BIOMEKANIKA LARI
Oleh MULIANI
197808062003122001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
i
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara
nugraha-Nya/karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. I G. A. Widianti, M. Biomed.,
selaku Ketua Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang
telah memberikan kesempatan untuk membuat tulisan ini. Penulis menyadari
bahwa usulan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Denpasar, Juni 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL LUAR
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ............................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4
2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi dan Efisiensi Lari .... 4
2.2. Mechanical Analysis .................................................................... 8
2.3. Lari Sprint ..................................................................................... 12
2.4. Energi yang Digunakan dalam Berlari ......................................... 14
2.5. Postur Tubuh dan Pusat Gravitasi Ketika Berlari......................... 21
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 26
3.1 Simpulan ....................................................................................... 26
3.2 Saran ............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 27
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Gaya vertikal dan horisontal dalam berlari .......................................... 6
2.2 Beban saat berlari ................................................................................. 8
2.3 Start pada lari sprint ............................................................................. 13
2.4 Sumber energi untuk terjadinya kontraksi otot .................................... 14
2.5 Sumber-sumber energi untuk olah raga ............................................... 17
2.6 Volume rata-rata oxygen depth pada sistem glikogen laktat
dan alaktat ............................................................................................ 18
2.7 Waktu yang diperlukan untuk pemulihan setelah berolah raga ........... 19
2.8 Letak garis gravitasi normal saat berdiri tegak dilihat dari lateral ....... 22
2.9 Pusat gravitasi seorang pelari ............................................................... 24
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Perbandingan jumlah ATP yang dihasilkan pada setiap sumber
energi .................................................................................................... 16
2.2 Perbandingan daya tahan otot pada setiap sumber energi.................... 16
2.3 Penggunaan sumber energi untuk berbagai jenis olah raga ................ 17
2.4 Perhitungan koordinat pusat gravitasi seorang pelari .......................... 23
v
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ATP : Adenosine Tri Phosphate
cm : centimeter
d : jarak
EMG : Electromyography
F = m * v : gaya = massa * kecepatan
F : gaya
kg : kilogram
kg-m : kilogram meter
kkal : kilo kalori
l : liter
m : meter
m. : musculus
mm. : musculi
n. : nervus
nn. : nervi
t : durasi
v = d * t : kecepatan = jarak * durasi
v : kecepatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia menginginkan hidup dengan sehat. Arti hidup dengan sehat,
yaitu tidak hanya dapat bernafas tapi juga dapat bergerak, berbicara dan berpikir
dengan normal serta dapat melakukan aktivitas sehari-hari sendiri.
Manusia dapat hidup dan bergerak serta berkembang biak karena adanya
kerja sama berbagai sistem dalam tubuh manusia. Sistem-sistem tersebut antara
lain: sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem
digestivus, sistem saraf, sistem urinari, sistem endokrin, sistem reproduksi (Moore
and Agur, 2006).
Sistem saraf sangat penting karena sistem ini mengatur sistem-sistem yang
lain sehingga dapat berfungsi dengan baik, termasuk pergerakan (lokomosi).
Untuk terjadinya lokomosi diperlukan kerja sama otot sebagai penggerak utama,
tulang sebagai penyangga dan sendi untuk membantu terjadinya gerakan.
Lokomosi berarti gerakan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan
merupakan hasil kerja pengungkit mendorong tubuh. Umumnya dorongan
dilakukan oleh extremitas inferior, namun kadang-kadang seluruh extremitas turut
bekerja. Keadaan ini melibatkan penggunaan alat-alat yang melekat pada kaki
ataupun kendaraan. Lokomosi bisa terjadi di atas tanah atau dalam air. Setiap
bentuk lokomosi di atas tanah, melibatkan ketrampilan otot-otot yang memerlukan
2
kekuatan dan energi. Berlari merupakan salah satu jenis lokomosi di atas tanah
(Hamilton et al, 2008).
Lari adalah pertandingan olah raga yang sangat popular dan juga sebagai olah
raga fitness. Namun lari memerlukan tubuh mengabsorpsi beban berulang yang
terus menerus, dan cidera lari umum terjadi. Beberapa pelari memerlukan
pengobatan fisioterapi setiap minggu selama bertahun-tahun untuk menjaga
kesehatan tubuh (anonym, 2010b).
Terdapat faktor-faktor ekstrinsik dan intrinsik yang berperan dalam cidera
akibat lari. Faktor ekstrinsik yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya cidera
adalah: total volume lari dan perubahan volume atau intensitas lari secara tiba-tiba
sedangkan biomekanika lari merupakan faktor intrinsik yang penting. (anonym,
2010b).
