EFEKTIVITAS PENANAMAN SIKAP
KEBERAGAMAAN PADA SISWA TUNANETRA
(Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar
Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
Taopik Muarip
1111011000110
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i
ABSTRAK
Taopik Muarip 1111011000110 “Efektivitas Penanaman Sikap Keberagamaan
Pada Siswa Tunanetra, Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA
di SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan.” Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fungsi agama yang membentuk moralitas manusia tidak serta-merta
tertanam pada jiwa pemeluknya, diperlukan suatu usaha yang membangun
interaksi antara pemeluk dengan ajaran keberagamaan. Dalam hal ini, pendidikan
merupakan bagian dari wadah dalam menjembatani manusia terkhusus dalam
menanamkan nilai keislaman. Maka dari itu, ajaran keagamaan yang termuat
dalam sistem pendidikan baik formal maupun non formal sepantasnya mampu
menanamkan akan nilai keagamaan terhadap peserta didik yang dalam
finalitasnya bisa membentuk sebuah sikap keberagamaan sebagai kualitas dari
moralitas manusia religius.
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan Metode kualitatif, dan jenis
penelitian yang digunakan adalah deskriptif, adalah menguraikan hasil penelitian
sebagai usaha untuk menggambarkan kondisi lapangan yang telah diteliti.
Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan lapangan.
Penulis melakukan kegiatan penelitian pada sebuah lapangan penelitian yang
dalam hal ini adalah SLB A Pembina Tingkat Nasional yang bertempat di Lebak
Bulus Jakarta Selatan.
Penulisan Skripsi ini merupakan usaha untuk menggambarkan akan
keberhasilan program keagamaan yang diadakan di SLB A Pembina Tingkat
Nasional. Penelitian ini meliputi pengkajian terhadap sikap keberagamaan siswa
tunanetra yang dalam hal ini menggunakan serangkaian teknik penelitian yang
telah dimaksudkan, dengan berpijak pada berbagai teori yang menyangkut sikap
keberagamaan secara umum disertai tambahan dari teori mengenai perkembangan
keberagamaan pada fase remaja, karena informan yang diteliti adalah siswa
tingkat SMP dan SMA-LB. Dalam penelitian ini kajian lebih dispesifikasikan
ii
pada sikap keberagamaan dalam konteks agama Islam. karena semua siswa
tunanetra yang diteliti beragama islam.
Dengan demikian, kesimpulan dari hasil penelitian yang didapatkan adalah
Sekolah luar Biasa memiliki usaha untuk memberikan penenaman keberagamaan
melalui beberapa program keagamaan yang telah dicanangkan. Sedangkan
menganai pengamalan keberagamaaan siswa tunanetra lebih dipengaruhi oleh
bimbingan dari orang tua. Maka dari itu diperlukan sinkronisasi antara pihak SLB
sebagai pengajar dan Orang tua siswa sebagai pengawas dan pembiasaan
keberagamaan siswa tunanetra. Selain itu, latar belakang SLB A PTN yang
merupakan sekolah Negeri dan tidak memiliki latar belakang sekolah islam secara
langsung, tidak banyak memberikan pengetahuan keagamaan pada siswa
tunanetra, menjadikan pembelajaran keagamaan di lembaga pendidikan
keagamaan khusus tunanetra sebagai alternative dalam menanamkan nilai
pengetauan dan pengamalan keagamaan bagi siswa tunanetra di luar jam formal
SLB A PTN.
Kata kunci : Efektivitas Penanaman Sikap Keberagamaan pada Siswa Tunanetra.
Pembimbing Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. Daftar Pustaka, 1984-
2014.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia
berupa kenikmatan tiada tara serta petunjuk-Nya kepada kita sebagai ummat islam
baik yang disadari maupun yang tidak kita sadari. Hanya dengan rahmat-Nya lah
skripsi ini bisa terwujud. serta kasih sayang dan petunjuk-Nya pula penelitian
pada skripsi ini bisa berjalan dengan berbagai hal yang mewarnai
keberlangsungan penulisan baik yang sifatnya mudah maupun sukar. Semua itu
adalah kehendak Allah SWT yang patut disikapi dengan keikhlasan dan
keridhaan. Semoga keberkahan diharapkan bisa hadir pada kesuksesan skripsi ini.
Shalawat dan salam dihaturkan pada Baginda Nabi Muhammad SAW
sebagai panutan manusia. Dengan perjuangannya kita bisa mendapatkan ajaran
Islam beserta karunia dan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Kiranya kita
sebagai umat Nabi Muhammad sepatutnya meniru akan kegigihan dan
perjuangannya, termasuk dalam penulisan skripsi ini. Meski tidak sebanding
dengan pengorbanan Nabi Muhammad, perjuangan dan kegigihan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini diharapkan bisa mendatangkan rahmat ALLAH SWT.
Terkait dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan bahwa
dengan selesainya penelitian dan penyajian yang termuat dalam skripsi ini adalah
tidak terlepas dari berbagai hal yang menunjang akan keberlangsugnan kegiatan
penulisankarya ini. Termasuk berbagai pihak yang ikut andil atas kelancaran
skripsi ini baik berupa doa dan dorongan semagnat yagn telah diberikan. Maka
drai itu penulis mengucapkan banyak terimakasih Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Kepada Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyyah Dan Keguruan UIN Jakarta.
2. Kepada Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., (dosen pembimbing Skripsi)
3. Kepada Dr. Abdul Majid Khon, MA., (ketua jurusan Pendidikan Agama
Islam). serta Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA., (sekretaris Jurusan PAI).
4. Kepada Dr. Ahmad Sodiq, MA.,( dosen pembimbing akademik).
iii
5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan pengajaran kepada penulis
selama menimba ilmu di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada Ibu dan Ayah penulis (Mamah dan Apa) yang senantiasa memberikan
motivasi dan jasa, karena bagi saya Ibu adalah motivator yang selalu
memberikan nasihat serta dorongan positif kepada anak-anaknya dan Ayah
adalah pahlawan yang selalu berjuang dengan gigih untuk keluarganya.
Karena atas doa dan jasa keduanyalah penulis termotivasi untuk selalu
berjuang terutama berjuang untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Kakek dan Nenek baik dari pihak ibu maupun ayah, yang senantiasa
memberikan doa dan dorongan baik materil maupun moril
8. Kepada Adik dan Kakak tercinta, Ernitasari dan Miya Amiyati
9. Kepada Keponakan dan Adik sepupu, Edshel Fathian Al-Ghaisan dan
Muhammad Rizal Al-Ghifari.
10. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, baik
dari pihak ibu Bibi Ela dan lainnya, maupun ayah Ua Any dan lainnya, yang
telah memberikan semangat dan doa pada penulis.
11. Kepada semua teman baik teman di jurusan PAI maupun teman di Himpunan
Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA Persis), dan lainnya, yang telah
memberikan bantuan atas kelancaran penyusunan skripsi ini, baik secara
teknis maupun moral.
12. Kepada smua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan jasa pada penulis selama
menimba ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikianlah skripsi ini telah penulis sajikan, terlepas akan keberhasilan
pada penelitian skripsi ini, penulis tidak memungkiri banyak kekurangan baik di
dalam penyajian maupun didalam pengkajian terhadap data dan teori yang
digunakan. Maka dari itu penulis merasa butuh terhadap kritik yang
bertanggungjawab dan saran yang membangun guna sebagai pelajaran bagi
penulis dalam memperbaiki kemampuan penulis dalam melakukan penelitian
dimasa yang akan datang.
iv
Penulis pun mengharapkan akan adanya suatu pengkajian skripsi kembali
dengan tema yang sama sebagai gambaran akan adanya perbaikan penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa lainnya. karenannya, kegiatan penelitian yang bersifat
temporal dengan tema yang sama dan peneliti yang berbeda akan mewujudkan
sebuah perbandingan suatu penelitian yang saling melengkapi.
Ciputat, 06 Juni 2016.
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ............................. 2
1. Identifikasi Masalah ............................................................ 2
2. Batasan Masalah .................................................................. 3
3. Rumusan Masalah................................................................ 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 4
1. Tujuan Penelitian ................................................................. 4
2. Kegunaan Penelitian ............................................................ 5
D. Kerangka Berpikir ..................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................ 8
BAB II SIKAP KEBERAGAMAAN
A. Pengertian Sikap Keberagamaan ............................................... 10
B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan..................................... 14
1. Dimensi Ideologis (Keyakinan) ........................................... 15
2. Dimensi Ritualistik (Peribadatan) ........................................ 20
3. Dimensi Eksperensial (Penghayatan) .................................. 24
4. Dimensi Konsekuensial (Pengamalan Keagamaan) ............ 25
5. Dimensi Intelektual (Pengetahuan Keagamaan) .................. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian.................................................... 30
B. Objek Penelitian ........................................................................ 31
C. Metode, Jenis dan Pendekatan Penelitian .................................. 32
D. Sumber Data .............................................................................. 34
vi
1. Jenis Data ............................................................................. 34
2. Populasi dan Sampel ............................................................ 34
E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ................................ 36
1. Interview atau Wawancara .................................................. 37
2. Observasi ............................................................................. 39
3. Dokumentasi ........................................................................ 40
4. Catatan Lapangan ................................................................ 40
F. Teknik Validasi Data ................................................................. 41
G. Teknik Analisa Data .................................................................. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN TERHADAP SIKAP
KEBERAGAMAAN SISWA TUNANETRA DI SLB A PTN
(PEMBINA TINGKAT NASIONAL)
A. Program Keagamaan SLB A PTN ............................................. 44
1. Visi dan Misi ....................................................................... 44
2. Praktik Keagamaan .............................................................. 45
B. Analisa terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra ......... 49
1. Aspek Ideologis (keyakinan) Siswa Tunanetra ................... 50
a. Mengimani Agama Islam .............................................. 50
b. Intensitas Mengingat Allah SWT .................................. 58
2. Aspek Ritualistik (Peribadatan) Siswa Tunanetra ............... 61
a. Intensitas Shalat Siswa Tunanetra ................................. 61
b. Intensitas Puasa Siswa Tunanetra .................................. 66
c. Intensitas Membaca Al-Qur’an ..................................... 68
3. Aspek Eksprenensial (Penghayatan) Peribadatan Siswa
Tunanetra ............................................................................. 69
a. Nilai Penghayatan Dalam Ibadah Shalat ....................... 69
b. Nilai Penghayatan Ibadah Puasa Siswa Tunanetra ........ 70
4. Dimensi Konkesuensial (Akhlak) Siswa Tunanetra ............ 72
a. Nilai Rasa Menerima dan Intensitas Syukur Siswa
Tunanetra ....................................................................... 72
b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra .............................. 75
vii
c. Nilai Solidaritas Siswa Tunanetra ................................. 77
d. Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra .......... 78
e. Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis ................. 81
f. Nilai Menjaga Lingkungan ............................................ 82
5. Aspek Intelektual (Pengetahuan Keagamaan) Siswa
Tunanetra (Pengetahuan Keagamaan) ................................. 85
a. Pengetahuan Tentang Fikih Ibadah ............................... 85
b. Ketrampilan Membaca al-Qur’an .................................. 87
c. Hafalan Qur’an Siswa Tunanetra .................................. 88
d. Pengetahuan Tentang Hadits Nabi ................................ 89
C. Analisa Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN ......... 91
1. Tinjauan Pengetahuan (Transfer of Knowledge) ................. 91
2. Tinjauan Tindakan (Transfer of Action) .............................. 92
3. Tinjauan Prilaku (Transfer of value) ................................... 93
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program
Keagamaan SLB A PTN............................................................ 94
1. Faktor Pendukung ................................................................. 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 98
1. Tinjauan Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra ................. 98
2. Tinjauan Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN ... 99
B. Saran .......................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara formal, pendidikan bukan hanya diperuntukan untuk siswa
normal saja, melainkan ada lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk
siswa yang memiliki kebutuhan khusus, semisal sekolah yang dikhususkan
untuk siswa tunanetra. Menurut Agustyawati dan Solicha, ―Dalam bidang
pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut
anak tunanetra.Tunanetra adalah salah satu jenis hambatan fisik yang ditandai
dengan ketidakmampuan seseorang untuk melihat, baik menyeluruh (total
blind) ataupun sebagian (low vision) dan walaupun telah diberi pertolongan
dengan alat-alat khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan
khusus‖.1
Pada setiap pendidikan selalu diajarkan mengenai masalah keagamaan.
Terlepas dalam lembaga pendidkan yang bernuansa keagamaan maupun yang
bersifat umum. Semua memberikan jatah jam pelajaran keagamaan sebagai
bukti akan pentingnya nilai keagamaan yang perlu ditanamkan pada peserta
didik. Termasuk pada lembaga pendidikan luar biasa sekalipun.
Pada tatanan realitas dalam pembelajaran tidak bisa secara langsung
akan mewujudkan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Artinya sebuah
program pembelajaran terkhusus keagamaan tidak secara mudah bisa
membentuk perilaku siswa sesuai dengan apa yang menjadi misi pembelajaran
tersebut. Penulis berkesempatan untuk mengajar mata pelajaran agama Islam
pada siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat Nasional di Lebak Bulus
Jakarta Selatan. Darinya selama melakukan kegiatan mengajar tersebut,
penulis menjumpai beberapa hal terkait keberagamaan siswa yang dinilai
kurang wajar, semisal ada peserta didik yang tidak bisa melafalkan shalawat
nabi, ataupun mayoritas siswi tunanetra tidak memakai jilbab.
1 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. Ke-1, h. 7.
2
Kondisi demikian mengundang tanya apakah memang siswa tunanetra
tidak terlalu intens dalam mempelajari agama, ataukah karena dengan kondisi
ketunanetraan berdampak pada kondisi keberagamaan siswa tunanetra. Tentu
hal demikian menarik penulis untuk melakukan pengkajian lebih lanjut dalam
memperoleh informasi akan keberagamaan siswa, dan timbul rasa
keingintahuan untuk mengetahui keterkaitan antara kondisi keterbatasan siswa
dengan kualitas keberagamaan.
Maka dengan alasan tersebut, penulis merasa tertarik untuk
mengetahui mengenai sikap keberagamaan siswa dengan kaitannya terhadap
tingkat keberhasilan suatu program keagamaan yang telah terwujud
menimbang program keagamaan di sekolah sebagai jalan dalam menanamkan
nilai keagamaan untuk membentuk sikap keberagamaan siswa. Dengan hal
tersebut, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai sikap
keberagamaan yang dalam hal ini siswa tunanetra sebagai sumber penelitian
untuk menggambarkan mengenai efektivitas program keagamaan tersebut.
Maka dari itu, penulis memberikan judul pada karya ini dengan “Efektivitas
Penanaman Sikap Keberagamaan Pada Siswa Tunanetra, Studi Kasus
Pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa
(SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan”.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang telah dipaparkan, penulis dapat mengidentifikasi
permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini, dengan uraian sebagai
berikut:
a. Ajaran Agama bukan sesuatu yang alamiah yang langsung tertanam
pada manusia sejak lahir. Maka dari itu manusia bila tidak
mendapatkan pengenalan agama akan jauh dari moral ideal keagamaan
dalam hidupnya.
b. Pendidikan keagamaan merupakan salah-satu jalan untuk memberikan
3
informasi dan menanamkan nilai keagamaan pada pemeluknya.
Di dalamnya memiliki tujuan tertentu untuk membentuk keberagamaan
siswa, namun secara realitas kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan tidak relevan dengan perilaku yang terlihat pada peserta
didik
c. Penulis merupakan mahasiswa yang berkesempatan melakukan praktik
mengajar di SLB A PTN, dalam pengalaman penulis menjumpai
beberapa siswa yang tidak bisa melafalkan shalawat nabi, ataupun
mayoritas siswi yang tidak menggunakan jilbab.
d. siswa tunanetra yang penulis jumpai tidak hanya mengalami hambatan
penglihatan dalam belajar, melainkan pula terdapat beberapa siswa
yang memiliki hambatan lain yang menghambat proses pembelajaran.
e. Pada tatanan lembaga pendidikan formal, terdapat dua jenis lembaga
yaitu pendidikan untuk siswa umum, dan pendidikan untuk siswa yang
memiliki kebutuhan khusus. Kondisi demikian menunjukkan ada cirri
khas antara kedua peserta didik yang tidak bisa disamaratakan.
Sedangkan agama dibebankan pada semua makhluk yang berakal,
namun apakah suatu kondisi khusus, memiliki ciri khas yang khusus
pula dalam keberagamaan.
2. Batasan Masalah
Sikap keberagamaan merupakan suatu kajian yang memiliki
cakupan luas, dan terbentuk dari kompleksitas pengalaman peserta didik,
baik dari lingkungan keluarga, sosial, pertemanan, pendidikan dan lainya.
Dengan demikian, jangkauan pembahasan sikap keberagamaan teramat
luas, maka penulis harus membatasi cakupan kajian dalam keberagamaan
siswa dengan beberapa poin sebagai berikut:
a. Lokasi yang menjadi penelitian sikap keberagamaan siswa tunanetra
hanya terbatas pada SLB A Pembina Tingkat Nasional, sebagai lokasi
yang dipilih menjadi tempat penelitian ini berlangsung.
b. Sikap keberagamaan siswa tunanetra di dalam penelitian ini hanya
meliputi pengaruh pembelajaran keagamaan yang dilakukan di SLB A
4
PTN, dan terbatas pada kajian terhadap efektivitas program keagamaan
dalam menanamkan nilai keagamaan pada siswa tunanetra.
3. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis akan
memaparkan rumusan masalah yaitu ―Bagaimanakakah sikap
keberagamaan siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat Nasional
Lebak Bulus Jakarta Selatan?‖. Dari rumusan tersebut, penulis akan
mengkajinya melalui pendekatan yang akan diuraikan melalui sub masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah tingkat keyakinan keagamaan siswa tunanetra?
b. Bagaimanakah intensitas peribadatan siswa tunanetra?
c. Bagaimanakah penghayatan peribadatan siswa tunanetra?
d. Seperrti apakah pengamalan nilai keagamaan siswa tunanetra?
e. Seperti apakah tingkat pengetahuan keagamaan siswa tunanetra?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan suatu harapan dalam pencapaian terhadap
sesuatu yang dilakukan dalam atau setelah kegiatan selesai.2Sebagaimana
pada Penelitian skripsi ini adalah usaha untuk mendeskripsikan sikap
keberagamaan siswa tunanetra dengan mengunakan berbagai sumber data,
baik yang bersumber dari siswa tunanetra, maupun dari guru dan lainnya
yang dinilai relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. Bukan hanya
itu, penulis pun menggunakan beberapa sumber tertulis untuk dijadikan
pijakan dalam kajian penelitian ini. Semua itu merupakan bertujuan untuk
mendeskripsikan sikap keberagamaan siswa tunanetra sebagai gambaran
akan tingkat efektivitas program pembelajaran keagamaan yang telah
diwujudkan di SLB, Pengkajian pada skripsi ini meliputi sikap
keberagamaan serta perkembangannya, pada siswa tunanetra.
2Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. Ke-10,
h. 29.
5
Hal demikian dikarenakan sikap keberagamaan siswa merupakan
representasi dari pengaruh pembelajaran keberagamaan baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Semua itu akan menjadi bahan penelitian pada
skripsi ini. Selain itu, perkembangan keberagamaan turut dikaji
menimbang informal yang menjadi sumber utama penelitian ini adalah
siswa tunanetra pada jenjang SMP-LB dan SMA-LB, yang secara
psikologis berada pada fase perkembangan remaja yang dalam hal ini
perkembangan keberagamaan pada masa remaja secara teoritis berpijak
pada berbagai keterangan tentang sikap keberagamaan serta perkembangan
keberagamaan yang dibahas dalam beberapa sumber tertulis baik dari para
tokoh Islam secara umum, maupun dari psikologi agama.
Dengan menggunakan berbagai teori mengenai sikap dan
perkembangan keberagamaan secara teoritis, penulis memiliki harapan
untuk bisa menjadi bagian dalam mengembangkan dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan terkhusus pada tema yang dibahas dalam
skripsi ini. Maka tulisan ini memiliki tujuan mengekplorasi suatu teori
terkait sikap dan perkembangan keberagamaan. Yang dalam hal ini siswa
tunanetra sebagai sumber penelitiannya. Semoga tulisan ini bisa
menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama tentang sikap
keberagamaan serta perkembangannnya.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dibuat bukan hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan untuk menyelesaikan tugas akhir kelulusan dalam perkuliahan
saja. Melainkan lebih dari itu. Dengan ditulisnya skripsi ini mudah-
mudahan bisa bermanfaat bukan hanya sekedar meramaikan khazanah
keilmuan saja, tetapi juga turut mendatangkan kegunaan terkhusus
terhadap sekolah tempat penelitian ini dilakukan. Karena sebagaimana
telah diungkapkan bahwa skripsi ini adalah untuk mengulas sikap
keberagamaan siswa tunanetra melalui pendeskripsian diharapkan bisa
menjadi gambaran dalam mengetahui tingkat keberhasilan sekolah dalam
menanamkan nilai keberagamaan pada siswa.
6
Dengan hal demikian, semestinya bisa mendatangkan manfaat
bukan hanya kepada penulis, melainkan terkhusus pada sekolah tempat
penelitian ini berlangsung, yaitu SLB A Pembina Tingkat Nasional Lebak
Bulus Jakarta Selatan. Yaitu bisa dimanfaatkan untuk menjadi bagian
dalam sumber evaluasi sekolah terhadap program keagamaan guna
mendatangkan kualitas program yang lebih baik di masa yang datang.
D. Kerangka Berpikir
Penelitian pada skripsi ini mengunakan judul “Efektivitas
PenanamanSikap Keberagamaan pada Siswa Tunanetra di Sekolah Luar
Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan”.
Ada tiga poin besar yang menjadi bahan pengkajian utama pada penelitian
dilakukan dalam skripsi ini. Yaitu perihal program keagamaan yang
diselenggarakan di SLB A Pembina Tingkat Nasional, kemudian Sikap
Keberagamaan padasiswa tunanetra, dan efektivitas penanaman sebagai hasil
usaha program keagamaan dalam membentuk sikap keberagamaan siswa
tunanetra.
Poin pertama terkait Program keagamaan yang diadakan di SLB
APTN, dalam hal ini, penulis akan mencari data atau keterangan tersebut
melalui pihak sekolah terkait. Guna sebagai bahan dalam menentukan arah
kajian pada skripsi ini. Semua hal yang tercantum dalam program keagamaan
tersebut, akan menentukan arah kajian pada skripsi ini. Pada bagian ini,
penulis hanya sekedar mendapatkan data tanpa terlalu jauh dalam menganalisa
program tersebut, karena objek kajian utama adalah sikap keberagamaan
siswa. penulis hanya mencari rincian dari jenis program keagamaan yang
dilaksanakan sebagai dasar dalam menentukan arah kajian pada skripsi ini,
Kemudian poin kedua mengenai sikap keberagamaan. Poin ini adalah
poin inti dalam penelitian ini, karena sebagai objek kajian utama yang akan
menjadi bahan penelitian dan kajian pada skripsi ini. Dalam mengkaji sikap
keberagamaan, penulis akan mencari berbagai sumber tertulis yang relevan
7
dengan pembahasan mengenai keberagamaan yang ditulis oleh para tokoh
yang konsen di bidang ini. Poin ini merupakan dasar pijakan teoritis dalam
mendukung kajian skripsi ini. Melalui teori mengenai sikap keberagamaan
tersebutlah penulis akan melakukan pengkajian pada skripsi ini, sekaligus
sebagai fokus penelitian sehingga pembahasan dalam kajian ini tidak jauh
melebar.
Bukan hanya itu, penulis dalam hal sikap keberagamaan akan
membahas pula mengenai perkembangan keberagamaan. Karena sumber data
utama pada penelitian ini adalah siswa pada jenjang SMP dan SMA yang
secara psikologis berada pada fase remaja. Maka dari itu, relevan untuk
mengkaji teori ini, sebagai bahan pertimbangan dalam mendukung data yang
ditemukan dilapangan sehingga menjadi bahan untuk memvalidasi data
tersebut.
Adapun pendekatan dalam membahas sikap keberagamaann tersebut,
penulis akan menggunakan pendekatan dari rumusan keberagaman yang
dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark. Di dalamnya memuat lima dimensi
keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, ritual ibadat, penghayatan,
pengamalan, dan dimensi pengetahuan keberagamaan. Pendekatan ini sangat
dibutuhkan penulis dalam mengkaji objek penelitian pada skripsi ini. Dengan
rumusan inilah penulis akan menentukan rincian dan poin-poin pembahasan
tertentu dalam menentukan arah pada permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini
Dan poin terakhir mengenai Efektivitas penanaman sikap
keberagamaan.Dalam hal ini, adalah efek program keagamaan sekolah yang
dilaksanakan dalam membentuk perkembangan keberagamaan siswa
tunanetra. Dalam mengukur tingkat efektivitas program tersebut, penulis akan
berpijak pada rumusan yang digagas oleh Haidar Putra Daulay yang
memaparkan tiga sasaran dalam pendidikan.
Pendidikan setidaknya memiliki tiga sasaran.Pertama, sasaran
pengisian otak (transfer of Knowledge). Di sini yang paling ditekannkan
adalah mengisi kognitif peserta didik, mulai dari yang sederhana, sampai
analisa. Kedua, mengisi hati yang melahirkan sikap positif (transfer of value).
8
Sasarannya menumbuhkan kecintaan kepada kebaikan, serta membenci
kepada kejahatan. Ketiga, perbuatan (transfer of activity).Tujuannya adalah
menumbuhkan keinginan untuk melakukan yang baik, serrta menjauhi prilaku
yang buruk.3
Ketiga poin tersebut relevan dengan objek kajian pada skripsi ini yaitu
mengenai sikap keberagamaan siswa tunanetra yang termuat di dalamnya
mengenai pengetahuan keagamaan siswa, kemudian aplikasi siswa tunanetra
terhadap nilai keberagamaan, serta dampak keberagamaan terhadap prilaku
siswa tunanetra. Semua itu akan diukur melalui pendekatan tersebut, sebagai
usaha penulis dalam mendapatkan hasil berupa kesimpulan dalam menentukan
efektivitas penanaman program keberagamaan pada siswa tunanetra.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini mengacu pada panduan dalam
buku pedoman penulisan skripsi yang dibekali oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis
merangkai penulisan dengan jumlah lima bab yang penjelasannya sebagai
berikut:
Penulisan akan dimulai dari BAB I. Bab ini adalah awal dari
pemaparan dalam penulisan ilmiah. Di dalamnya membahas mengenai
pendahuluan yang terinci dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan dan rumusan masalah, serta sistematika penulisan. Semua itu akan
dipaparkan guna menjadi penentuan awal dalam keberlangsungan penelitian
pada skripsi ini.
