TI LEMBURBUDAK LEMBUR
Lahir setengah abad silam disebuah kota kecil yang tak
jauh dari ibu-kota Negara. Banyak orang tak tahu kota
tempat pengarang buku “Multatuli”, pernah menajdi Residen
saat kita dijajah Belanda hampir tiga setengah abad silam.
Ketika balita aku disekolahkan ke TK Bhayangkari yang
letaknya dekat dengan kantor ayah Polres Lebak. Semasa
sekolah dasar aku merasakan sangat nyaman masuk di SD
IV banyak teman-taman yang sering bermain bersama,
ketemu bermain lagi disekolah ditambah jaraknya yang
dekat dengan tempat tinggalku. Tahun 1970 aku tamat dan
melanjutkan ke SMPN 1, yang berada didepan sekolahku
yang lama dijalan Multatuli, Sekolah ini merupakan
bangunan peninggalan penjajah dengan akustik yang
sangat baik, jendela dan pintu besar serta tinggi, penuh
dengan ventilasi yang sangat prima sehingga tanpa ACpun
ruang belajarku terasa nyaman, bangunannya sangat kokoh
dengan dindingnya yang tebal.
Menginjak usia remaja aku melanjutkan ke SMAN tahun
1974 yang letaknya dijalan Pahlawan. Disekolah ini aku
bukan siswa yang cerdas melainkan siswa yang biasa-biasa
saja, kalau diskusipun cuma jadi pendengar yang baik saja,
tak banyak protes saat belajar dikelas bahkan cenderung
lebih banyak diam. Dikota kabupaten waktu itu tak ada
perguruan tinggi, kresidenan Banten belum terbayang akan
menjadi provinsi, aku tak berhasil melanjut ke UGM, juga ITB
bahkan ke STANpun aku kalah bersaing. Sekitar tiga atau
empat bulan aku menganggur dirumah, kemudian ikut
seleksi Proyek Pengadaan Guru (Crash Program) yang
diselenggarakan IKIP-Jakarta guna mencukupi kebutuhan
guru kala itu. Alhasil tanggal satu Maret tahun 1978 aku
dapat kepercayaan Mendikbud Bapak DR Daoed Yoesoef
membantu mencerdaskan kehidupan bangsa.
ULIN DI LEMBUR
Ketika kecil tak banyak pengalaman istimewa yang
kualami, biasa seperti budak lembur lain main gala-asin
(gobak) dijalan Multatuli, bermain petak umpet disekitar
asrama polisi-2 Lebaksaninten, main bola tendang di Alu-
alun kota Rangkasbitung. Main ketepel bersama anak kolong
untuk memdapatkan buah kenari, buah asam atau buah lain
yang tetangga miliki. Ada pengalaman bermain yang paling
aku ingat dalam benak-pikiranku, ketika asik bermain gala-
asin malam-malam di jalanan, spontan saja dari arah
belakang ada sepeda yang remnya blong menabrakku,
gigiku lepas dan bibirku robek. Setelah kejadian itu Ayahku
tahu kalau anaknya sering main ditempat-tempat yang
berbahaya, yang sekaligus dianggapnya merusak citra buruk
keluarga. Aku tak lagi diperkenankan main dengan teman
yang dianggapnya nakal, dasar budak lembur dilarang ini
bikin ulah yang lain.
ii
ii
Ulin dilembur saat bulan puasa kala itu terasa
sangatlah lama, dan sangat membosankan menunggu
mahgrib. Tak ada taman dan tempat rekreasi, hanya ada
bioskop itupun hanya main pada malam hari Apa yang aku
lakukan hanya dengan ngabuburit, mengisi waktu luang
dengan bermain-main dimesjid Agung, stasiun kereta, main
bola dilapangan pasir Ciberang.
Distasiun aku bisa ikut kereta langsir, atau mandi
bareng ditempat pengisian air untuk kereta api yang
menggunakan ketel uap. Stasiun kereta dikotaku terkesan
sangat Blanda banget, banyak asesoris stasiun produk
penjajah itu sangat antik dan unik, kini aku tak melihat lagi
apa yang pernah kutahu 40 atau 30tahun silam distasiunku.
