Makalah PBL
Gastritis Erosif et causa NSAID
Disusun Oleh:
Adrian Cristianto Yusuf
102010206
A8
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
2014
Pendahuluan
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti pencernaan.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinisyang terdiri dari rasa tidak enak/sakit
di perut bagian atas yang menetap atau mengalamikekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung,
kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya.Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang
empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur
organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong
saluran pencernaan).
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sering
bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur, makanan yang
pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu, ataupun kondisi emosional
tertentu misalnya stres.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung
kini tidak lagi termasuk dispepsia.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain, perasaan
panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat
kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya
Anamnesis
1. Apakah penderita pernah menderita atau sedang dalam perawatan karena penyakit hati
seperti hepatitis kronis, sirosis hati, penyakit lambung atau penyakit lain?
2. Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah mengalami sebelumnya?
3. Apakah penderita minum obat-obat analgetik antipiretik atau kortison? Apakah minum
alkohol atau jamu-jamuan?
4. Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual atau muntah?
5. Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa banyaknya atau terjadi terus
menerus tetapi sedikit-sedikit?
6. Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena atau hanya melena saja?
7. Menanyakan riwayat minum obat ? (termasuk minuman yang mengandung alkohol dan
jamu yang dijual bebas di masyarakat).
8. Menanyakan apakah ada tanda dan gejala “alarm” (peringatan) ? (mual muntah, anemia,
hematemesis melena, penurunan BB, disfagia).1
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum pasien
saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan sakit, gizi dan aktivitasnya
baik dalam keadaan berbaring atau berjalan.
Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan
pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat kesadaran,
serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Pemeriksaan fisik abdomen merupakan bagian dari pemeriksaan fisis umum secara
keseluruhan. Secara umum tujuan pemeriksaan abdomen yaitu untuk mencari atau
mengidentifikasi kelainan di sistem gastrointestinal atau sistem ginjal dan saluran kemih atau
genitalia maupun perineum namun jarang.
Inspeksi, pada pemeriksaan ini yaitu melihat perut bagian depan dan belakang sehingga
didapatkan keadaan abdomen seperti simetris atau tidak,bentuk atau kontur,ukuran,kondisi
dinding perut (kulit, vena, umbilikus, striae alba) dan pergerakan dinding perut. Selain itu juga
perhatikan kelainan-kelainan yang terlihat pada perut seperti jaringan parut karena
pembedahan,asimetri perut yang menujukkan adanya massa tumor, stria, vena yang berdilatasi,
kaput medusa, atau obstruksi vena kava inferior, peristalsi usus, distensi dan hernia.
Setelah inspeksi, pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi, yaitu pemeriksaan dengan
meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan alat peraba yang terdapat pada
telapak dan jari tangan. Dengan palpasi kita dapat menentukan bentuk, besar, tepi, permukaan
serta konsistensi organ. Permukaan organ dinyatakan apakah rata atau berbenjol-benjol;
konsistensi lunak, keras, kenyal, kistik atau berfluktuasi; sedangkan tepi organ dinyatakan
dengan tumpul atau tajam. Sebisa mungkin seluruh bagian perut terpalpasi,kemudia cari apakah
ada pembesaran massa tumor,apakah hati,limpa,dan kandung empedu membesar atau teraba.
Periksa apakah ginjal,ballotement positif atau negatif. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu
palpasi permukaan(superficial) dan palpasi dalam (deep palpaltion). Palpasi dapat dilakukan
dengan 1 tangan atau 2 tangan(bimanual) terutama pada pasien gemuk. Perinci nyeri tekan
abdomen antara lain berat ringannya,lokasi nyeri yang maksimal apakah ada tahanan
(peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan.
Setelah palpasi, biasanya dilanjutkan dengan tindakan perkusi. Tujuan perkusi adalah
untuk mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ
maupun massa yang abnormal di bagian tubuh tertentu. Perkusi abdomen dilakukan dengan cara
tidak langsung sama seperti pada perkusi di rongga toraks tetapi dengan penenkanan yang lebih
ringan dan ketokan yang lebih perlahan. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kandung
empedu/vesika urinaria dimana suaranya redup, pekak, menentukan ukuran hati dan limpa secara
kasar, menentukan penyebab distensi abdomen : penuh gas (timpani), masa tumor (redup-pekak)
dan asites. Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen berisi
lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu
timpani,kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah
pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan
kemungkinan adanyaudara bebas di rongga perut misal pada perforasi usus.
