ISSN 1829 - 5118
Vol. 8 - Maret 2012
JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
The Indonesian Association Againts Tuberculosis
DAFTAR ISI :
• EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium
tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI
JAKARTA-INDONESIA
• HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU
• (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
• RAPID TB TEST
• MEROKOK DAN TUBERKULOSIS
• TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS
• TUBERKULOSIS NOSOKOMIALVol. 8- Maret 2012 ISSN 1829 - 5118
JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Pemimpin Umum
Ketua Umum PP PPTI
Penanggung Jawab
Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP
Pemimpin Redaksi
Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D
Sekretariat Redaksi
Drs. Sumardi
Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A
Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240
Telp. 021 - 7397494
Fax. 021 - 7397494
http://www.ppti.info, email: [email protected]
Terbit pertama kali Agustus 2004Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 i
Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk
Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa
Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pedoman Umum
Naskah adalah karangan asli
Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam
bentuk dan media/jurnal apapun
Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis
Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan
seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk
publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi
Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan
naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan
kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah
Redaksi berhak untuk meminta penulis untuk
memperbaiki isi dan bentuk tulisan
Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada
penulis apabila ada permintaan sebelumnya
Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang
efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu,
naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan
ejaan yang standar
Naskah
Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak
tepi-tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran
kertas A4 (21x 30 cm)
Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket
berupa copy file dari naskah tersebut
Kelengkapan Naskah
Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal
Tuberkulosis Indonesia:
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama
Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau
via email: [email protected]
Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print-out)
yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2)
abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk
key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6)
daftar pustaka, 7) tabel-tabel, 8) gambar/ilustrasi
dan foto berikut keterangannya
Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan
program MS-Word
Halaman Judul dan Penulis
Judul makalah ditulis lengkap, dan tidak
menggunakan singkatan
Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis
Nama departemen dan institusi
Alamat korespondensi penulis
Petunjuk Untuk Penulis
Abstrak
Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara
terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek
dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak
tidak lebih dari 250 kata.
Tabel dan Gambar
Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,
dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah
Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel
Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai
urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel
ataugambar.
Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara
informative sehingga mudah untuk dimengerti
Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan
biaya reproduksi
Daftar Pustaka
Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan
Vancouver.
Daftar rujukan tidak lebih dari 25 buah, dan
merupakan rujukan terbaru dalam satu dekade
terakhir.
Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam
narasi naskah.
Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam
Index Medicus.
Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun
belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai
aturan dan ditambahkan: In Press
Contoh Penulisan Daftar Rujukan
1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS,
Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab.
Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating
Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.
2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tuberculosis Control. Clinical policies and protocols.
3
rd ed. New York, NY: New York City Department of
Health, 1999
3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South
Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5
4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary
pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California:
Aicon Publishers; 1985
5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condition of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Operative Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;
1995. p. 911-938ii Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
EDITORIAL
Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?
“Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini
penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!”
Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan
kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga
pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan
dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah
konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB-MDR, obat harus diminum
dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan
sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan
tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri
yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.
Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB-MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak
adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi
sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan
meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang
tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko-inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi
primer maupun sekunder.
Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian
kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten
obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal
pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol
seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling
tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.
Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB
harus dilakukan.
Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak
diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga
angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB
terbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah
swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat
yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi
bahwa ‘kesalahan’ yang dapat berakibat timbulnya ‘wabah TB-MDR’ ada pada dokter praktek swasta dan unit
kesehatan tersebut.Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 iii
Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil
kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi
yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul
Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia.
Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang
berhubungan dengan MDR-TB secara tidak langsung. Diagnosis TB-Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan
pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar
diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk
dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan
dalam tulisan Nita Yuniarti R.
Achmad Hudoyo Sp P(K)1 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1
Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2
Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini.
Data yang diperoleh pada penelitian ini memperlihatkan bahwa responden terbanyak adalah kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun ).3
Data yang dikeluarkan oleh Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi
tersebut tentu saja akan sangat berdampak pada perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat.20
Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu
33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC Sedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.
2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003.
3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.
4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of the FASTPLAQUETB Assay for Direct Detection of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40.
5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test, FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 – 37.
6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J, Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric
assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 6
7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and
Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008. p.164.
8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.
www.fk.ui.ac.id 2008.
9. Pai M, Kalantri SP. Bacteriophage-based tests for
tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149-50.
10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL.
Bacteriophage- based tests for the detection of
Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and meta analysis. BMC Infect Dis, 2005;
5(59).
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman
Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan
Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13-
14,17,21.
13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I,
Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro:
Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta
: CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.
14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The
Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18.
15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa
Mycobacterium culture method modified for higher
sensitivity employing concentrated samples. Tropical
Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.
16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple
method to differentiate between Mycobacterium
tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly
on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 2007; 38(1): 111-4.
17. Biotec Laboratories Ltd. FASTPlaqueTBTM a rapid
bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium
tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available
from: www.biotec.com.
18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa
(Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit
paru pati). Undip website. 2006. Hal. 2. http://
eprints.undip.ac.id/5283/.
19. Suharjana BS, Kristiani, Trisnantoro L. Pelaksanaan
Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten
Sleman. KMPK Universitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/
/www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/
No.3_Bambang_S_01_05.pdf.
20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
2009.
21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB
paru – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktorfaktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.
22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14
Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven
other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis
- application for identification and susceptibility testing.
Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42.
23. Stella EJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages
as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria
and development of simple methods for diagnosis of
mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología.
2009; 41: 45-55.
24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish
alive and dead mycobacteria by fluorescent staining— a
trial for solving the biohazard problem in TB laboratories.
Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit
kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia
termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar
manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit
ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru
Tbdengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara
berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan
kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan
telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut
pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus
dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan
Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan
kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun
pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil
menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka
kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah
kesulitan penemuan penderita TB paru BTA(+),
ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus
TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber
penularan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup
sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,
pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan
dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman,
perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan
orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi
masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang
akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,
sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.
Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis
seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena
dengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidak
langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan
dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan
meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU
(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
Nita Yunianti Ratnasari
AKPER Giri Satria Husada Wonogiri
semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita
penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi
tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak
berdaya dan putus asa, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya status
kesehatan berarti akan meningkatkan kualitas hidup
penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai
andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan,
dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap
penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut
dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau
keluarga penderita.
Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama
untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti
morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara
berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi
penyakit kronis mulai menggantikan dominasi penyakit infeksi
di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama,
namun dengan membawa beban penyakit menahun atau
kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian
pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini
adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi
berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB
paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan,
misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak
berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera
menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat
menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan
dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada
kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial
yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal.
Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial
dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta
pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita
penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji
kedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)
dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena
selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi
7 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat
untuk mengembangkan berbagai penelitian yang
berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4
Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka
penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut
paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada
periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%,
penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya
dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB
paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta
besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas
hidup penderita TB paru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental
yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan
rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50
orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran
yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis
medis menderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif
program pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT Kategori
I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat
membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian
kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April
2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis
korelasi Product Moment Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Penderita TB paru yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata
21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahun
dan usia 41–50 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7
orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuan
berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang
(46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%)
tamat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan
responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak
tamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%).
Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak
bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat
pengobatan sebanyak 33 orang (66%) responden
menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan
pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.
2. Dukungan Sosial
Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang
pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan
sosial tersebut. Sebanyak 18 orang (36%) mendapat
dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori
sedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%)
dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para
penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak
saudara dan tetangga.
