i
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN ZAITUN (Olea
europaea L.) SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP
ORGAN GASTER MENCIT BALB/c
SKRIPSI
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked)
Oleh:
ARIS ADI PURNOMO
NIM: 1113103000076
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2016 M
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini yang berjudul “EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN
ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP
ORGAN GASTER MENCIT BALB/c”.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian
akhir guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Secara umum skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, prosedur penelitian, hasil dan pembahasan serta kerjasama
penelitian tentang efek pemberian ekstrak daun zaitun pada terapi asma terhadap
organ gaster mencit Balb/c. Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis mendapat
bantuan, arahan dan bimbingan dari banyak pihak yang terkait. Oleh karena itu pada
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Nurul Hiedayati, Ph.D. dan Ibu Dr. Endah Wulandari, S.Si, M.Biomed
selaku dosen pembimbing I & II yang telah membantu dalam pengerjaan
skripsi, memberikan arahan, nasihat serta masukan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Nurlaely Mida R, M.Biomed, Ph.D selaku PJ laboratorium Animal house
yang telah membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini khususnya dalam
perlakuan hewan coba.
vi
5. Dosen-dosen pengajar Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter FKIK
UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi peneliti.
6. Orang tua saya, Suyadi serta ibu saya, Siti Maryatun (Almh.) yang selalu
memberikan nasihat, dukungan serta doa kepada saya. Serta seluruh keluarga
besar saya yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada saya dalam
menempuh pendidikan di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab (PJ) modul riset PSPD
2013, drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku PJ Laboratorium Riset, dr.
Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku PJ Laboratorium Farmakologi, Ibu Rr. Ayu Fitri
Hapsari, M.Biomed selaku PJ Laboratorium Histologi yang telah memberikan
izin atas penggunaan laboratorium pada penelitian ini.
8. Teman-teman Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter 2013, terutama
Abdir Rohman Al-Hamdany, M. Iqbal Dzaki asy’ari, Rahmei Shofia, Nihayatul
Kamila dan Latifatul Bariyah selaku satu kelompok riset dengan peneliti yang
telah memberikan dukungan dan masukan dalam pengerjaan skripsi ini, juga
Ahmad Fahmi Zamzami dan Haidarotul Mila yang megajari peneliti dalam
mengolah data statistik.
9. Dien Fitri selaku Laboran Histologi, Pak Rachmadi selaku Laboran
Farmakologi yang telah membantu peneliti dalam penggunaan laboratorium.
10. Teman-teman anggota CSS MoRA 2013 yang telah menghibur dan selalu
bersama di saat suka maupun duka, Juga Ahmad Fahmi Zamzami dan Afza
Azzindani yang telah membantu penulis dalam mengolah data statistik.
11. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang
namanya tidak penulis sebutkan dalam pengerjaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Selain itu, penulis juga berharap
makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi skripsi ini
sehingga dapat menjadi lebih baik untuk masa depan.
vii
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan masukan dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, Semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan banyak manfaat bagi kita semua.
Wassalaimu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ciputat, 14 Oktober 2016
Aris Adi Purnomo
viii
ABSTRAK
Aris Adi Purnomo, Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Efek
Pemberian Ekstrak Daun Zaitun (Olea europaea L.) sebagai Terapi Asma
terhadap Organ Gaster Mencit Balb/c. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.
Latar Belakang: Seperti pengobatan herbal lain pada umumnya, daun zaitun (Olea
europaea L.) sebagai obat alternatif pada terapi asma harus diuji keamanannya
terlebih dahulu apakah menimbulkan efek samping terhadap organ lain atau tidak
Tujuan: Penelitian ini ingin mengetahui efek pemberian ekstrak daun zaitun
dengan dosis 100 dan 200 mg/kgBB peroral selama 7 hari terhadap mukosa gaster
mencit Balb/c yang diinduksi ovalbumin pada terapi asma dan yang tidak diinduksi
ovalbumin
Metode: Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan rancangan
post test only control group design. Mencit jenis Balb/c di bagi menjadi 5 kelompok
perlakuan, yaitu 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol
(P1) diberikan PBS (Phosphate Buffer Saline) intraperitoneal, peroral dan inhalasi.
Kelompok Kelompok 2 dan 3 (P2 dan P3) diberikan Alum-Ova dosis 50 µg/ml ip
dan ekstrak daun zaitun dengan dosis masing-masing 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB peroral, kemudian distimulansi dengan ovalbumin inhalasi. Sedangkan
kelompok P4 dan P5 hanya diberikan ekstrak daun zaitun saja dengan dosis masing-
masing 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB peroral dan inhalasi. Selain itu kelompok
P4 dan P5 juga diberikan ekstrak daun zaitun dosis 50 mg/kgBB ip. Gaster mencit
kemudian dibuat preparat dan diamati pada mikroskop. Gambaran mikroskopik
gaster dinilai berdasarkan presentase kerusakan mukosa epitel gaster dalam %.
Hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan uji One Way Anova dan
dilanjutkan dengan uji Post Hoc melalui program SPSS versi 22.0 for Windows.
Hasil: Hasil uji One Way Anova di dapatkan nilai p=0,003. Kemudian dilanjutkan
dengan analisis post hoc dan diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna
pada persentase kerusakan mukosa gaster pada kelompok yang diberikan ekstrak
daun zaitun dan diinduksi ovalbumin (p<0,05), serta tidak terdapat perbedaan
bermakna pada kelompok yang hanya diberikan ekstrak daun zaitun saja.
Kesimpulan: Pemberian ekstrak daun zaitun sebagai terapi asma tidak
menimbulkan kerusakan mukosa gaster mencit Balb/c,
Kata Kunci: ekstrak daun zaitun, Olea europaea L., ovalbumin, kerusakan mukosa
gaster
ix
ABSTRACT
Aris Adi Purnomo, 1113103000076, Medicine and Medical Profession Study
Program. Effect of Olive Leaves Extract (Olea europaea L.) for asthma therapy
On Stomach Balb/c Mice Organ. Faculty of Medicine and Health Sciene,
Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016
Background: Like a herbal medicine in generally, olive leaves (Olea europaea L.)
as alternative medicine on asthma therapy should be investigsted for safety in
advance whether it give adverse effect to other organs or not
Aim: This study investigate the effect of olive leaves extract at dose of 100 and 200
mg/body weight orally for 7 days on stomach mucosal Balb/c mice induced by
ovalbumin in asthma therapy and not induced ovalbumin
Method: This study was laboratoric experimental research experimental with post
test only control group design. Balb/c mice were divided into 5 groups, 1 control
group and 4 treatment groups. The control group (P1) was given PBS (Phosphate
Buffer Saline) intraperitoneal, orally and inhalation. Second and Third group was
given (P2 and P3) Alum-ova with dose 50 µg/ml ip and olive leaves extract with
each dose of 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB orally and then were challenged with
ovalbumin inhalation. Fourth and fifth group (P4 and P5) was given only olive
leaves extract with each dose of 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB orally and
inhalation. In additition, fourth and fifth group was also given olive leaf extract with
dose of 50 mg / kgbb ip. Gaster mice were then made preparations and observe in
the microscope. Microscopic appearance then value based on a percentage of gastric
mucosa gastric epithelial damage in %. Results of the study was analyzed using
One Way Anova and processed with Post Hoc test through SPSS version 22.0 for
Windows.
Results: One way Anova test result showed p value= 0,003. Then processed with
a Post hoc test and showed significant differences on gastric mucosal lesion in the
group who was given olive leaves extract and ovalbumin induced (p<0,05), and
there is no significant differences who was given only olive leaves extract alone.
Conclusion: The olive leaves extract as asthma therapy does not cause Balb/c
mice’s gastric mucosal damage.
Keywords: olive leaves extract (Olea europaea L.), ovalbumin, stomach mucosal
damage
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………............ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………….. iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI……………………………………….. iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. v
ABSTRAK BAHASA INDONESIA............................................................... viii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS..................................................................... ix
DAFTAR ISI……………………………………………................................ x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………........................ xiv
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xv
BAB I ………………………………………………………………………... 1
1.1 LATAR BELAKANG…………........................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH…………………………………………….. 2
1.3 HIPOTESIS…………………………………………………………… 2
1.4 TUJUAN PENELITIAN……………………………………………… 3
1.4.1 Tujuan Umum………………...………………………………..... 3
1.4.2 Tujuan Khusus………………..………………………………… 3
1.5 MANFAAT PENELITIAN……………………...………………….... 3
1.5.1 Pelayanan Kesehatan…………………………………………… 3
1.5.2 Penelitian………………………………………………………… 3
1.5.3 Pendidikan………………………………………………………. 4
BAB II ………………………………………………………………………. 5
2.1 Tumbuhan Zaitun (Olea europaea L.) ………………………………. 5
2.1.1 Karakteristik Umum…………………………………………….. 5
2.1.2 Kandungan dan Manfaat Ekstrak Daun Zaitun ….…………….... 7
2.1.3 Toksisitas Daun Zaitun terhadap Organ Gaster………………… 13
2.2 Gaster Mencit…………………………………………………. 13
2.2.1 Anatomi Gaster …………………………………………………. 13
xi
2.2.2 Histologi Gaster ………………………………………………… 14
2.2.3 Fisiologi Gaster…………………………………………………. 15
2.2 4 Penyakit Gaster Terkait Inflamasi………………………………. 17
2.2.4.1 Gastritis………………………………….…………………... 17
2.2.4.2 Ulkus Peptikum…………………………………………….... 20
2.3 Inflamasi dan Kerusakan Jaringan Gaster……………………………. 22
2.4 Ovalbumin……………………………………………………………. 27
2.5 Asma………………………………………………………………….. 29
2.6 Kerangka Teori………………………………………………………. 31
2.7 Kerangka Konsep…………………………………………………….. 32
2.8 Definisi Operasional …………………………………………………. 33
BAB III……………………………………………………………………… 34
3.1 Desain Penelitian…………...………………………………………… 34
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian……………............…………………… 34
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian............................................................. 35
3.3.1 Kriteria Sampel...................……………………………………... 36
3.3.1.1 Kriteria Inklusi……………………………………………… 36
3.3.1.2 Kriteria Eksklusi……………………………………………. 36
3.4 Variabel Penelitian…………………………...………………………. 36
3.4.1 Variabel Bebas………………………..………………………… 36
3.4.2 Variabel Tergantung……………………...................................... 36
3.5 Alat dan Bahan Penelitian……………………………………………. 36
3.5.1 Alat Penelitian …………………….……………………………. 36
3.5.2 Bahan Penelitian…………………………………………….….. 37
3.6 Data yang Dikumpulkan……………………………............................ 37
3.7 Prosedur Penelitian…………………………………………………… 37
3.7.1 Determinasi Daun Zaitun (Olea europaea L.)............................... 37
3.7.2 Aklimatisasi .................................................................................. 37
3.7.3 Sensitisasi ………………………...…………………………….. 38
3.7.4 Pemberian Ekstrak Daun Zaitun pada Mencit…………………... 38
3.7.5 Induksi (Challenge) Ovalbumin pada Mencit…………………… 39
3.7.6 Nekropsi dan Pengambilan Jaringan Gaster……………………... 40
xii
3.7.7 Pembuatan Preparat Histopatologi dan Pewarnaan dengan
Hematoksilin-Eosin (HE)………………………………….......... 41
3.7.7.1 Fiksasi……………………………………………………… 41
3.7.7.2 Dehidrasi…………………………………………………… 41
3.7.7.3 Clearing…………………………………………………….. 42
3.7.7.4 Embedding…………………………………………………. 42
3.7.7.5 Blocking……………………………………………………. 43
3.7.7.6 Pemotongan Jaringan (Sectioning)…………………………. 43
3.7.7.7 Pewarnaan Hematoxilin-Eosin (HE)………………….......... 44
3.7.7.8 Pelabelan…………………………………………………… 46
3.8 Pengamatan Mikroskopik Jaringan Gaster…………………………… 46
3.9 Alur Penelitian……………………………………………………….. 47
3.10 Prosedur Pengamatan ...…………………………………………….. 48
3.11 Analisis Data Statistik………………………………………………. 48
BAB IV………………………………………………………………………. 49
4.1 Determinasi Daun Zaitun……………………………………………... 49
4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan…………………………………….. 49
4.3 Keterbatasan Penelitian……………………………………………….. 56
BAB V……………………………………………………………………….. 57
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………… 57
5.2 Saran………………………………………………………………….. 57
BAB VI……………………………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 59
LAMPIRAN…………………………………………………………………. 65
xiii
DAFTAR TABEL
Tebel 2.1 Mediator Inflamasi dan Aksi……………………………………. 26
Tabel 2.2 Definisi Operasional Variabel………………………………… 33
Tabel 3.1 Kelompok Perlakuan……………………………………………… 35
Tabel 4.1 Hasil Uji One Way Anova ………………………………………… 53
Tabel 4.2 Hasil Uji LSD pada Analisis Post hoc …………………………... 54
Tabel 7.1 Hasil Determinasi/ Identifikasi Bahan Uji………………………... 69
Tabel 7.2 Uji Normalitas Data……………………………………………… 69
Tabel 7.3 Uji Homogenitas Data………………………………………… 69
Tabel 7.4 Uji One Way Anova……………………………………………….. 70
Tabel 7.5 Uji LSD dengan Analisis Post hoc………………………………. 70
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Buah dan daun zaitun (Olea europaea L)………………………. 5
Gambar 2.2 Struktur kimia berbagai macam komponen fenol yang sering
ditemukan pada ekstrak daun zaitun……………………………. 12
Gambar 2.3 Anatomi gaster mencit………………………………………….. 14
Gambar 2.4 Histologi gaster mencit…….……………………………............ 15
Gambar 2.5 Histologi organ gaster ………………………………………….. 16
Gambar 2.6 Perbedaan gaster manusia dan mencit………………………….. 17
Gambar 2.7 Komponen respon inflamasi akut dan kronik serta fungsi utama. 26
Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik mukosa gaster mencit Balb/c (100x)….. 50
Gambar 4.2 Gambaran mikroskopik mukosa gaster mencit Balb/c (400x)….. 51
Gambar 4.3. Grafik rata-rata kerusakan mukosa gaster mencit Balb/c……… 52
Gambar 7.1 Hasil determinasi/ identifikasi bahan uji……………………… 68
Gambar 7.2 Nebulizer dan kandang tempat inhalasi………………………… 67
Gambar 7.3 Pembiusan pada mencit………………………………………... 67
Gambar 7.4 Proses inhalasi mencit …………………………………………. 67
Gambar 7.5 Proses nekropsi mencit ………………………………………… 67
Gambar 7.6 Sonde ekstrak zaitun……………………………………………. 67
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Determinasi/ Identifikasi Bahan Uji……………………… 65
Lampiran 2 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian………………………… 66
Lampiran 3 Gambar Proses Penelitian………………………………………. 67
Lampiran 4 Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun………………………... 68
Lampiran 5 Hasil Analisis Statistik Data……………………………………. 69
Lampiran 6 Riwayat Penulis…………………………………………………. 72
xv
DAFTAR SINGKATAN
µg /ml : Mikrogram/mililiter
ACE : Angiotensin Converting Enzime
ACG : America College of Gastroenterology
AGD : Analisa Gas Darah
Alum-Ova : Aluminium Hidroksida - Ovalbumin
BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan
COX : Cyclooxygenase
CRS : Cold Restraint Stress
FKIK : Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
HE : Hematoxilin Eosin
HIV/AIDS : Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency
Syndrome
HPFR : Hunger Pain Food Relief
IFN-γ : Interferon-γ
igG : Imunoglobulin G
IL-1 : Interleukin-1
ip : Intraperitoneal
IPB : Institut Pertanian Bogor
LDL : Low Density Lipoprotein
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LSD : Least Significance Difference
MALT : Mucose Associated Lymphoid Tissue
MRSA : Methicilin Resistant Staphylococcus aureus
MUFAs : Mono Unsaturated Fatty Acids
NO : Nitrit Oksida
NSAIDs : Non Steroid Anti Inflammatory Drugs
OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid
PAF : Platelet Activating Factor
PBS : Phosphate Buffer Saline
xvi
PPI : Proton Pump Inhibitor
ROS : Reactive Oxygen Species
SAT : Stool Antigen Test
TB : Tuberkulosis
TNF-α : Tumor Nerosis Factor-α
UBT : Urea Breath Test
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak zaman dahulu, Indonesia merupakan tempat yang kaya tanaman
herbal. Salah satu tanaman herbal yang terdapat di Indonesia yaitu tumbuhan zaitun
(Olea europaea L.). Zaitun merupakan satu dari sekian banyak produk tanaman
yang sudah teregistrasi ke dalam daftar Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM).1
Zaitun merupakan tanaman yang biasanya tumbuh di daerah beriklim tropis
seperti di Indonesia dan kawasan timur Mediterania dan memiliki karakteristik
berupa bunga yang berbentuk lonceng pendek dan gemuk.2 Bagian tanaman zaitun
yang sering dimanfaatkan adalah buah zaitun untuk dijadikan minyak zaitun.
