Referat
Imunoterapi pada Rhinitis Alergi
PEMBIMBING :
Dr. Yuswandi Affandi, Sp.THT
Dr. Tantri Kurniawati, Sp.THT-KL
DISUSUN OLEH :
Amelia Putri Santosa (11-2012-113)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN – KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 20 JANUARI 2014 – 22 FEBRUARI 2014
JAKARTA
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................... 1
Kata Pengantar .......................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar belakang ........................................................................................ 2
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Anatomi ................................................................................................. 4
II.2 Fisiologi hidung .................................................................................... 5
II.3 Epidemiologi ......................................................................................... 5
II.4 Patofisiologi rhinitis alergi .................................................................... 6
II.5 Klasifikasi .............................................................................................. 7
II.6 Diagnosis ............................................................................................... 8
II.7 Penatalaksanaan
II.7.1 Non-medika mentosa ................................................................... 9
II.7.2 Medikamentosa ............................................................................ 10
II.7.3 Imunoterapi .................................................................................. 12
II.7.3.1 Sejarah imunoterapi ..............................................................12
II.7.3.2 Mekanisme kerja imunoterapi................................................12
II.7.3.3 Indikasi imunoterapi ............................................................ 15
II.7.3.4 Kontraindikasi relatif imunoterapi .......................................15
II.7.3.5 Jenis-jenis imunoterapi ......................................................... 16
II.7.3.6 Prosedur pemberian .............................................................. 17
II.7.3.7 Dosis dan cara pemberian .................................................... 19
II.7.3.8 Efek samping ........................................................................ 20
Bab III Penutup
III.1 Kesimpulan ........................................................................................ 22
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 23
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH swt yang telah memberikan hikmat serta hidayahnya
terutama kesempatan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyusun referat
ini dengan baik dan benar serta tepat pada waktunya. Di dalam referat ini, penulis
akan membahaskan mengenai Imunoterapi pada Rhinitis Alergi.
Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan juga
penelusuran situs-situs medikal serta telah mendapatkan beberapa bantuan dari
pelbagai pihak untuk membantu dalam menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama proses mengerjakan referat ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
referat ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran
dan kritik yang dapat membangun nilai kerja penulis ini. Kritikan yang berunsur
konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan referat ini
selanjutnya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan apabila ada
kata-kata yang kurang berkenan penulis memohon maaf sebesar-besarnya.
Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Karawang, Februari 2014
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen
spesifik tersebut. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat
terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita dengan
puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir ini
cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari 500
juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab terbanyak
seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga hidung
tenggorok-bedah kepala leher.1,2,4
Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen sehingga
memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE), respon ini
memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi ditandai dengan gejala
karakteristik seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah
dan berair. Rinitis alergi ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga,
antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi lainnya.1-4
Pendekatan terapi telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah
imunoterapi. Imunoterapi atau desensitisasi atau allergy injection therapy adalah suatu
terapi yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari
ekstrak alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas
faktor alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya.
