7/29/2019 Fix Makalah Sle
1/28
BAB I
PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex . Terdapat spektrum manifestasi klinis yang
luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus
lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan. Dari berbagai penelitian epidemiologik terlihat
bahwa angka kejadian penyakit ini semakin meningkat dengan nyata, sebagian mungkin karena
bertambah baiknya pemahaman dokter mengenai cara-cara mengdiagnosis SLE. Meskipun
harapan hidup penderita SLE di negara-negara barat semakin baik, tetapi di negara berkembang
termasuk Indonesia, ternyata masih belum memuaskan
Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini
berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya
autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui bahwa
kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T,
sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi
komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat ini belum ada
penamganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadieksaserbasi setelah
masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.
BAB II
1
7/29/2019 Fix Makalah Sle
2/28
LAPORAN KASUS
Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, dating berobat kepada seoramg GP dua tahun
yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan
kedua pegelangan kaki.
Pemeriksaan saat itu mneunjukan semua tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak
kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis bercak
merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-
sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan
fisik lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium: Ht 35%, leukosit 9800/mm3,
hitung jenis leukosit normal. LED 40 mm/jam, ANA positif 1:256.
Tiga bulan kemudan Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berpikirr
mengalami flu syndrome. Dalam 1 minggu terakhir ini dia mengalami bengkak kedua kaki
sampai di pergelangannya.pada pemeriksaan di dapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan shifting dullness pada perkusi.
Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256, LED
120mm/jam albumin serum 0,8 g/dl. Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal: 80-180) dan C4
5mg/dl (normal: 15-45). Urinalisis: proteinuria 4+, hematuria, pyuria, dan ditemukan silinde
bergranula. Urin 24 jam mengandung 4g protein.
BAB III
2
7/29/2019 Fix Makalah Sle
3/28
PEMBAHASAN
Setelah melihat dari laporan kasus diatas, pasien datang dengan keluhan utama nyeri
sendi pada kedua pergelangan tangan, jari jari tangan, dan kedua pergelangan kaki sejak 2
tahun yang lalu. Berikut merupakan masalah yang terdapat pada pasien, yaitu :
1. Jenis kelamin wanita
2. Umur 25 tahun
3. Sejak 2 tahun lalu, pasien datang ke GP, berikut merupakan masalah yang
terdapat pada pasien :
- Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari jari tangan, dan kedua
pergelangan kaki.
- Bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di sekitar hidung, Dalam
anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas
matahri antara 1 2 jam.
- Sendi sendi pergelangan tangan dan jari jari tangan nampak bengkak dan
nyeri tekan.
- Pada pemeriksaan laboratorium, kadar tidak normal ditemukan pada LED : 40
mm/jam, dan ANA positif 1:256.4. Tiga bulan kemudian, pasien merasakan lesu dan lelah sepanjang hari, ia berpikir mengalami
flu like syndrome.
5. Dalam 1 minggu terakhir ini, berikut merupakan masalah pasien :
- Bengkak di kedua kaki sampai di pergelangannya.
- Pitting oedema.
- Shifting dullness.
- Pada pemeriksaan laboratorium, kadar tidak normal ditemukan pada ANA
positif masih dengan titer 1:256, LED : 120 mm/jam, albumin serum : 0,8
g/dl, serum komplemen C3 42 mg/dl, C4 : 5 mg/dl.
- Pada urinanalisis antara lain adalah proteinuria +4, hematuria, pyuria, silinder
bergranula, dan urin 24 jam mengandung 4 g protein.
3
7/29/2019 Fix Makalah Sle
4/28
Hipotesis
1. Lupus Eritematosus Sistemik.
2. Rematoid Arthritis.
Interpretasi masalah
Perbedaan antara Lupus Eritematosus Sistemik dengan Rematoid Arthritis dilihat dari
kriteria diagnosis yang di tentukan oleh American College Of Rhematology ( ACR ). Berikut
merupakan gejala yang ada pada pasien :
1. Lupus Eritematosus Sistemik : Ruam malar, fotosensitifitas, arthritis, kelainan ginjal
yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder seluler, Antibodi antinuklear
( ANA ) positif.