Tanaman zaitun merupakan tanaman yang sering digunakan untuk kosmetika dan
campuran dalam makanan. Tetapi sampai saat ini, sebagian besar orang Indonesia
hanya mengetahui bahwa hanya buah dari pohon zaitun saja yang dapat
dimanfaatkan. Berbeda dengan di luar negeri, berbagai penelitian telah dilakukan,
tidak hanya buah zaitunnya saja yang diteliti, melainkan juga daunnya, yang
diketahui mempunyai berbagai macam efek terapeutik, salah satunya yaitu dalam
pengobatan asma. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa daun zaitun
memiliki banyak manfaat dalam bidang pengobatan, diantaranya yaitu pada
pengobatan penyakit terkait inflamasi pada saluran pernafasan, diantaranya yaitu
asma. Berbagai macam penelitian melaporkan bahwa kandungan pada ekstrak daun
zaitun, yaitu oleuropein dan hidroksitirosol mempunyai efek antiinflamasi,
sehinggga dapat menghambat proses terjadinya penyakit asma. 2,3
Secara farmakologi, pemberian suatu obat secara peroral dapat mengalami
proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.4 Pada proses absorbsi,
banyak sekali zat/ bahan potensial yang dapat menyebabkan efek yang berbahaya
dalam tubuh, misalnya obat-obatan kimia pada pengobatan modern, juga senyawa
aktif dalam obat herbal. Oleh karena itu, dalam pengembangan obat dan kedokteran
klinis, termasuk pengembangan obat herbal biasanya dipertimbangkan 2 efek yang
dapat muncul, yaitu efek menguntungkan atau terapeutik serta serta efek toksik atau
2
adverse effect. Efek ini umumnya dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya
kandungan senyawa aktif, dosis, kondisi tubuh pasien dan lama waktu pemberian
obat. Jadi, sebelum obat herbal dapat dipasarkan, maka harus diuji keamanannya
terlebih dahulu melalui serangkaian tahap uji preklinik dan uji klinik untuk menilai
farmakokinetik dan farmakodinamik yang ditimbulkan dari pengobatan herbal.4
Efek samping akibat pengobatan herbal bisa terjadi di organ manapun, salah
satunya pada penelitian ini yaitu meneliti efek samping pemberian ekstrak daun
zaitun pada terapi asma terhadap organ gaster, karena organ gaster merupakan salah
satu organ yang berfungsi dalam proses pencernaan atau denaturasi protein, baik
itu protein nabati maupun protein hewani. Patogenesis tersering timbulnya efek
toksik dari pemberian tanaman herbal yaitu terjadinya iritasi atau inflamasi pada
mukosa saluran pencernaan.4 Meskipun banyak penelitian yang melaporkan tentang
manfaat ekstrak daun zaitun, namun sedikit penelitian yang melaporkan tentang
efek samping akibat pemberian ekstrak daun zaitun. Pada penelitian ini daun zaitun
diperoleh dari tumbuhan zaitun yang ditanam di Indonesia.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka peneliti melakukan
penelitian preklinik mengenai efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea
L.) sebagai terapi asma terhadap organ gaster mencit strain Balb/c, apakah
memberikan efek toksik atau tidak terhadap organ gaster yang dinilai melalui
persentase kerusakan mukosa gaster.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana efek pemberian ekstrak
daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap organ gaster mencit
Balb/c.
1.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) sebagai terapi asma tidak memberikan efek samping dan tidak
menyebabkan kerusakan mukosa gaster yang signifikan pada organ gaster mencit
Balb/c yang diinduksi ovalbumin maupun yang tidak diinduksi ovalbumin.
3
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek pemberian ekstrak
daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap organ gaster mencit
Balb/c yang diinduksi ovalbumin, apakah memberikan efek samping terhadap
organ gaster mencit atau tidak.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian
ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap gambaran
histopatologi mukosa gaster mencit Balb/c yang diinduksi ovalbumin dan yang
tidak diinduksi ovalbumin, apakah memberikan kerusakan yang bermakna terhadap
mukosa epitel lambung atau tidak.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk:
1.5.1 Pengembangan Obat
Penelitian ini diharapkan ekstrak daun zaitun dapat menjadi salah satu dasar
dalam pengembangan obat herbal terstandar dan menjadi obat alternatif bila
informasi tentang manfaat dan keuntungan yang ditimbulkannya tinggi serta efek
samping yang ditimbulkannya minimal yang didapatkan melalui serangkaian uji
tahap preklinik maupun uji klinik, sehingga dapat digunakan dalam praktek
kesehatan, khususnya dalam pelayanan primer.
1.5.2 Penelitian
Menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga dapat digunakan
sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian terhadap ekstrak daun zaitun yang
lebih mendalam.
4
1.5.3 Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan dan meningkatkan
pemahaman mengenai efek samping pemberian ekstrak daun zaitun sebagai terapi
asma terhadap organ gaster mencit Balb/c.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Zaitun (Olea europaea L.)
2.1.1 Karakteristik Umum
Tumbuhan zaitun dalam ilmu taksonomi diklasifikasikan sebagai berikut: 5
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionata
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Superorder : Asteranae
Order : Lamiales (Srophulariales)
Famili : Oleaceae
Genus : Olea L.
Spesies : Olea europaea L.
Gambar 2.1. Buah dan daun zaitun (Olea europaea L)
Sumber: Fehri (1996)
Tumbuhan Zaitun (Olea europaea L.), seperti yang terlihat pada gambar 2.1
termasuk pohon yang berukuran kecil dan digolongkan ke dalam suku Oleaceae
dalam ilmu taksonomi. Suku Oleaeae memiliki sekitar 29 genus/marga, dan genus
6
Olea memiliki sekitar 35 spesies. Semua genus Olea memiliki jumlah kromosom
2n= 46 (x=23). Pohon zaitun ini dapat tumbuh mencapai ketinggian 6-9 meter (12-
20 kaki), bahkan pohon dewasanya dapat mencapai ketinggian antara 25-30 kaki
(8-10 meter). Daun zaitun memiliki panjang sekitar 7,5 cm, memiliki bentuk seperti
lancet atau linier, dengan bagian bawahnya lebih cerah dari bagian atasnya,
memiliki semacam rambut seperti sisik halus pada bagian bawah daun. Daun zaitun
berganti setiap interval 2-3 tahun. Pada buah zaitun yang belum matang, kulit
buahnya berwarna hijau, sedangkan pada buah zaitun yang sudah matang memiliki
kulit buah yang berwarna hitam. Pohon zaitun dapat hidup sangat lama, bahkan di
pulau Crete, Yunani banyak terdapat pohon zaitun yang berusia lebih dari 1000
tahun.2,6,7,8
Sekarang ini, banyak dari varietas tumbuhan zaitun telah dikenali, dan
peneliti memperkirakan terdapat sekitar 30-35 spesies dari genus Olea, dan spesies
Olea europaea L. sendiri terdiri dari banyak grup dan lebih dari 2600 kultivar yang
telah teridentifikasi. Subspesies tumbuhan zaitun terdistribusi di negara kawasan
Mediterania, terutama negara Eropa bagian selatan. Pohon zaitun tampaknya bukan
merupakan tumbuhan asli, melainkan tumbuhan yang mengalami hibridasi dan
mutasi. Spesies tumbuhan yang berasal dari negara tropis dan subtropics Afro-
Asian, seperti Olea chrysophilla dan Olea excels kemungkinan memiliki pengaruh
evolusi tersebut. Oleh karena itu, tumbuhan zaitun diperkirakan berasal dari daratan
Asia-Afrika, kemudian menyebar kearah barat di sepanjang pesisir laut
Mediteranian dan negara Eropa bagian selatan, lalu kemudian menyebar ke seluruh
daratan Eropa. Pohon zaitun sekarang juga dibudidayakan di berbagai negara di
dunia, seperti Australia, Amerika Selatan dan Amerika Utara (Argentina, Chili,
Amerika Serikat) dan Afrika Selatan). Lembah Mediteranian merupakan wilayah
tradisional dalam budidaya pohon zaitun dan menyumbang produksi pohon zaitun
dunia, yaitu sekitar 98%. Adapun negara bagian Eropa yang telah
mengembangbiakkan tumbuhan zaitun secara komersial yaitu Spanyol, Itali,
Portugal, Albania, Montenegro, Yunani dan Cyprus. Sedangakan dari benua Asia
sendiri ada Syiria, Lebanon, Jodania, Palestina, Irak, Iran, Jepang dan China.5
Menurut perkiraan, budidaya pohon zaitun telah dilakukan selama kurang
lebih 7000 tahun, dan berdasarkan bukti arkeologis menunjukkan bahwa bangsa
7
Minoan yang tinggal di pulau Crete, Yunani telah menanam pohon zaitun secara
komersial.9 Di dalam sastra Yunani kuno juga menunjukkan bahwa zaitun sangat
bermanfaat bagi kesehatan tubuh.9 Dalam konteks agama, kata zaitun juga
disebutkan dalam alkitab milik agama Kristen maupun Al-Qur’an milik agama
Islam. Di dalam surat An-Nur Ayat 35 disebutkan bahwa zaitun merupakan suatu
pohon yang diberkati. Pohon zaitun memiliki sejarah yang panjang selama berabad-
abad. Sejarah mencatat bahwa zaitun digunakan oleh orang-orang mesir kuno untuk
melakukan mumifikasi Fir’aun.9 Demikian zaitun juga dipercaya dapat digunakan
untuk mengobati demam dan menyembuhkan penyakit tropis, misalnya malaria.10
Secara ekonomis, zaitun merupakan suatu komoditas yang penting dan
sangat menguntungkan, karena produk olahan dari tumbuhan zaitun sering
digunakan oleh hampir setiap orang di seluruh dunia. Hal terebut dikarenakan
minyak zaitun mempunyai banyak manfaat, misalnya untuk produk olahan
makanan, bahan kosmetika, dan lain-lain.
Seperti makhluk hidup lainnya, pohon zaitun juga bisa rusak dari berbagai
macam penyakit dan pestisida, yang mana kerusakan dapat meliputi akar, batang,
buah maupun daun zaitun. Penyebab penyakit pada pohon zaitun bisa bermacam-
macam, mulai dari bakteri, jamur maupun virus. Salah satu contoh yaitu jamur
Cycloconium oleaginum yang dapat merusak daun dan buah zaitun. Ada juga
bakteri Pseudomonas savastanoi yang menimbulkan benjolan atau bonggol kecil
pada cabang pohon dan batangnya.11 Diantara hama tanaman pohon zaitun, yang
paling merusak adalah lalat buah zaitun (Bactrocera olea Gmelin), ngengat zaitun
(Prays oleae Bernard), dan black scale (Saissetia oleae Olivier).
2.1.2 Kandungan dan Manfaat Ekstrak Daun Zaitun
Zaitun sudah dipercaya sejak zaman dahulu dalam mengobati berbagai
macam penyakit, contohnya demam dan penyakit tropis misalnya malaria.10 Selain
itu, penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak zaitun selama kehamilan
menunjukkan penurunan resiko kejadian mengi (Wheezing) dan asma pada bayi
yang baru lahir.12 Hal tersebut dikarenakan kandungan senyawa yang terdapat pada
daun zaitun, yaitu oleuropein dan hidroksitirosol mempunyai efek antiinflamasi
dan mampu menangkal radikal bebas, sehingga dapat mengurangi proses inflamasi
8
pada penyakit asma.3 Pada zaman sekarang ini masyarakat juga masih banyak yang
percaya bahwa diet Mediterania, yang salah satu komponennya yaitu minyak zaitun
dipercaya dalam menurunkan berat badan.13 Masyarakat percaya bahwa zaitun
dapat mencegah penyakit kanker dan penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi,
stroke dan penyakit jantung koroner. Hal tersebut terbukti karena kandungan asam
lemak tak jenuh tunggal (MUFAs/ Mono Unsaturated Fatty Acids) dan senyawa
bioaktif lain misalnya tokoferol, karotenoid, fosfolipid dan senyawa polifenol yang
terkandung dalam minyak dan daun zaitun memiliki beberapa efek yang bermanfaat
bagi tubuh, misalnya oleuropein dan antioksidan lain yang terkandung dalam
minyak dan daun zaitun, bermanfaat dalam mencegah penyakit jantung dan
pembuluh darah, dengan cara menghambat oksidasi lipoprotein berdensitas rendah
atau low density lipoprotein (LDL), sehingga menurunkan pembentukan plak
aterom yang diyakini dapat penyebabkan penyumbatan pada arteri koroner.14
Senyawa oleuropein juga pernah dilaporkan mempunya efek dalam
menghambat agregasi platelet dan menghambat produksi tromboksan A2
(stimulator agregasi platelet dan efek vasodilator).15 Selain itu menarik juga bahwa
ekstrak daun zaitun juga dapat menghambat Angiotensin Converting Enzyme
(ACE), yaitu suatu enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II karena sifatnya yang vasokonstriktor kuat, diyakini
berperan dalam penyakit hipertensi.16 Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa
mengonsumsi ekstrak daun zaitun 500 mg dua kali sehari sama efektifnya dengan
pemberian captopril dosis 12,5-25 mg dua kali sehari dalam menurunkan tekanan
darah sistol dan diastol pada pasien hipertensi grade satu.17
Pada suatu penelitian kelinci yang diinduksi diabetes, setelah diberikan
senyawa oleuropein ternyata terjadi penurunan marker stres oksidatif yaitu kadar
Malondialdehida (MDA).18 Penelitian lain juga menunjukkan bahwa beberapa
senyawa fenol yang terkandung dalam daun zaitun, yaitu oleuropein dan
hidroksitirosol mempunyai efek antioksidan.19 Zaitun juga bermanfaat dalam
mencegah penyakit diabetes. Ekstrak metanol daun zaitun setelah diteliti ternyata
mampu dalam menghambat proses glikasi dan pembentukan Adanced Glycosylated
End Products (AGEs).20
9
Ekstrak daun zaitun juga pernah dilaporkan mempunyai efek antiviral.
Salah satu komponen biokimiawi dalam daun zaitun, yaitu kalsium enolat, yang
merupakan derivat dari asam enolat mempunyai efektivitas dalam melawan virus
spektrum luas setelah dilakukan beberapa pengujian di laboratorium.21 Beberapa
jenis virus jenis seperti Rhinovirus, Myxovirus, HSV-1 dan HSV-2, Herpes zoster,
Encephalomyocarditis, Polio 1, 2, 3, dua strain dari virus Leukemia, dan banyak
strain dari virus Influenza dan virus Parainfluenza yang dapat dihambat secara in
vitro.22,23,24 Beberapa mekanisme aksi antiviral yang ditemukan yaitu menghambat
asam amino yang esensial untuk virus, langsung mempenetrasi sel yang terinfeksi
dan menghambat replikasi virus. Pada jenis retrovirus, komponen tersebut dapat
menetralisasi produksi enzim reverse transcriptase dan enzim protease, yang mana
enzim tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup virus tersebut. Selain itu,
proses fusi dan integrasi antara komponen virus dengan sel host juga mampu
dihambat oleh senyawa oleuropein dan hidroksitirosol.25
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa oleuropein memiliki efektivitas
dalam menghambat viral haemorrhagic septicaemia rhabdovirus (VHSV) yang
dilakukan secara in vitro.26
Kandungan ekstrak daun zaitun, yaitu oleuropein dilaporkan mempunyai
efek antimikroba penyebab penyakit, termasuk Salmonella typhi, Vibrio
parahaemolyticus, dan Staphylococcus aureus (termasuk MRSA), Klebsiella
pneumoniae, Escherichia coli, dan bakteri penyebab infeksi saluran pernafasan dan
penernaan yang lain.27 Meskipun begitu, oleuropein juga terbukti tidak efektif
dalam menghambat berbagai macam bakteri seperti Moraxella catarrhalis dan
Haemophilus influenza.27 Oleuropein juga pernah dilaporkan mempunyai efek
untuk menstimulasi aktifasi makrofag, yang nantinya berguna dalam fagositosis
benda asing yang masuk ke dalam tubuh seperti bakteri, virus dan lain-lain.28
Namun, kandungan lain yaitu hidroksitirosol dilaporkan mempunyai efektifitas
antimikroba yang lebih luas daripada senyawa oleuropein dan dibandingkan dengan
eritromisin dan ampisilin pada spektrum dan potensinya.27 Selain itu,
hidroksitirosol juga mampu menghambat aktivitas berbagai macam strain dari
bakteri mikoplasma, misalnya Mycoplasma pneumoniae, Mycoplasma hominis dan
Mycoplasma fermentans.29
10
Masyarakat Eropa pada zaman dahulu percaya bahwa konsumsi minyak
zaitun bersamaan dengan jus lemon bermanfaat untuk mengatasi penyakit batu
empedu. Daun zaitun juga dikonsumsi sebagai pembersih mulut. Selain itu, buah
dan daun kering dari tumbuhan zaitun dibuat jamu untuk mengatasi masalah diare,
infeksi saluran pernafasan dan saluran kemih. Air panas diseduh dari ekstrak daun
zaitun segar digunakan untuk mengobati asma, sedangakan yang dari ekstrak daun
zaitun kering berguna untuk mengobati hipertensi. Daun zaitun kering yang dibuat
jamu juga dikonsumsi secara oral untuk mengatasi penyakit diabetes.3
Seperti pada gambar 2.2, terdapat 5 kelompok fenol yang terutama terdapat
pada daun zaitun, yaitu oleuropeoside (oleuropein dan verbacoside), flavon
(luteolin-7-glucoside, apigenin-7-glucoside, diosmetin-7-glucoside, luteolin, dan
diosmetin), flavonol (rutin), flavan-3-ols (katekin), dan fenol tersubtitusi (tyrosol,
hydroxytyrosol, vanillin, asam vanilat, dan asam kafeat).19 Diantara senyawa
tersebut, senyawa yang paling melimpah dan sering ditemui terutama pada daun
zaitun adalah oleuropein, lalu diikuti hidroksitirosol, golongan flavon-7-glucosides
dari luteolin dan apigenin, serta verbascoside.19 Proses pembentukan oleuropein
berasal dari senyawa ligstroside yang mendapat tambahan gugus –OH pada cincin
benzenanya. Senyawa oleuropein kemudian mengalami reaksi deglikosilasi dan
menjadi oleuropein aglycone dan glukosa. Oleuropein aglycone kemudian
dihidrolisis dan kemudian menjadi senyawa hidroksitirosol dan asam elenolat. Jadi
hidroksitirosol adalah produk degradasi dari senyawa oleuropein, dan verbascoside
adalah glukosida terkonjugasi dari hidroksitirosol dan asam kafeat.19 Dikarenakan
hidroksitirosol merupakan produk degradasi dari hidroksitirosol, maka
hidroksitirosol paling banyak terdapat pada minyak zaitun dan buah zaitun yang
telah diolah, sedangkan oleuropein paling banyak terdapat pada daun dan buah
zaitun yang belum diproses.19 Selain itu senyawa verbascoside merupakan derivat
hidroksisinnamat yang terdapat pada buah zaitun.30
Efek potensial yang terkandung dalam ekstrak daun zaitun paling sering
dihubungkan karena beberapa senyawa yang dikandungnya, yang ternyata setelah
diteliti lebih lanjut menunjukkan efek yang positif untuk kesehatan, misalnya
sebagai antioksidan, antihipertensi, antiinflamasi, efek hipoglikemik dan
hipokolesterolemik.31 Diantaranya adalah senyawa polifenol dengan berat molekul
11
rendah, seperti oleuropein, tyrosol, hydroksitirosol, tokoferol, derivat asam
elenolat, asam kafeat, asam p-kumarat, dan asam vanilat. Selain itu juga terdapat
senyawa flavonoid seperti luteolin,diosmetin, rutin, luteolin-7-glucosida, apigenin-
7-glucosida, dan diosmetin-7-glucosida.32 Kombinasi dari senyawa tersebut
ternyata mempunyai aktivitas antimikroba yang signifikan daripada hanya satu
senyawa saja.33 komponen fenol serta struktur kimia yang sering ditemukan pada
ekstrak daun zaitun dapat di lihat pada gambar 2.2.