Biomekanik berfokus pada mekanika normal tiap bagian tubuh dan deviasi
nilai normal yang akan meningkatkan beban pada tubuh sehingga terjadi cidera.
Ini diakibatkan karena saat berlari terjadi perubahan postur tubuh dan pusat
gravitasi. Walaupun tiap pelari memiliki nilai ambang sendiri terhadap beban saat
berlari namun pronasi kaki berlebihan pada pelari akan mengakibatkan cidera
(anonym, 2010b).
Pengertian mengenai biomekanika berlari yang baik akan mengurangi
pemakaian energi dan memperoleh hasil yang lebih baik. Pelari yang efisien
(dengan tehnik berlari yang baik) akan mampu berlari lebih cepat dengan
penggunaan VO2 max yang lebih sedikit. Pengetahuan ini penting bagi pelatih dan
pelari untuk mengerti konsep dasar biomekanika berlari dan cara-cara untuk
3
meningkatkan efisiensi sehingga dapat memenangkan perlombaan dan mencegah
terjadinya cidera (Hughes, 2008). Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis akan
membahas mengenai faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam berlari.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai biomekanika dalam berlari
sehingga meningkatkan efisiensi lari dan mengurangi cidera.
2. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai faktor-faktor intrinsik yang
berpengaruh dalam berlari.
3. Untuk mengetahui pusat gravitasi saat berlari.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi dan Efisiensi Lari
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi atlit dalam berolah raga antara
lain: jenis kelamin, kekuatan, tenaga dan daya tahan suatu otot. Kekuatan otot
ditentukan oleh ukurannya dengan kekuatan kontraksi maksimum antara 3 – 4
kg/cm2. Sementara kekuatan holding suatu otot 40% lebih besar daripada
kekuatan kontraksinya (Guyton and Hall, 2000b).
Tenaga berbeda dengan kekuatan, karena tenaga adalah jumlah kerja total
yang dapat dilakukan oleh suatu otot dalam periode waktu tertentu. Selain
ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot, juga ditentukan oleh jarak kontraksi, dan
frekuensi kontraksi per menit. Tenaga otot ini dihitung dalam kgm/menit. Tenaga
maksimum otot yang dapat dicapai pada atlit terlatih bila seluruh otot berkerja
bersama-sama adalah sebagai berikut: pada 8 – 10 detik pertama memiliki tenaga
sebesar 7000 kg-m/menit, tenaga pada 1 menit berikutnya sebesar 4000 kg-
m/menit dan tenaga untuk 30 menit berikutnya adalah: 1700 kg/menit. Oleh
karena itu, pada lari 100 meter dapat ditempuh dalam waktu 10 detik. Kecepatan
lari pada jarak ini hanya 1,75 kali lebih besar daripada lari selama 30 menit
(Guyton and Hall, 2000b).
Daya tahan otot sangat tergantung dari nutrisi otot. Seseorang dengan diet
tinggi karbohidrat akan mempunyai simpanan glikogen lebih banyak daripada
5
seseorang dengan diet tinggi lemak. Oleh karena itu, daya tahan tubuh lebih tinggi
pada seseorang dengan diet tinggi karbohidrat (Guyton and Hall, 2000b).
Sementara efisiensi lari dipengaruhi antara lain oleh: stride length, kecepatan,
durasi, gaya dan beban saat berlari. Berlari mendaki bukit akan memiliki panjang
stride yang lebih pendek dan peningkatan rata-rata stride. Sedangkan stride length
ketika berlari menuruni bukit akan lebih panjang dan terjadi penurunan rata-rata
stride (Bird, 2010).
Kecepatan berlari pada tiap individu, memiliki kombinasi stride length dan
rata-rata untuk meminimalkan energi yang diperlukan. Peningkatan kecepatan
akan mengakibatkan peningkatan fleksi panggul dan lutut sehingga tubuh lebih
maju, durasi swing phase serta penurunan support phase (Bird, 2010).
Kecepatan lari merupakan hasil dari perkalian waktu dengan stride length (v
= d * t). Variasi dalam durasi atau stride length akan merubah percepatan lari.
Walaupun stride length yang meningkat adalah cara yang efektif untuk
meningkatkan kecepatan berlari, namun sangat penting untuk mendiskusikan
mengenai tahanan atau penghentian atau kekuatan lari. Seiring dengan
peningkatan stride length, kekuatan tahanan akan meningkat pula. Ini merupakan
suatu pertukaran yang inefisien. Dalam memodifikasi kecepatan berlari, penting
untuk mempertahankan efisiensi lari (Hamilton et al, 2008).
