KASUS
GUILLAIN BARRE SYNDROME PADA FASE INFEKSI AKUT
Pembimbing :
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp. S
Disusun Oleh :
Kristofel Desiano 1610221092
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTAPENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAFRSUD AMBARAWA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
GUILLAIN BARRE SYNDROME PADA FASE INFEKSI AKUT
Oleh :
Kristofel Desiano 1610221092
Kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf RSUD Ambarawa.
Ambarawa, Oktober 2017
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp. S
2
A. Identitas PasienNama : Nn. R
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kluwihan 4/4 Sidomukti Bandungan, Kabupaten
Semaranng
No cm : 134xxx-xxxx
Tanggal masuk RS : 06 Oktober 2017, diruang Wijaya Kusuma
B. Data Dasar
Diperoleh dari pasien (Autoanamnesis) yang dilakukan pada tanggal 13
Oktober 2017 pukul 13.30.
C. Keluhan Utama
Pusing berputar sejak 1 hari SMRS
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Lebih kurang 1 minggu SMRS pasien mengaku terpeleset dilantai, pasien
terjatuh dalam posisi duduk. Akibat terjatuh, pasien merasa nyeri pada
punggungnya dan kedua kaki terasa kesemutan. Keluhan ini tidak disertai
dengan kelemahan pada anggota gerak bawah, demam disangkal, serta tidak
ada keluhan pada BAK dan BAB. Nyeri pada punggung mengganggu
aktivitas sehari-hari pasien, karena pasien sulit untuk berdiri dan pincang bila
berjalan.. Tetapi nyeri tidak mengganggu tidur pasien. Pasien mengaku tidak
berobat kedokter setelah terjatuh. Pasien hanya dipijat untuk mengurangi rasa
nyeri dibagian punggung dan merasa keluhannya membaik setelah dipijat.
Satu hari SMRS, pasien mengeluh pusing berputar . Keluhan pusing dirasa
seperti ruangannya yang berputar. Keluhan disertai dengan demam, keringat
dingin, telinga berdenging dan leher terasa tegang. Pasien merasa keluhan
berkurang apabila pasien memejamkan mata. Pasien mengaku perubahan
3
posisi yang tiba – tiba juga menyebabkan keluhan semakin parah. Pasien
mengaku tidak ada gangguan pada penglihatannya. Rasa kebas dimuka,
telinga penuh disangkal. Pasien mengaku satu bulan yang lalu pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan dirawat selama satu minggu.
Setelah satu minggu dirawat, keluhan dirasakan membaik. Untuk keluhan saat
ini, pasien belum berobat ke dokter ataupun meminum obat.
Setelah 2 hari dirawat diruang Wijaya Kusuma, keluhan punggung terasa
pegal dan tidak kuat bila mencoba berdiri muncul lagi sama seperti keluhan
saat pasien terpeleset 1 minggu lalu. Pasien juga mengeluh kaki terasa tebal
dan sensasi panas terutama dikaki kiri dan nyeri bila mencoba menapak.
Keluhan ini didahului dengan kesemutan pada kaki pasien. Pasien juga
kurang merasa sensasi raba pada kakinya. Tidak ada yang memperberat
keluhan dan saat istirahatpun keluhan tidak berkurang.
Setelah 3 hari dirawat diruang Wijaya Kusuma, pasien mengaku kedua
tangan terasa kebas dan kurangnya sensasi raba tanpa disertai kelemahan
anggota gerak atas. Demam (-), mual (+), muntah (-), sesak (-). BAK dan
BAB tidak ada keluhan. Sesak napas (-), Lateralisasi (-), penurunan kesadaran
(-).
Hari ke 4 perawatan pasien masih mengaku adanya rasa kebas di
ekstremitas superior dan inferior, kesemutan dan nyeri. Tetapi kurangnya
sensari raba tidak terasa disetengah lengan dan kaki.
Hari ke 5 perawatan pasien masih mengaku adanya rasa kebas di
ekstremitas superior dan inferior, kesemutan dan nyeri. Tetapi kurangnya
sensari raba tidak terasa di setengah lengan bawah hingga ujung jari.
Hari ke 6 perawatan pasien masih mengaku adanya rasa kebas di
ekstremitas superior dan inferior, kesemutan dan nyeri. Tetapi kurangnya
sensari raba tidak terasa dipergelangan tangan dan kaki hingga ujung jari.
Hari ke 7 dirarawat pasien masih mengaku adanya rasa kebas di
ekstremitas superior dan inferior, kesemutan dan nyeri. Tetapi kurangnya
sensari raba tidak terasa disetengah bagian telapak tangan dan kaki.
