Edisi ke-61 April 2015
Kendali atas air Kendali atas Kehidupan
Simalakama Air Bersih untuk Desa
Ketika Erupsi Merapi Bertemu Ketoprak
dan Jathilan
Kombinasi Edisi ke-61 April 20152
D A r i r E d A K s i
Pemimpin RedaksiImung YuniardiRedaktur PelaksanaApriliana SusantiEditorFerdhi F PutraDesain KreatifAris HaryantoFotoTim CRI YogyakartaKontributorNanang Triagung Edi H, Maryani,Kus Sri AntoroSampul DepanAris HaryantoSampul BelakangDani YuniartoTata LetakMS LubisSekretariatUlfa, Anny, YantiDistribusiSarjiman, Gandung Triono
Alamat RedaksiJalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188Telp/Fax: 0274-411123Email: [email protected]: http://kombinasi.net
Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation.
Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas.
Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men can tum kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak memilih dan menyun ting tulisan yang masuk ke maja lah Kombinasi. Penulis yang karya nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.
Pada sebagian besar film produksi Hollywood yang ber tema kehancuran kehidupan di dunia masa depan, barang yang
selalu diposisikan amat berharga adalah air. Tengok film Book of Eli (2010) misalnya. Saat situasi serba kacau tanpa aturan, yang dicari pertama oleh para perampok jalanan adalah air, baru kemudian barang lainnya yang bisa ditukarkan dengan air.
Demikian pula dengan film dokumenter Belakang Hotel (2014) yang sejak akhir tahun lalu mulai banyak di putar di berbagai tempat, dia bertutur tentang air. Krisis air menjadi dampak yang paling mendera warga, dari pembangunan hotel yang tak terkontrol. Dampak pembangunan hotel yang berlebihan bisa bermacammacam, tetapi ternyata yang paling membuat warga menderita adalah air.
Simak perhitungan ang kaang ka berikut. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memperkirakan kebutuhan anggaran sebesar Rp 253 triliun untuk menyediakan akses air minum 100% di seluruh Indonesia hingga 2019. Hingga 2014 cakupan pelayanan air minum baru mencapai 70,05% persen.
Ketika masih ada sekitar 30% masyarakat yang belum terlayani air layak minum, data Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) menyebutkan masyarakat Indonesia menghabiskan 23,1 miliar liter air minum dalam kemasan (AM
DK) pada 2014, meningkat 11,3% dibandingkan 2013. Apakah itu berarti orang yang belum terlayani terpaksa membeli produk AMDK sehingga penjualannya meningkat? Logika sederhananya begitu, tapi tentu butuh penelitian lain agar lebih akurat.
Yang jelas, pemain utama produsen AMDK saat ini sahamnya dimiliki asing. Aqua misalnya, dimiliki Danone asal Perancis. Tahun lalu, secara global keuntungan yang diraih Danone mencapai $1,27 miliar atau sekitar Rp 15,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 13 ribu per dollar. Pada situs resminya disebutkan “very strong performances by Aqua”. Artinya penjualan Aqua, memberi kontribusi yang signifikan di saat produk lainnya cenderung stagnan atau menurun.
Atau lihatlah Ades, yang dimiliki Coca Cola maupun Club yang dibeli Asahi Indofood, perusahaan patungan JepangIndonesia. Intinya, air yang ada di Indonesia, dijual lagi kepada orang Indonesia, dan keuntungannya melayang menuju negaranegara yang air kerannya saja sudah bisa langsung diminum.
Dari semua gambaran itu, wajib hukumnya pengelolaan air ber dasar prinsip pasal 34 UUD 1945. Per juangan masyarakat mendapatkan ak ses air adalah perjuangan mendapat kan hak. Tulisan dalam liputan utama edisi ini melukiskan perjuangan mendapatkan hak itu, yang harusnya adalah kewajiban negara untuk me menuhinya.
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 3
I n f o s E K i l A s
Penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di semua desa di Gunungkidul semakin dikebut pemerintah kabupaten setempat.
Semua desa di Gunungkidul diharapkan sudah menerapkan sistem ini sebelum 27 Juli 2015 nanti.
Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi mengungkapkan hal tersebut saat menghadiri pelatihan SID di aula kantor Kecamatan Ngawen, Gu nungkidul, 16/4). “Sebelum 27 Juli nanti, semoga SID akan bisa dilaunching serentak di 144 desa di Gunungkidul oleh gubernur DIY,” ujar Immawan dalam sambutannya.
Penerapan SID ini akan membantu memperbaiki permasalahan data yang kerap terjadi seperti saat pembagian bantuan Raskin. Bappeda Gunungkidul mencatat, pendataan warga kurang mampu selama ini masih belum valid sehingga bantuan dari pemerintah sering tidak tepat sasaran.
GununGKidul-KEbumEn
Juli, Semua Desa di Gunungkidul Terapkan SID
“Penyebab tidak validnya data kare na ketidakjujuran responden dan keterbatasan petugas BPS (Badan Pusat Statistikred) sehingga saat pengklasifikasian menyebabkan ada warga yang seharusnya masuk dalam daftar mendapat bantuan, jadi tidak masuk dan sebaliknya,” ungkap Joko Hardiyan to, selaku Kepala Sub Bidang Data BAPPEDA Gunungkidul, (16/4).
SID memudahkan datadata kependudukan bisa langsung diperbarui di tingkat desa mulai dari RT, RW, padukuhan hingga keluarahan secara berkala. Pembaruan data ini membuat da ta makin valid dan akurat sehingga
dapat digunakan sebagai basis data untuk menganalisis kemiskinan.
Sistem ini menjadikan pelayanan publik seperti pengurusan suratsurat masyarakat menjadi semakin mudah dan cepat. Dengan SID, masyarakat yang ingin mengurus surat kematian misalnya saja, hanya membutuhkan waktu tak kurang dari 5 menit. Tentu saja, cara tersebut jauh lebih cepat dari cara manual yang menghabiskan waktu hingga berjamjam.
Tak hanya dimanfaatkan untuk analisis kemiskinan dan pelayanan publik saja, sistem ini juga memungkinkan pemerintah desa untuk memajang produkproduk unggulan desa. Bahkan, informasi tentang kegiatankegiatan desa semisal kerja bakti dan rapat desa pun juga dapat diunggah dalam sistem ini melalui web desa.
Sebagai aplikasi opensource yang dapat dijalankan baik offline maupun online, SID mudah untuk dioperasikan penggunanya. Para peserta pelatihan bisa langsung menerapkan sistem ini tanpa kesulitan berarti.
“Tinggal ngetik, hasilnya sudah keluar dalam beberapa detik. Lebih cepat dari biasanya. Kalau mau bikin un
Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan
Wahyudi berbincang dengan para
peserta pelatihan SID di Kecamatan
Ngawen, Gunungkidul, (16/4).
Penyebab tidak va-lidnya data ka re na
keti dakjujuran responden dan keterbatasan petugas Badan Pusat Statistik. Sehingga saat pengklasifi-ka sian, ada warga yang seharusnya masuk dalam daftar mendapat bantuan, jadi tidak masuk.
AP
ril
iAn
A s
us
An
ti/K
om
bin
As
i
Kombinasi Edisi ke-61 April 20154
I n f o s E K i l A s
KEBERADAAN Pulau Tikus di pesisir Bengkulu terancam tenggelam karena abrasi yang semakin parah. Pulau Tikus yang memiliki kawasan ekosistem karang dan biota laut itu kini luasnya hanya 0,75 hektar dari luas semula yakni 2 hektar.
Aksi penyelamatan Pulau Tikus pun digelar Forum Pemuda Peduli Bengkulu (FPPB) dan Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (LANAL) Bengkulu pada peringatan Hari Bumi, (22/
4). Dalam aksinya, para peserta aksi membersihkan pulau dan melakukan transplantasi terumbu karang di pulau yang terkenal eksotis tersebut.
Pulau Tikus merupakan salah satu pulau di pesisir Bengkulu yang mempunyai kekayaan sumber daya hayati bernilai tinggi bagi nelayan di sekitarnya. Keindah an panorama bawah lautnya membuat Pulau Tikus ber
potensi menjadi kawasan ekowisata dan wisata bahari. Selain itu, di pulau kecil ini juga berdiri Benteng Marlboro yang dulu pernah menjadi basis pertahanan di masa penjajahan.
Dalam aksi penyelamatan tersebut, para peserta aksi juga mendeklarasikan gerakan penyelamatan dan pengamanan Pulau Tikus ke depannya. Mereka berharap, Pemerintah Provinsi Bengkulu merespon positif gerakan tersebut. www.suarakomunitas.net
dangan rapat pun, tinggal klik saja, lalu dicetak, sudah jadi. Tak perlu mengetik manual seperti biasanya,” kata Sukino, peserta pelatihan SID dari desa Watusigar, Kecamatan Nga wen.
