MAKALAH
TATALAKSANA PENYAKIT DEMAM REMATIK
Oleh :
Aprilian Candra Ayu Sita S 0510710019
Samudra Widagdo A 0510710123
Siti Khodijah bt Dul Hadi 0510714015
Pembimbing:
Dr Sasmojo Widito, Sp.PD Sp.JP
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
Juli 2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
Daftar Isi 2
BAB I Pendahuluan 3
BAB II Tinjauan Pustaka 5
BAB III Penutup
Daftar Pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Demam rematik (DR) merupakan proses imun sistemik yang dapat
bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas.
Tanda – tanda demam rematik biasanya muncul pada saat 2 -3 minggu setelah
infeksi tapi tanda – tanda tersebut dapat muncul pada awal minggu pertama atau
pada akhir minggu ke 5. Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit jantung
rematik (PJR) adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam rematik atau
kelainan karditis rematik. Kebanyakan kasus menyerang pada katub mitral
sebanyak 75 – 85%, kemudian katub aorta 30%, sedangkan untuk katub
tricuspid dan pulmonal prevalensinya kurang dari 5% (Leman, 2009; Olivier,
2004; Tierney, 2004).
Pada tahun 2005 Carapetis et Al menerbitkan ringkasan temuan utama
dari tinjauan mendalam yang dilakukan untuk WHO, diperkirakan bahwa lebih
dari 2.400.000 anak usia 5-14 tahun yang terpengaruh dengan penyakit jantung
rematik (PJR) dan 79% dari semua kasus penyakit jantung rematik berasal dari
negara kurang berkembang. Lebih lanjut, jumlah kasus tahunan yang terbaru
pada anak usia 5-14 tahun adalah lebih dari 336.000. Dari sana, mereka
memperkirakan bahwa dari semua kasus demam rematik akut, 60% akan terus
berkembang menjadi PJR setiap tahun. Akhirnya, mereka memperkirakan bahwa
ada lebih dari 492.000 kematian per tahun akibat PJR, dengan sekitar 468.000
ini terjadi pada negara kurang berkembang.
Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi PJR
berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar
dapat diperkirakan bahwa prevalensi DR di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka
tersebut, mengingat PJR merupakan akibat dari DR (Olivier, 2004).
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis memaparkan secara
singkat mengenai penyakit DR, mulai dari kriteria diagnosis dan tatalaksana yang
tepat, serta pencegahan yang berkesinambungan, yang perlu kita ketahui agar
dapat melakukan manajemen terhadap penyakit DR ini sehingga dapat
menurunkan kejadian, kecacatan dan kematian akibat penyakit ini.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah cara menegakkan diagnosis yang tepat terhadap penyakit
demam rematik ini ?
2. Bagaimanakah tatalaksana penyakit demam rematik ?
3. Bagaimanakah usaha pencegahan terhadap penyakit demam rematik ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara diagnosis tepat terhadap penyakit demam rematik.
2. Mengetahui tatalaksana penyakit demam rematik
3. Mengetahui usaha pencegahan penyakit demam rematik.
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi kepada Dokter Muda, sehingga mampu untuk
melakukan diagnosis, penatalaksanaan dini secara tepat serta
pencegahan yang efisien terhadap penyakit demam rematik.
2. Dengan diagnosis yang tepat, membantu mengurangi angka kematian
akibat penyakit demam rematik .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A
dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons
auto imun terhadap infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A pada
tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul
ditentukan oleh kepekaaan genetik dari host, keganasan organisme dan
lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini
tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan
spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi
Streptoccocus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam
patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam
patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptococcus beta hemoliticus
grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotipe biasanya
mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein
(Olivier, 2004).
M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya
homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helical coiled coil, seperti
tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler
yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari
struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1,
3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya demam rematik
(Olivier, 2004).
