomodir kebutuhan penggunanya baik kantor
cabang BPJS Kesehatan maupun badan usaha.
Aplikasi E-DABU dapat diakses dengan menggunakan
internet publik. Melalui aplikasi ini badan usaha bisa
melakukan pendaftaran peserta baru dan mutasi peserta
di tempat sendiri tanpa perlu mendatangi kantor BPJS
Kesehatan. Komunikasi data antara badan usaha dengan
BPJS Kesehatan dilakukan by system. Mengakomodir
unggah data bagi badan usaha yang sudah memiliki
data excel. Menyesuaikan format 34 kolom. Inquery
NIK dan Kartu Keluarga ke Dukcapil untuk mempercepat
pengisian form.
Untuk keamanan data, database peserta dikelola dan
disimpan di data center BPJS Kesehatan sehingga
keamanan data peserta terjamin. Keamanan jaringan
menggunakan protokol HTTPS (Hypertext Transfer
Protocol Secure). Login untuk badan usaha dibuat dua
level yaitu level admin, dapat mengakses semua fitur dan
level user hanya dapat mengakses data dasar karyawan
(tidak termasuk gaji, tagihan, manajemen user). Setiap
proses perubahan data akan menyimpan identitas
pengguna.
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 16
T E S T I M O N I
Sebagai mitra kerja BPJS Kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada
peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional
- Kartu Indonesia sehat (JKN-KIS), rumah sakit
dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
tanpa diskriminasi. Tidak boleh ada perlakuan yang
berbeda antara pasien JKN-KIS dengan pasien umum
yang membayar biaya sendiri.
Untuk menjamin hal tersebut, BPJS Kesehatan sejak
awal telah melakukan proses kredensialing dan
rekredensialing, di mana salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi rumah sakit adalah sertifikat akreditasi,
serta memenuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.
Salah satu peserta JKN-KIS dari segmen Pekerja Penerima
Upah (PPU) asal Depok, Hikmawati mengatakan, dengan
menjadi peserta JKN-KIS, tentunya yang diharapkan
bukan hanya kemudahan mengakses pelayanan
kesehatan, tetapi juga mendapatkan pelayanan yang
bermutu. Hal ini juga sejalan dengan tujuan akreditasi
yang merupakan bentuk perlindungan Pemerintah dalam
memenuhi hak setiap warga negara agar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu oleh
fasilitas pelayanan kesehatan.
Dari pengalamannya mengakses pelayanan kesehatan
di rumah sakit yang menjadi provider BPJS Kesehatan,
Hikmawati mempunyai kesan yang positif. Sebagai
peserta JKN-KIS, ia tidak merasakan adanya perlakuan
yang berbeda dengan pasien umum ketika akhir tahun
lalu menjalani operasi ceasar di Rumah Sakit Tumbuh
Kembang, Depok. Begitu pun ketika anaknya yang baru
dilahirkan mengalami masalah kesehatan dan harus
dirawat intensif di ruang Perina.
Hikmawati bercerita, di hari ke-7 setelah dilahirkan
melalui proses ceasar, kadar billirubin di dalam darah
anaknya tinggi. Atas saran dokter di Rumah Sakit Tumbuh
Kembang, tindakan yang harus dilakukan adalah terapi
sinar.
Mendengar hal itu, perasaan Hikmawati campur aduk.
Baru saja merasakan kebersamaan dengan putranya yang
diberi nama Hamka, ia harus dipisahkan dengan anaknya.
Untuk sementara waktu, Hamka harus dititipkan di
rumah sakit untuk menjalani terapi sinar selama 48 jam.
Namun, melihat sikap empati dan keramahan yang
ditunjukkan para perawat di ruang Perina, rasa was-was
yang sempat menghantuinya sedikit berkurang. Ia tidak
khawatir lagi harus meninggalkan anaknya di rumah sakit
untuk menjalani terapi sinar sampai kondisi kesehatannya
kembali normal.
