Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

28
Edisi ke-61 April 2015 KENDALI ATAS AIR KENDALI ATAS KEHIDUPAN Simalakama Air Bersih untuk Desa Ketika Erupsi Merapi Bertemu Ketoprak dan Jathilan

description

Per­juangan masyarakat mendapatkan ak­ses air adalah perjuangan mendapat­kan hak. Tulisan dalam liputan utama edisi ini melukiskan perjuangan mendapatkan hak itu, yang harusnya adalah kewajiban negara untuk memenuhinya

Transcript of Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Page 1: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Edisi ke-61 April 2015

Kendali atas air Kendali atas Kehidupan

Simalakama Air Bersih untuk Desa

Ketika Erupsi Merapi Bertemu Ketoprak

dan Jathilan

Page 2: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 20152

D A r i r E d A K s i

Pemimpin RedaksiImung YuniardiRedaktur PelaksanaApriliana SusantiEditorFerdhi F PutraDesain KreatifAris HaryantoFotoTim CRI YogyakartaKontributorNanang Triagung Edi H, Maryani,Kus Sri AntoroSampul DepanAris HaryantoSampul BelakangDani YuniartoTata LetakMS LubisSekretariatUlfa, Anny, YantiDistribusiSarjiman, Gandung Triono

Alamat RedaksiJalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188Telp/Fax: 0274-411123Email: [email protected]: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation.

Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas.

Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men can tum kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak memilih dan menyun ting tulisan yang masuk ke maja lah Kombinasi. Penulis yang karya nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.

Pada sebagian besar film pro­duksi Hollywood yang ber te­ma kehancuran kehidupan di dunia masa depan, barang yang

selalu diposisikan amat berharga ada­lah air. Tengok film Book of Eli (2010) misalnya. Saat situasi serba kacau tan­pa aturan, yang dicari pertama oleh para perampok jalanan adalah air, ba­ru kemudian barang lainnya yang bisa ditukarkan dengan air.

Demikian pula dengan film doku­menter Belakang Hotel (2014) yang sejak akhir tahun lalu mulai banyak di putar di berbagai tempat, dia bertu­tur tentang air. Krisis air menjadi dam­pak yang paling mendera warga, dari pembangunan hotel yang tak terkon­trol. Dampak pembangunan hotel yang berlebihan bisa bermacam­macam, tetapi ternyata yang paling membuat warga menderita adalah air.

Simak perhitungan ang ka­ang ka be­rikut. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memperkira­kan kebutuhan anggaran sebesar Rp 253 triliun untuk menyediakan akses air minum 100% di seluruh Indone­sia hingga 2019. Hingga 2014 cakup­an pelayanan air minum baru menca­pai 70,05% persen.

Ketika masih ada sekitar 30% ma­syarakat yang belum terlayani air la­yak minum, data Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) menyebutkan masyarakat Indonesia menghabiskan 23,1 miliar liter air minum dalam kemasan (AM­

DK) pada 2014, meningkat 11,3% di­bandingkan 2013. Apakah itu berarti orang yang belum terlayani terpaksa membeli produk AMDK sehingga pen­jualannya meningkat? Logika seder­hananya begitu, tapi tentu butuh pe­nelitian lain agar lebih akurat.

Yang jelas, pemain utama produ­sen AMDK saat ini sahamnya dimiliki asing. Aqua misalnya, dimiliki Danone asal Perancis. Tahun lalu, secara glo­bal keuntungan yang diraih Danone mencapai $1,27 miliar atau sekitar Rp 15,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 13 ribu per dollar. Pada situs res­minya disebutkan “very strong perfor­mances by Aqua”. Artinya penjualan Aqua, memberi kontribusi yang sig­nifikan di saat produk lainnya cende­rung stagnan atau menurun.

Atau lihatlah Ades, yang dimiliki Coca Cola maupun Club yang dibeli Asahi Indofood, perusahaan patung­an Jepang­Indonesia. Intinya, air yang ada di Indonesia, dijual lagi kepada orang Indonesia, dan keuntungannya melayang menuju negara­negara yang air kerannya saja sudah bisa langsung diminum.

Dari semua gambaran itu, wajib hu­kumnya pengelolaan air ber dasar prin­sip pasal 34 UUD 1945. Per juangan masyarakat mendapatkan ak ses air adalah perjuangan mendapat kan hak. Tulisan dalam liputan utama edisi ini melukiskan perjuangan mendapatkan hak itu, yang harusnya adalah kewa­jiban negara untuk me menuhinya.

Page 3: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 3

I n f o s E K i l A s

Penerapan Sistem Informasi De­sa (SID) di semua desa di Gu­nungkidul semakin dikebut pe­merintah kabupaten setempat.

Semua desa di Gunungkidul diharap­kan sudah menerapkan sistem ini se­belum 27 Juli 2015 nanti.

Wakil Bupati Gunungkidul, Imma­wan Wahyudi mengungkapkan hal ter­sebut saat menghadiri pelatihan SID di aula kantor Kecamatan Ngawen, Gu nungkidul, 16/4). “Sebelum 27 Juli nanti, semoga SID akan bisa di­launch­ing serentak di 144 desa di Gunung­kidul oleh gubernur DIY,” ujar Imma­wan dalam sambutannya.

Penerapan SID ini akan membantu memperbaiki permasalahan data yang kerap terjadi seperti saat pembagian bantuan Raskin. Bappeda Gunungki­dul mencatat, pendataan warga ku­rang mampu selama ini masih belum valid sehingga bantuan dari pemerin­tah sering tidak tepat sasaran.

GununGKidul-KEbumEn

Juli, Semua Desa di Gunungkidul Terapkan SID

“Penyebab tidak validnya data ka­re na ketidakjujuran responden dan keterbatasan petugas BPS (Badan Pu­sat Statistik­red) sehingga saat peng­klasifikasian menyebabkan ada warga yang seharusnya masuk dalam daftar mendapat bantuan, jadi tidak masuk dan sebaliknya,” ungkap Joko Hardi­yan to, selaku Kepala Sub Bidang Data BAPPEDA Gunungkidul, (16/4).

SID memudahkan data­data kepen­dudukan bisa langsung diperbarui di tingkat desa mulai dari RT, RW, padu­kuhan hingga keluarahan secara ber­kala. Pembaruan data ini membuat da ta makin valid dan akurat sehingga

dapat digunakan sebagai basis data untuk menganalisis kemiskinan.

Sistem ini menjadikan pelayanan publik seperti pengurusan surat­surat masyarakat menjadi semakin mudah dan cepat. Dengan SID, masyarakat yang ingin mengurus surat kematian misalnya saja, hanya membutuhkan waktu tak kurang dari 5 menit. Tentu saja, cara tersebut jauh lebih cepat dari cara manual yang menghabiskan waktu hingga berjam­jam.

Tak hanya dimanfaatkan untuk ana­lisis kemiskinan dan pelayanan pub­lik saja, sistem ini juga memungkin­kan pemerintah desa untuk mema­jang produk­produk unggulan desa. Bahkan, informasi tentang kegiatan­kegiatan desa semisal kerja bakti dan rapat desa pun juga dapat diunggah dalam sistem ini melalui web desa.

Sebagai aplikasi opensource yang dapat dijalankan baik offline maupun online, SID mudah untuk dioperasi­kan penggunanya. Para peserta pela­tihan bisa langsung menerapkan sis­tem ini tanpa kesulitan berarti.

“Tinggal ngetik, hasilnya sudah ke­luar dalam beberapa detik. Lebih ce­pat dari biasanya. Kalau mau bikin un­

Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan

Wahyudi berbincang dengan para

peserta pelatihan SID di Kecamatan

Ngawen, Gunungkidul, (16/4).

Penyebab tidak va-lidnya data ka re na

keti dakjujuran responden dan keterbatasan petugas Badan Pusat Statistik. Sehingga saat pengklasifi-ka sian, ada warga yang seharusnya masuk dalam daftar mendapat bantuan, jadi tidak masuk.

AP

ril

iAn

A s

us

An

ti/K

om

bin

As

i

Page 4: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 20154

I n f o s E K i l A s

KEBERADAAN Pulau Tikus di pesisir Bengkulu terancam tengge­lam karena abrasi yang semakin parah. Pulau Tikus yang memiliki kawasan ekosistem karang dan biota laut itu kini luasnya hanya 0,75 hektar dari luas semula yakni 2 hektar.

Aksi penyelamatan Pulau Tikus pun digelar Forum Pemuda Pe­duli Bengkulu (FPPB) dan Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (LANAL) Bengkulu pada peringatan Hari Bumi, (22/

4). Dalam aksinya, para peserta aksi membersihkan pulau dan melakukan transplantasi terum­bu karang di pulau yang terke­nal eksotis tersebut.

Pulau Tikus merupakan salah satu pulau di pesisir Bengkulu yang mempunyai kekayaan sum­ber daya hayati bernilai tinggi bagi nelayan di sekitarnya. Ke­indah an panorama bawah laut­nya membuat Pulau Tikus ber­

potensi menjadi kawasan ekowisata dan wisata bahari. Selain itu, di pulau kecil ini juga berdiri Benteng Marlboro yang dulu pernah menjadi basis pertahanan di masa penjajahan.

Dalam aksi penyelamatan tersebut, para peserta aksi juga men­deklarasikan gerakan penyelamatan dan pengamanan Pulau Tikus ke depannya. Mereka berharap, Pemerintah Provinsi Bengkulu me­respon positif gerakan tersebut. www.suarakomunitas.net

dangan rapat pun, tinggal klik saja, lalu dicetak, sudah jadi. Tak perlu me­ngetik manual seperti biasanya,” kata Sukino, peserta pelatihan SID dari de­sa Watusigar, Kecamatan Nga wen.