2. Rematoid Arthritis : Arthritis sendi - sendi jari - jari tangan, arthritis yang simetris.
Penyakit autoimun memang lebih banyak menyerang wanita daripada laki laki dilihat
dari epidemiologi penyakit tersebut. Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia
produktif. Puncak insidensinya usia antara 15- 40 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita 6-
10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada
kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada wanita, hormon
esterogen yang salah satu fungsi penting yang berkaitan dengan penyakit ini adalah
memperpanjang masa aktivasi dari limfosit T, dimana pada penyakit SLE terjadi hipereaktivitas
dan hipersensitivitas pada sel limfosit T dan sel limfosit B, sehingga wanita lebih sering
mengalaminya.
Ruam dan hipersensitivitas terhadap cahaya ( photosensitivity) pada pasien yang muncul
lebih hebat setelah terkena panas matahri antara 1 2 jam. C a h a y a m a t a h ar i m e m il i k i
s i n a r u l t r a v i o l e t ( U V ) , s i n a r U V m e r u s a k s e l d a r i k u l i t (keratino sit) da n
menyebabkan sel menjadi mati.
Pada orang sehat tanpa lupus, sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi
yang diinduksi oleh matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana
pada pasien lupus, sel kuli t le bih sensi ti f terhadap su nburn dan dengan adanya
peningkat an kejadian ya ng menye babkan kematian sel (apoptosi s) yang tid ak
4
7/29/2019 Fix Makalah Sle
5/28
dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan
menyebabkan inf lama si. Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul
termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyeb abkan
reaksi imu n.Akibatnya orangyang menderita lupus akan mengalami ruam fotosensitivitas
yang disebut ruam malar.
Limfosit B synovial memproduksi IgG ab norma l, IgM yang dibentuk dari tubuh
berikatan dengan IgG abnormal memproduksi faktor rheumatoid dan kemudian terjadilah
pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau kartilago.
Pembentukan kompleks imunmengaktivasi komplemen jalur klasik dan alternatifdan terjadilah
respon inflamasi yang menyebabkan arthritis. Proses tersebut menyebabkan pasien merasakan
nyeri dan bengkak pada sendi sendinya.
Pitting edema dapat ditunjukan dengan menggunakan tekanan pada area yang
membengkak dengan menekan kulit dengan jari tangan. Jika tekanan menyebabkan lekukan ang
bertahan untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan, edema dirujuk sebagai pitting
edema. Edema terbentuk pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal untuk dua sebab-sebab yaitu
kehilangan protein yang berat dalam urin, atau fungsi ginjal (renal) yang terganggu. Karena
albumin membantu mempertahankan volume darah pada pembuluh-pembuluh darah,pengurangan cairan pada pembuluh-pembuluh darah terjadi. Ginjal-ginjal kemudian mencatat
bahwa ada penipisan atau pengurangan volume darah dan, oleh karenanya, mencoba untuk
menahan garam. Dengan konsekuensi, cairan bergerak kedalam ruang-ruang interstitial, dengan
demikian menyebabkan pitting edema. Sedangkan shifting dullness pada pasien menunjukkan
ascites yang positif pada pemeriksaan.
Anamnesis
1. Apakah merasakan kekakuan sendi pada pagi hari?
2. Apakah ada gejala penyerta?
3. Apakah sedang haid?
4. Bagaimana dengan gaya hidup pasien (seperti merokok)?
5
7/29/2019 Fix Makalah Sle
6/28
5. Pernah mengonsumsi obat apa saja?
6. Apakah keluarga juga ada yang menderita penyakit yang sama?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien SLE tidak jauh berbeda dari pemeriksaan pasien pada umumnya,
tetapi lebih dispesifikan pada tanda-tanda/kriteria dari SLE untuk mendukung diagnosis.
1. Cek Keadaan umum pasien
Kesadaran, berat badan dan tinggi badan, warna kulit, dan konjunctiva.
2. Tanda Vital pasien
Suhu, tekanan darah, denyut nadi, respiratory rate.
3. Inspeksi
Perhatikan bercak kemerahan (malar rash) pada kulit pasien dan bagian tubuh
lainnya, perhatikan juga keadaan mulut pasien, apakah ada ulkus oral, dan
pembengkakan pada ekstremitas pasien ini.
4. PalpasiPalpasi pada abdomen untuk mengetahui apakah ada pembesaran hati (hepatomegali)
karena lupus memungkinkan untuk terjadinya hepatomegali. Dan periksa juga pada
tempat sendi yang sakit, apakah terasa hangat.
