PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH
IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (Tubificidae)
DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT
DIANA SRIWISUDA PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Media
Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae)
dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Diana Sriwisuda Putri
NRP C151120131
RINGKASAN
DIANA SRIWISUDA PUTRI. Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah
Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi
Wadah Bertingkat. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan DANIEL
DJOKOSETIYANTO.
Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada
fase pembenihan. Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai oleh benih ikan,
khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra. Hal ini dikarenakan cacing
sutra memiliki kandungan protein yang tinggi. Cacing sutra di alam, umumnya
diperoleh dari proses penangkapan di sungai, parit dan selokan. Ketersediaan
cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas sehingga sangat
diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi cacing
dalam jumlah banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh pemanfaatan kotoran ayam fermentasi dan limbah lele terhadap hasil
panen cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat.
Pada penelitian ini yang digunakan rancangan acak lengkap dengan 4
perlakuan dan 2 kali ulangan. Jenis perlakuan adalah pemberian kotoran ayam
fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan (P0), pemberian
kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari
sekali (P1), pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah
dari budidaya ikan lele intensif (P2), pemberian kotoran ayam fermentasi di
sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari
budidaya ikan lele intensif (P3). Parameter selama penelitian yang diuji meliputi
kelimpahan individu, biomassa, sedimen yaitu TOM (Total Organic Matter), total
N dan C-Organik sedangkan parameter kualitas air yang diukur yaitu oksigen
terlarut (DO), suhu, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen), TOM (Total Organic
Matter), TSS (Total Suspended Solid), VSS (Volatile Suspended Solid), nitrit,
nitrat dan amonia. Sampel sedimen dan air diambil setiap 10 hari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotoran ayam fermentasi di
sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif merupakan perlakuan
yang terbaik apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kondisi kualitas air
selama penelitian, secara keseluruhan masih memenuhi standar budidaya untuk
cacing sutra. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian
limbah dari budidaya lele intensif pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat
merupakan perlakuan yang terbaik yang menghasilkan produksi biomassa sebesar
6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m
2, ditinjau dari
parameter kualitas air, kandungan bahan organik dan nilai TOM air selama
penelitian. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah
dari budidaya lele intensif merupakan yang terbaik karena menghasilkan
kelimpahan dan biomassa terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Kata Kunci: Cacing Sutra, Resirkulasi, Wadah Bertingkat
SUMMARY
DIANA SRIWISUDA PUTRI. Utilization The Feces of Chicken Media and
Catfish Waste on Blood Worms Cultivation with The Recirculation System in
Multi-Storey Container. Supervised by EDDY SUPRIYONO dan DANIEL
DJOKOSETIYANTO.
Natural feed is an important factor in fish farming, especially in the
hatcheries phase. One type of the most preferred fish, particularly catfish fish seed
is the blood worms. This is because the blood worms have a content of protein
highly. Blood worms that exist in nature, generally obtained from the arrest in
rivers, ditches and gutters. Availability of nature blood worms as live feed is
relatively limited so it is necessary to develop the blood worm culture media and
mass production method. The study objective was to analyze the effect using the
feces of chicken fermented and catfish waste to production of blood worm with
the recirculation system in multi-storey container.
Experimental used completed randomize design with four treatments and
two replications. The treatments were the feces of chicken fermented into
sediment on the first care (P0), the feces of chicken fermented into sediment and
administrated of repetition each 5 days (P1), the feces of chicken fermented into
sediment and the administrated of catfish culture waste intensively (P2), the feces
of chicken fermented into sediment and administrated of repetition each 5 days
also administrated of catfish culture waste intensively (P3). The parameters of
study included individual abundance, biomass, sediment that TOM (Total
Organic Matter), total N and C-Organic while water quality parameters measured
were dissolved oxygen (DO), temperature, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen),
TOM (total Organic Matter), TSS (total Suspended Solid), VSS (Volatile
Suspended Solid), nitrite, nitrate, ammonia. Sediment and water samples were
taken each 10 days. The results showed that the feces of chicken fermented into sediment and
catfish culture waste intensively was the best treatment among other treatments. Water quality conditions during the study meet overall standards requirement for blood worm aquaculture. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming with multi storey container in recirculation system was the best medium to increased growth of blood worms with biomass at 6.47 kg/m
2 and the highest abundance at 1,697 ind/m
2, from the water quality
parameters, organic matter contents and TOM water values during the study. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming was the best because the production of its abundance and biomass was the best when compared among other treatments.
Keywords: Recirculation, blood worms, storey container
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH
IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (Tubificidae)
DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
DIANA SRIWISUDA PUTRI
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
Judul Tesis : Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada
Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi
Wadah Bertingkat.
Nama : Diana Sriwisuda Putri
NIM : C151120131
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
Ketua
Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto, DEA
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur
Dr Ir Widanarni, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 September 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2014
ini adalah Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah
Bertingkat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
dan Bapak Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah
ini dapat diselesaikan, serta Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku dosen
penguji luar komisi pada ujian tesis atas segala saran yang diberikan sehingga tesis
ini lebih berkualitas.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda
Prof Dr Ir Syafriadiman dan ibunda Yumna S.Pd yang telah memberikan motivasi
berupa moril dan materil, kesabaran, pengertian, kasih sayang yang tulus dan doa
yang tiada hentinya, serta kakanda Veraminah Sandriosa Putri, adinda Skel;
Hengki Firmanda S.SH, MH, MSi, Edi Yusuf Adiman, dan R Multi KA atas
segala doa, dan kasih sayangnya. Di samping itu, terima kasih juga penulis
sampaikan kepada seluruh keluarga Martini SPd, Hasnidar SPd, Zulfahmi,
Mardiah, Rahmadanis dan Mazda Lena atas doa dan kasih sayangnya selama
penulis menyelesaikan studi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rico Andespa, Alisa
Puspita, bang Dedi Pardiansyah, kak Sri Wahyuni, bang Yusuf, Arya Fitriadi,
Faradina, kak Titi, bang Musa, Rodhi, kak Dodi, Eko, Wira, Yeni dan Zizah atas
segala persahabatan dan kekeluargaan yang diberikan kepada penulis. Terima
kasih juga kepada keluarga besar Akuakultur 2012 atas segala semangat,
kerjasama dan dukungan moril maupun spiritual.
Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari
ORANG TUA penulis yang tulus.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Diana Sriwisuda Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE PENELITIAN 3
Budidaya Cacing Sutra 3
Budidaya Ikan Lele 5
Rancangan Penelitian 6
Parameter Pengamatan 6
Parameter Kualitas Air 6
Sedimen 6
Kelimpahan Individu 7
Biomassa 7
Analisis Data 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Lingkungan Budidaya 7
Kelimpahan Cacing Sutra 12
Biomassa Cacing Sutra 13
4 SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 18
RIWAYAT HIDUP 22
DAFTAR TABEL
1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah pada air budidaya 7 2 Nilai TOM (%) pada air budidaya cacing sutra 9 3 Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra 10 4 Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing
sutra 10 5 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak (hari ke-60) 13 6 Data parameter produksi cacing sutra 15
DAFTAR GAMBAR
1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 12 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 13 3 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama
penelitian 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat 18
2 Kelimpahan cacing sutra (individu/m2) selama penelitian 20 3 Biomassa cacing sutra (kg/m2) selama penelitian 21
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada
fase pembenihan. Benih yang berkualitas sangat tergantung kepada manajemen
pakan yang tepat di mana produksi pakan alami untuk pemeliharaan larva ikan di
pusat-pusat pembenihan ikan adalah sangat penting (Syafriadiman dan Masril
2013). Pakan yang diberikan haruslah tepat jumlah, tepat mutu dan tepat ukuran
(Djokosetiyanto et al. 1992). Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai
oleh benih ikan, khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra yang juga
disebut sludge worms atau cacing rambut atau cacing oligochaeta (Tubifex sp.) karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Findy (2011) menyatakan cacing
sutra mengandung 65% protein, 15% lemak dan 14% karbohidrat.
Cacing sutra di alam, umumnya diperoleh dari proses penangkapan di
sungai, parit dan selokan. Lingkungan habitat cacing sutra biasanya
berkonduktivitas tinggi, kedalaman air rendah, sedimen liat-berpasir atau liat
berlumpur, kecepatan arus rendah, dan jumlah bahan-bahan organik yang
berubah-ubah (Marchese 1987; Pasteris et al. 1996). Jumlah permintaan cacing
saat ini berasal dari alam yang tidak dapat dipastikan kualitasnya dan dapat
menjadi agen pembawa penyakit, sehingga ketergantungan cacing sutra di alam
kurang mendukung bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budidaya ikan
(Sinaga 2012).
Ketersediaan cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas maka
sangat diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi
cacing yang tinggi dan mampu menyediakan sesuai dengan target produksi
akuakultur nasional sebesar 353% atau 5,26 juta ton pada tahun 2010 menjadi
16,9 juta ton pada tahun 2014 di mana ikan lele merupakan komoditas unggulan
tersebut dengan produksi 900 ton pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya 2010; Hikmayani et al. 2012). Cacing sutra dapat berkembang biak
pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5
mg/l, kandungan amonia
2
wadah dan kualitas media air terhadap pertumbuhan Tubifex (Djokosetiyanto et al.
1991), pengaruh tinggi air dan tinggi substrat terhadap pertumbuhan Tubifex
(Djokosetiyanto et al. 1992). Penelitian tentang makanan Tubifex telah dilakukan
oleh Nurjariah (2005) dengan menggunakan pupuk kotoran ayam hasil fermentasi
EM4 dalam budidaya cacing sutra, namun penelitian dengan wadah bertingkat
belum dilakukan sampai saat ini.
Penelitian ini menggunakan media kultur kotoran ayam hasil fermentasi
EM4 dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat. Kandungan N kotoran ayam
adalah 1,44% (Puspitasari 2012). Pemupukan ini bertujuan menambah kadar
nutrien dalam media pemeliharaan. Unsur nutrien terpenting yaitu C dan N yang
dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan aktivator EM4 yang
merupakan campuran mikroba seperti bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat,
ragi, actinomycetes dan jamur. Menurut Hadiah (2003), pupuk yang
difermentasikan mampu meningkatkan kandungan N dan C organik sehingga
aktivitas mikroorganisme dapat berlangsung secara efektif. Pemberian pupuk
kotoran ayam hasil fermentasi akan mempengaruhi kelimpahan dan pertumbuhan
cacing sutra (Tahapari et al. 2010).
Pupuk kotoran ternak dapat memanfaatkan limbah dari hasil budidaya
intensif seperti limbah budidaya ikan patin, lele dan jenis ikan budidaya lainnya.
Penelitian budidaya intensif tentang pemanfaatan limbah telah dilakukan oleh
Syafriadiman dan Masril (2013) tentang pemanfaatan limbah ikan patin dengan
biomassa cacing sutra sebesar 2,17-4,97%. Selain ikan patin jenis ikan lain yang
dipelihara secara intensif adalah ikan lele (Clarias gariepinus). Ikan lele
merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang penting dan
tergolong pertumbuhannya cepat jika dibandingkan dengan komoditas lainnya
dengan peningkatan produksi terbesar yakni 88,98% (Gunadi 2012). Ikan lele
termasuk jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan (air breathing
fish), sehingga mempunyai daya toleransi yang lebih baik dibandingkan jenis ikan
lainnya terhadap kondisi yang relatif kurang baik.
Peningkatan produksi ikan dapat menghasilkan limbah yang tinggi dan
belum ada pemanfaatan yang optimal dari limbah tersebut. Biasanya limbah ikan
lele secara intensif hanya dimanfaatkan setelah dilakukan pemanenan untuk
dijadikan pupuk dari berbagai tanaman dan dimanfaatkan untuk berbagai jenis
ikan dalam sistem budidaya berbasis jejaring makanan yang dikenal dengan istilah
Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) (Gunadi 2012). Peneliti mencoba
memanfaatkan limbah ikan lele secara intensif dikarenakan limbah ikan lele
mengandung limbah N dan bakteri yang dapat dimanfaatkan dalam budidaya
cacing sutra untuk meningkatkan produktivitas cacing sutra. Yi et al. (2003)
menyatakan bahwa ikan dan udang hanya dapat meretensi protein pakan sekitar
16,3-40% dan sisanya terbuang menjadi limbah budidaya. Sistem budidaya seperti
ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang
teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan
akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan,
ekskresi amonia, feses, dan partikel-partikel pakan.
Pemanfaatan limbah budidaya intensif dan penggunaan sistem resirkulasi
dengan perolehan biomassa masih belum banyak dilakukan (Puspitasari 2012;
Sinaga 2012). Sistem resirkulasi artinya air yang keluar dari wadah pemeliharaan
ditampung di bak penampungan air kemudian air tersebut dipakai kembali.
3
Penelitian tentang manipulasi media, komposisi media dan sistem resirkulasi air
dari budidaya cacing sutra sampai saat ini masih menggunakan 1 rak dan
produktivitasnya juga masih rendah baru mencapai 2,2 kg/m2 (Febriyani 2012).