Imunoterapi merubah perjalanan penyakit, dan mencegah terjadinya asma pada anak
dengan rinitis alergika. Efek imunoterapi memerlukan waktu lama, tetapi begitu
tercapai, memberikan perbaikan klinis yang berlangsung lama. Imunoterapi untuk
penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi spesifik karena metode ini
memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada penderita untuk merubah atau
mengurangi gejala alergi.6,7
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi
Struktur bagian luar dari hidung terdiri dari kerangka piramida yang didukung
oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi hidung dari bidang
wajah. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka yaitu konka inferior yang terbesar dan letaknya paling bawah kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter. Konka-konka ini, terutama
konka inferior cepat merespon terhadap berbagai rangsangan alergi, nonalergi, dan
fisik, merespon mediator inflamasi seperti histamin, jaringan mukosa cepat
mengalami vasodilatasi yang menyebabkan terjadinya edema konka dan
menimbulkan hidung tersumbat.1,5
Lapisan mukosa bagian paling distal rongga hidung terdiri dari epitel, lapisan
tipis keratin, skuamosa berlapis yang membentang kebagian depan rongga hidung
bilateral. Epitel skuamosa ini berisi bulu-bulu halus yang dikenal sebagai vibrissae,
yang terlibat dalam penyaringan partikel-partikel yang lebih besar yang terbawa saat
proses inspirasi. Penyaringan partikel ini terjadi didalam hidung dan nasofaring.8
Bagian proksimal rongga hidung bagian depan adalah area katup hidung yang
merupakan bagian yang paling sempit dari traktus respiratorius. Resistensi terhadap
aliran udara adalah maksimum di daerah ini, sehingga bila ada resistensi yang
berkepanjangan sering terjadi pernafasan mulut sehingga fungsi pembersihan udara
dan fungsi “pengatur kondisi udara” hidung tidak dijalani. Resistensi saluran udara
bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan nasofaring mengalami
iritasi.5,8
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (cilliated
pseudostratified collumnar epithelium ), dan diantaranya terdapat sel- sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
4
(mucous blanket ) pada permukaannya. Dibawah epitel terdapat tunika propria yang
banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.1,5
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas, arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang
erektil yang mudah mengembang dan mengerut, vasodilatasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi saraf otonom.1
II.2 Fisiologi Hidung
Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel
olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah.
3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru. 4)
Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri. Berarti hidung merupakan
alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya yang masuk bersama udara
pernafasan. Hidung juga berperan sebagai resonator dalam fonasi, hal ini nyata pada
seseorang yang terserang selesma.1,2,5,8
II.3 Epidemiologi
Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 –
25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis
alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi
40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi meningkat setelah usia
dekade ketiga berkisar antara 20%-30%.4,11
Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rinitis alergi
perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut Sumarman dan
Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98%,
dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survey dari ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
5
13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18,6%.
Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya tahun 2006 didapatkan 654
(3,45%) dari 25.254 penderita yang datang berobat.4
II.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan
dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,19
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan
menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diproses
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor Histocompatibility
Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0), kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th
0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut Sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka ke-2 rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
Prostaglandin D2 (PG D2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
Bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5,
IL6), GM-CSF (Granulocyte macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,4,19
6
Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).1, 19
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini akan
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala
hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Mayor Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini , selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1-5
II.5 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :1,4
Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :1,4
Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
7
II.6 Diagnosis
Rinitis alergi secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-
gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal
drip ( ingus belakang hidung ) yang kadang-kadang disertai anosmia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah adanya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner). Selain itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan
(allergic salute). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut
allergic crease.1,8,9
Pemeriksaan fisik memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sklera dan
konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan
sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan,
ditemukan juga gambaran klasik seperti edema konka inferior yang khas berwarna
kebiru-biruan. Sekret cair seperti air atau encer jernih. Temuan laboratorium yang
sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang meninggi dalam sekret
hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE.8,9
Antigen biasanya dapat dikenali dari dasar anamnesis, misalnya perubahan
musim atau gejala setelah paparan. Jika antigen tidak dikenali dengan cara ini dapat
dilakukan uji provokatif. Alergen yang digunakan umumnya berupa inhalan, namun
dapat pula berwujud ingestan atau injektan. Tes kulit dilakukan setelah melakukan
pemeriksaan THT dengan cermat dan teliti untuk menunjang diagnosis rinitis alergi.
Ada dua macam tes kulit yang sering dilakukan yaitu tes kulit cukit atau skin prick
test (SPT) dan tes kulit intradermal. Tes alergi lainnya yaitu pemeriksaan
immunoglobulin E spesifik dengan teknik radioallergosorbent test (RAST).2,3,4,9
Tes kulit Prick adalah tes kulit yang telah direkomendasikan oleh The
European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAAC) dan The US
Joint Council of Allergy Asthma and Immunology (JCCAI) sebagai tes pilihan primer
dan utama untuk menegakkan diagnosis alergi, karena tes kulit memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi dari pemeriksaan serologi IgE spesifik, tetapi pemeriksaan IgE
spesifik dapat dikerjakan pada keadaan dimana tes kulit tidak bisa dilakukan.
Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST adalah obyektif dan mudah
diulang, tidak terpengaruh obat-obatan yang diminum maupun adanya penyakit/
8
kelainan pada kulit juga sangat aman dilakukan pada penderita dengan resiko
anafilaksis besar, dapat dilakukan pada penderita dalam fase akut. Pada kasus alergi
makanan RAST memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan tes kulit.
Pemeriksaan RAST juga mempunyai kerugian dibandingkan tes kulit yaitu hasil tidak
dapat segera diketahui, kurang sensitif, konsentrasi IgE dalam plasma bervariasi
tergantung paparan alergen, ada kemungkinan hasil false negatif atau false positif dan
biaya pemeriksaan mahal.4
American Academy of Otolaryngologic Allergy (AAOA) 2003
merekomendasikan 4 dasar penentuan diagnosis alergi terhadap alergen inhalan
yaitu :4,19
Tujuan dari tes alergi adalah untuk menentukan macam alergen dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi.
Metode tes alergi yang dianjurkan adalah:
- Metode in vivo yaitu Test kulit Prick dan intradermal test.
- Metode in vitro yaitu uji radioalergosorbent (RAST).
Pemeriksaan dilakukan oleh tenaga profesional yang telah terlatih
Dalam pelaksanaannya harus selalu memperhatikan etika dan biaya
pemeriksaan.
II.7 Penatalaksanaan
Secara umum ada 3 pilihan penanganan rinitis alergi, yaitu :
II.7.1 Non medikamentosa
Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Cara yang ideal untuk meminimalkan
paparan alergen (misalkan serbuk sari ) adalah menghindari kegiatan diluar rumah
selama musim serbuk sari (misalnya saat memotong rumput atau berkebun). Untuk
mengontrol debu, tungau, spora jamur, dan bulu hewan peliharaan, saran-saran
berikut mungkin bisa digunakan yaitu, mengurangi kelembaban udara dirumah
dibawah 50%, misalnya dengan memasang AC, melarang hewan peliharaan
berkeliaran didalam rumah, memasang alat penyaring udara, membungkus bantal,
kasur dengan penutup hipoalergenik/ pelindung plastik (untuk perlindungan tungau
dan debu), jika alergi terhadap debu rumah, sebaiknya jangan menggunakan mebel,
9
karpet, dan tirai yang sifatnya menampung debu, dan menghisap debu sesering
mungkin.2,5,12
II.7.2 Medikamentosa
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast
yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptornya di permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan
besar pada timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator
lain yang tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan
pada reaksi fase lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik
yang dapat menetap berhari-hari. Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah mengurangi
gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi, perbaikan
kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari, mengurangi
efek samping pengobatan, edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat
dan kewaspadaan terhadap penyakitnya, merubah jalannya penyakit dan pengobatan
kausal. Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi berikut ini ada beberapa
terapi untuk rinitis alergi :5
Antihistamin
Antihistamin sering digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pengobatan
rinitis alergi, antihistamin yang digunakan adalah antagonis histamin H-1 yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, antihistamin
efektif pada reaksi fase awal karena efeknya mengurangi bersin, rinore, dan
gatal-gatal, tetapi sedikit efeknya terhadap gejala obstruksi hidung pada fase
lambat.1,2,4,9,21
Kortikosteroidintranasal.
Kortikosteroid intranasal merupakan obat yang paling efektif meringankan
gejala rinitis alergi, dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal dan hidung
tersumbat. Efek maksimal dapat berlangsung dari 1 hingga 2 minggu setelah
onset penggunaannya. Efektifitas terapi tergantung pada penggunaan yang
teratur dan aplikasi yang memadai pada rongga hidung. Obat ini mempunyai
penyerapan yang minimal secara sistemik dan tanpa efek samping sistemik,
dan dapat digunakan pada anak-anak, tidak mempengaruhi pertumbuhan
10
tulang pada anak-anak. Efek samping lokal seperti kekeringan, dan epistaksis.