Penelitian menunjukkan bahwa daun zaitun dapat menurunkan tekanan
darah, meningkatkan aliran darah pada arteri koroner, menurunkan kejadian aritmia
dan mencegah spasme otot saluran cerna.34,35 Selain itu juga daun zaitun
mempunyai beberapa efek dalam menghambat berbagai macam kuman pathogen
penyebab penyakit, misalnya bakteri, jamur dan virus.36
Daun zaitun mempunyai efek antioksidan tertinggi diantara bagian pohon
zaitun yang lain. Hal tersebut dikarenakan senyawa oleuropein yang bermanfaat
dalam menghambat pembentukan radikal bebas paling banyak terdapat pada daun
zaitun, yaitu berkisar diantara 1%-14%, sedangkan oleuropein yang terkandung
dalam minyak zaitun hanya berkisar 0,005%-0,12%.26 Selain itu, senyawa
oleuropein dan asam kafeat ternyata berperan dalam menghambat pembentukan
radikal bebas seperti anion superoksida.37
12
Gambar 2.2. Struktur kimia berbagai macam komponen fenol yang sering
ditemukan pada ekstrak daun zaitun.
Sumber: Sedef et al (2009)
2.1.3 Toksisitas Daun Zaitun terhadap Organ Gaster
Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan tentang manfaat yang
diperoleh setelah mengonsumsi ekstrak daun zaitun, namun sedikit sekali penelitian
yang melaporkan efek samping setelah pemberian ekstrak daun zaitun, terutama
terhadap organ gaster.
13
Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi senyawa aktif triterpene
pentasiklik yang diperoleh dari kutikula buah zaitun (Olea europaea L) dengan
dosis tunggal 1000 mg/kgBB tidak menyebabkan gejala morbiditas dan mortalitas
pada mencit jantan strain CD-1. Selain itu juga dilakukan percobaan ulang dengan
pemberian asam maslinat, salah satu komponen utama pada golongan triterpen
pentasiklik pada mencit jantan strain CD-1 dengan dosis 50 mg/kgBB/hari selama
28 hari juga tidak menimbulkan gejala toksisitas apapun.38
Pada penelitian terhadap organ gaster, pemberian ekstrak daun zaitun
dengan dosis masing-masing 40, 80, dan 120 mg/kgBB ternyata tidak menyebabkan
efek toksik/ samping, bahkan memberikan efek anti-ulserogenik yang serupa
dengan pemberian ranitidine 50 mg/kgBB pada mencit jantan strain wistar yang
diinduksi etanol absolut untuk membuat kerusakan mukosa lambung.39 Selain itu,
setelah dilakukan penelitian lanjutan, yaitu mencit diinduksi dengan Cold Restraint
Stress (CRS) untuk membuat gaster tikus jantan strain wistar mengalami kerusakan,
setelah diberikan ekstrak daun zaitun dengan dosis yang sama ternyata semua dosis
memberikan efek anti-ulserogenik yang hampir serupa dengan pemberian obat
ranitinidine 50 mg/kgBB.40
2.2 Gaster Mencit
2.2.1 Anatomi Gaster
Organ gaster mencit dibagi menjadi dua daerah berdasarkan daerah yang
tampak dari aspek serosa, yaitu area lambung depan (forestomach) dan area
glandular seperti yang terlihat pada gambar 2.3. Pada organ manusia tidak
mempunyai lambung depan. Luas area lambung depan meliputi dua pertiga dari
total luas daerah lambung. Lambung depan terletak di bagian kiri dari batas margo
plicatus (batas antara lambung depan dan area kelenjar). Secara anatomis, area
kelenjar terdiri dari tiga regio yaitu kardia yang berbatasan langsung dengan margo
plicatus, fundus yang banyak terdapat rugae yang membentuk lipatan, serta antrum
yang memiliki mukosa yang relatif halus.41
14
Gambar 2.3 Anatomi gaster mencit
Sumber: Treuting PM et al (2012)
2.2.2 Histologi Gaster
Pada organ gaster mencit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kiri
lambung (non-kelenjar, proventrikulus, lambung depan) yang memiliki ciri-ciri
keabu-abuan, berdinding tipis, sedikit transparan dan dan bagian kanan lambung
(glandular, ventrikulus). Bagian glandular dan nonglandular dipisahkan oleh rugae
pembatas (margo plicatus). Jaringan pada lambung depan terdiri beberapa lapisan,
yaitu mukosa epitel skuamosa berlapis, lamina propia, muskularis mukosa,
submukosa, muskularis interna dan eksterna, serta lapisan serosa.42
Bagian area kelenjar pada lambung dilapisi oleh epitel kolumnar sederhana
yang membentuk gastric pit (foveola gastrika) bagian dalam yang tegak lurus
terhadap dinding lambung. Jenis sel pada area kelenjar yang dapat diamati terbagi
menjadi tiga zona, yaitu sel chief menempati sepertiga bagian bawah regio kelenjar,
sel parietal yang sebagian besar terdapat di setengah bagian atas tubulus kelenjar,
15
dan beberapa campuran dari sel parietal dan sel chief yang terdapat pada sepertiga
bagian bawah regio kelenjar.42
Lamina muskularis mukosa memiliki lapisan yang tipis. Submukosa terdiri
dari jaringan ikat longgar yang kaya pembuluh darah kecil. Tunika muskularis
memiliki lapisan yang tebal, terdiri dari otot spiral bagian dalam dan otot oblik yang
mengelilingi bagian luar. Sel ganglion dan pleksus saraf terdapat di antara lapisan
otot tersebut. Tunika serosa memiliki lapisan yang tipis.42
Pada area nonglandular pada lambung dilapisi lapisan keratinisasi, yaitu
epitel skuamosa bertingkat. Stratum granulosum dapat terlihat. Ketebalan tunika
muskularis menurun dari area nonglandular ke area kelenjar.42 Selain itu juga pada
area nonglandular tidak terdapat area Z-line, yaitu taut atau batas pemisah antara
esofagus dan lambung depan. Hal tersebut dikarenakan pada area lambung depan
memiliki jenis epitel yang sama dengan esofagus, yaitu epitel skuamosa.41 Gambar
histologi mencit dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4. Histologi gaster mencit/tikus
Sumber: DeltaBase (2006)
2.2.3 Fisiologi Gaster
Pada gambar 2.5 dapat dilihat bahwa organ gaster mencit hampir serupa
dengan organ gaster manusia, organ gaster mencit terdiri dari area gastric pit dan
16
area kelenjar gaster. Pada area gastric pit banyak terdapat banyak sel sel mukus
yang berfungsi untuk mengeluarkan mukus dalam memproteksi dinding lambung
dari asam lambung dan substansi lain yang berbahaya bagi tubuh, misalnya obat-
obat kimia, senyawa racun dan lain-lain. Pada area kelenjar, Banyak terdapat sel
parietal yang berfungsi dalam mensekresikan asam lambung. Selain itu juga pada
area kelenjar banyak terdapat sel chief yang berfungsi dalam mensekresikan enzim
pepsinogen, yang nantinya enzim tersebut dapat mendenaturasi protein setelah
enzim tersebut teraktivasi dalam suasana asam.42
Adapaun perbedaan anatomi, histologi dan jenis sel antara lambung mencit
dan lambung manusia dapat dilihat pada tabel 2.6.
Gambar 2.5 Histologi organ gaster manusia.
Sumber: Martini (2012)
17
Gambar 2.6 Perbedaan gaster manusia dan mencit
Sumber: Treuting PM et al (2012)
2.2.4 Penyakit Gaster Terkait Inflamasi
2.2.4.1 Gastritis
Secara sederhana gastritis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada
mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan salah satu gangguan
kesehatan yang sering dijumpai di klinik, karena diagnosisnya hanya berdasarkan
dari gejala klinis dan jarang yang dilakukan pemeriksaan histopatologi. Sama
halnya dengan gejala pada penyakit saluran cerna atas yang lainnya, gastritis
memberikan gejala yang tidak khas, yaitu meliputi rasa nyeri pada ulu hati, mual,
muntah, rasa penuh atau begah. Kesemua keluhan tersebut dinamakan dengan suatu
sindrom dispepsia.43
Penyebab gastritis bisa bermacam-macam, mulai dari infeksi
mikroorganisme, konsumsi obat-obatan dan penyakit lain yang dapat menyebabkan
gastritis. Infeksi Helicobacter pylori merupakan penyebab gastritis yang paling
sering, dan bahkan prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada orang dewasa di
negara berkembang mendekati 90%. Pada awal infeksi Helicobacter pylori mukosa
lambung menunjukkan inflamasi akut. Secara endoskopik, epitel tampak
mengalami erosi / ulkus yang sering di daerah antrum, bisa juga berbentuk lesi
18
hemoragik. Pada gastritis yang disebabkan oleh kuman Helicobacter pylori, gaster
tampak memiliki gambaran atrofi pada mukosanya. Karena gastritis kronis akibat
Helicobacter pylori sering diabaikan oleh pasien, dan pasien baru datang ke dokter
jika sudah memiliki gejala yang parah. Gastritis yang sudah menjadi kronik lebih
sulit untuk disembuhkan. Bahkan jika infeksi Helicobacter pylori tidak segera
dieradikasi, epitel yang mengalami infeksi dapat berkembang menjadi karsinoma
gaster pada beberapa pasien. Infeksi mikroorganisme yang lain seperti Candida
albicans, Histoplasma capsulatum dan Mukonaceae hanya mampu menginfeksi
lambung pada pasien yang mengalami imunodeficiency, seperti pada pasien
HIV/AIDS.43
Selain itu berbagai macam obat-obatan di era moderen juga terbukti dapat
menyebabkan gastritis, bahkan bisa sampai menyebabkan ulkus dan perdarahan
saluran cerna bagian atas. Obat –obatan seperti OAINS (Obat Anti Inflamasi non
Steroid) dan kortekosteroid yang paling bertanggung jawab terhadap gastritis yang
dialami oleh pasien. Banyak peneliti meyakini bahwa OAINS dan kortikosteroid
ini mampu menghambat enzim siklooksigenase-1 (COX-1), sehingga menurunkan
produksi mukus lambung karena produksi prostaglandin yang dihambat, sehingga
memudahkan agen dari luar misalnya asam lambung, makanan maupun kuman
dapat berkontak langsung dengan mukosa epitel lambung. Mukus lambung
merupakan barier lambung dari asam lambung dan faktor lain yang dapat
menyebabkan kerusakan lambung.44
Diagnosis gastritis umumnya hanya dilihat dari gejala klinis, tanpa perlu
melakukan pemeriksaan yang lain. Untuk penegakkan diagnosis secara akurat,
biasanya dilakukan pemeriksaan yang lain, misalnya endoskopi, biopsi dan lain-
lain untuk memastikan terdapat erosi pada lambung atau tidak, tergantung dari agen
penyebab juga. Pada infeksi Helicobacter pylori, dapat dilakukan pemeriksaan
invasif (tanpa endoskopik) maupun noninvasif (dengan endoskopik).43
Pemeriksaan invasif diindikasikan pada pasien yang mengalami ulkus peptikum,
Mucose Associated Lymphoid Tissue (MALT) lymphoma, gastritis kronis atrofik
serta pasien dengan keluhan dispepsia yang belum diketahui penyebabnya. Pada
pemeriksaan endoskopik, juga bisa sekaligus digunakan untuk melakukan biopsi
jaringan. Biopsi digunakan untuk mengidentifikasi kuman penyebab gastritis.
19
Menurut sistem Sydney, spesimen biopsi jaringan yang dianjurkan untuk diambil
ada 5 tempat, yaitu 2 bagian antrum, 2 bagian korpus dan 1 dari insisura angularis,
untuk mendapatkan hasil yang optimal.45 Pemeriksaan kultur digunakan untuk
menemukan adanya kuman Helicobacter pylori dan sekalian bisa menguji
kepekaan terhadap antibiotik. Pemeriksaan kultur mikroba memiliki sensitivitas
90% dan spesifitas 100%. Selain itu terdapat juga pemeriksaan noninvasif yang
terdiri dari Urea Breath Test (UBT), Serologi igG Helicobacter pylori, dan Stool
Antigen Test (SAT). Pemeriksaan serum igG Helicobacter pylori termasuk murah
dan nyaman, dan memiliki sensitivitas 85% dan spesifitas 79%, namun
pemeriksaan ini tidak dapat dijadikan indikator keberhasilan eradikasi karena kadar
immunoglobulin tidak menurun setelah eradikasi Helicobacter pylori. Pada
pemeriksaan UBT, yang diperiksa adalah aktifitas enzim urease yang dihasilkan
oleh kuman Helicobacter pylori. Pemeriksaan ini juga untuk mengetahui indikator
keberhasilan dalam eradiksai kuman tersebut, karena pemeriksaan ini memiliki
spesifitas >90%. Pemeriksaan noninvasif yang lain, yaitu SAT juga memiliki
spesifitas >90%, sehingga juga bisa digunakan sebagai indikator keberhasilan
dalam mengeradikasi kuman Helicobacter pylori. Beberapa penyakit pada gaster
yang jarang, misalnya pada penyakit menetrier diperlukan endoskopi dengan
dilengkapi dengan ultrasound. Penyakit gaster terkait dengan autoimun juga
membutuhkan pemeriksaan serologi untuk menunjang diagnosis.43,46
Pengobatan gastritis tergantung etiologi yang menyertainya. Pada gastritis
akibat infeksi kuman Helicobacter pylori, pengobatan dilakukan untuk
mengeradikasi kuman tersebut. Eradikasi yang dianjurkan yaitu dengan
mengkombinasikan obat Proton Pump Inhibitor (PPI) dan berbagai 2 jenis
antibiotik. Antibiotik yang dianjurkan yaitu klaritomisin, amoksisilin,
metronidazole dan tetrasiklin. Kombinasi triple therapy tersebut diberikan 2 kali
dalam sehari selama 7-14 hari. Penelitian membuktikan bahwa terapi eradikasi
Helicobacter pylori dengan Triple therapy (rabeprazole, amoksisilin dan
klaritomisin) selama 7 hari lebih baik daripada terapi selama 5 hari.47 Metronidazol
dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin pada pasien yang mengalami
alergi terhadap antibiotik amoksisilin,.48 Lamanya terapi eradikasi tergantung pada
pola resistensi kuman Helicobacter pylori yang berbeda di setiap negara tertentu.
20
Untuk wilayah Eropa dan Asia Pasifik dianjurkan melakukan terapi eradikasi
kuman selama 7 hari, sedangkan menurut America College of Gastroenterology
(ACG) menganjurkan selama 14 hari.49
Pada gastritis akibat obat-obatan seperti OAINS dan kortikosteroid, penting
untuk mengedukasi pasien agar menghentikan sementara konsumsi obat tersebut,
ataupun bisa diganti dengan obat-obatan yang memiliki efek samping yang lebih
rendah terutama terhadap organ lambung.43
2.2.4.2 Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum atau tukak peptik yaitu suatu defek yang terjadi pada
dinding lambung atau duodenum yang meluas dari muskularis mukosa (batas paling
bawah dari mukosa) sampai lapisan dalam submukosa atau muskularis propia.50
Prevalensi terjadinya ulkus peptikum berbeda-beda tergantung pada kondisi
sosial ekonomi dan demografi penduduk, yang mana laki-laki lebih serig terkena
penyakit ini. Insidensi dan rekurensi penyakit ini sekarang sudah menurun sejak
ditemukannya kuman Helicobacter pylori pada tahun 1982 yang merupakan
penyebab tukak peptik tersering dan dilakukan terapi eradikasi. Penyebab tukak
peptik bisa bermacam-macam, yaitu infeksi Helicobacter pylori yang kronik,
pemakaian OAINS yang lama misalnya aspirin dan ibuprofen, dan kanker pada
lambung, pankreas dan duodenum, meskipun jarang terjadi. Infeksi Helicobacter
pylori merupakan penyebab tukak peptik yang tersering (30-60%), bahkan tukak
duodenum hampir 90% disebabkan oleh kuman tersebut.43
Patofisiologi terjadinya ulkus peptikum berdasarkan etiologinya. Pada
tukak peptik yang disebabkan oleh OAINS dan kortikosteroid, kemungkinan terjadi
akibat obat tersebut menghambat produksi prostaglandin, yang selanjutnya dapat
menyebabkan penurunan produksi mukus, yang mana mukus berfungsi dalam
melindungi mukosa lambung. Pada saat gaster mengalami penurunan produksi
mukus, maka barier pertahanan mukosa lambung juga akan melemah dan
berkurang, lalu dapat mengakibatkan erosi dan kemudian jika erosi berlanjut akan
menjadi ulkus. 44
Secara umum, pasien dengan tukak peptik biasanya mengeluh dispepsia.50
Dispepsia yaitu suatu sindrom klinik/ kumpulan gejala dari beberapa macam
21
penyakit pada saluran cerna, seperti mual, muntah, nyeri ulu hati, rasa begah, rasa
terbakar pada bagian ulu hati dan cepat merasa kenyang. Dispepsia secara klinis
dibagi menjadi tiga macam, yaitu dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia
akibat tukak dan dispepsia tidak spesifik. Pada pasien tukak peptik memberikan
keluhan berupa nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman disertai dengan mual dan muntah.
