Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

64
DIKTAT SAKRAMENTOLOGI I OLEH : BENYAMIN TUNTI S.FIL SEKOLAH TINGGI PASTORAL TAHASAK DANUM PAMBELUM PALANGKA RAYA 2008 SILABUS MATA KULIAH SAKRAMENTOLOGI I Oleh : Benyamin Tunti S.Fil BAB I : SAKRAMENTALISME DAN SIMBOLISME 1.1. Apa Itu Sakramen 1.2. Pengertian Kata Sakramen 1.3. Defenisi sakramen BAB II : TANDA DAN SIMBOL – SIMBOL SAKRAMEN 2.1. Terminologi Tanda, Simbol dan Lambang

description

juii

Transcript of Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Page 1: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

DIKTAT SAKRAMENTOLOGI I

OLEH : BENYAMIN TUNTI S.FIL

SEKOLAH TINGGI PASTORAL TAHASAK DANUM PAMBELUM

PALANGKA RAYA

2008

SILABUS MATA KULIAH SAKRAMENTOLOGI I

Oleh : Benyamin Tunti S.Fil

BAB I: SAKRAMENTALISME DAN SIMBOLISME

1.1. Apa Itu Sakramen

1.2. Pengertian Kata Sakramen

Page 2: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

1.3. Defenisi sakramen

BAB II : TANDA DAN SIMBOL – SIMBOL SAKRAMEN

2.1. Terminologi Tanda, Simbol dan Lambang

2.2. Apa itu Simbol

2.3. Makna simbol

2.4. Momentum Perwujudan/ Efektifitas Makna Simbol/Sakramen

BAB III : UNSUR PEMBENTUK SAKRAMEN

3.1. Hakekat / Esensi Sakramen dari segi tanda kelihatan

3.2. Esensi Sakramen dari segi makna simbol

3.3. Dari segi tujuan dan akibat menerima Sakramen

3.4. Syarat menerima Sakramen

BAB IV SAKRAMENTALI

4.1 Apa itu Sakramentali

4.2 Hubungan sakramentali dengan Sakramen

4.3. Macam Ragam Sakramentali

BAB V SAKRAMEN DALAM AJARAN DAN TRADISI KATOLIK

5.1 Faham Keselamatan dalam hidup kita

5.2 Sakramentalitas dalam Kitab Suci

5.2.1 Perjanjian lama

5.2.2. Perjanjian Baru .

BAB VI: REFLEKSI TENTANG SAKRAMEN DALAM PERKEMBANGAN

SEJARAH GEREJA

6.1 Jaman Patristik

6.2 Abad Pertengahan

6.3 Jumlah Sakramen

6.4 Karekter Sakramental

6.5 Materia dan Forma Sakramen

6.6 Efektifitas Sakramen

6.7 Ex Opere Operato non ex opere operantis

TUGAS KELOMPOK

Page 3: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

1. Baca KGK 1114 -1130; 1667 - 1679

2. Buat dalam Bentuk makalah, minimal 5 halaman dengan menggunakan

metodologi penulisan yang baik tentang tema tema Sebagai Berikut:

- Hubungan antara Kristus dan Sakramen (1114 -1116)

- Hubungan antara Gereja dan Sakramen (1117 -1121)

- Hubungan antara Iman dengan Sakramen (1122 -1126)

- Hubungan antara Keselamatan dan Sakramen (1127 -1129)

- Hubungan antara Keselamatan Kekal dan Sakramen (1130)

- Sakramentali dan Hubungannya dengan Sakramen (1667 -1679)

2. Dipresentasikan pada 2 Minggu terakhir Perkuliahan.

Palangka Raya, 19 Februari 2009

Page 4: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

BAB I

SAKRAMENTALISME DAN SIMBOLISME

1.1 . APA ITU SAKRAMEN?

Umumnya bila kita mendengar tentang kata sakramen, maka yang

muncul pertama dalam benak kita ialah tujuh sakramen. Pemikiran ini memang

tidak salah, bahkan gereja mengajarkan tentang hal ini. Jumlah Sakramen ada

tujuh, memang diajarkan Gereja untuk pertama kalinya dalam Konsili Lyon II

(1274), lalu Konsili Florence (1439), kemudian ditegaskan kembali oleh Konsili

Trente (1547) dan Konsili sesudahnya termasuk KV II (1965) belum

mengadakan pembaharuan tentang jumlah sakramen. Pertanyaannya adalah

apakah kata sakramen aslinya memang menunjuk tujuh sakramen itu?.

Jawabnnya, ternyata tidak. Berkat perubahan Liturgi dan dan Teologi Gereja,

sejak awal abad XX kini kata “ Sacramen” tidak lagi disempitkan hanya berarti

“Tujuh Buah” tetapi istilah ini memiliki arti yang lebih luas dan mendalam.

Dalam teologi modern dewasa ini, pengertian sakramen menunjuk pada

sesuatu, dan sesuatu itu bisa apa saja – sejauh itu memiliki ciri sakramental,

yakni memuat unsur Illahi (pengalaman akan Allah) dan memuat unsur

manusiawi (berupa pengalaman konkret historis yang menjadi simbolisasinya).

Tentu tidak semua hal diakui oleh Gereja sebagai Sakramen, namun cara

pemikiran yang memperluas pengertian sakramen memang sudah menjadi

Trend.

Leonardo Boff misalnya menyebut puntung rokok dalam lacinya

sebagai sakramen, karena puntung rokok itu adalah puntung rokok

ayahnya Sebelum meninggal. Puntung rokok itu, menjadi kenangan

Boff akan ayahnya yang amat ia cintai, dan melalui ayahnya Boff

mengalami sendiri Kasih Allah. Maka puntung rokok itu, menjadi simbol

dari Kasih Tuhan yang ia alami melalui ayahnya yang sudah

meninggal.

Page 5: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Masing-masing kitapun dapat menyebut sesuatu sebagai sakramen,

sejauh sesuatu itu memang menjadi simbol dari pengalaman kita akan Kasih

Allah melalui seseorang atau melalui hal tertentu. Namun tentu saja itu hanya

berlaku untuk kita dan belum tentu diakui gereja, karena sampai saat ini, gereja

hanya mengakui Tujuh Sakramen. Karena itu, Sacramen dalam pengertian

yang luas dan mendalam disini menunjuk pada suatu ciri pemikiran

Sakramental, yang mencakup dinamika tegangan relasi antara realitas

sebagai isi dan simbol sebagai ungkapan.

1.2. Pengertian Kata Sakramen

Kata Sakramen berasal dari kata latin “ Sacramentum”. yaitu dari kata

dasar “Sacr”/sacer” atau kata sifat “Sacrum” yang berarti Kudus, Suci,

lingkungan orang Kudus atau bidang yang Suci/Kudus dan dari kata kerja

“Sacrare” berarti menyucikan, menguduskan atau mengkhususkan seseorang

atau sesuatu bagi bidang yang Suci atau Kudus. Umumnya kata sakramentum

ini menunjuk kepada tindakkan menyucikan ataupun menguduskan.

Adapun dalam masyarakat Romawi Kuno dahulu, Sakramentum

digunakan menurut dua pengertian yang sangat konkret tetapi religius juga.

Pertama, Kata sakramentum, menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk

menyatakan kesediaan diri seseorang untuk mengabdikan diri atau

menguduskan diri bagi dewata dan negara.

Kedua, Kata Sacramentum, menunjuk pada uang jaminan atau denda yang

ditaruh dalam sebuah kuil dewa oleh orang-orang atau pihak-pihak yang

berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang boleh ambil kembali

uangnya, sementara pihak yang kalah harus merelakan uang jaminannya

menjadi milik dewa/negara, dan uang ini digunakan untuk keperluan kultis

kuil. Orang Romawi menganggap keputusan Hakim sebagai Keputusan

Dewa sendiri.

Pada Abad II istilah Latin Sacramentum ini, digunakan oleh orang Kristen

untuk menerjemahkan Kata Yunani Misterion yang terdapat dalam Kitab Suci.

Kata “Mysterion” digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani S’od atau kata

Aram/Parsi Raz, kata Mysterion ini berakar pada kata My, kata kerja Myein

Page 6: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

yang berrti menutup mulut atau mata, sebagai reaksi atas pengalaman yang

mengatasi nalar, suatu pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-

kata. Dengan demikian, makna dasar Mysterion berhubungan dengan

pengalaman akan Yang Illahi, yakni suatu pengalaman batin yang tidak

terlukiskan dengan kata-kata, karena berjumpa dengan yang Illahi. Dalam

Kitab Suci, Kata ini diterjemahkan dengan arti ‘RAHASIA’. Pertama Rahasia

dalam arti Profan (Rahasia tanpa ada nada religius keagamaan misalnya;

dalam Kitab Tobit 7:11; Yudit 2:2; Sirakh 22:22; 2 Makabe, 13:21) Kedua,

Rahasia dalam arti yang bersifat Religius yang dikaitkan dengan agama-agama

Kafir, misalnya dalam Kitab Kebijaksanaan 12:5;14:15-23 dikatakan “mereka

tidak tahu akan Rahasia-rahasia Allah” “Mereka membuat ritus-ritusnya secara

Rahasia. Ketiga, Rahasia dalam arti Apokaliptik, sebuah proses dan akhir

sejarah yang tidak dapat diketahui manusia (Daniel 2:27-30,47)” Allah sendiri

yang akan mengungkap Rahasia pada Zaman yang akan datang” maka dapat

dikatakan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata Mysterion menunjuk

pada dinamik Allah yang menyingkap atau menyatakan Diri-Nya atau rencana

Penyelamata-Nya dalam sejarah manusia. Sedangkan dalam Perjanjian Baru,

Mysterion itu menunjuk pada Sejarah Penyelamatan Allah yang memuncak

pada Yesus Kristus.

1.3. Defenisi Sakramen

Pada Jaman Patristik, pengertian Sakramen, pertama-tama dibuat oleh

para Teolog Afrika antara lain:

- Tertulianus ( +220) : Ia yang pertama menyebut permandian dan ekaristi

sebagai Sakramenta. Dalam hal permandian, ia membandingkannya

dengan sumpah militer/tentara. Karena konsep itulah, makanya orang yang

dipermandikan menjadi tentara Kristus dan Sakramen ini disebut sebagai

Sacramentum Militiae. Tertulianus mendefenisikan Sakramen secara

singkat sebagai barang suci yang berguna menyatakan Rahmat

keselamatan ( Sacramentum est sacra, arcana salutatis salutatem

manifastem)

Page 7: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

- Agustinus ( 224) : Ia yang pertama mengembangkan teologi tentang

sakramen. Untuknya, sakramen adalah tanda kelihatan yang

menghadirkan suatu relitas yang tak kelihatan. Dan tanda yang dimaksud

Agustinus adalah Tanda Suci (Signum Sacrum), yang ditetapkan Allah

untuk menunjukkan suatu realitas Illahi (Res Divina) dan berisi realitas itu

dalam dirinya. Defenisi Agustinus inilah yang sangat mempengaruhi

perkembangan pemahaman gereja sepanjang jaman

Dalam zaman Skolastik, pandangan yang paling menonjol adalah

pandangan Hugo dari St. Viktor yang memandang Sakramen lebih luas. Dalam

karyanya berjudul De Sacramentis Christianae Fidei ( Sacramen Iman Krsitiani)

ia melihat Intervensi Allah dalam karya keselamatan sebagai Sakramen. Artinya

bahwa sakramen itu merupakan intervensi Allah dalam karya Keselamatan.