Kemudian berikutnya adalah BAB II, di dalamnya menjelaskan perihal
landasan teori. Didalamnya akan memaparkan hal yang terkait objek
penelitian pada penelitian ini. Yaitu perihal sikap keberagamaan yang
bersumber dari berbagai literatur yang ditulis oleh para pemikir agama
terkhusus Islam, maka pemikiran tersebut penulis akan menggali sebuah
3 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2004), h. 39.
9
esensi dari sikap keberagamaan serta berbagai literature yang mengulas
mengenai perkembangan keberagamaan terkhusus perkembangan
keberagamaan pada masa remaja, menimbang informan pada penelitian ini
adalah pada jenjang pendidikan SMP-LB dan SMA-LB, yang semua itu
sebagai dasar pijakan teori dalam pengkajian pada data yang didapatkan di
lapangan. maka bab ini akan mengulas mengenai sikap keberagamaan secara
teoritis, serta perkembangan keberagamaan sebagai dasar dari informal yang
diteliti adalah siswa yang menginjak fase remaja.
Kemudian BAB III, akan menjelaskan perihal metodologi penelitian.
Dalam pemaparannya akan diawali dengan pembahasan mengenai waktu dan
tempat penelitian, setelah itu akan diuraikan mengenai objek, metode
penelitian serta rangkaiannya, yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Dengan demikian bab ini merupakan alat penelitian serta modal dasar dalam
pengumpulan dan pengolahan data.
BAB IV, Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang hasil
penelitian berupa pengkajian terhadap berbagai data yang telah diperoleh di
lapangan, yang diolah berdasarkan analisa deskriptif. Maka dalam bab ini
merupakan inti dari penelitian dan akan menentukan kesimpulan yang dibahas
di BAB berikutnya.
Poin terakhir adalah BAB V, di dalamnya akan memaparkan
kesimpulan pada penelitian ini. Pada poin ini adalah poin terakhir sebagai
puncak dari penelitian, maka BAB ini sebagai akhir penelitian yang di
dalamnya memuat berbagai kesimpulan yang disesuaikan dengan kebutuhan
berdasarkan rumusan masalah. serta memuat berbagai saran dan kritik beserta
beberapa lampiran yang mendukung dalam keberlangsungan penelitian skripsi
ini.
10
BAB II
SIKAP KEBERAGAMAAN
A. Pengertian Sikap Keberagamaan
Sikap keberagamaan dalam penyebutannya terdiri dari beberapa istilah
diantaranya sikap keberagamaan, keagamaan, dan religiusitas. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia Keberagamaan diartikan sebagai perihal beragama.4
Sedangkan Religiusitas diartikan sebagai pengabdian terhadap agama atau
kesalehan.5 Dalam Kamus Sosiologi Antropologi diartikan sebagai ―ketaatan
kepada religi (agama)‖6.Sedangkan dalam Kamus Konseling dan Terapi,
―religiosity, atau religiusitas diartikan sebagai pola, model, tipe, atau kualitas
beragama (keberagamaan, religiusitas) yang dimiliki oleh individu atau
sekelompok orang dengan sejumlah dimensinya, dalam pengertian tidak harus
berkaitan dengan ketaatan beragama‖.7
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam berpendapat bahwa,
―Relegiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan,
seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan
atas agama yang dianutnya.‖8 Artinhya bisa dipahami bahwa keberagamaan
memililki beberapa aspek yagn tekendung di dalamnya setidaknyha
memiulkiiki lima aspek sebagaimana telah disebutkan di atas. Pendapat
diungkapkan oleh Said Agil Al-Munawar bahwa, ―Substansi keberagamaan
manusia adalah meyakini adanya suatu Zat di luar dirinya yang bersifat
mutlak. Dalam diri manusia terdapat rasa kesadaran tentang kehadiran suatu
kekuatan yang maha dahsyat yang menjadi referensi mengalirnya
kebahagiaan, ketakutan, kegembiraan, kedamaian, dan sebagainya. Kesadaran
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 15. 5 Ibid, h. 1159.
6 M. Dahlan Yacub Al-Barry, Kamus Sosiologi Antropologi, (Surabaya: Indah, tt), h. 277.
7 MAPPIARE, Andi, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT. RajaGrapindo
Persada, 2006), h. 279. 8 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreatifitas Dalam
Perspektif Psikologi Islami, (Jogyakarta: Menara Kudus Jogyakarta, 2002), h. 71.
11
itu, secara antropologis telah melahirkan berbagai kepercayaan-kepercayaan di
dunia dari zaman ke zaman‖.9
Abdul MunirMulkhan berpendapat, ―Keberagamaan adalah tafsir-tafsir
dengan kebenaran relatif, dan oleh karena itu, mengundang perbedaan sesuai
kondisi objektif si penafsirnya. Oleh karena itu diperlukan sistem sosial politik
yang bebas dari kekerasan‖.10
Di sini religiusitas dipandagn sebagai sesuatu
yang besiat politis, bukan hanya sekedar kegiatuan individu atau kelompok
keagamaan tertentu, mlainkan melibatkan berbagai aspek lain yang terkait
pemerintahan yagn memberikan pengaruh terhadap keberqagamaan pada suatu
bangsa.
Ada beberapa poin besar mengenai sikap keberagamaan, yaitu sikap
keberagamaan sebagai sebuah kesalehan, sikap keberagamaan sebagai sebuah
penghidmatan dari berbagai aspeknya dimulai dari pengetahuan sampai
tindakan konsekuensial, sikap keberagamaan sebagai sebuah perasaan
ketulusan kepada yang transenden, dan sikap keberagamaan sebagai sebuah
penafsiran parsial yang hanya dipahami oleh pemeluk agama tertentu. Namun
keberagmaan pun bukan hanya ormalitas keagamaan, meliainkan lebih dari
itu. Aritinua, sikap keberagamaan memiliki makna yagn jauh lebih luas yang
terbentuk dari berbagai aspeknya yagn kompleks.
Perbandingan antara Ciri khas agama dan keberagamaan, yaitu Agama
lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada
―Dunia dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-
hukumnya, serta keseluruhan organisasi-organisasi sosial keagamaan dan
sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan
Keberagamaan atau Religiusitas lebih melihat aspek yang ―di dalam lubuk hati
nurani‖ pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas
(termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Karena
itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang
9 Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat Press,
2005), h. 199. 10
Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 147.
12
tampak formal, resmi.11
Sikap religius seperti berdiri khidmat dan rukuk secara khusyuk. Yang
dicari dan diharapkan untuk anak-anak kita adalah bagaimana mereka dapat
tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik, namun sekaligus orang
yang mendalam cita rasa religiusitasnya, dan yang menyinarkan damai murni
karena fitrah religiusnya, meskipun barangkali dalam bidang keagamaannya
kurang patuh. Itu dibandingkan dengan orang yang hebat keagamaannya,
tetapi ternyata itu cuma kulit luarnya saja. Sedangkan kehidupan
sesungguhnya serba tipuan semu‖.12
Jadi sikap keberagamaan tidak seutuhnya dikaitkan dengan tindakan
keberagamaan formal, melainkan lebih dari itu, sikap keberagamaan sebagai
hasil dari tindakan keberagamaan itu sendiri, dalam arti agama yang
diyakininya telah membentuk sebuah kepribadian yang baik bagi pemeluknya,
sehingga kepribadian itu terwujud dalam kehidupannya, yang secara agama
disebut dengan kesalehan atau akhlak mulia, dan secara umum di sebut
dengan moralitas.
Agama di tengah masyarakat hadir bukan hanya mengenai sensasi
individual, melainkan menjadi sebuah prilaku pemeluknya baik secara
individu maupun kolektif. Karena Antara nilai keagamaan dengan tindakan
pemeluknya secara normatif ikut menentukan sikap seseorang dalam
mengantisipasi dan memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya.13
Maka sebuah sikap keagamaan berimbas pada kepribadian pemeluk dan
interaksi antar manusia sebagai pedoman yang mengatur tata kehidupan yang
bersumber dari nilai ajaran agama yang membentuk sistem moral.
Adapun Kata ―moral‖, secara etimologi sama dengan ―etika‖,
sekalipun sumber bahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti
kata ―moral‖, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa dipakai sebagai nomina
(kata benda) atau sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata ―moral‖ digunakan
11
Muhaimin,Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Kelima, h. 287-288. 12
Ibid, h. 288. 13
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), h. 6.
13
sebagai kata sifat artinya sama dengan ―etis' dan jika dipakai sebagai kata
benda artinya sama dengan ―etika‖. Dari pemaknaannya, moral diartikan nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan istilah Moralitas‖
(dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti dasarnya sama dengan ―moral‖,
hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang ―moralitas suatu perbuatan‖,
artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan
buruk.14
Perlu kita pahami, bahwa agama mempunyai sifat mengikat kepada
para pemeluknya,maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam
pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran
manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta
mempunyai sifat ketulusan dan absolute yang tidak dapat ditolak oleh
manusia, perintah manusia masih bisa dilawan, tapi Perintah Tuhan tak dapat
ditentang. Faham inilah yang membuat norma-norma, akhlak yang diajarkan
agama mempunyai pengaruhnya dalam membentuk manusia berakhlak dan
berbudi pekerti luhur.15
Keberagamaan erat kaitannya dengan keimanan dan ritual keagamaan.
Kedua hal tersebut memang selalu berdampingan dalam keberagamaan
manusia. Hal demikianlah yang akan membentuk kepribadian baik bagi
pemeluknya dalam berbuat kebajikan atau kesalehan. Maka menengahi antara
iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu
ialah peribadatan. Hal demikian merupakan konkretisasi rasa keimanan,
karena ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan
(taqarrub). Dalam ibadat itu seorang Hamba Allah, merasakan kehampiran
spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan
14
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. Kesebelas, h. 7. 15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985), Cet. Kelima, h. 19
14
sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiositas.16
Keimanan terhadap Tuhan merupakan pokok dari keberagamaan,
dengan keyakinan itulah prilaku keberagamaan akan terbentuk sebagai efek
dari keterkaitan antara makhluk dengan Penciptanya. Kualitas keyakinan akan
berpengaruh pada kualitas perilaku pemeluknya. Menurut Kamrani, secara
berurutan perilaku seseorang digiring oleh tata nilai, yang tata nilai sendiri
keluar dari keyakinan seseorang. Jadi dari keyakinan (believe or conviction)
muncul nilai (value), kemudian muncul sikap (attitude) dan terakhir
muncullah perilaku (behavior).17
Keterkaitan antara keimanan dan amal shaleh tidak serta merta menjadi
hal yang padu dalam keberagamaan, diperlukan interaksi yang
menghubungkan keduanya. Maka keimanan dan amal shaleh bisa terwujud
dari tindakan ritual keagamaan atau ibadat. Ibadat bukan hanya sekedar ruang
untuk berinteraksi dengan Khalik saja, tetapi juga bisa membentuk
kepribadian bagi pelakunya. Karena disamping makna intrinsiknya, ibadat
juga mengandung makna instrumental sebagaimana menurut Nurcholis
Madjid, ―karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai hubungan
antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadat dapat menjadi instrumen
pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Sebagaimana
Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek
terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial.18
Jadi
disamping nilai vertical, ibadat pun bisa melahirkan nilai horizontal dengan
sesama makhluk, dalam arti sebagai pembentuk moralitas.
B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan
Adapun mengenai dimensi keberagamaan, penulis akan mengacu pada
teori yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark sebagaimana dibahas
dalam buku Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso yang berjudul
16
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Terhadap
Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), Cet.
Keempat, h. 60-61. 17
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi
Pendidikannya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 37. 18
Madjid, Op. cit, h. 61-62.
15
Psikologi Islami, di dalamnya menguraikan lima dimensi keberagamaan yaitu
Dimensi keyakinan (Ideologis), dimensi praktik agama (ritualistik), dimensi
penghayatan (eksperensial), dimensi pengetahuan keagamaan (intelektual),
dan dimensi pengamalan (konsekuensial). Sdangkana dalam rinciannya
penulis hanya akan membahas hal yhagn relevan dengan kebutuhan
kebugtuhan kajian dalanm penelitiaqn skripsi ini.
1. Dimensi Ideologis (Keyakinan)
Dimensi Idiologis berisi berbagai pengharapan, dimana penganut
agama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut. 19
semua penganut agama memiliki
prinsip di dalam keyakinannya, maka dimensi inilah yang mendasari
prinsip tersebut. Keberagamaan didasari oleh sebuah keyakinan yang
teramat personal, sehingga dimensi ini merupakan sisi yang paling sensitif
dalam beragama. adapun dimensi ideologis sama dengan akidah dalam
Islam. dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun
iman, kebenaran agama, serta masalah-masalah ghaib yang diajarkan
agama.20
Ada tiga katagori kepercayaan, yaitu kepercayaan yang menjadi
dasar esensi suatu agama, semisal dalam Islam kepercayaan pada kenabian
Nabi Muhamad Saw. Kemudian kepercayaan-kepercayaan mengenai
tujuan Ilahi dalam menciptakan manusia, hanya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Kemudian kepercayaan mengenai sebagaimana di dalam
Islam ada ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan cara terbaik
dalam melaksanakan tujuan Ilahi, seperti halnya seorang muslim percaya
bahwa melaksanakan amal saleh ia harus melakukan pengabdian kepada
Allah, serta penghigmatan kepada sesama manusia.21
19
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas
Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2, h. 77. 20
Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam
Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002), Cet. Ke-1, h. 78. 21
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2005),
Cet. Ke-3, h. 44-45.
16
Kompleksitas keagamaan pada masyarakat membawa seorang
penganut agama harus dihadapkan pada dua hal, yakni ia harus
menjalankan ajaran agama yang seutuhnya, dan dilain hal dihadapkan pada
keyakinan lain yang secara sosial membawa penganut agama tertentu harus
bisa menghargai keyakinan lain yang secara formal merupakan suatu hal
yang dinilai salah oleh keyakinan lainnya. Dengan demikian keyakinan
terhadap agama secara sosial harus diimbangi dengan pemahaman toleransi
antar sesama manusia walaupun secara keyakinan mereka bertentangan.
Secara umum boleh saja menyatakan semua agama itu benar, tapi bagi
Islam ada pijakan yakni al-Quran yang menyatakan bahwa agama yang
diridhai Allah hanyalah Islam. maka pernyataan tentang semua agama itu
benar tidak boleh. Serta menyatakan Agama kita lebih baik dan meskipun
memberikan pernyataan seperti itu akan mengganggu akidah‖.22
Sebuah keyakinan tidak serta merta tumbuh dalam diri manusia,
diperlukan stimulus untuk menumbuhkannya, serta pemeliharaan keyakinan
sebagai usaha dalam menjaga keutuhan akidah. Berhati-hati dalam
berkeyakinan, bertindak dan berucap mesti dilakukan guna terhindar dari
kerusakan akidah yang akan menjerumuskan umat muslim. Kehati-hatian
menjaga akidah atau munculnya kecemburuan membuktikan keyakinan
yang kuat terhadap agama yang dianutnya. Agama adalah sesuatu yang
utama bagi manusia termasuk para pelajar. Keyakinan dan sikap seperti itu
merupakan karekteristik kedewasaan dalam beragama membuktikan
kematangan beragama. Diantara pertanyaan untuk menaksir kematangan
beragama menurut Clark sebagaimana dikutip oleh Kamrani, ialah
pertanyaan tentang apakah agama itu merupakan sesuatu yang utama.23
Ketauhidan merupakan unsur pokok keberagamaan dalam Islam
Dengan tauhid itulah keberagamaan Islam bisa tegak, dan jika tauhid bisa
tertanam dengan baik pada seorang muslim, maka dengan akan membentuk
suatu kepribadian yang berkualitas baik dalam berkeyakinan maupun
22
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi
Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 27. 23
Ibid, h. 35
17
bersosial. Menurut M. Amien Rais, ―Tauhid berarti komitmen manusia
kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan
sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan
menjadi nilai (value) bagi manusia tauhid, dan ia tidak akan mau menerima
otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk dari Allah.24
Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka,
melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain
mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap
manusia lainnya. Setiap manusia adalah Hamba Allah yang berstatus sama.
Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada
manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektifitas
manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih
tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya.
Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu
dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT (Al-Hujurat:
13).25
Umumnya bukti seorang beriman kepada Tuhan secara dzahir
tergambar dari tindakan keagamaan semisal berdoa dan ikhtiar dalam
perbuatan yang dilakukannya hanya karena Allah. Kesadaran akan adanya
Tuhan bukan hanya sekedar dibuktikan dengan berdoa saja, tetapi ditambah
pula dengan intensitas ingat terhadap Tuhan yang selalu menyertai dalam
kehidupan ini.26
Oleh karenanya, sebuah keyakinan kepada Allah ditandai dengan
intensitas rasa selalu diawasi dalam sertiap perbuatan yang kemudian akan
menimbulkan sikap kepatuhan, sehingga selalu menunaikan apa yang
diajarkan agama dengan baik dan tidak lalai. Dalam arti akan menimbulkan
kedisiplinan dalam sikap orang yang beriman, sebagaimana menurut
Nurcholis Madjid, ―Maka dalam rangka menanamkan budaya disiplin,
24
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, tt), h. 13. 25
Ibid, h. 14. 26
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi
Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 45-47.
18
penting sekali ditanamkan keimanan yang mendalam kepada Allah,
khususnya keimanan dalam arti keinsafan akan adanya Dia Yang Maha
Hadir (Omnipresent), yang selalu menyertai manusia dan tidak pernah
absen barang sedetik pun dalam mengawasi tingkah laku manusia itu‖.27
Beriman kepada kitabullah merupakan bagian dari pokok akidah
umat Islam,bukan hanya sekedar mengimani kitab suci al-Qur‘an, tetapi
juga kitab yang diturunkan pula kepada para Rasul sebelum Nabi
Muhammad. Khusus bagi umat Muhammad, mengimani al-Quran bukan
sekedar mempercayainya akan tetapi menjadikannya sebagai bacaan,
sebagai Hudan atau petunjuk, maupun sebagai furqan atau pemerjelas mana
yang hak dan mana yang batil.
Jika kitab suci ini tersusun dari hasil karya manusia, maka niscaya
akan timbul berbagai pertentangan di dalamnya. Kalau hal itu terjadi, akan
goncang dan cemaslah orang-orang yang beragama Islam itu sendiri.28
Artinya, seorang yang beriman kepada kitabullah akan membentuk
ketenteraman dalam jiwanya.
Upaya menjadikan Al-Quran sebagai hudan atau pemberi petunjuk
dan furqan atau pemerjelas sesuatu antara yang benar dan yang salah, untuk
selanjutnya menjadi penuntun dalam kehidupan manusia perlu dilakukan,
misalnya dengan mengajarkan ayat-ayat tertentu yang maknanya menjawab
tantangan psikologis sehingga bukan lagi sekedar dijawab dengan membaca
verbal.29
Jadi nilai utama dari iman kepada kitabullah dalam konteks ajaran
yang dibawakan Nabi Muhammad adalah intensitas dari seberapa sering
seseorang itu membaca dan belajar mengenai Al-Qur‘an serta
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.
Persoalan mengenai beriman kepada para rasul terutama mengimani
kenabian Muhammad Saw merupakan bagian inti daripada mengikuti dan
mengamalkan ajaran Islam. Dalam pembinaan mental dan perkembangan
27
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), h. 89. 28
Ibid, h. 61. 29
Kamrani Buseri, Op. Cit, h. 56-57.
19
kepribadian, sangat diperlukan adanya suatu tokoh yang akan diteladani
dan dicontoh. Tokoh itu disebut juga Pribadi teladan (the ideal person).
Proses untuk meniru segala sifat Pribadi teladan itu dinamakan identifikasi.
30
Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, kondisi Nabi Muhammad
Saw sedang mengalami berbagai kesulitan yang luar biasa. Setiap dakwah
yang dilakukannya selalu mendapatkan cacian dan hinaan dari kaum
Quraisy. Namun kala itu ada dua orang yang senantiasa membela,
menghibur dan membesarkan hati Nabi. Ialah Siti Khadijah (Isterinya) dan
Abdul Muthalib (Pamannya). Tetapi kedua orang yang dicintainya tersebut
meninggal pada tahun yang sama. Karena itu, Nabi menyebutnya sebagai
tahun duka cita (ammul huzni).31
Nilai keteladanan Nabi Muhammad dengan kesabaran serta
ketegaran hidupnya menjadi bahan kajian bagi kita untuk selalu meneladani
dan mengambil hikmah atas budi pekertinya. Karena, dalam kondisi seperti
itu, cacian dan penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy yang
semakin menjadi-jadi, tetapi Nabi Muhammad tidak berputus asa, beliau
tetap meneruskan dakwah sekalipun harapan keimanan kaum Quraisy
sangat tipis.32
Bukan hanya merayakan isra mi‘raj saja, dalam tradisi masyarakat
muslim, dirayakan pula hari kelahiran Nabi Muhammad Saw yang sering
disebut dengan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam setiap peringatan
maulid, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu bertindak, berpikir,
memimpin orang dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. adalah kesempurnaan perilaku yang sudah sepatutnya
ditiru oleh kita sebagai umatnya dan dijadikan semangat bagi kita untuk
30
Zakiah Daradjat, Op. Cit, h. 48. 31
Armai Arief, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Majemuk, (Ciputat:
Suara ADI, 2009), h. 155. 32
Ibid, h. 156.
20
terus maju dan berprestasi.33
Iman kepada takdir memberikan arti di mana kita wajib
mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam
kehidupan dan diri manusia, adalah menurut hukum, berdasarkan suatu
undang-undang universal atau kepastian umum atau takdir.34
Pada konteks penelitian ini penulis akan melakukan sebuah
pengkajian terhadap sikap keberagamaan siswa tunanetra dari sisi
keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam dan tentunya keyakinan
terhadap Allah Swt serta segenap yang menyangkut akidah dalam Islam.
dimensi ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk
mengukur tingkat akidah siswa sebagai gambatan dari efek pembelajaran
agama yang telah dialaminya.
2. Dimensi Ritualistik (Peribadatan)
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap keyakinan
yang dianutnya.35
Semua agama memiliki prilaku yang khas, terutama
dalam peribadatan. Maka peribadatan merupakan identitas yang paling
terlihat dari pada dimensi keberagamaan yang lainnya. Selain itu,
Peribadatan inilah sebagai bentuk interaksi antara Tuhan sebagai pemberi
ruang dalam beribadah, dengan manusia sebagai pengemban amanat
dengan melaksanakan ibadat. Dengan peribadatan inilah pemeluk agama
akan terlihat bukan hanya sekedar prilaku beragama saja, melainkan pula
sebagai sebuah tanda kesungguhan beragama. Maka pemeluk yang tidak
melakukan peribadatan secara sengaja, bisa dikatakan sebagai orang yang
tidak patuh terhadap titah Tuhannya dan tidak memiliki komitmen
keagamaan yang baik.Dimensi ritual sama halnya ibadah dalam Islam,
hanya saja, ibadah dalam Islam teramat luas jangkauannya. Islam
mengajarkan bukan hanya sekedar ibadah ritual saja, melainkan harus
33
Ibid, h. 172-173. 34
Didiek Ahmad Supardi, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 198. 35
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas
Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2, h. 77.
21
melakukan peribadatan lain di luar itu. Sebagaimana telah kita ketahui
bahwa di dalam Islam dikenal dengan istilah Syari‘ah. Syariah inilah yang
menjadi jalan kehidupan umat Islam dalam menjalannkan kehidupan baik
secara teologis maupun sosial. Artinya dimensi ritual memuat mengenai
seberapa jauh tingkat kepatuhan seorang muslimm, dalam mengerjakan
berbagai ritual peribadatan sebagaimana diperintahhkan dan serta
dianjurkan oleh agamanya.36
Shalat memang erat hubungannya dengan latihan moral, di dalam
surat Al-Ankabut ayat 45 diungkapkan bahwa “ Sesungguhnya Shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.Kemudian
didukung dengan Hadits Nabi yang mengungkapkan ―Shalat yang tidak
menjauhkan pelakunya dari perbuatan tidak senonoh bukanlah shalat.‖
Kemudian ungkapan hadis lain, ―Shalat yang ku terima hanyalah shalat
yang membuat pelakunya merendah terhadap kebesaran-Ku, tidak bersikap
sombong terhadap makhluk-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku,
tetapi senantiasa mengingat-Ku, menaruh kasih sayang terhadap orang
miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, wanita yang kematian
suami, dan orang yang ditimpa kesusahan‖.37
Shalat merupakan konsekuensi dari keyakinan tentang sifat-sifat
Allah SWT yang menguasai Alam raya ini, termasuk manusia serta yang
kepada-Nya bergantung segala sesuatu. Keyakinan tersebut memerlukan
pembuktian dalam bentuk kongkrit, karena keyakinan tidak hanya terbatas
dalam hati, tapi harus dibuktikan dengan amal.38
Shalat bukan hanya sekedar kewajiban manusia saja, melainkan
sebagai sarana manusia dalam mendekatkan diri dan mencari solusi atas
berbagai keluh kesah yang dirasakan manusia. karena itu salat beriringan
dengan keuletan dan ketabahan dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi
36
Ibid, h. 80 37
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985), Cet. Kelima, h. 40. 38
M. Quraish Shihab, ―Falsafah Ibadah dalam Islam‖, dalam Ismail Muhammad Syah,
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, , h. 184.
22
kebutuhan-kebutuhan sebagaimana ditekankan oleh ayat 45 dan 153 surat
Al-Baqarah: Artinya: “Dan jadikanlah ketabahan dan salat sebagai
penolongmu (sarana untuk memenuhi kebutuhanmu).39
Pada ibadah puasa, seorang muslim dituntut untuk menahan diri dari
makan, minum, hubungan sex, dan hal lainnya yang akan merusak ibadah
dan pahala puasa. dengan demikian, seorang bisa merasakan penderitaan
orang lain yang jauh di bawahnya dari segi sosial atau pun material. Oleh
karenannya ibadah puasa akan mendobrak dinding yang menghalangi
antara kaum kaya dan kaum miskin karna secara emosional akan diikat dari
satu rasa ketika menahan dari berbagai hal yang akan mendatangkan
keselarasan sosial. Oleh karenanya, pada bulan ramadhan akan
menanamkan rasa ukhuwah, menumpuk rasa solidaritas, dan meningkatkan
kepekaan sosial.40
Pengendalian dan pengarahan ini sangat dibutuhkan oleh manusia
baik secara individu maupun secara kelompok (masyarakat), karena secara
umum jiwa manusia sangat cepat terpengaruh oleh segala sesuatu
khususnya apabila ia tidak memiliki kesadaran untuk mengendalikannya
serta tekad yang kuat menghadapi bisikan-bisikan negatif. Masyarakat juga
membutuhkan hal-hal di atas demi mengatasi problema-problemanya atau
meraih kejayaannya. Tekad untuk menghadapi problema, dan meraih
kejayaan harus dibarengi dengan kesadaran dan ketenangan jiwa dan ini
yang menjadi penafsiran mengapa cara pengendalian diri dan pengarahan
keinginan (puasa) dilakukan dalam bentuk tertentu sehingga tidak ada yang
mengetahui hakikatnya kecuali pelakunya bersama dengan Allah SWT dan
dari sinilah kesadaran yang dimaksud di atas diperoleh, sedang niat
melakukannya demi karena Allah akan menimbulkan ketenangan dan
ketenteraman.41
Shalat dan Zakat merupakan dua pokok ibadah yang dalam berbagai
39
Ibid, h. 186. 40
Ibid, h. 63 41
M. Quraish Shihab, ―Falsafah Ibadah dalam Islam‖, dalam Ismail Muhammad Syah,
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2, , h. 198.
