etika keperawatan

61
PEMBAHASAN A. Dilema Etik Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral suatutindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiapalternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukanyang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yangharus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya.Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilankeputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harusberhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apayang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semuasolusi tampak salah.Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Kerangka pemecahan dilema etik adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan data dasar b. Mengidentifikasi konflik c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan danmempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut d. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat e. Mendefinisikan kewajiban perawat

description

nursery

Transcript of etika keperawatan

Page 1: etika keperawatan

PEMBAHASAN

A.  Dilema EtikDilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral

suatutindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi

dimana setiapalternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar

untuk menentukanyang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat

karena dia tahu apa yangharus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk

melakukannya.Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting

pada pengambilankeputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat

ditantang ketika harusberhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana

yang benar dan salah; apayang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan

apa yang dilakukan jika semuasolusi tampak salah.Dilema etik dapat bersifat personal

ataupun profesional.

Kerangka pemecahan dilema etik adalah sebagai berikut :

a. Mengembangkan data dasar

b. Mengidentifikasi konflik

c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan

danmempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

d. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat

e. Mendefinisikan kewajiban perawat

f. Membuat keputusan

Dilema etik sulit dipecahkan karena memerlukan pemilihan keputusan tepat

diantara dua atau lebihprinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus

membuang yang lain menjadisulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan

keburukan apalagi jika tak satupunkeputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan

dengan dilema etis bertambah pelik denganadanya dampak emosional seperti rasa marah,

frustrasi, dan takut saat proses pengambilankeputusan rasional.

Dilema etika juga merupakan  situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan

mengenai perilaku yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu

Page 2: etika keperawatan

diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Enam

pendekatan dapat dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1.    Mendapatkan fakta-fakta yang relevan

2.    Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta

3.    Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma

4.    Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema

5.    Menentukan konsekwensi yang mungkin dari setiap alternative

6.    Menetapkan tindakan yang tepat.              

Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau

menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2)

jika legal maka disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan

konsekwensinya.

Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat

menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi

banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai

perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan

dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik

merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau

situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Kerangka

pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya

menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara

lain:

1.     Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )

Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.

Mengkaji situasi

Mendiagnosa masalah etik moral

Membuat tujuan dan rencana pemecahan

Melaksanakan rencana

Mengevaluasi hasil

2.   Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 )

a. Mengembangkan data dasar.

Page 3: etika keperawatan

Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin

meliputi :

       Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya

        Apa tindakan yang diusulkan

        Apa maksud dari tindakan yang diusulkan

          Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

b.Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

d.Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan

yang tepat

e.Mengidentifikasi kewajiban perawat

f. Membuat keputusan

3.   Model Murphy dan Murphy

o  Mengidentifikasi masalah kesehatan

o  Mengidentifikasi masalah etik

o   Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

o  Mengidentifikasi peran perawat

o  Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan

o  Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan

o  Memberi keputusan

o  Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah

umum untuk perawatan klien

o  Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan

informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.

4.   Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)

           Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik

a.  Mengumpulkan data yang relevan

b.  Mengidentifikasi dilema

c.  Memutuskan apa yang harus dilakukan

d. Melengkapi tindakan

Page 4: etika keperawatan

5.   Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)

    Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang

diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual.

    Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

    Mengidentifikasi Issue etik

    Menentukan posisi moral pribadi dan professional

    Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.

    Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

B. Kecenderungan dan Isu Etik Keperawatan Retrospektif dan Prospektif 1.      Studi Case Control (Retrospektif)

Pengertian studi retrospektif adalah meneliti ke belakang dengan menggunakan data

sekunder untuk melihat apakah ada hubungan atau tidak antara penyakit dan factor resiko

yang terdapat pada orang yang sakit.

2.      Studi Cohort (Prospektif)

Pengertian studi prospektif adalah meneliti apakah orang yang sehat tetapi memiliki

resiko atau paparan positif akan menderita sakit atau tidak pada waktu mendatang.

Dengan kata lain, ingin melihat dan membuktikan ada atau tidaknya hubungan atau

asosiasi antara factor resiko dan penyakit.