Contoh obat ini adalah: triamsinolon, budesonide, flutikason, mometason.1-4,9,21
Kortikosteroid Sistemik.
Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk kasus rinitis alergi yang
berat, dimana gejala yang timbul sulit teratasi, dapat diberikan secara oral
maupun intramuskular. Untuk pemberian jangka panjang, dosis tappering off
setelah pemberian 3-7 hari. Kortikosteroid sistemik mengatasi proses inflamasi
dan secara signifikan efektif mengatasi semua gejala rhinitis alergi.2,3,4,5,21
Dekongestan.
Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung yang
menghasilkan efek vasokonstriksi sehingga mengurangi gejala obstruksi
hidung (turbinate congestion), dapat mengurangi patensi hidung tetapi tidak
meringankan rinore, gatal dan bersin. Dekongestan intranasal misalnya
oxymetazoline, bila terlalu sering digunakan dapat menyebabkan berulangnya
obstruksi hidung (rebound nasal congestion) dan ada efek ketergantungan jika
digunakan lebih dari 3-4 hari (rinitis medikamentosa).2,-4,5,9,21
Antikolinergik intranasal.
Obat ini cendrung hanya mengontrol gejala rinore, dan tidak memiliki efek
lain terhadap gejala alergi. Salah satu yang paling umum digunakan adalah
ipratropium bromide. Obat ini dapat dikombinasikan dengan obat anti alergi
lain untuk mengontrol rinore pada rinitis alergi perrenial.2,21
Kromolin intranasal.
Kromolin intranasal (misalnya Nasalcrom) efektif digunakan sebelum
timbulnya gejala rinitis alergi karena bekerja menstabilkan dan menghambat
degranulasi sel mast, bersifat profilaksis dan efektif pada rinitis alergi seasonal
dan biasanya diberikan pada pasien dengan keluhan ringan.2,21
Leukotrine inhibitor.
Obatnya adalah Montelukast, merupakan obat baru untuk pengobatan rinitis
alergi. Sampai saat ini, studi klinis telah menunjukkan keberhasilan yang lebih
11
besar dibandingkan placebo, tetapi kurang efektif dibandingkan antihistamin
dan steroid intranasal dalam pengobatan rinitis alergi.1,2,5,9,21
II.7.3 Imunoterapi
II.7.3.1 Sejarah Imunoterapi
Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali pada
tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan
dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan
selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang
disebabkan oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga
asma alergi, tetapi tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari
Amerika Serikat tahun 1918 melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever
dan asma yang berasal dari antibodi yang timbul setelah pajanan agen
sensitizing. Cooke pada tahun 1922 juga mengemukakan metode
hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal ini yang berkembang
menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935 mengemukakan
konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat pada
pemberian imunoterapi.6,7
II.7.3.2 Mekanisme kerja imunoterapi.
Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis tergantung
dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan untuk
mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat
dengan proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen
(pollen, mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk
mengekstraksi komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak
alergen komersial dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran.7,13
Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan
yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.
Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang
terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar
yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai
beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini
12
perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi.
Pemberian dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga
yang memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1
minggu istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi
rush protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai
rumatan dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol. 7,13
Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya mengurangi
beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis yang
bersifat sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat
mungkin terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan
pemeriksaan RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan
secara berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien
harus menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan
dengan penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi,
dan memodifikasi alergen untuk mengurangi resiko reaksi anafilaksis yang
berat misalnya secara sublingual.7,13
Gambar 1. Mekanisme Imunoterapi
Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.
Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan
keberhasilan imunoterapi yaitu, Induksi pembentukan IgG (blocking
antibody), penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor,
perubahan keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), induksi
13
terjadinya sel T regulator, anergi sel T. Atopi adalah peningkatan sensitivitas
sebagai hasil peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan
yang umum seperti tungau, serbuk sari, atau bulu hewan. Pajanan berulang
terhadap alergen secara bermakna akan meningkatkan prevalensi asma.
