SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN:
PEDOMAN INTERNASIONAL MANAJEMEN
SEPSIS BERAT DAN SYOK SEPTIK: 2012
Tujuan: Untuk memperbaharui “Pedoman Manajemen Sepsis Berat dan Syok
Septik dari Surviving Sepsis Campaign" yang terakhir kali dipublikasikan pada
tahun 2008.
Desain: Dibentuk sebuah komite konsensus yang terdiri dari 68 ahli yang
mewakili 30 organisasi internasional. Sejumlah kelompok berkumpul pada suatu
pertemuan internasional (anggota komite yang menghadiri konferensi). Dibuat
konflik formal terkait kepentingan politis pada awal proses yang diberlakukan
secara menyeluruh. Seluruh proses penyusunan pedoman ini dilakukan tanpa
bantuan dana industri/perusahaan apapun. Diselenggarakan sebuah pertemuan
untuk semua kepala subkelompok, ketua dan wakilnya, serta beberapa orang yang
terpilih. Dilakukan telekonferensi dan diskusi berbasis elektronik antara sub-
subkelompok dan seluruh komite sebagai bagian integral dari penyusunan
pedoman ini.
Metode: Para penyusun dianjurkan untuk mengikuti prinsip-prinsip sesuai sistem
GRADE (Grading of Recommendations Assessment, Development and
Evaluation) untuk memandu penilaian yang diberikan terhadap kualitas bukti-
bukti mulai dari kualitas tinggi (A) hingga sangat rendah (D) dan untuk
menentukan kekuatan rekomendasi data yang digunakan apakah kuat (1) atau
lemah (2). Ditekankan adanya kemungkinan suatu rekomendasi data dinyatakan
kuat sedangkan kualitas bukti hanya lemah. Beberapa rekomendasi data
digradekan mutunya (ungraded, UG). Rekomendasi diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok: 1) Rekomendasi data yang secara langsung bertarget pada sepsis berat,
2) Rekomendasi data yang menargetkan perawatan umum pada pasien kritis
Baca Buku dr. Rohmat A Page 1
dengan pertimbangan prioritas tinggi pada sepsis berat, dan 3) Rekomendasi
terkait pertimbangan pediatrik.
Hasil: Rekomendasi dan saran yang penting, didaftar berdasarkan kategori
tertentu, meliputi: resusitasi kuantitatif dini pada pasien sepsis selama 6 jam
pertama setelah diketahui sepsis (1C); kultur darah sebelum diberikan terapi
antibiotik (1C); pemeriksaan radiologis yang dilakukan segera untuk memastikan
sumber potensial infeksi (UG); pemberian terapi antimikroba spektrum luas
sebagai tujuan terapi dalam waktu 1 jam sejak diketahui telah terjadi syok septik
(1B) dan sepsis berat tanpa syok septik (1C); penilaian ulang pemberian terapi
antimikroba setiap harinya untuk deeskalasi, apabila memungkinkan (1B); kontrol
sumber infeksi dengan memperhatikan keseimbangan risiko dan manfaat dari
metode yang dipilih dalam waktu 12 jam sejak terdiagnosis (1C); resusitasi cairan
awal dengan kristaloid (1B) dan dipertimbangkan penambahan albumin pada
pasien yang terus membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar untuk
mempertahankan MAP (Mean Arterial Pressure) yang adekuat (2C) dan
menghindari pembentukan hetastarch (1C); pada pasien dengan hipoperfusi
jaringan dan kecurigaan hipovolemia yang disebabkan karena sepsis dilakukan uji
percobaan dengan cairan (fluid challenge test) awal menggunakan kristaloid
hingga mencapai minimal 30 mL/kg (pemberian cairan lebih cepat dan dalam
jumlah yang lebih besar mungkin perlu dilakukan pada beberapa pasien) (1C);
teknik uji percobaan dengan cairan tersebut terus dilakukan selama hemodinamik
mengalami perbaikan, baik berdasarkan variabel dinamis atau statisnya (UG);
norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama untuk mempertahankan MAP ≥
65 mmHg (1B); epinefrin jika dibutuhkan agen tambahan untuk mempertahankan
tekanan darah tetap adekuat (2B); vasopressin (0,03 U/menit) dapat ditambahkan
dengan norepinefrin baik untuk menaikkan MAP sampai mencapai target maupun
untuk mengurangi dosis norepinephrine, tapi tidak boleh digunakan sebagai
vasopressor awal (UG); dopamin tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan yang
sangat mendesak (2C); infus dobutamin diberikan atau ditambahkan dengan
vasopressor jika terjadi: a) disfungsi miokard yang dapat ditunjukkan dengan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 2
adanya peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah,
atau b) adanya tanda-tanda hipoperfusi yang sedang berlangsung (ongoing)
walaupun volume intravaskular dan MAP yang adekuat telah tercapai (1C);
hindari penggunaan hidrokortison intravena pada pasien syok septik dewasa jika
resusitasi cairan yang adekuat dan terapi vasopressor mampu mengembalikan
stabilitas hemodinamik (2C); target hemoglobin adalah 7-9 g/dL tanpa adanya
hipoperfusi jaringan, penyakit iskemia arteri koroner, atau perdarahan akut
(1B);volume tidal rendah (1A) dan pembatasan tekanan plateau inspirasi (1B)
karena sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS); penerapan nilai PEEP
setidaknya dalam jumlah minimal pada kasus dengan ARDS (1B); penerapan
PPEP yang lebih tinggi pada pasien-pasien dengan ARDS sedang atau berat yang
disebabkan karena sepsis (2C); manuver mobilisasi pada pasien dengan
hipoksemia refrakter berat yang disebabkan karena ARDS (2C); pemosisian
tengkurap pada pasien dengan ARDS karena sepsis dengan nilai rasio PaO2/FiO2
≤100 mmHg di rumah sakit/fasilitas yang berpengalaman dengan praktik
manajemen pasien seperti itu (2C); tempat tidur posisi elevasi head-of-bed (posisi
kepala lebih tinggi) pada pasien dengan ventilasi mekanik kecuali bila ada
kontraindikasi (1B); manajemen cairan konservatif untuk pasien dengan ARDS
yang tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan (1C); protokol weaning
(penghentian) dan sedasi (1A); meminimalisir penggunaan sedasi dengan bolus
intermiten dan sedasi dengan infus kontinyu yang menargetkan titrasi akhir
tertentu (1B); jika memungkinkan hindari penggunaan penghambat
neuromuskuler pada pasien septik tanpa ARDS (1C); pemberian penghambat
neuromuskuler secara singkat (tidak lebih dari 48 jam) untuk pasien dengan
ARDS awal dan PaO2/FiO2 <150 mmHg (2C); pendekatan berprotokol
manajemen glukosa darah dengan memulai pemberian insulin jika hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah 2 kali berturut-turut >180 mg/dL, dengan target
glukosa darah teratas ≤180 mg/dL (1A); hemofiltrasi vena-vena secara kontinyu
maupun hemodialisis intermiten secara seimbang (2B); profilaksis trombosis vena
dalam (1B); penggunaan profilaksis ulkus untuk perdarahan saluran
gastrointestinal atas pada pasien dengan faktor risiko perdarahan (1B); pemberian
Baca Buku dr. Rohmat A Page 3
makan/nutrisi secara oral atau enteral (jika perlu), sesuai yang dapat ditoleransi
pasien, akan lebih baik daripada puasa penuh ataupun hanya glukosa intravena
dalam 48 jam pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok septik (2C); dan
menentukan tujuan perawatan, termasuk rencana terapi dan perencanaan “akhir
kehidupan” (yang sesuai) (1B), sedini mungkin, tetapi dalam waktu 72 jam sejak
dibawa ke ICU (2C). Rekomendasi yang khusus untuk pasien pediatri dengan
sepsis berat meliputi: terapi dengan masker oksigen, kanul nasal oksigen beraliran
tinggi, atau dengan PEEP kontinyu nasofaringeal apabila terjadi distres pernafasan
atau hipoksemia (2C), pemeriksaan fisik terapeutik seperti pengisian kapiler (2C);
untuk kasus syok septik yang terkait dengan hipovolemia, digunakan kristaloid
atau albumin untuk memasukkan kristaloid bolus sebanyak 20 mL/kg (atau
albumin yang setara) selama 5 sampai 10 menit (2C); lebih sering digunakan
inotropik dan vasodilator untuk jantung yang rendah pada kasus syok septik
dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik (2C); dan penggunaan
hidrokortison hanya pada anak-anak dengan kecurigaan atau terbukti "mutlak"
mengalami insufisiensi adrenal (2C).
Kesimpulan: Ada kesepakatan diantara para ahli studi kohort bersakala besar di
grade internasional terkait dengan banyaknya rekomendasi grade 1 dalam hal
perawatan terbaik untuk pasien dengan sepsis berat. Walaupun banyak aspek
perawatan tersebut hanya mendapat sedikit mendapat dukungan, namun
rekomendasi berbasis bukti dalam hal manajemen akut pada sepsis dan syok
septik merupakan landasan perbaikan outcome pada kelompok pasien-pasien yang
berada dalam kondisi kritis ini. (Crit Care Med 2013; 41: 580-637).
Kata Kunci: Kedokteran berbasis bukti; Grading of Recommendations
Assessment, Development and Evaluation criteria; pedoman; infeksi; sepsis;
gabungan sepsis bundel; sindrom sepsis; syok septik; sepsis berat; Surviving
Sepsis Campaign.
Sepsis merupakan suatu respon host yang bersifat merusak dan sistemik sebagai
respon terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat (disfungsi organ akut
Baca Buku dr. Rohmat A Page 4
karena terbukti atau kecurigaan adanya infeksi) dan syok septik (sepsis berat
disertai hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan). Sepsis berat dan
syok septik adalah masalah kesehatan utama, yang menyerang jutaan orang di
seluruh dunia setiap tahunnya, menewaskan satu dari empat (dan sering kali
lebih), dan insidensinya semakin meningkat (1-5). Mirip dengan politrauma,
infark miokard akut, ataupun stroke, kecepatan dan ketepatan terapi yang
diberikan pada jam-jam awal setelah terjadinya sepsis berat cenderung
mempengaruhi hasil terapi.
Rekomendasi dalam dokumen ini dimaksudkan untuk memberikan
panduan bagi klinisi yang menangani pasien dengan sepsis berat atau syok septik.
Rekomendasi dari pedoman ini tidak dapat menggantikan kemampuan
pengambilan keputusan oleh seorang klinisi ketika dihadapkan dengan pasien
yang memiliki berbagai gambaran klinis. Sebagian besar rekomendasi ini sesuai
untuk pasien dengan sepsis berat yang dirawat di ICU maupun non-ICU. Bahkan,
komite berkeyakinan bahwa perbaikan hasil terapi terbesar dapat dilakukan
melalui perubahan edukasi dan proses bagi mereka yang merawat pasien dengan
sepsis berat di ruang non-ICU maupun segala macam perawatan akut.
Keterbatasan sumber daya di beberapa lembaga dan negara dapat menghambat
seorang klinisi/dokter dalam melakukan rekomendasi tertentu. Sehingga,
rekomendasi ini dimaksudkan untuk dapat menjadi praktik terbaik (komite
menganggap ini tujuan untuk praktik klinis) dan tidak dibuat untuk
menggambarkan suatu standar perawatan. Komite Pedoman The Surviving Sepsis
Campaign (SSC) berharap bahwa seiring berjalannya waktu, melalui program
edukasi dan audit serta inisiatif peningkatan performa umpan balik, pedoman ini
akan dapat mempengaruhi perilaku praktisi perawatan kesehatan yang akan
mengurangi beban insidensi sepsis seluruh dunia.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 5
METODOLOGI
Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi (kecurigaan atau telah terbukti) yang
disertai dengan manifestasi infeksi secara sistemik. Sepsis berat didefinisikan
sebagai sepsis ditambah dengan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan akibat
sepsis (Tabel 1 dan 2) (6). Di dalam pedoman dan bundel perbaikan performa ini,
dibedakan antara definisi dan target atau ambang batas terapi. Hipotensi akibat
sepsis didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) <90 mmHg atau mean
arterial pressure (MAP) <70 mmHg atau penurunan TDS >40 mmHg atau kurang
dari dua standar deviasi di bawah normal terhadap usia tanpa adanya penyebab
lain hipotensi. Sebagai contoh target terapi atau ambang batas tipikal untuk
mengatasi hipotensi terlihat dalam bundel sepsis tentang penggunaan vasopressor.
Di dalam bundel sepsis, ambang batas MAP adalah ≥65 mmHg. Penggunaan
definisi vs ambang batas akan tampak jelas di seluruh artikel ini. Syok septik
didefinisikan sebagai hipotensi yang disebabkan karena sepsis yang menetap
walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Hipoperfusi jaringan
karena sepsis didefinisikan sebagai hipotensi, peningkatan laktat, atau oliguria
yang disebabkan karena infeksi.
TABEL 1. KRITERIA DIAGNOSTIK SEPSIS
Infeksi, baik terbukti maupun dicurigai, dan beberapa kriteria berikut:
Variabel umum:
- Demam (>38,3oC)- Hipotermia (suhu inti <36oC)- Denyut jantung >90/menit atau lebih dari 2 SD diatas nilai normal
terhadap usia- Takipneu- Perubahan status mental- Edema bermakna atau keseimbangan cairan (BC) positif (>20 ml/kg)
selama 24 jam- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa adanya
Baca Buku dr. Rohmat A Page 6
diabetesVariabel inflamasi
- Leukositosis (AL >12.000/µL)- Leukopenia (AL <4000/µL)- AL normal dengan bentuk leukosit imatur lebih dari 10%- Protein C-reaktif plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Variabel hemodinamik
- Hipotensi arteri (TDS <90 mmHg, MA <70 mmHg, atau penurunan TDS >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari 2 SD di bawah normal terhadap usia)
Variabel disfungsi organ
- Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 <300)- Oluguria akut (output urine <0,5 ml/kg/jam setidaknya dalam 2 jam walau
sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat- Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dl atau 44,2 µmol/l- Abnormalitas koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60 detik)- Ileus (tidak adanya bising usus)- Trombositopenia (AT <100.000 µ/l)- Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma >4 mg/dl atau 70 µmol/l)
Variabel perfusi jaringan
- Hiperlaktasemia (>1 mmol/l)- Penurunan CRT
TABEL 2. SEPSIS BERAT
Definisi sepsis berat = hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ yang disebabkan oleh karena adanya sepsis (adanya kriteria di bawah yang dianggap atau dicurigai disebabkan karena infeksi)
- Hipotensi karena sepsis- Kadar laktat di atas batas atas nilai normal pemeriksaan laboratorium- Output urine <0,5 ml/kg/jam selama lebih dari 2 jam walau telah
dilakukan resusitasi cairan secara adekuat- Cedera paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi
Baca Buku dr. Rohmat A Page 7
- Cedera paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber infeksi
- Kreatinin >2,0 mg/dl (176,8 µ- Bilirubin >2 mg/dl (34,2 µmol/l)- AT <100.000 µl- Koagulopati (INR >1,5)
Sejarah Pedoman
Pedoman praktik klinis ini merupakan revisi dari Pedoman SSC 2008 tentang
manajemen sepsis berat dan syok septik (7). Pedoman SSC yang awal diterbitkan
pada tahun 2004 (8) dan menelaah bukti yang ada sampai akhir 2003. Publikasi
pada tahun 2008 menganalisis bukti yang ada sampai tahun 2007. Iterasi yang
terbaru didasarkan pada pencarian literatur terbaru yang dimasukkan ke dalam
perubahan naskah pedoman sampai musim gugur 2012.
Seleksi dan Organisasi Anggota Komite
Pemilihan anggota komite ini didasarkan pada kepentingan dan keahlian
seseorang dalam aspek-aspek tertentu dari sepsis. Ketua Utama dan anggota
komite eksekutif ditunjuk oleh badan Society of Critical Care Medicine and
European Society of Intensive Care Medicine. Setiap organisasi yang memberikan
sponsor terhadap pedoman ini menunjuk seorang wakil yang memiliki keahlian
(ekspertise) di bidang sepsis. Anggota komite tambahan ditunjuk oleh ketua
umum dan komite eksekutif untuk menciptakan suatu kontinyuitas dengan
anggota komite sebelumnya serta untuk memenuhi kebutuhan konten selama
proses pembuatan pedoman. Empat dokter dengan pengalaman dalam penerapan
proses GRADE (disebut dalam dokumen ini sebagai kelompok GRADE atau
kelompok Kedokteran Berbasis Bukti [EBM]) ikut ambil bagian dalam
pembuatan pedoman.
Proses pembuatan pedoman dimulai dengan penunjukan ketua kelompok
dan penugasan anggota komite sesuai dengan bidang keahliannya. Masing-masing
Baca Buku dr. Rohmat A Page 8
kelompok bertanggung jawab untuk menyusun pembaharuan awal untuk edisi
2008 sesuai dengan bidang dimana mereka diberikan tanggung jawab (dengan
elemen tambahan informasi yang utama dimasukkan ke dalam naskah yang terus
mangalami perubahan selama akhir tahun 2011 dan awal 2012).
Dengan masukan dari kelompok EBM, pertemuan kelompok awal
diadakan untuk menetapkan prosedur pengulasan literatur dan pembuatan tabel-
tabel analisis bukti. Komite dan subkelompoknya terus bekerja melalui telepon
dan internet. Beberapa pertemuan subkelompok dan orang-orang penting
berikutnya dilakukan dalam pertemuan internasional besar (beberapa kelompok),
dengan terus bekerja melalui telekonferensi dan diskusi berbasis elektronik
diantara subkelompok dan anggota dari seluruh komite. Akhirnya, pertemuan
yang terdiri dari semua ketua kelompok, anggota komite eksekutif, dan komite
penting lainnya diadakan untuk menyelesaikan draft dokumen untuk kemudian
diajukan kepada pengulas (reviewer).
Teknik Pencarian
Pencarian literatur secara terpisah dilakukan terhadap setiap pertanyaan
yang didefinisikan secara jelas. Para ketua komite bekerja dengan ketua
subkelompok untuk mengidentifikasi istilah-istilah pencarian terkait yang
meliputi, sepsis, sepsis berat, syok septik, dan sindrom sepsis melalui berbagai
bidang topik umum dari subkelompok, juga kata-kata kunci yang sesuai dari
pertanyaan spesifik yang diajukan. Semua pertanyaan yang digunakan dalam
pedoman publikasi sebelumnya dicari, seperti pertanyaan-pertanyaan baru
bersangkutan yang muncul dari pencarian terkait topik atau percobaan baru-baru
ini. Para penulis yang secara khusus diminta untuk mencari tentang uji meta-
analisis terkait dengan pertanyaan mereka dan mencari minimal satu database
umum (yaitu, MEDLINE, EMBASE) dan Cochrane Library (baik The Cochrane
Database Systematic Reviews [CDSR] maupun Database of Abstracts of Reviews
of Effectiveness [DARE]). Database lainnya bersifat opsional (ACP Journal Club,
Evidence Based Medicine Journal, Cochrane Registry of Controlled Clinical
Baca Buku dr. Rohmat A Page 9
Trials, International Standard Randomized Controlled Trial Registry
[http://www.controlled-trials.com/ispenelitian acak terkontroln/] atau
metaRegister of Controlled Trials [http://www.controlledtrials.com/mpenelitian
acak terkontrol/]. Apabila diperlukan, bukti yang tersedia diringkas dalam bentuk
tabel bukti.
Pengklasifikasian Rekomendasi
Kami menyarankan para penulis untuk mengikuti prinsip-prinsip dari sistem
Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation
(GRADE) untuk memandu penilaian kualitas bukti mulai dari kualitas tinggi (A)
hingga sangat rendah (D) dan untuk menentukan kekuatan rekomendasi (Tabel 3
dan 4). (9-11). Komite Pengarah SSC dan penulis individual berkolaborasi dengan
perwakilan GRADE menerapkan sistem GRADE selama proses revisi pedoman
SSC ini. Para anggota kelompok GRADE terlibat langsung, baik secara personal
atau melalui e -mail, di semua diskusi dan musyawarah antara anggota komite
pedoman SSC terkait keputusan grading atau pengklasifikasian rekomendasi.
TABEL 3. PENENTUAN KUALITAS BUKTI
Metodologi penelitian yang digunakan
- A (tinggi) uji acak terkontrol- B (sedang) uji acak terkontrol yang turun kualitasnya atau penelitian
observasional yang digradekan kualitasnya- C (rendah) penelitian observasional dengan kontrol berupa uji acak
terkontrol- D (sangat rendah) penelitian terkontrol yang turun kualitasnya atau
pendapat ahli berdasarkan bukti lainnya Faktor-faktor yang dapat mengurangi kekuatan bukti
1. Kualitas perencanaan dan implementasi yang buruk dari uji acak terkontrol yang ada, yang menunjukkan kecenderungan besar terjadinya bias
2. Inkonsistensi hasil penelitian, termasuk masalah dengan analisis subkelompok
3. Ketidaklangsungan bukti (pembedaan populasi, intervensi, kontrol, hasil, perbandingan)
Baca Buku dr. Rohmat A Page 10
4. Ketidaktepatan hasil penelitian5. Kecenderungan tinggi terjadi bias
Faktor-faktor utama yang dapat meningkatkan kekuatan bukti
1. Efek atau dampak penelitian yang besar (bukti langsung, risiko relatif >2 tanpa faktor perancu)
2. Efek atau dampak penelitian yang sangat besar dengan risiko relatif >5 dan tida ada ancaman terhadap validitas (dengan 2 level)
3. Gradien yang berespon sesuai dosis
TABEL 4. FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN REKOMENDASI KUAT vs LEMAH
Apa yang Harus Dipertimbangkan Proses yang Direkomendasikan
Bukti tinggi atau sedang (Apakah ada bukti kualitas tinggi atau sedang?)
Semakin tinggi kualitas bukti, rekomendasinya cenderung semakin kuat
Kepastian tentang keseimbangan antara manfaat vs kerugian dan beban (Apakah ada kepastiannya?)
Semakin besar perbedaan antara hasil yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan dan kepastiannya, maka rekomendasinya cenderung semakin kuat. Semakin kecil manfaat bersih (neto) dan semakin rendah kepastian dari manfaatnya, maka rekomendasinya cenderung semakin lemah
Kepastian atau nilai yang sama(Adakah kepastian atau kesamaan?)
Apabila nilai dan preferensinya semakin pasti dan sama, rekomendasinya semakin kuat
Implikasi sumber daya(Apakah sumber daya senilai dengan manfaat yang diharapkan?)
Semakin kecil biaya intervensinya dibandingkan dengan alternatif lainnya dan biaya lain yang berhubungan dengan keputusan terapi, misalnya sumber daya yang dibutuhkan semakin sedikit, maka rekomendasinya cenderung semakin kuat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 11
Sistem GRADE didasarkan pada penilaian berurutan terkait kualitas bukti,
diikuti dengan penilaian keseimbangan antara manfaat dan risiko, beban, dan
biaya, yang diperlukan dalam pembuatan dan pengklasifikasian rekomendasi
manajemen sepsis. Menjaga peringkat kualitas bukti dan kekuatan rekomendasi
secara eksplisit memisahkan bagian yang krusial dan mendefinisikan dari
pendekatan GRADE. Sistem ini mengklasifikasikan bukti kualitas tinggi (grade
A), sedang (grade B), rendah (grade C), atau sangat rendah (grade D). Percobaan
acak dimulai dari bukti berkualitas tinggi tetapi dapat turun karena keterbatasan
dalam implementasinya, inkonsistensi, atau ketidaktepatan hasil, bukti yang tidak
langsung, dan kemungkinan bias yang dilaporkan (Tabel 3). Contoh bukti tidak
langsung misalnya populasi yang diteliti, intervensi yang digunakan, hasil yang
diukur, dan bagaimana hal-hal tersebut berhubungan dengan pertanyaan yang
diajukan. Penelitian observasi (non-acak) memiliki kualitas bukti yang rendah,
tetapi grade kualitas dapat digradekan berdasarkan besar kekuatan efeknya.
Contoh dari hal ini adalah kualitas bukti terkait pemberian awal antibiotik.
Referensi konten lampiran digital tambahan dari GRADEpro Summary of
Evidence Tables dimunculkan seluruhnya dalam naskah pedoman ini.
Sistem GRADE mengklasifikasikan rekomendasi sebagai rekomendasi
kuat (grade 1) atau lemah (grade 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan
ini disajikan pada Tabel 4. Penentuan rekomendasi kuat atau lemah dianggap
penting secara klinis. Komite menilai apakah efek yang diinginkan akan lebih
besar daripada efek yang tidak diinginkan, dan kekuatan rekomendasi
mencerminkan grade kepercayaan kelompok dalam penilaian itu. Dengan
demikian, rekomendasi yang kuat dalam mendukung intervensi mencerminkan
pendapat panel bahwa efek yang diinginkan yang sesuai dengan rekomendasi
(manfaat kesehatan yang menguntungkan; beban yang lebih rendah pada staf
kesehatan dan pasien, dan penghematan biaya) jelas akan lebih besar daripada
efek yang tidak diinginkan (merugikan kesehatan; lebih membebani staf medis
dan pasien, dan biaya yang lebih besar). Dipertimbangkan adanya potensi
kelemahan dalam membuat rekomendasi yang kuat dengan bukti yang hanya
Baca Buku dr. Rohmat A Page 12
berkualitas rendah. Rekomendasi yang lemah dalam mendukung intervensi
menunjukkan penilaian bahwa efek yang diinginkan yang sesuai untuk
rekomendasi mungkin akan lebih besar daripada efek yang tidak diinginkan, tetapi
panel tidak yakin terkait keputusan seperti ini - baik karena beberapa bukti yang
berkualitas rendah (dan tetap ada ketidakpastian terkait manfaat dan risikonya)
atau manfaat dan kerugiannya hampir seimbang. Rekomendasi kuat dikatakan
sebagai “kami merekomendasikan" dan rekomendasi yang lemah dikatakan
sebagai " kami menyarankan".
Kseluruhan naskah pedoman ini merupakan sejumlah pernytaan yang baik
itu mengikuti rekomendasi yang sudah diklasifikasikan maupun yang didaftar
sebagai penrnyataan yang berdiri sendiri diikuti dengan "tidak digradekan
mutunya" dalam tanda kurung (ungraded, UG). Menurut pendapat komite,
rekomendasi ini tidak kondusif bagi proses GRADE.
Implikasi dari menyebut suatu rekomendasi sebagai rekomendasi yang
kuat adalah pada pasien yang diberikan informasi paling baik dan lengkap akan
menerima intervensi tersebut dan sebagian besar dokter akan menggunakannya di
sebagian besar situasi dengan sepsis. Mungkin ada beberapa hal di mana
rekomendasi yang kuat tidak dapat atau tidak harus diikuti untuk memberikan
terapi pada seorang individu karena preferensi atau gambaran klinis pasien yang
membuat rekomendasi kurang dapat diterapkan. Suatu rekomendasi yang kuat
tidak secara otomatis menyiratkan standar perawatan. Misalnya, rekomendasi kuat
terkait pemberian antibiotik dalam waktu 1 jam sejak dibuat diagnosis sepsis
berat, serta rekomendasi untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8 mmHg
dan saturasi oksigen vena sentral (Scvo2) 70% dalam 6 jam pertama resusitasi
pada kondisi hipoperfusi jaringan yang disebabkan karena sepsis, meskipun
dianggap sudah tepat, namun belum menjadi standar pelayanan seperti yang
diverifikasi oleh data praktik.
Edukasi anggota komite yang signifikan dalam pendekatan GRADE
dilakukan selama proses yang dilakukan selama tahun 2008. Beberapa anggota
Baca Buku dr. Rohmat A Page 13
komite dilatih dalam penggunaan perangkat lunak GRADEpro, yang
memungkinkan penggunaan sistem GRADE yang lebih formal (12). Aturan
didistribusikan mengenai penilaian badan bukti, dan perwakilan GRADE yang
ada memberikan nasihat selama proses berlangsung. Sub-subkelompok
menyetujui secara elektronik terkait rancangan proposal yang kemudian
disampaikan dalam diskusi umum antara kepala subkelompok, Komite Pengarah
SSC (2 ketua umum, 2 wakil ketua umum, dan anggota komite), serta beberapa
anggota terpilih yang bertemu pada Juli 2011 di Chicago. Hasil diskusi tersebut
dimasukkan ke dalam versi rekomendasi berikutnya dan didiskusikan lagi dengan
seluruh kelompok menggunakan e-mail. Rancangan rekomendasi dibagikan
kepada seluruh komite dan diselesaikan selama pertemuan kelompok tambahan di
Berlin pada bulan Oktober 2011. Pertimbangan dan keputusan kemudian
diresirkulasikan kembali pada seluruh komite untuk disetujui. Dalam diskresi para
ketua dan diskusi-diskusi berikutnya, pengajuan lainnya terkait penyebutan
rekomendasi atau penetapan kekuatan bukti diselesaikan melalui voting secara
formal dalam sub-subkelompok dan pertemuan kelompok. Naskah pedoman
diubah gaya dan bentuknya oleh komite penulis dengan persetujuan akhir oleh
ketua subkelompok dan kemudian oleh seluruh komite. Untuk memenuhi peer
review selama tahap akhir persetujuan naskah untuk publikasi, beberapa
rekomendasi diubah atas persetujuan dari ketua kelompok komite eksekutif SSC
terkait rekomendasi dan EBM.
Konflik Kepentingan Kebijakan
Sejak pengoperasian pedoman SSC pada tahun 2004, tidak ada anggota
komite yang mewakili industri, tidak ada input industri ke dalam pembuatan
pedoman; dan tida ada perwakilan dari industri yang mewakili industri tertentu
dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan. Kesadaran atau pendapat industri
dalam pemberian rekomendasi tidak diperbolehkan. Tidak ada anggota komite
pedoman ini yang menerima honorarium untuk peranan apapun dalam proses
pembuatan pedoman SSC 2004, 2008, maupun 2012.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 14
Sebuah penjelasan rinci tentang proses pengungkapan dan semua
pengungkapan penulis ditampilkan dalam Supplemental Digital Content I dalam
materi tambahan pada naskah pedoman ini. Lampiran B menunjukkan bagan dari
proses pengungkapan COI. Anggota komite yang dinilai memiliki kepentingan
baik finansial maupun non-finansial/akademik bersaing selama sesi diskusi
tertutup dan sesi voting topik terkait. Pengungkapan dan transparansi penuh
dilakukan pada konflik semua anggota komite yang berpotensi muncul.
Dalam ulasan awal, sebanyak 68 konflik kepentingan finansial dan 54
kepentingan non-finansial (conflict of interest, COI) diungkap oleh anggota
komite. COI yang terungkap dari 19 anggota komite dinyatakan tidak relevan
dengan isi pedoman SSC. Sebanyak 9 anggota yang dinyatakan memiliki COI
(finansial dan nonfinansial) diadili oleh kelompok penugasan dan kebutuhan
untuk mematuhi kebijakan SSC COI terkait proses diskusi atau voting pada setiap
rapat komite yang membahas topik yang berhubungan erat dengan COI mereka
masing-masing. Sembilan anggota lainnya dinilai memiliki konflik yang tidak
bisa diselesaikan hanya dengan penugasan kembali. Satu dari orang-orang ini
diminta untuk mundur dari komite. Sedangkan 8 lainnya ditugaskan dalam
kelompok-kelompok yang memiliki COI paling sedikit. Mereka diminta untuk
bekerja dalam kelompoknya dengan pengungkapan penuh ketika topik yang
relevan dengan COI mereka dibahas, dan mereka tidak diperbolehkan menjadi
ketua kelompok. Pada saat persetujuan akhir dari naskah pedoman ini, diperlukan
pembaharuan pernyataan COI. Tidak ada masalah COI lainnya yang dilaporkan
memerlukan proses ajudikasi lebih lanjut.