Pelatihan SID ini diikuti oleh perangkat desa dari seluruh desa di Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Sebagai penyelenggara, BAPPEDA Gunungkidul menggandeng Forum Desa Pengembang SID Gunungkidul, IDEA, Media Center Pengurangan Resiko Bencana Gunungkidul dan Combine Resource Institution Yogyakarta dalam pelatihan maraton yang berlangsung pada 6 sampai 20 April 2015 di hampir seluruh desa di Gunungkidul.
Kebumen Kembangkan Jurnalisme Warga Berbasis SID
Jika Gunungkidul tengah menerapkan SID untuk semua desa, lain halnya dengan Kebumen. Kabupaten di provinsi Jawa Tengah ini sudah terle bih dulu menerapkan aplikasi SID se jak 2013. Dari 10 desa yang menjadi pilot project, kini sudah lebih dari 300 desa yang telah mengembangkan SID.
Pemanfaatan SID di Kebumen tak sebatas untuk basis data kependudukan saja, namun juga telah dikembangkan untuk jurnalisme warga. Pada 9 10 April 2015, tim CRI Yogyakarta be kerjasama dengan Formasi mengadakan pelatihan jurnalisme warga berbasis SID. Setiap materi dalam pelatihan ini berorientasi pada data desa dan web desa yang terintegrasi dalam SID.
Dalam pelatihan itu, warga belajar tentang pemetaan sosial di tingkat desa sebagai bahan untuk membuat konten jurnalistik. Di samping itu, materi dalam pelatihan ini termasuk teknik penulisan berita yang memuat unsur pokok dalam membuat karya jurnalistik. Peserta pelatihan juga diajak untuk membuat tulisan yang bukan bersumber dari kejadian tapi dari lingkungan sekitar dan pengamatan.
“Tulisan berita tak hanya bersumber dari kejadian, namun juga dapat bersumber pada kehidupan seharihari di lingkungan sekitar,” kata Sarwono, selaku trainer jurnalisme warga dari CRI Yogyakarta. (AS)
bEnGKulu
Pulau Tikus Terancam Tenggelam
Para pemerhati lingkungan hidup menggelar aksi penyelamatan Pulau Tikus
pada Hari Bumi, (22/4) dengan membersihkan pulau dan melakukan trans-
plantasi terumbu karang di pulau yang terkenal eksotis itu.
Pulau Tikus yang memiliki kawasan
ekosistem karang dan biota laut itu sekarang luasnya hanya 0,75 hektar dari luas semula yakni 2 hektar.
su
Ar
AK
om
un
itA
s.n
Et
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 5
Hari Bumi tahun ini jatuh pada hari Rabu, 22 April 2015. Meski diperingati setiap tahunnya, bumi terus meng
alami kemerosotan lingkungan, salah satunya hutan. Di Kabupaten Lombok Tengah, puluhan hektar hutan Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Lantan terlihat mulai gundul.
Kepala Desa Lantan, H. Ahmad Zaini berpendapat, gundulnya hutan disebabkan karena kurang sigapnya polisi hutan yang ditugaskan di wilayah utara oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam melakukan pemantauan di lapangan. Begitu juga dengan elangelang (sebutan untuk polisi hutanred) yang telah dijadikan mitra oleh dinas, justru diduga sebagai pelaku pembalakan liar.
“Bagaimana hutan tidak gundul, polisi hutan dan elangelang kami duga ikut bermain. Sering kejadian penebangan kayu, langsung kami informasikan ke Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” ungkapnya, (22/4).
H. Ahmad Zaini menjelaskan, hutan HGU yang luasnya 351 hektar dan berdampingan dengan Dusun Kerantik dan Pemasir itu dulunya dikelola oleh PT. Trisno Kenanga sejak 1994 hingga 2007. Sesudahnya, lahan tersebut
sampai saat ini belum ada kejelasan siapa yang mengelolanya, itulah sebabnya masyarakat setempat mengelola hutan itu sendiri, bahkan sudah mengkaplingnya. Ratusan warga, bahkan memilih langsung tinggal di hutan itu. Ketidakjelasan pengelolaan membuat warga dengan mudah memanfaatkan hutan itu sebagai salah satu sumber penghasilan mereka.
“Wajar penebangan kayu marak karena satusatunya mata pencarian masyarakat di sana lewat hutan itu. Di hutan itu juga sudah terjadi pengkaplingan lahan. Itu disebabkan HGU belum jelas yang mengelolanya, pemerintah atau masyarakat. Seharusnya ada ketegasan dari dinas terkait,” tandas Ahmad Zaini.
Soal maraknya pembalakan liar (ille gal logging) Ahmad Zaini mengatakan, pihaknya sering berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan mitranya, namun seringkali berbeda pendapat. Ketika terjadi pembalakan liar, pihaknya menginformasikan ke Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang langsung ditanggapi dan menjanjikan akan menurunkan polisi hutan. Namun, faktanya tidak ada polisi hutan yang turun.
Koordinasi yang dilakukan Ahmad Zaini de ngan Dinas Kehutanan dan
Perkebun an setempat selalu menemui jalan buntu. Pada hal, aktivitas penebangan kayu terus terjadi, khususnya malam hari. ”Koordinasi dengan dinas sebagai mitra, tak ada tanggapan, ya biar kan saja,” pasrahnya.
Sementara itu saat ditemui terpisah, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Tengah, Pan Rahayu Samsor mengatakan, jumlah pembalakan liar sudah mulai berkurang. Hal itu karena Dinas Kehutanan dan Perkebunan telah membuat tim gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, tokoh masyarakat, kepala desa termasuk elangelang. “Tim ini yang patroli siang dan malam, menjaga agar tidak terjadi penebangan kayu,” jelasnya.
Saat ini, sejumlah kasus pembalakan liar, menurut Pan Rahayu, sudah ada yang divonis pengadilan dan sedang menjalani hukuman. Selain itu sejumlah kasus juga sedang dalam proses hukum dan menunggu proses P21 (penyidikan sudah lengkapred) tak lama lagi.
“Kita tidak tinggal diam, walau luas hutan kita tidak sebanding dengan aparat yang kita miliki. Namun Alhamdulillah, saat ini kita akan mendapat tambahan bantuan anggota polisi hutan oleh pemerintah,” terangnya.
www.suarakomunitas.net
lomboK tEnGAH
Hutan Gundul, Ironi Hari Bumi di Lombok Tengah
foto
-fo
to: l
om
bo
Kfm
.co
m,
su
Ar
AK
om
un
itA
s.n
Et
Makin maraknya pembalakan liar menyisakan hutan yang gundul.
Kombinasi Edisi ke-61 April 20156
I n f o s E K i l A s
Aksi protes tidak melulu harus dengan berunjuk rasa. Seperti yang dilakukan warga yang tergabung dalam Paguyuban
Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) Yogyakarta, misalnya yang mengekspresikan protes dengan melukis tembok atau mural.
Aksi mural itu dilakukan sebagai protes warga Desa Karangwuni atas proyek pembangunan apartemen Uttara di lingkungan mereka. Warga memprotes keberadaan apartemen tersebut akan mengancam ketersediaan air tanah yang selama ini jadi sumber penghidupan warga. Aksi ini digelar bertepatan dengan mo mentum peringatan Hari Air sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret 2015. Tulisan mural “Selamat Hari Air Sedunia” di salah satu tembok warga pun khusus ditujukan untuk pengembang aparte men sebagai bentuk protes.
“Jika air di utara (Yogyakartared) habis, maka di selatan akan kekering
YoGYAKArtA
Protes Apartemen, Warga Bermuralan. Paling hanya kebagian banjirnya kalau hujan,” ujar Imam Nugroho, Ketua RT 01 Desa Karangwuni, (22/03).
Kekhawatiran warga itu bukannya tanpa alasan. Belajar dari beberapa kasus kekeringan di Yogyakarta, sebagian besar adalah akibat dari eksploitasi air tanah untuk kebutuhan hotel. Salah satu kasus yang cukup mendapat perhatian misalnya saja kekeringan di Desa Miliran setelah 2 tahun berdirinya Fave Hotel di desa itu.
Apartemen Uttara yang diprotes warga tersebut rencananya dibangun persis di sebelah pemukiman warga. Area proyek dan pemukiman hanya dipisahkan selapis tembok. Selain persoalan air di masa depan, warga juga merasa terganggu dengan bising akti vitas pembangunan. Resiko kecelakaan proyek karena terlalu dekatnya jarak antara proyek dan pemukiman juga menjadi kekhawatiran warga.
Tidak hanya sekali itu saja warga Desa Karangwuni melakukan aksi pro
tes. Sejak bulan Oktober 2013, mereka sudah beberapa kali melakukan protes, akan tetapi tak pernah digubris oleh pemerintah setempat. Bahkan, aksi protes mereka pada akhir 2014 lalu berujung pada pemidanaan. Saat itu, Adji Kusumo dan Rizki Adjie Sanjaya dikriminalkan dengan tuduhan merusak spanduk milik PT Bukit Alam Permata, sebagai pengembang apartemen Uttara.