Pada tukak duodeni, rasa sakit timbul sewaktu pasien merasa lapar, dan rasa sakit
bisa membangunkan pasien pada tengah malam. Rasa sakit bisa hilang setelah
makan dan meminum obat. Berbeda dengan tukak duodeni, rasa nyeri pada pasien
tukak gaster timbul setelah makan, dan rasa sakit tukak gaster berada di sebelah
kiri, sedangkan tukak gaster berada di sebelah kanan garis tengah perut. Tukak/
ulkus jika dibiarkan terlalu lama dapat mengakibatkan perforasi, dan akhirnya dapat
mennyebabkan radang pada selaput peritoneum (peritonitis).43
Pada umumnya tukak peptik hanya didiagnosis melalui keluhan klinis saja.
Namun untuk mencari derajat kerusakan dan agen penyebab, dilakukan
pemeriksaan lanjutan, antara lain yaitu pemeriksaan roentgen dan endoskopi.
Roentgen umumnya sulit untuk menilai erosi, kecuali ulkusnya sudah meluas. Foto
roentgen sering digunakan untuk melihat komplikasi dari ulkus peptikum, seperti
perforasi pada tukak yang kronik. Para dokter sekarang ini lebih menganjurkan
untuk dilakukan endoskopi.51 Kelebihan endoskopi dibandingakn dengan foto
roentgen yaitu endoskopi dapat melihat lesi kecil yang berdiameter kurang dari 0,5
cm. Selain itu endoskopi juga dapat mengambil foto untuk dokumentasi, dan dapat
juga melihat lesi yang ditutupi oleh gumpalan darah dengan penyemprotan.
Radiologi tidak dapat memastikan tukak tersebut parah/tidak, dan juga tidak dapat
menentukan adanya kuman Helicobacter pylori sebagai penyebab tukak.43
Komplikasi pada tukak peptik yaitu jika tidak segera ditangani dapat
menyebabkan perdarahan, perforasi, peritonitis bahkan bisa menyebabkan
kematian. Tata laksana tukak peptik tergantung pada etiologi dan gejala klinis. Pada
tukak peptik yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, Triple therapy
sebaiknya segera diberikan.46 Pada tukak peptik yang diakibatkan oleh konsumsi
NSAIDs dan kortikosteroid, sebaiknya dihentikan atau diganti dengan obat lain
yang lebih aman dan minimal efek samping.43 Pada ulkus yang mengalami
perdarahan aktif, terapi hemostasis sebaiknya dalam bentuk kombinasi, yaitu
22
pemberian epinefrin ditambah dengan modalitas lain, seperti penempatan klim
hemostatik, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi. Injeksi dan penggunaan klim
direkomendasikan karena dapat menurunkan kejadian perdarahan ulang.55 Bedah
diindikasikan jika tukak peptik sering mengalami kekambuhan, atau tukak peptik
yang sudah mengalami komplikasi, seperti perdarahan dan perforasi. Beberapa
jenis operasi yang dapat dilakukan yaitu vagotomi dengan rekonstruksi
gastroduodenal (Billroth I) atau rekonstruksi gastrojejunal (Billroth II), atau bisa
juga vagotomy yang sangat selektif. 52,53
2.3 Inflamasi Dan Kerusakan jaringan Gaster
Setiap makhluk hidup pasti membutuhkan sistem pertahanan tubuh untuk
menghilangkan benda asing yang berada dalam tubuhnya, seperti kuman patogen,
senyawa kimia berbahaya dan sel yang rusak. Oleh karena itu, tubuh memiliki
respon pertahanan tubuh untuk mengeliminasi benda asing yang masuk ke dalam
tubuh yang dinamakan inflamasi. Inflamasi adalah suatu respon protektif yang
ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel
jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Tanpa adanya proses
inflamasi, tubuh yang mengalami infeksi, maka luka tidak pernah sembuh dan
jaringan yang terkena infeksi juga mengalami kerusakan permanen, bahkan
kerusakan bisa meluas.54
Inflamasi adalah suatu respon kompleks dalam jaringan yang terutama
berasal dari respon jaringan pembuluh darah dan leukosit. Reaksi vaskular dan
seluler pada inflamasi dipicu oleh berbagai macam faktor yang diproduksi oleh
berbagai macam jenis sel, atau berasal dari protein plasma yang dihasilkan atau
diaktifkan pada saat rangsangan eksogen ataupun endogen berlangsung. Misalnya
saja mikroorganisme, sel nekrotik, senyawa kimia dari luar tubuh dan hipoksia
dapat memicu reaksi inflamasi.54
Berdasarkan waktunya, inflamasi bisa berbentuk akut ataupun kronik,
tergantung stimulus dari luar dan keefektifan reaksi awal dalam menghilangkan
rangsangan atau kerusakan jaringan. Inflamasi akut adalah suatu respon awal /dini
pada saat terjadi kerusakan jaringan. Inflamasi akut biasanya berlansung singkat,
terjadi sebelum respon imun menjadi tetap, dan ditujukan terutama untuk
23
menghilangkan agen berbahaya. Tanda utama pada saat tubuh mengalami inflamasi
akut yaitu eksudasi cairan dan plasma protein serta emigrasi leukosit, yang
didominasi oleh sel polimormonuklear (neutrophil). Urutan kejadian ekstravasasi
sel radang dari lumen pembuluh darah ke ruang ekstravaskular/ ruang interstitial
yaitu marginasi dan rolling, adhesi dan transmigrasi, kemotaksis dan aktivasi serta
fagositosis dan degranulasi. Marginasi yaitu akumulasi leukosit di tepi pembuluh
darah. Marginasi leukosit disebabkan karena aktifnya sel endotel saat terjadi
inflamasi, yang menyebabkan peningkatan pengeluaran selektin dan ligan selektin.
Rolling leukosit difasilitasi oleh ikatan selektin pada ligan kerbohidrat yang relatif
longgar. Sedangkan adhesi leukosit difasilitasi oleh perubahan integrin terhadap
ligan endotel yang diinduksi kemokin. Selain itu, transmigrasi antarsel endotel
dengan memanfaatkan interaksi PECAM-1 (CD31).54
Secara klinis, inflamasi akut memiliki 5 ciri karakteristik, seperti yang
dikemukakan oleh Celsus, yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (bengkak)
dan dolor (nyeri). Tanda inflamasi yang kelima, yaitu functio laesa (hilangnya
fungsi) baru kemudian ditambahkan oleh Rudolf Virchow sekitar abad ke sembilan
belas.54
Kemerahan dan panas terjadi selama peningkatan aliran darah ke daerah
yang mengalami inflamasi. Bengkak terjadi karena eksudasi cairan plasma ke
interstitial. Nyeri dirasakan karena pengeluaran substansi kimia yang dapat memicu
reseptor nyeri di ujung saraf bebas, sedangkan kehilangan fungsi terjadi karena
kombinasi dari berbagai macam faktor tersebut.54
Inflamasi akut memiliki tiga komponen utama, yaitu perubahan diameter
pembuluh darah yang mengarah ke peningkatan aliran darah, perubahan sruktural
pada vaskular yang memungkinkan protein plasma dan leukosit keluar dari aliran
darah, juga emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan berakumulasi ke daerah yang
mengalami cedera dan aktivasi mereka untuk menghilangkan agen yang
berbahaya.54
Peran mediator inflamasi baru diketahui setelah Sir Thomas Lewis
melakukan percobaan sederhana pada tahun 1927. Eksperimen sederhana yang
dilakukan yaitu dengan memukul lengan bawahnya dengan kuat dengan benda
tumpul seperti pensil dan menimbulkan tiga respon, yaitu dalam satu menit pertama
24
muncul garis merah di sepanjang garis pukulan sebagai akibat dari pelebaran
arteriol, kapiler dan venula di lokasi yang mengalami cedera. Kedua yaitu secara
bersamaan warna merah menyala muncul sebagai akibat dari vasodilatasi pada
jaringan yang mengelilingi daerah yang mengalami cedera. Ketiga yaitu muncul
Wheal, yaitu suatu papul atau plak edemantosa yang merupakan eksudasi cairan
plasma di sepanjang garis cedera. Lewis kemudian mendemonstrasikan bahwa
injeksi lokal histamin dan menunjukkan bahwa setelah injeksi tersebut kulit
menjadi kemerahan dan muncul, dan sama dengan hasil penelitian sebelumnya.
Dari penemuan ini dijadikan landasan dasar dalam memahami peran mediator
kimiawi dalam proses terjadinya inflamasi akut.55
Mediator inflamasi berdasarkan asalnya dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
yang berasal dari sel dan dari plasma protein. Mediator yang berasal dari sel
mencakup vasoaktif amin (histamin dan serotonin), metabolit asam arakhidonat
yang dihasilkan karena enzim siklooksigenase (prostaglandin dan leukotriene),
metabolit sel (ROS/ Reactive Oxygen Species, NO/ Nitrit Oksida, sitokin
proinflamasi) dan kemokin. Sedangkan mediator yang berasal dari protein plasma
yaitu produk komplemen, dan aktivasi faktor Hageman yang meliputi sistem
pembekuan/ fibrinolitik pasa darah dan sistem kinin kalikrein.54,56 Adapun
komponen dalam respon inflamasi dapat dilihat pada gambar 2.7.
Meskipun terdapat banyak variabel yang dapat mempengaruhi proses dasar
inflamasi, termasuk sifat dan intensitas cedera, lokasi dan jaringan yang terkena,
dan respon dari host semua reaksi inflamasi akut dapat memberikan hasil diantara
atau sekaligus dari 3 hal berikut, yaitu resolusi sempurna, penyembuhan dengan
jaringan ikat dan perkembangan menjadi inflamasi kronik.54
Respon inflamasi sangat terkait dengan proses penyembuhan jaringan. Pada
saat yang sama, inflamasi dapat menghancurkan, mencairkan atau menetralkan
agen yang berbahaya, dan saat itu juga terjadi serangkaian proses dalam
penyembuhan jaringan. Proses penyembuhan jaringan meliputi regenerasi sel
parenkimal, dan pembentukan jaringan parut, atau bisa keduanya.54
Pada proses penyembuhan dengan fibrosis, biasanya terjadi pada jaringan
yang mengalami kerusakan jaringan yang cukup luas, atau ketika cedera yang
melibatkan organ yang tidak mampu beregenerasi, dan juga pada jaringan yang
25
banyak sekali terdapat fibrin dan kavitas serosa (perikardium, pleura,
peritoneum).54 Jenis dan fungsi dari berbagai jenis mediator inflamasi dapat dilihat
pada tabel 2.1
Ketika inflamasi akut berhasil menghilangkan agen penyebab kerusakan
jaringan, maka dapat berlanjut ke proses penyembuhan. Namun jika reaksi
inflamasi akut gagal dapat berlanjut menjadi fase kronik. Inflamasi kronik
berlangsung lama, dan biasanya ditandai dengan kehadiran limfosit dan makrofag,
proliferasi pembuluh darah, fibrosis luas dan kerusakan jaringan. Contohnya pada
infeksi pneumonia awal di paru, bakteri dapat membentuk suatu fokus lesi, namun
jika infeksi dibiarkan begitu saja atau pengobatan yang tidak adekuat karena sebab
tertentu dapat mengakibatkan terbentuknya abses paru. Contoh yang lain yaitu
penyakit gastritis pada organ lambung, yang mana karena sebab tertentu, inflamasi
pada lambung dapat berubah menjadi kronik yaitu menjadi tukak peptik/ ulkus
peptikum.54
Inflamasi mungkin dapat menjadi berbahaya pada keadaan tertentu. Ketika
peradangan tidak diarahkan dengan tepat, misalnya terhadap jaringan tubuh yang
normal maka dapat menyebabkan cedera atau penyakit. Bahkan dalam ilmu
kedokteran klinis memberikan perhatian besar terhadap penyakit yang diakibatkan
oleh inflamasi ini, misalnya pada penyakit rheumatoid arthritis, aterosklerosis dan
fibrosis paru. Terdapat juga suatu respon imun yang salah dan dapat merusak
jaringan sendiri, yang dinamakan dengan reaksi autoimun. Misalnya pada penyakit
lupus, sindrom sjrogen dan penyakit imun lain, yang mana sistem kekebalan tubuh
salah dalam mengenali agen yang berbahaya, dan menganggap jaringan tubuh
sendiri merupakan jaringan yang asing, sehingga sistem imun tersebut menyerang
jaringan tubuh sendiri. Akibatnya terjadi kerusakan di berbagai organ tubuh
tergantung penyakitnya.54
Pola jenis inflamasi memiliki bentuk yang bermacam-macam, yaitu
diantaranya inflamasi serosa pada beberapa penyakit kulit, inflamasi fibrinosa pada
kavitas tubuh seperti pericarditis, pleuritis, meningitis dan peritonitis, inflamasi
supuratif/ purulen (abses), serta ulkus. Sedangkan pada infeksi kronik seperti TB
paru, lepra dan sifilis memiliki pola inflamasi granulomatosa.54
26
Tabel 2.1 Mediator inflamasi dan aksi
Mediator inflamasi Sumber utama Aksi
Berasal dari sel
Histamin Sel mast, basophil, platelet Vasodilatasi, ↑ permeabilitas
vaskular, aktivasi sel endotel
Serotonin Platelet Vasodilatasi, ↑ permeabilitas
vaskular
Prostaglandin Sel mast, leukosit Vasodilatasi, nyeri, demam
Leukotrien Sel mast, leukosit ↑ permeabilitas vaskular,
kemotaksis, adhesi dan
aktivasi leukosit
PAF (Platelet-actvating
factor)
Sel mast, leukosit Vasodilatasi, ↑ permeabilitas
vaskular, adhesi leukosit,
kemotaksis, degranulasi,
oksidasi
ROS (Reactive Oxygen
Species)
Leukosit Membunuh mikroba,
kerusakan jaringan
NO/ Nitrit Oksida Endotel, makrofag Relaksasi otot polos vascular,
membunuh mikroba
Sitokin (TNF, IL-1) Makrofag, sel endotel, sel mast Aktivasi lokal sel endotel,
demam/ nyeri/ anorexia/
hipotensi, penurunan
resistensi vaskular (syok)
Kemokin Leukosit, makrofag yang
teraktivasi
Kemotaksis, aktivasi leukosit
Berasal dari plasma protein
Produk komplemen
(C5a, C3a, C4a)
Plasma (diproduksi oleh hepar) Aktivasi dan kemotaksis
leukosit, vasodilatasi
(stimulasi sel mast), ↑
permeabilitas vaskular,
kontraksi otot polos,
vasodilatasi, nyeri, aktivasi
sel endotel, rekruitmen
leukosit
Kinin (Bradikinin) Plasma (diproduksi oleh hepar)
Protease yang
terkaktivasi selama
koagulasi.
Plasma (diproduksi oleh hepar)
Sumber: Kumar et al (2010)
Gambar 2.7. Komponen respon inflamasi akut dan kronik serta fungsi utama.
Sumber: Kumar et al (2010)
27
Pada penyakit organ gaster terkait proses inflamasi, misalnya pada penyakit
gastritis jika tidak ditangani segera dan diabaikan dapat berkembang menjadi
penyakit gastritis kronis, atau bisa disebut pula dengan penyakit ulkus peptikum.
Bergantung dengan derajat keparahannya, pada ulkus peptikum memiliki gambaran
mikroskopik yang bervariasi, mulai dari deskuamasi sampai erosi epitel dari
muskularis mukosa sampai muskularis propia. Bahkan jika ulkus peptikum jika
tidak segera ditangani dapat menyebabkan perforasi gaster, yaitu hilangnya lapisan
dari mukosa epitel lambung sampai lapisan serosa, dan menyebabkan keluarnya
cairan asam lambung ke dalam rongga peritoneum dan bisa berkembang menjadi
peritonitis. Peritonitis yang tidak ditangani dapat menyebabkan kematian akibat
asam lambung yang merusak organ lain.54
Pada suatu organ, misalnya pada organ gaster, jika terpapar dengan suatu
zat, misalnya bahan kimia, obat-obatan baik itu obat konvensional maupun obat
herbal, maupun antigen tertentu akan memberikan salah satu efek berikut, yaitu
efek terapeutik, efek toksik maupun efek nontoksik. Pada pemberian obat herbal,
dengan dosis dan waktu yang tepat dapat memberikan efek terapeutik pada organ
gaster. Organ gaster jika terpapar dengan suatu zat yang berbahaya dapat
menimbulkan inflamasi. Tergantung waktunya, inflamasi dapat akut maupun
kronik. Misalnya saja pada penyakit pada organ gaster yang terkait inflamasi akut
yaitu gastritis. Penyakit gastritis akut memiliki gambaran mikroskopik berupa
edema sedang pada lamina propia, dan terdapat sel radang (neutrophil) di sepanjang
sel epitel atau didalam kelenjar mukosa. Epitel permukaan masih intak dan tidak
terdapat kerusakan pada mukosa gaster.54
2.4 Ovalbumin
Ovalbumin merupakan salah satu protein utama yang terdapat dalam
kandungan putih telur. Pada putih telur terdapat kandungan 9,7% sampai 12%
protein. Beberapa jenis protein albumin yang terdapat dalam kandungan putih telur
yaitu ovalbumin, conalbumin, ovomucoid, ovomucin dan globulin. Pada
kandungan putih telur, jenis protein dengan kandungan tertinggi yaitu ovalbumin,
(dengan berat kering 54% dari total protein yang terkandung pada putih telur).
