Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia
lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi
seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat
dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang.
Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan
IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental
(mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender
(chronological age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu
hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan
emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang
berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya,
merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan
emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh
siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Pekembangan
berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan
dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan
emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti
kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-
spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan
intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui
pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima
tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi
apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut
sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). Brightman (1956) menjelaskan
bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-
Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur
tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya
untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk
ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam
bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
BAB I
PENDAHULUAN
Penegasan Judul
Dalam penelitian ini penulis memberi judul “KONSEP KECERDASAN EMOSI DANIEL GOLEMAN
DAN RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL ZAKIAH DARADJAT”
Untuk menghindari kesalahan dan demi terarahnya pembahasan, maka penulis merasa perlu untuk
menegaskan istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun judul yang perlu
dijelaskan adalah:
“Konsep”
Diambil dari kata “concept” (Inggris) yang mempunyai arti konsep, bagan dan pengertian.[1] Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat, rancangan, cita-cita yang telah dipikirkan.
[2] Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran ide, pengertian, pendapat, maupun
gagasan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan pendapat Zakiah Daradjat tentang kesehatan
mental.
“Kecerdasan Emosi”
Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995[3] dan untuk pertama kalinya dilontarkan
pada tahun 1990 oleh psikolog Petersolovey dari Horvard University dan Jhon Mayer dari University of
Newhampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan hidup manusia, antara lain empati, mengungkapkan, memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan mengendalikan diri.[4] Jadi, kecerdasan emosi
adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, mengarahkan emosi, sehingga dapat dimenej
secara proposional ketika berhadapan dengan tantangan hidup, musibah, dan perlawanan orang lain.
“Relevansi”
Relevansi berarti hubungan, kaitan.[5] Dan yang dimaksud relevansi dalam studi ini yaitu keterkaitan
konsep kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat.
“Kesehatan Mental”
Yaitu kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit.
[6] Dalam Undang-Undang RI bahwa sehat adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental,
sosial bukan hanya dari penyakit cacat dan kelemahan.[7] Mental (dari kata Latin mens, mentis) artinya
jiwa, roh, nyawa, dan semangat.[8] “Mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang
dinamik dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan kepribadian.[9] Jadi, kesehatan
mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai
kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan merasakan secara positif
kebahagiaan, kemampuan dan fungsi jiwanya yang berupa fikiran, perasaan, sikap, pandangan, dan
keyakinan hidup.[10]
Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dengan pesatnya, bukan hanya di bidang teknologi,
informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi, yaitu tentang konsep kecerdasan
manusia.
Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akibat
adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog untuk menilai manusia ke dalam
berbagai tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual ( Intelligence
Quotient). Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang dapat
menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut teori ini, semakin
tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.[11]
Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke-20 yang dipelopori
oleh Alferd Binet (1980),[12] ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan
itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut.
Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi
(Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.
[13] Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ)
bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling
menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 %
terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.
[14] Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah
masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai
prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah
kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui
bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius.
Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan
‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan
berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses
pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.[15]
Seseorang yang belum memiliki kecerdasan emosi biasanya akan mudah mengalami gangguan
kejiwaan, atau paling tidak kurang dapat mengendalikan emosinya, dan mudah larut dalam kesedihan
apabila mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang disebabkan oleh
kurangnya kecerdasan emosi, maka tidak mengherankan bila merugikan bagi orang lain yang berada di
sekitarnya. Oleh karena itu, kecerdasan emosi sangat diperlukan bagi setiap orang, karena dengan
kecerdasan emosi orang akan memiliki rasa introspeksi yang tinggi, sehingga manusia tidak akan
mudah marah, egois, tidak mudah putus asa, dan selalu memiliki rasa lapang dada dalam menghadapi
berbagai persoalan hidup.[16]
Survey telah membuktikan terhadap orang tua dan guru-guru adanya kecenderungan yang sama
diseluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada
generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih brangasan dan kurang menghargai sopan
santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.[17] Dan dari hasil penelitanya Daniel
Goleman menemukan situasi yang disebut dengan when smart is damb, ketika orang cerdas jadi bodoh
. Daniel Goleman menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ diatas 125
umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. artinya, orang yang cerdas
umumnya bekerja kepada orang yang lebih bodoh darinya. Jarang sekali orang yang cerdas secara
intelektual sukses dalam kehidupan. Melainkan orang-orang yang biasalah yang sukses dalam
kehidupanya karena kecerdasan emosinya.
