Bahaya Dam Bili Bili

1
8 Senin, 11 Januari 2010 Tak Ada Jaminan Aman, Warga Dievakuasi MESKI telah melakukan upaya pengontrolan sedimen di sungai Jeneberang, pihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang (BBWSPJ) belum bisa memastikan apakah bencana longsor yang terjadi 2004 lalu di wilayah itu tak terjadi lagi. Sedimen dari gunung Sorongan yang setiap hari tergerus arus sungai Jeneberang membuat pihak pengontrolan sedimen sungai menyatakan sejumlah titik di sekitar sungai adalah lokasi yang rawan bencana. “Kita harapkan sedimennya terdegradasi sedikit-sedikit,” kata Coordinator of Bawakaraeng Sediment Control (BBWSPJ), Haeruddin C Maddi, Sabtu 9 Januari. Karena belum ada jaminan bahwa tidak akan terjadi bencana yang sama seperti 2004 silam yang menewaskan 10 orang dan korban hilang 22 orang, serta 6.333 warga harus dievakuasi, Haeruddin mengatakan, pihak BBWSPJ telah melakukan upaya dini. Caranya mengevakuasi sejumlah warga di beberapa titik yang dianggap wilayah pemukiman warga yang rawan. Pihak BBWSPJ juga telah memasang gong raksasa. Haeruddin mengatakan, saat berbunyi, gong itu dapat merambatkan suara dengan jarak lebih dari tiga kilometer. Gong itu baru dibunyikan saat warga mendapat signal bahaya dari bencana. Haeruddin menambahkan, untuk memini- malisasi terjadinya bencana, pihaknya juga me- wajibkan setiap kontraktor untuk melakukan penanaman 50 ribu pohon di wilayah Kaldera. Masyarakat sekitar juga diimbau agar turut berpartisipasi dengan penanaman pohon terse- but. Haeruddin mengatakan, hal itu dilakukan sebagai upaya menghindari terjadinya abrasi yang berlebihan di wilayah kaldera.(tim) MASIH ingat, pada 2004 lalu, ter- jadi tragedi longsor di kaki Gunung Bawakaraeng. Bekas wilayah longsor tersebut mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) men- jadi labil sampai sekarang. Setiap musim hujan, sedimen longsoran lumpur di kaki Gunung Bawakaraeng mengalir masuk ke Bendungan Bilibili — bendungan terbesar di Sulawesi Selatan yang ada di Kabupaten Gowa. Bendu- ngan ini adalah bendungan yang menjadi sumber air baku di Gowa dan Makassar sejak 1999 lalu. Lumpur tersebut mengalir me- lalui Sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa yang membelah Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa serta membendung Kota Makassar di wilayah selatan. Se- dimen lumpur ini terus mengalir setiap hari di Sungai Jeneberang. Seperti apa kondisi sungai Je- neberang sekarang? Sabtu 9 Ja- nuari, Fajar berkesempatan untuk melihat lebih dekat kondisi sungai tersebut dan juga Dam Bilibili. Untuk kunjungan ke sungai, Fajar didampingi Coordinator Of Bawa- karaeng Sediment Control Pihak Balai besar Wilayah Sungai Pom- pengan-Jeneberang (BBWSPJ), Haeruddin C Maddi, bersama sejumlah rombongan lainnya. Sejak terjadinya bencana long- sor di wilayah itu 2004 lalu, arus sungai Jeneberang terus membawa sedimen longsor tersebut. Pihak BBWSPJ memperkirakan, sedi- men tersebut sudah menimbun sungai Jeneberang sekira 50 meter dari kondisi aslinya. Kondisi ini terus terjadi sampai sekarang. Pihak BBWSPJ pun terus me- lakukan upaya untuk mengontrol longsoran tersebut. Upaya yang dilakukan adalah dengan memba- ngun Consolidation Dam (CD) dan penahan sedimen (Sabo-Dam). Setelah melalui perjalanan sekira tiga jam dari kota Makassar, rom- bongan akhirnya tiba di Consoli- dation Dam 2. Akses ini diberi nama CD 2. Akses dibangun dengan ma- terial beton dengan panjang sekira 400 meter dan tinggi 10 meter. Bangunan ini memiliki tujuh lu- bang pada bagian tengahnya. Air Sungai Jeneberang yang berwarna cokelat bercampur bebatuan, melin- tas melalui ketujuh lubang tersebut. Haeruddin mengatakan, selain berfungsi sebagai akses jalan, CD 2 juga berfungsi sebagai upaya untuk memecah arus sedimen yang terbawa arus sungai Jeneberang. Sehingga, dengan adanya CD ter- sebut, diharapkan air sungai Jene- berang yang bercampur sedimen batuan tersebut dapat terpecah se- belum