HAK HADANAH PADA AYAH
(ANALISIS YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Pengkajian Islam Konsentrasi Syariah
Oleh:
NORA EKA PUTRI
NIM: 13.2.00.0.01.01.0119
Pembimbing:
Dr. JM. Muslimin, M>A
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGKAJIAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI SYARIAH
1438 H/ 2017 M
ix
KATA PENGANTAR
Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq dan inayahnya sehingga penulisan tesis dengan judul
“Hak Hadanah pada Ayah (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Agung)”
dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Buku ini merupakan hasil
penelitian penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mengambil konsentrasi Agama dan Hukum. Shalawat dan salam kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW yang selama hidupnya selalu
konsisten untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam setiap
perilaku, ucapan, kebijakan, dan keputusannya. Ide dalam penggarapan penelitian ini sebenarnya berawal dari
keprihatinan penulis terhadap banyaknya kejadian orang tua yang
bertindak kasar, menyiksa, bahkan sampai menghabisi nyawa darah
dagingnya sendiri padahal masih di bawah umur. Ironisnya, perbuatan
yang biadab tersebut justru kebanyakan dilakukan oleh ibu yang dikenal
memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, dan lebih pengertian
terhadap anak. Adanya aturan hukum positif di Indonesia yang
mengatur hak pengasuhan anak di bawah umur secara otomatis
ditetapkan kepada ibu menjadi pegangan bagi hakim tatkala
memutuskan perkara pengasuhan anak di bawah umur di pengadilan.
Selama ini, paradigma penegakan hukum lebih berorientasi kepada
kepastian hukum, bukan kepada keadilan hukum, dan kemanfaatan bagi
masyarakat. Ketentuan hak asuh anak yang terdapat dalam hukum
positif di Indonesia sangatlah merugikan anak dimana anak merupakan
masa depan sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat
perlindungan untuk tumbuh berkembang secara baik, mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan lahirnya beberapa
yurisprudensi yang mengesampingkan ketentuan hukum positif bahwa
hak asuh anak tidak mutlak diberikan kepada ibu melainkan berdasarkan
kompetensi dengan menyandarkan kepada kepentingan terbaik bagi
anak telah membawa perubahan pembangunan hukum yang bermanfaat
bagi masyarakat terutama bagi anak-anak.
Penulis menyadari dalam penyelesaian tesis ini banyak yang
terlibat dalam memberikan bantuan baik moril maupun materil. Untuk
itu penulis mengucapan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA selaku Direktur SPs UIN
x
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pimpinan, Prof. Dr. Didin
Syaefuddin, M.A., dan Dr. JM. Muslimin, M.A. Ph.D, juga kepada
seluruh civitas akademika dan Perpustakaan SPs UIN Jakarta.
Selanjutnya, Dr. JM. Muslimin, M.A. Ph.D selaku dosen
pembimbing, penulis haturkan banyak terima kasih atas kesabaran dan
keikhlasannya dalam memberikan bimbingan yang sangat berharga
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini dan terima
kasih banyak atas ilmu-ilmu yang diberikan dan insyaAllah bermanfaat.
Tidak lupa para dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah
memberikan ilmunya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito,
M.A, Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dr. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., Prof.
Dr. Abd. Ghani Abdullah, S.H, M.H, Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo,
M.A, Prof. Dr. Said Agil Husain Al Munawwar, M>.A, Prof. Dr. M. Atho
Mudzhar, MSPD, Dr. Asep Saepuddin Jahar, M>A. Ph.D, Prof. Dr.
Ahmad Rodoni, M>.M, Suparto, M.Ed. Ph.D, Prof. Dr. Zulkifli, M.A, Dr.
Fase Badriah, SKM. M.Kes. Ph.D, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A, Dr.
Arief Subhan, M.A, Dr. Yuli Yasin, M.A, serta para dosen lainnya yang
turut memberikan sumbangsih pemikiran sehingga penelitian ini dapat
diperbaiki dengan sebaik-baiknya.
Terimakasih atas segalanya untuk teman sejati di dunia,
insyAllah sampai ke akhirat nanti, zaujiy Zul Ashfi yang telah
mengizinkan penulis melanjutkan kembali bangku pendidikan di tengah-
tengah kesibukan dalam melaksanakan kewajiban mengurus rumah
tangga dan membesarkan anak-anak dengan memberikan pendidikan
dan pemeliharaan yang baik bagi masa depan mereka. Rasa ta’zhim dan
terima kasih yang sangat mendalam kepada ayahanda Alm. Samsir
semoga Allah menempatkan ayahanda pada tempat yang mulia dan
ibunda tercinta Darna Yetti yang telah memberikan waktu, pikiran, dan
tenaganya sejak penulis lahir sampai saat ini. Kesabaran, keikhlasan,
perhatian serta kasih sayang keduanya yang tak pernah habis bahkan
bermunajat tak henti-henti untuk mendoakan penulis agar mendapatkan
kesuksesan. Salam sayang untuk buah hati kami Muhammad Fairouz el-
Abqariy dan Sya>kirah Ala>i Rabbiha, semoga menjadi anak yang sholeh
dan sholehah. Merekalah obat bagi penulis dan selalu ada di hati penulis.
Kupersembahkan tesis ini untuk kalian, kehadiran kalian akan selalu
menjadi pijakan awal bagi penulis untuk terus berkarya.
Rasa terimakasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan
kepada ayahanda dan Ibunda mertua Yumarlen dan Khuzaemah,
kakanda Gusman, dan kakak ipar Yuhaini, serta keponakan penulis Alif
Fakhri, Hasbi Ashshiddiqi, dan Humaira Althafunnisa. Rasa terimakasih
xi
yang besar juga penulis ucapkan untuk keluarga besar penulis dan
keluarga besar suami yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada teman
dan sahabat seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mpuang Yeni, Deffi, Roza, Yanti, Widya,
Habibah, Sonia, Rista, Rifa, Ummi Susi, Iqoh, Dewi, Iftah, Isya, Pak de
Irham, Zain, Fadhil, Munif, Hafiz, Hafez, duo Fahmi, Hengki, Ainun,
Sansan, Rahmat, Umam, dan lain-lain. Di berbagai kesempatan ngobrol
dan diskusi bersama kalian, tak jarang penulis menemukan ide dan
gagasan baru yang membuat penelitian ini semakin komprehensif.
Semoga Allah memberikan imbalan pahala yang banyak dan
kesuksesan terhadap apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang
telah berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
penulis. Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini
masih jauh dari kata “sempurna” karena kekurangan dan keterbatasan
penulis. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran
sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 25 Juli 2017
Penulis,
Nora Eka Putri
xv
ABSTRAK
Nora Eka Putri, Hak Hadanah pada Ayah (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Agung), Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Tesis ini menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam
menetapkan hak pengasuhan anak di bawah umur kepada ayah
berlandaskan pada konsep kemashlahatan dan kepentingan terbaik bagi
anak. Tindakan hakim yang melakukan contra legem terhadap ketentuan
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam merupakan pengejawantahan nilai
hukum yang bersifat progresif dimana hukum tidak terpaku pada
legalistik aturan hukum, serta responsif terhadap kepentingan
masyarakat. Hal demikian dapat dipahami bahwa ketentuan hukum
tentang hak pengasuhan anak pada hakikatnya bersifat relatif, alternatif,
dan komprehensif. Kesimpulan ini mendukung pendapat Abdul Manan
(2007) dan Jerome Frank yang mengatakan bahwa hakim harus mampu
berijtihad secara aktual, dan tujuan utama menciptakan hukum supaya
hukum mejadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial masyarakat.
Kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Dennis Patterson Rugers
(2003) yang mengatakan bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya
hanya sebagai pelaksana undang-undang, dan hasil ijtihad hakim tidak
dapat dijadikan sebagai dasar praktek hukum. Penelitian ini juga
menolak pendapat Soetandyo Wigjosoebroto (2010) yang mengatakan
hakim sebagai pelaksana hukum dan putusan-putusanya tidak bisa
menjadi norma hukum. Norma hukum adalah undang-undang yang
menjadi acuan yang dipakai oleh hakim untuk memutuskan sesuatu
perkara.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif/ doktrinal
dengan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis, dan
analisis-kritis. Sumber datanya adalah data hukum sekunder, yang
terdiri dari bahan hukum primer yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan 110K/AG/2007, dan bahan
hukum sekunder yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian, pendapat
pakar hukum, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitian ini, serta bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus
(hukum), ensiklopedi dan indeks kumulatif. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan cara meneliti dokumen putusan, mengumpulkan data teoritis,
dan menganalisis data dengan content analysis.
Kata Kunci: Hadanah, Yurisprudensi, Mahkamah Agung
xvi
xvii
مستخلصنورا إيكا فطري، حضانة الأولاد على الآباء، دراسة تحليلية على اجتهاد قضاة المحكمة العليا، جاكرتا: كلية
.7102الدراسات العليا جامعة الشريف ىداية الله الإسلامية الحكومية جاكرتا، ىي و بالدصلحة منوط الآباء على والأطفال الصبيان حضانة عن ضاةالق اتقرار أن الدبحث ىذا يستخلص
( KHIوكانت قرارات القضاة الخارجة عن مجموعة الأحكام الإسلامية الإندونيسية ). كاىتمامهم بما يليق بأولادىم، المجتمع يهمو لدا ومجيب تهابحرفي التوقف عدم منها يراد التي التقدم ذاتتعد تنفيذا لدقاصد القوانين 011دة االد
الدنان عبد قالو لدا الدبحث يوافقلأن ىذه القوانين غير مطلقة كما أنها قابلة للبديل وتتصف بالشمولية. بين واقعة وتطورات متطلبات يناقض لا الذي القضاء في الاجتهاد كفاءة القضاة على أن من( 2007)
. المجتمع لحاجات مجيبة تكون أن القوانين تصميم أىداف من بأن قال الذي فرانك لجيروم ويوافق. أيديهم إلا عليهم ليس القضاة بأن القائل( 7112) روتجرز باترسون دينيس يخالف الدبحث ىذا أن ذلك وبجانب
أساس ولا للقضاء كمصدر اعتبارىا يجوز لا اجتهاداتهم من نتج ما وأن كانت كما الدقررة القوانين تنفيذ القضاة قرارات بأن القائل( 2010) ويجنجوسبروتو سوتانديو على يرد الدبحث أن وبالتالي. القوانين لتنفيذ
القضاة إليو يرجع ما ىي القانونية الدعايير لأن القضاء، عليها يقرر قانونية معايير تصير أن يجوز لا الاجتهادية .عليو اجتهاداتهم لا نفسو، القانون وىو حتم ا، القضاء في
وكان ىذا مبحث ا عن القانون الدقياسي على النهج التحليلي الوصفي مع التحليل الانتقادي الذي ي ستنت ج من بيانات القانون الثانوية التي تحتوي على مصادر القانون الأساسية، وىي اجتهادات القضاة في
كما 110K/AG/2007 و 349K/AG/2006 و 210K/AG/1996المحكمة العليا برقم القضاة أو القانونيين الخبراء وآراء شتى مباحث من عليها المحصول الثانوية القانون مصادر من نتجيست
والدوسوعات القانونية كالدعاجم الإضافية والدصادر بالدبحث الدتصلة العلمية والدقالات والمجلات والكتب بتحليل( Library Research) الدكتبي البحث منهج علىهو ف البيانات جمع أما. الدتجمعة والفهارس
.رايت ف ورونالد ىال أ مارك دعوأب الذي وتحليلها النظرية البيانات وجمع المحكمة قرارات
: الحضانة والاجتهاد والمحكمة العليا الكلمات الأساسية
xix
ABSTRACT
Nora Eka Putri, Rights of Custody to Father (Analysis the
Jurisprudence of The Supreme Court), Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2017.
This study conclude that the consideration of judges in decide
rights of custody to father based on the concept of the best interest for
child. The application of contra legem by a judge to the provision of
Article 105 Compilation of Islamic Law is the implementation of
progressive legal values which requires the law to not be adhered to the
legalistic rule of law, and responsive to the interest of society. Such
things can be understood that legal provisions on rights of custody are
essentially relative, alternative and comprehensive. This study agrees
with Abdul Manan (2007) who stated that a judge should be able to
issue an independent reasoning of the law in accordance with the actual
needs and developments. This study also agrees with Jerome Frank
stating that the main goal of creating law is that the law becomes more
responsive to the social needs and society. This study differs from the
opinion of Dennis Patterson Rugers (2003) who stated that judge in
performing his duty is simply as the executor of the law, and the result
of judge’s independent reasoning could not be used as the bases of legal
practice. This research also rejects the opinion of Soetandyo
Wigjosoebroto (2010) who stated that judge as the executor of law and
their decisions could not be used as a legal norm. Legal norm is a law
which used by the judges to decide a case.
This study is a normative or doctrinal legal research using
qualitative research type which is descriptive-analysis, and critical-
analysis. The sources of this study are secondary legal data which
consisted of primary sources namely the jurisprudence of the Supreme
Court Number 210K / AG / 1996, 349K / AG / 2006 and 110K / AG /
2007, secondary source namely research finding, legal opinion of
experts, books, journals, articles related to this study, and tertiary
sources namely law dictionaries, encyclopedia and cumulative indices.
This study uses library research method by examining the judicial
document, collecting theoretical data, and analyzing data using content
analysis.
Keywords: Custody, Jurisprudence, The Supreme Court
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
Ţ ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
2. Vokal Rangkap
xiv
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
ي ... Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan
wau Au A da U
Contoh:
H{aul :حول H{usain :حسين
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
<Fatḥah dan alif a ــا a dan garis di
atas
ي Kasrah dan ya Ī ـ ـI dan garis di
atas
Ḑamah dan wau Ū ــ وu dan garis di
atas
D. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan
sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana : ربنا
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: لقلما : al-Qalam
xxi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................ iii
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ...................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................... xiii
ABSTRAK ........................................................................................ xv
DAFTAR ISI .................................................................................... xxi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................ 17
1. Identifikasi Masalah ......................................................... 17
2. Perumusan Masalah .......................................................... 17
3. Pembatasan Masalah ........................................................ 17
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 18
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 18
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ......................................... 18
F. Metodologi Penelitian .............................................................. 23
1. Jenis Penelitian ................................................................. 23
2. Pendekatan Penelitian ....................................................... 23
3. Sumber Data ..................................................................... 24
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 25
5. Teknis Analisis Data ......................................................... 25
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 25
BAB II: HADANAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam dan Peraturan
Perundang-undangan ................................................................. 27
1. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam ..................... 27
2. Kedudukan, Hak, dan Perlindungan Hukum terhadap Anak
Dalam Konteks Peraturan Perundangan di Indonesia ....... 38
B. Hadanah dalam Perspektif Fikih .............................................. 36
C. Kekuasaan Orang Tua dan Hak Pemeliharaan Anak dalam
Perundang-undangan di Indonesia ............................................ 60
xxii
BAB III: YURISPRUDENSI DALAM PENGEMBANGAN HUKUM
NASIONAL INDONESIA
A. Sistem Hukum dalam Konteks Peradilan Indonesia ................. 69
B. Dimensi Yurisprudensi dalam Bingkai Teori dan Praktek
Peradilan Indonesia ................................................................... 81
C. Penemuan Hukum dan Peranan Putusan Hakim dalam
Melindungi Anak-anak Korban Perceraian ............................. 89
BAB IV: YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG DALAM
PENYELESAIAN PERKARA HADANAH
A. Yurisprudensi Nomor 210K/AG/1996 ..................................... 101
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 101
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 104
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 106
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Kasasi .................................................................. 108
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 110
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 117
B. Yurisprudensi Nomor 349K/AG/2006 ..................................... 128
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 128
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 130
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 132
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Kasasi .................................................................. 133
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 136
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 144
C. Yurisprudensi Nomor 110K/AG/2007...................................... 151
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 151
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 153
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 154
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
xxiii
Tingkat Kasasi .................................................................. 156
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 158
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 167
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 183
B. Saran.......................................................................................... 184
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 185
GLOSARI ........................................................................................ 202
INDEKS........................................................................................... 206
BIOGRAFI PENULIS ..................................................................... 212
LAMPIRAN .................................................................................... 214
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perceraian merupakan kontributor utama dalam menimbulkan
berbagai masalah-masalah sosial.1 Ironisnya, Indonesia termasuk salah
satu negara dengan tingkat perceraian tertinggi, bahkan angka
perceraian di Indonesia diangap paling tinggi di Asia-Pasifik.2 Apabila
ditilik dari fakta sejarah, angka perceraian di Indonesia bersifat
fluktuatif sebagaimana tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Profesor Mark Cammack3 pada tahun 1950-an bahwa angka
perceraian di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong yang paling
tinggi di dunia. Pada dekade tersebut dari 100 perkawinan, 50
diantaranya berakhir dengan perceraian.4 Akan tetapi, pada seperempat
abad terkahir pada tahun 1970-an hingga 1990-an tingkat perceraian di
Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara sempat mengalami
penurunan, padahal di belahan dunia lain (Barat) justru meningkat.5
1 Lihat Scott Coltrane and Michele Adams, ‚The Social Contruction
of the Divorce ‚Problem‛: Morality, Child Victims, and The Politics of
Gender,‛ Family Relation 54, No. 4 (Oct., 2003) : 363-372
http://www.jstor.org/stable/3700317 (Accessed: 16-01-2016). 2 Bkkbn Online, ‚Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia-
Pasifik,‛ Publikasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
jakarta, 2013, http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967
(Accesed Agustus 23, 2015). Di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat
perceraian di Indonesia tertinggi se Asia-Pasifik, dan ternyata di tahun-tahun
berikutnya jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat. Baca juga
Agung Sasongko, ‚Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, Ini
Datanya,‛ Jakarta, 14 November, 2014, Jumat; tanpa edisi,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-
perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya (Accessed Agustus
23, 2015). 3 Mark Cammack adalah guru besar bidang hukum dari
Southwestern University School of Law-Los Angeles, USA. 4 Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam diskusi EMC (English
Meeting Club) yang digelar di Badilag pada hari Kamis 1 Maret 2010 dengan
menghadirkan langsung Prof. Mart Cammack sebagai pemakalah dengan
makalahnya yang berjudul Recent Divorce Trends in Indonesia. http://www.badilag.net/ http://www.pa-solok.go.id/home/3-berita-badilag/82-
diskusi-emc-dengan-prof-mark-cammack--54.html (Acceessed January 23,
2016). 5 Salah satu penyebab penurunan angka perceraian di Asia Tenggara
termasuk Indonesia dalam seperempat abad terakhir adalah pengaruh
2
Setelah itu pada tahun 2000-an tren perceraian yang menurun itu
kembali berubah drastis sehingga angka perceraian di Indonesia kembali
meningkat secara signifikan pada abad 21 dan hingga sekarang angka
perceraian di pengadilan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008 total perceraian dalam
kisaran 150rb -190rb kasus yang terjadi setiap tahunnya. Tahun 2009
sekitar 2.164ribu jumlah total masyarakat yang menikah, terjadi
perceraian sebanyak 216.269 kasus. Pada tahun berikutnya 2010, dari
2.209 ribu peristiwa nikah, peristiwa perceraian meningkat lagi sehingga
berjumlah 285.185 kasus. Pada tahun 2011, peristiwa nikah sebanyak
2.320 ribu sedangkan peristiwa cerai terjadi sebanyak 271.323. Pada
tahun 2012, peristiwa nikah sebanyak 2.292 ribu dan total perceraian
297.842. Pada tahun 2013, 2.219 ribu dari jumlah total pernikahan,
peristiwa perceraian terjadi sebanyak 319.067 kasus. Pada tahun 2014
total perceraian sebanyak 336.769 kasus, dan tahun 2015 total
perceraian terjadi sebanyak 349.774 kasus.6 Data-data di atas
modernisasi dan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Indonesia, Malaysia, dan
Thailand termasuk negara yang pada waktu itu dianggap sukses dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada penurunan
terjadinya perceraian di negara-negara tersebut. Lihat hasil penelitian Gavin W.
Jones, Marriage and Divorce in Islamic South-east Asia (Oxford UK: Oxford
University Press, 1994). Bandingkan dengan Gavin W. Jones, ‚Modernization
and Divorce: Contrasing trens in Islamic Southeast Asia and the West,‛
Population and Development Review 23, Vol. 1 (1997) : 93-114. Charles
Hirschman and Bussarawan Teerawichitchainan, ‚Cultural and Socioeconomic
Influences on Divorce during Modernization: Southeast Asia 1940s to 1960s,‛
Population and Development Review 29, No. 2 (Jun., 2003) : 215-253
http://www.jstor.org/stable/3115226 (Accessed: 23-01-2016). Alasan lain
terjadinya penurunan perceraian di Indonesia karena pemerintah Indonesia
melalui Undang-undang (UU RI No 1 Tahun 1974) membuat perceraian
menjadi lebih sulit karena harus diproses dan diperiksa terlebih dahulu di
Pengadilan, lihat Gavin W. Jones and others, eds. ‚Divorce in West Java,‛
Journal of Comparative Family Studies 25 (1994) : 395-416, lihat juga Mark
Cammack and others, eds. ‚Why Is the Divorce Rate Declining in Indonesia?,‛
Journal of Marriage and Family 63, No. 1 (May, 2001) : 480-490
http://www.jstor.org/stable/3654607 (Accessed: 23-01-2016). 6 Data-data tersebut Penulis peroleh dari hasil penelitian ke
Mahkamah Agung dan Kantor Sekretariat Mahkamah Agung pada tanggal 03
Mei 2015. Data-data perkara dan jumlah perceraian penulis dapatkan langsung
dari Ibu Hj. Siti Zubaedah, SH yang menjabat sebagai Kasubdit Statistik dan
Dokumentasi Ditjen Badilag MA. Dari 31 jenis perkara yang diterima, jumlah
dan persentase perkara perceraian yang paling tertinggi. Jenis perceraian
tertinggi didominasi oleh cerai gugat, dan faktor-faktor penyebab perceraian
3
memberikan gambaran bahwa tingkat perceraian secara nasional cukup
tinggi dan selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Tren perceraian yang terjadi dalam masyarakat Indonesia,
bertolak belakang dengan tujuan disyariatkannya perkawinan dan
pembentukan rumah tangga dalam Islam. Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tsa>qan ghali>zan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.7 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah
tangga yang saki}>nah, mawaddah, dan rah}mah.8 Dalam rumusan Undang-
undang Perkawinan di Indonesia menjelaskan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Dengan maraknya fenomena perceraian maka usaha untuk membangun
keluarga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah masih jauh dari harapan.
Dampak utama yang paling dirasakan dari perceraian dalam
rumah tangga orang tua adalah dampak terhadap anak-anak yang
dilahirkan. Tidak sedikit anak-anak menanggung derita yang seharusnya
tidak mereka tanggung. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah secara tegas menyatakan bahwa anak adalah
amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus
dijaga, dipelihara, dan dilindungi karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi.10
Penjelasan tentang hak-hak anak sebagai manusia bisa jadi tidak bisa
dipenuhi karena terjadinya perceraian orang tua.
Perpisahan dan perceraian orang tua telah mempengaruhi
kehidupan anak-anak.11
Lebih dari satu juta anak setiap tahun telah
paling banyak disebabkan oleh adanya perselisihan yang menyebabkan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2.
8 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3.
9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1.
10Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3. 11
Dampak dan pengaruh perceraian bagi anak-anak dapat dilihat
dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Rhicard E. Behrman and Linda
Sandham Quinn, ‚Children and Divorce: Overview and Analysis,‛ The Future of Children 4, No. 1, Children and Divorce (Spring, 1994) : 4-14
http://www.jstor.org/stable/1602474, Paul R. Amato, ‚Consequences of
Divorce for Adults and Children,‛ Journal of Marriage and Family 62, No. 5
(Nov, 2000) : 1269-1287 http://www.jstor.org/stable/1566735, Joan B. Kelly
and Robert E. Emery, ‚Children’s and Adjustment Followin Divorce: Risk and
4
mengalami perceraian keluarga. Anak-anak lebih rentan menjadi korban
dari pada orang dewasa, bukan hanya karena mereka lebih kecil dan
lebih lemah dari orang dewasa, tetapi juga karena kehidupan mereka
masih memiliki ketergantungan dan masih ditopang oleh orang
dewasa.12
Idealnya anak-anak tinggal bersama orang tua mereka, ayah
ibu yang melahirkan mereka karena pendidikan dan tumbuh kembang
anak pertama kali ditentukan melalui institusi sebuah keluarga. Institusi
keluarga dibangun atas pilar-pilar kehadiran ayah, ibu, dan anak-anak.
Dengan kelengkapan keluarga tersebut, maka sebuah keluarga dapat
menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan ideal.13
Sebaliknya,
perceraian keluarga menimbulkan malapetaka karena keluarga tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga pada gilirannya
anak-anak menjadi korban. Akibat perceraian, sering terjadi konflik
perebutan hak asuh anak antara suami dan istri. Hak asuh diperebutkan
bagi mereka yang mempunyai anak di bawah umur, dan masing-masing
mengklaim bahwa merekalah yang paling berhak memelihara anak yang
masih di bawah umur.
Resilience Perspektives, Family Relation 52, No. 4 (Oct, 2003) : 352-362
http://www.jstor.org/stable/3700316, Lisa Strochschein, ‚Parental Divorce and
Child Mental Health Trajectories,‛ Journal of Marriage and Family 67, No. 5
(Dec, 2005) :1286-1300 http://www.jstor.org/stable/3600313, bandingkan pula
dengan Hyun Sik Kim, ‚Consequences of Parental Divorce for Child
Development,‛ American Sociological Review 76, No. 3 (June 2011) : 487-511
http://www.jstor.org/stable/23019228 (Accessed: 16-01-2016). 12
Eugene M. Lewit dan Linda Schuurman Baker, ‚Children as
Victims of Violence,‛ The Future of Children 6, No. 3, The Juvenile Court
(Winter, 1996) : 147-156 http://www.jstor.org/stable/1602602 Accessed: 15-
01-2016. 13
Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi afeksi yaitu keluarga
sebagai tempat yang terbaik bagi anak untuk menerima kasih sayang yang tulus
dari orang tua mereka. Di samping itu keluarga juga berfungsi sebagai tempat
perlindungan, artinya bahwa keluarga menjadi pelindung yang pertama dan
utama dalam memberikan kebenaran dan keteladanan bagi anak, memberikan
rasa aman dan tenteram dalam keadaan yang lemah dan memerlukan
pembelaan. Keluarga juga sebagai fungsi ekonomis yaitu bahwa keluarga
mencukupi kebutuhan-kebutuhan ekonomi keluarga terutama anak-anak. Masih
banyak lagi fungsi-fungsi sebuah keluarga, dan BKKBN membagi fungsi-fungsi
keluarga sehingga sampai memiliki delapan fungsi, selengkapnya lihat Indra
Wirdhana dan tim, Buku Pegangan Kader BKR tentang Delapan Fungsi Keluarga (Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), 2013), 5-88.
5
Pemeliharaan anak di bawah umur dalam konteks Islam
disebut dengan hadanah.14
Hadanah dalam perspektif hukum Islam
menempati satu di antara beberapa konsep perwalian yang
pengaturannya sudah sangat jelas. Secara normatif, permasalahan
hadanah telah diatur dalam kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer
dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep. Ditinjau dari sisi
hak anak yang masih kecil/ di bawah umur, maka hadanah merupakan
suatu perbuatan yang wajib15
dilaksanakan oleh setiap orang tua
terhadap anak-anaknya, dan para ulama fikih pun telah sepakat
mengenai hal itu,16
karena apabila anak yang masih kecil tidak dirawat
dan dididik dengan baik maka akan berakibat buruk pada diri dan masa
depan mereka bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka, oleh
karenanya hadanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya
memberi nafkah kepada mereka.
14
Hadanah secara etimologis berarti di samping atau berada di
bawah ketiak, dada, serta pinggul. Lihat Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r
al-Afri>qi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r S{a>dir, t.t), Vol. 13, 122. Secara
terminologis berarti perawatan anak oleh orang yang berhak hadanah, mendidik, dan menjaga orang yang tidak bia sendirian mengurusi persoalan
dirinya dari hal-hal yang akan mencederai karena tiadanya kemampuan
memilah seperti anak-anak dan orang dewasa yang gila. Menjaga dan
mengurusi makanan, pakaian, tidur, kebersihan, mandi, mencuci pakaian, dan
lain-lain pada waktu dan umur tertentu. Lihat Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), Vol. 10, 7295-7296.
Zainuddin al-Fana>ni (w. 987) menambahkan hadanah adalah merawat anak
yang belum mumayiz dan belum menikah, lihat Zainuddin ibn Abdil-Azi>z al-
Maliba>riy al-Fana>ni al-Sha>fi‘i >, Fath al-Mu‘i>n bi Sharh} Qurrat al-‘Aini bi Muhimma>t al-Di>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015), 200.
15 Lihat QS. Al-Nisa>’ ayat 9:
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan agar setiap orang tua
memiliki rasa khawatir meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah
yang dimaksud di sini adalah dalam hal fisik, psikis, moral, kesehatan,
ekonomi, intelektual, dan sebagainya. Ayat ini mengandung pesan agar setiap
orang tua menjaga dan melindungi anak cucu, bahkan yang belum lahir
sekalipun jangan sampai mereka terlahir dalam keadaan tidak sehat,
kekurangan gizi, dan terlantar tidak terpelihara. 16
Lihat Ibn Quda>mah, al-Mughni> bab Man Ah}aqqu bi Kafa>lah al-
T{ifl, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H), Vol. 9, 298-299. Baca juga Mans}u>r bin
Yunus bin Idris al-Bahu>ti>, Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1402 H), Vol. 6, 495-496.
6
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tata hukum
berupa undang-undang yang mengatur segala sesuatu tanpa terkecuali
masalah hadanah. Undang-undang diperlukan untuk mewujudkan
kepastian hukum dan menjamin perlindungan hukum bagi anak-anak.
Dalam Hukum Positif di Indonesia, pengaturan tentang hadanah serta
hak dan kewajiban orang tua terhadapnya diatur dalam Undang-undang
perlindungan anak, Undang-undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam. Dalam UU Perlindungan anak diatur bahwa orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat dan minatnya.17
Senada dengan itu, Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur bahwa hak dan
kewajiban orang tua terhadap anak yang dilahirkan yaitu, bahwa kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan
sebaik-baiknya.18
Kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua telah putus.19
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber pengambilan
hukum di Pengadilan Agama juga ikut andil mengatur tentang
permasalahan hadanah.20
KHI menjelaskan bahwa suami istri memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya.21
Seorang suami sesuai penghasilannya
menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi
istri, anak dan biaya pendidikan anak.22
Dalam hal kewajiban orang tua
terhadap anak sampai mereka dapat berdiri sendiri, dijelaskan juga
bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri/ dewasa itu adalah
17
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 26 ayat (1)
poin a-c. 18
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tetang Perkawinan Bab X Pasal 45 ayat 1. 19
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tetang Perkawinan Bab X Pasal 45 ayat 2. Baca juga Pasal 41 poin a
akibat putusnya perkawinan karena perceraian orang tua. 20
Kompilasi Hukum Islam meskipun bukan bertaraf undang-undang,
tetapi dari segi teknis dan formil dapat digolongkan statute law, karena secara
teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No. 1 Tahun
1991. Lihat Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Kencana, 2008), 39.
21 Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 ayat (3).
22 Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (4) poin b-c.
7
sampai umur 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik/ mental dan
belum kawin.23
Penjelasan hukum di atas menekankan bahwa kewajiban
melakukan hadanah terletak di pundak kedua orang tua yaitu ayah dan
ibu. Prinsip tersebut akan berjalan lancar manakala kedua orang tua
tetap dalam hubungan suami istri. Manakala terjadinya perceraian maka
akan mengalami permasalahan dalam pemeliharaan anak, terlebih lagi
ketika terjadi sengketa perebutan hak asuh anak, siapa yang lebih tepat
dan berhak melaksanakan hadanah anak yang masih berada di bawah
umur.
Dalam literatur fiqih, ada dua periode bagi anak dalam
kaitannya dengan hadanah, yaitu masa sebelum mumayiz, dan masa
sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz merupakan periode di
mana seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat
dengan yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, dalam
periode ini seorang anak wajib untuk diasuh. Periode sebelum mumayiz
adalah dari waktu lahir sampai anak usia mumayiz. Penentuan batas usia
anak yang sudah mumayiz, ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafi24
berpendapat bahwa usia mumayiz adalah sampai anak tersebut mampu
mengurus diri sendiri dalam keperluan makan, minum, pakaian, dan
bersuci yaitu kira-kira usia tujuh tahun atau delapan tahun. Namun ada
juga pendapat lain mengatakan usia mandiri itu adalah sembilan tahun.
Anak perempuan lebih utama diasuh oleh pihak wanita (ibu atau nenek)
hingga mencapai usia haid atau usia remaja karena mereka
membutuhkan pengetahuan tentang kewanitaan, akhlak wanita, dan tata
cara megurus rumah, dalam hal ini ibu lah yang lebih mampu
mendidiknya. Usia remaja bagi anak perempuan adalah sembilan atau
sebelas tahun.25
Ulama Maliki berpendapat,26
masa hadanah bagi anak
laki-laki selesai hingga ia balig, meskipun anak itu gila ataupun sakit
menurut pendapat yang masyhur. Adapun bagi anak perempuan masa
23
Kompilasi Hukum Islam Pasal 104. 24
Lihat ‘Ala>’ al-Di>n al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-Sana>i‘ fi Tarti>b al-Shara>i‘ (Beirut: Da>r al-kita>b al-‘Arabi>, 1982), vol. 4, 42-44. Lihat juga Muhammad bin
Ali Muhammad bin Ali bin Abdirrahman al-H{anafi> al-H{as}kafi>, al-Durr al-Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 255-256.
25 Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 1997), vol. 10, 7322-7323. 26
Lihat Abu> al-Baraka>t Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-
Dardi>r, Al-Sharh}} al-S{agi>r ‘ala> Aqrab al-Masa>lik ila> Madzhab al-Ima>m Ma>lik
(Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1991),Vol. 2, 755. Lihat juga Muhammad bin Ahmad
Juzai al-Kalbi> al-Gharna>t{i>, Qawa>ni>n al-Fiqhiyyah, 224.
8
hadanahnya hingga ia menikah. Ulama Syafii berpendapat,27
masa
pengasuhan anak yang belum mumayiz sampai menginjak usia tujuh
tahun atau delapan tahun. Ulama Hambali sependapat dengan ulama
Syafii,28
yaitu jika anak lelaki yang normal (tidak idiot) sudah mencapai
usia tujuh tahun maka ia dipersilakan untuk memilih salah satu dari
kedua orang tuanya kalau memang kedua orang tuanya berebut untuk
mengurusnya. Adapun anak perempuan jika sudah mencapai usia tujuh
tahun maka sang ayah yang lebih berhak untuk mengurusnya tanpa
diberi kesempatan untuk memilih menurut ulama Hambali. Hal ini
berseberangan dengan pendapat ulama Syafii, alasannya karena tujuan
hadanah adalah untuk kemashlahatan dan bagi perempuan di atas tujuh
tahun bisa tercipta jika ia diurus oleh ayahnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, usia anak dikatakan telah
mumayiz apabila telah mencapai umur 12 tahun.29
Jika terjadi
perceraian sebelum anak berumur 12 tahun, maka pemeliharaan anak
diserahkan kepada ibu yang melahirkannya.30
Ketentuan KHI pasal 105
di atas tentang ibu lebih berhak dari ayah dalam hadanah anak di bawah
umur bersumber dari penjelasan beberapa hadist Nabi dan pendapat-
pendapat ulama fikih karena notabenenya rumusan KHI disadur dari
kitab-kitab fikih yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Imam Ahmad menceritakan ada seorang wanita menghadap Rasulullah
dan berkata:
ثدي لو سقاء وحجرى عن عبد اللو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء و أنت أحق بو ما ل -صلى الله عليو وسلم-ل اللو ن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو منى ف قال لا رسو لو حواء وإ
31يت نكح
27
Lihat Abu> Isha>q Ibra>hi>m ibn Ali ibn Yu>suf al-Shira>zi>, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Ima>m al-Shafi‘i > (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1995), Vol. 3, 164. Baca juga Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2000), Vol. 5, 198. 28
Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati
Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j, Vol. 5, 199. 29
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 poin a. 30
Lihat Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal yang sama. 31
Abu> Da>ud>, Sunan Abi> Da>ud, No. 2276, 525. Lihat juga Ah}mad
ibn H{anbal, Musnad Ima>m Ah}mad ibn H{anbal (Beirut: Muasasah al-Risa>lah,
1999), Vol. 11, No. 6707, 310. Hadist ini adalah hadist s}ahih sebab sanadnya
tidak ada yang terputus dan terlacak semua dengan kualitas yang tsiqqah.
9
dari Abdullah ibn ‘Amr, bahwa sesungguhnya seorang wanita berkata kepada Nabi, ‚ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Ayahnya hendak mengambilnya dariku.‛ Maka berkatalah Rasulullah,‛ Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum menikah (dengan laki-laki lain).‛
Sejalan dengan itu, keputusan Abu Bakar (572M-634M) dalam
kasus Umar bin Khattab (583M-644M) dengan istrinya Ummu As}im.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab (583M-644M) telah
menceraikan istrinya. Lantas ketika Umar (583M-644M) mendatangi
istrinya, dan melihat anaknya As}im sedang bersamanya, Umar (583M-
644M) hendak meminta As}im darinya. Namun, ia menolak sehingga
keduanya saling memperebutkan As}im. Akhirnya Umar (583M-644M)
menghadap Abu Bakar (572M-634M) dan menceritakan kejadian
tersebut. Abu Bakar (572M-634M) memberi keputusan bahwa anak
Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakan dalam riwayat di
bawah ini:
زوج ف يختار لن فسو ي ت عن عكرمة قال : خاصم عمر أم عاصم ف عاصم إل أب بكر ف قضى لا بو ما ل يكب ر ، أو 32قال : ىي أعطف وألطف وأرق وأحن وأرحم
Ikrimah berkata, ‚Umar dan Ummu ‘A<s}im (mantan istrinya) memperkarakan hak asuh anak mereka (‘A<s}im) kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar memutuskan hak asuh kepada istrinya (Ummu ‘A>s}im) sebelum ‘A<s}im remaja atau sebelum ia menikah sehingga nanti ia bisa menentukan pilihannya. Selanjutnya Abu Bakar berkata, ‚Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang.‛
Berdasarkan keterangan hadist dan pernyataan Abu Bakar
(572M-634M) di atas menekankan bahwa apabila terjadi perceraian,
maka untuk kepentingan anak dalam usia tersebut, ibu lebih berhak
Mengamalkan hadist yang s}ahih adalah wajib, begitu juga menjadikannya
sebagai sandaran hukum. 32
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah. Lihat Abu Bakar Abdullah
ibn Muhammad ibn Abi> Shaibah al-Ku>fi>, al-Mus}annaf (Kairo: al-Farouq al-
H{adi>tsiyyah, 2008), Vol. 6, No. 19422, 19450-19452, 552-555. Walaupun
sebelumnya Umar bersikeras untuk mengambil anaknya ini sebelum membawa
perkara tersebut kepada khalifah Abu Bakar, namun di kemudian hari Umar
juga memberikan keputusan yang sama dalam persoalan hadanah. lihat juga
Imam Malik riwayat al-Laitsi> dalam Muwat}t}a’ al-Ima>m Ma>lik (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014), No. 1454, 421-422.
10
untuk mengasuhnya.33
Pengasuhan seorang ibu terhadap anaknya
dianggap pengasuhan yang ideal, karena kaum hawa bisa lebih lembut,
penuh kasih sayang dan sabar dalam mendidik.34
Kasih sayang dan
keibuan menjadi faktor idealnya sebuah pengasuhan. Ibnu Qudamah
(541H-629H) seorang pakar hukum Islam dari kalangan Hambali dalam
kitabnya al-Mughni menegaskan tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam masalah tersebut.35
Al-Jurjawi (1905M-1956M)36
mengemukakan hikmah
pemeliharaan anak oleh seorang ibu. Di antara hikmah tersebut yaitu,
pertama, dalam soal kehidupan kemasyarakatan, fungsi perempuan
berbeda dari laki-laki. Bantuan kasih sayang terhadap anak dan
pendidikan anak lebih utama diserahkan kepada ibu. Keistimewaan
seorang ibu dalam hal ini sangat dibutuhkan pada masa kanak-kanak.
Kedua, ibu lebih banyak bergaul dengan anak dibanding ayah dan lebih
tau dalam soal pakaian, makanan, minuman, serta kesehatan, dan lain-
lain. Hikmah pengasuhan anak laki-laki sampai tujuh tahun dan anak
perempuan sembilan tahun karena anak laki-laki pada usia tujuh tahun
telah dapat membantu dirinya untuk memulai mengetahui tentang
sesuatu, tata cara, sopan santun, dan bergaul dengan lingkungan.
Adapun anak perempuan sampai sembilan tahun karena ia memerlukan
waktu yang agak panjang untuk bisa memelihara dirinya. Dalam hal ini
ibu lebih banyak mengerti keadaan anak perempuan.
Aturan tentang ibu lebih berhak melaksanakan hadanah dari
pada ayah tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat ancaman Nabi
terhadap seseorang yang berusaha memisahkan seorang ibu dengan
anaknya sebagaimana yang dinyatakan dalam hadist Nabi:
عن أب أيوب قال : سمعت رسول الله صلى الله عليو و سلم يقول من فرق بين الوالدة وولدىا فرق الله بينو 37وبين أحبتو يوم القيامة
33
Lihat Imam al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li al-Juwayni, Niha>yat al-Mat}lab fi> Dira>yat al-Madhhab bab Ayyu al-Wa>lidayn Ah}aqqu bil Walad
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), vol. 9, 607-613. 34
Wahbah Al-Zuhaili> al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, (Damaskus:
Da>r al-Fikr al-Mu‘as>}ir, 1997, vol. 10, 7296. 35
Lihat lagi Ibn Quda>mah, al-Mughni> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H),
Vol. 9, 298-299. 36
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuhu (Beirut:
Da>r al-Fikr 1994), 69-71. 37
Hadist riwayat Tirmidzi, Ahmad dan Hakim dari Abu Ayyub.
Derajat hadis ini s}ah}ih. Lihat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Da>r al-
H{adits, 2005), Vol. 3, No. 1283, 375. Lihat juga Ah}mad ibn H{anbal, Musnad
11
Abu Ayu>b berkata, ‚saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‚Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di hari kiamat.‛
Seorang hakim dituntut untuk berhati-hati dalam memberikan
sebuah keputusan hukum. Hakim tidak hanya sebagai penegak hukum
dan keadilan tetapi hakim juga sebagai pejabat negara yang mempunyai
fungsi dan tugas mulia dalam rangka mewujudkan negara hukum dan
memberikan kepastian hukum di tengah kehidupan masyarakat melalui
putusan hukumnya di pengadilan. Menurut Jeremy Bentham, proses
persidangan harus menghasilkan putusan yang akurat, karena ada
korelasi antara proses persidangan dengan hasil persidangan dan nilai-
nilai yang terkait dengan proses hukum.38
Menilik hukum yang ada di Indonesia, para ahli hukum
berbeda dalam merumuskan substansi hukum. Dalam kajian akademis,
hukum sering dikonsepsikan sebagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hukum positif, atau undang-undang,39
dengan komitmen
bahwa di luar undang-undang bukanlah hukum. Hakim dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelaksana hukum, dalam pengambilan
putusan yang menjadi sumber hukumnya adalah undang-undang.
Soetandyo Wigjosoebroto mengatakan bahwa setiap ahli hukum
khususnya yang bertugas sebagai hakim untuk tidak menggunakan
rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang sebagai norma
hukum guna menghukumi suatu perkara. Demi kepatuhan untuk
ketertiban dan kepastian hukum, hanya norma hukum yang telah
diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai
untuk menghukumi sesuatu perkara. Tidak lah norma hukum ini boleh
dicampuri dengan pertimbangan-pertimbangan yang merujuk ke
Ima>m Ah}mad ibn H{anbal 38, No. 23499, 486. Lihat al-H{a>kim al-Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala al-S{ah{i>h}ain (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Vol. 2,
No. 2334, 63. 38
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 464.
39 Ketika digunakan istilah ‚perundang-undangan,‛ maka hukum
dimaksudkan terbatas pada undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, surat edaran, dan
lain-lain. Lihat H. M. Fauzan (hakim yustisial), ‚Hakim sebagai Pembentuk
Hukum Yurisprudensi di Indonesia,‛ Varia Peradilan, No. 244 (Maret 2006) :
38-45.
12
sumber-sumber lain seperti norma moral, rasa keadilan, ideologi politik,
keyakinan pribadi, atau apapun lainnya.40
Begitupun dalam pandangan Montesquieu dan Kant,
sebagaimana yang dikutip oleh Masri Ali bahwa hakim dalam
menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya
tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanya lah
penyambung lidah dan corong undang-undang, sehingga tidak dapat
mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan
tidak dapat pula menguranginya. Hal ini disebabkan karena menurut
pandangan Montesquieu undang-undang adalah satu-satunya sumber
hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum
serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim,
hakim harus berada di bawah undang-undang. Sejalan dengan aliran
legisme yang menganggap undang-undang merupakan kebenaran satu-
satunya , dianggap lebih lengkap dan merupakan kekuasaan tertinggi,
sehingga fungsi hakim hanya menerapkan ketentuan dalam undang-
undang.41
Hans Kelsen pun berpendapat,42
untuk mewujudkan kepastian
hukum harus berdasarkan pada substansi hukum yang menempatkan
hukum positif sebagai hukum tertinggi dibandingkan dengan interaksi
masyarakat. Prilaku masyarakat wajib menyesuaikan dengan peraturan
negara. Bahkan aliran positifisme yang menjadikan undang-undang
sebagai kebenaran utama menyatakan lebih ekstrim lagi mengenai
tujuan-tujuan hukum yang tidak dapat diamati, sehingga harus
mengabaikan aspek-aspek sosial, politik, sejarah, moral, dan etika.
Menurut aliran ini, pertimbangan-pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara dianggap sebagai sifat tertutup yang hanya
berdasarkan logika.
Kepastian hukum yang diinginkan oleh peraturan perundang-
undangan ini sejalan dengan sumber hukum bagi negara yang menganut
40
Soetandyo Wigjosoebroto, ‚Terwujudnya Peradilan yang
Independen dengan Hakim Propesional yang tidak Memihak,‛ risalah artikel
dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan PBNU-
LPBHNU di Jakarta 8 Desember 2006. 41
Paul Scolten, Handleiding to de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht Aigemen Deel (Zwolle: Tjeenk. Willink, 1954), 2-8.
42 Hans Kelsen dalam Shidarta, ‚Filosofi Penalaran Hukum Hakim
Konstitusi dalam Masa Transisi Konstitualitas,‛ Jentera Jurnal Hukum 11, No.
3 (2006), 5-25. Lihat juga dalam Zulfadli Barus, ‚Pengaruh Renaissance
tentang Pemisahan antara Hukum dan Moral serta Dampaknya terhadap
Martabat Kemanusiaan,‛ Jurnal Yuridis 2 (2004).
13
civil law system. Pengembangan hukum dalam civil law system
dilakukan melalui pembentukan produk hukum peraturan perundang-
undangan formal yang dibentuk oleh badan legislatif.43
Kecendrungan
civil law system dalam mengatur sistem kekuasaan kehakiman
dirumuskan melalui aturan-aturan yang ada dalam undang-undang, yang
relatif kepentingannya untuk memenuhi kepentingan administrasi, dan
prediktabilitas yang tidak memperhatikan unsur keadilan para pihak
yang berperkara.44
Menurut Yohanes Suhardin, hakim dalam
mewujudkan tujuan hukum masih banyak yang memiliki paradigma rule making. Hal ini terlihat dari putusan-putusan yang dihasilkan hanya
mengutamakan kepastian hukum (keadilan prosedural) dan
mengenyampingkan keadilan moral dan keadilan sosial.45
Tidak selamanya hukum yang dikonsepsikan sebagai peraturan
perundang-undangan lebih menjangkau kemanfaatan dan keadilan bagi
masyarakat. Ketika hukum harus dipahami terbatas pada undang-
undang, maka kedudukan hakim terposisikan hanya sebagai juru
bicaranya undang-undang yang tidak memiliki kewenangan untuk
menafsir, atau menyimpangi undang-undang meskipun secara kasat
mata rumusannya telah usang dimakan zaman, substansinya telah
ketinggalan zaman. Sehingga atas dasar ini, muncul suatu pendapat
bahwa hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang, hukum juga
dipahami sebagai keberlakuan empirik atau faktual dari hukum yang
hidup dalam kenyataan di masyarakat. Apa yang dinyatakan oleh hukum
haruslah sesuai dengan kenyataan di masyarakat.46
Karenanya, hukum
harus dipahami sebagai a cultural institution yang berkembang sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan realita kehidupan dalam masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum melalui putusannya harus
memperhatikan tujuan hukum yang akan dicapai. Sebagaimana
pendapat Benjamin Nathan Cardoso dan Roscoe Pound, kebebasan
hakim wajib memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk kepentingan
umum, dan mempunyai daya guna bagi masyarakat supaya tercipta
43
Ach. Rubaiel, dkk, ‚Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia,‛ Jurnal Konstitusi 3, No. 1 (2006). 44
Arthur Taylor Von Mehren, ‚Theory and Practice of Adjudicatory
Authority in Private International Law: A Comparative Study of the Doctrine,
Policies and Practices of Common and Civil Law Systems,‛ The American Journal of Comparative law 52, No. 3 (2004).
45 Yohanes Suhardin, ‚Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam
Penegakan Hukum,‛ Mimbar Hukum 21, No. 2 (2009) : 349-352. 46
J.J.H Bruggink, Refleksi tentang Hukum (alih bahasa Arief
Sidarta) (Bandung: PT.Citra Adya Bakti, 1996), 163.
14
kebahagian, sehingga dalam wacana akademik maupun politik hukum,
lazim digunakan ungkapan: ‚hukum sebagai sarana pembaharuan atau
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,‛ yang dalam istilah
Roscoe pound yaitu: hukum ‚ as a tool of social enginering.‛ 47 Senada dengan pendapat Alec Stone dalam upaya mewujudkan
hukum yang menjadi daya guna dan bermanfaat bagi masyarakat, bahwa
melakukan penafsiran hukum merupakan salah satu metode dan solusi
pemecahan sengketa atau perkara hukum dalam peradilan yang
berfungsi untuk melakukan pengurangan terhadap ketidakpastian yang
terdapat di dalam norma hukum. Solusi pemecahan sengketa atau
perkara hukum lainnya juga dilakukan melalui argumentasi hakim,
penerapan hukum, dan memperbanyak kerangka argumentasi hukum.48
Hakim dihargai sebaga manusia (bukan robot), hakim dihargai
daya nalar dan nurani ketuhanannya yang mampu menembus titik rasa
keadilan masyarakat yang terformulasi dalam putusan pertimbangan
hukumnya. Jika hukum dipandang sebagai kenyataan yang riil hidup dan
berkembang dalam kenyataan kehidupan masyarakat, maka kedudukan
hakim secara logis akan terposisikan sebagai judge made law. Hakim
dalam menjalankan tugas pokok tidak boleh menolak untuk memeriksa,
megadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas,49
melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya dengan cara menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim menggali hukum dan menciptakan hukum agar menghasilkan
hukum yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Atas dasar asas ini
lah sehingga lahirnya hukum yurisprudensi di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan sistem common law yang saat ini berkembang dalam sistem
peradilan di dunia barat dimana suatu hukum tidak terpaku hanya pada
aturan-aturan yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan semata.50
47
Bagir Manan, Hakim sebagai Pembaharu Hukum (Jakarta: Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI), 2007), 5. 48
Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politics: The Constitutional Council in Comparative Perspective (Oxford: Oxford University
Press, 2004) : 38-39. 49
Lihat pasal 16 Undang-undang No. 4 tahun 2004, tentang
kekuasaan kehakiman. 50
Nicola Gennaioli and Andrei Shleifer, ‚The Evolution of Common
Law‛, Journal of Political Economy 115, No. 11 (2007) : 43-68. Akses melalui
http://scholar.harvard.edu/files/shleifer/files/evolution_jpe_final.pdf tanggal
15Juni 2016.
15
Yurisprudensi sebagai reformasi dan pembaharuan hukum di
Indonesia lebih potensial dalam menegakkan keadilan dan
kemashlahatan. Ada dua alasan pentingnya eksistensi yurisprudensi di
Indonesia. Pertama, yurisprudensi erat kaitannya dengan pembaharuan
dan pembinaan hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
perundang-undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan
pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah dan asas serta
penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah, demikian juga
menggunakan sumber-sumber hukum lain, yaitu keputusan badan-badan
peradilan (yurisprudensi), sedangkan tulisan sarjana hukum yang
terkemuka disebut pula sebagai sumber tambahan.51
Kedua,
sebagaimana pernyataan Soepomo yang menyatakan bahwa di
Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim, akan tetapi
dalam praktik di pengadilan, sebagaimana juga dalam praktik
pengadilan di negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat
memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan
adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan
dengan itu, jurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting
untuk menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan oleh para
hakim.52
Berbicara tentang permasalahan hadanah, erat kaitannya
dengan permasalahan anak, dan secara kolektif hal tersebut menyangkut
permasalahan masa depan generasi bangsa, negara, dan agama. Di
Indonesia, hukum tertulis dan hukum positif telah mengatur tentang hak
hadanah anak di bawar umur diberikan kepada ibu yang diperkuat
dengan beberapa hadist Nabi, pendapat para sahabat dan pendapat
ulama fikih. Putusan-putusan hakim sebelumnya baik pada pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat
kasasi (putusan MA) umumnya menjatuhkan putusan sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan yang ada. Oleh karena pesatnya
perubahan dan perkembangan sosiologis, kultur, dan karakter
masyarakat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materil dan
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang No.
7 Tahun 1989 ternyata belum memberikan jawaban secara limitatif
terhadap beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pengasuhan
anak ketika terjadinya perceraian orang tua mereka.
51
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang Landasan pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976), 12.
52 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis) (Jakarat: PT Gunung Agung, 2005), 125.
16
Dalam menangani dan menetapkan siapa yang lebih berhak
untuk melakukan pengasuhan dan pemeliharaan anak pasca perceraian
harus benar-benar mempertimbangkan prinsip kemanfaatan,
kemashlahatan, dan masa depan anak. Hakim dalam hal tersebut dapat
menyimpangi kaidah undang-undang dan sekaligus berkewajiban
menggali dan menciptakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan,
kemanfaatan, dan kemashlahatan bagi pihak yang berperkara terutama
anak. Hakim diberi wewenang untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping).53 Putusan
hakim dengan menetapkan hak pengasuhan anak dengan memberikan
hak asuh anak di bawah umur kepada ayah telah memberikan corak
hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum pengasuhan
dan pemeliharaan anak dari yang telah ditetapkan dalam perundang-
undangan terutama KHI. Dan ternyata pula terdapat beberapa
permasalahan yang muncul di luar jangkauan yang menyebabkan
pengalihan hak asuh dari ibu kepada ayah. Kondisi ini memungkinkan
berkembangnya wacana penentuan bebagai tipikal hak asuh anak yang
diharapkan bisa berperan sebagai alternatif penyelesaian dalam sengketa
hak asuh anak, sekaligus sebagai pertimbangan hakim di persidangan
demi terpenuhinya rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara,
ataupun masyarakat secara umum tanpa terikat lagi pada ketentuan
hukum tertulis yang ada.
Penentuan tipikal kondisi psikologi, moral, serta adanya
perbedaan agama, sebagai dalil untuk memperoleh hak pengasuhan
anak. Kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang lain adanya
penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tertulis dalam pengasuhan
anak di bawah umur, pengasuhan anak didasarkan atas pembagian hak
yang sama (satu untuk pihak istri dan satu untuk pihak suami), dan
penilaian kembali terhadap usia anak yang dapat menentukan terhadap
pilihan pengasuhan antara ayah dan ibunya, dan sebagainya. Hal ini
menuntut para hakim untuk memandang lebih jauh permasalahan dan
kondisi real secara utuh dalam menentukan hak asuh anak. Hal ini
terbukti dengan lahirnya beberapa yurisprudensi yaitu No.
210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan 110K/AG/2007.
Suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(yurisprudensi) adalah menjadi milik masyarakat, dan tidak tunduk atau
menjadi hak cipta siapapun. Sehingga pada prinsipnya setiap orang
53
Lihat Bagir Manan, ‚Hakim sebagai Pembaharu Hukum,‛ Varia Peradilan, No. 254 (2007) : 5-21. Lihat juga Hasbi Hasan, ‚Dinamika
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Bidang Perdata Islam,‛ de jure, Jurnal Syariah dan Hukum 3, No. 2 (Desember 2011) : 154-163.
17
dapat melakukan analisis terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penelitian ini akan
menganalisis dinamika putusan perkara pengasuhan anak di bawah umur
khususnya hak pengasuhan anak yang diberikan kepada ayah dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab pengalihan hak asuh dari ibu
kepada ayah yang telah dikukuhkan menjadi yurisprudensi. Analisis
yurisprudensi hanya pada perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006,
dan 110K/AG/2007 karena kelangkaan kasus yang putusan perkara
hadanah diberikan kepada ayah dan kalaupun itu ada putusan tersebut
mengambil pedoman kepada ketiga yurisprudensi di atas. Dalam
menganalisis yurisprudensi di atas akan dilakukan dari berbagai sisi
yaitu dari sisi hukum normatif sebagai hukum terapan, dan dalam
tinjauan fikih Islam yang kemudian menuangkannya ke dalam sebuah
penelitian dengan judul ‚Hak Hadanah pada Ayah (Analisis
Yurisprudensi Mahkamah Agung).‛
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a. Sistem hukum apa yang dianut oleh Indonesia?
b. Bagaimana kedudukan yurisprudensi dalam tata hukum di
Indonesia?
c. Siapakah yang lebih berhak memelihara anak yang belum
mumayiz apabila terjadi perceraian?
d. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara pemeliharaan anak di bawah umur diberikan
kepada ayah?
e. Apakah boleh putusan hakim bertentangan dengan
undang-undang/ hukum tertulis?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirangkap
sebuah rumusan masalah sebagai berikut, ‚bagaimana pertimbangan
hukum hakim dalam memutuskan perkara hak pemeliharaan anak di
bawah umur diberikan pada ayah dipandang dalam perspektif hukum
positif, dan dalam perspektif fikih Islam?
3. Batasan Masalah
Objek kajian penelitian ini dibatasi pada putusan-putusan
Mahkamah Agung yang telah menjadi yurisprudensi tentang perkara hak
pemeliharaan anak di bawah umur diberikan pada ayah.
18
Yurisprudensi_tersebut adalah dalam perkara No. 210K/AG/1996,
349K/AG2006, dan 110K/AG/2007.
C. Tujuan
Berdasarkan masalah utama di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara hadanah anak di bawah umur yang diberikan pada ayah dalam
pemahaman yurisprudensi sebagai sumber hukum. Bagaimana
pertimbangan hakim dengan memberikan hak hadanah pada ayah
apabila dipandang dalam hukum positif. Apakah pertimbangan hakim
tersebut sudah memenuhi konsep keadilan hukum dan konsep hukum
prosedural yang berlaku. Penelitian ini juga menganalisa pertimbangan
hakim dalam memberikan hak hadanah anak di bawah umur yang jatuh
kepada ayah dan menguraikannya dalam sudut pandang fikih Islam.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademisi, manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memperkaya penelitian di bidang hukum khususnya tentang
hadanah anak di bawah umur serta hubungannya dengan
yurisprudensi sebagai sumber hukum.
2. Memahamai tujuan dan rahasia hukum Islam yang terkait
dengan pemeliharaan anak di bawah umur.
3. Menjadi salah satu rujukan, menambah wawasan, pengetahuan
bagi semua pihak, dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum
demi terealisasinya kemashlahatan anak.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian mengenai pemeliharaan anak di bawah umur dalam
hukum keluarga Islam di Indonesia memang telah banyak dilakukan
oleh akademisi, baik dalam bentuk penelitian individu ataupun
kelompok berupa karya ilmiah, buku-buku, maupun artikel. Berdasarkan
penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa literatur yang
membahas tema tentang hadanah anak serta penelitian terhadap
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan hadanah yang bisa
dijadikan sebagai suatu kajian dan perbandingan oleh penulis dalam
penelitian ini.
Adapun kajian tentang hadanah antara lain disertasi Ahmad
Zaenal Fanani (2014) dalam ‚Sengketa Hak Asuh Anak dalam Hukum
19
Keluarga Islam di Indonesia Perspektif Keadilan Jender.‛54
Dalam
disertasinya, Ahmad Zaenal Fanani lebih mengkritisi pasal 105 dan 156
KHI yang danggap tidak berkeadilan jender karena memberikan hak
asuh anak secara otomatis kepada ibu (berdasarkan jenis kelamin), dan
bukan berdasarkan kemampuan dan kepentingan terbaik baik anak.
Menurutnya pasal 105 dan 156 KHI harus direvisi dengan menjadikan
aspek moralitas, kesehatan dan kesempatan mendidik dan memelihara
sebagai parameter utama dalam menentukan pemegang hak asuh.
Dakwatul Chairiah (2011) dalam ‚Hak Mut‘ah, Hadanah, dan
Harta Bersama bagi Perempuan Pasca Cerai menurut Pandangan Nyai di
Pesantren Jawa Timur.‛55
Fokus penelitian dalam disertasinya adalah
berusaha untuk memahami pandangan Nyai tentang mut‘ah, hadanah, dan harta bersama pasca perceraian dengan pendekatan teori fikih dari
pendapat empat mazhab, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam kesimpulan
disertasinya, Dakwatul Chairah menyimpulkan –khususnya tentang
hadanah- bahwa pengasuhan anak sebelum baligh atau setelah baligh
pasca perceraian diserahkan kepada ibu atau kepada perempuan baik
pihak ibu atau dari pihak ayah, sedangkan ayah pada posisi tekhir
setelah perempuan. Pandangan Nyai tersebut mengisyaratkan bahwa ibu
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap amanah dalam rangka
membimbing anak untuk kemashlahatan anak.