Terdapat tiga jenis fraksi dalam ovalbumin, yaitu ovalbumin A1, A2, dan A3 yang
28
dideteksi menggunakan gel elektroforesis. Ovalbumin mengandung 4 gugus
sulfihidril bebas dan gugus disulfida. Protein ovalbumin dapat didenaturasi dengan
paparan panas, absorpsi permukaan, atau menggunakan beberapa agen
pendenaturasi.57
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ovalbumin digunakan dalam
penelitian mengenai alergi. Penelitian membuktikan bahwa pemberian sensitisasi
ovalbumin 323-339 (OVA 323-339) secara intraperitoneal pada hari ke 0, 7, 14
yang kemudian distimulasi (challenge) dengan 1% OVA 323-339 intranasal pada
hari 21-23 pada mencit Balb/c menunjukkan peningkatan serum igE spesifik-OVA,
igE spesifik-OVA 323-339, IL-4 dan penurunan IFN-γ.58
Penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian ovalbumin (OVA) dengan
aluminium hidoksida (alum) yang diberikan secara intraperitoneal (ip) satu kali
seminggu untuk dua minggu dapat menghasilkan sensitisasi yang paling efektif
pada mencit Balb/c yang diinduksi asma.59
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa setelah mencit Balb/c dilakukan
sensitisasi dengan 100 mg OVA dalam 1 mg aluminium hidroksida (alum) dua kali
sehari pada hari ke-1 dan ke-8, dan distimulasi dengan ovalbumin aerosol (dalam
1% PBS) 30 menit perhari selama 7 hari, ternyata menunjukkan reaksi
hipersensitivitas pada saluran pernafasan, meliputi peningkatan serum igE,
peningkatan ekspresi IL-25 yang merupakan sitokin proinflamasi, dan inflamasi
saluran pernafasan.60
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa setelah mencit strain Balb/c
dilakukan sensitisasi dan diinduksi (challenge) dengan ovalbumin selama lebih dari
25 hari ternya meningkatkan jumlah sel mesenkimal stromal, dan diyakini bahwa
sel mesenkimal stromal bertanggung jawab terhadap pathogenesis asma.61
Secara farmakologi, pemberian obat yang yang secara inhalasi (dalam
bentuk aerosol), secara klinis sekitar 10%-20% akan masuk ke dalam saluran
pernafasan, dan 80%-90% sisanya akan tertelan dan diabsorbsi pada saluran
pencernaan, yang kemudian akan masuk ke sistem sirkulasi dan di metabolisme
lintas pertama dan menimbulkan berbagai macam efek pada tubuh. 62 Oleh karena
29
itu, pemberian ovalbumin secara inhalasi juga kemungkinan besar bisa masuk ke
saluran pencernaan.
2.5 Asma
Asma merupakan salah satu penyakit obstruksi saluran pernapasan bawah
akut. Asma merupakan penyakit yang terjadi akibat inflamasi kronis pada saluran
pernapasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif, keterbatasan aliran udara
yang reversibel dan penyakit keturunan. Asma juga ditandai dengan peningkatan
respon saluran pernapasan dengan stimulus fisiologis dan lingkungan seperti
aktivitas fisik, udara dingin dan debu.43
Pasien dengan asma dapat memiliki gejala episode berulang dari wheezhing,
sesak napas, dada terasa sesak dan batuk terutama pada malam atau awal pagi hari.
Pada penyakit asma dipicu oleh hiperesponsif saluran pernapasan yang kemudian
menjadi obstruksi dan keterbatasan aliran udara oleh bronkokonstriksi, mucus
plugs, peningkatan inflamasi ketika saluran pernapasan terpapar dengan berbagai
macam faktor resiko yang menyebabkan penyakit asma. Asma merupakan salah
satu penyakit kronis yang sering terjadi pada sekitar 300 juta jiwa. Prevalensi asma
di negara maju meningkat sejak 30 tahun yang lalu, namun sekarang nampaknya
stabil dengan presentase sekitar 10-12% dewasa dan 15% anak-anak.43
Faktor resiko tersering gejala asma termasuk paparan dengan alergen seperti
(tungau debu rumah, serbuk sari, kecoa, kotoran hewan), iritasi pekerjaan, asap
tembakau, infeksi respirasi (virus), aktivitas fisik, ekspresi emosi, iritasi bahan
kimia dan obat-obatan (aspirin dan beta-blocker). Faktor resiko yang terlibat dalam
penyakit asma dibagi menjadi faktor endogen dan faktor lingkungan. Faktor
endogen seperti predisposisi genetik, atopi, hiperesponsif saluran pernapasan, jenis
kelamin dan etnis (suku/ras). Sedangkan faktor lingkungan seperti semua jenis
alergen baik itu didalam maupun diluar ruangan, merokok pasif, infeksi pernapasan,
sensitizer pekerjaan dan kegemukan.43
Pemicu yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh
karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Pada pasien
asma yang terpapar dengan alergen dapat memicu terjadinya bronkokonstriksi
akibat dari mediator inflamasi yang diakibatkan pelepasan igE-dependent yang
30
berinteraksi dengan sel mast seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien
sehingga akan terjadi kontraksi otot polos, yang nantinya dapat menyebabkan
menyempitnya (restriksi) saluran pernapasan kdan kemudian berkembang menjadi
penyakit asma.43
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera cepat
didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Umumnya pada orang dengan asma
didapatkan penggunaan otot bantu napas, suara mengi (wheezing) saat ekspirasi
serta pernapasan cuping hidung. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
yaitu pulse oksimetri dan bahkan bisa melakukan pemeriksaan analisa gas darah
(AGD) arteri jika memang diperlukan.43
Target penatalaksanaan asma meliputi beberapa hal, yaitu oksigenasi
adekuat, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan memberikan
bronkodilator inhalasi kerja cepat (β2- agonis dan antikolinergik) dan mengurangi
inflamasi pada saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik lebih awal.43
31
2.6 Kerangka teori
Sensitisasi Alum-OVA
secara ip
Peningkatan
permeabilitas
vaskular
Oleuropein dan
hydroxytyrosol
Migrasi PMN (sel
radang)
Pemberian ekstrak ekstrak ethanol
96% daun zaitun (Olea europaea L.)
pada gaster mencit Balb/c
Induksi dengan
inhalasi ovalbumin
Peningkatan titer
antibodi igE
spesifik-OVA
Pajanan antigen kedua
Antibodi igE terdeposit
di peritoneum
Aktivasi komplemen
Peningkatan
pembentukan
anafilatoksin (C3a dan
C5a)
Pembentukan
antibodi igE
spesifik-OVA
Stimulasi kemotaksis
PMN (sel radang)
Rekrutmen sel radang
(neutrophil, eosinophil,
makrofag)
(Th2)
Antibodi terikat
ke FcɛIII pada sel
mast/ basofil
Rekrutmen sel
radang
(neutrophil,
eosinophil,
makrofag)
(Th2)
Pembentukan
vasoaktif amin dan
sitokin proinflamasi
IL-1β
TNF-α
IFN-γ
PGE2 dan NO
Vasodilatasi
vaskular
Histamin
Opsonisasi
Keterangan
: Menghambat
: Mengaktifkan
Rekrutmen sel radang
(neutrophil, eosinophil,
makrofag)
(Th2)
Apigenin
Respon klinis
flavonoid
Inflamasi Organ pernafasan
Gastritis
Organ gaster
Asma
Gastritis berlanjut ke
fase kronik Ulkus peptikum
Peningkatan pembentukan
enzim perusak sel (enzim
lisosom, termasuk protease)
Peningkatan pembentukan
radikal bebas, ROS
Efektifitas Toksisitas
Penilaian efek
samping ke
organ gaster
32
2.7 Kerangka Konsep
Ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) peroral
Mencit Balb/c Asma
Efek toksik Efek non toksik
Inhalasi
Ovalbumin
Pengamatan efek samping
pada organ gaster
Penilaian kerusakan mukosa gaster
melalui gambaran histopatologi
jaringan gaster dengan pewarnaan HE
Efek farmakologis
33
2.8 Definisi Operasional
Untuk memudahkan peneliti agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka
dibuatlah definisi operasional seperti yang tertera pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Skala Pengukuran
Kerusakan
mukosa epitel
gaster
Kerusakan mukosa epitel gaster
yang di maksud adalah menilai
kerusakan mukosa gaster secara
mikroskopik, baik meliputi erosi
(gap 1-10 epitel/ lesi), ulserasi (gap
> 10 epitel/ lesi) sampai perforasi
(hilangsnya seluruh lapisan organ
gaster dari lapisan mukosa sampai
serosa dan menyebabkan organ
gaster berlubang) pada jaringan
gaster mencit Balb/c
Numerik Persentase
(%)
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. Penelitian ini
menggunakan mencit strain Balb/c yang diinduksi asma menggunakan inhalasi
ovalbumin. Terdapat 5 kelompok perlakuan, yaitu 1 kelompok kontrol negatif
(normal) dan 4 kelompok perlakuan. Terdapat 2 macam dosis pemberian ekstrak
daun zaitun, yaitu pemberian 100 mg/kgBB/hari dan 200 mg/kgBB/hari yang
diberikan secara peroral selama 7 hari. Pada kelompok 1 dan 2 (P1 dan P2)
dilakukan sensitisasi dengan memberikan Alum-Ova 50 µg/ml secara
intraperitoneal (ip) yang kemudian diinduksi dengan inhalasi ovalbumin dengan
konsentrasi 2% dan 5% untuk membuat inflamasi pada organ gaster mencit,
kemudian diberikan ekstrak daun zaitun dengan dosis masing-masing 100
mg/kgBB dan 200 mg/kgBB secara peroral. Sedangkan kelompok 3 dan 4 (P3 dan
P4) diberikan ekstrak daun zaitun dengan dosis masing-masing 100 mg/kgBB dan
200 mg/kgBB secara peroral dan inhalasi dengan konsentrasi 0,2%, serta diberikan
ekstrak daun zaitun dengan dosis 50 mg/kgBB secara intraperitoneal (ip). Hasil
pengamatan dinilai melalui gambaran mikroskopik gaster mencit Balb/c, apakah
terdapat efek samping/ gejala toksisitas pemberian ekstrak daun zaitun baik pada
mencit Balb/c yang diinduksi ovalbumin maupun yang tidak diinduksi melalui
penilaian kerusakan mukosa gaster.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama kurang lebih 11 bulan (Oktober 2015 – Agustus
2016). Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba dilakukan di Animal House
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses nekropsi dan inhalasi ovalbumin terhadap hewan coba dilakukan di
Laboratorium Farmakologi FKIK UIN Jakarta, sedangkan pembuatan preparat
gaster dilakukan di laboratorium histologi FKUI. Pengamatan dan dokumentasi
gambaran mikroskopik gaster mecit Balb/c dilakukan di Laboratorium Histologi
FKIK UIN Jakarta.
35
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit strain Balb/c
yang diperoleh dan diverifikasi sebelumnya dari Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Terdapat 5 kelompok pada penelitian ini, yaitu di jelaskan dalam tabel 3.1
Tabel 3.1 Kelompok perlakuan
No Nama kelompok Perlakuan
1 K PBS (phosphate buffered saline) intraperitoneal (ip)
+ PBS peroral + PBS inhalasi
2 P1 Aluminium hidroksida-Ovalbumin (alum-ova) 50
µg/kgBB/hari intraperitoneal (ip) + ekstrak daun
zaitun 100 mg/kgbb/hari peroral dan + Ovalbumin
inhalasi 2% dan 5%
3 P2 Aluminium hidroksida-Ovalbumin (alum-ova) 50
µg/kgBB/hari intraperitoneal (ip) + ekstrak daun
zaitun 200 mg/kgbb/hari peroral dan + Ovalbumin
inhalasi 2% dan 5%
4 P3 Ekstrak daun zaitun 50 mg/kgbb/ hari
intraperitoneal (ip) + ekstrak daun zaitun 100
mg/kgbb peroral + ekstrak daun zaitun inhalasi 0,2%
5 P4 Ekstrak daun zaitun 50 mg/kgbb/ hari
intraperitoneal (ip) + ekstrak daun zaitun 200
mg/kgbb peroral + ekstrak daun zaitun inhalasi 0,2%
Adapun dalam penentuan jumlah sampel pada setiap kelompok penelitian,
menggunakan rumus Mead,63 yaitu E = N-B-T dan diperoleh hasil = 15≤ n ≤ 25.
Artinya, berdasarkan perhitungan rumus mead, jumlah sampel total yang
dibutuhkan dalam penelitian ini diantara 15-25, sehingga jumlah sampel minimal
yang dibutuhkan setiap kelompok yaitu 3 sampel. Hal tersebut sesuai pada
penelitian ini yaitu di setiap kelompok perlakuan terdapat 3 sampel penelitian.
Namun pada setiap kelompok perlakuan ditambahkan 2 ekor mencit dikarenakan
selama riset berlangsung dikhawatirkan terdapat mencit yang mati selama
penelitian. Sehingga total sampel pada penelitian ini yaitu berjumlah 25 ekor, dan
masing-masing kelompok terdapat lima ekor mencit, namun hanya tiga ekor mencit
yang diamati pada pemeriksaan histopatologis. Perhitungan rumus Mead secara
lengkap di sajikan pada lampiran.
36
Perlakuan setiap kelompok diberi rentang satu hari, agar memudahkan
peneliti dalam pengambilan sampel.
3.3.1 Kriteria Sampel
3.3.1.1 Kriteria Inklusi
a. Mencit strain Balb/c
b. Tingkah laku dan aktivitas mencit normal
c. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak sebelum perlakuan
d. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok atau botak
3.3.1.2 Kriteria Eksklusi
a. Mencit tampak sakit (drop out) selama riset berlangsung
b. Mencit mati selama riset berlangsung
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun
(Olea europaea L.) secara peroral
3.4.2 Variabel Tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah gambaran mikroskopik gaster
mencit strain Balb/c
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu meliputi: kandang mencit,
tempat makanan dan minuman mencit, Perlengkapan kebersihan, Neraca analitik,
Alat bedah minor, Lampu penerang, sonde, spuit 1 ml, gelas ukur, gunting, label,
alat nebulisasi, kulkas -80ºc, kandang kaca tempat inhalasi, lakban, cutter, kapas,
Alat alat gelas ukur, sekam (bedding), lemari pendingin, plastik obat, stopwatch
dan mikroskop.
37
3.5.2 Bahan Penelitian
Bahan- bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu antara lain: ekstrak
ethanol 96% daun zaitun (Olea europaea L.), mencit strain Balb/c, makanan dan
minuman mencit, albumin dengan konsentrasi 2% dan 5%.
Pembuatan ekstrak daun zaitun dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik (Balitro), Bogor, Jawa Barat.
3.6 Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari hasil pengamatan terhadap gambaran histopatologi organ gaster, baik
terhadap kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Data yang diperoleh
berupa data kuantitatif berupa persentase kerusakan mukosa epitel gaster mencit
Balb/c pada berbagai kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Determinasi Daun Zaitun (Olea europaea L.)
Bahan yang digunakan adalah pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun
(Olea europaea L.). Sebelum dilakukan penelitian, tumbuhan terlebih dahulu
dideterminasi untuk mengidentifikasi kandungan dalam ekstrak daun zaitun.
Determinasi dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Kebun
Raya Bogor.
3.7.2 Aklimatisasi
Sebelum mencit mendapatkan perlakuan penelitian, mencit terlebih dahulu
mengalami masa adaptasi di Animal house Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mencit diaklimatisasikan sejak
mulai kedatangannya di Animal house sampai 3 minggu (hari ke-21). Mencit
diaklimatisasikan terhadap tempat tinggal barunya, agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Penelitian menunjukkan bahwa waktu minimum yang
dibutuhkan mencit untuk beradaptasi pada lingkungan baru yaitu sekitasr 3 hari.64
Semua mencit diberi perlakuan yang sama, baik itu dalam pemberian makanan,
minuman dan kandang tempat tinggal minimum selama 7 hari secara ad libitum.65
38
Pengaklimatisasian pada mencit ini bertujuan agar semua mencit tidak mengalami
stress yang akhirnya dapat mengganggu hasil penelitian. Selain itu periode
pengadaptasian mencit juga berguna untuk mengembalikan kondisi homeostasis
tubuh.65
3.7.3 Sensitisasi
Setelah mencit Balb/c melewati masa adaptasi selama kurang lebih tiga
minggu, mencit pada kelompok P1 dan P2 kemudian diberikan adjuvan dan
dilakukan sensitisasi dengan menggunakan Aluminium Hidroksida-Ovalbumin
(alum-Ova) dengan dosis 50 µg/kgBB secara intraperitoneal (ip) untuk membuat
asma. Kemudian mencit diinduksi dengan Ovalbumin inhalasi sebanyak 3 kali,
yaitu, pemberian dengan konsentrasi 2% selama 2 hari, dan konsentrasi 5% sekali
pada hari berikutnya. Dengan dilakukan sensitisasi diharapkan mencit mengalami
reaksi hipersensitivitas dan membuat inflamasi mencit ketika distimulasi dengan
alergen yang sesuai, diantaranya adalah organ pernafasan untuk membuat asma
pada mencit ketika dilakukan pemberian ovalbumin secara inhalasi. Penelitian
menunjukkan bahwa penambahan adjuvant dilakukan agar meningkatkan respon
fenotip sel Th2 saat terpapar dengan antigen, sehingga ketika dilakukan induksi
muncul reaksi hipersensitivitas yang kemudian memicu terjadinya reaksi
inflamasi.66
3.7.4 Pemberian Ekstrak Daun Zaitun pada Mencit
Setelah mencit melewati masa aklimatisasi dan dilakukan sensitisasi
menggunakan aluminium hidroksida-ovalbumin (Alum-OVA) secara
intraperitoneal, mencit kelompok P1 dan P2 kemudian diberikan ekstrak daun
zaitun (Olea europaea L.) dengan dosis masing-masing 100 mg/kgbb/hari dan 200
mg/kgbb/hari secara peroral. Pada kelompok P3 dan P4 yang tanpa diinduksi
ovalbumin, sebelum diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) dengan dosis
masing-masing sebesar 100 mg/kgbb/hari dan 200 mg/kgbb/hari secara peroral
melalui sonde lambung, terlebih dahulu mencit diberikan ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) secara intraperitoneal dengan dosis 50 mg/kgbb/hari selama 2 kali.