memasuki Dam Bilibili. Haeruddin mengatakan, ada dua Consolidation Dam yang di- bangun di sepanjang sungai Jene- berang tersebut. Keduanya memi- liki fungsi yang sama; sebagai filter sedimen yang bercampur dengan air Sungai Jeneberang. “Salah satu upaya kita untuk menghindari degradasi, air sungai yang bercampur sedimen kita pe- cah menjadi tujuh bagian melalui lubang itu,” kata Haeruddin. Selanjutnya, Haeruddin menga- takan, selain dua unit CD, Pihak Balai besar Wilayah Sungai Pom- pengan-Jeneberang juga memba- ngun tujuh unit penahan sedimen bernama Sabo-Dam di sungai Je- neberang. Satu unit Sabo diharap- kan dapat mengendalikan lebih dari tiga juta kubik sedimen yang terbawa arus sungai tersebut. Haeruddin menambahkan, pe- masangan Sabo di aliran sungai Jeneberang bertujuan untuk meng- hilangkan kecepatan arus sungai yang membawa sedimen tersebut. Selain itu, Sabo tersebut juga bertujuan untuk menampung lim- pahan sedimen yang terkikis dari Gunung Sorongan. “Kalau arus sungai itu meloncat seperti air terjun, kecepatannya langsung menjadi nol,” katanya. Ketujuh unit Sabo tersebut ter- pasang secara seri. Hal itu dilaku- kan sesuai teknologi Jepang, yang menyebutkan jika pemasangan Sa- bo harus dipasang seri agar dapat saling membantu. Berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu unit Sabo? Haeruddin mengatakan setidaknya Rp 15 miliar sampai Rp 20 miliar untuk membangun satu unit Sabo tersebut. Pasalnya, dibutuhkan material yang sangat kuat untuk membangun satu unit Sabo. Haeruddin mencontohkan, untuk bahan material batu, pihaknya me- milih batu yang terkuat dari semua material sedimen yang ada di Bawa- karaeng. Pemilihan batu tersebut dilakukan dengan melakukan pene- litian tentang kekuatan batu. Tingkat kekuatan (strange) batu yang digunakan sebagai bahan material pembangunan Sabo men- capai hingga kekuatan K600 (uku- ran kekerasan material). Sedangkan untuk material be- ton, pihak BBWSPJ menggunakan strange K400 atau tingkat strange tertinggi untuk bangunan beton. “Kita gunakan material terbaik, supaya tidak langsung hancur saat ada limpahan sedimen yang besar,” jelasnya. Pantauan Fajar di Dam Bilibili, sedimentasi memang sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan bebera- pa gundukan tanah terlihat di dam ini. Air di Bilibili juga sudah mem- perlihatkan bukti tebalnya sedi- mentasi di sana. Sejak 2004 atau pasca-longsor, air di dam tersebut sudah berwarna cokelat. Berbeda dengan sebelum 2004. Air Bilibili terlihat biru dari kejauhan. Itu me- nandakan bahwa telah terjadi pen- dangkalan akibat sedimentasi. (tim) Dewan Sarankan Waduk Pengganti PERSOALAN yang muncul dari adanya ancaman kaldera Bawakaraeng dan terjadinya longsor setiap hari yang memicu semakin tebalnya sedimentasi Bilibili menjadi kekhawatiran semua pihak. Termasuk kalangan DPRD Sulsel. Anggota DPRD Sulsel dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Andi Herry Suhari Attas kepada Fajar, Minggu 10 Januari mengatakan, saat ini harus dipikirkan solusi mengatasi persoalan ini. Termasuk membangun waduk pengganti. “Waduk pengganti ini bisa di atas atau di bawah Bilibili,” katanya. Soal langkah konkret dewan ke depan, Herry mengatakan sudah memberikan ke dinas terkait dalam hal ini PSDA untuk memikirkan solusinya, mana yang lebih menguntungkan antara pengerukan atau pembuatan waduk atau dam baru. “Kita harus pikirkan bagaimana menangani kondisi lumpur. Sebab longsor 2004 bisa kemba- li terjadi dimana bisa menurunkan jutaan kubik sedimentasi. Sedimentasi yang akan turun juga harus dihitung berapa banyak lagi,” katanya. Ke depan, kata dia, pemerintah memang lebih waspada dalam hal bencana, termasuk juga ancaman dari Bawakaraeng dan Bilibili. “Kita baru saja membuat badan khusus penanggulangan bencana. Nah memang kita harapkan itu bekerja dan menangani bencana secara tepat,” katanya. Hal senada disampaikan politisi PPP, Amir Uskara. “Kita akan meminta klarifikasi. Ini tanggung