Di samping menggelar aksi dalam bentuk mural, dalam peringatan Hari Air tersebut warga Desa Karangwuni juga melaksanakan berbagai bentuk acara seperti senam, lomba ketangkasan, lomba mewarnai untuk anakanak, dan lain sebagainya. Awalnya, warga juga berencana menggelar nonton bersama film ‘Belakang Hotel’ tentang kasus kekeringan di Desa Miliran atas pembangunan Fave Hotel, namun urung dilakukan karena situasi yang tidak memungkinkan.
www.suarakomunitas.net
doKumEn KombinAsi
Mural sebagai bentuk protes warga
Kampung Karangwuni atas pembangunan apartemen Uttara.
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 7
TIDAK semua penduduk Indonesia bisa menikmati berbagai informasi baik cetak maupun eletronik. Masih banyak wilayah di nusantara ini, terutama di pesisir atau kepulauan yang belum tersentuh akses informasi dan teknologi. Desa TapiTapi di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara adalah salah satunya.
Jangankan akses atas media cetak atau internet, pasokan listrik saja masih sangat terbatas, itu pun sebagian besar masih menggunakan genset. Terlebih lagi, warga hanya dapat menggunakan genset tersebut pada malam hari, yakni sejak pukul 18.00 sampai pukul 00.00. Maka tidak heran jika akses informasi dari radio, televisi, ataupun koran sulit ditemukan di Desa TapiTapi.
Warga desa pun berharap mereka segera mendapatkan pasokan listrik yang cukup. Dengan demikian, mereka bisa mengakses informasi dengan lebih baik, setidaknya melalui saluran radio. Tidak hanya di waktu malam dengan bantuan genset, melainkan sepanjang hari.
www.suarakomunitas.net
PARA PETANI Kecamatan Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara melakukan aksi unjuk rasa di kantor gubernur, (6/5). Mereka mendesak Gubernur Sulawesi Tenggara untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang nikel milik PT. Derawan Berjaya Mining di Desa Polara, Wawonii. Meski memiliki IUP, perusahaan tersebut dinilai telah melakukan pelanggaran dalam proses pertambangan.
Aksi unjuk rasa tersebut merupakan kelanjutan dari penangkapan 2 petani asal Desa Polara oleh kepolisian, (3/5). Kedua petani itu, yakni Ismail dan Hasim Lasao, selama ini dikenal gigih memperta hankan tanah mereka dari penam bangan PT. Derawan Berjaya Mining. Hasim Lasoa, dianggap sebagai pela ku utama dalam pembakaran base camp perusahaan tersebut pada 8 Ma ret 2015 lalu.
Wakil Ketua DPRD Konawe Kepulauan, Ab dul Rahman, mengatakan, kehadiran PT. Derawan Berjaya Mining telah me nimbulkan kesenjangan sosial bagi masyarakat. Selama 8 tahun berdiri, perusahaan tambang itu tidak memi liki keseriusan untuk mensejahtera kan masyarakat.
“Derawan (PT. Derawan Berjaya Miningred) tidak punya niat baik untuk menam bang di pulau kita ini. Ma sa datadata pertambangannya tidak pernah dise torkan kepada instansi terkait di ling kup Konkep (Konawe Kepulauanred). Nah, hari ini juga sudah dua kali diun dang rapat tapi kok belum hadir juga. Ini kan menunjukkan bahwa mereka tak ingin membina komunikasi yang baik,” terang Abdul Rahman, (8/5).
Hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban dari pemerintah daerah terkait tuntutan para petani Wowanii. Demikian halnya dengan PT. Derawan Berjaya Mining yang belum memberikan tanggapan atas tuntutan warga. www.suarakomunitas.net
LAHAN kosong di Kabupaten Lombok Utara (KLU) semakin menyempit oleh pembangunan perumahan dan gedung perkantoran. Tak hanya sektor pertanian saja yang terancam, namun juga keberadaan ruang hijau.
“Setiap tahunnya, lahan untuk pertanian di KLU semakin terkikis. Lamalama pertanian di Dayan Gunung semakin habis karena beralih fungsi. Dampaknya, daerah resapan air dan lahan menjadi berkurang”, kata Fathul Hadi, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Mataram.
Fathul Hadi mengatakan, dampak dari pesatnya perkembangan perumahan di pinggir jalan utama KLU ini seperti dua mata pedang. Di satu sisi, pembangunan memberi dampak positif dengan naiknya harga tanah, meningkatnya pajak bumi dan bangunan dan terbentuknya jaringan transportasi baru. Namun, di sisi lain tanpa disadari pesatnya pembangunan juga berdampak buruk terhadap masalah banjir pada musim hujan dan kebakaran pada musim kemarau.
Fathul Hadi khawatir, alih fungsi lahan pertanian menjadi bangunanbangunan beton dapat menyebabkan krisis pangan bagi masyarakat di kemudian hari. Ia berharap, pemerintah lebih selektif dan membatasi ijin mendirikan bangunan terutama di lahan yang semestinya untuk pertanian. www.suarakomunitas.net
sulAwEsi tEnGGArA
lomboK utArA
sulAwEsi tEnGGArA
Petani Tuntut Cabut Ijin Tambang PT. DBMAlih Fungsi Lahan Ancam Pertanian
Sulitnya Akses Informasi dan Teknologi di Desa Terpencil
su
Ar
AK
om
un
itA
s.n
Et
Kombinasi Edisi ke-61 April 20158
U t A m A
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 9
Krisis Air AKibAt KEtidAKPEduliAn
tErHAdAP linGKunGAn
banyak orang yang mengerumuninya heran dan menanyakan maksudnya. “Air di rumah saya kering karena tersedot hotel!” tukas pria bermandi tanah itu. Usut punya
usut, ternyata pembangunan hotel di wilayah kampungnya membuat debit air sumursumur di kampungnya menyusut.
Sementara pada waktu yang berbeda masih di kota yang sama, warga Kampung Karangwuni memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2015 dengan menggelar aksi mural untuk memprotes pembangunan apartemen Uttara di lingkungan mereka. Warga cemas, pembangunan apartemen itu akan berdampak pada krisis air di kampung mereka. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan air calon penghuninya, apartemen menyedot air hingga kedalaman 60 meter, jauh lebih dalam daripada sumur warga yang hanya berkisar 10 sampai 15 meter. Meskipun me nuai protes warga, pembangunan apartemen itu hingga kini tetap berjalan. Bahkan, protes warga berujung kriminalisasi bagi mereka yang berusaha mencegah krisis air.
Lain pula di Rembang. Di kota kelahiran R.A Kartini itu, sekelom pok ibuibu bahkan rela berkemah lebih dari 200 hari demi menolak pembangunan pab rik semen di Pegunungan Kendeng yang ber potensi merusak keberadaan mata air di kawasan itu. Meski mengalami kekerasan dan intimidasi dari
aparat negara dan pre man pabrik, para “Kartini Kendeng” itu meneruskan aksi mereka demi memperta hankan fungsi kawasan di mana mereka ber mukim dan menggantungkan hidup: Pegu nungan Kendeng.
Pegunungan Kendeng dikenal se bagai kawasan karst yang menyimpan ra tusan mata air. Karena kuali tas karstnya sangat bagus untuk dija dikan bahan baku semen, kawasan ini pun menjadi sangat menggoda untuk industri. Dengan prinsip konektivitas, pabrik semen terhubung dengan pertambangan pasir be si dan PLTU karena kedua industri tersebut menyediakan bahan baku bagi semen. Pab rik semen di ekosistem Pegunungan Ken deng memerlukan syarat sekaligus akibat, yaitu kematian sumbersumber air bagi kelangsungan penduduk, binatang, dan tanam an pangan di kawasan tersebut.
Ketidakpedulian terhadap LingkunganPerubahan lingkungan lebih sering terja
di karena kehendak manusia ketimbang prosesproses alami. Ekosistem karst diubah menjadi industri semen, pesisir diubah menjadi industri pasir besi, pemukiman diubah menjadi kawasan hotel dan apartemen, hutan diubah menjadi perkebunan adalah sederet contohnya. Pengubahanpengubahan tersebut demi tujuan pertumbuhan modal sehingga ijin dipermudah karena menguntungkan pemerintah. Apa yang terjadi bukan pertumbuhan ekonomi, tapi akumulasi keuntungan segelintir pihak. Buktinya, kesenjangan sosial tetap saja diawetkan.
Teriknya matahari tak menyurutkan niat seorang pria untuk menujuFave Hotel di pinggir jalan raya yang padat lalu lintas di Kota Yogyakarta.
Bertelanjang dada, pria warga Kampung Miliran itu pun mulai mandi, menyambuni badan, menyampo rambut, dan menggosok giginya di depan
hotel. Uniknya, bukan air yang dipakainya, melainkan tanah!
Oleh KUS SRI AnToRo
* Seleng kapnya, lihat film dokumenter “Belakang Ho tel” (Watch Dog, 2013).