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh
bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex
molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus
Streptoccocus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-
like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin,
dalam patogenesis demam rematik. Terdapat bukti kuat bahwa respons
autoimmune terhadap antigen Streptoccocus memegang peranan dalam
terjadinya demam rematik dan penyakit jantung rematik pada orang yang rentan.
Sekitar 0,3 – 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis
Streptoccocus berlanjut menjadi demam rematik. Data terakhir menunjukkan
5
bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen Streptoccocus
berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi
Streptoccocus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik
sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan,kolonisasi dan invasi.
Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang
penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal
fibronectin-binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang
jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang
merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi
cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi Streptoccocus
untuk terjadi demam rematik (Olivier, 2004).
Gambar Patogenesis Demam Rematik – Penyakit Jantung Rematik
(Siregar, 2008)
6
2.2. Diagnosis
Temuan klinis, laboratorium, maupun atau tes pemeriksaan lainnya tidak
spesifik untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Pada tahun 1944, T.
Duckett Jones merumuskan kriteria-nya untuk diagnosis demam rematik yang
kemudian dikenal sebagai Kriteria Jones. Kriteria ini masih berlaku dan telah
dimodifikasi, direvisi, diedit, dan diperbarui oleh Komite Demam reumatik,
endokarditis, dan penyakit Kawasaki (American Heart Association). Kriteria
diagnosis demam rematik meliputi kelompok kriteria mayor dan minor yang pada
dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik serta
dengan tambahan bukti adanya infeksi Streptococcus sebelumnya (Braunwald,
2001).
Tabel 1: Pedoman untuk diagnosis Demam Rematik Kriteria Jones
(Fuster,2001)
Kriteria Major Kriteria Minor Temuan klinis yang mendukung
infeksi Streptokokus beta
hemolitik A
Karditis
Poliartritis
Chorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Temuan klinis:
- Athralgia
- Demam
-
Temuan labaratoris:
- Peningkatan reaktan
fasa akut
- Peningkatan
sedimentasi eritrosit
- Peningkatan CRP
- Interval PR
memanjang
Kultur tenggorokan untuk bakteri
Streptokokus beta hemolitik A
(+)
Peningkatan antistreptolisin O/
antibody Streptokokus
Riwayat demam Scarlet
2.3. Tatalaksana Penyakit Demam Rematik
Apabila memungkinkan pasien harus dirawat di rumah sakit agar dapat
dilakukan observasi ketat dan harus beristirahat di tempat tidur (tirah baring). Hal
tersebut penting untuk mengurangi progresivitas penyakit. Lamanya tirah baring
7
dapat bervariasi tergantung masing – masing individu. Mobilisasi dapat dilakukan
apabila fase akut dari demam rematik telah terlewati. Pasien juga harus diizinkan
untuk kembali ke kegiatan normal dengan aktivitas fisik yang minimal. Olahraga
fisik yang keras harus dihindari, terutama apabila disertai karditis. Meskipun
kultur tenggorokan jarang positif untuk infeksi Streptococcus grup A pada saat
onset RF, pasien harus diobati dengan penisilin selama 10 hari. Apabila pasien
alergi penisilin maka diganti dengan eritromisin. Apabila ada gagal jantung,
pasien diberharus tambahan terapi berupa diuretik, oksigen, dan digitalis serta
dengan pembatasan diet natrium. Penggunaan digitalis harus hati-hati karena
dengan dosis konvensional pun dapat terjadi toksisitas jantung (Braunwald,
2001).