MANAJEMEN SEPSIS BERAT
Baca Buku dr. Rohmat A Page 15
Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi (Tabel 5)
A. Resusitasi Awal
1. Kami merekomendasikan protokol, resusitasi kuantitatif pada pasien
dengan hipoperfusi jaringan akibat sepsis (diartikan sebagai hipotensi
menetap setelah pemberian cairan pengganti awal atau konsentrasi laktat
darah ≥ 4 mmol/L). Protokol ini sebaiknya dimulai sesegera mungkin saat
terlihat tanda-tanda adanya hipoperfusi dan sebaiknya tidak ditunda
persiapan masuk ICU. Selama 6 jam pertama resusitasi, goal resusitasi
awal pada hipoperfusi akibat sepsis sebaiknya termasuk hal-hal berikut
sebagai bagian dari protokol pengobatan (grade 1C):
a. CVP 8-12 mm Hg
b. MAP ≥ 65 mm Hg
c. Urine output ≥ 0,5 mL.kg.hr
d. Saturasi oksigen vena cava superior (Scvo2) atau saturasi oksigen vena
campuran (Svo2) 70% atau 65%
2. Kami menyarankan menargetkan resusitasi untuk menormalisasi kadar
laktat yang meningkat sebagai tanda hipoperfusi jaringan (grade 2C)
Dasar. Pada studi randomisasi, control, single-center, resusitasi kuantitatif
dini memperbaiki grade kemungkinan hidup pada pasien dengan kedaruratan
syok septik. Resusitasi menargetkan hasil akhir pada rekomendasi 1 (di atas)
untuk periode 6 jam awal dihubungkan dengan 15,9% reduksi absolut pada
angka mortalitas-28 hari. Strategi ini, diistilahkan early goal-directed
therapy, dievaluasi melalui percobaan pada 314 pasien sepsis berat di delapan
pusat kota di Cina. Percobaan ini melaporkan 17.7% reduksi absolut pada
angka mortalitas-28 hari (angka kemungkinan hidup, 75.2% vs. 57.5%,
p=0.001). Banyak studi observasional lain menggunakan bentuk mirip
resusitasi kuantitatif dini pada populasi pasien yang sebanding menunjukkan
penurunan angka mortalitas yang signifikan. Fase III dari aktivitas SSC,
international performance improvement program, menunjukkan bahwa
mortalitas pasien sepsis dengan hipotensi dan laktat ≥ 4 mmol/L adalah
Baca Buku dr. Rohmat A Page 16
46.1%, tidak jauh berbeda dibandingkan 46.6% angka mortalitas pada kutipan
percobaan pertama di atas. Sebagai bagian dari performance improvement
program, beberapa rumah sakit telah menurunkan ambang batas kadar laktat
untuk memicu resusitasi kuantitatif pada pasien sepsis berat, tetapi nilai
ambang ini belum dapat diterapkan pada percobaan randomisasi.
Panel konsensus menilai penggunaan target CVP dan Svo2
direkomendasikan sebagai target fisiologis untuk resusitasi. Walaupun ada
pembatasan nilai CVP sebagai marker status volume intravaskular dan respon
terhadap cairan, CVP yang rendah secara umum mendukung adanya respon
positif terhadap loading cairan. Baik pengukuran intermiten maupun kontinyu
dari saturasi oksigen dinilai cukup dapat diterima. Selama resusitasi 6 jam
pertama, jika Scvo2 kurang dari 70% atau Svo2 kurang dari 65% dari volume
intravaskular adekuat maka akan menyebabkan hipoperfusi jaringan menetap,
kemudian diberikan infus dobutamin (maksimum 20 µg/kg/min) atau
transfusi packed red blood cells untuk mencapai kadar hemokrit lebih dari
sama dengan 30% dalam upaya mencapai kadar Scvo2 dan Svo2.
Rekomendasi kuat untuk mencapai CVP 8 mm Hg dan Scvo2 70% pada
resusitasi 6 jam pertama pasien hipoperfusi jaringan akibat sepsis, namun
belum menjadi standar perawatan yang terverifikasi. Publikasi hasil
international SSC performance improvement program menggambarkan target
CVP dan Scvo2 cukup rendah.
Pada pasien dengan ventilasi mekanik atau dengan kemampuan pengisian
ventrikel yang menurun, target CVP yang lebih tinggi yaitu 12-15 mm Hg
sebaiknya dicapai untuk memperhitungkan adanya kesulitan dalam pengisian
ventrikel. Peningkatan CVP dapat dilihat secara klinis yaitu adanya hipertensi
arteri pulmonal, sehingga variabel ini tidak dapat digunakan untuk menilai
status volume intravaskular. Walaupun penyebab takikardia pada pasien
sepsis multifaktorial, penurunan denyut nadi yang meningkat dengan
resusitasi cairan sering menjadi tanda adanya perbaikan pengisian volume
intravaskular. Studi observasional menggambarkan adanya hubungan antara
hasil klinis yang baik pada syok sepsis dan MAP ≥ 65 mm Hg dan juga Scvo2
Baca Buku dr. Rohmat A Page 17
≥ 70% (diukur pada vena cava superior, baik secara intermiten maupun
kontinyu). Banyak studi mendukung protokol resusitasi dini pada sepsis berat
dan hipoperfusi jaringan akibat sepsis. Studi pada pasien syok
mengindikasikan Svo2 5%-7% lebih rendah dari Scvo2. Sementara komite
mengakui adanya kontroversi mengenai target resusitasi, protokol resusitasi
kuantitatif dini dengan CVP dan gas darah vena dapat digunakan baik pada
departemen kedaruratan (IGD) maupun ICU. Keterbatasan tekanan pengisian
ventrikel statis dapat memperkirakan besarnya cairan pengganti untuk
resusitasi, namun pengukuran CVP adalah target yang paling mudah didapat.
Menargetkan pengukuran dinamis dari respon cairan selama resusitasi,
termasuk aliran dan kemungkinan indeks volumetrik dan perubahan
mikrosirkulatori, mungkin saja bermanfaat. Telah tersedia teknologi
pengukuran aliran, namun demikian, efikasi teknik monitoring ini untuk
mempengaruhi outcome klinis setelah resusitasi dini masih belum lengkap
dan memerlukan studi lebih lanjut.
Prevalensi global pasien sepsis berat awalnya datang dengan salah satu
tanda yaitu hipotensi dengan laktat ≥ 4 mmol/L, hipotensi saja, atau laktat ≥ 4
mmol/L saja, dilaporkan 16.6%, 49.5%, dan 5.4%. Grade mortalitas tinggi
pada pasien sepsis baik dengan hipotensi dan laktat ≥ 4 mmol/L (46.1%), dan
juga meningkat pada pasien sepsis berat dengan hipotensi saja (36.7%) dan
laktat ≥ 4 mmol/L saja (30%). Jika Scvo2 tidak tersedia, normalisasi laktat
merupakan pilihan yang dapat dilakukan pada pasien sepsis berat akibat
hipoperfusi jaringan. Scvo2 dan normalisasi laktat dapat dikombinasi jika
tersedia keduanya. Dua percobaan randomisasi mengevaluasi strategi
resusitasi termasuk reduksi laktat sebagai target tunggal atau dikombinasi
dengan normalisasi Scvo2. Percobaan pertama melaporkan resusitasi
kuantitatif dini berdasarkan lactat clearance (menurun sekitar 10%) tidak
lebih rendah daripada resusitasi kuantitatif dini berdasarkan pencapaian Scvo2
70% atau lebih. Kelompok intention-to-treat terdiri dari 300, tetapi sejumlah
pasien sesungguhnya memerlukan normalisasi SCVO2 atau lactat clearance
yang kecil (n=30). Percobaan kedua terdiri dari 348 pasien dengan kadar
Baca Buku dr. Rohmat A Page 18
laktat ≥ 3 mmol/L. Strategi pada percobaan ini berdasarkan bahwa kadar
laktat menurun lebih dari atau sam dengan 20% per 2 jam pada 8 jam pertama
ditambah lagi pencapaian target Scvo2, dan berhubungan dengan 9.6%
reduksi absolute pada mortalitas (p=0.067; menyesuaikan rasio risiko, 0.61;
95% CI, 0.43-0.87; p=0.006).
B. Screening untuk Sepsis dan Performance Improvement
1. Kami menyarankan screening rutin pada pasien sakit berpotensial infeksi
seperti sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi awal sepsis dan
implementasi dari terapi sepsis dini.
Dasar. Identifikasi dini sepsis dan implementasi terapi awal berbasis bukti
telah didokumentasi untuk memperbaiki hasil dan menurunkan angka
mortalitas terkait sepsis. Mempercepat waktu untuk mendiagnosis sepsis berat
adalah poin penting usaha mengurangi mortalitas pada sepsis terkait disfungsi
multipel organ. Kurangnya deteksi awal adalah hambatan besar untuk
terjadinya sepsis. Peralatan screening sepsis telah berkembang hingga
monitor pasien ICU, dan implementasi terapi sehingga menurunkan angka
kematian akibat sepsis.
2. Usaha performance improvement pada sepsis berat sebaiknya digunakan
untuk memperbaiki outcome pasien
Dasar. Usaha performance improvement pada sepsis telah dikaitkan
dengan perbaikan outcome pasien. Perbaikan saat perawatan melalui
peningkatan compliance dengan indikator kualitas sepsis adalah goal dari
performance improvement program. Manajemen sepsis memerlukan kerja
sama multidisiplin (dokter, perawat, farmasi, bagian paru, diet, dan
administrasi) dan kolaborasi multispesialisasi (kedokteran, ahli bedah, dan
kedokteran emergensi) untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilannya.
Evaluasi dari perubahan proses tersebut memerlukan edukasi, perkembangan
protokol, dan implementasi, pengumpulan data, pengukuran indikator, dan
umpan balik untuk memfasilitasi kemajuan tindakan yang berkesinambungan.
Edukasi yang berkelanjutan menyediakan umpan balik pada compliance
Baca Buku dr. Rohmat A Page 19
indicator dan dapat membantu mengidentifikasi area untuk usaha perbaikan
tambahan. Selain itu, usaha pendidikan kedokteran berkelanjutan tradisional
untuk memperkenalkan pedoman klinis praktis, mempromosikan kegunaan
bukti berkualitas tinggi pada perubahan tingkah laku. Protokol implementasi
berhubungan dengan pendidikan dan umpan balik tindakan telah
menunjukkan untuk mengubah perilaku dokter dan ini berhubungan dengan
perbaikan outcome dan efektivitas harga pada sepsis berat. Fase III dari SSC
menargetkan implementasi ‘core set’ (rangkaian) sebagai rekomendasi di
rumah sakit dimana perubahan perilaku dan akibat klinis telah diukur.
Pedoman SSC dan ‘core set’ dapat digunakan sebagai dasar sepsis
performance improvement program.
Analisis data pada 32,000 pasien dari 239 rumah sakit di 17 negara selama
September 2011 sebagai bagian fase III menginformasikan revisi guideline
2012. Hasilnya, untuk versi 2012, rangkaian manajemen telah ditinggalkan
dan rangkaian resusitasi terbagi dua dan dimodifikasi seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1.
C. Diagnosis
1. Kami merekomendasikan kultur yang tepat sebelum terapi antimikroba
dimulai jika tiap kultur tidak menyebabkan penundaan yang signifikan
(>45 menit) pada permulaan pemberian antimikroba. Untuk
mengoptimalkan indentifikasi organisme penyebab, kami
merekomendasikan mendapatkan setidaknya dua set kultur darah (aerob
dan anaerob) sebelum terapi antimikroba, dengan setidaknya satu secara
perkutaneus dan satu melalui akses vascular, kecuali jika alat baru saja
disisipkan (<48 jam). Kultur darah ini dapat diambil pada waktu yang
sama jika diperoleh dari tempat yang berbeda. Kultur dari tempat lain
(lebih baik kuantitatif), seperti urin, cairan serebrospinal, luka, secret
pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin merupakan sumber
infeksi, sebaiknya didapatkan sebelum terapi antimikroba jika tidak
menyebabkan penundaan yang signifikan pada pemberian antibiotik.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 20
Dasar. Walaupun pengambilan sampel sebaiknya tidak menunda waktu
pemberian agen antimikroba pada pasien dengan sepsis berat (pungsi lumbal
pada suspek meningitis), memperoleh kultur yang sesuai sebelum pemberian
antimikroba penting untuk mengonfirmasi infeksi dan patogen, dan untuk
memberikan de-eskalasi terapi antimikroba setelah menerima profil
kerentanan. Sampel dapat dibekukan jika proses tidak dapat dilakukan dengan
cepat. Karena sterilisasi cepat dari kultur darah dapat terjadi dalam beberapa
jam setelah dosis antimikroba pertama, mendapatkan kultur sebelum terapi
penting jika organisme penyebab teridentifikasi. Dua atau lebih kultur darah
direkomendasikan. Pada pasien dengan pemakaian kateter (> 48 jam),
setidaknya satu kultur darah sebaiknya diambil melalui lumen pembuluh
darah (jika mungkin, khususnya untuk pembuluh darah dengan tanda-tanda
inflamasi, disfungsi kateter, atau indikator atau formasi trombus.
Mendapatkan kultur darah perifer dan melalui akses vaskular adalah strategi
penting. Jika organisme yang sama tumbuh dari kedua kultur, kemungkinan
organisme tersebut adalah penyebab sepsis sangatlah besar.
Selain itu, jika kesetaraan volume darah yang diambil untuk kultur dan
akses vascular positif lebih dahulu daripada darah perifer (lebih dari 2 jam
lebih dulu), data mendukung konsep bahwa alat akses vascular merupakan
sumber infeksi. Kultur kuantitatif dari kateter dan darah perifer dapat berguna
untuk mennetukan apakah kateter merupakan sumber infeksi. Volume darah
diambil dengan tabung kultur sebaiknya ≥ 10 mL. Kuktur kuantitatif
(semikuantitatif) dari secret traktur respiratori sering direkomendasikan untuk
diagnosis pneumonia akibat ventilator, namun nilai diagnostiknya pun masih
samar.
Pengecatan gram dapat berguna, terutama untuk spesimen traktus
respiratori, untuk menilai apakah ada sel-sel inflamatori (lebih dari 5 PMN
leukosit/lapang pandang besar dan lebih sedikit dari 10 sel skuamous/lapang
pandang kecil) dan apakah hasil kultur dapat menginformasikan pathogen
traktus respiratorius bawah. Tes antigen influenza cepat selama periode
aktivitas influenza juga direkomendasikan. Potensi biomarker untuk diagnosis
Baca Buku dr. Rohmat A Page 21
infeksi pada pasien dengan sepsis berat tetap tidak berarti. Kegunaan kadar
prokalsitonin atau biomarker lain (seperti protein C-reactive) untuk
membedakan inflamasi akut pada sepsis dari penyebab inflamasi lain pada
umumnya (post operasi, bentuk syok yang lain) tidak dapat dilakukan. Tidak
ada rekomendasi dapat diberikan untuk penggunaan marker-marker tersebut
untuk membedakan antara infeksi berat dan inflamasi akut lainnya.
Metode diagnostik berbasis non-kultur, cepat (polymerase chain reaction,
mass spectroscopy, microarrays) mungkin sangat membantu untuk
identifikasi parogen lebih cepat dan menilai resistensi antimikroba mayor.
Metode ini khususnya berfungsi untuk pathogen yang sulit untuk dikultur
atau pada situasi klinis dimana agen antimikroba empiris telah diberikan
sebelum sampel kultur diperoleh. Penelitian klinis masih terbatas, dan studi
klinis lain diperlukan sebelum merekomendasikan metode molekular non-
kultur ini sebagai pengganti metode kultur darah standar.
2. Kami menyarankan penggunaan 1,3 β-D-glucan assay, mannan, dan anti-
mannan antibody assay ketika kandidiasis invasif merupakan diagnosis
banding dari infeksi yang terjadi.
Dasar. Diagnosis infeksi fungal sistemik (biasanya kandidiasis) pada
pasien sakit kritis, dan metodologi diagnostik cepat, seperti antigen dan
antibody detection assay, dapat sangat membantu untuk mendeteksi
kandidiasis pada pasien ICU. Tes yang disarankan ini menunjukkan hasil
positif yang signifikan lebih dulu daripada metode kultur standar, tetapi reaksi
positif palsu dapat terjadi dan kegunaan diagnostiknya pada manajemen
infeksi fungal di ICU memerlukan studi lebih lanjut.
3. Kami merekomendasikan studi imaging untuk konfirmasi kemungkinan
sumber infeksi. Sumber potensial infeksi sebaiknya diambil sampel
kemudian diidentifikasi dan dipertimbangkan pada pasien berisiko pada
prosedur transportasi dan prosedur invasive (koordinasi yang hati-hati dan
monitoring jika keputusan dibuat untuk melakukan CT-guided needle
aspiration). Studi lain, misalnya ultrasound, mungkin mencegah
transportasi pasien.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 22
Dasar. Studi diagnostik dapat mengidentifikasi sumber infeksi yang
memerlukan pembuangan benda asing atau drainase untuk memaksimalkan
kemungkinan respon yang memuaskan terhadap terapi. Bagaimanapun,
transportasi pasien bisa berbahaya, karena akan menempatkan pasien dalam
perangkat pencitraan di luar unit yang sulit untuk mengakses dan memonitor.
D. Terapi Antimikroba
1. Pemberian antimikroba intravena akan efektif bila diberikan dalam waktu
1 jam setelah diketahui terjadi syok sepsis (grade 1B) dan sepsis berat
tanpa syok sepsis (grade 1C) menjadi tujuan terapi ini. Catatan: walaupun
bukti-bukti klinis sudah mendukung akanmetode pemberian antibiotikini
secepatnya setelah diketahui terjadi sepsis berat dan syok sepsis,
kemungkinan kondisi ideal ini yang dapat dicapai oleh klinisi belum bisa
dievaluasi secara ilmiah.
Dasar. Pemasangan akses vaskuler dan resusitasi cairan secara agresif
merupakan prioritas pertama ketika melakukan tata laksana bagi pasien dengan
sepsis berat atau syok sepsis.Pemberian infusagen antimikrobasecepatnya juga
menjadi prioritas dan bisa saja membutuhkan jalur vaskuler tambahan.pada
sejumlah penelitian saat terjadi syok septik setiap jam penundaan pemberian
antibiotik yang efektif akan berbanding lurus dengan peningkatan mortalitas.
Secara keseluruhan, data dalam jumlah besar menyokong pemberian antibiotik
secepat mungkin pada pasien dengan sepsis berat dengan atau tanpa syok
sepsis. Pemberian agen antimikroba dengan spektrum aktivitas tertentu lebih
bisa mengatasi patogen penyebab secara efektif bila diberikan dalam rentang
waktu 1 jam setelah diagnosis sepsis berat dan syok sepsis ditegakkan.
Pertimbangan klinis berupa tantangan klinisi akan identifikasi awal pasien atau
kerumitan metode dalamsekali pemberian serangkaian obat merupakan
variable-variabel yang belum diteliti dan berpengaruh terhadap tercapainya
tujuan pemberian pengobatan. Oleh sebab itu, dibutuhkan penelitianlanjutan
sehingga didapatkan dasar bukti seputar masalah pertimbangan klinis ini. Hal
Baca Buku dr. Rohmat A Page 23
tersebut harus menjadi tujuan utama ketika memberikan tata laksana bagi
pasien dengan syok sepsis baik saat dirawat di bangsal RS, IGD, maupun ICU.
Rekomendasi kuat untuk pemberian antibiotik dalam rentang waktu 1 jam
setelah penegakan diagnosis sepsis berat dan syok sepsismasih belum ada.
Oleh sebab itu,hal ini belum bisa menjadi standar perawatanwalaupun
keputusan pemberian ini diperlukan (seperti yang ditunjukan oleh data praktis
yang dipublikasikan).
Jika agen antimikroba tidak bisa dicampur dan diberikan sesuai aturan dari
farmasi, pemasangan antibiotic premix untuk situasi mendesakmerupakan
strategi yang tepat guna memastikan pemberian yang sesuai. Banyak antibiotik
menjadi tidak stabil jika premix ini dimasukkan ke dalam suatu larutan. Risiko
ini harus menjadi pertimbangan institusi yang sering menggunakan larutan
premix guna mencapai availibitas antibiotik yang cepat. Dalam memilih
regimen antimikroba, klinisi harus menyadari akan adanya beberapa agen
antimikroba memiliki kelebihan saat diberikan secara bolus, sedangkan agen
lainnya saat diberikan infus yang lama. Jika akses vaskuler terbatas, tetapi
dibutuhkan infus berbagai agen antimikroba lainnya, obat-obat bolus menjadi
pilihan menguntungkan.
2a. Kami merekomendasikan bahwa terapi antiinfeksi empirik inisiasi terdiri
dari 1 atau lebih obat-obat yang memiliki aktivitas melawan semua dugaan
patogen (bakteri dan atau jamur atau virus) dan dapat melakukan penetrasi
dalam konsentrasi sediaan adekuat ke dalam jaringan yang dianggap
sebagai sumber sepsis (grade 1B).
Dasar. Pemilihan terapi antimikroba empirik didasarkan pada masalah
kompleks yang dialami pasien (melalui rekam medis), termasuk intoleransi
obat; konsumsi antibiotik sebelumnya (sekitar 3 bulan sebelumnya); penyakit
yang dialaminya; sindrom klinis, dan pola kerentanan terhadap patogen di
dalam komunitas dan RS; sertapatogen yang sebelumnya sudah pernah
berkolonisasi atau menginfeksi pasien.Patogen yang paling sering
Baca Buku dr. Rohmat A Page 24
menyebabkan syok sepsis pada pasien yang dirawat di RS adalah bakteri gram
positif kemudian gram negatif dan mikroorganisme bakterial
campuran.Kandidiasis, sindrom syok toksik, dan sejumlah patogen yang jarang
muncul menjadi pertimbangan bagi pasien-pasien tertentu.Pasien neutropenik
memiliki kerentanan akanpatogen potensial yang luas. Saat ini secara luas,
penggunaan agen antiinfeksi sebaiknya dihindari. Ketika memilih terapi
empirik klinisi harus mengetahuivirulensi dan prevalensi yang terus meningkat
terjadinya Staphylococcus aureus resisten oxacillin (methicillin) dan resistensi
terhadap beta-lactamspektrumluas dan carbapenem di antara basil gram
negatifdi beberapa komunitas dan pelayanan kesehatan. Pada kondisi-kondisi
yang memiliki prevalensi signifikan akan adanya organisme resisten obat
tertentu, terapi empirik adekuat untuk terlindungi dari patogen-patogen ini
sudah tersedia.
Klinisi juga harus mempertimbangkan akan terjadinya kandidemia ketika
memilih terapi inisiasi. Ketika terdapat dugaan seperti itu pemilihan terapi
antifungi empirik (misalkan : echinocandin, triazoles seperti fluconazole, atau
sebuah formulasi amphotericin B) sebaiknya diberikan sesuai pola lokal dari
spesies Candida paling prevalens dan obat antifungi terbaru. Paduan baku
terbaru dari Infectious Disease Society of America (IDSA) merekomendasikan
penggunaan fluconazole atau echinocandin. Penggunaan empirik dari
echinocandin dilakukan pada kebanyakan pasien yang mengalami penyakit
parah, terutama pasien-pasien yang menjalani pengobatan dengan agen
antifungi akhir-akhir ini atau adanya dugaan infeksi Candida glabrata dari data
kultur terbaru. Pengetahuan akan adanya pola resistensi lokal terhadap agen
antifungi menjadi panduan pemilihan obat hingga diperoleh hasil tes kepekaan
jamur. Faktor risiko terjadinya kandidemia adalah kondisi immunosupresi atau
neutropenik; sedang menjalani terapi antibiotic ketat; atau kolonisasi di banyak
tempat sehingga harus menjadi pertimbangan pemilihan terapi inisiasi.
Karena pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis memiliki batasan
sempit terhadap kesalahan pemilihan terapi, pemilihan terapi antimikroba
Baca Buku dr. Rohmat A Page 25
inisiasi harus cukup luas untuk mengatasi semua dugaan patogen.Pemilihan
antibiotik harus dipandu dengan pola prevalensi lokal terjadinya infeksi oleh
patogenbakterial dan data kepekaan.Terdapat bukti yang cukup bahwa
kegagalan memulai terapi inisiasi (misalkan terapi dengan aktivitas melawan
patogen yang secara subsekuen diidentifikasi sebagai agen kausatif)
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat atau syok sepsis. Riwayat pemberian antimikroba akhir-
akhir ini (kurang lebih selama 3 bulan ini) sebaiknya menjadi pertimbangan
dalam pemilihan regimen antibacterial empirik. Pasien dengan sepsis berat atau
syok sepsis diberikan terapi spektrum luas sampai organisme kausatif dan
antimikroba yang peka terhadapnya diketahui. Walaupun pembatasanglobal
dalam pemakaian antibiotik merupakan strategi penting guna mengurangi
berkembangnya resistensi antimikroba dan mengurangi biaya pengobatan, hal
ini bukanlah strategi yang tepat saat memberikan terapi inisiasi bagi pasien
dengan sepsis berat atau syok sepsis. Setelah diketahui patogen kausatifnya
secepat mungkin dilakukan penurunandengan cara memilih agen antimikroba
yang paling sesuai mengatasi patogen tersebut, aman, dan cost effective.
Pemberian bersamaan dengan program antimikroba dari petugas yang
mengurusi bidang tersebut akan memperkuat kepastian dalam pemilihan agen
antimikroba yang sesuai dan efektif dengan avaibilitas cepat dalam mengobati
pasien sepsis. Semua pasien harus menerima dosis penuh dari masing-masing
agen antimikroba.Pasien dengan sepsis seringkali memiliki fungsi ginjal atau
hati yang abnormal atau mempunyai distribusi cairan dalam jumlah banyak
secara abnormal akibat resusitasi cairan yang agresif sehingga dibutuhkan
penyesuaian dosis.Pemantauan konsentrasi serum obat bermanfaat bagi pasien
yang dirawat di ICU dalam mengukur dosis obat tersebut dengan
tepat.Keahlian yang signifikan dibutuhkan untuk memastikan konsentrasi di
dalam serum memberikan efikasi maksimal dan toksisitas yang rendah.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 26
2b. Rejimen antimikroba harus ditentukan setiap hari untuk dilakukan
penurunan sehingga mencegah timbulnya resistensi, mengurangi toksisitas,
dan mengurangi biaya pengobatan (grade 1B).
Dasar. Setelah diketahui patogen penyebab pemilihan agen antimikroba
dikatakan sesuai apabila dapat mengatasi patogen tersebut, aman, dan cost
effective. Pada beberapa kasus pemberian kombinasi antimikroba spesifik
berkelanjutan masih dapat terindikasikan bahkan setelah hasil tes kepekaan
didapatkan (contoh:Pseudomonas spp. hanya peka terhadap aminoglikosida;
endocarditis enterokokal akibat infeksi Acinetobacter spp. hanya peka terhadap
polymyxins). Keputusan dalam pemilihan antibiotikdefinitif harus didasarkan
pada jenispatogen, karakteristik pasien, dan regimen pengobatan RS yang
tersedia.
Mempersempit spektrum antimikroba yang dipakai dan mengurangi
lamanya terapi antimikroba akan mengurangi kecenderungan timbulnya
superinfeksi oleh organisme patogenik atau resisten seperti spesies Candida,
Clostridium difficile, atau Enterococcus faecium resisten vancomycin.
Walaupun demikian, keinginan meminimalisir timbulnya superinfeksi ini dan
komplikasi-komplikasi lainnya sebaiknya tidak membatasi pemberian
serangkaian terapi adekuat untuk menyembuhkan infeksi penyabab dari sepsis
berat atau syok sepsis.
3. Kami menyarankan penggunaan kadar prokalsitronin rendah atau
sejenisnya sebagai penanda biologis untuk membantu klinisi dalam
menghentikan pemberian antibiotic empirik pada pasien yang diduga
mengalami sepsis, tapi tidak didapatkan bukti subsekuen terjadinya infeksi
(grade 2C)
Dasar. Anjuran ini didasarkan pada banyaknya literatur yang
dipublikasikan menggunakan prokalsitonin sebagai pedoman untuk
menghentikan pemberian antimikroba yang tidak diperlukan. Akan tetapi,
pengalaman klinis akantndakan ini terbatas dan masih terdapat potensi
Baca Buku dr. Rohmat A Page 27
berbahaya. Tidak ada bukti bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi
prevalensi terjadinya resistensi antimikroba atau risiko terjadinya diare yang
berhubungan dengan antibiotik oleh C. difficile. Sebuah penelitian terkini gagal
menunjukan manfaat dari pengukuran prokalsitonin perhari ini pada terapi
antibiotik awal atau survival-nya.
4a. Terapi empirik harusnya bertujuan untuk memperoleh aktivitas
antimikroba melawan patogen yang paling sering menginfeksi berdasarkan
penyakit yang dialami masing-masing pasien dan pola lokal dari infeksi.
Kami menyarankan kombinasi terapi empirik terhadap pasien neutropenik
dengan sepsis berat (grade 2B) dan pasien dengan patogenbakterial
resisten obat multiple yang susah diobati. Contoh patogenbakterial resisten
obat multiple adalah Acinebacter dan Pseudomonas spp. (grade 2B).Pada
pasien-pasien tertentu dengan infeksi berat akibat gagal napas dan syok
sepsis, kombinasi terapi dengan beta-lactamspektrum yang lebih luas dan
aminoglikosida atau flurokuinolon untuk bakterimiaP. aeruginosa (grade
2B).Kombinasi lebih kompleks dari beta-lactam dan macrolide sebaiknya
diberikan pada pasien dengan syok sepsis akibat bakterimia Streptococcus
pneumonia (grade 2B).
Dasar. Kombinasi kompleks mungkin saja dibutuhkan pada kondisi
dengan prevalensi tinggi adanya patogen resisten antibiotik.Kombinasi
gabungan regimen tersebut terdiri dari carbapenem, colistin, rifampin, atau
agen lainnya.Controlled trial terbaru menunjukkan bahwa penambahan
flurokuinolon ke dalam terapi empirik carbapenemtidak meningkatkan
outcome pada populasi dengan risiko rendah terjadinya resistensi
mikroorganisme.
4b. Kami menyarankan ketika secara empiris digunakan pada pasien dengan
sepsis berat, terapi kombinasi tidak dianjurkan diberikan lebih dari 3 – 5
hari. Penurunan menuju terapi agen tunggal yang paling sesuai dilakukan
secepatnya setelah profil kepekaan diketahui. (grade 2B). Pengecualian
Baca Buku dr. Rohmat A Page 28
terjadi saat pemberian monoterapi aminoglikosida (secara umum dihindari
dilakukan). Pengecualian lainnya adalah pada kasus sepsis P. aeruginosa
dan beberapa bentuk endocarditis tertentu (penambahan lama terapi
kombinasi antibiotik ini masih diperbolehkan pada sebagian kasus).
