BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi habitat dan daerah tumbuh, morfologi
tumbuhan, sistematika tumbuhan, nama asing, kandungan kimia dan kegunaan
tumbuhan.
2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh
Jahe merah merupakan tanaman obat dan rempah berupa tumbuhan
rumpun berbatang semu yang berasal dari India sampai Cina dan tersebar di
daerah tropis seperti benua Asia dan Kepulauan Pasifik (Hasanah, dkk., 2004).
Tanaman ini dapat tumbuh sampai pada ketinggian 900 m dari permukaan
laut, tetapi akan lebih baik tumbuhnya pada ketinggian 200-600 m dari permukaan
laut (Paiman, 1991).
Daerah utama produsen jahe merah di Indonesia adalah Jawa Barat
(Sukabumi, Sumedang, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Subang), Banten
(Lebak dan Pandeglang), Jawa Tengah (Magelang, Boyolali, Salatiga), Jawa
Timur (Malang Probolinggo, Pacitan), Sumatera Utara (Simalungun), Bengkulu,
dan lain-lain (Hasanah, dkk., 2004).
2.1.2 Morfologi tumbuhan
Tanaman jahe merah tergolong terna, berbatang semu, beralur, tinggi
sekitar 30-60 cm. Rimpangnya bercabang-cabang, agak melebar, bagian dalamnya
berwarna kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang jahe berkulit agak
tebal, berwarna coklat, membungkus daging umbi yang berserat, beraroma khas,
dan rasanya pedas menyegarkan (Matondang, 2006).
Bentuk daun bulat panjang dan tidak lebar. Berdaun tunggal, berbentuk
lanset dengan panjang 15-23 mm, lebar 8-15 mm; tangkai daun berbulu, panjang
2-4 mm; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5-10 mm, dan tidak berbulu.
Perbungaan berupa malai tersembul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau
bundar telur yang sempit, 2,75-3 kali lebarnya; panjang malai 3,5-5 cm, lebar 1,5-
1,75 cm; gagang bunga hampir tidak berbulu, panjang 25 cm; sisik pada gagang
terdapat 5-7 buah, berbentuk lanset, letaknya berdekatan atau rapat, panjang sisik
3-5 cm. Bunga memiliki 2 kelamin dengan 1 benang sari dan 3 putik bunga daun
pelindung, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah, panjang
2,5 cm, lebar 1-1,75 cm; mahkota bunga berbentuk tabung 2-2,5 cm, helainya
agak sempit, berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5-2,5 mm,
lebar 3-3,5 mm, bibir berwarna ungu, gelap berbintik-bintik berwarna putih
kekuningan, panjang 12-15 mm; kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm;
tangkai putik ada 2 (Hapsoh, dkk., 2008).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Sistematika tanaman jahe merah menurut Tjitrosupomo (1991) adalah
sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Marga : Zingiberis
Spesies : Zingiber officinale Roscoe
Varietas : Zingiber officinale Roscoe var. amarum
2.1.4 Nama Asing
Nama asing tanaman jahe merah adalah halia, haliya padi, haliya udang
(Malaysia); luya, allam (Filipina); adu, ale, ada (India); sanyabil (Arab); chiang
p’I, khan ciang, kiang, sheng chiang (Cina); gember (Belanda); ginger (Inggris);
gingembre, herbe au giingimbre (Perancis) (Hapsoh, dkk., 2008).
2.1.5 Kandungan kimia
Komposisi kimia jahe merah terdiri dari minyak atsiri 2-4% yang
menyebabkan bau harum, dimana komponen utamanya adalah zingiberen (35%),
kurkumin (18%), farnesene (10%), serta bisabolene dan b-sesquiphellandrene
dalam jumlah kecil, 40 hidrokarbon monoterpenoid yang berbeda seperti 1,8-
cineole, linalool, borneol, neral, dan geraniol. Di samping itu, rimpang jahe merah
juga mengandung lemak, lilin, karbohidrat, vitamin A, B, dan C, mineral
senyawa-senyawa flavonoid, enzim proteolitik yang disebut zingibain, kamfena,
limonene, sineol, zingiberal, gingerin, kavikol, zingiberin, zingiberol, minyak
damar, pati, asam malat, asam oksalat (Govindarajan, 1982).
Rimpang jahe merah juga mengandung minyak tidak menguap yaitu
oleoresin sampai 3%, merupakan senyawa fenol dengan rantai karbon samping
yang terdiri dari tujuh atau lebih atom karbon. Komponen ini merupakan
pembentuk rasa pedas yang tidak menguap pada jahe. Komponen dalam oleoresin
jahe terdiri atas gingerol, gingerdiols, gingerdiones, dihidrogingerdiones, shagaol,
paradols, dan zingerone (Govindarajan, 1982).
2.1.6 Kegunaan
Rimpang jahe merah biasa digunakan sebagai obat masuk angin, obat
gosok pada pengobatan penyakit encok dan sakit kepala, bahan obat, bumbu
masak, penghangat tubuh, menghilangkan flu, mengatasi keracunan, gangguan
pencernaan, sebagai antioksidan, antitusif, analgesik, antipiretik, antiinflamasi,
menurunkan kadar kolesterol, mencegah depresi, impotensi, dan lain-lain
(Hapsoh, dkk., 2010).