C.    Permasalahan Dasar Etika Keperawatan‘Bandman (1990) secara umum menjelaskan bahwa permasalahan etika

keperawatan pada dasarnya terdiri dari lima jenis, yaitu :

1.      Kuantitas Melawan Kuantitas Hidup

Contoh Masalahnya : seorang ibu minta perawat untuk melepas semua selang

yang dipasang pada anaknya yang berusia 14 tahun, yang telah koma selama 8 hari.

Dalam keadaan seperti ini, perawat menghadapi permasalahan tentang posisi apakah

yang dimilikinya dalam menentukan keputusan secara moral. Sebenarnya perawat berada

pada posisi permasalahan kuantitas melawan kuantitas hidup, karena keluarga pasien

Page 5: etika keperawatan

menanyakan apakah selang-selang yang dipasang hampir pada semua bagian tubuh dapat

mempertahankan pasien untuk tetap hidup.

2.      Kebebasan Melawan Penanganan dan pencegahan Bahaya.

Contoh masalahnya : seorang pasien berusia lanjut yang menolak untuk mengenakan

sabuk pengaman sewaktu berjalan. Ia ingin berjalan dengan bebas. Pada situasi ini,

perawat pada permasalahan upaya menjaga keselamatan pasien yang bertentangan

dengan kebebasan pasien.

3.      Berkata secara jujur melawan berkata bohong

Contoh masalahnya : seorang perawat yang mendapati teman kerjanya menggunakan

narkotika. Dalam posisi ini, perawat tersebut berada pada masalah apakah ia akan

mengatakan hal ini secara terbuka atau diam, karena diancam akan dibuka rahasia yang

dimilikinya bila melaporkan hal tersebut pada orang lain.

4.      Keinginan terhadap pengetahuan yang bertentangan dengan falsafah  agama,

politik,             ekonomi dan ideologi

Contoh masalahnya : seorang pasien yang memilih penghapusan dosa daripada

berobat ke dokter.

5.      Terapi ilmiah konvensional melawan terapi tidak ilmiah dan coba-coba

Contoh masalahnya : di Irian Jaya, sebagian masyarakat melakukan tindakan untuk

mengatasi nyeri dengan daun-daun yang sifatnya gatal. Mereka percaya bahwa pada daun

tersebut terdapat miang yang dapat melekat dan menghilangkan rasa nyeri bila dipukul-

pukulkan dibagian tubuh yang sakit.

D. Permasalahan Etika dalam Praktek Keperawatan Saat Ini            Adapun permasalahan etik yang yang sering muncul banyak sekali, seperti

berkata tidak jujur (bohong), abortus, menghentikan pengobatan, penghentian pemberian

makanan dan cairan, euthanasia, transplantasi organ serta beberpa permasalahan etik

yang langsung berkaitan dengan praktek keperawatan, seperti: evaluasi diri dan

kelompok, tanggung jawab terhadap peralatan dan barang, memberikan rekomendasi

pasien pad dokter, menghadapi asuhan keperawatan yang buruk, masalah peran merawat

dan mengobati (Prihardjo, 1995).Disini akan dibahas sekilas beberapa hal yang berikaitan

dengan masalah etik yang berkaitan lansung pada praktik keperawatan.

 - Konflik etik antara teman sejawat

Page 6: etika keperawatan

Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan

pasien. Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus

mampu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak, serta

berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering sering kali

menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan keperawatan dan juga

terhadap teman sejawat. Dilain pihak perawat harus menjaga nama baik antara teman

sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang melakukan pelanggaran atau dilema etik hal

inilah yang perlu diselesaikan dengan bijaksana.

- Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau pengobatan

Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-bentuk

pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi yang

memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya. Penolakan pasien

menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti

pengetahuan, tuntutan untuk dapat sembuh cepat, keuangan, social dan lain-lain.

Penolakan atas pengobatan dan tindakan asuhan keperawatan merupakan hak pasien dan

merupakan hak outonmy pasien, pasien berhak memilih, menolak segala bentuk tindakan

yang mereka anggap tidak sesuai dengan dirinnya, yang perlu dilakukan oleh perawat

adalah menfasilitasi kondisi ini sehingga tidak terjadi konflik sehingga menimbulkan

masalah-masalah lain yang lebih tidak etis.