Dasar. Analisis propensity matched, metaanalysis, dan analisis
metaregression begitu juga dengan penelitian observasi tambahan telah
menunjukkan bahwa terapi kombinasi dapat menghasilkan outcome klinis lebih
baik pada sakit berat pasien sepsis dengan risiko tinggi kematian. Adanya
sedikit peningkatan frekuensi terjadinya resistensi agen antimikroba di
berbagai tempat di dunia mengakibatkan perlindungan dengan agen spektrum
luas secara umum membutuhkan penggunaan kombinasi agen antimikroba
inisasi.Terapi kombinasi dalam konteks yang digunakan di dalam bagian ini
adalah paling sedikit 2 antibiotik berbeda kelas (biasanya agen beta-lactam
dengan makrolid, florokuinolon, atau aminoglikosida untuk pasien tertentu).
Sebuah kontrolled trial menunjukkan bahwa penggunaan carbapenem
(sebagai terapi empirik ) ditambah flurokuinolon pada populasi risiko rendah
terinfeksi mikroorganisme resisten tidak meningkatkan outcome pasien.
Sejumlah penelitian observasional terkini lainnya dan beberapa penelitian
prospektif mendukung penggunaan terapi kombinasi inisiasi untuk pasien
tertentu dengan patogen spesifik (misalkan sepsis pneumococcus, patogen
gram negatif resisten obat multiple). Akan tetapi, bukti yang lebih kuat (dari
penelitian klinis randomized) tidak mendukung terapi kombinasi setelah
monoterapi selain pada pasien sepsis berisiko tinggi kematian. Pada beberapa
situasi klinis terapi kombinasi secara biologis dapat diterimadan sepertinya
secara klinis bermanfaat bahkan ketika bukti klinis tidak menunjukkan adanya
peningkatan outcome klinis. Terapi kombinasi untuk dugaan atau telah tegak
akan adanya Pseudomonas aeruginosa atau patogen gram negatif resistensi
obatmultiple lainnya menghambat keluarnya hasil kepekaannya atau seolah-
olah terdapat minimal 1 obat yang efektif melawan galur tersebut dan secara
positif mempengaruhi outcome.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 29
5. Kami menyarankan bahwa lamanya terapi tipikal adalah 7 – 10 hari ketika
secara klinis membaik. Program pengobatan yang lebih panjang
merupakan pilihan tepat bagi pasien yang memiliki respon klinis lambat;
fokal infeksi yang tidak dapat terserap; bakterimia S. aureus; beberapa
kasus infeksi jamur dan virus; atau defisiensi imunologis seperti
neutropenia.
Dasar. Walaupun Faktor-faktor pasien mempengaruhi lamanya terapi
antibiotik, secara umum lamanya pengobatan selama 7 – 10 hari (dengan
catatan : tidak terdapat masalah dalamkontrolsumber) sudah
adekuat.Setelahnya keputusan untuk melanjutkan, mempersempit spektrum,
atau menghentikan terapi antimikroba harus didasarkan pada dasar
pertimbangan klinisi dan informasi klinis. Klinisi harus mengetahui bahwa
kultur darah dapat negatif pada beberapa persen (yang signifikan) kasus sepsis
berat atau syok sepsis walaupun banyak di antaranya lebih sering diakibatkan
oleh bakteri atau jamur.
6. Kami menyarankan terapi antiviral dimulai secepat mungkin pada pasien
dengan sepsis berat atau syok sepsis akibat virus (grade 2C).
Dasar. Anjuran pengobatan antivirus meliputi a.)pengobatan antivirus
awal pada pasien dugaan atau tegaknya diagnosis influenza berat (contoh :
mereka yang memliki penyakit berat, komplikasi, atau pogresif; ataupun yang
membutuhkan perawatan di RS); b.) pengobatan antivirus awal pada pasien
dugaan atau tegaknya diagnosis influenza yang memiliki risiko tinggi
terjadinya komplikasi; dan c.) terapi dengan inhibitor neurominidase
(oseltamivir atau zanamivir) pada pasien dengan influenza akibat virus H1N1
2009, virus influenza A (H3N2), atau influenza B. selain itu juga pada dugaan
virus influenza lainnya atau virus influenza A yang subjenisnya tidak
diketahui. Kepekaan terhadap antivirus sangat berbeda pada virus dengan grade
evolusi cepat seperti influenza sehingga keputusan terapeutiknya dituntun
Baca Buku dr. Rohmat A Page 30
dengan informasi terbaru akan virus paling aktif, galur spesifik, dan agen virus
selama terjadinya epidemik influenza.
Peran virus sitomegalo (CMV) dan virus herpes lainnya sebagai patogen
spesifik pada pasien sepsis, terutama pasien yang tidak diketahui telah
mengalami imunokompromi masih tidak diketahui secara jelas.Viremia CMV
aktif umum terjadi (15 – 35%) pada pasien sakit kritis; ditemukannya CMV
pada aliran darah merupakan indikator yang burukdalam menentukan
prognosis. Yang tidak diketahui secara jelas adalah apakah adanya CMV ini
merupakan penanda akan keparahan dari penyakitnya ataukah ikut berperan
dalam kerusakan organ dan kematian pasien sepsis. Tidak ada rekomendasi
pengobatan yang bisa diberikan berdasarkan bukti yang ada.Pada pasien
dengan infeksi virus primer berat atau infeksi luas oleh varicella-zoster, dan
pasien yang langka/ jarang dengan infeksi herpes simpleks diseminata; agen
antivirus seperti acyclovir memberikan efektivitasan tinggi ketika diberikan
segera selama infeksi sedang berlangsung.
7. Kami menyarankan agen antimikroba tidak digunakan pada pasien dengan
kondisi inflamasi berat dengan penyebab noninfeksius (UG)
Dasar. Ketika infeksi tidak ditemukan terapi antimikroba sebaiknya
dihentikan untuk meminimalisir kemungkinan pasien terkena infeksi oleh
patogen resisten antimkroba atau akan mengalami efek samping akibat obat.
Walaupun penghentian antibiotikyang tidak bermanfaat secepatnya penting,
klinisi harus mengetahui bahwa kultur darah dapat negatif pada lebih dari 50%
kasus sepsis berat atau syok sepsis ketika diberikan terapi antimikroba empirik
dan banyak kasus-kasus tersebut disebabkan oleh bakteri atau jamur.
Keputusan untuk melanjutkan, mempersempit spektrum, atau menghentikan
terapi antimikroba harus didasarkan pada dasar pertimbangandan informasi
klinis.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 31
E. Kontrol Sumber
1. Kami menyarankan bahwa diagnosis anatomis spesifik dari infeksi yang
menjadi pertimbangan dalamkontrolsumber darurat (contoh: infeksi
jaringan lunak yang nekrosis, peritonitis, cholangitis, infeksi usus)
ditemukan dan didiagnosis atau dihilangkan secepatnya. Selain itu,
intervensi terhadap kontrol sumber dilakukan dalam jangka waktu 12 jam
pertama setelah diagnosis ditegakkan (grade 1C).
2. Kami menyarankan bahwa ketika terjadi nekrosis peripankres yang
terinfeksi teridentifikasi sebagai sumber infeksi potensial, intervensi
definitifsebaiknya ditunda sampai terlihat perbatasan jaringan adekuat
(viabel dan nonviabel) (grade 2B).
3. Jika kontrol sumber pada pasien sepsis berat dibutuhkan intervensi efektif
berupa manipulasi fisiologis minimalis harus dilakukan. (misalkan:
dilakukan drainase abses secara perkutaneus daripada melalui
pembedahan) (UG)
4. Jika alat untuk membuat akses vaskuler yang berpotensi menjadi sumber
sepsis berat atau syok sepsis, alat tersebut harus dilepas dengan benar
setelah akses vaskuler lainnya sudah terpasang (UG).
Dasar. Prinsip kontrol sumber pada tata laksana sepsis terdiri dari
diagnosis cepat akan tempat infeksi spesifik dan identifikasi Fokus infeksi yang
digunakanuntuk menentukan kontrol sumber (terutama drainase abses,
debridemen jaringan nekrosis yang terinfeksi, melepas alat-alat yang
berpotensial terinfeksi, dan kontroldefinitif terhadap sumber kontaminasi
mikroba yang sedang terjadi). Fokus infeksi yang digunakanuntuk menentukan
kontrol sumber adalah abses intraabdomen atau perforasi gastrointestinal;
cholangitis atau pielonefritis; iskemia usus atau infeksi jaringan lunakyang
nekrosis; dan infeksi ruang dalam lainnya seperti empyema atau artritis septik.
Fokusinfeksi harus dikontrol secepatnya diikuti dengan resusitasi inisiasi yang
berhasil dan alat untuk membuat akses vaskuler yang berpotensi menjadi
Baca Buku dr. Rohmat A Page 32
sumber sepsis berat atau syok sepsis harus dilepas dengan benar setelah akses
vaskuler lainnya sudah terpasang.
Pada penelitian uji acak terkontrol yang membandingkan tindakan
intervensi pembedahan segera dan tertunda untuk nekrosis peripankreatis
menunjukkan outcome yang lebih baik pada intervensi yang tertunda. Sebuah
penelitian pembedahan secara acak mendapati bahwa tindakan invasive
minimal, pendekatan step up lebih dapat ditolerir pasien dan memiliki
mortalitas lebih rendah daripada open necrosectomy pada pasien pankreatitis
yang sudah nekrosis, walaupun terdapat ketidaktahuan akan dokumentasi
definitif tentang terjadinya infeksi tersebut dan lamanya penundaan yang tepat.
Pemilihan metode kontrol sumber yang optimal harus mempertimbangkan
manfaat dan risiko intervensi spesifik.Begitu juga risiko saat pindah ke
bangsal. Intervensi kontrol sumber ini dapat menyebabkan komplikasi lebih
lanjut, seperti perdarahan, fistul, atau cidera organ yang tidak disengaja.
Intervensi pembedahan menjadi pertimbangan ketika pendekatan intervensi
lainnya tidak adekuat atau diagnosis masih belum tegak walaupun sudah
dilakukan evaluasi radiologis. Situasi klinis spesifik membutuhkan
pertimbangan akan adanya pilihan yang tersedia, pilihan pasien, dan keahlian
klinisi.
F. Pencegahan Infeksi
1a. Kami menyarankan dekontaminasi oral selektif (Selective Oral
Decontamination, SOD) dan dekontaminasi pencernaan selektif (Selective
Digestive Decontamination, SDD) sebaiknya diperkenalkan dan diteliti
sebagai suatu metode untuk mengurangi insidensi pneumonia akibat
ventilator (ventilator-associated pneumonia, VAP); tindakan pengendalian
infeksi ini kemudian dapat dilembagakan dalam situasi dan wilayah
pelayanan kesehatan di mana metodologi ini terbukti efektif (grade 2B).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 33
1b. Kami menyarankan chlorhexidine gluconate (CHG) oral digunakan
sebagai bentuk dekontaminasi orofaring untuk mengurangi risiko VAP
pada pasien ICU dengan sepsis berat (grade 2B).
Dasar. Praktik pengendalian infeksi secara hati-hati (misalnya, mencuci
tangan, pelayanan keperawatan yang ahli, penggunaan kateter, tindakan
pencegahan, manajemen jalan nafas, elevasi kepala di tempat tidur, pengisapan
subglotis) harus dilembagakan selama perawatan pasien dengan sepsis seperti
yang dikaji dalam pertimbangan keperawatan Surviving Sepsis Campaign
(114). Peranan SDD dengan profilaksis antimikroba sistemik dan variannya
(misalnya, SOD, CHG) telah menjadi isu perdebatan sejak konsep ini pertama
kali dikembangkan lebih dari 30 tahun yang lalu. Gagasan untuk membatasi
penyebaran mikroorganisme oportunistik, yang seringkali resisten terhadap
berbagai obat (multidrug-resistant), dan berkaitan dengan perawatan di rumah
sakit, melalui penggalakan “resistensi kolonisasi" dari mikrobiome yang ada di
sepanjang permukaan mukosa saluran pencernaan. Namun, efektivitas dari
SDD, keamanannya, kecenderungannya untuk mencegah atau memicu
resistensi antibiotik, serta efektivitasnya dari segi biaya masih diperdebatkan
meskipun ada sejumlah uji meta-analisis dan uji klinis terkontrol yang
menunjukkan kelebihan SDD ini (115). Data menunjukkan pengurangan VAP
secara keseluruhan tetapi tidak ada perbaikan yang konsisten dalam hal
mortalitas, kecuali pada beberapa populasi yang diteliti dalam beberapa studi.
Sebagian besar penelitian tidak secara spesifik membahas efektivitas SDD
pada pasien dengan sepsis, hanya beberapa saja (116-118).
CHG Oral relatif mudah pemberiannya, mengurangi risiko infeksi
nosokomial, dan mengurangi potensi terpicunya resistensi antimikroba akibat
rejimen SDD. Hal ini tetap menjadi subyek yang sering diperdebatkan,
meskipun bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa insidensi resistensi
antimikroba tidak berubah secara bermakna dengan penggunaan rejimen SDD
saat ini (199-121). Baik bukti terkait SOD maupun CHG ini ditetapkan sebagai
bukti grade 2B karena risikonya yang lebih rendah dengan CHG dan hasil yang
Baca Buku dr. Rohmat A Page 34
ditunjukkan lebih dapat diterima walaupun literatur yang mempublikasikannya
lebih sedikit daripada SOD.
Supplemental Digital Content 3 (http://links.lww.com/CCM/A615)
menunjukkan ringkasan GRADEpro dari tabel bukti atas penggunaan antibiotik
saluran pencernaan yang topikal dan CHG untuk profilaksis VAP.
TABEL 5. REKOMENDASI: RESUSITASI AWAL DAN MASALAH INFEKSI
A. Resusuitasi Awal
1. Protokol, resusitasi kuantitatif pada pasien hipoperfusi jaringan
akibat sepsis (didefinisikan sebagai hipotensi menetap setelah
penggantian cairan awal atau konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L).
Goal selama 6 jam pertama resusitasi:
a. Central venous pressure (CAP) 8-12 mm Hg
b. Mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mm Hg
c. Urine output ≥ 0.5 mL/kg/hr
d. Central venous (vena cava superior) atau saturasi oksigen vena
campuran 70% atau 65% (grade 1C)
2. Pada pasien dengan peningkatan kadar laktat menargetkan resusitasi
untuk menormalisasi kadar laktat (grade 2C)
B. Screening untuk Sepsis dan Performance Improvement
1. Screening rutin pada pasien sakit berpotensi infeksi untuk sepsis
berat agar dapat memberikan terapi implementasi lebih dini (grade
1C).
2. Usaha rumah sakit berbasis performance improvement pada sepsis
berat (UG)
C. Diagnosis
1. Kultur yang tepat sebelum terapi antimikroba dimulai jika tiap
kultur tidak menyebabkan penundaan yang signifikan (>45 menit)
pada permulaan pemberian antimikroba (grade 1C). Setidaknya 2 set
kultur darah (aerob dan anaerob) sebelum terapi antimikroba,
dengan setidaknya satu secara perkutaneus dan satu melalui akses
Baca Buku dr. Rohmat A Page 35
vaskular, kecuali jika alat baru saja disisipkan (<48 jam) (grade 1C)
2. Penggunaan 1,3 β-D-glucan assay, mannan, dan anti-mannan antibody
assay ketika kandidiasis invasif merupakan diagnosis banding dari
infeksi yang terjadi.
3. Studi imaging untuk konfirmasi kemungkinan sumber infeksi
D. Terapi Antimikroba
1. Pemberian antimikroba intravena akanefektif bila diberikan dalam
waktu 1 jam setelah diketahui terjadi syok sepsis (derajat 1B) dan
sepsis berat tanpa syok sepsis (derajat 1C) menjadi tujuan terapi ini.
2. a. kami merekomendasikan bahwa terapi antiinfeksi empirik inisiasi
terdiri dari 1 atau lebih obat-obat yang memiliki aktivitas melawan
semua jenis patogen (bakteri dan atau jamur atau virus) dan dapat
melakukan penetrasi dalam konsentrasi sediaan adekuat ke dalam
jaringan yang dianggap sebagai sumber sepsis (derajat 1B).
b. regimen antimikroba harus ditentukan setiap hari untuk dilakukan
de-eskalasi sehingga mencegah timbulnya resistensi, mengurangi
toksisitas, dan mengurangi biaya pengobatan (derajat 1B)
3. kami menganjurkan penggunaan prokalsitronin level rendah atau
sejenisnya sebagai penanda biologis untuk membantu klinisi dalam
menghentikan pemberian antibiotikempirik pada pasien yang diduga
mengalami sepsis, tapi tidak didapatkan bukti subsekuen terjadinya
infeksi (derajat 2C)
4. a. Terapi empirik harusanya bertujuan untuk memperoleh aktivitas
antimikroba melawan patogen yang paling sering menginfeksi
berdasarkan penyakit yang dialami masing-masing pasien dan pola
lokal dari infeksi. Kami menyarankan kombinasi terapi empirik
terhadap pasien neutropenik dengan sepsis berat (derajat 2B) dan
pasien dengan patogen bacterial resisten obat multiple yang susah
diobati. Contoh patogen bacterial resisten obat multiple adalah
Acinebacter dan Pseudomonas spp. (derajat 2B
b. Kami menyarankan ketika secara empiris digunakan pada pasien
Baca Buku dr. Rohmat A Page 36
dengan sepsis berat, terapi kombinasi tidak dianjurkan diberikan
lebih dari 3 – 5 hari.De-eskalasi menuju terapi agen tunggal yang
paling sesuai dilakukan secepatnya setelah profil kepekaan diketahui.
(derajat 2B)
5. kami menyarankan bahwa lamanya terapi tipikal adalah 7 – 10 hari
ketika secara klinis mengindikasikan bahwa program pengobatan
yang lebih panjang merupakan pilihan tepat bagi pasien yang
memiliki respon klinis lambat; fokal infeksi yang tidak dapat
terserap; bakterimia S. aureus; beberapa kasus infeksi jamur dan
virus; atau defisiensi imunologis seperti neutropenia (derajat 2B)
6. kami menyarankan terapi antiviral dimulai secepat mungkin pada
pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis akibat virus (derajat 2C).
7. kami menyarankan agen antimikroba tidak digunakan pada pasien
dengan kondisi inflamasi berat dengan penyebab noninfeksius (UG)
E. Kontrol Sumber
1. Kami menyarankan bahwa diagnosis anatomis spesifik dari infeksi
yang menjadi pertimbangan dalam control sumber darurat (contoh :
infeksi jaringan halus yang nekrosis, peritonitis, cholangitis, infeksi
usus) ditemukan dan didiagnosis atau dihilangkan secepatnya. Selain
itu, intervensi terhadap control sumber dilakukan dalam jangka
waktu 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan (derajat 1C).
2. Kami menyarankan bahwa ketika terjadi nekrosis peripankres yang
terinfeksi teridentifikasi sebagai sumber infeksi potensial, intervensi
definitive sebaiknya ditunda sampai demarkasi adekuat dari jaringan
(viable dan nonviable) terjadi (derajat 2B).
3. Ketika control sumber pada pasien sepsis berat dibutuhkan,
intervensi efektif berupa manipulasi fisiologis minimalis harus
dilakukan. (misalkan : dilakukan drainase abses secara perkutaneus
daripada melalui pembedahan) (UG)
4. Jika akses intravascular mungkin sumber dari sepsis berat atau syok
sepsis, harus segera dibuang setelah akses vascular dibuat (UG).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 37
F. Pencegahan Infeksi
1a. Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi digestif selektif
sebaiknya diperkenalkan dan diinvestigasi sebagai metode untuk
mengurangi insiden pneumonia terkait pemakaian ventilator;
Tindakan pengendalian infeksi ini kemudian dapat dimulai dalam
pengaturan perawatan kesehatan dan wilayah di mana metodologi
ini ditemukan agar menjadi efektif (grade 2B).
1b. Gluconate chlorhexidine oral digunakan sebagai bentuk
dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko pneumonia
terkait ventilator pada pasien ICU dengan sepsis berat.
Dukungan Hemodinamik dan Terapi Ajuvan (Tabel 6)
G. Terapi Cairan Pada Sepsis Berat
1. Kami merekomendasikan kristaloid untuk digunakan sebagai pilihan
cairan awal pada resusitasi sepsis berat dan syok septik (grade 1B).
2. Kami merekomendasikan tidak digunakannya HES (hydroxyethyl
starches) untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade
1B). (Rekomendasi ini didasarkan pada hasil percobaan oleh VISEP [128],
CRYSTMAS [122], 6S [123], dan DADA [124]. Hasil penelitian
CRYSTAL yang telah lengkap baru-baru ini tidak dipertimbangkan).
3. Kami menyarankan penggunaan albumin pada resusitasi cairan sepsis
berat dan syok septik apabila pasien memerlukan kristaloid dalam jumlah
besar (grade 2C).
Dasar. Tidak adanya manfaat yang jelas setelah pemberian cairan koloid
dibandingkan dengan kristaloid, dan juga terkait dengan biaya cairan koloid,
kami mendukung rekomendasi bermutu tinggi untuk penggunaan kristaloid
pada resusitasi awal pasien dengan sepsis berat dan syok septik.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 38
Tiga penelitian acak terkontrol yang baru-baru ini dilakukan di berbagai
pusat penelitian mengevaluasi penggunaan cairan 130/0.4 HES 6% (tetra
starches) telah dipublikasikan. Penelitian CRYSTMAS menunjukkan tidak ada
perbedaan terkait angka mortalitas antara penggunaan HES vs NaCl 0,9%
(saline normal) (31% vs 25,3%, p = 0,37) pada resusitasi pasien syok septic;
namun penelitian ini kurang mampu mendeteksi perbedaan sebesar 6% terkait
mortalitas oabsolut yang teramati dalam penelitian (122). Penelitian kohort
pada pasien yang sakitnya lebih berat, yakni studi multisenter di Skandinavia
pada pasien sepsis (6s Trial Group) menunjukkan angka kematian yang
meningkat dengan penggunaan 130/0.42 HES 6% sebagai cairan resusitasi jika
dibandingkan dengan Ringer asetat (51% vs 43%, p = 0,03) (123). Penelitian
CHEST, yang dilakukan pada populasi heterogen pada pasienyang dirawat di
ruang perawatan intensif (HES vs saline isotonik, n = 7000 pasien kritis),
menunjukkan tidak ada perbedaan terkait angka mortalitas dalam 90 hari antara
penggunaan HES 6% berberat molekul 130 kD/0.40 dengan penggunaan saline
isotonik sebagai cairan resusitasi (18% vs 17%, p = 0.26); dimana kebutuhan
akan terapi renal replacement lebih tinggi pada kelompok HES (7,0% vs 5,8%;
risiko relatif [RR], 1,21; 95% CI, 1,00-1,45, p = 0,04) (124). Sebuah studi
meta-analisis terhadap 56 penelitian acak tidak menemukan perbedaan secara
keseluruhan antara cairan kristaloid dan koloid buatan (gelatin yang
dimodifikasi, HES, dekstran) ketika digunakan untuk resusitasi cairan awal
(125). Informasi dari 3 percobaan acak (n = 704 pasien dengan sepsis
berat/syok septik) tidak menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan heta-,
hexa-, atau pentastarches jika dibandingkan dengan cairan lain (RR, 1.15; 95%
CI, 0,95-1,39; efek acak; I2 = 0 %) (126-128). Namun, cairan-cairan ini
meningkatkan risiko cedera ginjal akut (RR, 1,60, 95% CI, 1,26-2,04; I2 = 0%)
(126-128). Bukti kerugian yang dapat ditemukan dalam studi 6S dan CHEST
serta stui meta-analisis mendukung rekomendasi berkualitas tinggi yang
menyarankan tidak digunakannya cairan HES pada pasien dengan sepsis berat
dan syok septic, terutama jika terdapat pilihan cairan yang lain. Penelitian
CRYSTAL, yakni suatu uji klinis prospektif berskala besar yang
Baca Buku dr. Rohmat A Page 39
membandingkan kristaloid dan koloid, baru-baru ini telah selesai dan akan
memberikan wawasan tambahan terkait penggunaa cairan HES sebagai
resusitasi.
Penelitian SAFE menunjukkan bahwa pemberian albumin aman dan sama
efektifnya dengan NaCl 0,9% (129). Studi meta-analisis yang mengumpulkan
data dari 17 percobaan acak (n = 1977) tentang penggunaan albumin vs cairan
larut lainnya pada pasien dengan sepsis berat/syok septik (130); 279 kematian
terjadi pada 961 pasien yang diterapi dengan albumin vs 343 kematian pada
1.016 pasien yang diterapi dengan cairan lain, sehingga penggunaan albumin
lebih disukai (odds ratio [OR], 0,82, 95% CI, 0,67-1,00; I2 = 0%). Jika pasien
yang diterapi dengan albumin dibandingkan dengan yang diterapi kristaloid (7
percobaan, n = 1441), maka besar nilai OR pasien yang sekarat turun secara
signifikan pada mereka yang mendapat albumin (OR, 0,78, 95% CI, 0,62-0,99;
I2 = 0%). Sebuah penelitian acak terkontrol di berbagai pusat penelitian (n =
794) pada pasien dengan syok septik membandingkan pemberian albumin
intravena (20 g, 20%) setiap 8 jam selama 3 hari dengan pemberian NaCl
intravena (130); terapi albumin dikaitkan dengan 2,2% reduksi absolut terkait
angka mortalitas 28 hari (dari 26,3% menjadi 24,1%), namun signifikan secara
statistik. Data-data ini mendukung rekomendasi bergrade rendah mengenai
penggunaan albumin pada pasien dengan sepsis dan syok septik (komunikasi
pribadi dari JP Mira dan disampaikan pada Kongres Internasional ISICEM ke-
32 tahun 2012 di Brussels dan Kongres Tahunan ESICM ke-25 tahun 2012 di
Lisbon).
4. Kami merekomendasikan tes fluid challenge awal pada pasien dengan
hipoperfusi jaringan yang disebabkan karena sepsis dengan kecurigaan
hipovolemia hingga mencapai kristaloid minimal sebanyak 30 ml/kg
(sebagian dari jumlah ini dapat berupa cairan yang ekuivalen dengan
albumin). Pemberian resusitasi yang lebih cepat dan dalam jumlah yang
lebih besar mungkin diperlukan pada beberapa pasien (lihat rekomendasi
Resusitasi Awal) (grade 1C).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 40
5. Kami merekomendasikan teknik fluid challenge dilakukan sambil terus
melanjutkan pemberian cairan asalkan ada perbaikan hemodinamik baik
berdasarkan variabel dinamisnya (misalnya, perubahan tekanan nadi,
variasi stroke volume/isi sekuncup) atau variabel statisnya (misalnya,
tekanan arteri, denyut jantung).
Dasar. Tes dinamis yang dilakukan untuk menilai respon pasien terhadap
penggantian cairan teah sangat populer dalam beberapa tahun terakhir di ICU
(131). Tes ini didasarkan pada pemantauan perubahan stroke volume/isi
sekuncup selama penggunaan ventilasi mekanis atau setelah pemosisian kaki
yang lebih tinggi secara pasif pada pasien yang bernafas spontan. Terdapat
sebuah tinjauan sistematis (29 percobaan, n = 685 pasien kritis) yang
mengamati hubungan antara variasi stroke volume, variasi tekanan nadi,
dan/atau variasi stroke volume dan perubahan pada stroke volume/indeks
kardiak setelah dilakukannya uji coba dengan cairan atau dengan tekanan
ekspirasi akhir positif (132). Nilai OR diagnostik dari responsivitas cairan
adalah sebesar 59,86 (14 percobaan, 95% CI, 23,88-150,05) dan 27,34 (5
percobaan, 95% CI, 3,46-55,53) masing-masing untuk variasi tekanan nadi dan
variasi stroke volume. Utiisasi dari variasi tekanan nadi dan variasi stroke
volume dibatasi oleh adanya fibrilasi atrium, pernapasan spontan, dan bantuan
ernafasan bertekanan rendah. Teknik-teknik ini biasanya membutuhkan sedasi.
H. Vasopressor
1. Kami merekomendasikan pemberian terapi vasopressor awal menargetkan
MAP sebesar 65 mmHg (grade 1C).
Dasar. Terapi vasopresor dibutuhkan untuk menyokong dan
mempertahankan perfusi untuk mengatasi hipotensi yang mengancam jiwa,
bahkan jika hipovolemia belum teratasi. Di bawah ambang batas MAP,
autoregulasi pada dasar embuluh datah yang penting bisa menjadi hilang
kendali, dan perfusi menjadi tergantung pada tekanan secara linier. Sehingga,
beberapa pasien mungkin memerlukan terapi vasopressor untuk mencapai
Baca Buku dr. Rohmat A Page 41
tekanan perfusi minimal dan mempertahankan aliran darah yang adekuat (133,
134). Titrasi norepinefrin hingga MAP mencapai nilai 65 mmHg diketahui
dapat mempertahankan perfusi jaringan (134). Perlu diingat bahwa definisi
konsensus dari hipotensi yang disebabkan karena sepsis atas penggunaan MAP
dalam mendiagnosis sepsis berat (MAP <70 mmHg) berbeda dari target
berbasis bukti sebesar 65 mmHg yang digunakan dalam rekomendasi pedoman
ini. Dalam kasus apapun, MAP optimal harus bersifat individual karena
mungkin lebih tinggi pada pasien dengan aterosklerosis dan/atau hipertensi
sebelumnya daripada pada pasien muda tanpa komorbiditas kardiovaskuler.
Misalnya, MAP sebesar 65 mmHg mungkin terlalu rendah pada pasien dengan
hipertensi berat yang tidak terkontrol; pada pasien muda, yang sebelumnya
normotensif, MAP yang lebih rendah mungkin sudah adekuat. Poin akhir
lainnya, seperti tekanan darah, dengan penilaian perfusi regional dan global,
seperti konsentrasi laktat darah, perfusi kulit, status mental, dan output urine,
jga merupakan faktor yang penting. Resusitasi cairan yang adekuat merupakan
aspek fundamental dari manajemen hemodinamik pada pasien dengan syok
septik dan idealnya harus dicapai sebelum digunakan vasopressor dan
inotropik; namun, sering dierlukan penggunaan vasopressor pada awal
resusitasi sebagai langkah darurat pada pasien dengan syok berat, seperti ketika
tekanan darah diastolik terlalu rendah. Ketika hal seperti itu terjadi, harus
dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan penggunaan vasopressor
dengan terus melanjutkan resusitasi cairan.
2. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama
(grade 1B).
3. Kami menyarankan epinefrin (ditambahkan pada resusitasi dan juga
berpotensi menggantikan norepinefrin) jika dibutuhkan agen tambahan
untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat (grade 2B).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 42
4. Vasopressin (sampai 0,03 U/menit) dapat ditambahkan pada norepinefrin
dengan maksud meningkatkan MAP sampai target atau menurunkan dosis
norepinephrine (UG).
5. Vasopressin dosis rendah tidak disarankan untuk diberikan sebagai
vasopressor awal tunggal untuk menangani hipotensi yang disebabkan
akrena sepsis, dan dosis vasopressin di atas 0,03-0,04 U/menit harus
disediakan untuk terapi penyelamatan (gagal mencapai MAP yang adekuat
dengan agen vasopressor lain) (UG).
