Daniel Goleman

22
Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan

Transcript of Daniel Goleman

Page 1: Daniel Goleman

Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia

lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi

seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan

Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada

kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain.

Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat

dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang.

Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan

IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental

(mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender

(chronological age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu

hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan

emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang

berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya,

merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.

Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan

emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh

siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Pekembangan

berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan

dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan

emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia

sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti

kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-

spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan

intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui

pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima

tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi

apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut

sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). Brightman (1956) menjelaskan

bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-

Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur

tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya

untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk

Page 2: Daniel Goleman

ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam

bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

BAB I

PENDAHULUAN

Penegasan Judul

Dalam penelitian ini penulis memberi judul “KONSEP KECERDASAN EMOSI DANIEL GOLEMAN

DAN RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL ZAKIAH DARADJAT”

Untuk menghindari kesalahan dan demi terarahnya pembahasan, maka penulis merasa perlu untuk

menegaskan istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun judul yang perlu

dijelaskan adalah:

“Konsep”

Diambil dari kata “concept” (Inggris) yang mempunyai arti konsep, bagan dan pengertian.[1] Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat, rancangan, cita-cita yang telah dipikirkan.

[2] Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran ide, pengertian, pendapat, maupun

gagasan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan pendapat Zakiah Daradjat tentang kesehatan

mental.

“Kecerdasan Emosi”

Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995[3] dan untuk pertama kalinya dilontarkan

pada tahun 1990 oleh psikolog Petersolovey dari Horvard University dan Jhon Mayer dari University of

Newhampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi

keberhasilan hidup manusia, antara lain empati, mengungkapkan, memahami perasaan,

mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan mengendalikan diri.[4] Jadi, kecerdasan emosi

adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, mengarahkan emosi, sehingga dapat dimenej

secara proposional ketika berhadapan dengan tantangan hidup, musibah, dan perlawanan orang lain.

“Relevansi”

Page 3: Daniel Goleman

Relevansi berarti hubungan, kaitan.[5] Dan yang dimaksud relevansi dalam studi ini yaitu keterkaitan

konsep kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat.

“Kesehatan Mental”

Yaitu kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit.

[6] Dalam Undang-Undang RI bahwa sehat adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental,

sosial bukan hanya dari penyakit cacat dan kelemahan.[7] Mental (dari kata Latin mens, mentis) artinya

jiwa, roh, nyawa, dan semangat.[8] “Mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang

dinamik dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan kepribadian.[9] Jadi, kesehatan

mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai

kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan merasakan secara positif

kebahagiaan, kemampuan dan fungsi jiwanya yang berupa fikiran, perasaan, sikap, pandangan, dan

keyakinan hidup.[10]

Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dengan pesatnya, bukan hanya di bidang teknologi,

informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi, yaitu tentang konsep kecerdasan

manusia.

Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akibat

adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog untuk menilai manusia ke dalam

berbagai tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual ( Intelligence

Quotient). Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang dapat

menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut teori ini, semakin

tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.[11]

Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke-20 yang dipelopori

oleh Alferd Binet (1980),[12] ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan

itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut.

Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi

(Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.

[13] Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ)

bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling

menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 %

terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.

Page 4: Daniel Goleman

[14] Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah

masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai

prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.

Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah

kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui

bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius.

Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan

‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan

berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses

pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.[15]

Seseorang yang belum memiliki kecerdasan emosi biasanya akan mudah mengalami gangguan

kejiwaan, atau paling tidak kurang dapat mengendalikan emosinya, dan mudah larut dalam kesedihan

apabila mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang disebabkan oleh

kurangnya kecerdasan emosi, maka tidak mengherankan bila merugikan bagi orang lain yang berada di

sekitarnya. Oleh karena itu, kecerdasan emosi sangat diperlukan bagi setiap orang, karena dengan

kecerdasan emosi orang akan memiliki rasa introspeksi yang tinggi, sehingga manusia tidak akan

mudah marah, egois, tidak mudah putus asa, dan selalu memiliki rasa lapang dada dalam menghadapi

berbagai persoalan hidup.[16]

Survey telah membuktikan terhadap orang tua dan guru-guru adanya kecenderungan yang sama

diseluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada

generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih brangasan dan kurang menghargai sopan

santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.[17] Dan dari hasil penelitanya Daniel

Goleman menemukan situasi yang disebut dengan when smart is damb, ketika orang cerdas jadi bodoh

. Daniel Goleman menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ diatas 125

umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. artinya, orang yang cerdas

umumnya bekerja kepada orang yang lebih bodoh darinya. Jarang sekali orang yang cerdas secara

intelektual sukses dalam kehidupan. Melainkan orang-orang yang biasalah yang sukses dalam

kehidupanya karena kecerdasan emosinya.