Agen (2015) dalam ‚Pelaksanaan Kewajiban Pemeliharaan
Anak (Alimentasi) oleh Orang Tua Pasca Putusan Perceraian di
Kabupaten Rokan Hilir.‛56
Dalam penelitiannya, Agen menyoroti
bagaimana bentuk pemeliharaan anak oleh orang tua pasa perceraian di
Rokan Hilir serta bagaimana upaya hukum apabila tidak terlaksananya
kewajiban pemeliharaan anak oleh kedua orang tua pasca perceraiaan.
Pemeliharaan anak oleh orang tua pasca putusan perceraian di Rokan
Hilir belum berjalan dengan lancar dan menunjukkan kurangnya
tanggung jawab seorang ayah/ mantan suami terhadap kewajiban
54
Ahmad Zaenal Fanani, Sengketa Hak Asuh Anak dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia Perspektif Keadilan Jender, (Disertasi pada
Program Pascasarjana (Untag) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). 55
Dakwatul Chairah, Hak Mut ‘ah, H }ad}anah, dan Harta Bersama bagi Perempuan Pasca Cerai menurut Pandangan Nyai di Pesantren Jawa Timur, (Disertasi Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Ampel Surabaya, 2011). 56
Agen, ‚Pelaksanaan Kewajiban Pemeliharaan Anak (Alimentasi)
oleh Orang Tua Pasca Putusan Perceraian di Kabupaten Rokan Hilir,‛ JOM Fakultas Hukum 2, No. 1, (Februari 2015) : 1-15.
20
pemeliharaan yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Kesimpulan
ini didasarkan bahwa sejak terjadinya perceraian, setelah beberapa
waktu perhatian orang tua terutama ayah kian berkurang sehingga
kewajiban dalam pemeliharaan anak menyangkut nafkah tidak efektif
bahkan anak dibiarkan terlantar, sama sekali tidak menunaikan
kewajiban dalam biaya pemeliharaan anak. Upaya hukum terhadap tidak
terlaksananya kewajiban pemeliharaaan anak oleh orang tua pasca
putusan perceraian dapat ditempuh dengan cara melakukan eksekusi
sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap dengan cara paksa.
Firli Rasharendi, dkk (2013) dalam ‚Tinjauan Yuridis tentang
Tanggung Jawab Hukum Ayah terhadap Anak setelah terjadi Perceraian
Menurut Kompilasi Hukum Islam.‛57
Dalam penelitiannya, Firli dkk
berusaha menyoroti bentuk tanggung jawab hukum seorang ayah
terhadap anak pasca perceraian dalam tinjauan undang-undang
khususnya Kompilasi Hukum Islam. Bentuk tanggung jawab seorang
ayah terhadap anak setelah perceraian adalah menanggung biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak atau anak-anak hingga mereka
dewasa berdasarkan pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam dan nilai
nominalnya dalam pemeliharaan ditentukan oleh hakim setelah
perkawinan dinyatakan putus di muka pengadilan. Upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh seorang wali apabila seorang ayah atau kedua
orang tua tidak lagi menjalankan tanggung jawab hukum yaitu tidak
melakukan kewajibannya dalam memelihara dan mendidik anak-
anaknya setelah perkawinan putus pasca perceraian, maka seorang wali
dapat mengajukan penetapan hak asuh atas anak ke pengadilan. Agar
pengadilan memberi hak asuh untuk merawat, menjaga sampai anak
tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri, atau belum mencapai umur
21 tahun atas perwalian itu berdasarkan pasal 107 Kompilasi Hukum
Islam.
Adapun penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan dan
putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hadanah antara lain
Ahmad Syahrus Sikti (2015) ‚Daf‘u al-D{arar dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama se-
Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010-2014).‛58
Disertasi ini berusaha untuk
57
Firli Rasharendi, Tinjaun Yuridis tentang TanggungJawab Hukum Ayah terhadap Anak setelah Terjadi Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam, (Artikel Ilmiah Fakultas Hukum Universtas Jember (UNEJ), 2013).
58 Ahmad Syahrus Sikti, Daf‘u al-D{arar dalam Putusan Pengadilan
Agama (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama se-Wilayah DKI
21
memberikan gambaran tentang konsep daf ‘u al-d}arar dalam beberapa
putusan dan penetapan hakim pengadilan agama se-wilayah DKI Jakarta
sejak tahun 2010-2014 baik pada pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Salah satu
putusan yang dianalisis adalah putusan pengadilan yang berkaitan
dengan perkara gugatan hak asuh anak. Putusan gugatan hak asuh anak
pada Pengadilan Agama Jakarta Timur terdapat tiga putusan yang
diteliti. Tiga putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dua putusan
di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan satu putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat. Berdasarkan hasil penelitian dalam disertasinya,
semua putusan berorientasi kepada kaidah fikih dar’u al-mafa>sid muqaddamun ‘ala jalbi al-mas}a>lih} dengan memberikan hak asuh anak
yang belum mumayiz kepada ibu. Menurut Ahmad, pemberian hak asuh
anak kepada ibu lebih memberikan kemaslahatan bagi si anak dan
ibunya dalam menumbuh kembangkan anak yang belum karena anak
yang belum mumayiz lebih butuh kasih sayang ibunya dibanding
bapaknya. Pertimbangan mengenai hal-hal tersebut harus dilakukan agar
terhindar dari d}arar bagi anak.
‚Status Hukum dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian
karena Perkawinan Campuran (Analisis Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel),‛59
karya Hanum
Megasari. Dalam tesisnya, Hanum menganalisis putusan No.
480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel tentang pemeliharaan anak dan status
hukum anak akibat perceraian orang tua yang melakukan perkawinan
campuran antara warga Indonesia dan Inggris. Dalam amar putusan,
hakim memutuskan bahwa hak pengasuhan, pemeliharaan, dan
perawatan anak diberikan kepada ibu selaku penggugat berdasarkan
pertimbangan hukum hakim bahwa anak tersebut masih di bawah umur
yang sangat memerlukan pemeliharaan dan pengasuhan seorang ibu agar
anak dapat tumbuh dengan baik sampai ia dewasa. Berdasarkan analisis
dari penelitian tesisnya, Hanum menyimpulkan bahwa putusan
pengadilan negeri jakarta selatan sudah sesuai dengan UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, karena itu ketentuan tentang pemeliharaan anak
tunduk pada undang-undang tersebut sebagaimana yang diatur dalam
pasal 41, 45, 47, dan 48.
Jakarta Tahun 2010-2014), (Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 59
Hanum Megasari, Status Hukum dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian karena Perkawinan Campuran (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN. Jak.Sel, (Tesis Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009).
22
‚Law in Action: Analisis Implementasi UU No. 23 Tahun
2002 pada Putusan Hakim dalam Perkara Hadanah di Pengadilan
Agama‛60
karya Dewi Sukarti dan Hotnidah Nasution. Dalam
penelitiannya,mereka menganalisis beberapa putusan pengadilan
tentang hadanah apakah putusan-putusan tersebut sudah mengacu pada
UU No. 23 Tahun 2002 khususnya Pasal 2, 6, dan 24 tentang
dihargainya pendapat anak dalam perselisihan orang tua. Dari analisis
tersebut mereka menyimpulkan bahwa UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak belum terimplikasi dalam putusan hakim pada
perkara hadanah di peradilan agama. Hal ini disebabkan karena beberapa
faktor. Pertama , pengetahuan hakim tentang UU Perlindungan Anak
belum begitu baik sehingga sedikitnya putusan yang mengacu pada UU
No. 23 Tahun 2002. Kedua, alasan materil karena hakim pengadilan
agama telah mapan dengan paket materil hukum yang berkaitan dengan
perceraian yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI. UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI dianggap sudah lengkap oleh hakim, meskipun dalam keadaan
tertentu hakim melengkapinya lagi dengan ijtihad. Ketiga,alasan formil
yaitu hakim harus bersikap pasif artinya bahwa hakim hanya menunggu
perkara diajukan ke pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan,
hakim tidak bisa memutuskan hal-hal yang tidak dimuat dalam petitum.
‚Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim dalam
Memutuskan Hak Asuh Anak,‛61
karya Umar Haris Sanjaya.Dalam
penelitiannya, Umar meneliti tiga putusan hakim yang berbeda tentang
hak asuh anak yang diterbitkan pada tahun yang sama yaitu tahun 2010.
Putusan yang diteliti adalah perkara No. 232/K/Pdt/2010 hakim
memberikan hak asuh kepada ayah, putusan No. 226/K/Pdt/2010 hakim
memberikan hak asuh kepada ibu, dan putusan No. 234/K/Pdt/2010
hakim mentapkan hak asuh kepada kedua orang tua anak yaitu ayah dan
ibu. Dari hasil pengamatan dalam bentuk analisis terhadap tiga putusan
dapat disimpulkan bahwa putusan-putusan tersebut sangat dipengaruhi
unsur kepastian hukum. Hakim berpegang teguh kepada dasar hukum
yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, baik secara materil
maupun formil. Pada putusan No. 226/K/Pdt/2010 dan putusan No.
232/K/Pdt/2010 hakim mengedepankan argumen hukum dengan dasar
60
Dewi Sukarti dan Hotnidah Nasution, ‚Law in Action: Analisis
Implementasi UU No. 23 Tahun 2002 pada Putusan Hakim dalam Perkara
Hadanah di Pengadilan Agama,‛ jurnal al-Qalam 27, No. 2 (Mei-Agustus 2010)
: 305-330. 61
Umar Haris Sanjaya, ‚Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim
dalam Memutuskan Hak Asuh Anak,‛ Yuridika 30, No. 2 (Mei-Agustus 2015) :
129-140.
23
peraturan pasal 156 dan pasal 156 huruf (c), sedangkan putusan No.
234/K/Pdt/2010 mengambilkan kesimpulan bahwa tidak akan
memutuskan perkara yang tidak dimohon. Oleh karena itu pertimbangan
yang dilakukan hakim mencerminkan unsur kepastian hukum dan
prosedur hukum. Adapun mengkaji terhadap tepat tidaknya suatu
pertimbangan hakim kembali kepada azas dibuatnya suatu putusan
bahwa putusan harus memuat alasan dan dasar hukum. Dalam
penelitiannya, Umar mengambil kesimpulan bahwa tiga putusan hakim
yang berkaitan dengan hak asuh anak pertimbangan yang diberikan
sudah tepat dan mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
(normative legal research). Penelitian hukum normatif merupakan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
penalaran/ logika keilmuan dari sisi normatifnya.62
Penelitian hukum
normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal.63
Metode
penelitian hukum normatif dalam penelitian ini adalah penelitian
yurisprudensi yang dikenal juga dengan studi putusan, karena yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah putusan-putusan Mahkamah
Agung yang telah menjadi yurisprudensi. Oleh karena itu tipologi
penelitian hukum normatif dalam penelitian ini adalah termasuk
penelitian inventarisasi hukum yang menkonsepsikan hukum positif
juga identik dengan putusan-putusan hakim di pengadilan.
62
Penelitian hukum normatif dapat juga diartikan penelitian yang
ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma hukum itu sendiri, lihat Meray
Hendrik Mezak, ‚Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum,‛
Law Review V, No. 3 (Maret 2006). Bandingkan juga dengan Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematik
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum, selengkapnya lihat Soerjono Soekanto
dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 12-14. Lihat dan bandingkan juga
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Pt RajaGrafindo
Persada, 2003), 81-100. 63
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 118.
24
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif64
. Berdasarkan
sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-analisis65
dan
analisis-kritis.66
Penelitian hukum normatif yang dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai norma kaidah yang merupakan patokan prilaku manusia,
karenanya sumber datanya hanyalah data sekunder67
yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi
yurisprudensi terhadap perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan
110K/AG/2007. Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer adalah
hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum, buku-buku, jurnal-
jurnal, data-data dari website Mahkamah Agung, Undang-undang No.
50 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No.
64
Penelitian kualitatif adalah istilah umum yang mencakup berbagai
teknik interpretatif yang berusaha untuk menjelaskan, menerjemahkan suatu
makna yang terjadi secara alamai dalam dunia sosial (Van Maanen, 1979).
Karakteristik dari penelitian kualitatif ini adalah dari segi fokus penelitiannya
yaitu terhadap proses, pemahaman, dan makna. Instrumen utama penelitian dari
segi pengolahan data yang bersifat analisis dengan proses induktif, dan
menghasilkan produk yang kaya deskriptif. Selengkapnya dapat dilihat dalam
Sharan B. Merriam, Qualitatve Research a Guide to Design and Implementation (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 3-17. Bandingkan juga
dengan Lexi J. Moeong yang mengatakan penelitian kualitatif merupakan
wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan suatu
kebenaran, selengkapnyaLexi J Moeong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2006), 32.
65Penelitian deskriptif-analisis adalah metode pengumpulan data
melalui interprestasi yang tepat (Whitey, 1960) atau metode yang bertujuan
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu obyek penelitian yang
diteliti melalui data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang
berlaku umum (Soegiyono, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa metode
deskriptif-analisis berorientasi pada pemecahan masalah. 66
Selengkapnya baca Donal E. Comstock, A Methode for Critical Research) (Washington: Washington State University Press, 1980). Buku ini
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Mahmudi
dengan judul Metode Penelitian Kritis Meneliti Dunia untuk Merubahnya. 67
Bandingkan dengan Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum (Bandung: Sinar Baru 1984), 110, bandingkan juga dengan
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitin Hukum (Jakarta: UI Press, 2001), 52.
25
3Tahun 2009 jo Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo Undang-undang
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-undang No.
48 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman Sedangkan bahan hukum tersier sebagai bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yaitu kamus (hukum), dan ensiklopedia.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan melakukan
penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu meneliti dokumen-
dokumen putusan yang berkaitan dengan perkara hak hadanah pada
ayah. Mengumpulkan data teoritis tentang hadanah anak di bawah
umur, pendapat para fuqaha, serta pertimbangan-pertimbangan hakim
dalam penerapannya. Penulis akan berusaha menemukan kesimpulan
dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap sumber data
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis)68yaitu
menganalisis dan mengolah data setelah dilakukan observasi terhadap
objek penelitian, melakukan studi dokumentasi, kemudian menganalisis
objek penelitian dengan menggunakan hukum positif dan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan content analysis yang digagas oleh Mark A.
Hall dan Ronald F. Wright.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari V bab. Bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
permasalahan kasus penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah,
68
Sebenarnya analisis isi (content analysis) merupakan metode
penelitian yang dikembangkan dalam bidang komunikasi yang diarahkan untuk
merumuskan kesimpulan umum dari teks yang dimuat media massa terutama
surat kabar, lihat dan baca Klaus Krippendorff, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi (Jakarta: Rajawali Press 1986), lihat juga J, Vredenbregt,
Metode dan Teknik Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1978), 62-67. Oleh karena
itu, analisis isi merupakan salah metode penelitian kuantitatif. Namun
demikian, ia juga dapat diadaptasi untuk digunakan dalam penelitian kualitatif
seperti penelitian terhadap sejumlah teks misal ayat al-Qur’an, hadist, dan
pemikiran ulama. Demikian pula, metode ini dapat digunakan terhadap
penelitian teks peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi), yang dikenal sebagai
analisis yurisprudensi. lihat Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 288.
26
rumusan masalah, dan batasan masalah, penelitian terdahulu yang
relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
Penelitian ini difokuskan dalam konteks hadanah dalam
perspektif hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab
itu, pada bab II penulis memaparkan tentang kedudukan dan hak-hak
anak dalam Islam dan peraturan perundang-undangan, hadanah dalam
perspektif fikih, dan hadanah dan kekuasaan orang tua dalam
perundang-undangan di Indonesia.
Sebagai sebuah penelitian yang bersumber dari yurisprudensi
Mahkamah Agung, maka penelitian ini akan memaparkan tentang
segala aspek yang berkaitan dengan yurisprudensi dalam hukum
nasional Indonesia yang meliputi sistem hukum dalam konteks peradilan
Indonesia, dimensi yurisprudensi dalam bingkai teori dan praktek
peradilan di Indonesia, dan penemuan hukum dan peranan putusan
hakim dalam melindungi anak-anak korban perceraian orang tua.
Setelah mengungkapkan aspek-aspek tentang hadanah dalam
tinjauan hukum Islam dan dalam perundang-undangan di Indonesia,
serta kedudukan yurisprudensi Mahkamah Agung, maka pada bab IV
menjelaskan posisi kasus-kasus perkara hadanah dalam putusan
Mahkamah Agung (perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan
110K/AG/2007), menguraikan pertimbangan dan putusan hakim pada
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi,
kemudian melakukan analisis perkara tersebut yang telah menjadi
yurisprudensi. Analisis dilakukan terhadap pertimbangan hakim dan
putusan hakim dalam memberikan hak asuh anak di bawah umur
diberikan kepada ayah pada tataran hukum positif, dan sudut pandang
hukum Islam.
Bab V merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan dari permasalahan yang diajukan,
kemudian mengemukakan saran-saran dalam kasus yang diteliti yang
bertumpu pada kekuasaan kehakiman untuk memberikan rasa keadilan
dan kemashlahatan bagi masyarakat khususnya bagi para pihak yang
sedang berperkara terutama terhadap kepentingan anak.
27
BAB II
HADANAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH
DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka teori dan landasan
dasar penelitian ini dalam mengkaji yurisprudensi sebagai sumber
hukum yang berkaitan dengan hak hadanah anak di bawah umur.
Permasalahan hadanah akan dikaji dalam perspektif fikih dan
perundang-undangan di Indonesia. Paparan ini penting sebab akan
menjadi pondasi dasar yang akan memperkuat eksplorasi yurisprudensi
Mahkamah Agung pada bab selanjutnya. Bab ini terdiri dari tiga sub
judul, yaitu kedudukan dan hak-hak anak dalam Islam dan dalam
peraturan perundang-undangan, hadanah dalam perspektif fikih dan
hadanah serta kekuasaan orang tua dalam perundang-undangan di
Indonesia.
A. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam dan Peraturan
Perundang-undangan
1. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, anak didefenisikan sebagai
orang yang lahir dari rahim ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau
khunsa yang merupakan hasil persetubuhan dua lawan jenis.1 Apabila
diamati pengertian anak dalam ensiklopedi hukum Islam di atas, tampak
bahwa pengertian anak semata-mata disandarkan pada konteks
kelahiran dan posisi jenis kelamin yaitu laki-laki, perempuan, atau
khunsa. Al-Quran pun mengistilahkan untuk penyebutan kata anak
dengan term yang beragam. Term-term tersebut adalah walad, ibn, s}abiy, t}ifl, dan ghula>m.
Pertama, kata walad2 secara bahasa diartikan sebagai sebuah
penyebutan terhadap segala yang dilahirkan (ismun li kulli ma> wulida). Penunjukan makna walad bersifat umum bisa digunakan untuk anak
1 Abdul Azis Dahlan, dan tim, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 112. 2 Dari analisa kata walad dalam al-Quran diperoleh sejumlah
perubahan bentuk ke dalam 112 tempat. Kalimat walad berikut derivasinya
terulang sebanyak 165 kali dalam al-Quran. Lihat Muhammad Fua>d ‘Abd al-
Ba>qi>‘, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Quran al-Kari>m (Kairo: Da>r al-Kutub al-
Mis}riyyah, 1364 H), 776-777.
28
laki-laki, anak perempuan (untsa>), penyebutan untuk satu orang anak
(mufrad), dua orang anak (mutsanna), dan banyak anak-anak (jama‘).3 Salah satu term walad yang digunakan dalam al-Qur’an
menunjukkan tentang kemuliaan kedudukan anak dan bahwa setiap anak
memiliki hak untuk hidup dan menikmati kehidupannya dengan aman.
Tumbuh dan berkembang serta mempertahankan segala hak yang
melekat pada dirinya sebagai manusia. Oleh karenanya, sejak awal
kehadirannya, anak harus diberikan hak-haknya sebagai manusia
biologis yang membutuhkan pemenuhan hidupnya melalui penyusuan
(rad}a>‘ah),4 mempunyai hak warisan dari peninggalan harta orang tuanya
dan hak-hak perwalian,5 dan larangan melakukan tindakan kezaliman
terhadap anak dalam bentuk pembunuhan terhadap anak.6
Kedua, lafal ibn7 memiliki makna yang sama dengan walad –
dalam konteks pengertian yang umum untuk penyebutan anak.8
Perbedaannya terletak pada kata walad dipakai untuk menggambarkan
adanya hubungan keturunan, sehingga muncul istilah al-wa>lid yang
berarti ayah (kandung), al-wa>lidah yang berarti ibu (kandung).
Sedangkan lafaz ibn tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan. Jadi
ibn berarti anak kandung dan anak angkat, demikian pula kata ab (ayah)
bisa berarti ayah kandung dan ayah angkat. Kata ibn bisa juga berarti
3 Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri> Jama>l
al-Di>n Abu> al-Fad}l, Lisa>n al-‘Arab (Beirut:Da>r S{a>dir, t.t), vol. 3, 467-480.
Lihat Ahmad ibn Muhammad ‘Ali al-Fayyu>mi> al-Muqri, al-Mis}ba>h} al-Muni>r fi > Ghari>b al-Sharh{ al-Kabi>r (Beirut: Maktabah Lubna>n, 1987), 257. Lihat juga
Muhammad ibn Abi> Bakr ibn ‘Abd al-Qa>dir al-Ra>zi>, Mukhta>r al-S{ih}h}a>h} (Beirut: Maktabah Lubna>n, 1986), 306.
4 Lihat QS. Al-Baqarah ayat 223.
5 Lihat QS. Al-Nisa>’ ayat 6 dan 12.
6 Lihat QS. Al-Mumtahanah ayat 12.
7 Kata ibn dengan berbagai derivasi dalam pemaknaan anak yang
tertera dalam al-Quran terulang sebanyak 162kali. Lihat Muhammad Fua>d
‘Abd al-Ba>qi>‘, Mu ‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Quran al-Kari>m, 150-152. 8 Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri> Jama>l
al-Di>n Abu> al-Fad}l, Lisa>n al-‘Arab, vol. 3, 467. Baca juga Muhammad ibn
Ya‘qu>b al-Fairu>z A<ba>di Majid al-Di>n, Basa>ir Dhazi> al-Tamyi>z fi> Lat}a>if al-Kita>b al-‘Azi>z, tah}qi >q ‘Abd al-‘Ali>m al-T{ah}a>wi> (Kairo: Jumhuriyyah Mis}r al-
‘Arabiyyah al-Majlis al-A‘la> al-Isla>miyyah, 1996), vol. 5, 278. Baca juga al-
Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qura>n, muh}aqqiq S{afwa>n ‘Adna>n
Da>wu>di> (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2009), 883.
29
orang seperti dalam istilah ibnu sabi>l yang bermakna orang yang sedang
menempuh perjalanan.9
Jika diperhatikan pengungkapan ayat-ayat dengan
menggunakan kata ibn dalam al-Qur’an memperlihatkan betapa
sempurna dan jelasnya tujuan Allah menurunkan al-Qur’an. Salah satu
indikasi yang menunjukkan kesempurnaan tersebut adalah tentang
perlindungan anak ketika berada dalam situasi kritis, menghadapi
bencana dan kebutuhan anak dalam perlindungan dari bencana dan badai
besar,10
perlindungan pendidikan keagamaan anak melalui kisah
Luqman,11
penyelamatan anak dari kecenderungan melanggar syariat.12
Penggunaan lafaz ibn juga membahas tentang ayat perlindungan
terhadap hak anak untuk mendapatkan yang terbaik dan menyerukan
agar selalu melakukan hal yang baik dan mencegah segala bentuk
kemungkaran,13
larangan untuk membunuh dan memperlakukan anak
secara diskriminatif,14
dan sebagainya.
Ketiga, kata s}abiy15 diistilahkan kepada kelompok anak yang
berada dalam tahapan usia masih menyusu hingga anak tersebut berusia
hampir mencapai baligh atau belum menampakkan tanda kedewasaan.16
Kalau dilihat dari sisi usia, maka s}abiy adalah masa usia anak yang
belum mencapai usia tujuh tahun. Usia ini merupakan batas umur
seorang anak untuk diperbolehkan dapat melakukan puasa (karena
kekuatan fisik).17
Keempat, Lafal t}ifl18 dimaknai sebagai manusia yang berada
dalam tahapan perkembangan fisik yang ringan, lunak, halus, lembut,
9 al-Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Quran, muh}aqqiq
S{afwa>n ‘Adna>n Da>wu>di>, 147. 10
Lihat QS. Al-Hu>d ayat 42 dan 45. 11
Lihat QS. Luqma>n ayat 13, 17. 12
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 133 dan QS. Ibrahi>m ayat 35. 13
Lihat QS. Yusuf ayat 5. 14
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 49 dan QS. Al-Mukminu>n ayat 25. 15
Dalam al-Quran kata s}abiy yang berarti anak hanya terulang dua
kali yaitu dalam surat al-Maryam ayat 12 dan ayat 29. Lihat Muhammad Fua>d
‘Abd al-Ba>qi>‘, Mu ‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Quran al-Kari>m, 414. 16
Lihat al-Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Quran, 475. 17
Muhammad ‘At}iyyah Allah, al-Qa>mus al-Isla>mi> (Kairo: Maktabah
al-Nahd}ah al-Mis{riyyah, t.t), vol. 4, 250. 18
Kata t}ifl disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali yaitu
QS. Al-H{ajj ayat 5, QS. Al-Nu>r ayat 31 dan 59, QS. Al-Mukminu>n ayat 67, QS.
Lihat Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>‘, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, 440.
30
atau belum kuat dan matang dalam melakukan sesuatu.19
Secara umum
lafal t}ifl menunjukkan terhadap segala sesuatu dalam kondisi rentan
karena kelunakannya. Secara khusus menunjukkan kepada aspek fisik
anak yang masih rentan dan belum mencapai usia dewasa, anak yang
senantiasa masih menggantungkan segala kenikmatannya dan masih
memerlukan bantuan untuk memenuhi segala kebutuhannya.20
Term t}ifl dalam pemaknaan al-Qur’an secara umum dapat
dipahami bahwa, pertama berhubungan dengan makna dasar yaitu usia
anak yang senantiasa dalam kesenangan dan tidak memiliki beban
kehidupan yang disebabkan karena kelemahan fisik dan psikis. Al-
Qur’an menyebutkan ayat-ayat yang menggunakan lafaz ini berkenaan
dengan kesiapan dan kematangan usia anak memasuki tahapan
kedewasaan. Kedua, kata ini berkenaan dengan aturan-aturan dalam
kekeluargaan dan ayat-ayatnya selalu berkaitan dengan prinsip-prinsip
kekeluargaan. Ketiga, pengungkapan kata t}ifl merupakan pengungkapan
yang singkat namun padat, artinya meskipun pengungkapan ayatnya
hanya terdiri atas empat tempat dalam al-Qur’an namun bahasannya
mencakup keseluruhan kehidupan anak yang dimulai sejak proses
kelahiran hingga mulai menginjak usia dewasa.
Kelima, ghula>m21 dipergunakan untuk menggambarkan
perkembangan fisik seseorang yang ditandai dengan munculnya
berbagai perubahan biologis. Misalnya pada diri manusia umumnya
ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sempurna, tumbuhnya rambut
halus atau adanya tanda-tanda lain dari aspek kedewasaan seseorang
19
Lafal t}ifl ini juga dipergunakan untuk menggambarkan pengaruh
usia dan aktifitas seseorang yang masih berada dalam tahap perkembangan
fungsi biologis, khususnya pada tangan dan kaki sebagai alat penopang
keseimbangan tubuh. Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-
Mis}ri> Jama>l al-Di>n Abu> al-Fad}l, Lisa>n al-‘Arab, vol. 11, 401. Lihat juga
Muhammad ibn Ya ‘qu>b al-Fairu>z A<ba>di Majid al-Di>n, al-Qamu>s al-Muh}i>t} (Beirut: Da>r al-Jail, t.t), vol. 4, 7.
20 Muhammad ibn Ya ‘qu>b al-Fairu>z A<ba>di Majid al-Di>n, Basa>ir
Dhazi> al-Tamyi>z fi> Lat}a>if al-Kita>b al-‘Azi>z, tah}qi>q ‘Abd al-‘Ali>m al-T{ah}a>wi>, vol. 3, 510.
21 Term ghula>m dalam al-Qur’an dengan segala perubahan
bentuknya terdapat dalam 12 kali pengungkapan yaitu QS. A<li Imra>n ayat 40,
QS. Yusuf ayat 19, QS. Al-Hijr ayat 53, QS. Al-Kahfi ayat 74, 80, dan 82, QS.
Maryam ayat 7, 8, 19 dan 20, QS. Al-S{a>ffa>t ayat 101, QS. Al-Dha>riya>t ayat 28.
Lihat Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>‘, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, 517.
31
yang menuntut ditegakkan aturan agama.22
Pemakaian kata ghula>m
dalam beberapa tempat dalam al-Qur’an menunjukkan kepada anak
yang berada dalam kelompok usia belum mencapai kematangan baik
secara fisik maupu psikis. Di antaranya dapat dilihat dalam ayat yang
menerangkan kondisi Yusuf ketika mendapatkan perlakuan zhalim dari
saudara-saudaranya dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sumur
kemudian Yusuf diketemukan oleh sekelompok musafir yang sedang
mengambil air.23
Kondisi fisik yang dengan mudah diangkat ketika
menaikkan dari sumur semakin memperkuat dugaan bahwa usia Yusuf
saat itu adalah usia yang sangat muda dan sangat membutuhkan
pertolongan. Selain itu, kata ghula>m dipergunakan dalam hal yang
berkaitan dengan harapan-harapan dari seseorang yang berkepribadian
mulia dan teguh dalam keimanan. Hal tersebut tergambar dalam kisah
Nabi Zakariya dan istrinya ketika usia keduanya telah tua, mereka pun
larut dalam suasana jiwa yang putus asa dan hilang harapan memiliki
anak dan akan adanya pengganti pembawa risalah kenabian.24
Dari kata ghula>m dalam al-Qur’an secara umum dikatakan
bahwa ghula>m adalah istilah kelompok generasi anak yang akan
memiliki kematangan atau kesiapan kematangan untuk melakukan
penyelamatan terhadap misi ketuhanan dan kemanusian yang
dibutuhkan manusia. Dugaan ini lebih dipertegas lagi dengan
penyebutan berbagai tokoh dalam al-Qur’an yang menginginkan dapat
memiliki seorang anak yang dapat mewarisi tugas mulia. Hal ini
terwujud meskipun dengan kondisi keluarga yang tidak lazim untuk
melahirkan, kemudian dengan kehendak Allah mengutus anak kepada
mereka dengan berbagai potensi fungsi kekhalifahan, anak yang
penyabar (ghula>m h}ali>m)25, dan anak yang cerdas (ghula>m ‘ali>m).26
Berbagai term dan defenisi anak yang telah diuraikan di atas
memberikan isyarat bahwa betapa al-Qur’an sangat memperhatikan
keberadaan anak. Perhatian dan kepedulian tersebut baik yang berkaitan
dengan kedudukan anak, pendidikan anak, pemeliharaan dan
perlindungan anak, hak-hak anak, hukum-hukum yang berhubungan
dengan anak, dan lain sebagainya.
Kedudukan anak dalam Islam mempunyai arti yang penting.
Kedudukan anak dalam Islam sebelum datangnya Islam sangat lah
22
Muhammad ibn Ya‘qu>b al-Fairu>z A<ba>di Majid al-Di>n, al-Qamu>s al-Muh}i>t}, vol. 4, 158 . al-Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Quran, 613.
23 Lihat QS. Yusuf: 19
24 Lihat QS. Maryam: 8.
25 Lihat QS. Al-S{a>ffa>t: 10.
26 Lihat QS. Al-Dha>riya>t: 28.
32
memprihatinkan dimana pada waktu itu masyarakat Arab hidup secara
jahiliyah menyembah berhala, mereka membunuh anak-anak karena
khawatir tidak mampu menanggung biaya hidup27
dan mereka
memperlakukan anak secara diskriminatif. Mereka menerima kelahiran
dan kehadiran anak laki-laki dengan suka cita sebaliknya kehadiran dan
kelahiran anak perempuan dianggap hina sehingga setiap bayi
perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup.28
Pola pikir masyarakat
jahiliyah arab ini yang dirubah dengan kedatangan agama Islam dimana
Islam memandang kedudukan anak laki-laki dan perempuan sama, sama-
sama merupakan rahmat dan anugerah dari Allah swt.29
Di samping itu,
salah satu tujuan pensyariatan perkawinan dalam Islam pun adalah
untuk memperoleh keturunan, sebab eksistensi anak pada hakikatnya
sebagai pelanjut pengembangan misi agama yang kelak memakmurkan
dunia sebagai rahmatan lil ‘alami>n, dan pewaris ajaran Islam.
Sejak awal kehidupannya, seorang anak mempunyai hak
dalam rangka melindungi eksistensiya. Hak anak adalah kekhususan
bagian untuk anak dan segala sesuatu yang terkadung dalam syariat
Islam berupa kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjamin persamaan
hak asasinya dan kebahagian hidupnya dalam kedamaian dalam
masyarakat Islam lainnya.30
Hak anak memiliki kriteria berbeda dengan
orang dewasa. Hak berlaku pada orang dewasa beriringan dengan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi. Namun hak yang
berlaku bagi anak-anak tidak terkait dengan kewajiban-kewajiban
mandiri tertentu. Artinya kekhasan hak anak terletak pada pemenuhan
hak-hak anak dan sebagai kewajiban dari orang tua yang melahirkannya.
Implementasi hak anak dilakukan dalam rangka perlindungan
syariat Islam terhadap hak-hak anak sebagai manusia. Uraian tentang
perlindungan anak dapat dirunut dari pembahasan tentang hak-hak
manusia secara umum yang terdapat di dalam kajian teori-teori maqa>s}id shari>‘ah. Berdasarkan penelitian yang mendalam, para ulama
menyimpulkan bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah dengan
tujuan menjamin kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di
27
Lihat QS. Al-Isra>’: 31. 28
Lihat Lihat QS. Al-Isra>’: 31, dan QS. Al-An‘a>m: 140. Kedua
landasan teologis di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan penghargaan
dan perlindungan yang sangat tinggi kepada hak hidup anak, baik ketika masih
dalam kandungan maupun ketika dilahirkan. 29
Anak sebagai rahmat dan anugerah dari Allah digambarkan dalam
QS. Al-Anbiya>’: 84. 30
Rafat Farid, al-Isla>m wa H{uqu>q al-T{ifl (Kairo: Da>r Muhaysin,
2002), 9.
33
akhirat. Tujuan syariat Islam tersebut hanya akan dapat dicapai dengan
memberikan jaminan kepada hak-hak dasar manusia, termasuk tentunya
terhadap hak-hak anak. Ada lima pilar pokok kehidupan manusia yang
harus dijamin dan dipelihara (al-d}aru>riya>t al-khams) yaitu agama, jiwa,
keturunan, harta, dan akal. Semua bentuk dan macam hak yang dimiliki
manusia pada hakikatnya dapat dikembalikan kepada dan
pengembangan dari kelima hak pokok manusia tersebut.31
Hak-hak anak yang berkaitan dengan agama dalam rangka
membina dan menguatkan hak keagamaannya adalah hak penanaman
akidah yang benar. Akidah merupakan bagian inti dan fundamental dari
agama. Akidah menjadi pintu masuk suatu agama dan pondasi bagi
pembangunan bagian-bagian agama lainnya seperti ibadah, akhlak, dan
muamalah. Pembinaan keagamaan seorang anak dimulai dari penanaman
akidah yang mesti dilakukan sejak usia yang sangat dini. Bahkan calon
ibu dan ayah yang menginginkan seorang anak sudah harus
mempertimbangkan penanaman akidah ini ketika mereka melakukan
jima‘ yakni dengan bermohon kepada Allah agar anak yang mungkin
dititipkanNya dalam rahim sang istri terhindar dari gangguan ataupun
pengaruh buruk syetan.32
Perlindungan anak dari gangguan dan
pengaruh buruk syetan merupakan awal dari seluruh perlindungan yang
sangat dibutuhkan anak dalam kehidupannya kelak. Bila anak telah
mendapatkan haknya pada tahap yang paling dini dari kehidupannya,
kemungkinan besar anak tidak akan mendapatkan kesulitan berarti
dalam kehidupan beragamanya kelak terutama dalam pengabdiannya
kepada Allah.
Hak anak selanjutnya yang berkaitan dengan hak keagamaan
adalah hak pengajaran dan bimbingan ibadah. Ibadah adalah bagian dari
ajaran agama yang berbetuk praktek. Ibadah merupakan perwujudan
nyata dari keimanan dan berfungsi sebagai sarana penanaman nilai-nilai
akhlak mulia serta pembinaan pribadi dam masyarakat muslim. Oleh
31
Tentang teori Maqa>s}id al-shari>‘ah lihat di antaranya Abu al-Ma
‘a>li> al-Juwayni, al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r alKutub al-Ilmiyyah,
1997), Abu> H{amid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa fi ‘Ilm al-Us}u>l (Beirut: Da>r al-Fikr,
t.t), Abu> Ish}aq al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Muhammad Khalid Mas‘ud, Islamic Legal Philosophy (Islamabad: Islamic Research Institut, 1977), 223, Jasser Auda,
Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007).
32 Lihat dalam al-Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b Bada’i
al-Khalq Bab S{ifah Ibli>s wa Junu>dih (Kairo: Da}r al-H{adi>ts, 2004), vol.2, no.
3271-3272, 398.
34
karenanya anak berhak atas pengajaran dan bimbingan ibadah demi
kesempurnaan keberagamaannya. Pembinaan ibadah pada anak-anak
adalah sebagai penyempurna pembinaan dari akidah. Semakin tinggi
nilai iabadah yang dimiliki, maka semakin tinggi pula kadar
keyakinannya.
Hak anak yang berkaitan dengan jiwa untuk menjamin
keselamatan jiwa anak dan kualitas kehidupan mereka adalah hak anak
untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan hak yang sangat dasar dalam
hak asasi manusia, tidak boleh seorang pun membunuh orang lain.33
Penjelasan tentang hak hidup lebih banyak berhubungan dengan
perlindungan terhadap jiwa dan larangan penghilangan nyawa secara
sengaja.34
Hak selanjutnya yang berkaitan dengan jiwa adalah hak anak
dalam mendapatkan pengasuhan atau hadanah. Hadanah merupakan
upaya awal dalam perwalian dan bimbingan kepada anak.35
pemeliharaan anak memiliki keterkaitan dengan beberapa hak. Dari sisi
anak yang masih kecil, ia punya hak untuk diasuh, hak untuk tetap
hidup dan tumbuh secara baik. Dari sisi pengasuh, ia memiliki hak
untuk mendidik anak yang diasuhnya dan memeliharanya dengan baik.
Oleh karenanya, dalam menguraikan hak pengasuhan anak, berkaitan
pula dengan siapa yang paling berhak untuk melaksanakan pengasuhan
dan pemeliharaan anak terutama yang masih di bawah umur.
Selanjutnya adalah hak anak dalam perawatan kesehatan. Islam
memberikan tuntunan agar umatnya memberikan perhatian serius dalam
kesehatan terutama kesehatan anak dan berupaya menghindarkan
mereka dari berbagai penyakit.36
Selanjutnya adalah hak atas kebutuhan
33
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amissco, 2000), 139.
34 Banyak dijumpai dalam sumber-sumber ajaran Islam bahwa
penghilangan satu jiwa manusia sama artinya dengan membunuh kesucian dan
kehormatan jiwa manusia seluruhnya lihat dalam QS. Al-Ma>idah:32, QS. Al-
Isra’:33, QS. Al-An‘a>m:151. Larangan membunuh anak dan janin lihat dalam
al-Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b al-I<ma>n Ba>b ‘Ala>matu al-I<ma>n
H{ubb al-Ans}a>r, vol. 1, no hadist 18, 13, dan lihat juga Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kita>b al-Nika>h} Ba>b al-Ghail (Beirut: Da>r al-Fikr, 2004), vol. 1, no
hadist 2011, 630-631. 35
Lihat Huzaimah Tahido Yanggo, Fiqh Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak sera Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktifitas Anak (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2004), 101.
36Perhatian Islam tentang kesehatan dapat dilihat melalui konsepnya
tentang perintah untuk selalu menjaga kebersihan, perintah tentang memakan
makan makanan yang halal lagi bergizi. Untuk itu Allah kembali meminta
35
pokok dan gizi yang baik untuk menjamin kelangsungan hidup anak.
Oleh sebab itu Islam menetapkan kewajiban kepada orang tua untuk
menyusui dan menjamin nafkah anak sampai mereka dewasa dan
mandiri dalam rangka perkembangan fisik mereka yang baik dan
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua.37
Perhatian dan
kasih sayang dari orang tua sangat dibutuhkan oleh anak untuk
perkembangan psikis mereka agar menjadi pribadi yang baik dan
percaya diri.
Hak anak yang berkaitan dengan kehormatan dan keturunan
adalah hak atas kesucian dan kebaikan keturunan, hak kejelasan nasab,
hak atas nama dan identitas yang baik, dan hak untuk dididik
memelihara kehormatan. Islam melindungi hak keturunan untuk
mendapatkan kejelasan dan kepastian garis keturunan.38
Kepastian
keturunan merupakan salah satu identitas kemanusian yang sangat
penting dan berpengaruh besar dalam kehidupan. Oleh karenanya dalam
rangka menjaga kejelasan nasab dan untuk identitas yang baik maka
Islam melarang perbuatan zina.39
Dalam rangka perlindungan terhadap
kehormatan dan harga diri anak Islam memberi arahan agar memanggil
anak dengan panggilan yang baik dan pantas agar tidak menjatuhkan
harga diri mereka,40
karena nama merupakan simbol immaterial yang
perhatian manusia melalui firmannya: طعاموإلالإنسانف لينظر yaitu hendaklah manusia
memperhatikan makanannya, terutama anak-anak yang masih membutuhkan
perawatan dan perhatian dari orang dewasa untuk perkembangan fisik mereka. 37
Lihat QS. Al-Baqarah:233. Ayat ini secara jelas menitik beratkan
kepada seorang ibu untuk menyusukan anaknya selama dua tahun untuk
membentuk kepribadian anak pada tahap awal. Dengan menyusui anak akan
terpenuhi kebutuhan fisiknya dan terpenuhi kebutuhan emosinya berupa kasih
sayang dan kelembutan seorang ibu. Ibu lebih berhak untuk menyusui anak
yang dilahirkannya karena kasih sayang, kecintaan, kelembutan yang dimiliki
seorang ibu sehingga terciptanya hubungan baik dengannya, baca Ali Yusuf al-
Subkiy, Fikih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, penerjemah Nur
Khozin) (Jakarta: Amzah, 2010), 279. 38
Lihat QS. al-Ahzab: 5. Kejelasan nasab berfungsi sebagai dasar
bagaimana orang lain mempelakukan anak, dan bagaimana anak seharusnya
mendapatkan hak-haknya dari lingkungan keluarga, baca Mufidah Ch,
Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Press malang,
2008), 305-306. 39
Lihat QS. Al-Isra’ ayat 32. 40
Memberi nama yang baik kepada anak sesungguhnya merupakan
perwujudan dari keberadaan, kebudayaan, dan peradaban manusia itu sendiri.
Hadist nabi telah memberikan penjelasan untuk memberikan perhatian dalam
36
diberikan oleh orang tua agar selalu dikenang orang lain, lambang
identitas, dan doa.41
Hak anak yang berkaitan dengan akal dalam rangka
menumbuhkan kecerdasan dan kompetensi di antaranya adalah hak
pengembangan intelektualitas, hak pendidikan akhlak (kecerdasan
emosional), dan hak pendidikan jasmani. Sebagai manusia, seorang anak
sangat membutuhkan pengasahan atas kemampuan akal pikiran untuk
pengembangan dan kualitas kehidupannya. Pengembangan kekuatan
akal dan potensi diri mustahil dilakukan tanpa melalui pendidikan,
karenanya pendidikan menjadi instrumen yang sangat penting. Oleh
sebab itu pula Islam menganjurkan (mewajibkan) setiap muslim untuk
menuntut ilmu.42
Dalam rangka mewujudkan pribadi yang shaleh, dan
beriman maka pendidikan akhlak sangat penting untuk anak. Pendidikan
akhlak dan budi pekerti merupakan tanggung jawa kedua orang tua dan
Islam mendorong orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan
akhlak dan kecerdasan emosional.43
Seorang anak tidak hanya
membutuhkan pembinaan dan pengembangan kemampuan
intelektualitas, tetapi juga membutuhkan pengembangan kemampuan
kinestetis (kecerdasan fisik). Hal ini diperlukan agar anak kelak dapat
memanfaatkan potensi jasmaniahnya secara baik, di samping itu baik
bagi kesehatan dan kebugaran tubuh.44
Keterkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang
berkaitan dengan akal termasuk juga perlindungan terhadap penguatan
dan perwujudan hak akal ( hak berpendapat). Sejak dini, sorang anak
memberikan nama anak dan memilih nama yang baik. Sebagaimana hadist
Nabi:
إنكمتدعوني ومالقيامةبأسائكموأساءآبائكمفأحسنواأساءكمLihat dalam Abu Daud, Sunan Abi> Da>ud, Kita>b al-Adab Ba>b fi> Taghyi>r al-
Asma>’, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2004 ), vol. 2, no hadist 4948, 372. 41
Ali Gufran, Lahirlah dengan Cinta Fikih Hamil dan Menyusui (Jakarta: Amzah, 2007), 117.
42 Lihat QS. Al-Muja>dalah: 11.
43 Anas bin Ma>lik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
أكرمواأولادكموأحسنواأدبهم
Lihat Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kita>b al-Adab Ba>b Birr al-Wa>lid wa al-
Ih}sa>n ila> al-Bana>t, vol. 2, no hadist 3671, 395. 44
Dalam rangka pembinaan dan pendidikan jasmani Rasulullah
menganjurkan anak-anak dan remaja muslim untuk giat berolah raga. Di
antaranya lihat Abu Abad al-Rah}man al-Nasa>i , Sunan al-Nasa>i, Kita>b al-Khail
Bab Ta’di>b al-Rajul Farasah (Beirut: Da>r al-Fikr, 2005), vol. 6, no hadist 3577,
224.
37
mesti dididik dan dilatih untuk mengungkapkan fikiran dan pendapatnya
untuk kemudian diberikan penghargaan dan tuntunan. Nabi saw sangat
menghormati dan menghargai fikiran dan pendapat seorang anak sesuai
dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Beliau memberikan
kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat kepada anak ketika
mereka telah memiliki potensi dan kemampuan akal yang memadai,
terutama berkaitan dengan kepentingan mereka sendiri. Pendidikan dan
penyadaran terhadap hak-hak anak dalam mengeluarkan pendapat juga
pernah dilakukan Nabi dalam persidangan ketika terjadi persengketaan
pengasuhan anak antara sepasang suami istri. Masing-masing pihak
suami maupun istri mengklaim bahwa merekalah yang paling berhak
atas pengasuhan anak. Kemudian Nabi bertanya kepada anak tersebut:
‚hai anak, ini ayahmu dan ini ibumu, pilihlah siapa yang engkau
kehendaki. Lalu anak tersebut mengambil tangan ibu dan pergi
bersamanya.‛45
Hak anak yang berkaitan dengan harta adalah hak atas nafkah,
hak keadilan dalam pemenuhan kebutuhan, dan hak mendapatkan harta
warisan. Seorang anak wajib untuk diberi nafkah untuk kehidupan dan
kelangsungan hidupnya. Kewajiban ini dibebankan kepada ayah karena
ayah sebagai kepala keluarga.46
Namun tidak menutup kemungkinan
bahwa seorang ibu juga memikul tanggung jawab biaya nafkah. Dalam
hal pemenuhan bebutuhan anak, orang tua dituntut untuk berbuat adil di
antara anak-anaknya dalam segala hal, baik dalam hal nafkah maupun
pemberian lainnya.47
Kemudian hak untuk mendapatkan harta warisan
dari orang tua. Terkait dengan bekal harta benda untuk masa depan
anak, islam menggariskan kebijakan agar orang tua meninggalkan harta
warisan yang cukup bagi anak-anak mereka untuk bekal kehidupannya.
Islam melarang prilaku boros dan meninggalkan anak keturunan dalam
kefakiran. Dalam sebuah hadis Rasulullah melarang seseorang yang
ingin mewaqafkan seluruh hartanya sedangkan ia masih memiliki
45
Lihat Abu Abad al-Rah}man al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i, Kita>b al-
T{ala>q Ba>b Isla>m Ah}ad al-Zaujaiyn wa Takhyi>r al-Walad, vol. 6, no. hadist
3493, 186, dan Abu Abad al-Rah}man al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i al-Kubra>, vol. 3,
no. Hadist 5690, 381. 46
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 233. 47
Riwayat yang menceritakan tentang pentingnya berbuat adil
dalam hal pemberian kepada anak-anak dapat dilihat dalam al-Ima>m al-
Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b al-Hibah wa Fadhliha> wa al-Tah}ri>dh ‘Alaiha>
Ba>b al-Ishha>d fi> al-Hibah, vol. 2, no hadist 2587, 212.
38
keluarga yang lebih berhak terhadap harta tersebut.48
Rasulullah sangat
membenci orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam
memberikan nafkah untuk keluarganya.
2. Kedudukan, Hak, dan Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam
Konteks Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Secara filosofi, anak sebagai bagian dari generasi muda,
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang
memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.49
Kedudukan anak sebagai sumber harapan perlu mendapatkan perhatian
yang serius terutama oleh suatu bangsa dan negara. Eksistensi anak
harus senantiasa dijaga, dipelihara dan diperlukan untuk pembinaan,
bimbingan demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, sosial, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang
akan membahayakan anak sebagai generasi muda bangsa.50
Dalam perspektif hukum tata negara, komitmen negara untuk
melindungi warga negaranya, termasuk di dalamnya perlindungan
terhadap anak dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-undang
Dasar 1945.51
Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negara
48
Lihat dalam al-Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b al-
Was}a>ya> Ba>b An Yatruk Warastatahu Aghniya>-a Khairun min an Yatakaffafu>
al-Na>s, vol. 2, no hadist 2742, 262.
Rasulullah juga sangat membenci orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dalam memberikan nafkah untuk keluarganya. Kecaman ini
terekam dalam hadis Nabi:
الي وانع ث ناأبوإسحاقعنوىببنجابر سفيانحد كثيرأخب رنا ث ناممدبن حد ا نعبداللوبنعمروااللو «كفىبالمرءإثاأنيضيعمني قوت»-عليووسلمصلىالله-رسو
cukuplah berdosa seseorang yang menyia-nyiakan nafkah orang yang menjadi tanggungannya. Lihat dalam Abu Daud, Sunan Abi> Da>ud, Kitab al-Zaka>h Ba>b fi> S{ilah al-Rah}m,
vol. 1, no hadist 1692, 394. 49
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 76.
50 Tian Puspita Sari, ‚Singkronisasi Hak-hak Anak dalam Hukum
Positif Indonesia: Kajian Hak Anak sebagai Pelaku Kejahatan,‛ Jurnal Ilmu Hukum 14, No. 2 (September 2011) : 347-366.
51 Lihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV: ‚Kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
39
sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV
yang selanjutnya dijabarkan dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Pada tahun 2001 MPR RI melakukan amandemen ke 3 terhadap
undang-undang Dasar 1945 sehingga secara khusus diatur mengenai
perlindungan hukum mengenai hak-hak anak, sebagaimana dinyatakan
dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (2): ‚setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.‛52
Dengan demikian,
perlindungan hukum terhadap hak-hak anak telah secara konstitusional
memiliki landasan hukum yang sangat kuat di negara Republik
Indonesia.
Secara definitif, UUD 1945 tidak secara langsung
menyebutkan definisi tentang anak. Pemahaman dan pemberian makna
terhadap anak dapat dilihat dalam pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi:
‚fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.‛ Hal ini
mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum
nasional yang harus dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk
kesejahteraan anak, artinya anak tersebut merupakan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
Perlindungan hukum terhadap anak-anak di Indonesia
sebenarnya telah ada sejak masa penjajahan Belanda dengan
tercantumnya berbagai ketentuan di dalam KUHPer (Burgelijke Wetbook) yang mengatur hak dan kewajiban orang tua terhadap
anaknya secara timbal balik.53
Jika diperhatikan dari perkembangan
hukum setelah Indonesia merdeka, perlindungan hukum terhadap anak
memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial‛. 52
Secara eksplisit Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan Hak
Asasi Anak, akan tetapi keseluruhan Pasal 28 UUD 1945 sepanjang dapat
dilaksanakan dan dapat diterima serta bermanfaat bagi anak, maka hak-hak
dimaksud harus dialamatkan pada anak dan bukan monopoli manusia dewasa,
lihat Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: CV Mandar Maju,
2009), 2. 53
Lihat KUHPerdata Pasal 104: ‚Suami Istri dengan hanya
melakukan perkawinan telah saling mengikatkan diri untuk memelihara dan
mendidik anak mereka.‛ Apabila terjadi proses perceraian berupa permohonan
terhadap perpisahan meja, dan tempat tidur dapat diajukan tanpa alasan salah
satu syaratnya adalah suami dan istri harus membuat perjanjian dengan akta
autentik mengenai perpisahan diri mereka, mengenai penunaian kekuasaan
orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan serta pendidikan anak-anak
mereka, lihat KUHPer Pasal 237 Ayat (1).
40
juga ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
di antaranya mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan, yang mana kewajiban hukum
orang tua tersebut adalah merupakan hak hukum bagi anak-anaknya.54
Perlindungan hukum terhadap anak di dalam UU Perkawinan tersebut
kemudian dipertajam lagi dengan ditetapkannya UU No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak yang menekankan bahwa anak adalah
seseorang yang harus memperoleh hak-haknya yang dari hak-hak
tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.55
Perlindungan hukum terhadap anak sebagai seorang manusia
juga ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dengan meratifikasi
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (The Convention on The Rights of The Child) yang disahkan berdasarkan Keputusan Presiden RI
Nomor 36 Tahun 1990, sehingga Konvensi PBB tersebut telah menjadi
hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.56
Begitupun dalam KHI atas Instruksi Presiden RI Tahun 1991 juga
secara tegas menjamin hak-hak anak yang orang tuanya bercerai.57
Jaminan terhadap hak-hak anak sebagai manusia juga telah diperkuat
dengan ditetapkannya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa: ‚pemenuhan hak-hak anak,
pelaksanaan kewajiban, dan tanggung jawab orangtua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan
terhadap anak dalam segala aspeknya, hal mana upaya tersebut
merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional untuk memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan
masyarakat bersama-sama bertanggung jawab untuk menjaga dan
54
Lihat UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 45 ayat (1): kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka secara sebaik-
bakinya, dan (2): kewajiban orang tua yang dimaksud pada Ayat (1) berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. 55
Lihat Undang-undang No. 4 Tahun 1979 dalam Ketentuan Umum
Pasal 1 poin 1. 56
Rika Saraswari, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), 15.
57 Lihat KHI Pasal 149 butir d: ‚bahwa bilamana perkawinan putus
karena cerai talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.‛ Lihat juga Pasal 156 butir
a-f.
41
memelihara hak asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum kepadanya.58
Pada tahun 2002 lahirlah UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ketentuan Pasal 20 UU Perlindungan Anak telah
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak
anak. Adapun Pasal 21 Ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung
jawab dan menghormati pemenuhan hak anak, tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status
hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik atau mental anak tersebut.59
Sementara itu, dalam rangka menegakkan perlindungan hukum terhadap
anak terutama dalam ruang lingkup lingkungan keluarga rumah tangga,
pemerintah juga telah menetapkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga, diantaranya dengan
menetapkan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap keluarga terutama anak, akan tetapi tidak
melaksanakan kewajibannya, sehingga dapat dikategorikan sebagai
telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.60
Seiring dengan
meningkatnya tuntutan perlindungan terhadap anak dan meningkatnya
kasus-kasus kekerasan terhadap anak, maka badan legislatif bersama
pemerintah telah melakukan revisi dan penyempurnaan terhadap
Undang-undang Perlindungan Anak menjadi UU No. 35 Tahun 2014
perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002.
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia yang seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat
yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus
58
Lihat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
52-66. 59
Lihat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal
20-21. 60
Lihat UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga khususnya Pasal 5-9. Secara khusus Pasal 9 Ayat (1)
menegaskan: ‚Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.‛
42
mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.61
Istilah anak
dalam hukum positif di Indonesia berbeda-beda dengan berpijak pada
perbedaan batas umur yang ditetapkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada. KUHP menyebutkan bahwa perbedaan
anak-anak dengan yang telah dewasa apabila anak belum mencapai
umur 16 tahun.62
KUHPer mengatakan bahwa seseorang itu belum
dikatakan dewasa jika orang tersebut belum genap berumur 21 tahun
dan tidak lebih dahulu telah menikah (belum menikah).63
Pengertian
yang dimaksud sama halnya dengan pengaturan yang terdapat dalam
UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan. Pengertian tentang anak diletakkan
sama makna dengan mereka yang belum dewasa, dan seseorang yang
belum mencapai usia batas legitimasi hukum (21 tahun) sebagai subjek
hukum atau layaknya subjek hukum normal yang ditentukan oleh
perundang-undangan.64
UU Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 tahun dan belum pernah kawin,65
begitupun dalam KHI.66
Dalam
Convention on The Rights of Child yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 39 tahun 1990 disebutkan
bahwa anak adalah yang berusia 18 tahun ke bawah dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila hal tersebut demi
kepentingannnya.67
UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
61
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan anak di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakri, 2009), 1, dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pasal 330 ayat (1). 62
Sebagaimana dipahami dalam KUHP Pasal 45 yang menyatakan
bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun dapat
menentukan: ‚memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun atau
memerintahkan supaya yang bersangkutan diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran. ‚ 63
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2003), 3. 64
Maulana Hassan Wadong, Pengantar advokasi dan Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Crasindo, 2000), 19, dan lihat Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 terutama Pasal 7 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan
Pasal 50 ayat (1) yang menjelaskan tingkat kedewasaan bagi seorang anak. 65
Lihat UU No. 4 Tahun 1979 dalam Ketentuan Umum Pasal 1
Ayat (2). 66
Lihat KHI Pasal 149, dan Pasal 156. 67
Lihat Konvensi Hak Anak Tahun 1989 pasal 1.
43
dipahami bahwa anak adalah yang belum berumur 18 tahun dan belum
pernah menikah.68
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tetang Hak Asasi
Manusia menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia
di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. UU No. 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa
pengertian anak adalah setiap orang yang belum berumur 18 tahun.
Senada dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
bahwa yang dimaksud anak adalah mereka yang belum berumur 18
tahun.69
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 peruabahan atas Undang-
undang No.23 Tahun 2002 pasal 1 point 1 menjelaskan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih berada di dalam kandungan.
Berkaitan dengan hak anak, menurut UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bahwa hak anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Menurut Sudikno
Mertokusumo, hak adalah kepentingan yang harus dilindungi,
kewenangan yang diberikan oleh hukum objektif sebagai hukum
subjektif. Hak bukan merupakan kumpulan kaedah atau peraturan,
melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak
individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak
lawan.70
Landasan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan
pemenuhan hak-hak anak yang harus dilindungi dan dijaga, pada
hakikatnya bertumpu pada UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak Anak yang disahkan pada tahun 1990 kemudian diserap
ke dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Terdapat empat
prinsip utama yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak yang
diserap ke dalam UUPA yaitu pertama, prinsip non diskriminasi (non
68
Lihat UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan dalam Pasal 1
ayat (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah kawin. Dalam pasal ini dipahami bahwa anak adalah yang belum berusia
18 tahun. 69
Lihat UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan anak
bahwa pengertian anak dapat dipahami dari Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan:
‚anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan
tidak pidana,‛ 70
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (Yogyakarta: Liberty, 1995), 42-43.
44
discrimination), artinya semua hak yang diakui dan terkandung di dalam
Konveksi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
adanya pembedaan.71
Kedua, prinsip terbaik bagi anak (best interest of the child) yaitu, bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah
atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintah atau badan-
badan legislatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan paling utama.72
Ketiga, prinsip atas hak hidup,
kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival, and development) yaitu bahwa negara peserta konvensi mengakui bahwa
setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan73
dan negara-
negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan
hidup dan pengembangan anak.74
Keempat, prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) yakni bahwa
pendapat anak jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan.75
Penegasan hak anak dalam UUPA yang merupakan legalisasi
hak anak yang diserap dari KHA dan norma hukum nasinal menciptakan
norma hukum (legal norm) tentang apa yang menjadi hak-hak anak
sebagaimana terdapat dalam pasal 4 sampai pasal 18.76
Secara ringkas,
hak-hak anak dalam UUPA adalah setiap anak berhak untuk dapat
71
Prinsip ini tertuang dalam Konvensi Hak Anak Pasal 2 (ayat 1):
‚Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konveksi ini bagi setiap anak dalam jurisdiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pandangan-pandangan lain, kebangsaan, asal etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak dari anak atau orang tua anak atau pengasuhnya yang sah. Pasal 2 ayat (2): ‚negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan orang tua anak, wali atau anggota-anggota keluarga anak.‛
72 Konvensi Hak anak Pasal 3 ayat (1).
73 Konvensi Hak anak Pasal 6 Ayat (1).
74 Konvensi Hak Anak Pasal 6 Ayat (2).
75 Prinsip ini tertuang dalam Konvensi Hak anak Pasal 12 Ayat (1)
dan (2). 76
Muhammad Joni, Hak-hak Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga (Jakarta: KPAI, t.t), 11.