23
dalil selalu disandarkan. Karena Pelaksanaan salat melambangkan baiknya
hubungan seseorang dengan Tuhan, sedang zakat adalah lambang
harmonisnya hubungannya dengan sesama manusia.42
Adapun hikmah serta urgensi zakat adalah Sebagai perwujudan dari
keimanan kepada Allah dan keyakinan akan kebenaran ajarannya.
Perwujudan dari syukur nikmat, terutama nikmat harta benda.
Meminimalkan sifat kikir, rnaterialistik, Egoistik, dari hanya
mementingkan diri sendiri. karena Sifat bakhil adalah sifat yang tercela
yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah membersihkan,
menyucikan, dan membuat ketenangan jiwa muzakki (orang yang
berzakat).43
Ibadah Haji juga merupakan pensucian roh. dalam mengerjakan haji
di Mekkah, orang berkunjung ke Baitullah (Rumah Tuhan dalam arti rumah
peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah. Sebagaimana
halnya dalam salat, orang di sini juga merasa dekat sekali dengan Tuhan.
Bacaan-bacaan yang diucapkan sewaktu mengerjakan haji itu juga
merupakan dialog antara manusia dengan Tuhan. Usaha pensucian roh di
sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan
tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji perbuatan-perbuatan
tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan rasa bersaudara
antara semua manusia, tdak ada perbedaan antara kaya dan miskin, raja dan
rakyat biasa, antara besar dan kecil, semua sederajat.44
Pada intinya,ibadah haji adalah momentum kebersamaan ummat
Islamyang beranekal ragam, mereka datang dari penjuru negeri yang
berbeda pula, dengan latar belakang beraneka, baik kaya, miskin, kulit
putih, kulit hitampostur tinggi, dan postur sederhana, dengan melepas
semua sekat perbedaan diantara mereka dan memakai pakaian yang sama
dan tak lebih dari beberapa lipatan kain yang tidak mewah menuju sebuah
42
M. Quraish Shihab, Op. Cit, h. 127. 43
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 87-89. 44
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985), Cet. Kelima, h38.
24
tujuan yang sama yakni beribadah kepada Allah Swt. Ini merupakan suatu
keterpaduan yang terbentuk dari suatu ritual peribadatan yang secara
maknawi bisa mendatangkan suatu emosional yang positif antara ummat
Islam dengan latar belakang yang berbeda. Hal demikian yang diistilahkan
Jalaluddin Rakhmat sebagai dasar Tauhidul Ibadah yang menjadi Tauhidul
Ummah, yaitu suatu kesatuan berawal dari peribadatan dan berimplikasi
pada kesatuan dalam persaudaraan ummat Islam.
3. Dimensi Eksperensial (Penghayatan)
Dimensi ini memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapan-pengharapan tertentu. Meski tidak tepat bila dikatakan
seorang yang beragama baik akan mendapatkan puncak dalam pengalaman
keagamaan berupa mencapai sebuah kekuatan supra natural tertentu.
Dimensi ini hanya mengenai pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi
dan sensasi yang dialami seorang religius.45
Meski memang di dalam realita
keberagamaan terutama di dialam Islam dikenal dengan wali yang
umumnya dipahami sebagai sosok yang berkomitmen kuat dengan
agamannya, serta memiliki kemampuan tertentu yagn dianggap luar biasa
oleh kaum awam. Namun inti penghayatan keagamaan bukan itu, karena
manusia beragama sebagai bentuk pengkhidmatan kepada Tuhan, bukan
bertujuan mencari kesaktian. Adapun ada yang mengalami hal diluar
kebiasaan, merupakan nilai tambah seorang yang beragama.
Dimensi eksperensial sejalan dengan ihsan dalam Islam. dimensi ini
berkaitan dengan seberapa jauh seorang muslim merasa dekat dan dilihat
oleh Tuhannya dalam kehidupan. Dimensi ini di dalam Islam mencakup
perasaan dekat dengan Allah, SWT, perasaan nikmat dalam beribadah, dan
hal lainya yang bernuansa menghadirkan Allah di setiap aspek
kehidupannya.46
Maka dimensi eksperensial sebuah sensasi individu dalam
beragama, sebagai efek dari penjiwaan akan tindakan keagmaan yang
45
Ancok. Op. Cit, H. 77-78. 46
Nashori, Op. Cit, h. 81.
25
dipatuhinya.
Pada penelitian ini, dimensi ekperensial digunakan untuk mengukur
tingkat penghayatan siswa terhadap ibadat yang dijalaninya. Karena pada
dasarnya seorang yang beribadat hendaknya megnalami suatu hal yang
dirasakannya saat menjalani peribadatan tersebut. Dengan hal demikian
akan terlihat tingkat keseriusan dan kedewasaan siswa dalam beragama.
Maka dari itu dimensi ini relevan dalam mengakaji sikap keberagamaan
siswa tunanetra, sebagai nilai lain dari keberhasilan pembelajaran agama
yang dialaminya.
4. Dimensi Konsekuensial (Pengamalan Keagamaan)
Dimensi pengamalan atau konsekuensial merupakan dimensi yang
mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman dan pengetahuan keagamaan dari hari-kehari.47
Dimensi ini
merupakan akumulasi dari berbagai sisi keberagamaan. Yang berpengaruh
pada kepribadian pemeluknya dan bisa membentuk yang cara pandang dan
perbuatan seseorang dalam kehidupannya. Hal ini menunjukan bahwa
agama secara fungsional bukan hanya sebagai jalan untuk mencurahkan
keyakinan dan ketaatan terhadap ajaran semata, melainkan bisa
berpengaruh terhadap sisi psikologis pemeluknya yang bedampak pada
segala aspek manusia. kemudian bisa melahirkan sebuah tindakan bernilai
religi dalam bermasyarakat.
Dimensi amal ini bisa dikatakan sebagai akhlak dalam Islam. suatu
yang menyangkut dengan kegiatan pemeluk agama dalam merealisasikan
ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan. Dimensi ini menyangkut
hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya48
. Artinya dimensi eksperensial sebagai sebuah
tindakan sosial yang didasari nilai keagamaan, termasuk sikap terhadap
lingkungan sekitar. Bisa dikatakan dimensi ini sebagai sebuah sikap
keberagamaan sebagai finalitas pengkhidmatan terhadap agama, yang
47
Ancok, Op. Cit, h. 78. 48
Nashori, Op. Cit, h. 80.
26
membentuk moralitas dalam masyarakat religius.
Nilai muamalah merupakan nilai yang melibatkan antara satu
makhluk dengan makhluk yang lainnya. Disini mengatur masalah hubungan
dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Karena
manusia tidak bisa lepas dari keterlibatan orang lain di dalam
kehidupannya, darinya manusia disebut dengan makhluk sosial. Begitu pula
dengan alam, manusia hidup di tengah alam semesta yang menyediakan
fasilitas dari berbagai kebutuhan manusia dimulai dari kebutuhan pokok
dan kebutuhan lainnya. Dari keduanya, manusia sebagai individu dan
kelompok dituntut untuk menjalin hubungan dengan baik guna meraih
keselarasan secara sosial. Hal demikian juga berlaku dalam berhubungan
dengan alam beserta lingkungan tempat seseorang tinggal, diharuskan
untuk menjaga keseimbangan alam sekitar supaya tidak terjadi kerusakan
yang akan mendatangkan kemadlaratan kepada kehidupan baik individu
maupun kelompok. Disini agama Islam meberikan pengarahan bagi
pemeluknya.
Hubungan sesama muslim yang begitu akrab sangat sejalan dengan
nilai yang dikembangkan oleh Islam sendiri yaitu bahwa sesungguhnya
setiap orang yang beriman itu bersaudara sebagaimana penegasan Allah
SWT dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat (49):10. Begitu pula sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa ―Seorang muslim itu
bersaudara dengan muslim yang lain‖, H.R. Bukhari.49
Dalam Muamalah bukan hanya sekedar hubungan baik secara
interaktif, harus diperhatikan pula segala hal yang bisa menimbulkan
perhatian atau kenyamanan antar sesama muslim. Dalam hal estetika
berupa, pakaian yang merangsang dorongan seksual lawan jenis
bertentangan dengan kaedah pergaulan dalam Islam. Perlakuan yang tidak
wajar dalam hubungan lawan jenis, salah satunya disebabkan oleh
rangsangan yang timbul dari cara berpakaian yang membangkitkan gairah
49
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telah Phenomenologi dan Strategi
Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), h. 127.
27
seksual.50
Seorang muslim dituntut untuk menjalin hubungan Hubungan
keluarga, sanak saudara, dan guru. Hubungan antara seoranganak kepada
keluarga atau kedua orang tuanya terlihat dari intenistas hubungan baik
dengan kedua orang tuanya. Biasanya seorang pelajar melakukan hubungan
baik itu dengan cara bersalaman, meminta doa kepada kedua orang tua saat
hendak berrangkat ke sekolah. Serta pula melakukan perilaku demikian
kepada guru di sekolah.51
Manusia berkiprah di muka buni ini bukan sekedar kebetulan
ataupun untuk menempatinya secara Cuma-Cuma. Manusia mengemban
suatu tanggungjawab untuk memakmurkan bumi serta menjaga keselarasan
dan kestabilan alam sekitar yang menjadi tempat kehidupannya. Dalam arti
manusia harus menjaga kestabilan alam dan menjaga diri untuk berbuat
kerusakan yang mengganggu ekosistem yang akan mendatangkan
kemadlaratan.
Dimensi konsekuensial digunakan untuk mengukur kepribadian atau
sikap siswa dalam melakukan berbagai hal yang dikerjakannya. penulis
akan melihat dari sisi maksud dan tujuan yang mendasari dari setiap
perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu dilatarbelakangi agama,
maka bisa dikatakan sikap keberagamaan telah tumbuh pada diri siswa
tunanetra, dan jika sebaliknya, maka belum tumbuh sikap keberagamaan
tersebut. Penulis pun akan mengukur tingkat penerimaan ssiswa terhadap
berbagai kondisi yang dialami dalam kehidupoan siswa. dengan demikian
akan terlihat rasa tingkat penerimaan siswa dalam menyikapi segala hal
yang menjadi keluh kesah siswa, dan akan terlihat tingkat kesabaran dan
keikhlasan pada konteks siswa tunanetra sebagai gambaran akan nilai
agama yang tertanam pada diri siswa tunanetra.
50
Ibid, h. 130. 51
Ibid, h. 138.
28
5. Dimensi Intelektual (Pengetahuan Keagamaan)
Dimensi pengetahuan, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa
orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan
mendasar, baik mengenai ritus-ritus, kitab suci, serta tradisi-tradisi. Karena
semua agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui
oleh pemeluknya. Semisal ilmu fikih dalam Islam yang memuat informasi
mengenai peribadatan sebagai hasil dari fatwa para ulama sebagai hasil
pengkajian terhadap sumber ajaran Islam.52
Masalah ilmu dalam Islam sangat urgensial, karena perkataan ilmu
(al-il’m) dalam al-Qur‘an lebih banyak disebut setelah nama Allah. Bila ada
persoalan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta dalam
menyikapi persoalan kehidupan. maka Islam mendorong fleksibilitas dan
pilihan rasional yang terefleksi dalam ijtihad, (kajian sungguh-sungguh
dalam merumuskan kaidah hukum Islam, yang baru), Syura (musyawarah),
dan ijma (konsensus). Penegasan tersebut menunjukkan bahwa dalam
memahami sumber ajaran Islam sangat penting, agar religiusitas seorang
muslim tidak sekedar atributif, dan hanya sampai pada tataran simbolisme
esoterik. Maka dimensi ini meliputi empat dimensi lainnya yaitu dimensi
akidah, ibadah, akhlak, serta ihsan.53
Maka bisa dipahami bahwa dimensi pengetahuan keagamaan adalah
unsur mendasar yang bisa menggerakan perilaku keberagamaan. Sebuah
konsekuensi logis bila penganut agama tidak memiliki pengetahuan akan
agama yang diyakininya, maka keberagamaan sesorang bisa dikatakan
sebagai tindakan reflektif atau hanya sebatas meniru tanpa didasari maksud
dan tujuannya, karena tidak mengetahui alasan mendasar dari yang
dilakukannya. Jika sebelumnya dimensi eksperensial sebagai finalitas dari
keberagamaan, pada dimensi intelektual ini bisa dikatakan sebagai jalan
dari keberagamaan yang meliputi seluruh aspek keberagamaan pemeluk
dalam mencapai puncaknya ,termasuk dalam membentuk pengamalan atau
52
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2005),
Cet. Ke-3, h. 46. 53
Nashori, Op. Cit, h. 82.
29
moralitas masyarakat religius. Maka dimensi pengetahuan ini lebih
universal yang mendasari semua dimensi, oleh karena itu, pengetahuan
keagamaan merupakan suatu yang urgensial, sebagai pijakan dalam
keberagamaan.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi yang menjadi tempat penelitian pada skripsi ini adalah Sekolah
Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional yang bertempat di Lebak Bulus
Jakarta selatan, peneliti akan melakukan kegiatan penelitian tersebut. Sekolah
tersebut dikhususkan untuk siswa penyandang tunanetra.Darinya sisa yang
peneliti jadikan sebagai informan adalah siswa tunanetra. Di sekolah tersebut
memuat tiga jenjang pendidikan dimlai dari Sekolah Dasar, sampai Sekolah
Menengah Atas. Namun yang akan peneliti kaji adalah siswa yang jenjang
pendidikannya SMP dan SMA. Hal tersebur terkait dari tema dalam penelitian
ini yaitu keberagamaan pada perkembangan masa remaja. Oleh karena itu
remaja yang penulis teliti adalah remaja tahap awal yaitu SMP, dan remaja
tahap akhir yang ukurannya adalah SMA. Dengan demikian jenjang tersebut
relevan dengan kebutuhan dalam Kajian skripsi ini.
Pada pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih
akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang
memiliki keterbatasan penglihatan secara total, tetapi mencakup juga mereka
yang mampu nnelihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak
dengan kondisi penglihatan yang termasuk ―setengah melihat‖, ―low vision‖,
atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra. Maka pengertian anak
tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak
berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari
seperti halnya orang awas54
.
Pada mulanya penelitian dimulai sekitar dua bulan setelah kegiatan
praktik mengajar berlangsung, namun kegiatan penelitian tersebut kurang
efektif sehingga secara serius penulis melakukan kegiatan perpanjangan waktu
54
T. Sudjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2012), Cet. Ke-4, h. 65.
31
penelitian yang dilakukan pada bulan maret sampai april 2016. Maka dalam
kurun waktu tersebut sebisa mungkin penulis akan berusaha meneliti apa yang
kiranya relevan dengan kebutuhan dalam kajian skripsi ini. Jika waktu dirasa
kurang mencukupi untuk memperoleh data relevan atau kurang sesuai
kebutuhan, peneliti akan melakukan perpanjangan penelitian disesuaian
dengan kebutuhan penelitian.
B. Objek Penelitian
Sikap keberagamaan sebagai pokok utama dalam kajian skripsi ini,
penulis akan menelusuri objek permasalahan dalam penelitian ini hanya
meliputi sikap keberagamaan siswa tunanetra dan kaitannya dengan program
keagamaan yang diadakan. Melalui data yang akan diraih dari informan yang
relevan dan sesuai dengan kebutuhan skripsi ini, penulis akan mengolahnya
dan memaparkannya dalam bentuk pendeskripsian sebagai usaha untuk
menggambarkan sejauh mana efektivitas program keagamaan yang dilakukan
di sekolah yang berdampak pada sikap keberagamaan siswa tunanetra. Dari
uraian tersebut penulis akan mengulasnya berdasarkan merinci objek
penelitian sebagai berikut:
1. Sikap keberagamaan siswa tunanetra yang akan dipaparkan sebagai
gambaran hasil pembelajaran atas program keagamaan di SLB A PTN,
akan menjadi obejek utama dalam pencapaian hasil penelitian yang
diharapkan. Menimbang sikap keberagamaan tersebut merupakan
representasi dari pada hasil pembelajaran keagamaan yang telah
dilaksanakan.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penanaman sikap
keberagaman dalam program keagamaan di SLB A PTN, akan menjadi
objek kedua dalam pencapaian hasil penelitian pada skripsi ini. Karena
berbagai faktor yang mempengaruhi jalannya program dan pencapaian
dalam pembelajaran yang ideal tersebut. Akan di kaji sebagi identifikasi
terhadap program keagamaan yagn tealh dilakukan, serta sebagai rujukan
dalam melakukan kritik dan saran terhadap program keagamaan yang ada.
Dengan kedua objek penelitian tersebutlah penulis akan berusaha
32
untuk mencapai hasil penelitian yang diharapkan. Dengan kedua poin tersebut
juga penulis akan menentukan kesimpulan dan saran pada BAB penutup. Bisa
dipahami bahwa obejek penelitian ini merupakan dua unsur utama dalam
pendcapaian penelitian serta sebagai tujuan pokok penulisan skripsi ini.
C. Metode, Jenis dan Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan adalah Metode kualitatif. penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang berlandaskan filsafat post positivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan)
analisa data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.55
Penulis melakukan kegiatan penelitian sehubungan dengan
pembentukan sikap keberagamaan siswa tunanetra di SLB A Pembina Tingkat
Nasional. Penulis akan mengamati dan memperoleh data melalui berbagai
perilaku dan tanggapan siswa terkait keberagamaan yang telah direncanakan.
Sikap tersebut akan menjadi bahan kajian yang mengacu pada hubungannya
dengan keberhasilan dalam penyelenggaraan program keagamaan yang
diadakan di sekolah. Bukan hanya itu peneliti pun akan menelusuri hal yang
terkait dengan keberagamaan siswa baik dari segi latar keluarga, pendidikan
non formal semisal pembelajaran agama di rumah dan lainnya yang kirannya
berpeluang membentuk sikap keberagamaan siswa.
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan
apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan,
mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sedang terjadi.
Menurut Mardalis, ―Penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh
informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara
55
Ibid, h. 9.
33
variabel-variabel yang ada‖.56
Penelitian deskripsi atau description research memiliki berbagai jenis.
Dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif
murni. Penelitian deskriptif ini merupakan penelitian yang benar-benar hanya
memaparkan apa yang terjadi dalam sebuah kancah, lapangan, atau wilayah
tertentu. Data yang telah terkumpul diklasifikasikan atau menurut jenis, sifat,
atau kondisinya. Setelah datanya diangkap mencukupi, kemudian dibuat
kesimpulan.57
Penulis akan berusaha menyajikan hasil penelitian ini dengan
mendeskripsikan data yang didapatkan dan diolah melalui analisa. Semua hal
yang terkait keberagamaan tersebut akan dipaparkan secara deskriptif dan
sebisa mungkin peneliti akan menemukan sebuah kesimpulan yang
diharapkan. Yaitu mengidentifikasi sikap keberagamaan siswa dan
menggambarkannya guna menjadi sebuah gambaran dalam keberhasilan
pembelajaran keagamaan.
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan, adalah menggunakan
pendekatan penelitian lapangan. Penelitian lapangan atau field research,
adalah jenis penelitian yang bisa dianggap sebagai pendekatan luas dalam
penelitian kualitatif, atau suatu metode untuk mengumpulkan data kualitatif.
Ide pentingnya adalah bahwa penelitian berangkat ke ‗lapangan‘, untuk
melakukan pengamatan tentang suatu fenomenon dalam suatu keadaan
alamiah atau ‗in situ‘. Dalam hal demikian, maka pendekatan ini terkait erat
dengan pengamatan berperan serta. Penelitian ini biasanya membuat catatan
lapangan ssecara ekstensif, kemudian dibuatkan kodenya yang kemudian
dianalisa dengan berbagai cara.58
Sebagimana telah disebutkan bahwa penelitian ini akan mengkaji
tentang sikap keberagamaan siswa tunanetra. Darinya penulis akan melakukan
56
Mardalis, Metode Penellitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,
2014), Cet. 13, , h. 26. 57
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas, h. 3. 58
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2004), Cet. Ke-20, h. 26.
34
penelitian pada suatu lapangan yang dalam konteks penelitian ini adalah SLB
A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus. Penulis akan mengamati dan
mengambil data dari kondisi yang tercipta di sekolah tersebut dengan segala
tingkah laku dan tanggapan siswa maupun pendapat guru, semua itu akan
dijadikan sebagai data primer yang kemudian akan dikumpulkan dan
diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan. Setelah data tersebut dibuat rapih atau
sesuai kebutuhan, penulis akan menganalisa melalui pendeskripsian yang akan
disajikan dalam laporan yang termuat dalam bab IV (Empat).
D. Sumber Data
1. Jenis Data
Sebelum menjelaskan perihal teknik pengumpulan data secara
lebih lanjut, penulis akan memaparkan mengenai sumber data yang akan
diperoleh dalam penelitian ini. Sumber data adalah suatu subyek, dari
mana data dapat diperoleh.59
Adapun sumber data pada penelitian
kualitatif adalah Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati
merupakan sumber data utama.Sumber utama tersebut diperoleh melalui
catatan tertulis, atau melalui perekaman, pengambilan foto atau film. Hal
tersebut diperoleh melalui wawancara, atau pengamatan berperan serta
merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan
bertanya.60
Penulis dalam usaha memperoleh data akan menjadikan siswa
tunenetra sebagai bagian utama dalam pengambilan informasi, disamping
guru dan kepala sekolah terkait, semuanya akan penulis minta keterangan
terkait informasi yang relevan. Bukan hanya itu, perilaku siswa tunanetra
sebagai informan utama serta ungkapan mereka menjadi unsur pokok
dalam pencarian data.
2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.61
Namun dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi Spradley
59
Suharsimi Arikunto, Op.cit, h. 122. 60
Lexy J. Moleong, Op.cit, h. 157. 61
Suharsimi Arikunto, Op.cit, h. 173.
35
menamakannya sebagai ―social situation‖ atau situasi social yang terdiri
atas tiga elemen yaitu, tempat (place), pelaku (actory), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis.62
Hal tersebut bisa diamati di
rumah, lingkungan social, sekolah, dan lainnya. Semua hal tersebut
meliputi segala aktivitas yang menjadi sumber pengamatan dalam
penelitian kualitatif.
Populasi atau situasi yang dimaksud dalam objek kajian skripsi ini
adalah segala hal yang menjadi kegiatan siswa di Sekolah Luar Biasa A
Pembina Tingkat Nasional, baik berupa kegiatan peribadatan formal,
kegiatan keagamaan, sikap sosial siswa dalam arti hubungan dengan
sesama siswa, guru, dan keluarga. Dengan segenap situasi dan kondisi
yang terangkai dalam kegiatan yang dilakukan oleh siswa tunenetra yang
meliputi jenjang SMP Dan SMA. Kondisi dan situasi yang mereka
ciptakan srta tanggapan mereka akan menjadi sumber pokok dalam
penelitian ini.
Jumlah siswa yyang tidak terlalu banyak tersebut adalah bentuk
dari populasi atau situasi yang menjadi sumber data. Adapun Sampel itu
sebagai komponen-komponen dan yang mewakili populasi. Sedangkan
dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel, karena memang tidak ada
populasi. Dalam penelitian kualitatif yang dikenal adalah subjek,
informan, atau responden. informan atau responden dalam penelitian
kualitatif tidak mewakili populasi, tetapi mewakili informan. Maka
penentuan subjek penelitian bukan dilihat pada besarnya jumlah orang
yang memberikan informasi (data), melainkan siapa saja diantara mereka
yang lebih banyak terlibat dalam peristiwa atau memiliki informasi yang
diperlukan dalam penelitian.63
Menurut Lexy J. Moleong, ―Maksud
sampling dalam hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi
62
, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), Cet. 13h. 215. 63
Rulam Ahmadi, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014),
h. 183.
36
dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions.)‖.64
Jadi pada dasarnya maksud sampling yang dimaksud dalam
kualitatif adalah usaha untuk mendapatkan informasi melalui situasi yang
terjadi pada lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis menggunakan
purposive sampling yaitu tekhnik pengambilan sampel terhadap sumber
data dengan pertimbangan.65
Pertimbangan yang dimaksud adalah
informan atau sumber data dinilai bisa memberikan informasi yang sesuai
dengan harapan penelitian. Darinya penulis akan mengambil sampel
dengan pertimbangan bisa memberikan informasi dengan baik dan jelas.
Sebagaimana Moleongmenambahkan, ―maksud kedua dari sampling ialah
menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori
yang muncul .Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel
acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).66
Siswa tunanetra yang menjadi informan pokok tidak akan
semuanya diwawancara. Hanya siswa-siswa tertentu yang dinilai bisa
memberikan informasi terkait kebutuhan data pada penelitian ini secara
lugas dan jelas. Kerena ada siswa yang karakteristiknya tertutup dan sulit
memberikan keterangan dari pertanyaan yang diberikan. Oleh karenanya
siswa yang cenderung tertutup akan menyulitkan peneliti dalam
mendapatkan informasi. Penulis akan memperoleh informasi dari siswa
yang dinilai bisa memberikan keterangan dengan jelas serta memudahkan
penelitian dalam mendapatkan informasi.
E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hendaknya melakukan sebuah usaha untuk
memperoleh data yang menjadi bahan kajian dalam suatu penelitian. Tindakan
demikian bisa dikatakan sebagai usaha pengumpulan data yang dalam
64
, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2004), Cet. Ke-20, h. 224. 65
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), Cet. 13, h. 218-219. 66
Moleong, Loc.cit.
37
pelaksanaannya menggunakan cara yang dalam penyebutannya sering disebut
dengan instrument penelitian.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam penelitian kualitatif
manusia sebagai instrument utama. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi
insrumen atau alat penggali informasi dalam penelitian adalah peneliti itu
sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrument juga harus ―divalidasi‖
seberapa jauh seorang peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun ke lapangan.67
1. Interview atau Wawancara
Wawancara digunakan untuk meperoleh data dari informan yang
dinilai bisa memberikan data relevan. Menurut Lexy J. Moleong,
―Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dil oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.68
Peneliti akan mewawancarai siswa tunanetra sebagai sumber data
utama, ditambah lagi guru agama dan guru lainnya serta kepala sekolah
yang mungkin akan memberikan informasi yang relevan terkait data yang
keberagamaan dan situasi keagamaan siswa tunanetra.