Bila kecepatan lari kurang lebih 6 menit/mil, sebuah siklus lari tercapai
dalam waktu kira-kira 0,7 detik. Waktu tersebut belum memasukkan waktu
kontak tungkai dengan tanah selama 0,22 detik (anonym, 2010 b).
6
Transisi ketika berlari umumnya timbul sekitar 2 m/detik dengan berbagai
variasi. Sebelum terjadinya transisi, kekuatan mendorong sepertinya menghilang.
Tidak ada pemicu yang jelas pada transisi antara berjalan dengan berlari atau
sebaliknya. Namun, telah disepakati bahwa gaya jalan seseorang dapat berubah
ketika upaya yang diperlukan untuk mempertahankan kecepatan terlalu besar
(Hamilton et al, 2008).
Seperti pada berjalan, dalam berlari, gaya yang digunakan untuk
menghasilkan gerakan, memiliki 2 komponen, yaitu: horisontal dan vertikal.
Bagaimana pun, dalam berlari, akibat besarnya peningkatan gaya horisontal, maka
komponen vertikal dapat diabaikan (Wells, 1971).
Gambar 2.1 Gaya vertikal dan horisontal dalam berlari (Bird, 2010)
7
Seiring dengan peningkatan kecepatan saat berlari, jarak menurun sampai
kaki menyentuh tanah hampir di bawah pusat gravitasi. Posisi tersebut
mengurangi bagian tahanan dari fase support dan memberikan perhatian besar
kepada bagian pendorong. Pada kecepatan maksimum, bagian tahanan
menghilang seluruhnya. Penggunaan istilah driving phase pada fase support lari
mengindikasikan dorongan alami (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008).
Durasi setiap fase tergantung dari kecepatan berlari, misalnya pada jogging:
stance phase lebih cepat daripada swing phase. Pada lari jarak jauh, stance phase
sama dengan swing phase. Sementara pada lari sprint, durasi stance phase lebih
pendek bila dibandingkan dengan swing phase (Bird, 2010). Waktu yang
ditempuh pada support phase menurun sesuai dengan peningkatan kecepatan lari
(Hamilton et al, 2008).
Berlari mempunyai beban yang lebih besar daripada berjalan. Ini dapat
dijabarkan dengan rumus: F = m * v (Bird, 2010). Tubuh dan kepala memiliki
beban sebesar 60 % berat badan (Hughes, 2008). Beban pada posisi heel strike
adalah 2 kali berat badan. Sedangkan pada midstance adalah 3 kali berat badan.
Kompresi beban pada sendi-sendi kaki mencapai sampai 10 kali berat badan
sehingga sering mengakibatkan terjadinya fraktur (Bird, 2010).
8
Gambar 2.2 Beban saat berlari (Bird, 2010)
2.2 Mechanical Analysis
Kecepatan berlari dikontrol oleh length dan frekuensi stride. Peningkatan
kedua faktor tersebut mengakibatkan peningkatan kecepatan berlari. Stride Length
maksimum tercapai pada kecepatan lari tertinggi. Sedangkan frekuensi stride
cenderung lebih meningkat pada kecepatan yang lebih tinggi (Hughes, 2008).
Pelari yang baik memiliki stride length yang lebih besar pada setiap stride
daripada pelari yang buruk. Stride length ditentukan dari panjang kaki, range of
motion panggul dan kekuatan otot-otot ekstensor tungkai bawah yang membawa
tubuh ke depan, frekuensi nafas serta kelelahan (Hamilton et al, 2008; Hughes,
2008). Stride length yang optimal tercapai melalui latihan-latihan. Perubahan
stride, baik memanjang maupun memendek dapat meningkatkan kebutuhan energi
(Hughes, 2008). Tubuh segera berpindah ketika melayang di udara, tergantung
9
dari sudut saat takeoff (jarak pusat gravitasi berada di depan takeoff foot), tinggi
pusat gravitasi saat takeoff dan mendarat. Rata-rata stride pada berlari dipengaruhi
oleh kecepatan kontraksi otot dan ketrampilan pelari (Hamilton et al, 2008).
Pada berlari, seperti berjalan, tenaga yang digunakan untuk menghasilkan dan
mengendalikan gerakan adalah kekuatan otot-otot internal dan gaya gravitasi
eksternal, reaksi normal, friksi dan tahanan udara. Tidak ada kecepatan yang
optimal dalam berlari, karena energi yang diperlukan proporsional dengan kuadrat
percepatan. Oleh sebab itu, baik jogging maupun lari sprint, upaya ekonomi
merupakan tujuan yang diinginkan. Untuk mencapai hal ini, pelari perlu
mengobservasi prinsip-prinsip yang digunakan agar dapat berlari dengan efisien
(Hamilton et al, 2008).