45
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan, berhak beribadah menurut
agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya dalam bimbingan orang tua, berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tua sendiri, berhak
memperoleh layanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran, berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul, bermain, berekreasi dan berkreasi, anak menyandang cacat
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaaan taraf
kesejahteraan. Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi,
penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan,
dan erlakuan salah lainnya. Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan
dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan
dalam peperangan. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari
sasaran penganiayaan, penyiksaan, ataupenjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi, berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Stiap
anak yang dirampas kebebasnnya berhak mendapat perlakuan secara
manusiawi dan penempatannya dipisahkan dai orang dewasa, berhak
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya, berhak membela diri
dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak. Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan
bantuan lainnya.77
Adanya revisi UUPA No 23 Tahun 2002 menjadi UUPA No.
35 tahun 2014 mengakibatkan adanya perubahan dan penambahan
beberapa poin yang berkaitan dengan hak-hak anak yaitu pertama, pada
pasal 6 dirubah sehingga berbunyi: ‚setiap anak berhak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir dan berkespresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.‛ Kedua, pasal 9
ayat 1 ditambah dengan ayat 1 (a) yang berbunyi: ‚setiap anak berhak
mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama
77
Lihat UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 4-18.
46
peserta didik, dan/ atau pihak lain. Ketiga, pada pasal 9 ayat 2 dan pasal
12 terdapat perubahan kalimat ‚anak yang menyandang cacat‛ diganti
dengan ‚anak penyandang disabilitas.‛ Keempat, pada pasal 14
ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi: ‚dalam hal terjadi pemisahan
sebagaiaman yang dimaksud pada ayat 1, anak tetap berhak bertemu
langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang
tuanya, mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, dan
perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya
sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya. Kelima, pasal 15 terkait
dengan hak anak mendapat perlindungan ditambah dengan poin f yaitu
perlindungan dari kejahatan seksual.
Hak-hak anak dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia juga disebutkan dalam undang-undang No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
tantang Perkawinan. Pada hakikatnya, hak-hak anak yang disebutkan
dalam undang-undang di atas semuanya sudah dirangkum dan sudah
dilengkapi oleh Undang-undang Perlindungan Anak sebagai undang-
undang payung (umbrella’s law) yang secara sui generis mengatur hak-
hak anak.
B. Hadanah dalam Perspektif Fikih
Rumah tangga tidak akan sempurna kecuali dengan kepastian
nasab seorang anak kepada bapaknya, supaya tidak kehilangan silsilah
keturunan. Penyusuan merupakan awal dari tegaknya kehidupan seorang
anak. Pemeliharaan anak pada fase-fase lemah mereka dan masa kanak-
kanak yang sangat memerlukan perlindungan dan penjagaan. Perwalian
atas diri dan harta mereka. Kebutuhan anak pada orang yang mengurusi
mereka dalam perawatan dan pengajaran, serta memberi nafkah sebelum
mereka baligh. Oleh karena itu, anak memiliki lima macam hak, yaitu
hak nasab, hak penyusuan, hak hadanah hak perwalian, dan hak
nafkah.78
Hadanah diambil dari kata al-h}id}n yang secara etimologi
berarti di bawah ketiak, dada, serta pinggul. Al-h}id}n juga berarti al-janbu yaitu sisi/ samping atau merengkuh ke samping.
79 Hadanah secara
terminologis didefenisikan oleh ulama Hanafi yaitu mendidik,
memelihara anak-anak, serta memantu mereka melaksanakan segala
78
Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, 10, 7245. 79
Lihat Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri>,
Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r S{a>dir, t.t), Vol. 13, 122.
47
pekerjaan mereka dalam masa umur tertentu yang dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak dalam pemeliharaan .80
Hadanah menurut ulama
Maliki adalah memelihara dan membantu orang-orang yang lemah
(tidak mampu) melaksanakan tugas-tugasnya secara mandiri, artinya
mengurusi mereka dalam hal pakaian, makanan, tidur, dan pendidikan.81
Hadanah menurut ulama Syafii adalah memelihara orang yang tidak
mampu mengerjakan tugasnya sendiri karena belum mumayiz seperti
anak-anak, orang gila (junun), dan idiot (ma‘tu>h) .82 Hadanah menurut
ulama Hambali adalah memelihara anak yang masih kecil, orang gila,
idiot, serta mendidik mereka dengan segala yang dapat mendatangkan
kemashlahatan untuk mereka.83
Hadanah menurut ulama kontemporer
sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili merupakan
pemeliharan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya, atau
bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu
mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayiz seperti anak-
anak, orang dewasa tetapi gila.84
Berdasarkan beberapa defenisi yang
telah dijelaskan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hadanah adalah
sebuah upaya mengasuh, dan mendidik orang yang belum bisa
mengurus dirinya sendiri yang dilakukan oleh orang yang pantas
melakukan pengasuhan dengan tujuan melindungi mereka dari segala
yang dapat menganggu keberlangsungan kehidupan mereka.
Hadanah merupakan salah satu di antara aturan hukum yang
masih patut untuk diperhatikan dalam konteks kekinian karena
menyangkut kepentingan anak sebagai aset masa depan agama dan
bangsa. Ketentuan awal dalam masalah pengasuhan bahwa seorang anak
diasuh oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tualah yang menjaga,
melindungi, serta mengurus segala keperluan anak dengan segenap cinta
80
Lihat dalam ‘Ala>’ al-Di>n Abi Bakr ibn Mas‘u>d al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-Sana>i‘ fi Tarti>b al-Shara>i‘ vol. 4, 40.
81 Lihat Muhammad ibn Abdillah al-Kharshi> al-Ma>liki> Abu
Abdillah, Sharh} Mukhtas}ar Khali>l li al-Kharshi> (al-Mat}ba‘ah al-Ami>riyyah al-
Kubra>, 1317 H ), vol. 4, 207. 82
Lihat Shams al-Di>n Muhammad ibn Abi> al-Abba>s Ahmad ibn
H{amzah Shiha>b al-Di>n al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j (Beirut:Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), vol. 7 225.
83 Lihat al-Bahu>ti> Mans}u>r ibn Yu>nus al-H{anbali>, Kashsha>f al-Qina>‘
‘an Matn al-Iqna>‘ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), vol. 5, 495. 84
Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol. 10,
7295-7296.
48
kasih dan sayang.85
Mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib.
Ulama fikih sepakat tentang kewajiban pemeliharaan anak yang masih
di bawah umur86
karena pada masa tersebut mereka membutuhkan
pengawasan, penjagaan, dan pemeliharaan. Membiarkan mereka tanpa
ada yang mengurus berarti membiarkan mereka dalam bahaya.
Membiarkan anak dalam bahaya akan merusak eksistensi jiwa dan
pertumbuhan mereka di masa mendatang.
Pemeliharaan anak berkaitan dengan beberapa hak. Dari sisi
anak kecil, ia mempunyai hak untuk tetap hidup dan tumbuh. Dari sisi
pengasuh (ha>d}in) memiliki hak untuk mendidik anak yang diasuhnya
(mah}d}u>n) serta memeliharanya. Sedangkan dari sisi pemeliharaan jiwa
insani, hadanah merupakan hak masyarakat untuk memberi kehidupan
bagi jiwa manusia dan memeliharanya, dan yang terakhir ini disebut
dengan hak Allah swt.87
Oleh karena masing-masing mempunyai hak,
sehingga ketiga macam hak di atas menimbulkan kerancuan ketika
dikaitkan dengan hak hadanah apakah ia menjadi hak hamba (hak h}a>d}in
atau hak mah}d}u>n), hak keduanya (berserikat antara h}a>d}in dan mah}d}u>n),
atau merupakan hak Allah. Konteks tersebut menimbulkan kebolehan
menggugurkan hak bagi yang memilikinya atau mungkin sebaliknya
tidak boleh mengugurkan hak tersebut, karena di antara ciri
keistimewaan hak hamba adalah boleh digugurkan, sedangkan di antara
keistimewaan hak Allah adalah tidak boleh digugurkan.88
Oleh karena
itu lah para fukaha berbeda pendapat tentang hak hadanah dan hak siapa
yang terlebih dahulu didahulukan.
Pendapat pertama mengatakan bahwa hadanah merupakan hak
h}a>d}in dan mah{d}u>n sekaligus. Ini merupakan pendapat sebahagian ulama
85
Ketentuan tentang kewajiban orang tua dapat dilihat dalam QS.
al-Baqarah ayat 233. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan para ibu untuk
menyusukan anaknya dan menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan
anak menjadi beban yang yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun
pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat
di dalamnya tanggung jawab pemeliharaan anak juga. 86
Baca Ibn Quda>mah, al-Mughni> bab Man Ahaqqu bi Kafa>lah al-T{ifl (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H), Vol. 9, 298-299. Baca juga Mans}u>r bin
Yunus bin Idris al-Bahu>ti>, Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘ (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1402 H), Vol. 6, 495-496. 87
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak) (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2004), 103.
88 Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam
Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak), 104.
49
Hanafi,89 sebahagian ulama Maliki,90
dan Ibn al-Qayyim (691-751 H)
dari ulama Hambali.91 Pendapat kedua berpandangan bahwa hadanah
merupakan haknya h}a>d}inah. Ini merupakan pendapat yang difatwakan
oleh sebahagian ulama Hanafi,92 pendapat yang masyhur dari kalangan
Maliki,93 dan pendapat dipegangi oleh ulama Syafii
94 kecuali jika
menafkahi anak yang diasuh menjadi kewajibannya, dan ini pendapat
yang masyhur di kalangan ulama Hambali.95 Pendapat ketiga
mengatakan bahwa hadanah merupakan hak mah}d}u>n. Ini merupakan
pendapat yang difatwakan oleh sebahagian ulama Hanafi,96 Maliki,97
dan pendapat sebahagian ulama Syafii.98 Pendapat yang keempat
mengatakan bahwa hadanah merupakan hak Allah. Jika hadanah
merupakan hak Allah berarti hadanah tidak dapat digugurkan sekalipun
diinginkan oleh h}a>d}in dan h}a>d}in harus dipaksakan untuk melakukan
hadanah kecuali ada uzur yang menghalangi pelaksanaannya. Alasan
mereka menganggap bahwa hadanah merupakan hak Allah karena
hadanah disyariatkan untuk memelihara jiwa, sedangkan menjaga jiwa
merupakan salah satu hak bagi Allah swt. Ini merupakan pendapat yang
89
Baca Muhammad Ami>n ibn Umar ‘A>bidi>n, al-Da>r al-Mukhta>r wa H{a>shiyah ibn ‘A>bidi>n (Riyadh: Da>r A>lim al-Kutub, 2003), vol. 3, 560.
90 Baca al-H{it}a>b Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahma>n
al-Maghribi>, Mawa>hib al-Jali>l fi> Sharh Mukhtas}ar Khali>l tahqi>q Zakariya
‘Ami>ra>t (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), vol. 4, 215. 91
Baca Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Mi‘a>d fi Hadyi Khairi al-‘Iba>d (Muassasah al-Risa>lah, 1998), vol. 5, 403-404.
92 Baca Kama>l al-Din Muhammad ibn Abd al-Wa>hid al-Sayawa>si>
ibn al-Hima>m, Sharh Fath al-Qadi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003),
vol. 4, 330. 93
Lihat lagi al-H{it}a>b Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-
Rahma>n al-Maghribi>, Mawa>hib al-Jali>l fi> Sharh Mukhtas}ar Khali>l tahqi>q
Zakariya ‘Ami>ra>t, vol.4, 215. 94
Baca Shams al-Di>n Muhammad ibn Abi> al-Abba>s Ahmad ibn
H{amzah Shiha>b al-Di>n al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j, 231. 95
Lihat al-Bahu>ti> Mans}u>r ibn Yu>nus al-H{anbali>, Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘, 496.
96 Baca Zainuddin ibn Naji>m, al-Bah}r al-Ra>iq Sharh Kanz al-Daqa>iq
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), vol. 4, 180. 97
Baca al-Mawa>q Abu> Abdillah Muhammad ibn Yu>suf ibn Abi al-
Qa>sim bin Yu>suf al-‘Abdari>, al-Ta>j wa al-Ikli>l li Mukhtas}ar Khali>l (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.t), vol. 5, 597. 98
Lihat lagi Shams al-Di>n Muhammad ibn Abi> al-Abba>s Ahmad ibn
H{amzah Shiha>b al-Di>n al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j, 231.
50
difatwakan oleh sebahagian fukaha ‘Ibad}iyyah–salah satu kelompok
khawarij,99
dan fukaha Maliki.100
Kelompok kedua berpendapat sesungguhnya hadanah
merupakan hak mah}d>u>n, karena itu ibu tidak mempunyai hak
menggugurkannya dan ia dipaksa untuk melakukan tugas tersebut.
Pendapat ini dipedomani oleh sebagian fuqaha mazhab Hanafi
diantaranya Abu> al-Laits, dikuatkan oleh al-Kammal bin Hammam
dalam Fath al-Qadi>r. Pendapat ini juga merupakan pendapat mazhab
Maliki dan Syafii.101
Dalil yang mereka gunakan adalah QS. Al-Baqarah
ayat 233. Kelompok ketiga mengatakan hadanah merupakan hak
h}a>d}inah (ibu). Jika hadanah merupakan hak h}a>d}inah maka ia mempunyai
hak untuk menggugurkan tugas hadanah kecuali jika menafkahi mah}d}u>n
juga kewajibannya. Inilah pendapat mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan
mazhab Maliki, mazhab Hambali, Zaidah, Imamiah, Ibad}iah, dan al-
Tsaury.102
Dalil yang mereka gunakan adalah QS. Al-T{alaq ayat 6.
Kelompok keempat berpandangan bahwa hadanah merupakan hak ibu
dan hak anak. Ini merupakan pendapat fuqaha mazhab Maliki, dan
pendapat pilihan fuqaha mazhab Ibad}iah.103 Wahbah Zuhaili
menambahkan (berdasarkan pendapat ulama yang ahli di bidangnya),
bahwa hadanah berkaitan dengan tiga hak secara bersamaan, yaitu hak
h}a>d}in, hak mah}d}u>n, dan hak ayah atau orang yang bertindak selaku
wakilnya. Jika ketiganya mampu digabungkan maka wajib dilakukan.
Namun jika bertentangan maka yang didahulukan adalah hak mah}d}u>n.104
Permasalahan hadanah identik dengan pemeliharan anak
setelah terjadinya perceraian, karena peristiwa perceraian menimbulkan
99
Baca At}fi>sh Muhammad ibn Yu>suf, Sharh al-Nail Shifa>’ al-‘Ali>l (Jeddah: Maktabah al-Irsha>d, t.t), vol. 13, 342.
100 Baca Abu> al-H{asan Ali ibn Abd al-Sala>m al-Tasawwuli, al-
Buhjah fi> Sharh al-Tuh}fah (Beirut: Da> al-Fikr,1991), vol. 2, 756. 101
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak), 103, sebagaimana bersumber dalam kitab Radd al-Mukhta>r,
Fath al-Qadi>r, Mawa>hib al-Jali>l, H{ashiah al-Barma>wi>, Niha>yah al-Muh}ta>j, dan
Sharh al-Nayl. 102
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak), 105.
103 Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahma>n al-T{arablusiy al-
Hat}t{ab, Mawahib al-Jali>l Sharh Mukhtas}ar Khalil (Mat}ba‘ah al-Sa‘a>dah, 1329
H), vol. 2, 271. 104
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuhu, Vol. 10,
7297.
51
dampak yang berarti bagi anak dan tidak jarang pula terjadinya
perebutan hak asuh anak antara suami dan istri. Masing-masing merasa
bahwa mereka yang paling berhak dalam mengurus dan memelihara
anak terutama yang masih berada di bawah umur. Oleh karena itu,
fuqaha terkadang mengedepankan salah satu di antara orang-orang yang
berhak mengurus hadanah berdasarkan kemashlahatan anak yang
dipelihara.
Dalam literatur fiqih, ada dua periode bagi anak dalam
kaitannya dengan hadanah, yaitu masa sebelum mumayiz dan masa
sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz merupakan periode di
mana seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat
dengan yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, dalam
periode ini seorang anak wajib untuk diasuh. Periode sebelum mumayiz
adalah dari waktu lahir sampai anak usia mumayiz. Penentuan batas usia
anak yang sudah mumayiz ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafi105
berpendapat bahwa usia mumayiz adalah sampai anak tersebut mampu
mengurus diri sendiri dalam keperluan makan, minum, pakaian, dan
bersuci yaitu kira-kira usia tujuh tahun atau delapan tahun. Namun ada
juga pendapat lain mengatakan usia mandiri itu adalah sembilan tahun.
Anak perempuan lebih utama diasuh oleh pihak wanita (ibu atau nenek)
hingga mencapai usia haid atau usia remaja karena mereka
membutuhkan pengetahuan tentang kewanitaan, akhlak wanita, dan tata
cara megurus rumah, dalam hal ini ibu lah yang lebih mampu
mendidiknya. Usia remaja bagi anak perempuan adalah sembilan atau
sebelas tahun.106
Ulama Maliki berpendapat,107
masa hadanah bagi anak
laki-laki selesai hingga ia baligh, meskipun anak itu gila ataupun sakit
menurut pendapat yang masyhur. Adapun bagi anak perempuan masa
hadanahnya hingga ia menikah. Ulama Syafii berpendapat,108
masa
105
Lihat ‘Ala>’ al-Di>n al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-Sana>i‘ fi Tarti>b al-Shara>i‘, vol. 4, 42-44. Lihat juga Muhammad bin Ali Muhammad bin Ali bin
Abdirrahman al-H{anafi> al-H{as}kafi>, al-Durr al-Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2002), 255-256. 106
Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol. 10,
7322-7323. 107
Lihat Abu> al-Baraka>t Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-
Dardi>r, Al-Sharh}} al-S{agi>r ‘ala> Aqrab al-Masa>lik ila> Madzhab al-Ima>m Ma>lik,
Vol. 2, 755. Lihat juga Muhammad bin Ahmad Juzai al-Kalbi> al-Gharna>t{i>,
Qawa>ni>n al-Fiqhiyyah, 224. 108
Lihat Abu> Isha>q Ibra>hi>m ibn Ali ibn Yu>suf al-Shira>zi>, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Ima>m al-Shafi‘i (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1995), Vol. 3, 164. Baca juga Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-
52
pengasuhan anak yang belum mumayiz sampai menginjak usia tujuh
tahun atau delapan tahun. Ulama Hambali sependapat dengan ulama
Syafii,109
yaitu jika anak lelaki yang normal (tidak idiot) sudah
mencapai usia tujuh tahun maka ia dipersilakan untuk memilih salah
satu dari kedua orang tuanya kalau memang kedua orang tuanya berebut
untuk mengurusnya. Adapun anak perempuan jika sudah mencapai usia
tujuh tahun maka sang ayah yang lebih berhak untuk mengurusnya
tanpa diberi kesempatan untuk memilih menurut ulama Hambali. Hal ini
berseberangan dengan pendapat ulama Syafii. Alasannya karena tujuan
hadanah adalah untuk kemashlahatan, dan bagi perempuan di atas tujuh
tahun kemashlahatan bisa tercipta jika ia diurus oleh ayahnya.
Jika suami istri bercerai dan mereka memiliki anak di bawah
umur, maka ibu lebih utama dan lebih berhak untuk mengasuhnya.
Menurut Imam al-Juwayni (419H-478H) bahwa ibu lebih utama dalam
hak hadanah telah menjadi kesepakatan di antara sahabat-sahabat
Nabi.110
Pengasuhan seorang ibu terhadap anaknya dianggap pengasuhan
yang ideal, karena kaum hawa bisa lebih lembut, penuh kasih sayang
dan sabar dalam mendidik.111
Kasih sayang dan keibuan menjadi faktor
idealnya sebuah pengasuhan. Ibnu Qudamah (541H-629H) seorang
pakar hukum Islam dari kalangan Hambali dalam kitabnya al-Mughni menegaskan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
masalah tersebut.112
Keutamaan dan lebih berhaknya seorang ibu dalam hadanah
anak di bawah umur harus memenuhi sejumlah persyaratan dan tidak
terdapat penghalang persyaratan dalam pengasuhan anak. Ibnu Mundzir
(242H-318H) menuturkan adanya ijmak dalam hal ini.113
Dalil-dalil
Muhta>j ila> Ma‘rifati Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2000), Vol. 5, 198. 109
Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j, Vol. 5, 199.
110 Baca Imam al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li al-Juwayni, Niha>yat al-
Mat}lab fi> Dira>yat al-Madhhab bab Ayyu al-Wa>lidayn Ah}aqqu bil Walad
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), vol. 9, 608. 111
Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol. 10,
7296. 112
Lihat lagi Ibn Quda>mah, al-Mughni> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H),
Vol. 9, 298-299. 113
Lihat Abu Bakar Muhammad ibn Ibra>hi>m ibn al-Mundzir al-
Naisa>bu>ri>, al-Ijma>‘ (Makkah: Maktabah Makkah a-Tsaqafiyyah, 1999), no.
Ijma’ 438, 112, lihat juga Abu Bakr Muhammad ibn ahmad ibn Abu Sahl al-
Sarakhsi>, Kita>b al-Mabsu>t} (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), vol. 5,
194-195.
53
yang mengindikasikan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak di bawah
umur adalah QS. Al-Baqarah ayat 233:
...
Dan para ibu hendaklah menyusui anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.
QS. Al-Baqarah ayat 233 di atas menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya. Menyusui hanya bisa
dilakukan dalam masa pengasuhan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
ibu lebih berhak atas pengasuhan anak.114
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Imam Ahmad menceritakan ada seorang wanita menghadap Rasulullah
dan berkata:
ياالتامرأةأنعمروبناللوعبدعن وحجرىسقاءلووثديوعاءلوبطنكانىذاابنإنلوالرسومني نتزعوأنوأرادطلقنأباهوإنحواءلو لاف قا لمابوأحق أنت-وسلمعليواللهصلى-اللورسو
115يت نكح
Dari Abdullah ibn ‘Amr, bahwa sesungguhnya seorang wanita berkata kepada Nabi, ‚ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Ayahnya hendak mengambilnya dariku.‛ Maka berkatalah Rasulullah, ‚Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum menikah (dengan laki-laki lain).‛
Dalam hadist di atas banyak sekali prinsip hukum yang dapat
diistinbatkan. Ulama fikih yang mengakui keberadaan hadist ini maupun
yang mengambil dalilnya dari teks umum sepakat bahwa ibu berhak
secara prioritas untuk memelihara anak dari pada ayah apabila terjadi
perceraian. Keputusan Rasulullah dalam hadist tersebut juga bisa
ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut
seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa
memperlihatkan kasih sayangnya. Begitupun anak dalam masa itu
sedang amat membutuhkan untuk hidup di dekat ibunya.
114
Lihat Ibnu Arabi, Ahkam al-Quran, vol 1, 204. 115
Abu> Da>ud>, Sunan Abi> Da>ud, no. Hadist 2276, 525. Lihat juga
Ah}mad ibn H{anbal, Musnad Ima>m Ah}mad ibn H{anbal (Beirut: Muasasah al-
Risa>lah, 1999), Vol. 11, No. 6707, 310. Hadist ini adalah hadist s}ahi>h sebab
sanadnya tidak ada yang terputus dan terlacak semua dengan kualitas yang
tsiqqah. Mengamalkan hadist yang s}ahi>h adalah wajib, begitu juga
menjadikannya sebagai sandaran hukum.
54
Begitupun keputusan Abu Bakar (572M-634M) dalam kasus
Umar bin Khattab (583M-644M) dengan istrinya Ummu ‘A<s}im.116
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab (583M-644M) telah
menceraikan istrinya. Lantas ketika Umar (583M-644M) mendatangi
istrinya, dan melihat anaknya ‘A<s}im sedang bersamanya, Umar (583M-
644M) hendak meminta ‘A<s}im darinya. Namun, ia menolak sehingga
keduanya saling memperebutkan ‘A<s}im. Akhirnya Umar (583M-644M)
menghadap Abu Bakar (572M-634M) dan menceritakan kejadian
tersebut. Abu bakar (572M-634M) memberi keputusan bahwa anak
Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakan dalam riwayat di
bawah ini:
عكرمةعن لن فسوف يختاري ت زوجأو،يكب رلمابولاف قضىبكرأبإلعاصمفعاصمأمعمرخاصم:ا 117وأرحمحنوأوأرق وألطفأعطفىي:ا
Ikrimah berkata, ‚Umar dan Ummu ‘A<s}im (mantan istrinya) memperkarakan hak asuh anak mereka (‘A<s}im) kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar memutuskan hak asuh kepada istrinya (Ummu ‘A>s}im) sebelum ‘A<s}im remaja atau sebelum ia menikah sehingga nanti ia bisa menentukan pilihannya.‛ Selanjutnya Abu Bakar berkata, ‚Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang.‛ Kasus ini tersebar di kalangan sahabat dan tidak ada yang mengingkari,
sehingga bisa disebut ijmak.118
116
Ummu ‘A<s}im adalah Jami>lah binti Tsabit bin Abi Aflah al-
Ans}ari, saudari ‘A<s}im bin Tsabit. Istri Umar bin Khattab diberi kunyah Ummu
‘A<s}im karena memiliki putra bernama ‘A<s}im bin Umar bin Khattab. Nama
aslinya adalah Ashiyah, lalu Rasulullah saw memberinya nama Jami>lah. Umar
menikahinya pada tahun ke-7 setelah hijrah. Lihat dalam Abu Umar Yu>suf ibn
Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Barr ibn ‘A>s}im al-Qurt}ubi> (463H), al-Isti>’a>b fi> Ma ‘rifah al-As}h}a>b, vol 4, 254, Ibnu al-Atsi>r, Usud al-Gha>bah fi> Ma ‘rifah al-S{ah}a>bah, vol. 5, 417, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Is}a>bah fi> Tamyi<z al-S{ah}a>bah, vol. 8, 40. 117
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah. Lihat Abu Bakar Abdullah
ibn Muhammad ibn Abi> Shaibah al-Ku>fi>, al-Mus}annaf (Kairo: al-Farouq al-
H{adi>tsiyyah, 2008), Vol. 6, No. 19422, 19450-19452, 552-555. Walaupun
sebelumnya Umar bersikeras untuk mengambil anaknya ini sebelum membawa
perkara tersebut kepada khalifah Abu Bakar, namun di kemudian hari Umar
juga memberikan keputusan yang sama dalam persoalan hadanah. lihat juga
Imam Malik riwayat al-Laitsi> dalam Muwat}t}a’ al-Ima>m Ma>lik (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014), No. 1454, 421-422. 118
Lihat Ibnu Qudamah, al-Ka>fi> fi Fiqh al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), vol. 3, 244.
55
Al-Jurjawi (1905M-1956M)119
mengemukakan hikmah
pemeliharaan anak oleh seorang ibu. Di antara hikmah tersebut yaitu,
pertama, dalam soal kehidupan kemasyarakatan, fungsi perempuan
berbeda dari laki-laki. Bantuan kasih sayang terhadap anak dan
pendidikan anak lebih utama diserahkan kepada ibu. Keistimewaan
seorang ibu dalam hal ini sangat dibutuhkan pada masa kanak-kanak.
Kedua, ibu lebih banyak bergaul dengan anak dibanding ayah dan lebih
tau dalam soal pakaian, makanan, minuman, serta kesehatan, dan lain-
lain. Hikmah pengasuhan anak laki-laki sampai tujuh tahun dan anak
perempuan sembilan tahun karena anak laki-laki pada usia tujuh tahun
telah dapat membantu dirinya untuk memulai mengetahui tentang
sesuatu, tata cara, sopan santun, dan bergaul dengan lingkungan.
Adapun anak perempuan sampai sembilan tahun karena ia memerlukan
waktu yang agak panjang untuk bisa memelihara dirinya. Dalam hal ini
ibu lebih banyak mengerti keadaan anak perempuan.
Urutan kedua setelah ibu dalam hal kepengurusan anak jika
anak tidak mempunyai ibu adalah nenek (ibunya ibu) sampai ke atas
garis keturunan karena nenek punya emosional yang sama seperti ibu
dan menyertai ibu dalam hal melahirkan dan mendapat warisan.
pendapat ini sesuai dengan yang qaul jadi>d Imam Syafii,120
Imam Malik
Imam abu Hanifah, dan Imam Ahmad.121
Imam Ahmad dalam riwayat
yang lain mengatakan bahwa nenek dari pihak ayah yang lebih berhak
mengasuh sebab bergantung kepada ‘as}abah di samping itu karena
mempunyai kesamaan dengan wanita lain dalam melahirkan dan
mendapatkan warisan sehingga wajib didahulukan.122
Adapun menurut
ulama Hambali mereka lebih mengedepankan ayah dan nenek dari pihak
ayah (ibunya ayah) setelah nenek dari pihak ibu (ibunya ibu).
119
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuhu (Beirut:
Da>r al-Fikr 1994), 69-71. 120
Imam al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li al-Juwayni, Niha>yat al-Mat}lab fi> Dira>yat al-Madhhab bab Ayyu al-Wa>lidayn Ah}aqqu bil Walad (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), vol. 9, 617. 121
Lihat dalam Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal
al-Shaibani>, Musnad Ima>m Ahmad ibn H{anbal, vol. 2 446. Lihat juga dalam
Ima>m Abi> Zakariyya> Muhyiddi>n ibn Sharf al-Nawawi, al-Majmu>‘ Sharh al-Muhadzdzab (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), vol. 19, 429.
122 Ima>m Abi> Zakariyya> Muhyiddi>n ibn Sharf al-Nawawi, al-
Majmu>‘ Sharh a-lMuhadzdzab, vol. 19, 422, lihat juga Muhammad ibn Ahmad
ibn ‘Arafah al-Dasu>qi>, H{ashiah al-Dasu>qi> ‘ala> al-Sharh al-Kabi>r (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1996).
56
Urutan selanjutnya orang yang berhak mengurus anak adalah
saudara perempuan (kandung) dari anak yang dipelihara sebagaimana
pendapat ulama Hanafi, Syafii dan Hambali. Selanjutnya menurut ulama
Hanafi, Hambali dan Maliki, saudara perempuan se-ibu lebih utama
karena haknya dari pihak perempuan setelah itu baru saudara perempuan
se-ayah. Adapun ulama Syafii sendiri dalam pendapat yang as}ah} mengedepankan saudara perempuan se-ayah dari pada saudara
perempuan se-ibu. Alasannya adalah sama-sama satu nasab dan bagian
warisnya sehingga terkadang bisa mendapatkan ‘as}abah warisan.
Mayoritas ulama lebih mengutamakan saudara perempuan dari pada bibi
(baik dari pihak ayah maupun ibu) selain karena mereka lebih dekat,
mereka adalah anak-anak kedua orang tua dan mereka lebih
dikedepankan dalam hal warisan.
Urutan berikutnya setelah saudara perempuan adalah bibi.
Ulama Hanafi, Hambali dan Maliki mengutamakan bibi dari pihak ibu,
bahkan Ulama Maliki lebih mengedepankan bibi dari pada ibunya ayah.
Sedangkan Ulama Syafii lebih mengedepankan bibi dari pihak ayah.
Berikutnya setelah bibi menurut Hanafi dan Syafii adalah putri-putri
dari saudara perempuan, kemudian putri-putri dari saudara laki-laki.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan urutan-
urutan orang berhak hadanah dari pihak perempuan adalah sebagai
berikut:
a. H{anafi>yah: ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah,
saudara-saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, putri-putri dari
saudara perempuan, putri-putri dari saudara laki-laki, bibi dari jalur
ayah, kemudian ashabah sesuai urutan kewarisan.
b. Ma>liki>yah: ibu, nenek dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, nenek dari
pihak ayag, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan putri-putri
dari saudara.
c. Sha>fi‘i>yah: ibu, nenek dari pihak ibu, kakek dari ibu, saudara
perempuan, bibi dari pihak ibu, putri-putri saudara laki-laki, putri-
putri saudara perempuan, bibi dari pihak ayah.
d. H{ana>bilah: ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara
perempuan, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, putri saudara
laki-laki, putri saudara perempuan.
Jika anak yang akan dipelihara tidak memiliki kerabat wanita
yang berhak untuk memeliharanya seperti dalam urutan di atas, maka
hak mengasuh dan memelihara anak dilimpahkan kepada kerabat laki-
laki sesuai urutan bagian warisnya mahram. Urutan yang paling utama
adalah ayah, kakek sampai garis ke atas, kemudian saudara dan anaknya
57
sampai ke bawah, kemudian para paman dan anak-anaknya menurut
ulama Hanafi dan menurut pendapat yang sahih dari mazhab Syafii.123
Pakar fikih Indonesia Huzaemah Tahido Yanggo124
dalam
tulisannya menyebutkan urutan orang yang berhak dalam hadanah
terutama adalah ibu, setelah itu nenek dari pihak ibu. Urutan
selanjutnya setelah ibu dan nenek dari pihak ibu adalah ayah. Menurut
Huzaemah Tahido Yanggo, memperhatikan anak dengan penuh rasa
cinta dan kasih sayang hanya dapat dilakukan oleh orang tua. Tidak
seorang pun dari kerabat yang dapat menandingi mereka dalam hal ini.
Apalagi peran ayah dan kewaliannya tidak akan terputus meski tetap
berlakunya hadanah di tangan ibu dan nenek. Sang anak tetap di bawah
kewalian, bimbingan dan tanggungan, serta jaminan sang ayah. Ayahlah
yang berhak dan wajib menafkahi anak. ayah pula yang akan
memperhatikan segala perjalanan hidupnya. Jika salah satu dari ibu atau
nenek tidak ada, maka sempurnalah bagi ayah kewalian dengan kedua
belahnya.
Pengasuhan disyariatkan demi menjaga dan mengurus semua
keperluan anak. Bagi orang yang hendak memelihara anak harus
memenuhi sejumlah persyaratan agar ia memiliki hak dalam
pengasuhan. Syarat-syarat untuk memperoleh hak pengasuhan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu syarat-syarat umum yang
mesti dipenuhi oleh pengasuh laki-laki dan perempuan, syarat-syarat
yang mesti dipenuhi oleh pengasuh perempuan saja, dan syarat-syarat
yang mesti dipenuhi oleh laki-laki.
Pertama, syarat-syarat umum yang mesti dipenuhi oleh
pengasuh laki-laki dan perempuan yang pertama adalah baligh. Fuqaha
sepakat bahwa anak kecil yang belum mumayiz tidak memiliki hak
hadanah karena ia sendiri belum mampu memelihara dan mengurus
keperluannya sendiri, terlebih lagi mengurus keperluan orang lain.125
Begitupun anak kecil walaupun sudah mumayiz menurut jumhur,
123
Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol. 10,
7301-7302. Lihat juga Ima>m Abi> Zakariyya> Muhyiddi>n ibn Sharf al-Nawawi,
al-Majmu>‘ Sharh al-Muhadzdzab, vol. 19, 430-432. 124
Baca dalam Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak), 117-118.
125 Lihat Muhammad Ami>n ibn Umar ‘A>bidi>n, al-Da>r al-Mukhta>r wa
H{a>shiyah ibn ‘A>bidi>n, vol. 3, 555-556. Lihat lagi Shams al-Di>n Muhammad ibn
Abi> al-Abba>s Ahmad ibn H{amzah Shiha>b al-Di>n al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j, 231.
58
mereka juga tidak diperkenankan memiliki hak hadanah.126
Ma>liki>yah
berpandangan bahwa anak kecil yang sudah mumayiz dan berakal bisa
memiliki hak hadanah jika terpenuhi seluruh syarat-syarat yang lain.127
Kedua adalah berakal, karenanya orang gila dan bodoh dalam akal dan
dalam mengelola harta tidak boleh menjadi h}a>d}in karena keduanya juga
membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan mereka. Ini
merupakan kesepakatan para fukaha sebagaimana yang disyaratkan oleh
Ma>liki>yah bahwa seorang h}a>d}in haruslah cerdas, seorang h}a>d}in tidak
boleh bodoh dan boros agar harta anak yang dipelihara tidak
dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.128
Ketiga adalah
mempunyai sifat amanah. Al-Dasu>qi> dalam H{a>shiah mengatakan bahwa
amanah adalah h}ifz al-di>n.129
Fukaha sepakat bahwa orang yang tidak
mempunyai sifat hadanah tidak berhak untuk mengurus anak. Kefasikan
menjadi penghalang dalam hak hadanah sebagaimana yang difatwakan
oleh jumhur ulama dari kalangan Maliki, Syafii, dan Hambali.130
Yang
termasuk dalam kategori orang yang tidak amanah adalah orang yang
fasik, pemabuk, penzina, dan sering melakukan perkara-perkara yang
haram. Ibnu Abidin menjelaskan kefasikan yang menghalangi hak untuk
mengurus anak adalah kefasikan seorang ibu yang menyia-nyiakan anak.
Ia tetap berhak dalam hadanah meskipun sudah terkenal fasik, dengan
syarat selama si anak belum mencapai usia mampu memikirkan
kefasikan ibunya. Namun jika sudah mampu maka anak tersebut harus
dijauhkan dari ibunya untuk menyelamatkan masa depan akhlak anak.
Adapun bagi laki-laki yang fasik dan pemarah maka ia sama sekali tidak
berhak mengurus hadanah.131
Syarat keempat adalah memiliki
kemampuan dalam melakukan tugas hadanah. Jadi, ketidakmampuan
yang menyebabkan orang kehilangan hak dalam mengasuh anak adalah
126
Lihat Muhammad Ami>n ibn Umar ‘A>bidi>n, al-Da>r al-Mukhta>r wa H{a>shiyah ibn ‘A>bidi>n, 556.
127 Lihat juga Muhammad ibn Ahmad ibn Arafah, H{a>shiyah al-
Dasu>qi>, pentahqiq Muhammad Abdullah (Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah,
1996), vol. 2, 529. 128
Lihat al-Qa>simi> Muhammad ibn Ahmad, al-Itqa>n wa al-Ihka>m fi Sharh Tuhfah al-Hika>m (Beirut: Da>r al_kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), vol. 1, 273.
129 Lihat Muhammad ibn Ahmad ibn ‘arafah al-Dasu>qi>, H{ashiah al-
Dasu>qi> ‘ala> al-Sharh al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), vol. 2, 528. 130
Lihat lagi Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Arafah al-Dasu>qi>,
H{ashiah al-Dasu>qi> ‘ala> al-Sharh al-Kabi>r, vol. 2, 528. 131
Lihat Muhammad Ami>n ibn Umar A<bidi>n, Radd al-Muh}ta>r ala> al-Durr al-Mukhta>r ( H{a>shiyah Ibn ‘A>bidi>n) (Riyadh: Da>r ‘A<lim al-Kutub, 2003),
vol. 5, 254.
59
ketidakmampuan yang berpengaruh terhadap kemampuan seseorang
dalam melakukan pemeliharaan anak yang ternyata menderita sakit
yang tidak bisa melaksanakan tugas yang diembannya, terlalu tua dan
lemah yang melemahkan kemampuan untuk melakukan tugas
hadanah.132
Termasuk kategori ketidakmampuan dalam mengurus
hadanah adalah wanita karir yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga
tidak punya waktu untuk mengurus anak. Akan tetapi jika pekerjaannya
tidak menghambatnya dalam mengurus anak, maka ia tetap berhak
dalam hadanah.133
Kelima adalah seorang pengasuh mesti sehat artinya
terbebas dari penyakit kronis dan penyakit berkepanjangan/ menahun.134
Keenam adalah orang yang mengurus hadanah anak disyaratkan harus
beragama Islam menurut ulama Syafii dan Hambali. Jadi, orang kafir
tidak berhak mengurus hadanah anak orang Islam karena orang kafir
tidak punya kuasa atas orang Islam. Selain itu, juga dikhawatirkan
terjadinya pengkafiran terhadap anak yang diasuh. Akan tetapi, ulama
Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan bahwa orang yang memelihara
anak harus beragama Islam. Menurut mereka, non muslim kita>bi>yah dan
ghairu kita>bi>yah boleh menjadi hadanah baik ia ibu sendiri maupun
orang lain. Rasulullah saw sendiri pernah memberi kebebasan kepada
seorang anak untuk memilih antara ikut ayahnya yang muslim atau
ibunya yang musyrik. Ternyata anak tersebut lebih condong pada
ibunya. Rasulullah saw lantas berdoa, ‚ya Allah, berilah petunjuk pada anak itu, dan luruskan hati anak itu agar ikut pada ayahnya.‛135
132
Lihat lagi di halaman sebelumnya dalam Muhammad Ami>n ibn
Umar A<bidi>n, Radd al-Muh}ta>r ala> al-Durr al-Mukhta>r ( H{a>shiyah Ibn ‘A>bidi>n), vol. 5, 253.
133 Wahbah Al-Zuhaili> al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol. 10,
7305. 134
Lihat Shamsuddin Muhammad ibn al-Khat}i>b al-Sharbaini>,
Mughni al-Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma‘a>ni> Alfa >z} al-Minha>j (Beirut: Da>r al-
Ma‘rifah, 2000), Vol. 3, 597. Lihat juga Mans}u>r ibn Yu>nus ibn Idri>s al-Bahu>ti>,
Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘ (Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1983), vol. 5,
498-499. 135
HR Abu Daud dan lainnya. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
ulama Syafii dan Hambali berkomentar tentang hadist tersebut bahwa hadist
itu telah dihapus atau kemungkinan ketika memberi kebebasan itu Rasulullah
saw tahu persis bahwa doa beliau akan dikabulkan, lantas anak tersebut
memilih ikut ayahnya. Adapun tujuan Rasulullah memberi kebebasan memilih
bagi anak tersebut tidak lain adalah untuk menarik simpati bagi ibu anak
tersebut. Lihat dalam Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, vol.
10, 7306.
60
Di samping terpenuhinya syarat-syarat di atas, bagi pengasuh
perempuan juga ada syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu bahwa ibu
tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. Pendapat ini telah disepakati
oleh para ulama karena ada hadist yang berbunyi:‛ ت نكحيلمابوأحق أنت ‛
syarat ini ditetapkan karena terkadang seorang ayah kadang
memperlakukan anak tirinya dengan kasar, sedangkan ibu kandung anak
tersebut sibuk dengan tugasnya sebagai istri dan belum tentu juga suami
baru dengan istrinya yang akan tersibukkan dengan memelihara anak
yang bukan anaknya –suami baru. Apabila h}a>d}inah menikah lagi
dengan kerabat dekat yang masih mahram anak seperi paman, anak
paman, dan anak saudara, maka hak hadanah tidakgugur karena orang
yang menikahinya masih tergolong keluarga yang berhak mengurus
hadanah tersebut sehingga keduanya bisa saling bantu untuk
menanggung hidup anak tersebut.
C. Kekuasaan Orang Tua dan Hak Pemeliharaan Anak dalam
Perundang-undangan di Indonesia
Hak pemeliharaan anak secara hukum sesungguhnya merujuk
kepada kekuasaan seseorang berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan untuk memberikan bimbingan, pengasuhan, pendidikan,
perawatan, dan kesehatan anak yang belum mampu melaksanakan
tugas-tugasnya sendiri secara mandiri. Kekuasaan orang tua lahir
sebagai akibat dari terjadinya suatu perkawinan yang sah. Tidak
terdapat defenisi secara khusus di dalam KUHPerdata (BW), UU No. 1
Tahun 1974, KHI, maupun di dalam ketentuan –ketentuan perundang-
undangan lain yang berlaku di Indonesia, tentang apa yang diartikan
dengan kekuasaan orang tua.
Menurut Soebakti,136
seorang anak yang sah sampai pada
waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (onderlijke mach) selama kedua orang tua terikat dalam
tali perkawinan. Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai
berlaku sejak lahirnya anak atau sejak dari pengesahannya dan berakhir
pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu
perkawinan kedua orang tuanya dihapuskan. Dari hal tersebut di atas
terlihat bahwa lahirnya kekuasaan orang tua itu adalah karena telah
dilakukan perkawinan kedua orang tua secara sah. Selanjutnya
dikatakan oleh Soebakti, kekuasaan orang tua terutama berisi kewajiban
untuk mendidik dan memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi
136
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa,
1992), 51.
61
pemberian nafkah, pakaian, dan perumahan. Wirjono Prodjodikoro,
untuk kekuasaan orang tua ini memakai istilah ‚penguasaan anak.‛137
Seorang anak yang belum dewasa berada dalam penguasaan orang tua
dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat.
Penguasaan orang tua ini mengandung kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik si anak.138
KUHPer menyediakan Bab khusus yang mengatur masalah
Kekuasaan Orang Tua, yaitu terdapat dalam Bab Keempat Belas, Buku I
Pasal 298-329. Berbeda dengan KUHPer, dalam UU Perkawinan tidak
ada bab tersendiri untuk masalah ini, tetapi ketentuan terkait dengan hal
ini dapat dilihat dalam bab X UU Perkawinan, yang berjudul ‚Hak dan
Kewajiban antara Orang Tua dan Anak,‛ yang terdapat dalam Pasal 45-
49. Di samping itu, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 41 UU
Perkawinan, memuat aturan mengenai akibat putusnya perkawinan
karena perceraian, juga mempunyai muatan ketentuan tentang
kekuasaan orang tua. Untuk kekuasaan orang tua ini UU Perkawinan
memakai istilah ‚pemeliharaan anak‛ dan ‚penguasaan anak,‛
sebagaimana tercantum dalam pasal 41.
KHI untuk kekuasaan orang tua ini memakai istilah
‚pemeliharaan anak‛ atau ‚hadanah‛. Pemeliharaan anak dalam KHI
disebutkan bahwa pemeliharaan anak atau hadanah adalah kegiatan
mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri.139
Pengertian hadanah yang diuraikan dalam KHI
mengandung makna bahwa pemeliharaan anak merupakan suatu upaya
yang dilakukan oleh orang yang berhak secara hukum melakukan
perbuatan hadanah dalam rangka mengasuh, membimbing, dan
mendidik anak hingga mereka dewasa dan mampu berdiri sendiri. UU
NO. 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak, memakai istilah
‚Kuasa Asuh‛, dan dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 11,26, 30, 31, dan
32. Adapun UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3
Tahun 2006, memakai istilah ‚Penguasaan Anak,‛ sebagaimana
tercantum di dalam pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1). Jika diamati
dari beberapa ketentuan di atas tentang kekuasaan orang tua, bahwa
kekuasaan orang tua ini terkait dengan aspek-aspek yang berhubungan
dengan pembagian peran ataupun tugas antara suami istri di dalam
137
Wirjono Projodikoro R, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur bandung), 83.
138 Oleh karena itu Prodjodikoro merujuk Pasal 104 BW: ‚suami istri
dengan hanya melakukan perkawinan telah saling mengikat diri untuk
memelihara dan mendidik anak-anak mereka. 139
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf g.
62
keluarga seperti yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) UU
Perkawinan, serta hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 45-49 UU Perkawinan.
Dilihat dari sejarah hukum , dengan mengacu kepada hukum
Romawi (sistem hukum perdata di Indonesia dipengaruhi oleh hukum
Romawi yang berpengaruh banyak terhadap hukum Perancis dan melalui
hukum Belanda sampai ke Indonesia), bahwa anak-anak berada di
bawah kekuasaan ayahnya. Semula kekuasan ayah ini (patria potestas) tidak terbatas dan bahkan menurut hukum romawi dahulu dapat
dikatakan, hidup dan mati anak berada di dalam kekuasaan ayahnya.
Lambat laun di dalam perkembangannya, kekuasaan ini menjadi
berkurang atau melemah, namun si ibu sama sekali tidak mempunyai
kekuasaan atas anaknya.140
Sejak mulai diadakannya perundang-undangan yang
memberikan perhatian terhadap kepentingan anak, maka kekuasaan
ayah diubah menjadi kekuasaan orang tua. Dalam proses selanjutnya,
diatur kemungkinan kekuasaan orang tu dapat dibebaskan atau dipecat
atas dasar keputusan hakim.141
Kekuasaan bagi orang tua terhadap anak-
anak perlu ditetapkan agar mereka dapat menjalankan dan memenuhi
kewajibannya terhadap anak-anak, yaitu kewajiban memelihara dan
mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Jadi pemberian kekuasaan orang
tua tidak diberikan untuk kepentingan orang tua semata, melainkan
untuk kepentingan anak.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa kekuasaan
orang tua di dalam KUHPer diatur dalam Pasal 298-329. Dalam
KUHPer, kekuasaan orang tua tidak hanya berkaitan dengan diri pribadi
si anak, tetapi juga meliputi harta benda atau kekayaan anak.142
Dari
ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHPer, Wahyono
Dharmabrata143
menyimpulkan bahwa kekuasaan orang tua menurut
KUHPer bersifat kolektif, artinya ada pada ayah dan ibu, dan ada
selama perkawinan berlangsung, serta selama orang tua tidak
dibebaskan dan dipecat dari kekuasaan orang tua atas anak yang masih
140
Martiman Prodjohamidjoyo, 59. 141
UU Perkawinan memakai istilah ‚dicabut‛ kekuasaan orang tua
terhadap anak, lihat UU Perkawinan Pasal 49. 142
Kekuasaan orang tua terhadap diri pribadi anak diatur dalam
Pasal 298 s.d 306 BW, dan terhadap harta benda atau kekayaan anak diatur
dalam Pasal 307, 308, 309, dan 311 BW. 143
Wahjono Darmabrata, Tinjauan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Beserta Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya.
63
berada di bawah umur. Sedangkan menurut Subekti,144
kekuasaan orang
tua dimiliki oleh kedua orang tua bersama, tetapi lazimnya dilakukan
oleh si ayah. Jika si ayah berada di luar kemungkinan melakukan
kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan itu adalah ibu.145
Hal ini
sejalan dengan Pasal 300 BW.
UU Perkawinan juga tidak ada bab khusus dan tidak banyak
menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua,
selain dari pada ketentuan bahwa kekuasaan orang tua terutama
berkaitan dengan kewajiban dari orang tua untuk memelihara dan
mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Selain itu ditentukan pula
bahwa kewajiban tersebut akan berlaku terus sampai anak kawin atau
dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan antara kedua orang tua telah
putus, sebagaimana tercantum dalam pasal 45 UU Perkawinan.
Pengaturan mengenai kewajiban pemeliharaan anak ini dapat dibaca
pula dalam Pasal 41 kendatipun pasal ini berkaitan dengan akibat
putusnya perkawinan karena perceraian.
Dalam UU perkawinan, dengan putusnya perkawinan kedua
orang tua, terdapat 2 masalah yang timbul yaitu masalah pemeliharaan
anak dan penguasaan anak. Kedua istilah ini dipergunakan dalam Pasal
41 butir (a). Menurut Zulfa Djoko Basuki, pengertian penguasaan anak
ini sama dengan pemeliharaan anak. Rumusan dalam pasal tersebut
memungkinkan terjadinya pemeliharaan anak bersama (join custody), selama tidak ada perselisihan di antara kedua orang tua. Dalam hal
adanya perselisihan, pemeliharaan anak hanya akan diberikan kepada
salah satu orang tua (sole custody). Tidak ada pengaturan mengenai hak
kunjung bagi orang tua bukan pemegang hak hadanah. Kekuasaan orang
tua ditegaskan kembali dalam pasal 47 ayat (1).146
Mengenai kekuasaan
orang tua, Zulfa Djoko Basuki berpendapat meskipun tidak ada defenisi
dalam UU Perkawinan namun dapat merujuk kepada Bab VII pasal 41
dan Bab X Pasal 45 s.d 49 UU Perkawinan.147
Hal ini sejalan dengan
pendapat Subekti sebelumnya yang menyatakan bahwa kekuasaan orang
tua itu berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anak.
144
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, 51. 145
Zulfa Djoko Basuki, Dampak Putusnya Perkawinan Campuran terhadap Pemeliharaan Anak dan permasalahannya Dewasa Ini (Tinjauan dari Hukum Perdata Internasional) (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), 2.
146 UU Perkawinan Pasal 47 ayat (1): ‚anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.‛ 147
Wirjono Projodikoro R, Hukum Perkawinan di Indonesia, 83.
64
Dalam UU Perkawinan telah disebutkan tentang penguasaan
anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan,
akan tetapi hukum penguasaan belum diatur dalam PP No. 9 tahun 1975
secara lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak
belum dapat diberlakukan secara efektif oleh para hakim di lingkungan
Peradilan Agama pada zamannya. Pada waktu itu mereka masih
mempergunakan hukum tentang penguasaan anak yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih konvensional ketika memutuskan perkara.148
Setelah
diberlakukan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
adanya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI,
permasalahan tentang penguasaan dan pemeliharaan anak telah menjadi
hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang
untuk menyelesaikannya sesuai dengan yang termaktub di dalam
KHI.149
Dalam KHI, penguasaan orang tua terhadap anak sebagaimana
disebutkan dalam Bab XIV dengan judul Pemeliharaan Anak atau
Hadanah, dan ada beberapa ketentuan dalam bab tersebut tentang
kekuasaan orang tua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam
KHI untuk kekuasaan orang tua ini dipergunakan istilah Pemeliharaan
anak atau Hadanah. Tujuan utama pemeliharaan anak menurut KHI
adalah untuk mengasuh dan memelihara anak di bawah umur. Secara
umum, permasalahan hadanah dibahas dalam pasal 98 KHI yaitu bahwa
batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun
sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewaiban tersebut apabila kedua
orang tuanya tidak mampu.150
Pasal 98 di atas menjelaskan bahwa anak yang bisa diurus
atau dipelihara adalah anak yang usianya di bawah 21 tahun. Dengan
kata lain, anak tersebut belum menikah atau dalam usia mateng. Point
selanjutnta dalam pasal yang sama menjelaskan bahwa orang tualah
148
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), 428-429, dan lihat juga Abdul
Manan, ‚Problematika Hadanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama,‛ Mimbar Hukum, No. 49, 69-70. 149
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/ 1974 sampai KHI (Yogyakarta: UII Press, 1999), 298-299.
150 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1, 2, dan 3.
65
yang harus menjadi tanggung jawab anak ersebut selama anak tersebut
belum dewasa atau mandiri. Tidak mewajibkan secara mutlak bahwa
pertanggung jawaban kepada kedua orang tua, akan tetapi bisa
dibebankan kepada orang lain yang mampu mengurus anaknya. Point
dalam ayat 3 dengan tegas menyatakan bahwa pengadilan dapat
menunjuk kerabat/ orang yang mampu yang bisa menggantikan orang
tua yang tidak mampu menjalankan kewajibannya terhadap anak yang
masih berada dalam tanggungan orang tua.
Konsep pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung
jawab suami istri sebagai orang tua. Suami istri memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya.151
Seorang suami sesuai dengan penghasilannya menanggung
biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak.152
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pun menjelaskan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak.153
Kewajiban tersebut
sejalan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Putusnya perkawinan hakikatnya membawa pengaruh negatif
terhadap anak. Hak-hak anak akibat perceraian terkadang ada yang
dikesampingkan, terutama yang berkaitan dengan hak pokok anak yaitu
tentang pemeliharaan, biaya pemeliharaan, pendidikan anak, tempat
tinggal anak, dan sebagainya. Apa lagi ketika orang tua mereka sudah
menikah lagi dan memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan
berkurangnya waktu untuk untuk memenuhi hak-hak anak. Meskipun
keberadaan orang tua sudah tidak utuh lagi dalam satu keluarga akan
tetapi persoalan hak-hak anak tetap manjadi tanggungjawab orang tua
dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain selain orang tua mereka.
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan akibat hukum
tentang hak dan kewajiban, maka perceraian pun memiliki akibat-akibat
hukum yang sama. Pasal 41 Undang-undang Perkawinan menyebutkan
bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian
adalah bahwa ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka
pengadilan memberikan putusan. Bapak bertanggungjawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak.
151
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 ayat (3). 152
Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat 4 point b-c. 153
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 26
ayat (1)
66
Bilamana dalam kenyataan bapak tidak dapat memenuhi kewajiban,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan secara ex officio dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas istri.154
Soemiyati menjelaskan,155
bahwa UU
perkawinan dan Hukum Islam selaras dalam mengatur akibat hukum
perceraian terhadap kewajiban memelihara dan mendidik anak, karena
berdasarkan kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah
tanggungjawab bersama yang harus dilkasanakan oleh orang tua.
Walaupun kewajiban memelihara dan membiayai pendidikan adalah
tanggungjawab suami, tetapi dalam hal suami tidak mampu, tidak ada
jeleknya bahwa tanggungjawab tersebut dialihkan kepada ibu atau
dilaksanakan bersama-sama oleh ibu dan ayah sesuai dengan
kemampuannya masing-masing supaya anak tidak menjadi korban
walaupun terjadinya perceraian orang tua mereka.
Secara khusus Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tidak mengatur tentang pemeliharan dan hak asuh anak. Akan
tetapi dalam pasal 24 diatur mengenai beberapa ketentuan-ketentuan
selama berlangsungnya proses perceraian di pengadilan, bahwa
pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b. Menetukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri ayau barang-
barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak istri.156
PP Nomor 9 Tahun 1975 di atas menerangkan bahwa
pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya anak walaupun masih dalam proses persidangan.
Ketentuan tersebut untuk menjamin kesejahteraan dan terpeliharanya
anak meskipun kedua orang tua sedang menjalani proses sidang
perceraian. Tidak bisa diingkari bahwa perceraian orang tua sedikit
banyak mempengaruhi keadaan dan jiwa anak. Oleh karena itu lah
pengadilan memperhatikan keadaan jiwa dan raga anak dalam rangka
154
Kompilasi Hukum Islam Pasal 41 huruf a-c. 155
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2004), 127.
156 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 24.
67
terpeliharanya anak terhadap persoalan yang dialami oleh orang tua
mereka.
Dalam KHI ada ketentuan bahwa jika terjadi perceraian,
pemeliharaan anak yang belum mumayiz yaitu yang belum berusia 12
tahun adalah menjadi hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah
mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharannya dan biaya pemeliharaan
menjadi tanggung jawab seorang ayah.157
Anak yang belum mumayiz
berhak diasuh oleh ibunya. Apabila ibunya tidak ada, maka
kedudukannya secara berurut digantikan oleh wanita-wanita dalam garis
lurus ke atas dari pihak ibu yaitu nenek dan seterusnya. Setelah itu ayah,
kemudian wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari ibu, dan wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari ayah.158
Bila ternyata pemegang had}anah
tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun
biaya nafkah dan had}anah telah dicukupi, maka Pengadilan Agama
dapat memindahkan hak hadanah atas perminataan kerabat anak yang
juga mempunyai hak hadanah. Dan bila mana terjadi perselisihan
mengenai hadanah dan nafkah anak, maka Pengadilan Agama
memberikan keputusan berdasarkan aturan-aturan di atas, bahkan
pengadilan dapat pula menetapkan nominal biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak dengan mengingat kemampuan ayah meskipun anak-
anak tidak turut tinggal bersamanya.159
Permohonan soal penguasaan anak dan nafkah anak dapat
diajukan secara komulasi dengan sengketa perceraian atau diajukan
secara tersendiri setelah terjadinya perceraian.160
Selama proses
perceraian seorang istri dapat meminta pengadilan menetukan hal-hal
yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. proses
perceraian tidak bisa dijadikan alasan bagi suami istri untuk melalaikan
tugas mereka terhadap anak-anak, harus dijaga agar jangan sampa harta
kekayaan bersama, harta suami atau istri menjadi terlantar atau tidak
terurus dengan baik, karena tidak hanya merugikan keduanya, tetapi
juga pihak ketiga.161
157
Baca Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 ayat point a,b, dan c. 158
Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 point a. 159
Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 point c-f. 160
Undang-undang Peradilan Agama Pasal 66. 161
Lihat Undang-undang Peradilan Agama Pasal 78 huruf b, dan
Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 24 ayat (2).
68
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua, sesuai ketentuan
pasal 26 UUPA adalah untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindunginya. Menumbuh kembangkan sesuai kemampuan, bakat dan
minatnya, serta mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Apabila
orang tua tidak ada atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajiban tersebut dialihkan
ke keluarga.
Apabila orang tua justru melalaikan kewajibannya, dapat
dilakukan tindakan pengawasan bahkan kuasa orang tua dapat dicabut
melalui penetapan pengadilan.162
Permohonan penetapan pengadilan ini
dapat dimintakan oleh salah satu orang tua, saudara kandung, atau
keluarga sampai derajat ketiga. Pencabutan kuasa orang tua dapat
diajukan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang, selanjutnya
pengadilan dapat menunjuk orang yang harus seagama, atau lembaga
pemerintah/ masyarakat sebagai walinya. Penetapan itu juga harus
memuat pernyataan bahwa perwalian tidak memutus hubungan darah
antara anak dengan orang tua kandungnya atau menghilangkan
kewajiban orang tua untuk membiayai anaknya dan adanya penyebutan
batas waktu pencabutan.163
Di antara azas penyelenggaraan pelindungan
anak adalah asas kepentingan terbaik bagi anak, artinya adalah dalam
semua tindakan menyangkut diri anak, maka kepentingan terbaik
baginya harus menjadi pertimbangan utama.164
162
Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 30. 163
Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 31 dan Pasal 32. 164
Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 2 dan penjelasannya.
69
BAB III
YURISPRUDENSI DALAM PENGEMBANGAN HUKUM
NASIONAL INDONESIA
Secara teoritis, dikenal berbagai sumber hukum dalam sistem
hukum nasional. Salah satu di antara sumber hukum adalah
yurisprudensi. Yurisprudensi mempunyai arti dan kedudukan yang
penting karena dapat dijadikan sebagai acuan dan sumber daya dalam
membentuk undang-undang, mengambil putusan terhadap masalah yang
sama dalam hal peraturannya belum ada, serta mengembangkan ilmu
hukum melalui peradilan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa
peranan yurisprudensi sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Pembahasan pada bab ini akan menjelaskan tentang
Yurisprudensi dalam pengembangan hukum nasional Indonesia yang
terdiri dari tiga sub bab yaitu sistem hukum dalam konteks peradilan
Indonesia, dimensi yurisprudensi dalam bingkai teori dan praktek
peradilan di Indonesia, dan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh
hakim serta peranan putusan hakim dalam melindungi anak-anak korban
perceraian.