- Masalah antara peran merawat dan mengobati

Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah

memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering kali peran

ini menjadai kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran sebagai perawat yang

memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga kesehatan yang melakuka

pengobatan banyak terjadi di Indonesia, terutama oleh perawat yang ada didaerah perifer

(puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dari hasil

penelitian, Sciortio (1992) menyatakan bahwa pertentangan antara peran formal perawat

dan pada kenyataan dilapangan sering timbul dan ini bukan saja masalah Nasional seperti

Page 7: etika keperawatan

di Indonesia, tetapi juga terjadi di Negara-negara lain.Walaupun tidak diketahui oleh

pemerintah, pertentangan ini mempunyai implikasi besar. Antara pengetahuan perawat

yang berhubungan dengan asuhan keperawatan yang kurang dan juga kurang aturan-

aturan yang jelas sebagai bentuk perlindungan hukum para pelaku asuhan keperawatan

hal inisemakin tidak jelas penyelesaiannya.

- Berkata Jujur atau Tidak jujur

Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak

merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan perawat

adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan.

Sebagai contoh: sering terjadi pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya

oleh pasien berkaitan dengan kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa-apa

ibu/bapak, bapak/ibu akan baik, suntikan ini tidak sakit”. Dengan bermaksud untuk

menyenangkan pasien karena tidak mau pasiennya sedih karena kondisinya dan tidak

mau pasien takut akan suntikan yang diberikan, tetapi didalam kondisi tersebut perawat

telah mengalami dilema etik. Bila perawat berkata jujur akan membuat sedih dan

menurunkan motivasi pasien dan bila berkata tidak jujur, perawat melanggar hak pasien.

- Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti

mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah meninggal

dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan sisa yang belum

dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-obatan tersebut dan

memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin keluarga pasien. Hal ini sering

terjadi karena perawat merasa obat-obatan tersebut tidak ada artinya bagi pasien, memang

benar tidak artinya bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain. Yang

penting pada kondisi ini adalah komunikasi dan informai yang jelas terhadap keluarga

pasien dan ijin dari keluarga pasien itu merupakan hal yang sangat penting, Karena

walaupun bagaimana keluarga harus tahu secara pasti untuk apa obat itu diambil.

Perawat harus dapat memberikan penjelasan pada keluarga dan orang lain bahwa

menggambil barang yang seperti kejadian diatas tidak etis dan tidak dibenarkan karena

Page 8: etika keperawatan

setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab terhadap peralatan dan barang

ditempat kerja.

Selain itu ada juga permasalahan etik yg terjadi yaitu:

1)      Malpraktek

Balck’s law dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai ” kesalahan profesional

atau kurangnya keterampilan tidak masuk akal "kegagalan atau satu layanan render

profesional untuk melatih bahwa tingkat keterampilan dan pembelajaran umum

diterapkan dalam semua keadaan masyarakat oleh anggota terkemuka rata bijaksana

profesi dengan hasil dari cedera, kerugian atau kerusakan kepada penerima layanan

tersebut atau mereka yang berhak untuk bergantung pada mereka ".

Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang

disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence),

ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno,

2005). Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat.

Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi yang dapat melakukan

malpraktek.

2)      Neglience (Kelalaian)

Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti

malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian.

Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar

sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005).

Sedangkan menurut amir dan hanafiah (1998) yang dimaksud dengan kelalaian

adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap

hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang

dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.

Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang

seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati).

(Tonia, 1994).

Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya

dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan tindakan

dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang

Page 9: etika keperawatan

perawat tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan

yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

dilingkungan yang sama.

a. Jenis-jenis kelalaianBentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:

1. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau tidak tepat/layak.

Misal: melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat

2. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat.

Misal: melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur

3. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan

kewajibannya.

Misal: Pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.

Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga

kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:

1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak

melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpanagan kewajiban.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian

akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.

4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus

terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang

setidaknya menurunkan “Proximate cause”.  

b.      Dampak KelalaianKelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas, tidak

saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit, Individu perawat

pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan pidana, juga dapat berupa gugatan

perdata dalam bentuk ganti rugi. (Sampurna, 2005).

Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan bentuk

dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat pelanggaran autonomy,

justice, nonmalefence, dan lainnya. (Kozier, 1991) dan penyelesainnya dengan

Page 10: etika keperawatan

menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum pelanggaran ini dapat ditujukan

bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan juga institusi penyelenggara pelayanan

praktek keperawatan,  dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana

dan perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).

3)      Liability (Liabilitas)Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan

atau kegagalan melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti halnya tenaga kesehatan

lain mempunyai tanggung jawab terhadap setiap bahaya yang timbulkan dari kesalahan

tindakannya. Tanggungan yang dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang

dilakukan oleh perawat baik berupa tindakan kriminal  kecerobohan dan kelalaian.

Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan melakukan

sesuatu yang oleh orang lain dengan klasifikasi yang sama, seharusnya dapat dilakukan

dalam situasi yang sama, hal ini merupakan masalah hukum yang paling lazim terjadi

dalam keperawatan. Terjadi akibat kegagalan menerapkan pengetahuan dalam praktek

antara lain disebabkan kurang pengetahuan. Dan dampak kelalaian ini dapat merugikan

pasien.

Strategi Penyelesaian Masalah Etik

Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter

tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat

menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada

pasien dan kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)Salah satu cara menyelesaikan

permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics Rounds ) yang melibatkan

perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis

tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat

permasalahan etis.

E.  Penerapan Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat 1. Tanggung Jawab

Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah

timbulnya penyakit, memelihara kesehatan, dan mengurangi penderitaan.

Page 11: etika keperawatan

a)  Tanggung jawab perawat terhadap masyarakat kelurga dan penderita

Perawat dalam rangka pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada tanggung jawab

yang pangkal tolaknya bersumber dari adanya kebutuhan akan perawat untuk orang

seorang, keluarga dan masyarakat.

Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya dalam bidang perawat senantiasa

memelihara suasana lingkungan yang menghomati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan

kelangsungan hidup beragama dari orang seorang, keluarga atau penderita, keluarganya

dan masyarakat.

b)      Tanggung jawab perawat tehadap tugas

Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disetai kejujuran

profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan perawatan sesuai dengan

kebutuhan orang seorang atau penderita, keluarga dan masyarakat.

Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas

yang dipercayakan kepadanya.

Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan ketermpilan perawatan untuk tujuan

yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.

Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh

kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, keagamaan,

warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik yang dianut serta kedudukan sosial.

Perawat senantiasa mengutamakan perlindunagan-perlindungan dan keselamatan penderita

dalam melaksanakan tugas keperawatan, serta dengan matang mempetimbangkan

kemampuan jika menerima dan mengalihtugaskan tanggung jawab yang ada

hubungannya dengan perawatan. 

c)      Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesional kesehatan lain

   Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dengan tenaga

kesehatan lainnya baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun

dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

   Perawat senantiasa menyebar luaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamanya

kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalamanya kepada sesama

perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi bidang perawatan.

Page 12: etika keperawatan

d)     Tanggung jawab perawat terhadap profesi perawatan

      Perawat selalu berusaha meningkatkan pengetahuan profesional secara sendiri-sendiri

dan atau bersama-bersama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan,keterapilan dan

pengalam yang bermanfaat bagi pengembangan perawatan.

      Perawat selalu menjunjung tinggi nama baik profesi perawatan dengan menunjukkan

peri/tingka laku dan sifat-sifat pribadi yang tinggi.

      Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelanyanan

perawat an serta menerapkanya dalam kegiatan-kegiatan pelayanan danpendidikan

perawatan.

      Perawatan secara bersama-sama  membina dan memelihara mutu organisasi profesi

perawatan sebagai sarana pengabdian.

e)      Tanggung jawab perawat terhadap pemerintah,banggsa dan tanah air

o  Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang di

gariskan oleh perintah dalam bidang kesehatan dan perawatan.

o  Perawat senantiasa berperan secara  aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada

pemerintah dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada

masyarakat.

2.      Tanggung Gugat

Tanggung gugat yaitu sebagai konsekuensi apabila seeorang melakukan kesalahan

/kelalaian dalam melaksanakan tanggung jawab tidak sesuai dengan aturan aturan dalam

perundang undangan yang telah ditetapkan.