Prinsip-prinsip mekanis berlari, antara lain:
1. Berdasarkan hukum kelembaman, tubuh tetap dalam keadaan istirahat
kecuali ada gaya (Hamilton et al, 2008). Gaya yang diperlukan untuk
menghasilkan kelembaman, terbesar saat takeoff dan percepatan namun
terkecil setelah berhenti. Kelembaman menurun sesuai dengan
peningkatan kecepatan (Wells, 1971; Piscopo, 1981; Hamilton et al,
2008).
2. Tubuh akan bergerak dalam garis lurus, kecuali bila dikendalikan oleh
tenaga yang akan merubah arahnya. Ketika berlari dalam lintasan
berkelok-kelok, diperlukan tambahan tenaga agar tubuh tetap berada
dalam garis lurus. Ini dicapai dengan kecenderungan tubuh ke dalam
10
karena kemiringan tubuh akan membawa komponen lateral kepada
tekanan kaki melawan tanah.
3. Sesuai dengan hukum percepatan, percepatan dalam berlari secara
langsung proporsional dengan kekuatan yang menghasilkannya. Semakin
besar kekuatan tungkai bawah maka semakin besar pula percepatan pelari
(Wells, 1971; Hamilton et al, 2008).
4. Berdasarkan hukum reaksi, setiap aksi memiliki reaksi yang seimbang dan
berlawanan (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008). Kekuatan berlari
disediakan melalui reaksi gaya ke atas dan depan sebagai respons gerakan
kaki ke belakang dan bawah. Semakin kecil gaya vertikal, maka semakin
besar gaya horisontal atau gerakan. Pada lari yang efisien, gerakan vertikal
pusat gravitasi diturunkan sampai minimum (Wells, 1971; Hamilton et al,
2008). Seharusnya tidak terdapat lambungan dalam berlari, karena gaya
vertikal hanya cukup untuk melawan gravitasi (Hamilton et al, 2008).
Pada berlari secara efisien, kaki harus menginjak tanah sedekat mungkin
dengan garis gravitasi, kekuatan reaksi untuk gaya dorong maju dan ke
bawah akan menjadi gaya ke belakang dan atas, bekerja memperlambat
gerakan ke depan (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008).
5. Bila hampir seluruh gaya horisontal diarahkan lurus ke belakang, maka
semakin besar kontribusinya menuju gerakan ke depan. Gerakan ke lateral
tidak efisien dan mengurangi tenaga pendorong. Agar dapat bergerak
maju, maka: lutut diangkat ke atas depan, dengan gerakan dari seluruh
extremitas inferior tetap pada bidang sagital. Lengan atas mengayun
11
berlawanan dengan ayunan pelvis dan seharusnya tidak menimbulkan
tambahan gerakan ke lateral (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008). Pada
perempuan bukan atlet, lutut hanya diangkat minimal dengan rotasi
internal paha, kaki dan tungkai bawah dilempar keluar (Wells, 1971).
6. Karena pengungkit panjang menghasilkan kecepatan yang lebih besar pada
ujung distal daripada pengungkit pendek, maka panjang tungkai bawah
pada fase driving seharusnya sebesar mungkin ketika kecepatan
dipertimbangkan. Arah tungkai harus dimaksimalkan sedini mungkin pada
stance phase sehingga terjadi ekstensi maksimal sendi lutut pada akhir
fase driving (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008).
7. Gaya tahanan yang diakibatkan oleh momen kelembaman dari tungkai
bawah yang bebas selama swing phase dapat diminimalkan. Dengan
menekuk lutut dan mengangkat tumit sampai di bawah panggul, tungkai
bawah digerakan lebih cepat agar lebih ekonomis. Lutut yang terangkat
tinggi ini meningkat sesuai dengan peningkatan kecepatan (Hamilton et al,
2008).
8. Gaya tahanan udara dapat diganti dengan pergeseran pusat gravitasi.
Berdiri condong ke depan akan menetralkan pemutaran kepala. Angin
buritan seringkali mempertinggi prestasi (Hamilton et al, 2008).
9. Agar dapat berlari efisien, diperlukan untuk mengeliminasi tenaga yang
tidak diperlukan. Semakin pendek pengungkit, semakin sedikit tenaga
yang diperlukan dan reaksi yang terjadi. Dengan memfleksikan lutut dan
menaikkan tumit di bawah panggul pada fase recovery, kaki digerakan
12
lebih cepat sehingga lebih ekonomis. Tahanan internal yang disebabkan
oleh viskositas sarcolemma dapat diturunkan dengan melakukan
pemanasan. Sementara bila diakibatkan oleh otot-otot pada paha, fascia
dan ligamen, maka dapat dikurangi dengan melakukan peregangan.