Imunoterapi bekerja pada antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik
meningkat sementara pada awal pemberian imunoterapi, tetapi menurun
setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit menurun setelah imunoterapi tetapi
sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis. Dipihak lain, reaksi lambat pada
uji kulit menurun secara nyata setelah imunoterapi. Imunoterapi juga
menginduksi IgG spesifik terhadap alergen, berfungsi untuk meniadakan
respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah dengan perbaikan klinis. IgG
terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan dosis.3,7,14,18,20
Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini
menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan
walaupun penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini
beberapa formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan
peptide sel T atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitokin kearah
pola Th1. Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk rinitis alergi jika
penyebabnya terbatas. Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting
dilakukan pemilihan pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis
alergi musiman (Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal pengobatan
konvensional, telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang
telah ada menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada
rinitis alergika cukup efektif memberi penyembuhan, dan khasiatnya masih
bertahan sampai 6 tahun setelah imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras
dengan pengobatan konvensional yang biasanya berhenti khasiatnya begitu
pengobatan dihentikan.7,14
Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan
dibanding rinitis alergi musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya
faktor penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu
instabilitas vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa
penelitian membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan
bulu kucing, baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan
kadar IgG spesifik terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi.
14
Diperkirakan alergen spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi
dengan menghalangi antigen berikatan dengan IgE. Imunoterapi juga berperan
pada keseimbangan aksis Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti
diketahui fenotipe interleukin Th2 dihubungkan dengan peningkatan penyakit
alergi, dan produksi interleukin Th1 berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi
juga mempunyai pengaruh pada sel mast, basofil dan eosinofil. Terdapat
penurunan yang sangat menyolok dari sel mast dan basofil, juga terjadi
penurunan eosinofil dari sekresi nasal dan spesimen bronkial.
II.7.3.3 Indikasi Imunoterapi
Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan
penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian
medikamentosa secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya
terapi. Imunoterapi pada rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk
rinitis alergi yang intermiten maupun persisten. Lamanya terapi biasanya
antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala tetap membaik walaupun pengobatan
telah dihentikan. Imunoterapi tidak dilakukan pada keadaan auto imun,
kelainan jantung, ada riwayat anafilaksis sebelum melakukan imunoterapi,
keadaan klinis yang tidak adekuat untuk melakukan imunoterapi, serta
keterbatasan fasilitas dan kelengkapan untuk melakukan resusitasi.3,4,5,13,18
Indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rinitis atau asma alergi yang
disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah
dijamin efektifitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi
juga diindikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap
alergen selama musim pollen atau perrenial.
II.7.3.4 Kontraindikasi relative imunoterapi
Kontra indikasi relatif imunoterapi adalah sebagai berikut :3,7
Anak dibawah usia 5 tahun
Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan tetapi bila
imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan maka dapat diteruskan .
Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif termasuk
aspergilosis bronkopulmoner alergi
Keadaan imunodefisiensi yang berat
15
Keganasan
Kelainan psikiatri yang berat
Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis keadaan akan
memberat dan sulit diatasi dengan cara konvensional
Pasien tidak patuh
Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang selama terapi
Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi
Penyakit kronik saluran pernafasan dengan volume ekspirasi paksa detik-
1(VEP1) < 70% prediksi walaupun telah mendapatkan farmakoterapi yang
optimal
Pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang disebabkan oleh efek
anafilaksis terhadap miokardium. Hipotensi dan vasokonstriksi pulmoner akan
menambah beban jantung juga perfusi miokardium sendiri akan berkurang
II.7.3.5 Jenis – jenis Imunoterapi
Jenis-jenis Imunoterapi Alergen Spesifik :13
a). Subcutaneous conventional immunotherapy
b). Subcutaneous cluster immunotherapy
c). Subcutaneous rush immunotherapy
d). Subcutaneous ultra rush immunotherapy
e). Immunotherapy Sublingual swallow
f). Intra nasal immunotherapy
Cluster schedules immunotherapy (skedul tandan) ditandai dengan 2
atau lebih penyuntikan diberikan pada satu kunjungan, sehingga untuk
mencapai dosis pemeliharaan waktu lebih cepat dapat dicapai dibanding
skedul konvensional (Summary).
