EFEKTIVITAS CAMPURAN Phyllanthus n
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophil
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
EFEKTIVITAS CAMPURAN TEPUNG MENIRAN Phyllanthus niruri DAN BAWANG PUTIH Allium s
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI ydrophila PADA IKAN LELE DUMBO
DADANG KURNIAWAN
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
MENIRAN Allium sativum
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
EFEKTIVITAS CAMPURAN Phyllanthus niruri
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan padaProgram Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
EFEKTIVITAS CAMPURAN TEPUNG MENIRAN Phyllanthus niruri DAN BAWANG PUTIH Allium sativum
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias
DADANG KURNIAWAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan BudidayaDepartemen Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
MENIRAN Allium sativum
DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI Clarias sp.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
EFEKTIVITAS CAMPURAN TEPUNG MENIRAN Phyllanthus niruri DAN BAWANG PUTIH Allium sativum DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.
Adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
DADANG KURNIAWAN C14062625
Judul Skripsi : Efektivitas campuran tepung meniran Phyllanthus niruri dan bawang putih Allium sativum dalam pakan untuk pencegahan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp.
Nama Mahasiswa : Dadang Kurniawan
Nomor Pokok : C14062625
Disetujui Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Dinamella Wahjuningrum NIP. 19700521 199903 2 001
Dr. Mia Setiawati kkkkkkkkk NIP. 19641026 199203 2 001
Diketahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas
segala perkenan-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan tema
peran fitofarmaka dalam mengatasi penyakit ikan dilakukan sejak 22 April 2010
sampai dengan 28 Mei 2010 di Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik,
Departemen Budidaya Perairan.
Terima kasih penulis kepada Dr. Dinamella Wahjuningrum dan Dr. Mia
Setiawati selaku dosen pembimbing yang selalu terbuka dalam memberikan
bimbingan dan arahan serta kepada Dr. Alimuddin sebagai dosen penguji yang
telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi. Di samping itu, penulis
juga berterima kasih kepada Prof. Dr. C. Hanny Wijaya yang telah berkenan
memberikan jurnal-jurnal ilmiahnya tentang bawang putih. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan keluarga besar yang senantiasa
berdoa untuk anak-anaknya, serta rekan-rekan yang telah membantu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Bogor, Agustus 2010
Dadang Kurniawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang tanggal 01 September 1986 dari pasangan
Ayah Memed Pendi dan Ibu Nenoh Sukaenah. Penulis merupakan anak ke tiga
dari empat bersaudara.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMAN 1 Situraja dan lulus
tahun 2005. Tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke IPB melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memilih mayor Teknologi dan
Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di
kampus antara lain : pengurus HIMAKUA divisi kewirausahaan periode
2008/2009, anggota paduan suara fakultas 2007-2010, asisten praktikum Dasar-
Dasar Mikrobiologi Akuatik 2008/2009, dan asisten praktikum Manajemen
Kesehatan Akuakultur 2010. Selain itu penulis juga pernah praktik lapang di
BPBI Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat dan mengikuti beberapa seminar
antara lain Seminar Nasional Akuakultur 2008, Strategi Peningkatan Mutu
Pendidikan Nasional 2009, Seminar Pengelolaan Perikanan dalam Perspektif
Islam 2009, dan SEMILOKA Jamu sebagai Warisan Budaya untuk Meningkatkan
Citra Indonesia 2010.
Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi
yang berjudul “Efektivitas campuran tepung meniran Phyllanthus niruri dan
bawang putih Allium sativum dalam pakan untuk pencegahan infeksi bakteri
Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp.”
ABSTRAK
DADANG KURNIAWAN, Efektivitas Campuran Tepung Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum dalam Pakan untuk Pencegahan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Dibimbing oleh DINAMELLA WAHJUNINGRUM dan MIA SETIAWATI.
Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) menyebabkan penyakit serius pada ikan lele Clarias sp. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan dosis efektif dari tepung meniran dan bawang putih yang dicampur dalam pakan komersil dengan metode yang aplikatif di lapangan. Perlakuan yang diujikan adalah 4 dosis tepung meniran dan bawang putih yang berbeda, yaitu A (0,1%), B (1,1%), C (2,1%), D (3,1%), dan ditambah perlakuan kontrol, yaitu K⁻ (tanpa tepung meniran dan bawang putih, dan disuntik 0,1 ml PBS) dan K⁺ (tanpa tepung meniran dan bawang putih, dan diinfeksi 0,1 ml A. hydrophila). Perlakuan diberikan selama 14 hari sebelum uji tantang, dan pada hari ke-15 dilakukan uji in vivo dengan menyuntikkan A. hydrophila (108 CFU/ml) ke ikan secara intramuskular dan diamati selama 10 hari. Parameter yang diamati adalah kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak, pertumbuhan spesifik, gejala klinis, penyembuhan luka, organ dalam, dan kualitas air. Data dianalisis dengan ANOVA satu faktor. Diperoleh kelangsungan hidup K⁻ 100±0,00%, C 60±20%, A 40±40%, B 40±40%, K⁺ 33,33±11,55% , dan D 20±0,0% (p<0,05). Perlakuan K- tidak berbeda nyata dengan perlakuan C. Dosis C (2,1%) efektif untuk pencegahan penyakit MAS pada ikan lele Clarias sp.
Kata kunci: A. hydrophila, lele dumbo, bawang putih, meniran
ABSTRACT
DADANG KURNIAWAN, The Effectivity Mixed Powders of Phyllanthus niruri and Allium sativum in Feed for the Prevention of Aeromonas hydrophila Infection in Walking Catfish Clarias sp. Supervised by DINAMELLA WAHJUNINGRUM and MIA SETIAWATI.
Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) caused by Aeromonas hydrophila induced serious epidemics of ulcerative disease in walking catfish (Clarias sp.). Purpose of this research was to determine the effective dosage of Allium sativum and Pyllanthus niruri powders mixed in commercial feed with more applicable method in the field. The treatments tested were four different dosages of A. sativum and P. niruri powders, namely A (0,1%), B (1,1%), C (2,1%), D (3,1%) and control, namely K⁻ (without A. sativum and P. niruri powders, and injected with PBS 0,1 ml) and K⁺ (without A. sativum and P. niruri powders, and infected with A. hydrophila 0,1 ml). The treatments was given for two weeks before challenging test, at 15th day test in vivo carried out by injecting A. hydrophila (108 CFU/ml) into the fish by intramuscular and observed for 10 days. Parameters measured were survival rate, absolute growth, specific growth rate, clinical symptoms, wound healing, organs morphology, and water quality. Data were processed statistically using completely randomized design ANOVA single factor. The results showed that the survival of treatment K⁻ was 100±0,00%, C 60±20%, A 40±40%, B 40±40%, K⁺ 33,33±11,55%, and D 20±0,0% (p<0,05). The survival was not significantly different between treatment K⁻ and C. Thus C (2,1%) was effective and could be for preventing MAS in catfish (Clarias sp.).
