4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edible Film
Edible film merupakan lapisan tipis berbentuk lembaran yang terbuat dari
bahan organik yang bisa dimakan, dibentuk di atas makanan yang berfungsi sebagai
penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat pelarut)
atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan untuk meningkatkan
penanganan makanan. Edible film terbuat dari senyawa hidrokoloid dan lemak, atau
kombinasi keduanya. Senyawa hidrokoloid yang dapat digunakan adalah protein
dan karbohidrat, sedangkan lemak yang dapat digunakan adalah lilin/wax, gliserol
dan asam lemak. Pati sebagai senyawa hidrokoloid, merupakan polimer yang secara
alamiah terbentuk dalam berbagai sumber botani/ nabati seperti gandum, jagung,
kentang, dan tapioka. Pati sebagai sumber alam yang dapat diperbarui tersedia
secara luas dan mudah mendapatkannya (Fama dkk., 2005).
Edible film juga memiliki sifat-sifat yang hampir mirip dengan film
kemasan sintetis seperti plastik, yaitu harus memiliki kemampuan menahan air
sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas
selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk
mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan
aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu
bahan pangan. Adapun karakteristik edible film menurut Japan Industrial Standard
disajikan pada Tabel 1. Kelebihan dari penggunaan edible film untuk kemasan
bahan makanan adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak
mencemari lingkungan karena edible film ini dapat dimakan bersama produk yang
dikemasnya. Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan
5
hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan film kemasan tanpa dicampur dengan
polimer sintetis (plastik). Adapun karakteristik edible film menurut Japan
Industrial Standard (JIS) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Edible Film Menurut Japan Industrial Standard
Parameter Nilai
Ketebalan
Kuat Tarik
Elongasi
Laju Transmisi Uap Air
Maks. 0,25 mm
Min. 0,39 MPa
<10% sangat buruk
>50% sangat bagus
Maks. 7 g/m2/hari
(Sumber: Japan Industrial Standard, 1975)
Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk
tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polisakarida
(karbohidrat), polipeptida (protein) dan lipida. Ketiga bahan tersebut mempunyai
sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak
sebagai film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang
berasal dari sumber yang terbarui (renewable) yang dapat dihancurkan secara alami
(Mindarwati, 2006).
2.2 Pati
Pati secara kimia merupakan suatu polisakarida (C6H10O5)n. Pati sukar
larut dalam air dingin tetapi dalam air panas butir-butir pati akan menyerap air dan
akhirnya membentuk pasta. Pati merupakan makanan cadangan yang terdapat
dalam bentuk butir-butir kecil atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak
berbau dan tidak berasa. Ukuran dan morfologi granula pati bergantung pada jenis
tanamannya serta bentuknya dapat berupa lingkaran, elips, lonjong, polihedral atau
poligonal, bentuk yang tidak teratur (Elida, 1994).
6
Di alam umumnya pati tidak terdapat dalam bentuk murni, akan tetapi
bercampur dengan bahan kimia lain, seperti asam lemak dan senyawa phospor. Pati
dapat didefinisikan sebagai karbohidrat reaktif dengan gugus fungsional yang
tinggi, yang dapat dimodifikasi baik secara kimia, fisika maupun enzimatik untuk
kebutuhan tertentu. Pati terdiri dari dua jenis molekul polisakarida yang merupakan
polimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Kedua jenis polimer itu adalah amilosa
dan amilopektin yang sama-sama terdistribusi dalam granula pati dan dapat
bergabung dengan ikatan hidrogen (Murni dkk, 2013). Adapun struktur amilosa dan
amilopektin masing-masing ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Struktur Amilosa
(Sumber: Murni dkk., 2013)
Gambar 2. Struktur Amilopektin
(Sumber: Murni dkk., 2013)
7
Pati dapat diperoleh dari berbagai jenis tumbuhan dan biji-bijian yang
mengandung karbohidrat, amilosa dan amilopektin. Beberapa jenis tumbuhan yang
dapat dijadikan pati adalah jagung, ubi, sagu, dan salah satu jenis biji-bijian yang
dapat dijadikan pati adalah biji nangka.