6. Kami menyarankan penggunaan dopamin sebagai agen vasopressor
alternatif dari norepinefrin hanya pada pasien yang dalam kondisi sagat
mendesak (misalnya, pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan risiko
absolut atau relative bradikardia) (grade 2C).
7. Fenilefrin tidak direkomendasikan dalam penanganan syok septic kecuali
dalam kondisi-kondisi berikut ini: (a) norepinefrin dikaitkan dengan
aritmia yang berat, (b) curah jantung tinggi dan tekanan darah terus-
menerus rendah, atau (c) sebagai terapi penyelamatan bila kombinasi
inotropik/obat vasopressor dan vasopressin dosis rendah gagal mencapai
MAP yang ditargetkan (grade 1C).
Dasar. Efek fisiologis vasopressor dan kombinasi inotropik/pemilihan
vasopressor pada kasus dengan syok septic dikemukakan dalm banyak
literature (135-147). Tabel 7 menggambarkan ringkasan GRADEpro table
bukti yang membandingkan dopamin dan norepinefrin dalam pengobatan syok
septik. Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama karena
dopamine dapat meningkatkan stroke volume dan denyut jantung. Norepinefrin
meningkatkan MAP karena efek vasokonstriksi, dengan sedikit perubahan
denyut jantung dan peningkatan stroke volume yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan dopamin. Norepinefrin lebih kuat daripada dopamine dan
mungkin lebih efektif dalam mengembalikan kondisi hipotensi pada pasien
dengan syok septik. Dopamin dapat sangat berguna pada pasien dengan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 43
gangguan fungsi sistolik tetapi lebih menyebabkan takikardia dan mungkin
lebih bersifat aritmogenik daripada norepinefrin (148). Hal ini juga dapat
mempengaruhi respon axis hipofisis hipotalamus dan menimbulkan efek
imunosupresif. Akan tetapi, informasi dari 5 percobaan acak (n = 1.993 pasien
dengan syok septik) yang membandingkan norepinefrin dengan dopamin tidak
mendukung penggunaan rutin dopamin dalam manajemen syok septik (136,
149-152). Memang, risiko relatif dari kematian jangka pendek akibat dopamin
adalah sebesar 0,91 (95% CI, 0,84-1,00; fixed effect, I2 = 0%) dibandingkan
norepinefrin. Sebuah studi meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa dopamin
berkaitan dengan meningkatnya risiko (RR, 1,10 [1,01-1,20], p = 0,035), dalam
dua percobaan yang melaporkan tentang kejadian aritmia, dimana aritmia
terjadi lebih sering pada intervensi dengan dopamin daripada dengan
norepinefrin (RR, 2,34 [1,46-3,77], p = 0,001) (153).
Meskipun beberapa studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa
epinefrin memiliki efek merusak pada sirkulasi splanknikus dan menyebabkan
hiperlaktatemia, tidak ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa epinefrin
memberikan hasil terapi yang lebih buruk, dan epinefrin harus menjadi
alternatif pertama dari norepinefrin. Memang, informasi dari 4 percobaan acak
(n = 540) yang membandingkan norepinefrin dengan epinefrin tidak
menemukan bukti perbedaan terkait risiko kematian (RR, 0,96; CI, 0,77-1,21;
fixed effect; I2 = 0%) (142, 147, 154, 155). Epinefrin dapat meningkatkan
produksi laktat aerobik melalui stimulasi reseptor β2-adrenergik di otot rangka
dan dengan demikian dapat mencegah penggunaan klirens laktat untuk
memandu resusitasi. Dengan efek α-adrenergiknya yang hampir murni,
fenilefrin merupakan agen adrenergik yang paling kecil kemungkinannya
dalam menyebabkan takikardia, tetapi fenilefrin dapat menurunkan stroke
volume dan karena itu tidak direkomendasikan penggunaannya dalam
manajemen syok septik kecuali dalam keadaan di mana norepinefrin: a)
menyebabkan aritmia berat, atau b) curah jantung diketahui meningkat atau
tinggi, atau c ) sebagai terapi penyelamatan ketika agen vasopressor lain tidak
Baca Buku dr. Rohmat A Page 44
dapat mencapai MAP target (156). Kadar vasopressin pada syok septik
dilaporkan lebih rendah daripada yang diperkirakan pada kondisi syok (157).
Vasopressin dosis rendah dapat efektif meningkatkan tekanan darah pasien,
bersifat refrakter terhadap vasopresor lain dan berpotensi memiliki manfaat
fisiologis lainnya (158-163). Terlipressin memiliki efek yang serupa tetapi
lama kerjanya panjang (long acting) (164). Studi menunjukkan bahwa
konsentrasi vasopressin meningkat pada awal syok septik, tetapi menurun
dampai kisaran normal pada sebagian besar pasien antara 24 dan 48 jam walau
syok terus berlanjut (165). Peristiwa ini dikenal sebagai defisiensi vasopressin
relatif karena dengan adanya hipotensi, vasopressin seharusnya akan
meningkat. Signifikansi dari temuan ini tidak diketahui. Percobaan VASST,
yakni suatu penelitian acak terkontrol yang membandingkan pemberian
norepinefrin saja dengan pemberian norepinefrin yang ditambah vasopressin
dalam kecepatan 0,03 U/menit, menunjukkan tidak ada perbedaan hasil pada
populasi intent-to-treat (166). Sebuah apriori mengemukakan analisis
subkelompok yang menunjukkan bahwa kelangsungan hidup di antara pasien
yang mendapat norepinefrin sebanyak <15 mg/menit pada saat randomisasi
ternyata lebih baik pada kelompok yang juga ditambahkan vasopressin, namun
dasar dari stratifikasi ini didasarkan pada eksplorasi potensi manfaat pada
populasi yang membutuhkan norepinefrin ≥15 mg/menit. Dosis vasopressin
yang semakin tinggi berhubungan dengan jantung, digital, dan iskemia
splanknikus dan harus dipersiapkan untuk situasi di mana vasopressor alternatif
juga gagal (167). Informasi dari 7 percobaan (n = 963 pasien dengan syok
septik) yang membandingkan norepinefrin dengan vasopressin (atau
terlipressin) tidak mendukung penggunaan rutin vasopressin atau analognya
terlipressin (93, 95, 97, 99, 159, 161, 164, 166, 168-170). Memang, risiko
relatif kematiannya adalah sebesar 1,12 (95% CI, 0,96-1,30; fixed effects, I2 =
0%). Namun, risiko terjadinya aritmia supraventrikular semakin meningkat
dengan norepinefrin (RR, 7,25, 95% CI, 2,30-22,90, efeknya tetap; I2 = 0 %).
Penulti mempertimbangkan dilakukannya perhitungan curah jantung yang
Baca Buku dr. Rohmat A Page 45
mempertahankan tekanan darah normal atau terjadi peningkatan aliran darah
jika deperlukan, dimana vasopressor murni sudah mulai dilembagakan.
8. Kami merekomendasikan tidak digunakannya dopamin dosis rendah untuk
proteksi terhadap ginjal (grade 1A).
Dasar. Dari sebuah uji coba teracak berskala besar dan studi meta-analisis
yang membandingkan dopamin dosis rendah dengan plasebo tidak ditemukan
perbedaan baik dari hasil penelitian yang primer (kreatinin serum puncak,
kebutuhan akan terapi pengganti ginjal, output urin, waktu pemulihan fungsi
ginjal normal) maupun dari hasil penelitian yang sekunder (survival baik di
ICU ataupun pemulangan dari rumah sakit, perawatan di ICU, perawatan di
rumah sakit, aritmia) (171, 172). Dengan demikian, data yang tersedia tidak
mendukung diberikannya dopamin dosis rendah yang semata-mata bertujuan
untuk mempertahankan fungsi ginjal.
9. Kami merekomendasikan pada semua pasien yang membutuhkan
vasopressor dilakukan pemasangan kateter arteri segera apabila sumber
dayanya tersedia (UG).
Dasar. Pada kondisi-kondisi syok, estimasi pengukuran tekanan darah
dengan menggunakan manset umumnya tidak akurat; penggunaan kanula arteri
dapat menghasilkan pengukuran tekanan arteri yang lebih tepat dan dapat
dilakukan berulang-ulang. Kateter ini juga memungkinkan analisis yang
kontinyu sehingga pengambilan keputusan terkait terapi dapat didasarkan pada
informasi tekanan darah yang terbaru dan dapat dilulang.
TABEL 7. NOREPINEFRIN DIBANDINGKAN DENGAN DOPAMIN
DALAM RINGKASAN BUKTI SEPSIS BERAT
Norepinefrin dibandingkan dengan dopamin pada sepsis berat
Pasien atau populasi: Pasien dengan sepsis berat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 46
Lokasi: unit perawatan intensif
Intervensi: Norepinefrin
Perbandingan: Dopamin
Sumber: Analisis yang dilakukan oleh Djillali Annane untuk Surviving Sepsis
Campaign menggunakan publikasi berikut: De Backer D. N Engl J Med
2010; 362:779-789; Marik PE. JAMA 1994; 272:1354-1357, Mathur RDAC.
India J Crit Perawatan Med 2007; 11:186-191; Martin C. Chest 1993;
103:1826-1831, Patel GP. Kaget 2010; 33:375-380; Ruokonen E. Crit
Perawatan Med 1993; 21:1296-1303.
I. Terapi Inotropik
1. Kami merekomendasikan digunakannya infus dobutamin sampai 20
mg/kg/menit yang diberikan atau ditambahkan dengan vasopressor (jika
digunakan) pada kondisi dengan adanya: a) disfungsi miokard, yang
ditunjukkan oleh tekanan pengisian jantung yang tinggi dan curah jantung
yang rendah, atau b) tanda-tanda hipoperfusi yang sedang berlangsung,
meskipun sudah mencapai volume intravaskular dan MAP yang adekuat
(grade 1C).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 47
2. Kami merekomendasikan tidak dilakukannya strategi untuk meningkatkan
indeks kardiak ke level/grade di atas normal yang sudah ditentukan (grade
1B).
Dasar. Dobutamin merupakan inotropik pilihan pertama untuk pasien
yang terbukti atau dicurigai memiliki curah jantung yang rendah disertai
tekanan pengisian ventrikel kiri yang adekuat (atau penilaian klinis dari
resusitasi cairan yang adekuat) dan MAP yang juga adekuat. Pasien sepsis yang
tetap hipotensi setelah resusitasi cairan dapat memiliki curah jantung yang
rendah, normal, atau meningkat. Oleh karena itu, terapi dengan kombinasi
inotropik/vasopressor, seperti norepinefrin atau epinefrin, direkomendasikan
jika curah jantung tidak diukur. Apabila dapat dilakukan pemantauan curah
jantung selain tekanan darah, vasopresor, seperti norepinefrin, dapat digunakan
secara terpisah untuk mencapai target MAP dan curah jantung tertentu. Dari
suatu uji klinis prospektif berskala besar, yang melibatkan pasien kritis yang
dirawat di ICU dengan sepsis berat, tida dapat menunjukkan manfaat dari
peningkatan pengiriman oksigen ke target diatas normal dengan penggunaan
dobutamin (173, 174). Studi-studi ini tidak secara menunjuk secara khusus
pasien-pasien dengan sepsis berat dan tidak menarget pada 6 jam pertama
resusitasi. Jika terbukti terjadi hipoperfusi jaringan yang menetap meskipun
volume intravaskuler dan MAP pasien adekuat, alternatif lain yang
memungkinkan (selain mengembalikan penyebab yang mendasarinya) adalah
denga menambahkan inotropik.
J. Kortikosteroid
1. Kami menyarankan tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai
terai pada pasien syok septik dewasa jika resusitasi cairan yang adekuat
dan terapi vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat
bagian tujuan Resusitasi Awal). Jika stabilitas hemodinamik belum
tercapai, kami menyarankan hidrokortison intravena saja dengan dosis 200
mg/hari (grade 2C).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 48
Dasar. Respon pasien syok septik terhadap terapi cairan dan vasopressor
tampaknya merupakan faktor penting dalam pemilihan pasien untuk terapi
hidrokortison opsional. Dalam suatu penelitian acak terkontrol di berbagai
pusat penelitian di Perancis pada pasien syok septik yang tidak berespon
terhadap vasopressor (masih hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan dan vasopressor selama lebih dari 60 menit) menunjukkan pemulihan
kondisi syok dan pengurangan angka kematian yang signifikan pada pasien-
pasien dengan insufisiensi adrenal relatif (didefinisikan dengan meningkatnya
kortisol hormon postadrenocorticotropic [ACTH] ≤9 mg/dL) (175). Dalam 2
penelitian acak terkontrol lain yang berskala lebih kecil juga menunjukkan efek
yang signifikan pada pemulihan syok dengan terapi steroid (176, 177).
Sebaliknya, dari penelitian multisenter berskala besar di Eropa (CORTICUS)
yang melibatkan pasien tanpa syok berkelanjutan dan memiliki risiko kematian
yang lebih rendah daripada populasi penelitian yang di Prancis tadi, tidak dapat
menunjukkan manfaat terkait mortalitas dengan pemberian terapi steroid (178).
Berbeda dengan percobaan di Prancis yang hanya memasukkan pasien syok
dengan tekanan darah yang tidak berespon terhadap terapi vasopressor, studi
oleh CORTICUS turut memasukkan pasien dengan syok septik terlepas dari
bagaimana respon tekanan darah terhadap pemberian vasopressor; angka
kematian dalam 28 hari pada kelompok yang diberi plasebo masing-masing
adalah sebesar 61% dan 31%. Pemeriksaan ACTH (berespon terhadap
vasopressor dan tidak berespon) tidak memprediksi resolusi yang cepat setelah
kondisi syok. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa ulasan sistematis telah
meneliti penggunaan hidrokortison dosis rendah pada syok septik dengan hasil
yang bertentangan: Annane et al. (179) menganalisis hasil dari 12 studi dan
menemukan adanya penurunan mortalitas dalam 28 hari yang signifikan pada
kelompok pasien syok septik dewasa dengan terapi steroid berkepanjangan
dosis rendah (RR, 0,84, 95% CI, 0,72-0,97, p = 0,02) (180). Serupa dengan
penelitian tersebut, Sligl dan rekan (180) menggunakan teknik yang sama,
tetapi hanya mengidentifikasi delapan studi untuk untuk dilakukan meta-
analisis, enam diantaranya dengan desain penelitian acak terkontrol kualitas
Baca Buku dr. Rohmat A Page 49
tinggi dengan risiko bias yang rendah (181). Berbeda dengan ulasan
sebelumnya, analisis ini menunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas yang
signifikan (RR, 1.00, 95% CI, 0,84-1,18). Akan tetapi, kedua ulasan tersebut
memastikan adanya perbaikan pemulihan syok dengan menggunakan
hidrokortison dosis rendah (180, 181). Sebuah tinjauan yang baru-baru ini
dikeluarkan mengenai penggunaan steroid dalam pada pasien syok septik
dewasa menggarisbawahi pentingnya pe milihan studi untuk analisis sistematis
(181) dan mengidentifikasi hanya 6 uji acak terkontrol berkualitas tinggi
sebagai bahan ulasan sistematis yang adekuat (175-178, 182, 183). Saat kami
melakukan analisis hanya pada 6 studi tersebut, kami menemukan bahwa
pasien “risiko rendah’ dari 3 studi (yaitu, kelompok plasebo dengan angka
kematian kurang dari 50%, yang mewakili mayoritas pasien secara
keseluruhan), hidrokortison tidak menunjukkan manfaat (RR, 1,06). Sebagian
kecil pasien dari 3 studi lainnya, yang pada kelompok plasebonya memiliki
angka kematian lebih besar yakni 60 %, menunjukkan kecenderungan
mortalitas lebih rendah yang tidak signifikan dengan penggunaan hidrokortison
(lihat Supplemental Digital Content 4, http://links.lww.com/CCM/A615, Bukti
Tabel Bukti).
2. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk
mengidentifikasi mana orang dewasa dengan syok septik yang harus diberi
hidrokortison (grade 2B).
Dasar. Dalam sebuah penelitian, pengamatan interaksi potensial antara
penggunaan steroid dan tes ACTH tidak signifikan secara statistik (175). Selain
itu dalam suatu percobaan multicenter terbaru, tidak ada bukti adanya
perbedaan yang ditemukan antara pasien syok septik yang berespon terhadap
vasopressor dengan yang tidak berespon (178). Kadar kortisol acak mungkin
masih berguna pada insufisiensi adrenal absolut, namun pada pasien syok
septik yang menderita insufisiensi adrenal relatif (tanpa respon stres adekuat),
kadar kortisol acak belum terbukti menunjukkan manfaat. Pemeriksaan kadar
kortisol dengan immunoassays dapat menunjukkan hasil kortisol yang terlalu
Baca Buku dr. Rohmat A Page 50
tinggi atau terlalu rendah daripada yang sebenarnya, yang mempengaruhi
penentuan apakah pasien beresponatau tidak (184). Meskipun signifikansi
klinisnya tidak jelas, kini telah diakui bahwa etomidate, bila digunakan untuk
induksi intubasi, akan mensupresi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (185,
186). Selain itu, analisis dari penelitian CORTICUS (178) menunjukkan bahwa
penggunaan etomidate sebelum pemberian steroid dosis rendah berkaitan
dengan peningkatan angka kematian dalam 28 hari (187). Kadar kortisol acak
yang rendah (<18 mg/dl) pada pasien dengan syok dipertimbangkan sebagai
indikasi pemberian terapi steroid pada pedoman insufisiensi adrenal yang
dahulu.
3. Kami menyarankan agar dokter melakukan pengubahan (tapering) terapi
steroid jika vasopressor tidak lagi diperlukan (grade 2D).
Dasar. Belum ada studi yang membandingkan antara durasi tetap dengan
rejimen klinis terpadu atau antara pengubahan dosis dan penghentian
mendadak terapi steroid. Ada 3 penelitian acak terkontrol yang menggunakan
protokol durasi tetap untuk pemberian terapi (175, 177, 178), dan terapi steroid
semakin berkurang setelah pemulihan syok pada 2 penelitian acak terkontrol
(176, 182). Dalam 4 penelitian, steroid diturunkan dosisnya selama beberapa
hari (176-178, 182), dan terapi steroid dihentikan tiba-tiba pada 2 ujia acak
terkontrol (175, 183). Salah satu studi menunjukkan adanya efek rebound
hemodinamik dan imunologi setelah penghentian mendadak terapi
kortikosteroid (188). Selain itu, sebuah studi menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan hasil terapi pada pasien syok septik jika digunakan hidrokortison
dosis rendah selama 3 atau 7 hari; maka, tidak ada rekomendasi yang dapat
diberikan berkenaan dengan durasi optimal pemberian terapi hidrokortison
(189).
4. Kami menyarankan agar kortikosteroid tidak diberikan pada terapi sepsis
tanpa adanya syok (grade 1D).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 51
Dasar. Steroid dapat diindikasikan dengan adanya riwayat terapi steroid
atau disfungsi adrenal, tetapi apakah steroid dosis rendah memiliki potensi
preventif dalam mengurangi kejadian sepsis berat dan syok septik pada pasien
yang kritis masih belum dapat dijawab. Sebuah studi awal mengenai stress-
dose steroid pada komunitas dengan pneumonia didapat menunjukkan adanya
perbaikan hasil terapi pada populasi kecil (190), dan dari sebuah uji acak
terkontrol terbaru diketahui lamanya masa rawat inap di rumah sakit yang
semakin menurun tanpa mempengaruhi mortalitas (191).
5. Jika diberikan hidrokortison dosis rendah, kami menyarankan untuk
menggunakan infus kontinyu daripada suntikan bolus berulang (grade 2D).
Dasar. Beberapa penelitian acak tentang penggunaan hidrokortison dosis
rendah pada pasien syok septik mengungkapkan adanya peningkatan
hiperglikemia dan hipernatremia yang signifikan (175) sebagai efek samping
terapi. Sebuah penelitian prospektif berskala kecil menunjukkan bahwa
pemberian bolus hidrokortison berulang dapat meningkatkan kadar glukosa
darah secara bermakna; efek puncak ini tidak terdeteksi selamadilakukannya
infus kontinyu. Selain itu, variabilitas interindividual juga tampak dalam kadar
glukosa darah puncak setelah diberikan bolus hidrokortison (192). Meskipun
hubungan antara hiperglikemia dan hipernatremia dengan hasil terapi pasien
tidak dapat ditunjukkan, praktik manajemen yang baik juga meliputi strategi
penghindaran dan/atau deteksi efek samping ini.
TABEL 6. REKOMENDASI: DUKUNGAN HEMODINAMIK DAN
TERAPI AJUVAN
G. Terapi Cairan pada Sepsis Berat
1. Kristaloid sebagai pilihan cairan awal yang diberikan pada resusitasi
sepsis berat dan syok septik (grade 1B).
2. Tidak disarankan penggunaan HES (hydroxyethyl starches) untuk
resusitasi cairan sepsis berat dan syok septik (grade 1B).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 52
3. Albumin digunakan pada resusitasi carian sepsis berat dan syok
septik apabila pasien membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar
(grade 2C).
4. Lakukan uji coba cairan (fluid challenge test) awal pada pasien-pasien
dengan hipoperfusi jaringan akibat sepsis dengan kecurigaan terjadi
hipovolemia untuk hingga mencapai kristaloid minimal 30 ml/kg
(sebagian dari yang diberikan ini bisa yang ekuivalen dengan
albumin). Pemberian cairan yang lebih cepat dan dalam jumlah yang
lebih besar mungkin diperlukan pada beberapa pasien (grade 1C).
5. Teknik uji coba cairan dilakukan sambil terus memberikan cairan
selama terjadi perbaikan hemodinamik baik berdasarkan variabel
dinamik (misalnya perubahan tekanan nadi, variasi curah jantung)
maupun variabel statik (misalnya tekanan arteri, denyut jantung)
(UG).
H. Vasopressor
1. Terapi vasopressor awal diberikan hingga mencapai target MAP 65
mmHg (grade 1C).
2. Norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama (grade 1B).
3. Epinefrin (baik ditambahkan dan dapat juga sebagai pengganti
norepinefrin) jika dibutuhkan agen tambahan untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat (grade 2B).
4. Vasopresin sebanyak 0,03 unit/menit dapat ditambahkan pada terapi
norepinefrin
I. Terapi Inotropik
1. Uji dengan infus dobutamin sampai 20 mikrogram/kg/menit dapat
diberikan atau ditambahkan pada terapi vasopressor (jika
digunakan) apabila ada (a) disfungsi miokard yang ditunjukkan oleh
tingginya tekanan pengisisan jantung dan curah jantung yang rendah,
(b) tanda-tanda hipoperfusi yang masih berlangsung, walaupun telah
mencapai volume intravaskuler yang adekuat dan MAP yang adekuat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 53
(grade 1C).
2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan indeks kardiak ke
grade di atas normal yang telah ditentukan (grade 1B).
J. Kortikosteroid
1. Tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengatasi pasien
syok sepsis dewasa jika resusitasi dan terapi vasopressor yang
adekuat sudha mampu mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat
Tujuan Resusitasi Awal). Jika hal tersebut tidak tercapai, kami
menyarankan pemberian hidrokortison intravena saja dengan dosis
200 mg/hari (grade 2C).
2. Tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk identifikasi pasien
dewasa mana dengan syok septik yang harus diberikan hidrokortison
(grade 2B).
3. Pada pasien yang diberikan hidrokortison lakukan penurunan dosis
(tapering) jika vasopressor sudah tidak dibutuhkan lagi (grade 2D).
4. Kortikosteroid tidak diberikan untuk terapi sepsis jika tidak ada syok
(grade 1D).
5. Jika kortikosteroid diberikan, gunakan aliran kontinyu (grade 2D).
Terapi Suportif Pada Sepsis Berat (TABEL 8)
K. Pemberian Produk Darah
1. Setelah hipoperfusi jaringan telah pulih kembali dan tidak ada kondisi-
kondisi tertentu yang menyulitkan, misalnya iskemia miokard, hipoksemia
berat, perdarahan akut, atau penyakit arteri koroner iskemia, kami
merekomendasikan dilakukan transfusi sel darah merah jika konsentrasi
hemoglobin turun hingga <7.0 g/dL sampai target konsentrasi hemoglobin
mencapai 7.0-9,0 g/dL pada orang dewasa (grade 1B).
Dasar. Walaupun konsentrasi hemoglobin optimal untuk pasien dengan
sepsis berat belum secara khusus diteliti, uji Transfusion Requirements in
Baca Buku dr. Rohmat A Page 54
Critical Care menunjukkan bahwa kadar hemoglobin 7-9 g/dL, dibandingkan
dengan 10-12 g/dL, tidak berkaitan dengan peningkatan mortalitas pada pasien
dewasa yang kritis (193). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam grade
kematian 30 hari yang ditemukan antara kelompok perlakuan dalam
subkelompok pasien infeksi berat dan syok septik (22,8% dan 29,7%; p =
0,36).
Meskipun kurang dapat diterapkan pada pasien sepsis, hasil penelitian dari
uji acak pada pasien yang menjalani operasi jantung dengan cardiopulmonary
bypass mendukung dilakukannya transfusi restriktif menggunakan ambang
batas nilai hematokrit <24% (hemoglobin ≈ 8 g/dL) yang setara dengan
ambang batas transfusi hematokrit <30% (hemoglobin ≈ 10 g/dL) (194).
Transfusi sel darah merah pada pasien sepsis meningkatkan transfer oksigen
tetapi biasanya tidak meningkatkan konsumsi oksigen (195-197). Ambang
transfusi sebesar 7 g/dL bertentangan dengan protokol resusitasi awal yang
menggunakan target hematokrit 30% pada pasien dengan nilai Scvo2 rendah
selama 6 jam pertama resusitasi pada syok septik (13).
2. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan erythropoietin sebagai
terapi khusus untuk anemia yang disebabkan karena sepsis berat (grade
1B).
Dasar. Tidak ada informasi spesifik mengenai penggunaan erythropoietin
pada pasien septik yang bisa ditemukan, tetapi uji klinis pemberian
erythropoietin pada pasien yang kritis menunjukkan penurunan kebutuhan
transfusi sel darah merah tanpa berefek pada hasil klinis (198, 199). Efek
erythropoietin pada sepsis berat dan syok septik dianggap tidak lebih
bermanfaat dibandingkan dalam kondisi kritis lainnya. Pasien dengan sepsis
berat dan syok septik dapat disertai kondisi-kondisi dimana ada indikasi untuk
penggunaan erythropoietin.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 55
3. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan FFP (fresh frozen plasma)
untuk mengoreksi abnormalitas pembekuan pada temuan laboratorium
tanpa adanya perdarahan atau rencana tindakan invasif (grade 2D).
Dasar. Meskipun studi klinis yang ada belum menilai dampak transfusi
FFP terhadap hasil terapi pada pasien yang kritis, organisasi profesi
merekomendasikan penggunaan FFP pada kondisi koagulopati jika terbukti
ditemukan adanya defisiensi faktor-faktor koagulasi (peningkatan protrombin
time, INR, atau partial thromboplastin time) dan adanya perdarahan aktif atau
sebelum dilakukan prosedur bedah atau tindakan invasif (200-203). Selain itu,
transfusi FFP biasanya tidak dapat mengoreksi prothrombin time pada pasien
tanpa perdarahan dengan abnormalitas ringan (204, 205). Tidak ada studi yang
menunjukkan bahwa koreksi abnormalitas koagulasi yang lebih berat
memberikan manfaat pada pasien yang tidak mengalami perdarahan.
4. Kami merekomendasikan untuk tidak memberikan antitrombin untuk
terapi sepsis berat dan syok septik (grade 1B).
Dasar. Sebuah uji coba klinis fase III dengan antitrombin dosis tinggi
tidak menunjukkan efek menguntungkan terhadap mortalitas dalam 28 hari
dengan sebab apapun pada orang dewasa dengan sepsis berat dan syok septik.
Antitrombin dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan
bila diberikan dengan heparin (206). Walaupun analisis subkelompok post hoc
pada pasien dengan sepsis berat dan risiko kematian tinggi menunjukkan
kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien yang mendapat antithrombin,
agen ini tidak dapat direkomendasikan dilakukan uji klinis sampai lanjut (207).
5. Pada pasien dengan sepsis berat, kami menyarankan pemberian trombosit
untuk profilaksis bila AT ≤10.000/mm3 (10 × 109/L) tanpa adanya
perdarahan nyata, juga bila AT ≤20.000/mm3 (20 × 109/L) jika pasien
berisiko tinggi mengalami pendarahan. Dengan hitung trombosit yang
lebih tinggi (≥50.000/mm3 [50 × 109/L]) trombosit disarankan untuk
Baca Buku dr. Rohmat A Page 56
diberikan apabila terjadi perdarahan aktif, atau akan dilakukan operasi dan
tindakan invasif (grade 2D).
Dasar. Pedoman transfusi trombosit diambil dari konsensus pendapat dan
pengalaman pada pasien dengan trombositopenia karena kemoterapi. Pasien
dengan sepsis berat cenderung mengalami keterbatasan produksi trombosit
yang sama seperti pada pasien kemoterapi, tetapi mereka juga cenderung
mengalami peningkatan konsumsi trombosit. Rekomendasi memperhitungkan
etiologi trombositopenia, disfungsi trombosit, risiko perdarahan, dan adanya
penyakit penyerta (200, 202, 203, 208, 209). Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko perdarahan dan menjadi indikasi kebutuhan jumlah
trombosit yang lebih tinggi sering terjadi pada pasien dengan sepsis berat.
Sepsis itu sendiri dianggap sebagai faktor risiko perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia karena kemoterapi. Faktor-faktor lain yang dianggap
meningkatkan risiko perdarahan pada pasien dengan sepsis berat diantaranya
suhu tubuh diatas dari 38°C, perdarahan minor yang baru terjadi, penurunan
kadar trombosit yang cepat, dan kelainan koagulasi lainnya (203, 208, 209).
L. Imunoglobulin
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan imunoglobulin intravena
pada pasien dewasa dengan sepsis berat atau syok septik (grade 2B).
Dasar. Suatu penelitian acak terkontrol berskala besar (n = 624) (210)
pada pasien dewasa dan satu penelitian acak terkontrol multinasional yang juga
berskala besar pada bayi dengan sepsis neonatal (n = 3493) (211) tidak
menunjukkan manfaat immunoglobulin intravena (IVIG). (Untuk informasi
lebih lanjut tentang uji coba ini, lihat bagian, Pertimbangan Pediatrik). Sebuah
studi meta-analisis oleh kolaborasi Cochrane, yang tidak termasuk penelitian
acak terkontrol ini, mengidentifikasi 10 percobaan tentang IVIG poliklonal (n
= 1430) dan 7 percobaan tentang IVIG poliklonal yang diperkaya dengan
imunoglobulin (Ig)M (n = 528) (212). Dibandingkan dengan plasebo, IVIG
menunjukkan penurunan angka kematian yang signifikan (RR, 0,81 dan 95%
Baca Buku dr. Rohmat A Page 57
CI, 0,70-0,93; dan RR, 0,66 dan 95% CI, 0,51-0,85). Kelompok IVIG yang
diperkaya IgM (n = 7 percobaan) juga menunjukkan penurunan angka
kematian yang signifikan dibandingkan kelompok plasebo (RR, 0,66; 95% CI,
0,51-0,85). Uji coba dengan risiko bias rendah menunjukkan adanya penurunan
angka kematian dengan IVIG poliklonal (RR, 0,97, 95% CI, 0,81-1,15; 5 uji
coba, n = 945). Tiga dari uji coba ini (210, 213, 214) menggunakan IVIG
poliklonal standar dan dua lainnya menggunakan IVIG yang diperkaya dengan
IgM (215, 216).