Selanjutnya adalah auskultasi, dimana auskultasi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan stetoskop untuk mendengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik
usus, dan aliran darah dalam pembuluh darah.
Pemeriksaan ini untuk memeriksa :
Suara/bunyi usus : frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi ,menghilang
pada ileus paralitik
Succussion splash- untuk mendeteksi obstruksi pada tingkat lambung
Bruit arterial
Venous hum pada kaput medusa
Dalam keadaan normal bising usus terdengar lebih kurang 3x permenit. Jika terdapat
obstruksi usus,suara peristaltik usus ini akan meningkat,lebih lagi pada saat timbul rasa sakit
yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi.
Untuk kasus dispepsia pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan
intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA
19-9.
b. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
c. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan
untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut
kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi
oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:
a. CLO (rapid urea test).
b. Patologi anatomi (PA).
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan.
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.
d. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD (oesophagus maag
duodenum) dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test .
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya
dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign),
atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops.
Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau
respon kerongkongan terhadap asam.2
Differential Diagnosis
1. Dispepsia Fungsional
a. Definisi :
Konsensus Roma III (2007) mendefinisikan kriteria diagnostik untuk dispepsia
fungsional sebagai berikut : Setidaknya selama 3 bulan, mulainya paling tidak sudah 6
bulan, dengan satu atau lebih keluhan ini : nyeri epigastrik, cepat kenyang, rasa penuh,
dan rasa terbakar di epigastrium serta tidak ditemukan kelainan structural-biokimiawi,
termasuk setelah dilakukan pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi (EGD).
Keluhan klinis utama untuk dispepsia fungsional menurut Rome III, adalah nyeri
epigastrik, cepat kenyang, rasa penuh dan rasa terbakar di epigastrium. Lokasi
epigastrium adalah area antara umbilikus dan ujung inferior sternum, di linea
midklavikular. Yang dimaksud dengan nyeri adalah rasa tidak nyaman, dengan atau tanpa
rasa terbakar, walau sebagian pasien tidak menginterpretasikan sebagai ‘nyeri’. Rasa
penuh adalah rasa tidak nyaman seakan-akan makanan dilambung menetap lebih lama.
Cepat kenyang adalah rasa lambung langsung penuh walaupun baru makan sedikit. Rasa
terbakar di epigastrium adalah rasa panas yang tidak menyenangkan di epigastrium.
b. Klasifikasi :
Di masa lalu, dispepsia fungsional dibedakan menjadi 4 subgrup yaitu tipe ulkus,
tipe dismotalitas, tipe refluks, dan tipe non spesifik. Namun dispepsia tipe refluks
ternyata dapat berlanjut menjadi penyakit organik, yaitu GERD, sehingga dispepsia
tipe refluks tidak lagi dimasukkan kedalam dispepsia fungsional.
Klasifikasi dispepsia fungsional yang lebih banyak digunakan saat ini adalah :
Dispepsia tipe ulkus, keluhan nyeri epigastrium dominan
Dispepsia tipe dismotilitas, keluhan kembung dan mual lebih dominan
Dispepsia tipe non spesifik
Klasifikasi lain dari dispepsia fungsional adalah pembagian menurut Rome III,
yaitu diklasifikasikan dalam 2 subgrup yaitu :
Dispepsia yang dicetuskan oleh makan, disebut Postprandial Distress
Syndrome (PDS), dimana simptom utama adalam rasa penuh dan cepat
kenyang
Dispepsia yang tidak berhubungan dengan makan, disebut Epigastric Pain
Syndrome (EPS), dimana simptom utama adalah nyeri epigastrium dan rasa
terbakar di epigastrium
c. Patofisiologi :
Dispepsia fungsional hingga kini belum jelas, namun beberapa teori pernah
diajukan, antara lain :
Meningkatkan sensitifitas mukosa lambung terhadap asam
Ambang rangsang persepsi lebih rendah
Adanya disfungsi saraf autonom yaitu neuropati vagal sehingga ada rasa
cepat kenyang
Adanya stress psikologik
Sedangkan pengaruh aktivitas mioelektrik lambung, pengaruh hormonal,
pengaruh infeksi Helicobacter pylori, hubungan dengan dismotilitas
gastrointestinal, pengaruh diet dan factor lingkungan terhadap dispepsia
fungsional masih belum jelas.3
2. Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun.12 Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :
Gastritis
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat
penting. Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori
secara garis besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan
gastritis kronik atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi
antrum adalah inflamasi moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi
di korpus ringan atau tidak sama sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau
metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya asimptomatis, tetapi mempunyai resiko
menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai ciri-ciri
khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali
sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan
korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting
displasia epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering
dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau
sering disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan
dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi.