2.2.1 Pati Biji Nangka
Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) merupakan salah satu
jenis tanaman buah tropis yang multifungsi dan dapat ditanam di daerah tropis
dengan ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan laut yang berasal dari
India Selatan. Ciri-ciri buah nangka yang sudah matang yaitu memiliki duri yang
besar dan jarang, mempunyai aroma nangka yang khas walaupun dalam jarak yang
agak jauh, setelah dipetik daging buahnya berwarna kuning segar, tidak banyak
yang mengandung getah. Buah tersebut bisa dimakan langsung atau diolah menjadi
berbagai masakan (Long, 2011). Adapun gambar biji nangka dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Biji Nangka
(Sumber: Long, 211)
Kedudukan taksonomi tanaman nangka menurut Long (2011) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
8
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Morales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus Lamk
Biji nangka mempunyai bentuk bulat, panjang atau lonjong, tergantung
pada jenis/varietas nangkanya. Secara garis besar, biji nangka mempunyai tiga
lapisan kulit, kulit luar yang berwarna kuning dan agak lunak; kulit tengah yang
berwarna putih dan liat; serta kulit ari (dalam) yang berwarna cokelat dan menempel
pada daging biji (Suprapti, 2004).
Biji nangka pada umumnya kurang dimanfaatkan oleh manusia, sementara
ini pengolahan dan penggunaan tepung biji nangka masih belum banyak dikenal
oleh masyarakat dan hanya dikenal sebagai limbah nangka. Berdasarkan komposisi
kimia, biji nangka memiliki kandungan karbohidrat sebesar 70,26% dari 100 gram
bagian yang dapat dimakan (Airani, 2007). Kandungan kimia tepung biji nangka
menurut Purbasari dkk (2014) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Pati Biji Nangka
Sumber: Pusbasari, dkk. (2014)
Komposisi Kimia Nilai Gizi Pati Biji Nangka
Air
Protein (Gluten)
Lemak
Serat Kasar
Abu
Karbohidrat
Pati
12,09 g
3,06 g
0,35 g
2,74 g
1,39 g
84,86 g
56,21 g
9
2.3 CMC (Carboxy Methyl Cellulose)
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan polielektrolit amoniak
turunan dari selulosa dengan perlakuan alkali dan monochloro acetic acid atau
garam natrium yang digunakan luas dalam industri pangan. CMC memiliki rumus
molekul C8H16NaO8 bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
beracun, berbentuk butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam
larutan organik, stabil pada rentang pH 3-10 dan mengendap pada pH kurang dari
3, serta tidak bereaksi pada senyawa organik. Contoh aplikasi CMC adalah pada
pemrosesan selai, es krim, minuman, saus, jelly, pasta, keju, dan sirup. Karena
pemanfaatannya yang luas, mudah digunakan, serta harganya yang tidak mahal,
CMC menjadi salah atu zat yang diminati (De Man, 1989).
Berdasarkan sifat dan fungsinya maka CMC dapat digunakan sebagai
bahan aditif pada produk minuman yang aman untuk dikonsumsi. CMC bersifat
stabil dalam lemak serta bersifat sebagai pengikat dan pengental. Semakin besar
konsentrasi CMC dalam sampel larutan maka akan terjadi peningkatan kekentalan
(Kamal, 2010).
2.3.1 Selulosa
Selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama lignin dan
hemiselulosa membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman
(Winarno, 1995). Isolasi selulosa sangat dipengaruhi oleh senyawa yang menyertai
di dalam dinding sel. Selulosa tersusun dari unit-unit glukosa yang tersambung
dengan ikatan β-1,4-glikosidik dan membentuk suatu rantai makromolekul tidak
bercabang. Setiap unit glukosa memiliki tiga gugus hidroksil (Zugenmaier, 2008).
Adapun struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 4.
10
Gambar 4. Struktur Selulosa
(Zugenmaier, 2008)
Gugus hidroksil tersebut memberikan peluang selulosa untuk membentuk
banyak ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan kekakuan dan gaya antar rantai yang
tinggi sehingga selulosa tidak larut dalam air. Pasangan-pasangan molekul selulosa
tersebut saling berikatan satu sama lain dengan ikatan hidrogen membentuk
mikrofibril yang bersifat seperti kristal sehingga mempunyai kekuatan renggang
yang tinggi (Billmeyer, 1987).