Kombinasi Edisi ke-61 April 201510
U t A m A
Ketidakpedulian terhadap masa depan bersama ternyata juga dilestarikan oleh kaum cendekia. Meminjam istilah yang dipopulerkan George Junus Aditjondro, “Ketidakpedulian bahkan dilembagakan sebagai lembagalembaga akademik atau lembaga yang mewarisi tradisinya (Institutionalization of Disengagement),” ketidakpedulian terhadap masa depan bersama pun bahkan dilakukan oleh pusatpusat studi. Sebut saja Pusat Studi Agraria yang dibentuk untuk mengambil alih gerakan perjuangan atas ruang hidup dan sumber penghidupan ataupun Pusat Studi Lingkungan Hidup yang dibentuk untuk mengambil alih peran gerakan lingkungan. Pusatpusat studi tersebut seharusnya menjadi lembagalembaga yang mempunyai otoritas untuk mewakili kepentingan masyarakat dan menentukan kebenaran.
Namun kenyataannya, hal yang dilakukan pusatpusat studi itu justru semacam studi kelayakan untuk penerbitan ijin lingkungan, negosiasi resiko ekologisosial, dan membangun citra bahwa AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) menjamin semua akan baikbaik saja. Kesadaran agenagen perusak lingkungan pun dibangun dari pertanyaan: “Bagaimana proyek menjadi layak dijalankan dengan memperhitungkan risiko secara nominal?”, bukannya pertanyaan: “Apakah suatu proyek dengan risiko penting dan luas semisal krisis air layak dimulai?”
Indonesia Darurat AirSetiap tahunnya, kebutuhan akan air ber
sih semakin meningkat seiring meningkatnya populasi manusia. World Health Organization (2000), memperkirakan 2 miliar manusia di 40 negara terkena dampak kekurangan air setiap hari. Tidak kurang dari 1,1 milyar manusia di bumi ini tidak memperoleh air yang layak dan 2,4 milyar penduduk tak mendapatkan sanitasi yang baik. Pada tahun 2050 nanti, Perserikatan BangsaBangsa (2003) memperkirakan, 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih.
Bagaimana dengan Indonesia? Seperti halnya yang terjadi secara global,
kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Indonesia pun makin mendesak. Konsum si air diperkirakan meningkat hingga 1535% per kapita/tahun. Kontras dengan kebutuhan yang meningkat, ketersediaan air bersih justru cenderung menurun akibat kerusakan alam dan pencemaran. Sekitar 119 juta
rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan, 23 Maret 2007). Hanya sekitar 20% dari total penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Semen tara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara kesehatan. Untuk diketahui, tingkat akses air bersih penduduk pedesaan di Indonesia adalah 69%, itu lebih rendah daripada Malaysia (94%) atau Vietnam (72%), padahal Indonesia kaya sumber air.
Tahun 2019 nanti, jumlah penduduk perkotaan Indonesia diperkirakan mencapai 150,2 juta jiwa dengan kebutuhan air yang akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Kenaikan kebutuhan air itu diserap untuk industri sebesar 700% dan 100% untuk kebutuhan pangan, serta hanya 65% untuk pemukiman.
Tampaknya, pertumbuhan populasi dan ekonomi cenderung melebihi daya dukung lingkungan. Ancaman terbesar justru pada tempat paling padat penduduk dan paling maju: Jawa dan kotakota besar di luar Jawa. Jika laju ketersediaan air lebih lambat dari laju konsumsinya, maka krisis air tidak terhindarkan.
Krisis air terkait langsung dengan krisis lingkungan, sedangkan krisis lingkungan umumnya didahului dengan alih fungsi lahan terutama ke industri atau pertumbuhan ekonomi berkonsumsi tinggi (krisis agraria). Industri tak hanya mengonsumsi air dalam jumlah besar, Industri juga membuang limbah gas (emisi), baik berupa asap motor, pabrik, bahkan penguapan pupuk kimia. Limbah gas ini memanaskan suhu udara di permukaan bumi sehingga terjadi perubahan iklim secara keseluruhan. Akibatnya, pola musim berubah, tak bisa diperkirakan, dan ekstrim. Banjir besar (la nina) dan kemarau berkepanjangan (el nino) adalah dampak perubahan iklim yang mempercepat krisiskrisis sumber penghidupan, termasuk krisis air.
Di Indonesia, kepentingan warga dikalahkan oleh kepentingan pemodal sudah umum terjadi. Akibatnya, krisiskrisis sumber penghidupan, termasuk air, tanah, dan lingkungan sehat hampir diterima sebagai gejala yang wajar ketimbang dimaknai sebagai permasalahan tentang hakhak ekonomi sosial budaya yang harus selalu dipertanyakan penyebabnya dan dituntut solusinya.
Kus Sri Antoro, Peneliti Lepas
Hanya sekitar 20% dari total pen duduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Se men tara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara kesehatan.
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 11
namun, situasi berubah sejak perusahaan dengan komoditas air masuk ke desa tersebut pada era 1980an hingga 1990an. Tidak tanggungtanggung, tak kurang
dari lima perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) mengeksploitasi air tanah di desa itu. Krisis air pun perlahan membayangi warga Babakan Pari setiap tahunnya. Sebelum mata air dan air tanah di wilayah tersebut dieksploitasi, tinggi permukaan air sumur warga bisa mencapai 2 meter. Namun pada pertengahan tahun 2000an tinggi permukaan air sumur hanya sejengkal telapak tangan orang dewasa atau sekitar 15 cm.
Sementara itu, pada 5 Desember 2010 lalu perhatian publik nasional tertuju pada
KEnDALI ATAS AIR, KEnDALI ATAS KEHIDUPAn
Kecamatan Padarincang, Banten. Ribuan penduduk dari kecamatan tersebut mendatangi lokasi pengeboran (pilot project) sumber mata air oleh salah satu raksasa perusahaan air minum dalam kemasan. Warga khawatir, pembangunan pabrik itu akan mengancam ketersediaan air di wilayah mereka. Dua bulan berselang, yakni pada Februari 2011, penolakan dan penutupan paksa warga, perusahaan tersebut akhirnya membatalkan rencana pembangunan pabrik.
Satu kata yang menautkan kedua cerita di atas: air! Sebagai sumber kehidupan manusia, air menjadi kebutuhan pokok yang tidak terelakkan. Karena begitu pentingnya air bagi kelangsungan hidup manusia, air menjadi barang publik (public goods) yang
Desa Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan daerah kaya sumber daya air. Sedikitnya ada tujuh sumber mata air di desa yang terletak di kaki Gunung Salak ini. Warga desa memanfaatkan sumber-sumber mata air itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.
Oleh FERDHI FACHRUDIn PUTRA
AntArAfoto.com
Foto atas: ratusan
dirigen air milik
warga mengantre
untuk mendapatkan
air bersih.
Kombinasi Edisi ke-61 April 201512
U t A m A
paling berharga dari apapun yang ada di muka bumi.
Jumlah air di bumi tidak pernah berkurang. Demikian kata guru Geografi semasa sekolah saya dulu.
Air mengalami sirkulasi alami (siklus hidrologi) yang tak pernah berhenti: dari atmosfer ke tanah, dari tanah ke atmosfer, dan begitu seterusnya. Apa yang dikatakan guru saya tentu masuk akal, sebab tidak ada air di bumi yang menguap hingga melebihi batas atmosfer. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan tidak berkurang nya volume air di bumi, apakah serta merta tidak akan terjadi krisis air?
Nyatanya tidak! Dari tahun ke tahun, ketersediaan air di bumi semakin berkurang, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kedaulatan Air di IndonesiaIndonesia adalah negara kepulauan de
ngan sebagian besar wilayahnya berupa perairan. Seharusnya, dengan dua per tiga wilayahnya yang berupa lautan itu, air bukan menjadi persoalan bagi rakyat Indonesia. Apalagi, Indonesia termasuk dari 10 negara yang memiliki kandungan air tawar terbesar di dunia. Namun kenyataannya, masih banyak daerah di negeri ini yang harus berjuang keras untuk memperoleh kebutuhan air bersih.
Sejumlah faktor seperti topografi dan lingkungan menghambat sebagian warga untuk mengakses air bersih di Indonesia. Faktor topografi ini berkaitan dengan kuantitas air yang hampir sulit diatasi karena sudah merupakan bentukan alam. Beberapa daerah dengan curah hujan rendah mempunyai cadangan air yang minim seperti di Indonesia timur. Sementara dilihat dari faktor lingkungan, pengurangan air tak hanya terjadi secara kuantitas, namun juga kualitas. Pencemaran air yang jamak terjadi terutama di sebagian besar wilayah Indonesia barat saat ini mengakibatkan penurunan kualitas air. Dampaknya pun langsung terasa dengan turunnya kuantitas air yang bisa dikonsumsi.
Meski ketersediaan air di Indonesia melimpah, namun secara kualitas tidak semuanya memenuhi kriteria air bersih dan sehat yang layak konsumsi. Masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan air, terutama air tanah dalam. Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
“Walaupun ketersediaan air di Indone sia melimpah, namun secara kualitas tidak semuanya memenuhi kriteria sebagai air bersih dan sehat yang layak konsumsi. Sekarang, sebagian besar dari penduduk ma sih belum meng konsumsi air bersih,” jelas Iskandar (Mong abay.co.id, 12 November 2014).