jawab bersama. Ini ditangani Balai PSDA. Kita akan minta kejelasan soal langkah yang diambil untuk penanganan,” katanya. Sementara itu, Direktur Forum Studi Energi dan Lingkungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapa mengatakan saat ini kondisi memang sangat memprihatinkan. Apalagi, kata dia, alam yang harus dilawan. “ Minimal pemkab atau pemprov membuat manajemen bencana,” kuncinya. (tim) Melawan Ancaman Sedimen Menahan Petaka dari Dam Bilibili IRING-IRINGAN mobil truk sepuluh roda berisi pasir dan batu itu menerobos deras hujan yang mengguyur Kabupaten Gowa dan sekitarnya, Sabtu, 9 Januari. Fajar yang mengunjungi Dam Bilibili beberapa kali harus meminggirkan kendaraan. Sepanjang jalan, setelah memasuki jalan poros Malino- Sungguminasa, puluhan truk secara bergan- tian melewati jalan itu. Di sisi jalan, air hujan yang turun sudah bercampur tanah sehingga warnanya tak lagi bening melainkan cokelat. Jauh di bawah sisi jalan, sebuah kawah air terlihat. Warna airnya sama. Juga cokelat. Kondisi air di kawah air menyerupai danau yang amat luas itu sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu. Sebelum 2004, kumpulan air di tempat yang dikenal dengan Dam Bilibili itu sangat bening. Dari jauh tampak biru. Berselang beberapa menit setelah me- nyisir jalan poros Malino-Sungguminasa itu, tampaklah tanggul Dam Bilibili yang berdiri kokoh. Dua unit mobil terlihat di atasnya. Beberapa orang terlihat turun dari dua mobil itu mengamati kondisi waduk sebelum akhirnya naik kembali saat hujan semakin deras. Di tempat itu, kondisi air juga sama keruhnya. “Sejak 2004 atau setelah longsor di Ba- wakaraeng, kondisi air keruh padahal dulu sangat jernih. Itu karena sedimen. Sedimen- nya sudah sangat tinggi. Setiap hari sedimen terus bertambah,” kata seorang security yang menjaga pintu masuk ke jalan di atas bendungan. Security itu bersama rekannya dan dua warga lainnya yang berteduh mengungkap- kan kekhawatirannya. Termasuk jika kelak sedimen semakin tebal dan tanggul penga- tur air tidak bisa lagi menahannya dan jebol. Padahal untuk air bersih dan pengairan, dam ini membantu tiga daerah, Gowa, Makassar, dan Takalar. “Bahaya banjir akan sampai ke Makassar kalau bobol,” katanya diamini rekannya. Apa yang dikhawatirkan security itu bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan pihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompe- ngan-Jeneberang (BBWSPJ) juga meng- akui itu. Kekhawatiran itu karena Gunung Bawakaraeng atau dalam bahasa setempat berarti Mulut Raja itu kini menyimpan an- caman serius. Longsor pada 2004 silam yang sempat menelan korban jiwa 10 orang meninggal dan 22 hilang ternyata belum menjadi akhir bencana. Mulut Raja itu masih menebar ancaman. Secara bertahap, pada kondisi terburuk longsoran kaldera Bawakaraeng berimbas di waduk. Kaldera adalah fitur vulkanik yang terbentuk dari jatuhnya tanah setelah letusan vulkanik. Akibatnya kekeruhan air, gangguan intake bagi pembangkit listrik berkapasitas 20 MW dan banjir, me- ngancam. Upaya pihak BBWSPJ sebenarnya sudah maksimal dengan membangun penahan sedimen (Sabo-Dam) dan sand pocket. Namun itu hanya bisa memperlambat bencana. Dalam kondisi alam yang ekstrem, misalnya intensitas hujan yang sangat deras atau terjadi gempa di sekitarnya dengan kekuatan besar, longsor Bawakaraeng bukan hal main-main lagi. Berjuta-juta kubik tanah dan batu seperti halnya pada 2004 siap meluncur turun menebar ancaman. “Ancaman itu betul adanya. Ini kondisi alam. Apalagi di atas sana (Bawakaraeng, red) masih ada retakan dan itu bisa kembali longsor seperti 2004 silam. Ini harus diwas- padai. Upaya balai sebenarnya sangat luar biasa. Tapi itu hanya untuk memperlambat saja. Makanya perlu kerja sama semua stake- holder memikirkan solusi. Termasuk daerah perladangan di atas sana ditanami pohon un- tuk menahan air,” kata staf BPDAS Jene- berang Walanae, Mahendra di Warkop Phoenam, Senin, 4 Desember. Coordinator Of