2.3 Plasticizer
Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi
jika ditambahkan pada material lain dan dapat merubah sifat material tersebut.
Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler, meningkatkan
fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Plasticizer ditambahkan pada
pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan meningkatkan fleksibilitas dan
ketahanan film (Murni dkk, 2013).
Penambahan gliserol pada edible film sangat berpengaruh terhadap bahan
baku yang digunakan seperti pati. Dibandingkan pelarut seperti sorbitol, Gliserol
lebih menguntungkan karena mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut
dalam air (hidrofilik). Sedangkan sorbitol sulit bercampur dan mudah mengkristal
pada suhu ruang. Kelebihan lainnya pada gliserol adalah bahan organik dengan
berat molekul rendah sehingga pada penambahan bahan baku dapat menurunkan
11
kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas pada edible film
(Coniwanti, 2014). Adapun struktur gliserol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Gliserol
(Sumber: Coniwanti, 2014)
Plasticizer menurunkan gaya inter molekuler dan meningkatkan mobilitas
ikatan polimer sehingga dapat memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.
Ketika gliserol menyatu, terjadi beberapa modifikasi struktural di dalam jaringan
pati, matriks film menjadi lebih sedikit rapat dan di bawah tekanan, bergeraknya
rantai polimer dimudahkan, meningkatkan fleksibilitas film (Alvest et al., 2007).
2.4 Pengujian Karakteristik Edible Film
2.4.1 Uji Kuat Tarik
Pengukuran kuat tarik untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk
mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang
atau memanjang (Purwanti, 2010). Adapun ilustrasi mekanisme analisa kuat tarik
pada edible film ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Ilustrasi Uji Kuat Tarik
(Sumber: Purwanti, 2010)
12
2.4.2 Persentase Pemanjangan (Elongation)
Kuat tarik selain dipengaruhi oleh tegangan (stress) juga dipengaruhi oleh
regangan atau pemanjangan (strain). Regangan didefinisikan sebagai rasio antara
perubahan pemanjangan dengan panjang awal dari bahan yang mengalami
perubahan bentuk. Jika suatu bahan dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan
tetap, semula kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan
perpanjangan spesimen sampai dengan titik elastis bilamana tegangan dilepaskan
maka hanya sebagian yang akan kembali ke keadaan aslinya dan menjadi bentuk
permanen, tetapi jika tegangan dinaikan sedikit saja akan terjadi perpanjangan
yang besar (Purwanti, 2010).
2.4.3 Ketebalan Edible Film
Analisis ketebalan juga sangat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible
film, seperti tensile strength, elongation dan water vapor transmission rate
(WVTR). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketebalan edible film antara
lain konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran pelat
pencetak. Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film akan
meningkat (McHugh dan Krochta, 1994).
2.4.4 Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang dapat memproduksi berkas
elektron pada tegangan dipercepat sebesar 2 – 30 kV. Berkas elektron tersebut
dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan gambar
berukuran <~10nm pada sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi atau
kedalam tabung layar. Adapun diagram skematik dan cara kerja SEM ditunjukkan pada
Gambar 7.
13
Gambar 7. Diagram Skematik dan Cara Kerja SEM
(Sumber : Anggraeni, 2008)
SEM lebih baik digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan
permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali sampai 500.000 kali.
Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning raster mendeflesikan
berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil scan ini tersinkronisasi
dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak pada area yang di-
scan. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul karena hasil
refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu berkas elektron menumbuk
permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai backscattered electron
(BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi
radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang
bervariasi tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk
digunakan adalah daerah panjang gelombang cahaya tampak
(cathodoluminescence) dan sinar-X (Anggraeni, 2008).
14
2.4.5 Uji Kelarutan
Uji kelarutan diadakan untuk mengetahui adanya ikatan dalam polimer
serta tingkatan atau keteraturan ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui
presentase penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses
difusinya antara molekul pelarut dan polimer akan menghasilkan gel yang
menggembung. Sifat ketahanan edible film terhadap air ditentukan dengan uji
swelling, yaitu presentase penggembungan film oleh adanya air (Ummah, 2013).