5. Perkusi
Adanya pekak alih pada abdomen menunjukan adanya acsites.
6. Auskultasi
6
7/29/2019 Fix Makalah Sle
7/28
Mendengarkan bunyi jantung apakah ada bunyi jantung abnormal (heart murmur)
karena salah satu tanda dari SLE adalah adanya pericarditis, dan pericarditis ditandai
dengan adanya suara gesekan dari lapisan jantung. Juga perhatikan suara paru
abnormal yang menunjukan adanya pleuritis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
1. Sejak 2 tahun yang lalu :
o Ht 35% (Normal : 36% - 44%)
o Leukosit 9800/mm3 (Normal : 5.000 10.000/mm3)
o Hitung jenis leukosit normal (Normal)
o LED 40 mm/jam (Normal : 0 15 mm/jam)
o ANA positif 1:256
2. Sejak 1 minggu terakhir :
o ANA positif masih dengan titer 1:256
o LED 120mm/jam (Normal : 0 15 mm/jam)
o Albumin serum 0,8 g/dl (Normal : 3,2 5 g/dl)
o Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal: 80-180) dan C4 5mg/dl
(normal: 15-45)
o Urinalisis :
Proteinuria +4
Hematuria
Pyuria
Silinder bergranula
Urin 24 jam mengandung 4 g protein
Interpretasi hasil laboratorium
7
7/29/2019 Fix Makalah Sle
8/28
Hasil yang tidak normal ditunjukkan pada LED yang sangat meningkat, pemeriksaan
Anti Nuclear Antibody (ANA) yang positif, penurunan serum komplemen C3 dan C4,
hipoalbuminemia, dan pada urinanalisis menunjukkan proteinuria +4, hematuria, pyuria, silinder
bergranula, dan urin 24 jam mengandung 4 gram protein. LED yang meningkat menunjukkan
adanya inflamasi yang kronis mengingat keluhan sudah ditimbulkan sejak 2 tahun yang lalu.
Titer normal dari ANA adalah 1:40. Titer yang lebih tinggi menandakan sebuah penyakit
otoimun. Adanya ANA mengindikasikan lupus erythematosus (terdapat pada 80-90% dari
kasus). Hal serupa juga timbul pada 60% kasus sindrom Sjorgen, Rhematoid Arthritis, hepatitis
autoimun, skleroderma, polimiositis, dermatositis dan berbagai kondisi non-rheumatologis yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan
kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya
penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga
dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang
bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen
berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk
memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan
diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor= C-R) yang terdapat pada permukaan sel
karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat,
sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
Hipoalbuminemia pada kasus diatas diduga berhubungan dengan kebocoran pada
glomerulus yang menyebabkan protein tidak tersaring sehingga terjadi penurunan kadar albumin
dalam darah. Urinanalisis juga menunjukkan gejala glomerulonephritis yang ditandari dengan
proteinuria, hematuria, pyuria, silinder bergranula, dan urin 24 jam yang mengandung 4 gram
protein.
Glomerulus yang seharusnya dapat menyaring protein dan darah, tidak dapat melakukan
fungsinya dengan baik akibat defek dari penyakit SLE sehingga mengalami kebocoran.
Kompleks imun yang kemungkinan mengendap pada glomerulus menyebabkan berbagai defek
seperti yang telah disebutkan diatas. Kelaian pada ginjal termasuk dalam kriteria diagnosis SLE
menurutAmerican College of Rheumatology (ACR) dimana proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_erythematosushttp://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_erythematosus7/29/2019 Fix Makalah Sle
9/28
pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+ dan juga Celular cast dapat berupa sel eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain adalah foto Ro dimana tujuannya adalah
melihat kemungkinan adanya kelainan pada organ organ pada mediastinum akibat defek dari
SLE.
Diagnosis
Lupus Eritematosis Sistemik (LES) dengan glomerulonefritis.
Diagnosis Banding
Rhematoid Arthritis.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien antara lain :
1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis lupus harus dilakukan
biopsy ginjal bila tidak ada kontra indikasi, karena hal ini akan menentukan
strategi penatalaksanaan lebih lanjut.
