DIKTAT SAKRAMENTOLOGI I
OLEH : BENYAMIN TUNTI S.FIL
SEKOLAH TINGGI PASTORAL TAHASAK DANUM PAMBELUM
PALANGKA RAYA
2008
SILABUS MATA KULIAH SAKRAMENTOLOGI I
Oleh : Benyamin Tunti S.Fil
BAB I: SAKRAMENTALISME DAN SIMBOLISME
1.1. Apa Itu Sakramen
1.2. Pengertian Kata Sakramen
1.3. Defenisi sakramen
BAB II : TANDA DAN SIMBOL – SIMBOL SAKRAMEN
2.1. Terminologi Tanda, Simbol dan Lambang
2.2. Apa itu Simbol
2.3. Makna simbol
2.4. Momentum Perwujudan/ Efektifitas Makna Simbol/Sakramen
BAB III : UNSUR PEMBENTUK SAKRAMEN
3.1. Hakekat / Esensi Sakramen dari segi tanda kelihatan
3.2. Esensi Sakramen dari segi makna simbol
3.3. Dari segi tujuan dan akibat menerima Sakramen
3.4. Syarat menerima Sakramen
BAB IV SAKRAMENTALI
4.1 Apa itu Sakramentali
4.2 Hubungan sakramentali dengan Sakramen
4.3. Macam Ragam Sakramentali
BAB V SAKRAMEN DALAM AJARAN DAN TRADISI KATOLIK
5.1 Faham Keselamatan dalam hidup kita
5.2 Sakramentalitas dalam Kitab Suci
5.2.1 Perjanjian lama
5.2.2. Perjanjian Baru .
BAB VI: REFLEKSI TENTANG SAKRAMEN DALAM PERKEMBANGAN
SEJARAH GEREJA
6.1 Jaman Patristik
6.2 Abad Pertengahan
6.3 Jumlah Sakramen
6.4 Karekter Sakramental
6.5 Materia dan Forma Sakramen
6.6 Efektifitas Sakramen
6.7 Ex Opere Operato non ex opere operantis
TUGAS KELOMPOK
1. Baca KGK 1114 -1130; 1667 - 1679
2. Buat dalam Bentuk makalah, minimal 5 halaman dengan menggunakan
metodologi penulisan yang baik tentang tema tema Sebagai Berikut:
- Hubungan antara Kristus dan Sakramen (1114 -1116)
- Hubungan antara Gereja dan Sakramen (1117 -1121)
- Hubungan antara Iman dengan Sakramen (1122 -1126)
- Hubungan antara Keselamatan dan Sakramen (1127 -1129)
- Hubungan antara Keselamatan Kekal dan Sakramen (1130)
- Sakramentali dan Hubungannya dengan Sakramen (1667 -1679)
2. Dipresentasikan pada 2 Minggu terakhir Perkuliahan.
Palangka Raya, 19 Februari 2009
BAB I
SAKRAMENTALISME DAN SIMBOLISME
1.1 . APA ITU SAKRAMEN?
Umumnya bila kita mendengar tentang kata sakramen, maka yang
muncul pertama dalam benak kita ialah tujuh sakramen. Pemikiran ini memang
tidak salah, bahkan gereja mengajarkan tentang hal ini. Jumlah Sakramen ada
tujuh, memang diajarkan Gereja untuk pertama kalinya dalam Konsili Lyon II
(1274), lalu Konsili Florence (1439), kemudian ditegaskan kembali oleh Konsili
Trente (1547) dan Konsili sesudahnya termasuk KV II (1965) belum
mengadakan pembaharuan tentang jumlah sakramen. Pertanyaannya adalah
apakah kata sakramen aslinya memang menunjuk tujuh sakramen itu?.
Jawabnnya, ternyata tidak. Berkat perubahan Liturgi dan dan Teologi Gereja,
sejak awal abad XX kini kata “ Sacramen” tidak lagi disempitkan hanya berarti
“Tujuh Buah” tetapi istilah ini memiliki arti yang lebih luas dan mendalam.
Dalam teologi modern dewasa ini, pengertian sakramen menunjuk pada
sesuatu, dan sesuatu itu bisa apa saja – sejauh itu memiliki ciri sakramental,
yakni memuat unsur Illahi (pengalaman akan Allah) dan memuat unsur
manusiawi (berupa pengalaman konkret historis yang menjadi simbolisasinya).
Tentu tidak semua hal diakui oleh Gereja sebagai Sakramen, namun cara
pemikiran yang memperluas pengertian sakramen memang sudah menjadi
Trend.
Leonardo Boff misalnya menyebut puntung rokok dalam lacinya
sebagai sakramen, karena puntung rokok itu adalah puntung rokok
ayahnya Sebelum meninggal. Puntung rokok itu, menjadi kenangan
Boff akan ayahnya yang amat ia cintai, dan melalui ayahnya Boff
mengalami sendiri Kasih Allah. Maka puntung rokok itu, menjadi simbol
dari Kasih Tuhan yang ia alami melalui ayahnya yang sudah
meninggal.
Masing-masing kitapun dapat menyebut sesuatu sebagai sakramen,
sejauh sesuatu itu memang menjadi simbol dari pengalaman kita akan Kasih
Allah melalui seseorang atau melalui hal tertentu. Namun tentu saja itu hanya
berlaku untuk kita dan belum tentu diakui gereja, karena sampai saat ini, gereja
hanya mengakui Tujuh Sakramen. Karena itu, Sacramen dalam pengertian
yang luas dan mendalam disini menunjuk pada suatu ciri pemikiran
Sakramental, yang mencakup dinamika tegangan relasi antara realitas
sebagai isi dan simbol sebagai ungkapan.
1.2. Pengertian Kata Sakramen
Kata Sakramen berasal dari kata latin “ Sacramentum”. yaitu dari kata
dasar “Sacr”/sacer” atau kata sifat “Sacrum” yang berarti Kudus, Suci,
lingkungan orang Kudus atau bidang yang Suci/Kudus dan dari kata kerja
“Sacrare” berarti menyucikan, menguduskan atau mengkhususkan seseorang
atau sesuatu bagi bidang yang Suci atau Kudus. Umumnya kata sakramentum
ini menunjuk kepada tindakkan menyucikan ataupun menguduskan.
Adapun dalam masyarakat Romawi Kuno dahulu, Sakramentum
digunakan menurut dua pengertian yang sangat konkret tetapi religius juga.
Pertama, Kata sakramentum, menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk
menyatakan kesediaan diri seseorang untuk mengabdikan diri atau
menguduskan diri bagi dewata dan negara.
Kedua, Kata Sacramentum, menunjuk pada uang jaminan atau denda yang
ditaruh dalam sebuah kuil dewa oleh orang-orang atau pihak-pihak yang
berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang boleh ambil kembali
uangnya, sementara pihak yang kalah harus merelakan uang jaminannya
menjadi milik dewa/negara, dan uang ini digunakan untuk keperluan kultis
kuil. Orang Romawi menganggap keputusan Hakim sebagai Keputusan
Dewa sendiri.
Pada Abad II istilah Latin Sacramentum ini, digunakan oleh orang Kristen
untuk menerjemahkan Kata Yunani Misterion yang terdapat dalam Kitab Suci.
Kata “Mysterion” digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani S’od atau kata
Aram/Parsi Raz, kata Mysterion ini berakar pada kata My, kata kerja Myein
yang berrti menutup mulut atau mata, sebagai reaksi atas pengalaman yang
mengatasi nalar, suatu pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-
kata. Dengan demikian, makna dasar Mysterion berhubungan dengan
pengalaman akan Yang Illahi, yakni suatu pengalaman batin yang tidak
terlukiskan dengan kata-kata, karena berjumpa dengan yang Illahi. Dalam
Kitab Suci, Kata ini diterjemahkan dengan arti ‘RAHASIA’. Pertama Rahasia
dalam arti Profan (Rahasia tanpa ada nada religius keagamaan misalnya;
dalam Kitab Tobit 7:11; Yudit 2:2; Sirakh 22:22; 2 Makabe, 13:21) Kedua,
Rahasia dalam arti yang bersifat Religius yang dikaitkan dengan agama-agama
Kafir, misalnya dalam Kitab Kebijaksanaan 12:5;14:15-23 dikatakan “mereka
tidak tahu akan Rahasia-rahasia Allah” “Mereka membuat ritus-ritusnya secara
Rahasia. Ketiga, Rahasia dalam arti Apokaliptik, sebuah proses dan akhir
sejarah yang tidak dapat diketahui manusia (Daniel 2:27-30,47)” Allah sendiri
yang akan mengungkap Rahasia pada Zaman yang akan datang” maka dapat
dikatakan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata Mysterion menunjuk
pada dinamik Allah yang menyingkap atau menyatakan Diri-Nya atau rencana
Penyelamata-Nya dalam sejarah manusia. Sedangkan dalam Perjanjian Baru,
Mysterion itu menunjuk pada Sejarah Penyelamatan Allah yang memuncak
pada Yesus Kristus.
1.3. Defenisi Sakramen
Pada Jaman Patristik, pengertian Sakramen, pertama-tama dibuat oleh
para Teolog Afrika antara lain:
- Tertulianus ( +220) : Ia yang pertama menyebut permandian dan ekaristi
sebagai Sakramenta. Dalam hal permandian, ia membandingkannya
dengan sumpah militer/tentara. Karena konsep itulah, makanya orang yang
dipermandikan menjadi tentara Kristus dan Sakramen ini disebut sebagai
Sacramentum Militiae. Tertulianus mendefenisikan Sakramen secara
singkat sebagai barang suci yang berguna menyatakan Rahmat
keselamatan ( Sacramentum est sacra, arcana salutatis salutatem
manifastem)
- Agustinus ( 224) : Ia yang pertama mengembangkan teologi tentang
sakramen. Untuknya, sakramen adalah tanda kelihatan yang
menghadirkan suatu relitas yang tak kelihatan. Dan tanda yang dimaksud
Agustinus adalah Tanda Suci (Signum Sacrum), yang ditetapkan Allah
untuk menunjukkan suatu realitas Illahi (Res Divina) dan berisi realitas itu
dalam dirinya. Defenisi Agustinus inilah yang sangat mempengaruhi
perkembangan pemahaman gereja sepanjang jaman
Dalam zaman Skolastik, pandangan yang paling menonjol adalah
pandangan Hugo dari St. Viktor yang memandang Sakramen lebih luas. Dalam
karyanya berjudul De Sacramentis Christianae Fidei ( Sacramen Iman Krsitiani)
ia melihat Intervensi Allah dalam karya keselamatan sebagai Sakramen. Artinya
bahwa sakramen itu merupakan intervensi Allah dalam karya Keselamatan.
Dari defenisi tersebut diatas, Ajaran Gereja mengatakan, Sakramen
merupakan tanda kelihatan yang oleh Kristus dipakai untuk menyatakan
Rahmat. Dalam KGK 74 Sakramen didefenisikan sebagai Tanda dan sarana
yang olehnya Roh Kudus menyebarluaskan Rahmat Kristus yang adalah
Kepala dalam Gereja Tubuh-Nya.