A. Sistem Hukum dalam Konteks Peradilan Indonesia
Sistem pemerintahan Indonesia dalam penjelasan Undang-
undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (reechtstaat), bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machstaat).1 Hal ini berarti bahwa negara, termasuk
di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi dengan hukum. Konsep
negara hukum selain bermakna bukan negara kekuasaan (machstaat) juga mengandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip
1 Lihat Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berkaitan
erat dengan paham negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara
hukum materil sesuai dengan bunyi alenia keempat Pembukaan dan Ketentuan
Pasal 34 UUD 1945. Menurut Jimly Asshiddiqie, Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus
Negara Demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democracy) yang
tidak terpisahkan satu sama lain, lihat Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah
disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema
Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, (Denpasar, 2003),
3.
70
supremasi hukum dan konstitusi. Dianutnya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
Undang-undang dasar. Adanya jaminan hak asasi manusia dalam
undang-undang dasar. Adanya prinsip keadilan yang bebas dan tidak
memihak yang menjamin persamaan setiap warga dalam hukum, serta
menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan
wewenang oleh pihak yang berkuasa.2
Dalam rangka supremasi hukum dalam era reformasi sekarang
ini, lembaga yang paling banyak disoroti adalah lembaga peradilan.
Lembaga peradilan merupakan alat untuk mencapai keadilan
masyarakat yang dapat memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum, sehingga putusan-putusan hakim lembaga Peradilan sarat
menjadi sorotan publik. Karenanya, sebuah lembaga peradilan haruslah
bebas dan impartial (tidak memihak), serta peradilannya haruslah
independen agar keputusan lembaga-lembaga peradilan mampu
mewujudkan masyarakat demokratis, penghormatan terhadap hak asasi
manusia, dan berkeadilan.
Reformasi telah menjadikan hukum sebagai sesuatu yang
supreme dalam penyelenggaraan negara. Supremasi hukum
menghendaki dalam penyelesaian setiap permasalahan, hukumlah yang
harus dijadikan pegangan, sehingga supremasi hukum tidak perlu
mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan lainnya.
Kebijakan pembangunan hukum haruslah meliputi pembangunan
keseluruhan komponen hukum sebagai suatu sistem, karena hukum itu
sendiri merupakan suatu sistem3 yaitu sistem norma-norma. Keberadaan
sistem hukum,baik pada subsistem peraturan dan subsistem peradilan,
sebenarnya tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk
menertibkan dan menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat, melainkan juga diharapkan menjadi sarana dan wadah yang
mampu mengubah pola pikir dan prilaku warga masyarakat. Perubahan
sosial masyarakat yang semakin kompleks, semakin mempengaruhi
bekerjanya hukum dalam mencapai tujuannya. Konsep pembangunan
2 Zulkarnain Ridlwan, ‚Negara Hukum Indonesia Kebalikan
Nachtwachtterstaat,‛ Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 2 (Mei-Agustus
2012) : 1-12. 3 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu
Sistem (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), 93-125.
71
hukum menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaruan
masyarakat.4
Berbicara tentang sistem hukum, sistem hukum nasional
Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur hukum yang saling terkait antara
satu dengan yang lainnya dengan mendasarkan kepada pembukaan dan
pasal-pasal dalam UUD 1945 untuk mencapai tujuan negara.5
Penegakan hukum sebagai suatu sistem harus dilakukan dalam proporsi
yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan ada
lagi penegakan hukum yang diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan
tidak sensitif jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan
penegakan HAM, karena sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring
ketika para penegak hukum memahami hak-hak warga negara dalam
konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.6
Donal Black mengemukakan bahwa hukum merupakan
kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control) sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang di dalamnya
diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut.7
Lawrence Friedman juga mengemukakan bahwa yang terpenting dalam
hal ini adalah fungsi dari hukum itu sebagai kontrol sosial, penyelesaian
sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa (good distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (social maintenance).8 Selanjutnya Friedman mengemukakan bahwa membangun sistem
hukum terkait dengan tiga hal, yaitu struktur hukum, substansi hukum,
dan budaya hukum. Tiga unsur dari sistem hukum ini disebut oleh
Friedman sebagai three elements of legal system.9
4 Romli Atmasasmita, Menata kembali Masa Depan Pembangunan
Hukum Nasional. Makalah yang disampaikan dalam seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII di Denpasar, tanggal 14-18 Juli 2003. 5 BPHN, Evaluasi Program Legislasi Nasional dalam Rangka
Pembangunan Hukum yang Demokratis (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional kementrian Hukum dan HAM RI, 2009). 6 Wicipto Setiadi, Arti Penting Lembaga-lembaga Hukum di
Indonesia dalam Merespon Perubahan sosial (Jakarta: Sekretariat Jendral
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012), 73. 7 Lihat dalam Donald Black, The Behaviour of Law (New York:
Academi Press, 1976), 5-14. 8 Lawrence Friedmen, American Law: An Introduction (New York:
W.W Norton & Company, 1984), 5-14. 9 Struktur hukum menurut Friedman adalah kerangka dan sebagai
bagian dari hukum yang senantiasa bertahan, atau bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kelembagaan hukum
72
Pandangan Friedman ini sering dikutip oleh orang-orang
ketika berbicara tentang sistem hukum tanpa pandangan yang utuh dan
mendalam mengenai pandangan Friedman itu sendiri. Menurut Jimly
Asshiddiqie,10
di masa depan para perancang pembangunan hukum
haruslah keluar dari kungkungan paradigma Friedman tersebut, agar
pemahaman tentang sistem hukum Indonesia menjadi lebih mancakup
dan terpadu. Selanjutnya, menurut Jimly secara sederhana teori
Friedman memang sulit dibantah kebenaranya. Namun kurang disadari
bahwa teori Friedman tersebut sebenarnya di dasarkan atas
perspektifnya yang bersifat sosiologis (sociological Jurisprudence). Yang hendak diuraikan Friedman dalam teori tiga sub sistem hukum
(struktur, substansi, dan budaya hukum), tidak lain adalah bahwa basis
semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum. Substansi
yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan ataupun dalam
putusan-putusan hakim selalu berasal dari budaya hukum, dan institusi
hukum yang bekerja untuk membuat maupun menerapkan dan
menegakkan hukum juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang hidup
dan mempengaruhi orang-orang yang bekerja di dalam setiap institusi
itu. Karena itu, menurut Friedman budaya hukum itulah yang menjadi
komponen utama dalam setiap sistem hukum.11
merupakan bagian dari struktur hukum seperti lembaga Mahkamah agung,
kejaksaan, kepolisian. Sedangkan substansi atau materi hukum yaitu norma,
aturan, dan pola prilaku yata manusia yang berada dalam sistem hukum itu.
Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada
dalam sistem hukum itu yang mencakup putusan yang mereka keluarkan
begitupun aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mecakup hukum yang
hidup (living law), tidak hanya aturan yang tedapat dalam kitab hukum (law in books). Adapun budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapannya. Budaya hukum
juga mencakup susanana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Lihat Lawrence
Friedman, American Law: An Invaluable Guide to the Many Faces of the Law and How it Affects Our Daily Our Daily Lives, (New York: W.W Norton &
Company, 1984) 1-8, dan lihat juga Lawrence Friedman, Legal Culture and Social Development (New York: Standford Law Review, t.t), 1002-1010, serta
Lawrence Friedman, Law in America: A Short History (New York: Modern
Library Chronicles Book, 2002), 4-7. 10
Jimly Asshiddiqie, Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2012), 22. 11
Jimly Asshiddiqie, Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia,, 23-24.
73
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa pada zaman
sekarang diperlukan cara pandang baru tentang apa yang dinamakan
dengan sistem hukum Indonesia. Menurut Jimly, sistem hukum
Indonesia ke depannya sebaiknya dibangun dengan memperhatikan lima
aspek dan komponen sekaligus.12
Pertama, komponen instrumental yang
mencakup semua jenis dokumen hukum dan hukum tidak tertulis.
Kedua, komponen kelembagaan yang mencakup juga pengertian sarana
dan prasarana dan semua aspek keorganisasian. Ketiga, komponen
sumber daya manusia dan kepemimpinan. Keempat, komponen sistem
informasi dan komunikasi. Kelima, komponen budaya hukum,
pendidikan hukum, dan sosialisasi hukum/ pemasyarakatan.
Nonet dan Selznick menyebutkan bahwa ada tiga keadaan
dasar hukum dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi berlakunya
sistem hukum.13
Pertama, hukum represif yaitu hukum yang dijadikan
sebagai alat kekuasaan represif, bertujuan untuk menciptakan ketertiban
dan dasar keabsahannya melalui pengamanan masyarakat. Tipe hukum
represif tidak akan menghasilkan rasa keadilan karena hukum digunakan
sebagai alat kekuasaan oleh penguasa negara. Kedua, hukum yang
otonom yaitu hukum yang diwujudkan sebagai institusi yang bebas dari
pengaruh masyarakat, bertujuan untuk melakukan legitimasi
berdasarkan atas prosedur-formal sekaligus membatasi diskresi. Di
dalam menangani suatu permasalahan atau konflik yang terjadi dalam
masyarakat, selalu mengedepankan prosedural-legalistik, sehingga yang
muncul adalah keadilan prosedural tanpa mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat secara luas. Ketiga, hukum responsif yaitu hukum
yang diimplementasikan sebagai fasilitator dari respons terhadap
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Tipe hukum responsif
akan melahirkan keadilan substansial karena hukum dimaknai sebagai
sarana rekayasa sosial yang dilakukan secara terencana menuju pola
pikir dan prilaku yang lebih baik. Hukum responsif pada dasarnya
bertujuan agar hukum lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat,
serta lebih efektif menangani konflik yang terjadi dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Globalisasi dunia yang sangat pesat dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat, membawa dampak bagi keberadaan dan
berlakunya hukum. Dampak tersebut dapat menimbulkan
12
Jimly Asshiddiqie, Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia, ..., 26.
13 Lihat Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan
Perkembangan Sosial (Buku III) (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), 161-
162.
74
ketidakserasian antara sistem hukum dan peradilannya dengan dinamika
masyarakat dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Akan
tetapi, berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara
proporsional, akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Oleh karenanya patut dicermati apa yang telah dikemukakan oleh Rusli
Effendy14
bahwa sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yan
dianut oleh masyarakat. Ini berarti bahwa sistem peradilan di dunia
modern tidak seragam. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas
peradilan yang secara universal menjadi anutan dari berbagai
masyarakat modern dewasa ini, dan tentu saja ada hal-hal yang spesifik
dari setiap sistem peradilan tersebut.
Dikaji dari perspektif pandangan doktrin, maka pada dasarnya
sistem hukum di dunia terdiri atas beberapa sistem. Marc Ancel15
menyebutkan sistem hukum terdiri atas sistem hukum Eropa
Kontinental (system of civil law), sistem hukum Anglo American
(common law system), sistem hukum timur tengah (middle east system), sistem hukum timur jauh (far east system), dan sistem hukum
negara-negara sosialis. Rene David dan Jhon E.C. Brierley16
mengelompokkan sistem hukum ke dalam empat sistem yaitu hukum
Romawi Jerman (the Romano-Germanic family), hukum kebiasaan (the common law family), hukum sosialis (the family of socialist law), dan
konsepsi-konsepsi hukum dan tatanan soaial lainnya (keluarga hukum
agama dan hukum tradisional). Eric L. Richard mengemukakan sistem
hukum yang utama di dunia (the world’s major legal system) adalah
pertama, civil law yaitu hukum sipil berdasarkan kode sipil yang
terkodefikasi berakar dari hukum Romawi (Roman law) yang
dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental termasuk bekas
jajajahnnya. Kedua, common law yaitu hukum yang berdasarkan
custom atau kebiasaan berdasarkan preseden atau judge made law dipraktekkan di negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika.
Ketiga, islamic law yaitu sistem hukum yang berdasarkan syariah Islam
yang bersumber dai al-Qur’an dan hadist. Keempat, socialist law yaitu
sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis. Kelima, sub
14
Rusli Effendy, Teori Hukum (Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1991), 112. 15
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problem, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), 4-5. Sebagaimana yang
telah dikutip oleh Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), 22.
16 Rene David and John E>.C. Brierley, Major Legal System in the
World Today (London: Stevens & Sons, 1978), 28.
75
saharan-Africa yaitu sistem hukum yang dipraktekkan di negara afrika
yang berada di sebelah selatan gunung sahara. Keenam, far east merupakan sistem hukum yang kompleks yang merupakan perpaduan
antara sistem civil law, common law, dan hukum Islam sebagai basis
fundamental masyarakat.17
Sistem hukum yang terkenal dan banyak
dipakai di dunia adalah civil law system dan common law system. Civil law system adalah sistem hukum yang banyak dianut
oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan pada hukum
Romawi.18
Disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya
bersumber pada karya agung Kaisar Rorami Iustinianus Corpus Iuris
Civilis. Oleh karena banyak dianut oleh negara Eropa Kontinental, civil law system sering disebut sistem Eropa Kontinental. Negara-negara
bekas jajahan Eropa Kontinental juga menganut sistem civil law. Menurut Peter de Cruz, civil law dalam satu pengertian merujuk ke
seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebahagian besar
negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara di Timur Dekat, dan
sebahagian besar wilayah afrika, Indonesai dan Jepang.19
Karakteristik
dari civil law system adalah adanya kodifikasi hukum, hakim tidak
terikat kepada preseden, sehingga undang-undang menjadi sumber
hukum yang terutama,20
dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial,21
17
Lihat dalam Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), 21. 18
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:
Kencana, 2008), 261. 19
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law, dam Socialist Law, diterjemahkan dari karya Peter de Cruz, Comparative Law in Changing World (London-Sydney: Cavendish Publishing Limited,
1999), (Bandung: Nusa Media, 2010), 61. 20
Karakteristik ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran pemisahan
kekuasaan yang mengilhami terjadinta revolusi Perancis. Adanya pemisahan
antara ekuasaan pembuatan undang-undang, kekuasaan peradilan, dan sistem
kasasi adalah tidak dimungkinkan kekuasaan yang satu mencampuri urusan
kekuasaan lainnya. Dengan cara seperti ini terbentuknya yurisprudensi. Baca
dalam Paul Scholten, Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht. Algemeen Deel (Zwolle, 1974), 85.
21 Sistem inkuisitorial dalam peradilan dikemukakan oleh Lawrence
Friedman. Dalam sistem ini, hakim mempunyai peranan yang besar dalam
mengarahkan dan memutus perkara, hakim aktif dalam menemukan fakta, dan
cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedma, hakim dalam
civil law berusaha untuk mendapat gambaran lengkap dari peristiwa yang
dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan
76
artinya bahwa dalam sistem itu, hakim mempunya peran yang besar
dalam mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim aktif dalam
menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Hakim dalam
civil law berusaha mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang
dihadapi sejak awal.
Sumber-sumber hukum22
dalam civil law system dalam arti
formal berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan
yurisprudensi.23
Peraturan perundang-undangan menjadi rujukan yang
pertama. Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi
tertulis pada urutan tertinggi dalam hierarki peraturan perudang-
undangan yang kemudian diikuti dengan undang-undang dan beberapa
peraturan di bawahnya. Negara yang menganut civil law system, kebiasaan-kebiasaan dijadikan sebagai sumber hukum yang kedua untuk
memecahkan berbagai persoalan, karena pada kenyataannya undang-
undang tidak pernah lengkap sedangkan kehidupan masyarakat begitu
kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat menjangkau
semua aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya dalam hal ini
dibutuhkan hukum kebiasaan. Perlu dicermati di sini bahwa yang
menjadi sumber hukum bukanlah kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan
karena kebiasaan tidak mengikat. Agar suatu kebiasaan dapat menjadi
hukum maka harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu tindakan itu
dilakukan secara berulang-ulang,24
dan adanya unsur psikologis25
kejujuran hakim. Sistem ini sebenarnya lebih efifien, lebih tidak berpihak, dan
lebih adil dibandingkan dengan sistem yng berlaku dalam sistem common law. Selengkapnya lihat Lawrence Friedman, American Law, (New York: W>.W>.
Norton&Company, 1984), 69. 22
Sumber-sumber hukum yang dimaksud adalah bahan-bahan yang
digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara. Cf. John
Chipman Gray membedakan antara hukum dan sumber-sumber hukum yang
olehnya diartikan sebagai bahan-bahan hukum dan nonhukum tertentu yang
digunakan oleh hakim karena tidak tersedianya aturan sehingga putusan itu
menjadi hukum. Lihat Edgar Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of the Law (Massachusetts: Harvard University Press, Cambridge,
1970), 270. 23
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 305. 24
Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang merujuk kepada
tingkah laku lahiriah yang diamati. Menurut Franken, perbuatan yang berulang-
ulang sehingga dapat terbentuk sebuah hukum kebiasaan tergantung kepada
situasi yang dihadapi, H. Franken, InLeiden tot de Rechtswetenschap (Belanda:
Gouda, Quaint, Arnhem, 1987), 114. 25
Unsur psikologis dalam bahasa latin disebut opinio necessitatis yang berarti pendapat mengenai keharusan bahwa orang bertindak sesuai
77
mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus
dan berulang-ulang itu aturan hukum.
Dalam civil law system, yurisprudensi bukanlah merupakan
sumber hukum utama, dengan dasar pandangan bahwa yurisprudensi
atau putusan-putusan pengadilan sifatnya konkret dan hanya mengikat
pihak-pihak yang bersengketa saja. Sedangkan aturan hukum harus
bersifat umum dan abstrak. Di samping itu, negara-negara yang
menganut civil law system, berpandangan bahwa yurisrudensi rawan
untuk dimodifikasi dan dianulir setiap saat. Yurisprudensi bukanlah
sebab yang sangat mengikat. Ketika ada putusan hakim pengadilan
sebelumnya yang dipakai untuk memutuskan kasus dikemudian hari
maka hal itu bukanlah karena putusan hakim sebelumnya itu memang
dianggap tetap dan layak untuk diteladani. Namun demikian,
yurisprudensi mempunyai peranan penting dalam pengembangan
hukum, dan hal tersebut tidak dapat dibantah oleh negara-negara
penganut civil aw system. Adapaun common law system merupakan sistem hukum yang
pada mulanya dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami
sebagian besar Inggris sehingga disebut juga sistem anglo-saxon. Negara-negara bekas jajahan Inggris juga menganut common law system. Berbeda dengan Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris
mengembangkan sistem yang berbeda dari yang berlaku di Inggris
walaupun masih dalam kerangka sistem common law. Perkembangan
politik, ekonomi, teknologi, dan budaya Amerika Serikat yang lebih
pesat dari pada yang terjadi di Inggris menyebabkan Amerika Serikat
banyak bertransaksi dengan negara lain. Hal ini berimplikasi pada
banyaknya hukum Amerika yang dijadikan acuan atau landasan
transaksi yang bersifat internasional. Oleh karena itulah sistem common law pada saat ini lazim disebut sebagai sistem anglo-american.
26
Sistem common law sangat berkembang di Inggris terutama
melalui pengadilan kerajaan yang dibentuk semasa Raja William dan
pengganti-penggantinya berkuasa. Di wilayah jajahan Inggris,
pengadilan kerajaan sangat kuat yang membawahi pengadilan-
pengadilan lokal dan hanya sedikit menangani masalah-masalah kaum
ningrat sedangkan di lain pihak pengadilan rakyat yang lama tidak lagi
dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum, lihat lagi H.
Franken, InLeiden tot de Rechtswetenschap, 115. 26
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law, dam Socialist Law, diterjemahkan dari karya Peter de Cruz, Comparative Law in Changing World (London-Sydney: Cavendish Publishing Limited,
1999), 153-154.
78
digunakan. Hukum yang dikembangkan oleh pengadilan kerajaan secara
cepat menjadi suatu hukum yang umum (common) bagi semua orang di
seantero negeri. Itulah sebabnya sistem hukum Inggris disebut sistem
common law.
Amerika Serikat sebenarnya bekas jajahan Inggris. Akan
tetapi dalam perjalanan bernegara, Amerika Serikat mengembangkan
sendiri sistem hukum maupun substansi hukum. Salah satu perbedaan
yang berarti di antara keduanya adalah bahwa Amerika Serikat memiliki
konstitusi tertulis sebagai hukum tertulis di Amerika Serikat. Amerika
Serikat mengembangkan kodifikasi baik ntuk negara bagian maupun
negara federal karena luas dan populasi Amerika Serikat jauh lebih besar
dari pada Inggris. Sedangkan Inggris tidak mengenal suatu konstitusi
tertulis. Praktek ketatanegaraan Inggris didasarkan atas conventin
(praktik ketatanegaraan yang dijalankan berdasarkan kebiasaan-
kebiasaan).
Karakteristik dari common law system pertama adalah
yurisprudensi dipandang sebagai sumber hukum yang terutama.
Dianutnya yurisprudensi sebagai hukum terutama merupakan suatu
produk dari perkembangan yang wajar hukum Inggris yang tidak
dipengaruhi oleh hukum Romawi. Menurut Philips S. James27
terdapat
dua alasan dianutnya yurisprudensi sebagai sumber hukum utama yaitu
alasan psikologis dan alasan parktis. Alasan psikologis maksudnya
bahwa setiap orang yang ditugasi menyelesaikan perkara cenderung
mencari alasan pembenaran atas putusannya dengan merujuk kepada
putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggungjawab
atas putusan yang telah dibuatnya sendiri. Sedangkan alasan praktis
maksudnya bahwa diharapkan adanya putusan yang seragam karena
sering dikemukakan bahwa hukum harus mempunyai kepastian dari
pada menonjolkan keadilan pada setiap kasus.28
Menurut Roscoe Poud,
pada awal-awal hukum Inggris, para lawyers membuat catatan-catatan
kepada lawyers lainnya, lalu mengumpulkan catatan-catatan atas kasus-
kasus yang telah diputus dari pada lawyers lainnnya.29
Catatan tersebut
kemudian disistematisasi dan diterbitkan menjadi laporan putusan
pengadilan. Selanjutnya diterbitkan anotasi dan komentar-komentar
atas kasus-kasus yang telah diputuskan. Laporan-laporan yang telah
disusun secara sistematis disertai dengan anotasi dan komentar-
27
Philips S. James, Introduction to English Law (London: English
Language Book Society, 1985), 16. 28
Philips S. James, Introduction to English Law ..., 16-17. 29
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (New
Heaven: Yale University Press, 1975), 34.
79
komentar menjadi rujukan bagi para hakim dan lawyers dalam
menangani kasus yang mereka hadapi.
Karakteristik kedua, dianutnya doktrin stare decisis30 atau di
Indonesia dikenal dengan doktrin preseden yaitu hakim terikat untuk
menerapkan putusan pengadilan terdahulu baik yang dibuat sendiri atau
oleh pendahulunya untuk kasus serupa. Preseden yang dimaksud di sini
bukanlah putusan semata. Tidak semua yang dikatakan oleh hakim
dalam menjatuhkan putusan menciptakan suatu preseden, melainkan
pertimbangan-pertimbangan hukum yang relevan dengan fakta yang
dihadapkan kepadanya. Perlu juga dikemukakan bahwa dalam
menjatuhkan putusan, hakim tidak hanya mengemukakan pertimbangan-
pertimbangan hukum, melainkan juga pertimbangan lain yang tidak
mempunya relevansi dengan fakta yang dihadapi (obiter dicta). Tidak dapat dipungkiri dalam perkembangan saat ini tidak
semua perkara secara tepat mempunyai preseden. Dalam hal demikian
pengadilan mempunyai kebebasan untuk memilih dalam memutuskan
perkara apakah akan menyimpangi preseden (distinguishing/ tidak
menggunakannya sebagai pedoman untuk memutuskan kasus-kasus
serupa) atau mengikutinya. Dalam hal demikian pengadilan
membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berbeda dengan fakta yang
telah diputus oleh pengadilan terdahulu, artinya fakta yang baru
dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunya preseden.
Karakteristik ketiga dalam common law system adalah
adanya adversary system dalam proses pegadilan. Dalam sistem ini,
kedua belah pihak yang bersengkata masing-masing mempunya lawyer yang berhadapan di depan hakim. Masing-masing pihak menyusun
strategi sedemikian rupa dan mengemukakan sebanyak-banyaknya alat
bukti di depan pengadilan. Sedangkan hakim hanya duduk di kursi
hakim layaknya seorang wasit dalam suatu pertandingan sepak bola
yang sekali-kali memberikan kartu kuning atau kartu merah bagi pihak
yang tidak menjunjung tinggi aturan main. Apabila diperlukan jury, hakim tidak memberikan putusan mana yang menang dan mana yang
kalah atau tertuduh bersalah dan tidak bersalah. Hakim memberi
perintah kepada jury untuk mengabil putusan. Putusan tersebut harus
diterima oleh hakim terlepas dari ia setuju atau tidak setju terhadap
putusan tersebut.
30
Doktrin selengkapnya adalah stare decisi et quieta non movere yang artinya putusan yang tetap dan tidak diganggu gugat. Di Inggris dengan
menerapkan doktrin ini otoritas pengadilan bersifat hirarkis, yaitu pengadilan
yang lebih rendah harus mengikuti putusan pengadilan yang lebih tinggi untuk
kasus serupa. Lihat Philips S. James, Introduction to English Law, 34.
80
Adapun Indonesia, pada dasarnya Indonesia menganut sistem
hukum Eropa Kontinental atau lazim disebut dalam kepustakaan
sebagai roman ducth law karena kebergantungan pada asas konkordansi,
dimana Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, sehingga sistem hukum
Belanda secara otomatis dianut oleh Indonesia setelah merdeka. Akan
tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan akibat dnamika kehidupan
sosial politik masyarakat yang terus berkembang sehingga sistem
hukum Indonesia mengalami pula perkembangan dengan tidak
sepenuhnya terikat kepada sistem Eropa Kontinental. Lagi pula
sekarang ini, tidak ada satu negara pun yang menganut murni salah satu
sistem hukum tersebut dan kenyataannya di dunia dianut suatu sistem
hukum yang merupakan campuran atau quasi/ the mixed type. Indonesia
pada dasarnya sekarang menganut sistem hukum quasi,31 antara Eropa
Kontinental dan anglo saxon atau case law sebagaimana diterapkan
dalam perkara perdata niaga atau penerapan norma-norma yang diatur
dan diterapkan pada pengadilan niaga.32
Di samping itu, Indonesia sebagai negara dengan penduduk
mayoritas beragama Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem hukum
Islam juga mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Banyak peraturan perundang-undangan Indonesia baik secara
eksplisit maupun implisit mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum
Islam. Bahkan terdapat satu propinsi yang memiliki keistimewaan
dengan menerapkan sistem hukum Islam dalam tata pemerintahan dan
kehidupan sosial sehari-hari. Propinsi istimewa yang menerapkan sistem
hukum Islam di Indonesia adalah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tidak hanya hukum Islam, keberadaan hukum adat juga tumbuh dan
diakui keberadaannya dalam dalam sistem hukum Indonesia –walaupun
secara terbatas. Misalnya beberapa pengaturan dalam bidang hukum
waris, hukum agraria, hukum pidana yang secara terbatas dipengaruhi
dan diadopsi dari sistem hukum adat.
31
Rene David dan John E>C> Bierley menyebutkan bahwa ‚to certain extent Indonesia, colonized by the dutch, belongs to the Romano-Germanic Family. Here, howerer, Romano-Germanic concepts combine with Muslim and customary law (adapt law) in such a way that it is appropriate to concider this sistem as mixwe also.‛ Lihat dalam Rene David and John E>.C. Brierley, Major Legal System in the World Today, 79.
32 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata
Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), 282.
81
B. Dimensi Yurisprudensi dalam Bingkai Teori dan Praktek Peradilan
Indonesia
Lembaga hukum di Indonesia masuk ke dalam penerapan
sistem peradilan satu atap (one roof system) dan kekuasaan kehakiman
tertinggi berada pada Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisial
maupun non teknis yudisial.33
Proses pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial lembaga peradilan yang sebelumnya di
bawah kontrol pemerintah, diawali dengan lahirnya ketetapan MPR No.
X Tahun 1998 yang menetapkan kekuasan kehakiman bebas dan
terpisah dari kekuasaan eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan
dengan diundangkannya Undang-undang No. 35 Tahun 1999. Konsep
satu atap dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan
atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Realisasi dari
pengalihan administrasi kekuasaan kehakiman dari pemerintah ke
Mahkamah Agung diterbitlahkanlah Keppres No. 21 tahun 2004.
Mahkamah Agung Republik Indonesia berada di atas puncak
sistem peradilan di Indonesia yang memutus perkara perdata, pidana,
dan tata usaha negara pada tingkat kasasi dan juga sebagai peninjauan
kembali terhadap perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Peranan MA sangat berhubungan dengan tuntutan keadilan atau
dapat juga disebut sebagai court of justice yaitu sebagai badan peradilan
tertinggi yang bertugas mewujudkan keadilan. Jika dilihat dalam tataran
teoritis persoalan-persoalan mengenai akuntabilitas peradilan, keadilan,
akan terwujud apabila putusan hakim berpihak pada kepentingan
masyarakat.34
Putusan hakim merupakan salah satu cara untuk menegakkan
hukum. Kaidah-kaidah hukum yang mengatur prilaku seseorang dalam
masyarakat tidak hanya dibentuk dari undang-undang. Ketika suatu
hukum harus dipahami terbatas pada undang-undang, maka kedudukan
hakim akan terposisikan sebagai ‚juru bicaranya undang-undang‛ yang
tidak memiliki kewenangan untuk menafsir, atau menyimpangi undang-
undang meskipun secara kasat mata rumusannya telah usang dimakan
zaman, substansinya telah ketinggalan zaman, dan jiwanya telah hilang
dari rasa keadilan. Akan tetapi, jika hukum dipandang sebagai
kenyataan yang riil, hidup dan berkembang dalam kenyataan kehidupan
kemasyarakatan, maka kedudukan hakim secara logis akan terposisikan
33
Arif Hidayat, ‚Penemuan Hukum melalui Penafsiran Hakim
dalam Putusan Peradilan,‛ Pandecta 8, No. 2 (Juli 2013) : 153-169. 34
Ahmad Syahrizal, ‚Evolusi Kekuasaan Kehakiman dalam Empat
Periode UUD,‛ Jurnal Konstitusi 3, No. 1 (2006) : 152-153.
82
sebagai judge made law. Hakim dihargai sebagai manusia, bukan
sebagai robot. Hakim dihargai daya nalar dan nurani ketuhanannya yang
mampu menembus titik rasa keadilan masyarakat yang terformulasi
dalam putusan pertimbangan hukumnya.
Kenyataannya, beberapa kasus dan perkara yang dihadapkan
kepada hakim terkadang masih ada yang belum memiliki peraturan yang
jelas dan masih kabur, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, atau peraturan tersebut sudah tidak relevan lagi dipakai,
bertentangan dengan nilai kemanfaatan, kemashlahatan dan nilai
keadilan bagi pihak yang berperkara, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
seorang hakim yang dalam menghadapi perkara-perkara tersebut
dituntut untuk membentuk dan menentukan hukum terhadap kasus yang
dihadapkan kepadanya. Seorang hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan tidak ada peraturan yang mengaturnya. Kewajiban
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam
masyarakat harus dilakukan.35
Hukum harus digali dan dicari dalam
masyarakat, sebab justru dalam masyarakat itulah tumbuh dan
berkembang nilai-nilai mengenai apa yang adil dan yang tidak adil, apa
yang patut, tidak patut, dan sebagainya. Karenanya, masyarakat
menaruh harapan banyak kepada para hakim untuk lahirnya sebuah
hukum yang dinamakan dengan hukum yurisprudensi. Hukum
yusiprudensi dianggap sebagai pengisi kekosongan hukum, maupun
sebagai pengharmonisasi dengan hukum dalam pengertian undang-
undang dengan hukum yang riil hidup dalam masyarakat, sehingga
yurisprudensi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum yang
keberadaannya sangat dibutuhkan agar tidak terjadi penafsiran yang
berbeda-beda terhadap suatu permasalahan.36
Istilah yurisprudensi berasal dari bahwa latin ‚iuris prudential‛ yang berarti ilmu pengetahuan hukum. Dalam bahasa
Belanda ‚jurisprudentie‛ yang berarti peradilan, khususnya ajaran
hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh peradilan, pengumpulan
35
Hal ini sesuai dengan kewajiban hakim sebagaimana tertuang
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman: ‚Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.‛
36 Moh. Hasan Wargakusumah, Pengingkatan Yurisprudensi sebagai
Sumber Hukum, rangkuman Karya Tulis Ilmiyyah di Bidang Hukum
(Mahkamah Agung: Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan
Humas Badan Urusan Admisnistrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia,
2014), 13-14.
83
yang sistematis dari putusan Mahkamah agung dan putusan Pengadilan
Tinggi yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan ptusan dalam
kasus yang serupa.37 Dalam bahasa Perancis dan Inggris digunakan
istilah jurisprudence yang berarti ilmu pengetahuan hukum yang
memuat prinsip-prinsip hukum positif dan hubungan-hubungan hukum,
putusan-putusan hakim yang lebih tinggi tingkatannya dan yang diikuti
secara tetap sehingga menjadi bagian dari ilmu pengetahuan.38
Dalam keputusan hukum anglo saxon, istilah jurisprudence
mengandung arti lebih luas dari istilah yusriprudensi dalam hukum
Eropa Kontinental. Di dalam keputusan Anglo Saxon, yurisprudensi
selain berarti hukum (dalam putusan) hakim, juga bermakna filsafat
hukum atau ilmu hukum. Sedangkan dalam kepustakaan hukum Eropa
Kontinental, yurisprudensi adalah kumpulan atau sari keputusan
Mahkamah agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan (kebijaksanaan) hakim sendiri yang diikuti
sebagai pedoman oleh hakim lain dalam memutus perkara yang sama
atau hampir sama.39
Dalam tataran praktek peradilan di Indonesia, menurut Kansil
yurisprudensi dikonsepsikan sebagai suatu keputusan hakim yang
berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh Pasal 22 A.B yang menjadi dasar keputusan hakim
lainnya di kemudian hari untuk mengadili perkara serupa dan keputusan
hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan,40
tidak
membedakan antara putusan hakim agung, hakim tingkat banding, atau
hakim tingkat pertama. Yang terpenting dari putusan hakim tersebut
adalah putusan yang memiliki nilai pertimbangan hukum tersendiri yang
belum diatur secara jelas dalam undang-undang, atau penerapan hukum
yang menyimpangi ketentuan hukum positif yang ada dengan
pertimbangan hukum sosiologis, filosofis, dan psikologis yang membuat
decak kagum bagi hakim lainnya dan kemudian tertarik untuk
37
Lihat dalam kamus hukum klasik Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia (Binacipta, 1983).
38 Lihat Lexique dSe Termes Yuridiques, (Paris: DALLOZ, 1974),
dan Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (USA: West Publishing a
Thamson Busines, 2004), 871-872. 39
Moh Daud Ali, Yurisprudensi Peradilan Agama dan Pengembangan Hukum Islam dalam Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997).
40 C.S>>.T Kansil, {Pengantar Tata Hukum dan Ilmu Hukum di
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 49.
84
mengikutinya dalam memutuskan perkara yang sama secara berulang-
ulang dalam waktu yang lama.
Berbeda dengan Soebakti yang berpandangan bahwa
yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung
sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang
sudah tetap (konstan).41
Di samping itu, putusan hakim baru dapat
dikategorikan sebagai yurisprudensi apabila kasus yang diputus oleh
hakim belum diatur dalam undang-undang.42
Berdasarkan pandangan
Soebakti di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur
dalam terbentuknya hukum yurisprudensi. Pertama, putusan hakim
merupakan putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Kedua, putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut
harus dbenarkan oleh Mahkamah Agung. Ketiga, kasus hukum yang
diputus oleh hakim belum diatur dalam undang-undang.
Ditilik dari pendapat Sudikno Mertokusumo menyatakan
bahwa yurisprudensi mempunyai beberapa pengertian. Yurisprudensi
dapat berarti setiap putusan hakim. Yurisprudensi dapat pula berarti
kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat
peradilan pertama sampai tingkat kasasi dan pada umumnya diberi
anotasi oleh pakar di bidang peradilan.43
Tidak semua putusan hakim
tingkat pertama atau putusan hakim tingkat banding yang walaupun
telah berkekuatan hukum tetap secara serta merta menjelma menjadi
hukum yurisprudensi. Untuk dapat dikategorikan sebagai hukum
yurisprudensi masih harus melalui tahapan proses eksaminasi dan notasi
dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah
memenuhi standar hukum yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat
dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam memutus
perkara yang sama.44
Dari berbagai pendapat di atas, kita dapat melihat
bahwa ternyata belum ada kesamaan pendapat dikalangan ahli hukum
maupun ahli bahasa hukum mengenai pengertian yurisprudensi.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1995 menyimpulkan bahwa
41
Soebekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (Bandung: PT Alumni, 1974), 117.
42 Soebekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung, 117. 43
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta: Liberty,
2004), 52. 44
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2008), 11-12.
85
putusan hakim baru dapat dikategorikan sebagai hukum yurisprudensi,
apabila putusan hakim tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan;
2. Putusan hakim tersebut harus merupakan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap;
3. Putusan hakim tersebut telah dijadikan dasar untuk memutus kasus
yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama;
4. Putusan hakim tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat;
5. Putusan hakim tersebut telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.45
Kelemahan mendasar pandangan tersebut adalah terletak pada
istilah ‚hakim‛ yang dikerucutkan hanya pada hakim agung saja,
sehingga hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding tidak
memiliki legalitas pembentukan hukum yurisprudensi. Kalau kita
perhatikan dalam praktik peradilan justru hakim pada tingkat pertama
(judex factie) yang langsung bersentuhan dengan masyarakat pencari
keadilan, mereka dapat mencium dan merasakan dari jarak dekat
tentang nilai-nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat
setempat, sehingga hakim dapat mempertimbangkan hukum kasus
tersebut bukan semata-mata dari aspek yuridis, lebih dari itu hakim
dapat mempertimbangkannya dari aspek sosiolois dan psikologis yang
memungkinkan hakim tersebut lebih berbobot dan memuaskan
masyarakat, dan dalam kasus yang telah lama diikuti oleh hakim
berikutnya.46
Hanya karena tidak banding dan tidak kasasi, meskipun
telah berkekuatan hukum tetap, putusan hakim pada tingkat pertama
tidak dapat lolos ke dalam kualifikasi hukum yurisprudensi, karena tidak
terpenuhinya syarat belum dibenarkan oleh Mahamah Agung, dan hanya
karena belum diberikan rekomendasi sebagai hukum yurisprudensi
tetap.
Dalam kajian akademis, kalangan praktisi sering membedakan
antara yurisprudensi tetap dan yurisprudensi belum tetap. Belum ada
kesepakatan defenisi baku tentang apa yang dimaksud dengan
yurisprudensi tetap dengan yurisprudensi belum tetap. Dari beberapa
pendapat dan pendirian beberapa Hakim Agung pengertian
yurisprudensi tetap dapat dirumuskan sebagai putusan-putusan hakim
atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan
45
Mahkamah Agung RI, Pembentukan Hukum melalui Yurisprudensi (Jakarta: t.p, 2003), 21.
46 H.M. Fauzan, ‚Hakim sebagai Pembentuk Hukum Yurisprudensi
di Indonesia,‛ Majalah Varia Peradilan, No. 244, (Maret 2006) : 40.
86
oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap (constant), putusan hakim
tersebut dijatuhkan dalam kasus hukum yang belum diatur dalam
undang-undang karena belum ada aturan hukumnya atau kurang jelas,
memiliki muatan kebenaran dan kedilan, kemudian diikuti oleh hakim-
hakim berikutnya secara tetap berulang-ulang dalam tempo yang lama,
telah melalui uji eksaminasi dan notasi oleh tim yurisprudensi
Mahkamah Agung dan telah direkomendasikan sebagai putusan yang
berkualifikasi sebagai yurisprudensi tetap.47
Putusan hakim yang
sedemikian itu akan serta merta menjelma menjadi hukum yurisprudensi
sebagai kaidah hukum yang membimbing hakim dan mengikat untuk
mengikutinya dalam menerapkan hukum kasus yang sama. Sedangkan
yurisprudensi tidak tetap yaitu putusan hakim yang belum diikuti oleh
hakim berikutnya secara tetap dan berulang-ulang sehingga masih ada
disparitas putusan, serta belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim
yurisprudensi hakim agung Mahkamah Agung, dan belum ada
rekomendasi menjadi yurisprudensi tetap.48
Timbulnya yurisprudensi bersumber pada Algemeene bepalingen van wetgeving voor Nederlandsch Indie (ketentuan umum
tentang peraturan perundang-undangan untuk Indonesia).49
AB yang
diundangkan pada tanggal 30 April 1847 staatsblad 2/1847 hingga saat
ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945,
yang berbunyi: ‚Segala badan negara dan peraturan perundang-undang yang ada masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini.‛ Selanjutnay Pasal 22 dari peraturan tersebut (AB)
menyatakan bahwa: ‚de reghter, die weigert reghtte preken onder voorwendsel van stilzwijggen, duisterheidder wet kan uit hoofed van rechtswigering vervolgd worden,‛ (Bilamana seorang hakim menolak
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebut,
tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena penolakan
mengadili. Oleh karenanya, hakim tidak boleh menolak menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti apabila undang-undang
tidak menyatakan perkara tersebut, maka hakim bersenang untuk
membuat peraturan sendiri (eigenregeling). Keputusan-keputusan ini
47
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2008), 12.
48 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum
Yurisprudensi, 12. 49
R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2 tentang Pihak-pihak dalam Perkara (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),xxxii.
87
dapat diikuti oleh hakim-hakim lain pada kasus yang sama. Keputusan
berdasarkan Pasal 22 AB tersebut menjadi sumber hukum bagi
pengadilan dan dinamakan yurisprudensi.
Eksistensi dan peranan yurisprudensi apabila ditinjau dari
perspektif teoritis dan praktek amatlah penting. Yurisprudensi
merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam
sistem hukum nasional memegang peranan sebagai sumber hukum.
Tanpa yursiprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai
pelaksanan kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan
dan stagnan. Diperlukan langkah yang sistematis untuk meningkatkan
yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional. Atas kebebasan
hakim jangan dipertentangkan dengan yurisprudensi tetap sebagai
sumber hukum nasional. Asas-asas kebebasan hakim menunjuk kepada
kebebasan hakim terhadap pengaruh eksekutif.50
Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima
sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law
maupun sistem hukum common law. Kedudukan yurispudensi sebagai
sumber hukum baik dalam kajian yuridis maupun akademis tidak perlu
diragukan lagi.51
Yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum di
Indonesia telah dikemukakan oleh beberapa pakar hukum antara lain
Prof. Dr. Supomo, Prof. Dr. Utrecht, Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro.52
Dalam kajian ilmu hukum, yurisprudensi sebagai sumber hukum telah
didudukkan bersama-sama sumber hukum lainnya setelah undang-
undang, kebiasaan (custom), di atas traktat, dan pendapat para sarjana
hukum (doktrin).53
Meskipun pada dasarnya Indonesia yang karena pernah dijajah
oleh Belanda menganut sistem hukum civil law/ statut law (berdasarkan
azas konkordansi), seiring berjalannya waktu, Indonesia tidak menganut
sistem hukum statut law secara ketat, begitupun sebaliknya tidak
menganut sistem hukum common law secara ketat. Kenyataannya di
50
Lihat Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, 293-294 sebagaimana dikutip dari badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) dalam seminar Hukum Nasional VI tanggal 25-29 Juli 1994. 51
H.M. Fauzan, ‚Hakim sebagai Pembentuk Hukum Yurisprudensi
di Indonesia,‛ Varia Peradilan, No. 244 (Maret 2006) : 44. 52
Paulus E. Lotulung, Yurisprudensi dalam Perspektif Pengembangan Hukum Administrasi di Indonesia,(dalam pidato pengukuhan
guru besar) tp, tt, 1994, 4. 53
C.S.T. Kansil, Pengantar Tata Hukum dan Ilmu Hukum di Indonesia , 49.
88
dunia tidak ada satu negara pun yang menganut murni salah satu sistem
hukum tersebut.54
Di Indonesia, kedua sistem tersebut diberi tempat dan
kesempatan yang sama dalam mengelola hukum Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari kecendrungan masyaarkat akademisi dan praktisi hukum di
Indonesia dalam menganalisa proses penemuan hukum yurisprudensi
yang cenderung ke arah penggabungan (kumulasi) terhadap kedua
sistem tersebut dengan skala prioritas mendahulukan hukum dalam
pengertian peraturan perundang-undangan, baru kemudian hukum yang
hidup dalam masyarakat sebagai penyelarasnya sehingga terjadi link
yang saling mengisi dan memperkuat.
Bagaimanapun juga, kenyataan dalam praktek, kedua sistem
hukum civil law dan common law dalam hubungannya dengan
yurisprudensi tidak perlu dipertentangkan secara mutlak dan diametral,
sebab kedua sistem tersebut saling mendekati dan saling memasuki
sehingga batas antara keduanya lebih bersifat doktrinal dalam dunia
teori saja.55
Bahkan menurut Paton dikotomi antara sistem civil law dan
common law secara murni sudah tidak dapat dipertahankan lagi pada
zaman modern sekarang ini, kedua sistem tersebut harus saling
mengisi.56
Sistem hukum civil law memang mengagungkan kodifikasi
dan memberikan tempat utama pada hukum tertulis. Maka peranan
putusan hakim (yurisprudensi) lebih dimaksudkan sebagai
pengembangan hukum itu sendiri, sebab undang-undnag (hukum
tertulis) tidak selalu lengkap dan tuntas mengatur segalanya dan
karenya selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat
sehingga perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai
dengan zaman. Adapun common law, secara teoritis memang pada
prinsipnya tidak mengenal kodifikasi itu, tentu berpaling pada hukum
yang diciptakan melalui putusan-putusan hakim (judge made law) sebagai sumber pembentukan hukum sehingga dengan demikian
berlakunya doktrin ‚binding precedent‛ dengan azas ‚stare decisis‛ tersebut memang merupakan kebutuhan.
Sangat mungkin terjadi dalam kasus tertentu akan dijumpai
pertentangan yang tajam antara hukum dalam pengertian undang-
undang dengan hukum yurisprudensi yang sudah tetap. Jika didekati
dengan kedua sistem hukum tersebut maka sistem statut law pasti akan
54
Lihat Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), 281-282.
55 Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi sebagai Sumber
Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,
1998), 12. 56
Paton, (1951), 182-198.
89
mengatakan hukum undang-undang yang harus dimenangkan,
sebaliknya common law akan dengan lantang menyatakan hukum yang
hidup dalam masyarakat yang harus dimenangkan. Meminjam pendapat
Moh. Mahfud MD yang menyatakan, ‚undang-undang merupakan
produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
saling bersaingan,‛57
sehingga sangat dimungkinkan ada beberapa nilai
hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat yang terabaikan,
sehingga tidak masuk dalam formulasi rumusan undang-undang. Atas
dasar ini jika terjadi sengketa antara undang-undang yang berhadapan
dengan nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat (hukum
yurisprudensi), maka hukum yurisprudensi harus didahulukan
penerapannya dari pada undang-undang.
C. Penemuan Hukum dan Peranan Putusan Hakim dalam Melindungi
Anak-anak Korban Perceraian Orang Tua
Para pembentuk undang-undang pada umumnya berkeyakinan
bahwa undang-undang yang dihasilkannya mampu mangakomodasi dan
mengantisispasi pelanggaran-pelanggaran hukum terkait dengan muatan
yang tercantum dalam peraturan tersebut. Jika mengikuti teori konsepsi
kehendak dari John Austin,58
kenyakinan seperti demikian dapat
dibenarkan mengingat para pembentuk undang-undang sudah
memastikan bahwa undang-undang itu dibuat dengan menampung
kehendak semua pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, undang-undang
yang dihasilkan sudah dipastikan telah menampung rasa keadilan dan
memuat jaminan kemanfaatan jika diterapkan. Hakim yang menjumpai
adanya peristiwa konkret yang dihadapkan di muka persidangan dengan
sendirinya tinggal menerapkan saja undang-undang yang ada. Jadi,
dengan menerapkan undang-undang dengan sendirinya sudah menjamin
tegaknya keadilan dan kemanfaatan.
57
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta:LP3ES,
1998), 7. 58
Menurut John Austin: ‚A positive legal rule is to be equated with the expression of an act of wishing,‛ sedangkan ‚ A legal system is to be equated with all the positive legal rules emanating from the same sovereign will.‛ Dengan demikian, ‚ the nation of law as a command of the sovereign. Anything that is not a command is not law. Only general command counts as law, and only commands emanating from the sovereign are positive law.‛ Lihat
J.W Haris, Law and Legal Science: An Inquiry into Concepts Legal Rule and Legal System (Oxford: Clarendon Press, 1982), 24. Lihat juga Raymond
Wacks, Jurisprucence (London: Blackstone Press, 1995), 47.
90
Keyakinan di atas sebenarnya sebatas asumsi. Kenyataannya,
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sering menghadapi suatu
keadaan dimana hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Het recht hinkt achter de feiten aan bahwa hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang peristiwa
konkret.59
Seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu atau
menciptakan untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Dalam
memutuskan suatu perkara, hakim harus mempunyai inisiatif sendiri
dalam menemukan hukum. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa: ‚hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.‛
Melalui penegasan normatif di atas, secara legal formal
terbuka ruang penemuan hukum oleh hakim. Kewenangan penemuan
hukum dibuka untuk memberikan penjelasan terhadap ketentuan
undang-undang yang belum jelas atau melengkapi pengaturan normatif
yang tidak lengkap dan dimungkin untuk mengisi kekosongan hukum
dari suatu undang-undang. Ketidaklengkapan, ketidakjelasan dan
kekosongan hukum merupakan konsekuensi dari sebuah realitas bahwa
teks undang-undang yang ada tidak selalu sempurna. Apalagi laju
undang-undang yang statis dibandingkan dengan perkembangan
masyarakat yang sifatnya sebatas moment opname sehingga harus
dikontekstualisasikan oleh hakim. Di sinilah terjadi legal gap antara
hukum di atas kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam
kenyataan (law in action; the living law). Dalam praktek di ruang-ruang
pengadilan, kesenjangan yang terjadi ini harus disiasati oleh hakim.
Hakikat dari tindakan menyiasati kesenjangan inilah yang disebut
dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Pembentukan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah
apa yang dimaksud dengan penemuan hukum pada lazimnya yaitu
proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
konkrit.60
Berdasarkan pendapat di atas, Sudikno Mertokusumo
menegaskan bahwa tidak hanya hakim yang memiliki kewenangan
membentuk hukum, aparat hukum atau pejabat lainnya pun dalam
menerapkan peraturan hukum dapat dikategori sebagai pembentuk
hukum.
59
Shidarta, Penemuan Hukum Melalui utusan Hakim dalam
makalah yang dipresentasikan di Hotel Grand Angkasa Medan, 2011, 2. 60
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), 49.
91
Memang hakim bukan satu-satunya yang menafsirkan
undang-undang, tetapi menurut Bagir Manan harus diakui peranan
hakim sangat lah penting. Pertama, hakim yang mewujudkan hukum
(dalam arti konkrit). Melalui putusan hakim, ketentuan undang-undang
(hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Kedua, hakim bukan
hanya menyatakan (menetapkan) hukum bagi yang berperkara
(menciptakan hukum bagi pihak-pihak), tetapi dapat juga menciptakan
hukum yang berlaku umum, termasuk mengarahkan perkembangan
hukum.61
Atas peran yang demikian. Kedudukan hakim sangat strategis
dalam sebuah negara hukum.
Pada dasarnya dalam suatu negara hukum seperti Indonesia,
hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu
sendi dasar yang pokok dan utama.62
Melalui representasi hakim yang
demikian, pemaknaan negara hukum tidak diartikan sebagai supremasi
undang-undang. Yang dikehendaki oleh konstitusi adalah supremasi
hukum, yang dalam konteks ini sesuai dengan Pasal 24UUD 1945
menyatakan bahwa: ‚kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.‛ Termasuk dalam kategori kemerdekaan adalah
kemerdekaan dalam memaknai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan,
sehinggga hakim tidak mutlak terikat dengan undang-undang.
Hakim harus menafsirkan dan menggali kandungan norma
yang terdapat dalam undang-undang63
sesuai dengan perkembangan
nilai dan rasa keadilan masyarakat. Jika hakim tidak diberikan
kewenangan untuk melakukan penemuan hukum, maka kekosongan
hukum yang terjadi akibat tidak sempurnanya undang-undang akan
dapat berubah menjadi kekacauan.64
Oleh karenanya dalam melakukan
usaha pencapaian terhadap nilai-nilai keadilan, hakim diberikan
keleluasaan untuk melakukan penafsiran-penafsiran, penemuan-
penemuan hukum, bahkan menurut aliran progresif, hakim
61
Bagir Manan, Penafsiran sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Idris, dkk, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (Bandung:
Fikahati Aneska, 2012), 84. 62
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan (Bandung:
Citra Adytia Bakti, 2012), 54. 63
Luhut M>.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu studi Teoritis mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Jakarta: Fakultas
Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia & Papas sinar Sisanti, 2009), 188. 64
Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi Integritas Hakim, {Pengawasan, dan Hukum Acara (Jakarta: Mahkamah Agung, 2011), 134.
92
dimungkinkan untuk melakukan penciptaan hukum jika kenyataannya
telah mengharuskan itu.65
Dalam konteks yang demikian, muncul
pemikiran yang berpendapat bahwa adil tidaknya suatu undang-undang
berada di pundak hakim,66
sehingga hakim dimungkinkan melakukan
pembentukan hukum yang selanjutnya dalam kondisi tertentu diikuti
secara konsisten oleh hakim lain yang dapat dikategorikan sebagai salah
satu sumber hukum formil (yurisprudensi). Secara praktis, pembentukan
hukum oleh hakim ini juga dapat diikuti oleh para penegak hukum dan
secara akademis diterima oleh akademisi hukum sebagai salah satu
khazanah pengembangan ilmu hukum.
Penemuan hukum identik dengan penafsiran hukum yang
dalam istilah lain dikenal sebagai hermeunetik hukum67
yang bermula
dari perkembangan yurisprudensi di Inggris yang muncul pada
dasawarsa terakhir abad ke-16 yang ditemukan dalam dialog-dialog dan
risalah karena adanya serangkaian faktor sosial eksternal dalam
perkembangan ilmu hukum. Setelah itu pada dasawarsa pertama abad
ke-27 tata urutan dan disiplin ilmu mengenai yurisprudensi berubah ke
arah metode hukum yang bersifat yuridis. Perubahan ini sebenarnya
diawali oleh wacana teori yang berasal dari Eropa Kontinental dan
Skolastisisme yang dimaksudkan untuk menandingi keilmuan dan
kepiawaian para pengacara Kontinental Eropa sehingga tradisi hukum
Inggris dapat lebih berjaya. Prinsip-prinsip metode skolastik
memungkinkan literatur yurisprudensi mengubah tradisi-tradisi hukum
yang mengikuti peraturan sesuai dengan sistem negara menjadi
hermeneutika hukum atau ilmu interpretasi (scientia interpretationis). Hermeneutika hukum berfungsi untuk melindungi wacana-wacana
hukum dan mengeluarkan pemaknaan hukum dari tekstualitas menuju
kontekstualitas yang sangat berguna bagi yurisprudensi.
65
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra NegaraKutawaringin,
Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana (Bandung: Alfabeta, 2013), 26.
66 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2012), 211. 67
Gregory Leyh mengemukakan hermeneutika hukum adalah: ‚legal hermeneutics is, then in reality no special case but is on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problrm and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities,‛ dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics (University of
California Press, 1992). Lihat juga dalam Jazim Hamidi, Metode Penemuan Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2005), 50 bahwa interpretasi dalam penemuan
hukum sudah lama dikenal dengan hermeneutika yuridis.
93
Hakim dianggap tahu tentang hukum (ius curia novit) dan
hakim diberi kebebasan dalam meutuskan perkara. Oleh karenanya
setiap persoalan apapun yang dihadapkan ke pengadilan wajib untuk
diperiksa dan diputuskan, sebagaimana dalam Pasal 10 UU Kekuasaan
Kehakiman No. 48 Tahun 2009, ‚pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.‛
Para ahli hukum telah merumuskan seperangkat metode dalam
penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo,68
metode penemuan
hukum dibagi menjadi tiga, yaitu metode interpretasi, metode
argumentasi, dan metode penemuan hukum bebas. Metode interpretasi
digunakan dalam hal peraturan perundang-undangannya ada tetapi tidak
atau kurang jelas. Metode argumentasi digunakan dalam hal aturan
perundang-undangannya tidak lengkap. Sedangkan metode penemuan
hukum bebas diperuntukkan bagi peristiwa-peristiwa yang tidak
dijumpai aturan perundang-undangannya yaitu membentuk pengertian-
pengertian hukum.
Hakim berperan dalam mengubah, membentuk, dan
menemukan hukum (rechtsvinding) melalui penafsiran (intepretasi) dan
konstruksi hukum. Menurut Lilik Mulyadi, secara teoritis dikenal
berbagai penafsiran dalam penemuan hukum.69
Pertama penafsiran
gramatikal, merupakan cara menafsirkan makna ketentuan undang-
undang dengan menguraikan sesuai dengan bahasa, susunan, dan
bunyinya. Kedua penafsiran historis, yaitu menafsirkan menurut sejarah
terjadinya undang-undang yang dapat berupa penafsiran menurut sejarah
hukum dan sejarah penetapan peraturan perundang-undangan. Ketiga
penafsiran sistematika, merupakan cara menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
cara mengorelasikan dengan undang-undang lainnya. Keempat
penafsiran teleologis/sosiologis, yaitu menafsirkan suatu peraturan
hukum yang disesuaikan dengan situasi sosial sehingga peraturan
hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat. Kelima penafsiran autentik, merupakan penafsiran undang-
undang sesuai dengan penjelasan autentik yang terdapat dalam undang-
undang yang bersangkutan. Keenam penafsiran komparatif, yaitu
menafsirkan dengan meperbandingkan suatu undang-undang dengan
68
Selengkapnya lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2005), 168-184.
69 Lihat dalam Lilik Mukyadi, Putusan hakim dalam Hukum Acara
Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), 295-296.
94
undang-undang lainnya sehingga mendapat suatu kejelasan. Ketujuh
penafsiran antisipatif atau futuristik, yaitu cara menafsirkan dengan
melihat penjelasan undang-undang yang berpedoman pada undang-
undnag yang belum mempunyai kekuatan berlaku hukum. Kedelapan
penafsiran restriktif, merupakan metode interpretasi yang bersifat
membatasi. Kesembilan penafsiran ekstensif, yaitu metode interpretasi
yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi
gramatikal.
Hampir senada dengan Lilik, Abdul Manan70
membedakan
metode interpretasi beserta jenis-jenisnya. Pertama metode interpretasi
sahih (substantif/ untentik), merupakan penafsiran yang pasti terhadap
arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembuat undang-
undang (in concerto). Kedua interpretasi gramatikal (taalkundig), merupakan penafsiran menurut bahasa atau kata-kata. Ketiga penafsiran
sistematis atau logis, yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang
satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
bersangkutan. Keempat penafsiran historis yang didasarkan kepada
sejarah terjadinya peraturan tersebut. Dalam praktek peradilan,
penafsiran historis dapat dibedakan anatara penafsiran menurut sejarah
lahirnya undang-undang (wetshistorisch) dengan penafsiran menurut
sejarah hukum (rechtstorisch). Kelima penafsiran sosiologis atau
teleologis, yaitu penafsiran yang disesuaikan dengan kedaan
masyarakat. Keenam penafsiran komperatif atau perbandingan yaitu
dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif,
antara hukum nasional dengan internasional. Ketujuh panafsiran
restriktif untuk menjelaskan undang-undang dengan cara ruang lingkup
ketentuan undang-undang dibatasi dengan mempersempit arti suatu
peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Kedelapan
penafsiran ekstensif yang membuat penafsiran melampaui batas yang
diberikan oleh penafsiran gramatical. Kesembilan metode penafsiran
futuristik yaitu penafsiran undang-undang yang bersifat antisipasi
dengan berpredoman kepada undang-unang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (ius constituendum). Jika telah melakukan berbagai cara menafsirkan dalam ilmu
hukum hakim masih belum dapat memutuskan perkara karena dasar
pertimbangan hukumnya belum valid. Maka ilmu hukum masih
menyediakan perangkat upaya mencari atau menemukan hukum yang
70
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama, Makalah dsampaikan pada acara Rakernas
Mahkamah Agung RI tangal 10-14 Oktober 2010, di Balik Papan Kalimantan
Timur, 5-10.
95
disebut dengan konstruksi hukum sehingga hakim dapat meramu sistem
hukum formal dan sistem hukum materiil dengan ketentuan asasnya
sama. Dalam melakukan konstruksi hukum, hakim menemukan hukum
harus menggunakan akalnya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa
melakukan konstruksi hukum adalah suatu usaha dan pekerjaan dengan
akal atau merupakan suatu proses berfikir dari hakim.71
LB Curzon sebagaimana yang dikutp oleh Ahmad Ali,72
dan
telah dikutip juga oleh Abdul Manan,73
mengatakan bahwa interpretasi
dan konstruksi mempunyai arti yang berbeda. Interpretasi hanya
menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang, sedangkan
konstruksi mengandung arti pemecahan atau menguraikan makna ganda,
kekaburan, dan ketidakpastian dari perundang-undangan, sehingga tidak
bisa dipakai dalam peristiwa konkrit yang diadili.