2. Kurangi asupan protein dikarenakan terdapat gangguan pada fungsi ginjal.
3. Berikan loop diuretics untuk mengatasi udem.
4. Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi non steroid.5. Hindari kehamilan karena penderita nefritis lupus yang hamil akan beresiko tinggi
untuk mengalami gagal ginjal.
6. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal yang meliputi tekanan
darah, sedimen urin, kreatinin, serum, albumin serum, protein 24 jam, komplemen
C3, dan anti DNA.
9
7/29/2019 Fix Makalah Sle
10/28
B. Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi spesifik untuk pasien ini, yaitu :
1. Kelas I . Tidak diperlukan terapi spesifik
2. Kelas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak memerlukan terapi
spesifik. Penderita kelas IIb dengan proteinuria >1 gram/hari, titer anti ds-DNA
yang tinggi dan C3 yang rendah, harus diberikan prednison 20mg/hari selama 6
minggu sampai 3 bulan, kemudian dosisnya diturunkan bertahap, tergantung
aktifikasi penyakit
3. Kelas III dan IV. Pada keadaan ini, resiko untuk terjadinya gagal ginjal dalam 10
tahun lebih dari 50%, sehingga harus diberikan terapi agresif. Diberikan
prednison 1mg/kgBB/hari minimal selama 6 minggu tergantung respons
kliniknya, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap dan dipertahankan pada
dosis 10-15 mg/hari selama 2 tahun. Bila repsons terhadap glukokortikoid tidak
dapat dicapai, berikan siklofosfamid 500-1000 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan
kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila setelah dicapai perbaikan kemudian
timbul perburukan lagi, dosis siklofosfamid bulanan dapat diulang kembali atau
diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap bulan. Bila terjadi perburukan
fungsi ginjal, dapat dipertimbangkan pemberian bolus metilprednison atau
afaresis. Sebagai gantinya siklofosfamid, dapat juga diberikan azatioprin, tetapi
efektifitasnya lebih rendah daripada siklofosfamid.
4. Kelas V. Diberikan prenison 1 mg/kg BB/hari selama 6-12 minggu, kemudian
dosis diturunkan secara bertahap sampai mencapai 10 ng/hari dan dipertahankan
sampai 1-2 tahun.
Obat sitotoksik jarang diperlukan, kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi
membranosa murni sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan dapat
dipertimbangkan pemberian siklosporin-A.
5. Penderita denga kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/dl untuk jangka panjang,
tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau
transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi ekstrarenal, dapat diberikan
prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg/hari. Restriksi protein dan garam juga
harus diperhatikan, demikian juga tekanan darahnya.
10
7/29/2019 Fix Makalah Sle
11/28
C. Penatalaksanaan non farmakologis untuk pasien antara lain :
a. Edukasi
b. Dukungan sosial dan psikologis
c. Istirahat
d. Tabir surya
e. Monitor ketat
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik antara lain :
1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE.Gagal ginjal dapat
terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen padaglomerulus disertai pengaktifankomplemen resultan yang menyebabkancedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas
tipe III.
2. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).
3. Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernafasan.sering terjadi
bronkitis.
4. Dapat terjadi vaskulitis disemua pembulu serebrum dan perifer.
5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahankepribadian, termasuk
psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahankepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat
atau penyakitnya.
Prognosis
11
7/29/2019 Fix Makalah Sle
12/28
1. Ad vitam : Ad Malam
2. Ad functionam : Dubia Ad Malam
3. Ad sanationam : Dubia Ad Malam
Tinjauan Pustaka
Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit
autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk
antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.
Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis
LES sangat bervariasi baik berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya.
Hal ini tentu saja menyulitkan dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis
dalam keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat,
penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal dan prognosisnyapun lebih
buruk.
Epidemiologi LES
Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya
usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat
bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1.
Patogenesis LES
Memahami patogenesis LES sangat penting agar dapat menentukan terapi yang paling
efektif. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan
12
7/29/2019 Fix Makalah Sle
13/28
episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen
yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun
abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas
sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun
abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks
imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan.
Etiologi LES
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara
kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya
terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik
yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan nonself .
Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor
genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain :
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human
Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II.
Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-
3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain
menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2
cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai
epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.
Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi
autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
13
7/29/2019 Fix Makalah Sle
14/28
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu
pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau
C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan
saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya,
seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen
memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan
adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan
pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat
penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel
B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai
penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus
ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide,Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan
Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan
menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
6. Stres
14
7/29/2019 Fix Makalah Sle
15/28
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem
yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis
lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat
berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan
aktivasi poliklonal sel B.
Diagnosis LES
Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium,
berdasarkan kriteria dariAmerican College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun
untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini
mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis
reumatoid dan penyakit lainnya.
A. Lupus Eritematosus Sistemik
Ruam malar
Ruam diskoid
Fotosensitifitas
Ulserasi di mulut atau nasofaring
Arthritis
Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder
seluler
Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau
trobositopenia
Kelainan imunologik, yaitu sel-sel lupus eritematosus ( LE ) positif, anti DNA,
anti-Sm atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis
Antibodi antinuklear ( ANA ) positif
15
7/29/2019 Fix Makalah Sle
16/28
B. Rematoid Arthritis
Kekakuan pagi hari
Arthritis pada tiga atau lebih sendi
Arthritis sendi - sendi jari - jari tangan
Arthritis yang simetris
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid dalam serum
Perubahan-perubahan radiologik ( erosi atau dekalsifikasi tulang )
Penatalaksanaan LES
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi
klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita
dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan.
2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau
support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni
care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama
melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam
pengobatan.
3. Istirahat
16
7/29/2019 Fix Makalah Sle
17/28
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu
dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap
4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demamyang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat
immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,
osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih efektif
dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan
siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
17
7/29/2019 Fix Makalah Sle
18/28
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB
dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu
enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan
memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap
siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan
prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone.
MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan
dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral.
Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus
nefritis atau sebagaisteroid sparing agentuntuk manifestasi non renal seperti miositis dan
sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat
dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat
jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada
18
7/29/2019 Fix Makalah Sle
19/28
pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai
dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti
efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah
peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga
perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi
(C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalammengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap
sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti
CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang
dipresentasikan limfosit B.
19
7/29/2019 Fix Makalah Sle
20/28
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter.
Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter
seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal
pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi
spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang
terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor),
yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap
BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan
meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan,
namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan
quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal
dan serositis.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin
terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)
20
7/29/2019 Fix Makalah Sle
21/28
bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan
dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama
trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE.
Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal
atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis,
sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya
bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi,
efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan
sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan
aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi
ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID.
NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan
kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal
merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor
COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena
dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
21
7/29/2019 Fix Makalah Sle
22/28
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus
disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic
Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas,
meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV
Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari
selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam,
manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia,
sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada
penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Nefritis Lupus
Pada lupus, gangguan ginjal merupakan salah satu gejala klinis penting yang nampak
dengan gagal ginjal sebagai penyebab kematian paling umum. Lesi bisa terjadi baik pada
glomerulus, interstitial maupun tubulus. 3Nefritis lupus ditemukan pada 90% pasien lupus
eritematosus sistemik. Kelainan yang muncul pada urnalisis dapat berupa hanya
proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran berat berupa sindrom nefrotik atau
glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal progresif.Nefritis lupus maupun LES
umumnya ditemukan pada anak perempuan. Selain itu, penelitian di Amerika menyatakan
penderita lupus terbanyak berturut-turut adalah dari ras oriental (asia), kulit hitam, keturunan
Spanyol dan kulit putih. Perbedaan tersebut diperkirakan karena perbedaan genetik dan ekspresi
hormonal terhadap sistem imun. Gambaran klinis NL sangat bervariasi. Karena frekuensi NLpada LES sangat tinggi, maka pada pasien yang tidak atau belum ditemukan kelainan urinalisis
maka disebut silent NL. Manifestasi klinis yang muncul berupa hipertensi, hematuria dan
proteinuria asimptomatik, hematuria nyata, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut atau
progresif cepat, gagal ginjal akut atau kronik, nefritis interstitial, dan asidosis tubularn ginjal.
22
7/29/2019 Fix Makalah Sle
23/28
Kelainan patologi anatomi pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal yaitu
glomerulus (paling sering), tubulus, dan pembuluh darah.
Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE melibatkan deposisi kompleks
DNA/anti-DNA di dalam glomerulus. Hal tersebut membangkitkan respon yang mungkin
menyebabkan proliferasi endotelial, mesangial, dan sel epitel serta pada kasus yang berat bisa
terjadi nekrosis glomerulus. Meskipun ginjal nampak normal pada pemeriksaan menggunakan
mikroskop cahaya (25-30% kasus), hampir semua SLE menunjukan beberapa keabnormalitasan
ginjal jika diperiksa menggunakan immunofluorescence dan mikroskop elektron. Menurut
WHO, ada 5 pola klasifikasi berdasarkan morfologi yaitu :
1. Glomerulus normal (kelas I) merupakan keadaann saat hanya ada sedikit penambahan
matriks dan sel mesangial pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Pada tipe
I, bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG,
C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM mesangium. Juga, pada mikroskop elektron dapat
ditemukan deposit elektron dense pada mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6%.
2. Mesangial lupus glomerulonefritis (kelas II) tampak pada 20% kasus dikaitkan dengan
gejala klinis yang ringan. Kompleks imun terdeposit pada mesangial dengan sedikit
peningkatan matriks dan sel mesangial. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, ditemukan
penambahan
3. Focal proliferative glomerulonefitis (kelas III), muncul pada 25% kasus. Secara khas,
satu atau dua foci di dalam glomerulus yang masih normal menunjukan pembengkakan
dan proliferasi sel endotel dan mesangial, inflitrasi netrofil dan atau deposit fibrinoid
dengan kapiler thrombi. Focal glomerulonefritis biasanya berkaitan dengan hematuria
dan proteinuria mikroskopik yang ringan. Jika bertransisi menjadi lebih difus, hal
tersebut menunjukan dengan kelainan ginjal yang lebih berat.
23
7/29/2019 Fix Makalah Sle
24/28
4. Diffuse proliferative glomerulonefritis (kelas IV), merupakan lesi ginjal paling serius
pada SLE serta sering terjadi, yaitu pada sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus
menunjukan proliferasi en sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus menunjukan
proliferasi endotelial dan mesangial yang mempengaruhi seluruh glomerulus. Oleh
karena itu, terjadi hiperselularitas difus glomerulus, yang pada beberapa kasus bisa
menunjukan epithelial crescentyang mengisi ruang bowman. Imun kompleks bisa dilihat
menggunakan pewarnaan dengan antibodi fluorescent yang diarahkan langsung pada
immunoglobulin atau komplemen. Nantinya akan nampak pola pewarnaan fluorescent
yang bergranular. Saat semakin ekstensif, kompleks imun membuat penebalan
menyeluruh pada dinding kapiler, membentuk rigid wire loops pada pemeriksaanmenggunakan mikroskop cahaya. Jika menggunakan mikroskop elektron akan nampak
electrondense subendothelial immune complexes, yaitu di antara endotelium dan
membran basal. Karena itulah, cedera pada glomerulus bisa memunculkan terjadinya
glomerulosclerosis. Pasien yang mengalami ini akan mengalami gejala yang jelas,
kebanyakan berupa hematuria dengan proteinuria, hipertensi dan insufisiensi ginjal baik
yang menengah maupun berat.
5. Membranous glomerulonefritis (kelas V), terjadi pada 15% kasus dan ditandai dengan
penyebaran penebalan dinding kapiler. Membranous glomerulonefritis berkaitan dengan
SLE mirip seperti idiopathic mebranous glomerulophaty. Penebalan pada dinding kapiler
terjadi dengan peningkatan deposisi membran basal seperti material sebagaimana terjadi
akumulasi kompleks imun.
Pengobatan
24
7/29/2019 Fix Makalah Sle
25/28
Pengobatan untuk LES utama berupa pemberian kortikosteroid atau sitostatik. Gejala ekstrarenal
akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstrarenal
yang ringan tanpa ada gejala renal, cukup diberikan obat salisilat, anti malaria (hidroksi
kloroquin) atau NSAIDs.
Kortikosteroid
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap terbaik untuk
NL dan LES pada umumnya. Pada NL dengan gambaran PA ginjal normal atau mesengial,
biasanya tidak perlu diberikan kortikosteroid. Namun, pengawasan pada pasien tetap perlu
dilakukan karena dapat terjadi transformasi NL ke arah yang lebih berat.