Secara garis besar, ada dua pedoman dalam wawancara yakni
wawancara tidak terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tidak
terstruktur adalah pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar
yang akan ditanyakan. Pada jenis ini kreativitas pewawancara amat
menentukan bahkan hasil wawancara tergantung pewawancara itu sendiri.
Sedangkan wawancara terstruktur adalah pedoman wawancara yang
disusun secara terperinci .69
Wawancara tidak testruktur disebut pula wawancara informal. Pada
67
Ibid, h. 222. 68
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2004), Cet. Ke-20h. 186. 69
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 270.
38
hal ini wawancara dilakukan dengan biasa tanpa ada rekayasa secara
resmi. Pertanyaan yang diajukan bersifat spontan dan mengalir apa
adanya. Menurut Moleong, ―jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan
sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada
spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada terwawancara‖.70
Adapun wawancara terstruktur disebut pula dengan wawancara
baku. Pada wawancara ini pertanyaan bersifat sistematis dan alur
pertanyaan yang terencana dengan jelas sejak semula. Menurut Moleong,
―jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat
pertanyaan baku, urutan pertanyaaan, kata-katanya, dan cara penyajiannya
pun sama untuk setiap responden‖.71
Dari kedua teknik wawancara di atas kiranya menjadi pijakan
dalam pengambilan data. Namun bagi penulis kedua jenis tersebut dinilai
bisa dipakai dalam penelitian ini. Penulis akan menggunakan wawancara
yang terstruktur, sekaligus tidak terlalu formal dalam mewawancara. Oleh
karenanya penulis mengambil pendapat yang dikemukakan oleh Suharsimi
Arikunto bahwa pedoman wawancara yang banyak digunakan bentuk
―semi structured‖. Dalam hal ini mula-mula interviwer menanyakan
serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu
diperdalam dalam mengorek keterangan lebih lanjut.72
Pertanyaan yang akan diajukan adalah sebagaimana terdapat dalam
bab II (dua), dengan menggunakan pendekatan melalui lima dimensi
keberagamaan yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark serta
berbagai hal yang relevan dengan penelitian sebagaimana termuat dalam
nilai-nilai ilahiyah atau moral yang bersumber dari keagamaan. Dalam hal
ini ada tiga bentuk pertanyaan yaitu terkait hubungannya dengan akidah,
kemudian nilai ibadah yang bisa ditanamkan dalam kehidupan,
ditanamkan serta muamalah sebagai bentuk sosial keberagamaan. Dengan
70
Moloeng, Op.cit, h. 187. 71
Ibid, h. 188. 72
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 270.
39
demikian penulis akan menjadikan pertanyaan dalam wawancara akan
dibuat lebih terstruktur dan terencana.
Namun penulis menilai pertanyaan yang kaku kurang memberikan
informasi yang mendalam. Oleh karenanya, penulis akan menanyakan
pertanyaan lain yang sifatnya spontan guna mendapatkan informasi yang
jauh lebih mendalam.
2. Observasi
Observasi dalam pembagiannya, dibagi atas dua jenis yaitu
observasi berperan serta (participant observation). Adalah seorang peneliti
terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau orang
yang menjadi sumber data penelitian. Sedangkan observasi non partisipan
adalah seorang peneliti tidak terlibat dalam kegiatan informan dan
berperan sebagai pengamat yang independen.73
Dalam hal ini peneliti memilih observasi lebih fleksibel, dalam satu
kondisi penulis menggunakan observasi partisipan. Karena peneliti
mengamati secara langsung dengan melibatkan diri dalam kegiatan di
sekolah. Oleh karena itu, peneliti sembari melakukan kegiatan belajar
mengajar, peneliti pun melakukan observasi atau pengamatan terhadap
prilaku siswa. Namun di lain kondisi peneliti hanya mengamati dan tidak
melibatkan langsung dalam kegiatan siswa tunanetra. Hal demikian
bersifat kondisional. Pada intinya peneliti melakukan kegiatan pengamatan
untuk memperoleh data yang relevan dengan penelitian.
Adapun dalam instrument-nya observasi memiliki dua jenis yaitu
observasi terstruktur dan observasi tidak terstruktur. Observasi terstruktur
yaitu observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang
akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Sedangkan observasi tidak
terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis
tentang apa yang akan diobservasi.74
Dalam hal ini, Peneliti menggunakan observasi terstruktur. Yaitu
73
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), Cet. 13, h. 145. 74
Ibid, h. 146.
40
peneliti memiliki tujuan yang sudah jelas sebelumnya yaitu akan
melakukan kegiatan penelitian yang terkait sikap keberagamaan siswa
dengan waktu dan tempat ditentukan.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah usaha mencari data melalui data-data
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan lainnya yang
terkait dengan data yang sifatnya tertulis.75
Penulis dalam penelitian ini menggunakan data pendukung lain
yaitu berbagai buku yang relevan dengan pengkajian skripsi ini. Melalui
buku yang bertemakan keagamaan semisal buku yang ditulis oleh
Nurcholis Madjid, Harun Nasution, dan lainnya. Semua buku tersebut
turut menjembatani penulis dalam mengkaji serta memperoleh data yang
menjadi objek penelitian dalam skripsi ini.
Bukan hanya itu penulis-pun mencari data-data tertulis yang
bersumber dari sekolah semisal data mengenai kegiatan sekolah, siswa,
dan terkait program keagamaan yang diselenggarakan di sekolah. Semua
data tersebut dinilai bisa memberikan dukungan dalam keberhasilan
penelitian ini.
Penulis akan melakukan pemotretan dari hasil pengamatan
lapangan dan foto kegiatan keagamaan siswa yang di miliki sekolah.
semua itu sebagai validitas data penelitian. Bukan hanya itu peneliti pun
akan melakukan kegiatan perekaman yang dilakukan ketika kegiatan
wawancara. Semua itu sebagai usaha dalam memvalidasi data yang
didapatkan dari informan.
4. Catatan Lapangan
Kegiatan penelitian yang dilakukan di lapangan, lazimnya
mendapati berbagai situasi yang menjadi data penelitian, baik yang sudah
terencana maupun yang spontan. Melalui pengamatan, mendengar,
bertanya dan lainnya menjadikan peneliti berusaha untuk mengambil data
75
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelimabelas h. 274.
41
relevan dari kondisi serta situasi yang kiranya menjadi bahan kajian dalam
skripsi ini. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi peneliti berinisiatif
untuk melakukan pencatatan yang secara istilah penelitian disebut catatan
lapangan.
Catatan lapangan terdiri dari beberapa jenis. Adapun yang peneliti
gunakan adalah catatan pengamatan langsung. Yaitu seorang peneliti
menulis segera setelah meninggalkan lapangan kemudian setelah itu,
catatan harus disusun secara kronologis. Catatan tersebut merupakan suatu
deskripsi terperinci tentang apa yang di dengar dan dilihat sebagai sesuatu
yang dinilai kongkret dan khusus.76
Penulis akan menggunakan catatan lapangan sebagai bagian dari
sumber data yang akan memberikan informasi pendukung. Maka setelah
catatan lapangan dibuat, peneliti akan melibatkannya dengan berbagai data
yang kirannya bisa bersesuaian dengan kajian dalam penelitian ini.
F. Teknik Validasi Data
Kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mengkaji data relevan dan
memperoleh keabsahannya, adalah melakukan pengklasifikasian data.
Pengklasifikasian data Adalah kegiatan penggolongan aneka ragam jawaban
itu ke dalam katagori-katagori yang jumlahnya lebih terbatas.77
Jadi data yang
telah terkumpul akan disederhanakan atau diringkas, dan mungkin tidak akan
digunakan semua, melainkan akan lebih dipilih data yang lebih dibutuhkan
atau lebih sesuai dengan kebutuhan penelitian. Menimbang ada kemungkinan
data yang masih memerlukan pengamatan lebih lanjut serta Karena
terbatasnya ruang penulisan membuat penulis harus lebih mengefektifkan
penulisan dengan menggunakan data yang sesuai kebutuhan.
Jika data dinilai kurang atau belum sesuai dengan harapan yang
terencana, maka penulis akan melakukan validasi data dengan cara
perpanjangan penelitian disebabkan belum mendapatkan data yang sesuai
76
Ibid, h. 194. 77
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), Cet.
Ke-8, h. 191.
42
dengan kebutuhan skripsi. Atau pun penulis melakukan pengamatan secara
tekun. Sebisa mungkin dalam memperoleh data yang relevan, penulis lebih
berhati-hati atau melakukan beberapa kegiatan untuk memperoleh data yang
valid, semisal penulis melakukan wawancara kembali terhadap suatu informan
yang tujuannya untuk mendapatkan data yang valid. Sebagaimana menurut
Moleong, ―ketekunan pengamatan bermaksud menemukan cirri-ciri dan
unsure-unsur dalam situasi yang sangan relevan dengan persoalan atau isu
yang sedang dicari dan kemudian memusastkan diri pada hal-hal tertentu
secara rinci‖.78
Yang pada intinya adalah melakukan pendalaman terhadap
data penelitian.
Kemudian tekhnik berikutnya dengan cara triangulasi. Menurut
Moleong, ―Triangulasi adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan ssesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu‖.79
Penulis dalam hal
ini akan melakukan pembandingan antara data yang telah diperoleh dari siswa,
dengan data dari guru. Ataupun penulis akan melakukan pembandingan
dengan teori yang dikemukakan oleh tokoh melalui pengutipan dari buku
relevan yang ditulisnya.
G. Teknik Analisa Data
Analisa data bisa dipahami sebagai alat utama dalam mencapai sebuah
tujuan penelitian. Dengan analisa itu pula finalitas sebuah penelitian bisa
tercapai. Maka analisa adalah jalan dalam memperoleh hasil dari penelitian
yang telah dilakukan. Menurut sugiyono analisa adalah :Proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
katagori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
78
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2004), Cet. Ke-20, h. 329. 79
Ibid, h. 330.
43
orang lain:.80
Jadi analisa merupakan usaha untuk menginterpretasikan data yang
disajikan melalui sistematika penelaahan. Data menyangkut sikap
keberagamaan melalui wawancara dengan siswa, tidak akan digunakan semua,
melainkan diambil data yang sesuai dan menyimpan data yang memerlukan
penelaahan lebih lanjut. Kemudian melakukan kegiatan lain semisal
pembandingan, pengecekan, penulisan ulang data dari catatan yang dinilai
kurang baik, yang semuanya itu sebagai usaha untuk meraih data yang baik
untuk disajikan sebagai hasil dari analisa yang dilakukan.
Adapun Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini tidak
jauh dari jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif.
Diantara karakteristiknya, adalah bersifat deskriptif. Yaitu laporan yang
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran
penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, foto, dan berbagai dokumen lainnya.81
Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini akan disajikan secara
deskriptif. Yaitu semua data yang diperoleh akan dideskripsikan secara
sistematis dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Semua data yang disajikan
sebelumnya telah diklasifikasikan sebagaimana telah dipaparkan bahwa untuk
mengkaji data yang relevan akan dilakukan pengklasifikasian dengan
mengambil data yang hanya sesuai dengan kebutuhan penelitian, dan akan
menyimpan data yang masih perlu pengamatan lebih mendalam, serta kegiatan
pembandingan, dan hal lainnya sebagai bentuk usaha dalam menganalisa data.
80
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), Cet. 13, h. 244. 81
Moleong, Op.cit, h. 11.
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN
SISWA TUNANETRA DI SLB A PTN
(PEMBINA TINGKAT NASIONAL)
A. Program Keagamaan SLB A PTN
Program keagamaan yang dilaksanakan di SLB A PTN adalah segala
hal yang menyangkut kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di SLB. Semua
itu akan menjadi bahan utama dalam pengkajian skripsi ini. Adapun kata
program dalam kamus Istilah Populer, diartikan sebagai ―Ketentuan rencana
dari pemerintah; acara, rencana, rancangan (kegiatan).82
bisa dipahami bahwa
program sebagai sebuah rencana dari berbagai rancangan acara pada suatu
kegiatan. Sedangkan kata keagamaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diartikan sebagai ―yang berhubungan dengan agama‖.83
Artinya segala hal
yang menyangkut agama dikatakan sebagai keagamaan. Jadi program
keagamaan bisa disimpulkan sebagai sebuah rencana dari berbagai rancangan
acara pada suatu kegiatan yang berhubungan dengan agama, yang dalam
konteks penelitian ini adalah kegiatan keagamaan pada SLB A Pembina
Tingkat Nasional.
1. Visi dan Misi
a. Memahami dan menghayati keimanan kepada Allah melalui tanda-
tanda kebesaran Allah
b. Memahami dan menghayati makna ibadah kepada Allah melalui
pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari
c. Membiasakan membaca al-Qur‘an brille, dan menulis dengan benar.
d. Mempraktikan ibadah dan membiasakan dengan baik dan benar.
Bila kita telaah lebih lanjut, uraian di atas merupakan sebuah misi
dari pada kegiatan yang dicanangkan SLB A PTN, namun mengenai visi
82
Pius A. Partanto dan M. Dahalan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
tt), h. 635. 83
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1 edisi IV, h. 15.
45
dari kegiatan keagamaan tidak penulis dapatkan, sehubungan dengan tidak
terdapatnya sebuah dokumen resmi dengan segenap rancangan dan
perencanaan yang tertera secara langsung. Di sini penulis hanya
mendapatkan data dari hasil tulisan tangan guru agama84
. Maka dari itu,
secara formal, program keagamaan terlaksana secara praktis dan tidak ada
konseptualisasi secara sistematis.
2. Praktik Keagamaan
Sebagaimana dalam uraian visi dan misi program keagamaan yang
tidak terdokumentasi secara sistematis, hal demikian tidak jauh berbeda
dengan jenis kegiatan keagamaan yagn dilaksanakan di SLB. Penulis tidak
mendapatkan keterangan melalui dokumen resmi sekolah, melainkan
melalui data yang didapatkan dari salah seorang guru agama, dengan data
yang diraih dari hasil tulis tangan. Adapun jenis kegiatan keagamaan yang
terlaksana adalah sebagai berikut:
a. Praktik shalat dan dzikir (gerakan dan bacaan)
b. Praktik hafalan surat-surat pendek (SMP 10 surat dan SMA 15 surat)
c. Praktik shalat dhuha secara berjamaah pada jumpat minggu pertama
disertai tausiyah dari guru
d. Menyelenggarakan pesantren ramadhan
e. Memperingati hari-hari besar Islam
f. Pelaksanaan qur‘ban
Pada poin pertama, menganai pembinaan praktikum shalat dan
dzikir, dilaksanakan setiap hari saat pelaksanaan shalat dzuhur. Mengenai
shalat dzuhur berjamaah merupakan kegiatan harian yang senantiasa
dilaksanakan, didalamnya melibatkan guru yang berkesempatan untuk
membimbing, serta seluruh siswa tunanetra yang dihimbau untuk
mengikuti kegiatan tersebut. Pada rangkaian kegiatannnya, selepas shalat
dzuhur berjama‘ah, ada bimbingan dzikir secara bersama.85
84
Hasil Catatan Tangan Maksum S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Pada Kegiatan
PPKT, September-Desember 2015. 85
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016
46
Adapun mengenai kegiatan keagamaan yang menyangkut dengan
hafalan al-Qur‘an, sebelum masuk jam pelajaran, setia selalu diawali
dengan pembacaan al-Qur‘an. Adapun mengenai surat yang dibaca, adalah
yang berhubungan dengan hafalan siswa tunanetra yang telah ditetapkan,
dan ada guru yang mendampingi siswa dalam kegiatan tersebut. Selain itu
ada pula jadwal pembacaan al-Qur‘an secara bergilir pada setiap kelas,
yaitu membacakan pada radio sekolah. kegiatan tersebut pun dilakukan
setiap pagi kecuali ada kegiatan upacara.86
Pada SLB A Pembina Tingkat Nasional, pada jum‘at di bulan
pertama sering diadakan kegiatan berupa bimbingan ibadah yang dalam
rangkaiannya dimulai shalat dhuha bersama, yang setelahnya diiringi
dengan ceramah keagamaan oleh guru serta bimbingan mengenai bacaan
setelah shalat dan rangkaian do‘a shalat dhuha. Serta tadarus bersama dan
menggalakan hafalan surat-surat pendek.87
Perlu dipahami bahwa kegiatan
kegiatan keagamaan yang bersifat rutin semisal pembinaan shalat dan
dzikir, hafalan surat pendek, dan praktik shalat duha di minggu pertama
bisa dikatakan terintegrasi dalam satu acara. Dalam hal ini program
keagamaan terkait hafalan al-Qur‘an yaitu bagi siswa SMP-LB dianjurkan
untuk menghafal minimal 10 surat pendek, dan SMA-LB adalah minimal
15 surat pendek.
Kegiatan hafalan tersebut sering digalakan pada pelaksanaan Shalat
Dhuha berjamaah pada hari jum‘at di minggu pertama. Di antaranya
membimbing siswa dalam menghafal berbagai surat pendek sekaligus
pembinaan serta penugasan hafalan disertai pengetesannya. Siswapun
dihimbau untuk bisa menghafal Surat Abasa, karena sebagai surat tentang
Tunanetra, dan sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Tunanetra.
Dengan surat ini, diharap bisa memperkuat ketauhidan serta membentuk
86
Hasil Wawancara degnan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016. 87
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
2016.
47
rasa percaya diri siswa88
maka bisa dipahami bahwa kegiatan keagamaaan
yang bersifat rutin atau memiliki jangka waktu harian sampai bulanan
merupakan kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Yaitu pembinaan
mengenai shalat, dzilkir, dan pembinaan al-Qur‘an dan hafalannya.
Adapun poin ke empat, adalah mengenai pesantren ramadhan. Pada
setiap bulan Ramadhan, di SLB senantiasa mengadakan pesantren
ramadhan dengan kurun waktu tiga sampai empat hari. Kegiatan tersebut
meliputi ceramah disertai tanya jawab yang disampaikan guru, kuis dan
game yang bernuansa keagamaan. Biasanya kegiatan tersebut
dilaksanakan sebelum kegiatan belajar mengajar formal. Tujuannya untuk
menambah wawasan keagamaan, terkhusus mengenai rincian pengetahuan
puasa, serta diiringi dengan cerita dari sejarah Islam, dan mengenai akidah
dan akhlak.89
Poin ke lima adalah hari besar Islam. Memperingati hari besar
yang dimaksud adalah memperingati Maulid Nabi dan Isra Mi‘raj.
Kegiatan Maulid Nabi dan Isra Mi‘raj di SLB tidak setiap momen
dilaksanakan, terkadang dilaksanakan dan terbentur dengan dana, maka
dari itu kegiatan dilaksanakan tidak terlalu meriah, hanya sekedar
mengumpulkan siswa di Mushola sekolah kemudian diadakan kegiatan
ceramah yang berisi sejarah Nabi dan cerita keIslaman lainnya, yang
terkhusus dengan Isra Mi‘raj mengenai pengetahuan tentang shalat.
dilaksanakannya Shalat, dan hal tersebut merupakan kegiatan untuk
menambah wawasan siswa.90
Dan poin terakhir adalah pelaksanaan qurban. Pada bulan haji, Di
SLB, setiap hari raya Idul Adha senantiasa melaksanakan Qurban di
sekolah, baik hewan tersebut dari guru, maupun orang tua siswa. siswa
diberi kesempatan untuk memegang hewan yang hendak disembelih, serta
88
Hsil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
2016. 89
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Senin, 02, Mei, 2016. 90
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 022,
Mei, 2016.
48
hasil sembelihan dibagikan kepada siswa. tujuan dari pelaksanaan kegiatan
tersebut, untuk menanamkan sikap rela berkorban, serta keikhlasan
terhadap apa yang telah dikorbankan, semisal harga hewan kurban yang
mahal dan tak perlu memikirkan apa yang telah dikeluarkan berupa harta.
Selain itu, mendidik siswa untuk tidak kikir, serta perduli terhadap
sesama.91
Adalagi kegiatan tambahan. Pada SLB menjelang libur pihak
sekolah tepatnya satu tahun sekali mengadakan kegiatan di luar program
formal, berupa tadabur, yaitu kegiatan untuk mendidik siswa dalam
merenungkan perihal kehidupan yang dilaksanakan di tempat tertentu
semisal Masjid Kubah Emas yang berlokasi di Depok. Rangkaian kegiatan
tersebut berupa ceramah, dzikir, dan do‘a. adapun substansinya, adalah
pembelajaran mengenai kehidupan dan wisata religius. Tujuannya untuk
mendidik siswa dalam mempertebal keimanan serta memahami
kehidupan.92
Maka terangkanlah bahwa sekolah mendidik siswa untuk
senantiasa memperhatikan kehidupan yang di dalamnya bukan hanya
sekedar mengenai masalah manusia tetapi dengan alam sekitar. Karena
dijumpai pembelajaran mengenai menanam. Oleh karena itu, pendidikan
lingkungan terkhusus dalam kaitannya dengan menjaga ekosistem telah di
tanamkan di SLB.
Dari berbagai uraian diatas, bisa dipahami bahwa SLB A PTN
memiliki berbagai rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan
keagamaan. Maka dari itu bisa dipahami bahwa SLB memiliki sebuah
usaha dalam membina keberagamaan siswa tunanetra. Darinya penulis
akan menelusuri keberagamaan melalui kajian terhadap sikap
keberagamaan siswa tunanetra sebagai dampak dari program keagamaan
yang telah dijalankan.
91
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 92
Hasil Wawancara dengan Ahmad Sudarma, S. Pd, Guru Keterampilan SMP-LB, Senin,
02, Mei, 2016.
49
B. Analisa Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra
Sebagaimana telah diuraikan bahwa sikap keberagamaan merupakan
moralitas masyarakat religius. Maka dari itu, agama melalui ajaran yang
berefek bukan hanya sensasi psikologis individu saja, melainkan pada
pembentukan intera personal. Dalam hal ini akan berpengaruh pada pola
hubungan antar individu yang memilii satu keyakinan, bahkan antar umat
beragama sekalipun.
Perbedaan keyakinan di tengah masyarakat merupakan sebuah
keniscayaan dari banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat. Terkait
demikian, suatu sikap toleransi ataupun konflik yang diakibatkan perbedaan
tersebut merupakan bentuk sikap keberagamaan dari akumulasi atas
keyakinan, pemahaman serta doktrin yang didapatkannya. Dari hal tersebut,
Jalaluddin Rakhmat sebagai mana mengutif pendapat Gordon W. Allport,
dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menyebutkan dua cara
beragama yaitu sikap keberagamaan ekstrinsik dan intrinsik. Sikap
Keberagamaan ekstrinsik yakni memandang beragama sesuatu untuk
dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan. Di sini Agama digunakan untuk
menunjang motif-motif lain, dalam arti hanya melaksanakan agama dari sisi
ritual saja tanpa memperhatikan aspek utama dari ajaran tersebut. Cara
beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih
sayang melainkan sebaliknya, kebencian, iri hati dan fitnah masih akan tetap
berlangsung.93
Sedangkan sikap keberagamaan yang bersifat intrinsik yakni agama
dipandang sebagai comprehensive commitment dan driving integrating
motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai
faktor pemadu (unifying faktor). Dan cara beragama seperti ini lebih tertanam
pada diri penganutnya, hanya dengan demikianlah kita menciptakan
lingkungan yang penuh kasih sayang‖.94
Jadi bisa dikatakan bahwa sikap keberagamaan intrinsic sebagai
93
Jalaluddin Rakhmat, Islam alternative ceramah-ceramahdi Kampus, (Bandung: Mizan,
1986), h. 25. 94
Ibid, h. 26.
50
sebuah efek keberagamaan yang ideal terlepas dari hasil tulisan orang yang
secara prinsip memiliki perbedaan pemahaman, serta dari teori yang
dirumuskan oleh ilmuan barat, namun secara substansial hal demikian mesti
hadir pada masyarakat religius. Terkhusus dalam lembaga pendidikan yang
memberikan bimbingan keagamaan hendaknya bisa membentuk jiwa
keberagamaan siswa bukan hanya sekedar mengenai masalah ketaatan yang
bersifat ritual saja, melainkan bisa membentuk sebuah kepribadian peserta
didik yang memiliki etika yang baik dan bisa membentuk peserta didik yang
religius dan berbudi pekerti baik.
Uraian di atas sejalan dengan tujuan dari pendidikan Islam, yaitu
menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, serta
senantiasa mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam kehidupan
baik dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.95
Artinya penanaman
keagamaan pada siswa memiliki harapan untuk membentuk sebuah manusia
yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Maka dari itu, ajaran keagamaan
yang termuat dalam sistem pendidikan baik formal maupun non formal
mampu menanamkan akan nilai keagamaan pada peserta didik yang dalam
finalitasnya bisa membentuk sebuah sikap keberagamaan sebagai kualitas dari
moralitas manusia religius. Dalam membahas sikap keberagamaan siswa
tunanetra, akan dirangkai dalam berberapa poin sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam BAB VI (empat). Dalam pembahasannya, ini penulis akan
mengacu pada program keagamaan SLB A Pembina Tingkat Nasional
sebagimana telah diuraikan sebelumnya.
1. Aspek Ideologis (keyakinan) Siswa Tunanetra
a. Mengimani agama Islam
Sebuah keimanan dalam agama Islam secara terperinci terdapat
dalam rukun iman yang menjadi fondasi keberagamaan dalam Islam.
Dimulai dari iman kepada Allah SWT sampai iman kepada Qadha dan
Qadhar. Namun dalam pembahasan skripsi ini akan ditambahkan
95
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet. Ke-
10, h. 29.
51
dengan keimanan terhadap agama Islam. Hal tersebut perlu dilakukan
menimbang sebelum membahas keimanan terlebih lanjut, kita perlu
membahas keyakinan seseorang terhadap agamanya sebagai jalan
pertama dalam menelusuri keberagamaan seseorang.
Pada beberapa siswa yang penulis wawancara96
, yaitu Siswa
Menengah Pertama dan Siswa Menengah Atas di Sekolah Luar Bisaa
A Pembina Tingkat Nasional yang berlokasi di Lebak Bulus Jakrta
Selatan, didapati beberapa tanggapan siswa yang beragam. Islam
dimaknai sebagai agama yang damai, karena pemeluknya dinilai
mencintai Allah. Islampun dipandang sebagai sebuah prinsip, karena
manusia memiliki pendirian masing-masing. Dalam pandangan lain
dinilai agama Islam sebagai agama yang suci yang dipahami sebagai
agama yang paling benar, agama yang dianjurkan Allah dan
dimuliakan-Nya, serta agama yang paten. Dan pendapat lain
menuturkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kebenaran
dan bukan agama yang mengajarkan kesesatan, Yang artinya secara
kualitas, keberagamaan terlahir dari dua dasar yang berbeda yaitu
agama didasari oleh sebuah kebenaran hakiki, dan agama didasari oleh
sebuah keyakinan semu.