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya
berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan
gastritis adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai
muntah. Keluhan-keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis.
Keluhan-keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi
keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisik juga tidak dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan
sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan mencantumkan
topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-
erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan
histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat
menggambarkan proses yang mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif
mukosa lambung. Perubahan – perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel,
hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel limpoid,
atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal.
Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman
Helicobacter pylori.
Ulkus Peptik
Ulkus peptik adalah defek berukuran diatas 5mm, kedalaman mencapai lapisan
submukosa. Ulkus peptik berbatas tegas, dapat menembus muskularis mukosa sampai
lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Ulkus peptik terdiri dari ulkus
lambung dan ulkus duodenum. Ulkus duodenum ditemukan pada 6-15% populasi
barat. Angka kematian dan komplikasi usus duodeni menurun sejak ditemukannya
eradikasi Hp. Ulkus gaster muncul pada usia lebih tua, umumnya pada dekade ke-6.
Lebih dari 50% ditemukan pada laki-laki, dan lebih jarang didapatkan dibanding
ulkus duodenum. Rendahnya angka ulkus gaster kemungkinan karena sering muncul
tanpa keluhan, dan keluhan yang timbul adalah komplikasinya. Angka kejadian ulkus
peptik menurun sejak ditemukannya terapi eradikasi HP. Ulkus peptik banyak
ditemukan pada gender pria, golongan usia lanjut dan sekelompok sosial ekonomi
rendah. Ulkus duodenum jarang berhubungan dengan keganasan, sebaliknya ulkus
gaster dapat berhubungan dengan keganasan. Dimana ulkus peptik dipengaruhi oleh
faktor agresif dan defisiensif, yaitu :
a. Faktor agresif yang paling utama adalah H. Pylori dan OAINS. Selain itu,
pengaruh rokok, stres, malnutrisi, diet tinggi garam, defisiensi vitamin, genetik
juga turut berperan.
b. Faktor defisiensif terdiri dari preepitel, epitel dan subepitel. Preepitel ditentukan
oleh ketebalan mukus dan kadar bikarbonat. Epitel ditentukan oleh kecepatan
perbaikan mukosa yang rusak, dimana sel sehat bermigrasi ke ulkus. Subepitel
ditentukan oleh mikrosirkulasi dan PG endogen yang menekan ekstravasasi
leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.3
3. Sindrom Mallory Weiss
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti muntah-muntah berat yang
berlangsung beberapa jam atau hari, dapat ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa
lambung mirip celah, terletak memanjang di atau sedikit dibawah esofagogastrikum junction.
Robekan Mallory – Weiss ini timbul karena adanya tekanan gradien transmural yang besar,
timbul cepat dan transien di sepanjang regio junction gastro esophageal. Distensi akut dari
esofagus bawah yang tidak dapat berdistensi juga bisa menyebabkan robekan linear pada regio
ini.
Dengan peningkatan tekanan intragaster yang disebabkan faktor-faktor presipitasi seperti
mual atau muntah, gradien tekanan transmural meningkat secara dramatis di sepanjang hiatus
hernia, yang menimbulkan zona tekanan intratoraks rendah. Jika kekuatan merobek cukup tinggi,
laserasi longitudinal akhirnya timbul. Dari dalam hernia, robekan lebih berkaitan dengan
kurvatura minor kardia gaster, yang relatif immobile dibanding bagian lambung lainnya.
Mekanisme potensial lainnya dari robekan Mallory-Weiss adalah prolapsus akibat trauma
atau intususepsi lambung atas esophagus, yang bisa dilihat selama dilakukan endoskopi.
