PEMBAHASAN
A. Dilema EtikDilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral
suatutindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi
dimana setiapalternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar
untuk menentukanyang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat
karena dia tahu apa yangharus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya.Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting
pada pengambilankeputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat
ditantang ketika harusberhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana
yang benar dan salah; apayang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan
apa yang dilakukan jika semuasolusi tampak salah.Dilema etik dapat bersifat personal
ataupun profesional.
Kerangka pemecahan dilema etik adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan data dasar
b. Mengidentifikasi konflik
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan
danmempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
e. Mendefinisikan kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
Dilema etik sulit dipecahkan karena memerlukan pemilihan keputusan tepat
diantara dua atau lebihprinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus
membuang yang lain menjadisulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan
keburukan apalagi jika tak satupunkeputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan
dengan dilema etis bertambah pelik denganadanya dampak emosional seperti rasa marah,
frustrasi, dan takut saat proses pengambilankeputusan rasional.
Dilema etika juga merupakan situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan
mengenai perilaku yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu
diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Enam
pendekatan dapat dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta
3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma
4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema
5. Menentukan konsekwensi yang mungkin dari setiap alternative
6. Menetapkan tindakan yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau
menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2)
jika legal maka disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan
konsekwensinya.
Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat
menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi
banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai
perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan
dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik
merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Kerangka
pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya
menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara
lain:
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
Mengkaji situasi
Mendiagnosa masalah etik moral
Membuat tujuan dan rencana pemecahan
Melaksanakan rencana
Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin
meliputi :
Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
Apa tindakan yang diusulkan
Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b.Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d.Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat
e.Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
o Mengidentifikasi masalah kesehatan
o Mengidentifikasi masalah etik
o Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
o Mengidentifikasi peran perawat
o Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
o Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
o Memberi keputusan
o Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah
umum untuk perawatan klien
o Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan
informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
5. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)
Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang
diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual.
Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
Mengidentifikasi Issue etik
Menentukan posisi moral pribadi dan professional
Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
B. Kecenderungan dan Isu Etik Keperawatan Retrospektif dan Prospektif 1. Studi Case Control (Retrospektif)
Pengertian studi retrospektif adalah meneliti ke belakang dengan menggunakan data
sekunder untuk melihat apakah ada hubungan atau tidak antara penyakit dan factor resiko
yang terdapat pada orang yang sakit.
2. Studi Cohort (Prospektif)
Pengertian studi prospektif adalah meneliti apakah orang yang sehat tetapi memiliki
resiko atau paparan positif akan menderita sakit atau tidak pada waktu mendatang.
Dengan kata lain, ingin melihat dan membuktikan ada atau tidaknya hubungan atau
asosiasi antara factor resiko dan penyakit.
C. Permasalahan Dasar Etika Keperawatan‘Bandman (1990) secara umum menjelaskan bahwa permasalahan etika
keperawatan pada dasarnya terdiri dari lima jenis, yaitu :
1. Kuantitas Melawan Kuantitas Hidup
Contoh Masalahnya : seorang ibu minta perawat untuk melepas semua selang
yang dipasang pada anaknya yang berusia 14 tahun, yang telah koma selama 8 hari.
Dalam keadaan seperti ini, perawat menghadapi permasalahan tentang posisi apakah
yang dimilikinya dalam menentukan keputusan secara moral. Sebenarnya perawat berada
pada posisi permasalahan kuantitas melawan kuantitas hidup, karena keluarga pasien
menanyakan apakah selang-selang yang dipasang hampir pada semua bagian tubuh dapat
mempertahankan pasien untuk tetap hidup.
2. Kebebasan Melawan Penanganan dan pencegahan Bahaya.
Contoh masalahnya : seorang pasien berusia lanjut yang menolak untuk mengenakan
sabuk pengaman sewaktu berjalan. Ia ingin berjalan dengan bebas. Pada situasi ini,
perawat pada permasalahan upaya menjaga keselamatan pasien yang bertentangan
dengan kebebasan pasien.
3. Berkata secara jujur melawan berkata bohong
Contoh masalahnya : seorang perawat yang mendapati teman kerjanya menggunakan
narkotika. Dalam posisi ini, perawat tersebut berada pada masalah apakah ia akan
mengatakan hal ini secara terbuka atau diam, karena diancam akan dibuka rahasia yang
dimilikinya bila melaporkan hal tersebut pada orang lain.