Dari defenisi tersebut diatas, Ajaran Gereja mengatakan, Sakramen

merupakan tanda kelihatan yang oleh Kristus dipakai untuk menyatakan

Rahmat. Dalam KGK 74 Sakramen didefenisikan sebagai Tanda dan sarana

yang olehnya Roh Kudus menyebarluaskan Rahmat Kristus yang adalah

Kepala dalam Gereja Tubuh-Nya.

Iiim

BAB II

TANDA DAN SIMBOL-SIMBOL SAKRAMEN

2.1 Terminologi Tanda, Simbol dan lambang

Dalam kamus besar BSI, tampaknya tidak terlalu dibedakan antara Tanda

dan Simbol. Tanda (sign) dari bahasa Latin “Signum” dipahami sebagai sesuatu

yang menjadi alamat (pertanda) atau yang akan menyatakan sesuatu, sering

disebut sebagai Gejala, bukti, pengenal, lambang atau petunjuk. Simbol lebih

Page 8: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

kepada sesuatu yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud

tertentu. Pada dasarnya tanda, lambang, simbol memiliki suatu ciri pokok yang

sama, yaitu selalu menunjuk kepada sesuatu yang lain.

Agar tidak menimbulkan kebingungan tentang tanda, lambang atau

simbol ini, kita hanya akan menggunakan term simbol. Kita melihat bahwa

liturgi dari hakekatnya bersifat simbolis, dipahami melalui simbol-simbol

tertentu. Mengenai ini, konsili Terente melihat sakramen sebagai “ Simbolum

Rei Sacrae” suatu tanda kelihatan dari realitas yang tak kelihatan.

2.2 Apa Itu Simbol.

Kehidupan sosial manusia, banyak diwarnai simbol-simbol. Bahkan

identitas manusia itu sendiripun terbentuk dan ditandai oleh simbol-simbol.

Semua peristiwa dan pengalaman hidup manusia memiliki dua struktur yaitu

Ungkapan dan Isi. Misalnya orang makan bersama, ngerumpi dan sebagainya

merupakan ungkapan dari terjalinya persahabatan dan persaudaraan. Disini,

makan bersama merupakan Ungkapan dan Persahabatan/ persaudaraan

merupakan isinya. Demikianpun cara orang berpakaian, dapat kita ketahui

status orang tersebut kaya / miskin. Di sini berpakaian adalah ungkapan dan

kaya/miskin merupakan isinya. Hal lain seperti, cara berbicara, cara berpikir,

cara berjalan dan sebagainya merupakan ungkapan dari sesuatu sebagai

isinya. Ungkapan inilah yang dinamakan sebagai Simbol.

Simbol berasal dari kata Yunani Symbolon atau kata kerja Symballein.

Kata ini diambil dari kebiasaan orang Yunani, yang mengadakan perjanjian dan

kesepakatan dengan menggunakan Cincin atau sesuatu yang dibagi dan

disimpan oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian. Kemudian

pada saatnya nanti cincin atau sesuatu tersebut disatukan kembali sebagai

tanda pengenal. Kegiatan menyatukan kembali tanda pengenal ini disebut

Symballein sedangkan menyatu / terhubungnya kembali tanda pengenal ini

disebut Symbolon.

Menurut Origenes Simbol adalah sesuatu yang dapat menujukkan sesuatu

yang lain. Agustinus mengatakan Simbol adalah sesuatu yang mewakili yang

Page 9: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

lain. Sedangkan menurut Thomas Aquinas Simbol adalah sarana yang

menyatakan atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Simbol mempunyai

maksud untuk menyatakan suatu hal, atau mempunyai maksud tertentu. Simbol

adalah sesuatu yang membuat apa yang disimbolkan dapat dimengerti dan

dipahami. Simbol lebih kepada sesuatu realitas konkret dan kelihatan yang

karena ciri-cirinya sendiri dapat menghadirkan sesuatu yang lain yang tak

kelihatan.

Untuk memahami lebih jauh tentang Simbol, kita lihat ciri-ciri pokok simbol

Pertama : Simbol tidak sekedar suatu ungkapan bahasa kosong belaka, tetapi

menunjuk pada suatu realitas atau tindakkan yang nyata dan

real,”Ungkapan janji pekawinan yang diucapkan sepasang pengantin di

depan altar Tuhan sungguh merupakan simbol yang amat bernilai dan

bahkan memiliki dampak Yuridis, dalam mana saat itu mereka diikat

dalam suatu perjanjian suami istri”

Kedua : Apa yang ditunjuk oleh simbol adalah suatu realitas yang mengatasi

hal inderawi, bukan yang semata-mata terlihat oleh panca indera,

seperti Tanda lalulintas (merah – berhenti, Hijau – berjalan). Contoh

simbol yang dimaksudkan dalam pengertian ini adalah keseluruhan

simbol / lambang

Page 10: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV
Page 11: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

yang dipakai dalam liturgi dan dalam perayaan sakramen, seperti Air Baptis ;

bermakna pembersihan / pengampunan dosa oleh Allah dan

penganugerahan hidup baru, yakni hidup bersama Allah sebagai anak-

anakNya. Realitas yang mengatasi inderawi ini juga, bukan hanya

menyangkut Allah atau yang transenden saja, tetapi juga menyangkut

hal-hal lain yang kita alami sebagai sesuatu yang bernilai dalam

kehidupan kita, seperti cincin yang melambangkan kesetiaan. Atau

jabatan tangan yang menyimbolkan berdamai kembali.

Ketiga : Simbol itu sendiri selalu dalam konteks masyarakat atau

kebersamaan. Tanpa komunitas / kebersamaan masyarakat suatu

simbol tidak mempunyai makna apapun. Bendera merah putih bagi

komunitas / masyarakat Indonesia, dilihat sebagai lambang negara,

tetapi belum tentu warna merah-putih ini bermakna bagi negara /

komunitas lain.

Keempat : Simbol bukan sekedar ada dalam tataran rasional belaka,

melainkan menyapa dan menyentuh seluruh diri dan pengalaman

hidup manusia. Kalau kita melihat foto ayah / ibu kita, tidak jarang

orang lalu menitikan air mata karena rindu pada orang tua. Disini, foto

sebagai simbol akan pengalaman kasih sayang.

Sifat - Sifat / karakteristik simbol

- Ada jarak antara simbol dengan yang disimbolkan.

- Simbol langsung memberitakan sesuatu.

- Simbol bersifat obyektif dan universal, diterima umum, konkret dan

nyata.

- Lebih menyentuh intelek atau daya pengenalan.

- Mewakili Banyak gagasan.

.

2.3 Makna Simbol / Sakramen

Page 12: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Simbol demikian juga Sakramen mempunyai arti Individu – Sosial

(komunitas tertentu), makna setiap simbol tidak sama, dan orang dapat

mengambil sikap tertentu terhadap simbol agar bermakna. Penghayatan dan

kepekaan Individu dan Komunitas terhadap suatu simbol juga berbeda - beda.

Dalam Komunitas Gerejani, dipakai dan dipergunakan simbol yang maknanya

dapat dipahami oleh semua anggota komunitas gerejani itu.

Tujuh Sakramen merupakan contoh yang tepat untuk “ Simbol sosial

Gerejani yang sudah ada sebelum kita secara pribadi menghayati agama

Katolik. Simbol - simbol itu diambil dari Kitab Suci ( Seperti: Baptis, Salib,

madu, Susu, dll) selain itu juga berasal dari Tradisi atau Kebudayaan, misalnya

Yunani - Romawi ( penyerahan alat tahbisan / kaul) Kebudayaan lain seperti

Jerman (mencium Salib, dan Pohon Natal, dan sebagainya).

Lalu apakan Simbol itu bisa diganti, ataukah apakah kita bisa memakai

simbol baru dalam rangka Komunitas gerejani? Untuk maksud itu, perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, Benda / simbol itu harus Transparent artinya mudah ditangkap dalam

asosiasi yang disimbolkan dan oleh simbol itu mudah menimbulkan pikiran lebih

lanjut dalam kehidupan umum / publik. Misalnya, api menimbulkan kehangatan

dan memungkinkan renungan lebih lanjut dari sifat api dalam kehidupan publik.

Kedua simbol tersebut harus memiliki arti Kristiani yang merupakan

perpanjangan dari asosiasi-asosiasi yang ditimbulkan. Misalnya Arti

kehangatan dari Api melambangkan kedekatan Pribadi atau kemesraan sebuah

relasi. Maka api dalam arti kristianinya dipakai sebagai Simbol Allah yang

begitu dekat, mesra dan menimbulkan kehangatan dalam hubungannya dengan

manusia.

Mengingat makna simbol / Sakramen bersifat individu – sosial maka

supaya simbol dan dengan demikian Sakramen dapat berfungsi dalam

kehidupan iman maka yang harus diperhatikan adalah Pertama

Keterangan/penjelasan. Simbol itu harus dijelaskan kepada subyek pemakai

simbol itu, diadakan sosialisasi tentang makna simbol kepada subyek pemakai

Page 13: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

simbol tersebut. Karena itulah dalam hal agama / sakramen perlu adanya

Katekese agar orang bisa mengerti tentang arti sakramen itu.

Kateketik adalah suatu ilmu pewartaan istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang

terdiri dari dua

bagian yaitu: Katechein : pergi dan Echo : menyuarakan

Katekese: isi dari pewartaan dengan kata lain pewartaan itu sendiri.

Katekis: adalah ahli dalam katekese, pewarta (umum dan laki-laki) dan Katekista

(pewarta wanita)

Katekumen: calon babtisan Katekumenat : Masa Pembelajaran. Dan Katekismus: buku

pelajaran agama tentang pokok – pokok iman.

Kedua Penghayatan. Simbol itu, harus dihayati dengan sikap bathin

yang tepat, misalnya berjabat tangan bisa menimbulkan persatuan sejauh

dihayati. Jika tidak hanya menjadi aktivitas otomat/magi. Ketiga, Proses

pengaktualan Simbol. Simbol demikian juga Sakramen sering merupakan

tahap puncak dari sebuah Proses. Kalau prosesnya berjalan tetapi simbolnya

sendiri tidak diaktualkan maka simbol tersebut menjadi kosong. Misalnya

upacara pernikahan, dapat menjadi simbol kosong tanpa makna kalau tidak

dihayati sebagai persatuan yang mesra antara Suami Istri yang melambangkan

Persatuan Mesra Kristus denga Gerejanya.

Dalam Liturgi, simbol bagaikan benang merah, dengannya perayaan

sakramen ditenun (KGK 1145) karena simbol selalu berbicara tentang suatu

kehadiran, dimana simbol / sakramen selalu dihubungkan dengan suatu

peristiwa dalam sejarah keselamatan. Peranaan simbol, tidak membuat sesuatu

yang baru, ia menghadirkan atau mengaktualisir salah satu peristiwa sejarah

Yesus Kristus.