Tenaga yang tidak diperlukan pada kontraksi otot yang cepat dihilangkan
dengan memanjangkan stride sepanjang mungkin (Wells, 1971).
2.3 Lari Sprint
Pada lari sprint, objeknya adalah horizontal velocity maksimum. Oleh karena
itu, pelari sprint umumnya menggunakan crouching start (Hamilton et al, 2008).
Pada posisi ini, daya tolak lebih mendekati arah horisontal. Demikian pula ketika
panggul difleksikan, m. gluteus maximus melakukan ekstensi. Otot tersebut tidak
melakukan ekstensi panggul ketika panggul berada dalam keadaan ekstensi penuh
seperti pada berlari (Piscopo, 1981). Permulaan ini memungkinkan pelari untuk
menggunakan gaya horisontal maksimum ketika takeoff, menyediakan percepatan
maksimum melawan kelembaman. Untuk meningkatkan gaya horisontal sewaktu
start sprint, digunakan sepatu spiked dan rintangan awal. Pada awal lari sprint,
pelari menekan melawan tahanan awal yang difiksir pada jalan. Tahanan ini
mengakibatkan kaki dapat mendorong horisontal ketika sedang melakukan
ekstensi maksimum pada panggul, lutut dan pergelangan kaki. Mengerakkan
bagian belakang kaki lebih jauh ke belakang rintangan, dapat meningkatkan
kekuatan mendorong tapi menurunkan waktu yang diperlukan untuk
mengaplikasikan gaya, yang akan menghasilkan impulse yang lebih kecil (Ft).
Selama fase percepatan, segera setelah start, gaya horisontal kaki secara perlahan-
13
lahan menghilang sampai pada level kecepatan yang konstan dapat dipertahankan,
selama periode horizontal velocity tetap seragam. Periode percepatan ditandai
dengan penurunan perlahan sudut inklinasi tubuh dan daya tolak lutut yang
dihasilkan dari ekstensi lutut perlahan, pada momen kontak kaki dengan tanah
serta pemanjangan stride (dimungkinkan dengan peningkatan pusat gravitasi
seiring dengan ekstensi tubuh) (Wells, 1971; Hamilton et al, 2008).
Gambar 2.3 Start pada lari sprint (Hamilton et al, 2008).
Stride pertama, relatif pendek dan sekuat mungkin. Seiring dengan
peningkatan percepatan, terjadi ekstensi panggul sampai kecepatan maksimum
sehingga sudut antara tubuh dengan panggul ialah antara 20 – 25o. Terjadi fleksi
lengan atas untuk memendekan jarak rotasi dan sebagai konsekuensinya, waktu
yang diperlukan untuk memompa mereka kembali dan seterusnya dapat dikurangi.
Untuk alasan yang sama, lutut difleksikan selama fase swinging ketika tungkai
bawah bergerak maju. Fase restraining pada berjalan dihilangkan karena kaki
menginjak tanah hampir di bawah pusat gravitasi tubuh. Gaya diaplikasikan
secepatnya dan berlanjut sampai kaki meninggalkan tanah. Peningkatan stride
length sampai optimal dan kecepatan gerakan tungkai bawah dihitung untuk
peningkatan kecepatan. Percepatan proporsional dengan tenaga yang
menghasilkannya. Akibatnya, semakin besar kekuatan otot, maka semakin besar
pula percepatan yang potensial (Piscopo, 1981).
14
Tungkai bawah harus diekstensikan sepanjang mungkin selama fase
propulsive. Semakin panjang pengungkit, maka semakin besar kecepatan linear
pada akhir pengungkit ketika percepatan angular sama. Seluruh pergerakan maju
dan mundur harus sedekat mungkin karena gerakan lateral lengan atas, tungkai
bawah dan tubuh mengurangi propulsi selanjutnya (Piscopo, 1981).
2.4 Energi yang Digunakan dalam Berlari
Seorang pelari harus memperhitungkan efisiensi dan kemudahan dalam
melakukan gerakan. Telah diketahui bahwa penurunan penggunaan energi sebesar
1% akan memperpendek waktu lari kurang lebih sebanyak 2 menit. Keperluan
energi ini mengakibatkan keperluan oksigen meningkat (Hughes, 2008). Pada
setiap stride dalam berlari, gravitasi dan energi kinetik tubuh diabsorpsi dan
disimpan di otot (Cavagna, 1988).
Energi untuk terjadinya kontraksi otot dapat melalui 3 sistem, yaitu: sistem
phosphocreatine (creatine phosphate atau sistem phosphagen), sistem glikogen-
asam laktat (anaerobik) dan sistem aerobik (Guyton and Hall, 2000b).