Seorang siswi menyatakan, ―Islam itu adalah sebuah agama
yang mempelajari tentang bagaimana kita untuk berserah diri pada
Allah, beribadah, berbuat sopan pada semua orang, mengajarkan kita
berbagai kebaikan‖.97
Ungkapan tersebut menunjukan bahwa siswa
telah mengetahui bahwa Islam merupakan jalan untuk berserah diri
kepada Allah. Sebagaimana dalam tinjauan terminologi, bahwa Islam
merupakan Sebuah kepasrahan hamba kepada Penciptannya yaitu
Allah. Siswi menyatakan bahwa Islam mengajarkan tentang kesopanan
dan mengajarkan perihal kebaikan. Dalam hal ini siswi memahami
Islam bukan hanya sebagai ajaran yang hanya menekankan ritual
96
Hasil Wawancara Pada Seluruh Informan Siswa Tunanetra, di SLB A Pembina Tingkat
Nasional, Pada Tanggal 1-21 April 2016. 97
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
52
semata, melainkan pula sebagai ajaran yang membimbing manusia
untuk membangun sistem tata perilaku intrapersonal, yaitu
mengajarkan tentang moralitas. Sebagai mana siswa lain menyatakan,
―Islam adalah agama yang mengajarkan ketauhidan, mengajarkan
adab, akhlak‖.98
Maka, sebagian siswa telah memahami bahwa agama Islam
bukan hanya sekedar menyangkut mengenai Eskatologis, melainkan
pula sebagai moralitas yang membentuk sistem tata masyarakat yang
dibangun dalam nilai keIslaman. Karena Ajaran Islam dalam hal ini
tersimpul pada ibdat yang mengambil bentuk shalat, puasa, zakat, haji
dan ajaran–ajaran mengenai moral atau akhlak Islam. Karena memang
Nabi Muhammad diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak
manusia.99
Maka bila kita membicarakan masalah moral dalam
kaitannya dengan Islam, maka kita sedang membicarakan akhlak Islam
sebagai suatu sistem moral yang dasarnya telah diatur ajaran secara
terperinci dari sumber utama agama Islam yaitu al-Qur‘an dan as-
Sunnah.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa Islam dalam
pandangan siswa tunanetra dipahami sebagai sebuah prinsip kehidupan
manusia yang mengandung nilai kebenaran melalui ajaran mengenai
ibadah, moral manusia dan kebajikan lainnya. Sehingga dari rangkaian
tersebut terlahir sebagai sebuah keberagamaan yang dipandang hanif
atau lurus, yang secara khusus dimuliakan oleh Allah SWT, dan agama
yang dianjurkan untuk dipeluk oleh umat manusia dengan kualitas
bahwa Islam sebagai agama yang paten. Artinya Islam adalah agama
yang sempurna.
Adapun pengakuan siswa ketika ditanyakan mengenai
keyakinan mereka terhadap agama Islam, dengan seragam, siswa
menjawab dengan jawaban yang sama. yaitu siswa meyakini
98
Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIII SMP-LB,. 99
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985), Cet. Kelima, h. 30-31.
53
kebenaran agama Islam. Namun ketika perbandingan kebenaran Islam
dengan agama yang lain, siswa menjawab dengan jawaban yang
beragam.
Dari hasil wawancara100
kebanyakan siswa meyakini akan
kebenaran agama Islam, dengan tidak menyalahkan agama yang
lainnya. Siswa memandang bahwa setiap agama itu benar karena
mengajarkan kebenaran. Pandangan lain menyatakan setiap agama
memiliki kepercayaan masing-masing, serta mengajarkan kebaikan.
Dalam pemahaman siswa bahwa setiap kebaikan disamakan dengan
kebenaran , maka setiap agama yang mengajarkan kebaikan dipahami
sebagai sebuah kebenaran. Pendapat lain menyatakan setiap agama
memiliki tuhan masing-masing. Artinya siswa memahami akan banyak
kepercayaan akan sosok yang dijadikannya sebagai objek
keberagamaan atau penyembahan. Tuhan merupakan sosok yang
disembah, yang jika dipahami bahwa siswa memahami setiap tindakan
penyembahan merupakan sebuah kebenaran atau setiap kepercayaan
akan adanya tuhan dipandang sebagai sebuah kebenaran.
Seorang siswi menuturkan, ―Islam itu agama yang benar,
karena mengajarkan kebenaran, dan bukan agama yang menyesatkan.
Agama yang lain benar, karena agama tidak mengajarkan kesesatan,
karena orang yang menjalani yang mempercayai kebenaran itu.‖.101
Siswi memiliki pemahaman bahwa semua agama benar karena
mengajarkan kebenaran. Namun siswi memberikan tambahan bahwa
hanya penganutnya yang mempercayai kebenaran tersebut,
menunjukkan bahwa ada sebuah sudut pandang siswi yang memahami
bahwa kebenaran agama bersifat personal. Yaitu didasari atas
kepercayaan penganut terhadap kebenaran agama tersebut. Penganut
sebuah agama mempercayai agamanya berarti yakin akan kebenaran
agama yang dianutnya, setiap penganut yang meyakini kebenaran
100
Hasil Wawancara dengan seluruh informan Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April,
2016. 101
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
54
agamanya secara otomatis mengingkari kepercayaan lain yang
menganggap benar akan agamanya. Maka agama dipercayai sebagai
kebenaran bersifat persepsional, bergantung masing-masing penganut
terhadap agamanya.
Beberapa penuturan lain mengungkapkan, ―Islam itu sempurna
sebagai mana dalam al-Qur‘an, sedangkan agama yang lain benar,
hanya saja tidak sempurna seperti agama Islam‖.102
Dari pernyataan
tersebut maka bisa dipahami bahwa agama dalam pandangan siswa
dipandang sebagai sebuah kebenaran yang memiliki dua tingkatan
yaitu Islam sebagai agama yang memiliki tingkatan sempurna, karena
bersumber dari Allah yang secara langsung menghimbau manusia
untuk memeluknya sebagaimana dalam al-Qur‘an, dan agama lain di
luar Islam dianggap agama yang benar pula, namun kurang sempurna.
Hal demikian bisa diartikan siswa mengkategorisasikan akan
kebenaran agama, yaitu agama Islam sebagai agama yang benar dan
sempurna, dan agama lain sebagai agama yang benar namun tidak
sempurna. sebuah ungkapan salah seorang siswa, ―tidak bisa benar
atau salah, kalau menilai salah, gimana?‖103
. Dari uraian tersebut bisa
terlihat bahwa ada sebuah keengganan siswa dalam menyalahkan
agama lain di luar Islam, maka dari itulah terlahir sebuah kategorisasi
yang menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang benar dan
sempurna dan agama yang lain juga benar tapi kurang sempurna.
Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa sebagian siswa
tunanetra memahami agama semuanya benar dan agama merekalah
yaitu Islam yang paling benar. Namun pemahaman nampak perlu
ditelusuri lebih jauh, dengan pertimbangan ada salah seorang siswa
yang mengungkapkan dua penuturan yang nampak kontradiktif,
sebagai mana ungkapan seorang siswa, ―agama yang lain tidak salah
karena memiliki kepercayaan masing-masing, kalau secara Islam,
102
Hasi Wawancara dengan Taufiq, Siswa KelasTiga SMA. 103
Hasil Wawancara dengan Firdaus, Siswa Kelas VIIII SMP-LB.
55
mempercayai Tuhan selain Allah itu salah, agama yang lain salah
karena memiliki tuhan selain Allah‖104
. Dari ungkapan tersebut telihat
dua anggapan yang berbeda, pertama, agama yang diluar isalam
dianggap benar karena pertimbangan masing-masing pemeluk yang
meyakini kebenaran agamanya. hal tersebut menunjukan ada sebuah
pertimbangan yang bersifat perspektif yang menampakan adanya
sebuah keniscayaan akan keberagamaan yang beragam, masing-masing
pemeluk menganggap agamanya yang benar. Namun ada pula sebuah
pertimbangan yang menyebutkan bahwa secara Islam yang
mempertuhankan selain Allah itu adalah sebuah kesalahan, dan
menyimpulkan bahwa agama yang lain di luar Islam itu dianggap salah
karena tidak mempertuhankan Allah. Di sini terlihat ada sebuah
pertimbanng perinsipil bahwa sebagai muslim kita wajib menuhankan
Allah dan menyalahkan agama yang tidak menuhankan Allah.
Jadi siswa memahami agama sebagai sebuah kebenaran
didasari atas dua pertimbangan yaitu pertimbangan sosial, yaitu agama
sebagai sebuah kepercayaan yang beragam di tengah masyarakat yang
masing masing mengklaim agamanya yang benar, maka agama secara
sosial tersebut dimaknai sebagai sebuah kebenaran yang bersifat
persepsional. Dan agama pun dianggap sebagai sebuah kebenaran
berdasarkan pertimbangan prinsip. Maka secara prinsip, seorang
muslim harus mentauhidkan Allah, dan mutlak menganggap salah
agama yang di luar Islam dengan syarat tidak mengungkapkan secara
premanistik melainkan cukup hanya dikalangan muslim.
Ada pula siswa yang memberikan pandangan yang berbeda.
Yaitu siswa meyakini agama Islam sebagai agama yang dianutnya,
serta mengakui kebenaran agama Islam tanpa memperhatikan
kebenaran dari agama lainnya. Sebagaimana menurut salah serorang
siswa, ―agama saya agama yang paling sempurna, agama lain no-
coment‖. Siswa lain menyebutkan ―agama yang lain tidak tahu, tidak
104
Hasil Wawancara denganFirdaus, Siswa Kelas VIIII SMP-LB.
56
mengurusi agama orang, tidak mau tahu benar atau salahnya karena
takut diajakin105
―. Dari dua pernyataan tersebut nampaklah bahwa ada
sebagian siswa yang lebih memilih bersikap ekslusif dalam beragama
dan menghindari untuk memperhatikan atau pun bergaul dengan non-
muslim karena memiliki kekhawatiran akan terpengaruhi
keberagamaannya dengan agama lainnya. Hal tersebut menunjukkan
ada sikap eksklusif yang ditonjolkan oleh sebagian siswa tunanetra, hal
demikian dilatarbelakangi oleh adanya sikap prefentif, terhadap agama
lainnnya jika melakukan sebuah hubungan baik secara sosial maupun
intelektual khawatir akan memberikan dampak yang kurang baik
terhadap keyakinan yang telah dianutnya.
Siswa lain menyatakan, ―Agama lain kalau menurut
penganutnya benar, kalau menurut saya, cara mereka dibuat-buat jadi
salah. Agama Islam mengajarkan sebenar-benarnnya, tidak bid‘ah.106
―.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa memang seorang siswa
mengakui akan keberagaman dalam beragama, dengan menganggap
benar agama secara parsial. Jadi agama diyakini kebenarannya
berdasarkan masing-masing penganutnya. Hanya saja, siswa memiliki
dasar doktrin keagamaan yang kuat. Di dalam Islam, hanya Allah-lah
yang patut disembah, sedangkan agama laani tidak lah menyembah
Allah, maka secara prinsip , agama lain dianggap salah. Agama lain
dianggap melakukan mengada-ngada, yang artinya menyembah tuhan
yang dibuat oleh tangan penganutnya sendiri. Hal demikian lah yang
dianggap mengada-ngadakan sesuatu hal yang sepantasnya tidak ada,
yang dalam pemahaman siswa menganggapnya sebagai tindakan
bid‘ah, yaitu yang menurutnya merupakan sesuatu yang diada-adakan
atau dibuat-buat.
Ada lagi seorang siswa yang menyatakan, ―agama lain itu
salah, karena Tuhan itu satu. Tiada Tuhan Selain Allah. dan orang
105
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Naufal, Siswa Kelas XII SMA-LB, 106
Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
57
yang lain itu salah, karena menyembah selain Allah‖.107
Hal demikian
menunjukkan sebuah keyakinan yang diungkapkan dengan lebih
ekstrim, yang memandang bahwa hanya Islamlah yang benar, dan
agama yang lain merupakan sebuah kesesatan. Hal demikian memang
sebuah prinsip yang patut dipertimbangkan, menimbang sebuah
keyakinan terhadap agama merupakan dasar dari keberagamaan Islam.
Bahkan jika kita lengah dengan akidah yang kita miliki, kemungkinan
kita akan terjerumus kepada hal yang dianggap menyimpang atau
bahkan musyrik dan bisa pula jatuh pada kekafiran diakibatkan
kekurang hati-hatian kita dalam memelihara akidah yang kita miliki.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tanggapan siswa
tunanetra terhadap keyakinan atas agama yang dianutnya, terdiri dari
tiga kategori tanggapan. Yaitu tanggapan pertama dari kelompok siswa
yang memahami agama Islam adalah agama yang sempurna. Hal
demikian berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap agama di luar
Islam yang menurut mereka merupakan sebuah kebenaran pula. Oleh
karenanya, semua agama menurut sebagian siswa adalah benar
berdasarkan pertimbangan bahwa semua agama mengajarkan
kebaikan. Kebaikan dalam pemahaman siswa disamakan dengan
sebuah kebenaran, maka dari itu agama yang mengajarkan kebaikan
disimpulkan dengan kebenaran maka semua agama mengajarkan
kebaikan, artinya semua agama adalah benar.
Pendapat tersebut dilatarbelakangidari dua unsur utama yaitu
unsure keberagamaan. Yaitu keberagaman dalam beragama merupakan
sebuah kenyataan, yang dalam perinsipnya, semua penganut
mempercayai sekaligus meyakini kebenaran agama masing-masing.
Maka dari itu, agama bernilai kebenaran secara personal yang
tergantung siapa penganut dari agama tertentu. Kemudian siswa pula
merasa enggan untuk menilai benar dan salah agama lain di luar Islam.
Hal demikianlah yang menimbulkan sikap apologetic terhadap
107
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
58
pembenaran agama lainnya sehingga timbul lah sebuah pernyataan
bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna, sedang
agama lain kurang atau tidak sesempurna agama Islam. Dari ketiga
pertimbangan di atas, sebagian siswa tunanetra memberikan tanggapan
terhadap keyakinan dan kebenaran agama yang diyakininya.
Kemudian sebagian siswa menangggapi bahwa hanya agama
Islamlah yang paling benar, sedangkan agama yang lainnya tidak perlu
ditanggapi apakah benar ataukah salahnya. Hal demikian
dilatarbelakangi atas dua hal, yang pertama siswa menanggapi bahwa
agamanya yang paling benar karena Islam adalah agamanya sedangkan
agama lain tidak perlu dinilai benar atau salah karena bukan agama
mereka. Sikap tersebut merupakan sikap eksklusif yang secara prinsip
tertutup terhadap ajaran yang lainnya, sehingga siswa tidak perlu
menanggapi agama lain di luar Islam. Kemudian siswa merasa
khawatir keyakinannnya akan terpengaruhi oleh ajaran lain. Dalam hal
ini, sikap siswa pada kelompok ini lebih didasari sikap prefentif, siswa
merasa enggan mengenal agama di luar Islam karena mereka khawatir
jika mengenal agama di luar Islam akan berpengaruh terhadap
keyakinannya, terlebih jika menjalin hubungan dengan penganut
agama lainnya akan dicurigai mempengaruhi keyakinannya. Maka sisa
pada kelompok kedua ini lebih eksklusif.
Adapun katagori ketiga dari tanggapan siswa, yaitu siswa
mengakui kebenaran agama lain di luar Islam, hanya saja kebenaran
tersebut bukan artinya siswa mengakui kebenaran secara prinsip,
melainkan mengetahui keberagaman agama di tengah masyarakat yang
menurut masing-masing penganutnya meyakini agama mereka. Namun
secara prinsip peribadi, siswa memandang agama yang lain itu salah
dikarenakan secara konseptual, keberagaman di luar Islam
bertentangan dennga dengan Islam.
b. Intensitas Mengingat Allah SWT
Dari hasil wawancara, semua siswa meyakini kepada Allah dan
59
merasa selalu diawasi. Umumnya siswa beralasan bahwa Allah Maha
Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan lainnya sehingga
siswa merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Seorang siswa
menyatakan, ―kalau kita berbuat dosa, kita merasa amal ditulis‖.108
Di
sini siswa merasa selalu diawasi oleh Allah berdasarkan perasaan
bahwa tindakan keburukan siswa dicatat. Maka darinya siswa telah
tumbuh perasaan akan kehadiran Allah.Ada pula siswa lain yang
merasa diawasi dengan alasan jika tidak diawasi maka tidak akan
ketahuan amal baik dan buruk, jika itu terjadi maka manusia akan
berbuat sewenang-wenang109
. Pernyataan tersebut merupakan sebuah
keyakinan yang didasari oleh pertimbangan moral dan rasional.
Uraian di atas menggambarkan bahwa keberagamaan remaja
yang sudah tumbuh kesadaran akan dosa dan pengawasan tuhan
mempengaruhi cara pikir siswa terhadap pertimbangan moral siswa ,
disamlping pertimbangan rasionalnya. Sebagaimana Menurut
Ramayulis, ―perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa
berdosa dan usaha untuk mencari proteksi‖.110
Maka di sini
menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran dan keberagamaan
pada siswa tunanetra tidak jauh berbeda dengan siswa atau remaja
pada umumnya.
Nilai utama dari beriman kepada Allah adalah seorang muslim
bisa menyadari bahwa setiap perbuatan manusia baik dan buruknya
akan di minta pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Dari hasil
wawancara seluruh siswa meyakini dan menyadari hal demikian.
Namun yang lebih penting lagi, ketika timbul kesadaran tersebut,
manusia bisa sadar dan senantiasa mempersiapkan diri dalam
menghadapi hari akhir tersebut, dengan selalu meningkatkan intensitas
berbuat baik dan bertaubat atas setiap kesalahan yang telah dilakukan.
Diantara sikap menyadari akan pentingnya petaubatan terhadap
kesalahan, dalam konteks siswa tunanetra penulis mempertanyakan
108
Hasil Wawancara Dengan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-LB, 109
Hasil Wawancara Dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB, 110
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. Keenam, h. 76.
60
mengenai pengalaman atau perbuatan buruk siswa terkhusus dalam
berbuat dusta.
Dalam hal ini, dari hasil wawancara111
, hampir seluruh siswa
mengaku bahwa mereka pernah berdusta baik terhadap orang tua
mereka, maupun terhadap teman dan orang lainnnya. Siswapun
menyadari kesalahan tersebut, sehingga melakukan istigfar, meminta
maaf kepada orang yang didustai, serta berusaha untuk tidak
mengulanginya lagi. Di sini terlihat telah tumbuhnya kesadaran akan
sebuah kesalahan yang akan diminta pertanggungjawaban kelak.
dengan melakukan istigfar, siswa memahami bahwa ada kehadiran
Allah yang menyaksikan kesalahan yang dilakukannya, serta meminta
maaf kepada orang yang didustai, menunjukan siswa sudah menyadari
akan hubungan dengan sesama manusia.
Siswa lain menyatakan ketika berbuat kesalahan berupa
berdusta terhadap orang tua, ia memohon ampun terhadap Allah di
dalam shalat wajib dan pernah pula ketika tahajjud.112
Dari uraian
tersebut, menunjukkan siswa bukan hanya sekedar menyadari
kesadaran akan kesalahannya, melainkan pula telah tumbuh kesadaran
bahwa ibadat sebagai sebuah sarana untuk mencurahkan kesalahan
dalam sebuah pertaubatan. Hal demikian menjadi gambaran bahwa
siswa mulai memahami terhadap fungsi ritual ibadat.
Seorang siswa mengaku bahwa dirinya tidak pernah berdusta.
Ia menuturkan bahwa dirinya bingung akan dosa yang dilakukannya,
dan berpendapat bahwa dalam kesalahan kecil tidak perlu bertaubat.
Siswa yang tidak melakukan pertaubatan karena tidak begitu tahu akan
kesalaan yang dilakukannya serta menganggap bahwa kesalahan kecil
tidak perlu bertaubat, menunjukan seorang siswa kurang menyadari
akan sebuah kesalahan yang semestinya menjadi bahan pengingat akan
pertanggung jawaban di hari akhir, dan sebagai bentuk penebusannya
dengan memohon ampunan terhadap Allah. Disini siswa kurang sadar
111
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21
april, 2016. 112
Hasil Wawancara dengan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-LB,
61
dan kurang memahami bahwa sebesar apapun atau sekecil apapun
kesalahan, hendaklah memohon ampun kepada Allah dan berusaha
untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa umumnya siswa
pernah berdusta, dan sebagian besar siswa sudah memahami kesalahan
yang dilakukannya, meski ada siswa yang belum sepenuhnya sadar,
namun siswa sudah memahami kesalahan harus meminta ampun
kepada Allah dan tidak mengulangi kesalahan tersebut. Serta siswa
sudah memahmi bahwa ibadat sebagai sebuah sarana pertaubatan.
Adapun siswa yang belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya,
serta belum menyadari bahwa ibadah merupakan sbuah sarana dalam
pertaubatan, menunjukkan siswa belum menyadari dan memahami
akan sebuah kesalahan dan peribadatan sebagai sarana pertaubatan.
2. Aspek Ritualistik (Peribadatan) Siswa Tunanetra
a. Intensitas Shalat Siswa Tunanetra
Umumnya, secara kognitif, siswa mengetahui perihal
pengetahuan mengenai ibadah shalat baik shalat wajib semisal
rangkaian dan do‘a-nya maupun shalat sunnat semisal tahajjud,
rowatib, dhuha, istikharah dan lainnya. Namun mengenai intensitas
siswa dalam menunaikan ibadah shalat, umumnya siswa menyatakan
bahwa mereka terkadang meninggalkan shalat dengan alasan yang
beragam.
Seorang siswi menyatakan bahwa dirinya suka meningalkan
shalat tatkala asyik menonton televisi, serta ketika mengerjakan tugas
sekolah. siswa merasa berdosa dan berusaha untuk tidak mengulangi
kesalahan tersebut, namun selalu terulang lagi. Siswi mengetahui
bahwa ketika tidak menunaikan shalat akan tidak mendapatkan pahala
dan akan masuk neraka, bahkan menyebutnya sebagai kafir. Namun
siswa berpendapat bahwa tidak termasuk kafir selama siswa masih
menyadari bahwa ketika meningalkan shalat terbesit rasa berdosa.
Mengenai keperdulian orang tua terhadap keberagamaan siswi,
62
menurut penuturannya, orang tua pasti mengajak untuk shalat, dan
sesekali shalat berjamaah bersama. Menurutnya, ayah selalu shalat
berjamaah di masjid, serta orang tua mengajarkan mengaji dan ayah
mengajarkan hadis yang sumbernya terdapat dalam kitab ihiya
ulumuddin. dan selalu memberikan nasihat perihal keagamaan.113
Uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa pendidikan agama
baik secara kognitif maupun terapan yang dilakukan oleh orang tua
siswi belum bisa menumbuhkan kesadaran dalam menunaikan
kewajiban shalat. di sini siswi belum bisa mempertimbangkan antara
keinginan menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolah dengan
kewajiban menunaikan ibadah shalat. Maka bisa dikatakan bahwa
lingkungan keluarga yang baik belum tentu bisa memberikan pengaruh
yang lebih baik untuk perkembangan keberagamaan siswa tunanetra.
Seorang siswa menyatakan bahwa dirinya sudah mengetahui
rangkaian dan doa shalat wajib, adapun shalat sunnat hanya tahiyyatul
masjid yang diketahui. Siswa menyatakan pernah mempelajari hal
demikian di mesjid dengan guru ngaji serta belajar sendiri. Siswa
menyatakan bahwa jarang shalat, dan jika siswa shalat tatkala
semangat untuk shalat, namun ketika malas, siswa meninggalkan
shalat. Siswa mengemukakan bahwa bermain game sebagai godaannya
serta godaan syetan yang terlalu berat. Ketika ditanyakan lebih lanjut
mengenai keinginan siswa untuk selalu menunaikan shalat, siswa
menjawab bahwa siswa akan shalat kalau banyak temannya serta
mengakui bahwa dirinya sulit untuk rajin menunaikan shalat.114
Dari uraian di atas, menggambarkan bahwa siswa bukan hanya
sekedar kurang menyadari tentang kewajiban beragama, melainkan
kurang bisa memahami bahwa ajaran agama merupakan pokok
kehidupan. Dalam hal ini siswa belum tumbuh kedewasaan beragama,
karena jiwa keberagamaaan siswa masih didominasi oleh kesenangan
113
Hasil Wawancara dengan Nurul, siswi Kelas VIIII SMP-LB, 114
Hasil Wawancara dengan Taufiq siswa Kelas XII SMA-LB,
63
yang kirannya merupakan hal yang kurang urgen dan cenderung
kekanak-kanakan. Menurut penuturan siswa, lingkungan keluarga
jarang ada yang mengajak untuk shalat, menurutnya semua atas
kesadaran masing-mashing anggota keluarga. Siswa menuturkan
bahwa ayah terkadang mengajarkan agama jika ada waktu luang.115
Disini bisa dipahami bahwa kondisi siswa yang belum bisa menyadari
akan tanggungjawab beragama, serta berada dalam lingkungan
keluarga yang kurang memberikan bimbingan agama baik secara
kognitif maupun praktik, turut menambah kondisi negetif siswa dalam
beragama. Maka jelaslah sifat kekanak-kanakan dalam beragama
masih belum bisa berkembang.
Siswa lain menuturkan bahwa ketika hendak melaksanakan
shalat tahiyyatul masjid karena melihat orang lain berdiri menunaikan
shalat sunnat tahiyatul masjid, siswa pun lekas menunaikannya karena
melihat orang lain tersebut. Siswa pun menuturkan bahwa dirinya tadi
pagi tidak menunaikan shalat subuh karena malas bangun, siswa
beralasan sudah terlambat karena sudah siang, kemudian hal demikian
dikarenakan hilap. siswa menyatakan bahwa dirinya tinggal bersama
orang tua, Namun orang tua tidak memberikan contoh untuk selalu
shalat di mesjid.116
Uraian di atas bisa dikatakan bahwa siswa yang menunaikan
shalat sunnat karena melihat orang lain yang menunaikan shalat
sunnat, menunjukkan bahwa jiwa keberagamaan siswa masih didasari
oleh tindakan reflektif. Artinya keberagamaan siswa bukan didasari
oleh kesadaran peribadi melainkan mengikuti orang lain disekitarnya.
