HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DAN KELEMBABAN RUMAH DENGAN KEJADIAN TB (TUBERCOLUSIS) PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYOKECAMATAN METRO TIMUR KOTA METRO
TAHUN 2011
Oleh:FITRIANA DWI FIDIAWATI
NIM 08 330 018
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAHKEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANGJURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2011
2
HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DAN KELEMBABAN RUMAH DENGAN KEJADIAN TB (TUBERCOLUSIS) PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYOKECAMATAN METRO TIMUR KOTA METRO
TAHUN 2010
Proposal karya tulis ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan pada Progam Diploma III Kesehatan Lingkungan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungkarang
Oleh:FITRIANA DWI FIDIAWATI
NIM 08 330 018
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAHKEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANGJURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2011
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis
(UU RI No. 36/09, II :(3)).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Microbacterium Tuberculosis (TBC). Sebagian besar kuman TBC
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman TBC ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman
TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini
dapat dorman, tertidur lama selama bebrapa tahun. (Depkes RI, 2002 : 9)
Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,
penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
1
4
dan pembulu darah serta penyakit saluran pernapasan (Yoannes,2008:8)
Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan
jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi
tiga di dunia setelah India dan Cina.
Sedangkan laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia
menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang.
Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India,
Cina, Afrika Selatan, Nigeria, dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control :
2010).
Pada Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, Total
seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah
kasus TBC baru BTA positif, 108616 adalah kasus TBC BTA negatif, 11215
adalah kasus TBC Extra Paru, 3709 adalah kasus TBC Kambuh, dan 1978 adalah
kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).
Mulai tahun 1995, progam penanggulangan TBC Nasional mengadopsi
strategi DOTS (Directly observed Treatment Short Couse) sesuai rekomendasi
WHO yang kemudian dikembangkan di seluruh puskesmas di Indonesia pada
tahun 2000. Strategi DOTS telah dibuktikan dengan uji coba di lapangan dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Namun dalam kenyataannya tingkat
penyembuhan penderita tuberculosis di Indonesia masih rendah. Strategi DOTS
untuk penanggulan TBC sesuai dengan rekomendasi WHO meliputi 5 komponen
dasar yaitu:
1. Komitmen politis dari pengambilan keptusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
5
3. Pengobatan dengan obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita.
5. Pencataan dan pelaporan secara baku memudahkan pemantauan dan
evaluasi progam penanggulangan TBC (Depkes RI, 2006).
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmojo, 2003).
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran
kuman tuberculosis. Kuman tuberculosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan
sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah, dan kepadatan
penghuni rumah.
Penelitian Lin (2009) membuktikan hubungan signifikan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap
risiko infektif penyakit dan menderita TB sebanyak 33 orang, perokok pasif dan
menderita TB 5 orang, dan terkenan polusi udara dan menderita TB 5 orang.
Penelitian Aditama (2009) menunjukan hubungan antara kebiasaan
merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberculosis, serta faktor risiko terjadinya
tuberculosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response relationship
dengan jumlah rokok yang dihisap perharinya.
Dalam pelaksanaan progam pelayanan kesehatan dasar, kota Metro
memiliki 11 Puskesmas di 5 kecamatan dan 7 Puskesmas pambantu. Puskesmas
Rujukan Mikroskopis (PMR), 3 puskesmas Pelaksana Mandiri 4 unit, terdiri dari
1 RS Pemerintah dan 3 RS Swasta, Balai Pengobatan 3 unit serta Rumah Bersalin
6
7 unit. Jumlah Dokter Praktek Swasta di Kota Metro yaitu 65 orang tersebar di
wilayah Kota Metro (Profil Kegiatan P2P Kota Metro :2010)
Menurut hasil kegiatan progam Pengendalian Penyakit TB di kota Metro
tahun 2010 yaitu estimasi tersangka TB sebesar 2.215 dari 13.8457 penduduk,
terjadi peningkatan sebesar 17 tersangka TB dari tahun 2009 (2.198). Kemudian
untuk estimasi TB BTA positif sebesar 222 dari 1.088 tersangka TB yang
diperiksa. Hal ini terlihat peningkatan 2 pendetita TB positif dari tahun 2009
(220) dari 608 tersangka TB yang diperiksa.
Sedangkan untuk penemuan penderita TB paru baru BTA Positif pada
tahun 2010 sebanyak 84 penderita. Terlihat terjadi penurunan penderita TB paru
dari tahun 2009 (97) yakni sebesar 13 penderita.
Selain itu, cakupan penemuan kasus (CDR) sebesar 37,84% terjadi
penurunan sebesar 6,25% jika dibandingkan tahun 2009 (44,09%). Angka
konversi yaitu 78,31% berarti terjadi peningkatan sebesar 7,48% jika
dibandingkan tahun 2009 (70,83%), sedangkan angka kesembuhan (Cure Rate)
pada tahun 2010 yaitu 91,75% berarti terjadi peningkatan sebesar 10,1% jika
dibandingkan tahun 2009 (81,65%). Success rate pada tahun 2010 yaitu 92,98%
berarti terjadu peningkatan sebesar 4,67% jika dibandingkan tahun 2009
(88,31%). Angka CNR tahun 2010 yaitu 121,34/100.000 penduduk.