2.1.7 Penggolongan tumbuhan
Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya dikenal 3 jenis jahe,
yaitu jahe putih/kuning besar atau sering disebut jahe gajah, jahe putih kecil/jahe
emprit, dan jahe merah. Berikut dijelaskan gambaran umum ketiga jenis jahe
tersebut.
a. Jahe putih/kuning besar/jahe gajah/jahe badak (Zingiber officinale var.
officinale)
Batang berbentuk bulat, hijau muda, diselubungi pelepah daun sehingga
agak keras. Tinggi tanaman 55,88-88,38 cm. Daun tersusun berselang-seling dan
teratur, permukaan daun bagian atas hijau muda jika dibandingkan dengan
bagian bawah. Ukuran daun yaitu panjang 17,42-21,99 cm, lebar 2,00-2,45 cm,
lebar tajuk 41,05-53,81 cm dan jumlahnya dalam satu tanaman mencapai 25-31
lembar.
Ukuran rimpangnya lebih besar dan gemuk, ruas rimpang lebih
menggembung jika dibandingkan jenis jahe lainnya. Jika diiris rimpang
berwarna putih kekuningan. Berat rimpang 0,18-1,04 kg dengan panjang 15,83-
32,75 cm. Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun
berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan.
Rimpang memiliki aroma yang kurang tajam dan rasanya kurang pedas.
Kandungan minyak atsiri 0,82-1,66%, kadar pati 55,10%, dan kadar serat 6,89%.
Jahe gajah diperdagangkan sebagai rimpang segar setelah dipanen pada umur 8-9
bulan. Rimpang tua ini padat berisi. Ukuran rimpangnya 150-200 gram/rumpun.
Ruasnya utuh, daging rimpangnya cerah, bebas luka dan bersih dari batang semu
dan akar.
b. Jahe putih/kuning kecil/jahe sunti/jahe emprit (Zingiber officinale var. rubrum)
Memiliki rimpang dengan bobot 0,5-0,7 kg/rumpun. Struktur rimpang
kecil-kecil dan berlapis, berwarna putih kekuningan, dengan tinggi rimpangnya 11
cm, panjang 6-30 cm, dan diameter 3,27-4,05 cm. Ruasnya kecil, agak rata sampai
agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua.
Tinggi tanaman sekitar 40-60 cm, sedikit lebih pendek dari jahe besar.
Bentuk batang bulat, hijau muda, hampir sama dengan jahe besar, hanya lebih
ramping dan jumlahnya lebih banyak.
Daunnya berselang-seling dengan teratur, hijau muda, dan berbentuk
lancet. Jumlah daun dalam satu batang 20-30 helai, panjang daun 20 cm dengan
lebar daun 25 cm.
Kandungan minyak atsiri 1,5-3,5%, kadar pati 54,70%, dan kadar serat
6,59%. Kandungan minyak atsirinya lebih besar daripada jahe gajah, sehingga
rasanya lebih pedas, di samping seratnya tinggi.
c. Jahe merah atau jahe sunti (Zingiber officinale var. amarum)
Memiliki rimpang dengan bobot 0,5-0,7 kg/rumpun. Struktur rimpang
kecil berlapis-lapis, daging rimpang merah jingga sampai merah, ukuran lebih
kecil dari jahe kecil. Diameter rimpang 4 cm, tinggi 5,26-10,40 cm, dan panjang
12,50 cm. Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan
minyak atsiri yang paling tinggi dibandingkan dengan jahe jenis lain sehingga
cocok untuk ramuan obat-obatan.
Daun terletak berselang-seling teratur, lancet, dan berwarna hijau muda
hingga hijau tua. Panjang daun 25 cm dan lebar 27-31 cm. Kandungan minyak
atsiri 2,58-3,90%, dan kadar pati 44,99%. Jahe merah memiliki kegunaan yang
paling banyak jika dibandingkan jenis jahe yang lain. Jahe ini merupakan bahan
penting dalam industri jamu tradisional (Hapsoh, dkk., 2008).
2.2 Simplisia dan Ekstrak
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Depkes, 2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Depkes, 2000).
Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat
di simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini
memudahkan zat berkhasiat dapat diatur dosisnya (Anief, 2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair yang sesuai. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain.
Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi
yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi, adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umunya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali.
b. Cara Panas
1. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
2. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30oC) dan temperatur
sampai titik didih air.
2.3 Kulit
Kulit merupakan suatu organ besar yang berlapis-lapis, menutupi
permukaan lebih dari 20.000 cm2 yang mempunyai bermacam-macam fungsi dan
kegunaan. Merupakan jaringan pelindung yang lentur dan elastis, melindungi
seluruh permukaan tubuh dan mempunyai berat 5% dari total berat badan
(Lachman, dkk., 1994).
2.3.1 Struktur kulit
Secara anatomi, kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada
umumnya kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan yaitu: epidermis, dermis dan
hipodermis (Lachman, dkk., 1994).