Dalam melakukan konstruksi dalam peneman hukum dan
pemecahan masalah hukum, hakim harus mengetahui tiga syarat utama.
Pertama konstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum positif
yang bersangkutan. Kedua, dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada
pertentangan logis di ddalamnya. Ketiga, konstruksi harus dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang suatu hal, agar dapat
memnuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bai pencari keadilan.74
Dalam praktek peradilan, rechtsvinding dengan metode
kontruksi dapat berbentuk konstruksi dengan metode argument peranalogian, argumentum a‘contrrio, pengongkretan hukum
(rechtsvervijnings), dan fiksi hukum. Konstruksi dengan metode
argument peranalogian dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan
putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi
peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.
Konstruksi denganmmetode argumentum a‘contrrio yaitu menggunakan
penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
suatu peristiwa tertentu, berarti peristiwa itu terbatas pada peristiwa
tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku sebaliknya. Konstruksi
dengan metode pengkongkretan hukum atau disebut juga dengan
penghalusan hukum, dan penyempitan hukum karna peraturan
71
Lihat E. Utrech, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar
Baru, 1959), 198-201. 72
Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), 167.
73 Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek
Hukum Acara di Peradilan Agama, 7. 74
Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, 192.
96
perundnag-undangannya terlalu umum dan sangat luas ruang
lingkupnya, maka masalah hukum itu dipersempit sehingga dapat
diterapkan dalam suatu perkara yang kongkrit. Fiksi hukum adalah
metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakata baru
sehingga tampil suatu personifikasi baru. Fungsi fiksi hukum di samping
untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga untuk
mengisi kekosongan hukum utama.
Dengan memperhatikan poin-pon di atas, apabila dianalisis
secara global, pada asasnya penemuan hukum memerlukan keahlian
khusus untuk melakukannya. Di samping itu jika diperhatikan lebih
intens, dimensi penemuan hukum mencakup ruang lingkup terhadap
beberapa taksiran, yaitu undang-undang kurang jelas mengatur sesuatu
perbuatan sehingga hakim harus mengongkritkan aturan tersebut pada
kasus tertentu dengan melakukan penemuan hukum melalui penafsiran
dan konstruksi hukum, undang-undang tidak mengatur perbuatan
tersebut karena aturan bersifat umum (undang-undang), sedangkan di
sisi lain ada peristiwa kongkrit (in concreto) yang harus diperiksa,
diadili, dan diputus dengan segera sehingga hakim melakukan penemuan
hukum melalui penafsian dan konstruksi hukum. Undang-undang
mengaturnya secara jelas, tetapi hakim dengan melihat kasus in concreto melihat bahwa undang-undang yang akan diterapkan
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan perasaan hukum
masyarakat. Konkretnya, ada pertentangan antara kepastian hukum dan
nilai-nilai keadilan. Jika dalam hal ini hakim mempergunakan hati
nurani, maka cakrawala berfikir mengacu pada dimensi sesuai dengan
aliran sociological jurisprudence atau fragnatic legal realism75 dimana
dalam aliran ini menyatakan bahwa hukum yang berkembang dalam
masyarakat merupakan hukum yang paling tepat untuk diterapkan.
Dalam proses lahirnya putusan hakim, berlangsunglah apa
yang disebut dengan penalaran hukum. Kenneth J. Vandevelde
menekankan dua hal setiap kali orang berbicara tentang penalaran
hukum atau berfikir ala ahli hukum. Menurutnya, The phrase to think like a lawyer encapsulates a way of thinking that is characterized by boat the goal pursued and the method used.76
Berdasarkan
pernyataannya Kenneth, persoalan pertama (goal pursued) berdimensi
75
Tokoh utama sociological jurisprudence adalah Eugeb Ehrlich
(1862-1922), dan Rroscoe Pound (1870-1964). D indonesia aliran ini
dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dan Satjipto Rahardjo dalam
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: 2007), 164. 76
Kenneth J. Vandevelde, Thinking Like A Lawyer: An Introduction to Legal Reasoning (Colorado: Westview Press, 1996), 1.
97
aksiologis, sedangkan yang kedua (methode use) berdimensi
epistimologis.
Terkait dengan langkah-langkah penalaran hukum, pandangan
Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa seorang sarjana hukum
(termasuk hakim) selayaknya mempunyai kemampuan menyelesaikan
perkara yuridis (the power of solving legal problems) sangat perlu untuk
diperhatikan. Kemampuan ini teridiri dari tiga kegiatan utama yaitu
merumuskan masalah hukum (legal problem indentification), memecahkannya (legal problem solving), dan mengambil keputusan
(decision making).77 Kenneth J. Vandevelde mengemukakan lima langkah
penalaran hukum, yakni:78
1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law).
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan
hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sourches of law).
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang
koheren yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus
di bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent stucture)
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts) 5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk
memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu
dengan mengguakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan
hukum dalam hal memcahkan kasus-kasusu sulit (apply the structure of rules ti the facts).
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh
langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu
kasus, yaitu79
1. Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau
memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta). Artinya,
77
Lihat Sudikno Mertokusumo, ‚Pendidikan Hukum di Indonesia
dalam sorotan‛ Harian Kompas, 7 November 1990, 4-5. 78
Kenneth J. Vandevelde, Thinking Like A Lawyer: An Introduction to Legal Reasoning (Colorado: Westview Press, 1996), 2.
79 Gr van der Brught dan J.D.C. Winkelman, ‚Penyelesaian Kasus,‛
terjemahan B. Arief Shidarta, Jurnal Pro Justitia XII, No. 1 (Januari 1994) : 35-
36.
98
memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus
(menskematisasi).
2. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis
(mengkualifikasi).
3. Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan.
4. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan
hukum itu.
5. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus.
6. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan
penyelesaian
7. Merumuskan penyelesaian.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan enam
langkah utama dalam penalaran hukum yaitu, mengidentifikasi fakta-
fakta kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus
yang riil terjadi, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga dapat menetapkan
perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis, menyeleksi sumber hukum
dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan
yang terkandung di dalam aturan hukum itu, sehingga dihasilkan suatu
struktur aturan hukum yang koheren, menghubungkan struktur aturan
dengan struktur kasus, mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang
mungkin, dan menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk
kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap anak-anak
akibat perceraian orang tua meskipun undang-undang maupun peraturan
lainnya tentang perlindungan telah diundangkan, namun keberadaan
berbagai undang-undang tersebut tidaklah berdiri sendiri. Dalam proses
menerapkan dan menegakkan hukum tidak serta merta hanya dengan
hukum itu sendiri, ada komponen lain yang dapat mendukung penerapan
dan penegakan hukum. Proses bekerjanya hukum itu dpengaruhi oleh
tiga komponen penting yang saling terkait satu sama lain sebagaimana
digambarkan dalam model of law and development oleh Robert B.
Seidman dinyatakan bahwa komponen bekerjanya hukum meliputu tiga
unsur yang saling terkait dan saling mempengaruhi, yaitu proses
pembuatan hukum (law making processes), proses penegakan hukum
(law implementing processes), dan pemakai hukum (role occupant).80 Dalam memilih putusan mana yang harus dijatuhkan yang
penting bukan sekadar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu menurut
80
Robert B. Seidman, The State Law and Development (New York:
St. Martin’s Press, 1978), 75-77.
99
undang-undang, tetapi yang terpenting adalah justru setelah putusan itu
dijatuhkan yaitu dapat tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu
diterima, baik menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan
konsistensi sistem. Pilihan itu ditentukan oleh pandangan pribadi hakim
tentang pernyataan putusan mana yang paling dapat diterima oleh para
pihak yang bersangkutan dan oleh masyarakat.
Hakim sebagai salah satu komponen bekerjanya hukum
sebagaimana kategorisasi dari Robert B. Seidman di atas dapat
memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban perceraian
lewat putusannya. Satu hal yang harus ada dalam mindset hakim adalah
bahwa dalam setiap perceraian, anak akan menjadi pihak yang paling
disrugikan dan perlu menjadi salah satu pertimbangan dalam memutus
atau meneruskan hubungan rumah tangga suami istri. egoisitas orang
tua untuk bercerai tidak boleh mengorbankan masa depan anak, anak
harus dilindungi hak-hak dan kepentingannya. Bila terjadi perceraian,
mejelis hakim dapat mempertimbangkan untuk memberikan kepada
anak akan hak-haknya, baik yang diminta oleh yang berperkara maupun
yang tidak diminta, karena hakim secara ex officio bisa
mempertimbangkan memberikan hak-hak anak tersebut.
101
BAB IV
YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG
DALAM PENYELESAIAN PERKARA HADANAH ANAK
DI BAWAH UMUR
Bab ini menganalisis tiga yurisprudensi Mahkamah Agung
tentang hak hadanah pada ayah pasca perceraian. Analisis yurisprudensi
dengan memakai dua pendekatan yaitu pendekatan hukum positif dan
pendekatan hukum Islam. Sebelum menganalisis dan menguji
yurisprudensi-yurisprudensi tersebut, penelitian ini terlebih dahulu akan
memaparkan tentang posisi kasus/ duduk perkara sejak pertama kali
perkara diajukan oleh para pihak ke pengadilan tingkat pertama, setelah
itu pengadilan tingkat kedua (tahap banding), kemudian pada tingkat
kasasi yang diselesaikan oleh Mahkamah Agung. Hal ini penting untuk
dipaparkan dan dijelaskan terlebih dahulu karena pengadilan tingkat
pertama merupakan pengadilan yang pertama kali menyelesaikan kasus
dan langsung berhadapan dengan para pihak yang bersengketa,
selanjutnya menganalisis berkas perkara pada tingkat banding dan
kasasi, sehingga pada akhirnya nanti bisa didapatkan sebuah kajian yang
komprehensif.
A. Yurisprudensi Nomor 210K/AG/1996
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara
Enny Christina binti H. Ginting1 mengajukan gugatan hak
pengasuhan dan pemeliharaan anak ke Pengadilan Agama Bandung
terhadap Rahayu Sugih Bagja bin Adi Gunasih.2 Gugatan tersebut
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung tertanggal 30
Mei 1995 dalam register perkara Nomor: 433/Pdt.G/1995/PA.Bdg.
Dalam surat gugatan, Penggugat mendalilkan bahwa Penggugat dengan
Tergugat pada tanggal 24 Desember 1993 telah melangsungkan
pernikahan di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Coblong
Kotamadya Bandung. Hasil dari pernikahan tersebut, Penggugat dan
Tergugat telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Gillbart
Revenhill Mesiasno dengan kutipan surat kelahiran dari Kantor Catatan
Sipil Kotamadya Bandung No. 566/1995 tanggal 12 Januari 1995. Pada
saat sekarang ini antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi
perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama Bandung dengan
1 Untuk selanjutnya cukup disebut sebagai Penggugat.
2 Untuk selanjutnya cukup disebut sebagai Tergugat.
102
putusan tanggal 3 Ramadhan 1415 H bertepatan dengan 3 Februari 1995
dalam perkara No. 86/Pdt.G/1995/PA.Bdg. Pada tanggal 11 Januari
1995 pukul 11.30 WIB, Ghillbert Revenhill Mesiasno yang berumur tiga
bulan, dan sekarang baru berumur tujuh bulan telah dibawa oleh
Tergugat dari rumah Penggugat tanpa seizin Penggugat. Obyek
sengketa tersebut masih bayi yang berusia kira-kira tujuh bulan yang
secara psikologis maupun medis sangat memerlukan pengurusan dan
pemeliharaan ibu. Penggugat menyatakan bahwa keadaan semenjak
ditinggalkan obyek sengketa sangat tersiksa lahir dan bathin, dan
Penggugat sebagai ibu kandung masih berkesanggupan untuk
memelihara dan mengurus serta mendidik obyek sengketa tersebut.
Upaya untuk mengambil obyek sengketa oleh Penggugat dari tangan
Tergugat telah diusahakan, namun pihak Tergugat tidak mau
memberikan sebelum ada putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap sesuai dengan surat Tergugat pada tanggal 8
Maret 1995. Agar gugatan Penggugat tidak sia-sia, Penggugat meminta
agar hakim memberikan putusan sela. Penggugat menuntut agar obyek
perkara, berada dalam pemeliharaan dan penguasaan Penggugat, supaya
Tergugat atau siapa saja yang menguasai obyek perkara menyerahkan
kepada Penggugat tanpa syarat. Dalam provisi, Penggugat meminta agar
Penggugat ditetapkan sebagai wali ibu dari anak yang bernama Ghilbert
Revenhill Mesiasno yang masih berumur 8 bulan selama proses perkara
berjalan menunggu adanya putusan akhir yang telah mempunyai
kekuatan hukum pasti.
Berdasarkan gugatan Penggugat di atas, pihak Tergugat
menjawab gugatan Penggugat dengan mengemukakan dalam konpensi
bahwa Tergugat dalam konpensi menyangkal dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Penggugat kecuali apa yang diakuinya secara terang-
terangan. Benar adanya bahwa Tergugat dalam konpensi telah menikah
dengan Penggugat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Coblong
Kotamadya Bandung yaitu pada tanggal 29 April 1994 sesuai dengan
Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor: K.06/PW.01.1/207/III/95, akan
tetapi bukan pada tanggal 24 Desember 1993 sebagaimana dikemukakan
oleh Penggugat konpensi dalam gugatannya. Benar adanya dari
pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi
nama Robby Raven Akbar Gumas sesuai dengan Kutipan Akta
Kelahiran No. 1208/1995 dari Kantor Catatan Sipil Kotamadya DT. II
Bandung, dan bukan bernama Ghilbert Revenhill Mesiasno sebagaimana
yang tertulis dan tercantum dalam Kutipan Akta Kelahiran No.
566/1995 dari Kantor Catatan sipil Kotamadya DT. II Bandung. Akta
Kelahiran Nomor 566/1995 dengan Ghilbert Revenhill Mesiasno
103
tersebut dibuat oleh Penggugat tanpa sepengetahuan Tergugat sehingga
nama dari anak tersebut tidak sesuai dengan nama yang diberikan oleh
Tergugat ketika melapor kepada Ketua RT. 04 RW. 05 Kelurahan
Cipedes Kecamatan Sukajadi Kotamadya Bandung pada tanggal 23
September 1994 dan sekarang sudah mempunyai Akta Kelahiran dari
Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung dengan Nomor: 1208/1995
yang tertulis dan tercatat atas nama Robby Raven Akbar Gumas, maka
oleh karenanya Akta Kelahiran No. 566/1995 tersebut harus dinyatakan
tidak sah dan batal demi hukum.
Tergugat mendalilkan bahwa telah membawa anak kandung
Penggugat dan Tergugat dari Penggugat demi kepentingan masa depan
anak. Antara Tergugat dan Penggugat terdapat jurang pemisah yang
sangat dalam yaitu mengenai agama yang dianut. Tergugat menganut
agama Islam, sedangkan Penggugat menganut agama Kristen, sehingga
Tergugat sangat mengkhawatirkan masa depan anak apabila diasuh dan
dididik oleh Penggugat. Tergugat dalam konpensi juga meminta
ditetapkan sebagai wali ayah dari anak kandung yang berhak mengurus
dan mendidik anak hingga dewasa serta menjadikannya sebagai seorang
muslim yang bertaqwa kepada Allah swt sesuai dengan agama yang
dianut oleh Tergugat yaitu agama Islam.
Tergugat juga mendalilkan bahwa ia selalu diawasi oleh
beberapa orang preman yang sengaja diterorkan oleh Penggugat kepada
Tergugat baik di tempat tinggal Tergugat maupun di tempat kerja
Tergugat yang pada akhirnya Tergugat dituduh menculik anak sehingga
Tergugat ditangkap oleh Polisi dari tempat kerja tertanggal 16 Maret
1995, namun pada akhirnya Tergugat dibebaskan dari sanksi hukum
dalam pemeriksaan yang dituduhkan kepada Tergugat sesuai dengan
Pasal 330 ayat 1 dan 2 jo Pasal 331 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Dalam petitum provisi, Tergugat tidak menerima/ menolak
permohonan Penggugat yang ingin ditetapkan sebagai wali ibu dari
anak Penggugat dan Tergugat. Tergugat berkeberatan apabila anak yang
sekarang sedang diasuh dan didik oleh Tergugat agar menjadi seorang
muslim yang bertaqwa kepada Allah swt diasuh oleh seorang ibu yang
yang beragama non muslim. Tergugat menyatakan menolak dan
berkeberatan atas nama anak yang ditulis Ghilbert Revenhill Mesiasno,
karena nama yang sebenarnya dalah Robby Raven Akbar Gumas, dan
umurnya bukan 8 bulan melainkan 10 bulan karena lahirnya tanggal 21
September 1994. Keinginan Penggugat dalam provisi untuk ditetapkan
sebagai wali ibu dari anak bertentangan dengan keinginan yang termuat
dalam surat yang ditujukan kepada Tergugat tertanggal 9 Juli 1995 yang
104
pada pokoknya menyatakan bahwa pengurusan anak dan pengasuhannya
akan diserahkan kepada orang lain (baby sitter), bukan diasuh oleh
Penggugat sendiri melainkan akan diupahkan kepada orang lain,
sedangkan anak tersebut sekarang ini sedang diurus dan dididik oleh
Tergugat sendiri beserta orang tua kandung Tergugat. Maka dalam hal
ini menurut Tergugat, keinginan Penggugat dalam konpensi patut untuk
ditolak karena pada kenyataannya Tergugat mampu untuk mengurus
dan mendidik anak kandung sendiri. Oleh karena itu, Tergugat meminta
Majelis Hakim agar Tergugat ditetapkan sebagai wali ayah dari anak
kandungnya yang bernama Robby Raven Akbar Gumas yang masih di
bawah umur dan menolak gugatan Penggugat dalam konpensi untuk
seluruhnya atau setidak-tidaknya dapat menyatakan bahwa gugatan
Penggugat tidak dapat diterima.
Berdasarkan jawaban Tergugat, Penggugat pun juga telah
mengajukan replik secara tertulis tertanggal 20 Juli 1995 yang isi
selengkapnya telah dicatat dalam berita acara. Begitupun terhadap
replik Penggugat, Tergugat pun telah mengajukan duplik secara tertulis
tertanggal 27 Juli 1995 yang isi selengkapnya juga telah dicacat dalam
berita acara. Berdasarkan dalil-dalil penggugat dan tergugat di atas,
Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung telah menjatuhkan putusan
sela yaitu megadili: 1. Menolak gugatan provisi Penggugat, 2.
Menangguhkan putusan perihal biaya perkara hingga putusan akhir.3
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Agama
Bandung (Pengadilan Tingkat Pertama)
Yang menjadi pokok sengketa dalam gugatan ini adalah
sengketa tentang pengurusan anak yang dilahirkan dari perkawinan
antara Penggugat konpensi dan Tergugat konpensi. Majelis hakim
menimbang berdasarkan gugatan Penggugat konpensi dan jawab
menjawab antara Penggugat konpensi dan Tergugat konpensi dan telah
ditemukan fakta-fakta di persidangan. Dalam sengketa penguasaan anak
yang harus diperhatikan adalah kepentingan anak, yaitu yang menguasai
anak tersebut harus orang yang mampu menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak tersebut. Anak telah dilahirkan dari perkawinan antara
Penggugat konpensi dan Tergugat konpensi yang dilaksanakan secara
Islam. Maka secara a quo anak tersebut adalah beragama Islam, dan
karenanya anak tersebut harus dididik secara Islam dan rohaninya harus
3 Selengkapnya lihat dalam putusan sela pada perkara No.
433/Pdt.G/1995PA.Bdg. 1-16.
105
diisi dengan ajaran-ajaran Islam serta harus dijaga kelestarian
agamanya, yaitu agama Islam.
Dalil penggugat konpensi yang menyatakan bahwa Penggugat
konpensi beragama Islam yang dibantah oleh Tergugat konpensi, dan
berdasarkan keterangan saksi-saksi ternyata Penggugat konpensi
memperlihatkan prilaku sebagai yang bukan beragama Islam, selalu
memakai kalung mas berliontin salib, dan pernah mengajak Tergugat
merayakan natal Kedua prilaku tersebut sudah menjadi pengetahuan
umum yang biasa dilakukan oleh orang yang beragama Kristen.
Keyataan-keyataan tersebut di atas apabila dihubungkan
dengan dalil yang artinya: ‚Barang siapa yang meniru (perbuatan) suatu
kaum, maka ia adalah termasuk dari kaum itu,‛ dan dihubungkan
dengan dalil yang artinya: ‚Hukumilah (keadaan orang itu) dengan yang
nampak, dan jangan menghukumi (keadaan orang itu) dengan bentuk
bathinnya/ yang tidak tampak.‛ Maka dapat dinyatakan bahwa
sekalipun Penggugat sekarang mengaku beragama Islam, akan tetapi
ternyata masih berperilaku/ berakhlakkan agamanya yang semula yaitu
agama Kristen.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa agama semula
Penggugat adalah Kristen, kemudian ketika akan melaksanakan
perkawinan dengan Tergugat, Penggugat baru masuk Islam. Keterangan
tersebut pun dibenarkan dan tidak dibantah oleh Penggugat. Dari hal ini
nampak bahwa beragama Islamnya Penggugat relatif masih baru.
Keterangan saksi juga menjelaskan bahwa ternyata Penggugat untuk
berdoa secara Islam saja belum dapat, dan tidak pernah kelihatan
melaksanakan ibadah secara Islam serta tidak pernah kelihatan
menghadiri pengajian sebagaimana layaknya orang yang beragama
Islam. Menimbang bahwa ternyata Penggugat sekarang tinggal bersama
orang tuanya yang beragama Kristen, sehingga Penggugat sekarang
berada di lingkungan keluarga yang beragama Kristen. Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebut di atas, dikhawatirkan Penggugat tidak
dapat mendidik anak tersebut secara Islam dengan baik, dan tidak dapat
mengisi rohaninya dengan ajaran-ajaran Islam, serta tidak dapat
menjamin keselamatan dan kelestarian agama anak.
Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa Tergugat
menyatakan mampu untuk mengurus dan mendidik anak tersebut dan
mengharapkan anak tersebut menjadi seorang muslim yang bertaqwa
kepada Allah swt, dan ternyata pula bahwa Tergugat konpensi beragama
Islam dan tidak pernah keluar dari agama Islam, sehingga karenanya
harus dinyatakan bahwa Tergugat sejak lahir sampai sekarang tetap
beragama Islam, dan berada dalam lingkungan keluarga yang beragama
106
Islam, sehingga karenanya dapat dipastikan bahwa Tergugat dapat
mendidik anak tersebut secara Islam dengan baik dan mengisi rohaninya
dengan ajaran-ajaran Islam serta dapat menjaga kelestarian agama anak
tersebut yaitu agama Islam. Hal ini telah sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh Tergugat sebelumnya yaitu menginginkan agar anak
menjadi muslim yang bertaqwa kepada Allah swt. Tergugat mempunyai
pekerjaan penghasilan, sehingga karenanya Tergugat dapat dipastikan
mampu untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi/ mencukupi biaya
nafkah dan pengurusan hadanah terhadap anak tersebut. Semenjak anak
tersebut diurus oleh pihak Tergugat sampai dengan sekarang, tidak ada
fakta yang membuktikan bahwa tergugat telah melalaikan anak
tersebut. Maka hal ini membuktikan bahwa Tergugat telah sungguh-
sungguh mengurus anak tersebut dengan baik. Berdasarkan kenyataan-
keyataan dan pertimbangan-pertimbangan di atas, dan dengan
memperhatikan segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku
yang terkait dengan perkara tersebut, Pengadilan Agama Bandung telah
mengadili dan memutuskan perkara sebaga berikut :
Dalam Konpensi.
1. Menolak gugatan Penggugat konpensi.
2. Menetapkan Tergugat konpensi selaku ayah sebagai pemegang hak
hadanah atas anak tersebut di atas.
3. Membebakan kepada Penggugat konpensi untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 46.500,00 (empat puluh enam ribu lima ratus
rupiah).4
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Tinggi
Agama Bandung
Pada tanggal 15 Nopember 1995, Penggugat telah
mengajukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama
Bandung Nomor: 433/Pdt.G/1995/PA.Bdg tanggal 2 Nopember 1995 M
dan juga telah mengajukan memori bandingnya pada tanggal 23
Nopember 1995. Hal tersebut juga telah disampaikan kepada pihak
lawan pada tanggal 5 Desember 1995, yang kemudian pihak Tergugat/
Terbanding pun telah mengajukan kontra memori bandingnya pada
tanggal 3 Januari 1996.
Pengadilan Tinggi Agama mempelajari dan memperhatikan
memori banding dan kontra memori banding yang diajukan oleh pihak-
pihak yang berperkara. Pada dasarnya Pengadilan Tinggi Agama tidak
4 Selengkapnya lihat dalam putusan akhir perkara No.
433/Pdt.G/1995/PA.Bdg, 1-9.
107
sependapat dengan dasar-dasar uraian dalam pertimbangan-
pertimbangan hukum hakim pengadilan tingkat pertama. Oleh karena
itu, Pengadilan Tinggi Agama memberikan pertimbangan-pertimbangan
hukumnya sendiri.
Berkenaan dengan pemberian nama anak yang berbeda antara
Penggugat dengan Akta Kelahiran Nomor: 566/1995 tanggal 12 Januari
1995 dan anak tersebut diberi nama Ghilbert Ravenhill Mesiasno.
Sedangkan oleh Tergugat dengan Akta Kelahiran Nomor: 1208/1995
tanggal 7 April 1995 diberi nama Robby Raven Akbar Gumas. Hakim
pada Pengadilan Tinggi Agama menilai bahwa perbedaan pemberian
nama tersebut dipahami dan dinilai wajar karena situasi kondisi
hubungan rumah tangga suami istri antara Penggugat dan Tergugat
sudah sedemikian rupa, goyah, tidak harmonis, bahkan telah pecah
dengan perceraian. Oleh karena itu Akta Kelahiran tersebut sah menurut
hukum.
Anak yang bernama Ghilbert Ravenhill Mesiasno alias Robby
Raven Akbar Gumas telah diambil dan dibawa pergi dari rumah
Penggugat oleh Tergugat tanpa seizin/ di luar kehendak Penggugat,
dimana ketika itu anak tersebut baru berumur 3 bulan. Segala keluhan
yang didalilkan oleh Penggugat menurut Pengadilan Tinggi Agama
dapat diterima oleh akal sehat, karenanya patut dipertimbangkan karena
kodratnya ibu yang mengandung anaknya dengan susah payah,
melahirkan anak dari rahimnya dengan taruhan antara hidup dan mati.
Sudah naluri/ fitrah Ilahiyah mempunyai rasa kasih sayang mendalam
terhadap bayi/ anak sebagai buah hati melebihi sayangnya terhadap
dirinya sendiri, karena akal sehat membenarkan betapa berat
penderitaan bathin bagi Penggugat yang sudah cukup lama
mendambakan anaknya tersebut kembali kepangkuannya, demikian pula
si anak secara naluri/ fitrah Ilahiyah sangat membutuhkan kelembutan,
kesejukan belaian kasih sayang serta kehangatan dekapan dada ibu
kandungnya. Oleh karena itu tidak etis tindakan memisahkan dua insan
yang masih saling membutuhkan.
Hakim pertama dalam pertimbangan hukumnya menolak hak
pemeliharaan Penggugat, bahkan menetapkan tergugat sebagai
pemegang hak yang didasarkan atas dugaan kuat bahwa Penggugat telah
kembali memeluk agamanya semula (Kristen Protestan). Menurut
Pengadilan Tinggi Agama, pertimbangan dan penetapan tersebut keliru
dan salah menerapkan hukum karena Penggugat telah menolak
anggapan tersebut dan menyatakan dengan tegas bahwa dirinya sejak
menyatakan memeluk agama Islam akhir tahun 1993 diwaktu
melakukan akad perkawinannya dengan Tergugat dan hingga sekarang
108
ini tetap memeluk agama Islam dengan konsekuen menjalankan ibadah
agama Islam. Pernyataan tersebut didukung pula oleh alat bukti autentik
KTP-nya sendiri tercantum beragama Islam. Andaikata –quad non- Penggugat telah murtad, pertimbangan dan penetapan tersebut tetap
tidak dapat dibenarkan, karena masalah agama seorang ibu tidaklah
menggugurkan hak pemeliharaan terhadap anak kandungnya yang belum
mumayiz atau belum berumur 12 tahun.
Berdasarkan pertimbangan aspek yuridis, dan Penggugat
dalam kondisi sehat jasmani dan rohani serta mampu untuk memelihara
dan mengasuh anaknya, Pengadilan Tinggi Agama membatalkan
putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor: 433/Pdt.G/1995/PA.Bdg
dengan mengadili sendiri dalam putusannya sebagai berikut:
Dalam Konpensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat konpensi sebahagian dan tidak
menerima untuk selain dan selebihnya.
2. Menetapkan sebagai hukum, bahwa Penggugat sebagai pemegang
hak pemeliharaan dan pengasuhan anak terhadap anak kandungnya
hingga anak tersebut mumayiz atau berumur 12 tahun, dan segala
biaya pemeliharaan dibebankan kepada Tergugat konpensi menurut
kebutuhan dan kepatutan.
3. Memerintahkan kepada Tergugat atau siapa saja yang memelihara
dan mengasuh anak tersebut untuk menyerahkannya kepada
Penggugat konpensi.
4. Menetapkan bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun ada upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.5
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Perkara Kasasi di
Mahkamah Agung
Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada pihak
Tergugat, Tergugat dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat
kuasa khusus mengajukan permohonan untuk pemeriksaan kasasi secara
lisan yang kemudian disusul dengan memori kasasi. Setelah itu,
Penggugat diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat, dan
Penggugat pun juga mengajukan jawaban memori kasasi.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menimbang
bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi dalam
memori kasasi pada pokoknya memuat: Pertama, bahwa putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah salah dan keliru dalam
penerapan hukum dalam hal adanya dua akta kelahiran No. 566/1995
5 Selengkapnya lihat perkara No. 14/Pdt.G/1996/PTA. Bdg.
109
tanggal 12 Januari 1995 atas nama Ghilbert Ravenhill Mesiasno yang
didaftarkan Penggugat/ Termohon Kasasi dan akta kelahiran No.
1208/1995 tanggal 7 April 1995 atas nama Robby Raven Akbar Gumas
yang didaftarkan oleh Tergugat/ Pemohon Kasasi. Oleh majelis
dikatakan kedua akta tersebut sah menurut hukum dengan dalih bahwa
telah membenarkan adanya perbedaan pemberian nama tersebut dapat
dipahami dan dinilai wajar mengingat situasi dan kondisi keadaan
rumah tangga yang sudah pecah. Padahal dalam kasus ini terhadap akta
kelahiran No. 566/1995 tanggal 12 Januari 1995 harus dinyatakan tidak
sah dan batal demi hukum serta dinyatakan tidak berlaku, karena telah
bertentangan dengan ketentuan pasal 32 ayat (1) Peraturan Catatan
Sipil bagi orang Indonesia (Stbl 1920 dirubah dengan LN 26-513).
Sedangkan keberadaan akta kelahiran No. 1208/1995 tanggal 7 April
1995 harus dinyatakan sah menurut hukum karena prosedurnya telah
sesuai dengan Ketentuan Peraturan Catatan Sipil. Kedua, putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah salah dalam pertimbangannya,
dimana dikatakan bahwa anak yang ditulis Robby Raven Akbar Gumas
disebut sebagai alias dari nama Ghilbert Ravenhill Mesiasno. Hal
demikian dapat menimbulkan suatu kerawanan, oleh karena penempatan
‚alias‛ berarti disatu sisi bertentangan dengan Peraturan Catatat Sipil
bagi orang Indonesia, dan di sisi lain telah menimbulkan tidak adanya
suatu kepastian hukum bagi diri seseorang. Padahal berdasarkan anjuran
pemerintah mengharuskan setiap WNI untuk memperoleh akta kelahiran
yang sah menurut hukum agar adanya kepastian hukum sebagai bukti
jati dirinya, bukan dengan pertimbangan yang hanya mengambil mudah
dan praktisnya saja tanpa dilandasi oleh ketentuan perundang-undangan
yang berlaku (serta telah menyimpang dari ketentuan pasal 27 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1970). Ketiga, putusan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung telah salah dan keliru dalam penerapan hukumnya dalam hal
dikatakan bahwa pada prinsipnya adanya keluhan-keluhan Pengugat
Termohon Kasasi yang sangat mendambakan anaknya kembali, padahal
kenyataannya, di samping anak tersebut telah berpisah dengan
Penggugat asal dalam keadaan sehat dan cerdas serta Tergugat selaku
ayah telah mendidiknya secara Islam. Di samping itu, Penggugat asal
pada saat ini bukan orang Islam, (beragama Kristen), sedangkan salah
satu syarat utama untuk memperoleh hak pemeliharaan anak adalah
beragama Islam. Oleh karena anak yang beragama Islam tidak boleh
dipelihara oleh ibu yang kafir, sebab pendidikan yang diberikan tidak
sesuai dengan akidah anak tersebut, dan seorang kafir tidak mempunyai
hak wilayah (kekuasaan) pada orang Islam. Keempat, putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah keliru dalam pertimbangan
110
hukumnya dalam hal pengakuan Penggugat asal yang mengaku masih
memeluk agama Islam dengan didasarkan kepada bukti autentik berupa
KPT tanpa didukung oleh keterangan saksi-saksi. Padahal Penggugat
asal pada saat sekarang bukan seorang Islam yang baik dan konsekwen
dan bahkan sekalipun mengaku beragama Islam akan tetapi pada
dasarnya Penggugat asal berperilaku/ berakhlak agamanya semula yaitu
Kristen (hal ini diakuinya serta didukung oleh saksi-saksi di
persidangan) yang kemungkinan besar tidak akan mendidik anak secara
Islam.
Mahkamah Agung dengan memerhatikan pasal-pasal dari
Undang-undang No. 14 tahun 1970, Undang-undang No. 14 tahun 1985,
dan Undang-undang No. 7 tahun 1989, mengadili dan memutuskan
perkara tersebut dengan mengabulkan pemohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi/ Tergugat Asal, serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Agama Bandung tanggal 19 Maret 1996 M, bertepatan dengan tanggal
29 Syawal 1416 H No. 14/Pdt.G/1996/PTA.Bdg. Putusan tersebut
adalah sebagai berikut:
Dalam Konpensi
- Menolak gugata Penggugat (asal)
Dalam Rekonpensi
- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi/ Tergugat Konpensi
tidak dapat diterima
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
- Menghukum Penggugat konpensi membayar biaya perkara dalam
tingkat pertama sebesar Rp. 46.500,00 (empat puluh enam ribu lima
raut rupiah).
- Menghukum Pembanding/ Penggugat konpensi membayar biaya
perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 27.300,00 (dua puluh
tujuh ribu tiga ratus rupiah).
- Menghukum Pemohon Kasasi/ Tergugat Konpensi membayar biaya
perkara dalam tingkat Kasasi sebanyak Rp. 50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah).6
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim Ditinjau dalam
Perspektif Hukum Positif
Pada prinsipnya, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk
memenuhi hak-hak anaknya, baik ketika orang tua masih dalam ikatan
perkawinan ataupun sudah bercerai. Kedua orang tua secara bersama-
sama wajib memikul tanggung jawab dalam mengasuh anak,
6 Selengkapnya lihat putusan perkara No. 210K/AG/1996.
111
membimbing, dan mendidiknya. Akan tetapi, hak tersebut bisa saja
dicabut (ontzet) atau hak orang tua bisa saja dibebaskan (ontheven) oleh
hakim karena suatu alasan,7 seperti kedua orang tua telah berbuat lalai
atau tidak mampu merawat anak dan menjaganya. Maka hak asuh anak
tersebut oleh Pengadilan yang berwenang memutus perkara tersebut
dapat dicabut dan dipindahkan kepada pihak yang juga memiliki hak
untuk mengasuh anak sebagaimana dalam peraturan perundang-
undangan. Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa: ‚apabila salah seorang atau kedua orang tuanya telah melalaikan kewajibannya terhadap anak atau berkelakuan buruk, maka pengadilan agama berhak untuk mencabut kekuasaan atas pengasuhan anak dari kedua orang tuanya atau dari salah satunya.‛ Pasal tersebut juga didukung oleh pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa: ‚apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.‛
Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya di atas
dalam perkara ini, bahwa Majelis Hakim Kasasi telah menjatuhkan
putusan perkara hadanah antara Penggugat asal/ Termohon Kasasi
dengan Tergugat Asal/ Pemohon Kasasi dengan putusan menetapkan
hak pemeliharaan dan wali anak kepada pihak Tergugat (ayah kandung)
dengan pertimbangan bahwa Penggugat (ibu kandung) dari anak
tersebut telah murtad. Putusan Majelis Hakim Kasasi ini telah
menguatkan kembali putusan Pengadilan Agama Tingkat Pertama,
dimana Pengadilan Agama Tingkat Pertama memberikan putusan hak
pemeliharaan dan wali anak kepada Tergugat. Sebaliknya, Majelis
Hakim Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama dimana
Pengadilan Tinggi Agama telah mengabulkan tuntutan hak pengasuhan
anak oleh ibu yang murtad. Putusan Pengadilan Tinggi Agama yang berbeda dengan
putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tingkat Kasasi telah mendasarkan putusannya dengan berpedoman
kepada pasal 105 sub (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam bahwa:
apabila terjadi perceraian antara suami isteri (baik cerai gugat maupun
cerai talak), sedang mereka ada mempunyai anak, maka pemeliharaan
7 Lihat Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa,
2003), 50.
112
terhadap anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 (dua belas)
tahun adalah hak ibunya. Sedangkan terhadap anak yang sudah
mumayiz atau sudah berumur di atas 12 tahun, hak pemeliharaannya
diserahkan kepada anak itu sendiri untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Oleh karena itu, menurut
hakim Pengadilan Tinggi Agama masalah agama (akidah) seorang ibu
tidak lah menggugurkan hak pemeliharaan terhadap anak kandungnya
yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun, apalagi anak
tersebut masih dalam usia menyusu (belum berusia 2 tahun). Hakim
Pengadilan Tinggi Agama dalam memberikan putusan hak hadanah
telah mendasarkan pertimbangan hukumnya dari aspek yuridis
sebagaimana ketentuan KHI pasal 105 sub (a) dan sub (b) di atas. Di
samping itu, pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Agama
memberikan hak asuh kepada ibu karena anak berada dalam usia
menyusui yang secara psikologis dan medis membutuhkan asuhan
langsung dari ibu kandung, karenanya Hakim Pengadilan Tinggi Agama
mengabulkan tuntutan hak asuh ibu yang murtad.8
Berbeda dengan putusan hakim Pengadilan Tinggi Agama,
Pengadilan Agama dan Pengadilan Kasasi mempunyai pertimbangan
sendiri dalam memutuskan hak asuh anak. Majelis Hakim Kasasi
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama. Majelis Hakim Kasasi
Mahkamah Agung menganggap bahwa pengadilan Tinggi Agama telah
salah dan keliru dalam penerapan hukum dan telah mengabaikan fakta-
fakta dalam persidangan. Berdasarkan fakta-fakta dan keterangan saksi-
saksi, penggugat asal telah kembali ke agama sebelumnya (kristen), oleh
karenanya penggugat asal tidak dapat menerima hak hadanah dari anak
yang beragama Islam. Pertimbangannya, jika anak tersebut telah
dilahirkan dari perkawinan penggugat dan tergugat secara Islam, maka
anak yang telah dilahirkan beragama Islam juga. Anak Islam tidak bisa
diasuh oleh orang yang berbeda agama dengan anak tersebut walaupun
oleh ibu kandung sendiri karena pendidikan yang diberikan akan berbeda
dan tidak sesuai dengan akidah anak. Berdasarkan fakta-fakta juga,
walaupun anak telah ikut dengan ayahnya meskipun masih dalam usia
menyusu, namun anak tersebut telah tumbuh dan berkembang dengan
baik, sehat dan cerdas. Kebutuhan secara finansial pun bisa dipenuhi
oleh ayah, karena ayah juga mempunyai pekerjaan yang dapat menjamin
tumbuh kembang dan keselamatan jasmani dan pendidikan anak di masa
mendatang. Dari petimbangan majelis hakim di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pertimbangan hakim pada Pengadilan Agama dan
8 Berdasarkan putusan nomor: 14/Pdt.G/1996/PTA.Bdg.
113
Pengadilan pada Tingkat Kasasi dengan memberikan hak pengasuhan
anak kepada ayah bukan kepada ibu yang murtad lebih menekankan
kepada dua faktor sekaligus. Faktor pertama adalah untuk keselamatan
rohani anak dari segi pendidikan akidah anak. Adanya kekhawatiran
hakim terhadap pengaruh agama yang dianut oleh penggugat asal
sebagai ibu kandung dalam mengasuh anak, terutama anak yang masih
kecil yang biasanya lebih cepat terpengaruh dengan perilaku-perilaku
yang dikerjakan oleh orang tuanya. Indikasi tersebut dapat dillihat dari
nama yang diberikan oleh ibu kepada anak berbeda dengan nama yang
diberikan oleh ayah kandungnya. Ibu menginginkan dan telah mengganti
nama anak dengan Ghilbert Ravenhill Mesiasno, sedangkan nama yang
diberikan oleh ayahnya berdasarkan akta kelahiran yang sah adalah
Robby Raven Akbar Gumas. Dalam hal ini terlihat adanya suatu upaya
untuk mengalihkan anak ke agama yang dianut oleh ibu kandungnya. Di
samping itu, apabila hak asuh anak diberikan kepada ibu yang murtad,
anak akan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang jauh berbeda
dengan akidah anak. Ibu kandung anak telah tinggal bersama keluarga
yang semuanya beragama kristen. Maka sudah dapat dipastikan dan
dikhawatirkan, secara perlahan anak akan mengikuti akidah ibunya yang
murtad.
Faktor kedua majelis hakim memberikan hak asuh anak
kepada ayah adalah demi keselamatan jasmani anak. Fakta
membuktikan, semenjak anak diasuh oleh ayahnya, anak tersebut telah
tumbuh dengan baik, sehat dan cerdas walaupun tanpa asupan ASI dari
ibu kandungnya sendiri. Di samping itu, jaminan secara finansial untuk
masa depan anak, pertumbuhan secara fisik, dan pendidikan anak lebih
aman apabila anak tetap berada dalam asuhan dan pengawasan ayah dan
keluarga ayah yang muslim. Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan
Tinggi Agama dimana faktor pertumbuhan fisik/ jasmani yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam memberikan hak pengasuhan, tanpa
mempertimbangkan kemashlahatan rohani anak yaitu penanaman agama
dan akidah yang baik bagi anak semenjak dini. Padahal akidah
merupakan faktor terpenting dalam penanaman pembentukan akhlak
dan karakter anak untuk memasuki fase kehidupan selanjutnya. Putusan
Majelis Hakim kasasi ini telah sejalan dengan penjabaran yang terdapat
dalam pasal 156 huruf (c) di atas bahwa diperbolehkan pengalihan hak
asuh dari pemegang hadanah kepada pihak lain yang juga mempunyai
hak hadanah apabila pemegang hadanah ternyata tidak mampu
menjamin keselamatan rohani dan jasmani anak. Maka dalam perkara
ibu yang murtad pengalihan hak hadanah dari ibu kepada ayah lantaran
114
ibu murtad karena ibu yang murtad tidak bisa menjamin keselamatan
rohani dan jasmani anak.
Di samping itu, pertimbangan majelis hakim dalam
menyelesaikan kasus pengasuhan anak bagi ibu yang murtad, meskipun
undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam secara khusus tidak
mengatur tentang syarat-syarat pengasuhan anak seperti dari segi agama
pengasuh, akan tetapi seorang hakim yang kompeten diharuskan untuk
menggali nilai-nilai hukum, keadilan, kemashlahatan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat dengan cara berijtihad. Kewenangan hakim
untuk melakukan ijtihad merupakan penjabaran dari ketentuan Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 27 ayat (1) jo Undang-undang No. 49
tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman
Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa: ‚Hakim dan Hakim Konstitusi
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.‛ Bagi masyarakat yang mencari keadilan di lembaga
Peradilan Agama, hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut
adalah hukum untuk masyarakat Islam. Sesuai dengan Pasal 1 Undang-
undang No. 50 Tahun 2009 jo Undang-undang No.7 Tahun 1989 bahwa
yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam. Oleh karena itu, hakim dalam mengambil
keputusan tidak hanya berpijak pada ketentuan peraturan perundang-
undang tetapi juga dapat berpijak pada ketentuan hukum Islam yang
digali dari al-Qur’an, Hadist Nabi, dan pendapat para fukaha secara
langsung. Maka dalam perkara ini, berdasarkan hasil ijtihad hakim
dengan memberikan hak asuh kepada ayah bukan kepada ibu yang
murtad karena Hakim pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tingkat kasasi lebih menilai pentingnya mewujudkan kemashlahatan
anak dari aspek kepentingan rohani dan jasmani anak, bukan pada aspek
yuridis semata.
Dalam kasus ini, penulis sependapat dengan putusan hakim
yang menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak diberikan
kepada ayah karena telah memenuhi rasa keadilan, kemashlahatan, dan
kepentingan anak baik jasmani, terlebih lagi rohani anak. Apabila hakim
hanya bertumpu pada satu pasal saja tanpa memperhatikan pasal atau
aturan yang lain, maka hukum tidak akan seimbang, artinya tujuan
hukum tidak terpenuhi. Tujuan dari hukum adalah terwujudnya keadilan
(validitas filosofis), kemanfaatan (faliditas filosofis), dan kepastian
hukum (validitas yuridis). Oleh karena itu pelimpahan hak asuh anak
dari ibu yang murtad kepada ayah sudah tepat karena ayah ingin
115
melindungi kehidupan keagamaan anaknya sekaligus memiliki
kemampuan untuk merawat dan menjaganya.
Putusan hakim tersebut apabila ditilik dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 41 huruf a yang
menjelaskan bahwa: ‚Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, pengadilan memberikan putusan.‛ Dalam pasal tersebut yang
paling ditekankan adalah kepentingan anak itu sendiri. Kepentingan
anak lebih didahulukan di atas kepentingan yang lainnya. Apabila
terjadi perselisihan dalam hal penguasaan anak, maka hal utama yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan adalah pihak
mana yang lebih mendatangkan kemaslahatan dan yang dapat
memberikan jaminan terbaik untuk masa depan anak, maka dalam kasus
ini berdasarkan Undang-undang di atas berikut pasalnya sudah tepat
apabila hak hadanah diberikan kepada ayah. Selanjutnya, dengan
melihat kepada Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (1) huruf
(a) tentang Kesejahteraan Anak yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam undang-undang ini adalah
suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial. Dengan memberikan hak asuh kepada ayah,
keseluruhan aspek (jasmani, rohani, dan sosial) akan terpelihara dengan
baik. Sebaliknya dengan memberikan hak asuh kepada ibu yang murtad,
aspek rohani, dan sosial tidak akan terjaga dengan baik karena
pendidikan keagamaan yang diberikan ibu yang murtad berbeda dan
lingkungan sosial yang juga berbeda dengan identitas anak, begitupun
yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial anak, di samping itu
dikhawatirkan terjadinya fitnah apabila anak muslim diasuh oleh ibu
yang kafir. Maka dalam hal ini apabila dikaitkan dengan pengasuhan
anak oleh ibu yang kafir akan lebih mendatangkan bahaya yang lebih
besar dibanding apabila anak berada di bawah pengasuhan ayah yang
muslim.
Putusan hak asuh anak yang diberikan kepada ayah lantaran
ibu murtad apabila ditinjau dalam perspektif KHI, dapat dilihat
khususnya pasal 156 huruf (c) yang menjelaskan bahwa: ‚apabila
pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama
dapat memindahkan hadanah anak kepada kerabat lain yang mempunyai
hak hadanah pula.‛ Kalau kita perhatikan pasal 156 huruf c KHI telah
116
membatalkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal 105 huruf (a)
dan pasal 156 huruf (a) dimana dalam kedua pasal tersebut menjelaskan
bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayiz, berhak mendapatkan
pengasuhan dari ibunya. Akan tetapi, apabila ternyata pengasuhan yang
dilakukan oleh ibu –dalam hal ini ibu yang murtad, dapat
membahayakan keselamatan rohani dan jasmani anak, maka hak
pengasuhan dapat dialihkan ke pihak lain yang lebih berhak (dalam hal
ini ayah yang muslim).
Mengenai hak dan tanggung jawab orang tua apabila beranjak
dari ketentuan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) Pasal 51 ayat (2) bahwa setelah putusnya perkawinan,
seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan
mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya
dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Penetapan hak
asuh anak dalam perkara 210K/AG/1996 dimana majelis hakim
menjatuhkan hak asuh anak kepada ayah, dan berdasarkan hasil
pemeriksaan dalam persidangan menunjukkan telah terjadi perselisihan
dalam perebutan hak asuh antara penggugat dan tergugat lantaran salah
satu pihak telah berpindah agama. Kebanyakan perceraian yang timbul
akibat perselisihan kedua belah pihak, dimungkinkan terjadinya
ketidakrukunan akan terus berlanjut setelah penetapan perceraian
ditetapkan. Hal tersebut bisa saja menghalangi salah satu pihak yang
dalam perkara ini adalah ibu yang kafir untuk bertemu dengan anaknya
dalam mencurahkan kasih sayang. Artinya hal tersebut dapat menyalahi
hak asasi ibu untuk bertemu dan mencurahkan kasih sayang kepada anak
kandungnya. Berkenaan dengan hak asuh anak apabila dikaitkan dengan
ketentuan pasal di atas tentang Hak Asasi Manusia berdasarkan
penafsiran majelis hakim bahwa dengan jatuhnya hak pengasuhan
kepada ayah, tidak boleh menghapus hak dan kewajiban ibu untuk
bertemu mencurahkan kasih kasih sayang kepada anak kandungnya. Ibu
ikut serta dalam melindungi anak demi kepentingan terbaik bagi anak,
karena bagaimanapun anak tersebut masih kecil yang juga butuh kasih
sayang seorang ibu, tinggal bagaimana kesepakatan kedua belah pihak
untuk mengaturnya. Hakim dalam menyikapi masalah anak, haruslah
tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan walaupun terhadap orang
yang telah terbukti keluar dari agama Islam. Hal tersebut tidak
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, dimana dalam penjelasan
Undang-undang HAM, negara, pemerintah, termasuk juga lembaga
Pengadilan sebagai aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, membela, dan menjamin Hak Asasi Manusia
setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Namun dalam
117
perkara ini dalam pertimbangan dan putusan majelis hakim tidak
menyebutkan hal tersebut lantaran UU tentang Hak Asasi Manusia baru
disahkan dan ditetapkan pada tahun 1999.
Adapun penetapan hak asuh anak kepada ayah lantaran ibu
yang murtad apabila ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Anak
No. 23 Tahun 2002 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang No.
35 Tahun 2014 khususnya yang terdapat dalam Pasal 2 huruf (b) pada
prinsipnya penyelenggaran perlindungan anak yang berazaskan
Pancasila dan berlandaskan UUD RI 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-hak Anak adalah terwujudnya kepentingan yang terbaik
bagi anak. Pertimbangan majelis hakim di atas juga bertumpu pada
pasal 42 ayat (2) dimana dijelaskan bahwa sebelum anak dapat
menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak adalah mengikuti
orang tuanya. Meskipun hasil pemeriksaan dalam persidangan
diketemukan fakta bahwa orang tua menganut agama yang berbeda
lantaran ibu telah berpindah keyakinan, akan tetapi hakim berpendapat
bahwa anak telah dilahirkan dari hasil pernikahan Islam maka anak yang
telah dilahirkan dianggap sebagai anak Islam. Undang-undang ini telah
menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. Oleh karena
itu, pertimbangan hakim mengenai hak asuh anak tetap mengupayakan
untuk menjunjung hak anak dalam perlindungan agamanya.
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Perkara
Nomor 210K/AG/1996 Ditinjau dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, kemurtadan merupakan hal yang paling
berbahaya yang dihadapi seorang muslim karena berkaitan dengan
persoalan akidah dan mengancam akidah itu sendiri. Oleh karena itu lah
merupakan kewajiban bagi seorang muslim agar dapat melawan
kemurtadan dalam bentuk apapun, dan juga tidak memberi kesempatan
kemurtadan itu berkembang sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
sahabat Nabi, Khalifah Abu Bakar Shiddiq ketika memerangi orang-
orang yang murtad pada waktu itu. Allah swt telah menjelaskan betapa
bahayanya balasan bagi orang-orang yang keluar dari agama Islam
(murtad), sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah
ayat 217 yang berbunyi:
Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekufuran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia
118
dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Begitu juga dalam QS. Ali Imran ayat 90 yang berbunyi:
Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya. Dan mereka itulah orang-orang yang sesat.
Selanjutnya QS. Al-Nahl ayat 106:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Memang pada zaman modern sekarang ini, persoalan tentang
kebebasan sangat diagung-agungkan. Menurut mereka, kebebasan
termasuk ke dalam salah satu hak asasi manusia, termasuk kebebasan
dalam memilih agama yang dianut. Islam sebagai agama juga telah
menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam memilih agama.9 Namun,
ketika seseorang telah memilih Islam sebagai agama, maka ada ikatan
dan kewajiban yang harus dilakukan, ditunaikan dan ditaati sepenuhnya,
termasuk pelarangan pindah ke agama lain (keluar dari agama Islam/
murtad) serta adanya konsekuensi dan akibat hukum yang timbul
setelah itu.
Berkaitan dengan permasalahan hadanah, dimana hadanah
merupakan sebuah upaya pemeliharaan dan pengasuhan yang
disyariatkan, bahkan wajib dilaksanakan oleh orang yang mempunyai
kewenangan dalam menjalankan pengasuhan dan pemeliharaan anak
terutama anak di bawah umur, karena anak yang tidak dipelihara akan
terancam keselamatannya. Dalam Islam, posisi seorang ibu sangat
dihargai dan menempati urutan pertama orang yang mempunyai
kewenangan dalam mengasuh dan memelihara anak di bawah umur,
9 Sebagaimana diterangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256:
...
119
sebagaimana telah penulis jelaskan dalam bab-bab sebelumnya. Lebih
diutamakannya wanita –khususnya ibu, karena pada umumnya kaum
wanita biasanya lebih lembut, penuh kasih sayang dan lebih sabar dalam
mendidik. Walaupun demikan, seorang ibu yang mengasuh dan
memelihara anak yang diasuhnya disyaratkan memiliki kemampuan
untuk melaksanakan tugasnya dalam mengasuh anak. Tentunya keahlian
dan kemampuan tersebut membutuhkan syarat-syarat tertentu. Jika
salah satu syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka seorang ibu asuh
tidak diperkenankan untuk mengasuh dan memelihara anaknya.
Salah satu syarat seseorang mendapatkan hak asuh adalah
beragama Islam -apabila anak yang akan diasuh beragama Islam.10
Oleh
karena itu orang kafir tidak berhak mengurus hadanah anak yang
beragama Islam, karena orang kafir tidak mempunyai kuasa atas orang-
orang Islam. Pengasuhan terkait erat dengan masalah perwalian,
sementara Allah swt tidak membenarkan orang mukmin berada di
bawah perwalian orang kafir.11
Dalam konteks ini, ahlul ilmi berbeda
pendapat terkait pengasuhan ibu yang kafir terhadap anak yang
beragama Islam. Ada dua pendapat yang dikemukakan, yaitu pendapat pertama, ibu yang menjadi pengasuh haruslah seorang muslimah. Ibu
yang kafir tidak memiliki otoritas untuk mengasuh anak yang beragama
Islam. Demikian menurut pendapat sebagian ulama Maliki, diantaranya
Ibnu Qasim.12
Pendapat ini juga dikemukakan oleh ulama-ulama
Syafii,13 dan Hambali.
14 Landasan dalil yang mereka gunakan adalah
Q.S al-Nisa>’ ayat 141:
10
Lihat lagi pembahasan syarat-syarat hadanah dalam Bab II point
B. 11
Al-Ima>m Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad al-H{usaini>
(Tahqi>q Muhammad ‘Awad Haikal), Kifa>yah al-Akhya>r fi> H{alli Ga>yah al-Ikhtis}a>r (Mesir: Da>r al-Sala>m, 2013), 550.
12 Lihat Ma>lik ibn Anas al-Asbah}i,> al-Mudawwanah al-Kubra>
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1406H), vol 2, 245. Qa>sim ibn ‘Isa> ibn Na>ji al-Tanwikhi,
Sharah Ibnu Na>jiy (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), vol. 2, 96. S{a>lih} ‘Abd al-Sami>‘
al-A<bi> al-Azhari>, Jawa>hir al-Ikli>l Sharh Mukhtas}ar Khali>l fi>> Madzhab al-Ima>m Ma>lik (Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), vol. 1, 409.
13 Abi> al-‘Abba>s Ahmad Shiha>b al-Di>n ibn H{ajar al-Haitsami> al-
Makki>, Fath al-Jawwad bi Sharh al-Irsha>d (Mat}ba‘ah Must}afa> al-Ba>bi> al-
Halabi, 1971), vol. 2, 235. Shaikh Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbani>, Mughni al-Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma ‘a>ni> al-Fa>dz al-Minha>j (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th),
vol. 3, 455. Shamsuddin Muhammad ibn Abi> al-‘Abba>s al-Ramli>, Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j (Mat}ba‘ah Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>) , vol. 7, 229.
Shaikh Sulaiman>n al-Jama>l, H{ashiyah al-Jama>l ala> Sharh al-Minha>j (Beirut:
Da>r Ih}ya>’ al-Tura>ts al-‘Arabi>, t.th), vol. 4, 520. Shaikh Abdullah ibn Hija>zi ibn
120
Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman.
Berdasarkan ayat di atas dalam kaitannya dengan hadanah dapat
disimpulkan bahwa pengasuhan orang kafir atas anak muslim akan
memberikan jalan bagi si kafir untuk menguasai dan mengalahkan anak
muslim tersebut. Oleh karena itu lah pengasuhan seperti ini tidak
diperbolehkan. Pengasuhan adalah sebuah otoritas, dan orang kafir sama
sekali tidak memiliki otoritas terhadap orang muslim.15
Selain itu,
dampak bahaya orang kafir lebih besar dari bahaya orang fasik. Jika hak
perwalian orang fasik tidak berlaku, perwalian orang kafir tentu lebih
tidak berlaku lagi.16
Pasalnya orang kafir bisa saja membujuk si muslim
untuk meninggalkan agamanya dengan cara diajari dan dididik dengan
hal-hal yang berbau kekafiran.17
Dalam hal ini, ibu adalah orang yang
paling banyak bersinggungan dengan anak. Anak akan mudah
terpengaruh oleh ibu dan juga agama ibu. Untuk itu akan lebih baik jika
si ibu kafir tidak diberi hak pengasuhan anak yang beragama Islam.
Pengasuhan berlaku demi memenuhi hak anak. Oleh karena itu, otoritas
ini tidak diberlakukan manakala kepengasuhan akan berujung pada
Ibra>hi>m al-Sha>fi‘i>, H{ashiyah al-Sharqa>wi (Mesir: Matba‘ah Must}afa> al-Ba>bi> al-
H{alabi) vol. 2, 353. 14
Shaikh Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbani>, Mughni al-Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma ‘a>ni> al-Fa>dz al-Minha>j, vol.11, 412. Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>,
Al-Ka>fi> (Beirut: Maktab al-Isla>mi>, 1979) vol. 3, 383. Shamsudi>n Abi Abdullah
Muhammad ibn Muflih}, Al-Furu>‘ (Beirut: ‘A<lim al-Kutub, 1402H), vol. 5, 616.
Shamsuddi>n Muhammad ibn Abdullah al-Zarkashi, Sharh al-Zarka>shi ala> Mukhtas}ar al-Khars}i (1991) vol. 6, 32. Mans}u>r ibn Yunus al-Bahu>ti>, Sharh al-Muntaha al-Ira>da>d (Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Fais}iliyyah, t.th),
vol. 3, 264. 15
Shaikh Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbani>, Mughni al-Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma ‘a>ni> al-Fa>dz al-Minha>j, vol. 11, 412. Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>,
Al-Ka>fi>, vol. 3, 383. Mans}u>r ibn Yunus al-Bahu>ti>, Sharh al-Muntaha al-Ira>da>d,
vol. 3. 264. 16
Ketidakbolehan orang fasik dalam menjalankan hak hadanah
adalah karena tidak dimilikinya sifat amanah sehingga dikhawatirkan anak
yang diasuhnya akan disia-siakan. Lihat Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), vol.10.
17 Lihat Shaikh Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbani>, Mughni al-
Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma ‘a>ni> al-Fa>dz al-Minha>j, vol. 3, 455. Ibnu Quda>mah al-
Maqdisi>, Al-Mughni>, vol. 11, 412. Mans}u>r ibn Yunus al-Bahu>ti>, Sharh al-Muntaha al-Ira>da>d, vol. 3, 264.
121
kebinasaan dan juga agamanya.18
Di samping itu, pengasuhan
merupakan salah satu sebab wala’ (loyalitas) terbesar, padahal Allah
telah memutuskan loyalitas antara kaum muslimin dengan orang-orang
kafir.19
Pengasuhan orang kafir terhadap anak muslim akan menyelipkan
semacam loyalitas, sehingga harus dihentikan dan tidak boleh dibiarkan.
Pendapat kedua, ibu yang akan menjadi pengasuh tidak
disyaratkan beragama Islam, sehingga pengasuhan ibu kafir atas anak
yang beragama Islam sah hukumnya. Demikian adalah pendapat ulama-
ulama Hanafi,20
pendapat masyhur ulama Maliki,21
dan dinyatakan Ibn
Qasim dalam pendapat yang lain.22
Hanya saja sebahagian ulama
Hanafi, termasuk al-Ra>zi23
berpendapat bahwa ibu yang kafir berhak
mengasuh anak selama belum mengerti. Setelah mengerti, anak diambil
dari tangan ibu yang kafir tersebut.24
Landasan dalil yang mereka
gunakan adalah hadist yang diriwayatkan dari Rafi‘ ibn Sinan.25
Ia
masuk Islam sementara istrinya enggan ikut masuk Islam. Istrinya
18
Lihat Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni, vol. 11, 412. 19
Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma ‘a>d fi Hadyi Khair al-‘Iba>d (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1987), vol. 5, 459.
