Laporan Kasus
ENCEPHALITIS HERPES
Oleh :Nori Purnama
NIM. 0908151677
Pembimbing : dr. Ismet, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD ARIFIN ACHMAD FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU2015
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS
1
Definisi dan Etiologi
Ensefalitis adalah infeksi otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme, yaitu virus, bakteri, jamur dan protozoa. Sebagian besar
kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35-
50% dengan gejala sisa pada pasien hidup 20-40%.1
Beberapa mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ensefalitis
adalah herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan Western Equine St Louis encephalitis.2
Penyebab tersering dan terpenting ensefalitis adalah virus. Berbagai macam virus
dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala kurang lebih sama dan khas, akan tetapi
hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.1, 2
Infeksi Herpes simpleks pada susunan syaraf pusat (SSP) merupakan
infeksi SSP yang paling berat dan sering menyebabkan kematian. Angka kematian
70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati. Ensefalitis herpes
simpleks (EHS) mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, dengan keberhasilan
pengobatan tergantung pada diagnosis dan waktu memulai pengobatan. EHS biasanya
merupakan penyebab non epidemik, sporadik ensefalitis fokal akut. 1, 2
Virus herpes simpleks (VHS) terdiri dari 2 tipe, yaitu VHS tipe-1 dan
VHS tipe-2. VHS tipe-1 biasanya berhubungan dengan infeksi herpes daerah orofasial
sedangkan VHS tipe-2 berhubungan dengan infeksi herpes daerah genital. VHS tipe-1
menyebabkan ensefalitis terutama pada anak dan orang dewasa, sedangkan VHS tipe-
2 menyebabkan infeksi terutama pada neonatus. EHS dapat terjadi pada semua umur,
tetapi kira-kira 20% terjadi pada usia di bawah 20 tahun dan setengahnya terjadi pada
usia lebih dari 50 tahun.2, 3
Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada
diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Pasien yang tidak diberikan antivirus
atau pengobatannya terlambat angka kematiannya cukup tinggi. Untuk memperoleh
hasil yang memuaskan pengobatan harus dini, dan inilah yang merupakan masalah,
karena untuk membuat diagnosis pasti perlu waktu dan fasilitas yang cukup.
Diagnosis dini adalah saat yang menentukan, karena penyakit ini dapat diobati dengan
antivirus.1
2
Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi virus pada susunan saraf pusat, dengan sedikit pengecualian, sulit
didiagnosis. Walaupun demikian, munculnya pengobatan antiviral telah menghasilkan
banyak perhatian terhadap diagnosis dan terapi infeksi susunan saraf pusat, terutama
ensefalitis herpes simpleks (EHS).4
Ada 2 bentuk ensefalitis, yaitu infeksi primer dan infeksi post/para infeksi.
Ensefalitis primer merupakan hasil dari invasi langsung agent pada susunan syaraf
pusat, dan bagian otak yang sering diserang adalah substantia grisea. Ensefalitis
post/parainfeksi mempunyai manifestasi klinik seperti ensefalitis primer, tetapi tidak
disebabkan infeksi SSP secara langsung, sebagai akibat dari infeksi di tempat lain.
Pada post/para ensefalitis efek kelainan neurologis terjadi sebagai akibat respon imun,
dan sering menyerang substantia albae.5
Ensefalitis sering merupakan komplikasi yang tidak umum dari suatu
infeksi virus. Secara umum virus masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui 2 route,
yaitu hematogen dan neuronal. Penyebaran secara hematogen merupakan penyebaran
yang paling umum. Sedangkan penyebaran secara neuronal, terutama terjadi pada
ensefalitis karena herpes simpleks. Pada ensefalitis virus akut, inflamasi kapiler dan
endotel pada pembuluh darah korteks merupakan temuan patologi yang mencolok
yang ditemukan secara primer pada substansia grisea atau perbatasan antara substantia
grisea-alba (gray-white junction). Infiltrasi limphosit pada perivaskuler
menghasilkan :4
1. Perpindahan virus secara pasif, melewati endotel pada pinocytotic junctions
plexus choroid.
2. Replikasi aktif virus pada sel endotel.
Dapat dijumpai pula adanya infiltrasi limfosit dan neuronofagia pada
substantia grisea. Secara histopatologi, secara mencolok ditemukan adanya
astrocytosis dan gliosis. Selain itu, pada infeksi herpes ditemukan adanya gambaran
histopatologi yang unik, yaitu adanya inklusi intranuklear Cowdry tipe A.4
Infeksi susunan syaraf pusat yang menyebar secara neuronal, terutama
terjadi pada ensefalitis herpes simpleks, yang berasal dari infeksi di perifer. Infeksi
3
herpes simpleks pada SSP akan menyebabkan terjadinya infeksi litik sel neuron dan
menyebabkan nekrosis perdarahan dalam otak.6
Infeksi VHS tipe-1 ditularkan melalui jalan nafas dan ludah (droplet).