Hasil yang diperoleh masih belum cukup memuaskan jika dibandingkan dengan
hasil tangkapan di alam, di mana kemampuan alam seperti di selokan diperkirakan
mencapai 10 kg/m2. Hal ini menyebabkan harga jual cacing sutra cukup
menggiurkan (Efendi 2013), yakni mencapai Rp 15.000 /liter di Jakarta.
Peningkatan produktivitas cacing sutra telah dilakukan dengan sistem
bertingkat menggunakan nampan/tray. Sistem ini melakukan pengisian air baru
dari luar sistem untuk mengganti air yang susut atau berkurang akibat
kebocoran/evaporasi. Semakin banyak rak-rak budidaya cacing sutra yang dibuat
maka kapasitas produksi yang ingin dicapai akan semakin meningkat. Kelemahan
penggunaan nampan masih kurang efisien karena ukurannya kecil dan
membutuhkan nampan relatif banyak sehingga untuk memanen 2,5 liter/hari
membutuhkan 10 nampan/hari (Efendi 2013). Jadi, penelitian ini dilakukan untuk
memperbaiki keadaan lingkungan budidaya cacing sutra dengan media kotoran
ayam fermentasi dan limbah ikan lele dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat
untuk mengefesienkan penggunaan wadah, penggunaan sumberdaya air dan lahan
yang terbatas serta dapat memperbaiki kekurangan dari sistem budidaya
sebelumnya, sehingga budidaya cacing sutra dapat memenuhi kebutuhan benih
ikan dan tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemanfaatan
kotoran ayam fermentasi dan limbah ikan lele terhadap hasil panen cacing sutra
dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat.
Manfaat Penelitian
a. Paket teknologi budidaya cacing sutra yang dapat diadopsi oleh masyarakat khususnya pembudidaya ikan tawar.
b. Alternatif solusi terhadap masalah pada budidaya cacing sutra secara aman dan efisien.
c. Publikasi ilmiah.
2 METODE PENELITIAN
Budidaya Cacing sutra
Wadah Penelitian
Wadah penelitian berupa kotak kayu berukuran 100 cm x 50 cm x 15 cm
(Lampiran 1). Wadah dibuat bertingkat di mana jarak antar wadah yaitu 20 cm.
Setiap wadah dilapisi lembaran plastik agar dapat menampung air dan mencegah
4
terjadinya kebocoran dan dapat memberikan suasana lingkungan yang mendukung
bagi budidaya cacing oligochaeta seperti yang dilakukan oleh Chumaidi et al.
(1988). Aliran air dibuat dengan sistem resirkulasi di mana air dipompa dan
dimasukkan ke dalam wadah, selanjutnya air buangan dari wadah dimasukkan
kembali ke dalam wadah untuk mengisi air di wadah pemeliharaan.
Media Kultur
Media berupa lumpur kolam halus sedalam 3 cm dan kotoran ayam potong
hasil fermentasi sedalam 3 cm. Sebelum digunakan, lumpur dijemur di bawah
sinar matahari langsung hingga kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan
kotoran ayam diambil dari kotoran ayam ras/potong/pedaging kemudian dijemur
di bawah sinar matahari langsung hingga kering selama kurang lebih 6 jam
(Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Wadah digenangi air setinggi 2 cm di atas
permukaan substrat. Setelah diisi air, wadah dibiarkan tergenang selama 10 hari.
Penggenangan dilakukan agar pupuk awal pada media dapat terurai oleh bakteri
sehingga bakteri tersebut dapat menjadi pakan awal bagi cacing sutra. Substrat
yang digunakan untuk pemeliharaan cacing berupa lumpur dan kotoran ayam
dengan komposisi perbandingan 1:1 (Djokosetiyanto et al. 1991).
Penebaran Cacing Sutra
Cacing sutra yang digunakan berasal dari kelas Oligochaeta yang diperoleh
dari pengumpul cacing sutra. Penebaran cacing dilakukan setelah penggenangan
wadah (setelah air jernih di dalam wadah). Cacing yang dikultur memiliki ukuran
panjang 2-5 cm pengamatan secara visual. Kemudian bibit dibersihkan dan
ditimbang sesuai dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media
budidaya. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui bobot dan biomassa awal
cacing sutra uji. Cacing sutra yang ditimbang dimasukkan ke dalam setiap
perlakuan (media kultur). Bobot cacing sutra yang ditebar berkisar di antara 4-6
mg/ekor dan panjang individu berkisar antara 2-4 cm (Syafriadiman dan Maril
2013).
Sebelum dimasukkan ke dalam wadah, cacing ditimbang ditiriskan selama
kira-kira 1 menit. Cacing ditimbang dengan cara memasukkan cacing ke dalam
gelas plastik transparan kemudian diaklimatisasi selama 5 menit (Sinaga 2012).
Aklimatisasi cacing dilakukan dengan cara menambahkan air dari wadah
budidaya ke dalam gelas plastik yang berisi cacing sehingga air dari wadah dan di
dalam gelas bercampur. Cacing sutra ditebar sebanyak 150 g/m2. Padat tebar
cacing pada percobaan Marian dan Pandian (1984) berkisar 15 mg/cm2 (dengan
bobot rata-rata = 1 mg).
Pemberian Pupuk
Kotoran ayam sebagai pupuk diambil dari kotoran ayam
ras/potong/pedaging yang berasal dari peternakan Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Kotoran ayam yang diberikan adalah yang telah dikeringkan
selama 6 jam, difermentasikan menggunakan EM4 selama 5 hari (Puspitasari
2012; Sinaga 2012). Pemberian pupuk dilakukan 5 hari sekali dengan dosis yang
diberikan sebanyak 1 kg/m2 atau 500 g/wadah. Proses fermentasi kotoran ayam
menggunakan EM4 sebagai aktivator fermentasi, gula pasir dan air. Proses ini
diawali dengan pembuatan larutan aktivator: (a) Sebanyak 3,75 g gula pasir dan 4
5
ml EM4 dimasukkan ke dalam 300 ml air, (b) Campuran tersebut dicampurkan
pada 10 kg kotoran ayam dan diaduk secara merata, dan (c) Kotoran ayam yang
telah diberi campuran aktivator tersebut dibungkus dalam plastik untuk proses
fermentasi selama 5 hari. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa
organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme atau segala
macam metabolisme (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau
reaksi kimia lainnya) melakukan perubahan kimia pada suatu substrat organik
dengan menghasilkan produk akhir. Sebelum di pupuk, aliran air pada wadah
dimatikan. Kemudian pupuk yang sudah bercampur air dituang merata pada
wadah dan wadah didiamkan sampai pupuk mengendap. Setelah itu aliran air
dinyalakan kembali.