20 Shamsuddi>n al-Sarkasi, Al-Mabsu>th (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah,
1986), vol. 5, 210. Bada>i‘ al-S{ana>i‘, vol. 4, 42. Muhammad ibn Mah}mu>d al-al-
Asrushani>, Ja>mi‘ Ahka>m al-S{igha>r (1982) vol. 1, 371. Fakhruddin Usman ibn
Ali al-Zi>la ‘i, Tabyi>n al-Haqa>iq Sharh Kanz al-H{aqa>iq (Mesir: Mat}ba‘ah al-
Kubra> al-Ami>riyyah, 1315H), vol. 3, 46. 21
Ima>m Ma>lik ibn Anas al-Asbah}i,> al-Mudawwanah al-Kubra>, vol
2, 245. Qa>sim ibn ‘Isa ibn Na>ji>, Sharh ibn Na>ji> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982),
vol.2, 96. Ima>m Abi al-Hasan ali ibn Muhammad al-Maliki, Kifa>yah al-T{a>lib al-Rabba>ni> (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), vol. 2, 19. S{a>lih} ‘Abd al-Sami>‘ al-A<bi> al-
Azhari>, Jawa>hir al-Ikli>l Sharh Mukhtas}ar Khali>l fi>> Madzhab al-Ima>m Ma>lik, vol. 1, 409. Abi al-Hasan Abi ibn Abdissala>m, al-Bahjah fi> Sharh al-Tuh}fah
(1370H), vol. 1, 407 22
Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ li Ahka>m al-Qur’an, vol. 3, 167. Ibnu al-
Manzu>r, al-Ishra>f ala> Madza>hib al-‘Ulama>’ (Ida>rah Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabi>,
1986), vol. 4, 154. 23
Al-Ra>zi yang dimaksud adalah Ahmad ibn Ali ibn Husain ibn
Sharayan. 24
Shamsuddin al-Sarkasi, al-Mabtsu>t} (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah,
1986), vol. 5, 210. Bada>i’ al-S{ana>i’, vol. 4, 42. Fakhruddin Usman ibn Ali al-
Zi>la ‘i, Tabyi>n al-Haqa>iq Sharh Kanz al-H{aqa>iq, vol. 3, 46. 25
Nama lengkap Rafi‘ ibn Sinan adalah Rafi‘ ibn sinan al-Anshari,
dan diberi kunyah Abu Hakim. Dia dalah kakek Hamid ibn Ja’far. Lihat dalam
al-Qurt}ubi>, al-Isti>‘a>b fi> Asma>’ al-As}h>a>b, vol. 1, 486. Al-Shaiba>n>, Usud al-Gha>bah fi> Ma‘rifah al-S{ah}a>bah, vol. 2, 153. Al-‘Asqala>ni>, Al-Is}a>bah fi Tamyi>z al-S{aha>bah, vol. 2, 187.
122
kemudian datang kepada Nabi dan berkata, ‚Dia putriku, ia sudah
disapih atau seusia itu. ‚Dia putriku, Rafi‘ juga berkata seperti itu. Nabi
saw kemudian berkata kepada Rafi‘: ‚duduklah di ujung sana,‛ dan
berkata pada istrinya: ‚duduklah di ujung sana.‛ Nabi saw kemudian
menempatkan si putri tersebut diantara keduanya. Setelah itu Beliau
berkata kepada Rafi‘ dan istrinya. ‚Panggillah dia!.‛ Si putri kecil itu
ternyata lebih condong kepada ibunya. Lalu Nabi saw berdoa, ‚ya Allah,
berilah dia petunjuk.‛ Kemudian putri kecil itu kemudian condong
kepada ayahnya. Ia pun di bawa pergi ayahnya.26
Menurut pendapat yang membolehkan ibu kafir mengasuh anak
anak muslim berdasarkan hadist ini adalah bahwa Nabi saw telah
mempersilahkan putri kecil tersebut memilih ibunya yang kafir atau
memilih ayahnya yang muslim. Andai ibu kafir tidak memiliki hak
untuk mengasuh anak, tentunya Nabi saw tidak memberikan opsi
untuknya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu kafir memiliki hak untuk
mengasuh anak.27
Di samping itu, menurut pendapat yang membolehkan
ibu kafir mengasuh anak muslim lantaran pengasuhan dan pemeliharan
anak itu berkaitan dengan kasih sayang, dan kasih sayang tidak berbeda
dengan perbedaan agama. Karena itu lah ibu yang kafir boleh mengasuh
anak yang muslim.28
Setelah menganalisa dua pendapat di atas secara mendalam
beserta dalil masing-masing, pendapat yang menyatakan bahwa ibu
kafir tidak berhak mengasuh anak lebih rajih, karena landasan dalilnya
tepat yaitu Q.S al-Nisa>’ ayat 141. Dampak bahaya yang ditimbulkan
akibat pengasuhan ibu yang kafir terhadap anak muslim jauh lebih besar
dari pada bahaya seandainya si anak kehilangan si ibu. Bahaya mana
lagi yang lebih besar dari pada menghalangi manusia dari agama Allah
26
Lihat dalam Abu> Daud Sulaima>n ibn al-Ash‘ats al-Sajasta>niy,
Sunan Abi> Daud, Kitab T{alaq, Bab Idza> Aslama Ah}ad al-Abawain Ma‘a Man
Yaku>nu al-Walad (Beirut: Da>r al-Fikr, 2004), vol. 1, hadist no. 2244, 516. Lihat
Ahmad, Musnad Ahmad (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1999), vol. 39, hadits
no. 23757, 168. Lihat Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ima>m Ah}mad ibn H{anbal (Kairo: Muassasah al-Qurt}ubah, t.th),vol. 5, hadst no. 23808, 446.
27 Ulama Syafii dan Hambali telah berkomentar tentang hadist ini,
bahwa hadist tersebut telah dihapus, atau kemungkinan ketika memberi
kebebasan itu Rasulullah saw tahu persis bahwa doa Beliau akan dikabulkan,
lantas anak tersebut memilih ikut ayahnya. Adapun tujuan Rasulullah saw
memberikan kebebasan memilih bagi anak tersebut tidak lain adalah untuk
menarik simpati ibu dari anak tersebut. Lihat dalam Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), vol.10.
28 Shaikh Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbani>, Mughni al-Muhta>j ila>
Ma‘rifah Ma ‘a>ni> al-Fa>dz al-Minha>j, vol. 3, 445.
123
dan ingar kepada-Nya. Sedangkan dalil yang digunakan pendapat yang
kedua menggunakan hadist dari Rafi‘ ternyata sanad hadist ini
kontroversial, karena di sana ada perawi yang bernama Abdurrahman
ibn Ja‘far al-Ans}ari>. Abdurrahman ibn Ja ‘far al-Ans}ari> dinyatakan d}a‘i>f oleh al-Tsauri dan Ibn Qaththan.
29 Selain itu, adanya kemungkinan
bahwa Nabi saw sendiri sudah mengetahui bahwa doa Beliau akan
dikabulkan sehingga anak tersebut akhirnya memilih ayahnya yang
muslim berkat doa beliau. Oleh karena itu, hadist ini sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ibu yang kafir memiliki hak asuh terhadap anak
muslim. Malahan sebaliknya, hadist ini mensyaratkan keislaman bagi
ibu asuh. Ketika Nabi saw berdoa agar anak tersebut diberi petunjuk,
sehingga akhirnya condong kepada ayahnya yang muslim, hal ini
menunjukkan, ketika anak berada di bawah pengasuhan ibu kafir, anak
tidak sesuai dengan petunjuk seperti yang Allah inginkan dalam QS. Al-
Nisa>’ ayat 141. Andaikan si anak tetap bersama ibu, tentu ada
hujjahnya. Namun Allah membantah hujjah tersebut melalui doa Rasul-
Nya. Adapun alasan pendapat kedua yang menyatakan bahwa kasih
sayang tidak akan berbeda dengan sebab perbedaan agama, penulis rasa
alasan ini tidak cukup memberikan hak bagi ibu kafir untuk mengasuh
anak. Sebab bahaya yang akan dirasakan anak ketika tidak
mendapatkan kasih sayang dari ibunya yang kafir masih lebih ringan
dibandingkan bahaya ketika si anak berada dalam pengasuhan ibu yang
bersangkutan, karena bahaya yang ditimbulkan adalah kekafiran. Oleh
karena itu, telah sesuai lah dengan beberapa kaidah fikih yang
menyatakan:
أخفهما دفع ضرران تعارض اذا -
Jika ada dua mudharat yang saling bertentangan, maka ambil yang paling ringan.
30الأخف بالضرر يزال الأشد الضرر -
Mudharat yang lebih berat dihilangkan dengan mudharat yang lebih ringan.
31منها الأخف قدم المفاسد تزاحمت واذا منها الأعلى قدم المصالح تزاحمت ذاا -
29
Lihat Ibnu H{ajar al-’Asqala>ni>, Tahdzi>b al-Tahdzi>b (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1984), vol. 6, 101. Ibnu Qaththan ialah Yahya ibn Said ibn Farukh,
Amirul Mukminin dalam urusan hadist. Beliau wafat pada tahun 198 H. 30
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba‘ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), vol. 1,
219.
124
‚Jika ada beberapa kemashlahatan saling bertabrakan, maka mashlahat yang lebih besar harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya atau kerusakan) saling bertabrakan, maka dipilihlah bahaya yang lebih ringan.‛ Kaidah di atas menjelaskan, apabila ada beberapa kemaslahatan yang
tidak mungkin untuk digabungkan (diraih sekaligus), maka
kemashlahatan yang lebih besar didahulukan. Karena pada (urusan yang
mengandung) kemashlahatan yang lebih besar itu ada tambahan
kebaikan dan lebih dicintai oleh Allah swt. Adapun jika beberapa
kemashlahatan itu bisa dikumpulkan dan bisa didapatkan semuanya,
maka itulah yang lebih diutamakan lagi. Sebaliknya, apabila berkumpul
beberapa mafsadat (bahaya/ keburukan), yang terpaksa harus ditempuh
salah satunya, maka yang dipilih adalah yang paling ringan
mafsadatnya. Adapun jika mafsadat-mafsadat tersebut bisa dihindari
semuanya, maka itulah yang diharapkan.32
33الأدنى ارتكبت المفاسد تزاحمت إذا -
Apabila bertabrakan dua mafsadat, pilihlah mafsadat yang paling ringan. Oleh karena itu, bahaya yang lebih kecil harus dipilih demi menghindari
bahaya atau kerusakan yang lebih besar. Ungkapan-ungkapan yang
semkna dengan beberapa kaidah di atas juga disebutkan oleh Ibnu Hajar
(773H-852H) dan al-Nawawi (631H-676H) dengan beberapa redaksi
lainnya.34
31
Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh} al-Qawa>id al-Sa‘diyah
(Riyadh: Da>r At}las li> al-Nashr wa al-Tauzi‘, 2001), 204. 32
Lihat Taqri>r al-Qawa>id wa Tahri>r al-Fawa>id, vol. 2, 468. Lihat
juga Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>id al-Sa‘diyah (Riyadh: Da>r
At}las li> al-Nashr wa al-Tauzi‘, 2001), 204. 33
Hamd ibn Abdillah ibn Abdil Aziz al-Hamd, Sharh Manz}u>mah al-Qawa>id al-Fiqhiyyah li Sa‘diy, durus no. 4 dalam http://www.islamweb.net
34 Ungkapan-ungkapan yang semakna dengan beberapa kaidah di
atas juga dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Ba>ri dan al-Nawa>wi dalam
al-Minha>j Sharh S{ah}i>h} Muslim ibn al-Hajja>j yaitu:
ايسرهما بترك المصلحتين أعظم وتحصيل ايسرهما باحتمال المفسدتين اعظم دفع -
Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri (Beirut:
Da>r al-Ma ‘rifah, 1379H), vol. 1, 325.
معا يمكن لم اذا المصلحتين بأعظم والاتيان بأخفيهما المفسدتين أشد دفع -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 1, 329.
أخفهما على اقتصر تعارضتا اذا المفسدتين لأن -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 2, 161.
125
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara No. 210K/AG/1996
yang telah menguatkan putusan Pengadilan Agama Tingkat Pertama
No. 433/Pdt.G/1995/PA.Bdg pada dasarnya Hakim dalam pertimbangan
hukum tidak menyebutkan dasar hukum dan dalil-dalil dalam hukum
Islam dalam putusannya. Majelis Hakim memberikan hak asuh kepada
ayah dengan pertimbangan bahwa: hal utama yang diperhatikan dalam
sengketa penguasaan anak adalah kepentingan terbaik bagi anak, yaitu
dengan melihat yang menguasai anak tersebut haruslah orang yang
mampu menjamin keselamatan rohani dan jasmani anak. Keselamatan
rohani anak dalam hal ini adalah berkaitan dengan agama anak. Anak
tersebut telah dilahirkan dari perkawinan antara penggugat dengan
tergugat yang dilaksanakan secara Islam. Oleh karenanya anak tersebut
adalah beragama Islam dan harus dididik secara Islam. Rohaninya harus
dituntun dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam demi kelestarian
agamanya. Berdasarkan fakta dan keterangan saksi dipersidangan yang
telah dibenarkan dan tidak dibantah oleh penggugat, ternyata penggugat
masuk Islam lantaran karena akan melaksanakan pernikahan dengan
tergugat, dan ini berarti bahwa Islamnya penggugat relatif masih baru.
Setelah penggugat masuk Islam pun tidak tampak kesungguhan dalam
mempelajari dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan baik,
terbukti dengan tidak pernah kelihatannya penggugat melaksanakan
ibadah yang pada umumnya dilaksanakan oleh orang-orang Islam pada
umumya. Hal ini juga yang menyebabkan salah satu alasan terjadinya
perceraian antara penggugat dan tergugat, dimana tergugat pernah
menyatakan bahwa antara tergugat dan penggugat terdapat jurang
أشدهما ازالة استلزم اذا المفسدتين أخف ارتكاب -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 5, 191.
اثقالهما بترك المفسدتين أخف ارتكاب -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 9, 462.
الظيمة المصلحة لحصول المفسدتين أخف تحتمل -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 10, 39.
المفسدتين أخف اختيار -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 13, 11.
المفسدتين أخف احتمال -
Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah}i>h al-Bukha>ri, vol. 13, 180.
أعظمهما لدفع المفسدتين أخف احتمال -
Lihat al-Nawa>wi, al-Minha>j Sharh S{ah}i>h} Muslim ibn al-Hajja>j (Beirut: Da>r
Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabiy, 1392H), vol. 4, 158.
عظيمة مصلحة لتحصيل يسيرة مفسدة واحتمال أعظمهما لدفع المفسدتين أخف احتمال -
al-Nawa>wi, al-Minha>j Sharh S{ah}i>h} Muslim ibn al-Hajja>j, vol. 10, 143.
126
pemisah yang sangat dalam yaitu mengenai perbedaan agama yang
dianut. Setelah perceraian, penggugat kembali tinggal bersama orang
tuanya yang beragama Kristen, ini berarti penggugat telah tinggal dan
berada di lingkungan keluarga yang beragama Kristen.
Telah terbukti juga bahwa ternyata penggugat telah keluar
dari agama Islam yang pernah dianut sebelumnya. Dalam Islam,
kemurtadan memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar dibanding
kekafiran biasa. Dalam hal pengasuh yang kafir walaupun ada pendapat
yang mengatakan bolehnya ibu yang kafir mengasuh anak muslim,
namun harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Ulama Hanafi
berpendapat berhaknya kafir dzimmi dalam memelihara anak muslim
selama tidak dikhawatirkan terjadinya pengkafiran terhadap anak
muslim yang diasuh.35
Akan tetapi dalam hal ini Imam Hanafi
mensyaratkan bahwa yang dimaksud kafir di sini bukanlah kafir
murtad.36
Adapun ulama Maliki walaupun membolehkan wanita kafir
memegang hak asuh atas anak muslim, namun disyaratkan bahwa
selama proses pengasuhan harus berada di lingkungan mayoritas
muslim, atau boleh dilingkungan yang bukan mayoritas muslim dengan
syarat harus ada yang mengawasi walaupun hanya seorang muslim
supaya tidak terjadi kerusakan pada anak misalnya diberi makanan yang
diharamkan seperti daging babi, khamar, dan lain-lain.37
Adapun
pertimbangan majelis hakim dengan memandang keselamatan jasmani
anak adalah semenjak anak tersebut diurus oleh tergugat selaku ayah
sampai sekarang tidak ada fakta yang membuktikan bahwa tergugat
telah melalaikan anak tersebut. Ini membuktikan bahwa tergugat telah
sungguh-sungguh dalam mengasuh dan merawat anak, begitupun fakta
membuktikan bahwa selama anak diasuh oleh pihak tergugat, anak
berada dalam keadaan sehat dan cerdas. Tergugat juga memiliki
pekerjaan dan penghasilan yang dipastikan mampu untuk melaksanakan
35
Lihat Abdullah ibn Mah}mu>d ibn Maudu>d al-Muwas}s}ili>, al-Ikhtiya>r li Ta‘li>l al-Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Ma ‘rifah), 70.
36 Lihat Muhammad \’Ila>uddin al-H{as}kafi>, Al-Du>rr al-Mukhta>r Sharh
Tanwi>r al-Abs}a>r (Da>r Ihya>’ al-Tura>s al-‘Arabi>), vol.3, 20. Menurut Imam
Hanafi, ketidakbolehan kafir murtad memelihara anak muslim karena istri yang
kafir murtad berhak untuk dipenjarakan, sampai ia bertaubat dan kembali
kepada agama Islam atau sampai meninggal dalam penjara apabila tidak
bertaubat dari kemurtadannya. Oleh karena itu kafir murtad tidak boleh diberi
kesempatan dalam mengasuh anak muslim kecuali ia bertaubat, apabila telah
bertaubat dan kembali kepada agama Islam, maka hak hadanah kembali juga
kepadanya. 37
Abi al-Barka>t Sayyidi Ahmad al-Dardi>ri>, Sharh al-Kabi>r, 529.
127
kewajiban memenuhi biaya nafkah dan pengurusan hadanah anak
sehingga dapat menjamin pertumbuhan dan pendidikan anak di masa
akan datang.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, kekhawatiran majelis hakim
bahwa penggugat selaku ibu kandung anak, akan tidak dapat mendidik
anaknya secara Islam dengan baik, dan menuntun rohaninya dengan
ajaran-ajaran Islam, serta jaminan keselamatan dan kelestarian agama
Islam anak sudah sejalan dengan teori dalam kajian ushul fikih dari segi
sadd al-dzari>‘ah yaitu pertimbangan menutup adanya kemungkinan akan
timbulnya kemudharatan di kemudian hari. Dalam hal ini adalah upaya
dalam menutup adanya peluang seorang anak yang apabila diasuh oleh
ibu yang kafir kemungkinan besar akan mengikuti agama ibunya. Hal
ini dilakukan dalam rangka hifz al-di>n (memelihara agama dan akidah
anak) yang merupakan salah satu hal yang d}aru>ri} (primer/ pokok)38
dalam syariat Islam yang harus dipelihara agar eksistensi manusia
(terutama di akhirat) tidak terancam.
Sebenarnya dalam kasus ini, pendapat ulama Maliki sangatlah
baik diterapkan mengingat anak yang diperebutkan hak asuhannya
masih berumur 10 bulan. Pada masa ini anak masih membutuhkan
asupan ASI (Air Susu Ibu) sampai berumur dua tahun (masa penyapihan
yang dianjurkan). Oleh karena ibu kandung setelah bercerai dengan
tergugat tinggal di lingkungan mayoritas non muslim, sedangkan
Ma>liki>yah mensyaratkan kebolehan ibu kafir mendapatkan hak asuh
anak apabila tinggal di lingkungan yang mayoritas muslim atau boleh
saja di lingkungan mayoritas non muslim asalkan ada yang mengawasi
pengasuhan ibu kafir terhadap anak muslim. Tampaknya dalam hal ini
untuk kehati-hatian dan dirasa tidak memungkinkan ibu yang kafir
tinggal dekat dengan lingkungan mayoritas muslim oleh karena sudah
tidak adanya hubungan baik antara ibu dengan ayah si anak, majelis
hakim lebih memilih pendapat ulama Syafii dan Hambali dalam hal
perlindungan agama lebih diutamakan. Hal ini pun telah sesuailah
dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
38
Dalam kajian teori maqa>s}id shari >‘ah, aspek utama yang harus
diperhatikan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan kehidupan manusia di
dunia dan akhirat adalah kemashlahatan yang diwujudkan dalam lima unsur
pokok (us}u>l al-khamsah) yaitu hifz al-di>n (agama), hifz al-nafs (jiwa), hifz al-‘aql (akal), hifz al-nasl (keturunan), dan hifz al-ma>l (harta), lihat Abu> Isha>q al-
Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari‘ah (Beirut: Da>r al-Ma ‘rifah, 1997), 324-
325.
128
39المصالح جلب على مقدم المفاسد درئMenolak kerusakan lebih diutamakan dari menarik manfaat (kemashlahatan).
B. Yurisprudensi Nomor 349K/AG/2006
1. Posisi Kasus
Tamara Bleszynski Binti Zbignew Bleszynski40
adalah
seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama
Jakarta Selatan terhadap suaminya yaitu Teuku Rafly Pasya Bin Teuku
Syahrul.41
Gugatan tersebut terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan tertanggal 3 Agustus 2005 dengan nomor
perkara 937/Pdt.G2005/PA.JS. Gugatan Penggugat didasari beberapa
dalil yang pada pokoknya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat telah
melangsungkan pernikahan di masjidil Haram Makkah pada tanggal 1
Desember 1997, kemudian dicatatkan dalam buku pendaftaran nikah
Khusus Perkawinan Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar
negeri Nomor 01/01/V/1998. Pernikahan Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Rassya Islamay Pasya
yang lahir pada tanggal 4 Februari 1999, sesuai dengan kutipan Akta
kelahiran Nomor 845/DISP.JS/2002.
Penggugat mendalilkan gugatan cerainya bahwa telah terjadi
pertengkaran dan perselisihan terus menerus sehingga tujuan
perkawinan tidak bisa tercapai sebagaimana ketentuan pasal 1 UU No.1
Tahun 1974, dan pasal 3 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pertengkaran dan perselisihan yang terjadi terus menerus sudah cukup
39
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba‘ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), vol. 2,
776. Kaidah yang semakna yang mencakup dalam jalb al-mas}a>lih} wa dar’u al-mafa>sid di atas adalah:
المصالح جلب على مقدم المفاسد دفع -
Lihat Badruddin Muhammad ibn Baha>dir ibn Abdullah al-Zarkashi, al-Bah}ar al-Muh}it{ fi> Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), vol. 4, 119
المصلحة جلب من أولى المفسدة درئ -
Lihat Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad Ibn Abdul Azi>z al-
Futu>h}i, Sharh Kaukab al-Muni>r (Maktabah Ubaika>n, 1997), vol. 4, 447.
المصلعة صيلتح من أىم المفسدة دفع - Lihat lagi Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad Ibn
Abdul Azi>z al-Futu>h}i, Sharh Kaukab al-Muni>r, 494. 40
Untuk selanjutnya cukup disebut sebagai Penggugat. 41
Untuk selanjutnya cukup disebut sebagai Tergugat.
129
menjadi alasan rumah tangga tidak dapat dipertahankan dan gugatan
cerai Penggugat dapat dikabulkan berdasarkan pasal 116 (f) Kompilasi
Hukum Islam jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974.
Berkaitan dengan pengasuhan anak, Penggugat mendalilkan
bahwa dari Perkawinan Penggugat dan Tergugat telah lahir seorang
anak laki-laki pada tanggal 4 Februari 1999 yang pada saat ini berumur
enam tahun. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a)
yang pada intinya menyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian,
pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya. Berdasarkan pasal tersebut sudah sepatutnya
Pengadilan memutuskan agar anak yang lahir dari perkawinan
Penggugat dan Tergugat berada dalam asuhan Penggugat selaku ibu.
Penggugat mengajukan permohonan provisi dalam hal pengasuhan anak.
Penggugat mendalilkan sejak awal Mei 2006, Ibu Tergugat dan
keponakan-keponakan Tergugat sering menginap di rumah Kemang
sehingga keadaan dan sikap anak berubah terhadap Penggugat. Hal ini
membuat Penggugat mengalami kesulitan dalam menghubungi anak
tersebut dan adanya sikap ketakutan dari anak jika bertemu dengan
Penggugat padahal anak tersebut masih di bawah umur dan tidak baik
untuk terlibat dalam masalah perselisihan orang tuanya. Untuk itu
Penggugat meminta penetapan dari Majelis Hakim agar memerintahkan
kepada Tergugat atau kepada siapapun anak tersebut dipelihara ataupun
disembunyikan oleh Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada
Penggugat dan berada dalam pengasuhan Penggugat. Dalam
Permohonan provisi, Penggugat juga meminta kepada Tergugat untuk
memberikan nafkah hidup dan biaya pendidikan untuk masa depan anak.
Berdasarkan gugatan Penggugat di atas, Tergugat mengajukan
jawaban tertanggal 21 September 2005 yang pada pokoknya menolak
seluruh dalil, keterangan maupun argumentasi Penggugat. Tergugat
menolak untuk bercerai karena Penggugat dalam mengajukan gugatan
cerainya tidak jelas dan sama sekali tidak menguraikan yang dimaksud
dengan sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran terus menerus
sebagaimana yang didalilkan Penggugat. Berkenaan dengan pengasuhan
anak, permohonan provisi Penggugat dibantah oleh Tergugat dan
memohon kepada Majelis Hakim untuk menolak atau setidaknya
menyatakan tidak dapat diterima gugatan provisi tersebut. Berdasarkan
penelitian baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa
hampir tidak ada efek positif dari sebuah perceraian terhadap anak,
bahkan seorang anak menjadi korban nomor satu dari perceraian
tersebut. Penggugat dalam gugatannya tidak memahami ghiroh atau
130
filosofi yang terkandung dalam pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam. Selain itu Penggugat juga belum bisa memenuhi syarat untuk
mendapatkan hak pengasuhan anak. Anak-anak di bawah umur betul-
betul memerlukan kasih sayang dan perawatan yang penuh ketabahan.
Terbukti sejak lahir hingga sekarang, anak dalam pertumbuhannya lebih
banyak bersama Tergugat selaku ayah, dimana anak laki-laki yang pada
umumnya sekarang sangat membutuhkan figur seorang ayah yang
berperilaku baik, dan pada kenyataannya anak juga sangat dekat dengan
Tergugat sehingga dapat memberikan kasih sayang yang lebih. Tergugat
juga mendalilkan bahwa Penggugat dianggap mengalami kesulitan
dalam memenuhi persyaratan dalam mendapatkan hak asuh anak karena
kondisi Penggugat khususnya yang berhubungan dengan aktifitasnya
yang mengharuskan dirinya pulang hingga larut malam seperti yang
terjadi 5 tahun terakhir, sehingga Penggugat tidak bisa memberikan
waktu dan perhatian dalam mendidik, membimbing, memelihara serta
menjaga perkembangan anak yang seharusnya baik jasmani, rohani,
akal, dan agama.
Berdasarkan jawaban Tergugat, Penggugat mengajukan replik
secara tertulis di persidangan tertanggal 19 Oktober 2005. Di samping
itu Penggugat mengajukan tiga orang saksi dalam persidangan.
Terhadap gugatan provisi Penggugat, majelis hakim telah memberi
putusan sela pada tanggal 16 Nopember 2005 yang pada pokoknya
menyatakan menolak gugatan provisi Penggugat. Terhadap replik
Penggugat, Tergugat juga mengajukan bukti tertulis dan mengajukan
sebelas orang saksi. Sebelum mengajukan kesimpulan, Penggugat
menyatakan mencabut kuasa yang diberikan sebelumnya, dan Penggugat
menyatakan bahwa hati nurani Penggugat yang paling dalam bahwa
Penggugat tidak dapat lagi untuk hidup bersama dengan Tergugat, dan
Tergugat menyatakan tetap dengan pendirian sebelumnya untuk
mempertahankan kehidupan rumah tangga. Di Persidangan, masing-
masing pihak, Penggugat dan Tergugat mengajukan kesimpulan
tertanggal 18 Januari 2006.
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
Berdasarkan gugatan, dan keterangan-keterangan di atas,
menurut Majelis Hakim dengan mempertimbangkan bahwa dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perceraian telah
ditetapkan bahwa salah satu di antara alasan yang dibenarkan untuk
melakukan perceraian adalah antara Penggugat dan Tergugat telah
terjadi perselisihan yang sulit didamaikan sebagaimana Pasal 19 huruf f
131
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam. Pada dasarnya makna perselisihan terus
menerus sebagai alasan perceraian pada pasal 19 huruf (f) PP No. 9
Tahun 1975 adalah adanya tekanan fisik atau psikis baik langsung
maupun tidak langsung yang berakibat tidak adanya ketenangan dalam
rumah tangga. Dalam penerapan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975
sebagai salah satu alasan perceraian, tidak lagi mempersoalkan atau
mencari siapa yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut,
tetapi lebih ditekankan pada perkawinan itu sendiri apakah benar-benar
telah pecah atau retak, sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung
Nomor 38K/AG/1990. Jika fakta-fakta tersebut saling dikaitkan dengan
ketentuan hukum dalam perceraian, maka gugatan Penggugat tersebut
telah terbukti secara sah dan telah memenuhi ketentuan untuk
melakukan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun
1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 39 ayat 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975, pasal 22 ayat 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Di antara penggugat dan Tergugat
sudah terjadi ketidak utuhan dalam rumah tangga, maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pada
pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam sudah sulit terpenuhi.
Perihal pengasuhan dan pemeliharaan anak Penggugat dan
Tergugat yang bernama Rassya Isslamay Pasya, bahwa dalil Penggugat
dan Tergugat yang dikemukakan dalam posita gugatan, jawaban, replik,
duplik, dan bukti-bukti surat serta keterangan saksi-saksi yang diajukan
di Persidangan, tidak dipertimbangkan lagi dalam uraiakan pokok
perkara, karena hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak tidak
diminta secara jelas dalam petitum pokok perkara. Oleh karenanya
putusan tersebut tidak ditetapkan hal yang berkaitan dengan
pengasuhan anak, maka petitum yang berkaitan dengan nafkah anak pun
dinyatakan tidak dapat diterima, sehingga Pengadilan Agama Jakarta
Selatan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menyatakan menolak gugatan Provisi Penggugat
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat TRP bin H>.TS kepada
Penggugat TBP binti ZB dan menyatakan perkawinan antar
Penggugat dan Terrgugat putus karena perceraian.
132
3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan
untuk menyampaikan salinan putusan kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pasar Minggu untuk mencatat perceraian tersebut.
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dari
perkara ini sejumlah Rp.325.000,-.
5. Menyatakan gugatan Penggugat selain dan selebihnya tidak dapat
diterima.42
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta
Setelah Pengadilan Agama menjatuhkan putusan, Tergugat
mengajukan banding pada tanggal 1 Februari 2006 atas putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 937/Pdt.G/2005/PA.JS.
Permohonan banding Tergugat diberitahukan kepada Penggugat/
Terbanding. Tergugat/ Pembanding mengajukan memori banding
tanggal 16 Maret 2006 dan Penggugat/ Terbanding pun juga telah
mengajukan kontra memori banding tanggal 12 April 2006.
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta memeriksa dan
mempelajari dengan seksama berkas perkara yang terdiri dari berita
acara pemeriksaan persidangan, surat-surat yang diajukan oleh para
pihak yang berperkara, dan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
nomor 937/Pdt.G/2005/PA.JS tanggal 1 Februari 2006. Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta berpendapat bahwa putusan hakim tingkat
pertama baik dalam provisi maupun dalam pokok perkara sudah tepat
dan benar. Akan tetapi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta memandang
perlu memberikan tambahan pertimbangan sendiri dalam perkara ini.
Berkaitan dengan pemeliharaan anak, Tergugat/ Pembanding
tidak menyinggung lagi tentang pemeliharaan anak karena Tergugat
Pembanding tetap dengan dalil sebelumnya yang pada intinya tidak
berkeinginan untuk berpisah dengan Penggugat/ Terbanding. Adapun
Penggugat/ Terbanding dalam kontra memori banding telah mengajukan
keberatan atas putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan yang
berkaitan dengan hak pemeliharaan anak hasil perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat. Setelah Pengadilan Tinggi Agama memeriksa
gugatan Penggugat/ Terbanding, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
memutuskan perkara sebagai berikut:
Menyatakan bahwa permohonan banding yang diajukan Tergugat
Pembanding dapat diterima;
42
Selengkapnya lihat dalam putusan perkara No.
937/Pdt.G/2005/PA.JS, 1-34.
133
Menguatkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
937/Pdt.G/2005/PA.JS dengan perbaikan amar sehingga secara
keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menolak gugatan provisi Penggugat;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap
Penggugat;
3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta
Selatan untuk mengirimkan salinan putusan perkara ini yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan
Agama Kecamatan Pasar Minggu untuk pencatatan perceraian
tersebut;
4. Menyatakan tidak menerima gugatan Penggugat selebihnya;
5. Membebankan Penggugat untuk membayat biaya perkara ini
seluruhnya berjumlah Rp. 325.000,-
6. Membebankan kepada Tergugat/ Pembanding untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp.206.000,-.43
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim Agung pada Perkara Kasasi
di Mahkamah Agung
Sesudah putusan terakhir diberitahukan kepada Tergugat/
Pembanding, Tergugat/ Pembanding dengan perantaraan kuasanya
mengajukan permohonan kasasi secara lisan. Permohonan tersebut
kemudian disusul oleh memori kasasi. Setelah itu oleh Penggugat/
Terbanding pun mengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dalam
memori kasasinya pada pokok perkara berkaitan dengan judex facti. Pertama, Pengadilan Tinggi Agama telah salah menerapkan hukum
yaitu telah memutuskan melampaui batas kewenangannya karena telah
menerima, mengadili, dan memutuskan surat gugatan Penggugat/
Termohon Kasasi dimana surat gugatan tersebut tidak bersandar pada
hukum dan alasan-alasan gugatannya tidak didukung oleh peristiwa-
peristiwa dan dasar-dasar tuntutan Penggugat/ Termohon Kasasi. Kedua, judex facti telah salah menerapkan hukum dan telah melanggar
asas keadilan karena dalam pertimbangannya semata-mata mengambil
43
Selengkapnya lihat dalam putusan perkara No.
21/Pdt.G/2006/PTA.JK, 1-14.
134
pendapat dari Yurisprudensi yang bergeser dari Surat Edaran Mahkamah
Agung RI No. 3 Tahun 1981 yang mengajarkan tentang ‚Marriage Brekdown‛ sebagai unsur utama dari pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, tanpa mempertimbangkan latar belakang
kasus yang Tergugat/ Pemohon Kasasi alami dan fakta hukum yang
terjadi. Ketiga, bahwa judex facti telah salah dan keliru dalam
menerapkan hukum karena menurut Penjelasan Umum Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 huruf (e) dimana dinyatakan tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga bahagia, kekal, dan sejahtera, maka
undang-undang ini mengandung prinsip mempersukar perceraian.
Keempat, bahwa judex facti telah salah dan keliru menerapkan
pembuktian shiqaq. Shiqaq harus didasarkan pada alasan-alasan
sehingga apabila tidak terbukti adanya perselisihan yang terus menerus
maka penyelesainnya bukan dengan cara shiqaq tetapi dengan hukum
pembuktian biasa. Kelima, bahwa judex facti telah melalaikan asas
kepatutan, kebenaran, dan keadilan yang semestinya menjiwai setiap
peradilan, akan tetapi judex facti dalam hal ini sangat tidak cermat dan
salah dalam pertimbangan dan menyimpulkan fakta-fakta persidangan
karena yang menjadi essensial dalam hukum pembuktian ini apakah
peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam rumah tangga Tergugat/
Pemohon Kasasi dengan Penggugat/ Termohon Kasasi terbukti sebagai
perselisihan terus menerus di dalam rumah tangga.
Terhadap alasan-alasan Pemohon Kasasi di atas, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan oleh
karena Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tidak salah menerapkan
hukum. Namun demikian menurut pendapat Mahkamah Agung, amar
putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta harus diperbaiki karena
belum tepat.
Berkenaan dengan pemeliharaan anak, tuntutan Termohon
Kasasi/ Penggugat agar pemeliharaan anak ditetapkan pada Termohon
dapat dipertimbangkan untuk memastikan posisi anak. Seharusnya
judex facti memandang sebagai fakta bahwa dengan adanya tuntutan
provisi supaya anak ditetapkan pemeliharaannya pada Termohon Kasasi
merupakan fakta telah terjadi perebutan tentang penguasaan anak yang
sama sekali tidak menguntungkan bagi kepentingan anak, baik
dipandang dari segi pemeliharaan, maupun dari segi pendidikan yang
diperlukan seorang anak. Majelis hakim berpendapat apabila terjadi
keadaan yang seperti ini, maka secara kasuistik Hakim secara ex officio
berhak menentukan siapa yang harus memelihara anak tersebut demi
kepentingan anak. Majelis hakim berkeyakinan, jika tidak ditetapkan
dimana anak harus dipelihara, akan terus terjadi perebutan tentang
135
penguasaan anak yang dapat saja mempengaruhi perkembangan jiwa
seorang anak.
Telah terungkap suatu fakta dipersidangan, bahwa Termohon
kasasi/ Penggugat adalah seorang selebritis/ publik figur yang sangat
sibuk dengan pekerjaannya, sering berangkat pagi pulang sore, bahkan
sampai malam, sehingga jika anak ditetapkan di bawah hadanah
Termohon Kasasi/ Penggugat maka anak akan kurang mendapat
perhatian dan kasih sayang dari Termohon Kasasi/ penggugat karena
kesibukan Termohon Kasasi/ Penggugat dengan pekerjaannya, dan hal
ini tentu saja akan mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-undang No. 4 tahun
2004, Undang-undang no. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004, Undang-undang No.
7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang
No. 3 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan, Mahkamah Agung dalam Perkara Kasasi No. 349
K/AG/2006 memutuskan perkara sebagai berikut:
Menerima permohonan banding dari Pembanding
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
937/Pdt.G/2005/PA.JS tanggal 1 Februari 2006 sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menolak gugatan provisi Penggugat
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap
Penggugat
3. Menetapkan anak yang bernama Rassya Isslamay Pasya lahir di
Jakarta pada tanggal 4 Februari 1999, berada di bawah
hadhanah Tergugat (selaku ayah);
4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan
untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
Penggugat dan Tergugat dan kepada Pegawai Pencatat Nikah di
tempat Perkawinan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan
untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
6. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat pertama sebesar Rp. 325.000,-;
Menghukum Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat banding sebesar Rp. 206.000,-;
136
Menghukum Pemohon Kasasi/ Tergugat untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 500.000.44
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim Ditinjau dalam
Perspektif Hukum Positif
Perkara ini pada dasarnya adalah perkara gugatan perceraian
yang dikomulasikan dengan perkara hak pengasuhan anak. Analisis
dalam kasus ini lebih menitik beratkan dalam hal pertimbangan dan
putusan hakim yang berkenaan dengan permasalahan pengasuhan dan
pemeliharaan anak saja. Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan
Agama Jakarta Selatan menolak gugatan provisi45
Penggugat, sehingga
dalam putusan akhir dalam pokok perkara hakim Pengadilan Agama
Jakarta selatan tidak memutuskan hak pengasuhan dan pemeliharaan
anak. Berdasarkan analisa penulis, gugatan yang diajukan oleh
Penggugat ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenaan dengan
pengasuhan dan pemeliharan anak tidak secara jelas dimuat dalam surat
gugatan. Hal ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya syarat formil
dimana gugatan harus jelas dan tegas sebagaimana ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 8 ayat (3) Rv (Reglement op de Burgelijke
Rechtsvordering),46 misalnya posita tidak menjelaskan kejadian serta
dasar hukum tuntutan dalam gugatan, tidak jelasnya objek gugatan,
posita bertentangan dengan petitum, dan petitum tidak terinci tetapi
hanya kompositur (ex aequo et bono). Dalam perkara ini, gugatan Penggugat tentang anak terdapat
beberapa kekeliruan dalam penempatan dan merumuskan posita dan
petitum. Pada pokok perkara dalam posita, Penggugat mendalilkan
dalam hal terjadinya perceraian, berdasarkan pasal 105 huruf (a) bahwa
44
Selengkapnya lihat dalam putusan perkara No. 349K/AG/2006, 1-
14. 45
Gugatan provisi adalah permohonan/ permintaan pihak yang
bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan, guna
kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan atau merupakan
permohonan kepada hakim agar ada tindakan sementara mengenai hal yang
tidak termasuk pokok perkara, lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 884.
46 Gugatan pada pokoknya memuat identitas dari para pihak, dalil-
dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yeng merupakan dasar serta
alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van den eis) atau lebih dikenal
dengan fundamentum petendi (posita) dan petitum atau tuntutan, lihat Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2006),
54.
137
‚pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.‛ Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan tersebut maka anak Penggugat dan Tergugat yang masih
berumur 6 tahun harus dalam pengasuhan ibu kandungnya (Penggugat),
dan sepatutnya Pengadilan memutuskan agar anak yang lahir dari
perkawinan Penggugat dan Tergugat berada dalam pengasuhan dan
pemeliharaan Penggugat. Apa yang telah didalilkan oleh Penggugat
dalam posita berkenaan pengasuhan dan pemeliharaan anak agar berada
dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat, tidak diminta lagi
dalam petitum pokok perkara. Dalam petitum pokok perkara Penggugat
meminta nafkah, dimana hal ini tidak pernah didalilkan oleh Pengugat
dalam posita pokok perkara sebelumnya.
Penggugat juga mengajukan gugatan provisi berkenaan
dengan pengasuhan dan pemeliharaan anak. Dalam merumuskan posita
dalam gugatan provisi, Penggugat mendalilkan bahwa Ibu Tergugat dan
keponakan-keponakan Tergugat yang seumuran dengan anak Penggugat
dan Tergugat sering menginap di rumah sehingga keadaan dan sikap
anak berubah terhadap Penggugat yang akhirnya Penggugat mengalami
kesulitan menghubungi anak tersebut dan adanya sikap ketakutan dari
anak jika bertemu dengan Penggugat. Penggugat memohon dan
menyatakan agar anak Penggugat dan Tergugat yang masih berumur 6
(enam) tahun harus dalam pengasuhan Penggugat dan memerintahkan
Tergugat atau kepada siapapun anak tersebut dipelihara untuk
menyerahkan kepada Penggugat. Penggugat juga mendalilkan tentang
nafkah anak oleh karena anak tersebut masih memerlukan biaya untuk
pendidikan, Tergugat sebagai ayah dari anak tersebut wajib memberikan
nafkah hidup dan biaya pendidikan untuk masa depan anak setiap
bulannya sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Penggugat
mendalilkan hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 41 huruf (b)
dan pasal 45 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, serta Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam.47
Uraian
47
Pasal 41 huruf (b) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan: ‚Akibat putusnya perkawinan adalah bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyataan tidaka dapat memnuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pasal 45 ayat (2) menyatakan: ‚ kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.‛
138
tentang pengasuhan dan pemeliharaan anak serta nafkah anak dalam
posita gugatan provisi tidak dimuat dan dirumuskan lagi dalam petitum
gugatan provisi melainkan hanya tuntutan penetapan agar anak yang
berada pada Tergugat diserahkan kepada Penggugat tanpa menyinggung
lagi tentang nafkah pemeliharaan anak.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat ketidaksinkronan
antara isi posita dan petitum, dimana dalam perumusan posita dan
petitum pemeliharaan anak berbeda dengan perumusan posita dan
petitum tentang nafkah anak sehingga gugatan tentang pengasuhan dan
pemeliharan anak menjadi tidak jelas dan terang (obscuur libel). Di
samping itu, dengan memperhatikan dalil Penggugat dan Tergugat yang
dikemukakan dalam posita gugatan, jawaban, replik, duplik, dan bukti-
bukti surat serta keterangan saksi-saksi, hakim menganggap persoalan
yang berkaitan dengan pengasuhan anak tidak diminta dalam perkara ini
secara jelas dalam petitum pokok perkara sehingga dalam putusan tidak
ditetapkan hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak, maka petitum
yang berkaitan dengan nafkah anak dinyatakan tidak dapat diterima.
Penyusunan surat gugatan dalam sebuah perkara, baik perkara
perdata maupun perkara pidana memegang peranan yang sangat penting
di samping proses pembuktian. Surat gugatan merupakan pedoman
hakim dalam memeriksa perkara di persidangan. Apabila gugatan yang
disusun dan diajukan ke Pengadilan tidak memenuhi syarat-syarat
formil sebuah gugatan, maka akan berakibat fatal yaitu gugatan tersebut
akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont van kelijk ver klaard) atau yang biasa yang disingkat dengan NO.
HIR dan RBg tidak menetapkan syarat-syarat tentang isi
sebuah gugatan. Dalam hal ini berbeda dengan ketentuan hukum acara
perdata Eropa yang diatur dalam Rv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) bahwa gugatan harus memuat apa yang dituntut
terhadap Tergugat, dasar-dasar penuntutan tersebut, dan bahwa
tuntutan tersebut harus terang dan tertentu.48
Meskipun hukum acara
Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan: ‚dalam
hal terjadinya perceraian, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.‛ 48
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2002), 24. Soepomo menjelaskan, Rv sebenarnya sudah
tidak berlaku lagi di Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 393 HIR. Namun
untuk melaksanakan hukum materil yang dimuat dalam BW, HIR tidak selalu
mempunyai peraturan-peraturan yang diperlukannya. Oleh karenya, putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 13 Desember 1952 mengatakan bahwa
menurut azas hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, Rv boleh dpakai
139
perdata yang termuat di dalam HIR (Herzien Indonesia Reglement atau
reglement Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No. 16, S. 1941 No. 44
untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten atau reglement daerah seberang: S. 1927 No. 227 untuk
luar Jawa dan Madura) tidak menyebut dan mengatur mengenai syarat-
syarat yang harus dipenuhi surat gugatan, akan tetapi Mahkamah Agung
di dalam beberapa putusannya memberikan fatwa bagaimana gugatan
itu seharusnya disusun. Yurisprudensi Mahkamah Agung berkenaan
tentang syarat dalam menyusun sebuah gugatan adalah:
1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup
memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar
tuntutan (MA tanggal 15-03-1970 Nomor 547 K/Sip1972).49
2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tanggal 21-11-
1970 Nomor 492 K/Sip/1970).50
3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap
(MA tanggal 13-05-1975 Nomor 151 K/Sip/1975).51
4. Khusus gugatan mengenai tanah, harus menyebut dengan jelas
letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tanggal 09-07-1973 Nomor
81 K/Sip1971).52
Ada beberapa alasan dan pertimbangan hakim dalam
menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima/ NO.53
Salah satunya
adalah obscuur libel. Obscuur libel artinya gugatan penggugat kabur,
tidak memenuhi syarat yang jelas dan pasti (duidelijke en bepaalde conclusie) yang digariskan pasal 8 ke-3Rv sebagai asas procces doelmatigheid (demi kepentingan beracara). Makna gugatan yang kabur
sebagai pedoman dalam hal-hal yang tidak diatur dalam HIR bilamana perlu
sekali untuk melaksanakan hukum materil. 49
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata (Bandung: PT Alumni, 1993) 25.
50 R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata bagian 3 tentang
Gugatan dan Surat Gugatan (Jakarta: sinar Grafika, 2010), 138. 51
R. Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap & Praktis HIR, RBg, dan Yurisprudensi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 29.
52 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 342. 53
Alasan-alasan suatu gugatan yang diajukan ke Pengadilan
dinyatakan tidak dapat diterima adalah: gugatan tidak beralasan, gugatan
mengandung cacat error in persona, gugatan melawan hak, gugatan diajukan
kepada pengadilan di luar yurisdiksi absolut dan relatif, gugatan obscuur libel, gugatan masih prematur, dan gugatan telah kadaluarsa. Lihat kembali Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 888-891.
140
memiliki spektrum yang sangat luas, di antaranya bisa berupa: Pertama, dalil gugatan (posita atau fundamentum petendi) tidak mempunyai
dasar hukum yang jelas. Kedua, objek sengketa tidak jelas. Ketiga, petitum gugatan tidak jelas. Ketidakjelasan petitum dapat terjadi karena
petitum tidak rinci, dan adanya kontradiksi antara posita dan petitum.
Oleh karena itu, posita dengan petitum gugatan harus saling mendukung
dan tidak boleh bertentangan. Sehubungan dengan hal itu, hal-hal yang
dapat dituntut dalam petitum harus mengenai penyelesaian sengketa
yang didalilkan. Hanya yang didalilkan dalam posita yang dapat diminta
dalam petitum. Keempat, gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem, artinya apabila yang digugat telah pernah diperkarakan
dengan kasus yang serupa dan putusan tentang itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.54
Dengan memperhatikan gugatan Penggugat dan putusan
hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan dapat disimpulkan
bahwa gugatan Penggugat tentang pengasuhan dan pemeliharaan anak
tidak diputuskan, begitu juga tentang nafkah anak dinyatakan tidak
dapat diterima dikarenakan gugatan Penggugat obscuur libelium dimana
gugatan pengasuhan dan pemeliharaan anak tidak dimuat secara jelas.
Ketidak jelasan gugatan Penggugat tentang pengasuhan dan
pemeliharaan anak disebabkan petitum Penggugat tidak merinci
tuntutan sebagaimana yang telah didalilkan dalam posita sebelumnya,
sehingga antara posita dan petitum terjadi kontradiksi dan ketidak
sinkronan. Maka sesuai dengan hukum acara perdata, Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Pengasuhan dan
Pemeliharaan anak telah tepat dan sesuai dengan tata aturan Hukum
Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.
Hakim memegang peranan yang penting dalam menilai dan
mempertimbangkan formalitas sebuah gugatan, yakni apakah telah
memenui syarat formil berdasarkan Pasal 8 Rv atau tidak. Untuk
mengatasi adanya kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh para
pencari keadilan dalam memperjuangkan kepentingannya, Pasal 119
HIR/ Pasal 143 Rbg memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan
untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak penggugat dalam
pengajuan gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan
gugatan-gugatan yang cacat formil atau gugatan yang tidak sempurna
yang akan dinyatakan NO.55 Namun dalam prakteknya masih sering
54
Lihat kembali Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 889-890.
55 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 26.
141
bahkan kebanyakan perkara berakhir dengan dictum putusan yang
menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Meskipun
demikian, terhadap putusan yang telah dinyatakan tidak dapat diterima,
Penggugat masih dapat mengajukan gugatannya kembali.
Pada tingkat banding, kesimpulan dan putusan hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta sama dengan putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dimana tidak diputuskannya hak tentang
pengasuhan dan pemeliharaan anak. Perkara banding diajukan oleh
Tergugat dimana Tergugat tidak menerima putusan cerai gugat
Penggugat yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Oleh karenanya dalam memori banding, Tergugat hanya
mendalilkan tentang keberatan-keberatan yang berkaitan dengan
perceraian. Tergugat tidak menyinggung lagi permasalahan mengenai
hak pengasuhan dan pemeliharaan anak karena perceraian tidak
diinginkan oleh Tergugat. Tergugat juga pernah mendalilkan
sebelumnya tidak menerima perceraian karena tidak ada efek positif dari
sebuah perceraian terhadap anak. Tergugat mengingatkan Penggugat
bahwa anak akan menjadi korban nomor satu dari sebuah perceraian.
Sebaliknya, Penggugat dalam kontra memori banding
mengajukan keberatan atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
yang berkenaan dengan hak pemeliharaan anak hasil perkawinan
Penggugat dan Tergugat. Pengadilan Tinggi Agama menguatkan
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan menolak gugatan
provisi Penggugat tentang pengasuhan dan pemeliharaan anak dengan
memperhatikan surat gugatan Penggugat sebelumnya dimana gugatan
yang berkaitan dengan pengasuhan dan pemeliharaan anak tidak diminta
secara jelas sehingga mengaburkan gugatan (obscuur libel). Tidak
diputuskannya persoalan tentang pemeliharaan anak dikuatkan lagi
dengan adanya pernyataan dan penegasan Penggugat bahwa Penggugat
akan segera mengajukan perkara tersendiri perihal hak asuh/
pemeliharaan anak setelah putusan perceraian Penggugat dan Tergugat
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada tingkat kasasi, pada dasarnya juga menolak gugatan
provisi Penggugat. Akan tetapi Majelis Hakim Kasasi di Mahkamah
Agung menimbang perlu untuk memperbaiki amar putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta yang berkaitan dengan pengasuhan dan
pemeliharaan anak. Putusan judex facti yang berkaitan dengan
pengasuhan dan pemeliharaan anak dinilai belum tepat karena tuntutan
Termohon Kasasi/ Penggugat agar pemeliharaan anak ditetapkan pada
Termohon Kasasi dapat dipertimbangkan untuk memastikan posisi anak
hasil perkawinan mereka yang bernama Rassya Isslamay Pasya yang
142
lahir di Jakarta tanggal 4 Februari 1999. Menurut Majelis Hakim Kasasi,
seharusnya judex facti memandang sebagai fakta bahwa dengan adanya
tuntutan provisi supaya anak ditetapkan pemeliharaannnya kepada
Termohon Kasasi/ Penggugat, merupakan fakta telah terjadi perebutan
tentang penguasaan anak yang sama sekali tidak menguntungkan bagi
kepentingan anak, baik dipandang dari segi pemeliharaan, mapun dari
segi pendidikan yang diperlukan oleh seorang anak.
Majelis Hakim Kasasi berpendapat, apabila terjadi keadaan
seperti demikian, maka secara kasuistik Hakim secara ex officio berhak
menetukan siapa yang harus memelihara anak, demi kepentingan anak
tersebut. Dalam hal ini Majelis Hakim Kasasi sependapat dengan buku
‚Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum
Acara Persdata dan Hukum Acara Islam,‛ yang ditulis oleh Ahmad
Sahabuddin yang menyatakan bahwa menurut Hukum Acara Perdata
Islam, keyakinan Hakim dapat digunakan sebagai pembuktian
menentukan sebuah perkara manakala sudah sulit sekali mencari
kebenaran formal, maka pemecahannya adalah mencari kebenaran
materil. Atas dasar keyakinan tersebut, Majelis Hakim Kasasi
berpendapat jika tidak ditetapkan dimana anak harus dipelihara, maka
akan terus terjadi perebutan tentang penguasaan anak yang dapat saja
mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak.
Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak asuh
anak, Majelis Hakim Kasasi mempertimbangkan beberapa fakta
persidangan sebelumnya. Terungkap bahwa Termohon Kasasi/
Penggugat adalah seorang selebritis dan publik figur yang sangat sibuk
dengan pekerjaannya, sering berangkat pagi pulang sore bahkan sampai
malam, sehingga jika anak ditetapkan di bawah hadanah Termohon
Kasasi, maka anak akan kurang mendapat perhatian dan kasih sayang
dari Termohon Kasasi/ Penggugat selaku ibu dikarenakan kesibukan
Termohon Kasasi dengan pekerjaannya, hal ini tentu saja mempengaruhi
perkembangan jiwa seorang anak. Maka dengan memandang demi
kepentingan terbaik bagi anak, Majelis Hakim Kasasi menetapkan
bahwa anak Pemohon dan Termohon Kasasi yang bernama Rassya
Isslamay Pasya berada di bawah hadanah Pemohon Kasasi Teuku Rafli
Pasya bin Teuku Syahrul selaku ayah.
Dengan melihat putusan Hakim Mahkamah Agung di atas,
sekalipun bertentangan dengan Pasal 105 huruf (a) KHI dimana
mengatur dalam hal terjadinya perceraian orang tua bahwa pemeliharaan
anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya. Pasal tersebut dapat dikesampingkan, karena secara kasuistik
Hakim secara ex officio dapat menentukan siapa yang harus memelihara
143
anak dengan melihat kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu
Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung memaknai ketentuan hak
pengasuhan dan pemeliharaan anak yang secara otomatis memberi hak
asuh kepada ibu (berdasarkan pasal 105 KHI) dipahami oleh Hakim
secara kontekstual. Pemahaman hakim dengan cara
menginterpretasikan ketentuan hukum yang sudah ada dengan melihat
faktor kepentingan terbaik bagi anak telah membuat kebijakan hukum
yang sangat responsif terhadap fakta-fakta hukum yang terjadi dan telah
sesuai dengan karakteristik hukum yang progresif pada kemajuan dan
perkembangan masyarakat.
Putusan Majelis Hakim Kasasi mendasarkan pertimbangannya
pada pasal 41 huruf (a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa ‚Baik
ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusannya,‛. Sesuai
pula dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2002 bahwa
‚setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya.‛ Menurut Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 di
atas dalam hal pemeliharaan anak apabila putusnya perkawinan orang
tua karena perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi
kepentingan anak, hanya bila ada perselisihan mengenai penguasaannya,
maka Pengadilan akan memutus kepada siapa dari kedua orang tua akan
diberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan. Selanjutnya pasal 9 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 2002 lebih ditekankan kepada kepentingan
pendidikan anak di masa depan dan dalam rangka pengembangan
pribadinya hakim melihat anak lebih mashlahat apabila berada dalam
pengasuhan ayahnya dengan melihat kasus fakta dalam perkara di atas.
Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 906
K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1974 yang menyatakan: ‚Kepentingan si anak lah yang harus dipergunakan sebagai patokan untuk menentukan kepada siapa dari orang tuanya yang diserahi pemeliharaan anak.‛
Pertimbangan yang berorientasi pada kepentingan anak di atas
selain sesuai Pasal 41 huruf (a) Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal
9 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 juga sejalan dengan UU No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 4
tahun 1979 menyatakan bahwa: ‚Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam
keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar. Selanjutnya dalam Konvensi PBB tentang
144
Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 36 tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, pada Pasal 3
menyatakan: ‚Dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau
swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah maupun badan
legislatif, kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan
utama.‛ Selain itu, telah pula diundangkan Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada Pasal 52 yang
menyatakan: ‚(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat dan negara, (2) Hak anak adalah hak asasi manusia
dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh
hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pertimbangan Majelis Hakim
Kasasi Mahkamah Agung dengan memberikan hak hadanah pada ayah
dengan melihat fakta-fakta persidangan serta adanya kenyakinan hakim
bahwa anak lebih maslahat apabila diasuh oleh ayah dari pada ibu sudah
sesuai dengan landasan aturan hukum positif di Indonesia dimana untuk
melindungi masa depan anak agar tumbuh dan berkembang secara baik
di masa akan datang.
6. Analisis terhadap Pertimbangan dan Putusan Hakim Ditinjau
dalam Perspektif Hukum Islam
Hakim mengemban amanat sebagai penyambung titah Allah
dan Rasul-Nya di muka bumi. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat guna untuk kepentingan dan kemashlahatan
mereka. Oleh karena itu tantangan hakim adalah bagaimana
mewujudkan dan menata kelembagaan pengadilan sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat-sahabat dan amir-amir muslim
sesudahnya dalam menegakkan keadilan, kemanfaatan, dan
kemashlahatan bagi umat.
Dalam Islam, prinsip tentang kebenaran dan penegakan
keadilan banyak dijumpai dalam literatur Islam. Diantaranya QS, al-
Nisa>’ ayat 58: ‚Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu menghukum antara manusia, maka hendaknya kamu menghukum dengan adil.‛ QS. Al-Nisa>’ ayat 135 Allah berfirman ‚Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemashlahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
145
Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang lamu kerjakan.‛ QS. Al-Ma>idah ayat 8: ‚Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa. Dan bertawakkallah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.‛ QS. Al-Ma>idah ayat 42:
...‛jika engkau memutuskan perkara (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.‛ QS. Al-Nahl ayat 90: ‚Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan....‛ QS. Al-Hujura>t ayat 9:
...‛dan berlaku adillah kamu! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.‛
Rasulullah saw bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari: ‚wahai manusia, ketahuilah kehancuran umat terdahulu sebelum kamu lantaran apabila yang mencuri itu orang yang terpandang, mereka tinggalkan hukumnya, sebaliknya apabila yang mencuri itu dari kalangan rakyat jelata, mereka secara tegas menerapkan hukuman. Demi Allah, jika Fathimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya."56 Di samping itu fatwa khalifah Umar ibn Khattab kepada
Qadhi di Kufah Abu Musa al-Ash‘ari>: ‚samakan kedudukan manusia dalam majelismu, pada wajahmu, pada tindak lakumu, dan dalam putusanmu, supaya yang kaya tidak menganggap wajar ketidakadilanmu, dan yang miskin dan lemah tidak berputus asa terhadap putusanmu.‛57
Beberapa ayat, hadist, fatwa khalifah di atas menggambarkan
secara umum tentang kebenaran dan keadilan serta menjadi pedoman
bagi hakim dan mengimplementasikannya dalam beracara di pengadilan.
Seorang hakim dalam mengadili suatu perkara baik perdata maupun
pidana harus mengetahui dengan yakin mana yang harus dimenangkan
dan dikalahkan. Dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan,
salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah ada hubungan hukum
56
Redaksi hadist di atas diambil dari Imam Muslim, S{ah}i>h} Musli>m (Kairo: Da>r al-Hadist, 1996), vol. 3, hadist no. 1688, 171. Lihat juga redaksi
lainnya dalam Ima>m al-Bukha>ri, S{ah}i>h} al-Bukha>ri (Kairo: Da>r Hadist, 2004),
vol. 2, hadist no. 3475, dan al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Makkah al-
Mukarramah:Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), vol. 10, 332. 57
Lihat teks lengkapnya dalam Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-
Da>ruqut}ni>, Sunan al-Da>ruqut}ni>, Kita>b Umar RA Ila> Abi> Musa> al-Ash‘ariy
(Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1996), vol. 4, 206.