Lokomotif berwarna khas hitam terkesan gagah, antik dan
sangat unik dulu banyak bertebaran didepo stasiun, kini tak
satupun pernah aku lihat. Tentu warga dan generasi anak
atau cucuku tak pernah lagi bisa menyaksikan kejayaan atau
kesibukan stasiun terbesar di propinsi Banten, tapi aku tetap
berharap suatu saat pemerintah daerah atau siapa saja yang
memiliki apresiasi terhadap moda angkutan ini, dapat
membangun monumen dengan menyertakan lokomotif yang
antik nan unik ini............... semoga !
Bermain bola dilapang pasir Ciberang sering aku
lakukan ketika masuk musim kemarau, jadwal mandi sore
biasa pergi ke sungai yang jarak dari rumahku kurang dari
satu km. Sebelum acara mandi biasanya aku dengan teman-
iii
iii
teman bermain bola, atau ada juga yang bermain-main
numpang ikut naik rakit, dilembur lebih dikenal dengan
sebutan getek. (Sinonim lain getek adalah geli bahasa sunda
khususnya rangkas) Memang bermain bola dilapang berpasir
baik untuk latihan dasar parmainan tersebut, alasanku
setelah dicoba bermain dilapangan rumput lebih ringan,
lebih lincah dan cepat geraknya. Yang tak kalah menarik
gerak pinggul teman yang main bola dipasir, biasanya
tampak lucu gerak langkah sepertinya cepat tapi malah
gerak pinggul atau pantatnya yang kelihatan labih
cepat ........ teman lain nyebutnya ngegol !
Di tempatku tinggal Lebaksaninten ada daerah yang
rendah kalau musim hujan sering mengalami banjir, disaat
air banjir telah surut barudak lembur berpesta pora mencari
ikan lepasan dari empang atau kolam tetangga. Saat
membahagiakan buat budak lembur untuk perbaikan gizi
empat sehat lima sempurna, makan dengan lauk-pauk yang
mengasikan. Nikmatnya lagi hasil tangkapan dan diolah
bersama-sama teman saat ngobak atau mengeringkan sisa
genangan banjir dihalaman atau tempat lain yang sering
tergenang luapan banjir.
NGUSEUP DI LEMBUR
Ada kebiasaan budak lembur yang tak kalah menarik
yaitu mancing belut dilubang atau liang, anak-anak
menyebutnya dengan istilah ngurek. Memang situasi dan
iv
iv
lingkungan sekarang sangat jauh berbeda, dibanding
dengan jaman aku masih kanak-kanak. Ikan alam seperti
gabus, betok, sepat dan sebangsanya sudak tak lagi
kujumpai diselokan, parit-parit, gorong-gorong saluran
buangan kota Rangkasbitung.
Kesukaanku yang baru adalah mancing (nguseup) ke
sawah, rawa, sungai dan selokan atau gorong-gorong yang
merupakan saluran buangan di kota. Memang mengasikan
saat menunggu umpan disambut ikan, lebih asik lagi
mancing dilakukan setelah selesai turun hujan, ikan lele,
gabus (bayong) dan banyak ikan lain yang ngumpet lapar
mencari mangsa. Mancing yang paling seru dengan joran
dari galah (urang lembur nyebutna gantar) kail diberi umpan
anak kodok (bancet) saat ikan menyambar biasa
mengeluarkan suara khas kemudian joran disentak (urang
rangkas nyebutna ngadudul), kalau agak malas nunggu cara
mancing lain yang sering aku lakukan dengan menancapkan
joran (lebih pendek) dan sudah diberi umpan cacing tanah
ditinggal (budak lembur nyebutna neger), baru ke-esokan
harinya pagi-pagi sudah ditengok, jangan sampai keduluan
teman lain mustahil ikan masih ada yang tersangkut
dikailku.
Ada pengalaman menarik ketika aku selesai mancing di
Kalimati, yang ada dibelakang sekolahku. Banyak limbah
buangan kota yang masuk kekali tersebut, saking asiknya
aku memancing dan Alhamdulillah dapat ikan yang lumayan
v
v
banyak untuk dibakar bersama teman sebagai asupan
tambahan gizi yang baik. Ikanpun disiangi bersama dan saat
membersihkan ikan gabus, didalam isi perutnya ditemukan
perban berupa kain kasa lengkap dengan plester bekas
koreng. Aku memahami karena disitu ada sebuah rumah
sakit swasta yang cukup dikenal dan banyak pasien berobat
kesana. Pengalaman ini membuatku selalu ingat jika aku
melihat ikan sebesar yang pernah kudapatkan.