Hal demikian menunjukan keberagamaan siswa didasari oleh sikap
meniru, sebagaimana keberagamaan pada masa kanak-kanak. Serta
siswa tidak menunaikan shalat subuh karena malas bangun pagi,
menunjukan belum sadarnya akan tanggungjawab beragama serta
menjadikan waktu siangan sebagai alasan, artinya siswa belum
115
Hasil Wawancara dengan Taufiq Kelas XII SMA-LB, 116
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB.
64
mengerti bahwa shalat kalau memang tidak disengaja, maka
mendirikan shalat subuh dan lainnya bisa ditunaikan di waktu ketika
seorang menyadari dari kehilafan yang tidak disengaja. Peranan orang
tua yang kurang member contoh langsung dalam menunaikan shalat,
turut memberikan pengaruh kurang baik kepada siswa, kareana
sepantasnya orang tua secara langsung mengajak dan memberikan
bimbingan anaknya untuk menunaikan perintah agama, bukan hanya
sekedar menyuruh saja tanpa ada tindakan praktis dalam memberi
teladan pada anaknya.saja.
Ada pula siswa yang menyatakan mengetahui jenis-jenis shalat
sunnat dan siswa menunaikan bukan hanya ibadah wajib melainkan
pula menunaikan ibadat sunnat di dekat masjid dekat rumah siswa.
siswa menuturkan tindakan tersebut didasari atas inisiatif sendiri, serta
ingin memperbaiki diri sendiri setelah sebelumnya siswa merasa
banyak dosa, siswa pun mengakui bahwa dirinya tidak pernah
meninggalkan shalat. Menurut penuturannya, siswa tinggal bersama
kakak, dan tersering siswa tinggal di rumah sendiri karena ada suatu
hal yang mengharuskan siswa tidak bersama saudara. Orang tua
tinggal di kampung.117
Di sini bisa kita pahami bahwa siswa telah menyadari akan
tanggung jawab beragama, serta telah memahami akan sebua tindakan
keagamaan, yakni siswa sudah menyadari akan adanya kesalahan dan
dosa, serta usaha untuk memperbaiki diri dalam menyikapi kesalahan
tersebut dengan menjadikan perilaku beragama sebagi jalan untuk
memperbaiki diri. Dan perlu dipahami juga, bahwa pendidikan dan
bimbingan dari orang tua tidak selamanya menjadi patokan dalam
membentuk kedewasaan siswa dalam beragama. Siswa secara
individual bisa membangun kesadaran tersebut secara mandiri. Namun
siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangat jarang sekali, oleh
karena itu, mayoritas siswa masih belum bisa sadar akan tangung
117
Hasil Wawancara dengan Nurul Hakim Siswa Kelas XII SMA-LB,
65
jawab beragama serta belum tumbuhnya kedewasaan dalam beragama.
Menurut keterangan dari guru agama SMA-LB, penyebab
siswa berani untuk meninggalkan shalat karena ada contoh kurang baik
dari orang tua siswa yang tidak shalat. Sebagaimana pernah
dipertanyakan alasan siswa tidak shalat, siswa menjawab bahwa orang
tuanya pun tidak melaksanakan shalat, dan terjadi ketidakseimbangan
antara penanaman keberagamaan berupa pembiasaan shalat di sekolah,
tanpa mendapat dukungan dari orang tua yang tidak memberikan
bimbingan pada siswa dalam melaksanakan shalat.118
Jadi peranan
orang tua sangat besar terhadap intensitas siswa dalam mengerjakan
shalat, meskipun di sekolah diajarkan dan bimbingan mengenai
keberagamaan, namun bila orang tua kurang mendukung proses
pembiasaan di rumah, maka hasilnya kurang maksimal. Sebagaimana
Maksum menambahkan, ―sikap itu terlihat di rumah, guru hanya
menanamkan saja, pengetahuan, aplikasinya di rumah‖.119
Jadi bisa disimpulkan bahwa umumnya siswa tunanetra
mempunyai keberanian untuk meninggalkan shalat. Siswa dalam
melalaikan perintah agama dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu
kurangnya pengetahuan siswa terhadap agama menjadikan siswa
berani meninggalkan shalat, serta belum tumbuhnya kondisi
kedewasaan serta kesadaran akan kebutuhan siswa dalam beragama
serta masih adanya sifat kekanak-kanakan dalam beragama. Adapun
siswa yang telah menyadari akan tanggung jawab beragama, serta telah
memahami akan sebuah tindakan keagamaan, yakni siswa sudah
menyadari akan adanya kesalahan dan dosa, serta usaha untuk
memperbaiki diri dalam menyikapi kesalahan tersebut dengan
menjadikan perilaku beragama sebagai jalan untuk memperbaiki diri.
Siswa secara individual bisa membangun kesadaran tersebut secara
118
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 119
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016.
66
mandiri. Namun siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangant
jarang sekali, oleh karena itu , mayoritas siswa masih melalaikan
shalat.
Adapun mengenai peranan keluarga, semua siswa mengakui
bahwa orang tua mereka senantiasa mengajak, namun bila dilihat
secara lebih lanjut, orang tua siswa yang kurang memperhatikan
ketaatan beragama siswa, ataupun orang tua yang hanya sekedar
menyuruh untuk shalat saja, tanpa memberikan contoh langsung untuk
menunaikan shalat, turut mempengaruhi kondisi keberagamaan siswa
yang masih kekanak-kanakan menjadi semakin sulit berkembang
menuju kedewasaan beragama. Dan perlu dipahami juga, bahwa
pendidikan dan bimbingan dari orang tua tidak selamanya menjadi
patokan dalam membentuk kedewasaan siswa dalam beragama. Siswa
secara individual bisa membangun kesadaran tersebut secara mandiri.
Namun siswa yang memiliki perilaku seperti ini sangat jarang sekali.
b. Intensitas Puasa Siswa Tunanetra
Pada siswa tunanetra, bisa dikatakan semua informan yang
diwawancarai menyatakan bahwa mereka selalu menunaikan ibadah
puasa dengan tidak batal saat berpuasa. Artinya semua siswa tunanetra
selalu berpuasa dan jarang atau tidak ada yang batal ketika dibulan
ramadhan, sampai idul fitri, kecuali siswi yang ada halangan untuk
menunaikan puasa. Seorang siswa menyatakan senang menunaikan
puasa, selain itu, puasa menurut pengetahuan siswa terkandung banyak
hikmah untuk mengampuni dosa. Siswa lain menyatakan selalu
berpuasa karena sudah terbiasa diajarkan orang tua sedari kecil, walau
ketika sakit, siswa tetap berusaha menunaikan ibadah puasa. Siswa lain
menyatakan bahwa puasa merupakan sebuah kewajiban, maka siswa
senantiasa menunaikannya dan berusaha terhindar dari batal.
Sedangkan siswa lain menyatakan bahwea siswa senantiasa berpuasa
tanpa batal karena malas mengkadha.120
120
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas XII SMA-LB,
67
Dari uraian diatas bisa dinyatakan bahwa semua siswa
senantiasa menunaikan puasa dengan beberapaalasan yaitu, dasar
pertama siswa menunaikan puasa karena merasa senang dan menyadari
ada banyak hikmah yang terkandung di dalamnya terutama dalam
mengampluni dosa. Di sini siswa didasari atas rasa penerimaan yang
baik karena merasa senang, serta kesadaran akan nilai puasa yang
memiliki berbagai hikmah. Kemudian siswa yang menyatakan
senantiasa berpuasa sedari kecil, walau sakit sekalipun, menunjukkan
bahwa puasa siswa didasari oleh sbuah pembiasaan yang membentuk
sebuah akhlak siswa. kemudian siswa yang menyatakan puasa
merupakan kewajiban adalah siswa yang berpuasa didasari oleh rasa
kesadaran akan perintah agama, yang jika siswa melanggarnya akan
mendapat konsekuensi yang dinilai kurang menguntungkan secara
religius. Dan siswa yang menyatakan malas mengqadha, menunjukkan
dasar puasa siswa dikarenakan sebuah tuntutan bahwa puasa
merupakan sebuah kewajiban yang jika meninggalkannya akan
mendapat konsekuensi yang membuat siswa berat hati.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa semua siswa
tunanetra senantiasa menunaikan puasa di bulan ramadhan, tanpa ada
yang batal. Hal demikian didasari atas beberapa alasan, yang didasari
atas empat alasan, yaitu dasar penerimaan, dasar kebisaaan, dasar
kewajiban atau kesadaran beragama, dan dasar tuntutan atau
keterpaksaan.
Ada yang menarik jika kita bandingkan antara peribadatan
puasa dan peribadatan shalat pada siswa tunanetra. Dalam da ibadah
puasa seluruh siswa menunaikan ibadah puasa, sekalipun dalam
keadaan sakit. Sedangkan pada ibadah shalat hamper seluruh siswa
memiliki keberanian untuk meninggalkan shalat, walau kedua ibadat
tersebut memiliki hukum yang sama.
Sebagaimana pengakuan siswa yang senantiasa menunaikan
puasa dengan alasan bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang paling
68
istimewa, dalam setahun dilaksanakan sekali dalam arti sebulan saja.121
Maka dari itu semarak ramadhan dengan segala keistimewaan dan
uforia di dalamnya turut mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa
tunanetra. dengan ibadah puasa yang ditunaikan selama sebulan itu
memiliki kesan beda pada siswa, sehingga menumbuhkan gairah
keberagamaan siswa. Berbeda dengan ibadah shalat yang setiap hari
tidak pernah terlewatkan, siswa tidak begitu menganggapnya istimewa,
dan siswa berani untuk meninggalkannya.
c. Intensitas Membaca al-Qur‘an
Beriman kepada kitabullah terutama al-Qur‘an merupakan
sebuah rukun iman yang muthlak diimani. Semua siswa menyatakan
bahwa dirinya beriman kepada kitabullah dan mengetahui empat kitab
yang mesti diketahui, terutama al-Qur‘an. Semua siswa tunanetra
mengimani karena al-Qur‘an adalah kitab suci agama Islam. Di sini,
dalam mengukur tingkat kesadaran siswa terhadap al-Qur‘an, akan
terlihat dari intensitasnya dalam membaca al-Qur‘an. Seorang Siswi
menyatakan setiap hari membaca al-Qur‘an selepas maghrib, baik
membaca sendiri, maupun didampingi oleh bapak. Siswa lain
menyatakan sekali setiap malam jum‘at saja. Sedangkan siswa lainnya
membaca al-Qur‘an di masjid bersama orang lain.122
Dari uraian diatas menggambarkan bahwa intensitas siswa
dalam membaca Al-Qur‘an terbagi atas dua kaagori, yaitu siswa yang
belum rutin dan siswa yagn sudah rutin dalam membaca al-Qur‘an.
yang hanya membaca sekali setiap malam jum‘at saja, menunjukkan
bahwa kesadaran siswa dalam membaca kitab suci masih terpengaruh
oleh momentum tertentu dan menunjukkan bahwa kesadaran siswa
dalam membaca al-Qur‘an masih dipengaruhi oleh uforia lingkungan.
Adapun siswa sudah terbiasa membaca al-Qur‘an setiap hari baik
belajar dirumah didampingi orang tua, maupun di mesjid. demikian
121
Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas XSMA-LB, 122
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB,
69
menunjukan intensitas membaca al-Quran siswa belum menjadi
rutinitas, dan motivasi membaca masih dipengaruhi oleh pendidikan di
dalam rumah trutama orang tua, serta lingkungan sekitar.
3. Aspek Eksperenensial (Penghayatan) Peribadatan Siswa Tunanetra
a. Nilai Penghayatan dalam Ibadah Shalat
Meskipun mayoritas siswa melalaikan shalat, namun seorang
remaja yang telah mengalami perkembangan pola pikir dan
perasaanya, perlu kita lihat sejauh mana penghayatan siswa terhadap
shalat yang ditunaikannya. Dari semua informan yang diwawancara,
hampir semua siswa menyatakan bahwa ketika menunaikan shalat dan
setelah menunaikannya, siswa merasakan ketenangan batin. Seorang
siswi menyatakan ketika shalat hati merasa lebih tenang, serta jika ada
masalah merasa ada Allah SWT yang mengatur dan memberikan jalan
keluar atas kesukaran yang dihadapi. Siswa lain menyatkan ketika
shalat hati merasa tenang, yang sebelumnya marah menjadi reda atau
lebih tenang. Bahkan siswa lainnya mengaku air mata sampai menetes
karena takut terhadap Allah, iman, ketakwaan bertambah, sehingga
kekhusyuan pun bertambah.123
Jadi dari penuturan diatas bisa disimpulkan bahwa umumnya
siswa sudah bisa menghayati shalat, sehingga berdampak pada suasana
batin yang jauh lebih tenang. Siswa pun menyadari akan penghayatan
shalat serta dampak shalat akan bertambahnya keimanan dan
ketakwaan. Hanya saja perlu kita ketahui bahwa bahasa keimanan dan
ketakwaan pada siswa tunanetra kirannya bisa kita pahami sebagai
sebuah rasa ketenangan beragama serta rasa kehadiran Allah di dalam
shalat yang ditunaikannya. Karena memang sebagaimana telah
dijelaskan bahwa mayoritas siswa dalam waktu tertentu terkadang
meninggalkan shalat. Namun tidak semua siswa bisa merasakan shalat,
seorang siswa menuturkan bahwa ketika shalat tidak mersakan apapun,
123
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB.
70
siswa tidak beidssa menuturkan secara lebih jauh.124
Disini bisa dikatakan bahwa tidak semua siswa bisa
menghayati shalat, ada sebagian kecil siswa yang masih belum bisa
merasakan kenikmatan batin ketika atau setelah menunaikan shalat.
Namun sedikitnya siswa yang belum bisa menghayati shalat, dan lebih
banyak siswa yang bisa merasakan ketenangan dalam shalat,
menunjukkan bahwa siswa tunanetra sudah tumbuh rasa penghayatan
terhadap spritual shalat yang ditunaikannya.
Jadi umumnya siswa sudah bisa mengahayati shalat, sehingga
berdampak pada suasana batin yang jauh lebih tenang. Siswa pun
menyadari akan penghayatan shalat serta dampak shalat akan
bertambahnya keimanan dan ketakwaan. Hanya saja perlu kita ketahui
bahwa bahasa keimanan dan ketakwaan pada siswa tunanetra kirannya
bisa kita pahami sebagai sebuah rasa ketenangan beragama serta rasa
kehadiran Allah di dalam hidupnya. Karena memang sebagaimana
telah dijelaskan bahwa mayoritas siswa dalam waktu tertentu
terkadang meninggalkan shalat. tidak semua siswa bisa menghayati
shalat, ada sebagian kecil siswa yang masih belum bisa merasakan
kenikmatan batin ketika atau setelah menuanaikan shalat. Namun
sedikitnya siswa yang belum bisa menghayati shalat, dan lebih banyak
siswa yang bisa merasakan ketenangan dalam shalat, menunjukkan
bahwa siswa tunanetra sudah tumbuh rasa penghayatan terhada
peribadatan yabng dituanaikannnya.
b. Nilai Penghayatan Ibadah Puasa Siswa Tunanetra
Sebagian siswa Tunanetra belum bisa menghayati peribadatan
puasa yang dijalankannya. Adapun alasan siswa mengemukakan
bahwa mereka tidak merasakan apapun kecuali lapar dan ingin makan,
ataupun mengisi puasa dengan tertidur supaya lebih tidak terasa
menuju waktu puasa.
Seorang siswa mengungkapkan bahwa ketika puasa terasa enak
124
Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
71
dan tidak lapar, siswa senantiasa beribadah semisal shalat, baca
Qur‘an, tadarus dibimbing oleh ustadz. Ketika lebih lanjut ditanyakan,
siswa menjawab tidak mengetahui kenapa siswa memperbanyak
ibadah. Sedangkan alasan siswa beribadah menurut penuturannya
adalah pahala puasa yang banyak.125
Di sini ada dua ungkapan yang
nampak kontradiksi yang menjadi catatan, yaitu siswa tidak
mengetahui alasan dalam mengisi kegiatan di bulan ramadhan, namun
menuturkan ada pahala yang banyak di bulan tersebut.
Hal tersebut menunjukkan siswa tidak memahami maksud dan
tujuan dari kegiatan peribadatan yang dilakukannya dalam mengisi
bulan ramadhan. siswa pun kurang memahami maksud dari
melimpahnya pahala di bulan ramadhan. artinya, melimpahnya pahala
di bulan ramadhan hanya sebatas pengetahuan siswa, namun belum
tumbuh penghayatan akan hal tersebut. Kemudian siswa tidak mersa
lapar dan enak ketika berpuasa, menunjukkan bahwa lapar atau
nikmatnya berpuasa secara fisik bukan merupakan dasar utama
penghayatan dalam berpuasa. Serta banyaknya kegiatan positif yagn
dilakukan siswa bukan cerminan dari tingginya penghayatan terhadap
ibadah puasa yang dijalani. Namun siswa senantiasa berpuasa
menunjukkan nilai penghayatan yang kurang tidak berpengaruh
terhadap rendahnya intensitas peribadatan puasa siswa.
Adapun siswa yang nampak menghayati ibadah puasa,
umumnya menyatakan bahwa menjalani ibadah puasa dengan
menerima peribadatan untuk memenuhi rukun iman yang ketiga. serta
sadar untuk mengisi kebaikan dengan menuntut ilmu.
Seorang siswa menyatakan ―tidak mengeluh, cukup jalani saja,
harus belajar dan mengisi waktu dengan kebaikan. Siapa yang
melakukan kebaikan, dibalas sepluluh kebaikan pahala‖.126
Dari uraian
di atas terlihat Siswa dalam menjalankan puasa dibarengi dengan
125
Hasil Wawancara dengan Ibrohim Kelas VIII SMP-LB, 126
Hasil Wawancara dengan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIISMP—LB,
72
ketulusan hati, di sini bisa dikatakan bahwa ketulusan beribadah
merupakan dasar utama penghayatan ibadah puasa. Siswa pun
menyadari akan tindakan yang baik akan memperoleh pahala yang
banyak. Maka bisa dipahami bahwa pengetahuan siswa terhadap
ibadah puasa cukup baik, serta memberikan pengaruh positif terhadap
motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Sebagian siswa tunanetra belum
tumbuh penghayatan terhadap ibadat puasa. Adapun istilah
melimpahnya pahala di bulan ramadhan hanya sebatas pengetahuan
siswa, namun belum tumbuh penghayatan akan hal tersebut. Kemudian
rasa lapar atau nikmatnya berpuasa secara fisik bukan merupakan dasar
utama penghayatan dalam berpuasa. Serta banyaknya kegiatan positif
yang dilakukan siswa bukan cerminan dari tingginya penghayatan
terhadap ibadah puasa yang dijalani. Maka nilai penghayatan yang
kurang tidak berpengaruh terhadap rendahnya intensitas peribadatan
puasa siswa tunanetra. adapun siswa yang telah tumbuh nilai
penghayatan dalam berpuasa, dilatarbelakangi oleh dua hal yang
mendasari penghayatan siswa, yaitu ketulusan beribadah merupakan
dasar utama penghayatan ibadah puasa siswa tunanetra. serta
pengetahuan siswa akan peribadatan puasa yagn baik, memberikan
pengaruh positif terhadap motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa.
4. Dimensi Konsekuensial (Akhlak) Siswa Tunanetra
a. Nilai Rasa Menerima dan Intensitas Syukur Siswa Tunanetra
Nilai Imaniah kepada Allah, bukan hanya sekedar berkenaan
dengan intensitas dalam mengingat-Nya saja, melainkan terkait pula
dengan sikap kemanusiaan yang tercermin dalam keseharian. Seorang
yang beriman kepada Allah akan menganggap bahwa Allah hadir
dalam setiap kehidupanya, oleh karena itu, kehidupan manusia baik
dan buruknya akan selalu dikaitkan dengan Allah Swt. Dalam hal ini,
beriman kepada Allah terkait pula dengan beriman kepada Takdir
Allah yang tercermin dari interaksi hamba melalui do‘a yang
73
dilakukannya. Dalam menyadari akan takdir Allah, semua siswa
tunanetra mengakui bahwa setiap kehidupan mereka baik dan
buruknya merupakan kehendak Allah Swt. Hal demikian menunjukan
bahwa beriman kepada Allah akan berkaitan dengan beriman terhadap
Takdir Allah SWT.
Sebagai sebuah bukti atas keyakinan terhadap takdir tersebut,
akan tercermin dari rasa menerima terhadap segala sesuatu yang
dialami siswa dalam kehidupannya, terlepas dari baik dan buruknya
pengalaman atau peristiwa kehidupan tersebut. Pada siswa Tunanetra,
rasa menerima tersebut ditanggapi atas dua hal, yaitu siswa yang
merasa dirinya menerima akan ketetapan Allah, dan Siswa yang
merasa kurang dengan apa yang ditetapkan Allah. Seorang siswi
menuturkan bersyukur kepada Allah Swt, karena telah memberikan
nikmat dan sebagai bentuk ekspresi syukur tersebut, siswi
mengucapkan hamdallah dan berdoa dengan bahasa sendiri disela rasa
syukur tersebut127
Seorang siswi tersebut telah menyadari akan pentingnya rasa
syukur terhadap kondisi yang dialaminya. Siswi pun menyadari akan
ekspresi syukur dengan mengucapkan hamdalah serta melantunkan doa
dengan bahasa sendiri. Dari uraian tersebut, sikap menerima siswa
tercermin bahwa siswa merasa bersyukur terhadap Allah karena
merasa telah diberikan nikmat yang berlimpah, sehingga serta merta
mengungkapkan rasa syukur dengan berdoa dan hamdalah. Sikap
tersebut, menggambarkan memang telah menyadari bahwa manusia
seharusnya bersyukur dan menerima segala hal dengan penuh
kesadaran.
Adapula siswa yang mengaku ketika jengkel, siswa tidak
bersyukur, namun tetap mengakui akan nikmat nafas, kesehatan, rizki,
dan makanan.128
Hal demikian menunjukkan bahwa rasa menerima
terhadap takdir Allah masih dipengaruhi oleh kondisi emosional yang
127
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB, 128
Hasil Wawancara dengan David, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
74
berdampak pada kurang menyadari akan kewajiban manusia dalam
mensyukuri nikmat Allah. Di sini terlihat bahwa kondisi emosional
atau perasaan berpengaruh terhadap jiwa keberagamaan seorang
remaja.
Dan siswa lainya menyatakan jarang bersyukur karena menurut
siswa manusia selalu menginginkan lebih dan tidak merasa cukup
dngan apa yang dimilikinya. Siswa mengakui dirinya tidak bahagia,
dan menyatakan jika bahagia maka siswa akan bersyukur, siswa pun
berpendapat bahwa manusia tidak luput dari kesalahan.129
darinya
menunjukkan bahwa sikap menerima siswa terhadap takdir Allah
dipengaruhi oleh sebuah anggapan bahwa manusia itu selalu merasa
enggan untuk menerima pemberian yang telah ditetapkan Allah, serta
anggapan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Kedua fram
tersebut merupakan unkapan yang sering terdengar di masyarakat,
yang membentuk pola pikir siswa dan berpengaruh pada jiwa
keberagamaan. Hal demikian menunjukkan bahwa sikap menerima
siswa lebih di dasari oleh sebuah paradigma atas berbagai fram yang
mempengaruhi cara pandang siswa sehingga berdampak pada
kurangnnya rasa syukur terhadap apa yang diberikan Allah SWT.
Siswa pun terlihat lebih pragmatis dalam beragama, dalam arti siswa
akan merasa bersyukur jika batin siswa merasa bahagia.
Jadi bisa disimpulkan bahwa sebagian siswa telah tumbuh
kesadaran akan besarnya nikmat yang telah dianugerahkan Allah,
sehingga siswa bersyukur terhadap nikmat yang dirasakannya. Ada
pula siswa yang jarang bersyukur dengan didasari dua hal, yaitu
kondisi perasaan dan emosional siswa. siswa akan bersyukur ketika
batinnya merasa senang, dan kondisi lingkungan atau adanya suatu
anggapan tertentu di dalam masyarakat yang mempengaruhi pola fikir
siswa, sehingga berdampak pada kurangnya rasa menerima dan
129
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB, pada Hari Senin
tanggal 4 April 2016.
75
mensyukuri nikmat Allah SWT. Di sini jiwa keberagamaan siswa lebih
labil dan pragmatis dalam arti agama akan diterima jika ada kesesuaian
dengan kondisi kejiwaan siswa.
Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa pada remaja telah
tumbuh kesadaran beragama, namun masih dipengaruhi oleh kondisi
emosional dan perasaan serta berbagai paradigma umum yang turut
mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa. sebagaimana Menurut
Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati
peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius
akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang
religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi
dorongan seksual. 130
b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra
Salah satu sasaran pendidikan agama pada SLB adalah untuk
membentuk rasa percaya diri siswa melalui pembelajaran Tauhid.
Karena agama yang paling sesuai untuk disabilitas adalah agama
Islam. Karena memberikan bimbingan bukan hanya di dunia
melainkan akhirat. Kemudian di dalam Islam Tidak ada marjinalisasi
terhadap disabilitas, Sebagai bukti adanya Surat Abasa yang
memberikan teguran bagi Nabi. Ada tiga nilai pada surat abasa, yaitu
bahwasannya seorang tunanetra ―disucikan‖, dan disarankan untuk
percaya diri, Kemudian Hal demikian menunjukkan sebuah himbauan
untuk adanya pendidikan luar biasa.131
, maka dari itu, pada poin
bagian ini penulis akan merangkai pembahasan do‘a dengan nilai
keimanan siswa.
Nilai beriman kepada takdir Allah adalah senantiasa menerima
segala bentuk pemberian-Nya baik yang diharapkan maupun yang
130
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005), h. 75. 131
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,
76
kurang diharapkan. Mengenai hal demikian, hampir seluruh siswa
tunanetra mengakui bahwa mereka merasa minder dengan kondisi
yang mereka alami. Siswa merasa iri dengan orang lain yang lebih
sempurna daripada yang mereka alami. Hal demikian menunjukan
ketunanetraan berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa. Seorang
siswa mengakui bahwa dirinya merasa minder karena ada orang lain
yang memberikan ejekan terhadap kondisi yang dialami siswa. lalu ada
Siswa lain merasa minder walau tidak ada orang disekitarnya yang
mencela, dan siswa lainnya merasa minder karena merasa takut ada
orang yang mengejeknya. Namun ada siswa yang mengakui bahwa
dirinya tidak merasa minder karena sekitar siswa tersebut dinilai baik
dan tidak ada yang mempermasalahkan kondisi siswa.132
Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
diri siswa dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu kondisi emosional
siswa yang belum bisa menerima sepenuhnya terhadap
ketunanetraaannya, serta kondisi lingkungan yang kurang baik menjadi
faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri siswa, dan siswa yang
kurang percaya diri karena khawatir akan ada yang memberikan
tanggapan buruk terhadapnya menunjukan bahwa, persepsi negative
siswa terhadap lingkungann siswa pun turut mempengaruhi tingkat
kepercayaan diri siswa.