Key words: A. hydrophila, Clarias sp., Allium sativum, Pyllanthus niruri
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
II. METODOLOGI ................................................................................. 3 2.1 Metode Penelitian ......................................................................... 3 2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila .. 3 2.1.2 Uji Postulat Koch ................................................................ 3 2.1.3 Pembuatan Tepung Meniran Phyllanthus niruri ................ 3 2.1.4 Pembuatan Tepung Bawang Putih Allium sativum ............. 4 2.1.5 Penentuan Dosis Perlakuan ................................................. 4 2.1.6 Pembuatan Pakan Perlakuan ............................................... 5 2.1.7 Persiapan Wadah dan Ikan Uji ............................................ 5 2.1.8 Uji In Vivo ........................................................................... 5 2.2 Parameter Pengamatan ................................................................. 7 2.2.1 Respons Ikan terhadap Pakan ............................................. 7 2.2.2 Pertumbuhan ....................................................................... 7 2.2.3 Kelangsungan Hidup ........................................................... 7 2.2.4 Gejala Klinis dan Penyembuhan Luka ................................ 8 2.2.5 Pengamatan Organ Dalam .................................................. 8 2.2.6 Kualitas Air ......................................................................... 8 2.3 Analisis Data ................................................................................ 8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 10 3.1 Hasil ............................................................................................ 10 3.1.1 Identifikasi Bakteri Uji ........................................................ 10 3.1.2 Uji In Vivo ........................................................................... 10 3.1.2.1 Respons Ikan terhadap Pakan ......................................... 10 3.1.2.2 Pertumbuhan................................................................... 11 3.1.2.3 Kelangsungan Hidup ..................................................... 12 3.1.2.4 Gejala Klinis .................................................................. 13 3.1.2.5 Penyembuhan Luka ....................................................... 14 3.1.2.6 Pengamatan Organ Dalam ............................................. 20 3.1.2.7 Kualitas Air ................................................................... 21 3.3 Pembahasan ................................................................................... 22
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 29 4.1 Kesimpulan .................................................................................... 29 4.2 Saran ............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 30
LAMPIRAN ............................................................................................... 32
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi bahan perlakuan dalam pakan ........................................... 4
2. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur ....................................... 8
3. Parameter uji sebelum dan sesudah infeksi ......................................... 11
4. Kualitas air pada akhir perlakuan ........................................................ 21
5. Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan metode berbeda .......... 26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema uji in vivo ................................................................................. 6
2. Tagging pada ikan ................................................................................ 6
3. A. hydrophila umur 1x24 jam pada medium TSA .............................. 10
4. Ekspresi sel hasil pewarnaan Gram ..................................................... 10
5. Pertumbuhan mutlak ikan lele selama 14 hari sebelum infeksi .......... 11
6. Kelangsungan hidup ikan lele pada akhir perlakuan ........................... 12
7. Jumlah kematian per hari pasca infeksi .............................................. 12
8. Perlakuan K⁻ tidak menimbulkan gejala klinis ................................... 13
9. Gejala klinis radang timbul pada jam ke-7 pada perlakuan K⁺ ........... 14
10. Haemoragi timbul pada hari ke-1 pasca injeksi pada perlakuan A ..... 14
11. Tukak timbul pada hari ke-2 pasca injeksi pada perlakuan B ............. 14
12. Gejala ikan sebelum mati hari ke-3 pada perlakuan B ........................ 14
13. Perubahan diameter luka perlakuan K⁺U1 .......................................... 15
14. Perubahan diameter luka perlakuan AU1 ........................................... 16
15. Perubahan diameter luka perlakuan BU2 ........................................... 17
16. Perubahan diameter luka perlakuan CU3 ........................................... 18
17. Perubahan diameter luka perlakuan DU2 ........................................... 19
18. Penyembuhan luka .............................................................................. 20
19. Organ dalam ikan lele setiap perlakuan .............................................. 21
20. Suhu air selama perlakuan .................................................................. 22
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis statistik terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup …... 33
2. Gejala klinis dan diameter luka setiap perlakuan ………..………….. 35
3. Perubahan diameter luka ………..………………………………….... 37
I. PENDAHULUAN
Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP, 2010) menargetkan
pada tahun 2014 produksi ikan dari sektor budidaya meningkat sebesar 353%,
yaitu 5,38 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014
dengan berpegang pada penerapan Good Aquaculture Practices (GAP) sehingga
memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sesuai yang
dipersyaratkan oleh pasar global. Menurut peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia nomor Per. 01/MEN/2007, Good Aquaculture
Practices adalah pedoman dan tata cara budidaya, termasuk cara panen yang baik,
untuk memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan
budidaya dengan memperhatikan sanitasi, pakan, obat ikan, bahan kimia, dan
bahan biologis. Lebih lanjut lagi penggunaan antibiotik tertentu sudah tidak
diperbolehkan termasuk dalam pakan.
Salah satu jenis ikan yang potensial untuk memenuhi target 353% adalah
ikan lele. Pencapaian dapat dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi.
Kelebihan yang dimiliki ikan lele sangat memungkinkan untuk mencapai target
tersebut. Ikan lele merupakan komoditas ikan air tawar yang memasyarakat
terutama di Pulau Jawa. Ikan lele diproduksi secara intensif oleh para
pembudidaya karena memiliki kelebihan, yaitu dapat dibudidayakan di lahan dan
sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, pertumbuhannya cepat,
teknologi budidaya relatif mudah dikuasai masyarakat serta memiliki nilai
ekonomis tinggi.
Pembudidaya melakukan intensifikasi produksi ikan lele dengan cara
meningkatkan padat tebar. Hal ini berdampak pada meningkatnya peluang
timbulnya penyakit. Umumnya penyakit pada ikan lele adalah penyakit MAS
(Motile Aeromonad Septicaemia) yang disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila yang sewaktu-waktu dapat menyerang pada kondisi tertentu (Swann
dan White, 1989). Dengan demikian perlu dilakukan pencegahan sebelum ikan
positif terinfeksi. Sebelum adanya pelarangan penggunaan antibiotik,
pembudidaya umumnya menggunakan berbagai antibiotik kimiawi sintetis untuk
menanggulangi penyakit ini, tetapi sekarang penggunaan antibiotik sudah sangat
dibatasi.
Alternatif yang tepat saat ini adalah penggunaan bahan-bahan herbal atau
fitofarmaka untuk pencegahan atau pengobatan. Dewasa ini perkembangan dunia
obat herbal begitu signifikan karena akan mengarah kepada saintifikasi
jamu/herbal. Meniran termasuk ke dalam obat herbal yang sedang disaintifikasi
dan digali lebih dalam lagi (SEMILOKA, 2010). Bubuk bawang putih
mengandung senyawa aktif antitrombotik untuk digunakan sebagai “health food
supplement” (Wijaya, 1995). Fitofarmaka yang digunakan untuk pencegahan
dalam penelitian ini adalah campuran dari meniran Phyllanthus niruri dan bawang
putih Allium sativum dalam bentuk tepung yang dicampurkan ke dalam pakan.
Campuran ini didasarkan pada bahan aktif yang terkandung di dalam bahan alami
tersebut. Bawang putih berperan sebagai antimikroba (Cavalito et al., 1994 dalam
Wijaya, 2000), sedangkan meniran berperan dalam meningkatkan sistem imun
(Suprapto, 2010).
Penelitian Sholikhah (2009) dilakukan dengan bahan yang sama tetapi
dalam bentuk ekstrak yang disemprotkan ke pakan sebagai upaya untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit MAS. Konsentrasi yang digunakan untuk
pencegahan adalah 5 ppt meniran dan 20 ppt bawang putih dengan dosis 0,1 ml/g
pakan dengan perbandingan meniran dan bawang putih adalah 1:2. Hal ini dinilai
kurang efisien dalam pemberiannya ke ikan dan kemungkinan leaching sangat
besar sebelum dimakan ikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis efektif dari tepung meniran
dan bawang putih yang dicampur dalam pakan komersil sebagai upaya
pencegahan penyakit MAS pada ikan lele Clarias sp.
II. METODOLOGI
2.1 Metode Penelitian
2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila
Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang penting dan luas
yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri. Metode pewarnaan Gram
mengikuti prosedur Sunatmo (2007). Uji sifat biokimia dan fisiologi bakteri
meliputi uji oksidatif/fermentatif, uji motilitas, uji oksidase, dan uji katalase.
Berdasarkan uji biokimia akan diperoleh genus suatu bakteri dengan mengacu
pada Tabel Cowan (Cowan dan Steel, 1974).
2.1.2 Uji Postulat Koch
Postulat Koch dilakukan untuk menguji sediaan bakteri Aeromonas
hydrophila yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan. Uji Postulat Koch
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu uji virulensi, fasase, dan pengenceran
berseri. Uji virulensi dilakukan dengan menyuntikkan sediaan A. hydrophila
murni ke ikan sehat hingga menyebabkan sakit pada ikan tersebut. Fasase
dilakukan dengan cara A. hydrophila hasil isolasi dari ikan yang telah berupa
biakan murni ditumbuhkan dalam media TSA (Trypticase Soy Agar) miring dan
diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator. Pengenceran berseri dilakukan dengan
mengkultur A. hydrophila ke dalam 25 ml media TSB (Trypticase Soy Broth)
kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam water bath shaker. Setelah itu diambil
1 ml ke dalam Effendorf dengan menggunakan pipet mikro, kemudian disentrifuse
sekitar 5 menit dan dibuang supernatannya. Natan yang diperoleh dicuci dengan
PBS sebanyak 2x dan disentrifuse, setelah itu diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke
dalam Effendorf yang berisi 0,9 ml PBS, dilakukan hal yang sama hingga
pengenceran yang diinginkan.
2.1.3 Pembuatan Tepung Meniran Phyllanthus niruri
Penepungan dilakukan agar bahan tercampur rata dalam pakan komersil.
Tepung meniran digunakan sebagai sediaan bahan untuk pencampuran dalam
pakan. Pohon meniran yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun meniran,
sedangkan bunga, batang, akar serta daun yang berwarna kuning tidak digunakan.
Setelah itu daun meniran dikering udarakan tanpa terkena sinar matahari langsung
sekitar 3 hari, kemudian dihaluskan dengan blender dan tepung meniran disimpan
dalam wadah kedap udara.
2.1.4 Pembuatan Tepung Bawang Putih Allium sativum
Tepung bawang putih digunakan sebagai sediaan bahan untuk pencampuran
dalam pakan. Bawang putih dikupas dan diiris tipis, setelah itu dikering udarakan
tanpa terkena sinar matahari langsung sekitar 5 hari. Selanjutnya di oven selama 1
jam pada suhu 60⁰C, kemudian dihaluskan dengan blender. Setelah itu disimpan
dalam wadah kedap udara.
