Download - Bahaya Dam Bili Bili

Transcript
Page 1: Bahaya Dam Bili Bili

8 Senin, 11 Januari 2010

Tak Ada Jaminan Aman,Warga DievakuasiMESKI telah melakukan upaya pengontrolansedimen di sungai Jeneberang, pihak BalaiBesar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang(BBWSPJ) belum bisa memastikan apakahbencana longsor yang terjadi 2004 lalu diwilayah itu tak terjadi lagi. Sedimen darigunung Sorongan yang setiap hari tergerusarus sungai Jeneberang membuat pihakpengontrolan sedimen sungai menyatakansejumlah titik di sekitar sungai adalah lokasiyang rawan bencana.

“Kita harapkan sedimennya terdegradasisedikit-sedikit,” kata Coordinator ofBawakaraeng Sediment Control (BBWSPJ),Haeruddin C Maddi, Sabtu 9 Januari.

Karena belum ada jaminan bahwa tidakakan terjadi bencana yang sama seperti 2004silam yang menewaskan 10 orang dan korbanhilang 22 orang, serta 6.333 warga harusdievakuasi, Haeruddin mengatakan, pihakBBWSPJ telah melakukan upaya dini.Caranya mengevakuasi sejumlah warga dibeberapa titik yang dianggap wilayahpemukiman warga yang rawan. PihakBBWSPJ juga telah memasang gong raksasa.

Haeruddin mengatakan, saat berbunyi, gongitu dapat merambatkan suara dengan jaraklebih dari tiga kilometer. Gong itu barudibunyikan saat warga mendapat signal bahayadari bencana.

Haeruddin menambahkan, untuk memini-malisasi terjadinya bencana, pihaknya juga me-wajibkan setiap kontraktor untuk melakukanpenanaman 50 ribu pohon di wilayah Kaldera.Masyarakat sekitar juga diimbau agar turutberpartisipasi dengan penanaman pohon terse-but. Haeruddin mengatakan, hal itu dilakukansebagai upaya menghindari terjadinya abrasiyang berlebihan di wilayah kaldera.(tim)

MASIH ingat, pada 2004 lalu, ter-jadi tragedi longsor di kaki GunungBawakaraeng. Bekas wilayahlongsor tersebut mengakibatkandaerah aliran sungai (DAS) men-jadi labil sampai sekarang.

Setiap musim hujan, sedimenlongsoran lumpur di kaki GunungBawakaraeng mengalir masuk keBendungan Bilibili — bendunganterbesar di Sulawesi Selatan yangada di Kabupaten Gowa. Bendu-ngan ini adalah bendungan yangmenjadi sumber air baku di Gowadan Makassar sejak 1999 lalu.

Lumpur tersebut mengalir me-lalui Sungai Jeneberang, sungaiterbesar di Gowa yang membelahSungguminasa, ibukota KabupatenGowa serta membendung KotaMakassar di wilayah selatan. Se-dimen lumpur ini terus mengalirsetiap hari di Sungai Jeneberang.

Seperti apa kondisi sungai Je-neberang sekarang? Sabtu 9 Ja-nuari, Fajar berkesempatan untukmelihat lebih dekat kondisi sungaitersebut dan juga Dam Bilibili.Untuk kunjungan ke sungai, Fajardidampingi Coordinator Of Bawa-karaeng Sediment Control PihakBalai besar Wilayah Sungai Pom-pengan-Jeneberang (BBWSPJ),Haeruddin C Maddi, bersamasejumlah rombongan lainnya.

Sejak terjadinya bencana long-sor di wilayah itu 2004 lalu, arus

sungai Jeneberang terus membawasedimen longsor tersebut. PihakBBWSPJ memperkirakan, sedi-men tersebut sudah menimbunsungai Jeneberang sekira 50 meterdari kondisi aslinya. Kondisi initerus terjadi sampai sekarang.