Sesuai dengan laporan progam Pengendalian Penyakit TB di Kota Metro
tahun 2010, penemuan kasus baru penderita TB Paru BTA positif terdapat 65
penderita selama satu tahun dilihat dari Unit Pelayanan Kesehatan yang ada di
kota Metro. Dari beberapa Puskesmas yang ada di kota Metro, Puskesmas Iring
Mulyo mempunyai kasus baru TB paru tertinggi atau jumlah penderita kasus baru
7
sama dengan Puskesmas Yosorejo. Dimana ditemukan kasus penderita TB Paru
BTA positif sebanyak 15 penderita atau dengan persentase 23,07%.
Menurut hasil laporan Puskesmas Iring Mulyo terlihat ada penurunan
penderita TB Paru dari tahun ketahun. Dimana jumlah penderita TB Paru pada
tahun 2008 sejumlah 71 penderita, pada tahun 2009 sejumlah 45 penderita, dan
pada tahun 2010 sejumlah 34 penderita. Menurunnya angka penderita TB Paru
merupakan salah satu keberhasilan Puskesmas dalam pengobatan dan
penanggulangan penyakit TB Paru. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan yakni
kasus baru penderita TB Paru BTA Positif Puskesmas Iring Mulyo memiliki
persentase tertinggi di antara Puskesmas yang terdapat di Kota Metro pada tahun
2010.
Sementara itu, sesuai dengan laporan Puskesmas Iring Mulyo khususnya
bidang Kesehatan Lingkungan tahun 2010, didapatkan persentase rumah sehat
sebesar 68,40%. Dimana jumlah rumah yang ada sebanyak 2.500 rumah dan yang
dilakukan pemeriksaan sebanyak 1.478 rumah. Terdapat 1.011 rumah telah
memenuhi syarat kesehatan dan 467 rumah tidak memenuhi syarat kesehatan.
Dengan persentase rumah sehat sebesar 68,40% menunjukan bahwa progam
penyehatan lingkungan khususnya rumah sehat masih belum memenuhi target
Dinas Kesehatan Kota Metro yakni sebesar 95% penduduk tinggal di rumah sehat.
Kemudian sesuai dengan laporan progam lain dari Puskesmas Iring Mulyo
khususnya progam Promosi Kesehatan tahun 2010, didapatkan data persentase
PHBS yakni kegiatan masyarakat tidak merokok sebesar 47,38% (597) dan
persentase masyarakat yang merokok sebesar 52,62% (663) . Hal ini menunjukan
8
bahwa penduduk yang berada di kelurahan Iring Mulyo masih banyak melakukan
kegiatan merokok.
Atas dasar itulah penulis ingin mengetahui hubungan kebiasaan merokok
dan kelembaban rumah dengan penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Iring
Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro tahun 2010.
B. Rumusan Masalah
Upaya penanggulan TB paru telah menjadi progam nasional dengan
memberikan obat gratis kepada penderita TB paru. Tetapi progam tersebut belum
dapat terlaksana secara optimal dengan adanya insiden baru setiap tahunnya. Di
wilayah kerja Puskemas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro
penderita TB paru selalu muncul setiap tahunnya meskipun progam pemerintah
telah dijalankan secara optimal.
TB paru disebabkan karena adanya infeksi kuman Microbacterium
Tuberculosis (TBC) yang kemudian diperparah dengan faktor lingkugan yang
tidak mendukung seperti kelembaban, ventilasi, kepadatan hunian dan lain-lain.
Kemudian kebiasaan merokok juga akan memperparah infeksi Microbacterium
Tuberculosis (TBC).
Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul suatu permasalahan yaitu
bagaimana hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban rumah dengan kejadian
TB paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota
Metro.
9
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban rumah
dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan
Metro Timur Kota Metro tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
a. Mengetahui kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo
tahuan 2010.
b. Mengetahui kebiasaan merokok masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Iring Mulyo.
c. Mengetahui kelembaban rumah masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Iring Mulyo.
d. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo.
e. Mengetahui hubungan kelembaban dengan kejadian TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Iring
Mulyo tentang faktor kebiasaan merokok dan kelembaban rumah
dengan kejadian TB Paru. Disamping itu juga dapat menjadi bahan
masukana dan evaluasi dalam menetapkan dan menentukan kebijakan
10
dalam upaya pencegahan, penularan, dan penurunan angka penyakit
TB paru.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat tentang
pentingnya PHBS yakni tidak merokok dalam rumah dan kelembaban
rumah yang memenuhi syarat dengan kejadian TB Paru.
3. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai
hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban dengan kejadian TB
paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur
Kota Metro.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini hanya dibatasi pada variable kebiasaan merokok dan
kelembaban rumah dengan kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo
Kecamatan Metro Timur Kota Metro tahun 2010.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberculosis
1. Definisi Tuberculosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculusis, kuman tersebut biasanya
masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru.
Kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain, melalui
sistem peredaran darah, system saluran limfe, melalui saluran nafas (broncus) atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 1997:10).
Sedangkan menurut Ratna (2010), Tuberculosis ialah suatu infeksi
menular dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycrobacterium
tuberculuosis, Mycrobacterium bovis atau Mikrobakterium africanum.
2. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculose, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Bakteri
Tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Kock pada tanggal 24 Maret
1887, sehingga untuk mengenang jasanya bekteri tersebut diberi nama baksil
Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP).
Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex
adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, dan M.
12
bovis. Kelompok kuman M. tuberculosae dan Mycobacteria Other Than Tb
(MOTT, atypical) adalah M. kansasi, M. avium, M. intracellulare, M.
scrofulaceum, M.malmacerse, dan M. xenopi (Slamet Suyono.2001:820-821).
Menurut Heinz (1993) dikutip dari Ikue dkk (2007) penyebab terjadinya
penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam genus
Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam
ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah
penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Masih
terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium leprae,
Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai
Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan.