Sehubungan dengan itu ada dua macam simbol yaitu; Simbol ekspresif,

Menggunakan relitas fisik untuk mengungkapkan suatu pengalaman Batiniah

dengan yang transenden, dan Simbol Representatif adalah Suatu lambang

yang menunjukkan dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui dan

hanya dapat diungkapkan lewat simbol itu. Perlu diperhatikan agar benda yang

digunakan untuk menghadirkan sesuatu itu, harus merupakan transparansi dari

Page 14: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

yang Illahi. Antara Simbol dan yang disimbolkan haruslah berbeda, jika tidak

muncullah “ Ido Latria” ( Penyembahan berhala).

2.4 Momentum Perwujudan / Efektifitas makna Simbol/ Sakramen

Dari uraian di atas ternyata simbol dengan demikian sakramen memiliki

berbagai makna dalam hidup pribadi maupun sosial. Umumnya makna simbol

dilihat dari segi momentum efektifitas perwujudannya ada dua yaitu;

Pertama: Simbol / sakramen kadang-kadang menandakan atau mewujudkan

suatu peralihan yang satu kali jadi (einmalig) dan menadakan atau mewujudkan

keadaan baru yang tetap. Misalnya pembacaan proklamasi kemerdekaan RI 17

Agustus 1945 adalah suatu situasi yang terjadi hanya satu kali. Dalam konteks

sakramen, diantara ke tujuh sakramen ada yang jelas mewujudkan /

menandakan keadaan baru yang tetap untuk selamanya, tidak diulangi yaitu

baptisan, penguatan, tahbisan. Karena itu ketiga sakaramen tersebut hanya

diterima satu kali saja, dan tidak bisa diulangi selama keadaan baru itu

berlangsung. Untuk sakramen yang tidak diulang penerimaannya sering disebut

dalam teologi dengan istilah Charakter Sacrament atau meterai (Charakter

indelebilis). Meterai/charakter indelebilis, secara harafiah berarti: sifat atau ciri

yang tak terhapuskan, merupakan Stasus baru sebagai hasil atau akibat

penerimaan sakramen dan yang dibedakan dari isi Rahmat yang sebenarnya.

Dasar Bilblis untuk ajaran meterai atau charakter indelebilis ini yang biasa

dirujuk adalah konsepsi mengenai meterai yang diberikan Allah sendiri dalam

hati kita melalui Roh Kudus (2 Kor 1:21-22; Ef 1: 13;4:30).

Pada pertengahan abad III terjadi perselisihan pandangan, apakah

seorang yang sudah dibaptis oleh dan dalam kelompok bidaah, apabila ia

bertobat dan mau kembali ke pangkuan gereja yang benar, perlu dibaptis lagi?

Dan gereja di daerah Afrika dan Asia kecil pada waktu itu mempraktekkan

pembaptisan ulang, dan yang mendukung praktik pembaptisan ulang ini adalah

Uskup Ciprianus dari Khartago. Namun Praktek ini ditentang oleh Paus

Stefanus I. Ia menolak pembaptisan ulang ini dan mengakui keabsahan

baptisan dalam kelompok bidaah. Dan ajaran Stefanus ini menjadi Pandangan

Page 15: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

resmi Gereja ( DS 110). Dan pertikaian tentang pembaptisan ulang ini muncul

lagi pada abad IV ketika munculnya aliran Donatisme, tetapi dilawan oleh

ajaran Paus Miltiades (311-314) yang tetap mengakui keabsahan Baptisan

kelompok Bidaah. Dan ajaran Miltiades ini ditegaskan kembali pada Sinode

Arles (314). Dan pada Sinode ini terungkap istilah Meterai seperti tertulis dalam

2 Korintus 1:21-22. Yohanes Chrisostomus mengajarkan dalam Homilinya : “

sebagaimana Para Prajurit mempunyai tanda pengenal, demikian pula Roh

Kudus mengurapinya pada Umat beriman. Dan Agustinus yang sejak tahun 393

memerangi Donatisme, mengajarkan dan menjelaskan meterai Sakramental ini

melalui gambaran kebiasaan prajurit Romawi. Dimana Setiap Prajurit diberi

tanda pengenal dari Kaiser yang dicapkan kepada kulit tubuh prajurit setelah

alat Cap itu dibakar. Titik temunya bukan pada Cap itu sendiri, tetapi pada

relasi yang bersifat tetap dan tak terputuskan antara Kaiser dan

Prajuritnya. Dengan demikian melalui Pembaptisan, terjadilah Suatu relasi

yang bersifat tetap dan tak terhapuskan antara orang yang dibaptis

dengan Yesus Kristus. Dengan Pembaptisan seseorang menjadi milik

Kristus. Jadi realitas bahwa orang yang dibaptis menjadi milik kristus itu

bersifat tetap dan tak terhapuskan dan tidak tergantung pada hidup moral si

pelayan atau yang menerima Baptisan itu sendiri, tentang kesalehan penerima

dan pelayan ini kita akan dalami pada tema tentang Ex Opere Operato non ex

opere operantis.

Kedua : Simbol / sakramen kadang-kadang menandakan / mewujudkan

sesuatu sedikit demi sedikit. Disini ada kenangan kisah konstutif masa lampau,

kemudian diwujudkan dalam masa kini dengan berpegang pada suatu harapan

yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Misalnya upacara kenaikan

bendera ( mengenang kembali hari kemerdekaan RI yang diwujudkan dalam

masa kini dengan mengaharapkan Indonesia yang lebih baik lagi di masa yang

akan datang). Dalam konteks sakramen misalnya Sakramen Ekaristi

( kenangan akan misteri sengsara, Wafat dan kebangkitan yang Kristus yang

diwujudkan dalam kehidupan kita sekarang untuk keselamatan kekal di akhir

Page 16: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

zaman). Dalam aspek yang kedua ini, sering ada unsur peringatan atau

perubahan konstitutif dulu ( Misalnya Upacara 17 Agustus bersifat kenangan

akan kemerdekaan); perwujudan lebih lanjut sekarang; bahkan juga harapan

yang akan datang. Tanda salib dengan air suci di depan pintu Gereja

merupakan kenangan akan pembaptisan ( wafat kristus dulu mewujudkan

kekristenan sekarang, sekaligus harapan agar bangkit bersama kristus kelak).

Berkenaan dengan perwujudan yang sedikit demi sedikit itu, sakramen ekaristi

adalah contoh yang paling tepat. Ekaristi itu, dihayati sebagai peralihan kepada

keselamatan defenitif eskatologis ( akhir jaman). Sakramen pengakuan pun

dilihat sebagai peralihan dalam arti tobat terus menerus. Maka masuk akal

suatu simbol / sakramen bisa diulang, akan tetapi mengenai sakramen

(demikinpun simbol-simbol dalam hidup) pengulangan pun mesti disesuaikan

dengan irama hidup. Tidak masuk akal menerima sakramen ekaristi dan

pengampunan dosa dalam satu hari 10 ( sepuluh) kali.

Dari pembahasan diatas dapat kita lihat betapa simbol menjadi hal yang

sangat penting dalam Liturgi. Sakramen merupakan Simbol keagamaan

yang menjadi Sarana pertemuan antara Allah dan Manusia.

BAB III

UNSUR PEMBENTUK SAKRAMEN

Page 17: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Sakramen dalam arti luas, dapat didefenisikan sebagai perayaan liturgis

tertentu yang menandakan secara simbolis perwujudan dan peralihan-peralihan

terpenting dalam hidup manusia beriman Kristiani ( khususnya Katolik).

Perayaan Simbolis ini merupakan lambang dari penyelamatan ( persekutuan

dengan Allah) yang dimengerti sebagai yang diadakan / dikehendaki /

direncanakan oleh Allah sesuai momen-momen peralihan hidup manusia.

Berbicara mengenai unsur-unsur yang membentuk sakramen harus

dibedakan antara yang essensiill / seharusnya ( yaitu apa yang menurut KS dan

Ajaran gereja merupakan intinya) dengan perayaan sakramental menyeluruh /

tambahan ( yaitu bagaimana sakramen diadakan dengan pelbagai tanda,doa

pelengkap, baik persiapan mental dalam perayaan itu, maupun perluasan tanda

sakramental itu sendiri, misalnya penyerahan Hosti-piala dalam tahbisan

imamat atau penyerahan kain putih kepada thabisan baru, dst)

Dari satu pihak, tidak boleh terlalu menonjolkan yang essensiil, seakan-

akan hanya itu yang penting. Tetapi perlu diingat, justru perayaan menyeluruh

yang dilaksanakan sebaik mungkin itulah yang penting. Misalnya dalam

perayaan Ekaristi, bukan hanya kata-kata Konsekrasi yang penting, tetapi

seluruh doa Syukur Agung dan seluruh perayaan Ibadat ekaristi menjadi satu

hal yang sangat penting. Dilain Pihak, umat, Katekis dan terutama Pastor

mesti tahu mana yang essensiil dan mana yang tambahan sebagai perluasan

makna sakaramen itu sendiri, dalam setiap perayaan liturgis atau perayaan

sakramental, sehingga jika demi alasan praktis atau darurat, yang diutamakan

untuk dirayakan disana adalah bagian yang essensiil, bukan malah sebaliknya,

bagian / unsur tambahan yang dirayakan, sedangkan yang essensiil diabaikan.

Setiap sakramen mesti memenuhi unsur-unsur yang membentuk

Sakramen. Yaitu : Hakekat/essensi sakramen, tujuan sakramen dan syarat

untuk menerimanya.

3.1. Hakekat / essensi Sakramen dari segi tanda kelihatan

Setiap sakramen harus memiliki:

Page 18: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

- Materia Remota : barang/benda /materi yang dipakai dalam perayaan

sakramental tersebut, misalnya air dalam baptisan,

minyak dalam krisma, roti dan anggur dalam Ekaristi,

dan sebagainya

- Materia Proxima : cara penggunaan atau pemanfaatan barang / benda

itu

dalam perayaan sakramental, misalnya air dituangkan

/dcielupkan/dimandikan, minyak dioles didahi ...

- Forma : Rumusan / kata-kata yang digunakan untuk mengiringi

Jalanya perayaan sakramental tersebut misalnya, dalam

baptisan Formanya “Aku membaptis engkau atas nama

Bapa...... (Bdk. Mat 28:19) atau dalam sakramen

penguatan “ Terimalah Karunia Roh Kudus”

- Minister/Subjek : Sakramen juga akan efektif mengandaikan ada

pelayan baik

pelayan bisasa maupun luar biasa dan juga

mengandaikan

adanya pihak Penerima.

3.2 . Esensi sakramen dari Segi arti tanda

Tanda atau simbol yang dipakai dalam Sakramen harus mempunyai arti

biasa manusiawi dan ada arti rohani/religius. Pertama, sakramen itu harus

memiliki arti manusiawi/duniawi. Karena sakramen itu simbol, maka tak

cukup memandang kenyataan fisik saja, tetapi lebih dari itu simbol tersebut

harus bisa ditangkap secara manusiawi. Orang perlu diajak (diajari) untuk

menangkap arti yang manusiawi. Untuk hal ini tergantung budaya setempat.