Mancing disungai Ciberang atau Ciujung lain lagi, ikan
yang kami dapat biasa adalah baung/caung/keting, parai
atau ikan pemakan bangkai (ikan sili). Yang paling
menggelikan ketika asik nunggu ikan menyantap umpanku,
ikan buntal mendahului menyambar umpan. Alhasil joran
aku sentak dan kudapat ikannya, namun korban kailnya tak
dapat kupakai lagi kail yang satu-satunya ditelan ikan
buntal.Akibatnya mancing selesai dan harus dilanjutkan
besok lagi.
Cerita mancing memang tak bisa aku ungkapkan
sebanyak yang kualami ketika jadi budak lembur, tapi
pangalaman menarik lainnya saat mancing di Cikatapis
bersama teman-taman main sampai-sampai aku pegal sekali
nyentak-ngumpan dan nyentak lagi tak ada habis-habisnya.
Walau yang kudapat cuma parai, beunteur, tampele dan
sesekali betik. Ketika aku pindah ke tempat yang biasa
untuk memandikan kerbau, ternyata kasibukanku semakin
bertambah nyentak-ngumpan-nyentak lagi. Ada apa dengan
vi
vi
kebiasaan kebo guyang dengan keberadaan ikan-ikan dikali,
apa si kerbau membawa pasokan makanan yang berlimpah
atau membuat ikan menjadi nafsu nyambar umpanku.
Fenomena ini belun dapat kujawab hingga kini, walau aku
sudah meninggalkan lemburku lebih dari tiga puluh tahun.
Hanya aku ingat jika suatu saat ada lomba mancing dikali
kecil sperti anak sungai Ciberang tadi diadakan, jelas aku
akan memilih tempat yang sering dibuat guyang kebo itulah
sebagai tempat favorit yang kupilih. Ternyata selain habitat
ikan yang paling disuka, tempat mandi kerbaupun menjadi
pilihan lintah/lentah untuk mendapatkan banyak makanan.
Pengalamanku ketika kail tersangkut di akar pohon kirai
yang banyak tumbuh dipinggiran kali, kucoba untuk turun
mengambil dan ngakali kail tenyata lintah-lintah langsung
menghampiri ketika aku menyeburkan diri kekali. Sangat
peka daya penciuman hewan ini, aku tak lagi sanggup untuk
melanjutkan mengambil kail yang tersangkut tadi. Alasanku
kerbau sebesar itu mungkin sanggup nahan hisapan lintah
yang ratusan jumlanya nempel dan menghisap daranya, tapi
aku mana sanggup mendingan kuurungkan untuk ngakalan
kail ...... toh ikannya sudah banyak kudapat.
HIRUP NGA RANTAU
SAKOLA DEUI
Seteleh lulus dan tamat SMA ikut Sipenmaru tak dapat
kuraih seleksi STAN juga gagal, tiga hingga empat bulan aku
vii
vii
masih memusingkan dan merepotkan orang tua dilembur
karena tidak melanjutkan, alias kata urang lembur cicing bae
di imah. Perasaan minderwardegh mulai menyelimuti
perasaanku, padahal beberapa bulan lalu aku punya
kebanggaan yang semasa dikelas tiga SMA. Memang dikota
kabupaten waktu itu terasa sekali aku dan banyak temanku
menjadi pusat perhatian adik-adik kelas dua, satu bahkan
adik kelas lain diSMP. Apalagi hanya satu-satunya kelas tiga
SMA jurusan IPA sekabupaten, siswanyapun hanya 36orang
dengan dihuni lima siswi wanita dan sisanya siswa putra
calon scientist.
Setelah tamat dan tak berhasil mengikuti seleksi ke
perguruan tinggi yang kuharapkan, aku mulai sadar angan-
angan dan kemampuan yang kumiliki barangkali tidak punya
hubungan harmonis sehingga tak berlama-lama kuputuskan
untuk ikut seleksi Proyek Pengadaan Tenaga Pendidik yang
diseleggarakan IKIP Jakarta. Kuliah kujalani seperti teman-
teman kuliahan lain, berangkat pagi jalan kaki ke Gandaria
nunggu buskota ”Pelita Mas Jaya” jurusan Gandaria-
Mester (Jatinegara), turun di Cawang-Panci naik Mayasari
Bhakti jurusan Blok M-Rawamangun, rutinitas itu kulakukan
tiap hari dan kembali ke rumah kakak sepupuku menjelang
mahgrib di Palsigunung.