Iiim
BAB II
TANDA DAN SIMBOL-SIMBOL SAKRAMEN
2.1 Terminologi Tanda, Simbol dan lambang
Dalam kamus besar BSI, tampaknya tidak terlalu dibedakan antara Tanda
dan Simbol. Tanda (sign) dari bahasa Latin “Signum” dipahami sebagai sesuatu
yang menjadi alamat (pertanda) atau yang akan menyatakan sesuatu, sering
disebut sebagai Gejala, bukti, pengenal, lambang atau petunjuk. Simbol lebih
kepada sesuatu yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud
tertentu. Pada dasarnya tanda, lambang, simbol memiliki suatu ciri pokok yang
sama, yaitu selalu menunjuk kepada sesuatu yang lain.
Agar tidak menimbulkan kebingungan tentang tanda, lambang atau
simbol ini, kita hanya akan menggunakan term simbol. Kita melihat bahwa
liturgi dari hakekatnya bersifat simbolis, dipahami melalui simbol-simbol
tertentu. Mengenai ini, konsili Terente melihat sakramen sebagai “ Simbolum
Rei Sacrae” suatu tanda kelihatan dari realitas yang tak kelihatan.
2.2 Apa Itu Simbol.
Kehidupan sosial manusia, banyak diwarnai simbol-simbol. Bahkan
identitas manusia itu sendiripun terbentuk dan ditandai oleh simbol-simbol.
Semua peristiwa dan pengalaman hidup manusia memiliki dua struktur yaitu
Ungkapan dan Isi. Misalnya orang makan bersama, ngerumpi dan sebagainya
merupakan ungkapan dari terjalinya persahabatan dan persaudaraan. Disini,
makan bersama merupakan Ungkapan dan Persahabatan/ persaudaraan
merupakan isinya. Demikianpun cara orang berpakaian, dapat kita ketahui
status orang tersebut kaya / miskin. Di sini berpakaian adalah ungkapan dan
kaya/miskin merupakan isinya. Hal lain seperti, cara berbicara, cara berpikir,
cara berjalan dan sebagainya merupakan ungkapan dari sesuatu sebagai
isinya. Ungkapan inilah yang dinamakan sebagai Simbol.
Simbol berasal dari kata Yunani Symbolon atau kata kerja Symballein.
Kata ini diambil dari kebiasaan orang Yunani, yang mengadakan perjanjian dan
kesepakatan dengan menggunakan Cincin atau sesuatu yang dibagi dan
disimpan oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian. Kemudian
pada saatnya nanti cincin atau sesuatu tersebut disatukan kembali sebagai
tanda pengenal. Kegiatan menyatukan kembali tanda pengenal ini disebut
Symballein sedangkan menyatu / terhubungnya kembali tanda pengenal ini
disebut Symbolon.
Menurut Origenes Simbol adalah sesuatu yang dapat menujukkan sesuatu
yang lain. Agustinus mengatakan Simbol adalah sesuatu yang mewakili yang
lain. Sedangkan menurut Thomas Aquinas Simbol adalah sarana yang
menyatakan atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Simbol mempunyai
maksud untuk menyatakan suatu hal, atau mempunyai maksud tertentu. Simbol
adalah sesuatu yang membuat apa yang disimbolkan dapat dimengerti dan
dipahami. Simbol lebih kepada sesuatu realitas konkret dan kelihatan yang
karena ciri-cirinya sendiri dapat menghadirkan sesuatu yang lain yang tak
kelihatan.
Untuk memahami lebih jauh tentang Simbol, kita lihat ciri-ciri pokok simbol
Pertama : Simbol tidak sekedar suatu ungkapan bahasa kosong belaka, tetapi
menunjuk pada suatu realitas atau tindakkan yang nyata dan
real,”Ungkapan janji pekawinan yang diucapkan sepasang pengantin di
depan altar Tuhan sungguh merupakan simbol yang amat bernilai dan
bahkan memiliki dampak Yuridis, dalam mana saat itu mereka diikat
dalam suatu perjanjian suami istri”
Kedua : Apa yang ditunjuk oleh simbol adalah suatu realitas yang mengatasi
hal inderawi, bukan yang semata-mata terlihat oleh panca indera,
seperti Tanda lalulintas (merah – berhenti, Hijau – berjalan). Contoh
simbol yang dimaksudkan dalam pengertian ini adalah keseluruhan
simbol / lambang
yang dipakai dalam liturgi dan dalam perayaan sakramen, seperti Air Baptis ;
bermakna pembersihan / pengampunan dosa oleh Allah dan
penganugerahan hidup baru, yakni hidup bersama Allah sebagai anak-
anakNya. Realitas yang mengatasi inderawi ini juga, bukan hanya
menyangkut Allah atau yang transenden saja, tetapi juga menyangkut
hal-hal lain yang kita alami sebagai sesuatu yang bernilai dalam
kehidupan kita, seperti cincin yang melambangkan kesetiaan. Atau
jabatan tangan yang menyimbolkan berdamai kembali.
Ketiga : Simbol itu sendiri selalu dalam konteks masyarakat atau
kebersamaan. Tanpa komunitas / kebersamaan masyarakat suatu
simbol tidak mempunyai makna apapun. Bendera merah putih bagi
komunitas / masyarakat Indonesia, dilihat sebagai lambang negara,
tetapi belum tentu warna merah-putih ini bermakna bagi negara /
komunitas lain.
Keempat : Simbol bukan sekedar ada dalam tataran rasional belaka,
melainkan menyapa dan menyentuh seluruh diri dan pengalaman
hidup manusia. Kalau kita melihat foto ayah / ibu kita, tidak jarang
orang lalu menitikan air mata karena rindu pada orang tua. Disini, foto
sebagai simbol akan pengalaman kasih sayang.
Sifat - Sifat / karakteristik simbol
- Ada jarak antara simbol dengan yang disimbolkan.
- Simbol langsung memberitakan sesuatu.
- Simbol bersifat obyektif dan universal, diterima umum, konkret dan
nyata.
- Lebih menyentuh intelek atau daya pengenalan.
- Mewakili Banyak gagasan.
.
2.3 Makna Simbol / Sakramen
Simbol demikian juga Sakramen mempunyai arti Individu – Sosial
(komunitas tertentu), makna setiap simbol tidak sama, dan orang dapat
mengambil sikap tertentu terhadap simbol agar bermakna. Penghayatan dan
kepekaan Individu dan Komunitas terhadap suatu simbol juga berbeda - beda.
Dalam Komunitas Gerejani, dipakai dan dipergunakan simbol yang maknanya
dapat dipahami oleh semua anggota komunitas gerejani itu.
Tujuh Sakramen merupakan contoh yang tepat untuk “ Simbol sosial
Gerejani yang sudah ada sebelum kita secara pribadi menghayati agama
Katolik. Simbol - simbol itu diambil dari Kitab Suci ( Seperti: Baptis, Salib,
madu, Susu, dll) selain itu juga berasal dari Tradisi atau Kebudayaan, misalnya
Yunani - Romawi ( penyerahan alat tahbisan / kaul) Kebudayaan lain seperti
Jerman (mencium Salib, dan Pohon Natal, dan sebagainya).
Lalu apakan Simbol itu bisa diganti, ataukah apakah kita bisa memakai
simbol baru dalam rangka Komunitas gerejani? Untuk maksud itu, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Benda / simbol itu harus Transparent artinya mudah ditangkap dalam
asosiasi yang disimbolkan dan oleh simbol itu mudah menimbulkan pikiran lebih
lanjut dalam kehidupan umum / publik. Misalnya, api menimbulkan kehangatan
dan memungkinkan renungan lebih lanjut dari sifat api dalam kehidupan publik.
Kedua simbol tersebut harus memiliki arti Kristiani yang merupakan
perpanjangan dari asosiasi-asosiasi yang ditimbulkan. Misalnya Arti
kehangatan dari Api melambangkan kedekatan Pribadi atau kemesraan sebuah
relasi. Maka api dalam arti kristianinya dipakai sebagai Simbol Allah yang
begitu dekat, mesra dan menimbulkan kehangatan dalam hubungannya dengan
manusia.
Mengingat makna simbol / Sakramen bersifat individu – sosial maka
supaya simbol dan dengan demikian Sakramen dapat berfungsi dalam
kehidupan iman maka yang harus diperhatikan adalah Pertama
Keterangan/penjelasan. Simbol itu harus dijelaskan kepada subyek pemakai
simbol itu, diadakan sosialisasi tentang makna simbol kepada subyek pemakai
simbol tersebut. Karena itulah dalam hal agama / sakramen perlu adanya
Katekese agar orang bisa mengerti tentang arti sakramen itu.
Kateketik adalah suatu ilmu pewartaan istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua
bagian yaitu: Katechein : pergi dan Echo : menyuarakan
Katekese: isi dari pewartaan dengan kata lain pewartaan itu sendiri.
Katekis: adalah ahli dalam katekese, pewarta (umum dan laki-laki) dan Katekista
(pewarta wanita)
Katekumen: calon babtisan Katekumenat : Masa Pembelajaran. Dan Katekismus: buku
pelajaran agama tentang pokok – pokok iman.
Kedua Penghayatan. Simbol itu, harus dihayati dengan sikap bathin
yang tepat, misalnya berjabat tangan bisa menimbulkan persatuan sejauh
dihayati. Jika tidak hanya menjadi aktivitas otomat/magi. Ketiga, Proses
pengaktualan Simbol. Simbol demikian juga Sakramen sering merupakan
tahap puncak dari sebuah Proses. Kalau prosesnya berjalan tetapi simbolnya
sendiri tidak diaktualkan maka simbol tersebut menjadi kosong. Misalnya
upacara pernikahan, dapat menjadi simbol kosong tanpa makna kalau tidak
dihayati sebagai persatuan yang mesra antara Suami Istri yang melambangkan
Persatuan Mesra Kristus denga Gerejanya.
Dalam Liturgi, simbol bagaikan benang merah, dengannya perayaan
sakramen ditenun (KGK 1145) karena simbol selalu berbicara tentang suatu
kehadiran, dimana simbol / sakramen selalu dihubungkan dengan suatu
peristiwa dalam sejarah keselamatan. Peranaan simbol, tidak membuat sesuatu
yang baru, ia menghadirkan atau mengaktualisir salah satu peristiwa sejarah
Yesus Kristus.
Sehubungan dengan itu ada dua macam simbol yaitu; Simbol ekspresif,
Menggunakan relitas fisik untuk mengungkapkan suatu pengalaman Batiniah
dengan yang transenden, dan Simbol Representatif adalah Suatu lambang
yang menunjukkan dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui dan
hanya dapat diungkapkan lewat simbol itu. Perlu diperhatikan agar benda yang
digunakan untuk menghadirkan sesuatu itu, harus merupakan transparansi dari
yang Illahi. Antara Simbol dan yang disimbolkan haruslah berbeda, jika tidak
muncullah “ Ido Latria” ( Penyembahan berhala).
