137
Bab lima
Perkembangan Klaster Cor Logam
Pengantar
Pada Bab ini penulis mengulas tentang perkembangan usaha dan teknologi
klaster cor logam yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu perkembangan usaha dan
perkembangan teknologi klaster cor logam. Perkembangan bisnis klaster dibagi
menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu tahap awal pertumbuhan atau dikenal dengan
embrio, tahap tumbuh dan dewasa serta yang ketiga adalah tahap penurunan
dan transformasi. Berdasarkan waktu, maka perkembangan usaha klaster dibagi
dalam tahap awal pertumbuhan/embrio menceritakan kegiatan usaha klaster pada
tahun 1918 – 1970, tahap tumbuh dan dewasa menceritakan kegiatan usaha pada
tahun 1970 – 1990 sedangkan tahap penurunan dan transformasi menceritakan
perkembangan klaster tahun 1990 sampai dengan sekarang.
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
138
Perkembangan teknologi klaster meliputi jenis teknologi dan proses teknologi
yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Teknologi pengecoran dibagi
dalam teknologi sederhana yang dikenal dengan besalen, teknologi dapur tungkik,
dapur kupola dan teknologi modern dalam bentuk dapur induksi.
Perkembangan Klaster Tahap Awal Pertumbuhan/Embrio (1918 – 1970)
Tahap awal tumbuh klaster Ceper Logam Klaten dalam uraian ini
dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu pada jaman Belanda, jaman Jepang
dan pada Jaman Kemerdekaan.
Jaman Kolonial Belanda
Klaten merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah,
terletak di antara Yogyakarta dan Surakarta dan merupakan salah satu
daerah pertanian di wilayah Jawa Tengah. Pada akhir abad 16, Klaten
merupakan pusat produksi dan penghasil beras terbesar di Kerajaan
Mataram, hasil berasnya dikirim ke daerah Jawa termasuk Batavia
(Suwondo, 1997). Selama masa kekuasaan kolonial Belanda, pengelolaan
hasil pertanian seperti gula tebu, tembakau dan nilam diproduksi di Klaten
dalam jumlah besar. Untuk menangani proses ini dibangun perusahaan
swasta yang mengendalikan dan mendorong perdagangan hasil pertanian
di daerah itu (Schweizer, 1988).
Perusahaan pengolahan hasil pertanian didirikan pada akhir abad 19
dan awal abad 20. Pengolahan hasil tembakau dalam bentuk pengeringan
tembakau dilakukan dalam jumlah besar-besaran. Selain tembakau
juga dilakukan pengolahan gula tebu. Sekitar tahun 1920 terdapat 22
139
penggilingan gula di Kabupaten Klaten. Jumlah tersebut berkisar lebih
dari 40% dari total 53 penggilingan gula di Jawa Tengah dan 11% dari
penggilingan gula di Jawa pada umumnya (Daldjoeni, 1972).
Klaten yang terletak di antara dua kota urbanisasi Yogyakarta dan
Surakarta mempunyai reputasi pula sebagai pusat industri rumah tangga.
Industri rumah tangga di Klaten, yaitu batik, tekstil, garmen, genteng,
mebel dari kayu dan bambu, logam untuk kebutuhan rumah tangga dan
tujuan tertentu, berbagai variasi pengolahan makanan. Usaha-usaha non
pertanian tersebut berlokasi di daerah pinggiran kota dan sebagian besar
terpusat di pedesaan dengan spesialisasi pada satu aktivitas tertentu (Ruteen,
hal 151). Perkembangan perusahaan besar di Kecamatan Ceper ada 3 yaitu
perusahaan gula Ceper Baru, perusahaan tekstile milik Pemerintah dan
perusahaan swasta penggergajian kayu. Sedang perkembangan didominasi
oleh industri kecil logam di Batur (Rutten, 152).