Lantas apakah yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual akan

tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemamapuan mengendalikan emosi

dan menahan diri. Dalam kesehatan mental kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri

disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan

emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan, ketika belajar tekun dapat

Page 5: Daniel Goleman

menyesuaikan diri, dapat mengembangkan potensi, dan berhasil dalam mengatasi berbagai gangguan

dan dapat mengendalikan emosinya. Dan faktor-faktor ini pula yang menjadikan manusia sehat

mentalnya.

Daniel Goleman menceritakan dalam kisah nyata betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan

emosional. Pada suatu saat ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap

dirumah kawanya. Sementara anak itu pergi, orangtuanyapun pergi untuk menonton opera. Taklama

dari itu, anak tersebut kembali kerumah karena tidak betah tinggal di rumah temanya. Pada saat itu,

orangtuanya masih menonton opera. Anak nakal itu mempunyai rencana, ia ingin membuat kejutan

untuk orangtuanya ketika pulang kerumah pada waktu malam. Ia akan diam di teile dan jika

orangtuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian,

orangtuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Ketika melihat lampu toilet di rumahnya masih

menyala mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk kerumah perlahan-lahan sambil

membuka pintu untuk segera mengambil pistol lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu

berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang

berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.

Bisa dibayangkan betapa menyesalnya kedua orangtua itu, mereka bertindak terlalu cepat. Mereka

mengikuti emosi takut dan kehawatiranya sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan

informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu, seharusnya mereka

menganalisis dulu mereka lihat siapa orang itu. Kisah diatas menunjukkan akibat kecerdasan emosi

yang tidak terlatih atau kategori kecerdasan emosi rendah mereka memperturutkan emosinya dalam

bertindak.

Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dalam mengambil keputusan, tidak jarang

suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia

murni dari pemikiran rasionalnya. Karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika

seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya

lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat. Emosi yang begitu penting itu sudah lama

ditinggalkan oleh para peneliti padahal tergantung kepada emosilah bergantung suka, duka, sengsara

dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain

memperhatikan kecerdasan otak, manusia juga harus memmperhatikan kecerdasan emosi. [18]

Manusia secara alamiah merindukan kehidupan yang tenang dan sehat baik jasmani maupun rohani.

Kesehatan yang bukan menyangkut badan saja, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan

menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya

gaya hidup manusia. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, manusia menyangka dengan

Page 6: Daniel Goleman

modernisasi itu serta merta akan membawa kepada kesejahteraan. Banyak orang yang lupa bahwa di

balik modernisasi yang serba gemerlap dan memukau itu ada gejala yang dinamakan ketidaksehatan

mental.[19]

Kebahagian manusia tidak tergantung pada fisik melainkan pada faktor pertumbuhan emosinya. Karena

emosi sebagai tenaga-tenaga penggerak dalam hidup, yang menyebabkan manusia berkembang maju,

dan mundur ke belakang..[20] Tidak seorang pun yang tidak menginginkan ketenangan dan

kebahagiaan dalam hidupnya, setiap orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semua dapat

mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga

banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan dan emosi yang berlebih-

lebihan.

Dapat dikatakan, semakin maju orang atau masyarakat, semakin banyak pula komplikasi hidup yang

dialaminya. Persaingan, perlombaan, dan pertentangan akibat kebutuhan dan keinginan yang harus

tetap dipenuhi menjadikan orang sulit untuk memperoleh mental yang sehat.

Sesungguhnya kesehatan mental, ketentraman jiwa, atau kecerdasan emosi tidak banyak tergantung

oleh faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, akan tetapi lebih tergantung pada cara

dan sikap dalam menghadapi faktor-faktor tersebut. Adapun yang menentukan ketenangan dan

kebahagiaan hidup di antaranya adalah kesehatan mental dan kecerdasan emosi, yaitu cara seseorang

menanggapi suatu persoalan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental dan

kecerdasan emosi pula yang menentukan orang mempunyai kegairahan hidup atau bersikap pasif.

Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, dan apatis karena dia dapat

menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar, serta menerima

kegagalan itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.[21] Begitu pula yang

diungkapkan Daniel Goleman bahwa kerugian pribadi akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat

berkisar mulai dari kesulitan perkawinan, pendidikan anak, buruknya kesehatan jasmani, hambatan

perkembangan intelektual, hingga ketidaksuksesan karir.[22]

Karena adanya fenomena diatas, dan kehidupan masyarakat di sekitar, bahwa kehidupan manusia

tidak lepas dari konflik-konflik maupun problem-problem yang tidak jarang manusia mengalami

ketegangan-ketegangan, pesimis, frustasi, dan stres.

Dalam keadaan demikian, sebagaian orang lantas menyelesaikannya dengan cara emosional, dan

sering kali sembrono, serampangan, lantah dan menyimpulkan atau melontarkan pernyataan yang

sebenarnya belum final pengkajiannya pada waktu sedang emosi. Ini semua dilakukan karena belum

Page 7: Daniel Goleman

adanya kecerdasan emosi, dan menjadikan mental tidak sehat. Padahal dari generasi ke generasi

manusia semakin cerdas akan tetapi ketrampilan emosional dan sosialnya merosot tajam. Hal ini pula

yang melemahkan kecerdasan emosi. Akibatnya, muncul patologi sosial yang ada dalam berbagai

bentuk penyakit kejiwaan. Seperti krisis kepercayaan, ketidakjujuran, kebosanan, malasuai, dan

kejenuhan hidup sehingga munculnya penyakit-penyakit kejiwaan yang berdampak negatif pula pada

tata kehidupan pribadi dan sosial yang mengakibatkan ketidaksehatan mental atau tidak adanya

kesehatan mental.

Pada persoalan ini, maka sangat krusial konsep Daniel Goleman diangkat sebagai solusi karena pada

dasarnya konsep-konsep Daniel Goleman mencoba melihat aspek afeksi manusia khususnya pada

perasaan atau emosi manusia. Dan konsep-konsep yang ditawarkan Daniel Goleman akan

mengantarkan manusia untuk memperoleh mental yang sehat (kesehatan mental) karena perasaan

dapat mempengaruhi kesehatan mental, jadi perasaan yang ditempatkan pada tempatnya akan

memperoleh mental yang sehat. konsep Zakiahpun merupakan konsep yang cocok diterapkan pada

zaman sekarangsss ini

Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yag telah diungkapkan di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman?

2. Bagaimana konsep kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat?

3. Bagaimana relevansi kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah, maka penulis mengharapkan adanya tujuan yang hendak dicapai

dalam penulisan skripsi ini. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah:

Untuk mendeskripsikan konsep kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman.

Untuk mendeskripsikan konsep kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat.

Untuk mengetahui relevansi kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah

Daradjat.

Page 8: Daniel Goleman

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan, wawasan,

serta kepustakaan, terutama yang berhubungan dengan kesehatan mental dan kecerdasan emosi.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi masyarakat

pada umumnya dalam memahami kecerdasan emosi Daniel Goleman dan kesehatan mental Zakiah

Daradjat.

3. Menawarkan dan memberikan langkah alternatif dalam proses pembentukan pribadi yang cerdas

emosi dan sehat mentalnya.

Telaah Pustaka

Telaah pustaka sangat berguna dan merupakan bagian integral dalam sebuah penelitian ilmiah, dalam

skripsi ini digunakan buku-buku yang membahas persoalan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi.

Paradigma kecerdasan yang berkembang sampai saat ini sungguh sangat kompleks, mulai dari

Intelligence Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EQ), Adversity Quotiens (AQ), Emotional Spiritual

Quotient (ESQ), sampai pada Transendental Intelligence (TQ) yang dikatakan sebagai puncak

kecerdasan manusia. Adapun penulis hanya memusatkan atau terfokus pada temuan baru Daniel

Goleman yaitu kecerdasan emosi. Begitupula dengan kesehatan mental, ternyata banyak sekali buku-

buku Zakiah Daradjat yang membahas tentang persoalan kesehatan mental baik secara langsung

maupun tidak langsung

Pembahasan tentang kecerdasan emosi ini telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain, dalam skripsi

Kurniawati yang berjudul Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Daniel Goleman dalam perspektif Alqur’an.