3. Kualitas Hidup
Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek
yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan,
dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%)
dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas
perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan
tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat
melakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang
(18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan
bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak
mampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali.
Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar
waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta
4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa
sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan
kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita
yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak
6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang
mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak
40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%)
betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis
besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup
baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya
ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.
4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Kualitas Hidup
Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct
MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r
sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan
yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima, maka kualitas hidup juga semakin meningkat.
Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 8Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan
Kualitas Hidup
Hasil analisis dengan korelasi Pearson antara
karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan
kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis :
variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077;
p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141;
p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari
analisis tersebut diketahui bahwa variabel umur dan
pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang,
masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan
tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada
hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan
kualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin,
pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan
hubungan bermakna dengan kualitas hidup.
Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik
responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat
variabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378;
p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas
hidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin (â=0,260; p=0,753),
pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=–
6,25; p=0,417) tidak memberikan kontribusi terhadap
kualitas hidup penderita TB paru.
PEMBAHASAN
Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program
pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran
terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar
52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia
dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderita
TB paru berada di negara berkembang, dimana 75%
diantaranya adalah usia produktif.
Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan,
yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa
yang menyatakan bahwa laki- laki mempunyai
kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru.
Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak
melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh
penyebab penyakit ini.
Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA
sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan
lebih tinggi akan sadar tentang perilaku sehat dan
pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik
tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan
lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi
Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI
Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya
tingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya
pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar
penderita yang masih membuang dahak serta meludah
sembarang tempat.
Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa
sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa
responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal
dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di
lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap
penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan
mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang
terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan
hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,
mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat
penghuninya akan kekurangan O2
sehingga menyebabkan
menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya
penularan penyakit.
Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66%
penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah
menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih
memilih untuk berobat di instansi tersebut dengan
pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal
ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam
menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan.
Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi
oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan
yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan
kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga
diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita
agar teratur berobat sesuai dengan jadwal sampai
tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya
banyak penderita yang tidak tekun menyelesaikan
pengobatannya.
Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian
ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan
dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita
TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup
mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar
penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit
kronis, sebab dengan dukungan tersebut akan
mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa
9 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada
akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhir
tergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderita
menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan
normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu
bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB
paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering
ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat
malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satu
minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden
menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian
sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain.
Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti
mengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan
salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas
fungsional.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu
terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden
merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang
merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan
oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.
Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi
penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya
nafsu makan, napas pendek serta sering flu.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan
teman-teman diperoleh sebanyak 43 orang (86%)
menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain
dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau
dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari
keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit
yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru
mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik
mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana
orang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak
dengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya,
dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak
keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan
penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum
obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga
dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan
kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam
minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.
Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita
mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan
dengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besar
responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah
yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru
dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan
yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang
yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh
petugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum
seluruh obatnya diharapkan akan sangat membantu
penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung
proses penyembuhannya.
Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan
yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif
menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka
kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai
dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah
satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan
sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu,
dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self
esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang.
Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan
kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05).
Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya
kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya
umur.
Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai
(â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal
Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata
tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal
ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik.
Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup
lebih jelek dibandingkan perempuan.
Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai
pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi
sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat
pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan,
sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh
terhadap perawatan kesehatannya.
Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan
kualitas hidup penderita diperoleh (â=–0,155; p=0,260).
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 10Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi
terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Hal ini
dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam
penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak
50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi
lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga
jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak
mewakili profesi.
Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada
hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitas hidup
penderita TB paru, didapatkan nilai (â=–6,25, p=0,417).
Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan
ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program
pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk
menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi
dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel
umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin,
pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta : Hal : 715–719. 1990.
Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset :
Houghton Mifflin. Princetor. 1990.
BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 Unit
Minggiran. Yogyakarta. 2003.
Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London
: Academic Press Inc. 1985.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2nd
Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.
Depkes RI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakan
ke-5. Jakarta. 2000.
Depkes RI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”.
Jakarta. 1994
Depkes RI., “Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan
Penanggulangannya”. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta.
1999.
Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch
Pulmonum Orang Dewasa”. Majalah Radiologi Indonesia Tahun
ke-2, No 2 : 31–35. 1991.
Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil Pengobatan
TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. Cermin
Dunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002.
Hamdani, F., “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan
Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FK
UGM. Yogyakarta. 1994.
Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB
Paru”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002.
Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5
Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/
lain-lain/zainuddin.htm.2002
Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita Selekta
Kedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. Rineka
Cipta : Jakarta. 1996.
Sugiyono., “Statistik untuk Penelitian”. Bandung : CV.
Alfabeta. 1999.
Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal –
Bedah, Brunner & Suddarth / editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta :
EGC. 2001.
Siswanto, A., “Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal
Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK
UGM Yogyakarta. 1992.
Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di
RSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. 2001.
Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi
Menahun (PPOM) di RSUP Dr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”.
KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.
Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit
Sardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.
WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHO Regional For
South East Asia. 1993.
Woerjandari, A., “Manajemen Pengobatan Penderita
Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan
BP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. 2001.
11 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan pasien
tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh
pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan
penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei
prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB
BTApositif secara nasional 110/100.000 penduduk.
Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia.1
Diagnosis TB paru yang digunakansaat ini secara rutin
dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah
diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri
tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur
untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan
waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh
hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk
kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya.
Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif
cepat tetapi sensitivitas dan spesifitas teknik ini lebih rendah
dibanding dengan teknik kultur.2
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan
laboratorium dan uji tuberkulin.1
Pemeriksaan mikrobiologis
yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan
pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB,
meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai
keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop
memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan
untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang
merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100
kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sputum mempunyai
sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang
memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran
klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa
RAPID TB TEST
Apri Lyanda
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil
kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggu
dengan angka sensitivitas 18– 30%. Foto polos toraks
memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada
negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di
lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka
kemungkinan TB paru 80–85%.4
Oleh karena terdapat
beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan
alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan
spesifitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik
yang konvensional.3,5
SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB
Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala.
Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang
belakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa dari
tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri
penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB
adalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawi
berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad
kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin
(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB
adalah penyakit menular tetapi penyebabnya belum
diketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882
menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah
penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan
stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting
dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum
penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895
menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis
TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis
lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini
disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan
kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama
Mantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis
TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga
sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih
ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat
dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 12DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS
Diagnosis cepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosis
cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB
secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur
dan identifikasi fenotipe. Meskipunmetoda tercepat,
termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan
tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (45–80%
kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di
daerah dengan insidensTB rendah dan pada bentuk
ekstrapulmoner TB serta pada pasien terinfeksi
HIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baiktetapi
nilai prediktif positif yang rendah (5–80%) didaerah dengan
insidens tinggi M. non-TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggap
sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas
lebih baik dibanding pemeriksaan BTA.
Pertumbuhan lambat bakteri M.tb merupakan
hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit. Dua dekade
terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui
penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec
460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks
Amerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux,
Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton
Dickinson Diagnostics dan VersaTREK produksi Trek Diagnostic
System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut
masih membutuhkan waktu beberapa minggu untuk
mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan
waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe
kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat
iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik
sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis
cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini.
Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Metoda kromatografi
Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan
deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun
dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel
mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif
telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah
fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11
Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.