Bawakaraeng Sediment Control Pihak Balai besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang (BBWSPJ), Hae- ruddin C Maddi juga mengungkapkan hal senada. Saat Fajar bersamanya melakukan kunjungan ke jembatan Daraha di aliran sungai Jeneberang, ia pun mengungkapkan kekhawatiran sama. Bahkan, kata dia, selain bencana longsor sedimen, pihak BBWSPJ juga menyebut- kan wilayah sungai Jeneberang juga rawan terhadap bencana Debris Flow atau yang sering disebut dengan banjir lumpur. Banjir ini terjadi jika curah hujan yang tinggi di bagian hulu sungai Jeneberang. Haeruddin mengatakan, Debris Flow dapat terjadi jika curah hujan sangat tinggi. Menurutnya, pada bagian hulu terdapat tiga sampai lima waduk menampung air dalam jumlah yang sangat besar. Pada saat tertentu, waduk itu dapat me- limpahkan airnya dalam waktu yang ber- samaan. Air waduk yang tumpah tersebut kemudian membawa sedimen dalam yang berbentuk lumpur. Saat itulah yang disebut- kan dengan peristiwa Debris Flow. Haeruddin menambahkan, tumpahan air bercampur lumpur itu bergerak dengan ke- kentalan yang tinggi. Sehingga pergerakan- nya relatif lambat. Namun, Debris Flow dapat mengangkut semua benda yang dilaluinya, termasuk batu raksasa yang ada di sepanjang sungai Jeneberang. “Seolah-olah, hukum Newton sudah tidak berlaku lagi. Kalau ada lumpur itu, biar alat berat juga terangkat kalau lumpur itu datang,” jelasnya. Namun beruntung, lanjut Haeruddin, lumpur itu tidak akan sampai ke Dam Bili- bili. Menurutnya, lumpur tersebut akan langsung terpecah-pecah saat melalui Sabo- Dam dan Consolidation Dam (CD). “Yang sampai ke Dam Bilibili hanya butiran lumpur yang melayang. Itu sudah tidak dapat kita saring lagi, karena ikut dengan warna air,” jelasnya. Direktur Forum Studi Energi dan Ling- kungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapa me- ngatakan, retakan di Bawakaraeng tak bisa dipandang enteng. Setiap hari, kata dia, terjadi longsor yang menimbulkan sedi- mentasi di Bilibili. “Ini sebenarnya pertama kali disebabkan banyaknya penebangan pohon di sekitar sungai. Itu menyebabkan longsoran sema- kin besar. Kedua, sudah banyak ruang hijau tergerus termasuk untuk vila. Sekarang meski sabo dam sudah ada, volume long- soran tetap besar. Kalau tidak diantisipasi cepat, Bilibili bisa jebol. Itu bukan hal mustahil,” katanya. Soal perambahan hutan yang jadi pemicu sedimen di DAS Jeneberang juga diakui BBWSPJ. Dalam buku berjudul Penge- lolaan SDA di DAS Jeneberang, hal tersebut mereka ungkap. Anggota DPRD Sulsel, Amir Uskara mengatakan hal senada. “Longsoran terus turun. Sedimentasi sudah sangat tinggi di Bilibili. Ada kekhawatiran semakin tinggi dan bisa merusak yang imbasnya bisa sam- pai ke Makassar. Saya lihat ada kesalahan desain dari awal. Seharusnya ada lubang di bawah untuk mengeluarkan lumpur kalau tinggi. Ternyata tidak ada. Jujur diakui kon- disinya sudah parah. Kondisi bangunan dalam hal ini usia bendungan tidak sesuai perencanaan awal,” tegasnya, Minggu, 10 Januari. “Salah satu pemicu longsor di 2004 karena perambahan. Itu juga salah satu yang mempengaruhi. Tapi seharusnya itu dian- tisipasi sejak awal. Jangan kita menyalah- kan alam,” kritiknya. A Herry Suhari Attas juga dari DPRD Sulsel mengatakan upaya yang bisa dilaku- kan secara teknis memperlambat saja de- ngan sabo dam. “Jadi kita hanya memper- panjang umur. Kalau mau dikeruk atau menghentikan itu sulit,” katanya. (tim) DOK/FAJAR Andi Herry Suhari Attas NURHADI/FAJAR MEMPRIHATINKAN. Kondisi air Dam Bilibili di tahun 1990-an tampak biru dan jernih (atas). Hal ini sangat berbeda dengan kondisi air saat ini seperti terlihat pada gambar yang direkam pada Sabtu, 9 Januari di mana air terlihat berwarna cokelat. IST Bilibili 2010 Bilibili 1990-an NURHADI/FAJAR PEMICU. Hujan deras mengguyur wilayah sekitar Dam Bilibili, Sabtu, 9 Januari. Kondisi ini bisa memicu longsor khususnya di wilayah hulu sungai Jeneberang yang berada di sekitar Bawakaraeng.