2.4 Momentum Perwujudan / Efektifitas makna Simbol/ Sakramen
Dari uraian di atas ternyata simbol dengan demikian sakramen memiliki
berbagai makna dalam hidup pribadi maupun sosial. Umumnya makna simbol
dilihat dari segi momentum efektifitas perwujudannya ada dua yaitu;
Pertama: Simbol / sakramen kadang-kadang menandakan atau mewujudkan
suatu peralihan yang satu kali jadi (einmalig) dan menadakan atau mewujudkan
keadaan baru yang tetap. Misalnya pembacaan proklamasi kemerdekaan RI 17
Agustus 1945 adalah suatu situasi yang terjadi hanya satu kali. Dalam konteks
sakramen, diantara ke tujuh sakramen ada yang jelas mewujudkan /
menandakan keadaan baru yang tetap untuk selamanya, tidak diulangi yaitu
baptisan, penguatan, tahbisan. Karena itu ketiga sakaramen tersebut hanya
diterima satu kali saja, dan tidak bisa diulangi selama keadaan baru itu
berlangsung. Untuk sakramen yang tidak diulang penerimaannya sering disebut
dalam teologi dengan istilah Charakter Sacrament atau meterai (Charakter
indelebilis). Meterai/charakter indelebilis, secara harafiah berarti: sifat atau ciri
yang tak terhapuskan, merupakan Stasus baru sebagai hasil atau akibat
penerimaan sakramen dan yang dibedakan dari isi Rahmat yang sebenarnya.
Dasar Bilblis untuk ajaran meterai atau charakter indelebilis ini yang biasa
dirujuk adalah konsepsi mengenai meterai yang diberikan Allah sendiri dalam
hati kita melalui Roh Kudus (2 Kor 1:21-22; Ef 1: 13;4:30).
Pada pertengahan abad III terjadi perselisihan pandangan, apakah
seorang yang sudah dibaptis oleh dan dalam kelompok bidaah, apabila ia
bertobat dan mau kembali ke pangkuan gereja yang benar, perlu dibaptis lagi?
Dan gereja di daerah Afrika dan Asia kecil pada waktu itu mempraktekkan
pembaptisan ulang, dan yang mendukung praktik pembaptisan ulang ini adalah
Uskup Ciprianus dari Khartago. Namun Praktek ini ditentang oleh Paus
Stefanus I. Ia menolak pembaptisan ulang ini dan mengakui keabsahan
baptisan dalam kelompok bidaah. Dan ajaran Stefanus ini menjadi Pandangan
resmi Gereja ( DS 110). Dan pertikaian tentang pembaptisan ulang ini muncul
lagi pada abad IV ketika munculnya aliran Donatisme, tetapi dilawan oleh
ajaran Paus Miltiades (311-314) yang tetap mengakui keabsahan Baptisan
kelompok Bidaah. Dan ajaran Miltiades ini ditegaskan kembali pada Sinode
Arles (314). Dan pada Sinode ini terungkap istilah Meterai seperti tertulis dalam
2 Korintus 1:21-22. Yohanes Chrisostomus mengajarkan dalam Homilinya : “
sebagaimana Para Prajurit mempunyai tanda pengenal, demikian pula Roh
Kudus mengurapinya pada Umat beriman. Dan Agustinus yang sejak tahun 393
memerangi Donatisme, mengajarkan dan menjelaskan meterai Sakramental ini
melalui gambaran kebiasaan prajurit Romawi. Dimana Setiap Prajurit diberi
tanda pengenal dari Kaiser yang dicapkan kepada kulit tubuh prajurit setelah
alat Cap itu dibakar. Titik temunya bukan pada Cap itu sendiri, tetapi pada
relasi yang bersifat tetap dan tak terputuskan antara Kaiser dan
Prajuritnya. Dengan demikian melalui Pembaptisan, terjadilah Suatu relasi
yang bersifat tetap dan tak terhapuskan antara orang yang dibaptis
dengan Yesus Kristus. Dengan Pembaptisan seseorang menjadi milik
Kristus. Jadi realitas bahwa orang yang dibaptis menjadi milik kristus itu
bersifat tetap dan tak terhapuskan dan tidak tergantung pada hidup moral si
pelayan atau yang menerima Baptisan itu sendiri, tentang kesalehan penerima
dan pelayan ini kita akan dalami pada tema tentang Ex Opere Operato non ex
opere operantis.
Kedua : Simbol / sakramen kadang-kadang menandakan / mewujudkan
sesuatu sedikit demi sedikit. Disini ada kenangan kisah konstutif masa lampau,
kemudian diwujudkan dalam masa kini dengan berpegang pada suatu harapan
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Misalnya upacara kenaikan
bendera ( mengenang kembali hari kemerdekaan RI yang diwujudkan dalam
masa kini dengan mengaharapkan Indonesia yang lebih baik lagi di masa yang
akan datang). Dalam konteks sakramen misalnya Sakramen Ekaristi
( kenangan akan misteri sengsara, Wafat dan kebangkitan yang Kristus yang
diwujudkan dalam kehidupan kita sekarang untuk keselamatan kekal di akhir
zaman). Dalam aspek yang kedua ini, sering ada unsur peringatan atau
perubahan konstitutif dulu ( Misalnya Upacara 17 Agustus bersifat kenangan
akan kemerdekaan); perwujudan lebih lanjut sekarang; bahkan juga harapan
yang akan datang. Tanda salib dengan air suci di depan pintu Gereja
merupakan kenangan akan pembaptisan ( wafat kristus dulu mewujudkan
kekristenan sekarang, sekaligus harapan agar bangkit bersama kristus kelak).
Berkenaan dengan perwujudan yang sedikit demi sedikit itu, sakramen ekaristi
adalah contoh yang paling tepat. Ekaristi itu, dihayati sebagai peralihan kepada
keselamatan defenitif eskatologis ( akhir jaman). Sakramen pengakuan pun
dilihat sebagai peralihan dalam arti tobat terus menerus. Maka masuk akal
suatu simbol / sakramen bisa diulang, akan tetapi mengenai sakramen
(demikinpun simbol-simbol dalam hidup) pengulangan pun mesti disesuaikan
dengan irama hidup. Tidak masuk akal menerima sakramen ekaristi dan
pengampunan dosa dalam satu hari 10 ( sepuluh) kali.
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat betapa simbol menjadi hal yang
sangat penting dalam Liturgi. Sakramen merupakan Simbol keagamaan
yang menjadi Sarana pertemuan antara Allah dan Manusia.
BAB III
UNSUR PEMBENTUK SAKRAMEN
Sakramen dalam arti luas, dapat didefenisikan sebagai perayaan liturgis
tertentu yang menandakan secara simbolis perwujudan dan peralihan-peralihan
terpenting dalam hidup manusia beriman Kristiani ( khususnya Katolik).
Perayaan Simbolis ini merupakan lambang dari penyelamatan ( persekutuan
dengan Allah) yang dimengerti sebagai yang diadakan / dikehendaki /
direncanakan oleh Allah sesuai momen-momen peralihan hidup manusia.
Berbicara mengenai unsur-unsur yang membentuk sakramen harus
dibedakan antara yang essensiill / seharusnya ( yaitu apa yang menurut KS dan
Ajaran gereja merupakan intinya) dengan perayaan sakramental menyeluruh /
tambahan ( yaitu bagaimana sakramen diadakan dengan pelbagai tanda,doa
pelengkap, baik persiapan mental dalam perayaan itu, maupun perluasan tanda
sakramental itu sendiri, misalnya penyerahan Hosti-piala dalam tahbisan
imamat atau penyerahan kain putih kepada thabisan baru, dst)
Dari satu pihak, tidak boleh terlalu menonjolkan yang essensiil, seakan-
akan hanya itu yang penting. Tetapi perlu diingat, justru perayaan menyeluruh
yang dilaksanakan sebaik mungkin itulah yang penting. Misalnya dalam
perayaan Ekaristi, bukan hanya kata-kata Konsekrasi yang penting, tetapi
seluruh doa Syukur Agung dan seluruh perayaan Ibadat ekaristi menjadi satu
hal yang sangat penting. Dilain Pihak, umat, Katekis dan terutama Pastor
mesti tahu mana yang essensiil dan mana yang tambahan sebagai perluasan
makna sakaramen itu sendiri, dalam setiap perayaan liturgis atau perayaan
sakramental, sehingga jika demi alasan praktis atau darurat, yang diutamakan
untuk dirayakan disana adalah bagian yang essensiil, bukan malah sebaliknya,
bagian / unsur tambahan yang dirayakan, sedangkan yang essensiil diabaikan.
Setiap sakramen mesti memenuhi unsur-unsur yang membentuk
Sakramen. Yaitu : Hakekat/essensi sakramen, tujuan sakramen dan syarat
untuk menerimanya.
3.1. Hakekat / essensi Sakramen dari segi tanda kelihatan
Setiap sakramen harus memiliki:
- Materia Remota : barang/benda /materi yang dipakai dalam perayaan
sakramental tersebut, misalnya air dalam baptisan,
minyak dalam krisma, roti dan anggur dalam Ekaristi,
dan sebagainya
- Materia Proxima : cara penggunaan atau pemanfaatan barang / benda
itu
dalam perayaan sakramental, misalnya air dituangkan
/dcielupkan/dimandikan, minyak dioles didahi ...
- Forma : Rumusan / kata-kata yang digunakan untuk mengiringi
Jalanya perayaan sakramental tersebut misalnya, dalam
baptisan Formanya “Aku membaptis engkau atas nama
Bapa...... (Bdk. Mat 28:19) atau dalam sakramen
penguatan “ Terimalah Karunia Roh Kudus”
- Minister/Subjek : Sakramen juga akan efektif mengandaikan ada
pelayan baik
pelayan bisasa maupun luar biasa dan juga
mengandaikan
adanya pihak Penerima.
3.2 . Esensi sakramen dari Segi arti tanda
Tanda atau simbol yang dipakai dalam Sakramen harus mempunyai arti
biasa manusiawi dan ada arti rohani/religius. Pertama, sakramen itu harus
memiliki arti manusiawi/duniawi. Karena sakramen itu simbol, maka tak
cukup memandang kenyataan fisik saja, tetapi lebih dari itu simbol tersebut
harus bisa ditangkap secara manusiawi. Orang perlu diajak (diajari) untuk
menangkap arti yang manusiawi. Untuk hal ini tergantung budaya setempat.
Misalnya Apa arti penumpangan tangan pada Jaman Yesus. Kedua Sakramen
itu harus mempunyai arti Rohani/religius simbol yang ditangkap dalam arti
duniawi/biasa mesti membawa asosiasi pada arti rohani religius. Jadi arti
pertama (manusiawi) berhubungan dengan arti kedua (rohani) intinya, simbol
dalam arti manusiawi harus membawa Asosiasi pada arti religius/ rohani. Jadi
arti pertama berhubungan dengan arti kedua, rohani, religius seperti,
Keselamatan, rahmat anugerah, persekutuan dengan Tuhan dalam arti tertentu.