Perkembangan industri di Klaten dianggap sebagai salah satu contoh
keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Secara historis,
pertumbuhan industri yang menjadi maju diawali dengan pertumbuhan
sektor pertanian yang baik. Salah satu industri yang mengalami
perkembangan pesat di Kecamatan Ceper adalah industri logam (pandai
besi). Industri ini mampu berkembang karena pada awalnya berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan sektor pertanian dan rumah tangga, dan
selanjutnya berkembang dan berubah untuk mencukupi sektor industri
(Purbasari, 1997). Kondisi masyarakat yang secara kultural telah siap
menerima sektor industri sebagai sisi lain kehidupan masyarakat pedesaan,
merupakan modal utama dalam pengembangan industri di wilayah
tersebut. Pada mulanya, industri cor logam berpusat di dukuh Batur,
akhirnya merembet ke beberapa wilayah dalam lingkungan desa yang
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
140
sama hingga ke desa-desa lain di Kecamatan Ceper yaitu desa Tegalrejo,
Kurung, Ngawonggo dan Klepu.
Secara pasti tidak ditemukan bukti, kapan industri cor logam mulai
ada di Ceper, namun ada yang memperkirakan dimulai pada akhir abad
17. Masa itu kerajaan Mataram berdiri dan para empu atau pandai besi
harus memenuhi kebutuhan senjata (keris) untuk kepentingan kerajaan
(Tjokrowinoto, 1987). Dengan awal perkembangan seperti itu, maka
Dukuh Batur selanjutnya dikenal sebagai lokasi pandai besi di Klaten. Pada
saat sektor pertanian berkembang maka permintaan alat-alat pertanian
juga semakin berkembang sehingga permintaan terhadap produk pandai
besi di Klaten juga meningkat. Pada akhirnya permintaan alat-alat perang
kerajaan Mataram juga semakin meningkat (Kutanegara, 1994).
Perang Dunia I merupakan momentum penting bagi klaster cor
logam. Pada waktu itu pabrik-pabrik gula mengalami kesulitan suku
cadang dari Eropa, maka mereka mengalihkan perhatiannya ke industri
tradisional ini. Tahun 1918, salah seorang pengusaha bernama Haji Royani
menjawab tantangan tersebut dengan memproduksi kapak dari lori-
lori dan suku cadang pabrik gula. Jalan yang dirintisnya itu merangsang
sesamanya untuk menganekaragamkan dan memodernisasikan produk-
produk mereka (Tjokrowinoto,1987). Keadaan ini dianggap sebagai
tonggak perubahan orientasi masyarakat yang semula hanya memproduksi
alat-alat pertanian kemudian beralih ke sektor industri besar.
Pada tahun 1920, ketika kondisi suku cadang di Eropa kembali normal
dan para pemasok dari Eropa tidak lagi memesan ke Batur, para pengrajin
di Batur tetap melanjutkan perluasan bisnis mereka secara perlahan dan
mandiri. Setelah masa-masa tersebut, mereka mulai sukses mendapatkan
kepercayaan dan penawaran dengan harga yang relatif tinggi serta proses
141
pembuatan yang lebih cepat. Selanjutnya mereka terus mengembangkan
usahanya dengan membuat alat-alat pertanian, seperti as roda, gigi roda
persnelling serta katrol. Dengan semakin berkembangnya usaha para
pengrajin di Batur, mereka juga mulai mengembangkan produknya
dengan memasuki pasar untuk melayani pembuatan suku cadang pabrik
tekstil seluruh Jawa (Broadbaart, 1994).
Berkembangnya usaha di Batur tentunya berperan dalam
pertumbuhan ekonomi di Jawa khususnya Jawa Tengah, terutama
dalam pembuatan suku cadang untuk pabrik gula di Kabupaten Klaten
dan sekitarnya. Ketika terjadi krisis ekonomi di awal tahun 1930,
tidak memberikan pengaruh yang besar pada industri di Batur, karena
masyarakat mempunyai keuletan dalam menjalankan usahanya. Dampak
ditutupnya beberapa pabrik gula di Indonesia membuat mereka mengganti
produk yang semula harus diimpor sehingga mahal dengan menggunakan
komponen produk lokal yang murah. Akibatnya pengrajin di Batur
memperoleh banyak pesanan dan menghasilkan banyak keuntungan
(Baharuddin, 2010).