2.1.5 Penentuan Dosis Perlakuan
Perlakuan dalam penelitian ini adalah untuk menentukan dosis yang paling
efektif dari kombinasi tepung meniran dan bawang putih sebagai pencegahan
penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia). Perlakuan didasarkan pada
penelitian sebelumnya dengan metode yang berbeda, setiap perlakuan diberikan
3x ulangan (Tabel 1). Metode yang digunakan sebelumnya adalah pemberian
bahan berupa ekstrak meniran dan bawang putih yang disemprotkan ke pakan
dengan perbandingan meniran dan bawang putih adalah 1:2 (Sholikhah, 2009),
sehingga dosis perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Tabel 1. Komposisi bahan perlakuan dalam pakan Perlakuan Total (%) Meniran (%) Bawang putih (%)
Kontrol negatif 0 0 0 Kontrol positif 0 0 0
A 0,1 0,03 0,07 B 1,1 0,40 0,70 C 2,1 0,70 1,40 D 3,1 1,00 2,10
Keterangan : Kontrol negatif (K⁻) : tidak diberi bahan perlakuan dalam pakan, tidak diinfeksi
A. hydrophila pada hari ke-15. Kontrol positif (K⁺) : tidak diberi bahan perlakuan dalam pakan, diinfeksi
A. hydrophila pada hari ke-15. A, B, C, D : diberi bahan perlakuan dalam pakan (sesuai Tabel 1),
diinfeksi A. hydrophila pada hari ke-15.
2.1.6 Pembuatan Pakan Perlakuan
Pakan komersil berprotein 30% ditepungkan, kemudian dicampur dengan
tepung meniran dan bawang putih sesuai dosis perlakuan serta ditambahkan
vitamin C 0,1% dan diaduk rata. Setelah itu ditambahkan air sebanyak 30% lalu
dicetak, kemudian di oven sekitar 2 jam pada suhu 60⁰C. Pakan disimpan dalam
wadah kedap udara.
2.1.7 Persiapan Wadah dan Ikan Uji
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 akuarium berukuran
60 cm x 30 cm x 30 cm. Akuarium sebelumnya dicuci dan dikeringkan, kemudian
didisinfeksi dengan kaporit 100 ppm selama 24 jam. Setelah itu diisi air setinggi
20-25 cm, kemudian di kaporit 30 ppm selama 24 jam, selanjutnya dinetralisir
dengan tiosulfat 15 ppm dan diaerasi kuat. Bagian pengaman supaya ikan tidak
stres, akuarium dan seluruh dindingnya ditutup plastik berwarna hitam agar ikan
lele tidak loncat.
Ikan lele yang digunakan berukuran panjang 12,08±0,57 cm. Ikan lele
diadaptasikan dalam wadah penampungan terlebih dahulu selama 1-2 minggu
sebelum dimasukkan ke dalam akuarium. Selama adaptasi ikan diberi pakan 2 kali
sehari. Pakan yang digunakan pakan komersil yang mengandung protein 30%.
Sebelum masuk penampungan, ikan lele direndam di air garam 0,1% selama 5
menit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan parasit yang dibawa dari tempat
sebelumnya.
Tahap selanjutnya adalah pengadaptasian ikan lele di dalam akuarium. Ikan
lele diadaptasikan selama 3-5 hari. Setiap akuarium diisi ikan sebanyak 5 ekor.
Setelah beradaptasi, ikan lele diberi pakan perlakuan dengan FR (Feeding Rate)
3%, dan FF (Feeding Frequency) 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore.
2.1.8 Uji In Vivo
Uji in vivo dilakukan untuk menentukan pengaruh dosis tepung meniran dan
bawang putih yang berbeda dalam pakan terhadap kelangsungan hidup ikan lele
setelah diinfeksi A. hydrophila. Penginfeksian A. hydrophila dilakukan setelah
pakan perlakuan diberikan selama 14 hari (Gambar 1).
Ikan lele 15 ekor setiap per
hydrophila dengan dosis 10
Perlakuan yang diinfeksi deng
D, sedangkan K⁻ disuntik 0,1 ml
Ikan setiap perlakuan diberi tanda yang berbeda, yaitu pada sirip pektoral
kanan, pektoral kiri, dan sirip
setelah ikan diinfeksi,
dipanaskan. Fungsi dari penandaan (
ikan dalam satu perlakuan, satu ulangan selama pengamatan
Pki Pka
Keterangan : Pki = Sirip pektoral sebelah kiri dilubangiPka = Sirip pektoral sebelah kanan dilubangi• = Sirip kaudal dilubangi sebanyak 1 lubang•• = Sirip kaudal dilubangi sebanyak 2 lubang••• = Sirip kaudal dilubangi sebanyak 3 lubang
15 ekor setiap perlakuan (3 ulangan) diinfeksi dengan
dengan dosis 108 CFU/ml sebanyak 0,1 ml/ikan secara intramuskular.
Perlakuan yang diinfeksi dengan A. hydrophila adalah perlakuan K
disuntik 0,1 ml PBS/ekor.
Gambar 1. Skema uji in vivo
perlakuan diberi tanda yang berbeda, yaitu pada sirip pektoral
kanan, pektoral kiri, dan sirip kaudal (Gambar 2). Penanda pada ikan
eksi, yaitu dengan melubangi sirip menggunakan besi yang
. Fungsi dari penandaan (tagging) adalah untuk membedakan antar
ikan dalam satu perlakuan, satu ulangan selama pengamatan.
Pki Pka • •• •••
Gambar 2. Tagging pada ikan
= Sirip pektoral sebelah kiri dilubangi = Sirip pektoral sebelah kanan dilubangi
Sirip kaudal dilubangi sebanyak 1 lubang Sirip kaudal dilubangi sebanyak 2 lubang Sirip kaudal dilubangi sebanyak 3 lubang
15
15
15
15
15
lakuan (3 ulangan) diinfeksi dengan A.
secara intramuskular.
adalah perlakuan K⁺, A, B, C, dan
perlakuan diberi tanda yang berbeda, yaitu pada sirip pektoral
pada ikan dilakukan
sirip menggunakan besi yang
untuk membedakan antar
•• •••
2.2 Parameter Pengamatan 2.2.1 Respons Ikan terhadap Pakan
Pengamatan respons ikan terhadap pakan dilakukan dari awal hingga akhir
perlakuan. Respons ikan terhadap pakan diamati saat pemberian pakan dilakukan
pada setiap perlakuan. Respons ikan terhadap pakan dapat diukur dari sisa pakan
dengan cara mengurangi pakan yang seharusnya diberikan (FR 3%) dengan sisa
pakan selama satu hari.
2.2.2 Pertumbuhan
Bobot ikan ditimbang saat awal, tengah, dan akhir perlakuan sebelum uji
tantang dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,001.
Pertambahan bobot ikan dihitung dengan rumus (Effendi, 2004) :
Pertumbuhan mutlak � Wt � Wo
t
Keterangan : Wt = bobot rataan akhir (gram) Wo = bobot rataan awal (gram) Pertumbuhan spesifik dihitung dengan formula di bawah ini (Lieder, 1978
dalam Steffens, 1989)
Pertumbuhan/hari �%� � ln �� � ln ��
t� 100
Keterangan : Pt = Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram) Po = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram) t = Masa pemeliharaan (hari)
2.2.3 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup ikan diamati setiap hari hingga akhir perlakuan. Setiap
ikan yang mati dicatat dan diukur panjang serta bobotnya. Penghitungan
kelangsungan hidup dilakukan di akhir perlakuan dengan formula sebagai berikut
(Effendi, 2004).
Kelangsungan hidup �%� � Nt
No � 100%
Keterangan : Nt = Jumlah ikan akhir (ekor) No = Jumlah ikan awal (ekor)
2.2.4 Gejala Klinis dan Penyembuhan Luka
Gejala klinis diamati setiap hari setelah ikan diinfeksi dengan A. hydrophila.
Gejala klinis yang diamati adalah radang, haemoragi, tukak, dan kematian.
Penyembuhan luka diukur berdasarkan persentase perubahan diameter luka
selama perlakuan dari diameter luka maksimum yang disebabkan infeksi bakteri
A. hydrophila. Penyembuhan luka diamati setiap 2 hari sekali selama 10 hari.
Rumus yang digunakan untuk penghitungan persentase perubahan diameter
luka adalah sebagai berikut.
A�$�∆X% � A�$'(�
Keterangan : A(i) = Diameter luka maksimum pada hari ke-i (cm) ΔX% = Persentase penyembuhan luka A(i+1) = Diameter luka pada hari ke-i+1 (cm)
2.2.5 Pengamatan Organ Dalam
Pada akhir perlakuan dilakukan pengamatan organ dalam untuk menentukan
dan membedakan kelainan klinis yang terjadi antar perlakuan. Pengamatan
meliputi morfologi dan warna organ dalam ikan.