3. Karakteristik Kuman Tuberculosis
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomana. Lipid inilah yang membuat kuman tahan asam
(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini
karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi (Slamet Suyono, 2001
: 821).
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
13
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-
paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberculosis.
Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri Tuberkulosis Mikrobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat
penderita TB batuk. Daya penularan dari seorang penderita tuberculosis
ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita, persebaran
dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang dikeluarkan bersama dahak
berupa droplet dan berada di udara di sekitar penderita tuberculosis.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain. Jika
kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, mereka
mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi; ini adalah cara
bagaimana infeksi tersebut menyebar dari satu orang ke orang lain. Orang yang
serumah dengan penderita tuberculosis pada BTA positif adalah orang yang besar
kemungkinannya terpapar dengan kuman tuberculosis.
Daya penularan dari penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan negative (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut tidak dianggap menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Selain itu, kontak
jangka panjang dengan penderita TB dapat menyebabkan tertulari, seorang
penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam sputum mereka.
14
Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan
tetap mengandung basil TB selama bertahun-tahun (Chin,2006).
Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal seperti: jumlah basil TB
yang dikeluarkan, virulensi dari basil TB, terpajannya basil TB dengan sinar ultra
violet, terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat
bernyanyi, tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi
atau pada saat waktu melakukan bronkoskopi.
Menurut Nur Nasri (1997) dalam Woro (1997), penularan TB dapat juga
melalui makanan/minuman. Dimana penularan dalam hal ini dapat melalui susu
(milk bone disease) karena susu merupakan media yang paling baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme penyebab, juga karena susu
sering diminum dalam keadaan segar tanpa dimasak atau dipastereurisasi.
Sedangkan pada susu yang mengalami kontaminasi oleh bakteri tidak
memperlihatkan tantan tertentu.
4. Gejala Penyakit TB Paru
Menurut dr. Yoanes tahun 2008 untuk penyakit TBC paru, gejala-gejala
muncul dapat dibedakan pada orang dewasa dan anak-anak.
1. Gejala pada orang dewasa
a) Batuk terus-menerus dengan dahak selama tiga minggu atau lebih
b) Kadang-kadang dahak yang keluar bercampur dengan dahak
c) Sesak napas dan rasa nyeri di dada
d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun
e) Berkeringat malam walau tanpa aktifitas
15
f) Demam meriang (demam ringan) labih dari sebulan
2. Gejala pada anak-anak
a) Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas
b) Berat badan anak tidak bertambah (anak kecil/kurus terus)
c) Tidak ada nafsu makan
d) Demam lama dan berulang
e) Muncul benjolan di daerah leher, ketiak, dan lipat paha
f) Batuk lama lebih dari dua bulan dan nyeri dada
g) Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare biasa.
Sedangkan menurut Ratna tahun 2010 gejala awal TBC paru yakni
penderita merasakan tidak sehat atau batuk. Pada pagi hari, batuk disertai sedikit
dahak berwarna hijau atau kuning. Jumlah dahak biasanya akan bertambah
banyak, sejalan dengan perkembangan penyakit. Pada akhirnya, dahak akan
berwarna kemerahan karena mengandung darah. Sesak nafas merupakan pertanda
adanya udara (pneumotoraks atau cairan (efusi pleura) di dalam rongga pleura.
Sekitar sepertiga infeksi ditemukan dalam bentuk efusi pleura.
Pada infeksi tuberculosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paru-paru
ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika system
pertahanan tubuh alami bias mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan
berlanjut dan bakteri akan menjadi dorman.
16
Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan tabung
bronchial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin menyebabkan penciutan
paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan membentuk
sekelompok kelenjar getah bening di leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini
bisa menembus kulit dan menghasilkan nanah.
5. Macam-Macam Tuberculosis
a) Tuberculosis Primer
Tuberculosis primer adalah infeksibakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari
udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal
saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkn oleh
makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh
makrofag yang lemah maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh
makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini,
dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari aliran
darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus
diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T.
Tidak semua makroag pada granula TB mempunyai fungsi sama. Ada
makrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang
bakteri. Beberapa makrofag menghasilkan protalase, elastase, kolagenase, serta
colony stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan granulit
pada sumsung tulang belakang. Bakteri TB menyebar melalui saluran
pernapasan ke kelenjar gatah bening regional (hilus) membentuk epiteloid
17
granula. Grabula mengalami nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya
hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu
dan akan terlihat pada ter tuberculin. Hipersensitivitas seluler terlihat sebagai
akumilasi loka dari limfosit dan makrofag.
Bakteri TB berada di alveoli akan membentuk focus lokal, sedankan focus
iniasial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat di hilus dan disebut
juga TB primer. Focus primer paru biasanya bersifat unilateral dengan
subpleura terletak di atas atau di bawah fisura interlobaris, atau di bagian basal
dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau
aliran darah dan akan tersangkut pada bagian organ. TB primer merupakan
infeksi yang bersifat sistematis (Arif:2007)
b) Tuberkulosis sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumalah kecil bakteri
masih hidup dalam keadaan dorman di jaringan pusat. Sebanyak 90% di
antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivitasi penyakit TB (TB pasca
primer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme,
keganasan, silikosis, diabeter mellitus, dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan
organ lainnya jarang terkena, lebih terbatas dan terolakasi. Reaksi imunologis
terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yeng terjadi
pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan
lesi kaseosa yang luas dan disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan
oleh makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara
18
umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya
dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai
hipersensitivitas seluler.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah
terinfeksi TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apical atau segmen
posterior lobus superior, 10-20 mm dari pleura, dan sehingga menguntungkan
untuk pertumbuhan bakteri TB (Arif:2007)
6. Pemeriksaan Tuberkulosis
a) Pemeriksaaan Fisis
Pemeriksaan fisis pertama terhdapa keadaan umum pasien mungkin
ditentukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), berat badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemiksaan khusus fisis pasien sering tidak menunjukan suatu
kelainan pun terutama pada kasus-ksus dini atau yang sudah terinfeksi secara
asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menumakan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru-paru sulit dinilai secara patesi, perkusi, dan
auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB Paru sulit dibedakan
dengan pneumonia biasa.