Akar-akar perkembangan klaster cor logam di Batur tampaknya
sangat panjang, namun salah satu tonggak perkembangan yang penting
adalah pada masa akhir pendudukan Belanda, yaitu dengan mulai
diproduksinya peralatan dan onderdil yang menjadi kebutuhan pabrik gula
dan tenun. Saat itu wilayah kecamatan Ceper menjadi sentra industri cor
logam terbesar dan terkenal di Indonesia. Hasil produksinya dipasarkan
hingga Australia, Taiwan, Belgia, Hongkong dan Belanda. Selain itu
hasil produksinya juga dipasarkan untuk memenuhi pasar dalam negeri
terutama Jawa (Purbasari, dkk, 1997).
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
142
Jaman Pendudukan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, kebutuhan persenjataan
memaksa para pengrajin besi di Batur memproduksi senjata. Tingginya
kebutuhan persenjataan di masa pendudukan tersebut mendorong para
pandai besi di Batur untuk memproduksi beberapa jenis peluru dan granat.
Demikian pula pada jaman perang kemerdekaan melawan Belanda, para
pejuang juga mendapatkan persenjataan dari pengrajin Ceper (Koperasi
Batur Jaya, 2000).
Jaman Kemerdekaan
Pada awal masa kemerdekaan permintaan terhadap produk kerajinan
besi mengalami penurunan yang drastis, tetapi mulai tahun 1953 ada pesanan
alat-alat pertanian ke daerah Batur. Agar hasil produksi sesuai dengan
pesanan, maka Dinas Perindustrian memberikan bimbingan modernisasi
peralatan berupa blower dengan baling-baling yang digerakkan dengan
menggunakan mesin diesel (Koperasi Batur Jaya, 2004). Pada tahun 1954
Pemerintah juga membangun Perusahaan Daerah (PERUSDA) untuk
menyediakan bahan baku, pengecoran dan pembubutan. Selain berdirinya
PERUSDA pengecoran tersebut, pemerintah juga mendirikan perusahaan
Infitex yang merupakan perusahaan tekstil.
Dengan adanya PERUSDA tersebut kebutuhan produk hasil cor mulai
meningkat dan untuk memenuhinya mulai diperkenalkan sistem tungkik.
Meningkatnya sistem pengecoran tersebut menyebabkan masyarakat yang
tadinya memproduksi barang setengah jadi beralih memproduksi barang
jadi. Pada tahun 1960 kebutuhan terhadap alat-alat pertanian tumbuh
143
cukup pesat. Pada tahap selanjutnya, industri cor logam juga banyak
memproduksi alat-alat kebutuhan rumah tangga seperti wajan ataupun
komponen mesin jahit. Tetapi waktu itu pesanan yang datang belum
begitu banyak, meskipun sudah cukup untuk menghidupkan beberapa
perusahaan industri cor logam.
Kurang pesatnya industri cor logam ini membangkitkan pengusaha
untuk mencari cara yang tepat untuk dapat memajukan industri cor
logam. Akhirnya pengusaha tersebut mempelajari cara membuat pompa
air. Pada waktu itu, pompa air yang sering digunakan merupakan pompa
air impor. Setelah berhasil mempelajari cara membuat pompa air tersebut,
akhirnya ia memproduksi pompa air sejenis dengan harga jual yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pompa air impor. Pompa
air tersebut diberi merk yang berbeda dengan aslinya supaya tidak ada
tuduhan melanggar hak paten. Ternyata produk pompa air tersebut laku
keras dan banyak sekali pesanan datang sehingga mampu menghidupkan
banyak perusahaan cor logam. Produk cor logam ini selanjutnya menjadi
produk primadona bagi beberapa perusahaan cor logam (Yuarsi, 1999).
Perkembangan Klaster Tahap Tumbuh dan Dewasa (1970 sampai 1990)
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan pemerintah
menekankan pada kebijakan substitusi impor. Kebijakan ini pada era
tahun 1970-an mengakibatkan klaster industri cor logam mengalami
pertumbuhan. Pada periode tahun 1970-1980, klaster cor logam mulai
melakukan pengembangan jaringan usaha, khususnya dengan pihak
pemerintah. Demikian pula pada era tahun 1980-1990-an, menurut
Suyitno (informan kunci) industri cor logam mengalami masa kejayaannya.