Lantas apakah yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual akan
tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemamapuan mengendalikan emosi
dan menahan diri. Dalam kesehatan mental kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri
disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan
emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan, ketika belajar tekun dapat
menyesuaikan diri, dapat mengembangkan potensi, dan berhasil dalam mengatasi berbagai gangguan
dan dapat mengendalikan emosinya. Dan faktor-faktor ini pula yang menjadikan manusia sehat
mentalnya.
Daniel Goleman menceritakan dalam kisah nyata betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan
emosional. Pada suatu saat ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap
dirumah kawanya. Sementara anak itu pergi, orangtuanyapun pergi untuk menonton opera. Taklama
dari itu, anak tersebut kembali kerumah karena tidak betah tinggal di rumah temanya. Pada saat itu,
orangtuanya masih menonton opera. Anak nakal itu mempunyai rencana, ia ingin membuat kejutan
untuk orangtuanya ketika pulang kerumah pada waktu malam. Ia akan diam di teile dan jika
orangtuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian,
orangtuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Ketika melihat lampu toilet di rumahnya masih
menyala mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk kerumah perlahan-lahan sambil
membuka pintu untuk segera mengambil pistol lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu
berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang
berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.
Bisa dibayangkan betapa menyesalnya kedua orangtua itu, mereka bertindak terlalu cepat. Mereka
mengikuti emosi takut dan kehawatiranya sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan
informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu, seharusnya mereka
menganalisis dulu mereka lihat siapa orang itu. Kisah diatas menunjukkan akibat kecerdasan emosi
yang tidak terlatih atau kategori kecerdasan emosi rendah mereka memperturutkan emosinya dalam
bertindak.
Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dalam mengambil keputusan, tidak jarang
suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia
murni dari pemikiran rasionalnya. Karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika
seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya
lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat. Emosi yang begitu penting itu sudah lama
ditinggalkan oleh para peneliti padahal tergantung kepada emosilah bergantung suka, duka, sengsara
dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain
memperhatikan kecerdasan otak, manusia juga harus memmperhatikan kecerdasan emosi. [18]
Manusia secara alamiah merindukan kehidupan yang tenang dan sehat baik jasmani maupun rohani.
Kesehatan yang bukan menyangkut badan saja, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan
menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya
gaya hidup manusia. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, manusia menyangka dengan
modernisasi itu serta merta akan membawa kepada kesejahteraan. Banyak orang yang lupa bahwa di
balik modernisasi yang serba gemerlap dan memukau itu ada gejala yang dinamakan ketidaksehatan
mental.[19]
Kebahagian manusia tidak tergantung pada fisik melainkan pada faktor pertumbuhan emosinya. Karena
emosi sebagai tenaga-tenaga penggerak dalam hidup, yang menyebabkan manusia berkembang maju,
dan mundur ke belakang..[20] Tidak seorang pun yang tidak menginginkan ketenangan dan
kebahagiaan dalam hidupnya, setiap orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semua dapat
mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga
banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan dan emosi yang berlebih-
lebihan.
Dapat dikatakan, semakin maju orang atau masyarakat, semakin banyak pula komplikasi hidup yang
dialaminya. Persaingan, perlombaan, dan pertentangan akibat kebutuhan dan keinginan yang harus
tetap dipenuhi menjadikan orang sulit untuk memperoleh mental yang sehat.