Tempat kelaimam lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apekspar. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi sduara napas bronchial. Akan didapkan juga
19
suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila
infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesicular
melemah,. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memeberikan suara amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofil dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediatrium atau paru lainnya. Bilsa jsringan fibrotik
amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi
pengecilan daerah aliran darah paru dan selnjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonaris (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kopulmonal dan
gagal jantung kanan. Disina akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan
gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardial, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan
vena jugularis yang meningkat, hepatomagali, astesis, dan endema.
Dalam pemeriksaan klinis, Tb paru sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkan kelainan radiologis dada padapermukaan rutin
atau uji tuberculin yang positif.
b) Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologist dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberculin. Pemeiksaan ini memang membutuhkan
biaya alebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia
memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis
20
milier. Pada keduanya pemeriksaan radiologist dada, sedangkan pemeriksaan
sputum hamper selalu negative.
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical
lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah ( bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru )missal
pada tuberculosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologist berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-
batasa yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma.
Pada kavis bayangan berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi bayangan tampak
sebagai bercak-bercak pada dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat
seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiology lain yang
sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis),massa
cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radiolesun di pinggir paru/pleura (Pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis
21
fibrotik, klasifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema.
Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologist, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus, atau karsinoma metastasis. Gambaran
kavitas sering sering diartikanm sebagai abses paru. Di samping itu perlu
diingat juga factor kesalahan dalam membaca foto. Factor kesalahan dapat
mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostic radiology sering dilakukan
juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi
densitas keras.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberculosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien
akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologist dada yang lebih canggih dan saat ini sudah
banyak dipakai si rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography
Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan jaringan
terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevakuasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada perut. Sayatan bias dibuat transnersal, sagital, dan koronal.
22
c) Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-
kadang meragukan, hasilnya tidak sensitive dan juga tidak spesifik. Pada
saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih
tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapkan juga:
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.
2. Gama globulin meningkat.
3. Kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik. Pemeriksaan
seriologis yang pernah dipakai adalh reaksi Takahasil. Pemeriksaan ini
dapat menunjukan proses tuberculosis masih aktif atau tidak. Criteria positif
yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. pemeriksaan ini juga kurang
mendapat perhatian karena angka-angka poditif palsu dan negative palsunya
masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga
dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-Tb) yang oleh beberapa
peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-
95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapatkan
angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih
23
dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai saran
tunggal untuk diagnosis Tb.
2) Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping
itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang
tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk
atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum sebanyak ±2 liter dan
diajarkan melakukan reflek batuk. Dapat juga memberikan tambahan obat-
obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brusing atau bronchial washing atau BAL (bronco alveolar
lavage). BTA dari sputum bias juga didapat dengan cara bilasan lambung.
Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena merka sulit mengeluarkan
dahaknya. Sputum yang hendak diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:
24
(a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
(b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop flouresens
(pewarnaan khusus).
(c) Pemeriksaan dengan biakan (Kultur).
(d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
3) Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk menegakkan diagnosis tuberculosis
terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,11 cc tuberculin berkekuatan 5 T.U (intermediate
strength). Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu
sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis,
vaksinasi BCG dan Mycrobacteriae pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin
ini adalah reaksi alergik tipe lambat.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi
Mantoux yang positif (99,8). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu
yakni pada pemberiaan BCG atau teribfeksi dengan Mycobacterium lain.
Negative palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu.
B. Faktor Resiko penyebab Tuberkulosis paru
1. Faktor Umur.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu
umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil
25
penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis
aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.
2. Faktor Jenis Kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada
tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %
pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun
0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.
Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya.
26
4. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu
di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara
konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah
dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki
tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit TB Paru.
5. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis
kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko
untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760
27
batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada
hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok
akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
6. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan
jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm
untuk menjamin keluasan bergerak, bernafas dan untuk memudahkan
membersihkan lantai. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang 5 tahun
sebanyak 4 ½ m3, dan yang berumur lebih dari 5 tahun adalah 9 m3, artinya dalam
satu ruangan anak yang berumur 5 tahun ke bawah diberi kebebasan
menggunakan volume ruangan 4 ½ m3 (1 ½ x 1 x 3 m 3), dan di atas 5 tahun
menggunkan ruangan 9 m3 ( 3 x 1 x 3m3) (Sukini dkk, 1989).
7. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang
leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena
28
dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB,
karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang
lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman
TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang.
8. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara
di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
29
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di
dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas
lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara
segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam
ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara
optimum kurang lebih 60% (Sukini dkk, 1989).
9. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.
Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
10. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C
(Sukini dkk, 1989). Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab.
11. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
30
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
12. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
13. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan
akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
C. Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air di udara.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer, menurut indikator pengawasan perumahan kelembaban memenuhi
syarat adalah minimal 60 % (Depkes RI, 1998). Sedangkan menurut Lubis (1985)
temperature yang optimal di dalam rumah adalah 23oC-25oC, dan kelembapan di
antara 20-60%. Hal ini berbeda dengan pendapat Sukini (1989) bahwa
31
temperature kamar untuk perumahan sehat 22oC-30oC sudah cukup segar dan
kelembapan udara berkisar 60% optimum.
Kelembaban adalah tingkat kebasahan udara yang disebabkan oleh
ventilasi ruangan yang kurang memenuhi syarat kesehatan <10% dari luas lantai
dan jendela <15% dari lantai. Tidak tersedianya ventilasi yang baik dapat
mempengaruhi kesehatan. Jika di dalam ruangan tersebut terdapat pencemaran
bakteri (misalnya ada penderita TBC Paru). Kenaikan kelembaban di dalam ruang
dapat berasal dari penguapan dari uap-uap air melalui system respirasi dan
evaporasi melalui kulit. Lubis 1985:57)
Kelembaban di dalam rumah disebabkan oleh 2 faktor, yakni:
1) Kelembaban yang naik dari tanah (rising dump), yaitu proses kerja kapiler
air naik dari bahan dinding yang kontak dari bahan dinding yang kontak
dengan tanah yang lembab yang mana bisa naik ke dalam dinding sampai
mencapai tinggi 3-4 meter. Oleh sebab itu, sebaiknya memplester lapisan
lantai dengan semen agar kedap air sehingga dapat menahan keadaan
lembab.
2) Merembes melalui dinding (porcalating damp), yaitu disebabkan oleh
infaltrasi hujan yang masuk ke dalam dinding. Oleh sebab itu sebaiknya
membuat plaster dinding dari adukan semen yang kedap air. Bocor
melalui atap (roof leaks), yaitu dimana air disaat hujan akan merembes
melalui celah-celah pori-pori genteng. Oleh karena itu celah pori-pori
retak direkat dengan bahan tahan air seperti asphalt. (Lubis 1985:31).
Menurut Notoatmojo (2003), lingkungan merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia. Lingkungan, baik secara fisik
32
maupun biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan kesehatan
masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa penyakit tuberculosis pada
anak.
Menurut hasil penelitian Pengaruh Prilaku Penderita TBC Paru dan
Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TBC Paru Pada
Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 menunjukkan factor
predisposisi yang dianalisa secara bivariat yakni pendidikan, pengetahuan, dan
sikap yang diteliti di Kabupaten Tapanuli Utara semuanya memiliki hubungan
yang bermakna dengan potensi penularan TBC paru. Pendidikan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan penularan TBC Paru dimana nilai p value
<0,05(0,000) dan nilai OR sebesar 2,7 artinya potensi penularan TBC paru 2,7
kali lebih besar pada yang berpendidikan rendah. pengetahuan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan penularan TBC Paru dimana nilai p value
<0,05(0,000) dan nilai OR sebesar 2,5 artinya potensi penularan TBC paru 2,5
kali lebih besar pada yang berpengetahuan kurang. Sikap mempunyai hubungan
yang signifikan dengan penularan TBC Paru dimana nilai p value <0,05(0,000)
dan nilai OR sebesar 3,1 artinya potensi penularan TBC paru 3,1 kali lebih besar
pada yang bersikap kurang
Kemudia factor enabeling yang dianalisa secara bivariat ditemukan tiga
variable yang terbukti berhugungan secara sicnifikan terhadap potensi penularan
TBC paru yaitu kepadatan hunian, ventilasi, dan pencahayaan. Kepadatan hunian
mempunyai hubungan yang signifikan dengan penularan TBC Paru dimana nilai p
value <0,05(0,000) dan nilai OR sebesar 3,3 artinya potensi penularan TBC paru
3,3 kali lebih besar pada kepadatan hunian yang kurang. Sedangkan untuk
33
ventilasi mempunyai milai p value <0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 2,4 artinya
potensi penularan TBC paru 2,4 kali lebih besar pada ventilasi yang kurang.
Sedangkan pencahayaam matahari mempunyai hubungan yang signifikan dengan
potensi penularan TBC paru dimana nilai p value <0,05 (0,000) dan nilai OR
sebesar 5,9 artinya potensi penularan TBC paru 5,9 kali lebih besar pada
pencahayaan yang kurang.
Berdasarkan Jurnal Kesehatan Surya MedikaYogyakarta Hubungan
Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006, menunjukan hasil
analisa bivariat hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC menunjukkan,
bahwa sebagian besar responden rumahnya tidak sehat yaitu 66 rumah (75%).
Pada kelompok kasus sebanyak 40 rumah (91%) dan pada kelompok pembanding
26 rumah (59%). Dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 6,92
( 95% CI 2,105-22,771), dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
risiko untuk menderita TBC Paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk yang
tinggal pada rumah yang kondisinya tidak sehat.
Menurut penelitian Amon WI Radityo pada tahun 2003 yakni Hubungan
Kondisi Rumah Dengan Kejadian TBC Paru di Kecamatan Taman dan
Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang dari hasil analisi OR menunjukan
bahwa ventilasi, intensitas pencahayaan alami, jenis dinding, kepadatan hunian
kamar tidur, kondisi rumah kurang dan kondisi rumah sedang merupakan faktor
resiko terjadinya TBC Paru.
34
Selain itu, menurut penelitian Siti Fatimah pada tahun 2008 tentang Faktor
Kesehatan Lingkungan Rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di
Kabupaten Cilacap menunjukan adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis
paru dengan kelembaban, dari hasil analisis bivariat diperoleh p = 0,024; OR =
2,571, 95%CI = 1,194 < OR < 5,540. Dengan demikian seseorang yang tinggal di
rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,571 kali
lebih besar untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tinggal di
rumah dengan kelembaban yang memenuhi syarat.