Tidak ada pengobatan khusus untuk mengatasi reaksi inflamasi akibat
demam rematik. Yang dapat dilakukan adalah memberikan terapi supportif yang
bertujuan untuk mengurangi gejala konstitusional, mengendalikan manifestasi
toksisitas, dan memperbaiki fungsi jantung. Pasien dengan ringan atau tanpa
karditis biasanya merespon baik pada pemberian salisilat. Salisilat sangat efektif
dalam mengurangi nyeri sendi, rasa sakit serta bengkak. Tidak menutup
kemungkinan setelah pemberian salisilat, nyeri tidak berkurang, maka diagnosis
demam rematik dapat dipertanyakan dan harus dievaluasi ulang. Karena tidak
ada tes diagnostik khusus untuk demam rematik, maka terapi antiinflamasi harus
ditahan sampai gambaran klinis telah menjadi cukup jelas untuk memungkinkan
diagnosis. Untuk efek antiinflamasi yang optimal, kadar salisilat serum sekitar 20
persen mg diperlukan. Aspirin, pada dosis 100 mg / kg / hari, diberikan empat
sampai lima kali sehari, biasanya menghasilkan kadar serum cukup untuk
mencapai respon klinis. Terapi optimal salisilat harus tunggal, hal ini untuk
memastikan respon yang memadai dan menghindari toksisitas. Tinnitus, mual,
muntah, dan anoreksia adalah efek samping terkait dengan penggunaan salisilat.
Efek samping dapat mereda setelah beberapa hari pengobatan meskipun obat
dilanjutkan (Braunwald, 2004; Thierney, 2004).
Pasien yang memiliki gangguan fungsi jantung, terutama perikarditis atau
gagal jantung kongestif - merespon lebih cepat untuk kortikosteroid daripada
salisilat. Steroid dapat menyelamatkan hidup pada pasien yang sangat sakit.
Pasien yang tidak merespon salisilat pada dosis yang adekuat, kadang - kadang
dapat berespon baik pada pemberian kortikosteroid. Dosis yang biasa digunakan
adalah prednisone, 1 - 2 mg/kg/hari (Braunwald, 2001).
8
Tidak ada bukti bahwa salisilat atau terapi kortikosteroid mempengaruhi
jalannya carditis atau mengurangi insiden penyakit jantung. Oleh karena itu,
durasi terapi dengan agen antiinflamasi berdasarkan perkiraan tingkat keparahan
episode dan ketepatan dari respon klinis. Pada serangan ringan dengan
keterlibatan sedikit atau bahkan tidak ada keterlibatan dari inflamasi sel jantung,
dapat diobati dengan salisilat selama sekitar 1 bulan atau sampai ada cukup
bukti klinis dan laboratorium inaktivasi dari inflamasi tersebut. Dalam kasus yang
lebih berat, terapi dengan kortikosteroid dapat dilanjutkan selama 2 sampai 3
bulan. obat tersebut kemudian dikurangi secara bertahap selama 2 minggu
berikutnya. Bahkan dengan terapi berkepanjangan, beberapa pasien (kurang
lebih 5 persen) terus menunjukkan bukti aktivitas rematik selama 6 bulan atau
lebih. Fenomena rebound terlihat dengan munculnya kembali gejala-gejala
ringan atau reaktan fase akut, dapat terjadi pada beberapa pasien yang telah
menghentikan pengobatan antiinflamasi, biasanya dalam waktu 2 minggu. Gejala
yang sederhana biasanya mereda tanpa pengobatan; gejala lebih parah
mungkin memerlukan pengobatan dengan salisilat. Beberapa dokter
merekomendasikan penggunaan salisilat (aspirin, 75 mg/kg/hari) selama periode
tapering off kortikosteroid, dan dipercaya bahwa pendekatan seperti itu dapat
mengurangi kemungkinan rebound. Informasi tentang penggunaan salisilat selain
aspirin pada terapi demam rematik masih sangat terbatas. Tidak ada bukti
menunjukkan bahwa agen antiinflamasi nonsteroid lain lebih efektif daripada
aspirin. Pada pasien yang tidak dapat mentolerir aspirin atau yang alergi
terhadap hal itu, dapat dicoba menggunakan agen nonsteroid lain. Preparat
aspirin yang dilapisi atau yang mengandung alkali atau buffer juga dapat dicoba,
hal ini bertujuan agar pemberian aspirin dapat ditolerir serta mengurangi efek
samping yang tidak diinginkan (Braunwald, 2001).