Pengelolaan Air
Penelitian ini menggunakan sistem pengairan tertutup yang artinya
penggunaan air kembali atau resirkulasi, di mana setiap tingkat dibuat pengairan
masuk dan keluar yang berujung di wadah pemeliharaan dan air di wadah
pemeliharaan kembali digunakan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengurangi
penggunaan sumberdaya air dan lahan yang terbatas. Debit aliran yang digunakan
sebesar 1.500 ml/menit (Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Debit air yang masuk ke
dalam wadah diatur dengan menggunakan klep pada selang pemasukan.
Sampling
Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dilakukan pada 3 tempat dalam
setiap wadah yaitu inlet, tengah dan outlet. Sampling dilakukan dengan
memasukkan pipa berdiameter 1,7 cm (luas permukaan lubang yaitu 2,27 cm2)
ke dalam substrat, lalu pipa diangkat dengan menutup lubang bagian atas. Substrat
yang diperoleh terlebih dahulu disaring sambil dibilas dengan air dan cacing
dipisahkan dari substrat. Sisa substrat pada saringan kemudian dimasukkan ke
dalam gelas plastik yang berisi air kemudian diguncang bagian atasnya sehingga
sisa cacing dapat dipisahkan dari substrat. Cara ini dilakukan berulang-ulang
sehingga cacing yang diperoleh bersih dan kemudian ditimbang (Sinaga 2012).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah cacing sutra berada pada puncak populasi.
Puncak populasi ditentukan dengan melihat kepadatan cacing pada malam hari,
dimana seluruh permukaan sudah dipenuhi oleh cacing sutra. Pemanenan
dilakukan dengan mengambil seluruh lapisan bahan organik yang didiami cacing
sutra, kemudian dipindahkan ke dalam wadah berupa ember plastik dan
didiamkan selama 6 jam. Setelah 6 jam maka cacing sutra dengan sendirinya akan
memisahkan diri dari media yang ikut terbawa pada saat pemanenan Puspitasari
(2012) dan Sinaga (2012).
Budidaya ikan lele
Wadah budidaya ikan lele yang digunakan berupa kotak kayu berukuran
2 m x 1 m x 0,6 m dengan volume 800 L yang dilapisi lembaran plastik. Wadah
6
dibersihkan dan dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan kaporit dosis
100 mg/l dan dibiarkan selama 3 hari sebelum digunakan (Gunadi 2012).
Padat tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomassa 5 g/ekor. Pemberian
pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang dan malam). Pemberian
pakan diberikan berdasarkan pada biomassa dan persentase pakan
berdasarkan bobot dari ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersial
dengan kandungan protein sebesar 26-28%.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental
laboratorium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing terdiri dari 2 ulangan.
Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah:
1. P0 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan
2. P1 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari sekali
3. P2 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif
4. P3 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari budidaya lele
intensif.
Parameter utama meliputi kelimpahan dan biomassa cacing sutra.
Sedangkan parameter penunjang beberapa parameter kualitas air dan sedimen.
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Parameter Kualitas Air
Parameter yang diukur antara lain: parameter fisika yang diukur adalah
suhu, diukur dengan thermometer air raksa yang dilakukan setiap hari pada pagi
hari. Parameter kimia yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), diukur
menggunakan DO-meter dan pH, diukur menggunakan pH-meter diukur setiap 10
hari sekali (Puspitasari 2012). Kadar ammonia, TAN (Total ammonia nitrogen),
TOM (Total Organik Meter), nitrit, nitrat diukur dengan spektrofotometer, TSS
(Total Suspended Solid) dan VSS (Volatile Suspended Solid). Sampel air diambil
setiap 10 hari sekali (Puspitasari 2012). Pengukuran diukur dengan prosedur
sesuai APHA (2005). Pengambilan sampel air dilakukan pada bagian inlet dan
outlet.
Sedimen
Pengamatan sedimen meliputi, TOM, total N Organik, C Organik diukur
dengan menggunakan spectrofotometer. Sampel sedimen diambil setiap 10 hari
sekali.
7
Kelimpahan Individu
Kelimpahan individu dihitung secara langsung dengan mengambil sampling
secara acak pada masing-masing perlakuan dan ulangan seperti yang dijelaskan
pada prosedur kerja. Jumlah individu cacing sutra yang diperoleh kemudian di
konversi ke luasan m2.
Biomassa
Biomassa cacing hasil sampling ditentukan dengan menghitung secara
langsung sampel yang diperoleh, kemudian dihitung berat rata-ratanya. Nilai berat
rata-rata ini dikalikan dengan jumlah individu cacing sutra sehingga diperoleh
nilai bobot biomassa. Sampel cacing ditimbang menggunakan timbangan digital
dengan ketelitian 0,01 g.
Analisis Data
Penambahan jumlah individu dan berat biomassa yang diperoleh dianalisa
dengan menggunakan SPSS 18.0 yang meliputi analysis of variance (ANOVA)
dengan selang kepercayaan 95%. Perbedaan perlakuan dapat dilihat menggunakan
uji BNT. Sedangkan sedimen dan kualitas air dianalisa secara deskriptif.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Budidaya
Kondisi lingkungan budidaya merupakan faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan cacing sutra. Parameter lingkungan budidaya cacing sutra yang
diukur selama penelitian adalah kualitas air dan sedimen budidaya. Pengukuran
dilakukan setiap 10 hari pengamatan.
Tabel 1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah budidaya
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
DO (mg/l) 4,77-6,82 4,60-6,74 5,93-7,20 5,90-6,83
Suhu (0C) 27,20-28,04 27,20-28,20 27,15-28,39 27,05-28,40
pH 7,63-8,24 7,72-8,37 7,00-7,76 7,17-7,99
TAN (mg/l) 0,583-3,188 0,448-2,760 0,632-2,170 0,566-2,426
Nitrit (mg/l) 0,365-1,983 0,393-1,667 0,121-0,622 0,190-1,454
Nitrat (mg/l) 0,274-0,864 0,368-1,053 0,176-0,432 0,143-0,510
Amonia (mg/l) 0,054-0,161 0,051-0,139 0,015-0,068 0,029-0,079
TSS (mg/l) 212,35-736,45 471,92-1049,57 56,78-510,68 58,08-751,50
VSS (mg/l) 124,19-694,72 321,83-973,05 42,87-394,23 51,63-575,49
Hasil kualitas air yang diperoleh selama penelitian (Tabel 1) dengan sistem
resirkulasi dalam wadah bertingkat secara keseluruhan masih dalam batas yang
dapat ditoleransi cacing sutra dan masih tergolong baik untuk pertumbuhan cacing
sutra.