Ada hal istimewa menurutku ,kuliah pada proyek Crash
Program saat itu karena berikatan dinas. SPP sebesar Rp
2.500 dibayarkan dari uang saku yang kudapat sebesar Rp
viii
viii
15.000, sehingga aku masih memperoleh sisa untuk jajan
dan transport sebesar Rp 12.500. Memang kebutuhan
tenaga pendidik saat itu sangatlah kurang, sedikit sekali
alumni di SMAku yang punya minat menjadi tenaga
pendidik, bahkan siswa-siswi yang berprestasi tidak sama
sekali interest terhadap dunia pendidikan. Alhamdulillah
belajar di IKIP Jakarta yang dijalani satu tahun ini dapat
kuselesaikan dengan baik dan tepat waktu, walau ada
sebagian teman-teman lain harus mengulang enam bulan
kedepan guna menyelesaikannya.
MIMITIAN NGAJAR BARUDAK
Nota dinas yang kuperoleh sesuai harapan karena
dekat dengan tempat tinggal ku saat kuliah, aku menghadap
Bp Ibrahim Martini BSc yang ketika itu beliau menjadi kepala
sekolah diwilayah Jakarta timur. Alhasil disekolah induk guru
IPA sudah lengkap kemudian aku diantar stap TU Bp Putu
menuju kelas jauh dipinggiran ibu-kota negara, tepatnya
kurang dari satu km berbatasan dengan propvinsi Jawa Barat
atau kabupaten Bekasi. Tak terbayangkan daerah pinggiran
ibu-kota negara kala itu terkesan sangat menyeramkan,
angkutan yang kugunakan colt jadul kata anak-anak mah
angkot-doyok kadang-kadang naik angkot yang lebih unik
lagi, kendaraan bekas pampasan perang seperti mobil yang
bacaannya ”Powerwagon” ada lagi ”Gaz” entah mobil
produk dari mana. Yang jelas aku tak pernah lagi melihat
ix
ix
kendaraan merk unik tersebut berkeliaran dijalanan.
Perjalanan menuju tematku mengajar kurang lebih sepuluh
kilometer dari tempat tinggalku, dari Pal menuju trafik light
Cibubur sangat ramai karena melewati jalan raya Bogor,
memasuki kawasan Cibubur kepedalaman inilah perasaan
mulai mengganggu benak pikiranku. Melewati jalan yang
belum hotmix, aspal siram ada yang masih tanah merah,
kanan-kirinya kebun karet, ada lapang tembak, rimbunan
hutan bambu, kebun rambutan dan kebun durian serta
kebun-kebun lain yang kurang terpelihara oleh pemiliknya.
Lokasi tempat aku bertugas notabene ibu-kota negara
kondisinya seperti yang kualami ini tentu sangat bertolak
belakang dengan bayanganku sebelumnya, beda memang
kotaku kecil sebuah kabupaten tempat aku lahir dan
dibesarkan disana, sangat strategis dekat dengan Kantor
anggota dewan, RSUD Ajidarmo, Alun-alun kota
Rangkasbitung, Lembaga Pemasyarakatan, Kantor
pemerintah dati II dan Sekolahan. Saat menjelang bel
terakhir usai langsung pikiranku mengawang-awang
membayangkan lagi perjalanan pulang aku akan kembali
melewati rimbunnya hutan bambu dan kebun karet .........
yang mulai gelap disenja menjelang petang. Ada peribahasa
istilah lain kata orang bijak ”berakit-rakit ke hulu, berenang-
renang ketepian”, artinya bersakit-sakit dahulu bersenang-
senang kemudian. Apa yang aku alami tiga puluh tahun
silam sangatlah bermakna bagiku, sehingga dapat bertahan
x
x
dan tetap komit terhadap dunia pendidikan, walau saat
masuk aku diangkat menjadi guru dan kini tetap guru Insya
Allah kelak diakhir masa purnabhakti-pun tetap tak berubah
predikatku.
NGARAOSAN JANTEN GURU
Pengalaman mendidik dan mengajar disekolah yang
demikian panjang, bahkan lebih dari dua-pertiga masa
kerjaku sudah kuhabiskan bergelut dengan anak-anak. Tentu
banyak siswa-siswi sudah berhasil menjadi manusia dewasa
yang sukses, tetapi ada pula siswa yang kurang beruntung.