Misalnya Apa arti penumpangan tangan pada Jaman Yesus. Kedua Sakramen

itu harus mempunyai arti Rohani/religius simbol yang ditangkap dalam arti

duniawi/biasa mesti membawa asosiasi pada arti rohani religius. Jadi arti

pertama (manusiawi) berhubungan dengan arti kedua (rohani) intinya, simbol

dalam arti manusiawi harus membawa Asosiasi pada arti religius/ rohani. Jadi

Page 19: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

arti pertama berhubungan dengan arti kedua, rohani, religius seperti,

Keselamatan, rahmat anugerah, persekutuan dengan Tuhan dalam arti tertentu.

Misalnya air biasa artinya: Pembersihan, pencucian dan arti religiusnya adalah

pembersihan dari Dosa. Umat harus bisa mengasosiasikan hubungan kedua

makna tersebut.

3.3. Dari segi tujuan dan Akibat menerima Sakramen

Upacara yang kelihatan Artinya ( Sacramentum Tantum) mesti mebawa

pada sesuatu yang mengakibatkan perubahan status (Sacramentum et res),

entah itu perubahan sementara / terus menerus (Pengakuan, pengurapan,

perkawinan, tahbisan) maupun perubahan yang besifat tetap / einmalig. ( Baptis

– Krisma - Imamat). Kemudian kedua hal tersebut diatas mempunyai akibat

akhir (res tantum) adalah keselamatan; bersatu dengan Allah / Kristus, menjadi

manusia baru. Res tantum ini sering disebut sebagai “ Rahmat Sacramen” yang

menunjuk pada hubungan baru manusia dengan Allah sendiri dan hanya

secara skunder Rahmat bantuan Allah untuk membantu seseorang dalam tugas

baru. Misalnya untuk tahbisan Imamat, Rahmat Sakramen adalah “ menjadi

Imam Allah dan Imam Gereja-Nya” dan hubungan baru dalam arti secunder

berarti: Allah akan membantu Imam baru untuk menghadap umat dengan lebih

sabar, dst.

3.4 . Syarat Menerima Sakramen :

Dalam penerimaan sakramen ada dua syarat yang harus diperhatikan,

yakni syarat ad validitatem dan syarat Ad Liceitatem.

1) ad Validitatem:

Syarat demi sahnya sakramen atau dengan kata lain syarat supaya

sakramen yang diadakan valid / sah. Agar sakramen itu Valid dan Sah,

maka ia harus memenuhi unsur-unsur pembentuk sakramen. Misalnya,

perlu ada materia, perlu ada Forma, dan juga pelayan, dan penerima

sakramen. Sebuah kasus misalnya orang yang sudah menikah, dan salah

Page 20: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

seorang dari mereka menikah lagi maka pernikahan itu bukan sakramen,

karena salah satu syarat tidak dipenuhi yaitu bukan penerima sakramen.

2) ad liceitatem

Yaitu, syarat demi bolehnya menerima sakramen. Atau dengan kata

lain syarat supaya suatu sakramen boleh dan pantas diterima. Syarat ini

lebih kepada disposisi batin, intensio batin yang mengarah kepada sikap

tobat dan iman dan mau menjalin kembali hubungan mesra dengan

Tuhan.

Syarat-syarat ini, biasanya banyak dan dapat dipenuhi minimal

bahkan maksimal. Misalnya calon suami yang tidak mau berusaha demi

kebahagiaan isterinya, tak boleh (tak pantas) menerima dan

menerimakan sakramen perkawinan. Namun kalau tetap dilaksanakan

upacara pernikahan, secara sacramentum et res, keduanya sungguh

menjadi suami isteri, tetapi tujuan akhir / res tantum (bersatu dengan

Allah dan laki-laki itu menjadi suami wanita konkret) belum / tidak

tercapai.

Kedua syarat ini, menjadi penting untuk diperhatikan dalam

penerimaan sakramen-sakramen Gereja.

BAB IV

SAKRAMENTALI

4.1. Apa itu Sakramentali

Page 21: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Bidang Liturgi gereja, tidak terbatas pada Sakramen dan ibadat harian

saja. Tetapi Bunda Gereja juga mengadakan upacara yang bersifat

sakramental yang sering disebut “ Sacramentale” (sakramentali) lalu apa itu

Sacramentali ?

Banyak orang katolik tahu bahwa ada 7 Sakramen dalam Gereja Katolik,

namun kebanyakan orang tidak tahu, bahwa sebelumnya yaitu pada jaman

gereja awal, jumlah sakramen begitu banyak. Segala macam hal disebut

Sakramen, misalnya; mebaca kitab suci, Brevier/ibadat harian,pesta tahun

liturgi, relikwi,doa bapa kami, indulgensi, amal sedekah, tanda salib, berpuasa,

pengusiran setan, dan sebagainya disebut sakramen. Kondisi demikian terjadi

hingga Abad pertengahan.

Pada abad XII terjadi suatu pendefenisian dan penetapan jumlah 7

sakramen dalam teologi skolastik. Pada tahun 1274 untuk pertama kalinya,

gereja secara resmi mengajarkan tujuh sakramen dalam Konsili Lyon II, lalu

konsili Florence (1439) yang kemudian ditegaskan kembali oleh Konsili Trente

(1547). Setelah penetapan jumlah sakramen tersebut, maka apa-apa yang

sebelumnya disebut sakramen tapi tidak termasuk dalam tujuh sakramen itu

disebut sebagai sakramentali.

Menurut KV II dalam Sacrosanctum Concilium art. 60 “ Sacramentali

adalah tanda yang mirip dengan tujuh sakramen, ditetapkan Gereja,

melambangkan akibat tertentu terutama akibat rohani yan diperoleh karena

doa-doa Gereja” defenisi seperti ini juga terdapat dalam KHK 1188

sacramentali didefenisikan sebagai “Tanda suci yang dengan cara yang mirip

sakramen menandakan hasil-hasil, terlebih yang rohani yang diperoleh berkat

doa permohonan Gereja

Terhadap defenisi di atas dapat kita pahami sebagai berikut:

Disebut mirip sakramen karena, sakramentali juga menggunakan aneka

simbolisasi yang dikenal pula dalam sakramen-sakramen. Misalnya;

percikan air suci untuk aneka pemberkatan dikenal pula simbolisasi air

dalam Sakramen Baptis. Pmberkatan makan, ladang, hasil kebun mirip

Page 22: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

dengan sakramen eakristi yang mengguanakan Roti dan Anggur sebagai

simbolnya. Pertunanganan mirip dengan sakramen perkawinan.

Sakramentali selalu diarahkan kepada perayaan sakramen dan juga

perayaan yang mengalir dari sakramen. Maksudnya, sakramentali terarah

dan mengalami kepenuhannya dalam sakramen, misalnya ; pemberkatan

macam-macam benda dan air suci terarah pada sakramen baptis. Doa

orang sakit, terarah pada sakramen pengurapan orang sakit.

Menandakan karunia yang bersifat rohani.

Sakramentali itu pertama-tama lebih melambangkan karunia yang bersifat

rohani yang batiniah. Dan juga sakramentali itu memberikan status sosial

tertentu. Misalnya; penahbisan abas, gedung gereja, pertama-tama

menandakan karunia rohani dan juga status sosial bahwa orang ini adalah

abas dan gedung ini adalah rumah Tuhan bukan warung makan.

Karunia itu diperoleh berkat permohonan Gereja

Yang utama dalam sakaramentali adalah tindakkan doa permohonan

gereja. Sakramentali ini merupakan bentuk konkret dari doa permohonan

gereja. Konkret karena berakibat rohani bagi orang atau kelompok tertentu.

Dari kedua defenisi ini dapat kita petik bahwa dalam perayaan sakramentali

ini yang utama adalah Doa permohonan Gereja untuk mendapatkan

buah/akibat rohani. Selain itu juga kemahiran menggunakan sacramentali

dimanfaatkan sebagai sarana pembinaan Iman. Untuk itu sakramentali tidak

boleh diremehkan. Beberapa peristiwa penting dalam hidup manusia, (orang

Kristen Modern) seperti; Lulus sekolah, pindah tempat tinggal, naik

pangkat/jabatan, sukses usaha, dan sebagainya, perlu dihayati dalam kerangka

Iman Kristiani. Artinya, peristiwa-peristiwa hidup orang Kristen modern ini perlu

diberi nilai Kristen.

Untuk mencari suatu sacramentalia baru, entah diterima resmi oleh

Gereja, entah dihayati saja sebagai penghayatan setempat, perlu dilihat

sebagai Karya Allah dalam karya manusia dan yang manusiawi. Pertama; yang

harus dihindari adalah pengahatan otomat/magi yang umumnya sulit dilepas

dari penghayatan Umat. Kedua; mencari makna dan penghayatan khusus

Page 23: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Kristiani dalam peristiwa-peristiwa yang mau dijadikan Upacara Sakramentali.

Perlu dipertanyakan, manakah makna Kristiani peristiwa ini? Bagaimana

Pandangan Kristiani terhadap peristiwa ini? Manakah hubungannya dengan

peristiwa-peristiwa Yesus dulu dan penggenapan Keselamatan yang akan

datang.

Sakramentali harus dipahami dalam kerangka hidup liturgis Gereja, bukan

sebagai tindakkan lepas, yang mempunyai arti dalam dirinya sendiri. Ada yang

dengan jelas termasuk dalam bidang liturgis, karena kaitannya dengan

sakramen atau peryaan gerejawi. Tetapi segala macam sakramentali dalam

lingkungan keluarga juga harus dihubungkan dengan doa Gereja. Sakramentali

tidak mempunyai daya Illahi dari dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh merupakan

perwujudan sikap doa gereja. Karena itu sakramentali janganlah dipandang

hanya sebagai sarana untuk memperoleh Rahmat, tetapi juga dan terutama

sebagai upacara keagamaan yang mau menghormati dan meluhurkan Tuhan

4.2 Hubungan Sacramentali dengan Sakramen

a. Sakramen-sakramen merupakan tindakkan Kristus dalam Gereja dan

karunia Rahmat sakramental (Res Tantumnya) diperoleh menurut makna

ex opere operato (berkat perayaan itu sendiri), meski Imamnya berdosa,

sakramennya tetap sah diterimakan karena Kristus sendirilah yang

bertindak sebagai pelayan sakramen. Sedangkan dalam sakramentali,

ibadatnya lebhi merupakan doa permohonan Gereja yang Karunia

Rahmatnya melulu bergantung pada kemurahan hati Allah.

b. Sakramen-sakramen menyangkut Gereja seluruhnya dan merupakan

pelaksanaan diri Gereja dalam bidang perayaan; sedangkan sakramentali

selalu bersifat Khusus, merupakan perwujudan doa-doa gereja bagi orang

tertentu, entah pribadi, entah secara kelompok. Singkatnya dikatakan,

sakramentali merupakan bentuk doa permohonan Gereja yang konkret.

c. Dalam sakramen-sakramen, Gereja secara resmi unjuk diri, tampil

memperlihatkan siapa dirinya dan apa tugas perutusannya, sehingga

pemimpin sakramen-sakramen biasanya pejabat resmi Gereja. Dalam

Page 24: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

sakramentali, gereja tidak menyatakan diri secara resmi, maka

pemimpinya tidak selalu harus imam, kecuali sacramentalia tertentu

yang ,malah harus uskup, seperti Penahbisan Abbas.

d. Sakramen – sakramen merupakan gerakkan dari atas (katabatis) dan

sacramentalia merupakan gerakkan dari bawah (annabatis)

4.3. Macam Ragam Sakramentali

Ada banyak sekali upacara-upacara atau simbol-simbol yang disebut

sakramentali, misalnya doa-doa tertentu, tanda salib, jalan salib, segala macam

berkat, pengusiran setan, juga patung, khususnya salib, medali, air suci, abu,

(pada rabu Abu) palma (minggu Palma). Beberapa Sakramentali berhubungan

langsung dengan perayaan sakramen misalnya; Pemberkatan air baptis dan

pakaian putih, malahan pengurapan sesudah permandian, dalam perkawinan,

doa atas cincin perkawinan dan pemberkatan kedua mempelai. Tetapi juga ada

yang mempunyai arti khusus dalam hidup orang seperti kaul kebiaraan,

pemberkatan busana kebiaraan, pemberkatan ladang dan panen, Pendeknya

untuk segala situasi kehidupan yang penting yang pantas disertai doa

permohonan gereja, kiranya ada sakramentali. Sebab “ Bila manusia

menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada

sesuatupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan

memuliakan Allah ( SC 61).