2.2.6 Kualitas Air
Kualitas air diukur di awal dan akhir perlakuan. Parameter yang diukur
adalah oksigen terlarut, TAN (Total Amoniak Nitrogen), pH, dan suhu. Tabel 2 di
bawah ini adalah satuan dan alat pengukuran dari parameter kualitas air.
Tabel 2. Parameter kualitas air, satuan dan alat ukur Parameter Satuan Alat ukur
Oksigen terlarut ppm DO meter TAN ppm Spektrometer pH - pH meter Suhu ⁰C Termometer
2.3 Analisis Data
Percobaan ini dilakukan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap).
Data dianalisis menggunakan ANOVA single factor, dan uji lanjut untuk beda
nyata menggunakan uji Duncan. Parameter yang dianalisis statistik secara
kuantitatif adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan (pertumbuhan mutlak dan
pertumbuhan spesifik), sedangkan parameter yang dianalisis secara deskriptif
adalah gejala klinis, penyembuhan luka, respons ikan terhadap pakan, morfologi
organ dalam, dan kualitas air.
I. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Identifikasi Bakteri Uji
Identifikasi bakteri uji meliputi pewarnaan Gram, sifat biokimia dan
fisiologi bakteri. Bakteri uji memiliki morfologi koloni berwarna krem, elevasi
cembung, tepian halus (Gambar 3), dan morfologi selnya berwarna merah muda,
sel berbentuk batang dan bersifat Gram negatif (Gambar 4). Sifat biokimia dan
fisiologi bakteri uji adalah positif terhadap uji O/F (Oksidatif/Fermentatif),
bersifat motil, dan positif terhadap uji oksidase dan katalase. Pengujian dilakukan
sebelum uji in vivo.
Gambar 3. A. hydrophila umur 1x24
jam pada medium TSA
Gambar 4. Ekspresi sel hasil
pewarnaan Gram
3.1.2 Uji In Vivo
3.1.2.1 Respons Ikan terhadap Pakan
Pengamatan respons ikan terhadap pakan sebelum diinfeksi dengan A.
hydrophila menunjukkan bahwa secara keseluruhan ikan pada setiap perlakuan
mampu memakan pakan yang diberikan dengan baik selama 14 hari pemberian.
Jumlah pakan yang dikonsumsi per hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Pengamatan respons ikan terhadap pakan juga dilakukan setelah ikan
diinfeksi dengan A. hydrophila. Pengamatan ini dilakukan selama 10 hari.
Respons ikan terhadap pakan dapat dihitung dari jumlah pakan sisa, maka
diperoleh jumlah pakan yang diberikan per ulangan. Respons ikan setelah 2 hari
hingga 10 hari pasca diinfeksi A. hydrophila relatif meningkat pada setiap
perlakuan. Jumlah pakan yang dikonsumsi pada setiap perlakuan dan parameter
uji lainnya, yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak, dan pertumbuhan
spesifik dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Parameter uji sebelum dan sesudah infeksi
Parameter uji Penambahan total bahan (meniran + bawang putih)
Kontrol - (0%)
Kontrol + (0%)
A (0,1%)
B (1,1%)
C (2,1%)
D (3,1%)
Sebelum infeksi : - Konsumsi pakan (g/hari/ikan) 1,67±0,13 1,87±0,24 1,66±0,18 1,73±0,12 1,67±0,14 1,66±0,09 - Pertumbuhan mutlak (g/hari) 0,22±0,05a 0,24±0,09a 0,28±0,09a 0,19±0,13a 0,18±0,06a 0,16±0,07a - Pertumbuhan spesifik (%) 1,94±0,57a 2,00±0,65a 2,24±0,66a 1,53±0,97a 1,54±0,46a 1,38±0,39a - Kelangsungan hidup (%) 100±0,00 100±0,00 100±0,00 100±0,00 100±0,00 100±0,00 Sesudah infeksi : - Konsumsi pakan (g/hari/ikan) 1,61±0,63 0,79±0,47 0,50±0,32 0,54±0,39 0,90±0,55 0,56±0,37 - Kelangsungan hidup (%) 100±0,00b 33,33±11,50a 40±40a 40±40a 60±20ab 20±0,0a
3.1.2.2 Pertumbuhan
Pertumbuhan mutlak ikan secara keseluruhan mengalami peningkatan dari
bobot rata-rata awal hingga akhir perlakuan (Tabel 3 dan Gambar 5). Penambahan
tepung meniran dan bawang putih sampai 3,1% dalam pakan tidak berbeda nyata
terhadap pertumbuhan mutlak ikan lele antar perlakuan. Hasil uji statistik
disajikan pada Lampiran 1.
Pertumbuhan spesifik ikan secara keseluruhan mengalami peningkatan.
Besarnya persentase pertumbuhan spesifik dapat dilihat pada Tabel 3.
Penambahan tepung meniran dan bawang putih dalam pakan tidak berbeda nyata
terhadap pertumbuhan spesifik ikan lele antar perlakuan. Hasil uji statistik
disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 5. Pertumbuhan mutlak ikan lele selama 14 hari sebelum infeksi
a a a a a a a
3.1.2.3 Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup ikan lele merupakan parameter yang utama.
Penghitungan kelangsungan hidup ikan lele dilakukan di akhir perlakuan setelah
ikan diinfeksi A. hydrophila. Kelangsungan hidup di awal dan akhir perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 6.
Gambar 6. Kelangsungan hidup ikan lele pada akhir perlakuan
Kelangsungan hidup paling tinggi adalah perlakuan K⁻ (0%) sebesar
100±0,00%, perlakuan C (2,1%) sebesar 60±20%, perlakuan A (0,1%) sebesar
40±40%, perlakuan B (1,1%) sebesar 40±40%, perlakuan K⁺ (0%) sebesar
33,33±11,55%, dan perlakuan D (3,1%) sebesar 20±0,0%. Berdasarkan hasil uji
lanjut dengan Duncan diperoleh bahwa antara perlakuan K⁻ dengan C tidak
berbeda nyata, sedangkan perlakuan K⁺, A, B, dan D berbeda nyata dengan
perlakuan K⁻ (p<0,05) . Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1.
a a a a ab b
100±0,00%
33,33±11,55% 40±40% 40±40%
60±20%
20±0,0%
Gambar 7. Jumlah kematian per hari pasca infeksi
Kematian terjadi dimulai pada hari ke 2 hingga hari ke-4 pasca infeksi A.
hydrophila pada semua perlakuan. Kematian terbanyak terjadi pada hari ke-3, dan
setelah hari ke 5 hingga akhir perlakuan tidak terjadi kematian lagi (Gambar 7).
3.1.2.4 Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis yang disebabkan oleh infeksi A. hydrophila pada
ikan lele berupa radang, haemoragi, tukak hingga kematian (Lampiran 2). Selain
itu juga diamati gejala klinis yang lain yaitu nafsu makan. Gejala klinis mulai
timbul pada jam ke-7 pasca infeksi. Perlakuan K⁻ (0%) tidak menunjukkan gejala
klinis pasca infeksi hingga akhir perlakuan karena hanya diinjeksi dengan PBS 0,1
ml seperti terlihat pada Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 8. Perlakuan K⁻ tidak menimbulkan gejala klinis Berbeda halnya dengan perlakuan lainnya yaitu K⁺ (0%), A (0,1%), B
(1,1%), C (2,1%), dan D (3,1%) yang sudah menimbulkan gejala klinis berupa
radang pada wilayah bekas injeksi, pada jam ke-7 pasca infeksi. Gejala klinis
berupa hilangnya nafsu makan terjadi pada beberapa jam pasca infeksi hingga satu
hari setelah penginfeksian. Nafsu makan yang menurun juga bisa diakibatkan oleh
stres akibat handling. Gejala klinis lain yang timbul adalah ikan terlihat lemas.
Perlakuan K⁺ (0%) pada jam ke-7 mulai menunjukkan gejala klinis berupa
radang di sekitar daerah bekas injeksi (Gambar 9). Perlakuan A (0,1%) pada hari
ke-1 pasca infeksi mulai menunjukkan gejala klinis berupa haemoragi dengan
diameter 0,5 cm di sekitar daerah bekas injeksi (Gambar 10). Perlakuan B (1,1%)
pada hari ke-2 pasca infeksi mulai menunjukkan gejala klinis berupa tukak dengan
diameter 1,6 cm di sekitar daerah bekas injeksi (Gambar 11). Perlakuan B (1,1%)
pada hari ke-3 pasca infeksi akan mengalami kematian (Gambar 12), dengan
gejala mata ikan mulai putih dan ikan mengapung tegak lurus di permukaan air.