Dengan kehidupan yang kurang layak dan sangat
berkekurangan, keterbatasanku sebagai manusia juga turut
menyadarkan untuk tetap komit terhadap pendidikan. Ada
perasaan bangga.......... ! bahkan boleh dikatakan sering
ketika bertemu muridku dahulu yang biasa-biasa saja,
hidupnya tak sesukses teman-temannya menegurku dijalan,
dipasar atau ditempat lain tanpa ragu dan sangat ramah....
pak masih di196. Sapaan dan teguran sederhana itu bagiku
punya makna cukup dalam, aku mesti menjaga komitmentku
dan tentu kompetensi atas profesi ini. Banyak hal keluh
kesah, suka dan duka didalam menjalani pekerjaan selaku
pendidik, tapi bagiku pekerjaan harus diselesaikan sampai
masa tugasku berakhir. Yang penting bagaimana profesi ini
dapat kita lakoni dan nikmati, baik sebagai dalang maupun
kita sebagai penikmat wayang. Peserta didik tidak ubahnya
xi
xi
seperti atau mirip wayang, memiliki karakter dan sifat yang
beraneka ragan sama halnya wayang. Bagaimana cerita
happy-endingnya yang diharapkan penonton, notabene
sama dengan orang tua murid. Apa harapan mereka
terhadap anaknya, jadi presiden, pembantu presiden,
cendekiawan apa punakawan atau yang lainnya.
Banyak sudah siswa-siswiku dahulu kini menyekolahkan
anak-anaknya ketempatku mengajar, alasan mereka
mendidik anak khususnya anak kandung tentu tidak boleh
sembarang, asal sekolah apalagi diera transformasi-
informasi demikian canggih dan era globalisasi yang tak
terbendung dalam dunia maya serta size efek dari keduanya
degradasi moral remaja. Tentu pemilihan sekolah dan
tenaga pendidik yang ada didalamnya menjadi
pertimbangan yang menentukan senioritas, kualitas dan
kapabilitas serta akuntabilitas parapengajar mereka dahulu
menjadi referensinya. Kami tidak sombong itu fakta yang
didengar, direkam teman sejawat dilingkup sekolah.
Harapan ini tentu memicu dan memacuku bersama rekan-
rekan seprofesi untuk memikul tanggung jawab
merealisasikannya, harapan-harapan orang tua murid inilah
yang terus memotivasi-ku untuk tetap bertahan dan lestari
pada profesi ini.
PANGALAM GURU NGORA
xii
xii
Pengalaman mengajar dan mendidik ketika aku
memulai profesi ini, sangat jauh dari apa yang kualami saat
aku menjadi murid atau siswa di sekolah dasar sampai
masuk ke sekolah menengah atas. Kebiasaan yang pendiam,
sifat dan watakku sebagai manusia biasa tidak banyak
kelebihan, terutama kebiasaan berbicara dimuka umum atau
teman-teman sebaya disekolah maupun ketika waktu
bermain bersama. Kelebihanku hanya sebagai pendengar
yang baik saja, ternyata memicu dan memacu untuk banyak
belajar dalam segala hal. Aku ingat ketika menempuh ujian
praktek mengajar yang bertempat di perguruan
”Marsudirini”, pada jenjang pendidikan sekolah menengah
pertama waktu itu. Dibuatnya mandi keringat yang
bercucuran tak ada habis-habisnya, mulai dari yang halus
hingga keringat kasar (kata budak lembur nepi kaluar
kesang alus jeung kesang badag). Praktek ujian yang
dilakukan sesuai dengan jurusanku ilmu pengetahuan alam,
demonstrasi dengan melakukan eksperimen dimuka siswa-
siswi kelas tiga guna membuktikan bahwa energi dapat
berubah kebentuk energi lain seperti menjadi energi panas
atau kalor. Dengan bermodalkan alat-alat praktek ipa yang
kupinjam dari SMP swasta di-Tebet dan atas bantuan rekan
calon guru yang juga mengajar disana Bp Wahid.