8
Kisaran oksigen terlarut yang diperoleh berada dalam kisaran normal yaitu
4,60-7,20 mg/l. Nilai kandungan oksigen terlarut secara keseluruhan tertinggi
terdapat pada awal penelitian pada perlakuan P2 sebesar 7,20 mg/l dan nilai
kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 4,60
mg/l. Penurunan oksigen disebabkan oleh respirasi cacing sutra akibat
peningkatan kelimpahan cacing sutra. Rendahnya kandungan oksigen terlarut
mempengaruhi aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra, yang diikuti dengan
tingginya kandungan amonia (Sinaga 2012). Keadaan oksigen yang rendah atau
kurang dari 2 ppm akan menghambat aktivitas makan dan reproduksi (Marian dan
Pandian 1984). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra
berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut
berkisar antara 2,75-5 mg/l.
Kondisi suhu selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi
pada kisaran 27,05-28,40 0C. Perubahan suhu selama penelitian terjadi karena
pengaruh cuaca. Pada saat cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang menjadi
lebih rendah, sehingga menyebabkan suhu air mengalami penurunan, demikian
juga sebaliknya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Kapasitas reproduksi cacing sutra sangat besar dipengaruhi oleh suhu
(Kaster 1980). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) suhu optimal cacing
sutra berkisar 25-28 0C. Kondisi suhu selama penelitian masih sesuai untuk
pertumbuhan cacing sutra, karena berada pada rentang 27,05-28,40 0C.
Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian tergolong baik untuk
pertumbuhan cacing sutra. Kondisi pH selama penelitian berada dalam batas yang
dapat ditoleransi pada kisaran 7,0-8,37. Menurut Syafriadiman dan Masril (2013)
cacing sutra dapat berkembang biak pada pH antara 6-8. Sedangkan pH optimal
bagi kehidupan cacing sutra di alam antara 5,5-8,0. Pada pH netral bakteri dapat
memecah bahan organik dengan normal menjadi lebih sederhana yang dapat
dimanfaatkan oleh cacing sutra sebagai makanannya.
Kondisi TAN selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi
pada kisaran 0,448-3,188 mg/l. Nilai TAN tertinggi sebesar 3,188 mg/l pada
perlakuan P0 dan nilai TAN terendah sebesar 0,448 mg/l pada perlakuan P1.
Puspitasari (2012) mendapatkan nilai TAN yang lebih tinggi yaitu 0,38-3,8 mg/l
yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi satu rak.
Nilai TAN yang diperoleh cukup tinggi namun cacing sutra masih dapat tumbuh.
Menurut Angel dan Pilar (2004), dosis lethal TAN bagi cacing sutra adalah diatas
3,8 mg/l.
Kondisi nitrit selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi
pada kisaran 0,121-1,983 mg/l. Nilai nitrit tertinggi terdapat pada perlakuan P0
sebesar 1,983 mg/l dan terendah terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,121 mg/l.
Rendahnya nilai nitrit di perlakuan P2 dikarenakan tingginya kandungan oksigen.
Tingginya kandungan oksigen disebabkan karena penggunaan sistem resirkulasi
yang mengalir pada setiap tingkat wadah cacing sutra. Penggunaan sistem
resirkulasi mengakibatkan debit air yang masuk dapat mensuplai kembali
kandungan oksigen dan mencuci bahan-bahan toksis pada media (Febrianti 2004).
Nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen dan nitrit merupakan bentuk
nitrogen yang mempunyai daya racun yang tinggi untuk pertumbuhan. Rendahnya
nitrit pada perlakuan P2 dapat menstimulir pertumbuhan cacing sutra. Nilai nitrit
yang diperoleh masih dalam batas aman untuk cacing bertahan hidup. Menurut
9
Van Wyk dan Scarpa (1999) untuk amannya konsentrasi nitrit harus
dipertahankan pada level 1 mg/l.
Kondisi nitrat selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi
pada kisaran 0,143-1,053 mg/l. Aquaculture SA (1999) merekomendasikan
kisaran optimal nitrat untuk budidaya ikan air tawar sebesar 0,2-10 mg/l. Nilai
nitrat yang diperoleh masih batas aman untuk cacing sutra bertahan hidup. Nitrat
merupakan bentuk utama nitrogen diperairan.
Kondisi amonia selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi
pada kisaran 0,015-0,161 mg/l. Pada penelitian dengan sistem resirkulasi dalam
wadah bertingkat diperoleh nilai amonia tertinggi terdapat perlakuan P0 sebesar
0,161 mg/l dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 0,015 mg/l. Nilai amonia pada
setiap perlakuan mengalami fluktuasi. Nilai amonia (Tabel 1) yang diperoleh pada
penelitian ini cukup rendah hal ini juga diperoleh oleh Sinaga (2012) dengan
menggunakan sistem resirkulasi dengan kisaran amonia 0,015-0,139 mg/l.
Syafriadiman dan Masril (2013) mendapatkan kisaran amonia 0,003-0,208 mg/l
dengan menggunakan limbah budidaya patin intensif menggunakan sistem
pergantian air. Rendahnya nilai amonia pada perlakuan P2 dapat menstimulir
pertumbuhan cacing sutra sehingga mempengaruhi kelimpahan. Menurut
Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra dapat berkembang biak pada media
yang mempunyai kandungan amonia
10
pemanfaatan limbah lele. Pada Tabel 2 terlihat adanya selisih antara nilai TOM
bagian inlet dan outlet. Selisih nilai TOM ini adalah bahan organik yang
dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen
sehingga nilai TOM sedimen pada perlakuan selalu meningkat. Jika
dipersentasekan nilai pemanfaatan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra
Perlakuan Pemanfaatan TOM oleh cacing sutra
10 20 30 40
P0 23,33 45,78 9,90 20,48
P1 52,44 45,12 7,62 10,00
P2 10,00 57,00 57,00 20,00
P3 8,47 59,44 59,44 24,39
Hasil selisih dari TOM menunjukkan biologi dari cacing sutra mampu
memanfaatkan bahan organik dalam air (Tabel 3). Ketersediaan pakan berupa
bahan organik sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti 2004;
Findy 2011).
Tabel 4. Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing sutra
Parameter Perlakuan Pengamatan hari ke
(%) 0 10 20 30 40
TOM P0 14,920a 23,410
a 24,382,28
a 76,50,40
a 77,610,92
a
P1 14,950
ab 20,670
a 21,432,28
ab 65,882,76
ab 78,565,72
ab
P2 14,950
ab 21,310
ab 23,790,11
ab 72,261,56
bc 71,650,93
ab
P3 15,370
b 24,70
b 29,483,28
b 70,051,20
c 82,821,70
b
C- P0 1,810c 2,030
a 3,500
a 3,540,12
a 4,410,16
b
organik P1 1,810b 1,980
b 2,970,30
ab 3,110,30
ab 4,420,40
b
P2 1,830
b 2,720
c 2,790,02
ab 3,851,66
ab 2,850,25
a
P3 1,080a 2,740
d 4,540,47
b 4,760,54
b 4,520,33
c
Total N P0 0,1830ab
0,3030b 0,2860,03
b 0,3430
c 0,4000,02
b
P1 0,1830
ab 0,3390
ab 0,3370,04
ab 0,3690,04
bc 0,4020,04
ab
P2 0,2620
b 0,2900
ab 0,2350,01
ab 0,2260,02
ab 0,2170,02
ab
P3 0,1770a 0,2950
a 0,2770,03
a 0,2730,06
a 0,2690,09
a
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 95% (uji beda nyata terkecil).