Tentang macam ragam Sakramentali berdasarkan SC 61 di atas dapat kita

uraikan sebagai berikut :

Pemberkatan yang tidak merubah status atau tujuan penggunaan dari yang

dibekati (Benedictiones Invocativae). Obyek yang diberkati itu bisa berupa

manusia, bisa berupa barang. Misalnya:

- Pemberkatan dahi anak – anak dengan tanda salib, orang sakit,

jenasah, keluarga, suami, istri, orang bertunangan, ibu hamil, jompo.

Peziarah, orang bepergian, dan lain-lain. Orang-orang yang diberkati

ini, tidak mengalami perubahan status, namun jelas memperoleh

karunia rohani.

Page 25: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

- Pemberkatan atas barang; rumah, perpustakaan, toko, sekolah, rumah

sakit, bengkel, rumah biara, gedung olahraga, alat-alat transportasi,

sawah, ladang, benih, dll. Benda-benda ini, tidak mengalami

perubahan status, tetapi mempunyai karunia rohani.

Pemberkatan yang mengubah status atau tujuan pemanfaatan dari yang

diberkati, maksudnya, begitu diberkati, maka orang atau benda itu

dikhususkan untuk Allah.

- Misalnya ; pakaian liturgi (kasula/alba) jangan dipakai sebagai selimut

saat tidur. Salib, rosario, medali, skapulir, jalan salib, patung/lukisan,

Kitab Suci, Gereja, Altar, dan lain-lain. Barang-barang ini mengalami

perubahan status, yakni dikhususkan untuk Allah.

- Penahbisan Abas/abis, Kaul biarawan/i, Pemberkatan Perawan, dll.

Orang-orang ini memiliki status baru yakni menjadi Abbas, biarawan/i,

menjadi orang khusus.

Exorcisme / pengusiran setan juga disebut sacramentali.

Gereja Ktolik mengenal doa / ibadat Pengusiran Setan yang disebut

exorcisme. Dari kata Yunani Exorkizein yaitu mengusir keluar roh/setan.

Secara liturgis, ada 2 dua Ibadat Exorcisme

1. Exorcisme Imperekatoris ( usir dengan perintah) mengusir setan

dengan cara memerintah seperti ini, tidak dilakukan oleh

sembarang orang dan hanya bisa dilakukan oleh Imam, yang

saleh, bijaksana dan biasanya diberi kewenangan/ijin oleh ordinaris

wilayah.

2. exorcisme deprekatoris (usir dengan permohonan)

Pengusiran dengan cara seperti ini, lebih kepada doa permohonan,

agar Allah menjauhkan seseorang/benda dari kuasa Roh Jahat atau

kuaa setan. Misalnya Upacara Scrutinia pada calon Baptis.

Pertanyaan yang muncul, apakah, gereja mengakui ada setan?

Page 26: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Sampai sekarang, Gereja mengakui, adanya kuasa kegelapan/kejahatan, yang

pada intinya, mau menjauhkan kita dari Tuhan dan membahayakan

keselamatan kita. Di satu pihak Gereja mengakui adanya kuasa kegelapan

namun pihak dilain kuasa kegelapan itu, seberapapun besarnya, tetap dibawah

keagungan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit. Yesus sendiripun pernah

alami kuasa kejahatan itu, dicobai di padang gurun, disalibkan, mengalami

kegelapan makam dan semua itu telah dikalahkan oleh kebangkitannya pada

hari ketiga.

4.4. Kanon yang berbicara tentang Sakramentali

Tentang Sakramentali ini, dibicarakan dalam CIC (Codex Iuris Canonici) /

KHK (Kitab Hukum Kanonik) Kanon 1166 sampai dengan Kanon 1172.

Kan.1166 ----- Tentang pengertian Sacramentali

Kan.1167 ----- Wewenang Penafsiran terhadap Sacramentali

Kan. 1168----- Pelayan Sacramentali

Kan. 1169 – 1172 ----- Perayaan Sacramentali

.

BAB V

SAKRAMEN DALAM AJARAN DAN TRADISI KATOLIK

5.1 Faham Keselamatan dalam Hidup Kita

Vatikan II memandang keselamatan ( LG1) sebagai kesatuan manusia

dengan Allah dan persatuan manusia dengan manusia lainnya. Artinya tanpa

kesatuan seperti itu, Vatikan II sulit melihat suatu penghayatan keselamatan

yang benar dan asli. Kesatuan dengan Allah hanya dapat dilihat dan

diwujudkan dalam bentuk inderawi, antara lain, lewat manusia lain dan

perlakuan terhadap manusia lain itu. Selain manusia, orang katolik juga

Page 27: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

menciptakan berbagai sarana yang dijadikan simbol untuk menghubungi atau

bersatu dengan Allah. Dalam bab ini, kita akan melihat sejarah membuat

sarana atau simbol untuk menghubungi atau bersatu dengan Allah yang

dinamakan Sakramen.

5.2 Sakramentalitas dalam Kitab Suci

Dalam Kitab Suci tidak kita temukan kata Sakramen, hanya ada dua kata

dalam kitab suci, yang berhubungan dengan sakramen, yakni kata

Permandian/Pembaptisan dan Ekaristi/pemecahan roti. Dua kata ini

merupakan ritus-ritus keagamaan yang mempunyai makna pribadi dan sosial.

Ritus - ritus keagamaan ini yang dipakai dan dipraktikkan dalam Gereja Purba,

umumnya diambil dari lingkungan luar gereja, Misalnya permandian diambil dari

Lingkungan orang Yahudi. Sebelum menjadi Yahudi, orang itu harus;

- Diajarkan pengetahuan agama

- Diuji Motivasinya

- Diadakan pengakuan dosa

- Disunat

Orang Kristen mengambil alih ritus Yahudi ini, dengan memberikan

makna baru yakni; Melalui Ritus ini Karya Keselamatan Kristus disalurkan,

melalui Ritus ini Gereja mengambil bagian dalam Sengsara-Wafat-Kebangkitan

Kristus. Ritus ini kemudian oleh Jemaat kristen dinamakan Sakramen dan yang

kini kita kenal dengan sakramen Permandian. Sakramen-sakramen itu yang

dirayakan dalam ritus-ritus Gereja, tidak lahir dari satu teori, tetapi lahir dari

Praktek Jemaat purba yang terinspirasi dari pengalaman keselamatan akan

Kristus melalui misteri Sengsara-Wafat dan kebangkitan-Nya.

Jemaat perdana tercipta oleh pengalaman akan Kristus khususnya

Kristus yang bangkit dari antara orang mati dan terus berkarya dalam Roh

Kudus hingga kedatangannya kembali. Pengalaman yang terungkap akan

Kristus yang bangkit diekspresikan dalam ritus-ritus dan diteruskan dalam

generasi-generasi lain yang tidak mendapat pengalaman awal itu. Dengan

demikian, gereja sebagai kumpulan umat beriman mengalami keselamatan

Page 28: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

tetapi juga gereja itu ditumbuh kembangkan oleh perayaan-perayaan itu.

Ekaristi membuat Gereja dan Gereja membuat Ekaristi.

5.2.1 Perjanjian Lama

Kata “ sakramen” tidak ditemukan dalam Perjanjian Lama. Namun

kemudian ketika Perjanjian Lama ditulis dalam Lingkup Kebudayaan Yunani,

muncul kata “mysterion” (Rahasia). Kemudian kata Mysterion ini diterjemahkan

dalam bahasa Latin dengan “ Sacramentum” .

Kata “Mysterion” digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani S’od atau

kata Aram/Parsi Raz, kata Mysterion ini berakar pada kata My, kata kerja Myein

yang berrti menutup mulut atau mata, sebagai reaksi atas pengalaman yang

mengatasi nalar, suatu pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-

kata. Dengan demikian, makna dasar Mysterion berhubungan dengan

pengalaman akan Yang Illahi, yakni suatu pengalaman batin yang tidak

terlukiskan dengan kata-kata, karena berjumpa dengan yang Illahi. Dalam

Kitab Suci, Kata ini diterjemahkan dengan arti ‘RAHASIA’.

Pertama Rahasia dalam arti Profan (Rahasia tanpa ada nada religius

keagamaan misalnya; dalam Kitab Tobit 7:11; Yudit 2:2; Sirakh 22:22; 2

Makabe, 13:21)

Kedua, Rahasia dalam arti yang bersifat Religius yang dikaitkan dengan

agama-agama Kafir, misalnya dalam Kitab Kebijaksanaan 12:5;14:15-23

dikatakan “mereka tidak tahu akan Rahasia-rahasia Allah” “Mereka

membuat ritus-ritusnya secara Rahasia.

Ketiga, Rahasia dalam arti Apokaliptik, sebuah proses dan akhir sejarah

yang tidak dapat diketahui manusia (Daniel 2:28-30,47)” Allah sendiri

yang akan mengungkap Rahasia pada Zaman yang akan datang” maka

dapat dikatakan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata Mysterion

menunjuk pada dinamik Allah yang menyinkap atau menyatakan Diri-Nya

atau rencana Penyelamata-Nya dalam sejarah manusia.

Page 29: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Akan tetapi ketiga arti kata Mysterion ini tidak dimengerti dalam suatu arti

sakramental. Kendati tidak secara ekspilisit, dalam Perjanjian Lama sudah ada

gaya berpikir sacramental.