Peran tinggi perawat dalam pelayanan kesehatan ada tanggung jawab dan tanggung

gugat terhadap pelayanan yang dilakukan , yaitu :

a. Perawat bertanggung jawab dan tanggung gugat terhadap setiap tindakan dan

pengambilan keputusan keperawatan

b.  Perawat mempertahankan kompetensinya dalam melaksanakan pelayanan keperawatan .

Page 13: etika keperawatan

c. Perawat melatih diri dalam menetapkan informasi dan menggunakan kompetensi

individunya serta kualifikasi kriteria untuk menerima konsultasi tanggung jawab dan

memberikan delegasi tindakan keperawatan kepada tenaga lain.

d. Perawat berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang terkait dengan pengembangan ketentuan

dari profesi keperawatan

e. Perawat berpartisipasi dalam upaya profesi untuk melaksanakan dan meningkatkan stndar

profesi.

Masalah masalah yang timbul dalam praktik keperawatan terkait dengan tanggung

jawab dan tanggung gugat. isu bioetis,yang terkait dengan praktik keperawatan yang

berhubungan sesama perawat dan profesi lain .isu etis ini muncul hampir terjadi disemua

bidang keperawatan

Tanggung Gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat

suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat

hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia

menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-

kegiatan profesinya. Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan

yang dilakukannya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut :

1.         Kepada siap tanggung gugat itu ditujukan ?

2.          Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat ?

3.         Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya ?

Pengambilan Keputusan dan Model Penyelesaian Masalah Etik dalam Praktek Keperawatan

Page 14: etika keperawatan

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN MODEL PENYELESAIAN

MASALAH ETIK DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN

Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah

menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar

belum teratasi ( catalona,1991 ).

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi

perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan

seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab moral ( Nila

ismani,2001 ).

Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistimatis tentang suatu perilaku benar

atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. Etika merupakan

aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan bertindak

dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang

menggunakan masalah etik untuk menggambarkan etika suatu profesi dalam

hubungannya dalam kode etik profesional seperti kode etik PPNI atau IBI.

Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan suatu

standar atau pegangan yang mengarah pada sikap atau perilaku seseorang. Sistem nilai

dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering

diartikan sebagai perilaku personal.

Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang

benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama,

hukum , adat dan praktek profesional.

Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan

yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan

profesional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau

bidan dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman.

Perilaku yang etis mencapai puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh

perilaku pengambilan keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah etika.

Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali menggunakan dua pendekatan : yaitu

pendekatan berdasarkan asuhan keperawatan/kebidanan.

Page 15: etika keperawatan

Pendekatan berdasarkan prinsip

Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk

menawarkan bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994)

menyatakan 4 pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara lain :

1.      Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak sebagai penghargaan terhadap kapasitas

otonomi setiap orang.

2.      Menghindarkan berbuat suatu kesalahan

3.      Bersedia dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala

konsekuensinya.

4.      Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi.

Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab

konflik dalam bertindak. Cosntoh : seorang ibu yang memerlukan biaya untuk

pengobatan progresif bagi bayi yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak

akan tapi pernah menikmati kehidupan bahagia yang paling sederhana skalipun. Disini

terlihat adanya kebutuhan untuk tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan

pengobatan bayinya tetapi dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila

pengobatan diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan hidup

yang besar . Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu

yang penting dalam etika.

Terutama kemajuan dibidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan

berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi

(cakalano,1991). Kemajuan teknologi saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang

kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia

lanjut yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin

mahal, dan keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika perawatan bagi

individu perawat atau persatuan perawat (Mc.Croskey,1990)

A.    Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik

1.      Etik adalah norma-norma yang menentukan baik buruknya tingkah laku manusia, baik

secara sendirian maupun bersama sama dan mengatur hidup kearah tujuannya (Pastur

Scalia,1971)

Page 16: etika keperawatan

2.      Etik Keperawatan adalah norma-norma yang dianut oleh perawat dalam bertingkah laku

dengan pasien, keluarga, kolega atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan

keperawatan yang bersifat profesional. Perilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari

pasien, perawat, dan interaksi sosial dalam lingkungan.