11
Parameter kandungan bahan organik pada sedimen budidaya dengan sistem
resirkulasi dalam wadah bertingkat terlihat pada Tabel 4. Secara keseluruhan nilai
yang diperoleh masih tergolong baik untuk pertumbuhan cacing sutra. Nilai hasil
analisis kandungan bahan organik total (%) tertinggi terdapat pada perlakuan P3
sebesar 82,82% pada hari ke-40 sedangkan kandungan bahan organik terendah
terdapat pada perlakuan P0 sebesar 14,92% pada awal penelitian. Hal ini juga
diperoleh oleh penelitian Sinaga (2012) yang menggunakan media kotoran ayam
fermentasi dengan menggunakan sistem 1 rak yang mendapatkan nilai kandungan
bahan organik sebesar 90,95% pada hari ke 40 dan kandungan bahan organik
terendah sebesar 63,56% pada hari ke-0. Menurut Sinaga (2012) tingginya
kandungan bahan organik akan berpengaruh terhadap aktivitas bakteri yang
menguraikan bahan organik.
Kisaran kandungan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3 di mana
kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 14,92-71,65%
sehingga menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila
dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Kandungan
bahan organik pada sedimen mengalami peningkatan hingga akhir penelitian
karena adanya pengendapan bahan organik dan berkurangnya pemanfaatan akan
bahan organik oleh cacing sutra.
C-Organik tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 4,76% pada hari
ke- 30 sedangkan kandungan bahan organik terendah juga terdapat pada perlakuan
P3 sebesar 1,08% pada awal penelitian. Kisaran kandungan C-organik dapat
dilihat pada Tabel 4 di mana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2
dengan kisaran 1,83-3,85% menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa
cacing sutra bila dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih
besar. Kandungan C-organik yang meningkat mengakibatkan cacing sutra tidak
kekurangan makanan sehingga memberikan peningkatan pada kelimpahan dan
biomassa cacing sutra. C-organik adalah penyusun utama karbohidrat dan lemak.
Di dalam tubuh hewan, karbohidrat dan lemak dioksidasi dan menghasilkan
energi untuk proses metabolisme (Febrianti 2004).
Total N tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 0,402% pada hari ke-
40 sedangkan kandungan bahan organik terendah terdapat pada perlakuan P3
sebesar 0,177% pada awal penelitian. Kisaran total N dapat dilihat pada Tabel 3
dimana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 0,226-
0,290% menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila
dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Total N
yang diperoleh pada penelitian ini mengalami peningkatan dan normal hingga
akhir penelitian karena adanya pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra.
Kisaran total N pada P2 (Tabel 4) lebih tinggi daripada perlakuan lainnya
sehingga perlakuan P2 mengandung protein yang tinggi yang dapat menstimulir
pertumbuhan cacing sutra. Pertumbuhan yang sangat meningkat memerlukan
lebih banyak pengambilan nitrogen. Nitrogen merupakan salah satu unsur penting
bagi kehidupan organisme dan merupakan salah satu unsur utama pembentukan
protein. Senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen
didalam air. Pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi
amonia dan sebaliknya akan berubah menjadi nitrat.
12
Kelimpahan Cacing Sutra
Gambar 1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian
Hasil pengamatan kelimpahan cacing sutra selama penelitian terdapat pada
Gambar 1 yang menunjukkan adanya peningkatan kelimpahan cacing dari awal
penelitian hingga akhir penelitian. Proses terjadinya peningkatan kelimpahan
disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup, sehingga dapat menurunkan
tingkat persaingan antara cacing dewasa dan cacing muda untuk memperoleh
makanan. Ketersediaan pakan mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti
2004, Findy 2011) dan merupakan faktor penting untuk kemampuan
reproduksinya (Kaster 1980).
Peningkatan kelimpahan cacing sutra terjadi pada hari ke-30 dimana proses
perkembangbiakan cacing berlangsung hari ke-20 sampai ke-30 dan berkembang
pada hari ke-60. Lobo et al. (2009) menyatakan cacing-cacing muda
membutuhkan waktu sekitar 21 hari untuk perkembangan embrionya sehingga
pada hari ke-30 dan ke-60 ini cacing-cacing muda tersebut menjadi dewasa dan
memproduksi kokon yang pada akhirnya menetas menghasilkan cacing muda.
Pada penelitian ini, puncak kelimpahan dicapai pada hari ke-60 dengan nilai
kelimpahan tertinggi pada perlakuan P2 mencapai 1.697 individu/m2 diikuti
perlakuan P3 mencapai 1.490 individu/m2, perlakuan P0 mencapai 1.165
individu/m2 dan nilai kelimpahan terendah pada perlakuan P1 mencapai 738
individu/m2 (Lampiran 2). Puncak kelimpahan (individu/m
2) dicapai pada hari ke-
60 sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang
menggunakan kotoran ayam tanpa fermentasi dengan kelimpahan sebesar 133,510
individu/m2.
Puncak kelimpahan yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat
dengan sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem
resirkulasi 1 rak, kelimpahan tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 421,145
individu/m2
(Puspitasari 2012) dan 110,32 individu/m2
(Sinaga 2012). Hildayanti
(2012) menggunakan kotoran ayam fermentasi namun menggunakan sistem
sirkulasi dengan pergantian air pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari
ke-50 sebesar 255,091 individu/m2. Penelitian Febriyani (2012) yang
menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan penggantian air baru setiap saat
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
0 10 20 30 40 50 60 70
Kel
impah
an (in
div
idu/m
2)
Pengamatan ke- (hari)
P0 P1 P2 P3
13
pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-40 sebesar 447,904
individu/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan kotoran ayam
fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian air baru pada
wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-45.
Puncak kelimpahan cacing sutra pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel 5.