Berikut ini disajikan tabel pengobatan dari bermacam – macam
manifestasi klinis sewaktu pasien datang berobat pada fase akut.
Tabel 2: Hubungan Manifestasi Klinis dan Pengobatan
Manifestasi Klinis Pengobatan
9
Artralgia Salisilat saja
Artritis saja dan/atau karditis tanpa
kardiomegali
Salisilat 100mg/kgBB/hari selama 2
minggu dan diteruskan dengan 75
mg/kgBB/ hari selama 4-6 minggu
Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu da tapering off selama 2
minggu dengan ditambahkan salisilat
75 mg/kgBB/haru untuk 6 minggu
(Leman, 2009)
2.4. Strategi Pencegahan
Pencegahan demam rematik ada 2 cara :
2.4.1. Pencegahan Primer
Pencegahan serangan utama pada DR tergantung pada kecepatan
dan deteksi awal dari penyakit ini. Eradikasi bakteri Streptococcus beta
hemoliticus grup A dari tenggorokan merupakan upaya pencegahan primer
terhadap penyakit demam rematik. Terapi antibiotik yang sesuai dimulai
sejak awal hingga 9 hari setelah onset akut faringitis Streptococcus cukup
efektif dalam mencegah serangan utama demam rematik, terapi awal
disarankan karena dinilai mampu mengurangi baik morbiditas dan periode
infektifitas bakteri ini. Dalam memilih regimen obat untuk pengobatan
faringitis akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A, berbagai faktor
harus dipertimbangkan, termasuk kemanjuran dari segi bakteriologis dan
klinis, kemudahan kepatuhan terhadap regimen yang direkomendasikan
(frekuensi administrasi sehari-hari, lama terapi), biaya; spektrum aktivitas
agen yang dipilih, dan potensi efek samping.
Penisilin adalah agen antibiotik pilihan untuk pengobatan terhadap bakteri
Streptococcus beta hemoliticus grup A, kecuali pada pasien dengan
riwayat alergi terhadap penisilin. Penisilin merupakan antibiotik spektrum
sempit, dan memiliki efektivitas yang telah terbukti dalam mengobati infeksi
akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A. Hingga saat ini, resistensi
bakteri ini terhadap penisilin belum didokumentasikan. Penisilin dapat
diberikan secara intramuskular atau oral, tergantung pada kemungkinan
kepatuhan pasien terhadap regimen obat oral. Pemberian benzathine
penisilin G secara intramuscular adalah pilihan, khususnya bagi pasien
10
yang tidak mungkin diberi 10 hari terapi oral dan untuk pasien dengan
riwayat pribadi atau keluarga DR atau penyakit jantung rematik. Suntikan
benzathine suntikan penisilin G harus diberikan sebagai dosis tunggal
dalam massa otot besar.
Antibiotik oral pilihan adalah penisilin V (penisilin fenoksimetil).
Pasien harus mengkonsumsi penisilin oral secara teratur hingga 10-hari,
meskipun gejala masih belum nampak pada beberapa hari pertama.
Meskipun amoksisilin spektrum yang lebih luas dan sering digunakan untuk
pengobatan faringitis akibat Streptococcus beta hemoliticus grup A ,namun
hal tersebut tidak memberikan keuntungan mikrobiologi melebihi penisilin.