Pihak BBWSPJ pun terus me-lakukan upaya untuk mengontrollongsoran tersebut. Upaya yangdilakukan adalah dengan memba-ngun Consolidation Dam (CD) danpenahan sedimen (Sabo-Dam).

Setelah melalui perjalanan sekiratiga jam dari kota Makassar, rom-bongan akhirnya tiba di Consoli-dation Dam 2. Akses ini diberi namaCD 2. Akses dibangun dengan ma-terial beton dengan panjang sekira400 meter dan tinggi 10 meter.

Bangunan ini memiliki tujuh lu-bang pada bagian tengahnya. AirSungai Jeneberang yang berwarnacokelat bercampur bebatuan, melin-tas melalui ketujuh lubang tersebut.

Haeruddin mengatakan, selainberfungsi sebagai akses jalan, CD2 juga berfungsi sebagai upayauntuk memecah arus sedimen yangterbawa arus sungai Jeneberang.Sehingga, dengan adanya CD ter-sebut, diharapkan air sungai Jene-berang yang bercampur sedimenbatuan tersebut dapat terpecah se-belum memasuki Dam Bilibili.

Haeruddin mengatakan, adadua Consolidation Dam yang di-

bangun di sepanjang sungai Jene-berang tersebut. Keduanya memi-liki fungsi yang sama; sebagai filtersedimen yang bercampur denganair Sungai Jeneberang.

“Salah satu upaya kita untukmenghindari degradasi, air sungaiyang bercampur sedimen kita pe-cah menjadi tujuh bagian melaluilubang itu,” kata Haeruddin.

Selanjutnya, Haeruddin menga-takan, selain dua unit CD, PihakBalai besar Wilayah Sungai Pom-pengan-Jeneberang juga memba-ngun tujuh unit penahan sedimenbernama Sabo-Dam di sungai Je-neberang. Satu unit Sabo diharap-kan dapat mengendalikan lebihdari tiga juta kubik sedimen yangterbawa arus sungai tersebut.

Haeruddin menambahkan, pe-masangan Sabo di aliran sungaiJeneberang bertujuan untuk meng-hilangkan kecepatan arus sungaiyang membawa sedimen tersebut.

Selain itu, Sabo tersebut jugabertujuan untuk menampung lim-pahan sedimen yang terkikis dariGunung Sorongan.

“Kalau arus sungai itu meloncatseperti air terjun, kecepatannyalangsung menjadi nol,” katanya.

Ketujuh unit Sabo tersebut ter-pasang secara seri. Hal itu dilaku-kan sesuai teknologi Jepang, yangmenyebutkan jika pemasangan Sa-bo harus dipasang seri agar dapat

saling membantu.Berapa biaya yang dibutuhkan

untuk membangun satu unit Sabo?Haeruddin mengatakan setidaknyaRp 15 miliar sampai Rp 20 miliaruntuk membangun satu unit Sabotersebut. Pasalnya, dibutuhkanmaterial yang sangat kuat untukmembangun satu unit Sabo.

Haeruddin mencontohkan, untukbahan material batu, pihaknya me-milih batu yang terkuat dari semuamaterial sedimen yang ada di Bawa-karaeng. Pemilihan batu tersebutdilakukan dengan melakukan pene-litian tentang kekuatan batu.

Tingkat kekuatan (strange) batuyang digunakan sebagai bahanmaterial pembangunan Sabo men-capai hingga kekuatan K600 (uku-ran kekerasan material).

Sedangkan untuk material be-ton, pihak BBWSPJ menggunakanstrange K400 atau tingkat strangetertinggi untuk bangunan beton.

“Kita gunakan material terbaik,supaya tidak langsung hancur saatada limpahan sedimen yang besar,”jelasnya.