Transcript of Bahaya Dam Bili Bili

Page 1: Bahaya Dam Bili Bili

8 Senin, 11 Januari 2010

Tak Ada Jaminan Aman,Warga DievakuasiMESKI telah melakukan upaya pengontrolansedimen di sungai Jeneberang, pihak BalaiBesar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang(BBWSPJ) belum bisa memastikan apakahbencana longsor yang terjadi 2004 lalu diwilayah itu tak terjadi lagi. Sedimen darigunung Sorongan yang setiap hari tergerusarus sungai Jeneberang membuat pihakpengontrolan sedimen sungai menyatakansejumlah titik di sekitar sungai adalah lokasiyang rawan bencana.

“Kita harapkan sedimennya terdegradasisedikit-sedikit,” kata Coordinator ofBawakaraeng Sediment Control (BBWSPJ),Haeruddin C Maddi, Sabtu 9 Januari.

Karena belum ada jaminan bahwa tidakakan terjadi bencana yang sama seperti 2004silam yang menewaskan 10 orang dan korbanhilang 22 orang, serta 6.333 warga harusdievakuasi, Haeruddin mengatakan, pihakBBWSPJ telah melakukan upaya dini.Caranya mengevakuasi sejumlah warga dibeberapa titik yang dianggap wilayahpemukiman warga yang rawan. PihakBBWSPJ juga telah memasang gong raksasa.

Haeruddin mengatakan, saat berbunyi, gongitu dapat merambatkan suara dengan jaraklebih dari tiga kilometer. Gong itu barudibunyikan saat warga mendapat signal bahayadari bencana.

Haeruddin menambahkan, untuk memini-malisasi terjadinya bencana, pihaknya juga me-wajibkan setiap kontraktor untuk melakukanpenanaman 50 ribu pohon di wilayah Kaldera.Masyarakat sekitar juga diimbau agar turutberpartisipasi dengan penanaman pohon terse-but. Haeruddin mengatakan, hal itu dilakukansebagai upaya menghindari terjadinya abrasiyang berlebihan di wilayah kaldera.(tim)

MASIH ingat, pada 2004 lalu, ter-jadi tragedi longsor di kaki GunungBawakaraeng. Bekas wilayahlongsor tersebut mengakibatkandaerah aliran sungai (DAS) men-jadi labil sampai sekarang.

Setiap musim hujan, sedimenlongsoran lumpur di kaki GunungBawakaraeng mengalir masuk keBendungan Bilibili — bendunganterbesar di Sulawesi Selatan yangada di Kabupaten Gowa. Bendu-ngan ini adalah bendungan yangmenjadi sumber air baku di Gowadan Makassar sejak 1999 lalu.

Lumpur tersebut mengalir me-lalui Sungai Jeneberang, sungaiterbesar di Gowa yang membelahSungguminasa, ibukota KabupatenGowa serta membendung KotaMakassar di wilayah selatan. Se-dimen lumpur ini terus mengalirsetiap hari di Sungai Jeneberang.

Seperti apa kondisi sungai Je-neberang sekarang? Sabtu 9 Ja-nuari, Fajar berkesempatan untukmelihat lebih dekat kondisi sungaitersebut dan juga Dam Bilibili.Untuk kunjungan ke sungai, Fajardidampingi Coordinator Of Bawa-karaeng Sediment Control PihakBalai besar Wilayah Sungai Pom-pengan-Jeneberang (BBWSPJ),Haeruddin C Maddi, bersamasejumlah rombongan lainnya.

Sejak terjadinya bencana long-sor di wilayah itu 2004 lalu, arus

sungai Jeneberang terus membawasedimen longsor tersebut. PihakBBWSPJ memperkirakan, sedi-men tersebut sudah menimbunsungai Jeneberang sekira 50 meterdari kondisi aslinya. Kondisi initerus terjadi sampai sekarang.

Pihak BBWSPJ pun terus me-lakukan upaya untuk mengontrollongsoran tersebut. Upaya yangdilakukan adalah dengan memba-ngun Consolidation Dam (CD) danpenahan sedimen (Sabo-Dam).

Setelah melalui perjalanan sekiratiga jam dari kota Makassar, rom-bongan akhirnya tiba di Consoli-dation Dam 2. Akses ini diberi namaCD 2. Akses dibangun dengan ma-terial beton dengan panjang sekira400 meter dan tinggi 10 meter.

Bangunan ini memiliki tujuh lu-bang pada bagian tengahnya. AirSungai Jeneberang yang berwarnacokelat bercampur bebatuan, melin-tas melalui ketujuh lubang tersebut.

Haeruddin mengatakan, selainberfungsi sebagai akses jalan, CD2 juga berfungsi sebagai upayauntuk memecah arus sedimen yangterbawa arus sungai Jeneberang.Sehingga, dengan adanya CD ter-sebut, diharapkan air sungai Jene-berang yang bercampur sedimenbatuan tersebut dapat terpecah se-belum memasuki Dam Bilibili.

Haeruddin mengatakan, adadua Consolidation Dam yang di-

bangun di sepanjang sungai Jene-berang tersebut. Keduanya memi-liki fungsi yang sama; sebagai filtersedimen yang bercampur denganair Sungai Jeneberang.