Pada beberapa daerah terutama di kotakota besar, ketersediaan air yang menyusut jus tru dimanfaatkan segelintir orang untuk meraup keuntungan. Air dijadikan sebagai komoditas atau barang ekonomi (economic goods), dimana pola distribusinya mengacu kepada prinsip ekonomi klasik yakni penawaran dan permintaan (supply and demand). Pengelolaan air bersih untuk masyarakat pun berpindah dari sektor publik ke perusahaan swasta. Inilah yang disebut privatisasi air. Pameo yang berlaku pun adalah “ada uang, ada air”. Privatisasi air membuat air sebagai kebutuhan asasi manusia yang seharusnya bisa diakses secara cumacuma menjadi tidak berlaku lagi. Privatisasi air inilah yang menyebabkan krisis air di Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada faktor topografi dan lingkungan.
Penetapan UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air membuat arus privatisasi air di Indonesia makin deras. Perusahaanperusahaan AMDK kian masif mengambil alih sumbersumber air di pedesaan yang menjadi sumber kehidupan warga. Ka
An
tAr
An
Ew
s.c
om
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 13
sus di Padarincang adalah salah satu imbas dari regulasi yang menyalahi hak warga negara atas air. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menyatakan regulasi tersebut sebagai legalisasi liberalisasi sumber daya air—yang merupakan konsekuensi atas ketergantungan Indonesia terhadap bantuan finansial dari lembaga keuangan internasional pada krisis 1998.
Seiring dengan kian masifnya privatisasi oleh perusahaanperusahaan AMDK, penolakan warga pada pengambilalihan sumbersumber air pun makin gencar. Hingga akhirnya, pada tanggal 18 Februari 2015, Mahkamah Konstitusi pun membatalkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Putusan tersebut merupakan pengabulan atas permohonan judicial review UU SDA yang diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat seperti, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan. Mahkamah Konstitusi menilai UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 di mana air juga merupakan hak asasi manusia.
Dengan pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan regulasi mengenai air dikembalikan ke UndangUndang nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, pembatalan UU SDA dan diberlakukannya kembali UU Pengairan belum menjamin masyarakat dapat mengakses air secara layak. Maka dari itu, perlu political will (kemauan politikred) yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan amanah UUD 1945 Pa sal 33 yang berbunyi, “Bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan diperguna kan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Dengan gerobak
penuh dirigen air
inilah warga desa Kodi
Utara, Nusa Tenggara
Timur mengambil
air. Mata air tersebut
dimanfaatkan oleh
warga dari dua desa.
Dalam sebuah sesi wawancara pada ta
hun 2005, Direktur Nestle—salah satu perusahaan bahan pangan terbesar, Peter BrabeckLetmathe mengatkan, bahwa air seperti bahan makanan (foodstuff) lainnya yang harus memiliki nilai jual atau harga. Tujuannya, agar kita lebih peduli air sebab air pun mempunyai ‘harga’. Beberapa pihak menilai bah wa pernyataan tersebut merupakan dukungannya terhadap privatisasi air. Namun, pihak Nestle membantahnya. Menurut mereka, Peter justru ingin menekankan perlunya manajemen air yang baik supaya tidak menjadi bencana besar di masa depan.
Terlepas dari polemik tersebut, persepsi mengenai air sebagai barang publik dan air sebagai komoditas nyata adanya. Hingga kini wacana tersebut masih berebut dominasi, tak terkecuali di Indonesia. Lalu, ke mana Pemerintah Indonesia akan berpihak?
Ferdhi Fachrudin Putra, Pegiat
Combine Resource Institution Yogyakarta
Indonesia termasuk dari 10 negara yang
memiliki kandungan air tawar terbesar di dunia. Namun kenyataannya, ma-sih banyak daerah di negeri ini yang harus ber juang keras untuk memper oleh kebutuhan air bersih.
An
dr
Ew
dA
nA
njA
YA
* Lebih lanjut, baca Kemelut Sumber Daya Air, Menggugat Privatisasi di Indonesia (Jakarta: KruHA Lapera, 2005).
Kombinasi Edisi ke-61 April 201514
U t A m A
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 15
Infografis: Aris Haryanto
Kombinasi Edisi ke-61 April 201516
U t A m A
sementara di dalam ruang sidang, membludaknya pengunjung sidang mem buat beberapa ibu berkebaya mesti duduk di lantai. Tujuan mereka satu: mengawal sidang putus
an atas gugatan izin pertambangan semen oleh PT. Semen Indonesia atau yang dulu dikenal dengan PT. Semen Gresik.
Samasama mengawal jalannya sidang, ratusan warga itu nyatanya terbagi menjadi
GuGAtAn ditolAK, AKAnKAH“KEndi AbAdi” tEtAP mEnGAlir?Penambangan Karst Ancam ratusan mata Air
Teriknya matahari tak menyurutkan semangat ratusan warga Pegunungan Kendeng, Rembang untuk bertahan dihalaman gedung Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Semarang, (16/4). Pun halnya dengan hujan yang sempat mengguyur sekitar seperempat jam tidak membuat mereka goyah untuk meninggalkan tempat itu.
dua kubu yang bertentangan. Mudah saja mengenali kedua kubu itu. Mereka yang mengenakan atribut payung merah putih dan ikat kepala bertuliskan “Semen Gresik” merupakan kubu yang mendukung pembangunan pabrik semen.
Sementara warga yang kontra terhadap pembangunan pabrik semen terlihat dari ca ping yang biasa mereka kenakan sewaktu bertani di sawah. Mereka khawatir, penambangan karst sebagai bahan baku semen di Gunung Watuputih, Pegunungan Kendeng akan mengancam keberadaan ratusan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga, terutama petani. Mata air itulah yang selama ini menghidupi warga dari generasi ke generasi sehingga mereka menyebut pegunungan Kendeng sebagai “Kendi Abadi” (kendi: tempat air minum dari tanah liat, Jawa
Oleh MARyAnI
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 17
red), karena perut pegunungan itu selalu memancarkan air untuk hidup mereka.
“Thok...thok..!” Ketokan palu hakim pun bertalu, mengiringi langkah gontai warga bercaping yang mayoritas petani itu. Beberapa wanita berkebaya dan berselendang bahkan meneteskan air mata ketika bergabung dengan warga di halaman gedung PTUN. Keputusan hakim telah dikeluarkan, menyebutkan bahwa gugatan warga tidak dapat diterima dan pembangunan pabrik semen dapat terus berjalan.
Sidang gugatan tersebut sejatinya sudah berjalan sejak November 2014 hingga April 2015. Sidang ini berawal dari gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama enam warga Rembang yang menggugat Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah tanggal 7 Juni 2012. Tak tanggungtanggung, tergugat dalam kasus ini adalah Gubernur Jawa Tengah. Dalam sidang putusan itu, hakim menolak gugatan warga dan WALHI karena telah kadaluarsa.
“Mengadili, dalam penundaan, menolak permohonan penundaan pelaksanaan surat
keputusan objek sengketa. Dalam eksepsi, menerima eksepsi tergugat dan tergugat II intervensi tentang tenggang waktu. Dalam pokok sengketa menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima,” kata Susilowati Sihaan, Ketua Majelis Hakim PTUN Semarang saat membacakan hasil putusan.
Menurut hakim, penggugat setidaknya sudah mengetahui perihal pembangunan pabrik pada penjelasan Wakil Bupati Rembang pada 22 Juni 2013 tentang telah terpenuhinya seluruh izin. Selain itu, pihak tergugat mengklaim mereka sudah melakukan sosialisasi ke warga dengan menempel di kantor kecamatan dan mengumumkan sosialisasi melalui website Badan Lingkungan Hidup. Karena itu, hakim menilai gugatan yang didaftarkan oleh penggugat tertanggal 1 September 2014 berdasarkan hitungan kasuistis sudah melebihi batas waktu 90 hari atau sudah kedaluarsa. Hakim pun mengenakan biaya perkara sebesar Rp 313.500 kepada para penggugat.
Siti Rakhma Mary Herwati selaku kuasa hukum warga yang menolak pabrik semen awalnya berharap majelis hakim memeriksa pokok perkara sampai akhir. Hal tersebut supaya memperjelas substansi dari gugatan yang diajukan bahwa izin lingkungan itu melanggar hukum dan melanggar asasasas umum pemerintahan. Namun, ternyata majelis hakim hanya memeriksa eksepsi dari pihak tergugat dan tergugat intervensi mengenai jangka waktu 90 hari sehingga dianggap kadaluarsa.
“Kami akan banding dengan putusan ini,” tegas Siti Rakhma Mary Herwati menanggapi putusan sidang tersebut.
Senada dengan Siti, Yudianto Simanjuntak yang juga menjadi kuasa hukum penggunggat mengungkapkan, majelis hakim tidak melihat pokok persoalan sehingga mengabaikan faktafakta hukum.