Gambar 2.4 Sumber energi untuk terjadinya kontraksi otot (Guyton and Hall,
2000b).
15
Energi menstimulasi produksi glukosa dan oksidasi makanan. Energi yang
diperlukan untuk berolah raga tergantung dari intensitas dan durasi olah raga.
Untuk olah raga dengan durasi yang pendek (10-15 detik), misalnya lari 100
meter, energi cukup berasal dari simpanan creatine phosphate dan ATP, yaitu
sekitar 50 kkal/menit (Berne and Levy, 2000; Guyton and Hall, 2000b).
Kombinasi ATP dan creatine phosphate disebut phosphagen energy system.
Kontraksi otot tidak terjadi bila tidak terdapat ATP untuk membentuk energi
(Guyton and Hall, 2000b).
Ketika simpanan habis dan olah raga intensif masih berlanjut sampai 2 menit,
maka energi lebih banyak diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen
dalam otot menjadi glukosa 6 phosphate (Berne and Levy, 2000). Proses ini
disebut glikolisis (Guyton and Hall, 2000b). Tiap molekul glukosa pecah menjadi
2 molekul asam piruvat dan energi. Energi yang dihasilkan dari proses ini adalah
sekitar 30 kkal/menit. Energi yang dilepas membentuk 4 molekul ATP.
Normalnya, asam piruvat akan memasuki mitokondria sel otot dan bereaksi
dengan oksigen untuk membentuk lebih banyak ATP. Namun karena kurangnya
oksigen pada tahap ini, maka banyak asam piruvat yang diubah menjadi asam
laktat. Asam ini kemudian berdifusi keluar sel dan kemudian berada dalam cairan
interstitial dan darah. Oleh karena itu, banyak glikogen otot yang menjadi asam
laktat. Dalam keadaan optimal, aktivitas otot maksimal dari sistem glikogen-asam
laktat ini adalah 1,3 – 1,6 menit. Energi yang berasal dari sistem glikogen laktat
dapat diubah kembali phosphocreatine dan ATP (Guyton and Hall, 2000b).
16
Pada sistem aerobik terjadi oksidasi zat-zat makanan dalam mitkondria untuk
menghasilkan energi. Energi tersebut merubah AMP dan ADP menjadi ATP.
Tabel 2.1 Perbandingan jumlah ATP yang dihasilkan pada setiap sumber energi
(Guyton and Hall, 2000b).
Tabel 2.2 Perbandingan daya tahan otot pada setiap sumber energi (Guyton and
Hall, 2000b).
Sistem phosphagen digunakan untuk menghasilkan energi dengan cepat,
sedangkan sitem aerobik diperlukan pada olah raga dengan durasi yang lama.
Sementara, sistem glikogen laktat penting dalam memberikan tenaga tambahan
pada lari jarak menengah (200 - 800 m) (Guyton and Hall, 2000b).
17
Tabel 2.3 Penggunaan sumber energi untuk berbagai jenis olah raga (Guyton
and Hall, 2000b).
Gambar 2.5 Sumber-sumber energi untuk olah raga (Berne and Levy, 2000).
18
Setelah beberapa menit melakukan olah raga anaerobik, maka dihasilkan
pinjaman volume oksigen (oxygen depth) sebesar 10 – 12 l. Creatine phosphate
dan ATP harus terdapat lagi di dalam otot dan jumlah oksigen dalam paru-paru,
cairan tubuh, myoglobin dan hemoglobin harus dilengkapi kembali hingga normal
(Berne and Levy, 2000). Pinjaman tersebut harus dikembalikan sebelum olah raga
dapat dilanjutkan. Cara untuk mengembalikan pinjaman tersebut adalah dengan
memindahkan asam laktat yang terakumulasi. Karena asam laktat yang
terakumulasi akan mengakibatkan kelelahan. Pemindahan ini dilakukan dengan
merubah kembali asam laktat menjadi asam piruvat dan kemudian dioksidasi oleh
jaringan tubuh. Cara kedua adalah dengan merubah kembali asam laktat yang
tersisa menjadi glukosa terutama di hati (Berne and Levy, 2000; Guyton and Hall,
2000b). Glukosa kemudian digunakan untuk mengembalikan simpanan glikogen
di otot (Guyton and Hall, 2000b).
Gambar 2.6 Volume rata-rata oxygen depth pada sistem glikogen laktat dan
alaktat (Guyton and Hall, 2000b)
19
Gambar 2.7 Waktu yang diperlukan untuk pemulihan setelah berolah raga
(Guyton and Hall, 2000b).