"Dokter di Rumah Sakit Tumbuh Kembang cukup cepat
menangani Hamka, dan juga memberikan informasi
yang jelas terkait kondisi penyakitnya. Perawat yang
KERAMAHAN DOKTER DAN PERAWAT Jadi Penyemangat Pasien
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 17
TESTIMONI
Peserta JKN-KIS
Hikmawati
menangani Hamka di ruang Perina juga ramah-ramah
dan cepat dalam melayani kebutuhan pasien. Ini yang
membuat saya lebih tenang ketika harus meninggalkan
anak saya di Ruang Perina untuk diterapi," ungkap
Hikmawati.
Fasilitas di ruang Perina Rumah Sakit Tumbuh Kembang
menurutnya juga cukup baik. Lantaran harus dalam
kondisi steril, hanya satu pengunjung saja yang
diperbolehkan melihat bayi saat jam besuk. Ia pun juga
tidak boleh sembarangan keluar masuk ruang tersebut,
sehingga untuk kebutuhan nutrisi bayinya diberikan
melalui ASI perah tiap dua jam sekali.
Oleh para perawat di rumah sakit, Hikmawati juga terus
dikuatkan agar tidak larut dalam kesedihan yang bisa
memengaruhi produksi ASI. Ia juga diedukasi perihal
cara menyusui dengan posisi yang benar, ciri-ciri kadar
billirubin tinggi, hingga perawatan yang harus dilakukan
setelah bayinya keluar dari ruang Perina. Bagi Hikmawati,
sikap empati ini sangatlah berarti.
"Sebagai peserta JKN-KIS, yang saya harapkan dari
pelayanan di rumah sakit bukan hanya fasilitasnya atau
tidak adanya biaya yang harus dikeluarkan. Keramahan
dokter dan perawatnya buat saya juga sangat penting ,"
kata Hikmawati.
Kesan positif juga disampaikan Tety Polmasari ketika
menjalani pengobatan kanker payudara di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSMC) Jakarta. Sebagai
rumah sakit rujukan nasional, tadinya Tety berfikir tidak
akan mendapatkan pelayanan yang maksimal lantaran
banyaknya pasien yang harus ditangani. Tetapi setelah
menjalani masa pengobatan sekitar satu tahun terakhir,
kekhawatiran itu tidak terbukti.
"Selama ini pelayanan di RSCM baik-baik saja. Dokter
dan perawatnya juga ramah-ramah, tidak seperti yang
banyak beredar di media sosial kalau pasien JKN itu akan
dipersulit. Kalau seluruh persyaratannya terpenuhi seperti
membawa surat rujukan, kartu JKN-KIS dan identitas diri,
prosesnya tidak akan menyulitkan," kata Tety.
Di RSCM, beberapa pengobatan yang telah dijalani Tety
mulai dari bedah tumor, radioterapi, serta pelayanan di
Poli THT, Jantung, dan Paru. Dokter di RSCM menurutnya
juga sangat informatif menjelaskan kondisi penyakitnya
dan efek samping yang akan dihadapi selama menjalani
pengobatan, sehingga ketika menghadapi kondisi
tersebut tidak lagi kebingungan. Apabila ada hal
yang ingin ditanyakan di luar waktu kontrol, Tety juga
bisa berkonsultasi langsung dengan dokter melalui
WhatsApp.
"Di RSCM, pengobatan yang saya jalani juga lengkap.
Tidak hanya untuk kanker payudara saja, tetapi juga
untuk keluhan-keluhan lain sebagai efek samping dari
pengobatan kanker. Prosedurnya juga tidak ribet. Dokter
tinggal memberikan surat pengajuan konsultasi untuk
diberikan kepada dokter spesialis terkait. Jadi tidak harus
bolak-balik ke faskes awal untuk minta rujukan," cerita
Tety.
Antrean di RSCM menurutnya juga sudah jauh lebih
singkat dibandingkan saat Program JKN-KIS baru mulai
diimplementasikan. Lantaran petugas yang disiagakan
untuk melayani pasien JKN-KIS cukup banyak, waktu
untuk mengantre masih dalam batas wajar.
"Terkadang antreannya memang lama. Tetapi saya
memaklumi karena ini kan rumah sakit rujukan nasional,
yang butuh pengobatan banyak," imbuhnya.