1. Dalam perjanjian lama Sakramen dapat terjadi berupa benda/barang dan

berupa perbuatan. Sacramentalisme perjanjian lama yang dihubungkan

dengan objek Khusus misalnya:

a) Kisah Semak belukar yang bernyala (Kel 3:2-4). Semak belukar yang

menyala tersebut dianggap sebagai sebuah penampakkan Allah. Itulah

yang dialami Musa, barang kelihatan (semak bernyala) mempunyai

makna Transenden dengan demikian, yang Transenden tersebut

dialami sebagai Yang Imanen.

b) Sebuah Perapian (Kej.15:17). Kisah Abraham mengalami sebuah

perapian yang berasap dan sebuah obor yang menyala. Bagi Abraham

Perapian dan Obor merupakan tanda Penampakkan Tuhan, yaitu

kehadiran Allah yang mengikat perjanjian dengan dirinya.

c) (Kej 28: 18-22) Batu yang dioles dengan minyak oleh Yakub untuk

meletakkan kepala Yakub dan batu itu disebut “ Beth-el “ Rumah Allah”

(Baitullah / Ka’abaah) batu / beth-el tersebut dilihat sebagai Epifani.

d) (Bil 21 : 9) Ular yang oleh Musa dipancang di Gurun merupakan

lambang Reel Yahwe yang menyelamatkan / menyembuhkan,

lambang kehadiran Allah bagi mereka yang memandang dengan

percaya kepada ular perungu tersebut.

e) Tabut perjanjian Simbol kehadiran Allah (1 Samuel 4-6). Orang Israel

meyakini bahwa Allah sendiri hadir dalam Tabut itu, maka mereka

membawa peti itu ke medan perang (1 sam 4:3-5) dan orang filistin

berseru “lihat Allah datang ke perkemahah mereka”(1 Sam 4:7). Tabut

tersebut disapa seperti Allah sendiri (Bil 10 : 35)

Yang istimewa dari Bangsa Israel adalah mereka melihat yang tampak

dalam benda dan berupa benda / barang keramat itu bukan “Yang Illahi”

melainkan “Tuhan” (Yahwe), Allah Israel, Allah Abraham, Allah Ishak,

Allah Yakub yang menghantar Umat Israel keluar dari tanah Mesir (bdk.

Page 30: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Kel. 3; 1 Sam 4 ; Bil. 4). Dengan itu, Israel mau menekankan unsur lain

yang Fundamental (bangsa lain tidak menekankan itu) yaitu bahwa “Allah

Israel adalah Allah sejarah. Maka berbagai penampakkan dalam agama

Israel selalu merupakan Teofani , berbeda dengan agama agama lain

penampakkan selalu berupa Hierrofani. Tentu saja dewa-dewi agama lain

itu diberi nama, namun sesungguhnya tidak berpribadi dan bernama.

Sebaliknya Umat Israel mempunyai Allah yang bernama yakni “Yahwe”

dan nama Yahwe ini tidak diberi nama oleh manusia, tidak digelari,

melainkan Ia sendiri yang menyatakan nama-Nya (Kel.3:14 -15; 6:2).

Itulah sebabnya, Yahwe tak bisa disamakan dengan dewa / dewi, dan

penyembahan terhadap Dewa-dewi lain dilarang keras ( Kel. 20:3) yahwe

sendiri memang Allah yang cemburu

2. Sakramentalisme perjanjian lama dihubungkan juga dengan Gejala alam.

Gejala alam sering diartikan oleh Kitab Suci sebagai Penampakan Allah,

misalnya:

a). Kel. 19:16; 18 – 19. Guruh, Kilat, awan padat, bunyi sangka kala dan

gunung

sinai ditutupi seluruhnya dengan asap kemudian Allah Turun

keatasnya

dalam Api.

b). Ayub 37:1 – 24. Ayub menggambarkan perkataan Allah seperti Kilat,

Guntur,

guruh, hujan deras, es salju, terang, sinar keemasan dan lain

sebagainya.

c). 1 Raj. 19 : 12. Allah hadir untuk berbicara dengan nabi Elia melalui

angin

sepoi-sepoi

Namun tidak semua gejala alam diartikan sebagai penampakkan Allah,

Perjanjian lama justru menekankan bahwa Yahwe itu berpribadi dan

melampaui alam raya. Setelah Israel mengidentifikasi Allah sebagai

Yahwe, barulah Yahwe dianggap juga Pencipta Alam semesta. Maka

Page 31: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

yang tampak dalam alam kosmos, bukan sebuah daya anonim, melainkan

Yahwe membuat bagi diriNya sebuah Nama dalam sejarah Israel. Bahkan

Israel yang terbentuk oleh sejarah itu sendiri, disebut sebagai

“sakramen”/Teofani”. Jadi singkatnya, kejadian atau peristiwa, mesti

dilengkapi dengan keterangan Firman dari Yahwe yang disampaikanNya

lewat hamba-hamba-Nya. Jadi selalu ada dua hal yakni Peristiwa dan

Firman, dari keduanya Firmanlah yang utama dan menetukan suatu

sakramen historis atau kejadian berupa kehadiran Allah dalam dan lewat

Allam raya..

3. Sakramentalisme Perjanjian Lama mendapat bentuknya dalam ritus-ritus.

Dalam Perjanjian Lama, sacramen historis atau kejadian berupa

kehadiran Alam mendapat bentuk kultisnya dalam ibadat Israel. ada ritus-

ritus tertentu sebagai tanggapan tentang kehadiran Allah dalam Kosmos

(Sakramen Alamiah/ritus-ritus kosmos). Tanggapan atas yang Illahi, yang

Kudus dan ritus-ritus ini, akan menjadi ido-latria (Penyembahan berhala)

apabila yang Illahi tidak dapat diidentifisir, karena itu, dalam Agama Asli

dibedakan:

Hierofani-- Penampakkan Illahi, yang tak bernama (Allah Bangsa non

Israel )

Teofani --- Penampakkan Illahi yang disebutnya Yahwe (Allah Orang

Israel

keb.13:1-9)

Melalui ritus itu, orang Israel mengungkapkan / mengenang karya-

karya agung Allah, khususnya peristiwa eksodus. Oleh umat Israel,

kehadiran Allah, “sakramen Historis” atau kejadian berupa kehadiran

Allah dalam alam, dan lewat alam, mendapat bentuk kultisnya dalam

Ibadat Israel. Dengan demikian, “Sakramen berupa perbuatan simbolik

ditampakkan dalam bentuk Upacara Ibadat. Maka Ibadat Israel sebagai

tindakkan simbolik, semakin penting dilaksanakan untuk menghayati

Sakramen Historis.

Page 32: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Ibadat itu sendiri, tesimpul dalam (Tiga) perayaan tahunan yang

didalamnya, seluruh umat ( laki-laki) mesti ikut serta (Kel. 23:14 -17; 34:

18-23; Ulangan 16: 1-17). Perayaan tersebut merupakan Perayaan

“Tindakkan” yahwe dalam sejarah umat manusia.

a). Pesta paskah yahudi dan Pekan Roti tak Beragi.

Pesta ini merupakan perayaan “Tindakkan” Yahwe yang

menciptakan Umat Israel sebagai Umat Allah (Keluaran dari Mesir).

b). Pesta Pekan-pekan (pentakosta yahudi)

Pesta ini kurang penting, namun kemudian, dihubungkan dengan

Perjanjian Sinai dan Taurat Musa.

c). Pesta Pondok daun.

Pesta ini aslinya, merupakan syukuran atas panen anggur. Namun

kemudian dihubungkan dengan perjalanan Umat Israel di padang

gurun, menuju tanah terjanji (Im 23:43)

Dalam Perjanjian Lama, dikenal juga istilah

Zikharon/Anamnesis/Kenangan artinya mengaktualkan/menghadirkan kembali

kejadian di masa lampau. Dalam konteks Perjanjian Lama, yang dihadirkan

adalah Mirabilia Dei yaitu (karya-karya agung Allah dalam puncaknya yaitu

peristiwa eksodus). Eksodus menjadi inti Paskah Yahudi (Bdk.Ul. 5:15----

Mengingat kembali peristiwa Eksodus) Suruhan itu harus dirayakan dalam ritus,

terutama untuk mengingat (Kej 12 :1-20). Selain itu, kata (Zikaron) dikaitkan

dengan dosa-dosa Israel. Hosea 8:13--- supaya Allah tidak mengingat dosa

(mengampuni) Bdk.. Yesaya 43:25.

Dalam perjanjian lama, simbol-simbol yang dipakai sebagai sacramen

dinamai sendiri oleh yahwe melalui Firman Nya, bukan oleh manusia. Hal ini

yang membedakkan israel dengan bangsa-bangsa lain. Allah orang Israel adlah

Allah yang cemburu (jangan ada padamu Allah lain). Hanya Yahwe satu-

satunya.

5.2. 2 PERJANJIAN BARU

Page 33: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Dalam perjanjian Baru tidak ditemukan lagi pemikiran sacramentalisme yang

dihubungkan dengan benda atau barang tertentu (kecuali 1Kor 10:16;11:27-30),

tidak ada lagi pemikiran sakramentalisme yang berupa gejala alamiah, hanya

Rom.1:19-20 bdk.Kis 14:17 yang masih menjurus ke situ) tidak juga kita

temukan ada aturan yang terinci berkenaan dengan salah satu upacara yang

perlu dirayakan sebagai ritual suci. Seperti (1 Tim 2 : 1-7 dan 1 Kor 11:23) tidak

lagi memuat aturan semacam itu. Tetapi pemikiran sacramentalitas perjanjian

baru semuanya berpusat kepada tokoh Yesus Kristus dan segala Perbuatan-

Nya. Dalam perjanjian baru yang tampil ke depan adalah Sakramen berupa

Firman dan perbuatan. Dan perbuatan itupun berpusat pada Diri Yesus Kristus.

Kenyataan seperti Yesus mengerjakan Mukzijat menujukkan ada penampakkan

kekuatan kerajaan Allah yang hadir dalam Tindakkan-Nya itu. Santo Paulus

katakan: Sakramen Perjanjian Lama hilang efektifitasnya dalam kehadiran

Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. (Kolose 11:7) sedangkan Yohanes

menekankan aspek sacramental dalam seluruh kehidupan Yesus.

Dalam Perjanjian Baru Pemikiran berpusat pada

1. Tindakkan Yesus Sebagai Sakramen

Dalam perjanjian baru, yang tampil ke depan, adalah sakramen berupa

perbuatan. Perbuatan itupun terpusat pada perbuatan Yesus Kristus.

Kenyataan ini dapat terlihat, keika Yesus mengerjakan Mukjizat. Ketika

mengerjakan Mukjizat itu, ada tiga aspek disana; yaitu, FIRMAN misalnya

“tallitakum” TINDAKKAN misalnya “ Meletakkan Tangan ke atas orang

yang sakit dan BARANG misalnya, Ludah, Air Lumpur, dan lain-lain. Hal

seperti ini dapat kita lihat dalam Markus 8:23-25; Yoh. 9 : 6 (Orang buta

dimelekkan) atau dalam Mark. 6:13 disebutkan para murid menggunakan

minyak untuk menyembuhkan orang, Mukjizat yang dibuat Yesus dipahami

sebagai pernyataan kekuatan Kerajaan Allah yang hadir dalam tindakkan

Yesus tersebut. Artinya, kejadian material/nyata tersebut menjadi dimensi

kelihatan dari kekuatan Iilahi, Kerajaan Allah yang tak kelihatan.

2. Pribadi Yesus sebagai Sakramen Utama

Page 34: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Yohanes menekankan aspek sakramental dalam seluruh hidup Yesus.

Seluruh perihal tindakkan Yesus dilihat Yohanes sebagai semeion (tanda).