39
Setelah diberikan ekstrak daun zaitun peroral, kelompok P3 dan P4 diberikan
inhalasi ekstrak daun zaitun 0,2% 5 ml selama 3 hari.
3.7.5 Induksi (Challenge) Ovalbumin pada Mencit
Pada kelompok K/ kontrol negatif (normal), tidak diberikan ovalbumin
inhalasi, melainkan diberikan PBS intraperitoneal, PBS peroral dan PBS inhalasi.
Sedangkan pada kelompok perlakuan 1 dan 2 (P1 dan P2) setelah mencit
diberikan ekstrak daun zaitun dengan dosis masing-masing 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB selama 7 hari berturut-turut, kemudian mencit diinduksi dengan
ovalbumin inhalasi 2% sebanyak 2 kali dan 5% sebanyak 1 kali pada kandang
tertutup selama 3 hari. Pada hari pertama dan kedua mencit diinduksi dengan
ovalbumin dengan konsentrasi 2% selama 20 menit. Pada hari ke-3 mencit
diinduksi dengan ovalbumin konsentrasi 5% selama 30 menit. Perlakuan tersebut
dilakukan untuk memastikan bahwa mencit benar-benar sudah terinduksi dengan
baik, sehingga nanti hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mencit
mengalami reaksi hipersensitivitas yang nantinya dapat menyebabkan inflamasi
dan kerusakan jaringan pada organ target, dalam hal ini yaitu organ pernafasan yang
dibuat asma.3
Pada kelompok P3 dan P4, mencit tidak diinduksi ovalbumin, melainkan
hanya diberikan ekstrak daun zaitun saja baik itu melalui peroral, inhalasi maupun
seara intraperitoneal.
40
3.7.6 Nekropsi dan Pengambilan Jaringan Gaster
Setelah mencit diberi ekstrak daun zaitun selama 7 hari, sebelum mencit
dilakukan sacrifice (nekropsi = pembedahan dan pengambilan organ) untuk
mengambil jaringan lambung /gaster, mencit terlebih dahulu dipuasakan/ tidak
diberi makanan selama kurang lebih 1 hari (±24 jam) sebelumnya dan hanya
diberikan air minum. Hal ini dilakukan agar organ mencit dalam keadaan bersih
dan tidak terlalu banyak hasil pencernaan pada organ gastrointestinal sehingga
nantinya tidak mengganggu hasil sediaan histopatologi organ gaster mencit.
Proses pengambilan jaringan gaster yang nantinya dibuat sediaan
histopatologinya dimulai dari membuat mencit tidak bergerak dulu, yaitu dengan
memberikan larutan eter 95% yang diteteskan pada kapas di dalam toples kedap
udara. Setelah mencit mulai tidak bergerak akibat menghirup gas etanol di dalam
toples, kemudian mencit diambil dari toples dan kemudian ditaruh di wadah tempat
nekropsi sambil difiksasi dengan cara semua kakinya ditusuk dengan peniti. Setelah
itu, mencit kemudian dinekropsi dan dieksplorasi baik bagian toraks maupun
abdomennya, karena penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan organ
lain. Pembedahan menggunakan alat bedah minor set yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Sebelum pengambilan jaringan, terlebih dahulu harus mengidentiikasi
organ gaster pada mencit, dikarenakan organ pencernaan mencit yang kecil,
sehingga cukup sulit untuk membedakan berbagai macam organ pencernaan yang
ada pada mencit. Setelah organ mencit teridentifikasi, segera diambil organ
lambung/gasternya. Begitu didapatkan organ gaster, lalu dipotong pada bagian
kurvatura mayor dan dibersihkan bagian dalamnya menggunakan Phosphat Buffer
Saline untuk memastikan tidak ada sisa pencernaan.41
Kemudian organ gaster yang sudah diinsisi kemudian dimasukkan ke
plastik obat yang sebelumnya sudah diisi dengan larutan formalin 10% sebanyak 3
ml. Lalu plastik obat yang berisi organ tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
lemari pendingin bersuhu 40-80C.
41
3.7.7 Pembuatan Preparat Histopatologi dan Pewarnaan dengan
Hematoksilin-Eosin (HE)67
3.7.7.1 Fiksasi
Proses fiksasi bertujuan untuk mengeraskan jaringan, terutama jaringan
yang lunak agar memudahkan dalam pembuatan irisan yang tipis pada sediaan
preparat. Selain itu juga bertujuan untuk mengawetkan dan mempertahankan
susunan jaringan agar mendekati kondisi sewaktu masih hidup. Pada proses fiksasi,
volume cairan fiksasi sekurang-kurangnya harus 15-20 kali volume jaringan yang
nantinya difiksasi. Jenis cairan fiksasi yang digunakan juga bermacam-macam
sesuai keperluan yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu Micro-anatomical fixation,
Cytological fixatives dan dan histochemial fixatives. Namun larutan yang sering
digunakan yaitu larutan formalin 10% yang tergolong dalam kelompok Micro-
anatomical fixation, dikarenakan mudah didapat dan harganya pun terjangkau.
Cairan fiksatif formalin nantinya dapat mengawetkan struktur halus dengan baik,
misalnya phospholipid bilayer dan beberapa enzim. Untuk mendapatkan hasil
terbaik, jaringan harus didinginkan sampai 40 C dalam lemari pendingin
(refrigerator).67
3.7.7.2 Dehidrasi
Proses dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat
dalam jaringan yang telah difiksasi, sehingga jaringan nantinya dapat diisi dengan
parafin atau zat lainnya yang nantinya digunakan untuk membuat blok preparat.
Proses dehidrasi dimulai dengan memasukkan jaringan ke dalam larutan alkohol
dengan konsentrasi yang semakin meningkat, yaitu antara larutan alkohol 30%
sampai alkohol absolut (100%) sebanyak 6-10 kali pengenceran. Setelah dilakukan
pengenceran alkohol sesuai konsentrasi yang dibutuhkan, masing-masing alkohol
dengan konsentrasi tertentu dituangkan kedalam 3 buah pot plastik sebanyak
setengah volume pot, lalu diberi label I, II, dan III untuk menandakan urutan
perlakuan. Jaringan dalam formalin 10% dengan PBS dikeluarkan untuk memulai
proses dehidrasi, kemudian dimasukkan kedalam pot plastik dengan label I, II, dan
III secara berurutan dari alkohol konsentrasi terendah hingga tertinggi. Jaringan
kemudian didiamkan selama kurang lebih 20 menit pada masing-masing pot.67
42
3.7.7.3 Clearing
Clearing adalah suatu tahap untuk mengeluarkan alkohol dalam jaringan,
sehinggan nanti bisa diganti dengan larutan yang dapat berikatan dengan parafin.
Untuk membuat blok jaringan menggunakan parafin, sebelumnya harus
dikeluarkan terlebih dahulu alkoholnya, karena jika masih terdapat alkohol sedikit
saja di dalam jaringan, maka parafin tidak bias masuk ke dalam jaringan, sehingga
jaringan menjadi sulit untuk dipotong dengan mikrotom. Alkohol dan parafin tidak
bisa saling melarutkan. Bahan yang digunakan yaitu toluol-alkohol 1:1, dan toluol
murni. Pertama jaringan yang sudah melewati proses dehidrasi dimasukan kedalam
wadah kaca bertutup yang berisi campuran toluol-alkohol 1:1 untuk direndam
selama 25 menit. Setelah itu, jaringan direndam kembali pada wadah yang berisi
toluol selam 1 jam.67
3.7.7.4 Embedding
Embedding (pembenaman/ impregnasi) adalah suatu proses untuk
mengeluarkan cairan pembening (clearing agent) dari jaringan dan diganti dengan
parafin. Tahap ini juga penting, karena jika sisa cairan pembening masih terdapat
di dalam jaringan, maka sisa cairan pembening dapat mengkristal sewaktu dipotong
dengan mikrotom dan menyebabkan jaringan menjadi mudah robek. Bahan yang
digunakan adalah campuran toluol-paraffin 1:1 dan parafin cair. Toluol-parafin 1:1
yang sudah disiapkan dalam 5 wadah kaca dicairkan terlebih dahulu, lalu jaringan
dimasukkan kedalam toluol-parafin 1:1 dan didiamkan semalaman. Keesokan
harinya, wadah dipanaskan kembali untuk mencairkan toluol-parafin 1:1 yang
berisi jaringan. Parafin cair dituang kedalam 4 wadah kaca yang diberi label I, II,
III, dan IV untuk menandakan urutan perlakuan. Jaringan kemudian dimasukkan
kedalam paraffin cair secara berurutan dari gelas I, II, III, hingga ke IV, masing-
masing selama 15 menit. Perendaman kedalam parafin cair harus dilakukan didalam
inkubator dengan suhu 62o C untuk menjaga parafin tetap dalam keadaan cair.67
43
3.7.7.5 Blocking
Blocking adalah suatu proses pembuatan blok preparat menggunakan
parafin atau zat lain agar dapat dipotong dengan mikrotom. Untuk membuat blok
preparat dilakukan dengan cara yang lebih baru, yaitu menggunakan cetakan dari
plastik, piringan logam (embedding cassette) dan parafin cair. Dengan cara ini
histoplate dari plastik diletakkan di atas piringan logam (seperti cetakan membuat
es batu). Tuangkan sedikit cairan parafin ke dalam cetakan tersebut. Secepatnya
masukkan jaringan dengan menggunakan pinset yang telah dipanaskan (agar
parafin tak beku) dan diatur posisinya di dalam cetakan. Parafin cair kemudian
dituangkan kembali hingga menutupi seluruh cetakan tersebut. Selama tindakan ini
cetakan (histoplate dari plastik) dan piringan logam harus diletakkan di atas cetakan
panas.67
3.7.7.6 Pemotongan Jaringan (Sectioning)
Proses pemotongan jaringan dilakukan dengan memotong blok preparat
dengan menggunakan mikrotom. Sebelum melakukan pemotongan jaringan,
terlebih dahulu mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk sectioning, yaitu
pisau mikrotom, kaca objek, Waterbath atau wadah berisi air hangat dengan
temperatur 37-400C dan sengkelit/ kuas. Adapun langkah-langkah tehnik
pemotongan blok parafin sebagai berikut:67
1. Rekatkan blok parafin yang mengandung preparat pada tempat duduknya di
mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian
diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom dan dikunci dengan kuat.
2. Letak pisau mikrotom pada tempatnya dan atur sudut kemiringannya. Biasanya
sudut kemiringan berkisar 20-30 derajat.
3. Atur ketebalan potongan yang diinginkan, biasanya dipakai ketebalan antara 5-
7 mikrometer
4. gerakkan blok preparat ke arah pisau sedekat mungkin dan potonglah blok
preparat secara teratur dan ritmis. Buang pita-pita parafin yang awal tanpa
jaringan hingga kita mendapatkan potongan yang mengandung preparat
jaringan
44
5. Pita parafin yang mengandung jaringan lalu dipindahkan secara hati-hati
menggunakan sengkelit atau kuas kedalam waterbath yang temperaturnya diatur
37-40C dan biarkan beberapa saat hingga pita parafin tersebut mengembang.
6. Setelah pita parafin terkembang dengan baik, tempelkan pita parafin tersebut
pada kaca objek yang telah dilapisi dengan cara memasukkan kaca objek itu
kedalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin. Dengan
menggunakan sengkelit atau kuas pita parafin ditempelkan pada kaca objek.
Setelah melekat kaca objek digerakkan keluar dari waterbath dengan hati-hati
agar pita parafin tidak melipat.
7. Letakkan kaca objek yang berisi pita parafin di atas hotplate dengan temperatur
40-45C, biarkan selama beberapa jam. Cara lainnya adalah dengan melewatkan
kaca objek di atas api sehingga pita parafin melekat erat di atas kaca objek.
8. Setelah air kering dan pita parafin telah melekat dengan kuat, simpan kaca objek
berisi potongan parafin dan jaringan sampai saatnya untuk diwarnai.
3.7.7.7 Pewarnaan Hematoxilin-Eosin
Pewarnaan adalah proses pemberian warna pada suatu jaringan yang telah
dipotong, sehingga unsur jaringan dapat dikenali dan diamati dengan mikroskop.
Pewarnaan yang umum dan sering dipakai sekarang adalah dengan Hematoxilin-
Eosin (HE). Pada pulasan HE digunakan 2 macam zat warna yaitu hematoksilin
yang berfungsi untuk memulas inti sel dan memberikan warna biru (basofilik) serta
eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin, digunakan untuk memulas
sitoplasma sel dan jaringan penyambung dan memberikan warna merah muda
dengan nuansa yang berbeda.
Hematoksilin merupakan zat warna alami yang pertama kali dipakai tahun
1863. Hematoksilin akan mengikat inti sel secara lemah, kecuali bila ditambahkan
senyawaan lainnya seperti alumunium, besi, krom dan tembaga. Senyawaan
hematoksilin yang dipakai adalah bentuk oksidasinya yaitu hematein. Proses
oksidasi senyawaan hematoksilin ini dikenal sebagai ripening dan dapat dipercepat
prosesnya dengan menambahkan senyawaan yang bertindak sebagai oksidator
seperti merkuri oksida, hidrogen peroksida, potassium permanganat dan sodium
iodat.
45
Bahan yang diperlukan untuk proses pewarnaan adalah xyliol, alkohol
absolut, alkohol dengan konsentrasi 95%, 90%, 80%, dan 70%, aquades,
Hematoksilin-Eosin (HE), dan asam alkohol yang merupakan campuran 200 mL
alkohol 70% dengan 2mL HCl. Bahan tersebut dituangkan kedalam staining
jaringan masing-masing sebanyak 200 mL.
Preparat disusun pada cawan lalu direndam dalam xyliol selama 10 menit
sebanyak 2 kali. Setelah itu, cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol
absolut selama 5 menit sebanyak 2 kali. Cawan dipindahkan dan direndam dalam
alkohol 95% selama 1 menit. Lalu cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol
90% selama 1 menit.Cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 80% selama
1 menit. Setelah itu, cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 70% selama
1 menit. Cawan dipindahkan dan direndam dalam aquadest selama 4 menit.
Kemudian, cawan dipindahkan dan direndam dalam pewarna Hematoksilin selama
4 menit. Cawan dipindahkan dan direndam dalam aquadest selama 1 menit
sebanyak 3 kali. Lalu cawan dipindahkan dan direndam dalam asam alkohol selama
30 detik. Cawan dipindahkan dan direndam dalam aquadest selama 1 menit, lalu
dipindahkan dan direndam dalam eosin selama 1 menit. Setelah itu, preparat dilihat
dibawah mikroskop untuk memeriksa keadaan pewarnaan.
Setelah diperiksa, cawan direndam kembali dalam aquadest selama 1 menit
sebanyak 3 kali. Kemudian dipindahkan dan direndam dalam alkohol 70% selama
1 menit. Cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 80% selama 1 menit.Lalu
cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 90% selama 1 menit. Cawan
dipindahkan dan direndam dalam alkohol 95% selama 1 menit. Setelah itu cawan
dipindahkan dan direndam dalam alkohol absolut selama 1 menit. Cawan
dipindahkan dan direndam dalam xyliol selama 3 menit sebanyak 3 kali.
Segera setelah perendaman dalam xyliol terakhir, preparat diteteskan
kanada balsam secukupnya, lalu ditutup cover glass dengan hati-hati untuk
mencegah terbentuknya gelembung udara. Kemudian preparat diberi label sesuai
kode jaringan dan ditunggu hingga mengering dan kemudian bisa disimpan.67
46
3.7.7.8 Pelabelan
Pelabelan dilakukan agar memudahkan dalam mengidentifikasi preparat.
Pelabelan dapat dilakukan pada bagian atas kaca atau tepi kaca preparat yang di
bawahnya tidak terdapat sediaan jaringan.67
3.8 Pengamatan Mikroskopik Jaringan Gaster
Pemngamatan mikroskopik jaringan gaster menggunakan mikroskop
konvokal (Olympus BX41) dengan menggunakan perbesaran total 400x (40x10).
Mikroskop di laboratorium histologi juga bisa digunakan untuk
mendokumentasikan gambar juga. Gambar foto yang diambil yaitu meliputi epitel
gaster, yang meliputi mukosa, submukosa, muskularis dan serosa, namun karena
lapang pandang yang terlalu besar dan tidak memuat seluruh lapisan epitel gaster,
maka pada penelitian ini hanya difokuskan ke lapisan mukosa epitel gasternya saja.
Pengambilan foto sebanyak 10 lapang pandang besar (10 LPB). Hasil foto
dengan perbesaran total 400 kali tersebut kemudian diolah dengan menggunakan
shoftware Corel photoPaint X7. Foto preparat tersebut diberi kotak-kecil dengan
jumlah 14x10 kotak, kemudian setiap kotak-kotak kecil tersebut diamati persentase
kerusakan mukosa epitel gaster meit Balb/c. Indeks kerusakan mukosa epitel gaster
diukur menggunakan rumus berikut39:
Hasil dalam satuan persen (%). Kerusakan mukosa gaster dapat meliputi
deskuamasi, erosi maupun ulkus pada jaringan gaster. Hasil tersebut kemudian
dianalisis lebih lanjut menggunakan analisis statistik tertentu yang sesuai.