146
yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Oleh
karenanya, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Pembuktian
bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan
untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak, dan
menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian serta untuk
meyakinkan hakim tetang dalil-dalil peristiwa yang diajukan.
Rasulullah saw telah mengualifikasikan golongan-golongan
hakim yang masuk surga dan yang akan masuk neraka. Hakim-hakim
tersebut tidak akan selamat dari neraka melainkan mereka mengetahui
suatu perkara kemudian memberikan keputusan terhadap perkara
tersebut berdasarkan keyakinan dan kebenaran, sebagaimana dalam
hadist Rasulullah saw: ‚Hakim itu terbagi ke dalam tiga golongan. Golongan pertama akan dimasukkan ke dalam surga, sedang dua golongan lagi akan dimasukkan ke dalam neraka. Hakim yang akan dimasukkan ke dalam surga adalah hakim yang mengetahui akan kebenaran dan menjatuhkan putusannya berdasarkan keadilan dan kebenarannya itu. Bagi hakim yang mengetahui akan kebenaran, akan tetapi menyimpang dari kebenaran tersebut dan memutus secara zalim, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan begitupun hakim yang menjatuhkan putusan berdasarkan kebodohannya, maka ia pun akan dimasukkan ke dalam neraka.‛58 Berdasarkan hadist tersebut dapat
dikatakan bahwa hanya satu jenis hakim yang selamat dan masuk surga
yaitu hakim yang mengetahui akan kebenaran dan menghukum
dengannya. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran dengan
arti yang sebenar-sebenarnya (materil waarheid), artinya kebenaran lahir
dan bathin, bukan yang ada pada lahiriah saja. Berkenaan dengan hal ini
Allah swt berfirman dalam QS. Al-Isra>’ ayat 36:
‚Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya,‛
Dalam perkara No. 349K/AG/2006 dalam hal menetapkan
pengasuhan dan pemeliharaan anak dimana keyakinan hakim digunakan
sebagai pembuktian dalam menetapkan perkara ketika kebenaran formal
di persidangan sulit didapati. Maka dalam menetapkan hak
58
Lihat dalam Abu> Daud Sulaima>n ibn al-Ash‘ats al-Sajasta>niy,
Sunan Abi> Daud, Kitab al-Aqd}iyyah , Bab Fi> al-Qa>d}i> Yakht}a’ (Beirut: Da>r al-
Fikr, 2004), vol. 2, hadist no. 3573, 164. Lihat juga redaksinya lainnya dalam
Sunan Tirmidzi dalam bab al-Qa>d}i, Sunan Ibnu Ma>jah dalam bab al-H{akim
Yajtahidu fa Yus}i>bu al-H{aq, Sunan al-Nasa> ‘i al-Kubra> dalam bab Dzikru Ma>
A‘adda Allahu Ta ‘a>la> li al-H>a>kim al-Ja>hil, Sunan al-Baihaqi al-Kubra> dalam
bab Itsmun man Afta> wa Qadha bi al-Jahl.
147
pemeliharaan dan pengasuhan anak, Majelis Hakim Kasasi menetapkan
putusannya berdasarkan kebenaran materil. Berdasarkan keyakinan
Majelis Hakim Kasasi, jika anak tidak ditetapkan siapa dan dimana anak
harus dipelihara, maka akan terus terjadi perebutan tentang penguasaan
anak oleh Penggugat dan Tergugat dimana hal ini dapat mempengaruhi
perkembangan jiwa anak. Ibnu Rushdi (w.1198M) menjelaskan dalam
Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id tentang keyakinan hakim
dalam memutus perkara sebagai berikut:
يقضى لم علمو بضد الشهود شهد اإذ وأنو. والتجريح التعديل فى بعلمو يقضى القاضى أن على أجمعوا العلماء أن 59بو
para ulama sepakat berpendapat bahwa seorang hakim menetapkan hukum berdasarkan ilmunya (keyakinannya) di dalam menerima dan menolak bukti-bukti. Bila ada seorang saksi memberikan keterangan yang bertentangan dengan pengetahuan (keyakinan) hakim, maka hakim tidak boleh menghukum dengan dasar bukti tersebut. Hal demikian pun sejalan dengan pendapat Ahmad Sahabuddin dalam
bukunya Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Islam dalam hal keyakinan
hakim dapat digunakan sebagai pembuktian menentukan sebuah
perkara, dalam arti manakala sudah sulit sekali mencari kebenaran
formal, maka jalan keluarnya adalah mencari kebenaran materil.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam hukum
Islam, baik perkara perdata maupun perkara pidana menuntut hakim
untuk memutuskan perkara berdasarkan kebenaran materil yang sesuai
dengan tujuan hukum Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan dan
keadilan bagi manusia. Keyakinan materil diperoleh dari keyakinan
hakim ketika memutus dan menyelesaikan sebuah perkara.
Peran keyakinan hakim sangat penting dalam hukum acara
baik hukum acara perdata umum maupun hukum acara perdata Islam di
samping alat-alat bukti lain sebagai pertimbangan dalam memutus
perkara. Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa
tingkatan. Tingkatan keyakinan hakim tersebut adalah yaqi>n, z}a>nn, shak, dan waham. Diskursus seputar makna kata yaqi>n cukup semarak
dibicarakan terutama dalam kajian ilmu fikih, ushul fikih, maupun
kaidah fikih. Dilihat dari sisi bahasa, yaqi>n secara sederhana dimaknai
sebagai ketetapan hati (t}uma’ninah al-qalb) atas suatu kenyataan atas
59
Ibnu Rushdi, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id (Kairo: Da>r al-Hadist, 2004), vol. 2, 253.
148
realitas tertentu.60
Lebih jauh al-Ghazali (w.505H) menandaskan bahwa
yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum,
dimana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal
yang benar.61
Yaqi>n dalam konteks ini memiliki makna yang lebih luas
dari pada pengertian yaqi>n secara etimologis. Sebab yang dimaksud
yaqi>n di sini juga memasukkan z}an (praduga kuat), dimana z}an sendiri
belum mencapai derajat yaqi>n. Namun para fuqaha terbiasa
menggunakan kata al-‘ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjuk makna
z}an, dan sebaliknya. Adapun shak (ragu-ragu) secara literal biasa
diartikan sebagai keraguan atau kebimbangan.62
Secara lebih sistematis,
sebagian ulama memilah kondisi hati dalam lima bagian. Pertama, yaqi>n
yaitu keteguhan hati yang bersandar pada dalil qat}‘i (petunjuk pasti).
Kedua, i‘tiqad yakni keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil
qat}‘i. Ketiga, z}an yaitu persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal
berbeda dimana salah satunya lebih kuat. Keempat, shak yaitu sebentuk
prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu di antara
keduanya. Kelima, waham yakni kemungkinan yang lebih lemah dari
dua hal yang diasumsikan.63
Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan
hakim pada tingkat yang meyakinkan (yakni 100%), dan dihindarkan
memberikan putusan apabila terdapat kondisi shak atau shubhat, atau
yang lebih rendah darinya yaitu waham karena pengambilan keputusan
berdasar kondisi shak atau shubhat ini dapat memungkinkan akan
adanya penyelewengan dalam pengambilan keputusan. Rasulullah saw
bersabda: ‚sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat (perkara yang samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang jatuh melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh ke perkara
60
Abu> Zakariya Yah}ya bin Sharf al-Nawawi, Sharh S{ah}i>h Muslim (), 91. Lihat dalam Muhammad S{idqi bin Ahmad al-Burnu, 91.
61 Lihat Abu> H{amid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-
Mustas}fa> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), vol. 1, 35. Lihat juga dalam Ibnu
Quda>mah, Raud}ah al-Na>z}ir wa Junnah al-Munaz}ir (Riyadh: Jami‘ah al-Ima>m
Muhammad ibn Sa’ud, 1399H), 13. 62
Lengkapnya lihat Abu> Zakariya Yahya> ibn Sharaf al-Nawawi,
Raud}ah al-T{a>lini>n (Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1405 H), vol. 1, 131. 63
Istilah-istilah di atas biasanya dijelaskan menggunakan
visualisasi; z}an 50, shak 50:50, waham 50, sedangkan yaqi>n biasanya
dipahami sebagai perbandingan 100:0. Lebih lanjut lihat Ahmad ibn
Muhammad al-Hamawi, Ghamzu ‘Uyu>n al-Bas}a<ir H{ashiyah ‘ala> Ashbah li Ibn Nujaim (Istanbul: Da>r al-T{iba> ‘ah al-Ami>rah, 1290H), 131-134.
149
yang haram.‛64 Mengenai derajat waham, pada dasarnya hal ini sangat
dilarang digunakan dalam memutuskan suatu hukum, sebagaimana
sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: 65للتوىم عبرة لا .
Dalam hukum pembuktian, kita dapat merujuk kepada kaidah-
kaidah fikih. Salah satu kaidah pokok yang populer tentang keyakinan
ini adalah kaidah yang berbunyi: بالشاك زالي لا اليقين . Yang dimaksud yakin
dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek
hukum, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang
mantap (keyakinan 100%) atau berdasarkan persepsi kuat (zhan) sudah
dapat diterima dan digunakan hakim dalam memutuskan perkara. Dasar
pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah swt dalam QS.
Yunus ayat 36:
‚kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak akan mengantarkan kebenaran sedikitpun.‛ Dengan ayat ini Allah swt memberi penegasan akan hal mesti dijadikan
pijakan berfikir dan bertindak, yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan
pada kebenaran, bukan yang diragukan, karena walau bagaimanapun, hal
yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat
disejajarkan dengan keyakinan66
dan demikian pun telah sesuai juga
dengan kaidah fiqih yang berbunyi 67 خطؤه البين بالظن عبرة لا
Dalam putusan dan pertimbangan majelis hakim kasasi dalam
perkara No. 349K/AG/2006 dengan menetapkan hak pengasuhan dan
pemeliharaan anak kepada ayah bukan kepada ibu berdasarkan kepada
keyakinan hakim terkuat adalah demi kemashlahatan anak itu sendiri.
Kemashlahatan yang dimaksud adalah dalam hal jiwa anak, mengingat
ibu kandung seorang selebritis yang sangat sibuk dengan pekerjaannya,
64
Hadist di atas diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahi>hnya, Muslim
dalam Sahih Muslim, Abu Daud dalam Sunannya, Ibnu Majah dalam Sunannya,
Tirmidzi dalam Sunannya, Nasa>’i dalam Sunan Nasa’i al-Kubra>, al-Baihaqi
dalam Sunannya, dan al-Da>rimiy dalam Sunannya. 65
Muhammad Mustafa al-Zuhaili<, al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba‘ah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), vol. 1,
170. 66
Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d al-T{abariy, Tafsi>r al-T{abariy (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), vol. 11, 116.
67 Jala>luddin Abdurrahma>n ibn Abi Bakar al-Suyu>t}i, al-Ashbah wa
al-Naz}a>ir (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015), 235.
150
dikhawatirkan dapat mempengaruhi jiwa anak, di samping itu
dikhawatirkan anak akan kurang mendapatkan perhatian dan kasih
sayang. Oleh karena kesibukan ibu kandung sehingga waktu untuk
mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada anak tidak jelas, hal
tersebut juga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi pendidikan dan
pengajaran anak di masa mendatang dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Antisipasi hakim dalam menetapkan hak pengasuhan bukan
kepada ibu adalah untuk menghindari terjadinya kerusakan terhadap
anak di kemudian hari, sebagaimana dalam kaidah fikih yang berbunyi:
المصالح جلب من أولى المفاسد درء -
Menolak kerusakan lebih diutamakan dari menarik manfaat. Penjelasan mengenai kaidah di atas adalah bahwa kaidah
tersebut berlaku dalam segala permasalahan yang di dalamnya terdapat
percampuran antara unsur mas}lah}ah dan mafsadah. Jadi, bila mas}lah}ah
dan mafsadah berkumpul, maka yang lebih diutamakan adalah menolak
mafsadah. Al-Suyuti68
(w.911H) dalam al-Ashbah wa al-Naz}a>ir menambah satu point penting seputar pengecualian sub kaidah ini.
Menurutnya, terkadang masl}ah}ah harus dijaga ketika bercampur dengan
mafsadah. Maka dalam hal ini mas}lah}ah yang harus lebih diutamakan
dari pada mafsadah tersebut adalah mas}lah}ah yang memiliki kadar lebih
dominan dibandingkan mafsadahnya.
Dalam perkara ini, diperoleh lagi isi kemashlahatan lainnya
yang penulis lihat dalam pertimbangan dan putusan hakim ini adalah
dari sisi kepentingan rohani anak, karena Penggugat sebagai ibu
kandung seorang muallaf yang masih lemah imannya dan masih
membutuhkan bimbingan dalam agama Islam. Jikalau anak ditetapkan
berada di bawah asuhan ibu kandung dikhawatirkan penanaman ilmu
agama dan akidah anak akan tidak efektif sedangkan ibu kandung
sendiri juga masih memerlukan bimbingan akidah yang berkelanjutan.
Walaupun dalam persidangan tidak membuktikan bahwa penggugat
ternyata juga telah berselingkuh dengan teman sesama publik figur,
tetapi dari peristiwa ini sudah cukup memberi gambaran bagaimana
kepribadian ibu yang dapat saja mempengaruhi kepribadian dan masa
depan anak apabila diasuh oleh ibu yang bekerja sebagai selebritis.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa kemashlahatan anak akan
lebih banyak didapat apabila anak diasuh oleh ayah, bukan oleh ibu,
68
Jala>luddin Abdurrahma>n ibn Abi Bakar al-Suyu>t}i, al-Ashbah wa al-Naz}a>ir, 138-139.
151
oleh karena itu pengasuhan ayah lebih diutamakan sebagaimana kaidah
fikih yang berbunyi:
69منها الأعلى قدم المصالح تزاحمت ذاا -
Jika ada beberapa kemashlahatan saling bertabrakan, maka mashlahat yang lebih besar harus didahulukan.
C. Yurisprudensi Nomor 110K/AG/2007
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara
Perkara ini pertama kali diajukan oleh istri yang berinisial
Maharani Hardjoko binti Sri Hardjoko Wirjomartono70
dalam perkara
gugatan perceraian terhadap suami yang berinisial Selby Nugraha
Rachman bin IR>. Ide Syahfridin71
dengan surat gugatannya tertanggal
12 Januari 2006 dan telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan register perkara nomor. 50/Pdt.G/PA.JS tanggal
12 Januari 2006. Adapun gugatan Penggugat didasari oleh beberapa
dalil yang pada pokoknya adalah bahwa Penggugat dengan Tergugat
telah melangsungkan perkawinan di Bandung pada tanggal 23 Oktober
1999 sebagaimana kutipan akta nikah No.333/47/X/99 tertanggal 23
Oktober 1999.
Pernikahan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang
anak perempuan, yaitu Kiara Anjani Rachman lahir di Jakarta tanggal
12 Nopember 2001 (sesuai Kutipan Akte Kelahiran
No.16.864/U/JP/2001 tertanggal 30 Nopember 2001). Pernikahan
Penggugat dan Tergugat pada awalnya berjalan harmonis, akan tetapi
kurang lebih 2 (dua) tahun terakhir terus menerus terjadi ketidak
cocokkan, percekcocakan, perselisihan, dan pertengkaran sehingga
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam sebuah rumah tangga
yang wajar. Akibatnya, Penggugat tidak lagi memiliki rasa nyaman,
aman dan ketenangan hidup sehingga apabila perkawinan Penggugat
dan Tergugat tetap dipertahankan akan memiliki akses yang tidak baik
bagi pekembangan pribadi anak Penggugat dan Tergugat.
Penggugat juga mendalilkan bahwa anak Penggugat dan
Tergugat belum mumayiz, maka sesuai dengan Pasal 105 huruf a KHI,
anak yang belum mumayiz berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan
Penggugat sebagai ibunya. Jika Tergugat beserta keluarganya ingin
menjenguk atau bepergian bersama anak Penggugat dan Tergugat, maka
harus dikomunikasikan sebelumnya. Penggugat bersedia untuk
69
Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>id al-Sa‘diyah, 204. 70
Untuk selanjutnya disebut dengan Penggugat 71
Untuk selanjutnya disebut dengan Tergugat
152
bertindak dengan sebaik-baiknya dalam masalah pembagian waktu
bersama anak, namun hal ini akan selalu dilakukan dengan menimbang
kemauan anak. Mengingat anak Penggugat dan Tergugat masih kecil
dan membutuhkan biaya pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan,
maka patut dan cukup alasan apabila biaya-biaya dimaksud dibagi sama
rata antara Penggugat dan Tergugat, dimana Tergugat diwajibkan
mengirimkan biaya tersebut secara teratur di setiap akhir bulan tanpa
harus dimintakan oleh Penggugat. Adapun masalah pendidikan
(pemilihan sekolah, jenis pelajaran, dan kegiatan yang akan diikuti,
biaya sekolah dan sebagainya), maka hal ini juga harus
dimusyawarahkan antara Penggugat dan Tergugat, dan juga anak dari
Penggugat dan Tergugat. Jika dikemudian hari Penggugat meninggal
dunia, maka Tergugat diwajibkan untuk membiayai keseluruhan biaya
pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan anak. Penggugat melakukan
perubahan gugatan dengan menambahkan dan merubah bagian posita
dan petitum gugatannya.
Terhadap gugatan Penggugat, Tergugat mengajukan eksepsi,
dan telah menyangkal dalil-dalil gugatan penggugat dan sebaliknya
Tergugat mengajukan gugatan balik yang pada pokoknya berisi dalil-
dalil bahwa Tergugat menolak alasan-alasan dan pertimbangan
Penggugat yang memohon hadanah atas anak, oleh karena pertimbangan
Penggugat meminta hadanah tidak didasarkan dan tidak sesuai dengan
fakta-fakta dan dalil-dalil yang mendukung bahwa penggugat layak
untuk mendapat hak pengasuhan atas anak. Penggugat tidak patut dan
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai ibu sehingga tidak layak
diserahkan tanggungjawab pengasuhan anak. Hal ini dapat dibuktikan
dengan bukti-bukti bahwa Penggugat tidak melaksanakan kewajiban
sebagai istri dan ibu, yaitu tidak mematuhi bimbingan dan pengarahan
Tergugat selaku suami untuk memperhatikan anak kandungnya, karena
selama ini Penggugat hampir tidak memberikan waktu untuk
memperhatikan perkembangan dan pendidikan anaknya tanpa alasan
yang absah. Hal ini disebabkan Penggugat tercatat sebagai karyawan
pada lembaga asing di Indonesia dalam status karyawan kontrak untuk
jangka waktu tertentu dan tidak merupakan pekerjaan yang tetap yang
memiliki kepastian bekerja untuk jangka waktu yang panjang/ tetap.
Selain itu, anak kandung Penggugat dan Tergugat lebih dekat
dan lebih memiliki hubungan bathin yang kuat dan erat dengan
Tergugat, hal ini dapat dibuktikan melalui ucapan maupun tindakan
yang ketika dimintai pendapatnya, anak yang bernama Kiara Andjani
Rachman lebih mengikuti Tergugat. Tergugat juga lebih mempunyai
alokasi waktu yang cukup untuk mengawasi pendidikan serta
153
pertumbuhan anak. Dengan demikian, oleh karena perkembangan anak
merupakan bagian paling penting bagi tergugat, maka mohon majelis
hakim mempertimbangkan kehendak/ pendapat anak yang didasari oleh
fakta-fakta kedekatan hubungan emosional dan sosial antara Tergugat
dengan anak Tergugat.
Berdasarkan jawaban Tergugat di atas, pihak Penggugat juga
telah menyampaikan repliknya. Terhadap replik Penggugat, pihak
Tergugat pun telah menyampaikan dupliknya. Penggugat dalam
mempertahankan dalil gugatannya telah menyampaikan bukti-bukti
berupa bukti tertulis dan bukti beberapa orang saksi, serta
menyampaikan kesimpulannya masing-masing secara tertulis yang pada
pokoknya masing-masing tetap pada dalil-dalilnya semula.
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan (perkara No: 50/Pdt.G/2006/PA.JS)
Dalam eksepsi, bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat di
pengadilan berkenaan dengan pengasuhan anak baik berupa keterangan
saksi-saksi maupun surat ternyata penggugat tidak dapat membuktikan
dalil-dalilnya, melainkan sebaliknya bahwa posisi Penggugat di mata
anak seperti ibu tiri yang suka marah-marah sedangkan posisi Tergugat
selaku ayah menempati urutan pertama sebagai orang yang paling
disenangi oleh anak. Dari segi waktu, Penggugat sangat kekurangan
waktu untuk berkomunikasi dengan anak karena Penggugat bekerja pada
lembaga asing, sebaliknya Tergugat memiliki lebih banyak waktu untuk
bersama anak karena Tergugat bekerja pada perusahaan sendiri.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dan ternyata Penggugat
tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya, bahkan sebaliknya dari
keterangan 6 orang saksi yaitu 2 orang dari pihak Penggugat dan 4
orang dari pihak Tergugat semuanya bersesuaian menerangkan di bawah
sumpah bahwa anak sejak kecil (umur 40 hari) telah diasuh dan lebih
dekat keluarga Tergugat dari pada Penggugat sendiri.
Dalam rekonpensi, gugatan Penggugat untuk dapat mengasuh
anak telah dinyatakan ditolak, dan mengenai kedekatan anak telah
dipertimbangkan dalam konpensi yang pada pokoknya dibanding
Penggugat dan keluarganya ternyata sejak bayi pihak Tergugat dan
kedua orang tua Tergugatlah yang sering merawat, lebih dekat dan telah
terbiasa dengan anak, sementara pihak Penggugat selaku ibu sibuk
bekerja dengan orang asing (Amerika) sehingga sering keluar kota,
keluar negeri, bekerja berangkat pagi dan pulang malam sehingga
hampir tidak ada waktu bersama anak. Adapun Tergugat walaupun juga
bekerja, namun Tergugat bekerja pada perusahaan sendiri sehingga bisa
154
mengatur waktu sendiri dan hal tersebut telah dipraktekkan selama ini
bahwa Tergugat bisa intens bersama anak.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Agama Jakarta
Selatan telah menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
1. Menerima dan mengabulkan eksepsi Tergugat untuk sebagian;
2. Menyatakan gugatan Penggugat butir 4 mengenai biaya
pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat tidak dapat diterima;
3. Menolak eksepsi Tergugat untuk selebihnya.
Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak 1 (satu) bain sughra Tergugat terhadap
Penggugat;
3. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
Dalam Rekonvensi:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Tergugat untuk sebagian;
2. Menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak penggugat dan
Tergugat berada dipihak Tergugat (selaku ayah);
3. Tidak menerima gugatan tergugat untuk selebihnya.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 265.000,- (dua ratus enam puluh lima ribu rupiah).72
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta
Pertimbangan hakim pada tingkat banding yang berkenaan
dengan pengasuhan anak dalam konpensi adalah bahwa Pengadilan
Tinggi Agama tidak sependapat dengan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mengenai hak pengasuhan anak yang diserahkan kepada
Tergugat. Anak yang dititipkan kepada orang tua Tergugat biasa terjadi
dalam kehidupan masa kini dimana suami istri sama-sama bekerja dan
sangat wajar pula apabila si anak sangat dekat dengan kakek dan nenek
(pihak ayah). Hal demikian tidak berarti anak tidak senang dengan\
kedua orang tuanya sendiri. Pendapat anak di bawah umur yang
menyatakan bahwa posisi ayah nomor satu, sedangkan posisi ibu nomor
72
Selengkapnya lihat putusan perkara No. 50/Pdt.G/2006/PA.JS, 1-
44.
155
tujuh tidak bisa dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum, mengingat
anak-anak selalu memformulasikan kata-katanya berdasarkan perasaan
hati dalam satu kondisi. Ia merasakan ayah, kakek, dan neneknya
sebagai orang-orang selalu dekat dengannya, namun anak akan cepat
berubah bila ia merasakan situsi lain, perasaannya masih labil.
Dalam kondisi orang tua telah berpisah, maka pihak ibu yang
lebih diutamakan berdasarkan kalimat-kalimat dari Rasulullah saw dan
pendapat para pakar baik hukum maupun kejiwaan. Lagi pula telah
sesuai dengan ketentuan Pasal 105 (a) KHI yang merupakan manifestasi
dari pemikiran yang jauh kedepan untuk kepentingan anak. Oleh karena
itu, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta berkesimpulan bahwa anak akan
lebih maslahat berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat
selaku ibu kandung dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat
sebagai ayah. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Agama
memutuskan perkara tersebut sebagai berikut:
Menyatakan banding yang diajukan Penggugat/ Pembanding dapat
dikabulkan;
Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
50/Pdt.G2006/PA.JS tanggal 27 Juli 2006 bertepatan dengan
tanggal 02 Rajab 1427H; dengan mengadili sendiri,
Dalam Provisi
Menyatakan Permohonan provisi Penggugat tidak dapat diterima;
Dalam Eksepsi
Menolak Eksepsi Tergugat seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara
Dalam Konvensi
Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
Menjatuhkan thalak 1 (satu) ba’in sughra Tergugat terhadap
Penggugat;
Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hadanah (pemeliharaan)
terhadap seorang anak yang bernama Kiara Andjani Rachman;
Memerintahkan kepada Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut
kepada Penggugat
Menyatakan gugatan Penggugat selebihnya tidak dapat diterima;
Dalam Rekonvensi
Menyatakan gugatan rekonvensi Penggugat tidak dapat diterima
seluruhnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
156
Membebankan biaya perkara kepada Penggugat Pembanding pada
tingkat pertama sebesar Rp. 265.000,-, dan tingkat banding sebesar
Rp. 206.000,-.73
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan Tingkat
Kasasi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menimbang bahwa alasan-alasan yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi (Tergugat/ Terbanding) dalam memori
kasasi terkait dengan hak asuh anak pada pokoknya adalah bahwa
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah salah menerapkan hukum karena
telah keliru menafsirkan fakta hukum dan mengabaikan fakta hukum.
Diantara adalah: (a) keliru dan mengabaikan fakta kemaslahatan anak,
yang mempertimbangkan mengenai pemberian hak atas hadanah kepada
Tergugat berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dimana yang
benar dan tepat masalah hadanah anak harus berdasarkan kepentingan
terbaik bagi anak, dan sesuai dengan fakta hukum dalam persidangan
serta keterangan saksi-saksi bahwa anak lebih menghendaki dalam
pemeliharaan ayahnya, di samping itu sebaliknya telah terbukti
Termohon kasasi telah tidak memperdulikan anak sehingga justru tidak
maslahat berada dalam pengasuhan Termohon kasasi; (b) keliru dan
mengabaikan fakta pendapat dan kehendak anak, di mana fakta
sebenarnya adalah pernyataan anak yang memilih tinggal bersama
Pemohon Kasasi, hal ini tidak dinyatakan sekali saja, akan tetapi telah
berulang kali diucapkan dan ini telah dibuktikan dengan keterangan dua
saksi dipersidangan. Dengan demikian, tidak benar dan tidak sesuai
fakta hukum, pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
yang berpendapat bahwa pendapat anak akan cepat berubah jika
mengalami situasi lain; (c) keliru dan mengabaikan kesaksian dan bukti-
bukti persidangan yang menyatakan pemeliharaan dan pengasuhan anak
telah diabaikan oleh Penggugat/ Termohon Kasasi, dan Penggugat juga
telah lalai menjalankan kewajiban sebagai ibu.
Terhadap alasan-alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa alasan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, oleh
karena Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan
semata-mata dilihat dari siapa yang paling berhak, akan tetapi harus
melihat fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi
si anak, bukan siapa yang paling berhak. Fakta yang telah diungkapkan
73
Selengkapnya lihat dalam putusan perkara No.
105/Pdt.G/2006/PTA.JK, 1-8.
157
hakim pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia harus ikut
ibunya, karena ibu si anak sering bepergian ke luar negeri, dan tidak
jelas anak harus bersama siapa, sedangkan fakta yang ada sekarang si
anak tenang dan tenteram bersama ayahnya (Pemohon Kasasi). Majelis
Kasasi juga berpendapat bahwa sekalipun anak ditetapkan di bawah
hadanah Pemohon Kasasi Tergugat selaku ayah, akan tetapi tidak boleh
memutuskan hubungan komunikasi dengan Termohon Kasasi/
Penggugat selaku ibu, dan mempunyai hak untuk berkunjung,
menjenguk dan membantu mendidik serta mencurahkan kasih
sayangnya sebagai seorang ibu terhadap anaknya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, dan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor:105Pdt.G/2006/PTA.JK
tanggal 20 Desember 2006 bertepatan dengan tangggal 29 Dzulqaidah
1427H, yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor:50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 27 Juli 2006M bertepatan dengan
tanggal 2 Rajab 1427H. Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini
dengan amar putusannya sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menyatakan permohonan provisi Penggugat tidak dapat diterima;
Dalam Konvensi
Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi dari Tergugat seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat kepada Penggugat
3. Meyatakn gugatan Penggugat pada butir 4 mengenai biaya
pemeliharaan anak tidak dapat diterima;
4. Menlak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat rekonvensi untuk sebagian;
2. Menetapkan anak yang bernama Kiara Andjani Rachman lahir di
Jakarta tanggal 12 Nopember 2001 berada di bawah pemeliharaan
(hadanah) Penggugat rekonvensi;
3. Memerintahkan kepada Penggugat rekonvensi untuk memberi
kesempatan kepada Tergugat rekonvensi selaku ibu kandungnya
untuk bertemu dengan anak tersebut dan ikut bersamanya pada hari-
hari libur sekolah atau hari-hari yang disepakati;
4. Menolak gugatan Penggugat rekonvensi untuk selain dan
selebihnya;
158
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat/ Tergugat Rekonvensi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp. 265.000.- (dua
ratus enam puluh lima ribu rupiah);
Menghukum Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat banding sebesar Rp. 206.000,- (dua ratus enam ribu rupiah);
Menghukum Pemohon Kasasi/ Tergugat untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).74
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Tinjauan
Hukum Positif
Perkara ini juga merupakan perkara gugatan perceraian yang
kemudian dikomulasikan dengan perkara pengasuhan anak. Berkenaan
dengan permasalahan pengasuhan anak, pengadilan tingkat pertama
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menolak gugatan Penggugat
untuk mengasuh dan memelihara anak meskipun Penggugat telah
menyatakan dalam pokok perkara bahwa anak Penggugat dan Tergugat
belum mumayiz. Penggugat menganggap bahwa pengasuhan anak telah
dimonopoli secara sepihak oleh Tergugat dan keluarga sehingga
menyebabkan akses negatif terhadap perkembangan psikologis dan
pendidikan anak. Penggugat juga menyatakan telah mengalami tekanan
batin karena terhalanginya melakukan kewajiban sebagai seorang ibu,
begitupun anak juga mengalami tekanan bathin yang luar biasa,
perkembangan psikis yang kurang sehat serta telah tidak melakukan
aktifitas secara wajar. Terhadap dalil-dalil tersebut, dalam proses
pembuktian di Pengadilan Agama ternyata Penggugat tidak dapat
membuktikan dalil-dalilnya. Sebaliknya, pihak Tergugat membantah
dan dapat membuktikan bahwa anak selama dalam pengasuhannya telah
berkembang secara baik, dan tidak terbukti bahwa anak telah
dimonopoli oleh Tergugat.
Dalam pembagian beban pembuktian di pengadilan dikenal
sebuah azas yang menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu,
maka dia harus membuktikannya. Azas tersebut sebagaimana terdapat
dalam Pasal 163 HIR/ 283 RBg dan Pasal 1865 KUHPer.75
Penggugat
74
Selengkapnya lihat dalam putusan perkara No. 110K/AG/2007, 1-
14. 75
Disebutkan dalam Pasal 1865 KUHPer: ‚Barangsiapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-peristiwa itu. Sebaliknya, barang siapa mengajukan
159
dalam perkara ini berkewajiban membuktikan dalil-dalil dalam
gugatannya yang bekaitan dengan pengasuhan anak. Begitupun
Tergugat yang membantah dalil-dalil Penggugat dibebani pula untuk
membuktikan dalil bantahannya. Kesempatan untuk membuktikan
dalilnya yang pertama adalah Penggugat yang kemudian diikuti oleh
Tergugat.
Dalil peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang harus
dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam hukum acara perdata,
kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formal.
Artinya bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan
oleh pihak-pihak yang berperkara. Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189
ayat (3) RBg, melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara
yang tidak dituntut atau akan mengabulkan lebih dari yang dituntut,
sebagaimana yang dikenal dengan azas ultra vires atau ultra petita partium. Berdasarkan rumusan Pasal 163 HIR/ 283 RBg jo Pasal 1865
KUHPer kedua belah pihak, baik itu Penggugat maupun Tergugat dapat
dibebani dengan beban pembuktian yang sama oleh hakim. Hal
demikian bermakna bahwa hakim wajib memberikan beban pembuktian
kepada Penggugat untuk membuktikan dalil atau peristiwa yang dapat
mendukung dalilnya. Sedangkan bagi Tergugat, hakim wajib
memberikan suatu beban pembuktian untuk membuktikan bantahannya
atas dalil yang diajukan oleh Penggugat. Penggugat tidak diwajibkan
untuk membuktikan kebenaran bantahan Tergugat. Demikian pula
sebaliknya, Tergugat tidak diwajibkan pula untuk membuktikan
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh Penggugat. Jika Penggugat
tidak bisa membuktikan dalil atau peristiwa yang diajukannya, maka ia
harus dikalahkan. Sedangkan jika Tergugat tidak dapat membuktikan
bantahannya, maka harus dikalahkan pula.76
Dalam membuktikan dalil-dalil yang diajukan, diperlukan alat
bukti. Alat bukti merupakan unsur penting dalam pembuktian di
persidangan. Alat bukti dipandang dari sisi pihak yang berperkara
sebagai upaya yang digunakan untuk meyakinkan hakim di muka
persidangan. Sedangkan dilihat dari sisi pengadilan yang memeriksa
perkara digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan dalam
memutuskan perkara.77
Alat-alat bukti yang digunakan dalam
peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu.‛ 76
Sudikno Mertokususmo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, 114. 77
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif (Surabaya: Pustaka Pelajar), 27. Ahli hukum Subekti
merumuskan bukti dan alat bukti sebagai berikut: ‚Bukti adalah sesuatu untuk
160
pembuktian hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866
KUHPer adalah alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan
sumpah. Apabila diperbandingkan dengan Pasal 164 HIR/ 284 RBg
maka alat bukti dalam perkara perdata adalah alat bukti tulisan, saksi,
persangkaan, dan sumpah.
Dalam perkara ini, alat bukti yang dikemukakan oleh
Penggugat dalam menguatkan dalil-dalil untuk mendapatkan hak
pengasuhan anak adalah alat bukti tertulis dan alat bukti saksi. Alat
bukti tertulis yang dikemukakan oleh Penggugat berupa Kutipan Akta
Nikah antara Penggugat dan Tergugat, Kutipan Akta Kelahiran anak,
Surat Keterangan Lahir anak, email dari Penggugat kepada Tergugat
yang meminta ditransferkan sejumlah uang untuk kebutuhan rumah
tangga dan tagihan lainnya sebanyak 11 email, Singapore International
School (Indonesia) Preschool Report, dan perhitungan kehadiran
terakhir anak di sekolah.78
Kalau diperhatikan alat bukti tertulis yang
dikemukakan oleh Penggugat, maka tidak ada satupun bukti yang bisa
menguatkan dalil Penggugat untuk mendapatkan hak pengasuhan anak.
Alat bukti tertulis yang dikemukakan oleh Penggugat merupakan alat
bukti yang lemah dalam tuntutan untuk mendapatkan hak asuh anak.
Sedangkan alat bukti saksi, Penggugat menghadirkan 4 (empat) orang
saksi yang terdiri dari pembantu, ibu kandung penggugat, ayah kandung
penggugat, dan adik penggugat.79
Berdasarkan keterangan 4 (empat)
orang saksi dari bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat tidak
membuktikan bahwa anak mengalami keadaan yang dituduhkan dan
meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang digunakan untuk membuktkan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan. Misalnya adalah bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah, dan lain-lain. lihat Subekti, Kamus Hukum (Jakarta:
Pradya Paramita, 2003), 17. Pendapat serupa disampaikan oleh ahli hukum
pidana Andi Hamzah yang memberikan batasan pengertian yang hampir sama
tentang bukti, alat bukti sebagai berikut: ‚Bukti adalah sesuatu untuk membuktikan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan. Misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah. Lihat
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia), 99. 78
Lihat putusan Nomor:50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 20 Juli 2006,
28-30.
79
Lihat putusan Nomor:50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 20 Juli 2006,
30-32.
161
dikhawatirkan oleh Penggugat sehingga Penggugat tidak dapat
membuktikan dalil-dalilnya. Bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat
baik berupa saksi maupun surat tidak ternyata bahwa anak telah
dimonopoli pengasuhannya oleh Tergugat dan keluarganya. Bahkan dari
keterangan saksi dari pihak Penggugat menyatakan bahwa Pengugat
diundang untuk melihat anak. Atas keterangan saksi tersebut,
Penggugat tidak menyangkalnya.
Pihak Tergugat juga mengajukan bukti-bukti tertulis dan alat
bukti saksi sebanyak empat orang saksi. Bukti tertulis yang diajukan
oleh Tergugat berupa surat pernyataan dan kesaksian dari pembantu,
surat pernyataan dan kesaksian dari baby sitter, suara dan transkip
pengakuan dan pernyataan anak yang memberi peringkat nomor satu
kepada Tergugat sebagai orang yang paling dekat dan disayang, gambar
yang mengungkapkan kesedihan anak, surat keterangan tergugat sebagai
direktur teknik PT Surya Mutiara, surat keterangan tergugat sebagai
pemilik ‚Splash‛, rekaman suara dan transkip kehendak dan pendapat
anak yang secara tegas memilih untuk ikut dengan tergugat, dan surat
himbauan kepada Penggugat sebanyak dua kali untuk dapat melihat
anaknya.80
Dari 12 (dua belas) bukti tertulis yang diajukan oleh
Tergugat semua mengarahkan bahwa anak ternyata lebih nyaman dan
lebih memilih tinggal bersama tergugat. Adapun keterangan saksi
dengan menghadirkan empat orang saksi dari pihak tergugat yaitu guru,
baby sitter, ayah Tergugat, dan ibu Tergugat.81
Keterangan empat orang
saksi Tergugat semuanya juga mengarahkan bahwa tergugat yang lebih
layak mengasuh anak karena lebih perhatian dan lebih banyak memiliki
waktu untuk mengasuh anak. Keterangan 4 (empat) orang saksi
Tergugat diperoleh fakta bahwa anak sehari-harinya lebih banyak
dengan Tergugat. Dalam cerita-cerita yang didengar oleh saksi-saksi
tersebut mengatakan bahwa Tergugat adalah figur yang disenangi dan
didambakan oleh anak dan anak terbiasa serta lebih senang dekat
dengan Tergugat. Tergugat menempati urutan pertama orang yang
paling disukai, sedangkan Penggugat menepati urutan ketujuh. Dua
orang saksi Tergugat yaitu ayah dan ibu Tergugat juga pernah
mendengar anak mengatakan bahwa Penggugat suka marah seperti ibu
tiri. Dari 6 (enam) orang saksi yang dihadirkan di pengadilan yang
terdiri dari 2 (dua) orang saksi dari pihak Penggugat dan 4 (empat) saksi
dari Tergugat semuanya secara bersesuaian menerangkan bahwa sejak
80
Lihat putusan Nomor:50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 20 Juli 2006,
32-33. 81
Lihat putusan Nomor:50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 20 Juli 2006,
33-35.
162
kecil (umur 40 hari) anak telah diasuh sehingga lebih dekat dan telah
terbiasa dengan keluarga Tergugat dari pada Penggugat sendiri.
Penggugat sangat kekurangan waktu untuk berkomunikasi dengan anak.
Penggugat tidak mengasuh anak dan kurang perhatian terhadap anak
karena Penggugat bekerja sebagai karyawan di lembaga asing pergi pagi
pulang malam dan sering pergi ke luar negeri.
Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan, dan
anak yang diperebutkan hak asuhnya belum mumayiz yang menurut
pasal 105 (a) KHI seharusnya diasuh oleh ibu. Namun, Penggugat dan
Tergugat sama-sama menghendaki untuk mengasuh anak, oleh karena
itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempertimbangkan dengan
menitik beratkan pada kemashlahatan anak bukan kepada keinginan
salah satu pihak yang berperkara atau kepada ketentuan hukum normatif
yang ada sehingga Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutus dan
menetapkan hak pengasuhan anak diberikan kepada Tergugat (ayah).
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini bertolak
belakang dengan putusan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi
Agama menetapkan hak pengasuhan anak diberikan kepada Penggugat
(ibu).82
Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama mendasari putusannya
dengan berpedoman kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal
105 KHI. Majelis hakim memandang bahwa hadanah merupakan hak
anak untuk memperoleh perlindungan, persiapan segala kebutuhannya
baik jasmani maupun rohani, dan kebutuhan hak tersebut merupakan
kewajiban ibu dan ayah. Akan tetapi dalam kondisi orang tua yang telah
berpisah, diutamakan salah satu dari orangtua yang mempunyai
kewajiban dalam melaksanakan hadanah. Majelis Hakim pada
Pengadilan Tinggi menilai bahwa ibu yang paling tepat
melaksanakannya. Di samping ketentuan Pasal 105 KHI juga mendasari
putusannya pada hadist Rasulullah serta pakar hukum dan kejiwaan
yang menyebutkan bahwa ibu lebih tepat mengasuh anak di bawah umur
karena lebih memiliki kelembutan, kesabaran, dan ketekunan dalam
merawat anak yang hal tersebut kurang dimiliki oleh seorang ayah.
Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama tidak
mempertimbangkan keadaan ibu yang terlalu sibuk bekerja karena
menganggap hal demikian sebagai sebuah kewajaran dalam konteks
kehidupan modern dimana anak dapat dititipkan dan diasuh oleh kakek-
nenek sehingga sebagai sebuah kewajaran pula kalau anak lebih dekat
dengan Tergugat dan keluarga tergugat. Majelis Hakim Banding juga
82
Berdasarkan Putusan Nomor:105/Pdt.G/2006/PTA.JK tanggal 23
November 2006, 7.
163
menyatakan bahwa pendapat anak yang menginginkan untuk tinggal
bersama ayah dan keluarga ayah tidak bisa dijadikan sebagai
pertimbangan hukum karena keinginan dan permintaan anak yang selalu
berubah-ubah tergantung kepada perasaan hati dalam suatu kondisi.
Oleh karena itu, pendapat anak tidak menjadi pertimbangan bagi hakim
banding dalam menjatuhkan putusan hak asuh anak.
Pengadilan Tinggi Agama telah mengabaikan fakta-fakta
hukum dalam persidangan serta telah mengabaikan keterangan saksi-
saksi dan alat bukti lainnya sehingga pada tingkat kasasi Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama karena telah
salah dalam menetapkan hukum dalam putusannya.83
Pengadilan Tinggi
Agama telah mengabaikan fakta-fakta hukum tentang kemashlahatan
anak yang mempertimbangkan mengenai pemberian hak atas hadanah
kepada Penggugat sebagai Termohon Kasasi dengan hanya berpedoman
pada ketentuan hukum yang bersifat dogmatif. Fakta-fakta yang telah
diperoleh di persidangan bahwa selama ini anak telah terbiasa dan
nyaman bersama Tergugat dan keluarga Tergugat karena telah diasuh
semenjak kecil (berumur 40 hari). Sedangkan Penggugat bekerja pergi
pagi pulang malam, sering pergi keluar kota dan keluar negeri.
Kesibukan tersebut telah membuat anak sering ditinggalkan sehingga
tidak jelas anak harus bersama siapa. Keadaan demikian menunjukkan
bahwa penggugat telah lalai, tidak memperdulikan anak dan justru
menimbulkan kerugian bagi anak, sehingga tidak maslahat apabila anak
berada dalam pengasuhan penggugat sebagai Termohon Kasasi.
Tergugat walaupun bekerja akan tetapi lebih memiliki alokasi waktu
yang banyak karena bekerja pada perusahaan sendiri sehingga secara
finansial sekaligus ditunjang pula dengan kemampuan sosial dipandang
lebih pantas untuk memelihara anak.
Pendapat anak yang menghendaki bahwa anak dalam
pernyataannya menginginkan dan lebih memilih tinggal bersama ayah
dan keluarga ayah juga tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim
banding. Begitu juga tentang cerita-cerita anak dalam kesehariannya
yang sering mengatakan bahwa Tergugat sebagai figur yang paling
disenangi oleh anak, artinya bahwa anak merasa lebih nyaman apabila
bersama Tergugat dari pada Penggugat. Keinginan-keinginan anak
tersebut tidak hanya diungkapkan secara lisan tetapi juga diungkapkan
dalam bentuk tulisan dan gambar. Keinginan-keinginan tersebut tidak
hanya sekali diungkapkan tetapi berulang kali. Begitupun ketika anak
83
Berdasakan Putusan Nomor: 110K/AG/2007 tanggal 13
November 2007, 13-14.
164
berada dalam pengasuhan Penggugat, anak merasakan kesedihannya
yang sering ditinggalkan oleh Penggugat dan ketika Penggugat
memarahi anak. Perasaan tersebut diungkapkan pula dalam bentuk
gambar.
Dewasa ini, peran psikologi dalam penegakan hukum di
Indonesia amatlah diperlukan. Psikologi secara langsung dan tidak
langsung berkaitan dengan proses penegakan hukum dan dalam
pengambilan keputusan di pengadilan. Keterkaitan psikologi sebagai
alat bantu dalam penegakan hukum adalah berperan dalam memberikan
penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai prilaku manusia, karena
tujuan hukum adalah mengatur prilaku manusia, psikologi tertarik untuk
menemukan kebenaran, sedangkan hukum (sistem hukum) lebih tertarik
untuk memberikan keadilan.84
Hal senada diugkapkan oleh Soerjono
Soekanto85
akan pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum
yaitu untuk menegakkan hukum dengan mempertimbangkan keadaan
psikologis pelaku.
Brian L. Cultler mengemukakan 17 (tujuh belas) ruang
lingkup subjek bahasan dalam psikologi hukum.86
Salah satunya adalah
divorce and child custody (perceraian dan pengasuhan anak). Peran
84
Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum (Psychology Aplied to Law) diterjemahkan oleh Helly Prajitno Soetjipt (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 12-13.
85 Soerjono Soekanto, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989), 54. 86
17 ruang lingkup dan subjek bahasan psikologi hukum menurut
Brian L. Cultler menurut versinya adalah criminal competences (kompetensi
kriminal), criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana), death penalty
(pidana mati), divorce and child custody (perceraian dan pemeliharaan anak),
education and professional development (pendidikan dan perkembangan
profesional, eyewitness memory (ingatan saksi mati), forensic assessment in civil and criminal case (penilaian forensik dalam kasus perdata dan pidana),
juvinile offenders (pelanggaran hukum yang masih anak-anak), mental health law (hukum kesehatan mental), psychological and forensik assessment instruments (instrumen penilaian psikologis dan forensik), psychological of criminal behavior (psikologi tentang prilaku kriminal), psychological of policing and investigation (psikologi polisi dan investigasi), sentencing and incarceration (pemidanaan dan penahanan), symptoms and disorders relevant to forensic assessment (penilaian forensik terhadap gejala dan penyakit yang
relevan), trial processes (proses persidangan pengadilan, victim reaction to crime (reaksi korban terhadap kejahatan), dan violence risk assessment (penilaian resikko kekerasan. Lihat dalam Achmad Ali, Buku Ajar Psikologi Hukum Fakultas Hukum UNHAS (Makassar: 2009), 5-6.
165
psikologi hukum terhadap kompetensi hak asuh anak bertitik tolak
bahwa anak merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang sejatinya
harus mendapatkan perlakuan yang layak, haknya harus diutamakan
termasuk dalam mendapatkan pengasuhan yang baik. Untuk
menentukan siapa yang bisa melakukan pengasuhan yang baik
digunakan pendekatan yang dilakukan terhadap psikologi hukum. Salah
satu pendekatannya adalah psychology in law dimana mengacu pada
penerapan-penerapan spesifik psikologi hukum di dalam hukum. Dalam
kaitannya dengan pengasuhan anak, pendekatan tersebut menganalisis
bagaimana keadaan mental kejiwaan anak dan orang tua mana yang
cocok untuk ditetapkan sebagai wali pemeliharaan anak. Mark
Constanzo menambahkan hasil analisis psikologi tentang hak asuh anak
untuk menentukan siapa yang berhak atas pengasuhan anak yang terbagi
kepada lima kriteria,87
yaitu keinginan orag tua, keinginan anak,
hubungan antara orang tua, anak, saudara kandung, dan orang lain yang
memberikan pengaruh signifikan pada kepentingan terbaik anak,
penyesuaian anak di rumah, sekolah dan masyarakat, dan kesehatan fisik
dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak.
Dalam perkara yang sedang dianalis ini, kedua orang tua
sama-sama menginginkan untuk mengasuh anak. Akan tetapi anak
dalam pernyataannya lebih menghendaki berada dalam pengasuhan
ayahnya. Dalam kacamata psikologi hukum, keinginan anak untuk
memilih berada dalam pengasuhan ayahnya yang diungkapkan baik
melalui pernyataan secara langsung maupun melalui kode-kode yang
diungkapkan secara tulisan dan gambar sudah seharusnya menjadi
pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara ini. Bagaimana
kondisi mental dan kejiwaan anak ketika anak diasuh oleh ibunya
dimana terlihat kesedihan anak yang merasa kurang diperhatikan bahkan
sesekali dimarahi. Serta bagaimana pula kondisi mental dan jiwa anak
apabila berada dalam pengasuhan ayahnya. Di sana akan terlihat
perbedaan yang mendasar yang dapat dijadikan rujukan oleh melalui
analisis psikologi hukum dalam menjatuhkan perkara hak pengasuhan
anak.
Penulis sependapat dengan putusan Pengadilan agama Jakarta
selatan yang kemudian dikuatkan oleh Majelis Hakim Agung pada
tingkat kasasi yang menilai bahwa dalam kasus pemeliharaan anak tidak
semata-mata melihat siapa yang paling berhak memelihara anak, akan
tetapi harus melihat fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan
87
Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum (Psychology Aplied to Law), 368.
166
kerusakan bagi anak. Artinya yang harus dikedepankan dalam hal ini
adalah kepentingan terbaik bagi anak, bukan siapa yang paling berhak.
Fakta yang telah diungkapkan oleh Hakim pada Pengadilan Tingkat
Pertama juga menyatakan bahwa si anak akan lebih menderita
seandainya ikut dengan ibunya, dan fakta yang ada sekarang anak telah
tenang dan tentram bersama ayahnya.
Ketentuan Pasal 105 huruf (a) dan Pasal 156 huruf (a) KHI
pada hakikatnya dapat diambil pemahaman bahwa pada azasnya
memang bagi anak yang belum mumayiz atau anak sebelum berumur 12
tahun harus berada pada pengasuhan ibunya, dengan demikian ketentuan
pasal tersebut di atas dapat diartikan dan diberlakukan secara lex specialis. Akan tetapi dalam perkara a quo dengan melihat fakta-fakta
yang ada di pengadilan, hakim dapat menerapkan azas contra legem dengan memperhatikan faktor-faktor pertimbangan yang membolehkan
hakim untuk menerapkan azas tersebut. Putusan Majelis Hakim Agung
yang mengesampingkan ketentuan Pasal di atas dalam kasus ini karena
majelis hakim lebih mengedepankan unsur kemashlahatan anak. Majelis
Hakim Agung berada pada posisi ingin melindungi anak yang terkadang
kewajiban tersebut bisa dibebankan kepada ayah, dan kadang-kadang
dibebankan kepada ibu tergantung kepada pertimbangan Majelis Hakim
apakah kepentingan anak itu bisa terpenuhi jika anak bersama ayah
ataukah bersama ibu. Oleh karena itu pertimbangan hak asuh anak
sangat komprehensif dan bersifat imperatif. Kalau anak sudah nyaman
dengan ayahnya, lantas ada fakta-fakta hukum yang menunjukkan
bahwa anak sudah terpelihara dengan baik, maka hakim akan
menjatuhkan putusan hak pengasuhan anak kepada ayah. Sebaliknya,
anak yang telah diasuh dengan baik oleh ibu, dan fakta-fakta hukum
telah menunjukkan hal tersebut, maka anak lebih utama diasuh oleh ibu
yang telah melahirkannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, cukup beralasan dengan
menetapkan hak asuh anak kepada ayah berdasarkan kepentingan
terbaik bagi anak karena anak merupakan tunas, potensi dan generasi
muda yang kelak memikul tanggung jawab sehingga perlu untuk
mendapatkan kesempatan tumbuh dan berkembang dengan baik serta
mendapatkan hak asuh dari orang yang pantas melakukan tugas
pengasuhan. Usaha tersebut sudah sejalan dengan UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan anak, serta sesuai pula dengan ketentuan
pasal 2 UU tersebut yang menyatakan bahwa: ‚UUD 1945 dan prinsip-
prinsip dasar konvensi Hak-hak anak adalah meliputi: 1). Non
diskriminasi, 2). Kepentingan yang terbaik bagi anak, 3). Hak untuk
hidup dan keberlangsungan hidup serta perkembangannya.‛ Majelis
167
Hakim pun juga mempertimbangkan dan mendengar pendapat anak
yang memilih dan menginginkan tinggal bersama ayah dari pada ibu.
Dengan mendengarkan dan memperhatikan pendapat anak yang
menginginkan bersama ayah menjadi pertimbangan tersendiri bagi
hakim karena memang keinginan dan pendapat anak merupakan hak
anak yang dijamin oleh undang-undang, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam UU Perlindungan anak di atas dan Konvensi Hak-hak
anak yang meliputi; 1). Non diskriminasi, 2). Kepentingan yang terbaik
bagi anak, 3). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan,
serta 4). Penghargaan terhadap pendapat anak.
Putusan Majelis Hakim Kasasi di atas apabila ditinjau dari
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 khususnya Pasal 41 huruf (a) sudah
memberikan sinyal bahwa dalam permasalahan pengasuhan anak harus
mendasar kepada kepentingan anak itu sendiri, baik ibu maupun ayah
sama-sama berkewajiban melakukan pemeliharan. Apabila terjadi
perselisihan maka pihak pengadilan yang mempunyai hak untuk
mnyelesaikan permasalahan dengan memberikan putusan apakah anak
akan diasuh oleh ibu atau oleh ayah dengan memperhatikan kualitas,
kapabilitas, leadership dan kemampuan dalam melaksanakan tugas
hadhanah dengan baik. Begitupun dalam Undang-undang Kesejahteraan
Anak No. 4 tahun 1979 khususnya Pasal 2 tentang hak anak bahwa anak
mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Orang
tua yang terbukti telah melalaikan tanggungjawabnya sehingga
mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat dicabut kuasa asuhnya sebagaimana yang
telah diatur dalam pasal 10 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak di atas.
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Tinjauan
Hukum Islam
Ijtihad apabila dihubungkan dengan peradilan merupakan
jalan yang dilakukan oleh hakim dalam memutuskan perkara, baik yang
berkaitan dengan ketentuan undang-undang atau dengan menyimpulkan
dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak adanya nas} (peraturan).88
Sebab Islam sendiri menyadari bahwa dibandingkan dengan persoalan
88
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Hukum Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, t.th),
97, 130.
168
yang ketentuan hukumnya sudah ada, masih lebih banyak masalah lain
yang belum diatur. Ijtihad merupakan kata kunci memahami penemuan
hukum. Dalam sejarah peradilan Islam, banyak preseden mengenai
penemuan hukum. Salah satunya adalah penemuan hukum yang
dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Umar dalam menerapkan hukum
lebih mengedepankan ruh hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
Keberaniannya didasarkan kepada pertimbangan bahwa al-Quran lebih
berbicara pada nilai hukum yang berorientasi kepada kemashlahatan.
Adapun teks sebagai media untuk menyuarakan nilai itu. Oleh karena
legislasi al-Qur’an berada dalam kurun waktu tertentu, maka
penerapannya perlu diselaraskan pada saat waktu yang berbeda.89
Berkaitan dengan penemuan hukum, terdapat adagium yang
dijadikan legitimasi bahwa pemegang otoritas publik dapat menetapkan
aturan sepanjang membawa kemaslahatan: بالمصلحة منوط الرعية على الامام تصرف(Tas}arruf al-ima>m ‘ala> al-ra‘iyyah manu>t}un bi al-mas}lah}ah.)90 Dalam
hukum Islam, kemashlahatan merupakan subsantsi utama dari proses
legislasi, sebab tujuan sh>ari‘ menetapkan hukum untuk tujuan
kemashlahatan sekaligus untuk menghindari mafsadat di dunia maupun
di akhirat.
Kemashlahatan dalam teori hukum Islam (usul fikih) dikenal
dengan konsep mas}lah}ah91. Teori mas}lah}ah dalam hukum Islam orientasi
89
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, terj. Ahsin Muhammad,
Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual (Bandung:Pustaka,
1995), 16. 90
Jala>luddin Abdurrahma>n ibn Abi Bakar al-Suyu>t}i, al-Ashbah wa al-Naz}a>ir (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015), 185.
91 Imam Malik (93H-179H/ 712M-795M) sebagai founding father
teori maslahah ini mengatakan bahwa maslahat adalah kemashlahatan yang
tidak ada pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh
nash, lihat Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi,
t.th), 279. Imam al-Ghazali (450H-505H/ 1058M-1111M) memandang bahwa
suatu kemashlahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun
bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia karena kemashlahatan manusia
tidak selamanya didasarkan pada kehendak syara’, Abu> Ha>mid Muhammad al-
Ghaza>li>, al-Mustas}fa> (beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), 139. Imam al-
Shati}bi (w.790H/1388M) mengatakan bahwa mashlahah adalah pemahaman
mengenai perlindungan hak-hak manusia dengan cara menarik kemashlahatan
dan menolak kerusakan yang mana akal tidak bebas untuk menemukan keadaan
dan kesepakatan umat Islam bahwa jika di dalam nash syar‘i tidak dijumpai
sesuatu yang mengandung mashlahah maka pendapat tersebut harus ditolak,
lihat Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-shari>‘ah (Beirut: Da>r Kutub
al-Ilmiyyah, 2004), vol. 2, 113. Berbeda dengan al-Thufi (657H-716H) dimana
169
bidikannya menekankan unsur kemashlahatan dan kemanfaatan untuk
manusia dari pada mempersoalkan masalah-masalah yang normatif
belaka. Teori ini tidak semata-mata melihat bunyi teks hukum,
melainkan lebih menitik beratkan pada prinsip-prinsip menolak
kemudharatan dan menarik kemanfaatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’ (maqa>s}id shari>ah). Menurut al-Sha>t}ibi92
(w.790H/1388M), tujuan-tujuan syara’ pada prinsipnya mewujudkan
kemashlahatan bagi manusia yang terwujud dalam 5 (lima) hal pokok
yaitu memelihara agama (hifz al-di>n), memelihara jiwa (hifz al-nafs atau
hifz al-haya>h), memelihara akal (hifz al-‘aql), memelihara keturunan
(hifz al-nasab), dan memelihara harta (hifz al-ma>l). Dalam konteks hak
asuh anak, penerapan kemashlahatan yang berspektif maqa>shid shari>‘ah
berorientasi kepada terpeliharanya kelima hal tersebut tanpa
memandang kepada jenis kelamin tertentu, ayah atau ibu yang mampu
menjamin terpeliharanya kelima hal tersebut demi kepentingan terbaik
bagi anak yang seharusnya dipilih sebagai pemegang hak asuh anak.
Uraian tentang maslahat anak yang terwujud dalam 5 (lima)
hal di atas dapat diuraikan sebagai berikut:93
Pertama, hifz al-di>n artinya
pemegang hak asuh anak harus mampu menjamin bahwa anak akan
mendapatkan pendidikan agama yang baik dan bisa mengaktualisasikan
agama dalam perilaku kesehariannya. Kedua, hifz al-nafs atau hifz al-haya>h artinya bahwa anak mempunyai hak hidup yang harus dihormati.
Bukan hanya sekedar hidup, melainkan hidup yang layak dan baik.
Untuk itu pemegang hak asuh anak harus mampu menjamin
terwujudnya hak tersebut. Ketiga, hifz al-‘aql adalah bahwa anak
mempunyai hak untuk mengembangkan akal atau kecerdasannya, hak
untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan sekolah yang setinggi-
tingginya, hak untuk berfikir dan berpendapat, dan hak untuk menjadi
pemimpin. Keempat, hifz al-nasab artinya bahwa anak mempunyai hak
untuk dijamin tumbuh kembang sebagai keturunan dari orang tuanya
beliau terkenal denga konsep maslahatnya bagi kalangan peneliti hukum Islam
yang bergerak sangat progresif dan inovatif yaitu mempergunakan maslahat
mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus mendahulukannya dari nash
dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma, dan oleh karena itu
maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah, lihat Mustafa Zaid, al-Maslahat fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa Najamuddin al-T{ufi (Mesir: Da>r al-Fikr al-
‘Arabi, 1954), 34. 92
Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah, 113. 93
Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Pespektif Keadilan Jender) (Yogyakarta: UII Press, 2015),
152-153.
170
sehingga menjadi anak yang berkualitas, baik dan sehat, serta dijaga
hak-hak perkawinannya. Di samping itu, hifz al-nasab juga memberi
pemahaman bahwa ayah dan ibu sama-sama mempunyai hak dan
peluang yang sama untuk mengasuh dan memelihara anak dan
keturunannya. Kelima, hifz al-ma>l memberi pengertian bahwa setiap
orang termasuk anak berhak atas kekayaan yang menjadi haknya untuk
terjaga dengan baik. Jika anak mempunyai harta atau kekayaan maka
pemegang hak asuh anak harus mampu menjamin terjaganya kelima
prinsip tersebut.