Dikutip dari (2)
Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb
dan deteksinya memerlukan diagnosis banding antara spesies
Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga
memiliki asam dan jenis lipid yang sama. Diantara komponenkomponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan
TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11
Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk
identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan
antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif
bermakna untuk diagnosis cepat TB.12
Metoda Fagotipik
Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan
afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan
untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe
bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat
penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat
klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan
bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter
Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB).
Perbedaan terpenting antara ke-2 metoda ini adalah
mengenai deteksi sel mikobakterium yang terinfeksi
bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan
pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux)
yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan
PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan
setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada
M. smegmatis.
13-15
Luciferase Reporter Phage Assay telah terbukti
bermanfaat untuk membedakan M. tbdari kultur dan
terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan
rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan
dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk
mendiagnosis TB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah
diteliti untuk uji sensitifitas terhadap antimikrobaM. tb. Teknik
ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit
latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas
yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin
metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi
mengenai manfaat dalam diagnosis TB atau deteksi resistensi
obat antituberkulosis (OAT).14-16
Metoda Genotipe
Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia
untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakterium.16
Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis
molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis
M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi
yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam
13 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa
keuntungan seperti waktu kembali yang cepat dan
kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul
saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan
klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitas pada sampel
apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18
Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas
dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal
ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan
kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya
menggunakan kultur sebagai baku emas yang secara teoritis
memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi
NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada
kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa
kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan
menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan
terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa
tuberkulosis menyatakan bahwa:
a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan
M.tb pada 50–85% sediaaan BTA apus negatif dan
kultur positif
b) nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positif
lebih tinggi (>95%)
c) secara umum, metoda molekuler ini dapat
mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal
dibandingkan kultur pada 80–90% pasien dengan
kecurigaan TB yang tinggi.19,20
Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non
komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan
amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai
target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau
MBP64. Meskipun uji amplifikasi non-komersial telah
berkembang pada beberapa tahun terakhir yang
direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang
memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih
baik.20Semua metoda NAA membutuhkan analisis
postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis
fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, restriksi atau
sekuensing.18,20Untuk diagnosis TBmetoda yang paling
berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji
hibridisasi(Tabel 1).
Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase Chain
Reaction (PCR)
Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System
Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat
tertua berdasarkan PCR standar. Uji ini adalah uji DNA yang
mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16S dilanjutkan
dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat
diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh US Food
and Drug Administration (FDA) untuk digunakan pada
sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA(+).21
Berbagai studi telah melaporkan sensitifitas yang tinggi pada
spesimenapussaluran pernapasan positif (87–100%), lebih
rendah pada kasus apus negatif (40–73%) dan sampel
ekstrapulmoner (27–98%). Spesifisitas metoda ini berkisar
antara 91–100%.20,21
Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA)
AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen-Probe
Inc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakan
metoda isothermal cepat dengan suhu 420Cdengan
amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar
transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA
menjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscent
untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNA
spesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertama
yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran
pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi
FDA diperluas hingga sampel apus negatif.21 Saat ini terdapat
bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95–
100%) dan sensitifitas tinggi (91–100%) untuk sampel apus
saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah
untuk sampel apus negatif (65–93%) dan ekstrapulmoner
(63–100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya
kontrol amplifikasi internal (AIC) dan tidak terdapat
kemungkinan otomatisasi.20,21
Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR)
Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi
DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampel
klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M.
tb. Meskipun spesifisitas (90–100%) dan sensitifitas (65–
90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel
pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun
2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena
ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan
Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi
Uji
Cobas amplicor
AMTD
LCX
BD Probe Tec
Innolipa
Genotype MD
RT –PCR
GeneExpert
GeneQuick
Metoda
amplikasi
PCR
TMA
LCR
SDA
Neste-PCR
NA-SBA
Real time PCR
Real time PCR
PCR
Target
16sRNA
16sRNA
PAB
IS6110- 16sRNA
rpoBgene
23sRNA
16sRNA
rpoBgene
IS6110
Deteksi
Kolorimetrik
Semiluscent
Fluorimetrik
Flourimetrik
Kalouimetrik
Kalorimetrik
Fluorimetrik
Fluorimetrik
Kalorimetrik
Vol
sampel
(ul)
100
450
500
500
500
500
10- 100
1.000
50
Waktu
paruh
(jam)
6- 7
2- 5
6
3,5- 4
12
5,5
2- 3
2
2,5
Automatis
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
IAC
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Dikutip dari (20)
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 14harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di
produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.
Strand Displacement Amplification (SDA)
Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik
semiotomatis dalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas.
Metoda ini merupakan proses amplifikasi enzimatik isotermal
menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa
salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16S yang produk
amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasi
pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90–
100% pada sampel apus positif dan 30–85% pada sampel
apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90–100%).20 Alat
uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.
Uji Hibridisasi Fase Padat / solid-phase hybridization
assay
Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji
hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan Hain
Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan
mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk
mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain
dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi
Mycobacterium Others Than Tuberculosis (MOTT) antara lain
M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense.
21
Real Time PolymeraseChain Reaction(RT-PCR)
Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan
berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki
sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan
masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini
dikarenakan proses setelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung
tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR
sudah banyak memproduksi seperti Cobas TaqMan MTB test
buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan
spesifisitas umum yang tinggi, terutama pada sampel saluran
napas. Diantara berbagai alat yang telah diprodusi
menggunakan teknik ini, GeneXpertbuatan Cepheid,
Sunnyvale Amerika dan FIND Diagnostics, Jenewa Swiss baru
saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semi
kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi
pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge
sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari
2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk
menggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakan
sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran
pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh,
WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji
diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien
dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorang
dengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21
Gambar 2.
Alat diagnosis
cepat genexpert
Metoda baru lainnya
Loop mediated isothermal amplification (LAMP)
buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics,
Genewa, Swiss adalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif
baru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target
DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produk
amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau
kolorimetrik dan fluorimetrik. Meskipun memiliki
keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikan
hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat
hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat
bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21
Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan
saluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan Hain
Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi
lanjutan.21
Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB
Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan
dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat
lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb
jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai
banyak keuntungan dan hasil akhirnya lebih murah.
Penelitian yang dilakukan WHO di beberapa negara
berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih
banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasi
pembiayaan yang lebih murah ini terus dilakukan oleh WHO
untuk memcepat diagnosis M.tb maupun MDR-TB.
Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus
dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert dengan
metoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21
Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Dikutip dari (21
15 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8MODS
MGIT
BACTEC
L J
Microagar
MABA
PCR-RT
BTA sputum
0,77
7,00
2,55
0,14
0,29
1,23-2,43
0,90
0,10
1,72
35,02
12,75
1,60
1,60
5,62
1,80
63,03
23,00
1,57
2,92
6,87
Metoda Uji Biaya
(US$)
Uji resisten
2 obat
Uji resisten
4 obat
Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB
Dikutip dari (18
Kesimpulan
1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman
M.tb kurang dari 1 jam
2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan
bermacam metoda
3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya
dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara
automatisasi
4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan
WHO adalah PCR-RT
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14.
2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CE Barry. Confronting
the scientific obstacles to global control of tuberculosis.
J Clin Invest. 2008;118:1255-65.
3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce
de León A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacterium
tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast
bacilli. Lancet. 1999;353:444-9.
4. American Thoracic Society; Centers for Disease Control
and Prevention; Council of the Infectious Disease Society
of America. Diagnostic standards and classification of
tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care
Med. 2000;161:1376-95.
5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics,
laboratory detection, and staining procedures. In: Murray
PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.
Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington
DC: ASM Press; 2007. p. 543-72.