Pelatihan SID ini diikuti oleh pe­rangkat desa dari seluruh desa di Ke­camatan Ngawen, Gunungkidul. Seba­gai penyelenggara, BAPPEDA Gunung­kidul menggandeng Forum Desa Pe­ngembang SID Gunungkidul, IDEA, Me­dia Center Pengurangan Resiko Ben­cana Gunungkidul dan Combine Re­source Institution Yogyakarta dalam pelatihan maraton yang berlangsung pada 6 sampai 20 April 2015 di ham­pir seluruh desa di Gunungkidul.

Kebumen Kembangkan Jurnalisme Warga Berbasis SID

Jika Gunungkidul tengah menerap­kan SID untuk semua desa, lain halnya dengan Kebumen. Kabupaten di pro­vinsi Jawa Tengah ini sudah terle bih dulu menerapkan aplikasi SID se jak 2013. Dari 10 desa yang menjadi pilot project, kini sudah lebih dari 300 desa yang telah mengembangkan SID.

Pemanfaatan SID di Kebumen tak sebatas untuk basis data kependuduk­an saja, namun juga telah dikembang­kan untuk jurnalisme warga. Pada 9­ 10 April 2015, tim CRI Yogyakarta be­ kerjasama dengan Formasi mengada­kan pelatihan jurnalisme warga ber­basis SID. Setiap materi dalam pela­tihan ini berorientasi pada data desa dan web desa yang terintegrasi da­lam SID.

Dalam pelatihan itu, warga belajar tentang pemetaan sosial di tingkat desa sebagai bahan untuk membuat konten jurnalistik. Di samping itu, ma­teri dalam pelatihan ini termasuk tek­nik penulisan berita yang memuat unsur pokok dalam membuat karya jurnalistik. Peserta pelatihan juga di­ajak untuk membuat tulisan yang bu­kan bersumber dari kejadian tapi dari lingkungan sekitar dan pengamatan.

“Tulisan berita tak hanya bersum­ber dari kejadian, namun juga dapat bersumber pada kehidupan sehari­hari di lingkungan sekitar,” kata Sar­wono, selaku trainer jurnalisme war­ga dari CRI Yogyakarta. (AS)

bEnGKulu

Pulau Tikus Terancam Tenggelam

Para pemerhati lingkungan hidup menggelar aksi penyelamatan Pulau Tikus

pada Hari Bumi, (22/4) dengan membersihkan pulau dan melakukan trans-

plantasi terumbu karang di pulau yang terkenal eksotis itu.

Pulau Tikus yang memiliki kawasan

ekosistem karang dan biota laut itu sekarang luasnya hanya 0,75 hektar dari luas semula yakni 2 hektar.

su

Ar

AK

om

un

itA

s.n

Et

Page 5: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 5

Hari Bumi tahun ini jatuh pa­da hari Rabu, 22 April 2015. Meski diperingati setiap ta­hunnya, bumi terus meng­

alami kemerosotan lingkungan, salah satunya hutan. Di Kabupaten Lombok Tengah, puluhan hektar hutan Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Lantan ter­lihat mulai gundul.

Kepala Desa Lantan, H. Ahmad Za­ini berpendapat, gundulnya hutan di­sebabkan karena kurang sigapnya po­lisi hutan yang ditugaskan di wilayah utara oleh Dinas Kehutanan dan Per­kebunan dalam melakukan pemantau­an di lapangan. Begitu juga dengan elang­elang (sebutan untuk polisi hu­tan­red) yang telah dijadikan mitra oleh dinas, justru diduga sebagai pe­laku pembalakan liar.

“Bagaimana hutan tidak gundul, polisi hutan dan elang­elang kami du­ga ikut bermain. Sering kejadian pe­nebangan kayu, langsung kami infor­masikan ke Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” ungkapnya, (22/4).

H. Ahmad Zaini menjelaskan, hutan HGU yang luasnya 351 hektar dan ber­dampingan dengan Dusun Kerantik dan Pemasir itu dulunya dikelola oleh PT. Trisno Kenanga sejak 1994 hing­ga 2007. Sesudahnya, lahan tersebut

sampai saat ini belum ada kejelasan siapa yang mengelolanya, itulah se­babnya masyarakat setempat menge­lola hutan itu sendiri, bahkan sudah mengkaplingnya. Ratusan warga, bah­kan memilih langsung tinggal di hu­tan itu. Ketidakjelasan pengelolaan membuat warga dengan mudah me­manfaatkan hutan itu sebagai salah satu sumber penghasilan mereka.

“Wajar penebangan kayu marak ka­rena satu­satunya mata pencarian ma­syarakat di sana lewat hutan itu. Di hutan itu juga sudah terjadi pengkap­lingan lahan. Itu disebabkan HGU be­lum jelas yang mengelolanya, peme­rintah atau masyarakat. Seharusnya ada ketegasan dari dinas terkait,” tan­das Ahmad Zaini.

Soal maraknya pembalakan liar (il­le gal logging) Ahmad Zaini mengata­kan, pihaknya sering berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Perke­bunan dan mitranya, namun sering­kali berbeda pendapat. Ketika terjadi pembalakan liar, pihaknya mengin­formasikan ke Kepala Dinas Kehutan­an dan Perkebunan yang langsung di­tanggapi dan menjanjikan akan menu­runkan polisi hutan. Namun, faktanya tidak ada polisi hutan yang turun.

Koordinasi yang dilakukan Ahmad Zaini de ngan Dinas Kehutanan dan

Perkebun an setempat selalu mene­mui jalan buntu. Pada hal, aktivitas pe­nebangan kayu terus terjadi, khusus­nya malam hari. ”Koordinasi dengan dinas sebagai mitra, tak ada tanggap­an, ya biar kan saja,” pasrahnya.

Sementara itu saat ditemui terpi­sah, Kepala Dinas Kehutanan dan Per­kebunan Lombok Tengah, Pan Rahayu Samsor mengatakan, jumlah pemba­lakan liar sudah mulai berkurang. Hal itu karena Dinas Kehutanan dan Per­kebunan telah membuat tim gabung­an yang terdiri dari Polri, TNI, tokoh masyarakat, kepala desa termasuk elang­elang. “Tim ini yang patroli si­ang dan malam, menjaga agar tidak terjadi penebangan kayu,” jelasnya.

Saat ini, sejumlah kasus pembalak­an liar, menurut Pan Rahayu, sudah ada yang divonis pengadilan dan se­dang menjalani hukuman. Selain itu sejumlah kasus juga sedang dalam proses hukum dan menunggu proses P21 (penyidikan sudah lengkap­red) tak lama lagi.

“Kita tidak tinggal diam, walau lu­as hutan kita tidak sebanding dengan aparat yang kita miliki. Namun Alham­dulillah, saat ini kita akan mendapat tambahan bantuan anggota polisi hu­tan oleh pemerintah,” terangnya.

www.suarakomunitas.net

lomboK tEnGAH

Hutan Gundul, Ironi Hari Bumi di Lombok Tengah

foto

-fo

to: l

om

bo

Kfm

.co

m,

su

Ar

AK

om

un

itA

s.n

Et

Makin maraknya pembalakan liar menyisakan hutan yang gundul.

Page 6: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 20156

I n f o s E K i l A s

Aksi protes tidak melulu harus dengan berunjuk rasa. Seperti yang dilakukan warga yang tergabung dalam Paguyuban

Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) Yogyakarta, misal­nya yang mengekspresikan protes de­ngan melukis tembok atau mural.

Aksi mural itu dilakukan sebagai protes warga Desa Karangwuni atas proyek pembangunan apartemen Utta­ra di lingkungan mereka. Warga mem­protes keberadaan apartemen terse­but akan mengancam ketersediaan air tanah yang selama ini jadi sumber penghidupan warga. Aksi ini digelar bertepatan dengan mo mentum per­ingatan Hari Air sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret 2015. Tulisan mural “Selamat Hari Air Sedunia” di salah satu tembok warga pun khusus ditujukan untuk pengembang apar­te men sebagai bentuk protes.

“Jika air di utara (Yogyakarta­red) habis, maka di selatan akan kekering­

YoGYAKArtA

Protes Apartemen, Warga Bermuralan. Paling hanya kebagian banjirnya kalau hujan,” ujar Imam Nugroho, Ke­tua RT 01 Desa Karangwuni, (22/03).

Kekhawatiran warga itu bukannya tanpa alasan. Belajar dari beberapa kasus kekeringan di Yogyakarta, seba­gian besar adalah akibat dari eksploi­tasi air tanah untuk kebutuhan hotel. Salah satu kasus yang cukup menda­pat perhatian misalnya saja kekering­an di Desa Miliran setelah 2 tahun ber­dirinya Fave Hotel di desa itu.

Apartemen Uttara yang diprotes warga tersebut rencananya dibangun persis di sebelah pemukiman warga. Area proyek dan pemukiman hanya dipisahkan selapis tembok. Selain per­soalan air di masa depan, warga juga merasa terganggu dengan bising ak­ti vitas pembangunan. Resiko kecela­kaan proyek karena terlalu dekatnya jarak antara proyek dan pemukiman juga menjadi kekhawatiran warga.

Tidak hanya sekali itu saja warga Desa Karangwuni melakukan aksi pro­

tes. Sejak bulan Oktober 2013, mere­ka sudah beberapa kali melakukan protes, akan tetapi tak pernah digub­ris oleh pemerintah setempat. Bah­kan, aksi protes mereka pada akhir 2014 lalu berujung pada pemidana­an. Saat itu, Adji Kusumo dan Rizki Adjie Sanjaya dikriminalkan dengan tuduhan merusak spanduk milik PT Bukit Alam Permata, sebagai pengem­bang apartemen Uttara.