Sesungguhnya kesehatan mental, ketentraman jiwa, atau kecerdasan emosi tidak banyak tergantung
oleh faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, akan tetapi lebih tergantung pada cara
dan sikap dalam menghadapi faktor-faktor tersebut. Adapun yang menentukan ketenangan dan
kebahagiaan hidup di antaranya adalah kesehatan mental dan kecerdasan emosi, yaitu cara seseorang
menanggapi suatu persoalan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental dan
kecerdasan emosi pula yang menentukan orang mempunyai kegairahan hidup atau bersikap pasif.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, dan apatis karena dia dapat
menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar, serta menerima
kegagalan itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.[21] Begitu pula yang
diungkapkan Daniel Goleman bahwa kerugian pribadi akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat
berkisar mulai dari kesulitan perkawinan, pendidikan anak, buruknya kesehatan jasmani, hambatan
perkembangan intelektual, hingga ketidaksuksesan karir.[22]
Karena adanya fenomena diatas, dan kehidupan masyarakat di sekitar, bahwa kehidupan manusia
tidak lepas dari konflik-konflik maupun problem-problem yang tidak jarang manusia mengalami
ketegangan-ketegangan, pesimis, frustasi, dan stres.
Dalam keadaan demikian, sebagaian orang lantas menyelesaikannya dengan cara emosional, dan
sering kali sembrono, serampangan, lantah dan menyimpulkan atau melontarkan pernyataan yang
sebenarnya belum final pengkajiannya pada waktu sedang emosi. Ini semua dilakukan karena belum
adanya kecerdasan emosi, dan menjadikan mental tidak sehat. Padahal dari generasi ke generasi
manusia semakin cerdas akan tetapi ketrampilan emosional dan sosialnya merosot tajam. Hal ini pula
yang melemahkan kecerdasan emosi. Akibatnya, muncul patologi sosial yang ada dalam berbagai
bentuk penyakit kejiwaan. Seperti krisis kepercayaan, ketidakjujuran, kebosanan, malasuai, dan
kejenuhan hidup sehingga munculnya penyakit-penyakit kejiwaan yang berdampak negatif pula pada
tata kehidupan pribadi dan sosial yang mengakibatkan ketidaksehatan mental atau tidak adanya
kesehatan mental.
Pada persoalan ini, maka sangat krusial konsep Daniel Goleman diangkat sebagai solusi karena pada
dasarnya konsep-konsep Daniel Goleman mencoba melihat aspek afeksi manusia khususnya pada
perasaan atau emosi manusia. Dan konsep-konsep yang ditawarkan Daniel Goleman akan
mengantarkan manusia untuk memperoleh mental yang sehat (kesehatan mental) karena perasaan
dapat mempengaruhi kesehatan mental, jadi perasaan yang ditempatkan pada tempatnya akan
memperoleh mental yang sehat. konsep Zakiahpun merupakan konsep yang cocok diterapkan pada
zaman sekarangsss ini
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yag telah diungkapkan di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman?
2. Bagaimana konsep kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat?
3. Bagaimana relevansi kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah, maka penulis mengharapkan adanya tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan skripsi ini. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah:
Untuk mendeskripsikan konsep kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman.
Untuk mendeskripsikan konsep kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat.
Untuk mengetahui relevansi kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah
Daradjat.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan, wawasan,
serta kepustakaan, terutama yang berhubungan dengan kesehatan mental dan kecerdasan emosi.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi masyarakat
pada umumnya dalam memahami kecerdasan emosi Daniel Goleman dan kesehatan mental Zakiah
Daradjat.
3. Menawarkan dan memberikan langkah alternatif dalam proses pembentukan pribadi yang cerdas
emosi dan sehat mentalnya.
Telaah Pustaka
Telaah pustaka sangat berguna dan merupakan bagian integral dalam sebuah penelitian ilmiah, dalam
skripsi ini digunakan buku-buku yang membahas persoalan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi.
Paradigma kecerdasan yang berkembang sampai saat ini sungguh sangat kompleks, mulai dari
Intelligence Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EQ), Adversity Quotiens (AQ), Emotional Spiritual
Quotient (ESQ), sampai pada Transendental Intelligence (TQ) yang dikatakan sebagai puncak
kecerdasan manusia. Adapun penulis hanya memusatkan atau terfokus pada temuan baru Daniel
Goleman yaitu kecerdasan emosi. Begitupula dengan kesehatan mental, ternyata banyak sekali buku-
buku Zakiah Daradjat yang membahas tentang persoalan kesehatan mental baik secara langsung
maupun tidak langsung
Pembahasan tentang kecerdasan emosi ini telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain, dalam skripsi
Kurniawati yang berjudul Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Daniel Goleman dalam perspektif Alqur’an.