Gambar 9. Gejala klinis radang timbul pada jam ke-7 pada perlakuan K⁺
Gambar 10. Haemoragi timbul pada hari ke-1 pasca infeksi pada perlakuan A
Gambar 11. Tukak timbul pada hari ke-2 pasca infeksi pada perlakuan B
Gambar 12. Gejala ikan sebelum mati hari ke-3 pada perlakuan B
3.1.2.5 Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka dapat terlihat dari mengecilnya diameter luka.
Waktu yang dibutuhkan untuk luka kembali menutup dari setiap perlakuan
tergantung pada besarnya diameter luka awal yang ditimbulkan. Pada perlakuan
K+ (0%) ulangan 1 (K⁺U1), diameter luka maksimal yang terbentuk adalah 1 cm
menjadi 0,3 cm pada hari ke-6, 9, dan 10. Perubahan diameter luka perlakuan K+
ulangan 1 dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
a. Luka hari ke-3 perlakuan K⁺U1 • 1 cm
b. Luka hari ke-4 perlakuan K⁺U1 • 0,8 cm
c. Luka hari ke-6 perlakuan K⁺U1 • 0,3 cm
d. Luka hari ke-9 perlakuan K⁺U1 • 0,3 cm
e. Luka hari ke-10 perlakuan K⁺U1 • 0,3 cm
Gambar 13. Perubahan diameter luka perlakuan K⁺U1
Perlakuan A (0,1%) ulangan 1 (AU1) dengan diameter luka maksimal yang
terbentuk adalah 0,4 cm menjadi 0 cm pada hari ke-9 dan 10 pasca diinfeksi A.
hydrophila, bahkan bekas luka nyaris tidak tampak lagi. Hal ini terjadi karena
diameter luka awal yang ditimbulkan tidak begitu parah. Perubahan diameter luka
perlakuan A ulangan 1 dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
a. Luka hari ke-3 perlakuan AU1 pki 0,4 cm
b. Luka hari ke-4 perlakuan AU1 pki 0,3 cm
c. Luka hari ke-6 perlakuan AU1 pki 0,2 cm
d. Luka hari ke-9 perlakuan AU1 pki 0 cm
e. Luka hari ke-10 perlakuan AU1 pki 0 cm
Gambar 14. Perubahan diameter luka perlakuan AU1
Perlakuan B (1,1%) ulangan 2 (BU2) dengan diameter luka maksimal yang
terbentuk adalah 1,1 cm menjadi 0,5 cm pada hari ke-9 dan 10 pasca diinfeksi A.
hydrophila. Luka menutup kembali pada hari ke-6. Perubahan diameter luka
perlakuan B ulangan 2 dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.
a. Luka hari ke-3 perlakuan BU2 •• 1,1 cm
b. Luka hari ke-4 perlakuan BU2 •• 1 cm
c. Luka hari ke-6 perlakuan BU2 •• 0,7 cm
d. Luka hari ke-9 perlakuan BU2 •• 0,5 cm
e. Luka hari ke-10 perlakuan BU2 •• 0,5 cm
Gambar 15. Perubahan diameter luka perlakuan BU2
Perlakuan C (2,1%) ulangan 3 (CU3) dengan diameter luka maksimal yang
terbentuk adalah 1,2 cm menjadi 0,3 cm pada hari ke-10 pasca diinfeksi A.
hydrophila. Luka sudah menutup kembali pada hari ke-6 tetapi masih
meninggalkan bekas luka seperti terlihat pada Gambar 16 di bawah ini.
a. Luka hari ke-3 perlakuan CU3 •• 1,2 cm
b. Luka hari ke-4 perlakuan CU3 •• 1 cm
c. Luka hari ke-6 perlakuan CU3 •• 0,9 cm
d. Luka hari ke-9 perlakuan CU3 •• 0,4 cm
e. Luka hari ke-10 perlakuan CU3 •• 0,3 cm
Gambar 16. Perubahan diameter luka perlakuan CU3
Perlakuan D (3,1%) ulangan 2 (DU2) dengan diameter luka maksimal yang
terbentuk adalah 0,6 cm menjadi 0,2 cm pada hari ke-9 dan 10 pasca diinfeksi A.
hydrophila. Luka sudah tertutup kembali pada hari ke-6 seperti terlihat pada
Gambar 17 di bawah ini.
a. Luka hari ke-3 perlakuan DU2 pki 0,6 cm
b. Luka hari ke-4 perlakuan DU2 pki 0,4 cm
c. Luka hari ke-6 perlakuan DU2 pki 0,3 cm
d. Luka hari ke-9 perlakuan DU2 pki 0,2 cm
e. Luka hari ke-10 perlakuan DU2 pki 0,2 cm
Gambar 17. Perubahan diameter luka perlakuan DU2
Gambar 18. Penyembuhan luka
Berdasarkan Gambar 18, perubahan diameter luka yang terbaik berturut-
turut adalah perlakuan B 0,90±0,13%, C 0,90±0,06%, A 0,85±0,05%, K⁺
0,82±0,10%, dan D 0,55±0,48%. Penghitungan perubahan diameter luka disajikan
pada Lampiran 3.
3.1.2.6 Pengamatan Organ Dalam
Pengamatan organ dalam dilakukan di akhir perlakuan dengan cara
membedah ikan setiap perlakuan. Organ dalam antar perlakuan tampak tidak
berbeda nyata. Ginjal berwarna merah tua kecokelatan, hati berwarna merah
kecokelatan, empedu berwarna kuning kehijauan, dan limpa berwarna merah tua.
Organ dalam yang diamati adalah ginjal, hati, empedu, dan limpa seperti terlihat
pada Gambar 19 di bawah ini.
Perlakuan K⁻
Perlakuan K⁺
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
3 4 5
Pe
rub
ah
an
dia
mte
r lu
ka
(%
)
Hari ke-
K+
A
B
C
D
a b
d
c a c b
d
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
Perlakuan D
Gambar 19. Organ dalam ikan lele setiap perlakuan (keterangan : a = ginjal,b = hati, c = empedu, d = limpa)
3.1.2.7 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor eksternal yang penting agar ikan dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang, bahkan untuk proses penyembuhan pun diperlukan
kondisi lingkungan yang optimal bagi ikan lele. Parameter utama yang diukur
adalah oksigen terlarut (DO), suhu, pH, dan TAN (Total Amoniak Nitrogen).
Oksigen terlarut pada awal perlakuan sekitar 5,01-5,23 ppm, suhu awal sekitar
28⁰C, pH awal 7,14-7,28, dan TAN awal 0,329-0,341 ppm. Kualitas air di akhir
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Kualitas air pada akhir perlakuan Parameter Nilai optimum * Perlakuan
Ilyas et al.,
(1992) K⁻ (0%) K⁺ (0%) A (0,1%) B (1,1%) C (2,1%) D (3,1%)
Suhu (⁰C) 28-30 - - - - - -
pH 6,5-9,0 6,83 6,84 6,78 6,62 6,64 6,76
DO (ppm) > 5 6,50 6,42 6,31 6,14 5,90 5,94
TAN (ppm) < 1 0,71 0,91 0,84 0,81 0,87 0,84
d d
a
b
c a
b
c
c c a
d b
a
d b
Gambar 20. Suhu air selama perlakuan
Kualitas air dari awal hingga akhir perlakuan masih tetap terkontrol dan
sesuai dengan kebutuhan optimal untuk ikan lele. Kisaran suhu selama perlakuan
pada pagi hari 25-27⁰C, siang 27-29⁰C, dan sore 27-30⁰C (Gambar 20).
3.3 Pembahasan
Bakteri A. hydrophila yang digunakan terlebih dahulu diuji dengan
pewarnaan Gram dan dilanjutkan dengan karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi
bakteri. Hal ini untuk memastikan bahwa bakteri yang diinfeksikan ke ikan lele
adalah A. hydrophila. Hasil pengamatan bakteri dalam agar petri yang berumur
1x24 jam adalah morfologi koloni berwarna krem, elevasi cembung, dan tepian
halus. Bentuk sel batang pendek dan berwarna merah muda (Gram negatif)
teramati dari pewarnaan Gram. Uji biokimiawi positif terhadap uji O/F, motilitas,
oksidase, dan katalase. Hasil ini sesuai dengan Plumb (1994).
Virulensi bakteri harus tetap terjaga dengan melakukan fasase secara
berkala. Virulensi dan Postulat Koch dapat dilakukan secara bersamaan sebelum
uji in vivo. Postulat Koch untuk membuktikan bahwa ikan menjadi sakit hanya
disebabkan oleh A. hydrophila. Mikroorganisme dikatakan sebagai penyebab
penyakit bila memenuhi kriteria berikut : (1) mikroorganisme penyebab penyakit
selalu berasosiasi dengan gejala penyakit yang bersangkutan, (2) mikroorganisme
penyebab penyakit dapat diisolasi pada media buatan secara murni, (3)
mikroorganisme penyebab penyakit hasil isolasi dapat menimbulkan gejala yang
sama dengan gejala penyakitnya, apabila diinokulasikan, dan (4) mikroorganisme
penyebab penyakit dapat direisolasi dari gejala yang timbul hasil inokulasi
(Hadioetomo, 1993).