Pada NL membranosa (tipe V), dapat dilakukan pemberian kortikosteroid dosis penuh atau
hanya selang sehari 60 mg/m2/hari dosis tunggal pada pagi hari. Ada pula yang hanya
memberikan pengobatan apabila terdapat proteinuria masif atau penurunan fungsi ginjal dan
hasilnya menunjukan pengurangan proteinuria tetapi efek baik baik steroid terhadap fungsi ginjal
masih dipertanyakan.
Kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis awal 60 mg/m 2/hari atau
2mg/kgbb/hari (maksimum 80) dan diturunkan secara bertahap. Pada NL yang berat dengan
adanya penurunan fungsi ginjal progresif dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil
prednisolon intravena dengan dosis 15 mg/kgbb secara infus dalam 50-100 ml glukosa 5%
selama 30-60 menit. Pemberian terapi dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6
hari, dilanjutkan dengan pemberian prednison.
Obat sitostatik
Pengobatan sitostatik dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang sering
digunakan adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi pemberian obat sitostatik adalah:
25
7/29/2019 Fix Makalah Sle
26/28
1. Bila dengan pemberian kortikosteroid tidak didapat hasil memuaskan
2. Bila timbul efek samping penggunaan kortikosteroid seperti hipertensi
3. Pada NL berat yaitu NL proliferatif difus sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid
dan sitostatik.
Pemberian sitostatik biasanya melalui jalur oral meskipun bisa juga diberikan melalui jalur
parenteral.
BAB IV
KESIMPULAN
26
7/29/2019 Fix Makalah Sle
27/28
Setelah melihat dari anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan urologi
dan pemeriksaan penunjang kelompok, kami menyimpulkan pasien tersebut menderita penyakit
SLE. Gejala gejala SLE dapat kita lihat dari riwayat penyakit sekarang yaitu adanya lesu,
edema di kedua kaki samapai pergelangan tangan, kemudian waktu pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pitting edema dan waktu perkusi ditemukan hasil shifting dullness. Selain itu
dari status urologi ditemukan endapan membranosa di ren, kemudian yang makin menunjukan
bahwa pasien ini menderita SLE adalahditemukan hasilpemeriksaan ANA positif.
Dari semua keterangan tersebut, pasien ini kemungkinan besar menderita SLE, tetapi
butuh observasi lebih lanjut. Karena penyakit tersebut meliputi sistemik yang ada di tubuh
manusia. Dan hasil pemeriksaan ANA pun tidak bias menujukan diagnosis pasti dari SLE karena
sifat pemeriksaan ANA tidak spesifik. Mungkin kita bisa melihat dari status urologi yang
ditemukan seperti proteinuria, hematuria, dan adanya glomerulus yang telah rusak. Oleh karena
itu penatalksanaan pasien ini harus dilakukan dengan baik, yang terdiri dari dari sejumlah unsur
yang berbeda, meliputi medikamentosa, konseling diri, saran saran makanan bergizi,
sertatentusajadukungandari orang sekitar pasien, salah satunhya keluarga pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roman MJ, Shanker BA, Davis A, Lockshin MD, Sammaritano L, Simantov R, et
al. Prevalence and correlates of accelerated atherosclerosis in systemic lupus
erythematosus. N Engl J Med. Dec 18 2003;349(25):2399-406. [Medline].
27
7/29/2019 Fix Makalah Sle
28/28
2. Ruiz-Irastorza G, Khamashta MA, Castellino G, Hughes GR. Systemic lupus
erythematosus. Lancet. Mar 31 2001;357(9261):1027-32. [Medline].
3. Hahn BV. Management of Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus
Erythematosus and Related Syndromes. In Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC,
and Sergent JS. Kelleys Textbook of Rheumatology. 6 th ed. Volume 2. W.B. Saunders
Company; 2001. p.1125-1144.
4. Wachyudi RG, Pramudiyo R. Diagnosis dan Terapi Lupus. Pusat Informasi Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung. 2006.
5. Balow JE. Clinical Presentation and Monitoring of Lupus Nephritis. Lupus Journal,
2005; 14: 25-30.
6. Wachyudi RG, Dewi S. R Pramudyo: Diagnosis dan Terapi Penyakit Reumatik. Edisi 1
tahun 2006. Sagung Seto. Jakarta.
7. Sidiropoulos PI, Kritikos HD, Boumpas DT. Lupus Nephritis Flares. Lupus Journal,
2005; 14 : 49-52.
28