Temuan-temuan ini sesuai dengan yang ditemukan pada 2 studi meta-
analisis sebelumnya (217, 218) dari penulis Cochrane lainnya. Satu ulasan
sistematis (217) yang meliputi sejumlah total 21 percobaan dan menunjukkan
risiko relatif kematian sebesar 0,77 dengan pemberian terapi imunoglobulin
(95% CI, 0,68-0,88); namun hasil dari uji coba yang berkualitas tinggi saja
(total 763 pasien) menunjukkan risiko relatif sebesar 1,02 (95% CI, 0,84-1,24).
Demikian pula, Laupland et al (218) menemukan penurunan angka kematian
yang signifikan dengan penggunaan terapi IVIG (OR, 0,66; 95% CI, 0,53-0,83,
p <0,005). Jika hanya studi berkualitas tinggi saja yang dikumpulkan, OR
mortalitas adalah sebesar 0,96 (95% CI, 0,71-1,3; p = 0,78). Dari 2 studi meta-
analisis, yang menggunakan kriteria kurang tegas dalam mengidentifikasi bias
dari sumber-sumber atau tidak menyatakan kriterianya secara jelas dalam
penilaian kualitas penelitian, menemukan adanya peningkatan mortalitas yang
signifikan pada pasien dengan pengobatan IVIG (219, 220). Berbeda dengan
untuk review Cochrane yang terbaru, Kreymann et al (219) mengklasifikasikan
5 studi yang meneliti preparat yang diperkaya dengan IgM sebagai studi
berkualitas tinggi, yang menggabungkan penelitian pada orang dewasa dan
neonatus, dan menemukan nilai OR mortalitas sebesar 0,5 (95% CI, 0,34-0,73).
Kebanyakan penelitian IVIG berskala kecil, beberapa diantaranya
memiliki kekurangan dalam hal metodologi, satu-satunya studi berskala besar
(n = 624) tidak menunjukkan adanya efek IVIG (210). Efek subkelompok
antara formulasi yang diperkaya dengan IgM dan yang tidak menunjukkan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 58
heterogenitas yang substansial. Selain itu, ketidaklangsungan dan dan bias
publikasi juga dipertimbangkan dalam menentukan grade rekomendasi. Bukti
berkualitas rendah menyebabkan pengradean bukti tergolong sebagai
rekomendasi yang lemah. Informasi statistik yang berasal dari uji coba
berkualitas tinggi tidak menunjukkan adanya efek IVIG poliklonal yang
menguntungkan. Kami mendorong dilakukannya studi multisenter berskala
besar untuk lebih mengevaluasi efektivitas preparat imunoglobulin poliklonal
lainnya yang diberikan secara intravena pada pasien dengan sepsis berat.
M. Selenium
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan selenium intravena untuk
menangani sepsis berat (grade 2C).
Dasar. Selenium diberikan dengan harapan dapat mengoreksi reduksi
konsentrasi selenium pada pasien sepsis dan memberikan efek farmakologis
melalui pertahanan antioksidan. Meskipun terdapat beberapa penelitian acak
terkontrol, bukti penggunaan selenium intravena masih sangat lemah. Hanya 1
coba klinis berskala besar yang memeriksa efek selenium terhadap angka
kematian, dan tidak ada dampak signifikan dilaporkan pada populasi yang
diberikan terapi ini dengan sindrom respon inflamasi sistemik berat, sepsis,
atau syok septik (OR, 0,66, 95% CI, 0,39-1,10, p = 0.109) (221). Secara
keseluruhan, ada kecenderungan penurunan yang bergantung pada konsentrasi
terhadap angka mortalitas, tidak ada perbedaan terkait hasil terapi sekunder
ataupun efek samping merugikan. Akhirnya, tidak ada komentar mengenai
standarisasi manajemen sepsis yang dimasukkan dalam penelitian ini, dimana
penelitian ini melibatkan 249 pasien selama jangka waktu 6 tahun (1999-2004)
(221).
Suatu penelitian acak terkontrol di Perancis pada suatu populasi kecil
mengungkapkan tidak adanya pengaruh terhadap titik akhir primer (pemulihan
syok) ataupun sekunder (lamanya penggunaan ventilasi mekanik, mortalitas di
ICU) (222). Penelitian acak terkontrol berskala kecil lainnya mengungkapkan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 59
VAP dini yang lebih jarang pada kelompok selenium (p = 0,04), tetapi tidak
ada perbedaan terkait VAP onset lambat atau hasil terapi sekunder seperti
mortalitas di ICU atau di rumah sakit (223). Hal ini sesuai dengan 2 penelitian
acak terkontrol yang mengakibatkan menurunnya jumlah episode infeksius
(224) ataupun peningkatan konsentrasi glutathione peroxidase (225); akan
tetapi tidak satupun dari studi tersebut, yang menunjukkan efek
menguntungkan terkait hasil sekunder (pengganti ginjal, mortalitas di ICU)
(224, 225).
Sebuah penelitian acak terkontrol berskala besar yang lebih baru mencoba
menentukan apakah penambahan selenium dengan dosis yang relatif rendah
(glutamin juga diuji dalam desain dua-faktorial) pada nutrisi parenteral pasien
yang kritis dapat mengurangi infeksi dan meningkatkan hasil terapi (226).
Suplementasi selenium tidak mempengaruhi terjadinya infeksi yang baru
secara signifikan (OR, 0,81, 95% CI, 0,57-1,15), dan grade kematian 6 bulan
juga tidak terpengaruh (OR, 0,89; 95% CI, 0,62-1,29). Selain itu, lamanya
masa perawatan, lamanya penggunaan antibiotik, dan skor Sequential Organ
Failure Assessment yang dimodifikasi juga tidak dipengaruhi secara signifikan
dengan pemberian selenium (227).
Selain kurangnya bukti, pertanyaan-pertanyaan terkait dosis optimal dan
cara pemberiannya masih belum terjawab. Rejimen dosis tinggi yang telah
dilaporkan melibatkan loading dose dilanjutkan dengan infus, sedangkan
percobaan pada hewan menunjukkan bahwa dosis bolus dapat lebih efektif
(227); namun hal ini belum diuji pada manusia. Hal ini merupakan masalah
yang belum terpecahkan yang masih memerlukan uji tambahan, dan kami
mendorong dilakukannya studi multisenter berskala besar untuk mengevaluasi
lebih lanjut mengenai efektivitas selenium intravena pada pasien dengan sepsis
berat. Rekomendasi ini tidak menyingkirkan penggunaan selenium dosis
rendah sebagai bagian dari mineral dan elemen-oligo yang standar yang
digunakan selama pemberian nutrisi parenteral total.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 60
N. Sejarah Rekomendasi Terkait Penggunaan Rekombinan Protein C
Teraktivasi
rhAPC (Recombinant Human Activated Protein C) disetujui
penggunaannya pada pasien dewasa di sejumlah negara pada tahun 2001
setelah dilakukannya uji PROWESS (Recombinant Human Activated Protein C
Worldwide Evaluation in Severe Sepsis), yang melibatkan 1.690 pasien sepsis
berat dan menunjukkan penurunan angka kematian yang signifikan (24,7%)
dengan pemberian rhAPC dibandingkan dengan plasebo (30,8%, p = 0,005)
(228). Pedoman SSC tahun 2004 merekomendasikan rhAPC sesuai dengan
instruksi pelabelan produk yang dibutuhkan oleh pihak berwenang AS dan
Eropa dengan kualitas bukti grade B (7, 8).
Pada saat penerbitan pedoman SSC 2008, studi rhAPC tambahan pada
sepsis berat (seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan lembaga) menunjukkan
tidak efektifnya rhAPC pad pasien yang tidak terlalu kritis dengan sepsis berat
serta pada anak-anak (229, 230). Rekomendasi SSC 2008 mencerminkan
temuan-temuan ini, dan kekuatan rekomendasi rhAPC diturunkan menjadi
“disarankan” (bukan rekomendasi) untuk digunakan pada pasien dewasa
dengan penilaian klinis berisiko tinggi kematian, yang sebagian besar memiliki
skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II ≥25 atau
kegagalan multi organ (grade 2C, kualitas bukti juga diturunkan dari 2004, dari
B ke C) (7). Pedoman SSC 2008 juga merekomendasikan untuk tidka
menggunakan rhAPC pada pasien dewasa dengan risiko rendah, dimana
sebagian besar memiliki skor APACHE II ≤20 atau kegagalan satu organ
(grade 1A), dan untuk tidak menggunakannya pada semua pasien anak-anak
(grade 1B).
Hasil penelitian PROWESS SHOCK (1.696 pasien) yang dirilis pada akhir
2011, tidak menunjukkan manfaat rhAPC pada pasien dengan syok septik
(mortalitas 26,4% dengan pemberian rhAPC, 24,2% dengan plasebo) dengan
risiko relatif sebesar 1,09 dan nilai p sebesar 0,31 (231). Obat ini ditarik dari
Baca Buku dr. Rohmat A Page 61
pasaran dan tidak lagi tersedia, meniadakan kebutuhan karena rekomendasi
dari SSC mengenai penggunaannya.
O. Ventilasi Mekanik Pada Sindrom Distres Pernafasan Akut Akibat Sepsis
1. Kami merekomendasikan agar dokter menargetkan volume tidal 6 mL/kg
dari berat badan ayng diperkirakan pada pasien dengan sindrom distres
pernafasan akut (ARDS) yang disebabkan karena sepsis (grade 1A vs 12
mL/kg).
2. Kami merekomendasikan tekanan plateau diukur pada pasien dengan
ARDS dan bahwa tujuan batas atas awal untuk tekanan plateau di paru-
paru yang berinflasi secara pasif ≤30 cmH2O (grade 1B).
Dasar. Dari catatan, digunakan studi untuk menentukan rekomendasi di
bagian ini yang melibatkan pasien dengan menggunakan kriteria dari
American-European Consesnus Criteria Definition untuk cedera paru akut
(ALI) dan ARDS (232). Untuk pedoman ini, kami menggunakan definisi
Berlin yang diperbarui dan menggunakan istilah ARDS ringan, sedang, dan
berat (masing-masing dengan PaO2/FiO2 ≤300, ≤ 200, dan ≤100 mmHg) untuk
sindrom-sindrom yang sebelumnya disebut sebagai ALI dan ARDS (233).
Beberapa uji acak multisenter telah dilakukan pada pasien dengan ARDS untuk
mengevaluasi efek dari membatasi tekanan inspirasi melalui moderasi volume
tidal (234-238). Studi-studi ini menunjukkan hasil yang berbeda yang mungkin
disebabkan karena perbedaan tekanan jalan nafas dalam kelompok terapi dan
kontrol (233, 234, 239). Beberapa studi meta-analisis menunjukkan penurunan
mortalitas pada pasien dengan strategi pembatasan tekanan dan volume karena
ARDS (240, 241).
Uji terbesar dari strategi pembatasan volume dan tekanan menunjukkan
penurunan absolut sebesar 9% pada semua penyebab kematian pada pasien
dengan ARDS yang diventilasi dengan volume tidal 6 mL/kg dibandingkan
dengan 12 mL/kg dari prediksi berat badan, dan bertujuan untuk mencapai
tekanan plateau ≤30 cmH2O (233). Penggunaan strategi pelindung paru untuk
Baca Buku dr. Rohmat A Page 62
pasien dengan ARDS didukung oleh uji klinis dan telah diterima secara luas,
namun pilihan volume tidal yang tepay untuk pasien dengan ARDS
membutuhkan penyesuaian karena beberapa faktor ketika tercapai tekanan
plateau, grade tekanan ekspirasi akhir positif dipilih, komplians dari ruang
torakoabdominal, dan vigor dari usaha pasien bernafas. Pasien dengan asidosis
metabolik berat, kebutuhan ventilasi yang tinggi, atau bertubuh pendek
mungkin memerlukan manipulasi volume tidal tambahan. Beberapa dokter
percaya mungkin aman untuk ventilasi dengan volume tidal >6 mL/kg dari
perkiraan berat badan asalkan tekanan plateau dapat dipertahankan ≤30
cmH2O (242, 243). Validitas nilai atas ini akan tergantung pada upaya pasien,
mislanya mereka yang aktif bernapas menghasilkan tekanan transalveolar lebih
tinggi karena tekanan plateau yang ada adaripada pada pasien diinflasikan
secara pasif. Sebaliknya, pasien dengan dinding dada yang sangat kaku
mungkin memerlukan tekanan plateau >30 cmH2O untuk memenuhi tujuan
klinis penting. Sebuah studi retrospektif menunjukkan bahwa volume tidal
harus diturunkan bahkan dengan tekanan plateau ≤30 cmH2O (244) karena
tekanan plateau yang lebih rendah dikaitkan dengan penurunan mortalitas di
rumah sakit (245).
Volume tidal tinggi yang digabungkan dengan tekanan plateau harus
dihindari pada ARDS. Dokter harus mengggunakannya sebagai titik awal
tujuan dalam menurunkan volume tidal lebih selama 1-2 jam dari nilai awalnya
sampai volume tidal “rendah” yang ditarget (≈ 6 mL/kg estimasi berat badan)
dicapai dalam hubungannya dengan tekanan plateau akhir inspirasi ≤ 30
cmH2O. Jika tekanan plateau tetap >30 cmH2O setelah penurunan volume
tidal sampai 6 mL/kg, volume tidal dapat dikurangi lagi sampai ke level 4
mL/kg per protokol. (Lampiran C menjabarkan mengenai manajemen dan
formula ventilator ARDSNet untuk menghitung estimasi berat badan). Dengan
menggunakan ventilasi dengan tekanan dan volume yang terbatas akan
mengakbatkan hiperkapnia dengan laju respiratorik toleransi maksimum.
Dalam kasus tersebut, hiperkapnia tidak kontraindikasi (misalnya, TIK tinggi)
Baca Buku dr. Rohmat A Page 63
dan tampaknya dapat ditoleransi. Infus natrium bikarbonat atau trometamin
(THAM) mungkin dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu untuk
membantu kondisi ventilasi terbatas yang menyebabkan hiperkapnia permisif
(246, 247).
Sejumlah percobaan observasional tentang pasien yang dipasang ventilasi
mekanis menunjukkan penurunan risiko ARDS ketika digunakan volume ujia
yang lebih kecil (248-251). Dengan demikian, volume tidal dan tekanan
plateau tinggi harus dihindari pada pasien yang berventilasi mekanik yang
berisiko mengalami ARDS, termasuk orang-orang dengan sepsis.
Tidak ada ventilasi mode tunggal (kontrol tekanan, kontrol volume) yang
secara konsisten terbukti menguntungkan bila dibandingkan dengan yang lain
yang menggunakan prinsip proteksi paru yang serupa.
3. Kami merekomendasikan penggunaan tekanan ekspirasi akhir positif
(positive end-expiratory pressure, PEEP) untuk menghindari kolaps
alveolar pada akhir ekspirasi (atelektotrauma) (grade 1B).
4. Kami menyarankan strategi yang didasarkan pada PEEP yang lebih tinggi
daripada yang rendah untuk pasien dengan ARDS ringan sampai sedang
karena sepsis (grade 2C).
Dasar. Meningkatkan PEEP pada ARDS untuk menjaga unit-unit di paru-
paru terbuka untuk berperanan dalam pertukaran gas. Hal ini akan
meningkatkan PaO2 jika PEEP dipasang baik melalui tabung endotrakeal atau
masker wajah (252-254). Pada hewan percobaan, menghindari kolaps alveolar
akhir ekspirasi membantu meminimalisir cedera paru karena ventilator ketika
digunakan tekanan plateau yang relatif tinggi. Dari 3 percobaan multisenter
berskala besar yang menggunakan kadar PPEP tinggi vs rendah dalam
kaitannya dengan volume tidal yang rendah, tidak mengungkapkan adanya
manfaat atau bahaya (255-257). Sebuah studi meta-analisis yang menggunakan
data individu pasien menunjukkan tidak ada manfaat PEEP pada semua pasien
dengan ARDS, namun, pasien dengan ARDS sedang atau berat (rasio
Baca Buku dr. Rohmat A Page 64
PaO2/FiO2 ≤200 mmHg) mengalami penurunan mortalitas dengan penggunaan
PEEP tinggi, sedangkan mereka yang dengan ARDS ringan tidak (258). Dua
pilihan direkomendasikan untuk titrasi PEEP. Salah satu pilihan tersebut adalah
mentitrasi PEEP (dan volume tidal) sesuai dengan pengukuran komplians
torakopulmoner dengan tujuan untuk menghasilkan komplians yang terbaik,
menunjukkan keseimbangan antara keterlibatan paru-paru dan distensi berlebih
yang lebih disenangi (259). Pilihan kedua adalah mentitrasi PEEP berdasarkan
keparahan defisit oksigenasi dan dipandu oleh FiO2 yang dibutuhkan untuk
mempertahankan oksigenasi yang adekuat (234, 255, 256). PEEP >5 cmH2O
biasanya diperlukan untuk menghindari kolaps paru (260). Strategi PEEP
standar dari ARDSNet ditunjukkan pada Lampiran C. Strategi PEEP yang
lebih tinggi direkomendasikan untuk ARDS diasjikan dalamvLampiran D dan
berasal dari percobaan ALVEOLI (257).
5. Kami menyarankan manuver recruitment pada pasien sepsis dengan
hipoksemia refrakter berat yang disebabkan karena ARDS (grade 2C).
6. Kami menyarankan posisi tengkurap pada pasien dengan ARDS akibat
sepsis dengan rasio PaO2/FiO2 ≤100 mmHg di fasilitas-fasilitas kesehatan
yang berpengalaman dengan praktik ini (grade 2B).
Dasar. Banyak strategi yang ada dalam menangani hipoksemia refrakter
pada pasien dengan ARDS berat (261). Meningkatkan tekanan transpulmoner
sementara dapat membantu pembukaan alveoli yang atelektatik sehingga
terjadi pertukaran gas (260), tetapi bisa juga mendistensikan unit paru yang
teraerasi secara berlebihan sehingga meningmbulkan cedera paru akibat
ventilator dan hipotensi sementara. Aplikasi penggunaan tekanan saluran
pernafasan positif yang kontinyu secara berkelanjutan sementara tampaknya
dapat meningkatkan oksigenasi pasien pada awalnya, tetapi dampaknya bisa
sementara (262). Walaupun pasien tertentu dengan hipoksemia berat dapat
memperoleh manfaat dari manuver recruitment dalam hubungannya dengan
grade PEEP yang lebih tinggi, hanya sedikit bukti yang mendukung
Baca Buku dr. Rohmat A Page 65
penggunaan rutin PEEP pada semua pasien ARDS (262). Tekanan darah dan
oksigenasi harus dipantau dan manuver recruitment harus dihentikan jika
diamati adanya penurunan variabel tersebut.
Beberapa penelitian berskala kecil dan 1 studi berskala besar pada pasien
dengan gagal napas hipoksemik atau ARDS menunjukkan bahwa kebanyakan
pasien berespon terhadap posisi tengkurap dengan peningkatan oksigenasi
(263-266). Tak satu pun dari percobaan individu terkait posisi tengkurap pada
pasien dengan ARDS atau gagal napas hipoksemik yang menunjukkan manfaat
mortalitas (267-270). Satu studi meta-analisis menunjukkan potensi kelebihan
dengan memposisikan pasien tengkurap pada pasien dengan hipoksemia berat
dan rasio PaO2/FiO2 ≤100 mmHg, namun tidak pada mereka dengan
hipoksemia yang tidak terlalu berat (270). Pemosisian tengkurap ini mungkin
berhubungan dengan potensi komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk
pencabutan tabung endotrakeal dan chest tube secara tidak disengaja;
komplikasi-komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan posisi
tengkurap dibandingkan dengan posisi terlentang (270).
Metode lain untuk mengatasi hipoksemia refrakter, termasuk ventilasi
osilasi frekuensi tinggi, ventilasi pelepasan tekanan saluran napas, dan
oksigenasi membran extrakorporeal (271), dapat dipertimbangkan sebagai
terapi penyelamatan di pusat-pusat dengan keahlian dan pengalaman
penggunaan metode ini (261, 271-274). Nitrat oksida yang terinhalasi tidak
meningkatkan angka kematian pada pasien dengan ARDS dan tidak harus
secara rutin digunakan (275).
7. Kami merekomendasikan bahwa pasien sepsis dengan ventilasi mekanik
dipertahankan dengan kepala elevasi 30 sampai 45 derajat untuk
meminimalkan risiko aspirasi dan untuk mencegah terjadinya VAP (grade
1B).
Dasar. Posisi semi-telentang telah terbukti menurunkan insidensi VAP
(276). Pemberian nutrisi secara enteral meningkatkan risiko terjadinya VAP;
Baca Buku dr. Rohmat A Page 66
50% pasien yang diberi makan melalui jalur enteral dalam posisi terlentang
mengalami VAP dibandingkan dengan 9% dari mereka yang diberi makan
dalam posisi semi-telentang (276). Namun, posisi tempat tidur dipantau hanya
sekali sehari, dan pasien yang tidak mencapai elevasi yang diinginkan tidur
tidak dimasukkan dalam analisis (276). Sebuah studi tidak menunjukkan
perbedaan dalam kejadian VAP antara pasien yang dipertahankan dalam dalam
posisi terlentang dan semi-telentang (277); pasien yang masuk dalam
kelompok semi-telentang tidak semuanya mencapai elevasi kepala yang
diinginkan, dan elevasi kepala pada kelompok telentang mencapai kondisi
seperti kelompok semi-telentang pada hari ke-7 (277). Bila perlu, pasien dapat
diletakkan telentang selama prosedur, pengukuran hemodinamik, dan selama
episode hipotensi. Pasien tidak boleh diberi makan secara enteral saat
terlentang.
8. Kami menyarankan bahwa ventilasi masker noninvasif (noninvasive mask
ventilation, NIV) digunakan pada minoritas pasien ARDS karena sepsis di
mana manfaat dari NIV telah dipertimbangkan dengan hati-hati dan
diperkirakan lebih besar daripada risiko (grade 2B).
Dasar. Menghindari kebutuhan untuk melakukan intubasi jalan nafas
memberikan beberapa keuntungan: komunikasi yang lebih baik, insidensi
infeksi lebih rendah, dan mengurangi kebutuhan untuk sedasi. Dua studi uji
acak terkontrol pada pasien dengan kegagalan pernafasan akut menunjukkan
peningkatan hasil dengan penggunaan NIV jika digunakan dengan sukses
(278, 279). Sayangnya, hanya sebagian kecil pasien sepsis dengan hipoksemia
yang mengancam jiwa dapat dikelola dengan cara ini (280, 281).
NIV harus dipertimbangkan pada pasien dengan ARDS karena sepsis bila
mereka merespon dukungan tekanan yang relatif rendah dan PEEP dengan
hemodinamik stabil, dapat dibuat nyaman, dan mudah dibangkitkan; bila
mereka mampu melindungi jalan napas dan membersihkan jalan napas dari
sekret secara spontan; dan bila mereka diantisipasi cepat pulih dari insult
Baca Buku dr. Rohmat A Page 67
presipitasi (280, 281). Ambang rendah untuk intubasi jalan nafas harus
dipertahankan.
9. Kami merekomendasikan bahwa protokol weaning berada di tempat dan
bahwa pasien ventilasi mekanik dengan sepsis berat menjalani uji
pernapasan spontan berkala untuk mengevaluasi kemampuan supaya
ventilasi mekanis dapat dihentikan apabila mereka memenuhi kriteria
sebagai berikut: a) dapat dibangkitkan ; b) hemodinamik stabil (tanpa agen
vasopressor); c) tidak ada kondisi baru yang berpotensi serius; d)
kebutuhan akan tekanan ventilasi dan ekspirasi akhir rendah; dan e)
kebutuhan akan FiO rendah yang dapat diberikan dengan masker wajah
atau kanula nasal. Jika uji pernapasan spontan berhasil, ekstubasi harus
dipertimbangkan (grade 1A) .
Dasar. Pilihan-pilihan uji pernapasan spontan termasuk dukungan tekanan
yang rendah, tekanan jalan napas positif (≈ 5 cm H2O), atau penggunaan T -
piece. Studi menunjukkan uji pernapasan spontan harian pada pasien yang
dipilih dengan tepat mengurangi durasi ventilasi mekanis (282,283). Uji
pernapasan ini sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan uji bangun
spontan (284). Uji pernapasan spontan yang berhasil dengan sempurna
mengarah pada kemungkinan yang tinggi penghentian awal ventilasi mekanis.
10. Kami merekomendasikan menghindari penggunaan rutin kateter arteri
pulmonal untuk pasien dengan ARDS karena sepsis (grade 1A).
Dasar. Meskipun memasukkan kateter arteri pulmonalis (PA) dapat
memberikan informasi yang berguna mengenai status volume dan fungsi
jantung pasien, manfaat ini dapat dirancu oleh perbedaan dalam interpretasi
hasil (285-287), kurangnya korelasi tekanan oklusi PA dengan respon klinis
(288), dan tidak adanya strategi terbukti untuk menggunakan hasil kateter
untuk meningkatkan outcome pasien (173). Pada dua studi uji random
multicenter, satu pada pasien dengan syok atau ARDS (289) dan yang lainnya
pada mereka dengan hanya ARDS (290), gagal untuk menunjukkan manfaat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 68
dengan penggunaan rutin kateter PA di ARDS. Selain itu, penelitian lain di
berbagai jenis pasien sakit kritis telah gagal untuk menunjukkan manfaat
definitif dengan penggunaan rutin dari kateter PA (291-293). Pasien yang
dipilih tetap sesuai sebagai calon insersi kateter PA hanya bila jawaban untuk
keputusan penting manajemen bergantung pada informasi yang semata-mata
didapat dari pengukuran langsung yang dilakukan melalui PA (292, 294).
11. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan
ARDS karena sepsis yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (grade
1C).
Dasar. Mekanisme terbentuknya edema paru pada pasien dengan ARDS
meliputi peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik,
dan penurunan tekanan onkotik (295). Studi prospektif kecil pada pasien
dengan penyakit kritis dan ARDS telah menyebutkan bahwa peningkatan
sedikit berat badan berhubungan dengan peningkatan oksigenasi (296) dan
lebih sedikit hari menggunakan ventilasi mekanis (297, 298) . Strategi cairan –
konservatif untuk meminimalisasi infus cairan dan penambahan berat badan
pada pasien dengan ARDS, berdasarkan baik kateter vena sentral (CVP<4 mm
Hg) atau kateter PA (batas tekanan arteri pulmonalis <8 mm Hg), bersama
dengan variabel klinis untuk memandu pengobatan, menyebabkan lebih sedikit
hari ventilasi mekanis dan mengurangi lama inap ICU tanpa mengubah
kejadian gagal ginjal atau angka kematian (299). Strategi ini hanya digunakan
pada pasien dengan ARDS yang ditegakkan, beberapa di antaranya mengalami
syok selama tinggal ICU, dan upaya aktif untuk mengurangi volume cairan
hanya dilakukan pada periode di luar syok.
12. Dengan tidak adanya indikasi tertentu seperti bronkospasme, kami
sarankan terhadap penggunaan β2 - agonis untuk pengobatan pasien
dengan ARDS karena sepsis (grade 1B).
Dasar. Pasien dengan ARDS karena sepsis sering mengalami peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Data klinis praklinis dan awal menunjukkan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 69
bahwa agonis β - adrenergik dapat mempercepat resorpsi edema alveolar (300).
Dua uji klinis random mempelajari efek dari β - agonis pada pasien dengan
ARDS (301, 302) . Dalam salah satu studi, perbandingan albuterol aerosol dan
plasebo pada 282 pasien dengan ARDS, uji dihentikan karena kesia-siaan
(301). Pasien yang menerima albuterol memiliki denyut jantung lebih tinggi
pada hari 2, dan tren itu terdeteksi menuju penurunan hari bebas ventilator
(hari hidup dan off ventilator). Grade kematian sebelum discharge adalah
23,0% pada kelompok albuterol vs 17,7 % pada pasien yang diobati dengan
plasebo. Lebih dari separuh pasien yang terdaftar dalam percobaan ini
memiliki sepsis paru atau nonparu sebagai penyebab ARDS (301).
Penggunaan salbutamol intravena diuji dalam percobaan BALTI - 2 (302).
Di antara tiga ratus dua puluh enam pasien dengan ARDS, 251 di antaranya
memiliki sepsis paru atau nonparu sebagai penyebab, diacak untuk salbutatmol
intravena, 15 mg/kg dari berat badan ideal , atau plasebo selama 7 hari . Pasien
yang diterapi dengan salbutamol mengalami peningkatan angka kematian 28
hari (34 % vs 23 % , RR , 1,4 , 95 % CI , 1,03-2,08) menyebabkan terminasi uji
dini (302) .
Agonis beta-2 mungkin memiliki indikasi tertentu, seperti perawatan
bronkospasme dan hiperkalemia. Pada keabsenan kondisi ini, kami sarankan
menghindari penggunaan rutin agonis β, baik dalam bentuk intravena atau
aerosol, untuk pengobatan pasien dengan ARDS karena sepsis.
P. Sedasi, Analgesia, dan Blokade Neuromuskuler Pada Sepsis
1. Kami merekomendasikan bahwa sedasi baik terus menerus atau intermiten
diminimalkan dalam pasien sepsis ventilasi mekanik, menargetkan titik
akhir titrasi tertentu (grade 1B).
Dasar. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa membatasi
penggunaan sedasi pada pasien kritis ventilasi sakit dapat mengurangi durasi
ventilasi mekanis dan ICU dan lama inap di rumah sakit (303-305). Sementara
studi yang membatasi sedasi pada pasien sakit kritis telah dilakukan di
Baca Buku dr. Rohmat A Page 70
berbagai, ada sedikit alasan untuk menganggap bahwa pasien sepsis tidak akan
memperoleh manfaat dari pendekatan ini (305). Penggunaan protokol untuk
sedasi adalah salah satu cara untuk membatasi penggunaan sedasi, dan uji
klinis terkontrol acak menemukan bahwa sedasi dengan protokol dibandingkan
dengan perawatan biasa mengurangi durasi ventilasi mekanik, lama inap, dan
grade trakeostomi (305). Menghindari obat penenang adalah strategi lain.
Sebuah studi observasional terbaru dari 250 pasien yang sakit kritis
menunjukkan bahwa sedasi dalam umum dilakukan pada pasien ventilasi
mekanis (306 ). Sebuah uji klinis terkontrol acak, menemukan bahwa pasien
yang diobati dengan bolus intravena morfin secara istimewa memiliki hari
tanpa ventilasi lebih signifikan, lama inap di ICU dan rumah sakit lebih
pendek, dibandingkan pasien yang menerima sedasi (propofol dan midazolam)
selain morfin (307). Namun, delirium gelisah lebih sering terdeteksi pada
kelompok intervensi. Meskipun tidak dipelajari secara khusus pada pasien
dengan sepsis, pemberian sedasi intermiten, interupsi sedasi harian, dan titrasi
sistematis ke titik akhir yang telah ditetapkan telah didemonstrasikan untuk
mengurangi durasi ventilasi mekanis (284, 305, 308, 309). Pasien yang
menerima agen bloking neuromuscular (NMBA) harus dinilai secara individual
dalam penghentian sedasi karena blokade neuromuskular harus terlebih dahulu
dikembalikan. Penggunaan intermiten vs metode kontinyu dalam memberian
sedasi pada pasien sakit kritis telah diperiksa dalam sebuah studi observasional
pasien berventilasi mekanis yang menunjukkan bahwa pasien yang menerima
sedasi terus menerus memiliki jangka waktu yang lebih lama dalam
menggunakan ventilasi mekanik dan lama inap ICU rumah sakit (310).