[23]
Dalam buku “Kecerdasan Emosional” diterangkan bahwa pandangan manusia tentang kecerdasan
manusia itu terlalu sempit, mengabaikan serangkaian penting kemampuan yang sangat besar
pengaruhnya dalam menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupan. Dengan memanfaatkan
penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang
terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan mengapa orang yang ber-IQ sedang saja sukses.
Faktor-faktor ini mengacu pada satu cara lain untuk menjadi cerdas, yaitu suatu cara yang disebutnya
kecerdasan emosional. Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang yang menonjol dalam kehidupan
nyata.[24]
Dalam buku “ Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi” Goleman mendapatkan
gambaran mengenai ketrampilan yang dimiliki oleh para kinerja di segala bidang dari pekerja tingkat
bawah sampai posisi eksekutif. Satu-satunya faktor yang paling penting bukanya IQ, pendidikan tinggi,
atau ketrampilan teknis melainkan kecerdasan emosi. Dan Daniel memberikan petunjuk yang spesifik
dan ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan ini dengan menjelaskan unsur-unsur kecerdasan emosi.
[25]
Steven J. Stein dan Howard dalam buku “Ledakan EQ” menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dapat
meningkatkan kinerja penjualan perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia dan menghadirkan bukti
ekstensif hubungan kecerdasan emosi dengan kesuksesan dan mengungkapkan hasil penelitian
terhadap 42.000 responden di 36 negara. Menurut Howard kecerdasan emosi merupakan serangkaian
kecakapan yang memungkinkan manusia melapangkan jalan di dunia yang rumit, aspek pribadi, sosial,
dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang penting.
[26]
Jeanne Segal dalam buku “Melejitkan Kepekaan Emosional” menjelaskan bahwa emosi dan akal
adalah dua bagian dari satu keseluruhan. EQ mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak dan
wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antar pribadi, bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran
diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial. Bila EQ seseorang tinggi mereka mampu
memahami berbagai perasaan secara mendalam manakala perasaan-perasan muncul dan benar-benar
dapat mengenali diri sendiri.[27]
Zakiah Daradjat dalam buku “Kesehatan Mental” menjelaskan arti kesehatan mental. Menurutnya,
yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental, dan kesehatan mental
pula yang menentukan tanggapan seseorang terhadap persoalan dan kemampuannya dalam
menyesuaikan diri. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, atau
apatis, karena orang tersebut dapat menerima rintangan atau kegagalan dalam hidupnya dengan
tenang dan wajar.[28]
Landasan Teori
Tinjauan Mengenai Kecerdasan Emosi
Inteligensi (kecerdasan) berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain.[29]
Kecerdasan (Intelligence) adalah daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau
mental terhadap pengalaman-pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah
dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.[30] Menurut W. Stern,
kecerdasan adalah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat. Adapun
menurut Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelligence yang hidup antara tahun
1857-1911, mendefinisikan inteligensi sebagai tindakan yang terdiri atas tiga komponen yaitu :
a. Kemampuan untuk mengarahkan fikiran.
b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan.
c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.[31]
Sementara itu, menurut Stern Berg intelligence (kecerdasan) adalah kemampuan yang memiliki lima
karakeristik umum yaitu kemampuan untuk belajar, mengambil manfaat dari pengalaman, berfikir
secara abstrak, beradaptasi, dan memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah secara tepat.