Sebagian kecil siswa merasa tidak minder dengan kondisi
ketunanetraan yang dialami. Menurut salah seorang siswa, ―kita
makhluk sosial, karena kita hidup berpasang-pasangan bersama orang
(interaksi).133
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pemahaman
siswa terhadap kepentingan sosial akan berpengaruh terhadap persepsi
positif siswa akan lingkungannya. Dengan demikian siswa merasa
tidak minder dan lebih memilih untuk melakukan tindakan interaktif
sebagai makhluk yang dihadapkan pada realitas sosial.
132
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB, 133
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
77
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Sebagian besar
siswa tunanetra merasa minder dengan ketunanetraan yang mereka
alami. Hal demikian dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, rasa
penerimaan yang kurang terhadap ketunanetraan yang dialami, kondisi
lingkungan yang memberikan tanggapan buruk terhadap ketunanetraan
siswa, dan persepsi negatif siswa terhadap lingkungannya turut
mempengaruhi kepercayaan diri siswa. adapun sebagian kecil siswa
yang tidak minder dipengaruhi pemahaman siswa akan pentingnya
interaksi sosial, yang menumbuhkan persepsi positif siswa terhadap
lingkungannnya.
c. Nilai Solidaritas Sosial Siswa Tunanetra
Nilai utama Puasa dan zakat adalah timbulnya keperdulian
kepadasesama, Pada siswa tunanetra. Dari hasil wawancara, semua
siswa tunanetra menyampaikan bahwa mereka pernah menolong, dan
yagn palng umum siswa memberikan pertolongan tidak jauh dari
kemampuan atau kondisi kesanggupan siswa. semisal berupa
membantu untuk menuntun atau menyebrang tunanetra lainnya yaitu
sisswa tunanetra tidak total membantu tunanetra total. Ataupun dengan
memberi pinjam alat tulis khusus tunanetra yaitu riglet. Artinya
tolong-menolong pada konteks siswa tunanetra adalah tidak terlepas
dari kondisi atau kapasitas kemampuan siswa.
Seorang siswi menyatakan, ―harus saling tolong-menolong dan
menolong orang dapat pahala‖. 134
Di sini terlihat dua alasan siswi,
yaitu keharusan akan tolong-menolong, menunjukkan ada kesadaran
kemanusiaan yang menarik siswa untuk memberikan pertolongan
terhadap sesama. Kemudian hasrat ingin mendapatkan pahala,
menunjukkan tindakan menolong siswa dilandasi hasrat
keberagamaan. Seorang Siswa mengemukakan sebuah hadis, ―barang
siapa yang menghilangkan kesusahan orang satu kesusahan di bumi,
134
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB,
78
maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan di hari kiamat.135
Dari
uraian tersebut bisa terlihat dasar pengetahuan ajaran isalm yang kental
pada siswa. di sini menunjukkan bahwa tolong-menolong siswa telah
didasari oleh nilai keagamaan.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa, semua siswa
memiliki rasa keperdulian terhadap sesama, terutama dengan sesama
siswa tunanetra atau satu kondisi. Dan yang mendasari hal demikian
atas dua alasan yaitu, dasar kemanusiaan. seorang siswa menolong
sesama didasari atas kepedulian sosial. Kemudian dasar agama. Yaitu
siswa menolong sesama didasari oleh adanya ganjaran yang baik atas
perbuatan yang telah dilakukannya.
d. Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra
Nilai lain muamalah bagi siswa adalah mengenai cara
berpakaian siswa. dalam hal ini seorang muslim hendaknya
mengetahui batasan aurat dan cara berpakaian yang bisa menjaga aurat
tersebut. Pada hasil wawancara136
seluruh sisswa umumya mengetahui
bahwa seorang muslim harus menutup aurat. Namun mengenai batasan
aurat tersebut, tidak seluruh siswa mengetahui, umumnya siswa hanya
mengeatahui batasan aurat perempuan, sedangkan mengenai batasan
aurat laki-laki kurang begitu mengetahui secara utuh.
Adapun secara peraktis, nilai estetika siswi bisa terlihat dari
jumlah siswi yang memakai jilbab atau memakai pakaian tertutup.
Adapun nilai estetika siswi tidak ada yang harus dipermasalahkan.
Dari pengamatan penulis137
semua siswi SMP dan SMA, tidak ada
yang memakai jilbab. Penulis hanya mendapati siswi yang memakai
jilbab hanya seorang dan kurang begitu mengingat apakah ada lagi
siswi SD lain yang memakai jilbab. hal demikian menunjukkan tingkat
permasalahan ketaatan siswi dalam menutup aurat yang tinggi.
Seorang siswi menuturkan bahwa belum siap menutup aurat,
135
Hasil Wawancara dengan Alfathulloh, Siswa Kelas VIIII SMP-LB, 136
Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, Pada Tanggal, 1-21 April 2016. 137
Hasil Catatan Lapangan, dari bulan September-bulan desember 2015.
79
dan siswi akan menutup aurat ketika sudah masuk jenjang SMA. Siswi
menyadari akan dosa, dan ibu dari siswi tersebut menutup aurat.138
Di
sini kita bisa memahami bahwa seorang siswi sudah menyadari akan
kesalahannya namun belum memahami akan kewajibannya dalam
menutup aurat.
Siswi lain menyatakan bahwa menutup aurat merupakan cara
berpakaian yang sepantasnya, sedangkan orang tua sudah mengajarkan
dan menghimbau untuk mamakai jilbab. Siswi beralasan belum siap
dan berkeyakinan jika berlum siap akan mendapatkan dosa pula, dan ia
menyatakan aka nada waktunya untuk berjilbab.139
Siswi telah
mengetahui akan manfaat dan nilai dari pada menutup aurat, dan tentu
belum bisa menyadari akan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh
seorang perempuan. Namun ada cara pandang yang perlu diluruskan,
bahwa siswi berpendapat akan mendapat dosa jika memakai jilbab
dengan setengah hati. Pendapat demikian tentu sulit dicari dasarnya,
dan bisa dikatakan bahwa siswi memiliki cara pandang yang salah
dalam jilbab. Adapun orang tua yang sudah mengajarkan dan
menghimbau untuk memakai jilbab, menunjukkan siswi bukan hanya
tidak patuh terhadap menutup aurat, malainkan juga kurang mematuhi
nasihat orang tua. Di sini, yang menjadi masalah bukan pendidikan
keluarga, sikap siswi yang belum bisa memahami akan pentingnya
menutup aurat dan mematuhi nasihat orang tua.
Siswi lain mengemukakan bahwa dirinya lupa akan batasan
aurat, dan tidak memakai . Kakak siswi pun tidak memakai
kerudung.140
Dengan mengakui siswi tidak begitu mengetahui akan
batasan aurat, tentu kita perlu meninjau secara seksama. Siswi tidak
menggunakan jilbab dan menuturkan kakak siswi pun tidak memakai
jilbab. Di sini seorang siswi tinggal bersama kakaknya, yang tidak
138
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB, 139
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB, 140
Hasil Wawancara dengan Tiwi, Siswi Kelas XI SMA-LB,
80
memakai jilbab. Bisa kita pahami bahwa lingkungan keluarga siswi
bukan termasuk dalam lingkungan yang mendukung akan menutup
aurat. Hal demikian linear dengan pengetahuan siswi yang minim
tentang batasan aurat. Maka bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga
yang kurang mendukung akan jilbab, turut bepengaruh terhadap
ketaatan siswi terhadap menutup aurat.
Mengacu pada penuturan salah satu guru agama, bahwa
sekolah tidak memiliki peraturan untuk mewajibkan untuk menutup
aurat. Gurunya menegaskan bahwa hal dimikian merupakan urusan
masing-masing, dan Guru pun menambahkan perlu ada kerajasama
dengan orang tua, karena jangankan siswi yang memakai jlbab, orang
tua nya pun belum bisa memberi contoh untuk memakai jilbab.141
Di
sini bisa terlihat bahwa sekolah yang negeri yang bukan secara khusus
sebagai sekolah Islam, tidak bisa memberikan pengaruh secara
langusung secara langsung terhadap menanamkan ketaatan siswi dalam
menutup aurat.
Hanya saja, pada catatan penulis, ditemui siswi yang memakai
jilbab pada hari jum‘at karena ada kegiatan keagamaan. Hal demikian
menunjukkan siswi hanya memakai jilbab pada momen tertentu terkait
kegiatan keagamaan sekolah. artinya, sekolah hanya mendidik secara
simbolik tanpa memberian penanaman secara praktik.
Jadi penulis bisa menyimpullkan bahwa SLB A Pembina
Tingkat Nasional tidak bisa memberikan pengaruh langsung dalam
membentuk ketaatan siswa untuk menutup aurat, melainkan
lingkungan keluarga yang dinilai bisa memberikan pengaruh terhadap
ketaatan dalam menutup aurat. Adapun semua siswa tunanetra
menyadari akan kewajiban untuk menutup aurat, namun secara
kongnitif, umumnya siswa tidak mengetahui batasan rinci tentang
menutup aurat. Dan semua siswi SMP-LB dan SMA-LB, tidak
141
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Pada Tanggal 27
April, 2016.
81
menutup aurat dengan beberapa faktor yaitu kurangnya pengetahuan
dan pemahaman mengenai menutup aurat, kurangnya ketaatan siswa
terhadap nasihat orang tua untuk menutup aurat, dan lingkungan
keluarga yang kurang ―mendukung‖ jilbab.
e. Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis
Selain menutup aurat, seorang muslimpun dituntut untuk
menjagabatasan antara lai-laki dan perempuan. Dari hasil
wawancara142
seluruh informan menyatakan bahwa menjaga batasan
merupakan sebuah kewajiban bahkan siswa mengetahui bahwa hukum
dasar bersentuhan antara lawan jenis yang bukan muhrim adalah
haram. Namun secara peraktis, ada beberapa informan yang secara
kognitif mengetahui akan batasan namun secara praktis siswa
melanggarnya.
Seorang siswa menyatakan bahwa pernah melakukan pegangan
tangan dengan bukan muhrim saat berjalan dengan pacarnya. Siswa
menyadari akan larangan agama, namun siswa memandang bahwa
pada remaja memegang tangan saja dianggap tidak bermasalah. Siswa
lain menuturkan, bahwa dirinya tidak pernah bepegangan tangan
karena tidak pernah memiliki teman dekat perempuan, siswa berujar,
bahwa seandainya memiliki teman dekat perempuan pun akan
melakukan hal yang sama.143
Dari penuturan di atas, bisa kita lihat ada dua sudut pandang
siswa yang menjadi catatan, yaitu siswa memahami bahwa
berpegangan tangan pada remaja merupakan sebuah kondisi yang
biasa. Penuturan tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejiwaan
remaja bisa merubah mempengaruhi cara remaja terhadap agamanya,
sehingga cenderung menghindari akan realitas peraturan agama.
Kemudian alasan siswa berpegangan dengan remaja, menunjukkan
bahwa tindakan berpacaran bukan hanya dilakukan oleh siswa umum
142
Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April 2016. 143
Hasil Wawancara dengan nurul hakim dan ahmad ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB,
82
saja, melainkan siswa tunanetra melakukan hal yagn sama. artian dari
sisi perkembangan seksual remaja, tidak ada perbedaan antar siswa
umum dengan siswa tunanetra.
Jadi bisa dipahami bahwa Bukan hanya perkembangan pikiran
saja, perkembangan perasaan pun turut mempengaruhi jiwa keagamaan
remaja. Sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah
berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis
mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa
dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi
remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama
akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. 144
Penulis bisa menyimpulkan bahwa semua siswa tunanetra
mengetahui kewajiban dalam menjaga batasan dengan lawan jenis.
Dan secara praktis umumnya siswa menyampaikan bahwa mereka
menjaga batasan dengan lawan jenis, adapun siswa yang tidak bisa
menjaga interaksi lawan jenis dipengaruhi oleh kondisi perkembangan
seksual yang lebih besar dari pada kesadaran keagamaan, serta
pengaruh paradigama remaja yang kurang baik turut mempengaruhi
cara pandang siswa terhadap ketaatan keagamaan yang diketahuinya.
Dan yang penting pula, bahwa perkembangan seksual siswa tunanetra
tidak berbeda dengan siswa pada umumnya.
f. Nilai Menjaga Lingkungan
Tadabur merupakan kegiatan tambahan yang sifatnya
kondisional. Acara tersebut yang diadakan menjelang liburan dan
bertujuan untuk membina pemahaman siswa tunanetra akan
kehidupannya, menunjukkan ada sebuah usaha penanaman akan
kualitas kepribadian dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya itu,
adanya pembelajaran yang terkait menanam menunjukan bahwa siswa
tunanetra telah mendapat pembinaan akan kesadaran terhadap
144
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005), h. 75.
83
lingkungan alam sekitar. Dan sinkronisasi antara tadabur dengan
pembelajaran menanam pohon adalah adanya sebuah kepekaan akan
kehidupan termasuk di dalamnya kepekaan terhadap lingkungan alam.
Dari hasil wawancara145
bisa dikatakan seluruh siswa memiliki
jawaban yang hampir sama. siswa akan tanggungjawab untuk menjaga
lingkungan baik dengan cara menanam pohon, membuang sampah
pada tempatnya dan lain sebagainya. Siswa pun menyadari ketika alam
tidak dijaga akan terjadi berbagai bencana alam semisal longsor,
banjir. Umumnya pendapat siswa, untuk menjaga lingkungan dengan
cara membersihkan dan menjaga lingkungann dengan tidak membuang
sampah sembarangan. Mengenai kebersihan dan melarang buang
sampah sembarangan, secara umum siswa mengakui bahwa mereka
melakukan tindakan tersebut baik sering maupun jarang.
Seorang siswa menyebutkan, bahwa terpaksa membuang
sampah sembarangan karena sukar menemukan tempat sampah. Siswa
pun mengakui bahwa di rumah siswa suka bersih-bersih berupa
mengepel, beres-beres tempat tidur. Siswa menuturkan bahwa
kebisaaan tersebut untuk membangun kesadaran dan disiplin di masa
depan pada saat berumah tangga.146
Kita bisa mengetahui bahwa pada
dasarnya siswa telah menyadari akan sebuah kebersihan dan
kedisiplinan. Bahkan siswa sudah bisa berpikir visioner dengan
memperhatikan perilaku yang semestinya di bangun dalam hal
kebersihan dan kedisiplinan. Namun dengan kesadaran tersebut, belum
bisa membentuk sebuah kebijaksanaan untuk bisa membuang sampah
pada tempatnya, ketika tidak menemukan tempat sampah. Disini, bisa
terlihat bahwa siswa telah tumbuh kesadaran akan sebuah kedisiplinan,
namun belum tumbuh sebuah kebijaksanaan ketika dihadapkan dengan
sesuatu hal yang memaksa siswa untuk membuang sampah
sembarangan.
145
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21
April 2016. 146
Hasil Wawancara dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB,
84
Seorang siswa menyatakan bahwa siswa jarang bersih-bersih di
rumah karena malas. siswa menyampaikan bahwa di rumah tidak
membuang sampah sembarangan karena ada tempat sampah, dan di
luar rumah siswa mengaku tidak membuang sampah pada
tempatnya.147
Disini bisa disimpulkan bahwa siswa membuang sampah
bukan karena sadar akan kebersihan, melainkan karena kondisi yang
membuat siswa terbisa membuang sampah pada tempatnya.
Seorang siswa, menyatakan bahwa dirinya jarang buang
sampah sembarangan Karena dapat merusak lingkungan. Siswa
mengakui bahwa dirinya suka melakukan kebersihan di rumah, semisal
mengepel, menyapu, dan membersihkan meja dari debu. Siswa
megakui bahwa itu adalh kesadaran sendiri.148
Siswa terlihat telah
menyadari akan pentingnya kebersihan. Dari kesadaran tersebut, maka
dengan sendirinya siswa akan sadar untuk tidak membuang sampah
sembarangan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa semua siswa menyadari akan
pentingnya menjaga lingkungan, serta mengetahui dampak buruk
ketika tidak menjaga lingkungan dengan baik. Namun hampir semua
siswa pernah atau sering membuang sampah sembarangan dengan dua
alasan, yaitu kondisi terpaksa, karena tidak menemukan tempat
sampah, dan kondisi malas karena tidak menyadari akan pentingnnya
sebuah kebersihan. Adapun siswa yagn jarang buang sampah
sembarangan, karena telah tumbuh kesadaran akan menjaga
lingkungan. Bisa dikatakan bahwa seringnnya siswa melakukan
kegiatan kebersihan di rumah bukan dasar utama dalam membentuk
kesadaran siswa. melainkan tumbuhnya kesadaran akan menjaga
lingkungan sebagai dasar utama siswa untuk tidak membuang sampah
pada tempatnya. Di sini tidak terlihat alasan dari nilai keagamaan,
artinya sikap keberagamaan siswa tunanetra tidak terlihat pada
147
Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB, 148
Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas X SMA-LB,
85
kesadaran akan menjaga lingkungan.
5. Aspek Intelektual (Pengetahuan Keagamaan) Siswa Tunanetra
(Pengetahuan Keagamaan)
a. Pengetahuan Tentang Fikih Ibadah
Diantara visi dan misi SLB A Pembina Tingkkat Nasional
adalah ―membudayakan beribadah‖. Maksud dari istilah tersebut ialah
kegiatan pembelajaran dan pembisaaan mengenai keberagamaan
diantaranya membaca al-Qur‘an sebelum masuk jam pelajaran,
penanaman kebisaaan shalat dhuha ketika awal bulan, program hafalan
al-Qur‘an, shalat dhuhur berjamaah, dan lainnya. Bisa menjadi sebuah
kebisaaan bukan hanya di sekolah melainkan di luar sekolah ketika
siswa ada di rumah.149
Di dalam Islam, peribadatan termuat dalam sebuah disiplin
ilmu yang dinamakan ilmu fikih ibadat yang diantaranya memuat
empat pokok pembahasan sebagai mana tercantum dalam rukun Islam,
kecuali syahadat sebagai ilmu tauhid. Terkait demikian, sebagian besar
siswa menanggapi bahwa mereka belum begitu mengenal jauh
menganai ilmu fikih. Hal demikian dilatarbelakangi siswa hanya
mempelajari ajaran Islam ketika di SLB, saja, di luar itu, siswa kurang
begitu mendalami pelajaran fikih. Ketika ditanyakan mengenai
pengalaman siswa dalam mengikuti pesantren, seorang siswa
mengakui pernah mesantren ketika SD di Raudhlatul Muta‘alimin
Surabaya, sejauh pengetahuannya, ilmu fikih adalah suatu ilmu yang
diidentikan dengan Imam Syafi‘i.150
Dengan demikian dalam pemahaman siswa tersebut dipahami
fikih identik dengan Imam Syafi‘I, darinya menunjukkan bahwa
sebuah madzhab yagn digunakan oleh mayoritas muslim bisa
menyempitkan sudut pandang siswa. dalam hal ini, mayoritas
muslimin Indonesia penganut Imam Syafi‘I, maka dalam pemahaman
149
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei,
2016. 150
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa kelas VIII SMP-LB,
86
siswa fikih adalah apa yang dikeemukakan oleh Madzhab tersebut.
Sebagian siswa menuturkan bahwa mereka cukup mengetahui
ilmu fikih. Siswa mengakui bahwa mereka belajar dari majelis ta‘lim
yang diselenggarakan di masjid tempat siswa tinggal, serta mengikuti
pembelajaran di madrasah yang bernama Raudhlatul Makfufin.151
Ada
pula siswa yang cukup mengenal ilmu fikih, karena siswa tersebut
mempelajari ilmu fikih yang dipelajari dari guru agama SLB secara
khusus atas permintaan ibu siswa. siswa menuturkan bahwa dirinya
saat ini telah mempelajari tentang jenazah, setelah sebelumnya
mempelajari wudhlu, tayamum, dan shalat.152
Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian
besar siswa yang kurang mengenal ilmu fikih umumnya memiliki
intensitas pembelajaran agama yang kurang. Mereka hanya belajar
agama di SLB saja, tanpa ada kelanjutan di luar. Sehingga mata
pelajaran yang telah dibahas lupa atau-pun belum bisa dipelajari
karena keterbatasan materi. Adapun siswa yang cukup mengenal ilmu
fikih, umumnya siswa belajar di luar jam pelajaran agama secara
formal di SLB. Siswa mengikuti pembelajaran di luar sekolah semisal
di majelis ta‘lim yang diselenggarakan di masjid, serta lembaga
keagamaan yang mengajarkan siswa tunanetra dalam mempelajari
ajaran Islam. Serta adanya inisiatif orang tua untuk meminta guru
khusus untuk mengajarkan siswa mengenai ilmu fikih, menunjukkan
peranan orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan siswa
tunanetra terutama dalam hal mempelajari dan memahami fikih ibadah.
Maka kesinambungan dalam mempelajari agama Islam siswa di luar
SLB, semisal kondisi lingkungan serta peranan orang tua untuk
memasukkan siswa ke lembaga keagamaan atau mencari guru khusus
untuk mengajarkan perihal agama, lebih berpengaruh terhadap jiwa
keagamaan siswa dari pada sekedar melakukan pembelajaran di SLB
151
Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-
LB, . 152
Hasil Wawancara dengan Al-Fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
87
yang seiring perjalanan waktu dan tidak ada kesinambungan dalam
pembelajarannya, membuat siswa lupa.
b. Ketrampilan Membaca al-Qur‘an
Membaca al-Qur‘an bukan hanya sekedar bisa
melantunkannya, namun ada aturan membaca yang terangkum di
dalam ilmu tajwid yang harus dipahami. Sebagian besar siswa
mengakui masih belum lancar membaca al-Qur‘an. Seorang siswa
mengemukakan jarang belajar al-Qur‘an. Sedangkan sisa lainnya
menuturkan masih belajar didampingi orang tua, namun kendalanya
orang tua hanya menggunakan al-Quran brille. Pernyataan lain
mengungkapkan bahwa siswa lumayan lancar membaca al-Qur‘an.
Siswa menuturkan bahwa dirinya belajar di raudhlatul makfufin. 153
Uraian di atas bisa dipahami bahwa umumnya siswa yang
belum lancar dalam membaca al-Qur‘an dipengaruhi oleh jarangnya
intensitas siswa dalam mempelajari al-Qur‘an serta kendala media
pembelajaran yang dialami oleh siswa yang belajar dengan orang tua.
Adapun siswa yagn cukup lancar dalam membaca al-Qur‘an, siswa
mengikuti pembelajaran di lembaga yang pendidikan keagamaan
khusus bagi tunanetra. Hal demikian menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan khusus yang mengajarkan al-Qur‘an menjadi sangat
berpengaruh terhadap kualitas membaca Qur‘an bagi seorang siswa
tunanetra.
Perlu diketahui, bahwasanya pada pembelajaran siswa tunetra
terkhusus dalam mempelajari al-Qur‘an Brille memiliki beberapa
hambatan. Ada siswa yang memiliki hambatan mobilitas. Yaitu siswa
kurang peka terhadap lingkungan atau sesuatu hal yang hendak
dihadapi. Semisal siswa belum baisa peka unik duduk di atas kursi,
atau belum bisa terbiasa untuk bisa mandiri. Ada pula siswa yang
memiliki keterbatasan dalam sensorik motor, yaitu siswa memiliki
perabaan yang kurang peka terhadap al-Qur‘an Brille, sehingga
153
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas XII SMA-LB,
88
terganggu dalam belajar. Ada pula siswa yang terkadang berkeringat
telapak tangannya sehingga tidak bisa menulis dengan baik. Hambatan
lain mengenai IQ. Ada siswa yang tingkat IQ-nya sekitar 75%, ada
pula siswa yang tingkatnya 100%, yang lebih tidak kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran.154
demikinlah yang menjadi dinamika
pembelajaran siswa.
c. Hafalan Qur‘an Siswa Tunanetra
Salah satu tujuan dari digalakannnya tadarus al-Qur‘an dan
hafalannya adalah untuk membiasakan siswa tunanetra untuk
senantiasa membaca al-Qur‘an. Karena sebagian siswa SLB A PTN
tidak mendapatkan bimbingan yang efisien saat di rumah dalam hal ini
orang tua. Maka di SLB diusahakan untuk mengefektifkan
pembelajaran keagamaan termasuk membaca dan menghafal al-
Qur‘an, sebagai usaha dalam merangsang keberagamaan siswa
tunanetra.155
Maka dari itu kita akan melihat sejauhmana intensitas
siswa tunanetra dalam membaca dan menghafal al-Qur‘an termasuk
hal lainnya sebagai fekek dari penanaman dalam menumbuhkan rasa
kebutruhan terhadap kitab suci al-Qur‘an.
Untuk mengawali, penulis akan mencoba menggali informasi
terkait hafalan siswa. Pada Siswa SMP, sebagian siswa mengaku
bahwa dirinya tidak hafal sampai sepuluh surat pendek sebagaimana
yang dianjurkan sekolah. kemudian sebagian siswa lagi mengaku hafal
lebih dari sepuluh surat, bahkan diantara siswa ada yang hafal al-
Jumuah, al-Buruj, dan al-Balad. Siswa mengaku bahwa siswa belajar
di mitra netra. Seorang siswa lain mengaku hafal surat al-Mursalat, al-
Qiyamat dan an-Naba. Siswa mengaku diajarkan oleh salah seorang
guru agama SLB (Pak Maksum) di SLB atas permintaan ibu siswa.156
dan tidak jauh berbeda dengan siswa SMP-LB, siswa SMA-LB
154
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, 155
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016. 156
Hasil Wawancara dengan Firdaus dan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
89
sebagian pun mengaku ada yang belum hafal sampai lima belas surat
pendek yang dianjurkan sekolah. Dan sebagian siswa lain mengaku
sudah hafal lebih dari lima belas surat pendek yang dianjurkan sekolah.
bahkan beberapa siswa mengaku sudah hafal dari surat al-Balad
sampai An-nas. Yang artinya, siswa sudah hafal lebih dari lima belas
surat. Siswa menuturkan bahwa mereka mengikuti program
pembelajaran hafalan di raudhlatul Makfufin.157
Dari uraian tersebut, hafalan surat pendek siswa SMP-LB dan
SMA-LB, kebanyakan tidak sepenuhnya hafal, adapun siswa yang
hafal lebih dari target sekolah umumnya mengikuti pembelajaran di
luar Sekolah luar biasa tersebut. Hal demikian menunjukkan bahwa
pendidikan di luar SLB lebih berpengaruh terhadap intensitas hafalan
al-Qur‘an siswa.
d. Pengetahuan Tentang Hadits Nabi
Siswa dalam hal ibadah, bukan hanya sekedar mengetahui ilmu
fikih semata, melainkan pula kita harus mengenal hadis, sebagai
bagian dasar dari hukum Islam. Dari hasil 158
wawancara, umumnya
siswa yang mengenal hadis adalah siswa yang mengikuti pembelajaran
di lembaga keagamaan di sekolah dan majelis ta‘lim di dekat rumah
siswa. serta pembelajaran yang diberikan oleh ayah dan ibu siswa.