4. Keinginan terhadap pengetahuan yang bertentangan dengan falsafah agama,
politik, ekonomi dan ideologi
Contoh masalahnya : seorang pasien yang memilih penghapusan dosa daripada
berobat ke dokter.
5. Terapi ilmiah konvensional melawan terapi tidak ilmiah dan coba-coba
Contoh masalahnya : di Irian Jaya, sebagian masyarakat melakukan tindakan untuk
mengatasi nyeri dengan daun-daun yang sifatnya gatal. Mereka percaya bahwa pada daun
tersebut terdapat miang yang dapat melekat dan menghilangkan rasa nyeri bila dipukul-
pukulkan dibagian tubuh yang sakit.
D. Permasalahan Etika dalam Praktek Keperawatan Saat Ini Adapun permasalahan etik yang yang sering muncul banyak sekali, seperti
berkata tidak jujur (bohong), abortus, menghentikan pengobatan, penghentian pemberian
makanan dan cairan, euthanasia, transplantasi organ serta beberpa permasalahan etik
yang langsung berkaitan dengan praktek keperawatan, seperti: evaluasi diri dan
kelompok, tanggung jawab terhadap peralatan dan barang, memberikan rekomendasi
pasien pad dokter, menghadapi asuhan keperawatan yang buruk, masalah peran merawat
dan mengobati (Prihardjo, 1995).Disini akan dibahas sekilas beberapa hal yang berikaitan
dengan masalah etik yang berkaitan lansung pada praktik keperawatan.
- Konflik etik antara teman sejawat
Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan
pasien. Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus
mampu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak, serta
berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering sering kali
menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan keperawatan dan juga
terhadap teman sejawat. Dilain pihak perawat harus menjaga nama baik antara teman
sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang melakukan pelanggaran atau dilema etik hal
inilah yang perlu diselesaikan dengan bijaksana.
- Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau pengobatan
Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-bentuk
pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi yang
memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya. Penolakan pasien
menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti
pengetahuan, tuntutan untuk dapat sembuh cepat, keuangan, social dan lain-lain.
Penolakan atas pengobatan dan tindakan asuhan keperawatan merupakan hak pasien dan
merupakan hak outonmy pasien, pasien berhak memilih, menolak segala bentuk tindakan
yang mereka anggap tidak sesuai dengan dirinnya, yang perlu dilakukan oleh perawat
adalah menfasilitasi kondisi ini sehingga tidak terjadi konflik sehingga menimbulkan
masalah-masalah lain yang lebih tidak etis.
- Masalah antara peran merawat dan mengobati
Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah
memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering kali peran
ini menjadai kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran sebagai perawat yang
memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga kesehatan yang melakuka
pengobatan banyak terjadi di Indonesia, terutama oleh perawat yang ada didaerah perifer
(puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dari hasil
penelitian, Sciortio (1992) menyatakan bahwa pertentangan antara peran formal perawat
dan pada kenyataan dilapangan sering timbul dan ini bukan saja masalah Nasional seperti
di Indonesia, tetapi juga terjadi di Negara-negara lain.Walaupun tidak diketahui oleh
pemerintah, pertentangan ini mempunyai implikasi besar. Antara pengetahuan perawat
yang berhubungan dengan asuhan keperawatan yang kurang dan juga kurang aturan-
aturan yang jelas sebagai bentuk perlindungan hukum para pelaku asuhan keperawatan
hal inisemakin tidak jelas penyelesaiannya.
- Berkata Jujur atau Tidak jujur
Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak
merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan perawat
adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan.
Sebagai contoh: sering terjadi pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya
oleh pasien berkaitan dengan kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa-apa
ibu/bapak, bapak/ibu akan baik, suntikan ini tidak sakit”. Dengan bermaksud untuk
menyenangkan pasien karena tidak mau pasiennya sedih karena kondisinya dan tidak
mau pasien takut akan suntikan yang diberikan, tetapi didalam kondisi tersebut perawat
telah mengalami dilema etik. Bila perawat berkata jujur akan membuat sedih dan
menurunkan motivasi pasien dan bila berkata tidak jujur, perawat melanggar hak pasien.
- Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti
mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah meninggal
dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan sisa yang belum
dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-obatan tersebut dan
memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin keluarga pasien. Hal ini sering
terjadi karena perawat merasa obat-obatan tersebut tidak ada artinya bagi pasien, memang
benar tidak artinya bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain. Yang
penting pada kondisi ini adalah komunikasi dan informai yang jelas terhadap keluarga
pasien dan ijin dari keluarga pasien itu merupakan hal yang sangat penting, Karena
walaupun bagaimana keluarga harus tahu secara pasti untuk apa obat itu diambil.