3.      Kode etik keperawatan. Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum

yang telah diterima oleh suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam

melaksanakan praktek keperawatan, baik yang berhubungan dengan pasien, keluarga

masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim kesehatan lain yang berfungsi untuk :

                   Memberikan dasar dalam mengatur hubungan dalam mengatur hubungan antara

perawat, pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan profesi keperawatan.

                   Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan

                   Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek

keperawatan

                   Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan (Kozier & Erb,

1998)

4.      Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral suatu

tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan kondisi dimana setiap

alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk

menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stres pada perawat karena dia

tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik

biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif

sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson dan

Thompson (1985) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada

alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Didalam dilema etik tidak

ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat

tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.

B.     Prinsip-prinsip moral dalam Praktek Keperawatan

Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk

suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu

tindakan dilarang, diperlukan atau diijinkan dalam situasi tertentu. (Jhon Stone, 1989)

Page 17: etika keperawatan

1.      Otonomi

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan

memutuskan. Orang dewasa dianggap kompoten dan memiliki kekuatan sendiri, memilih

dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah

bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa

dan bertindak secara rasional.

2.      Benefisiensi

Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan

pencegahan dari kesalahan atau kesalahan atau kejahatan kebaikan menjadi konflik

dengan otonomi.

3.      Keadilan (justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang

menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam

praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar

praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.

4.      Nonmalefisien

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera secara fisik dan psikologik. Segala

tindakan yang dilakukan kepada pasien adalah aman.

5.      Veracity (kejujuran)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi

layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk

meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan

kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi

akurat komprehensif dan obyektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan

materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu

yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan.

6.      Fidelity

Prinsip fidelity individu untuk menghargai janji dan komitmennnya terhadap orang lain.

Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta

menyimpan rahasia pasien.

7.      Kerahasiaan (confidentiality)

Page 18: etika keperawatan

Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga

privacynya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh

dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh

informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien diluar area pelayanan,

menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan yang

lain harus dicegah.

C.     Kerangka Konsep Pemecahan Masalah Dilema Etik

Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya

menggunakan kerangka proses keperawatan/pemecahan masalah secara ilmiah, antara

lain :

1.      Model pemecahan masalah (Megan,1989)

Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.

a.       Mengkaji situasi

b.      Mendiagnosa masalah etik moral

c.       Membuat tujuan dan rencana pemecahan

d.      Melaksanakan rencana

e.       Mengevaluasi hasil

2.      Kerangka pemecahan dilema etik (Kozier & Erb, 1989)

a.       Mengembangkan data dasar. Untuk melakukan ini perawat memerlukan pengumpulan

informasi sebanyak mungkin meliputi :

         Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan keterlibatannya

         Apa tindakan yang diusulkan

         Apa maksud dari tindakan yang diusulkan

         Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

b.      Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

c.       Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

d.      Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut.

e.       Mengidentifikasi kewajiban perawat

f.       Membuat keputusan

Page 19: etika keperawatan

3.      Model Murphy dan murphy

a.       Mengidentifikasi masalah kesehatan

b.      Mengidentifikasi masalah etik

c.       Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

d.      Mengidentifikasi peran perawat

e.       Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan

f.       Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan

g.      Memberi keputusan

h.      Mempertimbangkan bagaimana keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum

untuk perawatan klien

i.        Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan

informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.

4.      Model Curtin

a.       Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah

b.      Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan

c.       Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan

d.      Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari npilihan itu

e.       Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan

f.       Memecahkan dilema

g.      Melaksanakan keputusan

5.      Model Levine – Ariff dan Gron

a.       Mendefinisikan dilema

b.      Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan

c.       Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayanan

         Pasien dan keluarga

         Faktor-faktor eksternal

d.      Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu

e.       Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi

f.       Identifikasi pengambil keputusan

g.      Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik

h.      Tentukan alternatif-alternatif

Page 20: etika keperawatan

i.        Menindaklanjuti

6.      Langkah-langkah menurut Purtillo dan Cassel (1981)

Purtillo dan Cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik

a.       Mengumpulkan data yang relevan

b.      Mengidentifikasi dilema

c.       Memutuskan apa yang harus dilakukan

d.      Melengkapi tindakan

7.      Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson (1981) mengusulkan 10 langkah

model keputusan biotis

a.       Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,

komponen etis dan petunjuk individual

b.      Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

c.       Mengidentifikasi issue etik

d.      Menentukan posisi moral

e.       Menentukan posisi moral pribadi dan profesional

f.       Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait

g.      Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

D.    Strategi Penyelesaian Masalah Etik

Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak

menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan

masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan

kenyamanan kerja. (Mac Phail,1988)

Salah satu cara menyelesaikan masalah etis adalah dengan melakukan rounde (Bioetics

Rounds) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk

menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang

kemungkinan terdapat permasalahan etis.