Rush immunotherapy (Imunoterapi sangat cepat) adalah rancangan
imunoterapi :
a) Dosis peningkatan dipercepat
b) Pemberian tambahan dosis alergen berulang bertingkat pada setiap kunjungan
dengan interval waktu suntikan bervariasi antara 15 dan 60 menit.
c) Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari sampai target dosis terapeutik/
pemeliharaan dicapai.
16
d) Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai dalam waktu 6 hari, namun pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit, karena lebih sering diikuti reaksi
sistemik.
Ultra rush immunotherapy schedules telah dikerjakan pada
hipersensitifitas sengatan serangga untuk mencapai dosis pemeliharaan dalam
waktu lebih singkat (3,5 sampai 4 jam).
Local nasal aeroallergen immunotherapy, merupakan bentuk
imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen yang disemprotkan
ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek samping yang timbul
berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian yang
merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi.3,5,7,13
Sublingual Immunotherapy, adalah cara lain imunoterapi. Sebagai
alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah ekstrak
tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau
sublingual. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah
respons limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual
ternyata lebih hemat, lebih aman, dan nyaman bagi pasien serta tidak
memerlukan supervise medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitasnya lebih
rendah daripada imunoterapi suntikan.3,10,15,16
II.7.3.6 Prosedur Pemberian.
Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan
pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis
yang telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang imunoterapi.
Untuk persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk dibawah ini:7
Identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan mencocokkan
tanggal lahir atau nomor pasien.
Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir.
Terapkan aturan “3 benar” yaitu: kartu (chart) yang benar, antigen benar,
pasien benar
Triple check antigen, yakni: label, nama pasien, isi pengenceran, tanggal
kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir.
Sebelum melakukan imunoterapi, harus memahami sebagai berikut:
17
a. Cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi
b. Cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik
c. Telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru
d. Memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomanometer, jarum suntik,
epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan intravena, set
infuse, set trakeotomi, nebulizer, dan obat bronkodilator inhalasi.
Langkah melakukan imunoterapi sebagai berikut:7,13
a) Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara bergantian
pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0 ml untuk
pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27 G untuk
kenyamanan pasien, Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada posisi
subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit tersebut
harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang digunakan
harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi.
Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk
mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode tersebut.
Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus diobservasi selama 30
menit atau lebih.
b) Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya
kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan
kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.
c) Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan pada jenis
alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang menimbulkan
gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat diberikan secara injeksi
subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari (pollen), tungau debu rumah dan
bulu kucing.
d) Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan dosis awal
dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai 1:1.000.000
berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai tercapai dosis pemeliharaan yaitu
0,05 ml alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 6-10 bulan untuk
mencapai dosis pemeliharaan.
18
e) Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5 tahun dan
berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan perlindungan jangka panjang
pada hampir semua pasien (cara lambat).
f) Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan menyuntikkan
alergen 4 kali sehari dengan interval 1⁄2 jam dan diulang setelah 2 minggu.
Respons antibodi yang diinginkan terjadi setelah 5 kali kunjungan.
g) 7 Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat dengan
memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2 minggu
sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.
II.7.3.7 Dosis dan Cara pemberian
Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari dosis
yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi
sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang
masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan dengan
penyuntikan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau
terjadi reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis
maksimum yang dapat ditoleransi. Sekali dosis pemeliharaan tercapai,
biasanya terapi akan dilanjutkan dalam 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak
sudah dapat mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka
imunoterapi dapat dihentikan.7,13,17,18
Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan imunoterapi perlu :
a) Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12 bulan.
b) Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan penggunaan obat-
obatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan evaluasi klinis
imunoterapi.
c) Dipertimbangkan dosis dan rancangan imunoterapi, dicatat riwayat reaksi
imunoterapi dan ketaatan pasien.
d) Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang taat, perlu
mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.
e) Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan tetap dalam
kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi yang efektif.