Eritromisin oral dapat diberikan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
Pengobatan juga harus diberikan selama 10 hari. Eritromisin estolat (20-40
mg/kg/hari dalam dua sampai empat dosis terbagi), atau eritromisin etil
suksinat (40 mg/kg/hari dalam dua sampai empat dosis terbagi) efektif
dalam mengobati faringitis Streptococcus, namun keberhasilan dua kali
regimen sehari pada orang dewasa membutuhkan studi lebih lanjut. Dosis
maksimal adalah 1 gram eritromisin /hari. Azitromisin memiliki efektivitas
mirip dengan eritromisin dalam melawan Streptococcus beta hemoliticus
grup A tetapi dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal yang lebih
ringan. Azitromisin dapat diberikan satu kali sehari dan menghasilkan
konsentrasi tonsillar jaringan tinggi. Pemberian azitromisin selama 5 hari
disetujui oleh Food and Drug Administration sebagai terapi lini kedua untuk
pengobatan pasien usia 16 tahun atau lebih dengan faringitis
Streptococcus beta hemoliticus grup A. Dosis yang dianjurkan adalah 500
mg sebagai dosis tunggal pada hari pertama diikuti oleh 250 mg sekali
sehari selama 4 hari. Pemberian sefalosporin oral selama 10 hari
merupakan alternatif yang dapat diterima, terutama untuk pasien alergi
penisilin. Sefalosporin spektrum sempit , seperti sefadroksil atau sefaleksin,
lebih dipilih daripada sefalosporin spektrum yang lebih luas seperti sefaclor,
sefuroxime, sefiksim, dan sefpodoxime. Beberapa orang alergi penisilin
(<15 %) juga alergi terhadap sefalosporin, dan agen ini tidak boleh
digunakan oleh pasien yang hipersensitif terhadap penisilin (reaksi
anafilaktik). Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian sefalosporin
oral selama 10 hari lebih unggul daripada 10 hari penisilin oral dalam
pemberantasan Streptococcus beta hemoliticus grup A dari faring. Ada
11
beberapa antibiotik tertentu yang tidak dianjurkan untuk pengobatan infeksi
saluran pernafasan atas akibat bakteri Streptococcus beta hemoliticus grup
A. Tetrasiklin tidak boleh digunakan karena tingginya prevalensi strain
resisten. Sulfonamides dan trimethoprimsulfamethoxazole tidak akan
memberantas bakteri Streptococcus beta hemoliticus grup A pada pasien
dengan faringitis dan tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi aktif.
Kloramfenikol tidak dianjurkan karena efikasinya tidak diketahui dan
berpotensi menimbulkan toksisitas yang serius (Braunwald, 2001).
2.4.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terhadap DR merupakan metode pencegahan
terjadinya demam rematik berulang, yaitu berupa pemberian antibiotic
suntikan benzathine penicillin sewtiap 4 minggu ecara berkelanjutan (Libby,
2008). Tujuannya untuk mencegah kolonisasi maupun infeksi pada saluran
pernafasan atas terutama yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus beta
hemoliticus grup A dan juga mencegah rekurensi dari serangan DR
(Beggs, 2008). Pasien yang telah mengalami serangan DR sebelumnya
dan menderita faringitis Streptococcus, beresiko tinggi mengalami
serangan berulang dari DR. Infeksi Streptococcus beta hemoliticus grup A
yang rekurren seringnya asimptomatik. Selain itu, DR dapat kambuh
bahkan ketika gejala infeksi telah ditekan secara optimal. Untuk alasan ini,
maka untuk pencegahan DR berulang, memerlukan antibiotik profilaksis
secara terus – menerus. Antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk
diberikan pada pasien dengan riwayat DR (termasuk yang memiliki
manifestasi chorea Sydenhaim) maupun yang terbukti menderita penyakit
jantung rematik. Antibiotik profilaksis harus dimulai segera setelah pasien
terdiagnosa demam rematik akut maupun penyakit jantung rematik.
Pengobatan secara lengkap dengan penicillin seharusnya diberikan
diawal terhadap pasien dengan DR akut untuk mengeradikasi sisa bakteri
Streptokokus bahkan bila kultur tenggorokan sudah negative pada saat itu.
Infeksi streptokokus yang dialami oleh salah satu anggota keluarga harus
segera diobati (Braunwald, 2001)
Setelah 4 minggu pasca suntikan, level benzathine penicillin rendah
atau tidak terdeteksi sehingga untuk daerah endemikmaupun pasien yang
berisiko tinggi frekwensi pemberian suntikan menjadi tiap 3 minggu,
meskipun bukti perbaikan setelah pemberian suntikan belum jelas kuat.