“Ada satu hal yang tidak bisa kita harapkan dari proses persidangan ini karena majelis hakim tidak melihat persoalan yang sangat penting karena majelis tak melihat pokok persoalan dan mengabaikan faktafakta hukum,” ungkap Yudianto Simanjuntak.
Petani Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen merasakan kekecewaan yang mendalam atas putusan sidang itu. Meski demikian, kekalahan pada putusan sidang kali ini bukanlah akhir dari segalanya. Harapan masih membuncah di sanubari mereka. Penolakan pembangunan pabrik semen
Ibu-ibu petani
warga Pegunungan
Kendeng, Rembang
mengawal jalannya
sidang putusan atas
gugatan izin per-
tambangan se men
oleh PT. Semen Indo-
nesia, (16/4). Mere-
ka merupakan kubu
yang menolak pem-
bangunan pab rik
Semen Indo nesia di
wilayah Kendeng.
foto
-fo
to: d
oK
um
En
Ko
mb
inA
si
Kombinasi Edisi ke-61 April 201518
U t A m A
akan terus mereka perjuangkan, karena mereka yakin kebenaran ada di tangan mereka, warga petani yang terdampak langsung penambangan karst.
“PTUN bukanlah jalan satusatunya. Saya akan tetap maju dan terus berjuang. Kami harus menyelamatkan Ibu Bumi yang sudah minta tolong ini,” kata Sukinah, petani Rembang yang rumahnya terletak satu kilometer dari rencana penambangan.
Benarkah Sosialisasi Dilakukan?Siti Rakhma Mary Herwati mengakui, war
ga memang baru belakangan mengetahui adanya SK Gubernur tentang izin penambangan itu. Hal itu karena sebelumnya mereka tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Di lain pihak, pemerintah mengklaim bahwa sosialisasi tentang akan adanya penambangan itu telah dilakukan. Klaim pemerintah itu dikuatkan dengan kesaksian dua saksi ahli dari pihak tergugat yang mengatakan bahwa izin lingkungan ditempel di kantor kecamatan.
Atas klaim itu, Siti Rakhma Mari Herwati menyanggah bahwa masyarakat tidak pernah melihat adanya penempelan sosialisasi di kantor kecamatan tersebut. “Hanya elit desa saja yang mengetahui penempelan itu,” sanggahnya.
Lagilagi, hakim mempertimbangkan bahwa izin lingkungan tersebut sudah dipublikasikan melalui website Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah. Dengan ada
nya publikasi online, masyarakat dianggap sudah tahu. Pertanyaan yang kemudian muncul ada lah apakah masyarakat pernah membuka website tersebut?
Warga merasa, sosialisasi izin pertambangan belum dilakukan pemerintah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat, kata sosialisasi berarti harus dikenali, dipahami, dan dihayati oleh masyarakat. Masyarakat yang menolak pembangunan pabrik mayoritas adalah petani yang akrab dengan cangkul, arit dan caping yang jarang berkunjung ke kantor kecamatan. Jangankan mengakses website, sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengenal apa itu website.
“Masyarakat baru mengetahui pabrik semen, ujugujug alat berat datang. Ketika dibawa ke persidangan temanteman (warga penolak pabrik semen) selalu dikalahkan” kata Gunretno aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang melanjutkan aksinya bersama sekelompok mahasiswa dari UIN Walisongo, Universitas Semarang dan Universitas Diponegoro ke kantor Gubernur Jawa Tengah.
Menyelamatkan ‘Kendi Abadi’Secara hukum, ada tiga regulasi yang me
negaskan cekungan air tanah Watuputih adalah kawasan lindung geologi. Mulai dari Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011, Perda Provinsi Jateng No.6 Tahun 2010 yang semuanya tetang Tata Ruang Wilayah, hingga Keputusan Presiden Republik Indonesia
Arak-arakan barong-
sai turut meramaikan
aksi warga yang me-
nolak pembangun an
pabrik semen.
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 19
No. 26 Tahun 2011. (Ming Ming Lukiarti, Kombinasi Edisi 56/Juni/2014). Regulasiregulasi tersebut sudah tercantum dalam pokok perkara gugatan warga Rembang dan WALHI yang diajukan ke PTUN Semarang. Sayangnya, bukan dijadikan bahan pertimbangan bahkan diperiksa pun tidak.
Selain regulasi, hasil survei lapangan Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang menemukan adanya 49 goa dan 109 sumber mata air alami di Pegunungan Kendeng. Sumber mata air inilah yang kemudian digunakan oleh warga di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang untuk memenuhi kebutuhan air seharihari.
“Ancaman terhadap karst adalah ancaman petani terhadap hak petani untuk mendapatkan hak atas air untuk kehidupan seharihari dan pertanian,” kata Yudianto Simanjuntak ketika memberikan orasi di hadapan pendukung tolak semen.
Sementara itu, kuasa hukum tergugat intervensi dari PT Semen Indonesia, Sadly Hasibuan, menyampaikan putusan hakim terhadap kasus ini bukan tentang menang dan kalah. Akan tetapi, ia menyebutkan bahwa pu tusan ini me rupakan kemenangan bersama masyarakat Kabupaten Rembang. Sebab, atas putusan PTUN Semarang ini, bukan ber
arti PT Semen Indonesia akan meninggalkan warga yang masih menolak.
Sadly mengatakan, justru nantinya semua pihak, termasuk yang saat ini kontra, tetap akan dirangkul dan digandeng untuk bersamasama memajukan dan mewujudkan kesejahteraan warga Rembang. Sadly juga menegaskan, sangat menghargai langkahlangkah yang akan diupayakan para penggugat pascaputusan ini. ‘’Sebab, masih ada waktu 15 hari kepada penggugat untuk mengajukan banding,’’ katanya menegaskan.
Upaya penolakan terus dilakukan warga bersama lembaga swadaya masyarakat dan mahasiswa. Bertahan di tenda perjuangan sebagai aksi penolakan sudah dilakoni warga Rembang selama 300 hari lebih sejak peletakan batu pertama pendirian pabrik semen pada 16 Juni 2014. Warga juga sudah melakukan unjuk rasa di setiap sidang di PTUN Semarang, Kantor Bupati Rembang, Kantor Gubernur Jawa Tengah, bahkan di Istana Presiden Jakarta. Dukungan pun mengalir dari beberapa individu maupun kelompok dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Palembang, Malang dan daerah lain. Perju angan tersebut tidak lain untuk menjaga ‘Kendi Abadi’ agar terus mengalir.
Maryani, Pegiat Combine Resource Institution
Warga yang pro ter-
hadap pemba ngun an
pabrik semen berlin-
dung di bawah pa yung
bertuliskan “Semen
Gresik”. Pu luhan per-
sonil polisi meng aman-
kan jalan nya sidang
untuk men cegah ben-
trokan kedua kubu.
Kombinasi Edisi ke-61 April 201520
U t A m A
Oleh APRILIAnA SUSAnTI
tak sanggup menyelesaikan lagunya, Gunarti pun dengan lantang menyuarakan penolakannya terhadap rencana pendirian pabrik semen di daerahnya. “Yang kami
pertahankan adalah air, sebagai sandaran penghidupan kami. Kalau bukan kami yang menjaganya, tanah air kami akan kembali dijajah pengusaha asing,” tegasnya dalam Bahasa Jawa.
Gunarti adalah salah satu tokoh warga Samin atau biasa disebut Sedulur Sikep yang hidup di sepanjang Pegunungan Karst Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Seperti halnya Gunarti, mayoritas warga di Pegunungan Kendeng memang menolak kehadiran pabrik semen. Penolakan itu karena sebagian besar karst Pegunungan Kendeng telah menjadi sumber pengairan bagi pertanian warga.
Pegunungan Kendeng sejatinya memang menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Ratusan mata air yang tersimpan di dalam perutnya menjadi tumpuan ribuan warga di Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang. Air yang melimpah membuat daerah ini menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.
Berbalut kebaya kain hitam polos dengan rambut disanggul cepol seadanya dan beralaskan sandal jepit sederhana, Gunarti menyapa Yogyakarta, (9/4). Berdiri di ruangan Wisma Djoglo Yogyakarta tempat berlangsungnya konferensi nasional tentang air, suara petani itu tercekat ketika menyanyikan sebait lirik lagu lagu “Ibu Pertiwi” untuk desanya di kaki Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.
Sebagai pegunungan karst, Kendeng memiliki cadangan batu gamping yang menjadi bahan baku semen dengan kualitas unggul. Kekayaan akan batu gamping itulah yang menarik beberapa pabrik semen untuk menambang di sana. Tentu saja, rencana penambangan itu ditentang keras oleh masyarakat di sekitarnya. Warga khawatir, penambangan akan mengancam ratusan mata air yang menjadi tumpuan hidup mereka.
Penambangan di Pegunungan Kendeng bisa memicu resiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut. Saat ini, terdapat 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit air yang relatif konstan. Mata air tersebut menjadi sumber air bagi sekitar 8000 kepala keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah yang terdapat di Sukolilo (www.mongabay.co.id).
“Gunung yang terbentuk ribuan tahun, dikepras (diruntuhkanred) hanya dalam sehari saja,” ujar Gunarti ketika tim Majalah Kombinasi menemuinya, (9/4).