Infeksi primer biasanya terjadi pada anak dan remaja. Biasanya berupa subklinis atau
berupa stomatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. VHS tipe-1 dapat
menyebabkan ensefalitis pada semua umur, tetapi terbanyak pada umur lebih dari 20
tahun, sehingga muncul dugaan ensefalitis terjadi akibat reaktivasi endogen infeksi
virus daripada infeksi primer. Kelainan neurologis yang muncul merupakan
komplikasi dari reaktivasi.2
Patogenesis terjadinya infeksi herpes simplek pada manusia masih belum
banyak diketahui. Virus dapat mencapai jaringan otak dengan cara retrograde
transport melalui syaraf trigeminus dan olfactorius, karena reaktivasi infeksi herpes di
tempat lain. Cara ini memungkinkan virus terhindar dari sistem imun tubuh karena
‘berjalan’ di dalam neuron. Dan hal ini diduga sebagai alasan, mengapa lobus yang
terkena kebanyakan adalah lobus temporalis, bagian otak yang mendapat percabangan
dari syaraf Olfactorius.2, 5
Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal.
Beberapa tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi, yang
biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis, dan virus dapat mencapai otak
melalui cabang syaraf trigeminal ke basal meningen, menyebabkan lokalisasi dari
ensefalitis di daerah temporal dan lobus frontalis orbital. Penelitian serologis
mendapatkan bahwa kira-kira 25% dari kasus dengan ensefalitis herpes simpleks,
ensefalitis terjadi sebagai akibat primer. Pada percobaan menunjukkan bahwa
ensefalitis dapat terjadi karena penyebaran virus melewati bulbus olfaktori ke lobus
frontal orbital dan akhirnya ke lobus temporal.2
Setelah virus mencapai otak, bisa terjadi 2 proses, yaitu replikasi virus
intraneuron dan transmisi virus intraseluler maupun interseluler.4, 7 Secara cepat
neuron mengalami proses lisis dan hemoragik. Bagian otak yang terkena sangat difus
dengan petekie dan nekrosis, yang terjadi secara asimetri yaitu pada medial lobus
temporal dan frontal inferior. Menurut Wasay, dkk. kelainan pada lobus temporal
terjadi pada 60% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks. Lima puluh lima persen
pasien memperlihatkan kelainan temporal dan ekstratemporal, dan 15% pasien
4
menunjukkan kelainan ekstratemporal. Keterlibatan ganglia basalis, cerebellum dan
batang otak tidak umum terjadi.5, 7
Mekanisme terjadinya kerusakan sel belum jelas diketahui, tetapi
kemungkinan terjadi keterlibatan imune mediated process, baik langsung maupun
tidak langsung. Kemampuan HSV tipe-1 untuk menginduksi apoptosis (kemampuan
‘bunuh diri’) sel neuron, yang tidak dimiliki oleh HSV tipe 2, mungkin dapat
menjelaskan mengapa HSV tipe 1 menyebabkan ensefalitis herpes simpleks pada
pasien immunokompetent anak dan dewasa.7
Gambaran nyata kerusakan jaringan otak daerah temporal diperoleh dari
hasil penelitian autopsi imunohistologi pasien dengan ensefalitis herpes simpleks
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah mendapatkan asiklovir. Hal yang
penting adalah bahwa penyebaran cepat infeksi virus pada struktur limbik, mungkin
dimulai dari satu sisi otak kemudian menyebar ke sisi tersebut dan sisi lain,
berlangsung sampai 3 minggu dan menghasilkan nekrosis dan inflamasi pada sel otak
yang terkena.7
Faktor yang menjadi pencetus terjadinya ensefalitis herpes simpleks tidak
diketahui dengan jelas. Walaupun kejadian ensefalitis herpes simpleks sering terjadi
pada penderita dengan immunocompromised, tetapi infeksi ini tidak menyebabkan
penurunan sistem imun. HSV tipe 2 mungkin bisa menyebabkan ensefalitis herpes
simpleks pada pasien HIV-AIDS.7
Ensefalitis herpes simpleks merupakan infeksi herpes simpleks primer
pada 1/3 kasus, sisanya terjadi pada pasien yang sudah mengalami infeksi herpes
simpleks sebelumnya yang mengalami reaktivasi, baik itu infeksi herpes simplek
perifer di bulbus olfactorius atau ganglion trigeminal maupun di sel otak. Beberapa
pasien dengan infeksi herpes simpleks tanpa gejala neurologis mungkin mengalami
ensefalitis herpes simpleks laten di otak. Pada studi postmortem, ensefalitis herpes
simpleks terjadi di otak pada 35% pasien tanpa gejala/penyakit neurologis hingga
penderita meninggal.7
Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi sebagai infeksi
susunan syaraf pusat yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari penyakit multiorgan
yang menyebar. Selain itu, Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi
5
secara primer maupun rekuren dari infeksi sebelumnya, dan biasanya merupakan
infeksi HSV-1. EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe-2 yang
diperoleh bayi saat melalui jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif.