Alhamdulillah aku dapat alat walau seadanya, menurutku
yang penting ada kalorimeter dan perangkat penunjang
lainnya.
xiii
xiii
Demonstrasipun berlangsung lancar, data isian dan
angka-angka hasil pengukuran dan pengamatan pada
percobaan ini kuperoleh. Giliran perhitungan dan
pengolahan data hasil pengamatan dengan memasukannya
kedalam rumus-rumus bersama siswa-siswi ternyata apa
yang aku dapat, sangat mencengangkan karena hasil akhir
dan kesimpulan yang didapat jauh dari apa yang diharapkan.
Siswa tidak protes melainkan bertanya, kenapa, bagaimana
dan mengapa hasilnya tidak sesuai teori yang dibaca dan
dipelajari dari buku sumber. Pertanyaan sederhana yang
logis dari siswa membuatku harus memutar otak guna
menjawab secara logis permasalahan yang timbul pada
praktek perubahan energi menjadi kalor tersebut. Kupanggil
salah satu siswa yang lumayan kritis kedepan untuk
bersama-sama, mengamati-memeriksa seperangkat alat
yang digunakan demonstrasi. Ternyata siswa itu sendiri
menemukan beberapa kelemahan alat yang memang sudah
tidak layak digunakan praktek. Seperti kondisi kalorimeter
yang sudah banyak berkarat, selang plastik penuh debu
yang telah mengeras , termometer yang skala derajatnya
sudah samar kurang jelas sehingga pembacaan dan
penentuan besaran suhu tidak akurat. Jawabanku yang
dibantu dengan pemeriksaan lapangan oleh siswa terhadap
alat eksperimen tsb, telah membantuku berhasil keluar dari
kesulitan ujian praktek mengajar disekolah tsb.
xiv
xiv
Pengalaman diatas tentu aku berharap tak terjadi saat
aku sudah mengajar disekolah tempatku bertugas,
kenyataan sama saja bahkan jauh lebih minim dan
memprihatinkan, fasilitas disekolah tempatku mengajar,
notabene berada ibukota negara tepatnya pinggiran mabes
TNI Cilangkap. Tak ada sarana laboratorium ipa, tanpa
dilengkapi ruang perpustakaan, tempat belajarpun hanya
ada enam ruang ........, sampai saat ini tetap sama seperti
tiga puluh tahun silam. Tapi untuk praktek ipa- biologi
dengan model observasi lapangan sangat memungkinkan
karena banyak tempat berupa lapangan terbuka, kebun
buah-buahan milik masyarakat, sawahpun tak jauh dari
sekolah, empang/kolam-kolam, kali-kali kecil atau parit-parit
serta habitat lain yang cukup tersedia dilingkungan dekat
sekolah.
xv
xv
Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang yang
ada disekolah kelas jauh ini ketika itu, tak membuatku putus
asa menghadapi siswa-siswi yang sudah hadir disekolah
dengan susah payah. Bayangkan siswa-siswa disekolahku
ketika itu banyak yang berdomisili di Kp Sawah, Payangan,
Leuwinanggung dan wilayah lain bagian dari kabupaten
Bekasi dan Bogor. Mereka mengayuh sepeda berpuluh-puluh
kilometer, tak ada motor apalagi angkutan kota seperti yang
kita saksikan sekarang dijalan-jalan raya. Banyak dari
mereka saat berangkat ditengah jalan diguyur hujan tetap
sampai kesekolah dengan badan basah kuyup, seragam
yang sudah tidak karuan banyak bercak-bercak atau noda
tanah merah, sepeda tak dapat dinaiki karena roda dan
bannya penuh tanah-liat. Banyak siswa yang kreatif
mengurangi derasnya guyuran air hujan dijalan
memanfaatkan payung alam, dengan menaungi kepalanya
menggunakan daun pisang dan daun talas yang lebar, masih
tampak siswa yang beralaskan sendal jepit karena
keterbatasan yang ia miliki Keterbatasan sarana dan
prasarana penunjang yang ada di sekolah kelas jauh ini
ketika itu, tak membuatku putus asa menghadapi siswa-
siswi yang sudah hadir di sekolah dengan susah payah.
Bayangkan siswa-siswa di sekolahku ketika itu banyak yang
berdomisili di Kp Sawah, Payangan, Leuwinanggung dan
wilayah lain bagian dari kabupaten Bekasi dan Bogor.