Artinya, semua tanda kehadiran Allah di dunia, dihubungkan dengan Yesus

Kristus sendiri. Martinya, orang yang mengalami Yesus sebenarnya

mengalami kehadiran Allah sendiri. Yohanes menekankan perlunya Firman

agar manusia mengerti suatu kejadian berasal dari Allah. Yesuslah

Firman itu, yang menyingkapkan dimensi terdalam dari semua peristiwa di

dunia sehingga orang memahami Allah. Kalau demikian, menurut Yohanes

“ Yesuslah Sakramen Utama” yang menampakkan Allah secara Aktif di

dunia ini. Yohanes menegaskan demikian “siapa melihat Aku,

sesungguhnya melihat Bapa” (Yoh 14:9)

3. Gereja sebagai Sakramen induk / dasar

Kalau Yesus dan tindakkannya diartikan secara sakramental, maka

seluruh kehidupan gereja / jemaat juga merupakan sakramen. Dalam Kis.

2, hal itu secara tegas dinyatakan bahwa peristiwa pentakosta diartikan

sebagai penampakkan Illahi yang turun atas Jemaat Yesus (Gereja)

sebagai tempat “ daya / roh “ Penyelematan Allah. Singkatnya dikatakan

Jemaat / Gereja dilihat sbagai Sakramen Kristus.

Paulus menegaskan bahwa aktivitas jemaat yang merayakan Jamuan

Tuhan, mewartakan kematian Tuhan sampai Ia datang (1 Kor. 11:26)

merupakan aktifitas masa kini yang berhubungan dengan masa lampau

(wafat Yesus) dan mengharapkan kedatangan Yesus di masa datang

(eskatologis).

Singkatnya, dikatakan bahwa sakramentalisme pada perjanjian baru

terdapat pada diri Yesus Kristus dan jemaat-Nya.

4. Tujuh (7) Sakramen adalah aktualisasi dari Gereja sebagai sakramen

Kristus terutama dalam fungsi Leoturgianya.

Tiap sakramen individual, merupakan realisasi dari sakramen-sakramen

Gereja. Misalnya, sakramen permandian merupakan realisasi Rahmat

permandian dari Sakramen Gereja.

Page 35: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

E. Schillebeekx menginterpretasikan sakramen-sakramen individual,

sebagai ekspresi manifestasi eklesial dari Cinta Kristus kepada manusia

(Rahmat) dan Cinta manusia untuk Allah (Kultus)

Karl Rahner (The Curch and the Sakrament), Sakramen-sakramen

berbicara tentang tingkat – tingkat aktualitas dari realisasi diri Gereja pada

tingkat yang tertinggi. Sakramen menduduki tempat tertinggi untuk

mengungkapkan apa itu Gereja.

Dalam realisasi ini, terjadi suatu dialektika bahwa Gereja diciptakan

oleh sakramen-sakramen dan pada waktu yang sama, sakramen-sakramen

diadakan oleh Gereja. (KGK 1118)

BAB VI

REFLEKSI TENTANG SAKRAMEN DALAM PERKEMBANGAN

Page 36: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

SEJARAH GEREJA

6.1 JAMAN PATRISTIK

Pada jaman patristik ini, penyebaran ajaran kristen ke Yunani membuat

Gereja sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kebudayaan Helenis. Dan

keprihatinan utama dalam jaman ini adalah Bagaimana manusia dapat

mengambil bagian dalam hidup yang Illahi. Yakni bersatu dengan Allah

sesudah kematian. Di satu pihak, manusia merupakan bagian kecil dari Allah,

karena menurut pemikiran Helenis, manusia tidak dapat mencapai kerinduan ini

karena ia kecil dan dengan perbuatannya sendiri tidak mungkin dapat

mencapainya.

Pemikiran kaum helenis ini oleh Katolik dijawab bahwa, manusia dari

dirinya sendiri tidak dapat naik mencapainya, tetapi Allah sendiri yang

berinisiatif untuk mendatangi manusia. Lewat cara, didalam Yesus Kristus

PutraNya. Karena itu, satu-satunya jalan mencapai keselamatan adalah bersatu

dengan Yesus Kristus. Bersatu dengan Yesus Kristus maksudnya, kita

mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa hidup Yesus, hidup kita disatukan

dengan hidup Kristus.

Bentuk partisipasi dalam hidup Yesus:

# Secara Sakramental;

Misalnya, Permandian mempersatukan kita dengan Kristus (Incoporatio)

menjadi Tubuh Kristus. Permandian Juga menjadikan kita bersatu

dengan orang lain (Concorporatio) membentuk Tubuh Kristus.

Ekaristi, lebih erat kita disatukan dengan Kristus (1 Kor 10:16-17).

# Melalui Hidup Kita

Seluruh hidup kita harus diwarnai dengan semangat Kristus, oleh

karena itu, pada akhirnya kita menjadi Sakramen Kristus. Santo Paulus

katakan ,” Bukan aku lagi yang berbicara, tetapi Kristuslah yang

bersabda”. Pernyataan Paulus ini menimbulkan konsekwensi berpikir,

muncul banyak Sakramen, karena seluruh hidup dilihat sebagai aktualisir

Sakramen Kristus, sehingga pada jaman ini jumlah sakramen menjadi

Page 37: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

tidak terhitung. Pada Masa ini pertanyaan tentang 7 Sakramen belum

relevan karena, umumnya mereka masih menekankan Corak sakramental

dari seluruh Hidup Kristus.

a) Tertulianus (abad ke-3)

Tertulianus meringkas Ciri-ciri Teologi pada masanya; teologi pada abad

ini, menekankan aspek eskatologis, kemudian menjelaskan kesaksian

para anggota Gereja perdana (Martir), perlunya partisipasi sakramen-

sakramen dalam kehidupan berjemaat. Mempertahankan kebenaran-

kebenaran iman Kristen terhadap ajaran sesat.

b) St. Agustinus (311)

Ia melawan ajaran Donatisme yang dipelopori oleh Donatus.

Donatisme menolak keabsahan satu sakramen yang dilayani oleh

pelayan yang tidak pantas. Untuk melawan ini, Agustinus mengatakan

bahwa Kelayakan Sakramen tergantung pada pelaku Utama yaitu Kristus,

sedangkan pelayannya hanyalah alat (ex opere operato, non ex opere

operantis).

Ia juga melawan Pelagianisme yang dipelopori Pelagius yang

mengatakan,” manusia dari kekuatannya dapat menyelamatkan dirinya

sendiri, dosa Adam hanya merupakan kelemahan pribadi yang tidak

mempengaruhi keturunannya, artinya keturunan tidak terkena dosa asal,

karena itu tidak mempengaruhi kehendak bebas kodrati manusia, karena

itu tidak perlu Permandian” Terhadap ini, Agustinus mengatakan bahwa,”

Dosa adam telah merusakkan Kodrat manusia. Karena itu manusia dari

kodratnya tidak dapat untuk menyelamatkan diri sendiri. Karena itu setiap

orang yang lahir sesudah adam perlu permandian untuk menghapus dosa

asal.

Sto. Agustinus, memberikan karakter filosofis terhadap Sakramen.

Untuknya sakramen adalah realitas fisis untuk masuk kedalam realitas

spiritual. Dan ia mengatakan harus ada hubungan antara tanda dengan

yang ditandakan. Pemikiran Agustinus ini, sangat mempengaruhi teologi-

teologi selanjutnya Karena itu Agustinus membedakan tanda bahwa;

Page 38: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Tanda yang paling agung adalah “Kata”. Karena melalui kata-kata realitas

yang tak kelihatan bisa dipahami. “kata” ini membangun Sakramen dan

karena itu, disebut Sakramen kelihatan (Verbum Visibile)

Verbum Audibile------Kata-kata yang diwartakan untuk didengarkan

Verbum Visibile-------Kata-kata yang kelihatan, dirayakan. Mis: Mujizat.

St. Agustinus Say: Allah menciptakan Saya tanpa saya, tetapi Allah

menyelamatkan saya bersama saya.

6.2 ABAD PERTENGAHAN

Pada abad pertengahan, pembicaraan tentang Sakramen masih tentang

persatuan dengan Allah, tetapi penekanannya berbeda.

Bagi Mereka, keselamatan adalah pemenuhan keinginan akan kerinduan

manusia yang tidak dicapai di dunia ini, tetapi di Surga. Karena itu, sasaran

refleksinya bukan Misteri Kristus, tetapi Rahmat. Segala Rahmat itu diperoleh

bagi kita oleh Kristus melalui sarana-sarana. Dan sarana yang penting pada

abad ini adalah SAKRAMEN. Karena itu, untuk masuk surga, harus beroleh

banyak sakramen, karena itu mereka berefleksi ada 7 (tujuh) sakramen untuk

mencapai keselamatan. Mereka membedakan 2 macam Rahmat.

Gratia Creata -------yang diciptakan, disalurkan lewat sakramen-

sakramen.

Gratia increata -------Yang tak tercipta yang datang dari Allah Roh Kudus.

Hal lain yang dipersoalkan pada Abad Pertengahan adalah tentang Jumlah

Sakramen. Menurut Isidorus dari Sevila Jumlah Sakramen Memang masih

Cukup banyak. Untuknya sakramen adalah barang, benda yang memuat

sesuatu yang kudus didalamnya dan karenanya perlu dihormati dan disembah.

Petrus Damian katakan ada 12 Sakramen.

Baru pada abad XII mulai dikembangkan ada 7 Sakramen, yang

disampaikan oleh para tokoh yang terkenal yakni : Hugo dari Sto. Victor yang

mengatakan ada 7 (tujuh) Sakramen yang disebutnya Sakramenta Mayora.

Kemudian dilanjutkan oleh Petrus Lombardus yang juga mengakui 7 (tujuh)

Sakramen. Thomas Aquinas mengenal 7 (Tujuh) Sakramen dan pembagiannya

Page 39: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

didasarkan pada kematangan pribadi, individu dan Sosial. Dan menurutnya

paling penting dalam hidup manusia adalah Lahir – Dewasa – Menerima

makanan ( Permandian – Krisma – Ekaristi)

6.3 TUJUH (7) SAKRAMEN

Pengakuan akan jumlah tujuh mempunyai sejarah yang panjang. Dan hal

ini tidak jelas pada awalnya, sehingga jumlahnya tak terhingga. Sampai pada

abad II masih kabur dan tidak jelas. Dari bermacam kegiatan yang disebut

sakramen, diambil yang utama. Jumlah sakaramen ini, mulanya mempunyai

daftar yang begitu panjang. Baru oleh Petrus Damian menyebut Permandian –

Ekaristi – Tahbisan, sebagi Sakramen Utama. Lalu oleh Hugo dari St.Viktor

mulai mengatakan ada 7 Sakramen.

Kriterianya:

- Sacramenta Salutaria (keselamatan) dan sakramen ini meliputi;

Permandian – Ekaristi – Krisma (sekarang disebut Inisiasi)

- Sacramenta Exerecitationis artinya tidak perlu untuk keselamatan

tetapi

dianggap berguna untuk hidup. Misalnya; Air Suci, Rabu Abu,

Pemberkatan Palma dan Lilin dll. Dalam perkembangan selanjutnya,

hal-hal ini disebut Sakramentalia.

- Sakramen Preparatria termasuk didalamnya, tahbisan dan

konsekrasi

Perminyakan

Konsili Trente (1545 – 1563) mengatakan bahwa, Jumlah Sakramen adalah 7,

tidak kurang tidak lebih. Karena itu sepanjang sejarah tidak ada pengurangan

dan penambahan terhadap jumlah sakramen ini, juga dalam Konsili Vatikan II.