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
144
Pada masa itu order yang diterima, baik dari pemerintah, swasta maupun
perseorangan, sangat banyak dan dalam jumlah besar, sehingga para
pengusaha terpaksa menyalurkan atau membagi order-order tersebut
ke perusahaan lainnya, baik yang lebih kecil maupun setaraf dengan
perusahaannya. Bahkan banyak mantan buruh pekerja tenaga terampil
mulai mendirikan perusahaan baru untuk membantu perusahaan induk
mengerjakan pesanan akibat berlimpahnya order.
Lahirlah subkontrak baru yang berasal dari mantan buruh pekerja.
Bilal, yang dulunya merupakan pengusaha sukses, menceritakan bahwa
ia terpaksa menghubungi dan menyuruh saudara-saudaranya serta
keponakannya mendirikan perusahaan cor logam karena order yang
datang tidak sanggup diselesaikannya sendiri. Besarnya permintaan
memungkinkan para pengusaha mengembangkan industri cor logam
mereka dalam berbagai tingkat, baik dalam tingkat modal yang digunakan
maupun tingkat produk yang dihasilkannya. Bilal juga mengatakan bahwa
beberapa perusahaan telah melakukan kerjasama dengan perusahaan
besar atau menjadi subkontrak. Tingkat teknologi perusahaan yang
mengadakan subkontrak pada umumnya sudah lebih maju, bahkan
beberapa diantaranya memiliki mesin impor dan telah berbadan hukum,
seperti Perseroan Terbatas (PT).
Perusahaan yang memiliki modal besar menggunakan sebagian
modalnya untuk mengembangkan usaha baru dengan menggunakan
teknologi yang lebih modern dan menghasilkan produk yang lebih maju.
Perusahaan semacam ini biasanya telah mengembangkan kerjasamanya
dengan perusahaan multinasional. Hasil produksinya sebagian telah
diekspor ke luar negeri. Sementara itu, perusahaan lain yang bersifat
home industry dan dikembangkan dengan modal kecil pada umumnya
145
menghasilkan barang kebutuhan konsumen yang dipesan secara langsung,
seperti pompa tangan, asesori pagar dan pintu gerbang atau memproduksi
barang yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti wajan dan setrika
(Yuarsi, 1999).
Damanik (1993) mencatat bahwa walaupun perusahaan-perusahaan
cor logam cukup bervariasi, baik dari sudut permodalan dan teknologinya,
ciri kepemilikan dan manajemen usaha antara perusahaan kecil dan
besar tidak berbeda jauh. Ciri manajemen keluarga sangat menonjol
karena setiap perusahaan biasanya dikendalikan sepenuhnya oleh salah
seorang anggota keluarga. Ciri yang lain adalah adanya estafet bisnis antar
keluarga, dimana pemilik cenderung mewariskan perusahaannya kepada
salah seorang anaknya. Selain itu, juga memberikan modal kepada anak
yang lain untuk mendirikan industri cor logam (sejenis). Dampak dari
manajemen keluarga tersebut, jumlah industri cor logam semakin tahun
semakin banyak. Selain itu, mudahnya buruh cor logam untuk beralih
menjadi pengusaha cor logam juga memperbanyak jumlah industri cor
logam. Pengusaha baru yang berasal dari buruh ini pada umumnya juga
menerapkan konsep manajemen keluarga.
Perkembangan Klaster Tahap Penurunan dan Transformasi (1990 sampai
sekarang)
Mulai terjadinya penurunan ekonomi secara makro dan dilanjutkan
adanya krisis moneter tahun 1998 berimbas pada berbagai sendi kehidupan.
Usaha industri, terutama yang bergantung pada bahan baku impor,
sebagian besar gulung tikar. Keadaan klaster industri cor logam juga tidak
jauh berbeda. Harga bahan bakar yang masih diimpor melonjak dari Rp.