Bakteri uji yang sudah dipastikan A. hydrophila dari hasil identifikasi
bakteri, kemudian digunakan untuk uji tantang (in vivo). Melalui uji in vivo dapat
menentukan pengaruh bahan perlakuan dalam pakan terhadap nafsu makan,
pertumbuhan, kelangsungan hidup, gejala klinis, penyembuhan luka, morfologi
organ dalam, dan pengaruhnya terhadap kualitas air.
Pakan diberikan secara bertahap dan dilanjutkan ketika ikan sudah mulai
merespons. Feeding method dalam pemberian pakan sangat mempengaruhi
peluang pakan tersebut dimakan oleh ikan. Respons ikan terhadap pakan yang
diberikan untuk setiap perlakuan umumnya relatif stabil. Hanya pada waktu
tertentu saja yang mengalami penurunan nafsu makan, misalnya perlakuan A
(0,1%) yang mengalami penurunan pada hari ke-4 dan 5 dari 1,6 g pakan menjadi
1,3 g pakan, hal ini disebabkan oleh penurunan suhu pagi hari dari 27⁰C menjadi
25⁰C dibandingakan siang dan sore hari. Noga (2000), perubahan suhu 1⁰C per
jam akan membuat ikan stres. Menurut Anderson dan De (2003), salah satu faktor
yang mempengaruhi tingkat penerimaan pakan oleh ikan adalah suhu yang
akhirnya berpengaruh pada nafsu makan. Kondisi lebih lanjut lagi penurunan suhu
akan menghambat proses fisiologis bahkan menyebabkan hewan tidak aktif dan
lebih jauh dapat menyebabkan kematian.
Jumlah pakan yang diberikan setiap perlakuan umumnya meningkat selama
14 hari perlakuan. Hal ini berakibat pada pertambahan bobot ikan lele.
Pertumbuhan mutlak juga dipengaruhi oleh kebutuhan energi dari ikan lele
tersebut. Salah satu sumber energinya adalah protein yang terkandung dalam
pakan. Protein dalam pakan adalah 30%. Protein pakan yang dibutuhkan ikan
catfish berkisar dari 24-55% (NRC dalam Li et al., 2004). Catfish dengan panjang
10-25 cm membutuhkan 35% protein dalam pakan untuk pertumbuhan
maksimumnya (Page dan Andrews, 1973 dalam Li et al., 2004).
Respons ikan pasca infeksi A. hydrophila terhadap pakan juga diamati.
Pakan yang diberikan pasca infeksi dihitung untuk menggambarkan tingkat
respons ikan terhadap pakan/nafsu makan setelah diinfeksi. Hari pertama pasca
infeksi, ikan tidak langsung diberi pakan karena ikan tampak stres akibat handling
penyuntikkan dan tagging. Ciri ikan lele stres dapat terlihat dari meningkatnya
lendir yang dieksresikan oleh kulit ikan. Salah satu pemicu stres ikan adalah
handling (penanganan) pada saat sampling dan penyuntikkan, tetapi Effendi
(2004), menjelaskan bahwa ikan lele termasuk golongan ikan yang lebih toleran
terhadap penanganan budidaya.
Ikan lele perlakuan K⁺ (0%), A (0,1%), B (1,1%), C (2,1%), dan D (3,1%)
pada hari ke-3 dan 4 pasca infeksi oleh A. hydrophila sudah mulai merespons
pakan yang diberikan walaupun sedikit, tetapi perlakuan K⁻ (0%) menunjukkan
respons yang paling baik bahkan relatif normal seperti sebelum diinjeksi PBS.
Perlakuan K⁺ (0%) mengalami penurunan pada hari ke-8 dan 9 karena pengaruh
jumlah ikan yang mati sehingga kepadatan berkurang. Diduga kepadatan juga
dapat berperan dalam menciptakan kondisi persaingan untuk mendapatkan pakan.
Menurut Anderson dan De (2003), kepadatan ikan dalam wadah budidaya akan
mempengaruhi ikan dalam merespons pakan yang diberikan.
Tepung meniran dan bawang putih yang ditambahkan dalam pakan sebagai
bahan aditif dengan dosis 0,1-3,1% memberikan hasil tidak berbeda nyata antar
perlakuan terhadap pertumbuhan mutlak ikan lele. Pertumbuhan spesifik
berbanding lurus dengan pertumbuhan mutlak, maka pertumbuhan mutlak setiap
perlakuan juga mempresentasikan pertumbuhan spesifik dari setiap perlakuan.
Pertumbuhan spesifik menunjukkan rata-rata pertumbuhan harian sebagai
persentase dari bobot awal (Lieder, 1978 dalam Steffens, 1989). Pertumbuhan
spesifik tiap perlakuan tidak berbeda nyata.
Pasca ikan lele diinfeksi dengan A. hydrophila pada jam ke-7 mulai
menunjukkan gejala klinis berupa radang pada semua perlakuan kecuali K⁻ (0%).
Radang muncul di daerah bekas injeksi dengan diameter bervariasi. Hari ke-2
sudah berubah menjadi haemoragi, dan hari ke-3 sudah mulai terbentuk tukak.
Gejala klinis yang ditimbulkan A. hydrophila menurut Lio-Po et al. (2001) adalah
penggelapan warna kulit, area perut membesar, haemoragi, nekrosis, dan ulcer
(tukak). Ikan yang disuntik dosis 108 CFU/ml A. hydrophila, terjadi nekrosis fokal
di hati, ginjal dan usus setelah 2 hari pasca disuntik dan makin parah sampai hari
ke-7 (Angka, 2005).
Rata-rata gejala klinis berupa tukak mengalami pengecilan diameter pada
hari ke-4, dan hari ke-5 luka tersebut sudah mulai sembuh, tetapi bekas luka masih
ada untuk setiap perlakuan. Akhir pengamatan pada hari ke-10 ada beberapa ikan
yang sudah normal kembali tanpa bekas luka. Proses penyembuhan luka
ditentukan juga oleh diameter luka maksimal yang terbentuk. Penyembuhan luka
(% perubahan diameter luka) berturut-turut selama perlakuan adalah perlakuan B
(1,1%) sebesar 0,90±0,13%, C (2,1%) sebesar 0,90±0,06%, A (0,1%) sebesar
0,85±0,05%, K⁺ (0%) sebesar 0,82±0,10%, dan D (3,1%) sebesar 0,55±0,48%.
Penyembuhan luka pada perlakuan yang diberikan tepung meniran dan
bawang putih dengan dosis 1,1%, 2,1% dan 0,1% menunjukkan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan K⁺ (0%) dan perlakuan D (3,1%). Diduga
penambahan tepung meniran dan bawang putih pada kisaran dosis 0,1-2,1%
berpengaruh pada penyembuhan luka.
Kematian ikan lele terbanyak terjadi pada hari ke-3 pasca infeksi, dan
umumnya sudah memasuki fase tukak, tetapi ada juga ikan yang mati pada fase
haemoragi. Menurut Plumb (1994), infeksi A. hydrophila bisa secara eksternal,
internal (sistemik) atau keduanya. Infeksi eksternal terlihat dari kulit yang terluka,
sedangkan infeksi internal terjadi pada organ dalam. Jumlah total ikan mati pada
hari ke-3 adalah 24 ekor. Hari ke-5 pasca infeksi sudah tidak terjadi kematian. Di
akhir perlakuan dilakukan pembedahan pada ikan setiap perlakuan, organ yang
diamati adalah ginjal, hati, limpa, dan empedu. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan warna dari setiap organ antar perlakuan.
Kelangsungan hidup merupakan parameter utama dari penelitian ini.
Kelangsungan hidup perlakuan K⁻ (0%) adalah 100±0,00%, C (2,1%) 60±20%, A
(0,1%) 40±40%, B (1,1%) 40±40%, K⁺ (0%) 33,33±11,55% , dan D (3,1%)
20±0,0%. Perlakuan C (2,1%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan K⁻ (0%),
artinya kelangsungan hidup 60±20% pada perlakuan C (2,1%) tidak berbeda nyata
dengan kelangsungan hidup 100±0,00% pada perlakuan K⁻ (0%). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dosis perlakuan C 2,1% dengan lama
pemberian 14 hari merupakan dosis yang tepat, sedangkan perlakuan D dengan
dosis 3,1% menghasilkan kelangsungan hidup yang paling rendah. Dosis
perlakuan D (3,1%) diduga terlalu tinggi sehingga ikan tidak mampu
memanfaatkan dengan baik.