Di samping menggelar aksi dalam bentuk mural, dalam peringatan Hari Air tersebut warga Desa Karangwuni juga melaksanakan berbagai bentuk acara seperti senam, lomba ketang­kasan, lomba mewarnai untuk anak­anak, dan lain sebagainya. Awalnya, warga juga berencana menggelar non­ton bersama film ‘Belakang Hotel’ ten­tang kasus kekeringan di Desa Mili­ran atas pembangunan Fave Hotel, namun urung dilakukan karena situ­asi yang tidak memungkinkan.

www.suarakomunitas.net

doKumEn KombinAsi

Mural sebagai bentuk protes warga

Kampung Karangwuni atas pembangunan apartemen Uttara.

Page 7: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 7

TIDAK semua penduduk Indonesia bisa menikmati berbagai informasi baik cetak maupun eletronik. Ma­sih banyak wilayah di nusantara ini, terutama di pesisir atau kepulauan yang belum tersentuh akses infor­masi dan teknologi. Desa Tapi­Tapi di Kabupaten Muna, Sulawesi Teng­gara adalah salah satunya.

Jangankan akses atas media ce­tak atau internet, pasokan listrik saja masih sangat terbatas, itu pun sebagian besar masih menggunakan genset. Terlebih lagi, warga hanya dapat menggunakan genset tersebut pada malam hari, yakni sejak pukul 18.00 sampai pukul 00.00. Maka ti­dak heran jika akses informasi dari radio, televisi, ataupun koran sulit ditemukan di Desa Tapi­Tapi.

Warga desa pun berharap mere­ka segera mendapatkan pasokan lis­trik yang cukup. Dengan demikian, mereka bisa mengakses informasi dengan lebih baik, setidaknya me­lalui saluran radio. Tidak hanya di waktu malam dengan bantuan gen­set, melainkan sepanjang hari.

www.suarakomunitas.net

PARA PETANI Kecamatan Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sula­wesi Tenggara melakukan aksi unjuk rasa di kantor gubernur, (6/5). Mere­ka mendesak Gubernur Sulawesi Teng­gara untuk mencabut Izin Usaha Per­tambangan (IUP) perusahaan tam­bang nikel milik PT. Derawan Berjaya Mining di Desa Polara, Wawonii. Mes­ki memiliki IUP, perusahaan tersebut dinilai telah melakukan pelanggaran dalam proses pertambangan.

Aksi unjuk rasa tersebut merupa­kan kelanjutan dari penangkapan 2 petani asal Desa Polara oleh kepolisi­an, (3/5). Kedua petani itu, yakni Is­mail dan Hasim Lasao, selama ini di­kenal gigih memperta hankan tanah mereka dari penam bangan PT. Dera­wan Berjaya Mining. Hasim Lasoa, di­anggap sebagai pela ku utama dalam pembakaran base camp perusahaan tersebut pada 8 Ma ret 2015 lalu.

Wakil Ketua DPRD Konawe Kepu­lauan, Ab dul Rahman, mengatakan, kehadiran PT. Derawan Berjaya Min­ing telah me nimbulkan kesenjangan sosial bagi masyarakat. Selama 8 ta­hun berdiri, perusahaan tambang itu tidak memi liki keseriusan untuk men­sejahtera kan masyarakat.

“Derawan (PT. Derawan Berjaya Mining­red) tidak punya niat baik un­tuk menam bang di pulau kita ini. Ma­ sa data­data pertambangannya tidak pernah dise torkan kepada instansi terkait di ling kup Konkep (Konawe Kepulauan­red). Nah, hari ini juga su­dah dua kali diun dang rapat tapi kok belum hadir juga. Ini kan menunjuk­kan bahwa mereka tak ingin membi­na komunikasi yang baik,” terang Ab­dul Rahman, (8/5).

Hingga berita ini diturunkan, be­lum ada jawaban dari pemerintah da­erah terkait tuntutan para petani Wo­wanii. Demikian halnya dengan PT. Derawan Berjaya Mining yang belum memberikan tanggapan atas tuntut­an warga. www.suarakomunitas.net

LAHAN kosong di Kabupaten Lombok Utara (KLU) semakin me­nyempit oleh pembangunan perumahan dan gedung perkantoran. Tak hanya sektor pertanian saja yang terancam, namun juga keber­adaan ruang hijau.

“Setiap tahunnya, lahan untuk pertanian di KLU semakin terki­kis. Lama­lama pertanian di Dayan Gunung semakin habis karena beralih fungsi. Dampaknya, daerah resapan air dan lahan menjadi berkurang”, kata Fathul Hadi, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Mataram.

Fathul Hadi mengatakan, dampak dari pesatnya perkembangan perumahan di pinggir jalan utama KLU ini seperti dua mata pedang. Di satu sisi, pembangunan memberi dampak positif dengan naiknya harga tanah, meningkatnya pajak bumi dan bangunan dan terben­tuknya jaringan transportasi baru. Namun, di sisi lain tanpa disadari pesatnya pembangunan juga berdampak buruk terhadap masalah banjir pada musim hujan dan kebakaran pada musim kemarau.

Fathul Hadi khawatir, alih fungsi lahan pertanian menjadi bangun­an­bangunan beton dapat menyebabkan krisis pangan bagi masya­rakat di kemudian hari. Ia berharap, pemerintah lebih selektif dan membatasi ijin mendirikan bangunan terutama di lahan yang se­mestinya untuk pertanian. www.suarakomunitas.net

sulAwEsi tEnGGArA

lomboK utArA

sulAwEsi tEnGGArA

Petani Tuntut Cabut Ijin Tambang PT. DBMAlih Fungsi Lahan Ancam Pertanian

Sulitnya Akses Informasi dan Teknologi di Desa Terpencil

su

Ar

AK

om

un

itA

s.n

Et

Page 8: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 20158

U t A m A

Page 9: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 9

Krisis Air AKibAt KEtidAKPEduliAn

tErHAdAP linGKunGAn

banyak orang yang mengerumuni­nya heran dan menanyakan mak­sudnya. “Air di rumah saya kering karena tersedot hotel!” tukas pria bermandi tanah itu. Usut punya

usut, ternyata pembangunan hotel di wila­yah kampungnya membuat debit air sumur­sumur di kampungnya menyusut.

Sementara pada waktu yang berbeda ma­sih di kota yang sama, warga Kampung Ka­rangwuni memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2015 dengan menggelar aksi mural untuk memprotes pembangunan apar­temen Uttara di lingkungan mereka. Warga cemas, pembangunan apartemen itu akan berdampak pada krisis air di kampung me­reka. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan air calon penghuninya, apartemen menye­dot air hingga kedalaman 60 meter, jauh le­bih dalam daripada sumur warga yang ha­nya berkisar 10 sampai 15 meter. Meskipun me nuai protes warga, pembangunan apar­temen itu hingga kini tetap berjalan. Bahkan, protes warga berujung kriminalisasi bagi me­reka yang berusaha mencegah krisis air.

Lain pula di Rembang. Di kota kelahiran R.A Kartini itu, sekelom pok ibu­ibu bahkan rela berkemah lebih dari 200 hari demi me­nolak pembangunan pab rik semen di Pegu­nungan Kendeng yang ber potensi merusak keberadaan mata air di kawasan itu. Meski mengalami kekerasan dan intimidasi dari

aparat negara dan pre man pabrik, para “Kar­tini Kendeng” itu meneruskan aksi mereka demi memperta hankan fungsi kawasan di mana mereka ber mukim dan menggantung­kan hidup: Pegu nungan Kendeng.

Pegunungan Kendeng dikenal se bagai ka­wasan karst yang menyimpan ra tusan mata air. Karena kuali tas karstnya sangat bagus untuk dija dikan bahan baku semen, kawasan ini pun menjadi sangat menggoda untuk in­dustri. Dengan prinsip konektivitas, pabrik semen terhubung dengan pertambangan pa­sir be si dan PLTU karena kedua industri ter­sebut menyediakan bahan baku bagi semen. Pab rik semen di ekosistem Pegunungan Ken­ deng memerlukan syarat sekaligus akibat, yaitu kematian sumber­sumber air bagi ke­langsungan penduduk, binatang, dan tanam­ an pangan di kawasan tersebut.

Ketidakpedulian terhadap LingkunganPerubahan lingkungan lebih sering terja­

di karena kehendak manusia ketimbang pro­ses­proses alami. Ekosistem karst diubah menjadi industri semen, pesisir diubah men­jadi industri pasir besi, pemukiman diubah menjadi kawasan hotel dan apartemen, hu­tan diubah menjadi perkebunan adalah se­deret contohnya. Pengubahan­pengubahan tersebut demi tujuan pertumbuhan modal sehingga ijin dipermudah karena mengun­tungkan pemerintah. Apa yang terjadi bukan pertumbuhan ekonomi, tapi akumulasi ke­untungan segelintir pihak. Buktinya, kesen­jangan sosial tetap saja diawetkan.

Teriknya matahari tak menyurutkan niat seorang pria untuk menujuFave Hotel di pinggir jalan raya yang padat lalu lintas di Kota Yogyakarta.

Bertelanjang dada, pria warga Kampung Miliran itu pun mulai mandi, menyambuni badan, menyampo rambut, dan menggosok giginya di depan

hotel. Uniknya, bukan air yang dipakainya, melainkan tanah!

Oleh KUS SRI AnToRo

* Seleng kapnya, lihat film dokumenter “Belakang Ho tel” (Watch Dog, 2013).