Pantauan Fajar di Dam Bilibili,sedimentasi memang sudah sangatmengkhawatirkan. Bahkan bebera-pa gundukan tanah terlihat di damini. Air di Bilibili juga sudah mem-perlihatkan bukti tebalnya sedi-mentasi di sana. Sejak 2004 ataupasca-longsor, air di dam tersebutsudah berwarna cokelat. Berbedadengan sebelum 2004. Air Bilibiliterlihat biru dari kejauhan. Itu me-nandakan bahwa telah terjadi pen-dangkalan akibat sedimentasi. (tim)

Dewan SarankanWaduk Pengganti

PERSOALAN yangmuncul dari adanyaancaman kalderaBawakaraeng danterjadinya longsor setiaphari yang memicusemakin tebalnyasedimentasi Bilibilimenjadi kekhawatiransemua pihak.

Termasuk kalanganDPRD Sulsel. AnggotaDPRD Sulsel dari Partai

Demokrasi Kebangsaan (PDK), Andi HerrySuhari Attas kepada Fajar, Minggu 10 Januarimengatakan, saat ini harus dipikirkan solusimengatasi persoalan ini. Termasukmembangun waduk pengganti. “Wadukpengganti ini bisa di atas atau di bawahBilibili,” katanya.

Soal langkah konkret dewan ke depan,Herry mengatakan sudah memberikan ke dinasterkait dalam hal ini PSDA untuk memikirkansolusinya, mana yang lebih menguntungkanantara pengerukan atau pembuatan waduk ataudam baru.

“Kita harus pikirkan bagaimana menanganikondisi lumpur. Sebab longsor 2004 bisa kemba-li terjadi dimana bisa menurunkan jutaan kubiksedimentasi. Sedimentasi yang akan turun jugaharus dihitung berapa banyak lagi,” katanya.

Ke depan, kata dia, pemerintah memanglebih waspada dalam hal bencana, termasukjuga ancaman dari Bawakaraeng dan Bilibili.“Kita baru saja membuat badan khususpenanggulangan bencana. Nah memang kitaharapkan itu bekerja dan menangani bencanasecara tepat,” katanya.

Hal senada disampaikan politisi PPP, AmirUskara. “Kita akan meminta klarifikasi. Initanggung jawab bersama. Ini ditangani BalaiPSDA. Kita akan minta kejelasan soal langkahyang diambil untuk penanganan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Forum Studi Energidan Lingkungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapamengatakan saat ini kondisi memang sangatmemprihatinkan. Apalagi, kata dia, alam yangharus dilawan. “ Minimal pemkab ataupemprov membuat manajemen bencana,”kuncinya. (tim)

Melawan Ancaman Sedimen

Menahan Petaka dari Dam BilibiliIRING-IRINGAN mobil truk sepuluh rodaberisi pasir dan batu itu menerobos derashujan yang mengguyur Kabupaten Gowadan sekitarnya, Sabtu, 9 Januari. Fajar yangmengunjungi Dam Bilibili beberapa kaliharus meminggirkan kendaraan. Sepanjangjalan, setelah memasuki jalan poros Malino-Sungguminasa, puluhan truk secara bergan-tian melewati jalan itu.

Di sisi jalan, air hujan yang turun sudahbercampur tanah sehingga warnanya tak lagibening melainkan cokelat. Jauh di bawah sisijalan, sebuah kawah air terlihat. Warna airnyasama. Juga cokelat. Kondisi air di kawah airmenyerupai danau yang amat luas itu sangatberbeda dengan beberapa tahun lalu. Sebelum2004, kumpulan air di tempat yang dikenaldengan Dam Bilibili itu sangat bening. Darijauh tampak biru.

Berselang beberapa menit setelah me-nyisir jalan poros Malino-Sungguminasaitu, tampaklah tanggul Dam Bilibili yangberdiri kokoh. Dua unit mobil terlihat diatasnya. Beberapa orang terlihat turun daridua mobil itu mengamati kondisi waduksebelum akhirnya naik kembali saat hujansemakin deras. Di tempat itu, kondisi airjuga sama keruhnya.