Bagi olah raga dengan intensitas rendah tapi memiliki periode lebih panjang,
energi diperoleh dari metabolisme aerobik dominan. Proses ini memerlukan
energi kurang lebih 12 kkal/menit (Berne and Levy, 2000). Metabolisme tubuh
pada pelari marathon meningkat sampat 2000% di atas normal (Guyton and Hall,
2000b).
Lari merupakan gerakan terstruktur yang memerlukan ketrampilan.
Ketrampilan dapat didefinisikan sebagai gerakan sederhana. Diperlukan latihan
dan tehnik yang tepat untuk meningkatkan ketrampilan tersebut agar gerakan
menjadi efisien. Terdapat 4 cara untuk mengoptimalkan pemakaian energi agar
dapat berlari dengan efisien, yaitu peningkatan keseimbangan dan koordinasi,
menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak diperlukan, menghaluskan gerakan-
20
gerakan yang penting agar berada dalam posisi yang benar dengan kecepatan
optimum dan energi minimal serta penggunaan otot-otot prime mover secara
efektif (Hughes, 2008).
Pada prinsipnya, gaya harus diaplikasikan untuk merubah kecepatan gerakan
suatu objek, misalnya seorang pelari akan kehilangan kecepatannya saat berada di
udara. Pelari kehilangan kecepatannya selama berada di udara, dan untuk
mempertahankan kelangsungan gerakan, gaya harus diaplikasikan oleh kaki
penopang saat takeoff (Hughes, 2008).
Prinsip selanjutnya adalah bahwa perlu dilakukan integrasi gerakan linier dan
angular agar tercipta pola gerakan yang optimum. Ini dapat terlihat melalui fleksi
dan ekstensi ekstremitas inferior dan kerja sama gerakan-gerakan tersebut dengan
rotasi, abduksi, aduksi panggul dan vertebra (Hughes, 2008).
Semakin panjang pengungkit, maka semakin besar potensi kecepatan linier.
Ini merupakan prinsip ketiga. Keadaan tersebut terbalik pada lari, dimana
ekstremitas memendek agar dapat bergerak maju dengan menggunakan sedikit
energi (Hughes, 2008).
Prinsip keempat menyatakan bahwa untuk setiap aksi, terdapat reaksi yang
seimbang dalam jumlah tapi berlawanan dalam arah. Hal tersebut dapat
diobservasi pada setiap stride, permukaan mendarat memberikan gaya kembali
yang seimbang dengan beban sehingga mengarahkan pelari maju ke depan dan
atas dalam arah yang berlawanan dengan beban (Hughes, 2008).
21
2.5 Postur Tubuh dan Pusat Gravitasi Ketika Berlari
Gaya berlari dan berjalan serupa dan merupakan suatu ketrampilan dasar
yang kontinu. Satu kaki bergerak di depan kaki yang lain sementara lengan
bergerak dalam arah yang berlawanan secara sinkron. Tubuh harus sedikit maju
ke depan untuk mengurangi tekanan terhadap otot-otot postural (Hughes, 2008).
Postur adalah gabungan posisi sendi-sendi (Thompson, 2005). Postur tubuh
yang bagus akan mendistribusikan gaya gravitasi sehingga tidak ada satu pun
struktur yang tertekan berlebihan (Sinclair, 1978; D`Ambrosio, 2005). Postur
tubuh ideal akan mempertahankan massa tubuh di atas dasar pendukungnya,
minimalkan tegangan dan regangan jaringan statis maupun dinamis serta
meminimalkan penggunaan energi. Keadaan tersebut diperoleh dengan
mendistribusikan gaya gravitasi saat berdiri tegak maupun saat berjalan dan
berlari (Sinclair, 1978; Thompson, 2005).
Pada bidang sagital, letak garis gravitasi saat berdiri tegak, yaitu melalui
(Sinclair, 1978; Thompson, 2005):
1. Anterior sumbu lateral articulus talocruralis anterior. Akibatnya terjadi
dorsifleksi dan aktivitas pada otot-otot plantarfleksi.
2. Anterior dari sumbu lateral articulus genu sehingga terjadi gerakan
extensor articulus genu dan tegangan pasif ligamen posterior genu tanpa
aktivitas otot.
3. Posterior sumbu lateral articulus coxae. Oleh karena itu terjadi
pergerakan otot-otot extensor panggul, tanpa aktivitas otot, hanya
tegangan pasif pada ligamen iliofemoralis.
22
Gambar 2.8 Letak garis gravitasi normal saat berdiri tegak dilihat dari lateral
(Wells, 1971; Sinclair, 1978).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengatur keseimbangan pusat
gravitasi: mata, kulit, reseptor pada otot, sendi dan tendon (organ tendon golgi
pada capsula sendi), reseptor di canalis semicircularis dan organ otholit.