12
Tabel 3 Terapi Antibiotik untuk Demam Rematik Akut dan Pencegahan
Jangka Panjang
Terapi awal terhadap Faringitis akibat infeksi Streptokokus Beta Hemolitik A
(Libby,2008)
Antibiotik Dosis Frekwensi Durasi Komentar
Benzathine
penicillin G
Penicilin V
Amoxicilin
Cefalosporin/
eritromisin
1,2 juta unit
IM
500 mg PO
500 mg PO
Bervariasi
tergantung
jenis obat
1x
2x/ hari
3x/ hari
Bervariasi
Onset akut
sahaja
10 hari
10 hari
10 hari
Menurunkan
compliance
issues
Peningkatkan
nyeri
Diberikan
apabila pasien
alergi penicilin
Tabel 4: Regimen pencegahan sekunder untuk pasien yang terdiagnosa
demam rematik (Libby, 2008)
Antibiotik Dosis Frekwensi Komentar
Benzathine
Penicilin G
Penicilin V
Eritromisin
Sulfonamide
1,2 juta unit IM
250 mg PO
250 mg PO
1 g PO
Tiap 3-4 mggu
2x/hari
2x/hari
Tiap hari
Menurunkan
compliance issues
Peningkatkan nyeri
-
Alternatif apabila
pasien alergi
penicilin
Tabel 5: Durasi Pencegahan Sekunder penyakit Demam Rematik
(Fuster,2001)
Kategori Durasi Demam rematik dengan karditis dan kelainan menetap
Sekurang – kurangnya 10 tahun sejak episode yang terakhir dan sampai usia 40 tahun dan kadang-kadang seumur hidup
13
Demam rematik dengan karditis tanpa kelainan katup yang menetap*
Demam rematik tanpa karditis
10 tahun atau sampai dewasa, bisa lama
5 tahun atau sampai usia 21 tahun, bisa lebih lama
Klinis / echocardiografi
Tabel 6: Petunjuk Tirah Baring dan Ambulasi (Siregar, 2008)
Hanya artritis Karditis
minimal
Karditis
sedang
Karditis berat
Tirah baring 2 minggu 2-3 minggu 4-5 minggu 2-4 bulan
Ambulasi
dalam rumah
1-2 minggu 2-3 minggu 4-5 minggu 2-3 bulan
Ambulasi luar
(sekolah)
2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
Aktivitas
penuh
Setelah 4-
6minggu
Setelah 6-10
minggu
Setelah 3-6
bulan
Bervariasi
Tabel 7: Rekomendasi Penggunaan Antiinflamasi (Siregar, 2008)
Hanya
Artrutis
Karditis
Minimal
Karditiitis
Sedang
Karditis
Berat
Prednison 0 0 2-4 minggu* 2-6 minggu*
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu+ 6-8 minggu* 2-4 bulan
Dosis Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
*Dosis prednison ditappering dan apirin dimulai selama minggu akhir
+Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB/hari setelah 2 minggu
pengobatan
2.5 Profilaksis Endokarditis
Tabel 8: Prosedur yang dipertimbangkan untuk pemberian profilaksis
Rekomendasi pemberian profilaksisTidak rekomendasi untuk pemberian
profilaksis
Tindakan gigi yang yang bisa
menyebabkan perdarahan gingival
Tindakan gigi yang tidak
menyebabkan perdarahn misalnya
14
atau mukosa, termasuk
pembersihan gig dan scaling
Tosilektomi atau adenoidectomy
Operasi yang melibatkan
gastrointestinal atau mukosa
respiratori atas
Scleroterapi
Dilatasi esophagus
Operasi kandung empedu
Cystoscopy
Kateresasi uretra bila ada infeksi
traktus urinarius
Operasi tratus urinarius termasuk
operasi prostat
Insisi jaringan infeksi
Hysterektomi
Komplikasi infeksi partus
pervaginam
orthodontic dan tempelan
Injeksi intraoral atau anestesi lokal
Insersi tube Tympanostomi
Insersi tube endotrakeal
Brochoskopi dengan/tanpa biopsi†
Katerisasi kardia
Endoskopi gastrointestinal
Cesarean section
Tidak ada infeksi : Katerisasi
uretra, kuretase, tidak ada
komplikasi pada partus