Indeks Kerusakan= (area kerusakan/total area jaringan lambung) x 100%
47
3.9 Alur penelitian
Mencit berada di animal
house (hari 1)
Aklimatisasi mencit
(3 minggu)
Kel P4
(z200)
Kel P3
(z100)
Kel P2
(z200+ova)
Kel P1
(z100+ova)
Kel K
(normal)
Randomisasi kelompok
perlakuan
Mencit Balb/c di
puasakan 1 hari sebelum
dilakukan nekropsi
Sonde pbs
selama 7 hari
Inhalasi Pbss
selama 3 hari
Sonde ekstrak daun zaitun (olea eurapea) dosis 100mg/kgbb/hari selama
7 hari pada kelompok P1 dan P3, serta dosis 200mg/kgbb/hari selama 7
hari pada kelompok P2 dan P4
Inhalasi (induksi) ovalbumin selama 3
hari
Pembuatan preparat Pengamatan preparat
jaringan gaster
Sensitisasi dengan Alum-Ova 50
µg/kgBB secara ip selama 2 kali
Ekstrak daun zaitun 50
mg/kgBB secara ip selama
2 kali
Inhalasi ekstrak daun
zaitun 0,2% selama 3 hari
Nekropsi (sacrifice) mencit dan
pengambilan organ gaster
mencit Balb/
Analisis statistik data
48
3.10 Prosedur Pengamatan
Pengamatan dan dokumentasi preparat dilakukan di Laboratorium Histologi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pengamatan preparat menggunakan mikroskop konvokal (Olympus BX41) dan
shoftware DP2-BSW dengan perbesaran total 400x (40x10). Pada pengamatan
organ gaster, diamati apakah terdapat kerusakan mukosa epitel pada jaringan gaster,
kemudian dihitung persentase kerusakan pada mukosa epitel gaster mencit Balb/c.
3.11 Analisis Data Statistik
Hasil data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik menggunakan
SPSS versi 22.0. Analisis data parametrik yang digunakan yaitu analisis varian satu
arah (One Way Anova) untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan yang bermakna
diantara kelompok perlakuan. Uji hipotesis ANOVA ini digunakan karena
penelitian ini termasuk jenis hipotesis komparatif dan datanya numerik lebih dari
dua kelompok serta tidak berpasangan. Sebelum melakukan uji analisis One Way
Anova, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Jika uji
normalitas dan homogenitas terpenuhi maka di lakukan uji parametrik One Way
Anova dengan taraf kepercayaan sebesar 95% yang kemudian dilanjutkan dengan
uji BNt/ beda nyata terkecil atau yang lebih di kenal dengan uji LSD (Least
Significance Difference) pada uji analisis lanjutan (post hoc) untuk mengetahui
perbedaan yang bermakna antar tiap kelompok perlakuan. Namun apabila varian
kelompok data yang dibandingkan tidak sama, maka harus dilakukan transformasi
data. Jika hasil uji parametrik tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan uji alternatif
nonparametrik Kruskal-Wallis.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi Daun Zaitun
Determinasi daun zaitun (Olea europaea L.) telah dilakukan di Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Hasil
determinasi menunjukkan bahwa daun zaitun yang dijadikan sampel pada
penelitian ini adalah Olea europaea L. dari family Oleaceae.
4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil pengamatan terhadap gambaran histopatologi jaringan gaster mencit
BALB/c yang dilakukan di Laboratorium Histologi FKIK UIN Jakarta terhadap
berbagai kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 4.1 dan gambar 4.2.
Dari hasil pengamatan gambaran mikroskopik terhadap jaringan gaster
mencit Balb/c pada area glandular didapatkan hasil bahwa gambaran mukosa
kelompok P3 dan P4 ternyata hampir serupa dengan kelompok K (kontrol negatif/
normal), terutama kelompok P4 yang mana pada bagian mukosanya hanya
mengalami kerusakan minimal.
Selain itu, juga dapat dinilai bahwa rata-rata kelompok P3 dan P4
mengalami kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok P1 dan
P2, yaitu kelompok yang disensitisasi dan diinduksi ovalbumin. Hal tersebut
kemungkinan terjadi akibat kandungan senyawa aktif yang memiliki efek
antiinflamasi dan antioksidan dalam ekstrak daun zaitun, yaitu oleuropein dan
hidroksitirosol.3
Pada kelompok P3 da P4 juga tidak ditemukan adanya sel radang akut
(Polimorfonuklear sel) dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi, yaitu
meliputi edema dan pelebaran pada pembuluh darah.
50
Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik
mukosa gaster mencit Balb/c (100x).
Kelompok K: kontrol negatif
(normal)/oral dan inhalasi PBS; P1:
ekstrak daun zaitun 100 mg/kgBB
peroral dan inhalasi ovalbumin; P2:
ekstrak daun zaitun 200 mg/kgBB
peroral + inhalasi ovalbumin; P3:
ekstrak daun zaitun 100 mg/kgBB
peroral+ inhalasi ekstrak daun zaitun;
P4: zaitun 200 mg/kgBB peroral+
inhalasi ekstrak daun zaitun). Tanda
panah menunjukkan kerusakan mukosa
jaringan gaster ( perbesaran 100x).
51
Gambar 4.2 Gambaran mikroskopik
mukosa gaster mencit Balb/c (400x).
Kelompok K: kontrol negatif
(normal)/oral dan inhalasi PBS; P1:
ekstrak daun zaitun 100 mg/kgBB peroral
dan inhalasi ovalbumin; P2: ekstrak daun
zaitun 200 mg/kgBB peroral + inhalasi
ovalbumin; P3: ekstrak daun zaitun 100
mg/kgBB peroral+ inhalasi ekstrak daun
zaitun; P4: zaitun 200 mg/kgBB peroral+
inhalasi ekstrak daun zaitun). Tanda
panah menunjukkan kerusakan mukosa
jaringan gaster ( perbesaran 400x).
Berbeda dengan kelompok P3 dan P4, Pada Kelompok P1 dan P2 dapat
dilihat adanya sel radang (PMN) dan pelebaran pembuluh darah. Selain itu juga
terlihat mukosa epitel lambung yang mengalami erosi. Berbeda dengan Kelompok
P4 dan P5, yang mana hanya mengalami kerusakan minimal pada mukosa
permukaan lambung.
52
Data rerata kerusakan mukosa epitel gaster menit Balb/c yang diperoleh dari
hasil analisis gambaran mikroskopik jaringan gaster pada kelompok K (Kontrol
negatif/normal), kelompok perlakuan1 dan 2 (P1 dan P2) yang di berikan
stimulasi/induksi dengan inhalasi ovalbumin dan ekstrak daun zaitun dengan dosis
masing-masing 100mg/kgbb dan 200mg/kgbb, serta kelompok 3 dan 4 (P3 dan P4)
yang hanya di berikan ekstrak daun zaitun dengan dosis masing-masing
100mg/kgbb dan 200mg/kgbb dapat di lihat pada tabel berikut:
Gambar 4.3. Grafik rata-rata kerusakan mukosa gaster mencit Balb/c. (K: kontrol
negatif (normal)/ PBS oral dan inhalasi PBS; P1: zaitun 100 mg/kgBB oral dan
inhalasi ovalbumin; P2: zaitun 200 mg/kgBB oral + inhalasi ovalbumin; P3: zaitun
100 mg/kgBB oral+ inhalasi ekstrak daun zaitun; P4: zaitun 200mg/kgBB oral +
inhalasi ekstrak daun zaitun, * = p<0,05 dibandingkan dengan kelompok K (Kontrol
negatif/ normal), * *= p<0,01 dibandingkan dengan kelompok K (Kontrol negatif/
normal)
Dari grafik yang tercantum di atas menunjukkan bahwa rerata persentase
kerusakan mukosa epitel gaster mencit Balb/c pada kelompok P3 dan P4 yang tanpa
diinduksi ovalbumin tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol,
1.938
16.155
11.637
3.249
1.757
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
K P1 P2 P3 P4
Per
sen
tase
ker
usa
kan
jari
ngan
(%)
KELOMPOK PERLAKUAN
GRAFIK PERSENTASE KERUSAKAN MUKOSA
GASTER MENCIT BALB/C
53
bahkan kelompok P4 mengalami rerata kerusakan mukosa epitel gaster yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selain itu juga pada kelompok P3 dan P4 rerata mengalami presentease
kerusakan mukosa epitel gaster yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
kelompok P1 dan P2. Sedangkan pada kelompok P1 dan P2 mengalami kerusakan
mukosa epitel gaster yang signifikan pada uji analisis post-hoc jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Dari grafik tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian dosis ekstrak daun
zaitun dengan dosis 200 mg/kgBB/hari (P2 dan P4) ternyata mengalami kerusakan
yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ekstrak daun zaitun dengan
dosis 100 mg/kgBB/hari (P1 dan P3) pada perlakuan yang sama.
Setelah didapatkan data hasil penelitian, selanjutnya dilakukan analisis data
statistik. Rerata persentase kerusakan mukosa epitel gaster yang diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk (karena jumlah sampel ≤ 50) di dapatkan
hasil data yang berdistribusi normal dari semua kelompok perlakuan (p>0,05).
Hasil uji varians dengan menggunakan levene test juga didapatkan nilai signifikan
p=0,072 (p>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa semua data pada perlakuan
bersifat homogeny dan memiliki variansi data yang berdistribusi normal. Hasil uji
Saphiro wilk dan Levene test selengkapnya disajikan pada lampiran.
Setelah uji normalitas dan uji homogenitas terpenuhi, kemudian di lanjutkan
dengan analisis uji parametrik One Way Anova yang hasilnya disajikan pada tabel
4.1
Tabel 4.1 Hasil uji One Way Anova
Nama kelompok Rerata kelompok ± SD (%) P value Anova
K (kontrol negatif/
normal)
1.938 ± 1.26 0,003
P1 (z100 + Ova) 16.155 ± 7.08
P2 (z100 + Ova ) 11.637 ± 4.42
P3 (z100) 3.249 ± 0.94
P4 (z200) 1.757 ± 0.70
54
Hasil uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai p=0,003 (p<0,05),
yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna/ signifikan rerata persentase
kerusakan mukosa gaster diantara 5 kelompok perlakuan dan dapat pula menolak
H0 (hipotesis 0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok
perlakuan).
Selanjutnya dilakukan uji LSD pada uji analisis post-hoc untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan yang signifikan/ bermakna antar kelompok perlakuan.
Uji LSD di sajikan pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil uji LSD pada uji analisis post hoc
Kelompok K P1 P2 P3 P4
K - 0,001* 0,011* 0,683 0,955
P1 0,001* - 0,178 0,002* 0,001*
P2 0,011* 0,178 - 0,023* 0,010*
P3 0,683 0,002* 0,023* - 0,642
P4 0,955 0,001* 0,010* 0,642 -
Keterangan: * terdapat perbedaan yang bermakna / signifikan (p<0,05)
Dari analisis post hoc, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok K dengan P1 (p=0,001), K dengan P2 (p=0,011), P1
dengan P3 (p=0,002), P1 dengan P4 (p=0,001), P2 dengan P3 (p=0,0023), dan P2
dengan P4 (p=0,010). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kelompok
P3 (z100) dan P4 (z200) rata-rata tidak mengalami kerusakan mukosa yang
signifikan dibandingkan dengan kelompok K /kontrol (normal). Hal tersebut
kemungkinan efek gastroprotektif dan efek antiinflamasi yang dimiliki oleh daun
zaitun, yang mana dalam daun zaitun terdapat senyawa oleuropein dan
hidroksitirosol.3
Hal tersebut berarti dengan pemberian ekstrak daun zaitun saja tidak
menyebabkan kerusakan yang bermakna terhadap organ gaster mencit, atau bisa
dikatakan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun tidak menyebabkan efek toksik dan
kerusakan pada organ gaster mencit Balb/c, bahkan memberikan efek terapeutik
pada mencit.
Berbeda halnya pada kelompok P1 dan P2, yang mana mengalami rerata
persentase kerusakan mukosa gaster yang signifikan dibandingkan dengan
kelompok K /kontrol (normal) dan kelompok P3 dan P4 yang tanpa diinduksi
55
ovalbumin. Hal tersebut kemungkinan besar diakibatkan karena pemberian
ovalbumin pada kelompok P1 dan P2, yang mana dengan pemberian inhalasi
ovalbumin yang sebelumnya telah dilakukan sensitisasi terlebih dahulu, mungkin
organ gaster mengalami efek serupa pada organ pernafasan, dikarenakan pada
pemberian obat inhalasi dalam bentuk aerosol, sekitar 10-20% akan masuk ke
dalam saluran pernafasan, dan sisanya yang 80-90% sisanya akan masuk ke dalam
saluran pencernaan.65
Pada kelompok P4 dengan pemberian dosis ekstrak daun zaitun 200
mg/kgBB/hari menunjukkan rerata kerusakan mukosa gaster yang lebih rendah bila
dibandingakan dengan kelompok P3 yang sama-sama tidak diinduksi ovalbumin,
hanya berbeda dosis yaitu 100 mg/kgBB/hari. Begitu pula dengan kelompok P2
dengan pemberian dosis ekstrak daun zaitun 200 mg/kgBB/hari yang kemudian
diinduksi ovalbumin, ternyata mengalami rerata kerusakan mukosa epitel gaster
yang lebih rendah bila di bandingkan dengan kelompok P1, yang sama-sama
diinduksi ovalbumin, namun dengan pemberian dosis ekstrak zaitun 100
mg/kgBB/hari. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis
ekstrak daun zaitun 200 mg/kgBB/hari ternyata mengalami kerusakan mukosa
epitel gaster yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian dosis ekstrak daun
zaitun 100 mg/kgBB/hari.
Penelitian Impellizzeri et al (2011) menunjukkan bahwa setelah
mengonsumsi senyawa aktif oleuropein, yang merupakan kandungan terbanyak
dari ekstrak daun zaitun, ternyata terjadi penurunan produksi sitokin proinflamasi
seperti tumor necrosis factor α (TNF-α), interleukin-1 beta (IL-1β) dan nitric oxide
(NO).68
Penelitian Mahjoub et al (2011) juga menunjukkan bahwa pada pemberian
dosis ekstrak methanol daun zaitun (Olea Europaea L.) dosis 200 mg/kgBB
intraperitoneal pada mencit galur Wistar Rat ternyata memiliki efek antiinflamasi
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian ekstrak daun zaitun dosis 50
mg/kgBB dan 100 mg/kgBB dalam menurunkan edema pada kaki tikus wistar yang
di induksi carrageenan.69
Telah diketahui bahwa inflamasi merupakan proses normal tubuh untuk
menghilangkan benda asing dalam tubuh. Namun jika reaksi inflamasi dibiarkan
56
terlalu lama maka dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi yang tidak
diinginkan, misalnya pada organ gaster yaitu pada penyakit gastritis dan ulkus
peptikum.57
Meskipun pada penelitian ini, pemberian ekstrak daun zaitun dengan dosis
masing-masing 100 mg/kgBB/hari dan dasis 200 mg/kgBB/hari tidak menimbulkan
efek samping/ efek toksik yang bermakna pada kerusakan mukosa epitel gaster,
tetapi tetap saja pemberian ekstrak daun zaitun harus tetap hati-hati, apalagi
pemberian dengan dosis tinggi dan untuk pemakaian janga waktu yang lama, karena
pada penelitian Omer SA et al (2012) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun
zaitun dengan konsentrasi 0,9% selama 6 minggu menyebabkan nekrosis hepatosit
dan sedikit perdarahan pada organ hepar dan ginjal. Oleh karean itu, juga harus
dipertimbangkan efek yang tidak tidak diharapkan selama pemberian ekstrak
berlangsung.70
4.4 Keterbatasan penelitian
Pada penelitian ini memiliki banyak keterbatasan, antara lain sebagai
berikut
1. Jumlah sampel penelitian masih minimal
2. Tidak terdapat kelompok kontrol positif (pemberian ovalbumin inhalasi saja)
3. Dosis yang di pakai masih kurang bervariasi
4. Kurangnya dana pada penelitian ini
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis uji statistik pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa pemberian ekstrak daun zaitun sebagai terapi asma tidak menyebabkan efek
samping / efek toksik, bahkan memberikan efek gastroprotektif terhadap mencit
Balb/c.
5.2 Saran
Untuk penelitian yang serupa selanjutnya di harapkan:
1. Menambahkan kelompok kontrol positif (di berikan ovalbumin saja)
2. Melakukan penelitian efek zaitun dengan mengambil senyawa aktifya saja
3. Memperbanyak jumlah sampel penelitian
4. Membandingkan efek pemberian ekstrak daun zaitun dengan berbagai rute
pemberian (oral, inhalasi, intraperitoneal)
58
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kerjasama antara penelitian mahasiswa dengan
kelompok penelitian dosen, yaitu dr. Nurul Hiedayati, Ph.D, Ibu Nurlaely Mida R,
M.Biomed, Ph.D serta dr. Riva Auda Sp.A, M.Kes tentang Pengaruh Pemberian
ekstrak daun zaitun sebagai terapi asma terhadap organ pernafasan mencit Balb/c.
Dana penelitian ini berasal dari Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI).
59
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan POM. (n.d.). Zaitun. http://www.pom.go.id. Di akses 4 juli 2016.