[23]

Dalam buku “Kecerdasan Emosional” diterangkan bahwa pandangan manusia tentang kecerdasan

manusia itu terlalu sempit, mengabaikan serangkaian penting kemampuan yang sangat besar

pengaruhnya dalam menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupan. Dengan memanfaatkan

penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang

terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan mengapa orang yang ber-IQ sedang saja sukses.

Faktor-faktor ini mengacu pada satu cara lain untuk menjadi cerdas, yaitu suatu cara yang disebutnya

kecerdasan emosional. Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang yang menonjol dalam kehidupan

nyata.[24]

Page 9: Daniel Goleman

Dalam buku “ Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi” Goleman mendapatkan

gambaran mengenai ketrampilan yang dimiliki oleh para kinerja di segala bidang dari pekerja tingkat

bawah sampai posisi eksekutif. Satu-satunya faktor yang paling penting bukanya IQ, pendidikan tinggi,

atau ketrampilan teknis melainkan kecerdasan emosi. Dan Daniel memberikan petunjuk yang spesifik

dan ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan ini dengan menjelaskan unsur-unsur kecerdasan emosi.

[25]

Steven J. Stein dan Howard dalam buku “Ledakan EQ” menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dapat

meningkatkan kinerja penjualan perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia dan menghadirkan bukti

ekstensif hubungan kecerdasan emosi dengan kesuksesan dan mengungkapkan hasil penelitian

terhadap 42.000 responden di 36 negara. Menurut Howard kecerdasan emosi merupakan serangkaian

kecakapan yang memungkinkan manusia melapangkan jalan di dunia yang rumit, aspek pribadi, sosial,

dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang penting.

[26]

Jeanne Segal dalam buku “Melejitkan Kepekaan Emosional” menjelaskan bahwa emosi dan akal

adalah dua bagian dari satu keseluruhan. EQ mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak dan

wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antar pribadi, bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran

diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial. Bila EQ seseorang tinggi mereka mampu

memahami berbagai perasaan secara mendalam manakala perasaan-perasan muncul dan benar-benar

dapat mengenali diri sendiri.[27]

Zakiah Daradjat dalam buku “Kesehatan Mental” menjelaskan arti kesehatan mental. Menurutnya,

yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental, dan kesehatan mental

pula yang menentukan tanggapan seseorang terhadap persoalan dan kemampuannya dalam

menyesuaikan diri. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, atau

apatis, karena orang tersebut dapat menerima rintangan atau kegagalan dalam hidupnya dengan

tenang dan wajar.[28]

Landasan Teori

Tinjauan Mengenai Kecerdasan Emosi

Inteligensi (kecerdasan) berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau

menyatukan satu sama lain.[29]

Kecerdasan (Intelligence) adalah daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau

mental terhadap pengalaman-pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah

Page 10: Daniel Goleman

dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.[30] Menurut W. Stern,

kecerdasan adalah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat. Adapun

menurut Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelligence yang hidup antara tahun

1857-1911, mendefinisikan inteligensi sebagai tindakan yang terdiri atas tiga komponen yaitu :

a. Kemampuan untuk mengarahkan fikiran.

b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan.

c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.[31]

Sementara itu, menurut Stern Berg intelligence (kecerdasan) adalah kemampuan yang memiliki lima

karakeristik umum yaitu kemampuan untuk belajar, mengambil manfaat dari pengalaman, berfikir

secara abstrak, beradaptasi, dan memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah secara tepat.

[32]

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa intelligence (kecerdasan) merupakan suatu kemampuan

untuk mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, fikiran, tindakan, serta menyelesaikan

masalah yang dihadapi secara tepat. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, antara lain

pembawaan, kematangan, pembentukan, minat, dan kebebasan.[33]