Penurunan kelimpahan terjadi setelah puncak kelimpahan yaitu pada hari ke-70
dikarenakan cacing sutra dewasa yang telah bereproduksi sudah mencapai umur
tua secara biologis sehingga menyebabkan kematian cacing sutra. Menurut
Hildayanti (2012) Penurunan kelimpahan dikarenakan induk yang sudah dewasa
tidak lagi menghasilkan individu baru, cacing yang masih muda belum mampu
bereproduksi dan adanya kematian cacing yang sudah mencapai usia tua. Hal ini
dibuktikan dengan pengamatan secara visual, dimana pada saat sampling hari
ke-70 tidak banyak ditemukan cacing dewasa.
Tabel 5. Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak populasi (hari
ke-60)
Perlakuan Kelimpahan (individu/m2) Biomassa (kg/m
2)
P0 1.165146,58 3,590,39
P1 73844,56 2,150,16
P2 1.69772,70 6,470,04
P3 1.49017,59 4,420,12
Biomassa Cacing Sutra
Gambar 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian
Hasil pengukuran biomassa cacing sutra dapat dilihat pada Gambar 2 yang
menunjukkan puncak biomassa dicapai pada hari ke-60 dengan nilai biomassa
tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada perlakuan P2 mencapai
6,47 kg/m2 diikuti P3 mencapai 4,42 kg/m
2, P0 mencapai 3,59 kg/m
2 dan nilai
biomassa terendah pada perlakuan P1 mencapai 2,15 kg/m2 (Lampiran 3). Puncak
biomassa (kg/m2) dicapai pada hari ke-60 sama seperti penelitian yang dilakukan
oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang menggunakan kotoran ayam tanpa
fermentasi dengan biomassa sebesar 365 g/m2.
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0 10 20 30 40 50 60 70
Bio
mas
sa (k
g/m
2)
Pengamatan ke- (hari)P0 P1 P2 P3
14
Puncak biomassa yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat dengan
sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi 1 rak,
biomassa tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 1.497,80 g/m2
(Puspitasari
2012) dan 528,63 g/m2
(Sinaga 2012). Hildayanti (2012) menggunakan kotoran
ayam fermentasi namun menggunakan sistem sirkulasi dengan pergantian air pada
wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-50 sebesar 1.275,46 g/m2. Penelitian
Febriyani (2012) yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan
penggantian air baru setiap saat pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari
ke-40 sebesar 2.239,52 g/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan
kotoran ayam fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian
air baru pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-45 sebesar 886,67 g/m2.
Puncak biomassa cacing sutra pada pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel
5 diatas. Penurunan biomassa berkaitan dengan penurunan kelimpahan.
Penurunan terjadi setelah tercapainya puncak biomassa tertinggi, hal ini
dikarenakan jumlah individu dewasa mulai berkurang sedangkan individu muda
masih kecil dan belum mampu bereproduksi sehingga memiliki biomassa yang
berbeda pada sebagian perlakuan. Menurut Kasiorek (1974) pertumbuhan cacing
sutra meningkat pesat pada saat akan mencapai kematangan gonad.
Hasil kelimpahan dan biomassa pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik itu dengan
menggunakan sistem yang sama (resirkulasi) maupun sistem yang berbeda (tanpa
resirkulasi), dengan menggunakan kotoran ayam fermentasi maupun yang tidak
difermentasi dan menggunakan limbah budidaya intensif. Perbedaan jumlah
kelimpahan dan biomassa dipengaruhi faktor kualitas air dan sedimen yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.
Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pola pertumbuhan biomassa
berkorelasi positif dengan kelimpahannya. Perlakuan yang terbaik yang diperoleh
dari penelitian ini adalah perlakuan P2 yang merupakan perlakuan dengan
kelimpahan dan biomassa tertinggi (Gambar 3). Hal ini disebabkan bahan organik
sedimen budidaya (%) yang cukup dan kualitas air serta media yang sudah baik
untuk pertumbuhan cacing sutra.
(a) (b)
Keterangan : Huruf yang berbeda pada bar menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 3. Kelimpahan populasi (a) dan biomassa (b) cacing sutra pada hari ke-
60.
ab a c bc
0
200
400
600
800
1000
P0 P1 P2 P3
Kel
impah
an(i
nd/m
2)
Perlakuan
ab a c b
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
P0 P1 P2 P3
Bio
mas
sa (
kg/m
2)
Perlakuan
15
Berdasarkan hasil uji BNT (Tabel 6) pertumbuhan biomassa cacing sutra
yang paling baik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat adalah perlakuan
P2. Biomassa cacing sutra sangat dipengaruhi oleh faktor kualitas air, kandungan
bahan organik dan nilai TOM air. TOM air yang tinggi menyebabkan biomassa
cacing sutra yang tinggi pada perlakuan P2.
Tabel 6. Data parameter produksi cacing sutra.
Perlakuan Kelimpahan
(individu/m2)
Biomassa
(kg/m2)
P0 897230,5 ab
2985,4 ab
P1 471087,9 a 1550,1
a
P2 1428739,6 c 5871,0
c
P3 1223160,9 bc
3817,1 b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 95% (uji beda nyata terkecil).
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan terbaik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat diperoleh
pada perlakuan pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian
limbah dari budidaya lele intensif yang menghasilkan produksi biomassa sebesar
6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m
2.
Saran
Budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat
perlu diaplikasikan untuk petani budidaya karena dengan sistem ini menghasilkan
produksi 2,9 kali lebih besar dari sistem resirkulasi 1 rak.
DAFTAR PUSTAKA
Angel J, Pilar R. 2004. Tubifex tubifex chronic toxicity test using artificial
sediment: methodological issues. Limtenica 23: 25-36.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the
examination of water and waste water, 21st edition. Washington, DC: American
Public Health Association.
Aquaculture SA. 1999. Water quality in freshwater aquaculture ponds. Primary
industries and recources South Australia. Fact sheet.
Chumaidi, Zaenuddin, Fiastri. 1988. Pengaruh debit air yang berbeda terhadap
biomassa cacing rambut (Tubifisid). Buletin Perikanan Darat. 7(2):41-46.
16
De Schryver P, Crab R, Defoirdt T, Boon N, Verstraete W. 2008. The basics of
bioflocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125-
137.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Minapolitan Bojolali komitmen
kenaikan produksi perikanan 353% pada tahun 2014.
www.perikananbudidaya.kkp.go.id/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=218.[5 November 2013].
Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E. 1991. Pengaruh wadah dan kualitas
media terhadap biomass Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.
Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E, Suprayudi A. 1992. Pengaruh tinggi
air dan tinggi substrat terhadap biomassa Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.
Efendi M. 2013. Melirik Budidaya Tubifex sp. di Temanggung. Akuakultur Edisi
No.3 Th I.
Febrianti D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap
pertumbuhan kepadatan (individu/m2) dan biomassa cacing sutra [skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Febriyani M. 2012. Budidaya cacing olighochaeta dengan padat tebar berbeda
pada sistem terbuka [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Findy S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan
biomassa cacing sutra (Tubificidae) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Gunadi B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (Clarias
gariepinus) dengan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan.