Uji klinis telah mengevaluasi interupsi harian pada sedasi kontinyu.
Sebuah uji prospektif acak terkontrol pada 128 orang dewasa dengan ventilasi
mekanik yang menerima sedasi intravena kontinyu menunjukkan bahwa
interupsi harian pada infus sedasi kontinyu sampai pasien terjaga menurunkan
durasi ventilasi mekanis dan lama inap ICU (283). Meskipun pasien menerima
infus sedasi kontinyu dalam penelitian ini, interupsi harian dan pembangkitan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 71
diperbolehkan untuk titrasi sedasi, sehingga membuat dosis intermiten. Selain
itu, uji bangun spontan berpasangan dikombinasikan dengan uji bernapas
spontan menurunkan durasi ventilasi mekanis, lama inap ICU dan rumah sakit,
dan kematian 1 tahun (284). Baru-baru ini, percobaan multicenter acak
membandingkan sedasi berprotokol dengan sedasi berprotocol ditambah
interupsi sedasi harian pada 423 pasien sakit kritis medis dan bedah
denganventilasi mekanik (311). Tidak ada perbedaan dalam durasi ventilasi
mekanis atau lama inap antara kelompok, dan interupsi harian berhubungan
dengan opioid harian dan dosis benzodiazepin yang lebih tinggi, serta beban
kerja perawat yang lebih tinggi. Selain itu, studi randomized prospective
blinded observational menunjukkan bahwa meskipun iskemia miokard adalah
umum pada pasien sakit kritis berventilasi, interupsi sedatif harian tidak terkait
dengan peningkatan terjadinya iskemia miokard (312). Tanpa memperhatikan
pendekatan sedasi, rehabilitasi fisik awal harus dijadikan tujuan (313).
2. Kami merekomendasikan menghindari NMBA jika memungkinkan pada
pasien septik tanpa ARDS karena risiko berkepanjangan blokade
neuromuskular berikut penghentian. Jika NMBA harus dipertahankan,
baik bolus intermiten yang diperlukan atau infus kontinyu monitoring
train-of-four kedalaman blokade harus digunakan (grade 1C).
3. Kami menyarankan pemberian singkat NMBA (≤ 48 jam untuk pasien
dengan ARDS awal, karena sepsis dan Pao2/Fio2 < 150 mm Hg (grace
2C).
Dasar. Meskipun NMBA sering diberikan kepada pasien sakit kritis, peran
mereka di ICU tidak didefinisikan dengan baik. Tidak ada bukti bahwa blokade
neuromuskuler pada populasi pasien ini mengurangi mortalitas atau morbiditas
utama. Selain itu, tidak ada penelitian terpublikasikan yang secara khusus
membahas penggunaan dari NMBA pada pasien sepsis.
Indikasi yang paling umum menggunakan NMBA di ICU adalah untuk
memfasilitasi ventilasi mekanis (314). Jika tepat digunakan, agen ini dapat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 72
meningkatkan komplians dinding dada, mencegah disinkroni pernapasan, dan
mengurangi tekanan udara puncak (315). Kelumpuhan otot juga dapat
mengurangi konsumsi oksigen dengan mengurangi kerja pernapasan dan aliran
darah otot pernafasan (316). Namun, uji klinis acak terkontrol-plasebo pada
pasien dengan sepsis berat menunjukkan bahwa pemberian oksigen, konsumsi
oksigen, dan pH intramukosal lambung tidak membaik selama blokade
neuromuskuler yang mendalam (317).
Baru-baru ini sebuah uji klinis secara acak mengenai infus cisatracurium
kontinyu pada pasien dengan ARDS awal dan Pao2/Fio2< 150 mm Hg
menunjukkan peningkatan grade ketahanan hidup disesuaikan dan hari bebas-
kegagalan organ tanpa peningkatan risiko kelemahan ICU-acquired
dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan plasebo (318). Para peneliti
menggunakan dosis tinggi cisatracurium yang tetap tanpa monitoring train -of -
four , dan setengah dari pasien dalam kelompok plasebo menerima setidaknya
satu dosis tunggal NMBA. Apakah NMBA lain akan memiliki efek yang sama
tidak diketahui. Meskipun banyak pasien yang terdaftar dalam uji ini
kelihatannya memenuhi kriteria sepsis, tidak jelas apakah hasil yang sama akan
terjadi pada pasien sepsis. Sebuah Tabel Ringkasan Bukti GRADEpro tentang
penggunaan NMBA pada ARDS muncul dalam Tambahan Konten digital 5
(http://links.lww.com/CCM/A615).
Hubungan antara penggunaan NMBA dan miopati dan neuropati telah
diusulkan oleh studi kasus dan studi prospektif observasional pada populasi
perawatan kritis (315,319-322), tetapi mekanisme NMBA menghasilkan atau
berkontribusi terhadap miopati dan neuropati pada pasien ini tidak diketahui.
Meski belum ada penelitian khusus untuk populasi pasien septik, tampaknya
bijaksana secara klinis, berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, bahwa
NMBA tidak diberikan kecuali terdapat indikasi yang jelas untuk blokade
neuromuskuler yang tidak dapat dicapai dengan aman menggunakan sedasi dan
analgesia yang sesuai (315).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 73
Hanya satu uji acak terkontrol prospektif yang telah membandingkan
stimulasi saraf perifer dan penilaian klinis standar pada pasien ICU. Rudis et al
(323) mengacak 77 pasien kritis ICU yang membutuhkan blokade
neuromuskular untuk menerima dosis dari vecuronium berdasarkan stimulasi
train-of-four atau penilaian klinis (kelompok kontrol). Kelompok stimulasi
saraf perifer menerima obat lebih sedikit dan memulih fungsi neuromuskuler
dan ventilasi spontan lebih cepat dari kelompok kontrol. Penelitian
nonrandomized observasional telah menyarankan bahwa pemantauan saraf
perifer mengurangi atau tidak berpengaruh pada pemulihan klinis NMBA di
ICU (324, 325).
Manfaat bagi monitoring neuromuskuler, termasuk pemulihan fungsi
neuromuskuler lebih cepat dan waktu intubasi lebih pendek, tampaknya ada.
Potensi penghematan biaya (pengurangan dosis total NMBA dan pemendekan
waktu intubasi) mungkin juga ada, meskipun hal ini belum diteliti secara resmi.
Q. Kontrol Glukosa
1. Kami merekomendasikan pendekatan berprotokol untuk manajemen
glukosa darah pada pasien ICU dengan sepsis berat, mulai dosis insulin
ketika dua kadar glukosa darah berturut-turut > 180 mg/dL. Pendekatan ini
harus menargetkan kadar glukosa darah atas ≤ 180 mg /dL daripada target
glukosa darah atas ≤ 110 mg/dL (grade 1A).
2. Kami merekomendasikan nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2
jam sampai nilai glukosa dan grade infus insulin stabil, kemudian setiap 4
jam sesudahnya (grade 1C).
3. Kami merekomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan
pengujian point- of care darah kapiler ditafsirkan dengan hati-hati, karena
pengukuran tersebut mungkin tidak secara akurat memperkirakan nilai
glukosa darah arteri atau plasma (UG).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 74
Dasar. Sebuah uji acak terkontrol single-center besar pada ICU bedah
jantung predominan menunjukkan penurunan kematian di ICU dengan insulin
intravena intensif (protokol Leuven) menargetkan glukosa darah 80-110 mg/dL
(326). Randomized trial kedua pada terapi insulin intensif menggunakan
protokol Leuven mendaftarkan pasien ICU medis dengan mengantisipasi lama
inap ICU lebih dari 3 hari dalam tiga buah ICU medis dan mortalitas secara
keseluruhan tidak berkurang (327).
Sejak studi-studi tersebut (326, 327) dan Pedoman Penanggulangan Sepsis
sebelumnya (7) muncul, beberapa uji acak terkontrol (128, 328-332) dan meta-
analisis (333-337) terapi insulin intensif telah dilakukan. Beberapa uji acak
terkontrol tersebut mempelajari populasi campuran pasien ICU bedah dan
medis (128, 328-332) dan menemukan bahwa terapi insulin intensif tidak
secara signifikan menurunkan angka kematian (128, 328-332), sedangkan uji
NICE-SUGAR menunjukkan peningkatan mortalitas (331). Semua studi (128,
326-332) melaporkan insiden hipoglikemia parah yang jauh lebih tinggi
(glukosa ≤ 40 mg/dL) (6% - 29%) dengan terapi insulin intensif. Beberapa
meta-analisis menegaskan bahwa terapi insulin intensif tidak terkait dengan
kematian pada pasien ICU bedah, medis, atau campuran (333, 335, 337). Meta-
analisis oleh Griesdale dkk (334), menggunakan perbandingan antara-uji
terutama didorong oleh studi 2001 oleh van den Berghe et al (326),
menemukan bahwa terapi insulin intensif menguntungkan pada pasien ICU
bedah (rasio risiko, 0,63 [0,44-0,9]), sedangkan meta-analisis oleh Friedrich et
al (336), menggunakan perbandingan melalui-uji, menunjukkan tidak ada
manfaat untuk pasien bedah di ICU campuran medis-bedah (rasio risiko 0.99
[0,82-1,11]) dan tidak ada subkelompok pasien bedah yang diuntungkan dari
terapi insulin intensif. Menariknya, uji acak terkontrol yang dilaporkan (326,
327) membandingkan terapi insulin intensif untuk kontrol tinggi (180-200 mg /
dL) (OR , 0,89 [ 0,73-1,09 ]), sedangkan penelitian yang tidak menunjukkan
manfaat (330-332) membandingkan terapi intensif sampai kontrol sedang (108-
Baca Buku dr. Rohmat A Page 75
180 mg / dL) [OR , 1,14 (1,02 sampai -1.26)]. Lebih detilnya dapat dilihat
Tambahan Digital Content 6 (http://links.lww.com/CCM/A615).
Pemicu untuk memulai protokol insulin pada grade glukosa darah > 180
mg/dL dengan sasaran kadar glukosa darah atas <180 mg/dL berasal dari studi
NICE-SUGAR (331), yang menggunakan nilai-nilai tersebut untuk memulai
dan menghentikan terapi. Uji NICE-SUGAR adalah studi yang terbesar, yang
paling menarik sampai saat ini mengenai kontrol glukosa pada pasien ICU
mengingat diinklusikannya ICU dan rumah sakit multipel dan populasi pasien
umum. Beberapa organisasi kesehatan, termasuk American Association of
Clinical Endocrinologist, American Diabetes Association, American Heart
Association, American College of Physicians, dan Society of Critical Care
Medicine, telah menerbitkan pernyataan konsensus untuk kontrol glikemik
pasien rawat inap (338-341). Pernyataan-pernyataan tersebut umumnya
menargetkan kadar glukosa antara 140 dan 180 mg / dL. Karena tidak ada bukti
bahwa menarget antara140 dan 180 mg / dL berbeda dari menarget 110 hingga
140 mg /dL, rekomendasi menggunakan sasaran glukosa darah atas ≤ 180 mg /
dL tanpa target lebih rendah selain hipoglikemia. Perngobatan sebaiknya
menghindari hiperglikemia (> 180 mg/dL), hipoglikemia, dan ayunan luas
kadar glukosa. Kelanjutan infus insulin, terutama disertai penghentian gizi,
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko hipoglikemia (332). Gizi seimbang
mungkin berkaitan dengan penurunan risiko hipoglikemia (342). Beberapa
studi telah menyarankan bahwa variabilitas kadar glukosa dari waktu ke waktu
merupakan faktor penentu penting dari kematian (343-345). Hiperglikemia dan
variabilitas glukosa tampaknya tidak berhubungan dengan meningkatnya angka
kematian pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien nondiabetes (346,
347).
Beberapa faktor dapat mempengaruhi akurasi dan reproduksibilitas dari uji
point-of care glukosa darah kapiler darah, termasuk jenis dan model perangkat
yang digunakan, keahlian pengguna, dan faktor pasien, termasuk hematokrit
(elevasi palsu dengan anemia), Pao2, dan obat-obatan (348). Nilai glukosa
Baca Buku dr. Rohmat A Page 76
plasma menggunakan uji point-of-care kapiler telah diketahui tidak akurat
dengan elevasi palsu yang sering (349, 350) dalam rentangan grade glukosa
(350), tetapi terutama dalam rentang hipoglikemik (349, 351) dan rentang
hiperglikemia (351) dan pada pasien hipotensi (352) atau pasien yang
menerima katekolamin (353). Sebuah review mengenai 12 protokol infus
insulin yang diterbitkan untuk pasien sakit kritis menunjukkan variabilitas luas
dalam rekomendasi dosis dan variabel kontrol glukosa (354). Kurangnya
konsensus tentang dosis insulin intravena optimal mungkin mencerminkan
variabilitas pada faktor pasien (grade keparahan penyakit, pengaturan medis vs
bedah), atau pola praktek (misalnya, pendekatan untuk makan, dekstrosa
intravena) dalam lingkungan di mana protokol ini dikembangkan dan diuji.
Atau, beberapa protokol mungkin lebih efektif daripada yang lain, kesimpulan
didukung oleh variabilitas luas grade hipoglikemia yang dilaporkan dengan
protokol (128, 326-333). Dengan demikian, penggunaan protokol insulin yang
ditegakkan adalah penting tidak hanya untuk perawatan klinis, tetapi juga
untuk pelaksanaan uji klinis untuk menghindari hipoglikemia, efek samping,
dan penghentian prematur dari uji coba sebelum sinyal efikasi, jika ada, dapat
ditentukan. Beberapa studi telah menyarankan bahwa algoritma berbasis
komputer menghasilkan kontrol glikemik yang lebih ketat dengan penurunan
risiko hipoglikemia (355, 356). Diperlukan studi lebih lanjut mengenai
protokol yang tervalidasi, aman, dan efektif untuk mengendalikan kadar gula
darah dan variabilitas dalam populasi sepsis berat.
R. Terapi Pengganti Ginjal
1. Kami mengusulkan bahwa terapi pengganti ginjal kontinyu dan
hemodialisis intermiten sama pada pasien dengan sepsis berat dan gagal
ginjal akut karena keduanya menunjukkan grade kelangsungan hidup
jangka pendek yang sama (grade 2B).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 77
2. Kami menyarankan penggunaan terapi kontinyu untuk membantu dalam
manajemen keseimbangan cairan pada pasien sepsis dengan hemodinamik
tidak stabil (grade 2D).
Dasar. Meskipun berbagai penelitian nonrandomized telah melaporkan
kecenderungan yang tidak signifikan terhadap peningkatan kelangsungan hidup
dengan menggunakan metode kontinyu (357-364), dua meta -analisis (365,
366) melaporkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada mortalitaas di
rumah sakit antara pasien yang menerima terapi pengganti ginjal kontinyu dan
intermiten. Ketidakhadiran dari manfaat nyata pada salah satu modalitas
terhadap yang lain tetap ada bahkan ketika analisis terbatas pada studi uji acak
terkontrol (366). Sampai saat ini, lima uji acak terkontrol prospektif telah
diterbitkan (367-371), empat di antaranya menemukan tidak ada perbedaan
mortalitas yang signifikan (368-371), sementara satu menemukan mortalitas
yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok pengobatan kontinyu (367),
tetapi randomisasi yang tidak seimbang telah menyebabkan keparahan penyakit
awal yang lebih tinggi dalam kelompok ini. Ketika model multivariabel
digunakan untuk menyesuaikan grade keparahan penyakit , tidak ada
perbedaan jelas dalam mortalitas antara kelompok (367). Kebanyakan studi
yang membandingkan mode penggantian ginjal pada sakit kritis memasukkan
sejumlah kecil pasien dan beberapa kelemahan utama (yaitu, kegagalan
randomisasi, modifikasi dari protokol terapi selama masa studi, kombinasi dari
berbagai jenis terapi pengganti ginjal terus menerus, sejumlah kecil kelompok
pendaftar heterogen). uji acak terkontrol terbaru dan terbesar (371) mendaftar
360 pasien dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam
kelangsungan hidup antara kelompok kontinyu dan intermittent . Selain itu,
tidak ada bukti yang mendukung penggunaan terapi terus menerus pada sepsis
independen dengan kebutuhan pengganti ginjal.
Tidak ada bukti yang mendukung toleransi yang lebih baik dengan terapi
kontinyu berkaitan dengan toleransi hemodinamik masing-masing metode. Dua
studi prospektif (369, 372) telah melaporkan toleransi hemodinamik lebih baik
Baca Buku dr. Rohmat A Page 78
dengan terapi kontinyu, tanpa peningkatan daerah perfusi (372) dan tidak ada
manfaat kelangsungan hidup (369). Empat studi prospektif lain tidak
menemukan perbedaan signifikan tekanan rata-rata arteri atau penurunan
tekanan sistolik antara dua metode (368, 370, 371, 373). Dua studi melaporkan
peningkatan yang signifikan dalam pencapaian tujuan dengan metode kontinyu
(367, 369) berkaitan dengan manajemen keseimbangan cairan. Singkatnya,
bukti tidak cukup untuk menarik kesimpulan yang kuat mengenai modus terapi
penggantian untuk gagal ginjal akut pada pasien sepsis.
Pengaruh dosis penggantian ginjal terus menerus pada hasil pasien dengan
gagal ginjal akut telah menunjukkan hasil yang kabur (374, 375). Tak satu pun
dari percobaan ini dilakukan secara khusus pada pasien dengan sepsis.
Meskipun beratnya bukti menunjukkan bahwa dosis tinggi penggantian ginjal
dapat berhubungan dengan hasil yang lebih baik, hasil ini tidak dapat
digeneralisasikan. Dua uji random multicenter besar yang membandingkan
dosis penggantian ginjal (Acute Renal Failure Trial Network di Amerika
Serikat dan RENAL Renal Replacement Therapy Study di Australia dan
Selandia Baru ) gagal untuk menunjukkan manfaat dosis ginjal pengganti yang
lebih agresif. (376, 377). Dosis khas untuk terapi penggantian ginjal terus
menerus berkisar antara 20 sampai 25 mL/kg/jam generasi efluen.
S. Terapi Bikarbonat
1. Kami merekomendasikan penggunaan terapi natrium bikarbonat untuk
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada
pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi asidosis laktat dengan pH ≥ 7.15
(tingkat 2B).
Dasar. Meskipun terapi bikarbonat dapat berguna dalam membatasi
volume tidal pada ARDS dalam beberapa situasi hypercapnia permisif (lihat
bagian, Ventilasi Mekanik ARDS), namun tidak ada bukti yang mendukung
penggunaan terapi bikarbonat dalam pengobatan hipoperfusi diinduksi
asidemia laktat yang berhubungan dengan sepsis. Two blinded, randomized
control trial crossover yang membandingkan saline equimolar dan bikarbonat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 79
pada pasien dengan asidosis laktat gagal mengungkapkan perbedaan dalam
variabel hemodinamik atau kebutuhan vasopressor (378, 379). Jumlah pasien
dengan pH <7.15 dalam penelitian ini sedikit. Pemberian bikarbonat telah
dihubungkan dengan kelebihan natrium dan cairan, peningkatan laktat dan
Pco2, dan penurunan serum kalsium terionisasi, tetapi hubungan variabel-
variabel tersebut terhadap hasilnya tidak jelas. Pengaruh pemberian bikarbonat
pada hemodinamik dan kebutuhan vasopressor di pH yang rendah, serta efek
hasil klinis pada pH berapapun, tidak diketahui. Tidak ada penelitian yang
meneliti efek pemberian bikarbonat.
T. Profilaksis Thrombosis Vena Dalam
1. Kami merekomendasikan pasien dengan sepsis berat menerima farmako
profilaksis harian untuk Tromboemboli Vena (TEV) (tingkat 1B). Kami
merekomendasikan bahwa hal ini dapat dicapai dengan low molecular
weight heparin (LMWH) subkutan harian (tingkat 1B dibandingkan
unfractionated heparin [UFH] dua kali sehari dan tingkat 2C
dibandingkan dengan UFH diberikan tiga kali sehari). Jika creatinin
clearance adalah <30 mL / menit, kami merekomendasikan menggunaan
dalteparin (tingkat 1A) atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki
tingkat metabolisme ginjal yang rendah (tingkat 2C) atau UFH (tingkat
1A).
2. Kami menyarankan bahwa pasien dengan sepsis berat dapat diobati
dengan kombinasi terapi farmakologis dan Intermittent Compression
Devices bila memungkinkan (tingkat 2C).
3. Kami merekomendasikan bahwa pasien sepsis yang memiliki
kontraindikasi pada penggunaan heparin (misalnya, trombositopenia,
koagulopati yang parah, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral baru-
baru ini) untuk tidak menggunakan farmako profilaksis (derajat 1B).
Sebaliknya kami sarankan mereka menerima pengobatan profilaksis
mekanik, seperti Graduated compression stockings atau Intermittent
Compression Devices (tingkat 2C), kecuali bila terdapat kontraindikasi.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 80
Ketika risiko menurun, kami sarankan untuk mulai menggunakan farmako
profilaksis (tingkat 2C).
Dasar. Pasien ICU beresiko terjadi Trombosis Vena Dalam (TVD) (380).
Ini merupakan hal yang logis bahwa pasien dengan sepsis berat akan berada
pada risiko yang sama atau lebih tinggi dari populasi ICU umum. Konsekuensi
dari TEV dalam kasus sepsis (peningkatan risiko emboli paru yang fatal pada
pasien dengan penurunan fungsi hemodinamik) adalah mengerikan. Oleh
karena itu, pencegahan TEV sangat diperlukan sekali, terutama jika hal itu
dapat dilakukan dengan aman dan efektif.
Profilaksis umumnya efektif. Secara khusus, sembilan kontrol placebo uji
acak terkontrol dari profilaksis TEV telah dilakukan pada populasi umum
pasien dengan sakit akut (381-389). Semua percobaan menunjukkan penurunan
TVD atau emboli paru, manfaat ini juga didukung oleh meta-analisis (390,
391). Dengan demikian, bukti sangat mendukung nilai profilaksis TEV (tingkat
1A). Prevalensi infeksi / sepsis adalah 17% pada penelitian yang mana dapat
dipastikan. Hanya satu penelitian yang meneliti pasien ICU saja, dan 52% dari
mereka yang terdaftar mengalami infeksi/sepsis. Kebutuhan untuk
memperhitungkan secara umum, pasien sakit akut dengan pasien sakit kritis
dengan pasien sepsis menurunkan bukti. Efek tersebut jelas dan data yang kuat
agak mengurangi perhitungan, yang mengarah ke penentuan tingkat B. Karena
risiko pemberian pada pasien adalah kecil, kekuatan untuk tidak memberikan
mungkin lebih baik, dan biaya rendah, kekuatan rekomendasi kuat (1).
Memutuskan bagaimana cara memberikan profilaksis adalah jelas lebih
sulit. The Canadian Critical Care Trials Group membandingkan UFH (5000
IU dua kali sehari) dengan LMWH (dalteparin, 5000 IU sekali per hari dan
suntikan plasebo kedua untuk memastikan parallel-group equivalence) (392).
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada TVD asimptomatik yang ditemukan
antara kedua kelompok (rasio hazard, 0,92, 95% CI, 0,68-1,23, p = 0.57), tetapi
proporsi pasien yang didiagnosis dengan emboli paru pada CT scan,
probabilitas tinggi ventilation perfusion scan, atau otopsi secara signifikan
lebih rendah pada kelompok LMWH (rasio hazard, 0,51, 95% CI, 0,30-0,88, p
Baca Buku dr. Rohmat A Page 81
= 0,01). Penelitian ini tidak memperhitungkan penggunaan bentuk-bentuk lain
dari LMWH. Data ini menunjukkan bahwa LMWH (dalteparin) adalah pilihan
pengobatan di atas pemberian UFH dua kali sehari pada pasien dengan sakit
kritis. Juga, karena penelitian ini termasuk pasien sepsis, bukti yang
mendukung penggunaan dalteparin di atas UFH dua kali sehari pada pasien
sakit kritis, dan juga mungkin pasien sepsis, adalah kuat. Demikian pula,
sebuah meta-analisis dari sakit akut, pasien medis umum membandingkan UFH
dua kali dan tiga kali sehari menunjukkan bahwa rejimen yang terakhir adalah
lebih efektif untuk mencegah TEV, tetapi dosis dua kali sehari menghasilkan
pendarahan yang lebih sedikit (393). Kedua pasien dengan sakit kritis dan
pasien sepis dimasukkan dalam analisis ini, tetapi jumlah mereka tidak jelas.
Meskipun demikian, kualitas bukti yang mendukung penggunaan tiga kali
sehari, berbeda dengan dua kali sehari, dosis UFH dalam mencegah TEV pada
pasien medis akut adalah tinggi (A). Namun, membandingkan LMWH
terhadap UFH dua kali sehari, atau UFH dua kali sehari terhadap UFH tiga kali
sehari, pada sepsis membutuhkan perhitungan, menurunkan data. Tidak
terdapat data pada perbandingan langsung dari LMWH terhadap UFH yang
diberikan tiga kali sehari, dan juga tidak ada penelitian yang secara langsung
membandingkan pemberian dua kali sehari dan tiga kali sehari dosis UFH pada
pasien septis atau pasien dengan sakit kritis. Oleh karena itu, tidaklah mungkin
untuk menyatakan bahwa LMWH lebih unggul dari pemberian UHF tiga kali
sehari atau pemberian dosis tiga kali sehari lebih unggul dari pemberian dua
kali sehari pada sepsis. Hal Ini menurunkan kualitas bukti dan juga
rekomendasi.
Douketis et al (394) melakukan penelitian terhadap 120 pasien sakit kritis
dengan cedera ginjal akut (creatinin clearance <30 mL / menit) yang
menerima profilaksis TEV dengan dalteparin 5000 IU setiap hari selama antara
4 dan 14 hari dan memiliki setidaknya satu anti-faktor Xa kadar terendah yang
terukur. Tidak ada pasien yang memiliki bio-akumulasi (kadar anti-faktor Xa
lebih rendah dari 0,06 IU / mL). Insiden perdarahan mayor agak lebih tinggi
daripada dalam uji coba dengan agen lainnya, tetapi kebanyakan penelitian lain
Baca Buku dr. Rohmat A Page 82
tidak melibatkan pasien dengan sakit kritis yang memiliki risiko perdarahan
lebih tinggi. Selanjutnya, perdarahan tidak berkorelasi dengan kadar terendah
yang terdeteksi (394). Oleh karena itu, kami merekomendasikan bahwa
dalteparin dapat diberikan untuk pasien sakit kritis dengan gagal ginjal akut
(A). Data pada LMWHs lainnya adalah kurang. Akibatnya, bentuk ini
mungkin harus dihindari atau, jika digunakan, kadar anti-faktor Xa harus
dipantau (tingkat 2C). UFH tidak dibersihkan melalui renal dan aman (tingkar
1A).
Metode mekanis (intermittent compression devices and graduated
compression stockings) dianjurkan ketika antikoagulasi merupakan
kontraindikasi (395-397). Sebuah meta-analisis dari 11 studi, termasuk enam
UJI ACAK TERKONTROL, diterbitkan dalam Cochrane Library
menyimpulkan bahwa kombinasi farmakologis dan profilaksis mekanik adalah
yang paling unggul terhadap modalitas dalam mencegah TVD saja dan lebih
baik daripada kompresi saja dalam mencegah emboli paru (398). Analisis ini
tidak fokus pada sepsis atau pasien dengan sakit kritis tetapi meliputi studi
profilaksis setelah operasi ortopedi, pelvic, dan jantung. Selain itu, jenis
profilaksis farmakologis bervariasi, termasuk UFH, LMWH, aspirin, dan
warfarin. Meskipun demikian, risiko minimal terkait dengan compression
devices membawa kita untuk merekomendasikan terapi kombinasi dalam
banyak kasus. Pada pasien berisiko sangat tinggi, LMWH lebih disukai
daripada UFH (392, 399-401). Pasien yang menerima heparin harus dipantau
terhadap terjadinya trombositopenia diinduksi heparin. Rekomendasi ini sesuai
dengan yang dikembangkan oleh American College of Chest Physicians (402).
U. Profilaksis Stres Ulcer
1. Kami merekomendasikan bahwa profilaksis stres ulcer menggunakan H2
blocker atau proton pump inhibitor diberikan kepada pasien dengan sepsis
berat / syok septik yang mengalami faktor risiko perdarahan (tingkat 1B).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 83
2. Ketika profilaksis stres ulcer digunakan, kami menyarankan menggunakan
inhibitor pompa proton daripada antagonis reseptor H2 (H2RA) (tingkat
2C).
3. Kami menyarankan bahwa pasien tanpa faktor risiko seharusnya tidak
menerima profilaksis (kelas 2B).
Dasar. Meskipun tidak ada penelitian yang dilakukan secara khusus pada
pasien dengan sepsis berat, percobaan mengkonfirmasi manfaat dari profilaksis
stres ulcer dalam mengurangi perdarahan gastrointestinal (GI) bagian atas pada
populasi umum ICU termasuk 20% sampai 25% pasien dengan sepsis (403-
406). Manfaat ini harus berlaku untuk pasien dengan sepsis berat dan syok
septik. Selain itu, faktor risiko perdarahan GI (misalnya, koagulopati, ventilasi
mekanik selama minimal 48 jam, kemungkin hipotensi) sering terjadi pada
pasien dengan sepsis berat dan syok septik (407, 408). Pasien tanpa faktor
risiko ini tidak mungkin (0,2%, 95% CI, 0,02-0,5) memiliki pendarahan secara
klinis yang berarti (407). meta-analisis yang baru dan lama menunjukkan
profilaksis menyebabkan berkurangnya perdarahan GI bagian atas signifikan
secara klinis, yang kami anggap signifikan bahkan tanpa adanya manfaat
mortalitas yang terbukti (409-411). Manfaat pencegahan perdarahan GI bagian
atas harus dipertimbangkan terhadap efek potensi (tidak terbukti) peningkatan
pH lambung pada insiden lebih besar dari VAP dan Infeksi C. difficile (409,
412, 413).(Lihat Supplemental Digital Content 7 dan 8
[http://links.lww.com/CCM A615], Ringkasan Tabel Bukti terhadap efek
pengobatan pada hasil yang spesifik.) Dalam hipotesis perhitungan, kita
menganggap (seperti yang dilakukan penulis meta-analisis) (411) kemungkinan
keuntungan yang kurang dan lebih berbahaya pada profilaksis di antara pasien
yang menerima nutrisi enteral tetapi memutuskan untuk memberikan satu
rekomendasi sambil menurunkan kualitas bukti. Keseimbangan manfaat dan
risiko mungkin tergantung pada karakteristik pasien secara individu dan juga
pada epidemiologi lokal VAP dan Infeksi C. difficile. Dasar untuk
mempertimbangkan hanya menekan produksi asam (dan tidak sukralfat)
didasarkan pada penelitian dari 1.200 pasien oleh Cook et al membandingkan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 84
H2 blocker dan sukralfat (414). Meta-analisis yang lebih baru memberikan
bukti dengan kualitas rendah menunjukkan perlindungan perdarahan GI lebih
efektif dengan penggunaan inhibitor pompa proton dari pada dengan H2RA
(415-417). Pasien harus secara berkala dievaluasi untuk kebutuhan lebih lanjut
profilaksis.