Misalnya air biasa artinya: Pembersihan, pencucian dan arti religiusnya adalah
pembersihan dari Dosa. Umat harus bisa mengasosiasikan hubungan kedua
makna tersebut.
3.3. Dari segi tujuan dan Akibat menerima Sakramen
Upacara yang kelihatan Artinya ( Sacramentum Tantum) mesti mebawa
pada sesuatu yang mengakibatkan perubahan status (Sacramentum et res),
entah itu perubahan sementara / terus menerus (Pengakuan, pengurapan,
perkawinan, tahbisan) maupun perubahan yang besifat tetap / einmalig. ( Baptis
– Krisma - Imamat). Kemudian kedua hal tersebut diatas mempunyai akibat
akhir (res tantum) adalah keselamatan; bersatu dengan Allah / Kristus, menjadi
manusia baru. Res tantum ini sering disebut sebagai “ Rahmat Sacramen” yang
menunjuk pada hubungan baru manusia dengan Allah sendiri dan hanya
secara skunder Rahmat bantuan Allah untuk membantu seseorang dalam tugas
baru. Misalnya untuk tahbisan Imamat, Rahmat Sakramen adalah “ menjadi
Imam Allah dan Imam Gereja-Nya” dan hubungan baru dalam arti secunder
berarti: Allah akan membantu Imam baru untuk menghadap umat dengan lebih
sabar, dst.
3.4 . Syarat Menerima Sakramen :
Dalam penerimaan sakramen ada dua syarat yang harus diperhatikan,
yakni syarat ad validitatem dan syarat Ad Liceitatem.
1) ad Validitatem:
Syarat demi sahnya sakramen atau dengan kata lain syarat supaya
sakramen yang diadakan valid / sah. Agar sakramen itu Valid dan Sah,
maka ia harus memenuhi unsur-unsur pembentuk sakramen. Misalnya,
perlu ada materia, perlu ada Forma, dan juga pelayan, dan penerima
sakramen. Sebuah kasus misalnya orang yang sudah menikah, dan salah
seorang dari mereka menikah lagi maka pernikahan itu bukan sakramen,
karena salah satu syarat tidak dipenuhi yaitu bukan penerima sakramen.
2) ad liceitatem
Yaitu, syarat demi bolehnya menerima sakramen. Atau dengan kata
lain syarat supaya suatu sakramen boleh dan pantas diterima. Syarat ini
lebih kepada disposisi batin, intensio batin yang mengarah kepada sikap
tobat dan iman dan mau menjalin kembali hubungan mesra dengan
Tuhan.
Syarat-syarat ini, biasanya banyak dan dapat dipenuhi minimal
bahkan maksimal. Misalnya calon suami yang tidak mau berusaha demi
kebahagiaan isterinya, tak boleh (tak pantas) menerima dan
menerimakan sakramen perkawinan. Namun kalau tetap dilaksanakan
upacara pernikahan, secara sacramentum et res, keduanya sungguh
menjadi suami isteri, tetapi tujuan akhir / res tantum (bersatu dengan
Allah dan laki-laki itu menjadi suami wanita konkret) belum / tidak
tercapai.
Kedua syarat ini, menjadi penting untuk diperhatikan dalam
penerimaan sakramen-sakramen Gereja.
BAB IV
SAKRAMENTALI
4.1. Apa itu Sakramentali
Bidang Liturgi gereja, tidak terbatas pada Sakramen dan ibadat harian
saja. Tetapi Bunda Gereja juga mengadakan upacara yang bersifat
sakramental yang sering disebut “ Sacramentale” (sakramentali) lalu apa itu
Sacramentali ?
Banyak orang katolik tahu bahwa ada 7 Sakramen dalam Gereja Katolik,
namun kebanyakan orang tidak tahu, bahwa sebelumnya yaitu pada jaman
gereja awal, jumlah sakramen begitu banyak. Segala macam hal disebut
Sakramen, misalnya; mebaca kitab suci, Brevier/ibadat harian,pesta tahun
liturgi, relikwi,doa bapa kami, indulgensi, amal sedekah, tanda salib, berpuasa,
pengusiran setan, dan sebagainya disebut sakramen. Kondisi demikian terjadi
hingga Abad pertengahan.
Pada abad XII terjadi suatu pendefenisian dan penetapan jumlah 7
sakramen dalam teologi skolastik. Pada tahun 1274 untuk pertama kalinya,
gereja secara resmi mengajarkan tujuh sakramen dalam Konsili Lyon II, lalu
konsili Florence (1439) yang kemudian ditegaskan kembali oleh Konsili Trente
(1547). Setelah penetapan jumlah sakramen tersebut, maka apa-apa yang
sebelumnya disebut sakramen tapi tidak termasuk dalam tujuh sakramen itu
disebut sebagai sakramentali.
Menurut KV II dalam Sacrosanctum Concilium art. 60 “ Sacramentali
adalah tanda yang mirip dengan tujuh sakramen, ditetapkan Gereja,
melambangkan akibat tertentu terutama akibat rohani yan diperoleh karena
doa-doa Gereja” defenisi seperti ini juga terdapat dalam KHK 1188
sacramentali didefenisikan sebagai “Tanda suci yang dengan cara yang mirip
sakramen menandakan hasil-hasil, terlebih yang rohani yang diperoleh berkat
doa permohonan Gereja
Terhadap defenisi di atas dapat kita pahami sebagai berikut:
Disebut mirip sakramen karena, sakramentali juga menggunakan aneka
simbolisasi yang dikenal pula dalam sakramen-sakramen. Misalnya;
percikan air suci untuk aneka pemberkatan dikenal pula simbolisasi air
dalam Sakramen Baptis. Pmberkatan makan, ladang, hasil kebun mirip
dengan sakramen eakristi yang mengguanakan Roti dan Anggur sebagai
simbolnya. Pertunanganan mirip dengan sakramen perkawinan.
Sakramentali selalu diarahkan kepada perayaan sakramen dan juga
perayaan yang mengalir dari sakramen. Maksudnya, sakramentali terarah
dan mengalami kepenuhannya dalam sakramen, misalnya ; pemberkatan
macam-macam benda dan air suci terarah pada sakramen baptis. Doa
orang sakit, terarah pada sakramen pengurapan orang sakit.
Menandakan karunia yang bersifat rohani.
Sakramentali itu pertama-tama lebih melambangkan karunia yang bersifat
rohani yang batiniah. Dan juga sakramentali itu memberikan status sosial
tertentu. Misalnya; penahbisan abas, gedung gereja, pertama-tama
menandakan karunia rohani dan juga status sosial bahwa orang ini adalah
abas dan gedung ini adalah rumah Tuhan bukan warung makan.
Karunia itu diperoleh berkat permohonan Gereja
Yang utama dalam sakaramentali adalah tindakkan doa permohonan
gereja. Sakramentali ini merupakan bentuk konkret dari doa permohonan
gereja. Konkret karena berakibat rohani bagi orang atau kelompok tertentu.
Dari kedua defenisi ini dapat kita petik bahwa dalam perayaan sakramentali
ini yang utama adalah Doa permohonan Gereja untuk mendapatkan
buah/akibat rohani. Selain itu juga kemahiran menggunakan sacramentali
dimanfaatkan sebagai sarana pembinaan Iman. Untuk itu sakramentali tidak
boleh diremehkan. Beberapa peristiwa penting dalam hidup manusia, (orang
Kristen Modern) seperti; Lulus sekolah, pindah tempat tinggal, naik
pangkat/jabatan, sukses usaha, dan sebagainya, perlu dihayati dalam kerangka
Iman Kristiani. Artinya, peristiwa-peristiwa hidup orang Kristen modern ini perlu
diberi nilai Kristen.
Untuk mencari suatu sacramentalia baru, entah diterima resmi oleh
Gereja, entah dihayati saja sebagai penghayatan setempat, perlu dilihat
sebagai Karya Allah dalam karya manusia dan yang manusiawi. Pertama; yang
harus dihindari adalah pengahatan otomat/magi yang umumnya sulit dilepas
dari penghayatan Umat. Kedua; mencari makna dan penghayatan khusus
Kristiani dalam peristiwa-peristiwa yang mau dijadikan Upacara Sakramentali.
Perlu dipertanyakan, manakah makna Kristiani peristiwa ini? Bagaimana
Pandangan Kristiani terhadap peristiwa ini? Manakah hubungannya dengan
peristiwa-peristiwa Yesus dulu dan penggenapan Keselamatan yang akan
datang.
Sakramentali harus dipahami dalam kerangka hidup liturgis Gereja, bukan
sebagai tindakkan lepas, yang mempunyai arti dalam dirinya sendiri. Ada yang
dengan jelas termasuk dalam bidang liturgis, karena kaitannya dengan
sakramen atau peryaan gerejawi. Tetapi segala macam sakramentali dalam
lingkungan keluarga juga harus dihubungkan dengan doa Gereja. Sakramentali
tidak mempunyai daya Illahi dari dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh merupakan
perwujudan sikap doa gereja. Karena itu sakramentali janganlah dipandang
hanya sebagai sarana untuk memperoleh Rahmat, tetapi juga dan terutama
sebagai upacara keagamaan yang mau menghormati dan meluhurkan Tuhan
4.2 Hubungan Sacramentali dengan Sakramen
a. Sakramen-sakramen merupakan tindakkan Kristus dalam Gereja dan
karunia Rahmat sakramental (Res Tantumnya) diperoleh menurut makna
ex opere operato (berkat perayaan itu sendiri), meski Imamnya berdosa,
sakramennya tetap sah diterimakan karena Kristus sendirilah yang
bertindak sebagai pelayan sakramen. Sedangkan dalam sakramentali,
ibadatnya lebhi merupakan doa permohonan Gereja yang Karunia
Rahmatnya melulu bergantung pada kemurahan hati Allah.
b. Sakramen-sakramen menyangkut Gereja seluruhnya dan merupakan
pelaksanaan diri Gereja dalam bidang perayaan; sedangkan sakramentali
selalu bersifat Khusus, merupakan perwujudan doa-doa gereja bagi orang
tertentu, entah pribadi, entah secara kelompok. Singkatnya dikatakan,
sakramentali merupakan bentuk doa permohonan Gereja yang konkret.
c. Dalam sakramen-sakramen, Gereja secara resmi unjuk diri, tampil
memperlihatkan siapa dirinya dan apa tugas perutusannya, sehingga
pemimpin sakramen-sakramen biasanya pejabat resmi Gereja. Dalam
sakramentali, gereja tidak menyatakan diri secara resmi, maka
pemimpinya tidak selalu harus imam, kecuali sacramentalia tertentu
yang ,malah harus uskup, seperti Penahbisan Abbas.
d. Sakramen – sakramen merupakan gerakkan dari atas (katabatis) dan
sacramentalia merupakan gerakkan dari bawah (annabatis)
4.3. Macam Ragam Sakramentali
Ada banyak sekali upacara-upacara atau simbol-simbol yang disebut
sakramentali, misalnya doa-doa tertentu, tanda salib, jalan salib, segala macam
berkat, pengusiran setan, juga patung, khususnya salib, medali, air suci, abu,
(pada rabu Abu) palma (minggu Palma). Beberapa Sakramentali berhubungan
langsung dengan perayaan sakramen misalnya; Pemberkatan air baptis dan
pakaian putih, malahan pengurapan sesudah permandian, dalam perkawinan,
doa atas cincin perkawinan dan pemberkatan kedua mempelai. Tetapi juga ada
yang mempunyai arti khusus dalam hidup orang seperti kaul kebiaraan,
pemberkatan busana kebiaraan, pemberkatan ladang dan panen, Pendeknya
untuk segala situasi kehidupan yang penting yang pantas disertai doa
permohonan gereja, kiranya ada sakramentali. Sebab “ Bila manusia
menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada
sesuatupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan
memuliakan Allah ( SC 61).