Dengan memperhatikan kelima prinsip kemashlahatan anak di
atas bahwasanya ketentuan hukum hak asuh anak pada hakikatnya
adalah hak orang yang mampu dan cakap melakukan tugas hadanah dengan baik tanpa memandang siapa yang paling berhak. Baik ibu atau
ayah sama-sama memiliki hak untuk memperoleh hak pengasuhan anak
pasca perceraian asalkan memiliki kemampuan menjaga kelima prinsip
hak dasar semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak.
Kepentingan terbaik bagi anak dalam hal ini adalah bahwa semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Dalam sejarah Islam, baik pada masa Rasulullah maupun pada
masa Khulafa>’ al-Ra>shidi>n terdapat banyak peristiwa yang
menggambarkan kepemihakan Islam terhadap kepentingan terbaik anak.
Islam sangat memuliakan anak sehingga kepentingan terbaik bagi anak
sangat diperhatikan, baik dalam hal ibadah, sosial kemasyarakatan,
maupun dalam bidang hukum. Dalam peristiwa hukum dapat
digambarkan dalam kasus wanita al-Ghamidiyah. Ia datang kepada Nabi
bahwa dirinya telah hamil dari hasil zina. Nabi berkata: pulang lah sampai engkau melahirkan.‛ Ketika ia telah dilahirkan, perempuan
tersebut datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi
berkata: ‚pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya.‛ Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi
bersama bayinya, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki
muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam.94
Contoh tersebut
menunjukkan betapa Nabi mengutamakan kepentingan terbaik bagi
anak dengan cara memberi kesempatan kepada si ibu untuk memberikan
hak yang layak bagi anak, yaitu hak untuk hidup, tumbuh dan
berkembang secara wajar di dalam kandungan, hak dilahirkan, dan hak
mendapatkan ASI. Meskipun ibu telah melakukan perbuatan yang
94
Lihat teks lengkapnya dalam Imam Muslim, S{ah}i>h} Musli>m (Kairo: Da>r al-Hadist, 1996), vol. 3, hadist no. 1695, 178.
171
melanggar hukum, anak yang sedang dikandungnya tidak boleh
dirugikan karena perbuatan yang salah.
Dalam hadist Rasulullah lainnya Beliau bersabda:
‚Sesungguhnya Allah memberikan keringanan dalam melaksanakan shalat bagi orang yang bepergian, wanita yang menyusui dan wanita hamil.‛95 Pemberian keringanan berpuasa terhadap ibu yang sedang
hamil dan menyusui dimaksudkan juga untuk menjaga anak yang sedang
dikandungnya. Namun demikian, si ibu berkewajiban puasa wajib yang
sudah ditinggalkannya di lain hari setelah anaknya lahir. Kebijakan
agama Islam ini menunjukkan bahwa betapa Allah sangat
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Penerapan prinsip
mendahulukan kepentingan terbaik bagi anak harus diutamakan dalam
permasalahan apapun termasuk dalam putusan-putusan hakim di
pengadilan, karena memang prinsip-prinsip hukum yang diturunkan
Allah melalui Rasul-Nya yang menghendaki demikian.
Dalam permasalahan perebutan hak asuh anak yang terjadi
ketika orang tua bercerai sebagaimana dalam perkara nomor
110K/AG/2007, putusan majelis hakim kasasi memberikan hak
pemeliharaan kepada ayah. Pertimbangan tersebut berdasarkan fakta-
fakta yang terungkap di persidangan bahwa ibu kandung telah
melalaikan kewajibannya. Fakta-fakta tersebut diperoleh berdasarkan
pembuktian yang dikemukakan oleh masing masing pihak yang
berperkara. Pembuktian ini sangat diperlukan karena barangsiapa yang
mengajukan perkara untuk menuntut haknya, maka orang tersebut harus
mampu membuktikan dengan menyertakan alat-alat bukti yang
mendukung isi gugatannya. Oleh karena itu sistem pembuktian dalam
hukum acara Islam (baik perdata maupun pidana) juga menggunakan
sistem pembebanan pembuktian terhadap pihak penggugat. Hal
demikian sebagaimana dipahami dari hadist Nabi saw: عى قال لو ي عط -صلى الله عليو وسلم-أن النب عى ناس دماء رجال وأموالهم ولكن اليمين على المد ى الناس بدعواىم لاد
96عليو
95
Hadist di atas diriwayatkan oleh beberapa orang perawi hadist
yaitu hadist yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa>’i hadist no.
2274, riwayat Abu Daud dalam Sunan Abu Daud hadist no. 2408, riwayat
Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi hadist no. 715, dan riwayat Ahmad dalam
Musnad hadist no. 20326. 96
Redaksi hadist di atas diambil dari Imam Muslim, S{ah}i>h} Musli>m, vol. 3, hadist no.1711, 193. Hadist tersebut juga diriwayatkan oleh perawi
hadist lainnya yaitu Imam Bukhari dalam S{ah}i>h al-Bukha<ri, Ibnu Ma>jah dalam
Sunan Ibn Ma>jah, dan Daruqutni dalam Sunan al-Da>ruqut}ni.
172
Nabi saw bersabda: Seandainya manusia diberi hanya cukup dengan dakwaan saja, niscaya manusia akan mendakwakan darah dan harta seseorang, dan hanya saja orang yang didakwa cukup dengan bersumpah. Lebih lanjut mengenai beban pembuktian dijelaskan dalam hadist Nabi
saw: و يعطى الناس بدعواىم لادعى رجال أموال قوم ودماءىم ولكن البينة على المدعي أن رسول الله صلى الله عليو و سلم قال : ل
97واليمين على من أنكر
Rasulullah saw bersabda: seandainya manusia diberi hanya cukup dengan dakwaan saja, niscaya seseorang akan mendakwakan harta dan darah suatu kaum, dan hanya saja bukti diwajibkan atas pendakwa dan sumpah diwajibkan atas orang yang mengingkari.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691H-751H)98
menjelaskan maksud
dari hadist tersebut adalah bahwa untuk mendapatkan hukum yang
sesuai dengan petitum gugatannya, penggugat harus mampu
mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil gugatannya supaya
hakim bisa menghukum sesuai dengan dalil yang dikemukakannya.
Apabila penggugat tidak mampu membuktikan dalil-dalil gugatannya,
maka gugatannya ditolak atau tidak dapat diterima sehingga pihak
tergugat bisa bebas dari segala beban dan tanggungjawab sebagaimana
kaidah fikih yang berbunyi: 99 الذمة براءة الأصل .
Dalam perkara perebutan hak asuh anak di atas, penggugat
selaku ibu kandung telah mengemukakan iqra>r (pernyataan) yang
dituangkan dalam surat gugatannya. Di samping itu, untuk menguatkan
pernyataannya, penggugat juga mengemukakan bayyinah100 berupa
97
Redaksi hadist di atas berdasarkan riwayat al-Baihaqi dengan
sanad yang sah}i>h}, lihat al-Baihaqi>, Sunan al-Baihaqi> al-Kubra> (Makkah al-
Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), vol. 10, hadist no. 20990, 252. 98
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-T{uruq al-H{ukmiyyah fi> al-Siya>sah al-Shar‘iyyah, vol.1, 26. Bandingkan juga dengan Abdulkarim Zaidan, Niz}a>m al-Qad}a>’ fi>> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1989), 155.
99 Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-Ashba>h wa
al-Naz}a>ir fi> Qawa>id wa Furu>‘ Fiqh al-Shafi‘iy (Beirut: Da>r al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2015), 94. 100
Pembuktian dalam hukum Islam biasa disebut dengan al-Bayyinah. Al-Bayyinah dalam istilah fuqaha>’ sama dengan shaha>dah. Ibn
Qayyim al-Jauziyah (691H-751H) memberi defenisi yang lebih luas mengenai
al-Bayyinah yang dimaknai dengan segala yang dapat menjelaskan perkara,
sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang haq
(benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi, dan berbagai
indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk
173
shaha>dah (alat bukti saksi) dan kita>bah (alat bukti tulisan). Keterangan
beberapa orang saksi yang dihadirkan pada intinya melemahkan
penggugat dalam mendapatkan hak asuh anak. Semua memberi
kesaksian yang sama di bawah sumpah. Begitupun alat bukti tulisan
yang tidak bisa menguatkan pernyataan penggugat untuk mendapatkan
hak asuh anak. Sebaliknya pihak tergugat dalam menjawab tangkisan
pernyataan penggugat yang disertai pula dengan alat bukti shaha>dah dan
kita>bah telah mampu meyakinkan hakim dalam perkara ini. Fakta-fakta
yang terungkap di persidangan adalah bahwa penggugat berprofesi
sebagai wanita karir yang sibuk bekerja. Penggugat lebih
mengutamakan pekerjaannya sehingga pekerjaannya telah
menghambatnya dalam mengurus anak. Apabila hak asuh ditetapkan
kepada Penggugat maka anak akan terhambat pertumbuhannya karena
kurangnya kasih sayang dan perhatian dari penggugat selaku ibu
kandung yang mana hal demikian dapat mempengaruhi tumbuh
kembangnya di masa akan datang. Di samping shaha>dah dan kita>bah, fakta-fakta yang berbicara tentang penggugat di atas pada hakikatnya
merupakan bukti bagi hakim kepada siapa hak asuh harus diberikan.101
Dengan memperhatikan kasus di atas, ibu yang berprofesi
sebagai wanita karir yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak
memiliki waktu untuk mengurus anak tidak lah termasuk ke dalam
mengembalikan yang haq kepada pemiliknya. Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
al-T{uruq al-H{ukmiyyah fi> al-Siya>sah al-Shar‘iyyah (Makkah al-Mukarramah:
Da>r ‘A>lim al-Fawa>id, 1428 H), vol. 1, 25. 101
Fakta-fakta yang berbicara tentang penggugat merupakan salah
satu alat bukti yang disebutkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (691H-751H)
dalam kitab al-T{uruq al-H{ukmiyyah fi> al-Siya>sah al-Shar‘iyyah yang beliau
jelaskan sampai 26 macam alat bukti, yaitu fakta yang berbicara atas dirinya
dan tidak memerlukan sumpah, pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat,
fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai dengan sumpah pemegangnya,
pembuktian dengan penolakan sumpah, pembuktian dengan penolakan sumpah
dan sumpah yang dikembalikan, pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki
tanpa sumpah penggugat, saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat,
keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, keterangan
saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk bersumpah, keterangan
saksi/ dua orang perempuan dan sumpah penggugat, saksi dua orang perempuan
tanpa sumpah, saksi tiga orang laki-laki, saksi empat orang laki-laki, kesaksian
budak, kesaksian anak di bawah umur, kesaksian orang yang fasik, kesaksian
orang non Islam, bukti pengakuan, pengetahuan hakim, berdasarkan berita
mutawatir, berdasarkan berita tersebar, berdasarkan berita orang perorang,
bukti tulisan, berdasarkan indikasi-indikasi yang nampak, berdasarkan hasil
undian, berdasarkan hasil penelusuran jejak.
174
kategori orang-orang yang berhak mengurus hadanah anak dalam hukum
Islam.102
Seorang ibu yang bekerja sebagai wanita karir yang sangat
sibuk dengan pekerjaan dan telah melalaikan kewajiban karena tidak
memiliki waktu untuk mengurus anak dikategorikan sebagai ibu yang
tidak memiliki kemampuan dalam mengasuh dan mendidik anak.103
Oleh
karena itu lah majelis hakim mempertimbangkan hak hadanah diberikan
kepada ayah. Pertimbangan majelis hakim dengan memberikan hak
pengasuhan kepada ayah karena selama ini anak lebih banyak diasuh
oleh ayah. Ayah walaupun bekerja, pada faktanya memberikan alokasi
waktu yang luang untuk anak dalam mengurus sekolah dan kebutuhan
pendidikan anak sehingga antara ayah dan anak lebih terbangun
hubungan intens dalam mendidik, mengasuh, dan merawatnya. Hal
tersebut tidak didapat anak dari ibu kandungnya.
Majelis hakim memandang dalam kasus ini bahwa demi
kemashlahatan anak bukan semata-mata dilihat dari siapa yang paling
berhak (secara aturan hukum/ nash), akan tetapi harus melihat fakta ikut
siapa yang lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak. hal
tersebut sesuai dengan kaidah pokok dalam qawa>id fiqh yang berbunyi:
104يزال الضرر -
Bahaya/ mudharat harus dihilangkan. Adapun kaidah cabang yang hampir semakna dengan kaidah di atas
adalah:
102 Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 1997), 7305 103
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, 7306. 104
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> Qawa>id wa Furu>‘ Fiqh al-Shafi‘i> (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,
2015), 135.
Dasar qaidah ini berasal dari hadist Nabi saw yang berbunyi: ضرر لا dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ma>lik dalam Muwat}}t}a’ yang , ولاضرار
diterima dari Umar ibn Yahya dari Ayahnya, riwayat al-Ha>kim dalam al-
Mustadrak, al-Baihaqiy, dan al-Da>raqut}niy yang diterima dari Abi Sa‘i>d al-
Khudriy, dan riwayat Ibnu Ma>jah yang diterima Ibnu Abbas dan Uba>dah.
Al-Shuyu>t}i menegaskan kaidah ini mempunyai kemiripan
substansial dengan dengan kaidah kubra ketiga yaitu: التيسير تجليب المسقة . Inti kaidah
ini merupakan upaya syariat dalam menciptakan kemashlahatan dan menolak
kerusakan dengan memberi kemudahan bagi kaum muslimin. Di samping itu,
kaidah ini merupakan pijakan dasar dalam menggapai semua bentuk maslahah
dan menolak segala jenis mafsadah / المفاسد ودرء المصالح جلب . Prinsip jalb al-mas}a>lih}
wa dar’u al-mafa>sid sebagai pesan inti kaidah ini merupakan point pokok dan
dasar pertimbangan fuqaha dalam mencentuskan hukum hukum fiqih.
175
105الامكان بقدر يدفع الضرر -
Bahaya harus ditolak semampu mungkin. Kaidah induk al-d}arar yuza>lu berlaku dalam segala permasalahan
dimana unsur mudharatnya sudah terlanjur terjadi. Sementara kaidah al-d}arar yudfa‘u bi qadri al-imka>n berlaku dalam setiap persoalan dimana
sisi d}ararnya belum atau akan terjadi. Titik tekannya berdasarkan
konsep mas}lah}ah mursalah dan siya>sah shar‘iyyah (kebijakan strategis
hukum syariat), yakni upaya preventif (pencegahan) yang dinilai lebih
baik dalam pandangan syariat dari pada upaya kuratif (penghilangan).106
Secara substantif kaidah ini menandaskan bahwa segala macam bahaya,
jika memungkinkan harus segera ditangkal secara total, dan hal inilah
yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menyelesaikan permasalahan
perebutan hak asuh anak, dimana hakim berusaha untuk menghilangkan
kemudharatan bagi anak apabila diasuh oleh orang yang tidak memiliki
kecakapan dalam mengasuh anak karena telah lalai. Oleh karena itu,
putusan hakim dalam menetapkan hak pengasuhan anak kepada ayah
apabila ditinjau dalam hukum Islam sudah tepat karena sudah sesuai
dengan tujuan hukum syara’ yaitu menarik manfaat dan menolak
kemudharatan.
Penulis sepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Wahbah
Zuhaili (1932M-2015M) bahwa hadanah pada hakikatnya merupakan
hak serikat antara ibu, ayah, dan anak.107
Dalam pelaksanaannya
mengandung arti jika masalah hadanah dipersengketakan oleh ayah dan
ibu, maka yang menjadi prioritas utama adalah bukan ayah atau ibu,
atau siapa yang berhak secara hukum, akan tetapi kemashlahatan dan
kepentingan anak yang harus diutamakan.
105
Lihat dalam Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad
ibn Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h}iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r (Maktabah al-
Ubaika>n, 1997), vol. 4, 443, dan Sharah Majallah al-Ahkam. Akses lewat
http://www.alukah.net/sharia/0/87077/. 106
Lihat Muhammad S{idqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1983). 80.
107 Lihat Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, 7297.
183
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi ini telah berusaha mempelajari argumentasi
pertimbangan-pertimbangan dan putusan hakim dalam menetapkan hak
pengasuhan anak di bawah umur yang diberikan kepada ayah dan
sekaligus menganalisis pertimbangan-pertimbangan dan putusan
tersebut dalam perspektif hukum positif dan fikih Islam. Penganalisaan
terhadap pertimbangan dan putusan hakim dalam 3 (tiga) perkara
(210K/AG/1996, 349K/AG/2006, 110K/AG/2007) menemukan
kesimpulan umum sebagai berikut:
Argumentasi hukum hakim dalam memutuskan hak asuh anak
diberikan kepada ayah dengan pertimbangan yang didasarkan kepada
siapa yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, siapa yang
lebih memerhatikan anak, dan siapa yang lebih dapat menjamin serta
dapat menunaikan hak-hak anak baik yang berkaitan dengan kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani anak. Hal demikian menunjukkan
bahwa pertimbangan hakim tersebut berorientasi pada konsep mas}lah}ah
dan kepentingan terbaik bagi anak. Penatalaksanaan hak asuh anak juga
berdasarkan kepada prediksi terhadap kompetensi hak asuh anak di masa
depan agar hak-hak anak tidak terabaikan. Dalam memutuskan perkara
hak pengasuhan anak dalam tiga perkara di atas, majelis hakim
melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal 105 huruf (a)
Kompilasi Hukum Islam. Tindakan hakim yang melakukan contra legem merupakan pengejawantahan nilai hukum yang bersifat progresif yang
menghendaki hukum agar tidak terpaku pada legalistik aturan hukum.
Keadaan demikian juga memberi pemahaman bahwa ketentuan hukum
tentang hak pengasuhan anak pada hakikatnya bersifat relatif, alternatif,
dan komprehensif. Apabila disandingkan dengan ketentuan UU No. 23
tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak,
ketentuan Pasal 105 huruf (a) KHI dapat dikatakan sebagai lex generali sedangkan UU Perlindungan Anak bersifat lex specialis. Dengan
memakai prinsip hukum lex specialis derogat legi generali, dan azas
hukum lex posterior derogat legi priori, serta lex superior derogat legi inferior maka Undang-undang tentang perlindungan anak lebih
diutamakan dalam pengambilan keputusan hak asuh anak oleh hakim.
184
B. Saran
Pertama, Hakim dalam mengadili suatu perkara, janganlah
terlalu terpaku pada teks hukum sehingga mengedepankan azas
normativitas dari pada kewajiban untuk menegakkan keadilan, sebab
masih ada kita lihat sebagian hakim yang memiliki keyakinan bahwa
kepastian hukum harus diterapkan, sehingga adanya ketakutan untuk
melakukan terobosan hukum yang dapat menciptakan kemashlahatan
bagi mayarakat.
Kedua, mengenai ketentuan hak asuh anak yang terdapat
dalam pasal 105 KHI harus direvisi dan diperbaharui dengan
memperhatikan faktor kualitas, kapabilitas, leadership, dan kemampuan
dalam melaksanakan tugas hadhanah sebagai pertimbangan utama
dalam menetukan siapa yang layak menjadi pengasuh anak.
189
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abi al-Hasan Abi ibn Abdissala>m. al-Bahjah fi> Sharh al-Tuh}fah. (1370H).
Abi al-Hasan ali ibn Muhammad al-Maliki. Kifa>yah al-T{a>lib al-Rabba>ni>. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-‘Abdari>, al-Mawa>q Abu> Abdillah Muhammad ibn Yu>suf ibn Abi al-
Qa>sim bin Yu>suf. al-Ta>j wa al-Ikli>l li Mukhtas}ar Khali>l. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.t.
Abdullah ibn Hija>zi ibn Ibra>hi>m al-Sha>fi‘i>. H{ashiyah al-Sharqa>wi. Mesir: Matba‘ah Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi, t.th.
‘A<bidi>n, Muhammad Ami>n ibn Umar. al-Da>r al-Mukhta>r wa H{a>shiyah ibn ‘A>bidi>n. Riyadh: Da>r A>lim al-Kutub, 2003.
Abu Abdillah, Muhammad ibn Abdillah al-Kharshi> al-Ma>liki>. Sharh} Mukhtas}ar Khali>l li al-Kharshi>. al-Mat}ba‘ah al-Ami>riyyah al-
Kubra>, 1317 H.
‘Abd al-Ba>qi>, Muhammad Fua>d. Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Quran al-Kari>m. Kairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1364 H.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 2010.
Abu> al-Fad}l, Muhammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri>
Jama>l al-Di>n. Lisa>n al-‘Arab. Beirut:Da>r S{a>dir, t.t.
Abu> Da>ud. Sunan Abi> Da>ud. Beirut: Da>r al-Fikr, 2004.
Abu Zahrah, Muhammad. Us}u>l Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.th.
Ah}mad ibn H{anbal. Musnad Ima>m Ah}mad ibn H{anbal. Beirut:
Muasasah al-Risa>lah, 1999.
Ali, Ahmad. Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
190
Ali, Moh Daud. Yurisprudensi Peradilan Agama dan Pengembangan Hukum Islam dalam Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Ancel, Marc. Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problem. London: Routledge & Kegan Paul, 1965.
Ansyahrul. Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara. Jakarta: Mahkamah Agung,
2011.
Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
‘At}iyyallah, Muhammad. al-Qa>mus al-Isla>mi>. Kairo: Maktabah al-
Nahd}ah al-Mis{riyyah, t.t.
Arifin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Al-Asbah}i>, Ma>lik ibn Anas. > al-Mudawwanah al-Kubra>. Beirut: Da>r al-
Fikr, 1406H.
Al-As}faha>ni>, al-Ra>ghib. Mufrada>t Alfa>z} al-Quran, muh}aqqiq S{afwa>n
‘Adna>n Da>wu>di>. Damaskus: Da>r al-Qalam, 2009.
Al-Asrushan>, Muhammad ibn Mah}mu>d. Ja>mi‘ Ahka>m al-S{igha>r. 1982.
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
--------. Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia (Dialekta Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia). Jakarta: Sekretariat
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012.
Al-Asqala>ni>, Ibnu H{ajar. Tahdzi>b al-Tahdzi>b. Beirut: Da>r al-Fikr, 1984.
191
Auda, Jasser. Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach. London: The International Institute of
Islamic Thought, 2007.
Al-Azhari>, S{a>lih} ‘Abd al-Sami>‘ al-A<bi>. Jawa>hir al-Ikli>l Sharh Mukhtas}ar Khali>l fi>> Madzhab al-Ima>m Ma>lik. Da>r Ihya>’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, t.th.
al-Bahu>ti>, Mans}u>r bin Yunus bin Idris. Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘. Beirut: Da>r al-Fikr, 1402 H.
--------. Sharh al-Muntaha al-Ira>da>d. Makkah al-Mukarramah: Maktabah
al-Fais}iliyyah, t.th.
al-Baihaqi. Sunan al-Baihaqi al-Kubra>. Makkah al-
Mukarramah:Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994.
Basuki, Zulfa Djoko. Dampak Putusnya Perkawinan Campuran terhadap Pemeliharaan Anak dan permasalahannya Dewasa Ini (Tinjauan dari Hukum Perdata Internasional). Jakarta: Yarsif
Watampone, 2005.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Pamulang Timur: Logos, 1999.
--------. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004
Black, Donald. The Behaviour of Law. New York: Academi Press, 1976.
Bodenheimer, Edgar. Jurisprudence: the Philosophy and Methode of the Law. Cambridge: Harvard University Press, 1970.
BPHN. Evaluasi Program Legislasi Nasional dalam Rangka Pembangunan Hukum yang Demokratis. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional kementrian Hukum dan HAM RI,
2009.
Al-Bukha>ri>, al-Ima>m. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b Bada’i al-Khalq Bab
S{ifah Ibli>s wa Junu>dih. Kairo: Da}r al-H{adi>ts, 2004.
Al-Burnu, Muhammad S{idqi. al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1983.
192
Comstock, Donal E. A Methode for Critical Research. Washington:
Washington State University Press, 1980.
Constanzo, Mark. Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum (Psychology Aplied to Law) diterjemahkan oleh Helly Prajitno Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Coulson, Noel J. Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Fuad. Yogyakarta: Navila, 2001.
Cruz, Peter de. Comparative Law in a Changing World. London:
Cavendish Publishing Limited, 1999.
Dahlan, Abdul Azis dan tim. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
al-Dardi>r, Abu> al-Baraka>t Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Al-Sharh}} al-S{agi>r ‘ala> Aqrab al-Masa>lik ila> Madzhab al-Ima>m Ma>lik. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1991.
Al-Da>rutni>, Ali ibn Umar Abu al-Hasan. Sunan al-Da>ruqut}ni>, Kita>b
Umar RA Ila> Abi> Musa> al-Ash‘ariy. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah,
1996.
Al-Dasu>qi>, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Arafah, H{ashiah al-Dasu>qi> ‘ala> al-Sharh al-Kabi>r. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996.
David, Rene and John E>.C. Brierley. Major Legal System in the World Today. London: Stevens & Sons, 1978.
Al-Di>n, Muhammad ibn Ya‘qu>b al-Fairu>z A<ba>di Majid. Basa>ir Dhazi> al-Tamyi>z fi> Lat}a>if al-Kita>b al-‘Azi>z, tah}qi>q ‘Abd al-‘Ali>m al-
T{ah}a>wi>. Kairo: Jumhuriyyah Mis}r al-‘Arabiyyah al-Majlis al-
A‘la> al-Isla>miyyah, 1996.
--------. al-Qamu>s al-Muh}i>t}. Beirut: Da>r al-Jail, t.t.
Effendi, Rusli. Teori Hukum. Ujung Pandang: Hasanuddin University
Press, 1991.
Fanani, Ahmad Zaenal. Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Pespektif Keadilan Jender). Yogyakarta: UII Press,
2015.
193
al-Fana>ni, Zainuddin ibn Abdil-Azi>z al-Maliba>riy al-Sha>fi‘i, Fath al-Mu‘i>n bi Sharh Qurrat al-‘Aini bi Muhimma>t al-Di>n. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015.
Farid, Rafat. al-Isla>m wa H{uqu>q al-T{ifl. Kairo: Da>r Muhaysin, 2002.
Franken, H. InLeiden tot de Rechtswetenschap. Belanda: Gouda,
Quaint, Arnhem, 1987.
Friedmen, Lawrence. American Law: An Introduction. New York: W.W
Norton & Company, 1984.
--------. American Law: An Invaluable Guide to the Many Faces of the Law and How it Affects Our Daily Our Daily Lives. New
York: W.W Norton & Company, 1984. dan lihat juga
Lawrence Friedman, Legal Culture and Social Development, (New York: Standford Law Review, t.t
--------. Law in America: A Short History. New York: Modern Library
Chronicles Book, 2002.
--------. Legal Culture and Social Development. New York:
StandfordLaw Review, t.t
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. USA: West Publishing a
Thamson Busines, 2004.
al-Gharna>t{i>, Muhammad bin Ahmad Juzai al-Kalbi>. Qawa>ni>n al-Fiqhiyyah,
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
--------. Al-Waji>z fi> Fiqh al-Ima>m al-Sha>fi‘i. Beirut: Da>r al-Arqa>m,
1997.
Gufran, Ali. Lahirlah dengan Cinta Fikih Hamil dan Menyusui. Jakarta:
Amzah, 2007.
Al-Haitsami>, Abi> al-‘Abba>s Ahmad Shiha>b al-Di>n ibn H{ajar> al-Makki>,
Fath al-Jawwad bi Sharh al-Irsha>d. Mat}ba‘ah Must}afa> al-Ba>bi>
al-Halabi, 1971.
194
Al-Hamawi, Ahmad ibn Muhammad. Ghamzu ‘Uyu>n al-Bas}a<ir H{ashiyah ‘ala> Ashbah li Ibn Nujaim. Istanbul: Da>r al-T{iba> ‘ah
al-Ami>rah, 1290H.
Hamid, Shalahuddin. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco, 2000.
Hamidi, Jazim. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Mas}lah}ah} fi> Fiqh al-Isla>mi. Kairo:
Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, 1971.
Al-H{askafi>, Muhammad bin Ali Muhammad bin Ali bin Abdirrahman
al-H{anafi>. al-Durr al-Mukhta>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2002.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Harahap, M. Yahya. Peran Yurisprudensi sebagai Standar Hukum sangat Penting pada Era Globalisasi. Jakarta: Pustaka Peradilan, 1995.
Haris, J.W. Law and Legal Science: An Inquiry into Concepts Legal Rule and Legal System. Oxford: Clarendon Press, 1982.
al-H{as}kafi>, Muhammad bin Ali Muhammad bin Ali bin Abdirrahman al-
H{anafi>. al-Durr al-Mukhta>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2002.
Al-Hat}t}ab, Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahma>n al-T{arablusiy.
Mawahib al-Jali>l Sharh Mukhtas}ar Khalil. Mat}ba‘ah al-
Sa‘a>dah, 1329 H.
Al-H{usaini, Al-Ima>m Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad,> (Tahqi>q
Muhammad ‘Awad Haikal). Kifa>yah al-Akhya>r fi> H{alli Ga>yah al-Ikhtis}a>r. Mesir: Da>r al-Sala>m, 2013.
Ibn abdillah, Abdul Muh}sin. Sharh al-Qawa>id al-Sa‘diyah. Riyadh: Da>r
At}las li> al-Nashr wa al-Tauzi‘, 2001.
Ibn Ahmad, al-Qa>simi> Muhammad. al-Itqa>n wa al-Ihka>m fi Sharh Tuhfah al-Hika>m. Beirut: Da>r al_kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
195
Ibn al-Hima>m, Kama>l al-Din Muhammad ibn Abd al-Wa>hid al-
Sayawa>si>. Sharh Fath al-Qadi>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2003.
Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah. Beirut: Da>r al-Fikr, 2004.
Ibnu al-Manzu>r. al-Ishra>f ala> Madza>hib al-‘Ulama>’. Ida>rah Ihya>’ al-
Tura>ts al-‘Arabi>, 1986.
Ibn Muflih, Shamsudi>n Abi Abdullah Muhammad. Al-Furu>‘. Beirut:
‘A<lim al-Kutub, 1402H.
Ibn Naji>m, Zainuddin. al-Bah}r al-Ra>iq Sharh Kanz al-Daqa>iq. Beirut:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>. Al-Ka>fi>. Beirut: Maktab al-Isla>mi>, 1979.
--------. al-Mughni>. Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H.
--------. Raud}ah al-Na>z}ir wa Junnah al-Munaz}ir. Riyadh: Jami‘ah al-
Ima>m Muhammad ibn Sa’ud, 1399H.
Ibnu Rushdi. Bida>yah al-Mujtahod wa Niha>yah al-Muqtas}id. Kairo: Da>r
al-Hadist, 2004.
Ibn Yu>suf, At}fi>sh Muhammad. Sharh al-Nail Shifa>’ al-‘Ali>l. Jeddah:
Maktabah al-Irsha>d, t.t.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Za>d al-Ma ‘a>d fi Hadyi Khair al-‘Iba>d. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1987.
Imam Malik riwayat al-Laitsi> .Muwat}t}a’ al-Ima>m Ma>lik. Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014.
Iqbal, Muhammad. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Al-Jama>l, Shaikh Sulaiman>n. H{ashiyah al-Jama>l ala> Sharh al-Minha>j. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>ts al-‘Arabi>, t.th.
James, Philips S. Introduction to English Law. London: English
Language Book Society, 1985.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Za>d al-Mi‘a>d fi Hadyi Khairi al-‘Iba>d. Muassasah al-Risa>lah, 1998.
196
J.C.T Simorangkir. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara baru, 1983.
Jones, Gavin W. Marriage and Divorce in Islamic South-east Asia. Oxford UK: Oxford University Press, 1994.
Joni, Muhammad. Hak-hak Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga. Jakarta: KPAI, t.t.
al-Jurjawi, Ali Ahmad al-Jurjawi. Hikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuhu. Beirut: Da>r al-Fikr 1994.
al-Juwayni, al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li. Niha>yat al-Mat}lab fi> Dira>yat al-Madhhab bab Ayyu al-Wa>lidayn Ah}aqqu bil Walad. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010.
Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2012.
Kamil, Ahmad dan Fauzan. Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Kencana, 2008.
Kansil, C.S>>.T. {Pengantar Tata Hukum dan Ilmu Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
al-Ka>sa>ni>, ‘Ala>’ al-Di>n. Bada>i’ al-Sana>i‘ fi Tarti>b al-Shara>i‘. Beirut: Da>r
al-kita>b al-‘Arabi>, 1982.
Krippendorff, Klaus. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Rajawali Press 1986.
al-Ku>fi>, Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad ibn Abi> Shaibah, al-Mus}annaf. Kairo: al-Farouq al-H{adi>tsiyyah, 2008.
Leyh, Gregory. Legal Hermeneutics. University of California Press,
1992.
Lotulung, Paulus Effendie, Peranan Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, 1998.
--------. Yurisprudensi dalam Perspektif Pengembangan Hukum Administrasi di Indonesia,(dalam pidato pengukuhan guru
besar) tp, tt, 1994.
197
Al-Maghribi>, al-H{it}a>b Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahma>n.
Mawa>hib al-Jali>l fi> Sharh Mukhtas}ar Khali>l tahqi>q Zakariya
‘Ami>ra>t. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:LP3ES,
1998.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi. Jakarta, 2003.
Mahmudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2008.
Manan, Bagir. Penafsiran sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam
Idris, dkk, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional. Bandung: Fikahati Aneska, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2007.
--------. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.
Mas‘ud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy. Islamabad:
Islamic Research Institut, 1977.
Merriam, Sharan B. Qualitatve Research a Guide to Design and Implementation. San Francisco: Jossey-Bass, 2009.
Mertokusumo, Sudikno. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta:
Citra Aditya Bakti, 1993.
--------. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006.
--------. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty,
1995.
--------. Penemuan Hukum Sebagai Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 2004.
al-Mis}ri>, Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r al-Afri>qi>. Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r S{a>dir, t.t.
198
Moeong, Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, 2006.
Al-Muwas}s}ili>, Abdullah ibn Mah}mu>d ibn Maudu>d. al-Ikhtiya>r li Ta‘li>l al-al-Mukhta>r. Beirut: Da>r al-Ma ‘rifah, t.th.
Mudzhar, M. Atho. Fatwa-fatwa Majlis Ulama. Jakarta: INIS, 1993.
Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang:
UIN Press malang, 2008.
Muhlas, Yurisprudensi (Antara Teori Implementasinya). Yogyakarta:
STAIN Po Press, 2010.
Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009.
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Hukum Islam. Yogyakarta:
Tiara Wacana, t.th.
Al-Muqri, Ahmad ibn Muhammad ‘Ali al-Fayyu>mi>. al-Mis}ba>h} al-Muni>r fi > Ghari>b al-Sharh{ al-Kabi>r. Beirut: Maktabah Lubna>n, 1987.
al-Naisa>bu>ri>, al-H{a>kim. al-Mustadrak ‘ala al-S{ah{i>h}ain. Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
Al-Nasa>i, Abu Abad al-Rah}man. Sunan al-Nasa>i, Kita>b al-Khail Bab
Ta’di>b al-Rajul Farasah. Beirut: Da>r al-Fikr, 2005.
Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011.
Al-Nawawi, Ima>m Abi> Zakariyya> Muhyiddi>n ibn Sharf. al-Majmu>‘ Sharh al-Muhadzdzab. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996.
--------. Raud}ah al-T{a>lini>n. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1405 H.
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/ 1974 sampai KHI. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Pangaribuan, Luhut M>.P. Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu studi Teoritis mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta:
199
Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia & Papas
sinar Sisanti, 2009.
Peters dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku III). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.
Pound, Roscoe. An Introduction to the Philosophy of Law. New
Heaven: Yale University Press, 1975.
Prints, Darwan. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2003.
R. Projodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:
Sumur bandung.
Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Rahardjo, Satjipto. Membangun dan Merombak Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
--------. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: 2007.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, terj. Ahsin Muhammad, Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual. Bandung:Pustaka, 1995.
Al-Ramli>, Shams al-Di>n Muhammad ibn Abi> al-Abba>s Ahmad ibn
H{amzah Shiha>b al-Di>n. Niha>yah al-Muhta>j ila> Sharh al-Minha>j. Beirut:Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993.
Al-Ra>zi>, Muhammad ibn Abi> Bakr ibn ‘Abd al-Qa>dir. Mukhta>r al-S{ih}h}a>h}. Beirut: Maktabah Lubna>n, 1986.
Ridwan, Hilman. Tanya Jawab Ilmu Hukum. Jakarta: Galia Indonesia,
1998.
Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2009.
Al-Sarkasi, Shamsuddi>n. Al-Mabsu>th. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1986.
200
Schacht, Josept. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford
University Press, 1971.
Scholten, Paul. Mr.C.Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht. Algemeen Deel. Zwolle, 1974.
Setiad, Wicipto. Arti Penting Lembaga-lembaga Hukum di Indonesia dalam Merespon Perubahan social. Jakarta: Sekretariat Jendral
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012.
Seidman, Robert B. The State Law and Development. New York: St.
Martin’s Press, 1978.
al-Sharbi>ni>, Muhammad al-Khat}i>b. Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2000.
Al-Sha>t}ibi>, Abu> Ish}aq Ibra>him ibn Mu>sa al-Lakhmi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Ah}ka>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.
al-Shira>zi>, Abu> Isha>q Ibra>hi>m ibn Ali ibn Yu>suf. Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Ima>m al-Shafi‘i. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Soebekti. Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Bandung: PT Alumni, 1974.
Soekanto, Soerjono. Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitin Hukum. Jakarta: UI Press,
2001.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Bandung: Sinar Baru 1984.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Soepomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2002.
Soeroso, R. Hukum Acara Perdata Lengkap & Praktis HIR, RBg, dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
201
--------. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata bagian 3 tentang Gugatan dan Surat Gugatan. Jakarta: sinar Grafika, 2010.
--------. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2 tentang Pihak-pihak dalam Perkara. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Al-Subkiy, Ali Yusuf. Fikih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam (penerjemah Nur Khozin). Jakarta: Amzah, 2010.
Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Sulistyowati, dkk. Kajian Socio-Legal. Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003.
Al-Suyu>t}i, Jala>luddin Abdurrahma>n ibn Abi Bakar. al-Ashbah wa al-Naz}a>ir. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015.
Syahrani, Riduan. Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung:
PT Alumni, 1993.
Al-T{abariy, Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d. Tafsi>r al-T{abariy. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Tanwikhi, Qa>sim ibn ‘Isa> ibn Na>ji. Sharah Ibnu Na>jiy. Beirut: Da>r
al-Fikr, 1982.
Al-Tasawwuli, Abu> al-H{asan Ali ibn Abd al-Sala>m. al-Buhjah fi> Sharh al-Tuh}fah. Beirut: Da> al-Fikr,1991.
Al-T{a>lib, Asma>’ bint Muhammad ibn Ibra>him. Ah}ka>m al-Maulu>d fi> al-Fiqh al-Isla>miy. Riyadh: Da>r al-S{ami>‘i>, 2012.
al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi. Kairo: Da>r al-H{adits, 2005.
Triwulan, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008.
Utrech, E. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1959.
202
Vandevelde, Kenneth J. Thinking Like A Lawyer: An Introduction to Legal Reasoning. Colorado: Westview Press, 1996.
Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Masyarakat. Jakarta: Gramedia,
1978.
Wacks, Raymond. Jurisprucence. London: Blackstone Press, 1995.
Wadong, Maulana Hassan. Pengantar advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Crasindo, 2000.
Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV Mandar Maju,
2009.
Wargakusumah, Moh. Hasan. Pengingkatan Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum, rangkuman Karya Tulis Ilmiyyah di Bidang
Hukum. Mahkamah Agung: Perpustakaan dan Layanan
Informasi Biro Hukum dan Humas Badan Urusan
Admisnistrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014.
Wirdhana, Indra dan tim. Buku Pegangan Kader BKR tentang Delapan Fungsi Keluarga. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), 2013.
Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra NegaraKutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana. Bandung: Alfabeta, 2013.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fiqih Anak (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak). Jakarta: al-Mawardi Prima,
2004.
Yu>nus al-H{anbali>, al-Bahu>ti> Mans}u>r ibn. Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘. Beirut: Da>r al-Fikr, 1982.
Zaid, Mustafa. al-Maslahat fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa Najamuddin al-T{ufi. Mesir: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1954.
Al-Zarkashi, Shamsuddi>n Muhammad ibn Abdullah. Sharh al-Zarka>shi ala> Mukhtas}ar al-Khars}i, 1991.
203
Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah). Jakarta: Kencana, 2005.
Al-Zi>la‘i, Fakhruddin Usman ibn Ali. Tabyi>n al-Haqa>iq Sharh Kanz al-H{aqa>iq. Mesir: Mat}ba‘ah al-Kubra> al-Ami>riyyah, 1315H.
Al-Zuhaili>, Muhammad Mustafa. al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba‘ah. Damaskus: Da>r al-Fikr,
2006.
Al-Zuhaili>, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mii> wa Adillatuhu. Damaskus: Da>r
al-Fikr, 1997.
Jurnal
Amato, Paul R. ‚Consequences of Divorce for Adults and Children.‛
Journal of Marriage and Family 62, No. 5 (Nov, 2000).
Azhari, Aidul Fitriciada. ‚Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan
Bertanggungjawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya
Menemukan Keseimbangan.‛ Jurisprudence, vol. 2, No. 1
(Maret 2005), 89-118.
Behrman, Rhicard E. and Linda Sandham Quinn. ‚Children and
Divorce: Overview and Analysis.‛ The Future of Children 4,
No. 1, Children and Divorce (Spring, 1994).
Brught, Gr van der dan J.D.C. Winkelman, ‚Penyelesaian Kasus,‛
terjemahan B. Arief Shidarta. Jurnal Pro Justitia, XII, No. 1
(Januari 1994).
Cammack, Mark and others, eds. ‚Why Is the Divorce Rate Declining in
Indonesia?.‛ Journal of Marriage and Family 63, No. 1 (May,
2001).
Coltrane, Scott and Michele Adams. ‚The Social Contruction of the
Divorce ‚Problem‛: Morality, Child Victims, and The Politics
of Gender.‛ Family Relation 54, No. 4 (Oct., 2003).
Fauzan, H.M. ‚Hakim sebagai Pembentuk Hukum Yurisprudensi di
Indonesia.‛ Majalah Varia Peradilan, No. 244, (Maret 2006).
204
Goesniadhie, Kusnu. ‚Prinsip Pengawasan Independensi Hakim.‛ Jurnal Hukum, vol. 14, No. 3 (Juli 2007).
Hidayat, Arif. ‚Penemuan Hukum melalui Penafsiran Hakim dalam
Putusan Peradilan.‛ Pandecta, vol. 8, No. 2 (Juli 2013).
Hirschman ,Charles and Bussarawan Teerawichitchainan. ‚Cultural and
Socioeconomic Influences on Divorce during Modernization:
Southeast Asia 1940s to 1960s,‛ Population and Development Review 29, No. 2 (Jun., 2003).
Jones, Gavin W. ‚Modernization and Divorce: Contrasing trens in
Islamic Southeast Asia and the West.‛ Population and Development Review 23, No. 1 (1997).
--------, and others, eds. ‚Divorce in West Java.‛ Journal of Comparative Family Studies 25 (1994).
Al-Khat}i>b, Mahmu>d ibn Ibra >him, ‚H{uqu>q al-T{ifl al-Ma>liyah fi> al-
Isla>m,‛ al-Majallah al-Urduniyyah fi> al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah
6, No. 1 (2010).
Kelly, Joan B. and Robert E. Emery. ‚Children’s and Adjustment
Followin Divorce: Risk and Resilience Perspektives. Family Relation 52, No. 4 (Oct, 2003).
Lewit, Eugene M. dan Linda Schuurman Baker. ‚Children as Victims of
Violence.‛ The Future of Children 6, No. 3, The Juvenile Court
(Winter, 1996).
Kim, Hyun Sik. ‚Consequences of Parental Divorce for Child
Development.‛ American Sociological Review 76, No. 3 (June
2011).
Manan, Abdul. ‚Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama.‛ Mimbar Hukum, No. 49, 69-70.
Ridlwan, Zulkarnain. ‚Negara Hukum Indonesia Kebalikan
Nachtwachtterstaat.‛ Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5,
No. 2 (Mei-Agustus 2012).
205
Sari, Tian Puspita. ‚Singkronisasi Hak-hak Anak dalam Hukum Positif
Indonesia: Kajian Hak Anak sebagai Pelaku Kejahatan,‛ Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 14, No. 2 (September 2011).
Al-Sindi>, H{asan ibn Khalid H{asan. ‚’Ina>yah al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah bi
H{uqu>q al-At}fa>l.‛ Majallah Ja>mi‘ah Umm al-Qura> li ‘Ulu>m al-Syari>ah wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, No. 44 (2008).
Strochschein, Lisa. ‚Parental Divorce and Child Mental Health
Trajectories.‛ Journal of Marriage and Family 67, No. 5 (Dec,
2005).
Syahrizal, Ahmad. ‚Evolusi Kekuasaan Kehakiman dalam Empat
Periode UUD.‛ Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 1 (2006).
Website dan Koran Online
http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967
http://www.badilag.net/ http://www.pa-solok.go.id/home/3-berita-badilag/82-
diskusi-emc-dengan-prof-mark-cammack--54.html
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-
tingkat-perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-
datanya
206
GLOSSARY
Aequo Et Bono Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam
peradilan, bak perdata maupun pidana yang pada prinsipnya
menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara.
Arti harfiahnya adalah apabila hakim berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya.
Banding
Hak terdakwa atau hak penuntut umum pada kasus pidana dan
hak penggugat atau tergugat pada kasus perdata untuk
memohon agar putusan pengadilan pada tingkat pertama
diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi.
BW
Singkatan dari Burgelijk Wetboek, dikenal d Indonesia debagai
kitab undang-undang hukum perdata, merupakan peraturan
hukum perdata yang diambil dari Code Napoleon dari Prancis
dan merupakan perkembangan dari Corpus Juris Civilis dari
Romawi.
Civil Law System
Sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa dengan
menitik tekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang
sifatnya teryulis.
Common Law System
Sistem hukum yang dibangun melalui putusan-putusan
pengadilan dan tribunal yang serupa menjadi hukum tidak
tertulis yang mencerminkan sebuah konsensus hakim.
Contra Legem
Tindakan hakim yang dalam putusannya melanggar ketentuan
yang ditentukan dalam pasal UU tertentu dengan cara
menyingkirkan penerapan pasal tersebut.
Duplik
Jawaban tergugat (dalam kasus perdata) atau terdakwa (dalam
kasus pidana atas replik penggugat atau jaksa penuntut umum.
207
Eksepsi
Surat jawaban yang mengemukakan tangkisan di luar pokok
perkara.
H}ad}a>nah
Suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang
belum mumayyiz atau orang dewasa tetapi kehilangan akal
(kecerdasan berpikir)-nya.
HIR
Reglemen Indonesia yang diperbaharui, yaitu hukum acara
dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku
di pulau jawa dan madura.
Hukum Positif
Hukum yang sedang berjalan atau berlaku saat ini juga pada
suatu negara.
Ijma>‘ Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syarak.
Ijtihad
Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk
mencapai suatu putusan syarak (hukum Islam) tentang kasus
yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Qur‘an dan
sunnah Rasulullah SAW.
Ius Constituendum
Hukum yang akan diberlakukan atau hukum yang dicita-
citakan.
Ius Curia Novit Suatu azas yang menyatakan bahwa hakim dianggap tahu semua
hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa
dan mengadili perkara.
208
Jawaban
Tanggapan tergugat (dalam kasus perdata) atau terdakwa
(dalam kasus pidana) terhadap gugatan penggugat atau dakwaan
penuntut umum.
Judex Facti Hakim yang memeriksa duduknya perkara, khusus dimaksudkan
hakim tingkat pertama dan hakim banding.
Kasasi
Suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah
Agung untuk memeriksa kembali putusa-putusan dari
pengadilan-pengadilan terdahulu dan ini merupakan pengadilan
terakhir.
Konvensi
Istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli.
KUHPer
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia yang
bersumber pada hukum Napoleon kemudian berdasarkan
staatsblaat No. 23 tahhun 1847 tentang Burgerlijk wetboek vppr Indonesic (BW).
Mafsadat
Sesuatu yang membawa mad}a>rah (mudarat, bahaya, bencana,
atau kerusakan) atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
benda.
Maqas}id Shari‘ah
Makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam
mensyariatkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia.
Maslahah Istilah ini dikemukakan oleh ulama ushul fikih dalam membahas
metode yang dipergunakan saat melakukan istinba>t}
(menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada
nas) yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudharatan
dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak.
Petitum
209
Tuntutan atau permohonan dari penggugat yang termuat pada
akhir surat gugatan.
Putusan Provisi
Biasa dikeluarkan hakim untuk mencegah tergugat melakukan
pelanggaran yang diduga lebih lanjut selama persidangan.
Posita Uraian mengenai kejadian atau kronologis yang menjadi alasan
gugatan.
Qanu>n Berasal dari bahasa Arab yang berarti kaidah, norma, undang-
undang atau hukum.
RBg
Hukum acara perdata bagi daerah-daerah pulau jawa dan
madura.
Rekonpensi
Gugatan balik tergugat kepada penggugat.
Replik
Tanggapan balasan penggugat (dalam kasus perdata) atau jaksa
penuntut umum (dalam kasus pidana) atas jawaban dari
tergugat atau pembelaan terdakwa.
Yurisprudensi
Putusan majelis hakim agung di Mahkamah Agung yang
mempunyai kekuatan hukum tetap serta berisi kaidah-kaidah
hukum yang diberlakukan ketika memeriksa dan memutus
perkara, dan beberapa kali dijadikan sebagai sumber hukum
serta menjadi acuan bagi hakim.
210
INDEKS
A
Abdul Manan · 64, 94, 95, 164
Abu Bakar · 8, 9, 52, 53, 54, 119
Agama · 6, 11, 18, 20, 21, 24,
64, 67, 83, 94, 95, 101, 102,
104, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 116, 117,
127, 130, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 139, 140, 144, 145,
155, 156, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 164, 168, 169
Ahmad Sahabuddin · 138, 146,
151
Al-Jurjawi · 10, 54
Allah · 3, 5, 10, 29, 31, 32, 33,
34, 48, 49, 53, 59, 103, 105,
119, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 126, 148, 149, 150, 153,
177, 184
al-Qur’an · 8, 25, 28, 29, 30, 31,
74, 116, 123, 174
al-Sha>t}ibi · 33, 129, 175
Amerika · 74, 75, 77, 78, 159
Asia Tenggara · 1
Asia-Pasifik · 1
B
Banding · 15, 20, 26, 83, 84, 85,
101, 107, 109, 112, 134, 135,
139, 144, 145, 158, 160, 161,
162, 164, 169, 170, 185, 186
Benjamin Nathan Cardoso · 13
BW · 60, 61, 62, 63, 142
C
Civil law · 12, 74, 75, 76, 77,
87, 88
Civil law system · 75
Common law · 14, 74, 76, 77,
78, 79, 87, 88, 89
D
Doktrin · 74, 79, 87, 88
Duplikat · 102
E
Eric L. Richard · 74
Eropa · 15, 74, 75, 80, 83, 92,
142
Ex officio · 66, 99, 109, 138,
146, 185
F
Faliditas filosofis · 116
Fasik · 58, 122, 180
211
Fikih · 5, 8, 15, 20, 27, 48, 53,
57, 64, 125, 129, 151, 153,
154, 178, 185, 186
Friedman · 71, 72, 75
G
Ghazali · 151, 152, 175
Gugatan · 20, 101, 102, 104,
106, 109, 112, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 136, 139, 140,
141, 142, 143, 144, 145, 149,
155, 156, 157, 159, 161, 163,
164, 185
H
Hadanah · 5, 6, 7, 8, 10, 15, 17,
18, 20, 21, 22, 25, 26, 46, 47,
48, 49, 50, 51, 52, 56, 57, 58,
59, 60, 61, 64, 67, 101, 106,
108, 111, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 120, 121, 122,
129, 146, 148, 157, 160, 161,
162, 163, 168, 169, 180, 181
Hadist · 8, 9, 10, 15, 25, 34, 36,
37, 38, 53, 59, 60, 74, 123,
124, 125, 149, 150, 169, 177,
178
Hak Asasi Manusia · 34, 39, 40,
41, 43, 46, 118, 148
Hakim · 10, 11, 12, 13, 14, 15,
16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 25,
26, 62, 64, 69, 70, 72, 75, 76,
77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 90, 91, 93, 94, 95, 96,
97, 98, 99, 107, 108, 109,
112, 113, 114, 116, 117, 118,
119, 128, 129, 132, 134, 138,
139, 140, 142,143, 144, 146,
147, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 154, 157, 160, 163, 164,
165, 166, 168, 169, 170, 172,
173, 174, 177, 178, 179, 180,
181, 183, 184, 185, 186, 187
Hambali · 47, 49, 55, 56, 58, 59,
122, 124, 129
Hanafi · 7, 46, 49, 51, 55, 56,
59, 123, 128
Hans Kelsen · 12
HIR · 142, 143, 144, 165, 166
Hukum Islam · 6, 19, 64, 83,
131, 133, 174, 184
Hukum positif · 11, 12, 15, 17,
22, 23, 25, 42, 64, 83, 94, 95,
101, 148, 183, 184
I
Ibnu Mundzir · 52
Ibnu Qayyim · 123, 178
Ibnu Qudamah · 9, 52, 54
Ibnu Rushdi · 151
In concreto · 96
Indonesia · 1, 3, 6, 8, 11, 12, 13,
14, 15, 17, 18, 20, 21, 24, 26,
27, 38, 39, 40, 42, 46, 57, 60,
61, 62, 63, 64, 66, 69, 70, 71,
212
72, 73, 79, 80, 81, 82, 83, 84,
85, 86, 87, 88, 89, 91, 93, 95,
97, 110, 130, 140, 142, 144,
147, 157, 165, 166, 170, 175
Inggris · 21, 74, 77, 78, 79, 83,
92
Islam · 3, 5, 6, 7, 8, 9, 15, 16, 17,
18, 19, 20, 22, 25, 26, 27, 31,
32, 34, 35, 36, 37, 48, 50, 52,
57, 59, 61, 64, 65, 66, 67, 74,
75, 80, 83, 101, 103, 104,
105, 108, 111, 112, 113, 114,
116, 118, 119, 120, 121, 122,
123, 127, 128, 129, 130, 131,
132, 133, 138, 141, 146, 148,
151, 154, 155, 162, 166, 174,
175, 176, 177, 179, 180, 181,
183, 184, 185, 186
J
Jakarta Selatan · 20, 130, 132,
134, 135, 136, 139, 140, 144,
145, 155, 156, 158, 159, 160,
161, 163, 164, 168
Jepang · 75
Jhon E.C. Brierley · 74
Jimly Asshiddiqie · 69, 72, 73
Judex Facti · 136
Judge made law. · 14, 82
Jury · 79
K
Kafir · 59, 111, 117, 118, 120,
121, 122, 123, 124, 128, 129,
184
Kant · 11
Kasasi · 15, 20, 26, 75, 81, 84,
85, 86, 101, 109, 110, 112,
115, 116, 136, 137, 138, 139,
145, 153, 158, 162, 163, 164,
169, 172, 177, 184, 185, 186
Kasasi · 110, 112, 113, 114,
136, 137, 138, 139, 145, 146,
147, 148, 150, 158, 162, 163,
164, 169, 173
Kenneth J. Vandevelde · 96, 97
Keyakinan Hakim · 138, 146,
151
KHI · 3, 6, 8, 18, 21, 40, 42, 60,
61, 64, 67, 109, 113, 114,
117, 146, 158, 160, 168, 172,
183, 187
Komitmen yuridis · 38
Kompilasi Hukum Islam · 19,
133
Konvensi · 40, 42, 43, 44, 119,
147, 159, 161, 163, 164, 173
Kristen · 103, 105, 111, 128
KUHP · 42
KUHPer · 39, 42, 61, 62, 165,
166
213
L
Lawrence Friedman · 72, 76
Lawyers · 78
Lex specialis · 172, 183
M
Mahkamah Agung · 2, 16, 17,
20, 23, 24, 26, 27, 81, 82, 84,
85, 86, 91, 94, 101, 110, 112,
114, 127, 133, 136, 137, 139,
143, 145, 146, 147, 148, 162,
163, 164, 169
Majelis Hakim · 104, 111, 112,
113, 114, 127, 131, 132, 138,
145, 146, 147, 148, 150, 164,
168, 169, 172, 173
Maliki · 7, 47, 49, 51, 55, 56,
57, 58, 121, 123, 128, 129
Mark Cammack · 1, 2
Mark Constanzo · 170, 171
Montesquieu · 11
Mumayiz · 5, 7, 8, 17, 20, 47,
51, 57, 67, 108, 109, 114,
118, 131, 135, 140, 146, 155,
158, 164, 168, 172
Murtad · 108, 113, 114, 116,
117, 119, 120, 128, 184
Muslim · 33, 36, 59, 103, 105,
115, 117, 118, 119, 122, 124,
125, 128, 129, 148, 177, 184
O
Obiter dicta · 79
P
Pasal · 3, 6, 7, 8, 21, 39, 40, 41,
42, 43, 44, 45, 61, 62, 63, 64,
65, 66, 67, 68, 69, 82, 83, 86,
90, 91, 93, 103, 109, 113,
116, 117, 118, 119, 132, 137,
140, 141, 144, 146, 147, 155,
160, 165, 166, 168, 172, 173,
183, 184
Pengadilan · 2, 11, 15, 16, 18,
19, 20, 21, 23, 25, 26, 44, 45,
60, 64, 65, 66, 67, 68, 76, 77,
78, 79, 80, 83, 84, 85, 87, 90,
93, 97, 101, 107, 113, 114,
116, 117, 137, 138, 140, 143,
148, 149, 158, 164, 165, 166,
168, 170, 171, 172, 173, 177,
184, 186
Pengadilan Agama · 20, 67, 101,
107, 109, 110, 113, 114, 130,
134, 140, 144, 145, 158, 160,
161, 163, 164, 168
Penggugat · 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 136, 137, 138,
139, 140, 141, 142, 144, 145,
146, 150, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160, 161, 162, 163,
214
164, 165, 166, 167, 168, 169,
170, 179
Peradilan · 13, 14, 21, 26, 69,
70, 74, 75, 81, 82, 83, 84, 85,
87, 91, 94, 95, 116, 137, 148,
174
Perdata · 62, 80, 81, 142, 144,
149, 151, 165, 166, 170, 177
Perdata · 16, 42, 60, 63, 64, 80,
86, 87, 88, 93, 113, 138, 140,
142, 143, 144, 146, 151, 165
Pertimbangan hakim · 16, 17,
22, 26, 114, 115, 117, 119,
183, 186
Peter de Cruz · 75, 77
petitum · 21, 103, 109, 133,
134, 140, 141, 142, 143, 144,
156, 178
Posita · 133, 134, 140, 141, 142,
143, 144, 156
Preseden · 74, 75, 79, 174
Provisi · 102, 103, 104, 131,
132, 134, 135, 137, 139, 140,
141, 145, 161, 163
Putusan hakim · 86
R
Rad}a>‘ah · 28
Rasulullah · 8, 10, 36, 37, 38,
53, 59, 124, 148, 149, 150,
152, 160, 169, 176, 177, 178
RBg · 142, 143, 165, 166
Rechtsschepping · 15
Rechtsvinding · 15, 69, 90, 93,
95
Reformasi · 11, 70
Reglement op de Burgelijke
Rechtsvordering · 140, 142
Rekonvensi · 159, 161, 163, 164
Rene David · 74, 80
Replik · 104, 132, 133, 142, 157
Roscoe Pound · 13, 78
Rusli Effendy · 74
Rv · 140, 142, 144
S
S}abiy · 27, 29
Syafii · 8, 47, 49, 52, 55, 56, 59,
121, 124
Shiqaq · 137
Sistem · 17, 43, 69, 70, 75, 77,
88, 91, 170, 171
Socialist law · 74
Soetandyo Wigjosoebroto · 11
Stare decisis · 79, 88
Struktur · 71, 72, 97, 98
Subekti · 60, 63, 113, 166
Substansi · 11, 12, 71, 72, 78
Sudikno Mertokusumo · 43, 84,
90, 93, 97, 140, 144
Supremasi · 70
Supreme · 70
Suyuti · 154
215
T
T}ifl · 27, 29, 30
Tergugat · 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 108, 109, 110,
112, 113, 129, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 136, 138, 139,
140, 141, 142, 145, 150, 155,
156, 157, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 164, 165, 166, 167,
168, 169, 170
U
Ulama · 7, 48, 51, 53, 56, 123,
124, 128
Umar bin Khattab · 8, 53
Undang-undang · 2, 3, 6, 14, 15,
18, 24, 38, 40, 41, 42, 43, 44,
46, 62, 65, 66, 67, 68, 69, 81,
82, 96, 103, 109, 112, 113,
116, 117, 118, 119, 131, 133,
136, 137, 138, 141, 147, 148,
162, 173, 183
Undang-undang Perkawinan · 3,
6, 42, 65, 66
Us}u>l fiqh · 174
UU Perkawinan · 21, 40, 61, 62,
63, 64, 65, 173
V
Validitas filosofis · 116
Validitas yuridis · 117
W
Wahbah Zuhaili · 47, 50, 59,
181
Wahyono Dharmabrata · 62
Wala’ · 123
Walad · 27, 28
Y
Yurisprudensi · 6, 11, 14, 16,
17, 69, 77, 81, 82, 83, 84, 85,
86, 87, 88, 101, 130, 136,
143, 147, 155
Z
Zulfa Djoko Basuki · 63
189
Top Related