V. Nutrisi
1. Kami menyarankan pemberian makanan oral atau enteral (jika perlu),
sebagai toleransi, daripada puasa lengkap atau hanya penyediaan glukosa
intravena dalam 48 jam setelah diagnosis sepsis berat / syok septik (tingkat
2C).
2. Kami menyarankan menghindari makan dengan kalori penuh yang
dibutuhkan pada minggu pertama, melainkan menyarankan makan dengan
dosis rendah (misalnya, sampai dengan 500 kkal per hari), kedepannya
hanya sebagai toleransi (tingkat 2B).
3. Kami sarankan untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral
daripada Nutrisi Parenteral Total (NPT) saja atau nutrisi parenteral dalam
hubungannya dengan makanan enteral dalam 7 hari pertama setelah
diagnosis sepsis berat / syok septik (tingkat 2B).
4. Kami menyarankan menggunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi
spesifik pada pasien dengan sepsis berat (tingkat 2C).
Dasar. Nutrisi enteral dini memiliki kelebihan teoritis dalam integritas
mukosa usus dan pencegahan translokasi bakteri dan disfungsi organ, tetapi
juga memperhatikan risiko iskemia, terutama pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil.
Sayangnya, tidak ada uji klinis yang secara khusus ditujukan pada
pemberian makan dini pada pasien sepsis. Penelitian pada subpopulasi yang
berbeda dari pasien dengan sakit kritis, kebanyakan pasien bedah, tidak
konsisten, dengan variabilitas yang besar dalam kelompok intervensi dan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 85
kontrol, semua memiliki kualitas metodologis rendah (418-427) dan tidak ada
yang secara individu mendukung mortalitas, dengan angka kematian yang
sangat rendah (418-420, 423, 426). Penulis meta-analisis sebelumnya
mengenai strategi nutrisi optimal untuk sakit yang kritis semua melaporkan
bahwa penelitian yang mereka masukkan memiliki heterogenitas yang tinggi
dan kualitas rendah (418-430). Meskipun tidak ada efek yang konsisten
terhadap mortalitas ysng diamati, terdapat bukti manfaat dari beberapa
prmberian makanan enteral dini pada hasil sekunder, seperti mengurangi
kejadian komplikasi infeksi (418, 422, 426, 427-430), mengurangi masa
penggunaan ventilasi mekanik (421, 427), dan mengurangi lamanya tinggal di
ICU (421, 427) dan di rumah sakit (428). Tidak ada bukti mengenai bahaya
yang ditunjukan pada setiap penelitian mereka. Oleh karena itu, terdapat bukti
yang cukup untuk mengeluarkan rekomendasi yang kuat, tapi saran dari
manfaat dan tidak adanya bahaya mendukung bahwa beberapa makanan enteral
diperbolehkan.
Penelitian membandingkan pemberian makanan enteral dini kalori penuh
dengan target yang lebih rendah dalam sakit kritis telah menghasilkan hasil
yang kurang jelas. Dalam empat penelitian, tidak ada efek kematian yang
terlihat (431-434), satu melaporkan komplikasi infeksi lebih yang sedikit (431),
dan yang lainnya melaporkan peningkatan diare dan residual lambung (433,
434) dan peningkatan kejadian komplikasi infeksi dengan makan kalori penuh (
432). Dalam studi lain, angka kematian lebih besar dengan pemberian makan
yang lebih tinggi, tetapi perbedaan dalam strategi pemberian makan yang
sederhana dan ukuran sampel kecil (435). Oleh karena itu, bukti tidak cukup
untuk mendukung target awal asupan kalori penuh dan, memang, beberapa
kemungkinan terdapat bahaya. Underfeeding (60% -70% dari target) atau
trophic feeding (batas atas 500 kkal) mungkin strategi nutrisi yang lebih baik di
minggu pertama sepsis berat / syok septik. Batas atas ini untuk trophic feeding
adalah jumlah yang sewenang-wenang, tetapi sebagian didasarkan pada
kenyataan bahwa dua studi baru-baru ini menggunakan rentang 240-480 kkal
Baca Buku dr. Rohmat A Page 86
(433, 434). Underfeeding / strategi trophic feeding tidak mengecualikan
memajukan diet sesuai toleransi pada mereka yang meningkat dengan cepat.
Beberapa bentuk nutrisi parenteral telah dibandingkan dengan strategi
makan alternatif (misalnya, puasa atau nutrisi enteral) di lebih dari 50 studi,
meskipun hanya satu penelitian sepsis secara eksklusif (436), dan delapan
meta-analisis telah diterbitkan (429, 437-443 ). Dua dari meta-analisis
merangkumkan perbandingan nutrisi parenteral vs puasa atau glukosa intravena
(437, 438), dan enam melihat nutrisi enteral vs parenteral (429, 439-443), dua
di antaranya berusaha untuk mengeksplorasi efek dari nutrisi enteral awal (441,
442). Baru-baru ini, sebuah penelitian yang jauh lebih besar daripada
kebanyakan uji nutrisi sebelumnya membandingkan pasien ICU secara acak
terhadap penggunaan awal nutrisi parenteral untuk menambah makanan enteral
vs makanan enteral dengan inisiasi lambat nutrisi parenteral jika perlu (444).
Tidak ada bukti yang langsung mendukung manfaat atau bahaya nutrisi
parenteral dalam 48 jam pertama pada sepsis. Sebaliknya, bukti yang
dihasilkan terutama dari pasien bedah, luka bakar, dan trauma. Tak satu pun
dari meta-analisis melaporkan manfaat mortalitas dengan nutrisi parenteral,
kecuali satu menyarankan nutrisi parenteral mungkin lebih baik daripada
terlambat pengenalan nutrisi enteral (442). Beberapa menyarankan bahwa
nutrisi parenteral memiliki komplikasi infeksi lebih tinggi dibandingkan
dengan puasa atau glukosa intravena dan nutrisi enteral (429, 431, 438, 439,
442). Makanan enteral dikaitkan dengan angka komplikasi enteral yang lebih
tinggi (misalnya diare) dibandingkan nutrisi parenteral (438).Penggunaan
nutrisi parenteral untuk suplemen makanan enteral juga dianalisis oleh
Dhaliwal et al (440), yang juga melaporkan tidak terdapat manfaat. Uji coba
oleh Casaer et al (444) melaporkan bahwa inisiasi dini nutrisi parenteral
menyebabkan tinggal dirumah sakit dan ICU lebih lama, durasi yang lebih
lama dari dukungan organ, dan insiden yang lebih tinggi terhadap infeksi yang
di dapat dari ICU. Seperlima dari pasien mengalami sepsis dan tidak ada bukti
heterogenitas efek pengobatan di seluruh subkelompok, termasuk sepsis. Oleh
karena itu, tidak ada penelitian yang menunjukkan keunggulan TPN enteral
Baca Buku dr. Rohmat A Page 87
saja di 24 jam pertama. Bahkan, ada usulan agar nutrisi enteral mungkin
sebenarnya unggul terhadap TPN vis-à-vis komplikasi infeksi dan
kemungkinan kebutuhan untuk perawatan intensif dan dukungan organ.
Fungsi sistem kekebalan tubuh dapat diubah melalui perubahan dalam
pasokan nutrisi tertentu, seperti arginin, glutamin, atau asam lemak omega-
3.Sejumlah penelitian telah menilai apakah penggunaan agen ini sebagai
suplemen gizi dapat mempengaruhi jalannya penyakit kritis, tetapi hanya
sedikit secara khusus menunjukkan penggunaan awal mereka dalam sepsis.
Empat meta-analisis mengevaluasi nutrisi peningkatan imun dan tidak
menemukan perbedaan dalam mortalitas, baik pada pasien bedah atau medis
(445-448). Namun, mereka menganalisis semua penelitian bersama-sama,
terlepas dari kompenen imun yang digunakan, yang menurunkan kesimpulan
mereka. penelitian individu lainnya menganalisis diet dengan campuran
arginin, glutamin, antioksidan, dan / atau omega-3 dengan hasil negatif (449,
450) termasuk sebuah penelitian kecil pada pasien sepsis menunjukkan
peningkatan yang tidak signifikan dalam mortalitas ICU (451, 452).
Arginine.
Ketersediaan arginin berkurang pada sepsis, yang dapat menyebabkan
penurunan sintesis nitrat oksida, hilangnya regulasi mikrosirkulasi, dan
meningkatkan produksi superoksida dan peroxynitrite. Namun, suplementasi
arginine dapat menyebabkan vasodilatasi dan hipotensi yang tidak diinginkan
(452, 453). Percobaan manusia terhadap suplementasi L-arginine yang secara
umum berjumlah kecil dan melaporkan efek variabel pada kematian (454-457).
Penelitian pada pasien sepsis menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup,
tetapi memiliki keterbatasan dalam desain penelitian (455). Penelitian lain
menunjukkan bahwa tidak ada manfaat (449, 454, 455) atau kemungkinan
kerugian (455) pada sub-kelompok pasien sepsis. Beberapa penulis menemukan
peningkatan hasil sekunder pada pasien sepsis, seperti mengurangi komplikasi
infeksi (454, 455) dan lama tinggal di rumah sakit (454), tetapi relevansi temuan
ini dalam menghadapi potensial bahaya masih tidak jelas
Baca Buku dr. Rohmat A Page 88
Glutamine.
Kadar glutamin juga berkurang selama sakit kritis. Suplemen eksogen
dapat meningkatkan atrofi dan permeabilitas usus mukosa, mungkin
menyebabkan berkurangnya translokasi bakteri. Manfaat potensial lainnya adalah
meningkatkan fungsi sel kekebalan tubuh, penurunan produksi sitokin pro-
inflamasi, dan meningkatkan kadar kapasitas antioksidan dan glutathione (452,
453). Namun, signifikansi klinis temuan ini tidak ditetapkan secara jelas.
Meskipun meta-analisis sebelumnya menunjukkan penurunan angka
kematian (428), empat meta-analisis lainmya tidak menunjukkan (458-462).
Penelitian kecil lainnya tidak termasuk dalam meta-analisis tersebut memiliki
hasil yang sama (463, 464). Tiga penelitian terbaru yang dirancang dengan baik
juga gagal menunjukkan manfaat mortalitas dalam analisis primer (227, 465,
466), tapi sekali lagi, tidak difokuskan secara khusus pada pasien sepsis. Dua
penelitian kecil pada pasien sepsis menunjukkan tidak ada manfaat angka kematia
(467, 468) tetapi penurunan yang signifikan dalam komplikasi infeksi (467) dan
pemulihan disfungsi organ yang lebih cepat (468). Beberapa penelitian individu
sebelumnya dan meta-analisis menunjukkan hasil sekunder positif, seperti
pengurangan morbiditas infeksi (461, 462, 465) dan disfungsi organ (462). Efek
menguntungkan kebanyakan ditemukan dalam percobaan menggunakan
parenteral daripada enteral glutamin. Namun, studi terbaru dan well-sized tidak
bisa menunjukkan pengurangan komplikasi infeksi (227) atau disfungsi organ
(465, 466), bahkan dengan glutamin parenteral. Sebuah percobaan yang sedang
berlangsung (REDOXS) dari 1.200 pasien akan menguji baik keduanya glutamin
enteral maupun parenteral dan suplemen antioksidan pada keadaan sakit kritis,
pasien ventilasi secara mekanik (469). Meskipun tidak ada manfaat jelas yang
dapat dibuktikan dalam uji klinis dengan glutamin suplemen, tetapi tidak ada
tanda-tanda bahaya yang terlihat.
Asam eicosapentaenoic (AEP) asam lemak omega-3 dan Asam Gamma-
Linolenat (AGL) merupakan prekursor eicosanoid. Prostaglandin, leukotrien, dan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 89
tromboksan dihasilkan dari AEP / AGL kurang kuat daripada derivat equivalent
asam arakidonat mereka, mengurangi dampak pro-inflamasi pada respon imun
(452, 453). Tiga penelitian awal yang dirangkum dalam meta-analisis melaporkan
penurunan signifikan angka kematian, meningkatkan hari tanpa pemakaian
ventilator, dan mengurangi risiko disfungsi organ baru (470). Namun, hanya satu
penelitian pada pasien sepsis (471), tidak ada yang secara individu mendukung
untuk mortalitas (472, 473), dan ketiganya menggunakan diet dengan kadar lemak
omega-6 yang tinggi pada kelompok kontrol, yang mana bukan merupakan
perawatan standar bagi sakit kritis. Para penulis yang pertama kali melaporkan
penurunan mortalitas pada sepsis (471) melakukan penelitian multicenter lanjut
dan menemukan peningkatan pada hasil nonmortalitas, meskipun terutama tidak
ada efek nyata terhadap mortalitas (474). Penelitian lain menggunakan minyak
ikan enteral (475-477) atau parenteral (478-480) gagal untuk mengkonfirmasi
temuan ini pada penyakit kritis secara umum atau cedera paru-paru akut. Dengan
demikian, temuan reproduksi menunjukkan manfaat yang jelas dalam penggunaan
imunomodulasi suplemen gizi pada sepsis, meskipun percobaan yang lebih besar
sedang berlangsung.
W. Menetapkan Tujuan Perawatan
1. Kami merekomendasikan bahwa tujuan perawatan dan prognosis
didiskusikan dengan pasien dan keluarga (tingkat 1B).
2. Kami merekomendasikan bahwa tujuan perawatan dimasukkan ke dalam
perencanaan pengobatan dan perawatan end of life, memanfaatkan
prinsip-prinsip perawatan paliatif yang sesuai (tingkat 1B).
3. Kami menyarankan bahwa tujuan perawatan ditangani sedini mungkin,
namun selambat-lambatnya dalam waktu 72 jam dari masuk ICU (tingkat
2C).
Dasar. Sebagian besar pasien ICU menerima dukungan penuh dengan
agresif, perawatan pendukung kehidupan. Banyak pasien dengan kegagalan sistem
organ multiple atau cedera neurologis berat tidak akan bertahan hidup atau akan
memiliki kualitas hidup yang buruk. Keputusan untuk memberikan perawatan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 90
pendukung hidup yang kurang agresif atau menarik perawatan pendukung hidup
pada pasien ini mungkin hal terbaik bagi pasien dan mungkin apa yang pasien dan
keluarga inginkan (481). Dokter memiliki praktek end of life yang berbeda
berdasarkan wilayah praktek mereka, budaya, dan agama (482). Meskipun hasil
pengobatan perawatan intensif pada pasien dengan sakit kritis mungkin sulit untuk
diprognosis secara akurat, menetapkan tujuan pengobatan realistis adalah penting
dalam mengembangkan perawatan pasien berpusat di ICU (483). Model inisiatif
penataan untuk meningkatkan perawatan di ICU menyoroti pentingnya
menggabungkan tujuan perawatan bersama dengan prognosis untuk menjadi
rencana perawatan (484). Selain itu, membahas prognosis untuk mencapai tujuan
dari perawatan dan tingkat kepastian prognosis telah diidentifikasi sebagai
komponen penting dari pengganti pengambilan keputusan di ICU (485, 486).
Namun, variasi yang ada dalam penggunaan perencanaan perawatan lanjutan dan
integrasi paliatif dan perawatan akhir-hidup di ICU, yang dapat menyebabkan
konflik yang dapat mengancam kualitas keseluruhan perawatan (487, 488).
Penggunaan konferensi perawatan keluarga proaktif untuk mengidentifikasi
arahan lanjutan dan tujuan pengobatan dalam waktu 72 jam dari masuk ICU
memajukan komunikasi dan saling pengertian antara keluarga pasien dan tim
asuhan; meningkatkan kepuasan keluarga, mengurangi stres, kecemasan, dan
depresi pada hidup keluarga; memfasilitasi pengambilan keputusan akhir
kehidupan, dan mengurangi lama tinggal untuk pasien yang meninggal di ICU
(489-494). Pedoman praktek klinis untuk mendukung pasien ICU dan
mendukung keluarga: konferensi awal dan perawatan berulang untuk mengurangi
stres keluarga dan meningkatkan konsistensi dalam komunikasi; membuka
kunjungan yang fleksibel, kehadiran keluarga selama klinis dan resusitasi, dan
perhatian terhadap dukungan budaya dan spiritual (495). Selain itu, integrasi
perencanaan perawatan lanjutan dan perawatan paliatif berfokus pada manajemen
nyeri, kontrol gejala, dan dukungan keluarga telah ditunjukkan untuk
meningkatkan manajemen gejala dan kenyamanan pasien, dan untuk
meningkatkan komunikasi keluarga (484, 490, 496).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 91
TABEL 8. REKOMENDASI: TERAPI SUPORTIF LAINNYA PADA SEPSIS BERAT
K. Pemberian Produk Darah
1. Jika hipoperfusi jaringan telah pulih dan tidak ada kondisi-kondisi penyulit
lainnya, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau
penyakit jantung iskemik, kami merekomendasikan transfusi sel darah
merah dilakukan hanya jika konsentrasi hemoglobin turun sampai <7,0
g/dl hingga mencapai konsentrasi hemoglobin target 7,0-9,0 g/dl pada
pasien dewasa (grade 1B).
2. Tidak menggunakan eritropeietin sebagai terapi spesifik pada anemia yang
berkaitan dengan sepsis berat (grade 1B).
3. Fresh frozen plasma (FFP) tidak digunakan untuk mengoreksi
abnormalitas pembekuan dari hasil pemeriksaan laboratorium tanpa
adanya peradarahan atau rencana prosedur invasif (grade 2D).
4. Tidak menggunakan antitrombin untuk terapi sepsis berat dan syok septik
(grade 1B).
5. Pada pasien dengan sepsi berat, pemberian trombosit untuk profilaksis
dilakukan jika AT <10.000/mm3 (10x109/L) tanpa adanya perdarahan
nyata. Kami menyarankan transfusi trombosit profilaksis jika AT
<20.000/mm3 (20x109/L) jika pasien berisiko tinggi mengalami
perdarahan. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan AT yang lebih tinggi
(≥50.000/mm3 [50x109/L]) disarankan transfusi trombosit jika ada
perdarahan aktif, operasi, atau prosedur invasif (grade 2D).
L. Imunoglobulin
1. Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik (grade 2B).
M. Selenium
1. Tidak menggunakan selenium intravena untuk terapi sepsis berat (grade
2C)
N. Sejarah Rekomendasi Terkait Penggunaan Rekombinan Protein C
Baca Buku dr. Rohmat A Page 92
Teraktivasi (rhAPC)
Sejarah perubahan rekomendasi SSC saat rhAPC masih ada (saat ini sudah
tidak tersedia).
O. Ventilasi Mekanik Pada Sindrom Distres Respiratorik Akut yang
Dikarenakan Sepsis
1. Volume tidal target adalah 6 ml/kg dari prediksi berat badan pada pasien
dengan ARDS yang disebabkan karena sepsis (grade 1A vs 12 ml/kg).
2. Tekanan plateau diukur pada pasien dengan ARDS dan batas atas awalnya
pada paru yang berinflasi secara pasif adalah ≤30 cmH2O (grade 1B).
3. Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) dilakukan untuk menghindari
kolapsnya alveolus pada saat ekspirasi akhir (atelektotrauma) (grade 1B).
4. Strategi-strategi didasarkan pada PEEP yang lebih tinggi daripada yang
rendah untuk digunakan pada pasien dengan ARDS ringan sampai berat
karena sepsis (grade 2C).
5. Manuver recruitment digunakan pada pasien sepsis dengan hipoksemia
refrakter berat (grade 2C).
6. Pemosisian tengkurap digunakan pada pasien ARDS akibat sepsis dengan
rasio PaO2/FiO2 ≤100 mmHg di fasilitas kesehatan yang berpengalaman
dengan praktik ini (grade 2B).
7. Pasien sepsis yang dipasang ventilasi mekanik dipertahankan dalam posisi
kepala elevasi 30-45 derajat terhadap tempat tidur untuk meminimalisir
risiko aspirasi dan mencegah terjadinya pneumonia akibat ventilator
(grade 2B).
8. Ventilasi masker non-invasif (NIV) digunakan pada sebagain kecil pasien
dengan ARDS akibat sepsis dimana pemasangan NIV akan memberikan
manfaat dan dianggap mengurasi risiko (grade 2B).
9. Protokol weaning dilakukan dan pada pasien dengan ventilasi mekanik yang
mengalami sepsis berat menjalani uji pernafasan spontan secara teratur
untuk mengevaluasi kemampuan pasien saat ventilasi mekanik dilepas jika
pasien memenuhi kriteria berikut: a) arousable, b) hemodinamik stabil
Baca Buku dr. Rohmat A Page 93
(tanpa agen vasopressor); c) tidak ada potensi infeksi yang baru; d)
kebutuhan akan ventilator dan PEEP yang rendah; dan e) kebutuhan akan
FiO2 yang rendah yang dapat dipenuhi secara aman dengan menggunakan
masker atau kanul nasal. Jika uji pernafasan spontan berhasil, harus
dipertimbangkan ekstubasi (grade 1A).
10. Tidak menggunakan kateter arteri pulmoner pada pasien dengan ARDS
akibat sepsis (grade 1A).
11. Strategi cairan konservatif daripada liberal untuk pasien dengan ARDS
karena sepsis yang tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan (grade
1C).
12. Jika tidak ada indikasi tertentu seperti bronkospasme, maka tidak
digunakan agonis β2 untuk terapi ARDS karena sepsis (grade 1B).
P. Sedasi, Analgsia, dan Blokade Neuromuskuler pada Sepsis
1. Sedasi kontinyu atau intermiten harus diminimalisir pada pasien sepsis
dengan ventilasi mekanik, yang menargetkan titik akhir titrasi tertentu
(grade 1B).
2. Agen-agen blok neuromuskuler (NMBA) sebaiknya dihindari
penggunaannya jika memungkinkan pada pasien sepsis tanpa ARDS
karena risiko blokade neuromukuler yang berkepanjangan setelah agen
tersebut dihentikan. Jika NMBA tetap harus diberikan, baik melalui bolus
intermiten ataupun infus kontinyu dengan dilakukan pemantauan train-of-
four kedalaman blokade (grade 1C).
3. Pemberian NMBA dalam jangka waktu tidak lebih dari 48 jam untuk
pasien dengan ARDS dini akibat sepsis dan rasio PaO2/FiO2 <150 mmHg
(grade 2C).
Q. Kontrol Glukosa
1. Pendekatan berprotokol untuk manajemen glukosa darah pada pasien di
ICU dengan sepsis berat yang
2. Nilai glukosa darah dipantau setiap 1-2 jam sampai nilai glukosa dan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 94
laju infus insulin stabil dan kemudian setiap 4 jam (kelas 1C).
3. Kadar glukosa yang diperoleh dengan tes point-of-care dari darah
kapiler harus diinterpretasikan dengan hati-hati, karena pengukuran
tersebut mungkin tidak akurat dalam memperkirakan nilai darah arteri atau
glukosa plasma (UG).
R. Terapi Pengganti Ginjal
1. Terapi pengganti ginjal secara kontinyu setara dengan hemodialisis
intermiten sama pada pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut
(grade 2B).
2. Gunakan terapi kontinyu untuk membantu manajemen keseimbangan
cairan pada pasien sepsi yang secara hemodinamik tidak stabil (grade 2D).
S. Terapi Bikarbonat
1. Tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk tujuan
memeperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada
pasien dengan asidemia laktat akibat hipoperfusi dengan pH ≥7,15 (grade
2B).
T. Profilaksis Trombosis Vena Dalam
1. Pasien dengan sepsis berat mendapatkan farmafilaksis tiap hari untuk
mencegah tromboemboli vena (grade 1B). Hal ini dilakukan dengan
pemberian heparin berberat molekul rendah (LMWH) secara subkutan tiap
harinya (grade 1B vs UFC dua kali sehari, grade 2C vs UFH tiga kali
sehari). Jika klirens kreatinin <30 ml/menit, gunakan dalteparin (grade 1A)
atau LMWH bentuk lainnya yang memiliki derajat metabolisme ginjal
yang rendah (grade 2C) atau UFH (grade 1A).
2. Pasien dengan sepsis berat diterapi dengan kombinasi terapi
farmakologis dan alat kompresi pneumatik intermiten saat memungkinkan
(grade 2C).
3. Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi pemberian heparin
(misalnya, trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif,
Baca Buku dr. Rohmat A Page 95
perdarahan intraserebri yang baru terjadi) tidak diberikan farmakofilaksis
(grade 1B), namun mendapat terapi profilaksis mekanis, misalnya dengan
stocking kompresi atau alat kompresi intermiten (grade 2C), kecuali ada
kontraindikasi lain. Jika risikonya turun atau berkurang dapat diberikan
farmakofilaksis (grade 2C).
U. Profilaksis Stress Ulcer
1. Profilaksis stress ulcer dengan menggunakan H2-blocker atau PPI yang
diberikan pada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang memiliki
faktor risiko perdarahan (grade 1B).
2. Jika digunakan profilaksis stress ulcer, berikan PPI daripada H2RA
(grade 2D).
3. Pasien tanpa faktor risiko ini tidak mendapatkan profilaksis (grade 2B).
V. Nutrisi
1. Berikan nutrisi secara oral atau enteral (jika perlu), sesuai grade
toleransi, daripada melakukan puasa utuh
2. Hindari pemberian nutrisi dengan kalori penuh dalam mingu pertama
dan lebih disarankan pemberian nutrisi dosis rendah (misalnya sampe 500
kalori per hari), berikan sesuai toleransi (grade 2B).
3. Gunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral daripada prenteral (TPN)
saja atau nutrisi parenteral yang digabung dengan pemberian nutrisi enteral
dalam 7 hari pertama setelah didiagnosis sepsis berat/syok septik (grade
2B).
4. Gunakan nutrisi tanpa suplementasi imunomodulasi khusus daripada
nutrisi dengan suplementasi imunomodulasi khusus pada pasien dengan
sepsis berat (grade 2C).
W. Tujuan Perawatan
1. Diskusikan tujuan perawatan dan prognosisnya dengan pasien dan
keluarga pasien (grade 1B).
2. Masukkan tujuan perawatan ke dalam rencana terapi dan perawatan
Baca Buku dr. Rohmat A Page 96
akhir hidup, manfaatkan prinsip-prinsip perawatan paliatif bila sesuai
(kelas 1B).
3. Arahkan tujuan perawatan sedini mungkin, namun selambat-lambatnya
dalam waktu 72 jam dari ICU (kelas 2C).
PERTIMBANGAN PEDIATRIK PADA SEPSIS BERAT (TABEL 9)
Sementara sepsis pada anak-anak merupakan penyebab utama kematian di
negara-negara industri dengan state-of-the-art ICUs, namun kematian secara
keseluruhan dari sepsis berat pada anak jauh lebih rendah daripada pada orang
dewasa, diperkirakan sekitar 2% sampai 10% (497-499) . Angka kematian di
rumah sakit untuk sepsis berat adalah 2% pada anak-anak yang sebelumnya sehat
dan 8% pada anak-anak dengan sakit kronis di Amerika Serikat (497). Definisi
sepsis, sepsis berat, syok septik, dan beberapa sindrom kegagalan /disfungsi organ
mirip dengan definisi dewasa tetapi tergantung pada denyut jantung usia tertentu,
laju pernapasan, dan nilai batas jumlah sel darah putih (500, 501). Kumpulan data
ini memberikan rekomendasi hanya untuk bayi cukup bulan dan anak-anak dalam
pengaturan kaya sumber daya industri dengan akses penuh terhadap mekanik
ventilasi ICU.
A. Resusitasi awal
1. Kami sarankan mulai dengan oksigen diberikan melalui masker wajah
atau, jika diperlukan dan tersedia, aliran tinggi oksigen kanula nasal atau
Nasopharyngeal Continous Positive Airway Pressure (CPAP) untuk
distress pernapasan dan hipoksemia. Akses intravena perifer atau akses
intraosseous dapat digunakan untuk resusitasi cairan dan infus inotrope
ketika central line tidak tersedia. Jika ventilasi mekanik diperlukan, maka
ketidakstabilan kardiovaskular selama intubasi sedikit mungkin terjadi
setelah resusitasi kardiovaskular yang sesuai (kelas 2C).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 97
Dasar. Karena kapasitas residual fungsional yang rendah, bayi muda dan
neonatus dengan sepsis berat mungkin memerlukan intubasi dini, namun, selama
intubasi dan ventilasi mekanik, meningkatan tekanan intratoraks dapat
mengurangi aliran balik vena dan menyebabkan memburuknya syok jika volum
pasien tidak terpenuhi. Pada mereka yang desaturasi meskipun pemberian masker
oksigen, aliran tinggi nasal cannula oksigen atau nasofaring CPAP dapat
digunakan untuk meningkatkan kapasitas residual fungsional dan mengurangi
kerja pernapasan, memungkinkan untuk pembentukan akses intravena atau
intraosseous untuk resusitasi cairan dan pemberian inotrope perifer (502,
503).Obat yang digunakan untuk sedasi memiliki Efek samping yang penting
pada pasien ini. Misalnya, etomidate dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
pada anak dengan sepsis meningokokus karena efek supresi adrenal (504, 505).
Karena pencapaian akses sentral lebih sulit pada anak-anak daripada orang
dewasa, ketergantungan pada akses perifer atau intraosseous dapat diganti sampai
akses sentral tersedia.
2. Kami menyarankan bahwa tujuan terapi awal resusitasi syok septik
adalah kapiler refill ≤ 2 detik, tekanan darah normal sesuai usia, denyut
nadi normal, tanpa ada perbedaan antara denyut nadi perifer dan sentral,
ekstremitas hangat, urin> 1 ml / kg / jam, dan status mental normal.
Setelah itu, saturasi Scvo2 yang lebih besar dari atau sama dengan 70%
dan indeks jantung antara 3,3 dan 6,0 L/min/m2 harus ditargetkan (tingkat
2C).
Dasar. Pedoman dewasa merekomendasikan laktat clearance, tetapi
anak-anak umumnya memiliki kadar laktat normal dengan syok septik. Karena
banyak modalitas yang digunakan untuk mengukur Scvo2 dan indeks jantung,
pilihan khusus diserahkan kepada kebijaksanaan praktisi (506-512).
3. Kami merekomendasikan sebaiknya mengikuti pedoman pengelolaan
syok septik American College of Critical Care Medicine-Pediatric
Advanced Life Support (tingkat 1C).
Dasar. Pedoman yang direkomendasikan diringkas dalam Gambar 2
(510-512).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 98
4. Kami merekomendasikan untuk mengevaluasi dan memperbaiki
pneumotoraks, tamponade perikardial, atau keadaan darurat endokrin
pada pasien dengan syok refrakter (kelas 1C).
Dasar. Kegawat daruratan endokrin termasuk hypoadrenalism dan
hipotiroidisme. Pada pasien tertentu, hipertensi intra-abdominal mungkin juga
perlu dipertimbangkan (513-515).
B. Antibiotik dan Kontrol Sumber
1. Kami merekomendasikan bahwa antimikroba empiris diberikan dalam
waktu 1 jam dari identifikasi nya sepsis berat. Kultur darah harus
diperoleh sebelum memberikan antibiotik bila mungkin, tapi ini tidak
harus menunda pemberian dini antibiotik. Pilihan obat empirik harus
diubah sebagai dikte epidemi dan ekologi endemik (misalnya, H1N1,
methicillin-resistant S. aureus, malaria chloroquine-resistant, penicillin-
resistant pneumococci, baru-baru ini tinggal ICU, neutropenia) (tingkat
1D).