Seorang siswa menuturkan bahwa pernah belajar hadis sewaktu
SD, tetapi sekarang lupa, siswa menuturkan dalam mengenal hadis,
siswa hanya menyaksikan program acara televisi yang berbentuk
narasi semisal program acara yang sering ditayangkan di Trans TV,
dan Trans 7. 159
disini kita bisa melihat bahwa siswa yang mengikuti
pembelajaran sejak lama dan jarang dipelajari akan cenderung mudah
lupa. Maka dari itu, intensitas pembelajaran hadis yang berlanjut bak
dari lembaga kegamaaan maupun dari orang tua, akan memberikan
157 Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA-
LB,. 158
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa tunanetra, pada tanggal 1-21 April,
2016. 159
Hasil Wawancara dengan Nauval Siswa Kelas XII SMA-LB,
90
dampak yang baik terhadap pengenalan siswa terhadap hadits. Serta
program acara televisi bisa menjadi alternative untuk belajar mengenai
agama terkhusus dalam mengenal hadis.
Salah seorang guru agama, menyatakan bahwa pengetahuan
sisa mengenai agama memang diakui lebih banyak mendapatkan
pembelajaran tersebut diluar SLB. Hal tersebut dilatar belakangi
dengan kurikulum dan waktu yang terbatas yang membuat
pembelajaran kurang maksimal. Memang ketika pembelajaran agama
semisal baca tulis al-Qur‘an dan menerjemahkannya, terkadang
mengulas sedikit mengenai fikih. Namun hal tersebut tidak maksimal.
Maka ddri itu, sangat disetujui bila siswa mengikuti pembelajaran
agama di luar SLB, semisal di Raudhlatul Makfufin, yang dalam
pembelajaran agama lebih dalam dan terinci. Selain itu pula, peranan
orang tua sangat penting dalam mengembangkan keberagamaan siswa,
jadi bukan hanya sekedar mengajarkan agama di rumah saja,
melainkan mendorong siswa untuk belajar di masjid, yang artinya
mengikuti berbagai pembelajaran agama di dekat rumah.160
Al-fathullah, adalah salah seorang murid kelas Delapan SMP-
LB yang paling menonjol mengenai pengetahuan agama baik
mengenai fikih, hafalan al-Qur‘an dan Hadis Nabi. Siswa tersebut
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mempelajari agama. Di luar
Jam pelajaran formal, siswa tersebut mempelajari agama di radio, baik
dari pengajian, hafalan al- Qur‘an dan lainnya. Dengan hal tersebut,
Ibu siswa khawatir pemikiran siswa yang belum mempuni anaknya
akan terbentuk oleh paham keagamaan yang keras. Oleh karenannya,
meminta pembelajaran tambahan (Ekskul) mengenai keagamaan
kepada guru di SLB (Maksum, S. Ag, Mpd). Maka siswa pun belajar
dimulai dari Iqra, sampai mempelajari fikih, Muhadatsah (percakapan
bahasa arab sehari-hari). Maka pengetahuan siswa lebih menonjol dari
160
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,
91
siswa lain yang hanya belajar agama formal saja.161
Rasa keingintahuan siswa menjadi berpengaruh terhadap
pengetahuan agama siswa, serta peranan orang tua yang peduli dan
mengarahkan anaknnya untuk berlajara agama menjadi bagian penting
dalam pengembangan keberagamaaan siswa baik secara praktis,
maupun kognitif. Menurut salah seorang guru agama (Maksum S, Ag,
M. Pd) bahwa harus ada pembelajaran agama tambahan baik di radio,
Tv, maupun belajar di lembaga keagamaan semisal Raudhlatul
Makfufien. Peranan orang tua pun sangat penting, dalam mengarahkan
siswa, dan umumnya orang tua antusias terhadap program keagamaan
di SLB.162
C. Analisa Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN
1. Tinjauan Pengetahuan (Transfer of Knowledge)
Bila kita tinjau dari sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra,
sebagaimana telah diuraikan bahwa siswa tunanetra yang menonjol dalam
pengetahuan agama lebih didominasi pengetahuan dari luar pembelajaran
formal di SLB A PTN. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan
pembelajaran keagamaan di luar SLB baik dari sisi pengetahuan, fikih,
hadits, kemampuan membaca al-Qur‘an, serta hafalannya, lebih
dipengaruhi oleh berbagai pembelajaran keagamaan di luar sekolah
semisal di lembaga keagamaan khusus siswa tunanetra ataupun pendidikan
agama yang ditanamkan oleh keluarga.
Perlu dilihat pula bahwa siswa yang menonjol dalam pengetahuan
agama hanya sebagian kecil saja, dan sebagian besar lebih mengandalkan
pembelajaran keagamaan di SLB. Artinya efektivitas diukur bukan dari
segi kuantitas pengetahuan siswa, melainkan dari sejauh mana dampak
pembelajaran keagamaan di SLB pada siswa yang tidak belajar keagamaan
161
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Ag, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016. 162
Hasil Wawancara dengan Maksum, S. Pd, M. Pd, Guru Agama SMA-LB, Senin, 02,
Mei, 2016.
92
di luar SLB. Dalam hal ini, penulis tidak bisa memungkiri, bahwa dari
hasil temuan lapangan siswa yang yang kemampuan ideal dalam
memenuhi syarat keberahasilan program tersebut adalah siswa yang
mengikuti pembelajaran keagamaan di luar SLB. Sedangkan siswa yang
tidak mengikuti, tidak terlalu banyak memiliki kemampuan dalam
memenuhi keberhasilan program keagamaan SLB. Semisal pengetauan
fikih, hadis dan terutama hafalan Qur‘an yang menjadi bagian dari
program tersebut, umumnya siswa yang bisa memenuhi syarat
keberhasilan program tersebut secara kognitif adalah siswa yang
mengikuti pembelajaran di luar SLB. Artinya siswa lainya kurang bisa
memenuhi tuntutan dalam program keagamaan SLB.
Maka bisa disimpulkan SLB A PTN tidak terlalu banyak
memberikan pengaruh terhadap sisi kognitif keberagamaan siswa
tunanetra.
2. Tinjauan Tindakan (Transfer of Action)
Adapun mengenai nilai terapan pada konteks keberagamaan siswa
tunanetra penulis akan mengukur dari intensitas peribadatan siswa dan
tingkat ketaatan dalam mengamalkan ajaran keagamaan dalam hal ini
penulis mengkhususkan mengenai jilbab pada siswi tunanetra.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa intensitas pelaksanaan peribadatan
shalat siswa umumnya memiliki keberanian untuk meninggalkan shalat
wajib, tetapi tidak memiliki keberanian untuk meninggalkan ibadat puasa.
Hal demikian dilatarbelakangi jiwa keberagamaan siswa tunanetra yang
masih dipengaruhi uforia lingkungan. Artinya intensitas ibadat puasa lebih
dominan dari peribadatan shalat, namun dari segi penghayatan peribadatan
siswa lebih terlihat dari ibadat shalat. Terlepas dari itu, sebagaimana telah
diuraikan bahwa sekolah hanya sebatas mengajarkan keberagamaan
adapun aplikasinya lebih didominasi di rumah. Artinya intensitas
peribadatan siswa akan terlihat di rumah. dalam arti keluarga yang
memberikan pengaruh besar terhadap intensitas peribadatan siswa
tunanetra.
93
Uraian di atas menunjukkan bahwa intensitas peribadatan siswa
dibentuk dari lingkungan keluarga, dalam arti SLB hanya sebagai
fasilitator. Begitu pula dengan berjilbab pada siswi, pihak SLB tidak
memiliki wewenang untuk membuat peraturan secara langsung, namun
hanya sebatas simbolik saja, yaitu siswi memakai jilbab pada momentum
keagamaan saja. Dari hal tersebut, SLB tidak memberikan begitu banyak
pengaruh terhadap pengamalan keberagamaan siswa tunanetra, dan
keluargalah yang memiliki dominasi keberagamaan tersebut. Maka bisa
disimpulkan bahwa SLB A PTN tidak memiliki pengaruh besar terhadap
efektivitas pengamalan Keberagamaan siswa tunanetra.
3. Tinjauan Prilaku (Transfer of value)
Bila kita lihat perilaku siswa, bisa dikatakan tidak ada perilaku
yang berandal, dalam arti siswa tunanetra tidak memiliki perilaku buruk
yang membuat kegaduhan baik di sekolah maupun di masyarakat. Artinya
perilaku siswa tunanetra relatif baik meskipun ada beberapa kesalahan
tertentu dari pengalaman siswa yang kiranya merupakan sebuah kesalahan
namun bukan berarti siswa memiliki sifat buruk.
Dalam menganalisa mengenai prilaku siswa dan kaitannya dengan
efektifitas penanaman sikap keberagamaan SLB A PTN, penulis merasa
kesulitan menimbang prilaku siswa merupakan suatu yang abstrak dan
lebih personal. Karena terbentuk dari kompleksitas yang memberikan
pengaruh pada pola pikir dan perkembangan jiwa siswa. Bila dihubungkan
perilaku keberagamaan dengan nilai ajaran agama, tentu hal demikian
sejalan dengan pembahasan kognitif, yaitu pengetahuan keberagamaan
siswa umumnya diperoleh dari luar jam formal SLB. bila dibandingkan
antara program sekolah dengan kegiatan keagamaan tambahan siswa, yang
lebih berpengaruh adalah kegiatan keagamaan di luar SLB. Artinya secara
logis yang harusnya lebih dominan membentuk pola perilaku keberagaman
siswa adalah berbagai lembaga yang memberikan pengajaran agama,
dalam hal ini pendidikan di luar sekolah. namun hal demikian belum
menjadi alasan, menimbang ada keluarga yang bisa mengarahkan siswa
94
untuk belajar agama ataupun membimbing siswa karena sebagai mana
telah diuraikan bahwa orang tua siswa tunanetra memegang peranan
penting dalam pendidikan siswa terutama dalam keberagamaan siswa.
Termasuk dari nilai penghayatan peribadatan siswa yang kiranya
merupakan perilaku keberagaaman yang lebih personal.
Maka dari itu, penulis berkesimpulan bahwa perilaku siswa tidak
bisa diukur dari efektivitas pendidikan SLB secara langsung, karena
terbentuk dari kompleksitas yang bisa mempengaruhi pola pikir, dan
perkembangan kejiwaan siswa, baik dari motivasi personal siswa,
pengaruh keluarga, sekolah, lingkungan, terutama dari lembaga
keagamaan yang menanamkan nilai ilahiah pada siswa tunanetra.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Keagamaan
SLB A PTN
1. Faktor Pendukung
Faktor pendukung keberlangsungan kegiatan keagamaan di SLB A
PTN adalah sudah tersedianya Al-Qur‘an Braille, dan berbagai
keterampilan akan kemampuan siswa terhadap teknologi sehingga dapat
mendownload hal yang menyangkut dengan keagamaan, sudah
tersediannya tempat ibadah berupa mushala dengan jumlah dua lokasi,
serta berbagai perlengkapan ibadah yang menunjang keberlangsungan
kegiatan peribadatan siswa tunanetara. Bukan hanya itu, kemampuan siswa
secara individu merupakan bagian dari pendukung keberlangsungan
program keagamaan yang dipengaruhi oleh berbagai hal. Dalam hai ini
bisaa disebut dengan faktor internal siswa, adalah pengaruh dari sekolah
dan keluarga siswa, termasuk kegiatan keagamaan tambahan semisal
kursus al-Qur‘an Braille, dan berbagai motivasi yang didapatkan siswa.163
Jadi hal yang menjadi faktor pendukung keberlangsungan program
keagamaan bisa dikatakan meliputi dua faktor yaitu faktor media
163
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016.
95
pembelajaran, berupa sudah tersedianya al-Qur‘an Braille, adanya media
internet yang sudah dipahami oleh siswa sehinga bisa dimanfaaatkan
sebagai saran pendukung keberlangsungan pembelajaran agama, serta
tersediannnya tempat peribadatan berupa musholla dan segenap
perlengkapannya baik perlengkapan shalat dan lainnya yang menjadi
fasilitas bagai siswa tunanetra. Dalam hal ini SLB A PTN relatif sudah
cukup baik dalam hal penyediaan fasilitas dalam mendukung
keberlangsungan kegiatan keagamaan.
Kemudian faktor pendukung kedua berupa keterampilan siswa.
factor ini merupakan bagian yang memudahkan dalam pembelajaran
keagamaan. Hal demikian dipengaruhi oleh berbagai hal baik dari sekolah
itu sendiri, kelaurga, dan berbagai kegiatan lainnya yagn menyangkut
keagamaan maupun hal yang membangun motivasi belajar siswa
tunanetra. Bisa dikatakan faktor ini merupakan aspek yang dapat
memudahkan dalam pembelajaran keagamaan, sehingga program
keagamaan yang dilaksanakaan cenderung akan lebih mudah pula dalam
mencapai keberhasilannya.
Adapun faktor penghambatnnya, adalah latar belakang keluarga
yang kurang memberikan dukungan terhadap perkembangan keagamaan
siswa tunanetra. Siswa tatkala di rumah tidak ada yang memberikan
motivasi untuk membimbing siswa untuk shalat berjamaah, membaca Al-
Qur‘an, dan lainnya, termasuk lingkungan sosial siswa tunanetra. Selain
itu, orientasi mobilitas siswa yang masih kurang, turut memberikan
pengaruh untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Maka dari itu, siswa
tunanetra perlu mendapatkan pendampingan dari orang tua dalam
membina kualitas belajar dan ibadah siswa. karena kondisi siswa tunanetra
terkadang bukan hanya terhambat dalam pengelihatan saja, tetapi memiliki
keterbatasan lainnya yang bersifat fisik, maupun psikis. Dan yang paling
memberatkan dalam pembelajaran adalah siswa tunanetra yang memiliki
keterbatasan psikis semisal autis. Karena akan menimbulkan keterbatasan
96
dalam berkomunikasi.164
Bisa dikatakan bahwa hanya satu faktor yang menjadi
pengahambat dalam keberlangsungan program keagamaan siswa
tunanetra, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
keagamaan siswa tunanetra, dalam hal ini keluarga yang menjadi pengaruh
utama. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa keluarga atau
orang tua adalah pendukung yang paling dominan dalam mengarahkan
siswa tunanetra termasuk dalam pembinaan keagamaan siswa. kondisi
ketunanetraan siswa turut membatasi kiprah siswa tunanetra dalam
menjalani kesehariannya termasuk dalam belajar. Maka orang yang
terdekatlah menjadi jalan pertama dalam mengarahkan siswa tunanetra.
Termasuk lingkungan masyarakat sekitar, karena lingkungan siswa dapat
mempengaruhi terhadap perkembangan psikologis dan berdampak pada
perkembangan keagamaan siswa tunanetra.
Bisa dipahami bahwa faktor lingkungan yang di dalamnya meliputi
keluarga atau orang tua adalah pemberi pengaruh utama pada siswa
tunanetra. Ini merupakan satu bagian penting dalam keberhasilan program
keagamaan, Artinya lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh
positif terhadap keberagamaan siswa tunanetra karena akan lebih
memudahkan dalam menyesuaikan dengan kegiatan keagamaan yang
dilaksanakan disekolah.
Maka program keagamaan yang telah tercanang memerlukan
dukungan dari pihak lain untuk ikut membina yaitu orang tua. Karena
kalau kita lihat dari program hafalan al-Qur‘an termasuk bimbingan shalat,
adalah salah satu kegiatan yang bukan hanya dilaksanakan di sekolah saja,
melainkan harus dilakakukan pula di rumah semisal mengahafal dan
mengamalkan peribadatan shalat. Maka lingkungan rumahlah yang
menjadi pendukung utama dalam keberagamaan siswa tunanetra. Disini
diperlukan sinkronisasi antara pihak SLB A PTN dengan orang tua siswa.
164
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei,
2016.
97
sehingga bisa bekerjasama dalam membina perkembangan keagamaan
siswa.
98
BAB V
PENUTUP
Dari hasil kajian yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis akan
dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Adapun mengenai kesimpulan yang akan diuraikan, penulis
menguraikannya melalui dua poin besar, yaitu sikap keberagamaan siswa
tunanetra secara umum dan efektivitas program keagamaan SLB A PTN
sebagai sarana dalam membentuk sikap keberagamaan siswa tunanetra. Hal
demikian perlu dilakukan, karena penelitian ini mengulas bukan hanya sekedar
untuk mengetahui sikap keberagamaan siswa saja, melainkan juga untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dalam membentuk sikap keberagamaan.
1. Tinjauan Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra
a. Semua siswa tunanetra memiliki keyakinan baik terhadap Allah Swt,
karena tidak ada satupun siswa tunanetra yang memiliki pendapat
negatif terhadap ketuhanan dalam Islam. hanya saja, siswa tunanetra
tidak memiliki keyakinan baik terhadap kebenaran ajaran agama. siswa
umumnya berpendapat semua agama benar karena mengajarkan
kebaikan, karena semua yang dinilai kebaikan dipandang sebagai
sebuah kebenaran. Hal demikian dilatarbelakangi belum tumbuhnya
pertimbangan logika beragama atas pemahaman terhadap konsep
kebenaran yang prinsipil.
b. Dari sisi intensitas peribadatan siswa, umumnya siswa tunanetra
memilliki keberanian untuk meninggalkan shalat, namun seluruh siswa
tunanetra tidak memiliki keberanian untuk meninggalkan puasa. Hal
demikian dilatarbelakangi keberagamaan siswa tunanetra yang masih
didasari uforia serta belum tumbuhnya kedewasaan beragama. Namun
hal demikian bertolakbelakang dengan nilai penghayatan dalam
peribadatan siswa yang justru siswa lebih merasakan efek psikologis
dalam hal ini ketenangan batin ketika mengerjakan shalat. Maka
99
tingginya intensitas puasa dan dalamnya penghayatan shalat siswa
menunjukan bahwa tingginya intensitas peribadatan bukan penyebab
utama tingginya penghayatan dalam peribadatan siswa tunanetra.
c. Dari sisi pengamalan nilai keagamaan, siswa tunanetra memiliki
kualitas moral yang cukup baik, menimbang siswa tidak ada yang
memiliki prilaku arogan dan berbuat keonaran di sekolah. termasuk
pula dalam berhubungan dengan orang tua, guru, dan sesama teman.
Siswa relative memiliki hubungan cukup baik. Hanya saja dari sisi
estetika, siswi tunanetra semuanya tidak memakai jilbab, dan masih
adanya beberapa siswa yang memiliki sikapakan kurangnnya menjaga
batasan dengan lawan jenis.
d. Adapun sisi pengetahuan keagamaan siswa tunanetra,umumnya siswa
tunanetra tidak terlalu memiliki wawasan keagamaan yang cukup baik.
Adapun sebagian kecil siswa yang memiliki wawasan agama yang baik
adalah siswa yang mengikuti pembelajaran keagamaan di lembaga
yang mengajarkan agama khusus tunanetra, dan ada pula yang privat
dengan guru agama.
2. Tinjauan Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN
a. Siswa tunanetra yang menonjol dalam pengetahuan agama lebih
didominasi pengetahuan dari luar pembelajaran formal SLB A PTN,
sedangkan siswa yang hanya belajar agama secara formal di SLB tidak
begitu menonjol dari segi pengetahuan keagamaan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran keagamaan di luar SLB
baik dari sisi pengetahuan, fikih, hadis, kemampuan membaca al-
Qur‘an, serta hafalannya, lebih didominasi oleh berbagai pembelajaran
keagamaan di luar jam formal SLB. dari pada SLB A PTN itu sendiri.
Maka bisa disimpulkan SLB A PTN tidak terlalu banyak memberikan
pengaruh terhadap sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra.
b. Intensitas ketaatan beragama siswa dibentuk dari lingkungan keluarga,
dalam arti SLB hanya sebagai fasilitator. Maka keluargalah yang
100
memiliki dominasi dalam membentuk ketaatan beragama siswa. dan
SLB A PTN tidak memiliki pengaruh besar terhadap efektivitas
pengamalan Keberagamaan siswa tunanetra.
c. Dari sisi prilaku keagamaan siswa tunanetra, Perilaku keberagamaan
siswa merupakan suatu yang abstrak dan lebih personal. Karena
terbentuk dari kompleksitas yang memberikan pengaruh pada pola
pikir dan perkembangan jiwa siswa. Maka dari itu, perilaku siswa tidak
bisa diukur dari efektivitas pendidikan SLB secara langsung, karena
terbentuk dari kompleksitas yang bisa mempengaruhi pola pikir, dan
perkembangan kejiwaan siswa, baik dari motivasi personal siswa,
pengaruh keluarga, sekolah, lingkungan, terutama dari lembaga
keagamaan yang menanamkan nilai ilahiah pada siswa tunanetra.
d. Media pembelajaran sebagai faktor pendukung kelancaran program
keagamaan. Dari sisi fasilitas pendukung kegiatan keberlangsungan
program keagamaan, SLB A PTN relatif memiliki fasilitas yang baik.
Diantaranya telah memiliki perpustakaan yang menyediakan al-Qur‘an
brille sebagai penunjang keberlangsungan program tadarus dan
hafaalan surat-surat tertentu. kemudian telah tersedianya tempat ibadat
semisal telah memiliki dua lokasi mushala dengan segenap
perlengkapan ibadat shalat sebagai penunjang kegiatan keagamaan.
e. Keterampilan siswa pun sebagai bagian dari faktor penunjang
keberlangsungan kegiatan siswa tunanetra. Melalui kegiatan
pembelajaran keagamaan yang telah diikuti siswa baik dari SLB A
PTN, terlebih dari berbagai lembaga yang terkhusus memberikan
pengajaran keagamaan bagi siswa tunanetra. Darinya memudahkan
dalam kelancaran program keagamaan di SLB A PTN.
f. Faktor lingkungan keluarga yang kurang baik sebagai faktor
penghambat keberlangsungan program keagamaan SLB A PTN. dalam
hal ini keluarga atau orang tua sebagai pendukung utama dalam
membangun keberagamaan siswa tunanetra, kurang memberikan
dukungan terhadap keberlangsungan program keagamaan. Karena
101
orang tua yang kurang memberikan bimbingan keagamaan bagi siswa
tunanetra akan berpengaruh pada keberagamaan siswa yang menjadi
penghambat dalam kelancaran dan tercapainya tujuan dari pada
program yang telah diasdakan.
B. Saran
SLB perlu memperhatikan bahwa tidak semua siswa tunanetra
memiliki kegatan pembelajaran di luar jam formal SLB. Umumnya siswa
tunanetra hanya mengikuti pembelajaran keagamaan di SLB A PTN. Dengan
demikian, jika SLB tida memiliki banyak kemampuan dalam membentuk
keberagamaan siswa tunanetra, hendaknya memberikan dorongan untuk
mengikuti kegiatan keagamaan diluar semisal pesantren khusus tunanetra, atau
lembaga lainnya yang memfasilitasi untuk memberikan pengajaran agama
bagi siswa tunanetra,. Hal demikian perlu dilakukan menimbang tidak semua
orang tua siswa memiliki kesadaran untuk mendorong anaknnya dalam
mempelajari agama secara intens.
Peranan lembaga pendidikan yang memberikan pembelajaran
keagamaan pada siswa tunanetra terkhusus SLB A PTN sebagai fasilitator dan
orang tua atau keluarga terdekat sebagai pihak yang paling berpengaruh
terhadap perkembangan keberagamaan siswa tunanetra, menunjukkan Perlu
adanya sinkronisasi berupa kerjasama dalam membentuk keberagamaan siswa
tunanetra. Yaitu SLB yang mengajarkan prihal keagamaan, harus
mendapatkan dukungan dari orang tua di rumah sebagai pembimbing
pengamalan keberagamaan dari apa yang telah dipelajari oleh siswa tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1987)
Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 147.
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. Ke-1, h.
147.
Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. Ke-1
ArmaiArief, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Majemuk,
(Ciputat: Suara ADI, 2009)
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Didiek Ahamad Supardi, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 87-89.
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusiatas
Problematika Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. Ke-2
Fachruddin HS, Pembinaan Mental Bimbingan Al-Qur-an, (TK: PT.Bina Aksara,
1984)
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreatifitas Dalam
Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002)
Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam
Perspektif Psikologi Islami, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002),
Cet. Ke-1
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasionaldi
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2004)
Hamzah Yaqub, Ilmu Ma’rifah, (Jakarta: CV. Atlas, 1988), Cet. Ke-3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-
Press, 1985), Cet. Kelima
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-
Press, 1985), Cet. Kelima
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternative Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bndung:
Mizan, 1986)
Jalaluddin Rakhmat, Membuka Tirai Keghaiban, Renungan-renungan Sufistik,
(Bandung:Mizan, 2000), Cet. Ke-11
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan,
2005), Cet. Ke-3
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. Kesebelas
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan
Strategi Pendidikanya, (Yogyakarta: UII-Press, 2004)
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. RosdaKarya,
2004), Cet. Ke-20
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, tt)
M. Dahlan Yacub Al-Barry, Kamus Sosiologi Antropologi, (Surabaya: Indah, tt)
M. Quraish Shihab, “Falasafah Ibadah dalam Islam”, dalam Ismail Muhammad
Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: BumiAksara, 1992), Cet. Ke-2
MAPPIARE, Andi, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 2006)
Mardalis, Metode Penellitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: BumiAksara,
2014), Cet. 13
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet.
Kelima
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997)
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997)
NurcholisMadjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Keritis Terhadap
Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000), Cet. Keempat
Pius A. Partanto dan M. Dahalan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, tt)
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.Keenam
Robert h, Pengantar Psikologi Agama, Terj. An Introduction to The Psychology
of Religion, Penerjemah, Machnun Husein, (Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 1995), Cet. Ke-2
Rulam Ahmadi, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA,
2014)
Rusman Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kencana, 2014)
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. RinekaCipta, 2010),
Cet. Ke-8,
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005),
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005)
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2011), Cet. 13
SuharsimiArikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2013), Cet. Kelima belas
T. Sudjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2012), Cet. Ke-4
Yusuf Qardhawi, Pedoman Ideologi Islam, Terj, Al-Hallu’lIslamiy, Penerjemah,
Saifullah Karnalie, (Bandung: Gema Risalah Press, 1988), Cet. Kedua
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Cet.
Ke-10
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental Pokok-Pokok Keimanan, (Jakarta:
CV. Haji Masagung, tt)
Top Related