“Salah satu upaya kita untukmenghindari degradasi, air sungaiyang bercampur sedimen kita pe-cah menjadi tujuh bagian melaluilubang itu,” kata Haeruddin.

Selanjutnya, Haeruddin menga-takan, selain dua unit CD, PihakBalai besar Wilayah Sungai Pom-pengan-Jeneberang juga memba-ngun tujuh unit penahan sedimenbernama Sabo-Dam di sungai Je-neberang. Satu unit Sabo diharap-kan dapat mengendalikan lebihdari tiga juta kubik sedimen yangterbawa arus sungai tersebut.

Haeruddin menambahkan, pe-masangan Sabo di aliran sungaiJeneberang bertujuan untuk meng-hilangkan kecepatan arus sungaiyang membawa sedimen tersebut.

Selain itu, Sabo tersebut jugabertujuan untuk menampung lim-pahan sedimen yang terkikis dariGunung Sorongan.

“Kalau arus sungai itu meloncatseperti air terjun, kecepatannyalangsung menjadi nol,” katanya.

Ketujuh unit Sabo tersebut ter-pasang secara seri. Hal itu dilaku-kan sesuai teknologi Jepang, yangmenyebutkan jika pemasangan Sa-bo harus dipasang seri agar dapat

saling membantu.Berapa biaya yang dibutuhkan

untuk membangun satu unit Sabo?Haeruddin mengatakan setidaknyaRp 15 miliar sampai Rp 20 miliaruntuk membangun satu unit Sabotersebut. Pasalnya, dibutuhkanmaterial yang sangat kuat untukmembangun satu unit Sabo.

Haeruddin mencontohkan, untukbahan material batu, pihaknya me-milih batu yang terkuat dari semuamaterial sedimen yang ada di Bawa-karaeng. Pemilihan batu tersebutdilakukan dengan melakukan pene-litian tentang kekuatan batu.

Tingkat kekuatan (strange) batuyang digunakan sebagai bahanmaterial pembangunan Sabo men-capai hingga kekuatan K600 (uku-ran kekerasan material).

Sedangkan untuk material be-ton, pihak BBWSPJ menggunakanstrange K400 atau tingkat strangetertinggi untuk bangunan beton.

“Kita gunakan material terbaik,supaya tidak langsung hancur saatada limpahan sedimen yang besar,”jelasnya.

Pantauan Fajar di Dam Bilibili,sedimentasi memang sudah sangatmengkhawatirkan. Bahkan bebera-pa gundukan tanah terlihat di damini. Air di Bilibili juga sudah mem-perlihatkan bukti tebalnya sedi-mentasi di sana. Sejak 2004 ataupasca-longsor, air di dam tersebutsudah berwarna cokelat. Berbedadengan sebelum 2004. Air Bilibiliterlihat biru dari kejauhan. Itu me-nandakan bahwa telah terjadi pen-dangkalan akibat sedimentasi. (tim)

Dewan SarankanWaduk Pengganti

PERSOALAN yangmuncul dari adanyaancaman kalderaBawakaraeng danterjadinya longsor setiaphari yang memicusemakin tebalnyasedimentasi Bilibilimenjadi kekhawatiransemua pihak.

Termasuk kalanganDPRD Sulsel. AnggotaDPRD Sulsel dari Partai

Demokrasi Kebangsaan (PDK), Andi HerrySuhari Attas kepada Fajar, Minggu 10 Januarimengatakan, saat ini harus dipikirkan solusimengatasi persoalan ini. Termasukmembangun waduk pengganti. “Wadukpengganti ini bisa di atas atau di bawahBilibili,” katanya.

Soal langkah konkret dewan ke depan,Herry mengatakan sudah memberikan ke dinasterkait dalam hal ini PSDA untuk memikirkansolusinya, mana yang lebih menguntungkanantara pengerukan atau pembuatan waduk ataudam baru.

“Kita harus pikirkan bagaimana menanganikondisi lumpur. Sebab longsor 2004 bisa kemba-li terjadi dimana bisa menurunkan jutaan kubiksedimentasi. Sedimentasi yang akan turun jugaharus dihitung berapa banyak lagi,” katanya.

Ke depan, kata dia, pemerintah memanglebih waspada dalam hal bencana, termasukjuga ancaman dari Bawakaraeng dan Bilibili.“Kita baru saja membuat badan khususpenanggulangan bencana. Nah memang kitaharapkan itu bekerja dan menangani bencanasecara tepat,” katanya.