Gunarti tak pernah membayangkan perjuangannya dan temantemannya akan sampai sejauh ini. Sebelum rencana pendirian
sEmAnGAt KArtini KEndEnG mEndobrAK tAmbAnG
“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hatiAir matamu berlinang, mas intanmu terke nang”
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 21
alam sekaligus menjaganya tetap lestari. Sejahtera adalah saat kita bisa merasa tenteram hidup bermasyarakat tanpa ancaman. Untuk kami, ketenteraman itu muncul ketika kami tidak terancam oleh rencana penam bangan itu. Masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk menjaga bumi kita agar tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita nanti,” pungkas Gunarti sebelum melanjut kan perjalanannya kembali ke desa tercin tanya, Desa Sukolilo di kaki Pegunungan Kendeng yang menawan sekaligus tertawan.
pabrik semen itu menggema, wanita desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal ini hanya bersuara di dalam masyarakatnya saja.
“Jika dulu masalahnya banjir karena sungai diberi jlarang (pagar bambu un tuk memben dung sungaired) sama pencari ikan,” kenang Gunarti. Ia melanjutkan, “Ka lau sekarang, banjirnya terjadi karena (Pegunungan) Kendeng digunduli untuk ditam bang.”
Rencana penambangan tak hanya mengancam kelestarian tanah dan air Pegunungan Kendeng saja, namun juga merusak tata sosial masyarakatnya. Imingiming akan adanya lapangan pekerjaan membuat sebagian warga mendukung berdirinya pabrik semen, sementara sebagian warga lainnya menolak mentahmentah rencana penambangan tersebut. Pro dan kontra yang muncul ternyata berujung sangat runcing dalam keseharian warga.
“Sekarang kalau ada warga sakit, yang jenguk sedikit, bahkan ada yang tak dijenguk. Demikian juga kalau ada yang ha jatan. Sangat berbeda dengan dulu,” kata Gunarti.
Sosok Gunarti sedikit banyak mencerminkan semangat Kartini ratusan tahun lalu. Meresapi semangat kekartinian masa kini tak sebatas berkonde dan berkebaya saja, namun juga aksi nyata memperjuangkan tanah air Pegunungan Kendeng, tempat hidup dan menghidupi keluarga mereka. Membayangkan lumbung padi di desanya akan berubah menjadi kubangan lumpur jika pabrik semen itu berdiri, Gunarti pun membacakan sebuah puisi berbahasa Jawa.
“Yen bumi pertiwi arep dideki pabrikpabrik/Terus ditambang rino wengi/Dudu wong tani tok sing bakalan cutes/nanging banyu, witwitan, lan ugo kewankewan ugo bakalan cutes, cures, tumpes, ludes/Nganti kapan panguoso ngrusak alam?/Mbesok kapan panguoso eling alam?/Ojo nunggu ibu pertiwi murka”
(Kalau bumi pertiwi akan didirikan pabrikpabrik/Lalu ditambang siang malam/Bukan petani saja yang akan habis/namun air, pepohonan, dan juga hewanhewan juga akan habis, binasa, dan musnah/Sampai kapan penguasa merusak alam?/Kapankah penguasa mengingat alam?/Jangan menunggu ibu pertiwi murka).
Bagi para kartini Pegunungan Kendeng ini, sejahtera bukan diukur dari banyaknya perusahaan yang berdiri di wilayah mereka. “Sejahtera adalah saat kita dapat hidup dari
Sejahtera adalah saat kita bisa hidup dari alam sekaligus menjaganya tetap lestari. Sejahtera adalah saat bisa merasa tenteram hidup bermasyarakat tanpa ancaman. Untuk kami, ketentraman itu muncul ketikakami tidak teran-cam oleh rencana penambangan itu.
GUnARTIKartini dari Desa Sukolilo, Pegunungan Kendeng
foto
: AP
ril
iAn
A s
us
An
ti/K
om
bin
As
i
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 21
Kombinasi Edisi ke-61 April 201522
U t A m A
melimpahnya air yang ditunjang dengan sebaran lapukan abu vulkanik Gunung Merapi menjadikan tanah di desa kami sangat subur. Tidak heran, segala
tanaman pertanian mulai dari padi, palawija, hingga buahbuahan dapat tumbuh dengan hasil panen yang dapat menunjang perekonomian warga. Melimpahnya air juga dimanfaatkan warga untuk perikanan, baik di kolam secara khusus maupun dengan sistem mina padi dimana ikan dipelihara di sawah bersamaan dengan tanaman padi. Sederhananya, desa kami adalah daerah makmur air di mana air selalu mbanyu mili (air mengalirred) sepanjang tahun se olah tanpa susut meskipun musim kemarau panjang.
Namun kini, indahnya sawah yang menghijau oleh tanaman tak lagi terlihat. Sebabnya, sawahsawah tak lagi teraliri air sepanjang waktu. Untuk menanam padi saja kami
simAlAKAmA Air bErsiH untuK dEsADulu, air melimpah ruah di desa kami di lereng Merapi sisi barat di Desa Kronggahan, Kecamatan Srumbung, Magelang. Sumber-sumber mata air dapat ditemukan dengan mudahnya. Ada tuk bendo yakni mata air yang muncul dari dalam tanah, ada juga ada mbelik di pinggiran Kali Pandan. Bahkan, di tebing lembah sisi barat desa pun juga muncul mata air, kami menyebutnya kedhokan.
harus mengandalkan limpahan ketersediaan air pada musim hujan. Tidak ada lagi pemandangan kolamkolam ikan yang menjadi ikon dusun kami di masa lalu.
Keceriaan anakanak yang mandi di sungai tak lagi terlihat seiring dengan makin lirihnya gemericik air Kali (sungaired) Pandan yang berhulu di kaki Merapi ketika beberapa minggu hujan tidak turun. Bahkan, sungaisungai kecil anak sungai Kali Pandan hampir selalu kering. Begitu pun dengan kedhokan dan mbelik yang dulu menjadi tempat mandi bersama warga desa kini juga semakin sulit ditemukan.
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya air di desa kami. Perubahan iklim akibat pemanasan mungkin menjadi salah satu faktor global. Sementara di ranah lokal, tentu saja berkurangnya air tak lepas dari pembalakan hutan di puncak Merapi dan eksploitasi penambangan pasir yang masif sejak
Oleh nAnAnG TRIAGUnG EDI H
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 23
tahun 1998. Padahal, hutan berperan besar dalam menyerap air hujan untuk kemudian disimpan sebagai air tanah yang menjadi sumber mata air. Dampaknya, debit air di sejumlah mata air menyusut. Su ngaisungai be sar seperti Kali Putih dan Kali Blongkeng pun berkurang aliran airnya. Bah kan pada waktu puncak musim kemarau, Kali Pandan di desa kami pernah kering sa ma sekali.
Simalakama Antara Kebutuhan Rumah Tangga dan Pertanian
Pemanfaatan air untuk kebutuhan rumah tangga di desa kami mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan pendidikan dan dinamika pola pikir masyarakat. Awalnya, warga desa kami sering memanfaatkan air dari mbelik dan kedhokan untuk mandi, mencuci, memasak, dan air minum. Dalam perkembangannya, beberapa warga mulai berinisiatif menggali sumur untuk kebutuhan rumah tangga, baik itu dengan pompa air listrik maupun dengan timba air manual.
Beberapa waktu lalu, kami bahkan memiliki sistem air bersih desa sendiri tanpa harus repotrepot mengangkut air dari mbelik, kledokan, maupun susah payah menimba. Ya! Dengan pipapipa air yang didanai secara swadaya dan gotong royong, kami mengalirkan air dari tuk bendo ke bakbak penampung air untuk selanjutnya dialirkan
ke rumahrumah warga dengan pipa yang lebih kecil. Tinggal buka keran, air pun dengan mudahnya mengalir di rumahrumah kami. Persis seperti sistem air ledeng (air PAMred) di perkotaan. Bedanya dengan ledeng di kota, iuran bulanan untuk sistem pemanfaatan air bersih di dusun kami sama sekali tidak memberatkan warga.
Akan tetapi, kemudahan yang kami dapatkan dari sistem pemanfaatan air bersih yang baru itu ternyata justru membawa dampak buruk bagi pertanian kami. Air dari tuk bendo yang biasanya dimanfaatkan untuk mengairi sawah sebagian besar telah dialihkan untuk dialir kan ke bakbak penampungan air yang digunakan untuk air bersih warga. Alhasil, berkurangnya pasokan air untuk pertanian membuat sawah kami tidak lagi dapat ditanami padi sepanjang ta hun. Keadaan itu semakin bertambah buruk ketika musim kemarau tiba. Beberapa ming gu tanpa hujan telah menjadikan kemarau hadir sebelum masanya di sawah kami. Pro duktivitas lahan pertanian pun menurun se iring dengan penyusutan pasokan air. Dampaknya, pendapatan petani ikut menurun.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang dapat menggambarkan kondisi perairan di desa kami. Setelah pertanian mengalami krisis air, kebutuhan warga akan air bersih pun terancam. Pasalnya, debit air dari tuk bendo juga kian menyusut. Hal itu menyebabkan pengelolaan air bersih mengalami kemunduran. Semangat para pengelola yang mengendor mendorong warga untuk kembali mengaktifkan sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk rumah kami.