4
Hari ke 8 dirawat pasien mengaku keluhan rasa kebas, kesemutan , dan
nyeri masih dirasa, rasa panas dikiri masih dirasa. Tetapi, hilangnya sensasi
raba sudah berkurang.
E. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hal seperti ini sebelumnya : Pernah dirawat 1 bulan yll karena
vertigo
2. Riwayat trauma sebelumnya : Pernah jatuh duduk sekitar 1 minggu yll.
3. Riwayat batuk lama : disangkal
4. Riwayat Demam : diakui
5. Riwayat alergi : diakui alergi antibiotik ceftriaxone
6. Riwayat diare : disangkal
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:
1. Riwayat Alergi : disangkal
2. Riwayat Batuk lama : disangkal
G. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIALEKONOMI:
Pasien tidak merokok dan tidak minum minuman keras. Pasien mengaku
dilingkungan rumah tidak ada yang sedang sakit batuk lama atau infeksi
lainnya
H. ANAMNESIS SISTEM :
Sistem cerebrospinal : pusing berputar (+), muntah menyembur tiba-tiba
(-), pingsan (-), perubahan tingkah laku (-), wajah
merot (-),
Sistem kardiovascular : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-),
Sistem respiratorius : tidak ada keluhan,
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem neuromuskuler : kesemutan/baal (+/+)
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
Sistem integumen : tidak ada keluhan
5
I. RESUME ANAMNESIS
Pasien perempuan berumur 17 tahun datang dengan keluhan pusing
berputar sejak 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan seperti ruangannya yang
berputar. Setelah pasien masuk ruang perawatan pasien mengeluh punggung
terasa pegal dan tidak kuat bila mencoba berdiri. Pasien mengeluh kaki terasa
tebal dan nyeri bila mencoba menapak. Keluhan ini didahului dengan
kesemutan pada kaki pasien. Pasien juga kurang merasa sensasi sentuhan pada
kakinya. Selain itu, pasien juga merasa sering kebas-kebas pada kedua
tangannya dan terasa panas. Keluhan yang dirasakan tidak ada hal yang
memperberat dan keluhan tidak berkurang pada saat istirahat. Demam (-), mual
(+), muntah (-). BAK tidak nyeri, tidak berdarah dan BAB lancar. Sesak napas
(-), Lateralisasi (-), penurunan kesadaran (-).
6
J. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinik : Vertigo, nyeri dan kesemutan pada keempat
ekstremitas
Diagnosis topis : Radiks neuron
Diagnosis etiologi : Autoimun, Infeksi, Neoplasma, Trauma
K. DISKUSI PERTAMA
Didapatkan dari anamnesa pasien, pasien mengeluh kesemutan dan
kaki terasa kebas juga sulit untuk berjalan yang menjadi tanda terdapat
gangguan yang dominan pada area motorik diikuti dengan ciri gangguan area
sensorik yang merupakan karakteristik klinis dari gangguan LMN (lower
motor neuron). Hal ini diperkuat dengan diikuti gejala kelainan flasid dan
tidak ditemukannya penurunan kesadaran, kejang dan penurunan fungsi
kognitif. Berdasarkan pemeriksaan klinis dan studi fisiologi, dikenal 2 tipe
paresis yaitu kelainan UMN (upper motor neuron) dan LMN (lower motor
neuron).
Lower motor neuron (LMN), merupakan kumpulam saraf-saraf motoric
yang berasal dari batang otal, menyalurkan impuls ke motoric pada bagian
perjalanan akhir ke sel otot skletal. Ciri-ciri klinik pada lesi LMN, yaitu :
1. Kelumpuhan / kelemahan bersifat flasid
2. Penurunan tonus otot
3. Paralisis flaksid otot
4. Atropi otot
5. Atoni
6. Hiporefleks / arefleks , reflex patologis negatif
Salah satu kumpulan kelainan akibat adanya lesi LMN, yaitu :
7
GUILLAIN BARRE SYNDROME
Definisi:
Sindrom Guillain Barre (SGB) / Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah suatu
sekumpulan gejala poliradikulaneuropati autoimun yang terjadi pasca-infeksi,
terutama mengenai neuron motorik, namun dapat juga mengenai neuron sensorik
dan otonom. Termasuk dalam kelainan LMN pada kerusakan neurologi.2
Epidemiologi:
Di Amerika Serikat insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per
100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada
di Amerika Serikat. Di internasional angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000
orang per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa,
kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter
memiliki predileksi pada musim panas.
Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda
yaitu 15-35 tahun dan dapat juga terjadi pada usia tua 50-75 tahun, yang diyakini
disebabkan oleh penurunan mekanisme imunosupresor. Perbandingan antara pria
dan wanita adalah 1,25 : 1 3
Etiologi:
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan
bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
1. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
2. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
3. Trauma Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
4. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran
Pencernaan.
8
Klasifikasi GBS 1,2
1. Acute inflamatorry demyelinating polyneurophaty (AIDP)
AIDP merupakan tipe SGB yang paling sering ditemui. AIDP terutama
mengenai neuron motoric, namun dapat mengenai neuron sensorik dan
otonom. Serologi C.jejuni di temukan positif pada sekitar 40% kasus
subtype ini, sebagian kecil ditemukan antibody GM1.
2. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan
infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi
akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit
demielinisasi.
3. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini
memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan
dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati
motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa
inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami
penderita selama lebih kurang 1 tahun.
4. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi
ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi
dalam hitungan minggu atau bulan
5. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
9
6. Acute pandysautonomia
7. Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
Patologi:
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat
beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari
sel schwan dan akson.2
Patogenesis:
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demielinisasi saraf tepi
10
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
Gejala Klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
dengan ciri khas parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh
paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat asendens 1,3. Parestesia ini biasanya
bersifat bilateral 1,2 . Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali 2. gejala klinis yang dapat timbul pada GBS adalah :
1. Kelemahan Motorik
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu,
ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 %
kasus, biasanya berupa facial diplegia. Pasien mengalami paralisis
yang khas dapat disebut juga Landry’s ascending paralysis.
11
Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan
20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Pada
anak-anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas
kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk
berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia.
2. Perubahan Sensorik
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar 8. Gejala yang dirasakan penderita
biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal 1.
Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi 5. Pada anak anak rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan
dalam mendiagnosis.
3. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB.
Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi
ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis
lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan
4. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB.
Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan
umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa
menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan
orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.
Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial.
5. Lain-lain
12
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah pasien
SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal.
Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa
terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama
perjalanan penyakit mereka dan dapat ditemui penglihatan kabur
(blurred visions).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan metabolik biasanya diperiksa untuk
mencari penyebab dari penyakit ini, yang sering meninbulkan GBS
ialah adanya infeksi sebelumnnya, elektrolit dan fungsi liver diperiksa
bila diperlukan. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menyingkirkan
penyebab lain paralisis.
2. Pemeriksaan LCS /CSS
Kebanyakan pasien dengan GBS mempunyai kenaikan level protein
LCS (>0,55g/L). Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah
sel monosit < 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
3. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya
pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu
pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam
penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal
yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan
13
terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot,
dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
Pada beberapa keadaan, gambaran EMG dapat normal karena
demielinisasi terjadi pada otot paling proksimal sehingga tidak dapat
dinilai oleh EMG.
4. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI
akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.
5. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan antibody antigangliosida dilakukan bila diagnose SGB
sulit ditegakan. Antibodi GM1 dan GD1 meningkat terutama pada
varian AMAN dan AMSAN.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia.
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan :
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis
bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke-2 sampai ke-4
14
Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik :
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis :
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk
terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus
segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila
perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan
(ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%.
2. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
3. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
15
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah
dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari
dilakukan empat sampai lima kali exchange.
4. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5
hari.
5. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
Prognosis
Pada 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 %
diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan
postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3
minggu setelah gejala pertama kali timbul .
16
3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
relapsing inflammatory polyneuropathy.
17
L. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2017
a. Status generalis :
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : komposmentis/ GCS = E4M6V5= 15
c. TD : 120/70 mmHg
d. Nadi : 80 x/menit,reguler
e. Pernapasan : 20 x/menit
f. Suhu : 36,5oC
g. SpO2 : 98 %
h. Kepala : normosefali, tidak ada kelainan
i. Mata : OS : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
OD : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
j. THT : rhinorea (-), otorhea (-)
k. Mulut : Mukosa tidak tampak hiperemis
l. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar,
trachea ditengah, jejas atau benjolan di leher (-)
m. Thoraks : Cor :
1) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm
medial di ICS 5 linea midclavikula sinistra,
3) Perkusi :
Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS V, 2cm medial linea
midclavicula sinistra
4) Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop
(-)
18
Pulmo :
Depan DextraI:Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :vocal fremitus kanan = kiriPer: sonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-), ronki (+)
SinistraI:Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :vocal fremitus kanan = kiriPer: SonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing(-),ronki(+)
m. Abdomen : datar, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak
teraba, nyeri tekan epigastrik (-)
n. Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
o. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-)