Secara etimologis, kata emosi berasal dari bahasa latin e (x) yang berarti keluar dan movere yang

berarti bergerak.[34] Menurut Oxford English Dictionary, emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan

fikiran, perasaan, nafsu, atau keadaan mental yang hebat. Sebenarnya dalam bidang psikologi,

masalah emosi merupakan masalah yang belum terpecahkan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya

pernyataan yang jelas tentang definisi emosi itu sendiri. Dan para psikolog telah berusaha memberi

pengertian emosi namun pernyataan mereka masih terbentur dengan tidak adanya pemisahan secara

jelas antara definisi dari perasaan dan emosi sehingga masih ambiguitas. Menurut M. Alisuf Sabri,

batas perbedaan antara emosi dan perasaan terletak pada sifat kontak yang terjadi. Dalam perasaan

ditemukan kesediaan kontak dengan situasi (baik positif maupun negatif). Adapun dalam emosi kontak

itu seolah-olah menjadi retak atau terputus misalnya pada saat kita sangat terkejut, ketakutan,

mengantuk, dan sebagainya.[35]

Untuk lebih memperjelas tujuan pembahasan dalam penulisan ini, penulis ingin mengutip pengertian

emosi menurut beberapa ahli. Menurut Ahmad Fauzi, emosi adalah setiap keadaan pada diri seseorang

yang disertai dengan warna afektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang

kuat (mendalam).[36] Tipe-tipe emosi meliputi kegembiraan, kesedihan, cinta, benci, marah, takut, dan

Page 11: Daniel Goleman

sebagainya. Dan masing-masing dapat dialami dalam taraf yang berbeda-beda sejak dari yang ringan

hingga yang ekstrim.[37]

Adapun J. Bruno mendefinisikan emosi dari dua sudut pandang. Pertama secara fisiologis, emosi

adalah proses perubahan jasmani karena perasaan yang meluap. Kedua secara psikologis, emosi

merupakan reaksi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.[38]

Sementara Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan fikiran-fikiran yang khas, suatu

keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat

dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.[39]

Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University

dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi-

kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,

pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan

masalah antar pribadi, ketekunan dan kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.

Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari

Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence. Karyanya ini

menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan dengan

mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia,

memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang

menjadi sukses.

Faktor inilah menurut Daniel yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas

yang disebutnya kecerdasan emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki kurang lebih lima ribu

perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Daniel mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki

para bintang kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari

pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual,

pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[40]

Menurut Robert K. Cooper, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami

secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan

pengaruh yang manusiawi.[41]

Kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan kemampuan memahami

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik

pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.[42] Kecerdasan emosi dalam perspektif

Page 12: Daniel Goleman

sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah,

keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[43]

Adapun menurut John Gottman, kecerdasan emosi ini mencakup kemampuan untuk mengendalikan

dengan hati, menunda perasaan, memberi motivasi diri, membaca isyarat sosial orang lain, dan

menangani naik turunnya kehidupan.[44]

Tinjauan Mengenai Kesehatan Mental

Kesehatan mental mempunyai beberapa pengertian menurut sudut pandang masing-masing orang dan

sistem yang digunakan.

Kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit.[45]

Adapun “mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan dinamik dari seseorang yang tercermin

dalam cita-cita, sikap, dan perbuatan.[46] Mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran,

emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhan atau kebulatannya akan menentukan tingkah laku,

cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, atau yang menggembirakan dan

menyenangkan.[47]

Mengenai keanekaragaman konsep kesehatan jiwa (mental), beberapa ahli mengemukakan orientasi

umum dan pola-pola wawasan kesehatan jiwa (mental). Dalam penelitian ini akan diuraikan pandangan

pakar kesehatan jiwa (mental). Menurut Saparinah Sadli, terdapat tiga orientasi dalam kesehatan jiwa

(mental) yang dapat dijadikan ukuran, yaitu:

a. Orientasi klasik, seseorang dikatakan sehat apabila tidak mempunyai keluhan tertentu, seperti

ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri, atau perasaan tak berguna, yang semuanya menimbulkan

perasaan “sakit” atau “rasa tak sehat” serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi klasik

ini banyak dianut di dunia kedokteran.

b. Orientasi penyesuaian diri, seseorang dianggap sehat secara psikologis apabila ia mampu

mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

c. Orientasi pengembangan potensi, seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan mental, bila

seseorang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan

sehingga seseorang dapat dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.[48]

Page 13: Daniel Goleman

Jadi, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi

jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan

merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup, harus dapat

saling membantu dan bekerja sama satu sama lain, sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan,

yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang, serta terhindar dari kegelisahan dan

pertentangan (konflik).