Pernah juga dilaporkan terjadinya infeksi intrauterin. Ensefalitis herpes simpleks
intrauterin mempunyai prognosis lebih buruk.7, 8
Diagnosis
Diagnosis ensefalitis herpes simpleks ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut.1 Dari
anamnesis, didapatkan adanya gejala fase prodromal yang tidak khas menyerupai
influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis yaitu demam tinggi,
kejang dan penurunan kesadaran. Selain itu didapatkan adanya sakit kepala, mual,
muntah atau perubahan perilaku.1, 6
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya penurunan kesadaran berupa
sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Koma adalah faktor prognostik yang sangat buruk. Pasien yang mengalami koma
seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Kematian biasanya
terjadi dalam 2 minggu pertama. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologis fokal
berupa hemiparesis, yang merupakan manifestasi fokal yang penting, paresis nervus
kranialis, kehilangan lapangan penglihatan, afasia dan kejang. Kejang bisa terjadi
secara umum maupun fokal. Harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali kejang
fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal terjadi sangat
singkat, orang tua sering tidak mengetahui. Pada beberapa kasus dapat dijumpai
adanya ataksia, gangguan fungsi otonom, kaku kuduk dan papil edema. 1, 2, 7
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor
neuron (spastik, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus).2, 6
Kelainan fokal menunjukkan predileksi virus herpes simpleks menyerang
otak regio frontotemporal. Gejala klinik ensefalitis herpes simpleks dapat terjadi
progresif, ditandai dengan kejang yang refrakter, koma, peningkatan tekanan
6
intrakranial dan kematian yang terjadi dalam 2 minggu. Atau pada beberapa kasus
bisa terjadi kronisitas, dengan adanya kejang, loss of memory dan perubahan perilaku.6
Ensefalits herpes simpleks pada neonatus terjadi 34% pada bayi dangan
infeksi herpes simpleks. EHS pada neonatus dapat disertai dengan tanda invasi VHS,
seperti pneumonitis, hepatitis atau disseminated intravascular coagulopathy (DIC).
Tetapi 1/3 bayi dengan infeksi herpes simplek mempunyai gangguan pada susunan
syaraf pusat. Infeksi VHS dimulai dengan munculnya manifestasi klinik pada minggu
kedua sampai ketiga kehidupan, berupa malas minum, perubahan perilaku, demam,
letargi. Walaupun demikian, infeksi VHS dapat dimulai pada minggu pertama
kehidupan.6
Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus yang progresif menghasilkan
kejang, baik fokal maupun umum, paralisis, apneu dan letargi atau koma. Rash
vesikuler bisa terjadi pada 1/3 kasus. Infeksi dapat dengan segera menjadi fatal, terjadi
kegagalan multiorgan atau berhubungan dengan apneu rekuren, penurunan fungsi
bulber dan kejang yang refrakter. Kurang lebih 5% kasus infeksi herpes simpleks pada
neonatus merupakan infeksi in-utero dan berhubungan dengan kelainan mikrosefal,
katarak, kalsifikasi intrakranial, gangguan pertumbuhn intrauterin dan rash vesikuler.6
Jelaslah bahwa manifestasi klinis EHS sangat tidak spesifik, terutama pada
anak, dan diagnosis EHS sangat memerlukan kecurigaan klinis yang kuat. Secara
praktis, kita harus memikirkan kemungkinan ensefalitis EHS bila menjumpai anak
dengan demam, kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti
hemiparesis atau afasia denga penurunan kesadaran yang progresif.2
Hasil pemeriksaan penunjang pada ensefalitis herpes simpleks adalah sebagai
berikut:1, 6
- Gambaran darah tepi tidak spesifik. Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit
meningkat, kadang-kadang terdapat pergeseran ke kiri.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat
(90%) yang berkisar antara 10-1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit.
Pada 50% kasus dapat ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit
sampai 100 mg/dl sedangkan glukosa normal.
7
- Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu
ditemukan adanya gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge atau
perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal. Sering juga EEG
hanya memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik, yang
menunjukkan adanya disfungsi otak menyeluruh.
Sensitivitas EEG kira-kira 84% tetapi spesifisitasnya hanya 32,5%.
- Computed tomography (CT scan) kepala tetap normal dalam 3 hari pertama
setelah timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio
frontotemporal. Gambaran agak khas ini terlihat pada 50-75% kasus dan
terlihat setelah minggu pertama. Kadang-kadang gambaran hipodens ini
meluas sampai lobus occipital. Setelah pemberian kontras, dapat dilihat daerah
yang lebih menyangat mengikuti kontur sulkus dan girus, atau membatasi
daerah hipodens, atau membentuk suatu cincin.
- T2-weight magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi
hiperdens di regio temporal paling cepat 2 hari setelah munculnya gejala.
Dapat pula memperlihatkan peningkatan intensitas signal pada daerah korteks
dan substansia alba pada daerah temporal dan lobus frontalis inferior. MRI
lebih sensitif dan memperlihatkan hasil lebih awal dibandingkan CT-Scan.
- Polimerase chain reaction (PCR) cairan cerebrospinal dapat mendeteksi titer
antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif
segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap positif
selama 2 minggu atau lebih. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75%
dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan ini lebih cepat dapat dilakukan dan
risikonya lebih kecil.
- Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgG-IgM HSV-1 dan HSV-2 dapat
menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti.
Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum dan cairan
serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi primer
atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif
setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat
menemukan peningkatan antibodi dalam 2 kali pemeriksaan, fase akut dan fase
rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan
tanda bahwa infeksi VHS sedang aktif. Harus diingat bahwa peningkatan
8
kadar antibodi serum belum membuktikan bahwa ensefalitis disebabkan oleh
VHS.
Titer antibodi pada cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,
karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Sayang
sekali bahwa kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering
terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari 10-12 stetelah permulaan sakit.
Pada neonatus dengan EHS bisa terjadi peningkatan serum transaminase,
hiperbilirubinemia dan tanda DIC. Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya
pleiositosis lymphositic dan peningkatan protein. Pada pemeriksaan CT dan MRI
ditemukan edema diffus selama fase akut dan diikuti dengan adanya atrofi, kalsifikasi
parenkim atau cystic encephalomalacia. Pada EEG didapatkan perlambatan aktivitas.6
Selain pemeriksaan diatas, diagnosis EHS dapat ditegakkan dengan biopsi
otak dan isolasi virus dari jaringan otak. Tetapi prosedur ini belum banyak dilakukan,
karena risiko bahayanya besar dan masih sedikitnya fasilitas untuk isolasi virus.
Kelemahan lain pemeriksaan ini adalah kemungkinan hasil negatif palsu karena biopsi
dilakukan bukan pada tempat yang tepat.2
Karena pada bayi, anak dan remaja dengan infeksi herpes simpleks jarang
menunjukkan tanda sistemik infeksi, pemeriksaan neurodiagnostik dan PCR cairan
cerebrospinal mempunyai peran penting dalam menentukan diagnosis.6, 8
Penatalaksanaan
1. Simptomatik dan suportif
Pengobatan simptomatik dan suportif pada EHS sama dengan
pengobatan ensefalitis yang lain. Terapi suportif berupa tata laksana
hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan
intrakranial serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat
intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, kadang
diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan
fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan tekanan intrakranial
9
dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau
furosemid 1 mg/kgbb/kali.1
2. Terapi medikamentosa antivirus
Perbedaan utama EHS dengan ensefalitis karena infeksi yang lain
adalah, pada EHS kita bisa memberikan antivirus yang spesifik. Pemberian
antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis
hemoragik yang irreversibel yang biasanya terjadi 4 hari setelah awitan
ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan besar karena pada fase awal sulit untuk
membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut sekarang adalah pengobatan segera
diberikan kepada pasien yang dicurigai menderita EHS, kemudian pengobatan
dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi hasil laboratorium atau
pemeriksaan penunjang lain.2
Saat ini asiklovir menjadi pilihan pertama pada terapi antivirus EHS.
Asiklovir terbukti lebih baik dibanding vidarabin. Preparat asiklovir tersedia
dalam 250 mg dan 500 mg. Dosisnya adalah 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 10-
14 hari, diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimal dalam 1 jam. Dosis
untuk neonatus 20 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. 1, 6Efek samping
asiklovir adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat
dalam plasma. Selain itu bisa terjadi hematuria. Pemberian secara perlahan-lahan
akan mengurangi efek samping. Kalau terbukti bukan EHS pengobatan dihentikan
walaupun belum 10 hari.2, 6
Pada kasus alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan
vidarabin 15 mg/kgbb/hari selama 14 hari.vidarabin telah diteliti dan terbukti
menurunkan mortalitas dari 70% menjadi 40%.1Jika keadaan umum pasien sudah
stabil, dapat dilakukan konsultasi ke departemen rehabilitasi medik untuk
mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas serta mencegah kontraktur.1
10
3. Pemantauan pasca rawat
Berdasarkan gejala sisa yang sering ditemukan, pasca rawat pasien memerlukan
pemantauan tumbuh kembang. Gejala sisa yang sering ditemui adalah epilepsi,
retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pemantauan pasca rawat dilakukan
dengan melakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi.
Pencegahan
Tidak ada pencegahan yang cukup efektif untuk EHS. Penularan antar
populasi jarang terjadi dan terapi profilaksis pada populasi yang kontak dengan
penderita dan isolasi penderita secara khusus tidak diperlukan.