b. Status Neurologis
a. Sikap Tubuh : Simetris
b. Gerakan Abnormal : Tetraparese ekstremitas
c. Nervus Kranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu Dbn Dbn
N. II. Optikus Daya penglihatan Dbn Dbn
Pengenalan warna Dbn Dbn
Lapang pandang Dbn Dbn
N. III.
Okulomotor
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial Dbn Dbn
Gerakan mata ke atas Dbn Dbn
Gerakan mata ke bawah Dbn Dbn
Ukuran pupil 3mm 3mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
19
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh - -
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus Menggigit
- -
Membuka mulut - -
Sensibilitas muka - -
Refleks kornea + +
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral Dbn Dbn
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis Kedipan mata Dbn Dbn
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata Dbn Dbn
Meringis Dbn Dbn
Menggembungkan pipi Dbn Dbn
Daya kecap lidah 2/3 ant Dbn Dbn
20
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX.
Glosofaringeus
Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post Dbn
Refleks muntah Dbn
Sengau -
Tersedak -
N. X. Vagus Denyut nadi 80x/menit
Arkus faring Simetris
Bersuara Dbn
Menelan Dbn
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala Dbn Dbn
Sikap bahu Dbn Dbn
Mengangkat bahu Dbn Dbn
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII.
Hipoglossus
Sikap lidah Dbn
Artikulasi Dbn
Tremor lidah -
21
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah -
Fasikulasi lidah -
*dbn = dalam batas normal
Pemeriksaan Motorik
G : B B K : 5/5/5 5/5/5 Tn : Dbn
BT BT 4/4/4 4/4/4
Tr : RF : RP : (-) Cl : (-)
Pemeriksaan Sensibilitas :
Tetrahipestesis tipe Glove’s Stocking
Pemeriksaan Fungsi Vegetatif :
Miksi : BAK normal, inkontinentia urine (+), retensio urine (-), anuria (-)
Defekasi : BAB lancar, inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
Pemeriksaan Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk: (-)
Kernig sign: (-)
Brudzinsky I: (-)
Brudzinsky II: (-)
Brudzinsky III: (-)
Brudzinsky IV: (-)
22
Eu Eu
Eu Eu
Hipo Hipo
Hipo Hipo
M. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12,9 11.7 – 15.5 gr/dl
Leukosit
Limfosit
Monosit
Granulosit
Limfosit %
Monosit %
Eosinofil %
5600 3.600 – 11.000/ul
1,73
0,25
0.2
2,5
2,0
5,6 H
1.0 – 4.5 x 103/ mikro
0.2 – 1.0 x 103/ mikro
2-4 x 103/ mikro
25 - 40 %
2-8%
2-4 %
Eritrosit 4,04 3.8 – 4.2 juta
Hematokrit 40,3 35-47 %
Trombosit 358.000 150.000 – 400.000/ul
MCV 84,7 82 - 96 fl
MCH 29,7 27 - 32 pg
MCHC 31,9 32 - 37 g/dl
PCT 0.268 0.2-0.6 %
SGOT 13 0-60
SGPT 8 0-50
Ureum 27,3 10 – 50
Kreatinin 1,05 0,62 – 1,1
HDL DIRECT 32 28 – 63
LDL KOLESTEROL 96,6 <160
ASAM URAT 4,06 2 – 7
KOLESTEROL 223 <200 dbn
TRIGLISERIDA 57 L 70 – 140
Natrium 129 L 136-146
Kalium 4,4 3,5-5,1
Chlorida 106 98-106
2. Rontgen
23
Kesan:
Alignment lurus, tak tampak kompresi maupun listesis, tak tampak penyempitan diskus intervertrebalis.
24
N. DIAGNOSA AKHIR
Diagnosa klinik : Tetraparese + Tetrahipestesis tipe Glove’s Stocking
Diagnosis topik : Radiks neuron
Diagnosis etiologi :
Diagnosis tambahan:
Autoimun Susp. Guillain Barre Syndrome
Infeksi
Vertigo sebagai prodormal general disease
O. PLANNING
Planning Diagnosis:
Pemeriksaan LCS
Kebanyakan pasien dengan GBS mempunyai kenaikan level protein
LCS (>0,55g/L). Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah
sel monosit < 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya
pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu
pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam
penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal
yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan
terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot,
dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
25
Pemeriksaan imunoserologi
Pemeriksaan antibody antigangliosida dilakukan bila diagnose SGB
sulit ditegakan. Antibodi GM1 dan GD1 meningkat terutama pada
varian AMAN dan AMSAN.