Page 10: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201510

U t A m A

Ketidakpedulian terhadap masa depan bersama ternyata juga dilestarikan oleh ka­um cendekia. Meminjam istilah yang dipo­pulerkan George Junus Aditjondro, “Ketidak­pedulian bahkan dilembagakan sebagai lem­baga­lembaga akademik atau lembaga yang mewarisi tradisinya (Institutionalization of Disengagement),” ketidakpedulian terhadap masa depan bersama pun bahkan dilakukan oleh pusat­pusat studi. Sebut saja Pusat Stu­di Agraria yang dibentuk untuk mengambil alih gerakan perjuangan atas ruang hidup dan sumber penghidupan ataupun Pusat Studi Lingkungan Hidup yang dibentuk un­tuk mengambil alih peran gerakan lingkung­an. Pusat­pusat studi tersebut seharusnya menjadi lembaga­lembaga yang mempunyai otoritas untuk mewakili kepentingan ma­syarakat dan menentukan kebenaran.

Namun kenyataannya, hal yang dilakukan pusat­pusat studi itu justru semacam studi kelayakan untuk penerbitan ijin lingkungan, negosiasi resiko ekologi­sosial, dan memba­ngun citra bahwa AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) menjamin semua akan baik­baik saja. Kesadaran agen­agen perusak ling­kungan pun dibangun dari pertanyaan: “Ba­gaimana proyek menjadi layak dijalankan dengan memperhitungkan risiko secara no­minal?”, bukannya pertanyaan: “Apakah su­atu proyek dengan risiko penting dan luas semisal krisis air layak dimulai?”

Indonesia Darurat AirSetiap tahunnya, kebutuhan akan air ber­

sih semakin meningkat seiring meningkat­nya populasi manusia. World Health Orga­nization (2000), memperkirakan 2 miliar manusia di 40 negara terkena dampak ke­kurangan air setiap hari. Tidak kurang dari 1,1 milyar manusia di bumi ini tidak mem­peroleh air yang layak dan 2,4 milyar pen­duduk tak mendapatkan sanitasi yang baik. Pada tahun 2050 nanti, Perserikatan Bang­sa­Bangsa (2003) memperkirakan, 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurang­an air bersih.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti halnya yang terjadi secara global,

kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Indonesia pun makin mendesak. Konsum si air diperkirakan meningkat hingga 15­35% per kapita/tahun. Kontras dengan kebutuh­an yang meningkat, ketersediaan air bersih justru cenderung menurun akibat kerusak­an alam dan pencemaran. Sekitar 119 juta

rakyat Indonesia belum memiliki akses ter­hadap air bersih (Suara Pembaruan, 23 Ma­ret 2007). Hanya sekitar 20% dari total pen­duduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Se­men tara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara ke­sehatan. Untuk diketahui, tingkat akses air bersih penduduk pedesaan di Indonesia ada­lah 69%, itu lebih rendah daripada Malaysia (94%) atau Vietnam (72%), padahal Indo­nesia kaya sumber air.

Tahun 2019 nanti, jumlah penduduk per­kotaan Indonesia diperkirakan mencapai 150,2 juta jiwa dengan kebutuhan air yang akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Kenaikan kebutuhan air itu diserap untuk industri sebesar 700% dan 100% untuk ke­butuhan pangan, serta hanya 65% untuk pemukiman.

Tampaknya, pertumbuhan populasi dan ekonomi cenderung melebihi daya dukung lingkungan. Ancaman terbesar justru pada tempat paling padat penduduk dan paling maju: Jawa dan kota­kota besar di luar Jawa. Jika laju ketersediaan air lebih lambat dari laju konsumsinya, maka krisis air tidak ter­hindarkan.

Krisis air terkait langsung dengan krisis lingkungan, sedangkan krisis lingkungan umumnya didahului dengan alih fungsi la­han terutama ke industri atau pertumbuhan ekonomi berkonsumsi tinggi (krisis agraria). Industri tak hanya mengonsumsi air dalam jumlah besar, Industri juga membuang lim­bah gas (emisi), baik berupa asap motor, pab­rik, bahkan penguapan pupuk kimia. Limbah gas ini memanaskan suhu udara di permu­kaan bumi sehingga terjadi perubahan iklim secara keseluruhan. Akibatnya, pola musim berubah, tak bisa diperkirakan, dan ekstrim. Banjir besar (la nina) dan kemarau berke­panjangan (el nino) adalah dampak perubah­an iklim yang mempercepat krisis­krisis sum­ber penghidupan, termasuk krisis air.

Di Indonesia, kepentingan warga dikalah­kan oleh kepentingan pemodal sudah umum terjadi. Akibatnya, krisis­krisis sumber peng­hidupan, termasuk air, tanah, dan lingkung­an sehat hampir diterima sebagai gejala yang wajar ketimbang dimaknai sebagai perma­salahan tentang hak­hak ekonomi sosial bu­daya yang harus selalu dipertanyakan pe­nyebabnya dan dituntut solusinya.

Kus Sri Antoro, Peneliti Lepas

Hanya sekitar 20% dari total pen duduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Se men tara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara kesehatan.

Page 11: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 11

namun, situasi berubah sejak per­usahaan dengan komoditas air masuk ke desa tersebut pada era 1980­an hingga 1990­an. Tidak tanggung­tanggung, tak kurang

dari lima perusahaan air minum dalam ke­masan (AMDK) mengeksploitasi air tanah di desa itu. Krisis air pun perlahan memba­yangi warga Babakan Pari setiap tahunnya. Sebelum mata air dan air tanah di wilayah tersebut dieksploitasi, tinggi permukaan air sumur warga bisa mencapai 2 meter. Namun pada pertengahan tahun 2000­an tinggi per­mukaan air sumur hanya sejengkal telapak tangan orang dewasa atau sekitar 15 cm.

Sementara itu, pada 5 Desember 2010 lalu perhatian publik nasional tertuju pada

KEnDALI ATAS AIR, KEnDALI ATAS KEHIDUPAn

Kecamatan Padarincang, Banten. Ribuan pen­duduk dari kecamatan tersebut mendatangi lokasi pengeboran (pilot project) sumber mata air oleh salah satu raksasa perusahaan air minum dalam kemasan. Warga khawatir, pembangunan pabrik itu akan mengancam ketersediaan air di wilayah mereka. Dua bu­lan berselang, yakni pada Februari 2011, penolakan dan penutupan paksa warga, per­usahaan tersebut akhirnya membatalkan rencana pembangunan pabrik.

Satu kata yang menautkan kedua cerita di atas: air! Sebagai sumber kehidupan ma­nusia, air menjadi kebutuhan pokok yang tidak terelakkan. Karena begitu pentingnya air bagi kelangsungan hidup manusia, air menjadi barang publik (public goods) yang

Desa Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan daerah kaya sumber daya air. Sedikitnya ada tujuh sumber mata air di desa yang terletak di kaki Gunung Salak ini. Warga desa memanfaatkan sumber-sumber mata air itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.

Oleh FERDHI FACHRUDIn PUTRA

AntArAfoto.com

Foto atas: ratusan

dirigen air milik

warga mengantre

untuk mendapatkan

air bersih.

Page 12: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201512

U t A m A

paling berharga dari apapun yang ada di muka bumi.

Jumlah air di bumi tidak pernah berku­rang. Demikian kata guru Geografi semasa sekolah saya dulu.

Air mengalami sirkulasi alami (siklus hid­rologi) yang tak pernah berhenti: dari atmos­fer ke tanah, dari tanah ke atmosfer, dan be­gitu seterusnya. Apa yang dikatakan guru saya tentu masuk akal, sebab tidak ada air di bumi yang menguap hingga melebihi ba­tas atmosfer. Namun yang menjadi perta­nyaan adalah dengan tidak berkurang nya vo­lume air di bumi, apakah serta merta tidak akan terjadi krisis air?

Nyatanya tidak! Dari tahun ke tahun, ke­tersediaan air di bumi semakin berkurang, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Kedaulatan Air di IndonesiaIndonesia adalah negara kepulauan de­

ngan sebagian besar wilayahnya berupa per­airan. Seharusnya, dengan dua per tiga wi­layahnya yang berupa lautan itu, air bukan menjadi persoalan bagi rakyat Indonesia. Apalagi, Indonesia termasuk dari 10 negara yang memiliki kandungan air tawar terbe­sar di dunia. Namun kenyataannya, masih banyak daerah di negeri ini yang harus ber­juang keras untuk memperoleh kebutuhan air bersih.

Sejumlah faktor seperti topografi dan ling­kungan menghambat sebagian warga untuk mengakses air bersih di Indonesia. Faktor topografi ini berkaitan dengan kuantitas air yang hampir sulit diatasi karena sudah me­rupakan bentukan alam. Beberapa daerah dengan curah hujan rendah mempunyai ca­dangan air yang minim seperti di Indonesia timur. Sementara dilihat dari faktor lingkung­an, pengurangan air tak hanya terjadi seca­ra kuantitas, namun juga kualitas. Pence­maran air yang jamak terjadi terutama di sebagian besar wilayah Indonesia barat saat ini mengakibatkan penurunan kualitas air. Dampaknya pun langsung terasa dengan tu­runnya kuantitas air yang bisa dikonsumsi.

Meski ketersediaan air di Indonesia me­limpah, namun secara kualitas tidak semua­nya memenuhi kriteria air bersih dan sehat yang layak konsumsi. Masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan air, terutama air tanah dalam. Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

“Walaupun ketersediaan air di Indone sia melimpah, namun secara kualitas tidak se­muanya memenuhi kriteria sebagai air ber­sih dan sehat yang layak konsumsi. Sekarang, sebagian besar dari penduduk ma sih belum meng konsumsi air bersih,” jelas Iskandar (Mong abay.co.id, 12 November 2014).