[32]
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa intelligence (kecerdasan) merupakan suatu kemampuan
untuk mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, fikiran, tindakan, serta menyelesaikan
masalah yang dihadapi secara tepat. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, antara lain
pembawaan, kematangan, pembentukan, minat, dan kebebasan.[33]
Secara etimologis, kata emosi berasal dari bahasa latin e (x) yang berarti keluar dan movere yang
berarti bergerak.[34] Menurut Oxford English Dictionary, emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan
fikiran, perasaan, nafsu, atau keadaan mental yang hebat. Sebenarnya dalam bidang psikologi,
masalah emosi merupakan masalah yang belum terpecahkan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya
pernyataan yang jelas tentang definisi emosi itu sendiri. Dan para psikolog telah berusaha memberi
pengertian emosi namun pernyataan mereka masih terbentur dengan tidak adanya pemisahan secara
jelas antara definisi dari perasaan dan emosi sehingga masih ambiguitas. Menurut M. Alisuf Sabri,
batas perbedaan antara emosi dan perasaan terletak pada sifat kontak yang terjadi. Dalam perasaan
ditemukan kesediaan kontak dengan situasi (baik positif maupun negatif). Adapun dalam emosi kontak
itu seolah-olah menjadi retak atau terputus misalnya pada saat kita sangat terkejut, ketakutan,
mengantuk, dan sebagainya.[35]
Untuk lebih memperjelas tujuan pembahasan dalam penulisan ini, penulis ingin mengutip pengertian
emosi menurut beberapa ahli. Menurut Ahmad Fauzi, emosi adalah setiap keadaan pada diri seseorang
yang disertai dengan warna afektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang
kuat (mendalam).[36] Tipe-tipe emosi meliputi kegembiraan, kesedihan, cinta, benci, marah, takut, dan
sebagainya. Dan masing-masing dapat dialami dalam taraf yang berbeda-beda sejak dari yang ringan
hingga yang ekstrim.[37]
Adapun J. Bruno mendefinisikan emosi dari dua sudut pandang. Pertama secara fisiologis, emosi
adalah proses perubahan jasmani karena perasaan yang meluap. Kedua secara psikologis, emosi
merupakan reaksi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.[38]
Sementara Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan fikiran-fikiran yang khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat
dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.[39]
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University
dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi-
kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan
masalah antar pribadi, ketekunan dan kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari
Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence. Karyanya ini
menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan dengan
mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia,
memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang
menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Daniel yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas
yang disebutnya kecerdasan emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki kurang lebih lima ribu
perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Daniel mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki
para bintang kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari
pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual,
pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[40]
Menurut Robert K. Cooper, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami
secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi.[41]
Kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan kemampuan memahami
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik
pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.[42] Kecerdasan emosi dalam perspektif
sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah,
keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[43]
Adapun menurut John Gottman, kecerdasan emosi ini mencakup kemampuan untuk mengendalikan
dengan hati, menunda perasaan, memberi motivasi diri, membaca isyarat sosial orang lain, dan
menangani naik turunnya kehidupan.[44]
Tinjauan Mengenai Kesehatan Mental
Kesehatan mental mempunyai beberapa pengertian menurut sudut pandang masing-masing orang dan
sistem yang digunakan.
Kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit.[45]
Adapun “mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan dinamik dari seseorang yang tercermin
dalam cita-cita, sikap, dan perbuatan.[46] Mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran,
emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhan atau kebulatannya akan menentukan tingkah laku,
cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, atau yang menggembirakan dan
menyenangkan.[47]
Mengenai keanekaragaman konsep kesehatan jiwa (mental), beberapa ahli mengemukakan orientasi
umum dan pola-pola wawasan kesehatan jiwa (mental). Dalam penelitian ini akan diuraikan pandangan
pakar kesehatan jiwa (mental). Menurut Saparinah Sadli, terdapat tiga orientasi dalam kesehatan jiwa
(mental) yang dapat dijadikan ukuran, yaitu:
a. Orientasi klasik, seseorang dikatakan sehat apabila tidak mempunyai keluhan tertentu, seperti
ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri, atau perasaan tak berguna, yang semuanya menimbulkan
perasaan “sakit” atau “rasa tak sehat” serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi klasik
ini banyak dianut di dunia kedokteran.
b. Orientasi penyesuaian diri, seseorang dianggap sehat secara psikologis apabila ia mampu
mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
c. Orientasi pengembangan potensi, seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan mental, bila
seseorang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan
sehingga seseorang dapat dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.[48]
Jadi, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan
merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup, harus dapat
saling membantu dan bekerja sama satu sama lain, sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan,
yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang, serta terhindar dari kegelisahan dan
pertentangan (konflik).