Page 21: etika keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Ismani Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta. Widya Medika

Amir amri. 1997. Hukum Kesehatan. Jakarta. Bunga Rampai

Lubis Sofyan. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan Pasien. Jakarta. Pustaka Yusticia

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1         Definisi

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

 

2.2         Komponen-komponen Informed Consent

1)   Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

Page 22: etika keperawatan

2)    Information elements

Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan   informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam       komunitas tenga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

 

 

3)    Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya

 

2.3         Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

Page 23: etika keperawatan

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:

a)         Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya

b)        Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

 

2.4         Fungsi Pemberian Informed Consent

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan

nasibnya sendiri3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health

care receiver = HCR)4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi

terhadap diri sendiri.

 

2.5         Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.

Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian

Page 24: etika keperawatan

pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:

1. Hak atas informasi

Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.

1. Hak atas persetujuan (Consent)

Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).

1. Hak atas rahasia medis2. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)3. Hak untuk melihat rekam medik4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak

dan remaja di bawah umur)5. Hak pasien dalam penelitian

Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.

1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit

2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan

standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai

dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit

Page 25: etika keperawatan

5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya

6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama

hal itu tidak mengganggu pasien lainnya8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah

sakit9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap

dirinya10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

2.6         Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent

Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.

 

 

 

2.7         Hal – hal yang dapat di informasikan

1. Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

1. Risiko

Page 26: etika keperawatan

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.

Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

1. Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

1. Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

1. Prognosis

Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.

 

2.8         Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan

Page 27: etika keperawatan

hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

 

Page 28: etika keperawatan

 

2.9         Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent

1. Bagi pasien

a)    Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

b)   Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya jawab

c)    Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

d)   Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

1. Bagi petugas kesehatan

a)    Pasien tidak mau diberitahu.

b)   Pasien tak mampu memahami.

c)    Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

d)   Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

 

2.10   Kualitas Informasi yang di berikan

Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu (timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan keputusan yang telah direncanakan.

Informasi yang tidak adekuat sering menimbulkan masalah dalam menginterpretasikan perawatan klien di Rumah Sakit seperti kecemasan pada keluarga menolak dilakukan tindakan medik atau tindakan keperawatan invasif.

Adekuatnya informasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam menyampaikan pesan melalui komunikasi terapeutik, pengetahuan dan pemahaman dasar tentang penyakit. Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal yang perlu diinformasikan adalah:

Page 29: etika keperawatan

1. Alasan dilakukan tindakan tersebut.2.  Manfaat atau kegunaannya.3.  Langkah-langkah yang akan dilakukan.4. Persiapan yang akan dibutuhkan.5. Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.

Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat diharapkan akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya diharapkan akan  menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari, 1996, Whaley and Wong’s, 1999).

Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:

1)        Tingkat pendidikan

Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan semakin mudah untuk menerima  dan mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi oleh petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif terhadap pengalaman prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie, 1999).

2)        Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991). Pengalama baik bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengethuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie, 1999).

3)        Nilai sosial dan budaya

Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang ditinjau dari segi nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu  lain dan sebagainya. Sistem nilai  yang dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku yang didasari oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena umumnya program kesehatan lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku sosial budaya individu ataupun masyarakat tidak begitu kuat (Azwar, 1996).

DAFTAR PUSTAKA

 

Page 30: etika keperawatan

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.

Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]

Tiga elemen Informed consent [3]

1. Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).

Page 31: etika keperawatan

Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan

Page 32: etika keperawatan

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).

Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental

Page 33: etika keperawatan

lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.

o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Keluhan dokter tentang informed consent

o Pasien tidak mau diberitahu.

o Pasien tak mampu memahami.

o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005

[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37

Page 34: etika keperawatan

[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005

Pengertian Informed consent

Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,

seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap

tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan

kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi

dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan.

Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti

narkotika.

Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas

informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak

yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent”

memuat dua unsur pokok, yakni:

1.    Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk

dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan

medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko

yang akan ditanggung oleh pasien.

2.    Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk

memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat

diberikan kapada pasien.

Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk

menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian

informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).

Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh

pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress,

dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian

informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang

perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi,

persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama,

Page 35: etika keperawatan

pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu

perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata

lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam

menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:

a.       Standar praktek profesional (the professional practice standard)

b.       Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)

c.       Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)

Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang

diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai

tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari

pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan

pemeriksaan,  pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.

Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent

hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat

berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan

perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum

Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu

perjanjjian yaitu:

a.    Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.

b.    Para pihak cakap untuk membuat perikatan

c.   Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan

perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

B.        Sejarah Informed Consent

Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif

masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati

prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai

reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan

terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi

terhadap kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai

kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg,

Page 36: etika keperawatan

prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis

(Sudarminta, J. 2001).

Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan

dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien

yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat

diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed

consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No.

11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di

Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut.

Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan

dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama,

orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-

nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung

jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil

inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien,

kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab

untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak

mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.

Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan

kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien

sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek

rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi

pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi

dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu

memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya

dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan

bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed

consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan

pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara

pengaduan hukum.

C.        Fungsi informed consent

Page 37: etika keperawatan

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :

•         promosi otonomi individu.

•         Proteksi terhadap pasien dan subjek.

•         Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.

•         Mendorong adanya penelitian yang cermat.

•         Promosi keputusan yang rasional

•         Menyertakan publik.

Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

Persetujuan :

•         Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.

•         Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.

•         Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan

situasi pasien.

•         Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu

dengan lisan.

D.        Dasar Hukum dan Informed Consent Keperawatan

1.      Dasar hukum informed consent

         UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan

         Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan

         Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS

         Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/

Medical record

         Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan

Tindakan Medis

         Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS

         Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang

Informed Consent

         Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah

Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan

Tubuh Manusia

Page 38: etika keperawatan

2.      Informed Consent Keperawatan

Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga

keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat

perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat,

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor

HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8

ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan

keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan

masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. dari pasal tersebut

menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar pada

ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara

memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan

psikologis pasien. Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan pasien

secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di

rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan

perawatan di rumah, home care.

Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal

22 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996 jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor

HK.02.02/Menkes/148/2010 memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak pasien,

memberi informasi, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan dan

memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan kode etik

keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut menjadi hak bagi pasien. Dengan

begitu, hubungan antara perawat dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian)

yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, aspek

keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal pada hubungan pasien.

Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan belum

diatur secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran

sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan

medik yang dilakukan perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari

dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik

Page 39: etika keperawatan

tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1) Permenkes No. HK.

02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya mirip dengan rumusan

yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di tahun 1970. Perluasan

tugas yang diberikan pada perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti

peranan perawat yang diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua

tindakan medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat.

Permasalahan ini tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan

kuratif, namun juga pada aspek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan

oleh perawat dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang

jelas. Dalam konteks ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik

tersebut, sehingga tindakan medik yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi.

"Aturan yang memadai mutlak diperlukan dalam menegakkan hak dan kewajiban.

Perawat perlu perlindungan dan kepastian hukum, sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD

NKRI 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.

E.         Bentuk Informed Consent

Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)

         Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)

Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,

sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,

suntikan, atau hecting luka terbuka.

         Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis

(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan

medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko

besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3

ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis

yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah

sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan

medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)

Page 40: etika keperawatan

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan

tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan

disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai

tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed

Consent:

a.         Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya

tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa

sepengetahuan pasiennya.

b.         Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat

negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan

medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).

F.    Perlindungan Pasien

Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis

dapat dijabarkan seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal

56

(1)   Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan

yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai

tindakan tersebut secara lengkap

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  tidak berlaku pada:

a.      penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara

cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas

b.      keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c.      gangguan mental berat