Pada beberapa daerah terutama di kota­kota besar, ketersediaan air yang menyusut jus tru dimanfaatkan segelintir orang untuk meraup keuntungan. Air dijadikan sebagai komoditas atau barang ekonomi (economic goods), dimana pola distribusinya mengacu kepada prinsip ekonomi klasik yakni pena­waran dan permintaan (supply and demand). Pengelolaan air bersih untuk masyarakat pun berpindah dari sektor publik ke perusahaan swasta. Inilah yang disebut privatisasi air. Pameo yang berlaku pun adalah “ada uang, ada air”. Privatisasi air membuat air sebagai kebutuhan asasi manusia yang seharusnya bisa diakses secara cuma­cuma menjadi ti­dak berlaku lagi. Privatisasi air inilah yang menyebabkan krisis air di Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada faktor topografi dan lingkungan.

Penetapan UU nomor 7 tahun 2004 ten­tang Sumber Daya Air membuat arus priva­tisasi air di Indonesia makin deras. Perusa­haan­perusahaan AMDK kian masif meng­ambil alih sumber­sumber air di pedesaan yang menjadi sumber kehidupan warga. Ka­

An

tAr

An

Ew

s.c

om

Page 13: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 13

sus di Padarincang adalah salah satu imbas dari regulasi yang menyalahi hak warga ne­gara atas air. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menyatakan regulasi tersebut sebagai legalisasi liberalisasi sumber daya air—yang merupakan konsekuensi atas ke­tergantungan Indonesia terhadap bantuan finansial dari lembaga keuangan internasi­onal pada krisis 1998.

Seiring dengan kian masifnya privatisasi oleh perusahaan­perusahaan AMDK, peno­lakan warga pada pengambilalihan sumber­sumber air pun makin gencar. Hingga akhir­nya, pada tanggal 18 Februari 2015, Mahka­mah Konstitusi pun membatalkan Undang­Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sum­ber Daya Air (SDA). Putusan tersebut meru­pakan pengabulan atas permohonan judici­al review UU SDA yang diajukan oleh bebe­rapa kelompok masyarakat seperti, Pimpin­an Pusat Muhammadiyah, Perkumpulan Va­naprastha, dan beberapa pemohon perse­orangan. Mahkamah Konstitusi menilai UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 di ma­na air juga merupakan hak asasi manusia.

Dengan pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan regulasi mengenai air dikembalikan ke Undang­Undang nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, pembatalan UU SDA dan diberlakukannya kembali UU Pengairan belum menjamin ma­syarakat dapat mengakses air secara layak. Maka dari itu, perlu political will (kemauan politik­red) yang kuat dari pemerintah un­tuk menjalankan amanah UUD 1945 Pa sal 33 yang berbunyi, “Bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan diperguna kan sebe­sar­besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Dengan gerobak

penuh dirigen air

inilah warga desa Kodi

Utara, Nusa Tenggara

Timur mengambil

air. Mata air tersebut

dimanfaatkan oleh

warga dari dua desa.

Dalam sebuah sesi wawancara pada ta­

hun 2005, Direktur Nestle—salah satu per­usahaan bahan pangan terbesar, Peter Bra­beck­Letmathe mengatkan, bahwa air seperti bahan makanan (foodstuff) lainnya yang ha­rus memiliki nilai jual atau harga. Tujuan­nya, agar kita lebih peduli air sebab air pun mempunyai ‘harga’. Beberapa pihak menilai bah wa pernyataan tersebut merupakan du­kungannya terhadap privatisasi air. Namun, pihak Nestle membantahnya. Menurut me­reka, Peter justru ingin menekankan perlu­nya manajemen air yang baik supaya tidak menjadi bencana besar di masa depan.

Terlepas dari polemik tersebut, persepsi mengenai air sebagai barang publik dan air sebagai komoditas nyata adanya. Hingga ki­ni wacana tersebut masih berebut dominasi, tak terkecuali di Indonesia. Lalu, ke mana Pemerintah Indonesia akan berpihak?

Ferdhi Fachrudin Putra, Pegiat

Combine Resource Institution Yogyakarta

Indonesia termasuk dari 10 negara yang

memiliki kandungan air tawar terbesar di dunia. Namun kenyataannya, ma-sih banyak daerah di negeri ini yang harus ber juang keras untuk memper oleh kebutuhan air bersih.

An

dr

Ew

dA

nA

njA

YA

* Lebih lanjut, baca Kemelut Sumber Daya Air, Menggugat Privatisasi di Indonesia (Jakarta: KruHA Lapera, 2005).

Page 14: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201514

U t A m A

Page 15: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 15

Infografis: Aris Haryanto

Page 16: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201516

U t A m A

sementara di dalam ruang sidang, membludaknya pengunjung sidang mem buat beberapa ibu berkebaya mesti duduk di lantai. Tujuan me­reka satu: mengawal sidang putus­

an atas gugatan izin pertambangan semen oleh PT. Semen Indonesia atau yang dulu di­kenal dengan PT. Semen Gresik.

Sama­sama mengawal jalannya sidang, ratusan warga itu nyatanya terbagi menjadi

GuGAtAn ditolAK, AKAnKAH“KEndi AbAdi” tEtAP mEnGAlir?Penambangan Karst Ancam ratusan mata Air

Teriknya matahari tak menyurutkan semangat ratusan warga Pegunungan Kendeng, Rembang untuk bertahan dihalaman gedung Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Semarang, (16/4). Pun halnya dengan hujan yang sempat mengguyur sekitar seperempat jam tidak membuat mereka goyah untuk meninggalkan tempat itu.

dua kubu yang bertentangan. Mudah saja mengenali kedua kubu itu. Mereka yang me­ngenakan atribut payung merah putih dan ikat kepala bertuliskan “Semen Gresik” me­rupakan kubu yang mendukung pembangun­an pabrik semen.

Sementara warga yang kontra terhadap pembangunan pabrik semen terlihat dari ca ping yang biasa mereka kenakan sewaktu bertani di sawah. Mereka khawatir, penam­bangan karst sebagai bahan baku semen di Gunung Watuputih, Pegunungan Kendeng akan mengancam keberadaan ratusan mata air yang menjadi sumber penghidupan war­ga, terutama petani. Mata air itulah yang se­lama ini menghidupi warga dari generasi ke generasi sehingga mereka menyebut pegu­nungan Kendeng sebagai “Kendi Abadi” (ken­di: tempat air minum dari tanah liat, Jawa­

Oleh MARyAnI

Page 17: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 17

red), karena perut pegunungan itu selalu memancarkan air untuk hidup mereka.

“Thok...thok..!” Ketokan palu hakim pun bertalu, mengiringi langkah gontai warga bercaping yang mayoritas petani itu. Bebe­rapa wanita berkebaya dan berselendang bahkan meneteskan air mata ketika berga­bung dengan warga di halaman gedung PT­UN. Keputusan hakim telah dikeluarkan, me­nyebutkan bahwa gugatan warga tidak da­pat diterima dan pembangunan pabrik se­men dapat terus berjalan.

Sidang gugatan tersebut sejatinya sudah berjalan sejak November 2014 hingga April 2015. Sidang ini berawal dari gugatan Wa­hana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama enam warga Rembang yang menggugat Su­rat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Te­ngah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rem­bang, Jawa Tengah tanggal 7 Juni 2012. Tak tanggung­tanggung, tergugat dalam kasus ini adalah Gubernur Jawa Tengah. Dalam sidang putusan itu, hakim menolak gugatan warga dan WALHI karena telah kadaluarsa.

“Mengadili, dalam penundaan, menolak permohonan penundaan pelaksanaan surat

keputusan objek sengketa. Dalam eksepsi, menerima eksepsi tergugat dan tergugat II intervensi tentang tenggang waktu. Dalam pokok sengketa menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima,” kata Susilowati Sihaan, Ketua Majelis Hakim PTUN Sema­rang saat membacakan hasil putusan.

Menurut hakim, penggugat setidaknya su­dah mengetahui perihal pembangunan pab­rik pada penjelasan Wakil Bupati Rembang pada 22 Juni 2013 tentang telah terpenuhi­nya seluruh izin. Selain itu, pihak tergugat mengklaim mereka sudah melakukan sosia­lisasi ke warga dengan menempel di kantor kecamatan dan mengumumkan sosialisasi melalui website Badan Lingkungan Hidup. Karena itu, hakim menilai gugatan yang di­daftarkan oleh penggugat tertanggal 1 Sep­tember 2014 berdasarkan hitungan kasuis­tis sudah melebihi batas waktu 90 hari atau sudah kedaluarsa. Hakim pun mengenakan biaya perkara sebesar Rp 313.500 kepada para penggugat.

Siti Rakhma Mary Herwati selaku kuasa hukum warga yang menolak pabrik semen awalnya berharap majelis hakim memerik­sa pokok perkara sampai akhir. Hal tersebut supaya memperjelas substansi dari gugat­an yang diajukan bahwa izin lingkungan itu melanggar hukum dan melanggar asas­asas umum pemerintahan. Namun, ternyata ma­jelis hakim hanya memeriksa eksepsi dari pihak tergugat dan tergugat intervensi me­ngenai jangka waktu 90 hari sehingga diang­gap kadaluarsa.

“Kami akan banding dengan putusan ini,” tegas Siti Rakhma Mary Herwati menanggapi putusan sidang tersebut.