pervaginam, insersi atau
mengeluarkan alat untrauterine,
tindakan yang steril, laparoskopi†
Antibiotik profilaksis diberikan untuk eradikasi pathogen yang
menyebabkan endokarditis, biasanya yang disebabkan pleh bakteri
staphylococcus
† pada pasien dengan risiko tinggi bisa diberikan profilaksis untuk tindakan
tersebut
Table 9: Risiko Terkena Infeksi Endokarditis Disertai Adanya Kelainan
Jantung
Risiko Tinggi Risiko Sedang Risiko Rendah*
Katup Jantung
prostetik†
Pernah mengalami
infeksi endikarditis †
Penyakit jantung
Prolaps katup mitral
dengan regurgitasi
(murmur)
Murni Mitral stenosis
Prolaps katup mitral
tanpa regurgitasi
(murmur)
Ada regurgitasi valvular
pada ekokardiografi
15
bawaan sianotik†
Paten duktus
arteriosus
Aorta regurgitasi
Aota stenosis
Mitral regurgitasi
Mitral stenosis dan
regurgitasi
Defek septal ventrikel
Koartasi aorta
Operasi perbaikan lesi
intrakardia dengan
residual hemodinamik
abnormal
Operasi shunt
pulmonal†
Tricuspid valve disease
Stenosis pulmonal
Nipertropi septal yang
asimetris
Bicuspid aortic valve
atau calcific aorta
skerosis dengan
minimal hemodinamik
yang abnormal
Penyakit Degenerasi
valvular pada orang tua
Operasi perbaikan lesi
intrakardia dengan
minimal atau tidak ada
abnormalitas
hemodinamik, dalam 6
bulan pertama setelah
operasi
tanpa kelainan
structural
Isolated atrial septal
defek (secundum)
Plak arteriosklerosis
Penyakit jantung
koroner
Pacemarker, implantasi
defibrillator
Operasi perbaikan lesi
intrakardia dengan
minimal atau tidak ada
kelainan hemodinamik
lebih dari 6 bulan
setelah operasi
Bypass koroner
Penyakit Kawasaki atau
demam rematik tanpa
disfungsi valvular
Tidak direkomendasikan profilaksis untuk endokarditis
† Lesi dianggap risiko tinggi untuk terkena endokarditis
Tabel 10: Regimen profilaksis untuk endokarditis pada tindakan gigi, oral
dan saluran pernafasan bagian atas
Regimen
Regimen standart† Amoxicillin 3.0 mg oral 1 jam sebelum
tindakan kmd 1.5 mg , 6 jam setelah dosis
awal
Regimen untuk pasien alergi
penicillin/amoxicillin
Eritromycin ethylsuccinate , 800 mg atau
erythromycin stearate, 1.0 mg oral 2 jam
16
sebelum tindakan kmd setengah dosis 6
jam setelah dosis awal
ATAU
Clindamycin , 300 mg oral 1 jam sebelum
tindakan dan 150 mg 6 jam setelah dosis
awal
Pasien yang tidak mampu konsumsi obat
oral
Ampicillin, 2.0 mg IM/IV 30 meni sebelum
tindakan seterusnya ampicilin, 1.0 mg
IM/IV atau amoxicillin 1.5 mg oral setelah
6 jam dosis awal
Regimen untuk pasien alergi penicillin dan
tidak mampu minum obat oral
Clindamycin, 300mg IV 30 menit sebelum
tindakan diikuti 150 mg setelah 6 jam
setelah dosis awal
Regimen untuk pasien yang berisiko tinggi
dan bukan kandidat untuk regimen standart
Gunakan regimen standart untuk tindakan
genitourinari dan gastrointestinal
Regimen untuk pasien yang alergi penicillin
dan berisiko tinggi
Gunakan regimen untuk pasien yang
alergi pada tindakan genitourinary dan
gastrointestinal
Dosis untuk dewasa
Untuk anak-anak, dosis awal: Ampicillin / Amoxicillin, 50 mg/kg, 10
mg/kg ; eritromycin ethylsuccinate atau erythromycin stearate, 20 mg/kg ;
gentamycin, 20 mg/kg dan vancomycin, 20 mg/kg. untuk dosis yang
seterusnya adalah separuh dari dosis awal.