Hal senada disampaikan politisi PPP, AmirUskara. “Kita akan meminta klarifikasi. Initanggung jawab bersama. Ini ditangani BalaiPSDA. Kita akan minta kejelasan soal langkahyang diambil untuk penanganan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Forum Studi Energidan Lingkungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapamengatakan saat ini kondisi memang sangatmemprihatinkan. Apalagi, kata dia, alam yangharus dilawan. “ Minimal pemkab ataupemprov membuat manajemen bencana,”kuncinya. (tim)

Melawan Ancaman Sedimen

Menahan Petaka dari Dam BilibiliIRING-IRINGAN mobil truk sepuluh rodaberisi pasir dan batu itu menerobos derashujan yang mengguyur Kabupaten Gowadan sekitarnya, Sabtu, 9 Januari. Fajar yangmengunjungi Dam Bilibili beberapa kaliharus meminggirkan kendaraan. Sepanjangjalan, setelah memasuki jalan poros Malino-Sungguminasa, puluhan truk secara bergan-tian melewati jalan itu.

Di sisi jalan, air hujan yang turun sudahbercampur tanah sehingga warnanya tak lagibening melainkan cokelat. Jauh di bawah sisijalan, sebuah kawah air terlihat. Warna airnyasama. Juga cokelat. Kondisi air di kawah airmenyerupai danau yang amat luas itu sangatberbeda dengan beberapa tahun lalu. Sebelum2004, kumpulan air di tempat yang dikenaldengan Dam Bilibili itu sangat bening. Darijauh tampak biru.

Berselang beberapa menit setelah me-nyisir jalan poros Malino-Sungguminasaitu, tampaklah tanggul Dam Bilibili yangberdiri kokoh. Dua unit mobil terlihat diatasnya. Beberapa orang terlihat turun daridua mobil itu mengamati kondisi waduksebelum akhirnya naik kembali saat hujansemakin deras. Di tempat itu, kondisi airjuga sama keruhnya.

“Sejak 2004 atau setelah longsor di Ba-wakaraeng, kondisi air keruh padahal dulusangat jernih. Itu karena sedimen. Sedimen-nya sudah sangat tinggi. Setiap hari sedimenterus bertambah,” kata seorang securityyang menjaga pintu masuk ke jalan di atasbendungan.

Security itu bersama rekannya dan duawarga lainnya yang berteduh mengungkap-kan kekhawatirannya. Termasuk jika kelaksedimen semakin tebal dan tanggul penga-tur air tidak bisa lagi menahannya dan jebol.Padahal untuk air bersih dan pengairan, damini membantu tiga daerah, Gowa, Makassar,dan Takalar.

“Bahaya banjir akan sampai ke Makassarkalau bobol,” katanya diamini rekannya.

Apa yang dikhawatirkan security itubukanlah isapan jempol belaka. Bahkanpihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompe-ngan-Jeneberang (BBWSPJ) juga meng-akui itu. Kekhawatiran itu karena GunungBawakaraeng atau dalam bahasa setempatberarti Mulut Raja itu kini menyimpan an-caman serius.

Longsor pada 2004 silam yang sempatmenelan korban jiwa 10 orang meninggaldan 22 hilang ternyata belum menjadi akhirbencana. Mulut Raja itu masih menebarancaman.

Secara bertahap, pada kondisi terburuklongsoran kaldera Bawakaraeng berimbasdi waduk. Kaldera adalah fitur vulkanikyang terbentuk dari jatuhnya tanah setelahletusan vulkanik. Akibatnya kekeruhan air,gangguan intake bagi pembangkit listrikberkapasitas 20 MW dan banjir, me-ngancam.

Upaya pihak BBWSPJ sebenarnya sudahmaksimal dengan membangun penahansedimen (Sabo-Dam) dan sand pocket.Namun itu hanya bisa memperlambatbencana. Dalam kondisi alam yang ekstrem,misalnya intensitas hujan yang sangat derasatau terjadi gempa di sekitarnya dengankekuatan besar, longsor Bawakaraeng

bukan hal main-main lagi.Berjuta-juta kubik tanah dan batu seperti

halnya pada 2004 siap meluncur turunmenebar ancaman.

“Ancaman itu betul adanya. Ini kondisialam. Apalagi di atas sana (Bawakaraeng,red) masih ada retakan dan itu bisa kembalilongsor seperti 2004 silam. Ini harus diwas-padai. Upaya balai sebenarnya sangat luarbiasa. Tapi itu hanya untuk memperlambatsaja. Makanya perlu kerja sama semua stake-holder memikirkan solusi. Termasuk daerahperladangan di atas sana ditanami pohon un-tuk menahan air,” kata staf BPDAS Jene-berang Walanae, Mahendra di WarkopPhoenam, Senin, 4 Desember.

Coordinator Of Bawakaraeng SedimentControl Pihak Balai besar Wilayah SungaiPompengan-Jeneberang (BBWSPJ), Hae-ruddin C Maddi juga mengungkapkan halsenada. Saat Fajar bersamanya melakukankunjungan ke jembatan Daraha di aliransungai Jeneberang, ia pun mengungkapkankekhawatiran sama.