Perawat harus dapat memberikan penjelasan pada keluarga dan orang lain bahwa
menggambil barang yang seperti kejadian diatas tidak etis dan tidak dibenarkan karena
setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
ditempat kerja.
Selain itu ada juga permasalahan etik yg terjadi yaitu:
1) Malpraktek
Balck’s law dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai ” kesalahan profesional
atau kurangnya keterampilan tidak masuk akal "kegagalan atau satu layanan render
profesional untuk melatih bahwa tingkat keterampilan dan pembelajaran umum
diterapkan dalam semua keadaan masyarakat oleh anggota terkemuka rata bijaksana
profesi dengan hasil dari cedera, kerugian atau kerusakan kepada penerima layanan
tersebut atau mereka yang berhak untuk bergantung pada mereka ".
Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang
disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence),
ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno,
2005). Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat.
Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi yang dapat melakukan
malpraktek.
2) Neglience (Kelalaian)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti
malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian.
Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar
sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005).
Sedangkan menurut amir dan hanafiah (1998) yang dimaksud dengan kelalaian
adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang
dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati).
(Tonia, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya
dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan tindakan
dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang
perawat tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan
yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
a. Jenis-jenis kelalaianBentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
1. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau tidak tepat/layak.
Misal: melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat
2. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat.
Misal: melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur
3. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan
kewajibannya.
Misal: Pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.
Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga
kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:
1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpanagan kewajiban.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian
akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang
setidaknya menurunkan “Proximate cause”.
b. Dampak KelalaianKelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas, tidak
saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit, Individu perawat
pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan pidana, juga dapat berupa gugatan
perdata dalam bentuk ganti rugi. (Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan bentuk
dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat pelanggaran autonomy,
justice, nonmalefence, dan lainnya. (Kozier, 1991) dan penyelesainnya dengan
menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum pelanggaran ini dapat ditujukan
bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan juga institusi penyelenggara pelayanan
praktek keperawatan, dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana
dan perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).
3) Liability (Liabilitas)Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan
atau kegagalan melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti halnya tenaga kesehatan
lain mempunyai tanggung jawab terhadap setiap bahaya yang timbulkan dari kesalahan
tindakannya. Tanggungan yang dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang
dilakukan oleh perawat baik berupa tindakan kriminal kecerobohan dan kelalaian.
Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan melakukan
sesuatu yang oleh orang lain dengan klasifikasi yang sama, seharusnya dapat dilakukan
dalam situasi yang sama, hal ini merupakan masalah hukum yang paling lazim terjadi
dalam keperawatan. Terjadi akibat kegagalan menerapkan pengetahuan dalam praktek
antara lain disebabkan kurang pengetahuan. Dan dampak kelalaian ini dapat merugikan
pasien.
Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter
tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat
menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada
pasien dan kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)Salah satu cara menyelesaikan
permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics Rounds ) yang melibatkan
perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis
tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat
permasalahan etis.
E. Penerapan Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat 1. Tanggung Jawab
Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah
timbulnya penyakit, memelihara kesehatan, dan mengurangi penderitaan.
a) Tanggung jawab perawat terhadap masyarakat kelurga dan penderita
Perawat dalam rangka pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada tanggung jawab
yang pangkal tolaknya bersumber dari adanya kebutuhan akan perawat untuk orang
seorang, keluarga dan masyarakat.
Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya dalam bidang perawat senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghomati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari orang seorang, keluarga atau penderita, keluarganya
dan masyarakat.
b) Tanggung jawab perawat tehadap tugas
Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disetai kejujuran
profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan perawatan sesuai dengan
kebutuhan orang seorang atau penderita, keluarga dan masyarakat.
Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas
yang dipercayakan kepadanya.
Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan ketermpilan perawatan untuk tujuan
yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh
kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, keagamaan,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik yang dianut serta kedudukan sosial.
Perawat senantiasa mengutamakan perlindunagan-perlindungan dan keselamatan penderita
dalam melaksanakan tugas keperawatan, serta dengan matang mempetimbangkan
kemampuan jika menerima dan mengalihtugaskan tanggung jawab yang ada
hubungannya dengan perawatan.
c) Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesional kesehatan lain
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dengan tenaga
kesehatan lainnya baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun
dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
Perawat senantiasa menyebar luaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamanya
kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalamanya kepada sesama
perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi bidang perawatan.
d) Tanggung jawab perawat terhadap profesi perawatan
Perawat selalu berusaha meningkatkan pengetahuan profesional secara sendiri-sendiri
dan atau bersama-bersama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan,keterapilan dan
pengalam yang bermanfaat bagi pengembangan perawatan.