2.4.6 Laju Transmisi Uap Air
Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR) adalah
jumlah molekul uap air yang melalui suatu permukaan persatuan luas atau slope
jumlah uap air dibagi luas area. Edible film yang terbuat dari bahan dasar
polisakarida umumnya sifat barrier terhadap uap airnya rendah. Film hidrofilik
biasanya menunjukkan hubungan-hubungan positif antara ketebalan dan
permeabilitas uap air. Nilai laju transmisi uap air suatu bahan dapat dipengaruhi
oleh struktur bahan pembentuk dan konsentrasi plasticizer (Liu and Han, 2005).
Laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi oleh sifat kimia dan
struktur bahan pembentuk, konsentrasi plasticizer dan kondisi lingkungan seperti
kelembaban dan temperatur. Migrasi uap air biasanya terjadi pada bagian film yang
hidrofilik. Rasio antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan
mempengaruhi nilai laju transmisi uap air film tersebut. Semakin besar
hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin
menurun. Sehingga dapat disimpulkan juga, semakin besar hidrofilisitas film, maka
nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin naik (Bergo dan Sobral 2007).
15
2.4.7 Uji Biodegradabilitas
Uji biodegradabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu bahan dapat
terdegradasi dengan baik dilingkungan. Proses biodegradabilitas terjadi karena
adanya hidrolisis (degradasi kimiawi), bakteri/jamur, enzim (degradasi enzimatik),
oleh angin dan abrasi (degradasi mekanik), cahaya (fotodegradasi). Proses ini juga
dapat dilakukan melalui proses secara anaerobik dan aerobik (Ummah, 2013).
Sampel berupa film bioplastik ditanamkan didalam tanah yang
ditempatkan dalam pot dengan asumsi komposisi tanah sama. Biodegradasi adalah
perubahan senyawa kimia menjadi komponen yang lebih sederhana dengan bantuan
mikroorganisme. Saat degradasi, film plastik akan mengalami proses penghancuran
alami. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan
setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni sifat hidrofobik, bahan aditif, proses
produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan (Ummah,
2013). Adapun ilustrasi mekanisme proses degradasi plastik ditunjukkan pada
Gambar 8.
Gambar 8. Proses Mekanisme Degradasi Plastik
(Sumber: Pudjiastuti, 2012)
Erosi
permukaan Enzim-enzim
ekstraseluler
Senyawa
intermediate larut air
Degradasi pendek
senyawa intermediate
larut ke dalam medium
Asimilasi senyawa
intermediate ke
dalam sel
CO2, H2O, CH4 Produk metabolik lainnya
Ekskresi dari enzim-
enzimekstraseluler
Enzim melekat pada
permukaan dan
merombak rantai
polimer
16
Degradasi polimer dapat disebabkan oleh beberapa factor seperti sinar
matahari, panas,umur dan factor alam. Oleh sebab itu dalam proses pembuatannya
polimer ditambahkan berbagai aditif guna mengatasi proses degradasi oleh berbagai
factor tersebut. Hasil dari mekanisme proses degradasi plastik akan dihasilkan gas
CO2, H2O dan CH4 (Pudjiastuti, 2012).
2.4.8 Transparansi Edible Film
Kejernihan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
kualitas edible film. Edible film yang tidak jernih jika diaplikasikan pada produk
maka akan mengubah warna asli dari produk yang dilapisi. Nilai transparansi yang
menurun menunjukkan bahwa derajat suatu kejernihan film meningkat. (Al-Hasan
dan Norziah, 2012).
2.5 Ekstraksi Pati
Ektraksi pati dari biji nangka dapat dilakukan dengan cara basah maupun
kering dengan menjadikannya tepung. Ekstraksi dengan cara basah akan diperoleh
pati murni, sedangkan ekstraksi dengan cara kering akan diperoleh tepung biji
nangka. Biji nangka banyak yang terbuang atau menjadi limbah, karena hanya
daging buah nangka saja yang dikonsumsi masyarakat, tetapi ternyata biji nangka
memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Kandungan nutrisi biji nangka
meliputi karbohidrat 36,7%, protein 4,2% dan lemak 0,1%. Hal ini yang menjadi
nilai yang cukup potensial bagi biji nangka untuk dapat dimanfaatkan (Rizal, dkk,
2013).
Top Related