Berikut adalah hasil dari penelitian yang sama yang telah dilakukan dengan
metode yang berbeda.
Tabel 5. Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan metode berbeda Bentuk bahan perlakuan
Konsentrasi bahan terbaik
Metode pemberian Kelangsungan hidup
Pustaka
Ekstrak meniran dan bawang putih
5 ppt meniran, 20 ppt bawang putih
Penyuntikkan 73,33±11,55% Ayuningtyas (2008)
Ekstrak meniran dan bawang putih
5 ppt meniran, 20 ppt bawang putih
Spray melalui pakan
58,33±21,52% Sholikhah (2009)
Tepung meniran dan bawang putih
2,1% (1:2) Formulasi dalam pakan
60±20% Penelitian ini
Kelangsungan hidup pada penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang menggunakan metode penyemprotan ekstrak ke
pakan (Sholikhah, 2009) seperti yang terlihat pada Tabel 5 di atas. Selain itu
metode yang digunakan pada penelitian ini lebih mudah dibandingkan dengan dua
penelitian sebelumnya. Kelebihan penambahan tepung meniran dan bawang putih
dalam pakan adalah efisiensi waktu dan lebih aplikatif dibandingkan dengan
melakukan ekstraksi yang membutuhkan waktu relatif lama. Lebih aplikatif
karena sekali pembuatan pakan yang ditambahkan tepung meniran dan bawang
putih dapat digunakan untuk beberapa hari pemberian bahkan sampai 30 hari,
sedangkan bahan ekstrak dengan metode penyuntikkan dan penyemprotan harus
disiapkan dalam keadaan segar setiap pemberian dilakukan. Jumlah ikan pada
metode ini tidak menjadi faktor pembatas, berbeda dengan metode penyuntikkan
(Ayuningtyas, 2008) yang dibatasi dengan jumlah ikan karena tidak
memungkinkan bila ikan dalam jumlah yang banyak disuntik satu per satu.
Perlakuan C dengan dosis 2,1% (0,7% meniran dan 1,4% bawang putih)
adalah kombinasi dosis yang tepat. Tepung meniran 0,7% sudah memberikan
pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan lele dalam mencegah infeksi A.
hydrophila. Menurut Suprapto (2010), ekstrak meniran dapat meningkatkan sel
sitoksik seperti sel pemusnah alami tubuh. Selain itu juga berperan sebagai
imunomodulator yang mengatur sistem imun lebih aktif dalam menjalankan
fungsinya, menguatkan sistem imun (imunostimulator) atau menekan reaksi
sistem imun yang berlebihan (imunosupressan).
Tepung meniran diduga berfungsi sebagai imunostimulan, yaitu suatu
senyawa alami yang memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan
resistensi inang terhadap penyakit yang dalam keadaan sebagian besar disebabkan
oleh patogen (Bricknell dan Dalmo, 2005). Tepung meniran dapat memberikan
pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan lele karena memiliki bahan aktif.
Sidik dan Subarnas (1993) dalam Maulina et al. (2006) menyatakan bahwa
meniran mengandung senyawa kimia golongan lignan, flavonoid, alkaloid
triterpenoid dan senyawa kimia lain. Senyawa kimia yang termasuk dalam
golongan lignan yaitu filantin dan hipofilantin yang memiliki efek anti
hepatotoksik, antiinfeksi dan antivirus.
Kelebihan imunostimulan menurut Kamiso et al. (2010) adalah
meningkatkan daya tahan tubuh non spesifik, respons kekebalan relatif cepat,
dapat menggunakan berbagai bahan, dapat dilakukan dengan berbagai cara
(penyuntikkan, perendaman, dan melalui pakan), dapat meningkatkan
kelangsungan hidup sehingga pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan.
Tepung bawang putih 1,4% efektif untuk mencegah infeksi A. hydrophila.
Kombinasi bawang putih dan meniran menghasilkan fungsi yang saling
komplementer. Fungsi meniran sebagai imunostimulan, dan fungsi bawang putih
menurut Cavalito et al. (1994) dalam Wijaya (2000) adalah sebagai anti mikroba
karena memiliki allicin yang mempunyai aktivitas mikroba yang kuat. Selain itu
menurut Yuliana (2008), allicin berperan ganda membunuh bakteri yaitu bakteri
Gram positif maupun Gram negatif karena mempunyai gugus asam amino.
Bawang putih juga mengandung ajoene, senyawa sulfur yang juga dapat menekan
pertumbuhan bakteri Gram negatif dan positif (Naganawa et al., 1996 dalam
Yuliana, 2008).
Bawang putih dan meniran merupakan obat herbal/fitofarmaka yang dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS).
Penggunaannya diformulasikan dalam pakan sehingga menghasilkan pakan obat
(medicated feed). Menurut Tucker dan Hargreaves (2004), medicated feed dapat
dijadikan terapi untuk pencegahan penyakit MAS. Sebelumnya pencegahan dan
pengobatan penyakit MAS selalu menggunakan antibiotik. Di Indonesia kurang
dari 50% isolat Aeromonas sp. resisten terhadap berbagai jenis antibiotik yang
biasa digunakan di budidaya ikan (Inglis et al., 1997 dalam Angka, 2005).
Menurut Schniick (2001), antibiotik potensial berdampak pada lingkungan
dan menyebabkan bakteri patogen pada ikan menjadi resisten dan kemungkinan
akan berdampak juga pada kesehatan manusia, tetapi sejauh ini belum dapat
dibuktikan. Menurut Angka (2005), suatu alternatif yang sangat menjanjikan
dimasa depan adalah fitofarmaka. Produk perikanan merupakan produk yang
nantinya dikonsumsi oleh manusia, maka dalam proses produksinya haruslah
aman untuk memenuhi prinsip food safety.
Kualitas air selama pemeliharaan terkontrol dan berada pada kisaran yang
dibutuhkan oleh ikan lele (Tabel 4). Namun demikian, penyakit MAS merupakan
infectious disease yang tidak hanya disebabkan oleh bakteri A. hydrophila tetapi
ada faktor lain yaitu inang, patogen, dan lingkungan yang satu sama lain saling
interaksi. A. hydrophila menjadi patogen apabila keadaan tidak seimbang antara
inang, dan lingkungan.
II. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kombinasi tepung meniran dan bawang putih dalam pakan dengan dosis
2,1% efektif untuk mencegah penyakit MAS, dengan kelangsungan hidup
60±20% pasca infeksi, penyembuhan luka 0,90±0,06%, pertumbuhan mutlak
0,18±0,06 g/hari, dan pertumbuhan spesifik 1,54±0,46%.
4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan waktu optimal bahan
aktif pada bawang putih dan meniran bertahan dalam pakan. Hal ini untuk
menciptakan suatu produk akhir yang siap digunakan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson and De S.S., 2003. Nutrition. Aquaculture : Farming aquatic animals and plants. Blacwell Publishing.
Angka, S.L., 2005. Kajian penyakit Motile Aeromonad Septicemia (MAS) pada
ikan lele dumbo (Clarias sp.): patologi, pencegahan, dan pengobatannya dengan fitofarmaka. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ayuningtyas, A.K., 2009. Efektivitas campuran meniran Phyllanthus niruri
dan bawang putih Allium sativum untuk pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bricknell, I., Dalmo, R.A., 2005. The use of immunostimulants in fish larval.
Aquaculture 19, 457-472. Cowan and Steel, 1974. Manual for the identification of medical bacteria. London
: Cambridge University Press. Effendi, I., 2004. Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya, Depok. Hadioetomo, R.S., 1993. Mikrobiologi dasar dalam praktik. Teknik dan prosedur
dasar laboratorium. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Ilyas, S., Setiadi, E., Cholik, F., 1992. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele
dumbo Clarias gariepinus. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/20/1992, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kamiso, Taukhid, Coco. 2010. Peranan dan upaya mensukseskan produksi udang
nasional. http://blog.unila.ac.id/supono/files/2010/01/Kesling-3-BP COCO1.pdf. [12 Juni 2010].
KKP, 2010. Revolusi Biru. www.dkp.go.id. [1 Maret 2010]. Lio-Po, G.D., Lavilla, C.R., Cruz, L.E.R., 2001. Health management in
aquaculture. Aquaculture Departement. Southeast Asian Fisheries Development Center. Philippines.
Li, M.H., Robinson, E.H., Manning, B.B., 2004. Nutrition : Biology and culture
of Channel catfish. Netherlands : Elsevier. Maulina, I., Haetami, K., Junianto, 2006. Pengaruh meniran dalam pakan untuk
mencegah infeksi bakteri Aeromonas sp. pada benih ikan mas (C. carpio). UNPAD. Bandung.