6. Vincent V, Gutiérrez MC. Mycobacterium: Laboratory
characteristics of slowly growing mycobacteria. In:
Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller
MA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed.
Washington DC: American Society for Microbiology;
2007. p. 573-88.
7. Salfinger M, Pfyffer GE. The new diagnostic
mycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol Infect
Dis. 1994;13:961-79.
8. Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB.
Identification of Mycobacterium tuberculosis and M.
aviumcomplex directly from smear-positive sputum
specimens and BACTEC 12B cultures by high-performance
liquid chromatography with fluorescence detection and
computer- driven pattern recognition models. J
ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7.
9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis
of fatty acids in sputum from patients with pulmonary
tuberculosis using gas chromatography- mass
spectrometry preceded by solid-phase microextraction
and postderivatization on the fiber. J Chromatogr A.
2009;1216:1450-7.
10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method
for the identification of Mycobacterium tuberculosis in
sputum and cultures based on thermally assisted
hydrolysis and methylation followed by gas
chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A.
2009;1216:6319-25.
11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH,
et al. Evaluation of an immunochromatographic assay
kit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosis
complex in clinical isolates. J ClinMicrobiol. 2009;47:481-4.
12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G,
Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilities
of Mycobacterium tuberculosis by means of luciferase
reporter phages. Science. 1993;260:819-22.
13.Alcaide F, Galí N, Domínguez J, Berlanga P, Blanco S,
Orus P, et al. Usefulness of a new mycobacteriophagebased technique for rapid diagnosis of pulmonary
tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71.
14.Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A.
Bacteriophage- based tests for the detection of
Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis.
2005;5:59.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 1615.Galí N, Domínguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F, Coll P,
et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapid
assessment of susceptibilities of Mycobacterium
tuberculosis isolates to isoniazid and influence of
resistance level on assay performance. J ClinMicrobiol.
2006;44:201-5.
16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R,
Godfrey-Faussett P. Development of a bacteriophage
phage replication assay for diagnosis of pulmonary
tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20.
17.Alcaide F. New methods for mycobacteria identification.
EnfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7.
18.Domínguez J, Blanco S, Lacota A, García-Sierra N, Prat
C, Ausina V. Utility of molecular biology in the
microbiological diagnosis of mycobacterial infections.
EnfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41.
19.Palomino JC. Nonconventional and new methods in the
diagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability in
the field. EurRespir. 2005;26:339-50.
20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh
N, et al. A systematic review of rapid diagnostic tests
for the detection of tuberculosis infection. Health Technol
Assess. 2007;11:1-96.
21.Polomino JC. Molecular detection, identification and drug
resistance detection in Mycobacterium tuberculosis. J
Med Microbiol. 2009;56:103-11.
17 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8MEROKOK DAN TUBERKULOSIS
Agung Ari Wijaya
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Merokok dan tuberkulosis(TB) merupakan dua
masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak
ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS
meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di
seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari
satujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakau
khususnya merokok, secara luas telah diakui sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab
kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada
tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan
meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok di
dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan
sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7
milyar perokok pada tahun 2025. Sebanyak 65–85%
tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk
rokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2
Data World Health Organization (WHO) menunjukan
Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar
ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika.
Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi
ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah
perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok
Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir.
Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000–2008
adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkan
dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler,
diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis,
impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan lain-lain.
2,3 Paru
merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah
akibat merokok. Hubungan antara merokok dan TB pertama
kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanisme
yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak
penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4
MEROKOK
Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa
Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya
pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal
Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang
kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga
menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan
masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa
belanda roken. Merokok adalah tindakan seseorang
menghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok telah
dibicarakan dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukan
para ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok
dan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok dan
orang disekitarnya. World Health Organization
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat
merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa
di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari
benua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari
80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi pada
negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7
Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia
yang memiliki berbagai efek racun, mutagenik dan
karsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasi
dalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan
berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan
ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan
gas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalah
nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida,
formaldehid, akrolein, aseton, benzopyrenes,
hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zat
yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun
tar dan nikotin telah terbukti imunosupresif dengan
mempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari pejamu
dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahan
farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi
adalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangat
mudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringan
paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan
obat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untuk
menggunakan, terdapat efek psikoaktif dan terbiasa
menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan
nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8
Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian
secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di
seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktor
risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 1819 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu
serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dan
kanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebab
utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti
merokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat
individu dan sosial. Mengingat prevalens merokok upaya besar
telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untuk
membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi
untuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam.
Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan
menghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secara
psikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuk
tujuan tersebut.10
Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan cara
merokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain dan
perokok aktif lebih menimbulkan beragam penyakit
dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif
secara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacam
penyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia,
lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakau
terbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan
8% perempuan diatas usia 15 tahun merokok, berbeda dengan
37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negara
berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal di
hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika
Serikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsi
per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perhari
dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah
menurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika,
Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan tinggi lain.
Sebaliknya, prevalens merokok pada laki-laki meningkat tajam
di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah
seperti Cina dan Indonesia. Peningkatan yang nyata terjadi pada
laki-laki usia muda. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki
berhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalam
hal prevalens penggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkat
atau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan.
Penelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yang
nyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.11-
13 Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab
kematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakan
bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematian
pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar
peningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakau
akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Studi
yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan
dengan 1–4 batang perhari ternyata tetap meningkatkan angka
kematian.9,14,15
Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telah
menurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orang
Amerika adalah perokok. Pada tahun 2004 sekitar 21% orang
dewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokok
menjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahun
sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggal
akibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yang
berhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dan
kehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerika
per tahun.8
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia.
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan
lebar 3µ, tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob.
Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya
misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi
warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak
dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada
dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur
ini menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga
mengurangi efektivitas terhadap antibiotik.
Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel
mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup
di dalam makrofag.16
Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB
sebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyak
menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian
terutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan
insidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,5–9,2 juta), 1,1 juta
(0,9–1,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif
ditambah 0,35 juta (0,32–0,39 juta) penderita TB dengan
HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus
baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi
dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat
infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan),
termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700
kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan
ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh
persen kasus TB aktif yang ditemukan di 22 negara
berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55%
kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban
kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat,
di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbang
lebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008.
Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup denganHIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudah
terinfeksi cenderung resisten terhadap obat dan
meningkatkan angka kematian. India menempati urutan
pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang
sekitar seperlima dari seluruh jumlah kasus di dunia dengan
angka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian
di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta),
Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan
Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi
penurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/
100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi
dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di
Nigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dan
diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus TB baru
setiap tahun jauh lebih besar dari standar yang
direkomendasikan WHO yaitu sebesar 3%.3,16-18
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yang
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologi
dengan pemeriksaan standar foto toraks PA (posteroanterior),
pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic,
oblik atau CT-Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya
diantaranya analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologi
jaringan dan pemeriksaan darah. Gejala klinis TB dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,
bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batuk
darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat
bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi
TB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi “cold abscess”.1
PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI
Rokok telah menunjukkan dampak yang luas terhadap
mekanisme kekebalan inangnya. Terdapat banyak penelitian
kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok,
kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi,
kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi
penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama
melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi
dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus,
memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara
langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan
permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan
mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi
epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan
bentuk sel epitel.1,19
Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi
dan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag
mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag
alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan
mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi.
Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel
epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator
proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species
(ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan
mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan
inflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokok
berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk
memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang
sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan
alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik
(DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan
risiko, keparahan dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam
hubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá menjadi
lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag
untuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan
untuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasi
secara kimiawi dari matriks ekstraseluler, peningkatan retensi
sel T CD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor
sekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 20agregasi limfosit dengan sel T dan sel B bisa terbentuk pada
sisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan
menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahanan
mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang
terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19
Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok
Dikutip dari (19)
Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran
dalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobial
dan proteksi anti tumor. Hal ini dilakukan dengan
sitotoksisitas langsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin
pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi
menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan
aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan
perokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitas sitotoksik
danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan
demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan
risiko infeksi dan kanker. Pada paru sel dendritik (DCs)
merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan
untuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada
langsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan
bahwa jumlah DCs berkurang pada sebagian besar jalan napas
pasien ppok yang merokok. Setelah berhenti merokok jumlah
DCs makin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat
yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan
terdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe
sistem pajanan rokok. Proses otoimun berperan pada
timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok.
Merokok juga dapat menurunkan level semua kelas
imunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan coba
didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen
berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS
Hubungan antara merokok dan TB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1918.Mekanisme pasti yang
menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya
dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan
saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi
TB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yang
membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru
memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah
kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat
mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru
yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi
fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang
merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah
ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin
proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat
penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi
kuman termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan
bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh
terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif
berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak
dan usia muda.4,20,21
Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160
kasus antara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan
bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap
pemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yang
sedang mendapat terapi obat antiTB. Penelitian lain
menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita
TB yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien
BTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di India
pada bulan September 2004 hingga Agustus 2005
didapatkan peningkatan terjadinya infeksi TB pada perokok
sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak merokok dan
berhubungan dengan jumlah rokok, indeks massa tubuh dan
status sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah
rokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24
Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai
merokok sebagai faktor risiko untuk infeksi TB. Di antara
yang paling penting adalah prevalens rendah infeksi TB pada
populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di
Amerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi pada
populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada
faktor risiko lain untuk TB seperti HIV, tunawisma, peminum
alkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko TB. Saat
ini lebih dari 50% pasien TB di Amerika berasal dari beragam
negara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktorfaktor risiko untuk TB berbeda antara penduduk pendatang
dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan
terhadap penduduk asli dan pendatang di Australia
menunjukkan bahwa angka kejadian TB cenderung lebih
tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan
sosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan
merokok yang tinggi.9,25
21 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan
hubungan antara merokok dan TB, banyak dari mereka
didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitianpenelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti
desain kasus control atau potong lintang ukuran sampel
kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol,
infeksi HIV dan faktor yang berpengaruh lainnya. Di
HongKong merokok dan TB merupakan dua kondisi yang
umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada
laki-laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki
dewasa adalah perokok aktif dan kejadian TB sebesar 100
per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada
laki-laki dengan usia diatas 65 tahun. Merokok berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan TB.
Studi dengan hewan coba tikus yang mendapatkan
pajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksi
interferon ³(IFN ³)oleh sel T akan menurun dengan
penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN ³
pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. Studi ini
memberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokok
secara langsung menghambatr esponsselT untuk M. TB dan
virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27
Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangat
tinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu
mereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan mirip
dengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok
memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi
risiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban
kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa
mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. Risiko
TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang
berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting
dari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokok
bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian
akibat TB di Taiwan (37,7%). Pengendalian penggunaan
tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi hampir
sepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yang
telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak
kesehatan yang besar pada peningkatan kesehatan
masyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara seperti
Cina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angka
kejadian TB lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan
untuk mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatan
pengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhenti
merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua
pertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta
kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penanganan
yang baik terus dilakukan. Merokok secara substansial
memperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayat
infeksi TB, kematian pada penderita yang merokok dilaporkan
sebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.
21,28 Sebuah
penelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadap
penderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemen
vitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalam
kejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupan
vitamin E. Vitamin A dan E tidak meningkatkan respon imun
pada penderita TB yang merokok. Penelitian ini menemukan
bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapat
meningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-laki
perokok. Sebaliknya vitamin E tampaknya cenderung
meningkatkan kejadian TB pada peserta yang merokok berat
dan telah mendapatkan diet asupan vitamin C sebesar 90mg/
hari atau lebih .29
KESIMPULAN
1. Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang
penting dinegara maju dan negara berkembang.
2. Asap rokok memiliki efek baik pro-inflamasi dan
imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan.
3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacterium
tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian
pada penderita TB.
4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis
control dan mengurangi kematian pada penderita TB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F,
Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure to
tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42.
2. Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of
tobacco smoking on human health besides the oral
health ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84.
3. World Health Organization. WHO report on the Global
tuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011
November 17). Available from: URL: http//
www.whqli bdoc.who.int /publ icat i ons/2011/
9789241564380_eng.pdf.
4. Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan
WM, et al. Passive smoking and tuberculosis. Arch
Intern Med. 2010;170:287-92.
5. Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience,
Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation.
2009.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 226. Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ.
Excess lung function decline in gold miners following
pulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5.
7. PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan
untuk dokter Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12
8. Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking and
innate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497–503.
9. Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P,
Davison P, Moore L, Thompson S. Smoking cessation
in indigenous populations of Australia, New Zealand,
Canada, andthe United States: Elements of effective
interventions. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2011;
8: 388-410.
10. Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacy
of pharmacotherapies forshort- term smoking
abstinance: A systematic review and meta-analysis.
Harm Reduction Journal. 2009; 6:25.
11. WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/
2008.393. Geneva: World Health Organization;2008.
Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/
globalreport/2008/en/index.html(Accessed September
9, 2011).
12. Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality from
smoking in developed countries, 1950–2005. University
of Oxford Clinical Trial Service Unit [online], http://
www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009).
13. Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning
A, Gupta P, et al. Tobacco and tuberculosis: a qualitative
systematic review and meta-analysis. International
Journal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 1049-
61.
14. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and
tuberculosis in China: intervention is needed for
smoking cessation among tuberculosis patients. BMC
Public Health. 2009; 9:292.
15. Bjartveit K, Tverdal A. Health consequences of smoking
1–4 cigarettes per day. Tobacco Control. 2005;14:315–
20.
16. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19
17. Udwadia F, Finto L. Why stop Tb is uncomplete without
quit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10.
18. Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default among
tuberculosis patients on directly observed therapy in
rural primary health care centres in Ogun State, Nigeria.
Journal of Infectious Diseases and Immunity.2011; 3(5):
90-5.
19. Stämpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews
immune responses topromote infection, lung disease
and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9
20. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor
air pollution and tuberculosis: A systematic review
and meta-analysis. PLoS Medicine.2007:173-89.
21. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai
SP. Ther reduction of Tuberculosis risks by smoking
cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156.
22. Siddiqui UA, O’Toole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N,
Kane M, et al. Smoking prolongs the infectivity of patients
with tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80.
23. Batista J, Pessoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smoking
increases the risk of relapse after successful tuberculosis
treatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51.
24. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A casecontrol study of tobacco smoking and tuberculosis in
India Ann Thorac Med. 2009;4(4): 208–10.
25. Davies P, Yew W W, Ganguly D, Davidow AL, Reichman
L, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: the
epidemiological association and immuno pathogenesis.
Transactions of the royal society of tropical medicine
and hygiene . 2006; 291-8.
26. Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, et
al. Smoking and tuberculosis among the elderly in Hong
Kong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 1027–33.
27. Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X,
et al. Exposure to cigarette smoke inhibits the
pulmonary T-Cell response to influenza virus and
Mycobacterium tuberculosis infection and immunity.
2011;79(1): 229-37.
28. Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effects
of smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer,
and tuberculosis in China: a time-based, multiple risk
factor, modelling study.Lancet. 2008; 372(9648):
1473–83.
29. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may
transiently increase tuberculosis risk in males who
smoke heavily and have high dietary vitamin intake.
British Journal of Nutrition. 2008;100:896–902.
23 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS
Arief Riadi
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
The World Health Organization (WHO) memprediksi
bahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immuno
deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) paru
sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yang
diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun
membatasi multiplikasi basil tuberkel 2–12 minggu setelah
infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahuntahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI).
Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak
menularkan. Tuberkulosis paru dapat berkembang segera
setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari
LTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar
1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan TB-HIV(Human
Immunodeficency Virus).1
Kasus TB paru di Amerika rata-rata menurun menjadi
46 kasus baru TB paru per 100.000 populasi (total 13767
kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi
prevalensi kasus LTBI 4.0% pada seluruh populasi. Persentase
kasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003)
menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB paru
dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7%
(2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikan
kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil
pemeriksaan HIV.2
Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB
paru aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil
observasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif pada
orang dengan infeksi HIV berkisar antara 35–162/1000 orang/
tahun observasi.2
Pada daerah endemik TB terdapat
hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation)
dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang dengan
HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitas
kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma
dapat meningkatkan risiko terkena TB paru.3 TB paru menjadi
penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksi
HIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negara
meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah
diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan
diagnosis TB paru mungkin menjadi kontributor yang penting
dalam menyebabkan tingginya angka kematian.16
Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB
paru per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIV
diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional
(berdasarkan laporan WHO 2007). Survei yang dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien
dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS
(Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas
(Lembaga Pemasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukan
TB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS
di RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan
gambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertama
tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta
menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura
menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40
pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI (Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) di Jakarta sejak 2004–
2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan TB
paru dengan faktor risiko antara 3–5% dan prevalens pada
pasien Tb paru antara 5–10% dengan kecenderungan
meningkat setiap tahunnya.18
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
Human Immunodeficiency Virus adalah virus
sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya
HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA
(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases
(kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer
di Institut Pasteur Paris tahun 1983 disebut HIV-1.
Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo
di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984.
Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika
Barat.4
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV
memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2
protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di
sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran.
Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon
V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 24awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41
bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi
(Gambar 1).4
Gambar 1. Struktur HIV
Dikutip dari (4)
CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk
terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap
HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh
yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel
limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada
reseptor CD4 limfosit-T setelah penempelan terjadi fusi kedua
membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus
masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4
PATOGENESIS TB-HIV
Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali
interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan
reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang
mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit,
mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan
dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan
CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor
kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya
sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan
chemokine reseptor 4 (CXCR4).4
Proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadi
perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIV juga
membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock
protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan
limfosit T terpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai
perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43
(sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang
terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit
T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitas
limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV akan menginduksi T-helper
1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1â, IL-2, Tumor necrosis
factor (TNF)-á dan Interferon (IFN)-ã sehingga kadar didalam
darah meningkat.4
Human immunodefisiency virus yang berada di dalam
limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43
dan akan menginduksi pembentukan kompleks T-cell reseptor
(TCR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhi
HIV menjadi lebih aktif. Produksi HIV selama infeksi mencapai
109
-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya
pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai
500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus
meningkat akan berusaha menyerang limfosit T-CD4
berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatis kadar
CD4 sampai kurang dari 1000/mm3
dan naik kembali saat
serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/ìl
setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui
batas kritis d” 200 sel/mm3
berarti telah memasuki stadium
AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik
dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4
e” 500 sel/mm3
) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d”
200 sel/mm3
). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari
waktu ke waktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendah
membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi
klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4
Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS
Dikutip dari (4)
Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb
yang akan mengekspresikan TNF-á bersamaan dengan
Monocyte Chemotactic Protein 1 (MCP- 1) yang
mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat
(LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á menginduksi
replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB
di sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan
infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M.
tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T
limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam
sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T
limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat
menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1
(Gambar 3).8
25 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Gambar 3. Patofisiologi TB-HIV
Dikutip dari (8)
GEJALA KLINIK HIV
Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi
virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hinggga
manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagi
menjadi 4 tahap yaitu :4
1. Tahap pertama
Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul
gejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu
pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih,
nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran
kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua
Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala
dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama
6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi tetapi penderita masih normal.
3. Tahap ketiga
Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih
spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan
menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran
napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas
meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat
tidur.
4. Tahap keempat
Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang
muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih
1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy
leukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempat
tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir.
Dapat terjadi berbagai macam infeksi berupa
pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis otak, penyakit
sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada
esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti
histoplasmosis. Dapat juga ditemukan keganasan
termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma
kaposi.
Derajat dan berat penyakit ditentukan sesuai
ketentuan WHO melalui stadium klinik pada orang dewasa.
Diagnosis AIDS di Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif
dan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satu
gejala minor (Tabel 1).4,5
Berat badan menurun lebih 70% dalam satu
bulan.
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan saraf
Enselopati HIV
Batuk menetap lebih satu bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
perempuan
Retinitis karena virus sitomegalo
Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV
Gejala Karakteristik
Mayor
Minor
Dikutip dari (8)
DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB
paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari
gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya
menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan
obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid
dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,
namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16
a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)
Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya
diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI
menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/
µL) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI
seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 26ART dan kadar CD4+ e � 200 cell/µL. Pada umumnya uji rutin
untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV
yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau
terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan
faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor
risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV
dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan
evaluasi klinik untuk TB aktif.8
Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua
pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux,
dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan
indurasi e” 5 mm yang timbul setelah 48–72 jam setelah
penyuntikan secara intradermal 0,1 mL. Sekarang ini
penggunaan metoda in vitro dengan mendeteksi IFN-”
dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides
telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9
Gambar 4. Diagram alur diagnosis LTBI-HIV
Dikutip dari (10)
Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron
Gamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggi
spesifitasnya (92–97%) dibandingkan dengan Tuberculin
Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 56–95%, hubungan korelasi yang
baik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dan
kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus
Calmette-Guerin (BCG) atau terpajan nontuberculous
mycobacteria lainnya dibandingkan dengan TST.11,15
Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TST
dan IGRAs dapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi
terjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasil
IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjutnya
imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang
secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks.
Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji
diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada
keadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat
terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur
seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan
gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/µL dengan
lesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto
toraks dan tidak ada riwayat terapi sebaiknya
dipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dari
uji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi
empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14
b) Diagnosis TB Paru Aktif
Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB
seharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yang
merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit.
Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari
pasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks.
Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit
ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan.
Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi hari
dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebih
dari ¼ dari pasien HIV dengan penyakit TB paru menunjukkan
hasil negatif palsu.12
Serostatus HIV tidak mempengaruhi hasil dari
pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih
sering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasil
dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal
dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien
imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidak
terinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebut
Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada
spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam
proses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak positif.
Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikan
TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negatif atau
penyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harus digunakan
dan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9
Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi
jarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan
pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari
mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda
penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil
27 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Test for LTBI (e.g., tuberculin
test or interferon- release
assay) in HIV-infected person
Contact to a case of
active tuberculosis
Negative Positive
Chest radiography
Clinical evaluation No Yes
CD4+ T-lymphocyte count > 200
No Yes
Retest for LTBI
once ART started
and CD4+ Tlymphocyte
count > 200
Treatment for LTBI not
indicated
Retest annually if on
going high risk of
tuberculosis exposure
(endemic area,
congregate setting, etc.)