D. Merokok
1. Definisi
Merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap rokok
(tembakau). Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya bahaya
merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan orang di sekitarnya.
2. Komposisi
Jika kita sadar, satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepuluh
sentimeter itu, ternyata ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan
kimia berbahaya. Satu rokok yang dibakar mengeluarkan empat ribu bahan kimia.
Terdapat beberapa bahan kimia yang ada dalam rokok. Diantaranya, acrolein,
merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti alhehyde. Zat ini sedikit
banyaknya mengandung kadar alcohol. Artinya, acrolein ini adalah alcohol yang
cairannya telah diambil. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan. Karbon
35
monoxide adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsure ini dihasilkan oleh
pembakaran yang tidak sempurna dari unsure zat arang atau karbon. Zat ini sangat
beracun. Jika zat ini terbawa dalam hemoglobin akan menganggu kondisi oksigen
dalam darah. Nikotin adalah cairan berminyak yang tidak berwarna dan dapat
membuat rasa perih yang sangat. Nikotin ini menghalangi kontraksi rasa lapar.
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen
dan hydrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu
kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga kalau disuntikkan sedikitpun
kepada peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan. Formic acid
sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat bmembuat lepuh.
Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat ini menimbulakn rasa seperti
digigit semut.
Hydrogen cyanide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah
terbakar dan sangat efesien untuk menghalangi pernapasan.
Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat
berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat
mengakibatkan kematian.
Nitrous oxide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terhisap
dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan rasa sakit. Nitrous oxide merupakan
jenis zat pada mulanya dapat digunakan sebagai pembius waktu melakukan
operasi oleh para dokter.
36
Formaldehyde adalah sejenis gas tidak berwarna dengan bau yang tajam.
Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembius hama. Gas ini juga sangat
beracun keras terhadap semua organism-organisme hidup.
Phenol merupakan campuran dari Kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organic seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini
beracun dan membahayakan, karena phenol ini terikat ke protein dan menghalangi
aktivitas enzim.
Aceton adalah hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna
yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alcohol/ hydrogen sulfide
sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini
menghalangi oxidasi enzyme (zat besi yang berisi pigmen). Pyridine, sejeni cairan
tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan mengubah sifat
alcohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Metyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu antara
hydrogen dan karbon merupakan usnsurnya yang terutama. Zat ini adalah
merupakan compound organis yang dapat beracun. Methanol sejenis cairan ringan
yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol
dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian. Dan tar, sejenis cairan
kental berwarna cokelat tua atau hitam. Tar dapat terdapat dalam rokok yang
terdiri dari ratusan bahan kimia yang menyebabkan kanker pada hewan. Bilaman
zat tersebut diisap waktu merokok akan mengakibatkan kanker paru-paru
(Aditama, 1997)
37
3. Pengaruh Merokok terhadap paru-paru
Merokok merupakan masalah kesehatan pada masyarakat yang merupakan
suatu ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons,1999). Konsumsi
tembakau terus-menerus dapat menjadi penyebab utama kematian di dunia yang
sebenarnya dapat dicegah. Saat ini, diperkirakaan terdapat 1,1 milyar penduduk
dunia yang berusia 15 tahun atau lebih merupakan perokok, dan kematian akibat
dari penggunaan tembakau terdapat 4,9 juta orang per tahun. Jika pola perokok ini
tetap berlanjut, jumlah kematian akan meningkat menjadi sepuluh juta orang per
tahun pada tahun 2020, tujuh juta (70%) di antaranya akan terjadi di Negara
berkembang di berbagai belahan dunia (WHO, 2003).
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang
rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar empat ribu bahan kimia nikotin,
gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia, acrolein,
acetin, benzaidehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin, 4-ethycatechol,
ortocresol, perylene, dan lain lain (Aditama, 1997) (dikutip dari Muhammad,
2009). Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar
yaitu komponen gas dan komponen padat atau artikel, sedangkan komponen padat
atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Tar adalah kumpulan dari ratusan
atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen padat asap rokok setelah
dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung bahan-bahan karsinogen (dapat
menyebabkan kanker). Tembakau banyak dikunyah atau diisap melalui mulut atau
huding, atau seperti kebiasaan menyusur di Negara kita. Sementara itu, nikotin
adalah suatu bahan adiktif, bahan yang dapat orang menjadi ketagihan atau
menimbulkan ketergantungan. Daun tembakau mengandung satu sampai tiga
38
persen nikotin. Setiap isapan asap rokok mengandung 1014 radikal bebas dan 1016
oksidan, yang semuanya tentu akan masuk terisap ke dalam paru-paru. Jadi bila
seorang membakar kemudian menghisap rokok, maka ia akan sekaligus
menghisap bahan-bahan kimia yang disebut di atas.
Bila rokok dibakar, maka asap juga akan berterbangan di sekitar perokok.
Asap yang berterbangan itu juga mengandung bahan yang berbahaya, dan bila
asap itu diisap oleh orang yang ada disekitar perokok maka orang itu juga akan
menghisap bahan kimia yang berbahaya ke dalam dirinya, walaupun ia sendiri
tidak merokok. Asap rokok yang diisap perokok disebut dengan asap utama
(mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar yang
diisap oleh orang sekitar perokok disebit asap sampingan (Sidestream smoke).
Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai
penyakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tersebut. Kanker
paru misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung
dihubungkan dengan gas karbon monoksida, nikotin, dan lain-lain. Makin tinggi
kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka semakin besar
kemungkinan seseorang menjadi sakit kalau menghisap rokok. Karena itulah di
banyak Negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar, nikotin,
dan bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual dipasaran.
Yang juga jadi masalah bagi kita adalah kenyataan bahwa rokok Indonesia
mempunyai kadar tar dan nikotin lebih tinggi daripada rokok-rokok produksi luar
negri. Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok
kadar tar dan nikotin lebih rendah di Indonesia.
39
Setelah menghisap rokok bertahun-tahun, perokok mungkin menderita
sakit. Makin lama ia punya kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan
mendapat penyakit. Tentu saja ada pengaruh buruk yang segera timul dari asap
rokok, misalnya keluhan perih di mata bila kita berada di ruangan tertentu yang
penuh asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan
batuk-batuk bila di sebelahnya ada orang yang menghembus juga akibat paparan
asap rokok dalam waktu lama. Ada juga penelitian yang menunjukan bahwa asap
rokok merupakan faktor resiko penting untuk timbul kasus baru asma. Para
perokok juga ternyata dapat lebih tersensitisasi terhadap allergen-alergen di
tempat kerja yang khusus.
Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan peningkatan kadar suatu
bahan yang disebut immunoglobulin E yang spesifik. Kadar antibody terhadap
bahan ini ternyata bahkan dapat sampai empat sampai lima kali lebih tinggi pada
perokok bila dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian lain (melaporkan
pula peningkatan hitung jenis set basofil dan eosinofil pada perokok. Jumlah sel
Goblet yang ada di saluran napas juga terpengaruh akibat asap rokok dan
mengakibatkan terkumpulnya lender di saluran napas. Ada juga penelitian yang
mengemukakan bahwa “epithelial serous cells” di saluran napas dapat berubah
menjadi sel goblet akibat paparan asap rokok dan polutan lainnya (Aditama,1997)
(dikutip dari Muhammad, 2009).
4. Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru
Kebiasan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang
disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak
40
mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di
paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan
napas (airway resistence) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di
paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat
memfagosit bakteri pathogen.
Kebiasaan merokok di Indonesia dan di berbagai Negara berkembang
lainnya cukup luas dan ada kecenderungan bertambah dari waktu ke waktu,
sementara di negara maju kebiasaan merokok ini justru mulai ditinggalkan oleh
masyaraka luas yang telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan (Aditama,
1997).
Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen
sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan.
Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sistense elastase dan menurunkan
produksi antiprotase sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan gas
chromatography dan mikroskop electron lebih menjelaskan hal ini dengan
menunjukan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat biomokuler akibat rokok
(Aditama, 2009) (dikutip dari Muhammad, 2009).
Di India TB adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok.
Sekitar 20% kematian akibat tuberculosis di India berhubungan dengan kebiasaan
merokok mereka. Merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta
warganya di usia produktif pada tahun 2010. Penelitian ini juga menunjukan,
kebiasaan tersebut menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC,
penyakit saluran pernapasan, dan jantung. Menurut penelitian tersebut juga
41
mengungkapkan tuberculosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan
yang signifikan, terutama di Negara berkembang (Boon, 2007).
Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat TB dan kebiasaan
merokok memegang peran penting sebagai faktor penyebab kematian TB.
Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi lebih mudah terinfeksi tuberculosis,
dan angka kematian akibat TB akan lebih tinggi pada perokok dibandingkan
dengan bukan perokok. Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian
resmi yang mengungkapkan hubungan antara merokok dan TB paru (Aditama,
2009).
Namun menurut penelitian Slamet Priyadi pada tahun 2001, tentang
Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kabupaten Banjarnegara menunjukan bahwa adanya hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru dan tidak ada hubungan yang
bermakna antara jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis rokok
yang dihisap dengan kejadian TB paru.
42
Kerangka Teori
Depkes RI:2008)
Faktor Rumah1. Ventilasi2. Palvon3. Dinding4. Lantai5. Pencahayaan6. Kelembaban
1. Diagnosis tepat dan cepat
2. Pengobatan tepat dan lengkap
3. Kondisi kesehatan mendukung
Resiko menjadi TB bila dengan HIV1. 5-10 % setiap tahun
2. >30% lifetime
HIV (+)
TERPAJAN INFEKSI TB MATI
Konsentrasi kuman
lama kontak
Malturasi(Gizi Buruk)
1. Keterlambatan diagnose dan pengobatan
2. Tatalaksana tak memadai
3. Kondisi Kesehatan
SEMBUH
10%
Transmisi
43
Kerangka Konsep
Devinisi operasional
1. Kelembaban kamar tidur
a. Variable : independent
b. Definisi operasional :persentase jumlah kandungan air dalam
udara.
c. Alat ukur : hygrometer
d. Cara ukur : pengamatan dengan alat ukur
e. Hasil ukur : 1. Memenuhi syarat, jika nilai kelembaban
lebih dari sama dengan 60% dan pada
suhu 22 oC -30 oC
2.Tidak memenuhi syarat, jika
kelembaban kurang dari 60% dan pada
suhu 22oC-30oC.
f. Skala ukur : ordinal
2. Kebiasaan Merokok
a. Variable : Independent
b. Definisi operasional : Kebiasaan menghisap rokok di dalam
rumah responden
KelembabanTB Paru
Kebiasaan Merokk
44
c. Alat ukur : quisioner
d. Cara ukur : wawancara
e. Hasil ukur :1. Tidak merokok
2. merokok
f. Skala ukur : ordinal
3. Kejadian TB paru
a. Variable : dependent
b. Definisi operasional :penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycrobacterium tuberculosis yang
telah ditetapkan oleh tenaga medis.