Perawat selalu menjunjung tinggi nama baik profesi perawatan dengan menunjukkan
peri/tingka laku dan sifat-sifat pribadi yang tinggi.
Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelanyanan
perawat an serta menerapkanya dalam kegiatan-kegiatan pelayanan danpendidikan
perawatan.
Perawatan secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi
perawatan sebagai sarana pengabdian.
e) Tanggung jawab perawat terhadap pemerintah,banggsa dan tanah air
o Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang di
gariskan oleh perintah dalam bidang kesehatan dan perawatan.
o Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada
pemerintah dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada
masyarakat.
2. Tanggung Gugat
Tanggung gugat yaitu sebagai konsekuensi apabila seeorang melakukan kesalahan
/kelalaian dalam melaksanakan tanggung jawab tidak sesuai dengan aturan aturan dalam
perundang undangan yang telah ditetapkan.
Peran tinggi perawat dalam pelayanan kesehatan ada tanggung jawab dan tanggung
gugat terhadap pelayanan yang dilakukan , yaitu :
a. Perawat bertanggung jawab dan tanggung gugat terhadap setiap tindakan dan
pengambilan keputusan keperawatan
b. Perawat mempertahankan kompetensinya dalam melaksanakan pelayanan keperawatan .
c. Perawat melatih diri dalam menetapkan informasi dan menggunakan kompetensi
individunya serta kualifikasi kriteria untuk menerima konsultasi tanggung jawab dan
memberikan delegasi tindakan keperawatan kepada tenaga lain.
d. Perawat berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang terkait dengan pengembangan ketentuan
dari profesi keperawatan
e. Perawat berpartisipasi dalam upaya profesi untuk melaksanakan dan meningkatkan stndar
profesi.
Masalah masalah yang timbul dalam praktik keperawatan terkait dengan tanggung
jawab dan tanggung gugat. isu bioetis,yang terkait dengan praktik keperawatan yang
berhubungan sesama perawat dan profesi lain .isu etis ini muncul hampir terjadi disemua
bidang keperawatan
Tanggung Gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat
suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat
hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia
menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan profesinya. Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan
yang dilakukannya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut :
1. Kepada siap tanggung gugat itu ditujukan ?
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat ?
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya ?
Pengambilan Keputusan dan Model Penyelesaian Masalah Etik dalam Praktek Keperawatan
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN MODEL PENYELESAIAN
MASALAH ETIK DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN
Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah
menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar
belum teratasi ( catalona,1991 ).
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan
seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab moral ( Nila
ismani,2001 ).
Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistimatis tentang suatu perilaku benar
atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. Etika merupakan
aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan bertindak
dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang
menggunakan masalah etik untuk menggambarkan etika suatu profesi dalam
hubungannya dalam kode etik profesional seperti kode etik PPNI atau IBI.
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan suatu
standar atau pegangan yang mengarah pada sikap atau perilaku seseorang. Sistem nilai
dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering
diartikan sebagai perilaku personal.
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang
benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama,
hukum , adat dan praktek profesional.
Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan
yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan
profesional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau
bidan dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman.
Perilaku yang etis mencapai puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh
perilaku pengambilan keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah etika.
Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali menggunakan dua pendekatan : yaitu
pendekatan berdasarkan asuhan keperawatan/kebidanan.
Pendekatan berdasarkan prinsip
Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk
menawarkan bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994)
menyatakan 4 pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara lain :
1. Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak sebagai penghargaan terhadap kapasitas
otonomi setiap orang.
2. Menghindarkan berbuat suatu kesalahan
3. Bersedia dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala
konsekuensinya.
4. Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi.
Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab
konflik dalam bertindak. Cosntoh : seorang ibu yang memerlukan biaya untuk
pengobatan progresif bagi bayi yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak
akan tapi pernah menikmati kehidupan bahagia yang paling sederhana skalipun. Disini
terlihat adanya kebutuhan untuk tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan
pengobatan bayinya tetapi dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila
pengobatan diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan hidup
yang besar . Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu
yang penting dalam etika.