19
f) Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan remisi seperti gejala- gejala
terakhir pada saat penghentian alergen imunoterapi
g) Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani imunoterapi, keputusan untuk
menghentikan imunoterapi juga harus bersifat individualistic.
h) Memperhatikan faktor-faktor tingkat beratnya penyakit sebelum pengobatan,
manfaat pengobatan yang terus menerus (sustained), dan penggangguan
(inconvenience) dari imunoterapi pada pasien tertentu.
i) Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin terjadi pada pasien tersebut.
j) Lamanya imunoterapi harus individual berdasarkan : Respon klinis pasien
terhadap imunoterapi, beratnya penyakit terhadap imunoterapi, riwayat respon
klinis pasien, riwayat reaksi imunoterapi dan tergantung keinginan maupun
keputusan pasien.
II.7.3.8 Efek Samping
Efek samping setelah imunoterapi bisa berupa reaksi lokal maupun sistemik.
Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat mengalami
reaksi sistemik, dimana reaksi sistemik dapat ringan atau berat (anafilaksis)
dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan, umumnya reaksi
berat sistemik terjadi dalam waktu 30 menit setelah suntikan, tetapi dapat juga
terjadi setelah 30 menit, sekitar 40-70% dapat mengenai saluran pernafasan
(stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10% disertai hipotensi. Reaksi yang fatal
dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta suntikan. Reaksi yang tersering terjadi
pada waktu pemberian dosis pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada
anak remaja dan pada waktu pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor resiko
untuk terjadinya reaksi berat antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun
dan penggunaan beta bloker. Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di
fasilitas kesehatan dan oleh orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan
mengatasi reaksi sistemik anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk
resusitasi. Setelah penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan
diawasi bila tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak
dilakukan dirumah.3,7,13
Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan (urtikaria) pada tempat
20
suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatan dengan melakukan
kompres dingin, pemberian antihistamin oral, steroid topikal dan pengurangan
dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah dengan
perlambatan frekuensi nadi, kulit menjadi dingin atau hangat disertai
pengeluaran keringat tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi
vasovagal tidak memerlukan pengobatan dan modifikasi dosis karena segera
memberi respon dengan menelentangkan pasien. Adrenalin merupakan
pengobatan pilihan pada anafilaksis, lebih baik diberikan secara intramuskular,
walaupun suntikan subkutan juga dapat diterima. Antihistamin dan
kortikosteroid sistemik merupakan pengobatan sekunder, yang mampu
menolong memodifikasi reaksi sistemik, tetapi tidak boleh menggantikan
epinefrin pada pengobatan anafilaksis. Infus NaCl fisiologis atau pemberian
oksigen perlu diberikan pada kasus berat.13
Dosis imunoterapi dan tahapannya harus dievaluasi setelah terjadinya reaksi
sistemik terinduksi alergen spesifik imunoterapi. Setelah reaksi sistemik,
untuk beberapa pasien dosis pemeliharaan imunoterapi perlu dikurangi karena
dapat terjadi reaksi sistemik berulang akibat imunoterapi. Bahkan setelah
reaksi sistemik berat, pertimbangkan penghentian imunoterapi.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
21
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E (IgE), dan biasanya berpengaruh pada kualitas hidup. Diagnosis
Rinitis Alergi melibatkan anamneses dan pemeriksaan klinis yang cermat
(pemeriksaan fisik THT-KL) dan pemeriksaan penunjang. Imunoterapi merupakan
pengobatan yang sangat efektif pada pasien Rinitis Alergi. Mekanisme kerja
imunoterapi adalah memberikan efek imunologi yaitu menginduksi antibodi
penghalang yang bersaing dengan IgE, menurunkan IgE, memodulasi sel mast dan
basofil dan peningkatan aktivitas limfosit T supresor, sehingga terjadi penurunan
respon alergi. Imunoterapi alergen diberikan dengan cara suntikan subkutan tetapi
disamping itu ada cara lain yaitu lokal nasal dan sublingual oral .