Pengambilan air dari mata air untuk keperluan air bersih desa memang bukan sesuatu yang sama sekali haram untuk dilakukan. Meski demikian, hendaknya harus dilakukan secara bijak dan tepat guna tanpa mengganggu peran mata air sebagai sumber pangairan untuk pertanian. Jika hal tersebut benarbenar diterapkan, tentu saja keberadaan air bersih desa tidak akan menimbulkan simalakama permasalahan. Pertanian tetap tercukupi kebutuhan pengairannya, sementara masyarakat desa pun dapat menikmati air bersih secara mudah. Titik temu kepentingan inilah yang harus ditemukan untuk diformulasikan secara tepat. Semoga bisa menjadi perenungan bersama.
nanang Triagung Edi H, dewan sesepuh
Komunitas blogger Pendekar tidar magelang
Tak seperti dulu,
warga Desa Krong-
gahan kini cukup
kesulitan memenuhi
kebutuhan air, ter
utama pada musim
kemarau. Per ubahan
iklim, pemba lakan
liar, dan maraknya
penam bang an pasir
dinilai menjadi pe-
nye bab utamanya.
foto
-fo
to: d
oK
um
En
nA
nA
nG
tE
H
Kombinasi Edisi ke-61 April 201524
B u d A Y A
Ketika Erupsi Merapi Bertemu Ketoprak dan Jathilan
bertempat di balai Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, kolaborasi ketoprak dan jathilan dalam rangka mitigasi benca
na erupsi Merapi digelar untuk pertama kalinya di Kabupaten Klaten, (25/4). Pertunjukan bertajuk Sejarah Erenging Gunung Merapi, Asesirah Siogo Ing Beboyo ini melibatkan 80 pemain ketoprak dan jathilan dari dua desa di lereng Gunung Merapi, yakni kelompok “Ngesti Budoyo” dari Desa Sidorejo dan “Slogo Denowo” dari Desa Tegalmulyo. Ketoprak dan jathilan dipilih karena kecenderungan masyarakat di lereng Merapi yang lebih mudah memahami pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui seni dibandingkan lewat diskusi ataupun penyuluhan.
“Kalau sosialisasi (mitigasi bencana) melalui diskusi atau rapatrapat warga sudah jenuh. Kami mengapresiasi sosialisasi lewat seni seperti ini karena bisa lebih mudah dan cepat sampai ke masyarakat,” kata Jumakir, kepala desa Sidorejo.
Udara dingin dan angin yang bertiup kencang di desa Sidorejo tidak me nyurutkan antusiasme warga un
tuk menyaksikan pertunjukan seni kolaborasi itu. Ratusan warga dari beberapa desa tetangga di lereng Merapi berduyunduyun menyaksikan pertunjukan seni tradisi yang memang jarang digelar di desa mereka. Warga tidak hanya memadati halaman balai Desa Sidorejo saja, namun juga memenuhi jalan raya. Panitia telah mengantisipasi membludaknya penonton dengan memasang layar putih besar untuk nonbar (nonton bareng) di depan balai desa. Bahkan, bagi warga yang tak bisa datang di tempat aca ra, mereka bisa menyimak serunya pertunjukan itu melalui live stream ing di radio suarakomunitas.net dan gelombang radio komunitas 107,4 MHz.
“Selama ini belum pernah ada sosialisasi menghadapi bencana Merapi. Cara seperti ini (sosialisasi mitigasi bencana lewat pertunjukan senired) sangat bagus, mudah dimengerti wong ndeso seperti saya,” tutur Seti, warga asal Desa Sidorejo.
Puspo Enggar Hastuti selaku Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Klaten menyambut baik inisiatif warga Sidorejo dan Tegalmulyo itu. Edukasi mitigasi benca
Erupsi Merapi bukanlah bencana yang baru pertama kali dialami bagi warga di desa-desa di lereng Gunung Merapi. Demikian halnya dengan ketoprak dan
jathilan yang menjadi sudah menjadi tradisi turun temurun di sana. Namun, ketika kedua seni tradisi itu berkolaborasi dengan pengetahuan mitigasi bencana erupsi
Merapi, jadilah pertunjukan seni nan apik dan edukatif.
na seperti itu juga dapat dikembangkan di desadesa lain di lereng Merapi dengan menggabungkan seni dan kearifan lokal desa masingmasing.
“Pentas ini bisa menanamkan ke masyarakat bagaimana menghadapi dan mengantisipasi saat terjadi bencana. Mereka tidak hanya dikasih materi teoritis, namun juga melalui seni sehingga bisa dimengerti semua kalangan mulai dari anakanak sampai orang tua. Sosialisasi kesiapsiagaan dalam bentuk seni seperti ini dapat dikembangkan di desadesa lain yang disesuaikan dengan kondisi desa masingmasing,” kata Puspo saat menghadiri pertunjukan tersebut.
Siogo Ing Beboyo MerapiSejarah Erenging Gunung Merapi,
Asesirah Siogo Ing Beboyo mengisahkan kehidupan masyarakat di desadesa di lereng Merapi. Tinggal di kawasan yang rawan bahaya erupsi gunung berapi membuat mereka harus selalu siap dan siaga terhadap bencana erupsi yang dapat terjadi kapan saja. Beberapa tokoh masyarakat berinisiatif memberdayakan warga untuk siap dan siaga menghadapi erupsi
Oleh APRILIAnA SUSAnTI
foto
-fo
to: A
Pr
iliA
nA
su
sA
nti
/Ko
mb
inA
si
Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 25
Kolaborasi ketoprak dan jathilan untuk mengedukasi warga terkait mitigasi bencana melalui seni.
Kombinasi Edisi ke-61 April 201526
B u d A Y A
Merapi. Namun, tidak semua warga desa mendukung gerakan tersebut.
Hingga suatu hari, suhu udara di desa pun bertambah panas. Hewanhewan mulai turun gunung. Begitu pula dengan burungburung elang Jawa yang terbang mengitari langit di atas desa. Sepuluh penari jathilan dengan mahkota dari bulubulu burung pun muncul menari tarian Kukuli Yaksa dalam iringan gamelan yang rancak. Turunnya burungburung elang Jawa dalam tarian Kukuli Yaksa atau Tarian Burung ini menjadi pertanda gunung Merapi akan segera meletus. Warga pun akhirnya sadar, kesiapsiagaan menghadapi erupsi amat penting dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian baik jiwa maupun material. Mereka pun bergotong royong dengan tetangga desa untuk evakuasi secara mandiri tanpa harus menunggu dievakuasi oleh pemerintah.
“Lewat pentas ini, kami mengajak semua warga untuk melestarikan bu
daya Jawa dan juga menjaga lingkungan. Sebagai warga yang tinggal di lereng Merapi, kami juga harus siap siaga menghadapi bencana merapi dan harus menjalin gotong royong dengan desadesa tetangga,” ungkap Subur, sutradara dari Desa Tegalmulyo.
Tidak sebatas menyuguhkan ketoprak dan jathilan, pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 19.00 hingga 02.00 ini juga menghadirkan taritarian klasik nan apik. Tarian selamat datang oleh 6 remaja putri Desa Sidorejo membuka pertunjukan yang dihadiri oleh perwakilan 13 desa di Kecamatan Kemalang itu. Kehadiran penari cantik asal Jepang, Kaori Oka do pun makin menambah semarak malam seni itu dengan tarian Menak Koncar.
Pertunjukan kolaborasi ini merupakan kerjasama warga Desa Sidorejo, Kabupaten Kemalang Jawa Tengah melalui Radio Komunitas Lintas Merapi dengan Radio FMYY Jepang dan Combine Resource Institution.
“Warga yang hidup di lereng Merapi menyadari, Gunung Merapi telah memberi mereka banyak keuntungan. Namun, mereka juga menyadari kenyataan hidup di lereng Merapi harus siap dengan bahaya erupsi yang setiap saat bisa mengancam kehidupan warga. Meningkatkan kesiapsiagaan warga menghadapi erupsi merapi dengan menggabungkan pengetahuan dan kearifan lokal seperti dalam pertunjukan ini lebih mudah diterima warga,” kata Junichi Hibino, perwakilan dari Radio FMYY Jepang.
Foto 1: ratusan warga dari Desa
Sidorejo dan Tegalmulyo serta
beberapa desa tetangga memadati
tempat pertunjukan. Foto 2: kelompok
ketoprak Ngesti Budoyo dari Sidorejo.
Foto 3: persiapan sebelum pentas
dilakukan bergotong royong oleh para
pemain dan warga, baik saat merias
maupun mendirikan panggung.
(Bukan) Zamrud khatulistiwa
*) Berdasarkan data Global Forest watch dan Forest watch indonesia
Top Related