P. DISKUSI KEDUA
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran pasien E4 V5 M6 yang
menunjukkan bahwa pasien compos mentis. Tekanan darah pasien 120/70
mmHg, nadi 80x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup, laju napas 20
x/menit, suhu 36,5 C secara aksiler. Tidak didapatkan demam yang⁰
merupakan tanda adanya infeksi. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan. Namun pada pemeriksaan neurologis di dapatkan kelemahan pada
tungkai bawah dan hipestesi pada tungkai atas.
Q. TERAPI
Pada penderita ini diberikan terapi :
Medikamentosa :
Inj Piracetam 2x 3 gr
Inj Ranitidin 2x1 amp
Inj Sohobion 1x1
Inj Ketorolac 1x30 mg
Inj Cefotaxim 3x1 gr
Inj Metilprednisolon 4 x 125 gr
Inj Ondansentron 3x1 (bila perlu)
Paracetamol 3x500
Clobazam 2x5 mg
Betahistin 3x1
Rehabilitasi medik : Fisioterapi
26
Piracetam meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktifitas adenylat
kinase(AK) yang merupakan kunci metabolisme energi dimana mengubah ADP
menjadi ATP dan AMP, meningkatkan sintesis dan pertukaran cytochrome b5
yang merupakan komponen kunci dalam rantai transport elektron dimana energi
ATP diproduksi di mitokondria. Piracetam juga digunakan untuk perbaikan defisit
neurologi khususnya kelemahan motorik dan kemampuan bicara pada kasus-kasus
cerebral iskemia, dan juga
Ranitidin adalah anatagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam
lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk
menghambat 50% perangsangan sekresi asam dapat mengurangi severitas atau
kemunculan post traumatik/concussion sindrom. Piracetam mempengaruhi
aktifitas otak melalui berbagai mekanisme antara lain : Merangsang transmisi
neuron di otak, Merangsang metabolimse otak, Memperbaiki mikrovaskular tanpa
efek vasodilatasi.lambung adalah 36–94 mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama
6–8jam . Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak
plasma dicapai 2–3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak
dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2 ½–3 jam
pada pemberian oral, Ranitidine diekskresi melalui urin.
Methylprednisolone, obat ini untuk indikasi seperti Kondisi alergi dan inflamasi,
penyakit reumatik yang memberi respon terhadap terapi kortikosteroid, penyakit
kulit dan saluran napas, penyakit endokrin, penyakit autoimun, gangguan
hematologik, sindroma nefrotik.
Cefotaxim merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas
dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram
positif dan gram negatif. Dengan menghambat pembentukan dinding kuman.
Dosis IV pada dewasa 0,5-2g. Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat
penghambatan sintesis dinding kuman.Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang
tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase
yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif, gram-positif. Pada pasien ini diberikan
27
antibiotik ceftriaxone karena antibiotik ini efektif terhadap bakteri gram positif
maupun negatif, dan belum ada penelitian di Indonesia yang menunjukan tingkat
keresistensian.
Follow Up
Subjectivitas
13/10/2017
Paraparese +
Kesemutan
pada kaki
+
Nyeri
punggung
-
Nyeri pada
kaki
+
Objective
13/10/2017
KU S. Ringan
GCS E4 V5 M6
TD 120/70
Nadi 80x/mnt
Pernapasan 20x/mnt
Suhu 36,50C
Motorik 555 /555444 /444
28
Assesment & Planning
13/10/2017
Farmakologi Inj Piracetam 2x 3 gr
Inj Ranitidin 2x1 amp
Inj Sohobion 1x1
Inj Ketorolac 1x30 mg
Inj Cefotaxim 3x1 gr
Inj Metilprednisolon 4 x 125 gr
Inj Ondansentron 3x1 (bila perlu)
Paracetamol 3x500
Clobazam 2x5 mg
Betahistin 3x1
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto,C, dkk, 2014 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4.Jilid 1 FKUI,
Jakarta: Medica Aesculpalus.
2. Guillain-Barré Syndrome. Available from:
http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm http://
www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm.
3. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/
guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.
4. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,
http://www.americanfamilyphysician.com.
5. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
6. Andary, MT. 2016, Guillain Barre Syndrome. Medscape reference,
http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.
30