Tety juga merasa sangat bersyukur karena sudah
terdaftar sebagai peserta Mandiri Program JKN-KIS jauh
hari sebelum didiagnosa menderita kanker payudara.
Lantaran sudah ada yang menjamin, ia kini bisa fokus
menjalani pengobatan tanpa harus dipusingkan dengan
biaya yang besar.
Peserta JKN-KIS
Tety Polmasari
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 18
I N S P I R A S I
Pemberitaan awal tahun 2019 ramai menyoroti
sejumlah RS yang tidak diperpanjang
kerjasamanya oleh BPJS Kesehatan.
Persoalannya karena RS itu tidak memenuhi
sejumlah persyaratan salah satunya sertifikasi akreditasi.
Pasal 67 Peraturan Presiden No.82 Tahun 2018 tentang
Jaminan Kesehatan mengamanatkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk JKN meliputi semua fasilitas
kesehatan (faskes) yang menjalin kerjasama dengan
BPJS Kesehatan.
Perpres No.82 Tahun 2018 juga memerintahkan faskes
milik pemerintah yang memenuhi persyaratan wajib
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sementara faskes
swasta yang memenuhi persyaratan dapat bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan.
Lebih lanjut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.99 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Permenkes
No.71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengatur sejumlah
syarat yang harus dipenuhi faskes yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, antara lain sertifikat akreditasi.
Permenkes No.71 Tahun 2013 sebagaimana telah
diperbarui menjadi Permenkes No.99 Tahun 2015
menetapkan 7 syarat yang perlu dipenuhi RS yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pertama, Surat
Izin Operasional. Kedua, Surat Penetapan Kelas RS.
Ketiga, Surat Izin Praktik (SIP) Tenaga Kesehatan yang
berpraktik. Keempat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Badan. Kelima, perjanjian kerjasama dengan jejaring, jika
diperlukan. Keenam, sertifikasi akreditasi. Ketujuh, surat
pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait
dengan JKN.
Perlu komitmen yang kuat bagi faskes agar mampu
memenuhi berbagai persyaratan itu. Salah satu RS yang
berkomitmen untuk mencapai akreditasi paripurna yakni
RSUD A.M Parikesit di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. RS yang awalnya merupakan balai
pengobatan kerajaan Kutai Kartanegara ini telah
terakreditasi paripurna Desember 2016 dan sudah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk melayani
peserta JKN-KIS sejak 2014.
Direktur RSUD A.M Parikesit, Martina Yulianti,
mengatakan proses akreditasi yang telah dilalui
membutuhkan waktu yang panjang. Sebagai pimpinan, hal
utama yang dilakukan Martina agar RS yang dipimpinnya
berhasil meraih akreditasi yakni menyamakan persepsi
dan komitmen seluruh pegawai RS.
Seluruh entitas RSUD A.M Parikesit menurut Martina
harus bersama-sama memperjuangkan arah baru
budaya akreditasi. Baginya akreditasi mendorong RS
untuk mengutamakan mutu dan keselamatan pasien.
“Menyamakan persepsi dan komitmen untuk seluruh
pegawai di RSUD A.M Parikesit bahwa semua akan
memperjuangkan budaya baru RS yaitu budaya akreditasi
(mutu dan patient safety),” urainya.
Untuk mewujudkan harapan itu Martina mengisahkan
RSUD A.M Parikesit dibantu Komisi Akreditasi RS (KARS)
melalui bimbingan yang intensif. Kemudian menata
kebijakan, membangun prosedur yang sesuai standar
akreditasi. Melakukan sosialisasi kebijakan dan prosedur,
serta mendorong dan memantau implementasi standar
akreditasi pada setiap kegiatan di RS.
“Berbagai pekerjaan ini kami lakukan setiap hari dengan
harapan agar akreditasi menjadi budaya, bukan sekedar
mengejar sertifikat akreditasi,” papar Direktur pada RS
yang menyandang kelas RS tipe B itu.