Senada dengan Siti, Yudianto Simanjun­tak yang juga menjadi kuasa hukum penggu­nggat mengungkapkan, majelis hakim tidak melihat pokok persoalan sehingga mengabai­kan fakta­fakta hukum.

“Ada satu hal yang tidak bisa kita harap­kan dari proses persidangan ini karena ma­jelis hakim tidak melihat persoalan yang sa­ngat penting karena majelis tak melihat po­kok persoalan dan mengabaikan fakta­fakta hukum,” ungkap Yudianto Simanjuntak.

Petani Rembang yang menolak pemba­ngunan pabrik semen merasakan kekecewa­an yang mendalam atas putusan sidang itu. Meski demikian, kekalahan pada putusan si­dang kali ini bukanlah akhir dari segalanya. Harapan masih membuncah di sanubari me­reka. Penolakan pembangunan pabrik semen

Ibu-ibu petani

warga Pegunungan

Kendeng, Rembang

mengawal jalannya

sidang putusan atas

gugatan izin per-

tambangan se men

oleh PT. Semen Indo-

nesia, (16/4). Mere-

ka merupakan kubu

yang menolak pem-

bangunan pab rik

Semen Indo nesia di

wilayah Kendeng.

foto

-fo

to: d

oK

um

En

Ko

mb

inA

si

Page 18: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201518

U t A m A

akan terus mereka perjuangkan, karena me­reka yakin kebenaran ada di tangan mereka, warga petani yang terdampak langsung pe­nambangan karst.

“PTUN bukanlah jalan satu­satunya. Saya akan tetap maju dan terus berjuang. Kami harus menyelamatkan Ibu Bumi yang sudah minta tolong ini,” kata Sukinah, petani Rem­bang yang rumahnya terletak satu kilome­ter dari rencana penambangan.

Benarkah Sosialisasi Dilakukan?Siti Rakhma Mary Herwati mengakui, war­

ga memang baru belakangan mengetahui adanya SK Gubernur tentang izin penam­bangan itu. Hal itu karena sebelumnya me­reka tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Di lain pihak, pemerintah mengklaim bahwa sosialisasi tentang akan adanya penambangan itu telah dilakukan. Klaim pemerintah itu dikuatkan dengan ke­saksian dua saksi ahli dari pihak tergugat yang mengatakan bahwa izin lingkungan di­tempel di kantor kecamatan.

Atas klaim itu, Siti Rakhma Mari Herwati menyanggah bahwa masyarakat tidak per­nah melihat adanya penempelan sosialisasi di kantor kecamatan tersebut. “Hanya elit desa saja yang mengetahui penempelan itu,” sanggahnya.

Lagi­lagi, hakim mempertimbangkan bah­wa izin lingkungan tersebut sudah dipubli­kasikan melalui website Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah. Dengan ada­

nya publikasi online, masyarakat dianggap sudah tahu. Pertanyaan yang kemudian mun­cul ada lah apakah masyarakat pernah mem­buka website tersebut?

Warga merasa, sosialisasi izin pertam­bangan belum dilakukan pemerintah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat, kata sosialisasi berarti harus dikenali, dipa­hami, dan dihayati oleh masyarakat. Masya­rakat yang menolak pembangunan pabrik mayoritas adalah petani yang akrab dengan cangkul, arit dan caping yang jarang berkun­jung ke kantor kecamatan. Jangankan meng­akses website, sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengenal apa itu website.

“Masyarakat baru mengetahui pabrik se­men, ujug­ujug alat berat datang. Ketika di­bawa ke persidangan teman­teman (warga penolak pabrik semen) selalu dikalahkan” kata Gunretno aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang melanjutkan aksinya bersama sekelompok mahasiswa dari UIN Walisongo, Universi­tas Semarang dan Universitas Diponegoro ke kantor Gubernur Jawa Tengah.

Menyelamatkan ‘Kendi Abadi’Secara hukum, ada tiga regulasi yang me­

negaskan cekungan air tanah Watuputih ada­lah kawasan lindung geologi. Mulai dari Per­da Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011, Perda Provinsi Jateng No.6 Tahun 2010 yang semuanya tetang Tata Ruang Wilayah, hing­ga Keputusan Presiden Republik Indonesia

Arak-arakan barong-

sai turut meramaikan

aksi warga yang me-

nolak pembangun an

pabrik semen.

Page 19: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 19

No. 26 Tahun 2011. (Ming Ming Lukiarti, Kom­binasi Edisi 56/Juni/2014). Regulasi­regu­lasi tersebut sudah tercantum dalam pokok perkara gugatan warga Rembang dan WALHI yang diajukan ke PTUN Semarang. Sayang­nya, bukan dijadikan bahan pertimbangan bahkan diperiksa pun tidak.

Selain regulasi, hasil survei lapangan Se­marang Caver Association (SCA) dan Jaring­an Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang menemukan adanya 49 goa dan 109 sumber mata air alami di Pegu­nungan Kendeng. Sumber mata air inilah yang kemudian digunakan oleh warga di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang untuk memenuhi kebutuhan air sehari­hari.

“Ancaman terhadap karst adalah ancam­an petani terhadap hak petani untuk men­dapatkan hak atas air untuk kehidupan se­hari­hari dan pertanian,” kata Yudianto Si­manjuntak ketika memberikan orasi di ha­dapan pendukung tolak semen.

Sementara itu, kuasa hukum tergugat in­tervensi dari PT Semen Indonesia, Sadly Ha­sibuan, menyampaikan putusan hakim ter­hadap kasus ini bukan tentang menang dan kalah. Akan tetapi, ia menyebutkan bahwa pu tusan ini me rupakan kemenangan bersa­ma masyarakat Kabupaten Rembang. Sebab, atas putusan PTUN Semarang ini, bukan ber­

arti PT Semen Indonesia akan meninggalkan warga yang masih menolak.

Sadly mengatakan, justru nantinya semua pihak, termasuk yang saat ini kontra, tetap akan dirangkul dan digandeng untuk bersa­ma­sama memajukan dan mewujudkan ke­sejahteraan warga Rembang. Sadly juga me­negaskan, sangat menghargai langkah­lang­kah yang akan diupayakan para penggugat pascaputusan ini. ‘’Sebab, masih ada waktu 15 hari kepada penggugat untuk mengaju­kan banding,’’ katanya menegaskan.

Upaya penolakan terus dilakukan warga bersama lembaga swadaya masyarakat dan mahasiswa. Bertahan di tenda perjuangan se­bagai aksi penolakan sudah dilakoni warga Rembang selama 300 hari lebih sejak pele­takan batu pertama pendirian pabrik semen pada 16 Juni 2014. Warga juga sudah mela­kukan unjuk rasa di setiap sidang di PTUN Semarang, Kantor Bupati Rembang, Kantor Gubernur Jawa Tengah, bahkan di Istana Pre­siden Jakarta. Dukungan pun mengalir dari beberapa individu maupun kelompok dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Su­rabaya, Palembang, Malang dan daerah lain. Perju angan tersebut tidak lain untuk men­jaga ‘Kendi Abadi’ agar terus mengalir.

Maryani, Pegiat Combine Resource Institution

Warga yang pro ter-

hadap pemba ngun an

pabrik semen berlin-

dung di bawah pa yung

bertuliskan “Semen

Gresik”. Pu luhan per-

sonil polisi meng aman-

kan jalan nya sidang

untuk men cegah ben-

trokan kedua kubu.

Page 20: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201520

U t A m A

Oleh APRILIAnA SUSAnTI

tak sanggup menyelesaikan lagu­nya, Gunarti pun dengan lantang menyuarakan penolakannya ter­hadap rencana pendirian pabrik semen di daerahnya. “Yang kami

pertahankan adalah air, sebagai sandaran penghidupan kami. Kalau bukan kami yang menjaganya, tanah air kami akan kembali dijajah pengusaha asing,” tegasnya dalam Bahasa Jawa.

Gunarti adalah salah satu tokoh warga Sa­min atau biasa disebut Sedulur Sikep yang hidup di sepanjang Pegunungan Karst Ken­deng, Pati, Jawa Tengah. Seperti halnya Gu­narti, mayoritas warga di Pegunungan Ken­deng memang menolak kehadiran pabrik se­men. Penolakan itu karena sebagian besar karst Pegunungan Kendeng telah menjadi sumber pengairan bagi pertanian warga.

Pegunungan Kendeng sejatinya memang menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Ratusan mata air yang tersimpan di dalam perutnya menjadi tumpuan ribuan warga di Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang. Air yang melimpah membuat daerah ini menjadi sa­lah satu lumbung padi di Jawa Tengah.

Berbalut kebaya kain hitam polos dengan rambut disanggul cepol seadanya dan beralaskan sandal jepit sederhana, Gunarti menyapa Yogyakarta, (9/4). Berdiri di ruangan Wisma Djoglo Yogyakarta tempat berlangsungnya konferensi nasional tentang air, suara petani itu tercekat ketika menyanyikan sebait lirik lagu lagu “Ibu Pertiwi” untuk desanya di kaki Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.

Sebagai pegunungan karst, Kendeng me­miliki cadangan batu gamping yang menjadi bahan baku semen dengan kualitas unggul. Kekayaan akan batu gamping itulah yang menarik beberapa pabrik semen untuk me­nambang di sana. Tentu saja, rencana penam­bangan itu ditentang keras oleh masyarakat di sekitarnya. Warga khawatir, penambang­an akan mengancam ratusan mata air yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Penambangan di Pegunungan Kendeng bisa memicu resiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut. Saat ini, terdapat 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit air yang relatif konstan. Mata air tersebut menjadi sumber air bagi sekitar 8000 kepala keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah yang terdapat di Suko­lilo (www.mongabay.co.id).