Dengan demikian, perubahan-perubahan tidak akan menyebabkan kegelisahan dan kegoncangan jiwa.
Kesehatan yang penulis maksud di sini adalah terwujudnya keserasian antara fungsi kejiwaan serta
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungan yang didasarkan
pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta diarahkan untuk mencapai kehidupan yang
bermakna, bahagia dunia dan akhirat.
Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan diri merupakan unsur pertama dari kondisi mental yang sehat. Dalam hal ini,
penyesuaian diri diartikan secara luas yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa
kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang
lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan
lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri
atau menjadi mudah terbawa situasi yang melingkupinya.
Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Menurut pandangan ini, kesehatan
mental terjadi bila potensi-potensi kreatifitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, kebebasan
bersikap dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan
lingkungannya.
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa apabila kesehatan mental terganggu dapat menyebabkan orang
tidak mampu menggunakan kecerdasannya. Keabnormalan emosi dan tindakan juga dapat disebabkan
oleh terganggunya kesehatan mental. Pada keadaan tertentu terganggunya kesehatan mental dapat
menyebabkan orang tidak mampu menggunakan kecerdasannya.[49]
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Setiap penulisan karya ilmiah tidak dapat lepas dari metode, karena metode merupakan cara bertindak
dalam upaya, agar kegiatan penelitian dapat terlaksana atau tercapai hasil yang maksimal.[50] Jenis
penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah penelitian pustaka ( library research), yaitu
mengambil bahan-bahan penelitian dari beberapa buku atau majalah yang mendukung penelitian ini.
[51] Maka, berdasarkan konsep ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan literer, yaitu sumber
datanya atau obyek utamanya adalah bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan persoalan
yang diteliti. Tahap operasional penelitian pustaka ini adalah memilih dan mengkaji karya-karya Daniel
Goleman dan Zakiah Daradjat dengan mengfokuskan pada batasan konsep kecerdasan emosi dan
kesehatan mental.
Sumber Data
Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran karya-karya pemikiran Daniel Goleman
yang berkaitan dengan kecerdasan emosi dan Zakiah Daradjat yang berkaitan dengan kesehatan
mental.
a. Sumber Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari pihak subyek penelitian sebagai informasi yang dicari, berupa
karya Daniel Goleman Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence) dan Kecerdasan Emosi untuk
Mencapai Puncak Prestasi (Working With Emotional Intelligence), yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Adapun mengenai kesehatan mental digunakan buku-buku karya Zakiah Daradjat
yang berjudul Kesehatan Mental, Islam dan Kesehatan Mental, serta Peranan Agama dalam Kesehatan
Mental.
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data yang diperoleh dari pihak lain maupun karya-karya lain seperti Steven J. Stein dan
Howard E. Book dalam Ledakan EQ,, Ary Ginanjar Agustian dalam Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), Jeanne Segal dalam Melejitkan Kepekaan Emosional, Usman
Najati dalam Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi, Hasan Langgulung dalam Teori-Teori Kesehatan
Mental, Rudy Hariyono dalam Tehnik Mencapai Ketenangan Jiwa, Latipun dalam Kesehatan Mental
Konsep dan Penerapan. Selain itu sumber diambil dari jurnal, seperti Jurnal Dakwah edisi Januari-Juni
2001, dan majalah Ummi edisi spesial tahun 2002 tentang Anak Cerdas Dunia Akhirat.
Analisis data
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya penulis mengelola dan mengklasifikasikan
sesuai dengan pokok-pokok bahasan dalam skripsi ini. Untuk menganalisis data yang telah
terkumpulkan digunakan metode berfikir induktif yang bersifat deskriptif analisis yaitu memusatkan diri
pada masalah-masalah yang ada, kemudian data yang sudah terkumpul disusun, dijelaskan, dan
dianalisis.[52]
Dalam hal ini penulis akan berusaha mendeskripsiksn terlebih dahulu pemikiran Daniel tentang
kecerdasan emosi dan Zakiah Daradjat mengenai kesehatan mental, kemudian mempelajari berbagai
pemikiran atau pandangan Daniel dan Zakiah, khususnya tentang kecerdasan emosi dan kesehatan
mental. Dari data yang didapat itu diadakan proses analisis secara kritis, dan dibuat suatu kesimpulan
yang bersifat umum yang selaras dengan rumusan masalah.
Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, maka disusunlah sistematika pembahasan
sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan,yang terdiri dari: penegasan judul, latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas biografi Daniel Goleman dan Zakiah Daradjat, yang berisi mengenal Daniel
Goleman: boografinya, latar belakang pendidikannya, hasilkaryanya. Kemudian mengenal Zakiah
daradjat: biografinya, latar belakang pendidikannya, perjalanan kariernya, aktivitas dalam lembaga atau
organisasi, tandapenghargaan atau penghormatan,serta karya-karyanya.
Bab ketiga, membahas konsep kecerdasan emosi dalam pandangan Daniel Goleman, yang berisi:
pengertian kecerdasan emosi, dan unsur-unsur kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman.
Bab keempat, membahas tentang konsepsi kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat,terdiri dari
pengertian kesehatan mental, pengaruh kesehatan mental dalam hidup, ciri-ciri manusia yang sehat
mentalnya, syarat-syarat yang diperlukan dalam pembangunan mental, serta relevansi konsep
kecerdasan emosi daniel Goleman dengan kesehatn mental Zakiah Daradjat.
Bab kelima merupakan bab terakhir yang memuat tentang kesimpulan, saran dan penutup.
[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 313
[2] Pusat Pembinaan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 520
[3] Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 17
[4] Laurence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hlm. 5
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), hlm. 738
[6] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English
Press, 1991), hlm. 1350
[7] A. Syafi’i Mufid, Dzikir sebagai Pembina Kesehatan Jiwa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm. 30
[8] Kartini Kartono, Hygiene Mental, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3
[9] Mushal dkk., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), hlm. 86
[10]Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Surabaya: Putra Al-Ma’arif,
1995), hlm. 98-99
[11] Sukamto, Sejarah Perkembangan Tes Inteligensi Suatu Sarana Pengungkap Psikologis,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Cokroaminoto, 1984), hlm. 15
[12] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966), hlm. 51
[13] Lihat Sukidi, “Kecerdasan Spiritual” Harian Kompas, 15 Desember, 2000
[14] Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm.
11
[15] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, hlm. 19
[16] Casmini, Jurnal Dakwah, “Arti Penting Kecerdasan Emosi dalam Dakwah”, 11 Januari-Juni 2001,
hlm. 99
[17] Mailto: Secapramana @Yahoo.Com
[18] Ferysyifa @Netscape.net
[19] Ahmad Mubarok, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 13-
14
[20] Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm.
234
[21] Zakiah Daradjat, Kesehatan…, hlm. 16
[22] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), sampul depan
[23] Kurniawati, skripsi: “Unsur-unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman dalam Perspektif
Alqur’an”, (Yogyakarta: IAIN Suka, 2000) tidak di terbitkan
[24] Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991)
[25] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terj. Alex Tri Kantjono,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
[26] Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ, (Bandung: Kaifa, 2002)
[27] Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 2001)
[28] Zakiah Daradjat, Kesehatan…, hlm. 90
[29] A. Budiarjo dkk, Kamus Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), hlm. 211
[30] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.78
[31] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 6
[32] Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 129
[33] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 55-56
[34] Al-Atapunang, Manusia dan Emosi (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2000), hlm.
47
[35] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Pengembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), hlm. 74
[36] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 59.
Warna afektif adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan manusia
sehari-hari.
[37] Marcolm Hardy, Steveheyes, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 59
[38] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 55
[39] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, hlm. 21
[40] Daniel Goleman, Emotional…, sampul belakang.
[41] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
(Jakarta: Arga, 2002), hlm. 44
[42] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 512
[43] Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 173
[44] John Gottman, Jon De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 2
[45] Peter Salim, Kamus...,. hlm. 1350
[46] Mursal, Kamus..., hlm. 86
[47] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.
33
[48] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 132
[49] Zakiah Daradjat, Kesehatan...., hlm 14.
[50] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius
1996), hlm. 10
[51] Ibid, hlm. 65
[52] Winarno Surachmand, Dasar dan Tehnik Research, (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 140
Top Related