Noga, E.J., 2000. Fish disease. Iowa State University Press. Plumb, J.A., 1994. Health maintenance of cultured fishes : principal microbial
disease. USA : CRC Press, Inc. Schniick, R.A., 2001. International harmonization of antimicrobial sensitivity
determination for aquaculture drugs. Aquaculture 196, 277-288. www.sciencedirect.com [9 Juni 2010].
SEMILOKA, 2010. Jamu sebagai warisan budaya untuk meningkatkan citra
Indonesia. LPPM, Institut Pertanian Bogor. Sholikhah, E.H., 2009. Efektivitas campuran meniran Phyllanthus niruri dan
bawang putih Allium sativum dalam pakan untuk pengendalian infeksi bakteri aeromonas hydrophilla pada ikan lele dumbo Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Steffens, W., 1989. Principles of fish nutrition. Chichester. England. Sunatmo, T.I., 2007. Eksperimen mikrobiologi dalam laboratorium. Jakarta : Ardy
Agency. Suprapto, 2010. Meniran-hidup sehat dengan tumbuhan herbal yang alami.
http://www.bengkelsehat.co.id/index.php?mod=content&act=read&id=25&cat=artikel&title=meniran-hidup-sehat-dengan-tumbuhan-herbal-yang-alami. [12 Juni 2010].
Swann, L., White, R.M., 1989. Diagnosis and treatment of Aeromonas hydrophila
Infection of Fish. Aquaculture extension. Purdue University. Tucker, C.S., Hargreaves, J.A., 2004. Pond water quality : Biology and culture of
Channel catfish. Netherlands : Elsevier. Wijaya, C.H., 2000. Sintesis komponen bawang putih vinil-ditiin dan turunannya
serta uji aktivitas anti kapangnya dengan metode bioautografi. Teknologi dan Industri Pangan 11(1), 49-60.
Wijaya, C.H., 1995. Pembuatan bubuk bawang putih (Allium sativum L.) yang
mempunyai aktivitas antitrombotik dengan menggunakan alat pengering beku dan oven. Pertanian Indonesia 5(2), 96-102.
Yuliana, N., 2008. Pengaruh konsentrasi bubuk bawang Putih terhadap mutu
mikrobiologis tahu selama perendaman. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Hipotesis : Ho = K⁻= K⁺ = A = B = C = D = 0 H1 = minimal ada 1 perlakuan Ho ≠ 0 1. Pertumbuhan mutlak SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
K- 3 0.6671429 0.222380952 0.0026027
K+ 3 0.7157143 0.238571429 0.0097358
A 3 0.8331429 0.277714286 0.0073509
B 3 0.5701429 0.190047619 0.0162109
C 3 0.537 0.179 0.0032885
D 3 0.4847143 0.161571429 0.0042255
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.027734677 5 0.005546935 0.7666056 0.591212 3.105875239
Within Groups 0.086828517 12 0.00723571
Total 0.114563194 17
Karena F < F crit, maka gagal tolak Ho 2. Pertumbuhan spesifik SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
K- 3 5.820824757 1.940274919 0.326767
K+ 3 6.01145618 2.003818727 0.419407
A 3 6.734878265 2.244959422 0.440079
B 3 4.602934038 1.534311346 0.946469
C 3 4.614046537 1.538015512 0.208387
D 3 4.136664758 1.378888253 0.154339
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1.71455122 5 0.342910244 0.824486 0.555690923 3.1058752
Within Groups 4.99089644 12 0.415908037
Total 6.70544766 17
Karena F < F crit, maka gagal tolak Ho
Lampiran 1. Analisis statistik terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
3. Kelangsungan hidup SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
K- 3 300 100 0
K+ 3 100 33.33333 133.3333
A 3 120 40 1600
B 3 120 40 1600
C 3 180 60 400
D 3 60 20 0
ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 11911.11 5 2382.222 3.828571 0.026352 3.105875
Within Groups 7466.667 12 622.2222
Total 19377.78 17
Karena F > F crit, maka tolak Ho dan uji lanjut
Uji Duncan
Uji lanjut dengan uji Duncan
variable N Subset for alpha = .05
1 2
Duncana
D 3 20.00
K 3 33.33
A 3 40.00
B 3 40.00
C 3 60.00 60.00
K 3 100.00
Sig. .098 .073
Lampiran 2. Gejala klinis dan diamater luka setiap perlakuan
Perlakuan Ciri Radang (cm)
Haemoragi (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
K+U1 ••• 0.5 1.4 mati
•• 0.5 1.5 mati
• 0.5 0.7 1 0.8 0.3 sembuh
pka 0.5 1.5 1.6 1.4 1.2 sembuh
pki 0.5 1 mati
K+U2 ••• 0.5 1.5 mati
•• 0.5 1.1 mati
• 0.5 1.5 mati
pka 0.5 0.6 1 0.7 0.5 sembuh
pki 0.5 1 mati
K+U3 ••• 0.5 1.6 mati
•• 0.5 1 0.9 0.8 0.6 sembuh
• 0.5 1 mati
pka 0.5 0.7 0.7 0.6 0.4 sembuh
pki 0.5 1 mati
AU1 ••• 0.5 1.8 mati
•• 0.5 1.3 mati
• 0.5 1.5 mati
pka 0.5 1 1.5 1.2 0.8 sembuh
pki 0.5 0.5 0.4 0.3 0.2 sembuh
AU2 ••• 0.5 1.2 mati
•• 0.5 2 mati
• 0.5 1 mati
pka 0.5 1.4 mati
pki 0.5 1.8 mati
AU3 ••• 0.5 1.2 mati
•• 0.5 0.6 0.8 1 0.9 sembuh
• 0.5 0.8 0.8 0.8 0.6 sembuh
pka 0.5 0.6 0.9 0.8 sembuh
pki 0.5 1.5 1.7 1.5 1.2 sembuh
BU1 ••• 0.5 mati mati
•• 0.5 2 mati
• 0.5 0.6 mati
pka 0.5 1.2 mati
pki 0.5 0.8 mati
BU2 ••• 0.5 2 mati
•• 0.5 0.9 1.1 1 0.7 sembuh
• 0.5 0.8 1.6 1.6 1.3 sembuh
pka 0.5 1.2 mati
pki 0.5 1 1.6 1.4 sembuh
Perlakuan Ciri Radang (cm)
Haemoragi (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
Tukak (cm)
BU3 ••• 0.5 1.6 2 1.9 sembuh
•• 0.5 2 1 1 sembuh
• 0.5 2 1.2 1 sembuh
pka 0.5 1.8 mati
pki 0.5 1.8 mati
CU1 ••• 0.5 1 1.3 1.2 0.8 sembuh
•• 0.5 1.4 1.5 1.3 sembuh
• 0.5 1.5 mati
pka 0.5 1.8 mati
pki 0.5 1 mati
CU2 ••• 0.5 1.5 mati
•• 0.5 1.2 1.2 1.1 0.8 sembuh
• 0.5 1.4 1.3 1.2 1 sembuh
pka 0.5 1.2 mati
pki 0.5 1.2 1.1 1.2 1.1 sembuh
CU3 ••• 0.5 1.3 1.1 1.1 sembuh
•• 0.5 0.8 1.2 1
• 0.5 2.3 mqti
pka 0.5 0.8 0.8 0.8 sembuh
pki 0.5 1 1.2 1.2 sembuh
DU1 ••• 0.5 1.3 mati
•• 0.5 1.2 mati
• 0.5 1.5 1.6 1.5 sembuh
pka 0.5 1.2 mati
pki 0.5 1.5 mati
DU2 ••• 0.5 0.7 mati
•• 0.5 0.8 mati
• 0.5 1.3 mati
pka 0.5 0.5 mati
pki 0.5 0.5 0.6 0.4 sembuh
DU3 ••• 0.5 2 mati
•• 0.5 0 0.4 0.3 sembuh
• 0.5 1.3 mati
pka 0.5 1.2 mati
pki 0.5 1.2 mati
Lampiran 3. Perubahan diameter luka Perubahan dalam satuan cm
Perlakuan
Hari ke
1 (cm) 2 (cm) 3 (cm) 4 (cm) 5 (cm)
K- 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
K+ 0.50 1.14 1.04 0.86 0.60
A 0.50 1.21 1.02 0.93 0.74
B 0.50 1.41 1.42 1.32 1.00
C 0.50 1.29 1.19 1.12 0.93
D 0.50 1.08 0.87 0.73 0.00
Perubahan dalam satuan % dengan rumus :
Perlakuan
Hari ke
Kisaran Δ3 Δ4 Δ5
K- 0.00 0.00 0.00 0.00±0.00%
K+ 0.91 0.83 0.71 0.82±0.10%
A 0.84 0.91 0.81 0.85±0.05%
B 1.01 0.93 0.76 0.90±0.13%
C 0.92 0.94 0.83 0.90±0.06%
D 0.81 0.84 0.00 0.55±0.48%
A�$�∆X% � A�$'(�
Top Related