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
146
1.900,00 per kilo menjadi Rp.6.000,00 per kilo. Lonjakan harga bahan
bakar tersebut menyebabkan sebagian pengusaha pengecoran mengalami
kerugian dan terpaksa menghentikan usahanya. Sebagian lagi berusaha
tetap bertahan dengan mencari solusi melalui berbagai penelitian. Beberapa
pengusaha kemudian berinisiatif dengan mengganti alat peleburan dengan
teknologi yang lebih tinggi yaitu tanur induksi yang menggunakan tenaga
listrik. Namun akhirnya juga terkendala dengan harga listrik PLN yang
semakin naik, padahal tanur induksi tersebut membutuhkan daya listrik
dalam jumlah yang sangat besar (Suara Merdeka, 5 juni 2010).
Tidak adanya kesesuaian antara harga jual dengan biaya produksi
tersebut mengakibatkan beberapa perusahaan mengalami collapse. Selain
harga bahan bakar, harga bahan baku cor logam yang berupa cash iron yang
masih diimpor juga membumbung tinggi dari Rp. 3.500,00 per kg sebelum
krisis, meningkat mencapai Rp. 5.500,00 per kg di tahun 2008. Briket
batu bara mencapai Rp. 9.500,00 dari harga sebelum krisis Rp. 2.750,00-
Rp. 3.000,00 per kg (Kompas, 14 Maret 2008). Naiknya harga bahan bakar
dan bahan baku tersebut otomatis mengakibatkan harga jual produk juga
menjadi berlipat ganda. Hal ini menjadikan konsumen memilih menunda
pemesanan, apalagi produk cor logam bukanlah termasuk barang-barang
kebutuhan utama.
Menurunnya pesanan, kata seorang pelaku industri yang memberikan
order pembuatan komponen kepada beberapa pengusaha pengecoran di
Ceper, disebabkan karena banyak faktor. Selain karena kenaikan harga
kokas dan scrap, juga banyak pengusaha pengecoran yang belum mampu
menghasilkan produk yang presisi, tepat waktu, dan dalam volume yang
besar. Akan tetapi, kalau pekerjaan itu dialihkan kepada para pengusaha
lainnya di Ceper, juga tak sepenuhnya akan mampu mereka ambil alih.
147
Jadi, sebagian besar masih harus ditangani sendiri oleh industri penerima
order sehingga menjadi tidak efisien.
Karena kemampuannya yang terbatas, banyak pengusaha lebih
senang mengambil order yang setengah jadi. Artinya, hasilnya masih
kasar. Saat dikirimkan ke pabrik pemberi order, sebelum digunakan, masih
harus disempurnakan. Jadi, butuh proses tambahan untuk bisa menjadi
komponen yang siap pakai sehingga makin menambah biaya. Apabila
pengusaha di Ceper mampu membuat produk yang presisi, pengiriman
barangnya tepat waktu, siap pakai, dan mampu memproduksi dalam
jumlah yang besar, pasti mereka akan kebanjiran order. Jadi, industri
logam di Ceper sebenarnya mempunyai peluang yang baik, asalkan bisa
menghasilkan produk yang presisi, tepat waktu dan dalam jumlah banyak.
Oleh sebab itu, mereka harus menggandeng akademi untuk mengasistensi
agar produknya layak pasar. Jika ini dilakukan, produk yang mereka
hasilkan bukan hanya akan masuk ke pasar lokal saja tetapi juga masuk ke
pasar global (Kompas, 28 Juni 2004).
Semakin menurunnya jumlah pesanan mengakibatkan sebagaian
perusahaan gulung tikar. Agar usaha mereka tidak bangkrut total,
pengusaha setidak-tidaknya harus mencari berbagai cara untuk bertahan.
Setiap perusahaan pengecoran logam mempunyai pasar sendiri-sendiri.
Ada perusahaan yang sebagian ordernya datang secara individu, ada yang
dari pemerintah dan ada juga yang merupakan pesanan dari perusahaan
swasta atau perusahaan yang bekerja sama dengan luar negeri. Perusahaan
yang masih bisa bertahan umumnya adalah perusahaan yang terkait
dengan perusahaan swasta atau yang melayani permintaan pesanan dari
luar negeri.