23
Tabel 2.4 Perhitungan koordinat pusat gravitasi seorang pelari (Hamilton et al,
2008)
Body
segment
Proportion of
body weight
X value X
products
Y value Y products
1. Trunk .486 7.1 3.451 12.5 6.075
2. Head & neck .079 7.5 0.593 17 1.343
3. R. thigh .097 9.2 0.892 8.1 0.786
4. R. lower leg .045 11 0.495 4.5 0.203
5. R. foot .014 12.4 0.174 1.6 0.022
6. L. thigh .097 7 0.679 8.7 0.844
7. L. lower leg .045 4 0.18 8.3 0.374
8. L.foot .014 1.5 0.021 8 0.112
9. R. upper arm .027 9.7 0.262 15.4 0.416
10. R. lower arm .014 10.3 0.144 14.6 0.204
11. R. hand .006 10 0.06 13.7 0.082
12. L. upper arm .027 5.2 0.140 14.2 0.383
13. L lower arm .014 4.3 0.060 13 0,182
14. L. hand .006 4.3 0.026 11.8 0.071
x-y Resultants
(product total)
7.177 11.097
24
Gambar 2.9 Pusat gravitasi seorang pelari
Dari gambar di atas, didapatkan COG berada pada titik (7,2, 11,1). Pusat
gravitasi seharusnya jatuh sedikit di depan promontorium. Sedangkan koordinat
ini berada sedikit di belakang tubuh. Hal ini dapat diakibatkan karena: pelari
25
berdiri dalam posisi terlalu tegak sehingga pusat gravitasi jatuh di belakang. Posisi
tersebut mengindikasikan kemungkinan pelari hampir mencapai garis finish.
26
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Aktivitas otot memerlukan energi. Energi tersebut bisa didapatkan melalui
3 sistem, yaitu sistem phosphagen, glycogen lactic acid dan aerobik. Kebutuhan
energi dapat diturunkan dengan mempergunakan tehnik biomekanika yang baik
dan benar.
3.2 Saran
1. Kecepatan berlari pada setiap fase dan jenis-jenis berlari masih belum
banyak ditulis sehingga diperlukan untuk mencari kepustakaan yang lain.
2. Berlari melibatkan hampir seluruh struktur dan otot-otot skeletal sehingga
analisis struktur lain yang menunjang kontraksi otot perlu
dipertimbangkan.
3. Perlu digali lebih dalam mengenai sumber energi pada masing-masing
phase dalam berbagai tipe berlari.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2010b. Biomechanics of Running: From faulty movement patterns come
injuries. Available at:
http://www.sportsinjurybulletin.com/archive/biomechanics-running.html.
Access 15 April 2010
Berne, R., Levy, MN. 2000. Principles of Physiology. 3rd
. Ed. USA: Mosby Inc. p.
503.
Bird, A. 2010. Biomechanics of Running. Available from:
http://www.latrobe.edu.au/podiatry/documents/podbiopdfs/BioofRunning.pdf
Access: 15 April 2010.
Cavagna, GA., et al. 1988. The Determinants of The Step Frequency in Running,
Trotting and Hopping in Man and Other Vertebrates. Journal of Physiology,
399:81-92.
D`Ambrosio, FJ. Posture is important. Southern California Orthopedic Institute.
Available from: URL: www.scoi.com/postur.htm. Access: 2 Mei 2005.
Guyton, AC., Hall, JE. 2000b. Textbook of Medical Physiology. 10th
. Ed.
Philadelphia: W. B. Saunders Company. p. 968-73.
Hamilton, N., Weimar, W., Luttgens, K. 2008. Kinesiology Scientific Basis of
Human Motion. 11th
. Ed. Singapore: McGraw-Hill. p. 479-83.
Hughes, D. 2008. The Art of Running: A Biomechanical Look at Efficiency.
http://www.texastrack.com/coaching_article_5.htm. Access 15 April 2010.
Moore, KL., Dalley, AF. 2006. Clinical Oriented Anatomy. 5th
. Ed. Philadelphia.
Lippincott Williams and Wilkins. p.
Piscopo, J., Baley, JA. 1981. Kinesiology, The Science of Movement. New York:
John Wiley and Sons. p. 422-35.
Sinclair, D. 1978. Changes in shape and posture. In: Sinclair, D. Human Growth
After Birth. 3rd
. Ed. London: Oxford University Press. p. 134-6.
Thompson, D. Biomechanic of Standing Posture. Available from: URL:
http://moon.ouhsc.edu/dthompso/NAMICS/posture.htm. Access: 5 Feb 2005.
Wells, KF. 1971. Kinesiology The Scientific Basis of Human Motion. 5th
. Ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company. p. 410-29.
Top Related