c. Alat ukur : quisioner
d. Cara ukur : wawancara
e. Hasil ukur : 1. menderita penyakit TB Paru
2. tidak menderita penyakit Tb Paru
f. Sakal ukur : ordinal
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai analitik. Survai
analitik merupakan survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Soekidjo Notoatmojo, 2006). Rancangan
penelitian yang digunakan adalah penelitian case control yaitu survei analitik yang
menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunkan pendekatan
retrospective (Soekijo Notoatmojo, 2006), atau dengan membandingkan antara
sekelompok orang yang menderita penyakit (kasus) dengan sekelompok lainnya
yang tidak menderita penyakit (kontrol), kemudian dicari faktor penyebab
timbulnya penyakit tersebut.
Dalam penelitian ini kelompok kasus yakni responden yang menderita
penyakit TB paru yang telah ditetapkan oleh tenaga medis di wilayah kerja
Puskesmas Iring Mulyo kecamatan metro timur. Sedangkan kelompok kontrol
yakni tetangga penderita yang tidak menderita TB paru dan memiliki
karakteristik sepadan dengan kelompok kasus. Sedangkan faktor resiko yang
akan dicari yakni tentang kelembapan rumah dan kebiasaan merokok responden.
Adapun skema dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Populasi
Kasus
Kontrol
FR
FR
+
+
-
-
46
Keterangan:
FR : Faktor resiko
+ ;Kelembaban rumah memenuhi syarat dan tidak merokok
_ :Kelembaban rumah tidak memenuhi syarat dan merokok
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo yakni
Kelurahan Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur dan dilaksanakan pada bulan
Juni-Agustus 2010.
Gambar 1. Desain penelitian kasus kontrol
47
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Arikunto (2006 )mengemukakan populasi adalah keseluruhan dari objek
yang diteliti. Dimana yang menjadi populasi kasus penelitian ini ialah penderita
TB paru yang berada di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo kecamatan metro
timur pada tahun 2010 sebanyak 34 penderita. Sedangkan populasi control adalah
tetangga penderita yang tidak menderita TB paru dan memiliki karakteristik
sepadan dengan populasi kasus.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).
Sampel kasus diambil dari populasi kasus sebanyak 34 penderita TB paru
sehingga seluruh populasi kasus dijadikan sebagai sampel kasus. Sedangkan
sampel control diambil dari populasi control yakni tetangga penderita TB paru
yang tidak menderita TB paru dan mempunyai karakteristik sepadan dengan
populasi kasus dengan menggunkan perbandingan 1:1.
D. Pengumpulan data
a. Data primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan obsevasi/pengamatan
lansung kepada responden yakni meliputi kebiasaan merokok dan kelembapan
rumah responden. Sedangkan alat yang digunakan dalam wawancara ialah
quisiner dan alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban berupa
hygrometer.
48
b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari data Puskesmas Iring Mulyo kecamatan
Metro Timur tahun 2010 dan data Dinas Kesehatan kota Metro tahun 2010.
E. Pengolahan dan analisis data
1. Pengolahan data
a) Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau
kuisioner apakah jawaban yang ada di kuesioner telah lengkap, jelas,
relavan, dan konsisten
b) Koding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan.
c) Proccessing
Pemrosesan data dilakukan dengan cra mengentri data dari kuisioner ke
paket progam computer.
d) Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah
ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada
saat mengentri ke computer.
49
2. Analisa data
a) Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan hubungan masing-masing
variable yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan
proporsi
b) Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan kelembapan
rumah dan kebiasaan merokok dengan kejadiaan TB paru dengan
menggunkan progam SPSS. Uji statistic yang digunakan yaitu Chi-Square
(X2), dengan rumus sebagai berikut:
X2=(O−E )2
E
df = (k-1)(b-1)
Keterangan:
O : nilai observasi, frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan
E :nilai eksperimen, frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai
pencerminan dan frekuensi yang diharapkan dari populasi.
df :degree of freedom (derajat kebebasan)
k :jumlah kolom
b : jumlah baris
F. Variable penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Arikunto, 2006:118).
50
Variable penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni sebagai
berikut:
1. Variable independent yaitu kondisi rumah yang meliputi kelembaban
rumah dan kebiasaan merokok
2. Variable dependent yaitu kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas
Iring Mulyo tahun 2010
G. Hipotesis
Hipotesis ialah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.
Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian Tb paru di
wilayah kerja puskesmas iring mulyo
2. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Tb paru di
wilayah kerja puskesmas iring Mulyo.
51
DAFTAR PUSTAKA
Mahdiana,Ratna.2010.Mengenal, Mencegah, dan Mengobati Penularan Penyakit
dari Infeksi.Yogyakarta:Citra Pustaka
Dep. Kes RI.1997.Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya.
Jakarta
Dr.Laban,Yoannes.2008.Penyakit TBC dan Cara Pencegahannya.
Yogyakarta:Kanisius
Sekretariat Negara.2009.Undang-Undang RI No. 36 tentang kesehatan.
http://zulfadlianisyam.blogspot.com/2007/12/artikel-rokok-dan-tuberkulosis.html
http://www.ppti.info/index.php/component/content/article/46-arsip-ppti/144-
rokokdantbc
arif mttaqin.asuhan keperawan dengan gangguan system pernapasan.
jakarta:salemba medika
Top Related