[Disertasi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hadiah S. 2003. Kualitas kompos dari kotoran domba dan sisa pakan dengan
menggunakan tiga macam aktivator [skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Hikmayani Y, Yulisti M, Hikmah. 2012. Evaluasi Kebijakan Peningkatan
Produksi Perikanan Budidaya. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan. Jakarta.
Hildayanti W. 2012. Budidaya cacing Oligochaeta dengan padat penebaran
berbeda pada sistem resirkulasi dengan pergantian air [skripsi]. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Kasiorek D. 1974. Development cycle of Tubifex tubifex muller in experimental
culture. Pol. Arch. Hydrobiol 21: 411-422.
Kaster JL. 1980. The reproductive biology of Tubifex tubifex muller (Oligochaeta,
Tubificidae) under various trophic conditions. Int. Revueges. Hydrobiol
72:709-726.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan . 2011. Kelautan dan Perikanan
dalam Angka 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lobo H, Nascimento S, Alves RG. 2009. The effect of temperature on the
reproduction of Limnodrilus hoffmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia
26(1): 191-193.
Marchese MR. 1987. The ecology of some benthic oligochaeta from the Parana
river, Argentina. Hydrobiol 155:209-214.
17
Marian MP, Pandian TJ. 1984. Culture and harvesting technique for Tubifex
Tubifex. Aquaculture 42:303-315.
Nurjariah. 2005. Kelimpahan bakteri dalam budidaya cacing sutra Limnodrilus sp.
yang dipupuk kotoran ayam hasil fermentasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Pasteris A, Bonomi G, Bonacina C. 1996. Age, stage and size structure as
population state variables for Tubifex tubifex. Hydrobiol. 334:1-3.
Puspitasari A. 2012. Peningkatan rasio C/N dengan penambahan tepung tapioka
pada substrat budidaya cacing sutra (olgochaeta) sistem resirkulasi [skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Shafrudin D, Efiyanti W, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik
dari substrak Tubifex sp di alam. Jurnal Akuakultur Indones 4(2): 97-102.
Sinaga BS. 2012. Pertumbuhan cacing sutra pada media kotoran ayam yang
difermentasikan bahan aktivator dengan dosis yang berbeda dalam sistem
resirkulasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Syafriadiman. 1996. Pengkulturan Cacing Sutra. Jabatan Sains Laut, Fakulti Sains
Sumber Alam. Universiti Kebangsaan Malaysia. Laporan Penyelidikan (Tidak
diterbitkan). 39 halaman.
Syafriadiman, Masril. 2013. Biomassa Tubifex dalam media kultur yang berbeda.
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak
diterbitkan). 52 halaman.
Tahapari E, Sularto, Nurlaela I. 2010. Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan
larva/benih ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang dilakukan
secara outdoor di kolam tanah. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar. Subang.
Van Wyk P, Scarpa J. 1999. Water quality requirements and management in
farming marine shrimp in recirculating freshwater systems. Florida Department
of Agriculture and Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic
Institution.
Yi Y, Lin CK, Diana S. 2003. Hybrid catfish (Clarias macrocephalus x C.
gariepinus) and Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in an integrated pen-cum
pond system: growth performance and nutrient budgets. Aquaculture 217:395-
408.
18
Lampiran 1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah
bertingkat
Wadah bertingkat untuk P0 dan P1
Wadah bertingkat untuk P2 dan P3
Keterangan:
A : Pemasukan air pada wadah budidaya cacing sutra di tingkat 1
B : Pengeluaran air ke tingkat 2
C : Pemasukan air ke tingkat 2
D : Pengeluaran air ke tingkat 3
E : Pemasukan air ke tingkat 3
F : Pengeluaran air di tingkat 3 kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1
(untuk P0 dan P1)
Pengeluaran air ke limbah lele kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1
(untuk P2 dan P3)
Wadah yang digunakan ukuran 100 cm x 50 cm x 15 cm Luas wadah 0,5 m2
A
B
C D
E F
B
G G H
B A
A B
C
D
C
D
E
F
E
F
19
Kotoran Ayam Limbah Lele
Cacing Sutra Fermentasi kotoran ayam
Cacing sutra pada wadah budidaya Sampling cacing sutra
Perhitungan jumlah kelimpahan Pengukuran bobot biomassa
20
Lampiran 2 Kelimpahan cacing sutra (individu/m2) selama penelitian
Pengamatan Perlakuan
hari ke- P0 P1 P2 P3
0 2681,57 2670,31 2681,57 2670,31
10 879,51 792,48 1893,31 1497,86
20 573,52 614,69 1893,31 1497,86
30 1551,76 2017,04 4342,35 3891,17
40 628146,58 60444,56 7712,35 3891,17
50 792146,58 76844,56 127091,47 98039,87
60 1165146,58 73844,56 169772,70 149017,59
70 1150146,58 69344,56 162272,70 141517,59
ANOVA hari ke-60
SK JK DB KT F hit F tab
PERLAKUAN 1047651654915,0 3 349217218305,0 47,695 6,59
SISA 29287293284,8 4 7321823321,2
TOTAL 1076938948199,9 7
F hit > F tabel dan P < 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95%.
21
Lampiran 3 Biomassa cacing sutra (kg/m2) selama penelitian
Pengamatan Perlakuan
hari ke- P0 P1 P2 P3
0 0,60,00 0,60,00 0,60,00 0,60,00
10 0,270,03 0,230,01 0,570,02 0,400,00
20 0,170,01 0,180,01 0,360,02 0,360,03
30 0,440,00 0,570,03 1,350,02 1,100,02
40 1,890,47 1,760,16 2,250,03 1,920,14
50 2,470,49 2,310,17 3,970,23 3,050,09
60 3,590,40 2,150,16 6,470,04 4,420,12
70 2,900,42 1,740,14 4,610,21 3,760,11
ANOVA hari ke-60
SK JK DB KT F hit F tab
PERLAKUAN 19553138,124 3 6517712,708 131,059 6,59
SISA 198925,219 4 49731,305
TOTAL 19752063,343 7
F hit > F tabel dan P < 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95%.
22
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 27 Juli 1985 sebagai anak
kedua dari pasangan Prof Dr Ir Syafriadiman dan Yumna, SPd. Pendidikan sarjana
ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2012, penulis
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur di Sekolah Pascasarjana IPB. Biaya
pendidikan diperoleh dari orang tua penulis.
Penulis bekerja sebagai staf Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan
Pangan (BPPKP) Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Bidang pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab penulis adalah staf Subbid Distribusi dan Harga Pangan.
Top Related