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N ,Kasakeyan E, Rusmono N: Rinitis Alergi: Soepardi EA,Iskandar
N,Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-6, Jakarta: FK UI,2007,h.118-
22,128-34.
22
2. Shah SB.Nonallergik dan Allergic rhinitis in: Lalwani AK,editor:Current
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd . McGraw-Hill 2008.p.264-72.
3. Lee KJ. Immunology and Allergy in: Lee KJ,editor.Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 8th. McGraw-Hill 2003.p 486-04.
4. Pawarti DR.Diagnosis Rinitis Alergi. Kumpulan Naskah Ilmiah Alergi
Imunologi-Rinologi,Surabaya 2009.h.1-11.
5. Krouse JH.Allergic and Non Allergic Rhinitis in: Bayle, Byron J.editor.Head
and Neck Surgery-Otolaryngology 4th. Lippincott William 2006.p.352-56.
6. Harsono A. Perkembangan Baru Imunoterapi, dalam: Divisi Alergi Imunologi
Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr Soetomo FK UNAIR/ RSU Dr soetomo
Surabaya.
7. Judarwanto W. Penggunaan Imunoterapi pada penderita Alergi.in:Children’s
Allergic Clinic. Available at: htpp://www.children allergy
clinic.wordpress.com.2010.
8. Ballenger JJ. Reaksi alergi : Bernstein JM,Ed. Penyakit THT Kepala dan
Leher jilid 1. edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1999.h.1-17,163-72.
9. Blumenthal MN. Kelainan Alergi pada pasien THT.dalam : Boies LR,Adam
GL,Higler PA,Ed. Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-6, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC,1997,h.190-98.
10. Wikipedia. Sublingual Immunotherapy. Available at :htpp : // en.wikipedia.
org./ wiki. article = D 003888, 2007.
11. Yahency, Movieta. Prevalensi dan Faktor resiko alergi pada anak usia 6-7
tahun di Semarang. Available at: http :// eprints.Undip.ac.id/ article = 12552,
2005.
12. Nurcahyo. Reaksi Alergi. Available at : htpp : // www. Indonesiaindonesia.
com. 2000.
23
13. Sumarman J. Update Guideline 2007 on Allergen Spesifik Immunotherapy in
Allergic Rhinitis. Kumpulan naskah ilmiah Alergi- Imunology-Rinologi,
Surabaya 2009. 23-37.
14. Jayaseker NP et all . Mechanism of Immunotherapy in Allergic Rhinitis.
Biomedicine and Pharmacotherapy 2007.
15. Canonica GW, Passalacque G. Sublingual Immunotherapy in the treatment of
adult allergic rhinitis patient : A Review article.Journal Compilation .2006:
20-22.
16. Martinez AB et all. Sublingual immunotherapy in Seasonal Allergic rhinitis.
Acta Otorrinolaringology. Esp 2005;56; 112-15
17. Burton MJ, Krouse JH et all, Ekstract from the Cochrane Library :Allergen
Injection Immunotherapy for Seasonal allergic rhinitis. review: otolaryngology
head and Neck Surgery.2007.136; 511-14
18. Dhanasekar G,Izzat AB et all, Immunotherapy for allergic rhinitis. review:
The Journal of Laryngology and Otology.okt 2005;119;799-804.
19. Kim MY,Leong JL.Evidence –Based Practise. review article: J Singapore
Med.2010; 51;542-48.
20. Fujimura T,Okamoto Y. Antigen Spesifik Immunotherapy against Allergic
Rhinitis. J Allergology International. 2010;59;1-9
21. Lekman JM, Liebermen P. Office-Based Management of Allergic rhinitis in
Adult. The American Journal of medicine. 2007;120;659-663.
24