† rekomendasi pada pasien dengan risiko tinggi termasuk pasien dengan
katup jantung prostetik.
Tabel 11: Profilaksis Endokarditis; Regimen Yang Digunakan Untuk
Tindakan Genitourinari/Gastrointestinal
REGIMEN
Regimen Standart† Ampicilin, 2.0mg IV ditambah 1.5 mg/kg
(max 80mg) IV / IM 3o menit sebelum
tindakan: diikuti amoxicillin 1.5 mg oral 6
17
jam setelah dosis awal
Regimen untuk ampicilin/amoxicillin/ pasien
alergi pencillin†
Vancomycin, parenteral dan bisa diulang
setiap 8 jam setelah dosis awal
Alternative regimen untuk pasien dengan
risiko rendah
Amoxicillin 3.0mg oral 1 jam sebelum
tindakan, kmd 1.5 mg 6 jam setelah dosis
awal
Dosis untuk dewasa. Dosis ulang untuk vamcomycin dan gentamicin
perlu diatur pada pasien dengan disfungsi renal.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
o Demam rematik merupakan proses imun sistemik yang dapat bersifat
akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian
atas.
o Penyakit jantung rematik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat
demam rematik atau kelainan karditis rematik.
o Kriteria diagnosis demam rematik meliputi kelompok kriteria mayor dan
minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik
demam rematik serta dengan tambahan bukti adanya infeksi
Streptococcus sebelumnya
18
o Tatalaksana Penyakit Demam Rematik meliputi istirahat di tempat tidur
(tirah baring), dan terapi suportif lainnya (pemberian antiinflamasi
mengurangi gejala, antibiotik profilaksis, dsb)
3.2 Saran
o Kita sebagai calon tenaga kessehatan seharusnya mengerti dan mampu
untuk melakukan diagnosis, penatalaksanaan dini secara tepat serta
pencegahan yang efisien terhadap penyakit demam rematik sebab
dengan diagnosis yang tepat, membantu mengurangi angka kematian
akibat penyakit demam rematik.
DAFTAR PUSTAKA
Beggs, Sean; Peterson, Gregory; Tompson, Anna. 2008.Antibiotic use for the
Prevention and Treatment of Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease in Children. Second Meeting of the Subcommittee of the Expert
Committee on the Selection and Use of Essential Medicines . Paediatric
Department, Royal Hobart Hospital and University of Tasmania
Braunwald. 2001. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 6th
ed., Copyright W. B. Saunders Company
Leman, Saharman. 2009. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi V. halaman 1662-1668. Jakarta :
Interna Publishing
Olivier, WC. 2004. Rheumatic Fever, Orphanet. http://www.orpha.net/data/patho/
19
GB/uk-RF.pdf
Siregar A A. 2008. Demam rematik dan Penyakit jantung rematik Permasalahan
Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas
Kedokteran diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera
Utara
Tierney, L.M. ; McPhee. S.J.; Papadakis, M.A. 2004. Current Medical Diagnosis
& Treatment 43rd edition (October 21, 2003) McGraw-Hill/Appleton &
LangeBy OkDoKeY
Wilson et al, 2007. Prevention of Infective Endocarditis. A Guideline From the
American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and
Kawasaki Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in
the Young, and the Council on Clinical Cardiology, Council on
Cardiovascular Surgery and Anesthesia, and the Quality of Care and
Outcomes Research Interdisciplinary Working Group. Circulation-
Journal of the American Heart Association. Online.
20