“Gunung yang terbentuk ribuan tahun, di­kepras (diruntuhkan­red) hanya dalam se­hari saja,” ujar Gunarti ketika tim Majalah Kombinasi menemuinya, (9/4).

Gunarti tak pernah membayangkan per­juangannya dan teman­temannya akan sam­pai sejauh ini. Sebelum rencana pendirian

sEmAnGAt KArtini KEndEnG mEndobrAK tAmbAnG

“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hatiAir matamu berlinang, mas intanmu terke nang”

Page 21: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 21

alam sekaligus menjaganya tetap lestari. Se­jahtera adalah saat kita bisa merasa tenteram hidup bermasyarakat tanpa ancaman. Untuk kami, ketenteraman itu muncul ketika kami tidak terancam oleh rencana penam bangan itu. Masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk menjaga bumi kita agar tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita nanti,” pungkas Gunarti sebelum melanjut kan per­jalanannya kembali ke desa tercin tanya, Desa Sukolilo di kaki Pegunungan Kendeng yang menawan sekaligus tertawan.

pabrik semen itu menggema, wanita desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal ini hanya bersuara di dalam masya­rakatnya saja.

“Jika dulu masalahnya banjir karena su­ngai diberi jlarang (pagar bambu un tuk mem­ben dung sungai­red) sama pencari ikan,” ke­nang Gunarti. Ia melanjutkan, “Ka lau seka­rang, banjirnya terjadi karena (Pegunung­an) Kendeng digunduli untuk ditam bang.”

Rencana penambangan tak hanya meng­ancam kelestarian tanah dan air Pegunung­an Kendeng saja, namun juga merusak tata sosial masyarakatnya. Iming­iming akan ada­nya lapangan pekerjaan membuat sebagian warga mendukung berdirinya pabrik semen, sementara sebagian warga lainnya menolak mentah­mentah rencana penambangan ter­sebut. Pro dan kontra yang muncul ternyata berujung sangat runcing dalam keseharian warga.

“Sekarang kalau ada warga sakit, yang je­nguk sedikit, bahkan ada yang tak dijenguk. Demikian juga kalau ada yang ha jatan. Sa­ngat berbeda dengan dulu,” kata Gunarti.

Sosok Gunarti sedikit banyak mencermin­kan semangat Kartini ratusan tahun lalu. Meresapi semangat kekartinian masa kini tak sebatas berkonde dan berkebaya saja, namun juga aksi nyata memperjuangkan ta­nah air Pegunungan Kendeng, tempat hidup dan menghidupi keluarga mereka. Memba­yangkan lumbung padi di desanya akan ber­ubah menjadi kubangan lumpur jika pabrik semen itu berdiri, Gunarti pun membacakan sebuah puisi berbahasa Jawa.

“Yen bumi pertiwi arep dideki pabrik­pab­rik/Terus ditambang rino wengi/Dudu wong tani tok sing bakalan cutes/nanging banyu, wit­witan, lan ugo kewan­kewan ugo bakal­an cutes, cures, tumpes, ludes/Nganti kapan panguoso ngrusak alam?/Mbesok kapan pa­nguoso eling alam?/Ojo nunggu ibu pertiwi murka”

(Kalau bumi pertiwi akan didirikan pab­rik­pabrik/Lalu ditambang siang malam/Bukan petani saja yang akan habis/namun air, pepohonan, dan juga hewan­hewan juga akan habis, binasa, dan musnah/Sampai ka­pan penguasa merusak alam?/Kapankah pe­nguasa mengingat alam?/Jangan menunggu ibu pertiwi murka).

Bagi para kartini Pegunungan Kendeng ini, sejahtera bukan diukur dari banyaknya perusahaan yang berdiri di wilayah mereka. “Sejahtera adalah saat kita dapat hidup dari

Sejahtera adalah saat kita bisa hidup dari alam sekaligus menjaganya tetap lestari. Sejahtera adalah saat bisa merasa tenteram hidup bermasyarakat tanpa ancaman. Untuk kami, ketentraman itu muncul ketikakami tidak teran-cam oleh rencana penambangan itu.

GUnARTIKartini dari Desa Sukolilo, Pegunungan Kendeng

foto

: AP

ril

iAn

A s

us

An

ti/K

om

bin

As

i

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 21

Page 22: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201522

U t A m A

melimpahnya air yang ditunjang dengan sebaran lapukan abu vulkanik Gunung Merapi men­jadikan tanah di desa kami sa­ngat subur. Tidak heran, segala

tanaman pertanian mulai dari padi, palawija, hingga buah­buahan dapat tumbuh dengan hasil panen yang dapat menunjang pereko­nomian warga. Melimpahnya air juga diman­faatkan warga untuk perikanan, baik di ko­lam secara khusus maupun dengan sistem mina padi dimana ikan dipelihara di sawah bersamaan dengan tanaman padi. Sederha­nanya, desa kami adalah daerah makmur air di mana air selalu mbanyu mili (air meng­alir­red) sepanjang tahun se olah tanpa su­sut meskipun musim kemarau panjang.

Namun kini, indahnya sawah yang meng­hijau oleh tanaman tak lagi terlihat. Sebab­nya, sawah­sawah tak lagi teraliri air sepan­jang waktu. Untuk menanam padi saja kami

simAlAKAmA Air bErsiH untuK dEsADulu, air melimpah ruah di desa kami di lereng Merapi sisi barat di Desa Kronggahan, Kecamatan Srumbung, Magelang. Sumber-sumber mata air dapat ditemukan dengan mudahnya. Ada tuk bendo yakni mata air yang muncul dari dalam tanah, ada juga ada mbelik di pinggiran Kali Pandan. Bahkan, di tebing lembah sisi barat desa pun juga muncul mata air, kami menyebutnya kedhokan.

harus mengandalkan limpahan ketersedia­an air pada musim hujan. Tidak ada lagi pe­mandangan kolam­kolam ikan yang menja­di ikon dusun kami di masa lalu.

Keceriaan anak­anak yang mandi di su­ngai tak lagi terlihat seiring dengan makin lirihnya gemericik air Kali (sungai­red) Pan­dan yang berhulu di kaki Merapi ketika be­berapa minggu hujan tidak turun. Bahkan, sungai­sungai kecil anak sungai Kali Pandan hampir selalu kering. Begitu pun dengan kedhokan dan mbelik yang dulu menjadi tem­pat mandi bersama warga desa kini juga se­makin sulit ditemukan.

Banyak faktor yang menyebabkan berku­rangnya air di desa kami. Perubahan iklim akibat pemanasan mungkin menjadi salah satu faktor global. Sementara di ranah lokal, tentu saja berkurangnya air tak lepas dari pembalakan hutan di puncak Merapi dan eks­ploitasi penambangan pasir yang masif sejak

Oleh nAnAnG TRIAGUnG EDI H

Page 23: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 23

tahun 1998. Padahal, hutan berperan besar dalam menyerap air hujan untuk kemudian disimpan sebagai air tanah yang menjadi sumber mata air. Dampaknya, debit air di se­jumlah mata air menyusut. Su ngai­sungai be sar seperti Kali Putih dan Kali Blongkeng pun berkurang aliran airnya. Bah kan pada waktu puncak musim kemarau, Kali Pandan di desa kami pernah kering sa ma sekali.

Simalakama Antara Kebutuhan Rumah Tangga dan Pertanian

Pemanfaatan air untuk kebutuhan rumah tangga di desa kami mengalami perkembang­an seiring dengan kemajuan pendidikan dan dinamika pola pikir masyarakat. Awalnya, warga desa kami sering memanfaatkan air dari mbelik dan kedhokan untuk mandi, men­cuci, memasak, dan air minum. Dalam per­kembangannya, beberapa warga mulai ber­inisiatif menggali sumur untuk kebutuhan rumah tangga, baik itu dengan pompa air lis­trik maupun dengan timba air manual.

Beberapa waktu lalu, kami bahkan me­miliki sistem air bersih desa sendiri tanpa harus repot­repot mengangkut air dari mbe­lik, kledokan, maupun susah payah menim­ba. Ya! Dengan pipa­pipa air yang didanai secara swadaya dan gotong royong, kami mengalirkan air dari tuk bendo ke bak­bak penampung air untuk selanjutnya dialirkan

ke rumah­rumah warga dengan pipa yang lebih kecil. Tinggal buka keran, air pun de­ngan mudahnya mengalir di rumah­rumah kami. Persis seperti sistem air ledeng (air PAM­red) di perkotaan. Bedanya dengan le­deng di kota, iuran bulanan untuk sistem pemanfaatan air bersih di dusun kami sama sekali tidak memberatkan warga.

Akan tetapi, kemudahan yang kami da­patkan dari sistem pemanfaatan air bersih yang baru itu ternyata justru membawa dam­pak buruk bagi pertanian kami. Air dari tuk bendo yang biasanya dimanfaatkan untuk mengairi sawah sebagian besar telah dialih­kan untuk dialir kan ke bak­bak penampung­an air yang digunakan untuk air bersih war­ga. Alhasil, berkurangnya pasokan air untuk pertanian membuat sawah kami tidak lagi dapat ditanami padi sepanjang ta hun. Ke­adaan itu semakin bertambah buruk ketika musim kemarau tiba. Beberapa ming gu tan­pa hujan telah menjadikan kemarau hadir sebelum masanya di sawah kami. Pro dukti­vitas lahan pertanian pun menurun se iring dengan penyusutan pasokan air. Dampak­nya, pendapatan petani ikut menurun.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang dapat menggambarkan kondisi perairan di desa kami. Setelah pertanian mengalami kri­sis air, kebutuhan warga akan air bersih pun terancam. Pasalnya, debit air dari tuk bendo juga kian menyusut. Hal itu menyebabkan pengelolaan air bersih mengalami kemun­duran. Semangat para pengelola yang me­ngendor mendorong warga untuk kembali mengaktifkan sumur untuk memenuhi ke­butuhan air bersih untuk rumah kami.