Tentang macam ragam Sakramentali berdasarkan SC 61 di atas dapat kita
uraikan sebagai berikut :
Pemberkatan yang tidak merubah status atau tujuan penggunaan dari yang
dibekati (Benedictiones Invocativae). Obyek yang diberkati itu bisa berupa
manusia, bisa berupa barang. Misalnya:
- Pemberkatan dahi anak – anak dengan tanda salib, orang sakit,
jenasah, keluarga, suami, istri, orang bertunangan, ibu hamil, jompo.
Peziarah, orang bepergian, dan lain-lain. Orang-orang yang diberkati
ini, tidak mengalami perubahan status, namun jelas memperoleh
karunia rohani.
- Pemberkatan atas barang; rumah, perpustakaan, toko, sekolah, rumah
sakit, bengkel, rumah biara, gedung olahraga, alat-alat transportasi,
sawah, ladang, benih, dll. Benda-benda ini, tidak mengalami
perubahan status, tetapi mempunyai karunia rohani.
Pemberkatan yang mengubah status atau tujuan pemanfaatan dari yang
diberkati, maksudnya, begitu diberkati, maka orang atau benda itu
dikhususkan untuk Allah.
- Misalnya ; pakaian liturgi (kasula/alba) jangan dipakai sebagai selimut
saat tidur. Salib, rosario, medali, skapulir, jalan salib, patung/lukisan,
Kitab Suci, Gereja, Altar, dan lain-lain. Barang-barang ini mengalami
perubahan status, yakni dikhususkan untuk Allah.
- Penahbisan Abas/abis, Kaul biarawan/i, Pemberkatan Perawan, dll.
Orang-orang ini memiliki status baru yakni menjadi Abbas, biarawan/i,
menjadi orang khusus.
Exorcisme / pengusiran setan juga disebut sacramentali.
Gereja Ktolik mengenal doa / ibadat Pengusiran Setan yang disebut
exorcisme. Dari kata Yunani Exorkizein yaitu mengusir keluar roh/setan.
Secara liturgis, ada 2 dua Ibadat Exorcisme
1. Exorcisme Imperekatoris ( usir dengan perintah) mengusir setan
dengan cara memerintah seperti ini, tidak dilakukan oleh
sembarang orang dan hanya bisa dilakukan oleh Imam, yang
saleh, bijaksana dan biasanya diberi kewenangan/ijin oleh ordinaris
wilayah.
2. exorcisme deprekatoris (usir dengan permohonan)
Pengusiran dengan cara seperti ini, lebih kepada doa permohonan,
agar Allah menjauhkan seseorang/benda dari kuasa Roh Jahat atau
kuaa setan. Misalnya Upacara Scrutinia pada calon Baptis.
Pertanyaan yang muncul, apakah, gereja mengakui ada setan?
Sampai sekarang, Gereja mengakui, adanya kuasa kegelapan/kejahatan, yang
pada intinya, mau menjauhkan kita dari Tuhan dan membahayakan
keselamatan kita. Di satu pihak Gereja mengakui adanya kuasa kegelapan
namun pihak dilain kuasa kegelapan itu, seberapapun besarnya, tetap dibawah
keagungan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit. Yesus sendiripun pernah
alami kuasa kejahatan itu, dicobai di padang gurun, disalibkan, mengalami
kegelapan makam dan semua itu telah dikalahkan oleh kebangkitannya pada
hari ketiga.
4.4. Kanon yang berbicara tentang Sakramentali
Tentang Sakramentali ini, dibicarakan dalam CIC (Codex Iuris Canonici) /
KHK (Kitab Hukum Kanonik) Kanon 1166 sampai dengan Kanon 1172.
Kan.1166 ----- Tentang pengertian Sacramentali
Kan.1167 ----- Wewenang Penafsiran terhadap Sacramentali
Kan. 1168----- Pelayan Sacramentali
Kan. 1169 – 1172 ----- Perayaan Sacramentali
.
BAB V
SAKRAMEN DALAM AJARAN DAN TRADISI KATOLIK
5.1 Faham Keselamatan dalam Hidup Kita
Vatikan II memandang keselamatan ( LG1) sebagai kesatuan manusia
dengan Allah dan persatuan manusia dengan manusia lainnya. Artinya tanpa
kesatuan seperti itu, Vatikan II sulit melihat suatu penghayatan keselamatan
yang benar dan asli. Kesatuan dengan Allah hanya dapat dilihat dan
diwujudkan dalam bentuk inderawi, antara lain, lewat manusia lain dan
perlakuan terhadap manusia lain itu. Selain manusia, orang katolik juga
menciptakan berbagai sarana yang dijadikan simbol untuk menghubungi atau
bersatu dengan Allah. Dalam bab ini, kita akan melihat sejarah membuat
sarana atau simbol untuk menghubungi atau bersatu dengan Allah yang
dinamakan Sakramen.
5.2 Sakramentalitas dalam Kitab Suci
Dalam Kitab Suci tidak kita temukan kata Sakramen, hanya ada dua kata
dalam kitab suci, yang berhubungan dengan sakramen, yakni kata
Permandian/Pembaptisan dan Ekaristi/pemecahan roti. Dua kata ini
merupakan ritus-ritus keagamaan yang mempunyai makna pribadi dan sosial.
Ritus - ritus keagamaan ini yang dipakai dan dipraktikkan dalam Gereja Purba,
umumnya diambil dari lingkungan luar gereja, Misalnya permandian diambil dari
Lingkungan orang Yahudi. Sebelum menjadi Yahudi, orang itu harus;
- Diajarkan pengetahuan agama
- Diuji Motivasinya
- Diadakan pengakuan dosa
- Disunat
Orang Kristen mengambil alih ritus Yahudi ini, dengan memberikan
makna baru yakni; Melalui Ritus ini Karya Keselamatan Kristus disalurkan,
melalui Ritus ini Gereja mengambil bagian dalam Sengsara-Wafat-Kebangkitan
Kristus. Ritus ini kemudian oleh Jemaat kristen dinamakan Sakramen dan yang
kini kita kenal dengan sakramen Permandian. Sakramen-sakramen itu yang
dirayakan dalam ritus-ritus Gereja, tidak lahir dari satu teori, tetapi lahir dari
Praktek Jemaat purba yang terinspirasi dari pengalaman keselamatan akan
Kristus melalui misteri Sengsara-Wafat dan kebangkitan-Nya.
Jemaat perdana tercipta oleh pengalaman akan Kristus khususnya
Kristus yang bangkit dari antara orang mati dan terus berkarya dalam Roh
Kudus hingga kedatangannya kembali. Pengalaman yang terungkap akan
Kristus yang bangkit diekspresikan dalam ritus-ritus dan diteruskan dalam
generasi-generasi lain yang tidak mendapat pengalaman awal itu. Dengan
demikian, gereja sebagai kumpulan umat beriman mengalami keselamatan
tetapi juga gereja itu ditumbuh kembangkan oleh perayaan-perayaan itu.
Ekaristi membuat Gereja dan Gereja membuat Ekaristi.
5.2.1 Perjanjian Lama
Kata “ sakramen” tidak ditemukan dalam Perjanjian Lama. Namun
kemudian ketika Perjanjian Lama ditulis dalam Lingkup Kebudayaan Yunani,
muncul kata “mysterion” (Rahasia). Kemudian kata Mysterion ini diterjemahkan
dalam bahasa Latin dengan “ Sacramentum” .
Kata “Mysterion” digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani S’od atau
kata Aram/Parsi Raz, kata Mysterion ini berakar pada kata My, kata kerja Myein
yang berrti menutup mulut atau mata, sebagai reaksi atas pengalaman yang
mengatasi nalar, suatu pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-
kata. Dengan demikian, makna dasar Mysterion berhubungan dengan
pengalaman akan Yang Illahi, yakni suatu pengalaman batin yang tidak
terlukiskan dengan kata-kata, karena berjumpa dengan yang Illahi. Dalam
Kitab Suci, Kata ini diterjemahkan dengan arti ‘RAHASIA’.
Pertama Rahasia dalam arti Profan (Rahasia tanpa ada nada religius
keagamaan misalnya; dalam Kitab Tobit 7:11; Yudit 2:2; Sirakh 22:22; 2
Makabe, 13:21)
Kedua, Rahasia dalam arti yang bersifat Religius yang dikaitkan dengan
agama-agama Kafir, misalnya dalam Kitab Kebijaksanaan 12:5;14:15-23
dikatakan “mereka tidak tahu akan Rahasia-rahasia Allah” “Mereka
membuat ritus-ritusnya secara Rahasia.
Ketiga, Rahasia dalam arti Apokaliptik, sebuah proses dan akhir sejarah
yang tidak dapat diketahui manusia (Daniel 2:28-30,47)” Allah sendiri
yang akan mengungkap Rahasia pada Zaman yang akan datang” maka
dapat dikatakan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata Mysterion
menunjuk pada dinamik Allah yang menyinkap atau menyatakan Diri-Nya
atau rencana Penyelamata-Nya dalam sejarah manusia.
Akan tetapi ketiga arti kata Mysterion ini tidak dimengerti dalam suatu arti
sakramental. Kendati tidak secara ekspilisit, dalam Perjanjian Lama sudah ada
gaya berpikir sacramental.