Lapisan Eidermis
Epidermis merupakan bagian terluar yang dibentuk oleh epitelium dan
terdiri dari sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua lapisan yang jelas tampak,
yaitu selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis. Pada epidermis tidak
ditemukan pembuluh darah, sehingga nutrisi diperoleh dari transudasi cairan pada
dermis karena banyaknya jaringan kapiler pada papila (Lachman, dkk., 1994;
Junqueira dan Kelley, 1997).
Lapisan Dermis
Dermis atau korium tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang
elastik. Pada permukaan dermis tersusun papila-papila kecil yang berisi pembuluh
darah kapiler. Tebal lapisan dermis kira-kira 0,3-1,0 mm. Dermis merupakan
jaringan penyangga berserat yang berperan sebagai pemberi nutrisi pada
epidermis (Lachman, dkk., 1994; Junqueira dan Kelley, 1997).
Hipodermis
Hipodermis yaitu bukan merupakan bagian dari kulit, tetapi batasnya tidak
jelas. Kedalaman dari hipodermis akan mengatur kerutan-kerutan dari kulit
(Lachman, dkk., 1994; Junqueira dan Kelley, 1997).
2.3.2 Fungsi kulit
Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh dan bersambung dengan
selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit
mempunyai banyak fungsi yaitu di dalamnya terdapat ujung saraf peraba,
membantu mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh, juga
mempunyai sedikit kemampuan ekstori, sekretori dan absorbsi (Pearce, 2004).
2.4 Gel
Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus
cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
terdispersi (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat
dalam granulasi, koloid pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral
dan sebagai basis supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada
produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri
(Herdiana, 2007).
Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak
terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. Jika masa gel terdiri
dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini
dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa
digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin,
karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti
metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol yang
merupakan polimer vinil sintetis dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel
dibuat dengan proses peleburan, atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan
dengan sifat mengembang dari gel (Lachman, dkk., 1994).
Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik.
1. Dasar gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel,
1989).
2. Dasar gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi.
Istilah hidrofilik berarti suka pada air. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut
dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari
bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan
memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umumnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet
(Voigt, 1994).
Keuntungan sediaan gel :
Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut:
- kemampuan penyebarannya baik pada kulit
- efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit
- tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
- kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
- pelepasan obatnya baik
Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan
bahan pengawet. Untuk upaya stabilisasi dari segi mikrobial di samping
penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis
ini sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan
dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan
terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan. Oleh karena
itu untuk menyimpannya lebih baik menggunakan tube. Pengisian ke dalam botol,
meskipun telah tertutup baik tetap tidak menjamin perlindungan yang memuaskan
(Voigt, 1994).
2.5 Hidroksi propil metil selulosa (HPMC)
HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri
serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam
eter, etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera
menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air sehingga
secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi
lainnya (Rowe, dkk., 2005; Anonim a., 2006).
HPMC digunakan sebagai agen pengemulsi, agen pengsuspensi, dan
sebagai agen penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep. Sebagai koloid
pelindung yaitu dapat mencegah tetesan air dan partikel dari penggabungan atau
aglomerasi, sehingga menghambat pembentukan sedimen (Rowe, et al., 2005).
Metode melarutkan HPMC sebagai berikut (Anonim, 2006):
1) Sediakan air panas
2) Tambahkan air panas lebih dari 80oC sebanyak 1/3 atau 2/3 kali dari jumlah
HPMC, sebab HPMC mudah larut dalam air panas dan HPMC di sebar merata
pada permukaan air panas. Tambahkan sisa air dingin, aduk dan dinginkan
campuran.
3) Tambahkan pelarut organik seperti etanol, propilen glikol atau minyak sebagai
peningkat kelarutan, lalu tambahkan air dapat menyebabkan HPMC benar-benar
larut.
2.6 Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang
mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam dasar krim
yang dimaksudkan untuk obat luar. Sediaan ini memiliki konsistensi relatif cair
yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air
(M/A). Tipe A/M mudah kering dan rusak. Kandungan air dalam krim tidak
kurang dari 60%. Zat pengemulsi hampir sama dengan emulgator. Pemilihan
surfaktan berdasarkan jenis dan sifat krim yang dikehendaki.
Contoh zat pengemulsi adalah:
- Surfaktan anion, kation, dan non anion
- TEA dan asam stearat (tipe M/A)
- Gol. Sorbitan
- Poliglikol
- Sabun
- Adeps lanae untuk krim tipe A/M
- Setil alkohol
- Cetaceum dan emulgid
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting
agar emulsi stabil. Emulgator dapat bekerja dengan membentuk film (lapisan) di
sekeliling tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar mencegah terjadinya
koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah (Anief, 2000).
Vanishing cream adalah dasar krim dengan tujuan pengobatan kulit,
maupun kosmetika. Kandungan asam stearat yang berlebihan dan merupakan
lapisan film asam stearat yang tinggal pada kulit bila krim digunakan dan airnya
akan menguap (Anief, 1994).