Terutama kemajuan dibidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan
berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi
(cakalano,1991). Kemajuan teknologi saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang
kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia
lanjut yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin
mahal, dan keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika perawatan bagi
individu perawat atau persatuan perawat (Mc.Croskey,1990)
A. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik
1. Etik adalah norma-norma yang menentukan baik buruknya tingkah laku manusia, baik
secara sendirian maupun bersama sama dan mengatur hidup kearah tujuannya (Pastur
Scalia,1971)
2. Etik Keperawatan adalah norma-norma yang dianut oleh perawat dalam bertingkah laku
dengan pasien, keluarga, kolega atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan
keperawatan yang bersifat profesional. Perilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari
pasien, perawat, dan interaksi sosial dalam lingkungan.
3. Kode etik keperawatan. Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum
yang telah diterima oleh suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam
melaksanakan praktek keperawatan, baik yang berhubungan dengan pasien, keluarga
masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim kesehatan lain yang berfungsi untuk :
Memberikan dasar dalam mengatur hubungan dalam mengatur hubungan antara
perawat, pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan profesi keperawatan.
Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek
keperawatan
Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan (Kozier & Erb,
1998)
4. Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral suatu
tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan kondisi dimana setiap
alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk
menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stres pada perawat karena dia
tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik
biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif
sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson dan
Thompson (1985) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada
alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Didalam dilema etik tidak
ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat
tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.
B. Prinsip-prinsip moral dalam Praktek Keperawatan
Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk
suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan atau diijinkan dalam situasi tertentu. (Jhon Stone, 1989)
1. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
memutuskan. Orang dewasa dianggap kompoten dan memiliki kekuatan sendiri, memilih
dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah
bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa
dan bertindak secara rasional.
2. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kesalahan atau kejahatan kebaikan menjadi konflik
dengan otonomi.
3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar
praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
4. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera secara fisik dan psikologik. Segala
tindakan yang dilakukan kepada pasien adalah aman.
5. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat komprehensif dan obyektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan
materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan.
6. Fidelity
Prinsip fidelity individu untuk menghargai janji dan komitmennnya terhadap orang lain.
Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia pasien.
7. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga
privacynya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien diluar area pelayanan,
menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan yang
lain harus dicegah.
C. Kerangka Konsep Pemecahan Masalah Dilema Etik
Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya
menggunakan kerangka proses keperawatan/pemecahan masalah secara ilmiah, antara
lain :
1. Model pemecahan masalah (Megan,1989)
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (Kozier & Erb, 1989)
a. Mengembangkan data dasar. Untuk melakukan ini perawat memerlukan pengumpulan
informasi sebanyak mungkin meliputi :
Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan keterlibatannya
Apa tindakan yang diusulkan
Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut.
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimana keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum
untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan
informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari npilihan itu
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan
5. Model Levine – Ariff dan Gron
a. Mendefinisikan dilema
b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan
c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayanan
Pasien dan keluarga
Faktor-faktor eksternal
d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu
e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi
f. Identifikasi pengambil keputusan
g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik
h. Tentukan alternatif-alternatif
i. Menindaklanjuti
6. Langkah-langkah menurut Purtillo dan Cassel (1981)
Purtillo dan Cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson (1981) mengusulkan 10 langkah
model keputusan biotis
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,
komponen etis dan petunjuk individual
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi issue etik
d. Menentukan posisi moral
e. Menentukan posisi moral pribadi dan profesional
f. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait
g. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
D. Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak
menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan
masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan
kenyamanan kerja. (Mac Phail,1988)
Salah satu cara menyelesaikan masalah etis adalah dengan melakukan rounde (Bioetics
Rounds) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk
menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang
kemungkinan terdapat permasalahan etis.
DAFTAR PUSTAKA
Ismani Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta. Widya Medika
Amir amri. 1997. Hukum Kesehatan. Jakarta. Bunga Rampai
Lubis Sofyan. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan Pasien. Jakarta. Pustaka Yusticia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
2.2 Komponen-komponen Informed Consent
1) Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2) Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3) Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya
2.3 Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
2.4 Fungsi Pemberian Informed Consent
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan
nasibnya sendiri3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health
care receiver = HCR)4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.
2.5 Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian
pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
1. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
1. Hak atas rahasia medis2. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)3. Hak untuk melihat rekam medik4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak
dan remaja di bawah umur)5. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama
hal itu tidak mengganggu pasien lainnya8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah
sakit9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap
dirinya10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter
2.6 Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.
2.7 Hal – hal yang dapat di informasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
1. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
1. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
1. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
1. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.