1. Dalam perjanjian lama Sakramen dapat terjadi berupa benda/barang dan
berupa perbuatan. Sacramentalisme perjanjian lama yang dihubungkan
dengan objek Khusus misalnya:
a) Kisah Semak belukar yang bernyala (Kel 3:2-4). Semak belukar yang
menyala tersebut dianggap sebagai sebuah penampakkan Allah. Itulah
yang dialami Musa, barang kelihatan (semak bernyala) mempunyai
makna Transenden dengan demikian, yang Transenden tersebut
dialami sebagai Yang Imanen.
b) Sebuah Perapian (Kej.15:17). Kisah Abraham mengalami sebuah
perapian yang berasap dan sebuah obor yang menyala. Bagi Abraham
Perapian dan Obor merupakan tanda Penampakkan Tuhan, yaitu
kehadiran Allah yang mengikat perjanjian dengan dirinya.
c) (Kej 28: 18-22) Batu yang dioles dengan minyak oleh Yakub untuk
meletakkan kepala Yakub dan batu itu disebut “ Beth-el “ Rumah Allah”
(Baitullah / Ka’abaah) batu / beth-el tersebut dilihat sebagai Epifani.
d) (Bil 21 : 9) Ular yang oleh Musa dipancang di Gurun merupakan
lambang Reel Yahwe yang menyelamatkan / menyembuhkan,
lambang kehadiran Allah bagi mereka yang memandang dengan
percaya kepada ular perungu tersebut.
e) Tabut perjanjian Simbol kehadiran Allah (1 Samuel 4-6). Orang Israel
meyakini bahwa Allah sendiri hadir dalam Tabut itu, maka mereka
membawa peti itu ke medan perang (1 sam 4:3-5) dan orang filistin
berseru “lihat Allah datang ke perkemahah mereka”(1 Sam 4:7). Tabut
tersebut disapa seperti Allah sendiri (Bil 10 : 35)
Yang istimewa dari Bangsa Israel adalah mereka melihat yang tampak
dalam benda dan berupa benda / barang keramat itu bukan “Yang Illahi”
melainkan “Tuhan” (Yahwe), Allah Israel, Allah Abraham, Allah Ishak,
Allah Yakub yang menghantar Umat Israel keluar dari tanah Mesir (bdk.
Kel. 3; 1 Sam 4 ; Bil. 4). Dengan itu, Israel mau menekankan unsur lain
yang Fundamental (bangsa lain tidak menekankan itu) yaitu bahwa “Allah
Israel adalah Allah sejarah. Maka berbagai penampakkan dalam agama
Israel selalu merupakan Teofani , berbeda dengan agama agama lain
penampakkan selalu berupa Hierrofani. Tentu saja dewa-dewi agama lain
itu diberi nama, namun sesungguhnya tidak berpribadi dan bernama.
Sebaliknya Umat Israel mempunyai Allah yang bernama yakni “Yahwe”
dan nama Yahwe ini tidak diberi nama oleh manusia, tidak digelari,
melainkan Ia sendiri yang menyatakan nama-Nya (Kel.3:14 -15; 6:2).
Itulah sebabnya, Yahwe tak bisa disamakan dengan dewa / dewi, dan
penyembahan terhadap Dewa-dewi lain dilarang keras ( Kel. 20:3) yahwe
sendiri memang Allah yang cemburu
2. Sakramentalisme perjanjian lama dihubungkan juga dengan Gejala alam.
Gejala alam sering diartikan oleh Kitab Suci sebagai Penampakan Allah,
misalnya:
a). Kel. 19:16; 18 – 19. Guruh, Kilat, awan padat, bunyi sangka kala dan
gunung
sinai ditutupi seluruhnya dengan asap kemudian Allah Turun
keatasnya
dalam Api.
b). Ayub 37:1 – 24. Ayub menggambarkan perkataan Allah seperti Kilat,
Guntur,
guruh, hujan deras, es salju, terang, sinar keemasan dan lain
sebagainya.
c). 1 Raj. 19 : 12. Allah hadir untuk berbicara dengan nabi Elia melalui
angin
sepoi-sepoi
Namun tidak semua gejala alam diartikan sebagai penampakkan Allah,
Perjanjian lama justru menekankan bahwa Yahwe itu berpribadi dan
melampaui alam raya. Setelah Israel mengidentifikasi Allah sebagai
Yahwe, barulah Yahwe dianggap juga Pencipta Alam semesta. Maka
yang tampak dalam alam kosmos, bukan sebuah daya anonim, melainkan
Yahwe membuat bagi diriNya sebuah Nama dalam sejarah Israel. Bahkan
Israel yang terbentuk oleh sejarah itu sendiri, disebut sebagai
“sakramen”/Teofani”. Jadi singkatnya, kejadian atau peristiwa, mesti
dilengkapi dengan keterangan Firman dari Yahwe yang disampaikanNya
lewat hamba-hamba-Nya. Jadi selalu ada dua hal yakni Peristiwa dan
Firman, dari keduanya Firmanlah yang utama dan menetukan suatu
sakramen historis atau kejadian berupa kehadiran Allah dalam dan lewat
Allam raya..
3. Sakramentalisme Perjanjian Lama mendapat bentuknya dalam ritus-ritus.
Dalam Perjanjian Lama, sacramen historis atau kejadian berupa
kehadiran Alam mendapat bentuk kultisnya dalam ibadat Israel. ada ritus-
ritus tertentu sebagai tanggapan tentang kehadiran Allah dalam Kosmos
(Sakramen Alamiah/ritus-ritus kosmos). Tanggapan atas yang Illahi, yang
Kudus dan ritus-ritus ini, akan menjadi ido-latria (Penyembahan berhala)
apabila yang Illahi tidak dapat diidentifisir, karena itu, dalam Agama Asli
dibedakan:
Hierofani-- Penampakkan Illahi, yang tak bernama (Allah Bangsa non
Israel )
Teofani --- Penampakkan Illahi yang disebutnya Yahwe (Allah Orang
Israel
keb.13:1-9)
Melalui ritus itu, orang Israel mengungkapkan / mengenang karya-
karya agung Allah, khususnya peristiwa eksodus. Oleh umat Israel,
kehadiran Allah, “sakramen Historis” atau kejadian berupa kehadiran
Allah dalam alam, dan lewat alam, mendapat bentuk kultisnya dalam
Ibadat Israel. Dengan demikian, “Sakramen berupa perbuatan simbolik
ditampakkan dalam bentuk Upacara Ibadat. Maka Ibadat Israel sebagai
tindakkan simbolik, semakin penting dilaksanakan untuk menghayati
Sakramen Historis.
Ibadat itu sendiri, tesimpul dalam (Tiga) perayaan tahunan yang
didalamnya, seluruh umat ( laki-laki) mesti ikut serta (Kel. 23:14 -17; 34:
18-23; Ulangan 16: 1-17). Perayaan tersebut merupakan Perayaan
“Tindakkan” yahwe dalam sejarah umat manusia.
a). Pesta paskah yahudi dan Pekan Roti tak Beragi.
Pesta ini merupakan perayaan “Tindakkan” Yahwe yang
menciptakan Umat Israel sebagai Umat Allah (Keluaran dari Mesir).
b). Pesta Pekan-pekan (pentakosta yahudi)
Pesta ini kurang penting, namun kemudian, dihubungkan dengan
Perjanjian Sinai dan Taurat Musa.
c). Pesta Pondok daun.
Pesta ini aslinya, merupakan syukuran atas panen anggur. Namun
kemudian dihubungkan dengan perjalanan Umat Israel di padang
gurun, menuju tanah terjanji (Im 23:43)
Dalam Perjanjian Lama, dikenal juga istilah
Zikharon/Anamnesis/Kenangan artinya mengaktualkan/menghadirkan kembali
kejadian di masa lampau. Dalam konteks Perjanjian Lama, yang dihadirkan
adalah Mirabilia Dei yaitu (karya-karya agung Allah dalam puncaknya yaitu
peristiwa eksodus). Eksodus menjadi inti Paskah Yahudi (Bdk.Ul. 5:15----
Mengingat kembali peristiwa Eksodus) Suruhan itu harus dirayakan dalam ritus,
terutama untuk mengingat (Kej 12 :1-20). Selain itu, kata (Zikaron) dikaitkan
dengan dosa-dosa Israel. Hosea 8:13--- supaya Allah tidak mengingat dosa
(mengampuni) Bdk.. Yesaya 43:25.
Dalam perjanjian lama, simbol-simbol yang dipakai sebagai sacramen
dinamai sendiri oleh yahwe melalui Firman Nya, bukan oleh manusia. Hal ini
yang membedakkan israel dengan bangsa-bangsa lain. Allah orang Israel adlah
Allah yang cemburu (jangan ada padamu Allah lain). Hanya Yahwe satu-
satunya.
5.2. 2 PERJANJIAN BARU
Dalam perjanjian Baru tidak ditemukan lagi pemikiran sacramentalisme yang
dihubungkan dengan benda atau barang tertentu (kecuali 1Kor 10:16;11:27-30),
tidak ada lagi pemikiran sakramentalisme yang berupa gejala alamiah, hanya
Rom.1:19-20 bdk.Kis 14:17 yang masih menjurus ke situ) tidak juga kita
temukan ada aturan yang terinci berkenaan dengan salah satu upacara yang
perlu dirayakan sebagai ritual suci. Seperti (1 Tim 2 : 1-7 dan 1 Kor 11:23) tidak
lagi memuat aturan semacam itu. Tetapi pemikiran sacramentalitas perjanjian
baru semuanya berpusat kepada tokoh Yesus Kristus dan segala Perbuatan-
Nya. Dalam perjanjian baru yang tampil ke depan adalah Sakramen berupa
Firman dan perbuatan. Dan perbuatan itupun berpusat pada Diri Yesus Kristus.
Kenyataan seperti Yesus mengerjakan Mukzijat menujukkan ada penampakkan
kekuatan kerajaan Allah yang hadir dalam Tindakkan-Nya itu. Santo Paulus
katakan: Sakramen Perjanjian Lama hilang efektifitasnya dalam kehadiran
Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. (Kolose 11:7) sedangkan Yohanes
menekankan aspek sacramental dalam seluruh kehidupan Yesus.
Dalam Perjanjian Baru Pemikiran berpusat pada
1. Tindakkan Yesus Sebagai Sakramen
Dalam perjanjian baru, yang tampil ke depan, adalah sakramen berupa
perbuatan. Perbuatan itupun terpusat pada perbuatan Yesus Kristus.
Kenyataan ini dapat terlihat, keika Yesus mengerjakan Mukjizat. Ketika
mengerjakan Mukjizat itu, ada tiga aspek disana; yaitu, FIRMAN misalnya
“tallitakum” TINDAKKAN misalnya “ Meletakkan Tangan ke atas orang
yang sakit dan BARANG misalnya, Ludah, Air Lumpur, dan lain-lain. Hal
seperti ini dapat kita lihat dalam Markus 8:23-25; Yoh. 9 : 6 (Orang buta
dimelekkan) atau dalam Mark. 6:13 disebutkan para murid menggunakan
minyak untuk menyembuhkan orang, Mukjizat yang dibuat Yesus dipahami
sebagai pernyataan kekuatan Kerajaan Allah yang hadir dalam tindakkan
Yesus tersebut. Artinya, kejadian material/nyata tersebut menjadi dimensi
kelihatan dari kekuatan Iilahi, Kerajaan Allah yang tak kelihatan.
2. Pribadi Yesus sebagai Sakramen Utama
Yohanes menekankan aspek sakramental dalam seluruh hidup Yesus.
Seluruh perihal tindakkan Yesus dilihat Yohanes sebagai semeion (tanda).