Dasar. Akses vaskular dan gambaran darah lebih sulit pada bayi baru
lahir dan anak-anak. Antimikroba dapat diberikan intramuskuler atau secara oral
(jika dapat ditoleransi) hingga akses jalur intravena tersedia (516-519).
2. Kami menyarankan penggunaan terapi klindamisin dan antitoksin untuk
sindrom syok toksik dengan hipotensi refrakter (tingkat 2D).
Dasar. Anak-anak lebih rentan terhadap syok toksik daripada orang
dewasa karena kurangnya sirkulasi antibodi terhadap racun. Anak-anak dengan
sepsis berat dan eritroderma dan dicurigai syok toksik harus ditangani dengan
klindamisin untuk mengurangi produksi toksin. Peran IVIG pada toxic shock
syndrome tidak jelas, tapi mungkin bisa dipertimbangkan dalam toxic shock
syndrome refraktori (520-527).
3. Kami merekomendasikan kontrol sumber infeksi awal dan agresif
(tingkat 1D).
Dasar. Debridement dan kontrol sumber sangat penting dalam sepsis
berat dan syok septik. Kondisi yang memerlukan debridement atau drainase
Baca Buku dr. Rohmat A Page 99
termasuk pneumonia necrotizing, necrotizing fasciitis, myonecrosis gangren,
empiema, dan abses. Perforated viskus membutuhkan perbaikan dan pencucian
peritoneal. Keterlambatan dalam penggunaan antibiotik yang tepat, kontrol
sumber yang tidak memadai, dan kegagalan untuk menyingkirkan perangkat yang
terinfeksi berhubungan dengan peningkatan mortalitas secara sinergis (528-538).
4. Kolitis C. difficile harus diobati dengan antibiotik enteral jika dapat
ditoleransi.Vankomisin oral lebih disukai untuk penyakit berat (grade
1A).
Dasar. Pada orang dewasa, metronidazol adalah pilihan pertama, namun
respon terhadap pengobatan dengan C. difficile dapat menjadi yang terbaik
dengan vankomisin enteral. Dalam kasus yang sangat parah di mana diverting
ileostomy atau kolektomi dilakukan, pengobatan parenteral harus
dipertimbangkan sampai perbaikan klinis dipastikan (539-541).
C. Resusitasi Cairan
1. Dalam dunia industri dengan akses inotropik dan ventilasi mekanis,
kami sarankan resusitasi awal syok hipovolemik dimulai dengan infus
isotonic kristaloid atau albumin, dengan bolus hingga 20 mL / kg untuk
kristaloid (atau setara albumin) selama 5 sampai 10 menit. Ini harus
dititrasi untuk memperbaiki hipotensi, meningkatkan output urine, dan
mencapai pengisian kapiler normal, denyut nadi perifer dan tingkat
kesadaran tanpa diinduksi hepatomegali atau ronkhi. Jika hepatomegali
atau rales terjadi, pemberian inotropik harus dilaksanakan, bukan
resusitasi cairan .Pada anak-anak dengan anemia hemolitik berat (malaria
berat atau krisis sel sabit) yang tidak hipotensi, transfusi darah dianggap
lebih unggul dari pada bolus kristaloid atau albumin (tingkat 2C).
Dasar. Tiga uji acak terkontrol membandingkan penggunaan koloid
terhadap kristaloid untuk resusitasi pada anak dengan dengue shock hipovolemik
dengan hampir 100% kelangsungan hidup pada semua kelompok pengobatan
(542-544). Dalam dunia industri, sebelum dan setelah penelitian mengamati
penurunan 10 kali lipat dalam kematian ketika anak-anak dengan purpura /
Baca Buku dr. Rohmat A Page 100
meningokokus syok septik diobati dengan bolus cairan, inotropik, dan ventilasi
mekanik di instalasi gawat daruarat komunitas (545, 546). Dalam satu uji coba
secara acak, mortalitas syok septik berkurang (40% sampai 12%) ketika
meningkat bolus cairan, darah, dan inotropik diberikan untuk mencapai tujuan
pemantauan Scvo2 lebih besar dari 70% (511). Sebuah studi dengan kulaitas yang
meningkat mencapai penurunan angka kematian sepsis berat (dari 4,0% menjadi
2,4%) dengan pemberian bolus cairan dan antibiotik dalam satu jam pertama di
instalasi gawat darurat pediatrik untuk memperbaiki tanda-tanda klinis syok (547).
Anak-anak biasanya memiliki tekanan darah lebih rendah daripada orang
dewasa, dan penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan vasokonstriksi dan
meningkatkan denyut jantung.Oleh karena itu, tekanan darah bukan meupakan
tujuan akhir yang dapat diandalkan untuk menilai kecukupan resusitasi. Namun,
setelah hipotensi terjadi, kolaps kardiovaskular akan segera mengikuti. Dengan
demikian, resusitasi cairan dianjurkan untuk anak-anak normotensif dan hipotensi
dalam syok hipovolemik (542-554).Karena hepatomegali dan / atau ronkhi terjadi
pada anak-anak yang kelebihan beban cairan, temuan ini dapat menjadi tanda
yang berguna untuk hypervolemia.Dengan tidak adanya tanda-tanda ini, defisit
cairan besar dapat terjadi, dan resusitasi volume awal dapat memerlukan 40
sampai 60 mL / kg atau lebih, namun jika tanda-tanda ini hadir, maka pemberian
cairan harus dihentikan dan diuretik harus diberikan. Infus dan inotrope ventilasi
mekanik biasanya diperlukan untuk anak-anak dengan syok refakter cairan.
D. Inotropik / Vasopressors / Vasodilator
1. Kami sarankan mulai pemberian inotropik perifer sampai akses vena
sentral dapat dicapai pada anak-anak yang tidak responsif terhadap
resusitasi cairan (kelas 2C).
Dasar. Penelitian kohort menunjukkan bahwa penundaan dalam
penggunaan terapi inotropik dikaitkan dengan peningkatan besar dalam risiko
kematian (553, 554). Penundaan ini sering dikaitkan dengan kesulitan dalam
mencapai akses sentral. Pada fase resusitasi awal, terapi inotrope / vasopressor
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan perfusi, bahkan ketika
Baca Buku dr. Rohmat A Page 101
hipovolemia belum diatasi. Anak-anak dengan sepsis berat dapat hadir dengan
output jantung yang rendah dan resistensi vaskular sistemik yang tinggi, curah
jantung yang tinggi dan resistensi vaskular sistemik yang rendah, atau output
jantung yang rendah dan syok resistensi vaskuler sistemik rendah (555). Seorang
anak bisa berpindah dari satu keadaan hemodinamik ke keadaan yang lain.
Vasopressor atau terapi inotrope harus digunakan sesuai dengan keadaan
hemodinamik (555). Syok Dopamine refractory dapat membaik dengan infus
epinefrin atau norepinefrin. Dalam kasus resistensi pembuluh darah sistemik
rendah meskipun penggunaan norepinefrin, penggunaan vasopressin dan
terlipressin telah dijelaskan dalam sejumlah laporan kasus, namun bukti untuk
mendukung ini dalam sepsis anak, serta data keamanan, masih kurang. Memang,
dua uji acak terkontrol menunjukkan tidak ada manfaat dalam hasil dengan
penggunaan vasopressin atau terlipressin pada anak-anak (556-559).Menariknya,
sementara tingkat vasopressin berkurang pada orang dewasa dengan syok septik,
tingkat tersebut tampaknya bervariasi secara luas pada anak-anak. Ketika
vasopressor digunakan untuk hipotensi refrakter, penambahan inotropik biasanya
diperlukan untuk mempertahankan cardiac output yang adekuat (510, 511, 555).
2. Kami menyarankan bahwa pasien dengan curah jantung rendah dan
peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik dengan tekanan darah
normal diberikan terapi vasodilator selain inotropik (tingkat 2C).
Dasar. Pemilihan agen vasoaktif awalnya ditentukan oleh pemeriksaan
klinis, namun, untuk anak dengan pemantauan invasif di tempat dan demonstrasi
rendah keadaan curah jantung persisten rendah dengan resistensi pembuluh darah
sistemik yang tinggi dan tekanan darah normal meskipun resusitasi cairan dan
dukungan inotropik, terapi vasodilator dapat memperbaiki shock.Tipe III inhibitor
phosphodiesterase (amrinon, milrinone, enoximone) dan levosimendan kalsium
sensitizer dapat membantu karena mereka mengatasi desensitisasi reseptor.
Vasodilator penting lainnya termasuk nitrosovasodilators, prostasiklin, dan
fenoldopam. Dalam dua uji acak terkontrol, pentoxifylline mengurangi mortalitas
akibat sepsis berat pada bayi baru lahir (510, 560-569).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 102
E. Extracorporeal Membrane Oxygenation
1. Kami menyarankan ECMO pada anak dengan refraktori syok septik atau
dengan kegagalan pernafasan refraktori yang berhubungan dengan sepsis
(tingkat 2C).
Dasar. ECMO dapat digunakan untuk mendukung anak-anak dan
neonatus dengan syok septik atau kegagalan pernapasan terkait sepsis (570, 571).
Kelangsungan hidup pasien sepsis didukung dengan ECMO adalah 73% untuk
bayi dan 39% untuk anak-anak, dan tertinggi pada mereka yang menerima ECMO
venovenous (572). Empat puluh satu persen anak-anak dengan diagnosis sepsis
membutuhkan ECMO untuk kegagalan pernafasan bertahan hidup di rumah sakit.
(573). ECMO Venoarterial berguna pada anak dengan syok septik refrakter (574),
dengan satu pusat pelaporan 74% kelangsungan hidup terhadap rumah sakit
menggunakan kanulasi sentral melalui sternotomy (575).ECMO telah berhasil
digunakan pada pasien anak sakit kritis H1N1 dengan gagal napas refrakter (576,
577).
F. Kortikosteroid
1. Kami menyarankan terapi hidrokortison secara tepat pada anak dengan
refakter cairan, shock katekolamin resistant dan dicurigai atau terbukti
mutlak (klasik) insufisiensi adrenal (kelas 1A).
Dasar. Sekitar 25% dari anak-anak dengan syok septik memiliki
insufisiensi adrenal absolut. Pasien yang beresiko untuk insufisiensi adrenal
absolut termasuk anak-anak dengan syok septik parah dan purpura, mereka yang
sebelumnya telah menerima terapi steroid untuk penyakit kronis, dan anak-anak
dengan hipofisis atau kelainan adrenal. Perawatan awal adalah hidrokortison infus
diberikan dengan dosis stres (50 mg/m2/24 jam), namun, infus sampai dengan 50
mg / kg / hari mungkin diperlukan untuk membalikkan syok dalam jangka
pendek. Kematian dari insufisiensi adrenal absolut dan syok septik terjadi dalam 8
Baca Buku dr. Rohmat A Page 103
jam presentasi. Mendapatkan kadar kortisol serum pada waktu hidrokortison
empiris adalah diberikan dapat membantu (578-583).
G. Protein C dan Activated Protein Concentrate
Lihat bagian, Sejarah Rekomendasi Mengenai Penggunaan rekombinan
Activated Protein C.
H. Terapi Produk Darah dan Plasma
1. Kami menyarankan target hemoglobin yang sama pada anak-anak seperti
pada orang dewasa. Selama resusitasi saturasi oksigen vena cava
superior rendah(<70%), kadar hemoglobin 10 g / dL merupakan target.
Setelah stabilisasi dan pemulihan dari shock dan hipoksemia, maka target
yang lebih rendah> 7,0 g / dL dapat dianggap wajar (tingkat 1B).
Dasar. Hemoglobin yang optimal untuk anak sakit kritis dengan sepsis
berat tidak diketahui. Sebuah percobaan multicenter baru-baru ini melaporkan
tidak ada perbedaan angka kematian pada anak-anak yang sakit kritis
hemodinamik stabil dikelola dengan ambang transfusi 7 g/dL dibandingkan
dengan mereka dikelola dengan ambang batas transfusi 9,5 g/dL, namun, sub
kelompok sepsis berat mengalami peningkatan nosokomial sepsis dan bukti yang
jelas tidak memiliki kesetaraan dalam hasil dengan strategi restriktif (584, 585).
Transfusi darah dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia untuk anemia berat,
kadar hemoglobin <5 g / dL, dan asidosis. Sebuah uji acak terkontrol terapi
diarahkan pada tujuan awal untuk anak syok septik menggunakan hemoglobin
ambang 10 g / dL untuk pasien dengan saturasi Svco 2 kurang dari 70% pada 72
jam pertama dari pediatrik ICU menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup
pada kelompok intervensi multimodal ( 511).
2. Kami menyarankan target transfusi trombosit yang sama pada anak-anak
seperti pada orang dewasa (kelas 2C).
3. Kami menyarankan penggunaan terapi plasma pada anak-anak untuk
memperbaiki gangguan trombotik purpura sepsis yang diinduksi,
termasuk progresif disseminated intravascular coagulation,
Baca Buku dr. Rohmat A Page 104
microangiopathy trombotik sekunder, dan thrombocytopenic purpura
trombotik (kelas 2C).
Dasar. Kami memberikan plasma untuk memperbaiki microangiopathies
trombotik pada anak dengan gagal organ multiple trombositopenia terkait dan
purpura progresif karena plasma beku segar mengandung protein C, antitrombin
III, dan protein antikoagulan lainnya. Resusitasi cepat shock paling membaikpada
disseminated intravascular coagulation, namun, purpura berlangsung pada
beberapa anak sebagian karena konsumsi kritis protein antitrombotik (misalnya,
protein C, antitrombin III, ADAMTS 13). Plasma diresapi dengan tujuan
mengoreksi protrombin yang memanjang / parsial tromboplasyin time dan
purpura .Volume besar plasma memerlukan penggunaan bersama diuretik, terapi
penggantian ginjal terus menerus, atau pertukaran plasma untuk mencegah
kelebihan cairan lebih dari 10% (586-611).
I. Ventilasi Mekanik
1. Kami sarankan menyediakan strategi pelindung paru selama ventilasi
mekanik (tingkat 2C).
Dasar. Beberapa pasien dengan ARDS akan memerlukan peningkatan
PEEP untuk mencapai kapasitas residual fungsional dan mempertahankan
oksigenasi, dan tekanan puncak di atas 30 sampai 35 cm H2O untuk mencapai
volume tidal yang efektif dari 6 sampai 8 mL / kg dengan removal CO2 yang
memadai. Pada pasien ini, dokter biasanya transisi dari ventilasi kontrol tekanan
konvensional untuk melepaskan tekanan ventilasi (ventilasi pelepasan tekanan
udara) atau frekuensi tinggi osilasi ventilasi. Mode ini mempertahankan
oksigenasi dengan tekanan udara rata-rata yang lebih tinggi menggunakan
"membuka" strategi ventilasi paru-paru. Agar efektif, mode ini dapat memerlukan
rata-rata saluran udara tekanan 5 cm H2O lebih tinggi daripada yang digunakan
dengan ventilasi konvensional. Hal ini dapat mengurangi aliran balik vena yang
menyebabkan kebutuhan yang lebih besar untuk resusitasi cairan dan kebutuhan
vasopressor (612-616).
Baca Buku dr. Rohmat A Page 105
J. Sedasi / Analgesia / Toksisitas Obat
1. Kami merekomendasikan penggunaan sedasi dengan tujuan sedasi pada
pasien dengan sakit kritis ventilasi mekanik dengan sepsis (kelas 1D).
Dasar. Meskipun tidak ada data pendukung obat-obatan atau rejimen
tertentu, propofol tidak boleh digunakan untuk sedasi jangka panjang pada anak-
anak muda dari 3 tahun karena dilaporkan berhubungan dengan asidosis
metabolik fatal. Penggunaan etomidate dan / atau dexmedetomidine selama syok
septik harus dianggap hati-hati, karena obat ini menghambat axis adrenal dan
sistem saraf simpatik, masing-masing, yang keduanya dibutuhkan untuk stabilitas
hemodinamik (617-620).
2. Kami merekomendasikan pemantauan laboratorium toksisitas obat
karena metabolisme obat berkurang selama sepsis berat, menempatkan
anak-anak berisiko lebih besar dari peristiwa terkait obat merugikan
(tingkat 1C).
Dasar. Anak-anak dengan sepsis berat telah mengurangi metabolisme
obat (621)
K. Kontrol Glikemik
1. Kami menyarankan kontrol hiperglikakemia menggunakan target yang
sama seperti pada orang dewasa (≤ 180 mg / dL).Infus glukosa harus
menemani terapi insulin pada bayi baru lahir dan anak-anak (tingkat 2C).
Dasar. Secara umum, bayi beresiko untuk terjadi hipoglikemia ketika
mereka bergantung pada cairan infus. Ini berarti bahwa asupan glukosa dari 4
sampai 6 mg / kg / menit atau pemeliharaan asupan cairan dengan dextrose 10%
normal saline yang mengandung larutan disarankan (6-8 mg / kg / menit pada bayi
baru lahir). Telah dilaporkan hubungan antara hiperglikemia dan peningkatan
risiko kematian dan lamanya tinggal di ICU.Sebuah studi ICU pediatrik
retrospektif melaporkan hubungan hiperglikemia, hipoglikemia, dan variabilitas
Baca Buku dr. Rohmat A Page 106
glukosa dengan peningkatan lama tinggal dan angka kematian.Sebuah uji acak
terkontrol dari kontrol glikemik yang ketat dibandingkan dengan kontrol sedang
menggunakan insulin pada populasi ICU pediatrik ditemukan penurunan
mortalitas dengan peningkatan hipoglikemia.Terapi insulin hanya harus dilakukan
dengan pemantauan glukosa sering mengingat risiko hipoglikemia yang dapat
lebih besar pada bayi baru lahir dan anak-anak karena a) relatif kurangnya
penyimpanan glikogen dan massa otot untuk glukoneogenesis, dan b)
heterogenitas penduduk dengan beberapa eksresi tanpa insulin endogen dan lain-
lain menunjukkan tingkat insulin yang tinggi dan resistensi insulin (622-628).
L. Diuretik dan Terapi Pengganti Ginjal
1. Kami menyarankan penggunaan diuretik untuk membalikkan kelebihan
cairan saat syok telah teratasi dan jika tidak berhasil, maka hemofiltration
venovenous terus menerus atau dialisis intermiten untuk mencegah lebih
dari 10% total body weight fluid berlebihan (kelas 2C).
Dasar. Sebuah studi retrospektif anak-anak dengan meningococcemia
menunjukkan risiko kematian yang terkait ketika anak-anak menerima terlalu
sedikit atau terlalu banyak resusitasi cairan (549, 553). Sebuah studi retrospektif
terhadap 113 anak sakit kritis dengan beberapa organ sindrom disfungsi
melaporkan bahwa pasien dengan overload cairan kurang sebelum hemofiltration
venovenous terus menerus memiliki ketahanan hidup yang lebih baik (629-631),
M. Profilaksis TVD
1. Kami tidak membuat rekomendasi dinilai pada penggunaan profilaksis
TDV pada anak-anak prapubertas dengan sepsis berat.
Dasar. Kebanyakan TVD pada anak-anak berhubungan dengan kateter
vena sentral. Kateter terkait Heparin dapat menurunkan risiko kateter terkait TVD.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 107
Tidak ada data yang ada tentang kemanjuran UFH atau LMWH profilaksis untuk
mencegah kateter terkait TVD pada anak-anak di ICU (632, 633).
N. Profilaksis Stres Ulcer
1. Kami tidak membuat rekomendasi mengenai profilaksis stres ulcer.
Dasar. Penelitian telah menunjukkan bahwa klinis penting perdarahan GI
pada anak-anak terjadi pada tingkat yang sama dengan orang dewasa. profilaksis
Stress ulcer umumnya digunakan pada anak-anak dengan ventilasi mekanik,
biasanya dengan H2 blocker atau penghambat pompa proton, meskipun efeknya
tidak diketahui (634, 635).
O. Nutrisi
1. Nutrisi enteral harus digunakan pada anak-anak yang bisa mentolerir itu,
makan parenteral pada mereka yang tidak bisa (tingkat 2C).
Dasar. Dextrose 10% (selalu dengan larutan yang mengandung natrium
pada anak-anak) pada tingkat pemeliharaan menyediakan kebutuhan glukosa
untuk bayi dan anak-anak (636). Pasien dengan sepsis telah meningkatkan
kebutuhan glukosa yang dapat dipenuhi oleh rejimen ini. Pengukuran spesifik
kebutuhan kalori dianggap terbaik dicapai dengan menggunakan chart metabolik
karena mereka umumnya kurang pada anak dengan sakit kritis dibandingkan pada
anak yang sehat.
TABEL 9. REKOMENDASI: PERTIMBANGAN KHUSUS PADA
PEDIATRIK
A. Resusitasi awal
1. Untuk distress pernapasan dan hipoksemia mulai dengan face mask oxygen
atau jika diperlukan dan tersedia, aliran tinggi oksigen kanul nasal atau
nasofaring CPAP (NP CPAP). Untuk meningkatkan sirkulasi, akses
Baca Buku dr. Rohmat A Page 108
intravena perifer atau akses intraosseus dapat digunakan untuk resusitasi
cairan dan infus inotrope ketika central line tidak tersedia. Jika ventilasi
mekanis diperlukan lalu terjadi ketidakstabilan kardiovaskular selama
intubasi sedikit kemungkinan terjadi setelah resusitasi kardiovaskular yang
sesuai (tingkat 2C).
2. poin akhir terapi awal resusitasi syok septik: refill kapiler ≤ 2 detik,
tekanan darah normal sesuai usia, denyut nadi normal dengan tidak ada
perbedaan antara denyut nadi perifer dan central, ekstremitas hangat,
urin> 1 mL · kg-1 · jamr-1 , dan status mental normal. Scvo2 saturasi ≥
70% dan indeks jantung antara 3,3 dan 6,0 L/min/m2 harus ditargetkan
kemudian (tingkat 2C).
3. Ikuti pedoman pengelolaan syok septik American College of Critical Care
Medicine-Pediatric Life Support (ACCM-analog PAL) (tingkat 1C).
4. Evaluasi untuk reverse pneumotoraks, tamponade perikardial, atau
keadaan darurat endokrin pada pasien dengan syok refrakter (kelas 1C).
B. Antibiotik dan kontrol sumber
1. Antibiotik empiris diberikan dalam waktu 1 jam dari identifikasinya sepsis
berat. Kultur darah harus diperoleh sebelum pemberian antibiotik bila
mungkin tapi tidak harus menunda pemberian antibiotik. Pilihan obat
empirik seharusnya diubah sebagai dikte epidemi dan ekologi endemik
(misalnya H1N1, MRSA, klorokuin resisten malaria, penicillin-resistant
pneumococci, tinggal di ICU baru-baru ini, neutropenia) (tingkat 1D).
2. Klindamisin dan anti-toksin terapi untuk toksik syok sindrom dengan
hipotensi refrakter (tingkat 2D).
3. kontrol sumber secara dini dan agresif (tingkat 1D).
4. kolitis Clostridium difficile harus diobati dengan antibiotik enteral jika
dapat ditoleransi.Vankomisin oral lebih disukai untuk penyakit berat
(tingkat 1A).
C. Resusitasi Cairan
1. Dalam dunia industri dengan akses terhadap inotropik dan ventilasi
mekanis, resusitasi awal syok hipovolemik dimulai dengan infus kristaloid
Baca Buku dr. Rohmat A Page 109
isotonik atau albumin dengan bolus hingga 20 mL / kg kristaloid (atau
setara albumin) diatas 5-10 menit, dititrasi untuk memulihkan hipotensi ,
meningkatkan output urine, dan mencapai normal capillary refill, denyut
nadi perifer, dan tingkat kesadaran tanpa terjadi hepatomegali atau ronkhi.
Jika terdapat hepatomegali atau ronkhi maka support inotropik harus
dilakukan, bukan resusitasi cairan. Pada anak-anak non-hipotensi dengan
anemia hemolitik berat (krisis malaria berat atau sel sabit) transfusi darah
dianggap lebih unggul dari pada bolus kristaloid atau albumin (tingkat
2C).
D. Inotropik / Vasopressors / Vasodilator
1. Memulai dukungan inotropik perifer sampai akses vena sentral dapat
dicapai pada anak-anak yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan
(tingkat 2C).
2. Pasien dengan curah jantung rendah dan keadaan resistensi pembuluh
darah sistemik yang meningkat dengan tekanan darah normal diberikan
terapi vasodilator selain inotropik (tingkat 2C).
E. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO)
1. Pertimbangkan ECMO untuk syok septik pediatrik refraktori dan gagal
nafas (tingkat 2C).
F. Kortikosteroid
1. Terapi hidrokortison tepat waktu pada anak dengan refraktori cairan, shock
resistant katekolamin dan dicurigai atau terbukti absolute (klasik)
insufisiensi adrenal (tingkat 1A).
G. Protein C dan Activated Protein Concentrate
Tidak ada rekomendasi, tidak lagi tersedia.
H. Terapi Produk Darah dan Plasma
1. Target hemoglobin pada anak-anak sama seperti pada dewasa. Selama
resusitasi vena kava superior saturasi oksigen syok rendah (<70%), kadar
hemoglobin 10 g / dL ditargetkan. Setelah stabilisasi dan pemulihan dari
shock dan hipoksemia kemudian target lebih rendah > 7.0 g / dL dapat
Baca Buku dr. Rohmat A Page 110
dianggap wajar (tingkat 1B).
2. Target transfusi trombosit pada anak-anak sama seperti pada orang dewasa
(kelas 2C).
3. Gunakan terapi plasma pada anak-anak untuk memperbaiki sepsis
diinduksi thrombotic purpura disorder, termasuk progresif disseminated
intravascular coagulation, microangiopathy trombotik sekunder, dan
thrombotic thrombocytopenic purpura (tingkat 2C).
I. Ventilasi Mekanik.
1. strategi pelindung paru selama ventilasi mekanik (tingkat 2C)
J. Sedasi / Analgesia / Toksisitas Obat
1. Kami merekomendasikan penggunaan sedasi dengan tujuan sedasi pada
pasien dengan sakit kritis ventilasi mekanik dengan sepsis (kelas 1D).
2. Memantau laboratorium toksisitas obat karena metabolisme obat
berkurang selama sepsis berat, menempatkan anak-anak pada risiko lebih
besar dari peristiwa terkait obat yang merugikan (tingkat 1C).
K. Kontrol Glikemik
1. Pengendalian hiperglikemia menggunakan target yang sama seperti pada
orang dewasa ≤ 180 mg / dL. Infus glukosa harus disertai terapi insulin
pada bayi baru lahir dan anak-anak karena beberapa anak hiperglikemia
tidak membuat insulin sedangkan yang lain adalah resisten insulin (tingkat
2C).
L. Diuretik dan Renal Replacement Therapy
1. Gunakan diuretik untuk overload cairan ketika syok sudah teratasi, dan
jika tidak berhasil maka terus menerus hemofiltration venovenous
(CVVH) atau dialisis intermiten untuk mencegah overload total body fluid
> 10% (tingkat 2C).
M. Profilaksis Thrombosis Vena Dalam (TVD)
Tidak ada rekomendasi mengenai penggunaan profilaksis TVD pada anak-
anak prapubertas dengan sepsis berat.
N. Profilaksis Stress Ulcer (SU)
Baca Buku dr. Rohmat A Page 111
Tidak ada rekomendasi mengenai penggunaan SU profilaksis pada anak-anak
prapubertas dengan sepsis berat.
O. Nutrisi
1. Nutrisi enteral diberikan kepada anak-anak yang bisa diberi makan enteral,
dan parenteral pada mereka yang tidak bisa (tingkat 2C).
RINGKASAN DAN ARAHAN UNTUK MASA DEPAN
Meskipun kumpulan data ini adalah statis, pengobatan optimal sepsis berat dan
syok septik adalah proses yang dinamis dan berkembang. Bukti tambahan telah
muncul sejak publikasi pedoman tahun 2008 memungkinkan lebih banyak
kepastian yang kita buat untuk rekomendasi sepsis berat, namun penelitian klinis
lebih lanjut dalam program sepsis sangat penting untuk mengoptimalkan
rekomendasi kedokteran berbasis bukti ini. Intervensi intervensi baru akan
terbukti dan didirikan mungkin perlu modifikasi. Publikasi ini merupakan proses
yang berkelanjutan. The Surviving Sepsis Campaign dan anggota komite
konsensus berkomitmen untuk memperbarui pedoman secara teratur sebagai
intervensi baru yang diuji dan hasil yang dipublikasikan.
Baca Buku dr. Rohmat A Page 112
Baca Buku dr. Rohmat A Page 113
Pengenalan penurunan status mental dan perfusi.
Mulai dengan aliran oo2 tinggi. Pasang IV/IO akses.
Resusitasi awal: bolus isotonik salin 20cc/kg atau koloid ≥ 60 cc/kg hingga perfusi meningkat atau setidaknya terjadi hepatomegali atau ronkhi.
Koreksi hipoglikemi & hipokalemi, mulai antibiotik
Syok tidak membaik?
Syok refrakter cairan : mulai inotrope IV/IO.
Gunakan atropine /keramin IV/IO/IM
Akses sentral & jalan nafas bila diperlukan
Reverse cold shock dengan titrrasi dopamin sentral atau jika resisten titrasi epinerpne sentral
Reverse warm shock dengan titrasi noreepinerpine sentral
Syok tidak membaik?
Syok resisten katekolamin: mulai hidrokortison jika pada resiko untuk insufisiensi adrenal absolute
Monitor CVP pada PICU, normal MAP-CVP & ScvO2 > 70%
Cold shock dengan tekanan darah normal
Titrasi cairan & epinefrin ScvO2 > 70%, Hgb > 10 g/dl
Jika ScvO2 masih < 70 %] Tambahkan vasodilator dengan volume loading (nitrovasodilator, milrininone imrinone & lainnya ) sesuai levosimendann
Cold shock dengan tekanan darah rendah:
Titrasi cairan & epinefrin ScvO2 > 70%, Hgb > 10 g/dl
Jika ypotensi pertimbangkan noreepinerhine
Jika ScvO2 masih <705 pertimbangkan dobutamin, milrinone, enoximone atau levosimendan
Warm shock dengan tekanan darah rendah:
Titrasi cairan & norepinefrin ScvO2 > 70%
Jika masih hypotensi pertimbangkan vasopressin, terlipressin atau angiotensin
Jika ScvO2 masih <70% pertimbangkan dosis rendah epinephrine
Jika PIV kedua mulai inotripe
Rentang dosis: dopamine hingga 10 mcg/kg/menit. Epinephrine 0.05-0.03/mcg/kg/menit
Baca Buku dr. Rohmat A Page 114
Syok tidak membaik?
Syok resisten katekolamin persisten; rule out dsn koreksi efudi perikadial, peneumothorax & tekanan intraabdominal >12mm/Hg.
Pertimbangkan artery pulmonary, PICCO atau kateter FATD, &/atau Ultrasound Doppler untuk memandu cairan, inotrope, vasopressor, vasodilator dan terapi hormonal .
Goal C.I >3.3 & , 6.0L/min/m2.
Syok tidak membaik?
Syok refaktory : ECMO