Prognosis
Prognosis EHS yang tidak diobati sangat buruk dengan kematian 70-80%
setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan. Angka kematian EHV
dengan terapi acyclovir berkisar 19-28%. Sequelae yang ditimbulkan tergantung pada
usia dan status neurologis penderita saat diagnosis ditegakkan. Gejala sisa lebih sering
ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan
yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk. Pasien dengan koma pada saat
diagnosis ditegakkan mempunyai prognosis lebih buruk, seringkali meninggal atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat, tanpa memperhitungkan usia. Pasien dengan
kesadaran lebih baik dari koma (nonkomatous), prognosis tergantung usia dengan
prognosis yang lebih baik jika usia <30 tahun.2, 6, 7
Status neurologi penderita tanpa defisit atau defisit sangat ringan, 12%
defisit sedang dan 42% mengalami defisit berat. Diperkirakan 5-10% penderita yang
berhasil hidup akan mengalami kekambuhan dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu setelah terapi selesai. Pada beberapa penderita, kekambuhan disebabkan
karena reaktivasi virus, sedangkan yang lain disebabkan oleh immune mediated
setelah infeksi ensefalitis.7Neonatus dengan infeksi herpes simpleks kongenital
mempunyai prognosis yang buruk.6
11
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama/ No. RM : An. Hafzah Naziah/ 882760
Umur : 3 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Ayah/ Ibu : Ali Akbar
Suku : Melayu
Alamat : Pangkalan sena no 68 Dumai
Tanggal masuk : 24 februari 2015
ANAMNESIS
Diberikan Oleh : Ayah kandung pasien
Keluhan Utama : Demam sejak 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
- 1 tahun SMRS pasien mengalami demam tinggi, demam terus menerus.
Demam tidak disertai kejang, muntah tidak ada. Pasien dibawa berobat ke
RSUD Dumai dan dirawat disana. Selama 3 hari perawatan pasien mengalami
perbaikan, demam berkurang, muntah (-) makan, minum, BAK dan BAB
normal, kejang (-). Hari perawatan ke 4 pasien mengalami penurunan
kesadaran hingga mengalami koma. Selama koma pasien di rawat di ICU
RSUD dumai tersebut selama 3 hari. Karena peralatan di sana kurang memadai
pasien di rujuk ke RSUD Arifin Achmad, namun karena penuh pasien dirujuk
ke RS Swasta yang ada dipekanbaru dan dirawat selama 3 hari di PICU,
karena tidak ada perubahan pasien dirujuk ke RSUD M. Jamil dan disana
pasien dirawat di PICU selama 30 hari. Pasien mengalami perbaikan dan sudah
sadar sehingga pasien dirawat di ruang biasa selama 15 hari. Pasien dibolehkan
pulang dan kontrol serta fisioterapi rutin di RSUD M. Jamil. Karena menurut
orang tua pasien anaknya tidak mengalami perubahan maka pasien tidak
pernah kontrol lagi sejak bulan maret 2013. Hingga saat ini pasien hanya bisa
melakukan aktivitasnya dalam keadaan berbaring.
12
- Akhir tahun 2014 pasien dibawa orang tuanya berobat kembali ke Malaka.
Disana pasien di CT Scan. Hasilnya pasien dikatakan mengalami
hydrocephalus dan disarankan untuk dipasang selang, namun karena maslaah
biaya orang tua pasien menolak.
- Sejak 2 hari yang lalu pasien mengalami demam. Demam terus menerus,
demam tidak disertai menggigil dan berkeringat. Mimisan (-), gusi berdarah
(-), bintik- bintik merah pada badan dan ekstremitas (-), demam semkin tinggi
pada malam hari disangkal. Mual muntah (+) muntah ± 2x/ hari, nafsu makan
menurun, ayah pasien mengatakan pasien tampak lemah sejak muntah, pasien
juga mengalami kejang, kejang sebanyak 2x durasi 2 menit, diantara kejang
pasien sadar. Ketika kejang mata melihat ke satu titik, ektremitas atas dan
bawah kaku. Batuk pilek (-), BAK dan BAB normal. Selain karena demam
orang tua pasien juga membawa anaknya untuk berobat tentang keluhan yang
dialami anaknya sejak 3 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit dahulu
Riwayat kejang sebelumnya (-).
Riwayat batuk-batuk lama (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga mengeluhkan hal yang sama.
Riwayat Orang tua
- Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak memiliki kebiasaan minum
alcohol maupun merokok
- Ayah bekerja sebagai wiraswasta, tidak memiliki kebiasaan merokok.
Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara, lahir secara spontan ditolong
oleh bidan, pasien lahir langsung menangis, saat hamil ibu tidak mengalami keluhan
seperti keputihan, demam ataupun komsumsi obat diluar yang diberikan oleh bidan,
ibu teratur periksa kehamilan di bidan.