Artinya, semua tanda kehadiran Allah di dunia, dihubungkan dengan Yesus
Kristus sendiri. Martinya, orang yang mengalami Yesus sebenarnya
mengalami kehadiran Allah sendiri. Yohanes menekankan perlunya Firman
agar manusia mengerti suatu kejadian berasal dari Allah. Yesuslah
Firman itu, yang menyingkapkan dimensi terdalam dari semua peristiwa di
dunia sehingga orang memahami Allah. Kalau demikian, menurut Yohanes
“ Yesuslah Sakramen Utama” yang menampakkan Allah secara Aktif di
dunia ini. Yohanes menegaskan demikian “siapa melihat Aku,
sesungguhnya melihat Bapa” (Yoh 14:9)
3. Gereja sebagai Sakramen induk / dasar
Kalau Yesus dan tindakkannya diartikan secara sakramental, maka
seluruh kehidupan gereja / jemaat juga merupakan sakramen. Dalam Kis.
2, hal itu secara tegas dinyatakan bahwa peristiwa pentakosta diartikan
sebagai penampakkan Illahi yang turun atas Jemaat Yesus (Gereja)
sebagai tempat “ daya / roh “ Penyelematan Allah. Singkatnya dikatakan
Jemaat / Gereja dilihat sbagai Sakramen Kristus.
Paulus menegaskan bahwa aktivitas jemaat yang merayakan Jamuan
Tuhan, mewartakan kematian Tuhan sampai Ia datang (1 Kor. 11:26)
merupakan aktifitas masa kini yang berhubungan dengan masa lampau
(wafat Yesus) dan mengharapkan kedatangan Yesus di masa datang
(eskatologis).
Singkatnya, dikatakan bahwa sakramentalisme pada perjanjian baru
terdapat pada diri Yesus Kristus dan jemaat-Nya.
4. Tujuh (7) Sakramen adalah aktualisasi dari Gereja sebagai sakramen
Kristus terutama dalam fungsi Leoturgianya.
Tiap sakramen individual, merupakan realisasi dari sakramen-sakramen
Gereja. Misalnya, sakramen permandian merupakan realisasi Rahmat
permandian dari Sakramen Gereja.
E. Schillebeekx menginterpretasikan sakramen-sakramen individual,
sebagai ekspresi manifestasi eklesial dari Cinta Kristus kepada manusia
(Rahmat) dan Cinta manusia untuk Allah (Kultus)
Karl Rahner (The Curch and the Sakrament), Sakramen-sakramen
berbicara tentang tingkat – tingkat aktualitas dari realisasi diri Gereja pada
tingkat yang tertinggi. Sakramen menduduki tempat tertinggi untuk
mengungkapkan apa itu Gereja.
Dalam realisasi ini, terjadi suatu dialektika bahwa Gereja diciptakan
oleh sakramen-sakramen dan pada waktu yang sama, sakramen-sakramen
diadakan oleh Gereja. (KGK 1118)
BAB VI
REFLEKSI TENTANG SAKRAMEN DALAM PERKEMBANGAN
SEJARAH GEREJA
6.1 JAMAN PATRISTIK
Pada jaman patristik ini, penyebaran ajaran kristen ke Yunani membuat
Gereja sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kebudayaan Helenis. Dan
keprihatinan utama dalam jaman ini adalah Bagaimana manusia dapat
mengambil bagian dalam hidup yang Illahi. Yakni bersatu dengan Allah
sesudah kematian. Di satu pihak, manusia merupakan bagian kecil dari Allah,
karena menurut pemikiran Helenis, manusia tidak dapat mencapai kerinduan ini
karena ia kecil dan dengan perbuatannya sendiri tidak mungkin dapat
mencapainya.
Pemikiran kaum helenis ini oleh Katolik dijawab bahwa, manusia dari
dirinya sendiri tidak dapat naik mencapainya, tetapi Allah sendiri yang
berinisiatif untuk mendatangi manusia. Lewat cara, didalam Yesus Kristus
PutraNya. Karena itu, satu-satunya jalan mencapai keselamatan adalah bersatu
dengan Yesus Kristus. Bersatu dengan Yesus Kristus maksudnya, kita
mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa hidup Yesus, hidup kita disatukan
dengan hidup Kristus.
Bentuk partisipasi dalam hidup Yesus:
# Secara Sakramental;
Misalnya, Permandian mempersatukan kita dengan Kristus (Incoporatio)
menjadi Tubuh Kristus. Permandian Juga menjadikan kita bersatu
dengan orang lain (Concorporatio) membentuk Tubuh Kristus.
Ekaristi, lebih erat kita disatukan dengan Kristus (1 Kor 10:16-17).
# Melalui Hidup Kita
Seluruh hidup kita harus diwarnai dengan semangat Kristus, oleh
karena itu, pada akhirnya kita menjadi Sakramen Kristus. Santo Paulus
katakan ,” Bukan aku lagi yang berbicara, tetapi Kristuslah yang
bersabda”. Pernyataan Paulus ini menimbulkan konsekwensi berpikir,
muncul banyak Sakramen, karena seluruh hidup dilihat sebagai aktualisir
Sakramen Kristus, sehingga pada jaman ini jumlah sakramen menjadi
tidak terhitung. Pada Masa ini pertanyaan tentang 7 Sakramen belum
relevan karena, umumnya mereka masih menekankan Corak sakramental
dari seluruh Hidup Kristus.
a) Tertulianus (abad ke-3)
Tertulianus meringkas Ciri-ciri Teologi pada masanya; teologi pada abad
ini, menekankan aspek eskatologis, kemudian menjelaskan kesaksian
para anggota Gereja perdana (Martir), perlunya partisipasi sakramen-
sakramen dalam kehidupan berjemaat. Mempertahankan kebenaran-
kebenaran iman Kristen terhadap ajaran sesat.
b) St. Agustinus (311)
Ia melawan ajaran Donatisme yang dipelopori oleh Donatus.
Donatisme menolak keabsahan satu sakramen yang dilayani oleh
pelayan yang tidak pantas. Untuk melawan ini, Agustinus mengatakan
bahwa Kelayakan Sakramen tergantung pada pelaku Utama yaitu Kristus,
sedangkan pelayannya hanyalah alat (ex opere operato, non ex opere
operantis).
Ia juga melawan Pelagianisme yang dipelopori Pelagius yang
mengatakan,” manusia dari kekuatannya dapat menyelamatkan dirinya
sendiri, dosa Adam hanya merupakan kelemahan pribadi yang tidak
mempengaruhi keturunannya, artinya keturunan tidak terkena dosa asal,
karena itu tidak mempengaruhi kehendak bebas kodrati manusia, karena
itu tidak perlu Permandian” Terhadap ini, Agustinus mengatakan bahwa,”
Dosa adam telah merusakkan Kodrat manusia. Karena itu manusia dari
kodratnya tidak dapat untuk menyelamatkan diri sendiri. Karena itu setiap
orang yang lahir sesudah adam perlu permandian untuk menghapus dosa
asal.
Sto. Agustinus, memberikan karakter filosofis terhadap Sakramen.
Untuknya sakramen adalah realitas fisis untuk masuk kedalam realitas
spiritual. Dan ia mengatakan harus ada hubungan antara tanda dengan
yang ditandakan. Pemikiran Agustinus ini, sangat mempengaruhi teologi-
teologi selanjutnya Karena itu Agustinus membedakan tanda bahwa;
Tanda yang paling agung adalah “Kata”. Karena melalui kata-kata realitas
yang tak kelihatan bisa dipahami. “kata” ini membangun Sakramen dan
karena itu, disebut Sakramen kelihatan (Verbum Visibile)
Verbum Audibile------Kata-kata yang diwartakan untuk didengarkan
Verbum Visibile-------Kata-kata yang kelihatan, dirayakan. Mis: Mujizat.
St. Agustinus Say: Allah menciptakan Saya tanpa saya, tetapi Allah
menyelamatkan saya bersama saya.
6.2 ABAD PERTENGAHAN
Pada abad pertengahan, pembicaraan tentang Sakramen masih tentang
persatuan dengan Allah, tetapi penekanannya berbeda.
Bagi Mereka, keselamatan adalah pemenuhan keinginan akan kerinduan
manusia yang tidak dicapai di dunia ini, tetapi di Surga. Karena itu, sasaran
refleksinya bukan Misteri Kristus, tetapi Rahmat. Segala Rahmat itu diperoleh
bagi kita oleh Kristus melalui sarana-sarana. Dan sarana yang penting pada
abad ini adalah SAKRAMEN. Karena itu, untuk masuk surga, harus beroleh
banyak sakramen, karena itu mereka berefleksi ada 7 (tujuh) sakramen untuk
mencapai keselamatan. Mereka membedakan 2 macam Rahmat.
Gratia Creata -------yang diciptakan, disalurkan lewat sakramen-
sakramen.
Gratia increata -------Yang tak tercipta yang datang dari Allah Roh Kudus.
Hal lain yang dipersoalkan pada Abad Pertengahan adalah tentang Jumlah
Sakramen. Menurut Isidorus dari Sevila Jumlah Sakramen Memang masih
Cukup banyak. Untuknya sakramen adalah barang, benda yang memuat
sesuatu yang kudus didalamnya dan karenanya perlu dihormati dan disembah.
Petrus Damian katakan ada 12 Sakramen.
Baru pada abad XII mulai dikembangkan ada 7 Sakramen, yang
disampaikan oleh para tokoh yang terkenal yakni : Hugo dari Sto. Victor yang
mengatakan ada 7 (tujuh) Sakramen yang disebutnya Sakramenta Mayora.
Kemudian dilanjutkan oleh Petrus Lombardus yang juga mengakui 7 (tujuh)
Sakramen. Thomas Aquinas mengenal 7 (Tujuh) Sakramen dan pembagiannya
didasarkan pada kematangan pribadi, individu dan Sosial. Dan menurutnya
paling penting dalam hidup manusia adalah Lahir – Dewasa – Menerima
makanan ( Permandian – Krisma – Ekaristi)
6.3 TUJUH (7) SAKRAMEN
Pengakuan akan jumlah tujuh mempunyai sejarah yang panjang. Dan hal
ini tidak jelas pada awalnya, sehingga jumlahnya tak terhingga. Sampai pada
abad II masih kabur dan tidak jelas. Dari bermacam kegiatan yang disebut
sakramen, diambil yang utama. Jumlah sakaramen ini, mulanya mempunyai
daftar yang begitu panjang. Baru oleh Petrus Damian menyebut Permandian –
Ekaristi – Tahbisan, sebagi Sakramen Utama. Lalu oleh Hugo dari St.Viktor
mulai mengatakan ada 7 Sakramen.
Kriterianya:
- Sacramenta Salutaria (keselamatan) dan sakramen ini meliputi;
Permandian – Ekaristi – Krisma (sekarang disebut Inisiasi)
- Sacramenta Exerecitationis artinya tidak perlu untuk keselamatan
tetapi
dianggap berguna untuk hidup. Misalnya; Air Suci, Rabu Abu,
Pemberkatan Palma dan Lilin dll. Dalam perkembangan selanjutnya,
hal-hal ini disebut Sakramentalia.
- Sakramen Preparatria termasuk didalamnya, tahbisan dan
konsekrasi
Perminyakan
Konsili Trente (1545 – 1563) mengatakan bahwa, Jumlah Sakramen adalah 7,
tidak kurang tidak lebih. Karena itu sepanjang sejarah tidak ada pengurangan
dan penambahan terhadap jumlah sakramen ini, juga dalam Konsili Vatikan II.