No symptoms
and normal chest
radiograph
Symptoms (e.g.,
fever, cough,
weight loss) OR
abnormal chest
radiograph
Evaluate for active tuberculosis
(obtain samples for AFB smear
and culture)
Alternative cause
identified for symptoms
and abnormal chest
radiograph
Active tuberculosis
excluded with negative
smears and cultures in
the setting of low
suspicion
Moderate to high
suspicion or
evidence for active
tuberculosis
Initiate four-drug
regimen for active
tuberculosis
Initiate treatment for LTBIJurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 28
positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum
halus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakit
mikobakterium namun tidak selalu TB.16
Tujuan utama algoritma diagnosis adalah membantu
keputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi dan
mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.
Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada
diagnosis TB paru dengan HIV/AIDS dan akan membantu
penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan
pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 2–3
minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19
Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasien
rawat jalan
Dikutip dari (19)
Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk
ke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap.
Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera maka
pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan
pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil
pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan
apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi
HIV yang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosis sesuai
dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan
pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi
maka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19
Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengan
kondisi jelek
Dikutip dari (19)
GEJALA KLINIK TB-HIV
Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat
dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6
Pada pasien terinfeksi
HIV dengan CD4+ > 350 cell/µL gejala klinik TB sesuai dengan
pasien TB tanpa HIV.7
Gejala mayor terbatas pada paru dan
biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran
infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8
Gejala
ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan
pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi
klinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV
tidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut
gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkan
dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih
rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat
milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati
mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan
gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB paru
dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8
Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu
(limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau
tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor dengan
jumlah CD4+ < 200 cell/µL. Pada beberapa pasien TB dapat
menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi,
progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga
dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi
relatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yang
diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan
imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi,
penyakit TB dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8
Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIV tergantung
dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien
Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa
CXRg
Sputum AFB and cultureg
Clinical assessmentg
TB likely
1
st
visit 2
nd
visit 3
rd
visit 4
th
visit
AFB
HIV testb
HIV+ or status unknownc
Treat for TB
CPTd
HIV assessmentf
AFB-positived AFB-negatived
TB unlikely
Treat for bacterial infectionh
HIV assessmentf
CTPe
Treat for PCPi
HIV assessmentf
Responsej Responsej
Reassess for TB
No or partial response
Start TB treatment
Complete antibiotics
Refer for HIV and
tuberculosis care
Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa
Referral to higher level
facility
Immediate referral
not possible
Parenteral antibiotic treatment for
bacterial infection b,d
Sputum AFB and culture b
HIV test b,c
CXR b
Parenteral antibiotic treatment for
bacterial infection b,d
Consider treatment for PCP e
Sputum AFB and culture b
HIV test b,c
HIV+ or unknow f
AFB-positive g AFB-negative No g
tuberculosis
Treat
tuberculosis
Improvement
after 3-5 days
No Improvement
after 3-5 days
Reassess for other
HIV-related disease
Reassess for
tuberculosis h
TB unlikelydengan kadar CD4 > 200/mm3
lebih sering memberikan
manifestasi TB paru dibandingkan dengan ekstraparu. Pada
pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang
dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering
memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang
semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin
menjadi lebih sering (Tabel 2).8
Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB-HIV
TB paru : TB ekstraparu
Gejala klinik
Foto toraks
· Intratoraks
limfadenopati
· Lobus bawah
Kavitas
Alergi tuberculin
Pemeriksaan dahak
Reaksi obat
Kambuh setelah
pengobatan
50:50
Sering seperti
TB primer
Sering
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Sering
80:20
Sering seperti
TB post primer
Jarang
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Jarang
karakteristik Late
HIV Infection
Early
HIV Infection
Dikutip dari (8)
KESIMPULAN
1. Penyebab kematian terbesar pada AIDS adalah TB paru.
2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak
memberikan gejala asimptomatis.
3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus
ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja.
4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering
menunjukkan negatif palsu.
5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV
menunjukkan hasil ¼-nya adalah negatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), American
Thoracic Society and Infectious Diseases Society of America,
Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003;
52(RR-11):p.1-77
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in
tuberculosis incidence— United Stauji, 2006. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.
3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent
tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med
2004; 350(20): p.2060-7.
29 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
4. Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinik
dan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309.
5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations
of Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated
with failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and
chemotherapy 2004; 48:4301-5.
6. Batungwanayo J, Taelman H, Hote R. Pulmonary
tuberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of human
immunodeficiency virus infection on clinical and
radiographic presentation. Am Rev Respir Dis,
7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in
HIV-infected patients. Clin Infect Dis 2004; 38(8):p.1159-66.
8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:
Epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res
2005; 121, pp 550-567
9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and
treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1):
p.103-10.
10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent
tuberculosis infection. N Engl J Med 2002; 347(23): p.1860-6.
11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits for
the diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas of
uncertainty and recommendations for research. Ann Intern
Med 2007; 146(5): p. 340-54.
12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the
QuantiFERON-TB Gold ujit for detecting Mycobacterium
tuberculosis infection, United Stauji. MMWR Recomm Rep
2005; 54(RR-15):p.49-55.
13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV
positive, diagnosed by the M. tuberculosis specific
interferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56.
14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for
tuberculosis: is anergy the Achilles’ heel?Am J Respir Crit
Care Med 2005; 172(5):p.519-21.
15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of an
interferon-gamma release assay with tuberculin skin ujiting
in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007;
175(7): p.737-42.
16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral
tuberculous lymphadenitis in adults: current clinical and
diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82.
17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An
Algorithm for Tuberculosis Screening and Diagnosis in People
with HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16.
18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama,
Departemen Kesehatan RI, 2007.
19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative
pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult
and adolecent. WHO recomendation 2006.TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL
Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah
kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara
berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh
beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan
pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas
pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan
penyakit infeksi.1
Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan
cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan
cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens
penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif.
Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi
di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama
di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik.
Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas
kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB
merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugas kesehatan
saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi
pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan
sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan
pekerjaan.1,15
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan
walaupun dapat mengenai organ lain.2
Sejak meluasnya
penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan
pertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TB
yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga
pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi
bertambah rumit.3
Tinjauan pustaka ini akan membahas
mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat
dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang
efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa
pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung
pernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di
beberapa negara maju.4
PENULARAN TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di
dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke
orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1–5
¼m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di
keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat
bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi
kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam
bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi
terjadi apabila orang menghirup percik renik yang
mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat
setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk
dalam 2–12 minggu setelah infeksi.4,5
Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama
pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman
mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB
yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain
terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan
asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat
batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi
antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur
yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi
dan suction.
1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang
sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat
sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif
menjadi positif.7
TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT
Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan
kejadian luar biasa di daerah tersebut.8
Terapi TB dapat
diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan
penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat
beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 30dan indikasi lainnya.9
Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa
tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturan
aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara
tidak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara
merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian
tersebut.10
Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yang
termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat,
petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis.
Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi,
intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi
abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya
yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi
penularan nosokomial.Beberapa faktor lainnya yang dapat
meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi
kontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak
dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6
Bidang kesehatan
-Dokter
-Petugas register
-Perawat inhalasi
-Petugas laboratorium
-Perawat
-Pekarya, pembantu
perawat
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
binatang
Pelayanan makanan
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
debu
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
anak-anak, sekolah
Pelayananan masyarakat
321
20
68
7
15
26
150
565
455
52
92
113
336,1
50,9
56,2
2,4
16,8
24,1
115,7
253,5
368,0
51,8
254,7
154,4
1,0
0,4
1,2
2,9
0,9
1,1
1,3
2,2
1,2
1,0
0,4
0,7
(0,9-1,1)
(0,2-0,6)
(0,9-1,5)
(1,2-6,0)
(0,5-1,5)
(0,7-1,6)
(1,1-1,5)
(2,0-2,4)
(1,1-1,4)
(0,8-1,3)
(0,3-0,4)
(0,6-0,9)
Kelompok pekerjaan
Kasus
Teramati
Kasus
Diharapkan SMR (IK 95%)
Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan
Dikutip dari (11)
Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko
penularan infeksi M. tb cukup tinggi walaupun tidak
berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali
petugas tidak mengetahui bahan yang diperiksa
mengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratorium
mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah
bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan
sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin
berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai
petugas patologi dan ini merupakan indikator keterlambatan
diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan
udara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan
infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan
klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TB
yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang
meninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan
otopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidak
tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas
kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas pengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan
untuk petugas dan penderita itu sendiri.4
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA
Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang paling
penting.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan
pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan
peralatan yang berpotensi sebagai media penularan,
walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12
Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang
akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja
meliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG,
gejala-gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto
toraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala
dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus
dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan
disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9
Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi
dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga
medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya
tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi laten.
Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut
dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak
menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber
penularan. Diagnosis TB yang tepat dan cepat sangat
diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau
terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan
terjadi penularan.13
Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dini
penderita TB, memberi pengobatan dan mencegah orang
lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan
langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan
M.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4
1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi
pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M.
tb.
31 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.82. Pengaturan lingkungan bertujuan mengurangi
konsentrasi percik renik yang infeksius.
3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada
daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat
diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.
Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus
dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung,
fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8
Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah
penyebaran lebih luas. Petugas kesehatan yang baru diangkat
harus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaan
secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga
lama atau saat timbul gejala penularan TB.4 Petugas kesehatan
dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG.
Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebih
tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan
pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi
BCG dapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidak
terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurang
disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8
Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja.
Dikutip dari (13)
Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif
dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian
dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu.
Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang
benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut
dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di
ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu
juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk
menampung dahak yang dibatukkan pasien.Masker dapat
menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tb
yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempat
sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu
bekas pasien.4
Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawat
penderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawat
penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan
imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada
pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik.
Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan
secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi
nosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehingga
kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan
pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara
dapat mengalir serta penggunaan kipas angin untuk
mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk
pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan
dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara.
Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan
dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik
(Gambar 1-3).4,6,15
Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan
rawat jalan
Dikutip dari (4)
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 32
Anamnesis sebelum
penerimaan pekerja
Curiga
Pem. Fisis
Normal
Bekerja dgn pasien
atau spesimen
Parut BCG
Uji tuberkulin
Derajat 0/1
Curiga
Pem. Fisis
Normal
Klinik Tanpa BCG Penyuluhan Klinik
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
Ruang
Periksa
Ruang
Tunggu
Pintu Kantor
Pintu Pintu
Rencana Tampilan
Apotik
Area
Terbuka
Dinding dengan
daerah atas terbuka
Sisi A
Sisi B
Sisi CGambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap,
A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif
Dikutip dari (4)
Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak
adekuat, ventilasi mekanis dapat digunakan untuk
mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas
kesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yang
kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam
ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut
ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu
dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk
dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang
dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3).Arah aliran
udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati
petugas kesehatan kemudian melewati pasien sampai
akhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harus
terhindar dari daerah pembuangan agar udara yang
terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).
Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus
dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan,
pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan
TB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahak
dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak
orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang
tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan
dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko
pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi
sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan
timdakan yang dapat menimbulkan batuk sehingga
meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan
petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker
yang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6
Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan
respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas
atau kain yang tidak dapat mencegah penyebaran
mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap
partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut
dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik
renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat
mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari
penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada
penderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ke
tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah
tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari
resiko terhirupnya M.tb karena masker mempunyai
keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah
disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol
M. Tb tetap masuk. Respirator dapat memberikan
perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15
Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan)
Dikutip dari (16)
Jendela terbuka
Aliran udara
Tempat Tidur
Jendela Terbuka
Aliran udara dari
bawah pintu
Pintu
Aliran udara
masuk
Aliran udara
masuk
Pintu
Aliran udara
Tempat Tidur
Ruang Pendingin
AC
Aliran udara dari bawah
pintu: tekanan negatif yang
berhubungan dengan koridor
arah ventilasi alami atau
ruang kerja yang benar
arah ventilasi alami atau
ruang kerja yang benar
Pintu Jendela Angin
Angin
arah ventilasi alami atau
ruang kerja yang tidak benar
arah ventilasi alami atau
ruang kerja yang benar
Angin
Baik
Angin
Angin
Angin
Pengaturan yang baik
Angin
Angin Angin
Buruk
33 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik
M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1ì.
Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian
pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik
renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas.
Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan
kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3ì.
Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas
di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15
Petugas kesehatan dengan keadaan
imunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDRTB harus mendapat pengawasan khusus agar tidak terpajan,
terutama petugas yang mempunyai keluhan respirasi. Petugas
ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan
M. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segera
diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti
tidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif.
Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderita
dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais
akibat kontak dengan penderita MDR-TB yang infeksius.6,14
Gambar 6. Masker N-95
Dikutip dari (16)
Tenaga medis yang terkena TB di rumah sakit
diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita
TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukup
tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangat
ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga
medis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidak
akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa
minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap
akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di
tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya
epidemi HIV dan MDR TB menyebabkan kasus ini muncul
kembali.
2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja itu sendiri
mempengaruhi penularan tuberkulosis nosokomial.
3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksi
dini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosis
dan mencegah penularan.
4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosis dapat dikurangi
dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini,
pemberian terapi secepatnya pada penderita TB,
perlindungan dan prosedur kerja yang baik.
5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda dengan
pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga
penyakit penyerta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14
2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.
Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.
3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC.
Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.
4. World Health Organization. Guidelines for prevention of
tuberculosis in health care facilities in resource-limited
settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011
September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/
hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf
5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA,
Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2001.p.475-86.
6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.
Guidelines for preventing the transmission of
Mycobacterium tuberculosis in health-care setting, 2005.
MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.
7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS,
Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of
the lung. Recognition, management and prevention.
London: WB Saunders;2002.p.257-63.
8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question
that need answer. Am J Respir Crit Care
Med.1996;154:553-4.
9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society. Control and prevention of tuberculosis in the
United Kingdom: Code of practice 2000.
Thorax.2000;55:887-901.
10.Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital
ventilation and risk for tuberculosis infection in Canadian
health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8 3411.McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The
association between occupation and tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med.1996;154:587-93.
12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factors
associated with tuberculin conversion in Canadian
microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit
Care Med.2003;167:599-602.
13.Raitio M, Tala E. Tuberculosis among health care workers
during three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:304-
7.
14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosis
infection control in resources-limited setting in the era
of expanding HIV care and treatment. The Journal of
Infectious Diseases.2007;196:S108–13
15.Departemnt of Health and Human Services. Center for
Disease Control and Prevention. TB facts for health
care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011
September 8); Available from: URL:http://
www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf.
16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering Facepiece
Respirators.(cited 2011 September 5);Available from:
URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/
respirators/disp_part.html
35 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8