Mereka mengayuh sepeda berpuluh-puluh kilometer, tak ada
xvi
xvi
motor apalagi angkutan kota seperti yang kita saksikan
sekarang. Banyak dari mereka saat berangkat di tengah
jalan diguyur hujan tetap sampai ke sekolah dengan badan
basah kuyup, seragam yang sudah tidak karuan banyak
bercak-bercak atau noda tanah merah, sepeda tak dapat
dinaiki karena roda dan bannya penuh tanah-liat. Banyak
siswa yang kreatif mengurangi derasnya guyuran air hujan
di jalan memanfaatkan payung alam, dengan menaungi
kepalanya menggunakan daun pisang dan daun talas yang
lebar, masih tampak siswa yang beralaskan sendal jepit
karena keterbatasan yang ia miliki tak menyurutkan mereka
tetap giat hadir dan belajar di sekolah yang dibangun
dengan dana Inpres tahun tujuh-puluhan itu. Seiring kondisi
bangunan yang sudah menua dan sebagian personil
pendidik dan pengajar telah mengabdi lebih dari tiga puluh
tahun disekolah ini, aku tentunya berharap sekolah ini yang
lahannya hasil wakaf dari seorang warga pribumi Pondok
Ranggon dapat tetap bertahan dan langgeng serta produktif
dengan output siswa-siswanya yang berprestasi. Perubahan
lingkungan di luar sekolah demikian pesat secara fisik, para
pendatang berduyun-duyun mencari hunian baru ke
pinggiran ibukota negara, namun apa yang dialami
sekolahku tetap saja langgeng dengan hanya enam ruang
belajar, bangunan Inpres gaya tahun tujuh puluhan yang
tampak dari luar selalu terawat baik. Keadaan di atas aku
tetap bersukur siswa-siswanya kini sudah beralih generasi
xvii
xvii
tidak lagi berjalan kaki, naik sepeda ontel, pakaian yang
sudah seragam dan pertumbuhan badan atau tubuhnya
yang bongsor-bongsor, ini salah satu indikator keadaan
orang tua dan wali murid yang lebih maju serta
berkecukupan. Perubahan-perubahan diatas boleh bahkan
memang harus terjadi pada generasi mendatang sebagai
hasil pendidikan pada masa sebelumnya. Aku berharap
pendidikan dan proses pendidikan yang dilakukan
memperoleh hasil pendidikan tidak sebatas pada perubahan
secara fisik dan kecukupan sandang, pangan serta papan
saja. Perubahan budi-pekerti, kepribadian dan karakter
bangsa yang besar ini kita harapkan bagaimana ...... ?
tak menyurutkan mereka tetap giat hadir dan belajar
disekolah yang dibangun dengan dana Inpres tahun tujuh-
puluhan itu. Seiring kondisi bangunan yang sudah menua
dan sebagian personil pendidik dan pengajar telah mengabdi
lebih dari tiga puluh tahun disekolah ini, aku tentunya
berharap sekolah ini yang lahannya hasil wakaf dari seorang
warga pribumi Pondok Ranggon dapat tetap bertahan dan
langgeng serta produktif dengan output siswa-siswanya
yang berprestasi.
Perubahan lingkungan di luar sekolah demikian
pesat secara fisik, para pendatang berduyun-duyun mencari
hunian baru ke pinggiran ibukota negara, namun apa yang
dialami sekolahku tetap saja langgeng dengan hanya enam
ruang belajar, bangunan Inpres gaya tahun tujuh puluhan
xviii
xviii
yang tampak dari luar selalu terawat baik. Keadaan di atas
aku tetap bersukur siswa-siswanya kini sudah beralih
generasi tidak lagi berjalan kaki, naik sepeda ontel, pakaian
yang sudah seragam dan pertumbuhan badan atau
tubuhnya yang bongsor-bongsor, ini salah satu indikator
keadaan orang tua dan wali murid yang lebih maju serta
berkecukupan. Perubahan-perubahan diatas boleh bahkan
memang harus terjadi pada generasi mendatang sebagai
hasil pendidikan pada masa sebelumnya. Aku berharap
pendidikan dan proses pendidikan yang dilakukan
memperoleh hasil pendidikan tidak sebatas pada perubahan
secara fisik dan kecukupan sandang, pangan serta papan
saja. Perubahan budi-pekerti, kepribadian dan karakter
bangsa yang besar ini kita harapkan bagaimana ...... ?
xix
xix
Top Related