Berdasarkan penetapan ini, kemudian Konsili Trente mengatakan bahwa ada 7

Page 40: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

(tujuh) sakramen. Orang masih sulit menjelaskan mengapa konsili trente

mengatakan 7 Sacramen.

Dalam keadaan ini, konsili Trente menggunakan Argumentum auctoritate.

Karena dalam keadaan terserang oleh reformis, karena itu perlu unjuk diri,

unjuk kewibawaan.

Maksud angka 7, kemudian hari, apakah angka matematis atau Simbolis?

Secara matematis sulit diterima, karena bila inisiasi itu satu, maka hanya ada

lima sakramen. Singkatnya, secara aritmatis sulit diterima. Karen itu, angka ini

merupakan angka Simbolis maksudnya;

- angka 7 (tujuh) menunjukkan kepenuhan)

- 7 itu terdiri dari 3 (tiga Pribadi Illahi) dan 4 (empat unsur Dunia). Dengan

demikian, tujuh merupakan simbol persatuan antara yang Ilahi dan yang

diciptakan yaitu dunia. Dan persatuan ini terwujud dalam Kristus yang

menjelma. Dalam diri Kristus terdapat 3 unsur Illahi dan 4 unsur duniawi.

- Dalam Kitab Suci kita temukan 7 Karunia Roh Kudus, ada 7 Roti, ada 7 Kaki

lilin ada 7 sabda dan lain-lain.

- Dari segi teologi, ada & (tujuh) Kerahiman

Jadi angka ini menyimbolkan kepenuhan.

Dalam Ekonomi keselamatan, 7 itu diarahkan pada Kristus Kepenuhan,

kehidupan.

6.4 KARAKTER SAKRAMENTAL

Diantara 7 Sakramen, 3 diantaranya memiliki karakter tak terhapuskan

(Karakter indellebilis) yaitu Permandian – Krisma - Tahbisan). Tak terhapuskan

karena ia Merupakan suatu tanda Spiritual yang membedakan si penerima dari

yang lain. Karena itu, karakter ini selalu berkaitan dengan kepunyaan.

Sakramen ini tak terhapuskan dan tak terulang., ia menjadi Tanda Rohani dan

tanda rohani yang dimeteraikan yakni Roh Kudus yang tak Pernah hilang.

6.5 MATERI DAN FORMA SAKRAMEN

Page 41: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

2 Istilah ini diambil dari Filsafat Aristoteles Yaitu Hulle (materi) dan

Morphisme (bentuk). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam teologi khususnya

Sakramentologi. Keduanya menunjukkan exterior dari Rahmat Sakramen.

Materi adalah sesuatu elemen yang ditentukan sebagai tanda dan sarana

yang dipakai untuk suatu tindakkan. Misalnya Air, minyak, Kain putih dan Lilin

( dalam Permandian).

Forma adalah elemen Sakramental yang lebih Spesifik, yang memberi arti

kepada materi. Umumnya Forma terdiri dari Kata-kata dan perbuatan-

perbuatan yang menyertai tindakkan tertentu. Materi Adalah Elemen yang

ditentukan, sedangkan Forma adalah elmen yang menentukan. Keduanya tidak

dapat dipisahkan. Keduanya menjadi tanda yang tak dapat dipisahkan.

6.6 EFEKTIFITAS SAKRAMEN

Menurut iman Katolik, efektifitas terjadi ex opere operato. Dengan

ungkapan ini berarti keabsahan Sakramen dan daya gunanya didasarkan pada

karya yang dikerjakan Allah. Jadi Sakramen mengalami efektivitasnya

bergantung pada Kerja Allah. Karena itu, kesalehan manusiawi (Receiver dan

Giver) tidak menjadi sebab daya Guna suatu sakramen, tetapi semata-mata

oleh kekuatan Allah.

Dengan demikian ditekankan bahwa inisiatif /pekerjaan Allah, tidak

tergantung dari pekerjaan manusia,” ex opere operantis”. Singkatnya dikatakan

efektivitas Sakramen terjadi karena ex opere operato (Karya Allah) non ex

opere operantis (Karya Manusia). Contoh Kasus : Seorang imam pendosa berat

memberikan Absolusi. Absolusi tersebut tetap sah karena tidak tergantung

kekudusan pemberi/penerima tetapi oleh karena Inisiatif / Karya Allah sendiri.

Walaupun demikian, sikap manusia haruslah menjadi kondisi yang layak.

Tuhan memberikan RahmatNya dengan merdeka, tanpa terikat. Allah sebagai

sumber dan prinsip utama. Sedangkan pelayan, hanyalah alat;kondisi yang

memungkinkan Rahmat itu hadir.

6. 7. Ex Opere Operato dan ex opere Operantis

Page 42: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

Harafiahnya bahwa sesuatu yang berhasil Ex opere operato sama

dengan berhasil karena karya yang (telah) dikerjakan/dikaryakan dalam hal ini

dikaryakan oleh Allah/Kristus. Hal ini dibedakan dari sesuatu yang berhasil ex

opere operantis sama dengan berhasil karena karya yang (sedang)

dikerjakan/dikaryakan (oleh manusia, bisa orang yang bersangkutan, jemaat

setempat atau Gereja secara keseluruhan)

Jadi secara umum dua istilah ini dipakai untuk menekankan bahwa

sesuatu tindakkan /perbuatan berhasil oleh karena:

1) Tindakkan Allah/Kristus ( meskipun hal ini terjadi dalam tindakkan

Gereja yang mewartakan,berdoa,menerima sakramen, dlsb)

2) Usaha manusia (meskipun hal itupun merupakan rahmat atau karya

Allah di dalam diri kita)

Maka dari itu sesungguhnya tidak sehat merumuskan dan lebih-lebih

mewartakan “ex opere operato” dan “ex opere operantis” sebagai dua hal yang

saling eksklusif: de facto sekaligus ada tindakkan Allah dan tindakkan manusia.

Namun ada perbedaan dalam apa yang ditampakkan: kalau kita menyapa Allah

dalam dosa, nampak disana kelihatan sekali usaha manusia; akan tetapi

sebaliknya nampak kelihatan Tindakkan Allah kalau imam berkata “dosamu

diampuni”.

Istilah “ex opere operato” merupakan istilah yang banyak digunakan

terutama berkaitan dengan Sakramen (dan juga yang lain, misalnya Peristiwa

Yesus di Golgota) hal ini dimaksudkan untuk

1. untuk menekankan bahwa keselamatan dikaryakan/dikerjakan oleh Allah

bukan oleh manusia.

2. untuk menekankan bahwa keselamatan tidaklah dikaryakan/dikerjakan

oleh pelayan sakramen artinya, hasil sakramen (hasil pertama

sakramentum et res dan hasil terakhir res tantum, bersatu dengan Allah)

tidak tergantung kepada pelayannya (pangkat, kesucian,dlsb)

Page 43: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

3. Dalam penerapan kepada tujuh sakramen ditekankan bahwa didalam

sakramen-sakramen itu Allah/Kristus mengerjakan keselamatan bagi

yang menerimanya.

4. Ketiga hal diatas, tidak menimbulkan persoalan dalam iman kita. Yang

menimbulkan persoalan justru ketika kita menambahkan bahwa “ex opere

operato” berarti hasil sakramen tidak bergantung kepada aktivitas /

disposisi manusia (penerima sakramen) artinya apabila manusia

penerima itu tidak memiliki aktivitas/disposisi batin pun rahmat sakramen

tetap terjadi oleh karena semua adalah tergantung Karya Allah. Kalau

demikian pengertiannya,maka pemahaman “ex opere operato”

menimbulkan masalah dalam penghayatan iman yang murni dan benar!

Pemikiran terakhir tersebut terdapat pula pada teolog-teolog sesudah

Konsili terente dan rupanya kini terserap dalam penghayatan umat. Untuk

mencegah pengertian yang keliru tersebut maka perlu diperhatikan tiga hal

berikut:

a) menurut teologi pada umumnya dan ajaran resmi gereja (K.Terente)

bahwa secara negatif hasil sakramen itu tergantung pada penerima.

Artinya penerima bisa “ menghalangi” hasil sakramen. Orang

menerima Sakramen tanpa disposisi minimal, tidaklah menerima

sesuatu sebagai hasilnya yaitu suatu “res”, hubungan yang mesra

dengan Allah. Prinsip tologi ini sesungguhnya merupakan suatu

kebenaran umum bahwa manusia dapat menghalangi keselamatan

dengan berdosa.

b) menurut pandangan paling biasa/umum disposisi kurang baik juga

mengurangi hasil Sakramen. Jadi tidak hanya bahwa tanpa disposisi

minimal sakramen tidak berhasil sedikitpun, tetapi berlaku juga

sebaliknya bahwa disposisi secukupnya bahkan lebih optimal hasilnya

juga secukupnya dan bahkan optimal. Keran air adalah contoh yang

baik untuk penerapan pandangan umum ini. Kalau kran ditutup, air

tidak mengalir sedikitpun (meski airnya siap mengalir); sebaliknya

kalau kran dibuka sedikit maka sedikit pula air yang mengalir. Kalau

Page 44: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

kran air dibuka optimal maka mengalirlah air dengan penuh. Perlu

diketahui bahwa disposisi batin kurang optimal dan dengan demikian

mengurangi hasil sakramen merupakan konsekuensi logis bahwa

manusia dapat menghalangi atau juga mengurangi hasil Karya Allah.

c) maka persoalan kita selanjutnya adalah apakah sakramen dari dirinya

sendiri meningkatkan disposisi, hal yang tidak terjadi diluar sakramen?

Menanggapi persoalan ini ada dua pendapat dan paling jelas dalam

sakramen pengakuan. Di satu pihak ada yang mengatakan sakramen

pengakuan itu menjadikan “sesal tak sempurna” dalam diri penerima,

menjadi “sesal sempurna”. Dilain pihak dikatakan “sesal tak sempurna”

tetap sesal tak sempurna dalam diri penerima sakramen tersebut.

Bagaimanapun perlu dicatat bahwa Allah dapat memberikan Rahmat

khusus, juga rahmat untuk meningkatkan disposisi batin. Itu selalu bisa

terjadi dan tidak selalu terikat pada sakramen.

Sekarang mesti ditegaskan bahwa tekanan pada “ex Opere operato”

secara p-raktis mudah menimbulkan ide otomatisme/magi. Dalam pembinaan

umat sebagai katekis istilah tersebut perlu dihindari dan digantikan dengan :

a. dalam kehidupan dan juga Sakramen, selalu Allah/Kristuslah yang

mengerjakan Keselamatan. Dan ini khususnya dihayati dalam

sakramen-sakramen.

b. Manusia dapat menutup dirinya, entah total entah sedikit. Sebaliknya,

manusia perlu mengusahakan disposisi batin sebaik mungkin.makin

baik disposisi, hasil yang boleh diharapkan juga makin baik. Prinsip ini

juga berlaku diluar Sakramen, misalnya devosi dan doa -doa

umumnya.

Palangka Raya, Juni 2010

Page 45: Diktat Sakramentologi 1 Smt IV

=====================SEKIAN DAN TERIMA

KASIH===================