Martina menuturkan untuk mendapat akreditasi ini bukan
hal yang mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Tantangan
lain yang dihadapi yakni bagaimana melakukan
pendekatan untuk mengajak rekan sejawatnya di RSUD
A.M Parikesit untuk bekerja sesuai tuntutan akreditasi
yakni mengutamakan mutu dan keselamatan pasien.
Menurutnya tidak mudah untuk menggugah orang lain
yang selama ini terbiasa di zona nyaman untuk bergerak
menuju perubahan.
Sebelum mengantongi sertifikat akreditasi Martina
mengatakan pegawai RSUD A.M Parikesit bekerja seolah
tanpa arah yang jelas. Tidak ada keseragaman prosedur
karena masing-masing mempraktikan pengalamannya
sebagaimana diajarkan almamaternya. Martina
bersyukur karena setelah akreditasi semua pekerjaan
ada panduannya. Seluruh pegawai semakin peduli pada
mutu dan keselamatan pasien.
Martina berpesan kepada seluruh RS yang belum
terakreditasi untuk terus berusaha dan jangan patah
semangat. Akreditasi merupakan kewajiban sebagaimana
diperintahkan berbagai peraturan perundang-undangan.
Tapi perlu diingat, jangan sampai yang dikejar hanya
sertifikat akreditasi saja. Paling penting bagi RS yakni
melaksanakan tujuan akreditasi yakni menuju perubahan
budaya yakni implementasi pada setiap kegiatan di RS.
Direktur RSUD A.M Parikesit:
Akreditasi Mendorong RS Utamakan Mutu dan Keselamatan Pasien
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 19
P E R S E P S I
Untuk dapat melayani peserta Program Jaminan
Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat
(JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan, sertifikat akreditasi menjadi syarat
wajib yang harus dipenuhi oleh setiap rumah sakit.
Akreditasi sendiri merupakan bentuk perlindungan
pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara
agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan
bermutu oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini
dilaksanakan menggunakan standar akreditasi berupa
instrumen yang mengintegrasikan kegiatan tata kelola
manajemen dan tata kelola klinis, guna meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit dengan memperhatikan
keselamatan pasien, serta meningkatkan profesionalisme
rumah sakit Indonesia di mata internasional.
Kewajiban rumah sakit untuk melaksanakan akreditasi
diatur dalam beberapa regulasi, yaitu: Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit; Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi
Rumah Sakit; dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada
Jaminan Kesehatan Nasional.
Namun, akreditasi ini bukan satu-satunya syarat yang
harus dipenuhi oleh rumah sakit untuk bisa melayani
peserta JKN-KIS. Agar peserta JKN-KIS memperoleh
pelayanan kesehatan yang berkualitas, profesional, dan
memuaskan, BPJS Kesehatan juga menerapkan seleksi
ketat melalui proses kredensialing dan rekredensialing
dengan melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS
Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang
ingin bergabung antara lain sumber daya manusia
(tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan
prasarana, lingkup pelayanan, serta komitmen pelayanan.
Selain sertifikat akreditasi yang menjadi syarat wajib,
persyaratan lainnya yang juga harus dipenuhi oleh rumah
sakit yang ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
antara lain Surat Ijin Operasional, Surat Penetapan Kelas
Rumah Sakit, Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan
yang berpraktek, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Badan, perjanjian kerja sama dengan jejaring (jika
diperlukan), serta surat pernyataan kesediaan mematuhi
ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan
Nasional.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, seluruh
Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan diwajibkan memberikan informasi mengenai
hak dan kewajiban pasien, termasuk mengenai pelayanan
JKN.
Rumah sakit juga wajib menginformasikan ketersediaan
ruang rawat inap untuk pelayanan JKN. Informasi
tersebut dapat diberikan secara langsung dan/atau
tidak langsung. Pemberian informasi secara langsung
dilakukan dengan menyediakan fasilitas pelayanan
informasi, atau dilakukan oleh petugas Rumah Sakit.
Sementara pemberian informasi secara tidak langsung
dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website.