13
Riwayat Makan dan Minum
ASI : 0-1 tahun
ASI + PASI : 6 bulan – 2 tahun (sesuai keinginan + 2x1/2 mangkok)
Riwayat Imunisasi
Ibu mengaku pasien sudah imunisasi lengkap di posyandu
Riwayat Pertumbuhan
- Berat badan lahir : 2500 gram PB : 50 cm
- Berat badan sekarang : 11 kilogram PB : 88 cm
-
Riwayat Perkembangan
Tahapan perkembangan motorik kasar
Motorik halus Sosialisasi Bicara
- Mengangkat badan : 3.5 bulan
- Duduk sebentar sebentar : 4 bulan
- Menarik dan berdiri: 9 bulan
- Berjalan dituntun : 1 tahun 2 bulan
- Naik tangga dibantu : usia 1 tahun 7 bulan
- Berlari : 2 tahun 2 bulan
- Tangan membuka : usia 3 bulan
- Memindahkan badan : usia 7 bulan
- Mengambil dengan jari : usia 9 bulan
- Makan menggunakan sendok : usia 1 tahun 10 bulan
- Menyusun balok 6 kotak : usia 2 tahun
- Senyum spontan : usia 5 bulan
- Mengungkapkan suka dan tidak suka : usia 8 bulan
- Cilukba : usia 9 bulan
- Dipanggil datang : usia 1 tahun 2 bulan
- Mengikuti mimik : usia 1 tahun 8 bulan
- Bermain : usia 2 tahun
- Cooing ketawa : usia 3 bulan
- Babbling : usia 6 bulan
- Imitasi suara : 10 bulan
- 1-2 kata : usia 1 tahun 1 bulan
- Mengucapkan lebih dari 8 kata : 1 tahun 10 bulan
- Mengucapkan 2-3 kalimat : usia 2
14
tahun
Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal
- Pasien tinggal di rumah permanen bersama kedua orang tua
- Lingkungan bersih, ventilasi dan pencahayaan cukup
- Sumber air minum dari air sumur yang dimasak dan air galon
- Sumber MCK dari air sumur.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : apatis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Suhu : 37,8 oC
Nadi : 88 x/menit, isi cukup, reguler
Napas : 25 x/menit
Gizi
TB : 88 cm
BB : 11 kg
LILA : 12 cm
Lingkar kepala : 42 cm
Status gizi (BBI: 20 kg) : 85% (malnutrisi ringan)
Kulit : Normal
Kepala : Normocephal
Rambut : warna hitam, tidak mudah rontok
Mata
Konjungtiva : Anemis -/-
15
Sklera : Ikterik -/-
Pupil : Isokor, bulat, diameter 2 mm/2mm
Refleks cahaya : +/+
Telinga : bentuk normal dan simetris.
Hidung : bentuk normal, simetris, pernapasan cuping hidung (-)
Mulut
Bibir : tidak kering
Selaput lendir : basah
Palatum : utuh
Lidah : bersih
Gigi : karies (-)
Leher
KGB : pembesaran KGB (-)
Kaku kuduk : (+)
Paru
- Inspeksi : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
- Palpasi : vocal fremitus simetris kiri dan kanan
- Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
bunyi jantung I dan II dalam batas normal, bising jantung (-)
Abdomen
- Inspeksi : tampak datar, simetris
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), organomegali (-)
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus normal
Alat kelamin : Perempuan. Genitalia eksterna dalam batas normal
Ekstremitas : Hangat, CRT < 2 detik.
Status neurologis : Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/+)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin:
Hb : 10,3 g/dl Leukosit : 8.400 / ul
16
Ht : 35,2 % Trombosit : 408.000 / ul
GDS : 84 mg/dl
Laboratorium urin (makroskopik)
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Protein : negatif
Glukosa : negatif
Bilirubin :negatif
Urobilinogen : 0,2
Ph : 6
BJ : 1,025
Darah : negatif
Keton : negatif
Nitrit : positif
Mikroskopik
Eritrosit : 0-1/ lpb
Leukosit : 4-6/ lpb
Sel epitel : 4-7/ lpb
Kristal : 0
Silinder : 0
Bakteri : positif
Jamur : 0
RADIOLOGI :
Rontgen Thorax
17
Kesan :
- Kedua paru-paru bersih
- Tidak ada pneumothorax
- Tidak tampak adanya efusi pleura
- Tidak ada massa mediastinum atau massa hillus
- Ukuran jantung normal
CT Scan :
18
Terdapat dilatasi pada system ventrikel. Dilatasi simetris bilateral
Terdapat area hipodens pada parenkim otak biparietal lobus posterior
Tidak tampak tanda perdarahan intracranial
Cerebellum dan batang otak normal
Tidak tampak pergeseran midline, differensiasi gray-white matter normal
Tidak tampak massa bilateral pada region cerebello-pontin angel
Gambaran sinus paranasal dan mastoid normal
Kesan : Dilatasi luas pada system ventrikel simteris
Fokus hipodens pada parenkim otak parietal bilateral diregio posterior
kemungkinan akibat infark atau iskemik
19
EEG
20
21
22
Kesan : Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi CPZ 20 mg
(po). Irama dasar gelombang tetha dengan frekuensi 5-7 hearz dan amplitudo 120-150
µV . Tidak dijumpai asimetri. Dijumpai gelombang spesifik berupa gelombang
paku ombak ( spike and waves) terutama di kedua temporoparieto occipital.
Tidak dijumpai gelombang paroksismal.