Bahkan, kata dia, selain bencana longsorsedimen, pihak BBWSPJ juga menyebut-kan wilayah sungai Jeneberang juga rawanterhadap bencana Debris Flow atau yangsering disebut dengan banjir lumpur. Banjirini terjadi jika curah hujan yang tinggi dibagian hulu sungai Jeneberang.

Haeruddin mengatakan, Debris Flowdapat terjadi jika curah hujan sangat tinggi.Menurutnya, pada bagian hulu terdapat tigasampai lima waduk menampung air dalamjumlah yang sangat besar.

Pada saat tertentu, waduk itu dapat me-limpahkan airnya dalam waktu yang ber-samaan. Air waduk yang tumpah tersebutkemudian membawa sedimen dalam yangberbentuk lumpur. Saat itulah yang disebut-kan dengan peristiwa Debris Flow.

Haeruddin menambahkan, tumpahan airbercampur lumpur itu bergerak dengan ke-kentalan yang tinggi. Sehingga pergerakan-nya relatif lambat. Namun, Debris Flowdapat mengangkut semua benda yangdilaluinya, termasuk batu raksasa yang adadi sepanjang sungai Jeneberang.

“Seolah-olah, hukum Newton sudahtidak berlaku lagi. Kalau ada lumpur itu,biar alat berat juga terangkat kalau lumpuritu datang,” jelasnya.

Namun beruntung, lanjut Haeruddin,lumpur itu tidak akan sampai ke Dam Bili-bili. Menurutnya, lumpur tersebut akanlangsung terpecah-pecah saat melalui Sabo-Dam dan Consolidation Dam (CD).

“Yang sampai ke Dam Bilibili hanyabutiran lumpur yang melayang. Itu sudahtidak dapat kita saring lagi, karena ikutdengan warna air,” jelasnya.

Direktur Forum Studi Energi dan Ling-kungan (Fosil) Sulsel, Anwar Lasapa me-ngatakan, retakan di Bawakaraeng tak bisadipandang enteng. Setiap hari, kata dia,terjadi longsor yang menimbulkan sedi-mentasi di Bilibili.

“Ini sebenarnya pertama kali disebabkanbanyaknya penebangan pohon di sekitarsungai. Itu menyebabkan longsoran sema-kin besar. Kedua, sudah banyak ruang hijautergerus termasuk untuk vila. Sekarangmeski sabo dam sudah ada, volume long-soran tetap besar. Kalau tidak diantisipasicepat, Bilibili bisa jebol. Itu bukan halmustahil,” katanya.

Soal perambahan hutan yang jadi pemicusedimen di DAS Jeneberang juga diakuiBBWSPJ. Dalam buku berjudul Penge-lolaan SDA di DAS Jeneberang, hal tersebutmereka ungkap.

Anggota DPRD Sulsel, Amir Uskaramengatakan hal senada. “Longsoran terusturun. Sedimentasi sudah sangat tinggi diBilibili. Ada kekhawatiran semakin tinggidan bisa merusak yang imbasnya bisa sam-pai ke Makassar. Saya lihat ada kesalahandesain dari awal. Seharusnya ada lubang dibawah untuk mengeluarkan lumpur kalautinggi. Ternyata tidak ada. Jujur diakui kon-disinya sudah parah. Kondisi bangunandalam hal ini usia bendungan tidak sesuaiperencanaan awal,” tegasnya, Minggu, 10Januari.

“Salah satu pemicu longsor di 2004karena perambahan. Itu juga salah satu yangmempengaruhi. Tapi seharusnya itu dian-tisipasi sejak awal. Jangan kita menyalah-kan alam,” kritiknya.

A Herry Suhari Attas juga dari DPRDSulsel mengatakan upaya yang bisa dilaku-kan secara teknis memperlambat saja de-ngan sabo dam. “Jadi kita hanya memper-panjang umur. Kalau mau dikeruk ataumenghentikan itu sulit,” katanya. (tim)

DOK/FAJAR

Andi Herry Suhari Attas

NURHADI/FAJAR

MEMPRIHATINKAN. Kondisi air Dam Bilibili di tahun 1990-an tampak biru dan jernih (atas). Hal ini sangat berbeda dengan kondisiair saat ini seperti terlihat pada gambar yang direkam pada Sabtu, 9 Januari di mana air terlihat berwarna cokelat.

IST

Bilibili 2010

Bilibili 1990-an

NURHADI/FAJAR

PEMICU. Hujan deras mengguyur wilayah sekitar Dam Bilibili, Sabtu, 9 Januari.Kondisi ini bisa memicu longsor khususnya di wilayah hulu sungai Jeneberangyang berada di sekitar Bawakaraeng.