“Sejak 2004 atau setelah longsor di Ba-wakaraeng, kondisi air keruh padahal dulusangat jernih. Itu karena sedimen. Sedimen-nya sudah sangat tinggi. Setiap hari sedimenterus bertambah,” kata seorang securityyang menjaga pintu masuk ke jalan di atasbendungan.

Security itu bersama rekannya dan duawarga lainnya yang berteduh mengungkap-kan kekhawatirannya. Termasuk jika kelaksedimen semakin tebal dan tanggul penga-tur air tidak bisa lagi menahannya dan jebol.Padahal untuk air bersih dan pengairan, damini membantu tiga daerah, Gowa, Makassar,dan Takalar.

“Bahaya banjir akan sampai ke Makassarkalau bobol,” katanya diamini rekannya.

Apa yang dikhawatirkan security itubukanlah isapan jempol belaka. Bahkanpihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompe-ngan-Jeneberang (BBWSPJ) juga meng-akui itu. Kekhawatiran itu karena GunungBawakaraeng atau dalam bahasa setempatberarti Mulut Raja itu kini menyimpan an-caman serius.

Longsor pada 2004 silam yang sempatmenelan korban jiwa 10 orang meninggaldan 22 hilang ternyata belum menjadi akhirbencana. Mulut Raja itu masih menebarancaman.

Secara bertahap, pada kondisi terburuklongsoran kaldera Bawakaraeng berimbasdi waduk. Kaldera adalah fitur vulkanikyang terbentuk dari jatuhnya tanah setelahletusan vulkanik. Akibatnya kekeruhan air,gangguan intake bagi pembangkit listrikberkapasitas 20 MW dan banjir, me-ngancam.

Upaya pihak BBWSPJ sebenarnya sudahmaksimal dengan membangun penahansedimen (Sabo-Dam) dan sand pocket.Namun itu hanya bisa memperlambatbencana. Dalam kondisi alam yang ekstrem,misalnya intensitas hujan yang sangat derasatau terjadi gempa di sekitarnya dengankekuatan besar, longsor Bawakaraeng

bukan hal main-main lagi.Berjuta-juta kubik tanah dan batu seperti

halnya pada 2004 siap meluncur turunmenebar ancaman.

“Ancaman itu betul adanya. Ini kondisialam. Apalagi di atas sana (Bawakaraeng,red) masih ada retakan dan itu bisa kembalilongsor seperti 2004 silam. Ini harus diwas-padai. Upaya balai sebenarnya sangat luarbiasa. Tapi itu hanya untuk memperlambatsaja. Makanya perlu kerja sama semua stake-holder memikirkan solusi. Termasuk daerahperladangan di atas sana ditanami pohon un-tuk menahan air,” kata staf BPDAS Jene-berang Walanae, Mahendra di WarkopPhoenam, Senin, 4 Desember.

Coordinator Of Bawakaraeng SedimentControl Pihak Balai besar Wilayah SungaiPompengan-Jeneberang (BBWSPJ), Hae-ruddin C Maddi juga mengungkapkan halsenada. Saat Fajar bersamanya melakukankunjungan ke jembatan Daraha di aliransungai Jeneberang, ia pun mengungkapkankekhawatiran sama.

Bahkan, kata dia, selain bencana longsorsedimen, pihak BBWSPJ juga menyebut-kan wilayah sungai Jeneberang juga rawanterhadap bencana Debris Flow atau yangsering disebut dengan banjir lumpur. Banjirini terjadi jika curah hujan yang tinggi dibagian hulu sungai Jeneberang.

Haeruddin mengatakan, Debris Flowdapat terjadi jika curah hujan sangat tinggi.Menurutnya, pada bagian hulu terdapat tigasampai lima waduk menampung air dalamjumlah yang sangat besar.

Pada saat tertentu, waduk itu dapat me-limpahkan airnya dalam waktu yang ber-samaan. Air waduk yang tumpah tersebutkemudian membawa sedimen dalam yangberbentuk lumpur. Saat itulah yang disebut-kan dengan peristiwa Debris Flow.