DIAGNOSIS KERJA : Atrofi cerebri + post encephalitis herpes
DIAGNOSIS GIZI :
DIAGNOSIS BANDING : -
PEMERIKSAAN ANJURAN : analisa LCS
PENATALAKSANAAN :
Medikamentosa
-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg
-piracetam 3x350 mg
-diazepam 3x0,5 mg
23
-kalnex plus 1x ½ sendok
-diet ML 8x175-200 cc
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
FOLLOW UP
Hari/tanggal
Subjektif Objektif Assessment
Terapi
Kamis/25-02-15
Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Atrofi cerebri ec post encephalitis
-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x175-200 cc
Kamis/26-02-15
Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 5 x/ menitRR : 21 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Atrofi cerebri ec post encephalitis
-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x125-200 cc
Kamis/27-02-15
Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Atrofi cerebri ec post encephalitis
-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x125-200 cc
Kamis/ Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit Cerebral -piracetam 3x350 mg
24
28-02-15
sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detikMotoric :
palsy tetraparese ec encephalitis herpes
-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x175-200 cc
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien di
diagnosis mengalami cerebral palsy et causa post encephalitis herpes. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengalami demam sejak 2 hari SMRS, demam naik turun tidak
terlalu tinggi, demam turun dengan obat penurun demam. Manifestasi perdarahan (-),
menggigil berkeringat (-), nyeri kepala (-), nyari sendi (-), mual muntah (-). Demam
pada pasien kemungkinan disebabkan oleh adanya infeksi virus, karena untuk demam
berdarah, tifoid, malaria sudah dapat disingkirkan. Pasien juga mengalami kejang.
Kejang terjadi sebanyak 3 kali dalam waktu 24 jam durasi 1 menit, diantara kejang
pasien sadar. Kejang yang di alami pasien terjadi karena adanya proses infeksi di otak.
Seperti diketahui dari riwayat perjalanan penyakit pasien sejak 3 tahun yang lalu,
pasien pernah mengalami penurunan kesadaran selama ± 1,5 bulan. Hal ini merupakan
gejala khas yang menandakan ada nya suatu proses infeksi di parenkim otak yang di
sebut encephalitis. Kejang yang di alami pasien disebabkan oleh adanya lepas muatan
listrik yang berlebihan pada neuron neuron dan mampu secara berurutan untuk
merangsang sel neuron lainnya secara bersamaan melepaskan muatan listriknya. Hal
tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron
untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan dan berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter GABA atau meningkatnya aktifasi sinaps oleh neurotransmitter
GABA dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Dari riwayat perjalanan
penyakit pasien, pasien pernah didiagnosis mengalami encephalitis herpes. Pasien di
diagnosis encephalitis herpes karena terdapat riwayat penurunan kesadaran selama ±
1,5 bulan. Dimana sebelum terjadi penurunan kesadaran sejak 4 hari pasien di rawat di
RSUD dumai. Sebelumnya pasien mengalami demam tinggi selama 1 minggu SMRS.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Dari anamnesis,
didapatkan adanya gejala fase prodromal yang tidak khas menyerupai influenza,
kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis yaitu demam tinggi, kejang dan
penurunan kesadaran. Selain itu didapatkan adanya sakit kepala, mual, muntah.
26
Dari pemeriksaan fisik, pada pasien diapatkan kesadaran yaitu koma, hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada encephalitis herpes didapatkan
adanya penurunan kesadaran berupa sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial. Koma adalah faktor prognostik yang sangat buruk.
Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa
yang berat. Pada pasien ini dapat mengalami kesembuhan namun pasien sembuh
dengan gejala sisa yaitu berupa Global Developmental Delay.
Pasien juga didiagnosis mengalami cerebral palsy. Dimana dari hasil
pemeriksaan fisik di dapatkan adanya tetraparese pada ektremitas atas dan bawah. Hal
ini didukung dari literatur yang menyebutkan hampir 80% pasien encephalitis herpes
memperlihatkan gejala neurologis fokal berupa hemiparesis, yang merupakan
manifestasi fokal yang penting, afasia dan kejang. Kejang bisa terjadi secara umum
maupun fokal. Harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali kejang fokal yang
berkembang menjadi kejang umum. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti
kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastik, hiperrefleks, refleks patologis dan
klonus). Pada pasien ditemukan adanya hiperrefleks dan spastik pada ektremitas
bawah. Kelainan fokal menunjukkan predileksi virus herpes simpleks menyerang otak
regio frontotemporal. Gejala klinik ensefalitis herpes simpleks dapat terjadi progresif,
ditandai dengan kejang yang refrakter, koma, dan peningkatan tekanan intracranial.
Dari anamnesis melalui orang tua pasien dikatakan bahwa riwayat tumbuh
kembang pasien tidak sesuai dengan anak seusianya, saat ini pasien hanya bisa
melakukan aktifitas sehari hari dalam keadaan berbaring. Hal ini menunjukkan bahwa
pada pasien terdapat gangguan tumbuh kembang yaitu Global Developmental Delay
(GDD). Pasien di diagnosis sebagai GDD karena menurut keriteria H.R Haslam anak
usia 3 tahun 3 bulan untuk motorik kasar, seharusnya pasien sudah dapat berlari,
motorik halus menyusun balok 6 kotak, sosialisasi bermain bersama teman teman,
bicara mampun mengucapkan 2-3 kalimat. Namun pada pasien hal ini belum dapat
dilakukan layaknya anak normal seusianya.