2.8 Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
2.9 Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent
1. Bagi pasien
a) Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
b) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya jawab
c) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
d) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
1. Bagi petugas kesehatan
a) Pasien tidak mau diberitahu.
b) Pasien tak mampu memahami.
c) Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d) Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
2.10 Kualitas Informasi yang di berikan
Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu (timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan keputusan yang telah direncanakan.
Informasi yang tidak adekuat sering menimbulkan masalah dalam menginterpretasikan perawatan klien di Rumah Sakit seperti kecemasan pada keluarga menolak dilakukan tindakan medik atau tindakan keperawatan invasif.
Adekuatnya informasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam menyampaikan pesan melalui komunikasi terapeutik, pengetahuan dan pemahaman dasar tentang penyakit. Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal yang perlu diinformasikan adalah:
1. Alasan dilakukan tindakan tersebut.2. Manfaat atau kegunaannya.3. Langkah-langkah yang akan dilakukan.4. Persiapan yang akan dibutuhkan.5. Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.
Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat diharapkan akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya diharapkan akan menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari, 1996, Whaley and Wong’s, 1999).
Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:
1) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan semakin mudah untuk menerima dan mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi oleh petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif terhadap pengalaman prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie, 1999).
2) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991). Pengalama baik bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengethuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie, 1999).
3) Nilai sosial dan budaya
Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang ditinjau dari segi nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu lain dan sebagainya. Sistem nilai yang dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku yang didasari oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena umumnya program kesehatan lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak begitu kuat (Azwar, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.
Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]
Tiga elemen Informed consent [3]
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
o Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
o Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan Informed Consent
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental
lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter tentang informed consent
o Pasien tidak mau diberitahu.
o Pasien tak mampu memahami.
o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
Pengertian Informed consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,
seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan
kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi
dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan.
Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti
narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas
informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak
yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent”
memuat dua unsur pokok, yakni:
1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk
dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan
medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko
yang akan ditanggung oleh pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk
memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat
diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk
menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian
informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh
pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress,
dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian
informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang
perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi,
persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama,
pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu
perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata
lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam
menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari
pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan
pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent
hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat
berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum
Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu
perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
B. Sejarah Informed Consent
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif
masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati
prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai
reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan
terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi
terhadap kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai
kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg,
prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis
(Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan
dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien
yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat
diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed
consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No.
11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di
Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan
dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama,
orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-
nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung
jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil
inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien,
kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab
untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak
mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan
kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien
sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek
rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi
pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi
dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu
memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya
dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan
bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed
consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan
pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara
pengaduan hukum.
C. Fungsi informed consent
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
• promosi otonomi individu.
• Proteksi terhadap pasien dan subjek.
• Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
• Mendorong adanya penelitian yang cermat.
• Promosi keputusan yang rasional
• Menyertakan publik.
Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Persetujuan :
• Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.
• Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.
• Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan
situasi pasien.
• Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu
dengan lisan.
D. Dasar Hukum dan Informed Consent Keperawatan
1. Dasar hukum informed consent
UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/
Medical record
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medis
Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang
Informed Consent
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah
Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan
Tubuh Manusia
2. Informed Consent Keperawatan
Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga
keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat
perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8
ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan
keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan
masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. dari pasal tersebut
menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar pada
ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara
memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan
psikologis pasien. Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan pasien
secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di
rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan
perawatan di rumah, home care.
Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal
22 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996 jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010 memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak pasien,
memberi informasi, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan dan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan kode etik
keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut menjadi hak bagi pasien. Dengan
begitu, hubungan antara perawat dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian)
yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, aspek
keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal pada hubungan pasien.
Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan belum
diatur secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran
sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan
medik yang dilakukan perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari
dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik
tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1) Permenkes No. HK.
02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya mirip dengan rumusan
yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di tahun 1970. Perluasan
tugas yang diberikan pada perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti
peranan perawat yang diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua
tindakan medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat.
Permasalahan ini tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan
kuratif, namun juga pada aspek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan
oleh perawat dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang
jelas. Dalam konteks ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik
tersebut, sehingga tindakan medik yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi.
"Aturan yang memadai mutlak diperlukan dalam menegakkan hak dan kewajiban.
Perawat perlu perlindungan dan kepastian hukum, sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD
NKRI 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.
E. Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed
Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
F. Perlindungan Pasien
Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis
dapat dijabarkan seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat
Top Related