Terkait implemetasi Pelayanan Informasi dan Penanganan
Pengaduan (PIPP), rumah sakit wajib menempatkan
petugas khusus yang memiliki joblist dalam pemberian
informasi dan penanganan pengaduan peserta JKN-
KIS. Petugas inilah yang berkoordinasi dengan petugas
PIPP BPJS Kesehatan yang ditempatkan secara on site
maupun mobile apabila ada hal-hal yang memerlukan
koordinasi lebih lanjut dari pertanyaan atau pengaduan
yang disampaikan peserta JKN-KIS.
Jamin Kualitas Layanan Faskes Provider BPJS Kesehatan, Cukupkah Hanya dengan Akreditasi?
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 20
S E H A T & G A Y A H I D U P
Rutinitas harian yang padat membuat
sebagian orang kesulitan mencari waktu
untuk berolahraga di pagi hari, apalagi untuk
pekerja kantoran dengan jam kerja yang kaku.
Berolahraga di malam hari akhirnya menjadi pilihan,
entah itu jogging, lari, atau olahraga permainan seperti
futsal dan badminton.
Namun, tidak sedikit yang beranggapan kalau olahraga
malam hari tak baik untuk kesehatan, bahkan bisa
mengganggu pola tidur. Malam hari itu seharusnya
dipakai untuk beristirahat, bukannya berolahraga.
Benarkah demikian?
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dari Slim + Health
Sports Therapy, Michael Triangto mengatakan, dengan
rutinitas pekerjaan yang padat setiap harinya, memang
cukup sulit untuk rutin melakukan olahraga di pagi hari.
Namun, kondisi ini jangan dijadikan alasan untuk malas
berolahraga.
Menurut Michael, olahraga di malam hari setelah pulang
kerja bisa menjadi solusi yang tepat untuk orang-orang
sibuk. Layaknya olahraga di pagi hari yang dianggap
sebagai waktu paling ideal, olahraga malam hari pun
bisa memberikan manfaat yang besar untuk kesehatan,
asalkan dilakukan dengan cara-cara yang benar.
"Olahraga di pagi atau malam hari sama baiknya untuk
kesehatan, asalkan dilakukan secara teratur, terukur,
terprogram, dan juga berkesinambungan. Empat hal
inilah yang harus diperhatikan saat berolahraga, kapan
pun itu waktunya," kata Michael Triangto.
Anggapan kalau olahraga malam hari bisa membuat sulit
tidur juga tidak sepenuhnya benar. Michael mengatakan,
pada orang-orang yang punya masalah sulit tidur atau
insomnia, memang tidak disarankan untuk olahraga
malam hari. Tetapi bagi yang tidak mengalami gangguan
tidur tersebut, waktu malam hari tak akan mengganggu
pola tidur. Dengan catatan, olahraga tersebut harus sudah
berakhir minimal dua jam sebelum memasuki fase tidur.
Selain itu, intensitasnya pun harus diperhatikan. Jangan
melakukan olahraga dengan intensitas yang berat.
"Apabila hanya punya waktu olahraga di malam hari,
disarankan untuk tidak melakukan olahraga dengan
intensitas yang berat. Kita akan jadi sulit tidur karena
proses pembakaran kalori yang masih terjadi, istilahnya
Malam Hari, Amankah?
Olahraga
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Michael Triangto
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 20
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 21
SEHAT & GAYA HIDUP
EPOC (Excess Post-Exercise Oxygen). Tetapi kalau
intensitasnya ringan, itu justru bisa merangsang kita
untuk cepat tidur," terang Michael.
Ringan atau beratnya intensitas olahraga menurut
Michael sangat bergantung pada individu masing-masing.
"Intensitas ini bergantung pada kebiasaan, kemampuan,
dan juga kesehatan orang yang bersangkutan. Jadi,
jangan mengikuti takaran orang lain," kata Michael.
Intensitas yang ideal saat berolahraga menurutnya juga
bergantung pada usia. Intensitas yang ringan hingga
sedang adalah 60% sampai 80% dari denyut jantung
maksimal. Cara menghitung denyut jantung maksimal
yaitu 220 dikurangi dengan usia dalam tahun.