Pengambilan air dari mata air untuk ke­perluan air bersih desa memang bukan se­suatu yang sama sekali haram untuk dilaku­kan. Meski demikian, hendaknya harus dila­kukan secara bijak dan tepat guna tanpa mengganggu peran mata air sebagai sumber pangairan untuk pertanian. Jika hal tersebut benar­benar diterapkan, tentu saja keber­adaan air bersih desa tidak akan menimbul­kan simalakama permasalahan. Pertanian tetap tercukupi kebutuhan pengairannya, sementara masyarakat desa pun dapat me­nikmati air bersih secara mudah. Titik temu kepentingan inilah yang harus ditemukan untuk diformulasikan secara tepat. Semoga bisa menjadi perenungan bersama.

nanang Triagung Edi H, dewan sesepuh

Komunitas blogger Pendekar tidar magelang

Tak seperti dulu,

warga Desa Krong-

gahan kini cukup

kesulitan memenuhi

kebutuhan air, ter

utama pada musim

kemarau. Per ubahan

iklim, pemba lakan

liar, dan maraknya

penam bang an pasir

dinilai menjadi pe-

nye bab utamanya.

foto

-fo

to: d

oK

um

En

nA

nA

nG

tE

H

Page 24: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201524

B u d A Y A

Ketika Erupsi Merapi Bertemu Ketoprak dan Jathilan

bertempat di balai Desa Sido­rejo, Kemalang, Klaten, kola­borasi ketoprak dan jathilan dalam rangka mitigasi benca­

na erupsi Merapi digelar untuk per­tama kalinya di Kabupaten Klaten, (25/4). Pertunjukan bertajuk Sejarah Erenging Gunung Merapi, Asesirah Si­ogo Ing Beboyo ini melibatkan 80 pe­main ketoprak dan jathilan dari dua desa di lereng Gunung Merapi, yakni kelompok “Ngesti Budoyo” dari Desa Sidorejo dan “Slogo Denowo” dari De­sa Tegalmulyo. Ketoprak dan jathilan dipilih karena kecenderungan masya­rakat di lereng Merapi yang lebih mu­dah memahami pentingnya kesiapsi­agaan menghadapi bencana melalui seni dibandingkan lewat diskusi atau­pun penyuluhan.

“Kalau sosialisasi (mitigasi benca­na) melalui diskusi atau rapat­rapat warga sudah jenuh. Kami mengapre­siasi sosialisasi lewat seni seperti ini karena bisa lebih mudah dan cepat sampai ke masyarakat,” kata Jumakir, kepala desa Sidorejo.

Udara dingin dan angin yang ber­tiup kencang di desa Sidorejo tidak me nyurutkan antusiasme warga un­

tuk menyaksikan pertunjukan seni kolaborasi itu. Ratusan warga dari be­berapa desa tetangga di lereng Mera­pi berduyun­duyun menyaksikan per­tunjukan seni tradisi yang memang jarang digelar di desa mereka. Warga tidak hanya memadati halaman balai Desa Sidorejo saja, namun juga me­menuhi jalan raya. Panitia telah meng­antisipasi membludaknya penonton dengan memasang layar putih besar untuk nonbar (nonton bareng) di de­pan balai desa. Bahkan, bagi warga yang tak bisa datang di tempat aca ra, mereka bisa menyimak serunya per­tunjukan itu melalui live stream ing di radio suarakomunitas.net dan gelom­bang radio komunitas 107,4 MHz.

“Selama ini belum pernah ada so­sialisasi menghadapi bencana Mera­pi. Cara seperti ini (sosialisasi mitiga­si bencana lewat pertunjukan seni­red) sangat bagus, mudah dimengerti wong ndeso seperti saya,” tutur Seti, warga asal Desa Sidorejo.

Puspo Enggar Hastuti selaku Ke­pala Seksi Kesejahteraan Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Klaten menyambut baik inisiatif warga Sidorejo dan Te­galmulyo itu. Edukasi mitigasi benca­

Erupsi Merapi bukanlah bencana yang baru pertama kali dialami bagi warga di desa-desa di lereng Gunung Merapi. Demikian halnya dengan ketoprak dan

jathilan yang menjadi sudah menjadi tradisi turun temurun di sana. Namun, ketika kedua seni tradisi itu berkolaborasi dengan pengetahuan mitigasi bencana erupsi

Merapi, jadilah pertunjukan seni nan apik dan edukatif.

na seperti itu juga dapat dikembang­kan di desa­desa lain di lereng Mera­pi dengan menggabungkan seni dan kearifan lokal desa masing­masing.

“Pentas ini bisa menanamkan ke masyarakat bagaimana menghadapi dan mengantisipasi saat terjadi ben­cana. Mereka tidak hanya dikasih ma­teri teoritis, namun juga melalui seni sehingga bisa dimengerti semua ka­langan mulai dari anak­anak sampai orang tua. Sosialisasi kesiapsiagaan dalam bentuk seni seperti ini dapat dikembangkan di desa­desa lain yang disesuaikan dengan kondisi desa ma­sing­masing,” kata Puspo saat meng­hadiri pertunjukan tersebut.

Siogo Ing Beboyo MerapiSejarah Erenging Gunung Merapi,

Asesirah Siogo Ing Beboyo mengisah­kan kehidupan masyarakat di desa­desa di lereng Merapi. Tinggal di ka­wasan yang rawan bahaya erupsi gu­nung berapi membuat mereka harus selalu siap dan siaga terhadap ben­cana erupsi yang dapat terjadi kapan saja. Beberapa tokoh masyarakat ber­inisiatif memberdayakan warga un­tuk siap dan siaga menghadapi erupsi

Oleh APRILIAnA SUSAnTI

foto

-fo

to: A

Pr

iliA

nA

su

sA

nti

/Ko

mb

inA

si

Page 25: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 2015 25

Kolaborasi ketoprak dan jathilan untuk mengedukasi warga terkait mitigasi bencana melalui seni.

Page 26: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

Kombinasi Edisi ke-61 April 201526

B u d A Y A

Merapi. Namun, tidak semua warga desa mendukung gerakan tersebut.

Hingga suatu hari, suhu udara di desa pun bertambah panas. Hewan­hewan mulai turun gunung. Begitu pula dengan burung­burung elang Ja­wa yang terbang mengitari langit di atas desa. Sepuluh penari jathilan de­ngan mahkota dari bulu­bulu burung pun muncul menari tarian Kukuli Yak­sa dalam iringan gamelan yang ran­cak. Turunnya burung­burung elang Jawa dalam tarian Kukuli Yaksa atau Tarian Burung ini menjadi pertanda gunung Merapi akan segera meletus. Warga pun akhirnya sadar, kesiapsi­agaan menghadapi erupsi amat pen­ting dilakukan untuk mengurangi re­siko kerugian baik jiwa maupun ma­terial. Mereka pun bergotong royong dengan tetangga desa untuk evakuasi secara mandiri tanpa harus menung­gu dievakuasi oleh pemerintah.

“Lewat pentas ini, kami mengajak semua warga untuk melestarikan bu­

daya Jawa dan juga menjaga lingkung­an. Sebagai warga yang tinggal di le­reng Merapi, kami juga harus siap si­aga menghadapi bencana merapi dan harus menjalin gotong royong dengan desa­desa tetangga,” ungkap Subur, sutradara dari Desa Tegalmulyo.

Tidak sebatas menyuguhkan keto­prak dan jathilan, pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 19.00 hingga 02.00 ini juga menghadirkan tari­tari­an klasik nan apik. Tarian selamat da­tang oleh 6 remaja putri Desa Sidorejo membuka pertunjukan yang dihadiri oleh perwakilan 13 desa di Kecamatan Kemalang itu. Kehadiran penari can­tik asal Jepang, Kaori Oka do pun ma­kin menambah semarak malam seni itu dengan tarian Menak Koncar.

Pertunjukan kolaborasi ini meru­pakan kerjasama warga Desa Sidore­jo, Kabupaten Kemalang Jawa Tengah melalui Radio Komunitas Lintas Me­rapi dengan Radio FMYY Jepang dan Combine Resource Institution.

“Warga yang hidup di lereng Me­rapi menyadari, Gunung Merapi telah memberi mereka banyak keuntungan. Namun, mereka juga menyadari ke­nyataan hidup di lereng Merapi harus siap dengan bahaya erupsi yang seti­ap saat bisa mengancam kehidupan warga. Meningkatkan kesiapsiagaan warga menghadapi erupsi merapi de­ngan menggabungkan pengetahuan dan kearifan lokal seperti dalam per­tunjukan ini lebih mudah diterima warga,” kata Junichi Hibino, perwa­kilan dari Radio FMYY Jepang.

Foto 1: ratusan warga dari Desa

Sidorejo dan Tegalmulyo serta

beberapa desa tetangga memadati

tempat pertunjukan. Foto 2: kelompok

ketoprak Ngesti Budoyo dari Sidorejo.

Foto 3: persiapan sebelum pentas

dilakukan bergotong royong oleh para

pemain dan warga, baik saat merias

maupun mendirikan panggung.

Page 27: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan
Page 28: Ed. 61 April 2015 : Kendali Atas Air Kendali Atas Kehidupan

(Bukan) Zamrud khatulistiwa

*) Berdasarkan data Global Forest watch dan Forest watch indonesia