Working Diagnosis
Gastritis erosif et causa NSAID
Etiologi
Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan,
terutama pada ketahanan mukosa lambung (Wibawa, 2006). Kadar asam lambung lansia
biasanya mengalami penuruna hingga 85%.
Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan organik, yaitu :
a. Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster atau duodenum, gastritis,
tumor, infeksi bakteri Helicobacter pylori.
b. Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hati, pankreas, maupun pada sistem bilier seperti hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.4
Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis
sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek
spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk
pasien dengan keluhan refluks. Insiden pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi
penelitian di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada
subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya. Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu
pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi (systematic review of population-
based study) menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati
dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%.
Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan
yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya
perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat
ke dokter.
Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi
tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.4
Patofisiologi
Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak sepenuhnya dipahami.
Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu topikal
dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofili,
sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan.
Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi
sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan
cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan
meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan
meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan
mukosa, dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen. Selain itu,
prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum (terutama di antara
antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-sel
di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi.5
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin
endogenous yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX
(siklooksigenase) merupakan tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini
dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam
gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit dan berperan penting dalam pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yang juga
bertanggungjawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan
vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan
timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.6
Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi
mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotrien
yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam arakidonat terhadap
ipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung
dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi molekul adhesi
seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α
mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel.4
Gambar 1. Mekanisme NSAID mempengaruhi mukosa lambung.
Manifestasi Klinik
a. Nyeri perut (abdominal discomfort),
b. Rasa perih di ulu hati,
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah,
d. Nafsu makan berkurang,
e. Rasa lekas kenyang,
f. Perut kembung,
g. Rasa panas di dada dan perut,
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).4
Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya
hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam
waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik,
namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance)
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi
dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan
yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.5
Pencegahan
Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang
pedas, asam, gorengan atau berlemak.
Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa
dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.
Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat
lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam
lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama
terjadinya kanker lambung.
Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan
dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu
mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, menurunkan
sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan kulit. Stress juga
meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan.
Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan NSAID, obat-
obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan membuat
peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang
mengandung acetaminophen.6
Kesimpulan
Obat-obatan OAINS inilah yang diduga sebagai faktor penyebab terbesar timbulnya
masalah pada pasien karena telah dijabarkan diatas bagaimana cara kerja obat-obat OAINS
tersebut menghambat enzim siklooksigenase pada lambung yang sangat penting untuk
pembentukan prostaglandin, dimana prostaglandin ini berfungsi untuk melindungi dinding
lambung atau sebagai sitoprotektor dari asam lambung atau HCl yang bersifat korosif terhadap
dinding lambung. Penanganan untuk pasien ini ada dua cara yaitu non medikamentosa dan
medika mentosa. Untuk penatalaksanaan non-medikamentosa, dapat diberikan edukasi seperti
atasi obese dengan diet dan olahraga yang sesuai, mengganti pemakaian OAINS COX 1 dengan
COX 2, perhatikan hygiene perorangan agar tidak terinfeksi Helicobacter pylorii, batasi makanan
tertentu seperti kopi, pedas, asam yang dapat merangsang sekresi asam lambung. Sedangkan
untuk terapi medikamentosa, yang dapat diberikan adalah mengatasi shock pasien dengan NaCl
+ Na Laktat, transfusi darah untuk mengembalikan kondisi kurangnya darah akibat muntah darah
pasien, stop perdarahan dengan menggunakan obat-obatan vasopresin, atau menggunakan balon
tamponade, memberi obat untuk lambungnya seperti PPI, Sucralfat, antacid, istirahat yang cukup
dan konsumsi obat yang teratur, dan eradikasi kuman HP bila terdapat indikasi. Untuk prognosis
pada pasien ini secara keseluruhan baik apabila diikuti dengan penatalaksanaan yang baik dan
adekuat.
Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.83-8.
2. Kowalak JP, Welsh W, Editor. Buku pegangan uji diagnostic. Ed. 3.jakarta : EGC,
2009.h.651-745.
3. Sudoyono A W, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi
V. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.591-97.
4. Corwin E J. buku saku patofisiologi. Edisi ke 3. Jakarta : EGC; 2009.h.614-15.
5. Gunawan SG, Nafriaidi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2011 h.633-4.
6. Isselbacher,dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol 4. Jakarta :
EGC;2000.H.1577-82