Ambil contoh seseorang dengan usia 20 tahun. Denyut
jantung maksimalnya adalah 220 dikurangi 20, berarti
200 denyut jantung per menit. Maka, saat berolahraga,
orang dengan usia 20 tahun disarankan untuk tidak
kurang atau melewati 120-160 denyutan per menit (60%
- 80% denyut jantung maksimal).
"Bila kurang dari itu, manfaat kesehatan dari olahraga
belum tentu tercapai," kata Michael.
Perlengkapan Olahraga Malam
Hal lainnya yang juga harus diperhatikan saat olah raga
malam hari adalah terkait kostum yang dikenakan.
Dengan kondisi pencahayaan yang terbatas, disarankan
untuk menggunakan sepatu atau pakaian yang sudah
dilengkapi alat reflektor yang dapat memantulkan cahaya,
sehingga bisa terlihat oleh orang-orang yang membawa
kendaraan.
"Untuk alasan keamanan, sebaiknya gunakan sepatu
atau pakaian yang dilengkapi alat reflektor agar mudah
terlihat. Apalagi kalau kita lari atau jogging mengikuti jalur
kendaraan," kata Michael.
Di malam hari, polusi udara atau asap kendaraan juga
cukup tinggi. Namun lantaran kondisi pencahayaan yang
minim, biasanya polusi tersebut tidak begitu terlihat.
Saran Michael, sebaiknya gunakan masker untuk
mencegah dampak buruk dari polusi udara.
"Tujuan olahraga kan untuk mendapatkan tubuh yang
sehat. Jangan sampai kita malah jatuh sakit karena
terpapar polusi udara. Jadi, sebaiknya gunakan masker
kalau memang ingin olahraga malam hari di sepanjang
rute kendaraan, atau olahraga saja di taman yang lebih
minim polusi," saran Michael.
INFO BPJS KESEHATANEDISI 73 21
INFO BPJS KESEHATAN EDISI 73 22
KO N S U LTA S I
J A W A B :
J A W A B :
01
02
JKN-KIS bisa tidak
digunakan di luar daerah?
Misalnya saat saya liburan,
saja tiba-tiba sakit.
Bagaimana caranya?
Jakarta
Setiap peserta JKN-KIS boleh memilih fasilitas kesehatan (faskes) yang akan dikunjungi untuk mendapat pelayanan kesehatan selama
mengikuti prosedur yang berlaku. Peserta juga bisa memilih Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang terdekat dari rumah. JKN-KIS
menerapkan prinsip portabilitas untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal,
selama masih berada di wilayah Indonesia (tidak ke luar negeri).
Ada 3 ketentuan yang harus diperhatikan peserta yang ingin mendapat pelayanan di luar daerah domisilinya. Pertama, sebelum
menyambangi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), peserta harus datang ke kantor BPJS Kesehatan terdekat untuk meminta surat
pengantar berkunjung. Kedua, setelah mengantongi surat pengantar berkunjung peserta bisa langsung datang ke FKTP terdekat untuk
mendapat pelayanan kesehatan. Peserta bisa melakukan kunjungan ke FKTP maksimal 3 kali kecuali kondisi tertentu. Ketiga, FKTP dilarang
meminta biaya pelayanan kepada peserta tersebut. Oleh karena itu peserta tidak perlu khawatir ketika bertugas atau berlibur ke luar daerah.
Jika di daerah tersebut membutuhkan pelayanan kesehatan, peserta hanya perlu mengikuti prosedur agar bisa memperoleh pelayanan
kesehatan di FKTP terdekat.
Apa saja penyakit yang
di-cover oleh BPJS dan
yang tidak?
Bandung
Selama peserta JKN-KIS telah mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku, telah sesuai hak kelas rawat, dan pelayanan kesehatan
yang diberikan fasilitas kesehatan telah sesuai dengan indikasi medis, maka peserta tersebut dijamin oleh BPJS Kesehatan. Pelayanan
kesehatan yang dijamin dan tidak dijamin, dapat dilihat pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal
47 dan Pasal 52 yang dapat diunduh pada website kami www.bpjs-kesehatan.go.id
Top Related