Haeruddin menambahkan, tumpahan airbercampur lumpur itu bergerak dengan ke-kentalan yang tinggi. Sehingga pergerakan-nya relatif lambat. Namun, Debris Flowdapat mengangkut semua benda yangdilaluinya, termasuk batu raksasa yang adadi sepanjang sungai Jeneberang.

“Seolah-olah, hukum Newton sudahtidak berlaku lagi. Kalau ada lumpur itu,biar alat berat juga terangkat kalau lumpuritu datang,” jelasnya.

Namun beruntung, lanjut Haeruddin,lumpur itu tidak akan sampai ke Dam Bili-bili. Menurutnya, lumpur tersebut akanlangsung terpecah-pecah saat melalui Sabo-Dam dan Consolidation Dam (CD).

“Yang sampai ke Dam Bilibili hanyabutiran lumpur yang melayang. Itu sudahtidak dapat kita saring lagi, karena ikutdengan warna air,” jelasnya.

Direktur Forum Studi Energi dan Ling-kungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapa me-ngatakan, retakan di Bawakaraeng tak bisadipandang enteng. Setiap hari, kata dia,terjadi longsor yang menimbulkan sedi-mentasi di Bilibili.

“Ini sebenarnya pertama kali disebabkanbanyaknya penebangan pohon di sekitarsungai. Itu menyebabkan longsoran sema-kin besar. Kedua, sudah banyak ruang hijautergerus termasuk untuk vila. Sekarangmeski sabo dam sudah ada, volume long-soran tetap besar. Kalau tidak diantisipasicepat, Bilibili bisa jebol. Itu bukan halmustahil,” katanya.

Soal perambahan hutan yang jadi pemicusedimen di DAS Jeneberang juga diakuiBBWSPJ. Dalam buku berjudul Penge-lolaan SDA di DAS Jeneberang, hal tersebutmereka ungkap.

Anggota DPRD Sulsel, Amir Uskaramengatakan hal senada. “Longsoran terusturun. Sedimentasi sudah sangat tinggi diBilibili. Ada kekhawatiran semakin tinggidan bisa merusak yang imbasnya bisa sam-pai ke Makassar. Saya lihat ada kesalahandesain dari awal. Seharusnya ada lubang dibawah untuk mengeluarkan lumpur kalautinggi. Ternyata tidak ada. Jujur diakui kon-disinya sudah parah. Kondisi bangunandalam hal ini usia bendungan tidak sesuaiperencanaan awal,” tegasnya, Minggu, 10Januari.

“Salah satu pemicu longsor di 2004karena perambahan. Itu juga salah satu yangmempengaruhi. Tapi seharusnya itu dian-tisipasi sejak awal. Jangan kita menyalah-kan alam,” kritiknya.

A Herry Suhari Attas juga dari DPRDSulsel mengatakan upaya yang bisa dilaku-kan secara teknis memperlambat saja de-ngan sabo dam. “Jadi kita hanya memper-panjang umur. Kalau mau dikeruk ataumenghentikan itu sulit,” katanya. (tim)

DOK/FAJAR

Andi Herry Suhari Attas

NURHADI/FAJAR

MEMPRIHATINKAN. Kondisi air Dam Bilibili di tahun 1990-an tampak biru dan jernih (atas). Hal ini sangat berbeda dengan kondisiair saat ini seperti terlihat pada gambar yang direkam pada Sabtu, 9 Januari di mana air terlihat berwarna cokelat.

IST

Bilibili 2010

Bilibili 1990-an

NURHADI/FAJAR

PEMICU. Hujan deras mengguyur wilayah sekitar Dam Bilibili, Sabtu, 9 Januari.Kondisi ini bisa memicu longsor khususnya di wilayah hulu sungai Jeneberangyang berada di sekitar Bawakaraeng.