2. Khan Y, Panchal S, Vyas N, Butani A, Kumar V. 2007. Olea europaea: a phyto-
pharmaological review. Phcog Net. 1(1): 112-116
3. Hashmi AH, Khan A, Hanif M, Farooq U, Perveen S. 2015. Traditional Uses,
Phytochemistry, and Pharmacology of Olea europaea (Olive). Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine. 1-29
4. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2013. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi
12 Volume.1. Jakarta: EGC
5. Therios L. 2009. Olives. UK: Biddles.
6. Ross, Ivan A. 2005. Medical Plants of the world. New jersey: Humana Press.
7. Brenton CM, Warnock P, Berville AJ. 2012. Origin and History of Olive.
France: Intech
8. Rugini E, Biasi R, Altamura MM. 2005. Olive (Olea europaea L.). Somatic
Embryogenesis in Woody Plants. 77: 345-60
9. Ghanbari R, Anwar F, Alkharfy KM, Gilani A.H, Saari N. 2014. Valuable
nutrients and functional bioactives in different parts of olive (Olea europaea
L.)-A Review. Int J Mol Sci. 13: 3291-340
10. Rivas CS, Espin JC, Wichers HJ. . 2000. Oleuropein and related compounds. J
Sci Food Agric. 80: 1013-23
11. Rugini E, Biasi R, Altamura MM. 2005. Olive (Olea europaea L.). Somatic
Embryogenesis in Woody Plants. 77: 345-60
12. Castro-Rodriguez JA et al. 2010. Olive oil during pregnancy in associated with
reduced wheezing during the first year of live of the offspring. 45: 395-402
13. Kushi LH, Lenart EB, Willett WC. 1995. Health implications of Mediterranean
diets in light of contemporary knowledge. 2. Meat, wine, fats, and oils. Am J
Clin Nutr. 61: 1416-27
14. Visioli F, Galli C. 1994. Oleuropein protects low density lipoprotein from
oxidation. Life Sciences. 55: 1965-71
15. Petroni A, Blasevich M, Salami M, Papini N, Montedoro GF, Galli C. Inhibition
of platelet aggregatiion and eicosanoid production byphenolic components of
olive oil. Thromb Res. 1995;78(2):151-60
60
16. Hansen K, Adsersen A, Christensen SB, Jensen SR, Nyman U, Smitt UW. 1996.
Isolation of an angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor from Olea
europaea and Olea lacea. Phytomedicine. 2: 319-25
17. Susalit E et al. 2011. Olive (Olea europaea) leaf extract effective in patients
with stage-1 hypertension: comparison with Captopril. Phytomedicine. 18(4):
251-8
18. Al-azzawie HF, Alhamdani MS. 2006. Hypoglycemic and antioxidant effect of
oleuropein in alloxan-diabetic rabbits. Life Sci. 78(12): 1371-7
19. Garcia OB, Castillo J, Lorente J, Ortuno A, Del Rio JA. 2000. Antioxidant
activity of phenolics extracted from Olea europaea L. leaves. Food Chem. 68:
457-62
20. Kontogianni VG, Charisiadis P, Margianni E, Lamari FN, Gerothanassis LP,
Tzakos AG. 2013. Olive Leaf Extracts Are a Natural Source of Advanced
Glycation End Product Inhibitors. J Med Food. 16(9): 817-22
21. Heinze JE, Hale AH, Carl PL. 1975. Specificity of the antiviral agent calcium
elenolate. Antimicrob Agent Chemother. 8(4): 421-2
22. Renis HE. 1975. Inactivation of Myxoviruses by Calcium Enolate. Antimicrob
Agent Chemother. 8(2): 194-99
23. Hirschman SZ. 1972. Inactivation of DNA polymerases of murine leukaemia
viruses by calcium elenolate. Nat New Biol. 238(87): 277-9
24. Soret MG. 1969. Antiviral activity of calcium elenolate on parainfluenza
infection of hamsters. Antimicrob Agents Chemother. 9:160-6
25. Huang SL et al. 2007. Discovery of Small-Molecule HIV-1 Fusion and
Integrase Inhibitors Oleuropein and Hydroxytyrosol: I. Fusion Inhibition.
Biochem Biophys Res Commun. 354(4): 872–8
26. Micol V, Caturla L, Fons LP, Mas V, Perz L, Estepa A. 2005. The olive leaf
extract exhibits antiviral activity against viral haemorrhagic septicaemia
rhabdovirus (VHSV). Antiviral research. 66: 129-36
27. Bisignano G, Tomaino A, Lo Cascio R, Crisafi G, Uccella N, Saija A. 1999. On
the in-vitro antimicrobial activity of oleuropein and hydroxytyrosol. J Pharm
Pharmaol. 51(8): 971-4
28. Visioli F, Bellosta S, Galli C. 1998. Oleuropein, the bitter principle of olives,
enhances nitric oxide production by mouse macrophages. Life sci. 62(6): 541-
6
61
29. Furneri PM, Piperno A, Sajia A, Bisignano G. 2004. Antimycoplasmal Activity
of Hydroxytyrosol. Antimicrob Agent Chemother. 48(12): 4892-94
30. Ryan D, Robards K, Prenzler P, Jardine D, Herlt T, Antolovich M. 1999. Liquid
chromatography with electrospray ionisation mass spectrometric detection of
phenolic compounds from Olea europaea.J Chromatogr A. 855: 529–37
31. Karakaya S, El SN. 2009. Studies of olive tree leaf extract indicate several
potential health benefits. Nutrition Review. 67(11): 632–8
32. Bianco A, Uccella N. 2000. Biophenolic components of olives. Food Res Int.
33: 475-85.
33. Lee O, Lee B. 2010. Antioxidant and antimicrobial activities of individual and
combined phenolics in Olea europaea leaf extract. Bioresour Technol. 101:
3751–54.
34. Khayyal MT, el-Ghazaly MA, Abdallah DM, Nassar NN, Okpanyi SN, Kreuter
MH. 2002. Blood pressure lowering effect of an olive leaf extract (Olea
europaea) in L-NAME induced hypertension in rats. Arzneimittelforschung.
52(11):797-802.
35. Zarzuelo A, Duarte J, Jiménez J, González M, Utrilla MP. Vasodilator effect of
olive leaf. Planta Med. 1991; 57(5): 417-9
36. Pereira A.P. 2007. Phenolic compounds and antimicrobial activity of olive
(Olea europaea L. Cv. Cobrançosa) leaves. Molecules. 12(5): 1153-62
37. Chimi H , Morel I , Lescoat G , Pasdeloup N , Cillard P , Cillard J. 1995.
Inhibition of iron toxicity in rat hepatocyte culture by natural phenolic
compounds. Tox In Vitro. 9: 695-702
38. Gonzalez MS, Mena GL, Juan ME, Granados AG, Planas JM. 2013.
Assessment of the safety of maslinic acid, a bioactive compound from Olea
europaea L. Molecular Nutrition and Food Research. 57 (2): 339–46
39. Dekanski D, S. Hudomal SJ, Tadi´c V, Markovi´c G, Arsi´c I, Mitrovi´c DM.
2009. Phytochemical analysis and gastroprotective activity of an olive leaf
extract. Journal of the Serbian Chemical Society. 74(4): 367–7
40. Dekanski D et al. 2009. Attenuation of cold restraint stress-induced gastric
lesion by an olive leaf extract. 28: 135-42
41. Treuting PM et al. 2012. Comparative Anatomy and Histology: A Mouse and
Human Atlas. US: elselvier.
62
42. Goshal NG, Bal HS. 1989. Comparative morphology of the stomach of some
laboratory mammals. Laboratory Animals. 23: 21-9
43. Setiati S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna publishing.
44. Matsui H, Shimokawa O, Kaneko T, Nagano Y, Rai K, Hyodo I. 2011. The
pathophysiology of non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID)-induced
mucosal injuries in stomach and small intestine. J Clin Biochem Nutr. 48(2):
107–11
45. Kim CG, Choi IJ, Lee JY, Cho SJ, Nam BH, Kook MC. 2009. Biopsy site for
detecting Helicobacter pylori infection in patients with gastric cancer. J
Gastroenterol Hepatol. 24: 469-74
46. Kho D. 2010. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi Helicobacter pylori.
Maj Kedokt Indon. 60(8): 381-4
47. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. 2010. A comparison of 5 or 7 days of
rabeprazole triple therapy for eradication of Helicobacter pylori. Med J Indones.
p113-7
48. McColl KEL. Helicobacter pylori infection. N Eng J Med. 2010; 362:1597-604
49. Selgrad M, Kandulski A, Malfertheiner P. 2009. Helicobacter pylori diagnosis
and treatment. Curr opin gastroenterol. 25: 549-56
50. Simadibrata M. 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi Helicobacter Pylori. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI).
51. Banerjee S, et al. 2010. The role of endoscopy in the management of patients
with pepticulcer disease. Gastrointestinal Endoscopy. 71(4): 663-8
52. Mustafa M, Menon J, Muiandy RK, Fredie R, Sein MM, Fariz. 2014. A.Risk
Factors, Diagnosis, and Management of Peptic ulcer Disease. IOSR-JDMS. 14
(7): 40-6
53. McConville SR, Crookes PF. 2007. The History of Gastric Surgery: the
Contribution of the Belfast School. Ulster Med J. 76(1): 31-6
54. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotrans
Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Saunders Elselvier.
55. Chandrasoma P, Taylor CR. 2006. Concise Pathology 3th Edition. US: Mc Graw
hill.
56. Rubin R, Strayer DS. 2012. Rubin’s Pathology. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins.
63
57. Alleoni ACC. 2006. Albumen Protein and Functional Properties of Gelation and
Foaming. Sci. agric. 63(3): 291-8
58. Sun LZ et al. 2010. Comparison between Ovalbumin and Ovalbumin Peptide
323-339 Responses in Allergic Mice: Humoral and Cellular Aspects.
Scandinavian Journal of Immunology. 71: 329-35
59. Chang YK et al. 2005. Comparison of Asthma Phenotypes Using Different
Sensitizing Protocols in Mice. The Korean Journal of Internal Medicine. 20(2):
152-8
60. Li HJ et al. 2013. IL-25 Involved in Airway Inflammation of OVA-Induced
Asthmatic Mice and the Inhibitory Effect of Glucocorticoid. J Allergy Ther.
4(5): 1-5
61. Bentley JK et al. 2010. Ovalbumin sensitization and challenge increases the
number of lung cells possessing a mesenchymal stromal cell phenotype.
Respiratory Research. 11(127): 1-15
62. Brunton LL, Chabner BA, Knollmann. 2012. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Bais of Therapeutics. Elselvier.
63. Singh AS, Masuku MB. 2014. Sampling Technique & Determination of sample
size in applied statistics research: an overview. Ijecm. 2(11): 1-22
64. Capdevilla S, Giral M, de la Torre JLR, Russel RJ, Kramer K. 2007.
Acclimatization of rats after ground transportation to a new animal facility.
Laboratory Animals. 41: 255–61
65. Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksananaan Validasi Metoda dan Cara
Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1: 119-22
66. Obernier JA, Bladwin RL. 2006. Establishing an appropriate period of
acclimatization following transportation of Laboratory Animals. ILAR Journal.
47(4): 364-9
67. Jusuf AA. 2009. Histoteknik Dasar. Depertemen Histologi FKUI.
68. Impellizzeri et al. 2011. The effects of oleuropein aglycone, an olive oil
compound in a mouse model of carrageenan-induced pleurisy. Clin. Nutr. 30:
533–40
69. Mahjoub RC, Khemiss M, Dhidah M, Dellai A, Bouraoui A, Khemis F. 2011.
Chloroformic and Methanolic Extracts of Olea europaea L Leaves Present Anti-
Inflammatory and Analgesic Activities. ISRN Pharmacology. p1-5
64
70. Omer SA et al. 2012. Toxicity of olive leaves (Olea europaea L) in Wistar
Albino Rats. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances. 7(11): 1175-
82
65
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Determinasi/ Identifikasi Bahan Uji
Gambar 7.1 Hasil Determinasi/ Identifikasi Bahan Uji
66
Lampiran 2
Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian
Perhitungan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan Mead, yaitu
sebagai berikut:
RUMUS MEAD: E= N-B-T
Keterangan:
E: Derajat Kebebasan komponen Kesalahan (10-20)
N: Jumlah sampel dalam penelitian (dikurangi 1)
B: Blocking component, menggambarkan pengaruh lingkungan yang
diperbolehkan dalam suatu penelitian
T: Jumlah kelompok perlakuan
Jadi:
E: N-B-T
≥10= (N-1)-0-(5-1)
≥10= N-1-4
≥10= N-5
N≥15
E: N-B-T
≥20= (N-1)-0-(5-1)
≥20= N-1-4
≥20= N-5
N≥25
Jadi jumlah sampel pada penelitian ini yaitu: 15≤N≤25, artinya minimal
jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini yaitu 15 sampel, sedangkan
jumlah maksimal sampel yang diperkenankan pada penelitian ini yaitu 25 sampel.
Pada penelitian ini menggunakan 15 sampel penelitian, sehingga masing-
masing kelompok terdapat 3 sampel penelitian.
67
Lampiran 3
Gambar Proses Penelitian
Gambar 7.2 Nebulizer dan kandang
tempat inhlasai
Gambar 7.3 Pembiusan mencit
Gambar 7.4 Proses inhalasi mencit
Gambar 7.5 Proses nekropsi mencit
Gambar 7.6 Sonde ekstrak zaitun
Gambar 7.7 Wadah tempat
penyimpanan organ gaster
68
Lampiran 4
Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun
Berat tikus berkisar antara 30-45 mg, maka diambil nilai tengahnya, yaitu
sekitar 40 gram.
Dosis 100 mg/kgBB (z100)
=>100 mg
1 kg=
100 mg
1000 gr=
1 mg
10 gr
=>1 mg
10 g=
(z100) mg
40 gr
=> (z100) =40 mg
10 gr
=> (z100) = 4 mg
Dosis 200 mg/kgBB (z200)
=>200 mg
1 kg=
200 mg
1000 gr=
2 mg
10 gr
=>2 mg
10 g=
(z200) mg
40 gr
=> (z200) =80 mg
10 gr
=> (z200) = 8 mg
69
Lampiran 5
Hasil Analisis Statistik Data
Tabel 7.1 Hasil rerata persentase kerusakan mukosa epitel gaster pada berbagai
kelompok perlakuan
Kelompok Persentase Kerusakan mukosa epitel
gaster (%)
Mean ± SD
Preparat 1 Preparat 2 Preparat 3
Kelompok kontrol
(normal)
1.362 3.394 1.060 1.938 ± 1.26
Kelompok P2 (z100
+ova)
8.871 23.026 16.570 16.155 ± 7.08
Kelompok P3 (z200
+ova)
13.059 15.174 6,679 11.637 ± 4.42
Kelompok P4
(z100)
3,575 3,990 2,182 3.249 ± 0.94
Kelompok P5
(z200)
1.014 1.831 2,428 1.757 ± 0.70
Tabel 7.2 Uji normalitas data
Tests of Normality
Perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kerusakan_mukosa
_epitel_gaster
Normal .342 3 . .845 3 .228
Dosis zaitun 100 mg/kgBB + OVA .190 3 . .997 3 .903
Dosis zaitun 200 mg/kgBB + OVA .293 3 . .922 3 .461
Dosis zaitun 100 mg/kgBB .301 3 . .911 3 .422
Dosis zaitun 200 mg/kgBB .208 3 . .992 3 .829
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel 7.3 Uji homogenitas data
Test of Homogeneity of Variances
Kerusakan_mukosa_epitel_gaster
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3.008 4 10 .072
70
Tabel 7.4 Uji One Way Anova
ANOVA
Kerusakan_mukosa_epitel_gaster
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 517.460 4 129.365 8.886 .003
Within Groups 145.578 10 14.558
Total 663.038 14
Tabel 7.5 Uji LSD dengan analisis post hoc
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Kerusakan_mukosa_epitel_gaster
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
Normal Dosis zaitun 100
mg/kgBB + OVA -14.217000* 3.115316 .001 -21.15836 -7.27564
Dosis zaitun 200
mg/kgBB + OVA -9.698667* 3.115316 .011 -16.64002 -2.75731
Dosis zaitun 100
mg/kgBB -1.310333 3.115316 .683 -8.25169 5.63102
Dosis zaitun 200
mg/kgBB .181000 3.115316 .955 -6.76036 7.12236
Dosis zaitun 100
mg/kgBB + OVA
Normal 14.217000* 3.115316 .001 7.27564 21.15836
Dosis zaitun 200
mg/kgBB + OVA 4.518333 3.115316 .178 -2.42302 11.45969
Dosis zaitun 100
mg/kgBB 12.906667* 3.115316 .002 5.96531 19.84802
Dosis zaitun 200
mg/kgBB 14.398000* 3.115316 .001 7.45664 21.33936
Dosis zaitun 200
mg/kgBB + OVA
Normal 9.698667* 3.115316 .011 2.75731 16.64002
Dosis zaitun 100
mg/kgBB + OVA -4.518333 3.115316 .178 -11.45969 2.42302
Dosis zaitun 100
mg/kgBB 8.388333* 3.115316 .023 1.44698 15.32969
Dosis zaitun 200
mg/kgBB 9.879667* 3.115316 .010 2.93831 16.82102
Normal 1.310333 3.115316 .683 -5.63102 8.25169
71
Dosis zaitun 100
mg/kgBB
Dosis zaitun 100
mg/kgBB + OVA -12.906667* 3.115316 .002 -19.84802 -5.96531
Dosis zaitun 200
mg/kgBB + OVA -8.388333* 3.115316 .023 -15.32969 -1.44698
Dosis zaitun 200
mg/kgBB 1.491333 3.115316 .642 -5.45002 8.43269
Dosis zaitun 200
mg/kgBB
Normal -.181000 3.115316 .955 -7.12236 6.76036
Dosis zaitun 100
mg/kgBB + OVA -14.398000* 3.115316 .001 -21.33936 -7.45664
Dosis zaitun 200
mg/kgBB + OVA -9.879667* 3.115316 .010 -16.82102 -2.93831
Dosis zaitun 100
mg/kgBB -1.491333 3.115316 .642 -8.43269 5.45002
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
72
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Aris Adi Purnomo
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal Lahir : Pati, 03 November 1995
Agama : Islam
Alamat : Dk. Gesik RT/RW 001/003 Desa Prawoto Kec. Sukolilo
Kab. Pati, Jawa Tengah
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1999-2001 : TK RA Masithoh kec. Sukolilo, kab. Pati, Jawa Tengah
2001-2007 : MI Almu’min 01 Desa Prawoto kec. Sukolilo, kab. Pati,
Jawa Tengah
2007-2010 : MTs Sunan Prawoto Desa Prawoto kec. Sukolilo, kab.
Pati, Jawa Tengah
2010-2013 : MA Sunan Prawoto Desa Prawoto kec. Sukolilo, kab.
Pati, Jawa Tengah
2013-Sekarang : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Top Related