Berdasarkan penetapan ini, kemudian Konsili Trente mengatakan bahwa ada 7
(tujuh) sakramen. Orang masih sulit menjelaskan mengapa konsili trente
mengatakan 7 Sacramen.
Dalam keadaan ini, konsili Trente menggunakan Argumentum auctoritate.
Karena dalam keadaan terserang oleh reformis, karena itu perlu unjuk diri,
unjuk kewibawaan.
Maksud angka 7, kemudian hari, apakah angka matematis atau Simbolis?
Secara matematis sulit diterima, karena bila inisiasi itu satu, maka hanya ada
lima sakramen. Singkatnya, secara aritmatis sulit diterima. Karen itu, angka ini
merupakan angka Simbolis maksudnya;
- angka 7 (tujuh) menunjukkan kepenuhan)
- 7 itu terdiri dari 3 (tiga Pribadi Illahi) dan 4 (empat unsur Dunia). Dengan
demikian, tujuh merupakan simbol persatuan antara yang Ilahi dan yang
diciptakan yaitu dunia. Dan persatuan ini terwujud dalam Kristus yang
menjelma. Dalam diri Kristus terdapat 3 unsur Illahi dan 4 unsur duniawi.
- Dalam Kitab Suci kita temukan 7 Karunia Roh Kudus, ada 7 Roti, ada 7 Kaki
lilin ada 7 sabda dan lain-lain.
- Dari segi teologi, ada & (tujuh) Kerahiman
Jadi angka ini menyimbolkan kepenuhan.
Dalam Ekonomi keselamatan, 7 itu diarahkan pada Kristus Kepenuhan,
kehidupan.
6.4 KARAKTER SAKRAMENTAL
Diantara 7 Sakramen, 3 diantaranya memiliki karakter tak terhapuskan
(Karakter indellebilis) yaitu Permandian – Krisma - Tahbisan). Tak terhapuskan
karena ia Merupakan suatu tanda Spiritual yang membedakan si penerima dari
yang lain. Karena itu, karakter ini selalu berkaitan dengan kepunyaan.
Sakramen ini tak terhapuskan dan tak terulang., ia menjadi Tanda Rohani dan
tanda rohani yang dimeteraikan yakni Roh Kudus yang tak Pernah hilang.
6.5 MATERI DAN FORMA SAKRAMEN
2 Istilah ini diambil dari Filsafat Aristoteles Yaitu Hulle (materi) dan
Morphisme (bentuk). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam teologi khususnya
Sakramentologi. Keduanya menunjukkan exterior dari Rahmat Sakramen.
Materi adalah sesuatu elemen yang ditentukan sebagai tanda dan sarana
yang dipakai untuk suatu tindakkan. Misalnya Air, minyak, Kain putih dan Lilin
( dalam Permandian).
Forma adalah elemen Sakramental yang lebih Spesifik, yang memberi arti
kepada materi. Umumnya Forma terdiri dari Kata-kata dan perbuatan-
perbuatan yang menyertai tindakkan tertentu. Materi Adalah Elemen yang
ditentukan, sedangkan Forma adalah elmen yang menentukan. Keduanya tidak
dapat dipisahkan. Keduanya menjadi tanda yang tak dapat dipisahkan.
6.6 EFEKTIFITAS SAKRAMEN
Menurut iman Katolik, efektifitas terjadi ex opere operato. Dengan
ungkapan ini berarti keabsahan Sakramen dan daya gunanya didasarkan pada
karya yang dikerjakan Allah. Jadi Sakramen mengalami efektivitasnya
bergantung pada Kerja Allah. Karena itu, kesalehan manusiawi (Receiver dan
Giver) tidak menjadi sebab daya Guna suatu sakramen, tetapi semata-mata
oleh kekuatan Allah.
Dengan demikian ditekankan bahwa inisiatif /pekerjaan Allah, tidak
tergantung dari pekerjaan manusia,” ex opere operantis”. Singkatnya dikatakan
efektivitas Sakramen terjadi karena ex opere operato (Karya Allah) non ex
opere operantis (Karya Manusia). Contoh Kasus : Seorang imam pendosa berat
memberikan Absolusi. Absolusi tersebut tetap sah karena tidak tergantung
kekudusan pemberi/penerima tetapi oleh karena Inisiatif / Karya Allah sendiri.
Walaupun demikian, sikap manusia haruslah menjadi kondisi yang layak.
Tuhan memberikan RahmatNya dengan merdeka, tanpa terikat. Allah sebagai
sumber dan prinsip utama. Sedangkan pelayan, hanyalah alat;kondisi yang
memungkinkan Rahmat itu hadir.
6. 7. Ex Opere Operato dan ex opere Operantis
Harafiahnya bahwa sesuatu yang berhasil Ex opere operato sama
dengan berhasil karena karya yang (telah) dikerjakan/dikaryakan dalam hal ini
dikaryakan oleh Allah/Kristus. Hal ini dibedakan dari sesuatu yang berhasil ex
opere operantis sama dengan berhasil karena karya yang (sedang)
dikerjakan/dikaryakan (oleh manusia, bisa orang yang bersangkutan, jemaat
setempat atau Gereja secara keseluruhan)
Jadi secara umum dua istilah ini dipakai untuk menekankan bahwa
sesuatu tindakkan /perbuatan berhasil oleh karena:
1) Tindakkan Allah/Kristus ( meskipun hal ini terjadi dalam tindakkan
Gereja yang mewartakan,berdoa,menerima sakramen, dlsb)
2) Usaha manusia (meskipun hal itupun merupakan rahmat atau karya
Allah di dalam diri kita)
Maka dari itu sesungguhnya tidak sehat merumuskan dan lebih-lebih
mewartakan “ex opere operato” dan “ex opere operantis” sebagai dua hal yang
saling eksklusif: de facto sekaligus ada tindakkan Allah dan tindakkan manusia.
Namun ada perbedaan dalam apa yang ditampakkan: kalau kita menyapa Allah
dalam dosa, nampak disana kelihatan sekali usaha manusia; akan tetapi
sebaliknya nampak kelihatan Tindakkan Allah kalau imam berkata “dosamu
diampuni”.
Istilah “ex opere operato” merupakan istilah yang banyak digunakan
terutama berkaitan dengan Sakramen (dan juga yang lain, misalnya Peristiwa
Yesus di Golgota) hal ini dimaksudkan untuk
1. untuk menekankan bahwa keselamatan dikaryakan/dikerjakan oleh Allah
bukan oleh manusia.
2. untuk menekankan bahwa keselamatan tidaklah dikaryakan/dikerjakan
oleh pelayan sakramen artinya, hasil sakramen (hasil pertama
sakramentum et res dan hasil terakhir res tantum, bersatu dengan Allah)
tidak tergantung kepada pelayannya (pangkat, kesucian,dlsb)
3. Dalam penerapan kepada tujuh sakramen ditekankan bahwa didalam
sakramen-sakramen itu Allah/Kristus mengerjakan keselamatan bagi
yang menerimanya.
4. Ketiga hal diatas, tidak menimbulkan persoalan dalam iman kita. Yang
menimbulkan persoalan justru ketika kita menambahkan bahwa “ex opere
operato” berarti hasil sakramen tidak bergantung kepada aktivitas /
disposisi manusia (penerima sakramen) artinya apabila manusia
penerima itu tidak memiliki aktivitas/disposisi batin pun rahmat sakramen
tetap terjadi oleh karena semua adalah tergantung Karya Allah. Kalau
demikian pengertiannya,maka pemahaman “ex opere operato”
menimbulkan masalah dalam penghayatan iman yang murni dan benar!
Pemikiran terakhir tersebut terdapat pula pada teolog-teolog sesudah
Konsili terente dan rupanya kini terserap dalam penghayatan umat. Untuk
mencegah pengertian yang keliru tersebut maka perlu diperhatikan tiga hal
berikut:
a) menurut teologi pada umumnya dan ajaran resmi gereja (K.Terente)
bahwa secara negatif hasil sakramen itu tergantung pada penerima.
Artinya penerima bisa “ menghalangi” hasil sakramen. Orang
menerima Sakramen tanpa disposisi minimal, tidaklah menerima
sesuatu sebagai hasilnya yaitu suatu “res”, hubungan yang mesra
dengan Allah. Prinsip tologi ini sesungguhnya merupakan suatu
kebenaran umum bahwa manusia dapat menghalangi keselamatan
dengan berdosa.
b) menurut pandangan paling biasa/umum disposisi kurang baik juga
mengurangi hasil Sakramen. Jadi tidak hanya bahwa tanpa disposisi
minimal sakramen tidak berhasil sedikitpun, tetapi berlaku juga
sebaliknya bahwa disposisi secukupnya bahkan lebih optimal hasilnya
juga secukupnya dan bahkan optimal. Keran air adalah contoh yang
baik untuk penerapan pandangan umum ini. Kalau kran ditutup, air
tidak mengalir sedikitpun (meski airnya siap mengalir); sebaliknya
kalau kran dibuka sedikit maka sedikit pula air yang mengalir. Kalau
kran air dibuka optimal maka mengalirlah air dengan penuh. Perlu
diketahui bahwa disposisi batin kurang optimal dan dengan demikian
mengurangi hasil sakramen merupakan konsekuensi logis bahwa
manusia dapat menghalangi atau juga mengurangi hasil Karya Allah.
c) maka persoalan kita selanjutnya adalah apakah sakramen dari dirinya
sendiri meningkatkan disposisi, hal yang tidak terjadi diluar sakramen?
Menanggapi persoalan ini ada dua pendapat dan paling jelas dalam
sakramen pengakuan. Di satu pihak ada yang mengatakan sakramen
pengakuan itu menjadikan “sesal tak sempurna” dalam diri penerima,
menjadi “sesal sempurna”. Dilain pihak dikatakan “sesal tak sempurna”
tetap sesal tak sempurna dalam diri penerima sakramen tersebut.
Bagaimanapun perlu dicatat bahwa Allah dapat memberikan Rahmat
khusus, juga rahmat untuk meningkatkan disposisi batin. Itu selalu bisa
terjadi dan tidak selalu terikat pada sakramen.
Sekarang mesti ditegaskan bahwa tekanan pada “ex Opere operato”
secara p-raktis mudah menimbulkan ide otomatisme/magi. Dalam pembinaan
umat sebagai katekis istilah tersebut perlu dihindari dan digantikan dengan :
a. dalam kehidupan dan juga Sakramen, selalu Allah/Kristuslah yang
mengerjakan Keselamatan. Dan ini khususnya dihayati dalam
sakramen-sakramen.
b. Manusia dapat menutup dirinya, entah total entah sedikit. Sebaliknya,
manusia perlu mengusahakan disposisi batin sebaik mungkin.makin
baik disposisi, hasil yang boleh diharapkan juga makin baik. Prinsip ini
juga berlaku diluar Sakramen, misalnya devosi dan doa -doa
umumnya.
Palangka Raya, Juni 2010
=====================SEKIAN DAN TERIMA
KASIH===================
Top Related