Dengan demikian, perubahan-perubahan tidak akan menyebabkan kegelisahan dan kegoncangan jiwa.

Kesehatan yang penulis maksud di sini adalah terwujudnya keserasian antara fungsi kejiwaan serta

terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungan yang didasarkan

pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta diarahkan untuk mencapai kehidupan yang

bermakna, bahagia dunia dan akhirat.

Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk

menyesuaikan diri merupakan unsur pertama dari kondisi mental yang sehat. Dalam hal ini,

penyesuaian diri diartikan secara luas yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa

kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang

lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan

lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri

atau menjadi mudah terbawa situasi yang melingkupinya.

Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Menurut pandangan ini, kesehatan

mental terjadi bila potensi-potensi kreatifitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, kebebasan

bersikap dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan

lingkungannya.

Zakiah Daradjat mengatakan bahwa apabila kesehatan mental terganggu dapat menyebabkan orang

tidak mampu menggunakan kecerdasannya. Keabnormalan emosi dan tindakan juga dapat disebabkan

oleh terganggunya kesehatan mental. Pada keadaan tertentu terganggunya kesehatan mental dapat

menyebabkan orang tidak mampu menggunakan kecerdasannya.[49]

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Page 14: Daniel Goleman

Setiap penulisan karya ilmiah tidak dapat lepas dari metode, karena metode merupakan cara bertindak

dalam upaya, agar kegiatan penelitian dapat terlaksana atau tercapai hasil yang maksimal.[50] Jenis

penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah penelitian pustaka ( library research), yaitu

mengambil bahan-bahan penelitian dari beberapa buku atau majalah yang mendukung penelitian ini.

[51] Maka, berdasarkan konsep ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan literer, yaitu sumber

datanya atau obyek utamanya adalah bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan persoalan

yang diteliti. Tahap operasional penelitian pustaka ini adalah memilih dan mengkaji karya-karya Daniel

Goleman dan Zakiah Daradjat dengan mengfokuskan pada batasan konsep kecerdasan emosi dan

kesehatan mental.

Sumber Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran karya-karya pemikiran Daniel Goleman

yang berkaitan dengan kecerdasan emosi dan Zakiah Daradjat yang berkaitan dengan kesehatan

mental.

a. Sumber Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari pihak subyek penelitian sebagai informasi yang dicari, berupa

karya Daniel Goleman Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence) dan Kecerdasan Emosi untuk

Mencapai Puncak Prestasi (Working With Emotional Intelligence), yang telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia. Adapun mengenai kesehatan mental digunakan buku-buku karya Zakiah Daradjat

yang berjudul Kesehatan Mental, Islam dan Kesehatan Mental, serta Peranan Agama dalam Kesehatan

Mental.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu sumber data yang diperoleh dari pihak lain maupun karya-karya lain seperti Steven J. Stein dan

Howard E. Book dalam Ledakan EQ,, Ary Ginanjar Agustian dalam Rahasia Sukses Membangun

Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), Jeanne Segal dalam Melejitkan Kepekaan Emosional, Usman

Najati dalam Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi, Hasan Langgulung dalam Teori-Teori Kesehatan

Mental, Rudy Hariyono dalam Tehnik Mencapai Ketenangan Jiwa, Latipun dalam Kesehatan Mental

Konsep dan Penerapan. Selain itu sumber diambil dari jurnal, seperti Jurnal Dakwah edisi Januari-Juni

2001, dan majalah Ummi edisi spesial tahun 2002 tentang Anak Cerdas Dunia Akhirat.

Analisis data

Page 15: Daniel Goleman

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya penulis mengelola dan mengklasifikasikan

sesuai dengan pokok-pokok bahasan dalam skripsi ini. Untuk menganalisis data yang telah

terkumpulkan digunakan metode berfikir induktif yang bersifat deskriptif analisis yaitu memusatkan diri

pada masalah-masalah yang ada, kemudian data yang sudah terkumpul disusun, dijelaskan, dan

dianalisis.[52]

Dalam hal ini penulis akan berusaha mendeskripsiksn terlebih dahulu pemikiran Daniel tentang

kecerdasan emosi dan Zakiah Daradjat mengenai kesehatan mental, kemudian mempelajari berbagai

pemikiran atau pandangan Daniel dan Zakiah, khususnya tentang kecerdasan emosi dan kesehatan

mental. Dari data yang didapat itu diadakan proses analisis secara kritis, dan dibuat suatu kesimpulan

yang bersifat umum yang selaras dengan rumusan masalah.

Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, maka disusunlah sistematika pembahasan

sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan,yang terdiri dari: penegasan judul, latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas biografi Daniel Goleman dan Zakiah Daradjat, yang berisi mengenal Daniel

Goleman: boografinya, latar belakang pendidikannya, hasilkaryanya. Kemudian mengenal Zakiah

daradjat: biografinya, latar belakang pendidikannya, perjalanan kariernya, aktivitas dalam lembaga atau

organisasi, tandapenghargaan atau penghormatan,serta karya-karyanya.

Bab ketiga, membahas konsep kecerdasan emosi dalam pandangan Daniel Goleman, yang berisi:

pengertian kecerdasan emosi, dan unsur-unsur kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman.

Bab keempat, membahas tentang konsepsi kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat,terdiri dari

pengertian kesehatan mental, pengaruh kesehatan mental dalam hidup, ciri-ciri manusia yang sehat

mentalnya, syarat-syarat yang diperlukan dalam pembangunan mental, serta relevansi konsep

kecerdasan emosi daniel Goleman dengan kesehatn mental Zakiah Daradjat.

Bab kelima merupakan bab terakhir yang memuat tentang kesimpulan, saran dan penutup.

[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 313

Page 16: Daniel Goleman

[2] Pusat Pembinaan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 520

[3] Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 17

[4] Laurence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1997), hlm. 5

[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1988), hlm. 738

[6] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English

Press, 1991), hlm. 1350

[7] A. Syafi’i Mufid, Dzikir sebagai Pembina Kesehatan Jiwa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm. 30

[8] Kartini Kartono, Hygiene Mental, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3

[9] Mushal dkk., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), hlm. 86

[10]Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Surabaya: Putra Al-Ma’arif,

1995), hlm. 98-99

[11] Sukamto, Sejarah Perkembangan Tes Inteligensi Suatu Sarana Pengungkap Psikologis,

(Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Cokroaminoto, 1984), hlm. 15

[12] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966), hlm. 51

[13] Lihat Sukidi, “Kecerdasan Spiritual” Harian Kompas, 15 Desember, 2000

[14] Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm.

11

[15] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, hlm. 19

[16] Casmini, Jurnal Dakwah, “Arti Penting Kecerdasan Emosi dalam Dakwah”, 11 Januari-Juni 2001,

hlm. 99

[17] Mailto: Secapramana @Yahoo.Com

Page 17: Daniel Goleman

[18] Ferysyifa @Netscape.net

[19] Ahmad Mubarok, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 13-

14

[20] Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm.

234

[21] Zakiah Daradjat, Kesehatan…, hlm. 16

[22] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1991), sampul depan

[23] Kurniawati, skripsi: “Unsur-unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman dalam Perspektif

Alqur’an”, (Yogyakarta: IAIN Suka, 2000) tidak di terbitkan

[24] Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1991)

[25] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terj. Alex Tri Kantjono,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)

[26] Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ, (Bandung: Kaifa, 2002)

[27] Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 2001)

[28] Zakiah Daradjat, Kesehatan…, hlm. 90

[29] A. Budiarjo dkk, Kamus Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), hlm. 211

[30] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.78

[31] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 6

[32] Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 129

[33] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 55-56

[34] Al-Atapunang, Manusia dan Emosi (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2000), hlm.

47

Page 18: Daniel Goleman

[35] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Pengembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,

1993), hlm. 74

[36] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 59.

Warna afektif adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan manusia

sehari-hari.

[37] Marcolm Hardy, Steveheyes, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 59

[38] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 55

[39] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, hlm. 21

[40] Daniel Goleman, Emotional…, sampul belakang.

[41] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,

(Jakarta: Arga, 2002), hlm. 44

[42] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 512

[43] Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 173

[44] John Gottman, Jon De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 2

[45] Peter Salim, Kamus...,. hlm. 1350

[46] Mursal, Kamus..., hlm. 86

[47] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.

33

[48] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 132

[49] Zakiah Daradjat, Kesehatan...., hlm 14.

[50] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius

1996), hlm. 10

Page 19: Daniel Goleman

[51] Ibid, hlm. 65

[52] Winarno Surachmand, Dasar dan Tehnik Research, (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 140