Alur penatalaksanaan pada pasien yang diberikan selama di RSUD Arifin
Achmad sudah tepat. -IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg, pemberian cairan ini
bertujuan untuk menjaga hemodinamik pasien, dari anamnesis pasien sudah sejak 2
hari mengalami muntah dan tidak nafsu makan dan dari pemeriksaan fisik didapatkan
27
pasien tampak lemah maka dapat diberikan cairan maintenance berupa D5 ½ NS dan
kcl 7,5 meq untuk rumatan. Dasar pemberian piracetam 3 x 350 mg adalah karena dari
hasil CT scan kepala didapatkan adanya fokus hipodens pada parenkim otak parietal
bilateral diregio posterior kemungkinan akibat infark atau iskemik. piracetam
merupakan agen neuroprotektor yang sering digunakan pada pasien pasien yang
mengalami infark. Selain itu pada pasien juga didignosis sebagai cerebal palsy,
sehingga pemberian piracetam bertujuan untuk memperbaiki fungsi motorik kasar
pada pasien yang menderita cerebral palsy. Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan, dimana terdapat perbaikan yang lebih baik pada pasien cerebral
palsy yang diberikan fisioterapi dengan kombinasi farmakologi dalam hal ini
pemberian piracetam dibandingkan pasien yang hanya di berikan fisioterapi saja.
Pemberian diazepam 3 x 0,5 mg bertujuan untuk mengatasi kejang yang
dialami pasien. Target kerja dari diazepam golongan benzodiazepine ini adalah
reseptor GABA. Reseptor ini terdiri dari subunit α, β, γ, dimana dia akan
berkombinasi dengan lima atau lebih dari membrane post sinaptik. Benzodiazepine
meningkatkan efek GABA dengan berikatan ketempat yang spesifik dan afinitas
tinggi. Reseptor ionotropik ini merupakan suatu protein transmembran yang berfungsi
sebagai kanal ion klorida yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibitorik.
Diazepam ini meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Sehingga
diharapkan terjadi peningkatan inhibisi dari neurotransmitter GABA. Pemberian
kalnex plus 1x ½ sendok bertujuan untuk. Pemberian diet ML 8x175-200 cc bertujuan
untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pada pasien.
Penatalaksanaan yang diberikan dari rumah sakit rujukan sudah tepat, namun
pada fase awal terdiagnosisnya encephalitis herpes pasien tidak diberikan antivirus
berupa acyclovir. Menurut literatur Saat ini asiklovir menjadi pilihan pertama pada
terapi antivirus EHS. Asiklovir terbukti lebih baik dibanding vidarabin. Preparat
asiklovir tersedia dalam 250 mg dan 500 mg. Dosisnya adalah 10 mg/kgbb setiap 8
jam selama 10-14 hari, diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimal dalam 1
jam. Dosis untuk neonatus 20 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari.
Pasien di diagnosis cerebral palsy karena dari anamnesis ditemukan adanya
keluhan berupa perkembangan pasien yang tidak sesuai dengan umurnya. Dari kriteria
HR. Haslam didapatkan pasien tidak bisa melakukan aktifitas motorik kasar, halus,
28
sosialisasi, dan berbicara sesuai dengan umurnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
adanya spastik tetraplegia pada keempat ekstremitas. Dari hasil CT scan didapatkan
adanya, ventrikulomegali, atrofi cerebri, sulcus yang melebar. Ventrikulomegali dari
gambaran ct scan terjadi akibat adanya atrofi cerebri. Atrofi cerebri sendiri pada
pasien terjadi akibat infeksi yang sudah lama. Pasien sebelumnya telah terdiagnosis
encephalitis herpes. Encephalitis herpes yang terjadi dapat menimbulkan kerusakan
pada parenkim otak yang dapat mengganggu perkembangan anak. Pada pasien
encephalitis herpes yang didapatnya 2 tahun yang lalu menyebabkan cerebral palsy
hingga sekarang.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Pudjiadi AH,
Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2. Soetomenggolo TS. Ensefalitis herpes simpleks. In: Soetomenggolo TS, Ismail S,
editors. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999.
p. 376-80.
3. Infections of the nervous sysytem. In: Menkes JH, Sarnat HB, editors. Child
neurology. 6 ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000. p. 515-40.
4. Whitley RJ, Kimberlin DW. Viral Encephalitis. American Academy of Pediatrics.
1999;20:192-8.
5. Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. American Academy of Pediatrics.
2005;26:353-62.
6. Bale JF. Viral infections of the nervous system. In: Swaiman KF, Ashwal S,
editors. Pediatric neurology principle and practice. 3 ed. St. Louis: Mosby; 1999.
p. 1001-13.
7. Anderson WE. Herpes simplex Encephalitis. Medscape. 2011.available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1165183-overview.
8. Waggoner-Fountain LA, Grossman LB. Herpes simplex virus. American
Academy of Pediatrics. 2004;25:86-92.
9. Aisen ML, Kerkovich D, Mash J, Mulroy S, Wren TAL, Kay RM, et al. Cerebral
palsy: clinical care and neurological rehabilitation. Lancet Neurol. 2011 Sep; 10
(9): 844-52
30