Perusahaan-perusahaan yang biasa melayani order dari pemerintah
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
148
untuk sementara harus gulung tikar karena program-program dari
pemerintah, seperti pembangunan perumahan dan lain sebagainya,
banyak yang ditunda bahkan berhenti. Krisis ekonomi yang berlarut-
larut memaksa pemerintah untuk melakukan pengetatan anggaran untuk
berbagai bidang, termasuk pembangunan perumahan. Sebelum krisis
berlangsung, pembangunan perumahan begitu marak dan para kontraktor
pun banyak memesan pompa air pada perusahaan cor logam di Ceper.
Pesanan dalam skala besar yang datang dari pemerintah, seperti pemesanan
pompa air yang biasanya digunakan di perumahan-perumahan, terhenti
seiring dengan macetnya pembangunan perumahan. Padahal produksi
pembuatan pompa air pernah menjadi produk andalan dan tumpuan bagi
banyak perusahaan cor logam sekitar tahun 1990-an. Kini satu-satunya
perusahaan pemerintah yang masih memberikan order adalah Perumka,
yang memberikan order berupa blok rem kereta api kepada Koperasi Batur
Jaya. Pesanan itulah yang sampai sekarang masih mampu menghidupkan
beberapa perusahaan pengecoran logam (Yuarsi, 1999).
Sejak terjadinya reformasi pada sistim pemerintahan, yaitu dengan
adanya otonomi daerah, lahirnya UU monopoli maupun globalisasi,
Industri Cor Logam Klaten mempunyai permasalahan yang cukup serius,
diantaranya adalah: a) dengan adanya otonomi daerah, pembinaan industri
baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten semakin mengendor, b) dengan
adanya Kepres 80 tahun 2003, tentang pengadaan barang dan jasa, yang
menentukan syarat keikutsertaan tender sangat mudah mengakibatkan
keberadaan koperasi dalam keikutsertaan tender dikalahkan oleh
”Perusahaan Swasta” yang sebenarnya bukan perusahaan produsen barang
Cor Logam, c) keberpihakan pemerintah terhadap industri kecil, baik
dalam pengadaan bahan baku maupun kebijakan yang mendorong pasar
149
barang cor logam semakin tidak terlihat, d) dengan adanya persaingan
yang cukup tajam, walaupun secara kapasitas produk cor logam Ceper di
Klaten mengalami peningkatan, namun jumlah industri kecil yang ada
semakin berkurang, e) koperasi yang dahulunya mendapatkan banyak
pesanan dari pemerintah, saat sekarang hanya mendapatkan pesanan
dari PT. KAI untuk produk blok rem kereta api. Itupun dalam tahun
2010 koperasi telah kalah dalam tender di PT. KAI. Sedang para anggota
Koperasi dalam rangka menghadapi persaingan yang semakin tajam telah
berpindah untuk menghasilkan peralatan otomotif dan pompa air.
Untuk mempertahankan usaha, beberapa perusahaan melakukan
penghematan biaya produksi yang dilakukan dengan cara (Yuarsi, 1999):
a) mendaur ulang bahan baku, misalnya mendaur ulang penggunaan
pasir batu bara serta melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya
proses produksi agar sesuai dengan program yang sudah digariskan.
Pengawasan ketat dilakukan untuk menghindari kegagalan produksi.
Kadang kala jika pengawasan terhadap proses produksi kurang ketat,
hasil produksinya banyak yang tidak sempurna sehingga tidak dapat
dipasarkan. Konsekuensinya ialah harus dilebur kembali dan tentunya
akan menambah biaya produksi lagi, b) mengurangi berat bahan baku
namun berusaha kualitas barangnya tidak terlalu jauh berbeda. Terkadang
bahan baku yang berasal dari Cina diganti dengan bahan lokal berupa besi
rongsokan yang harganya lebih murah. Cara-cara ini ditempuh pengusaha
dengan harapan agar harga jual tidak terlalu tinggi sehingga masyarakat
masih mampu membelinya. Walaupun para pengusaha sudah berusaha
sedemikian rupa untuk menekan biaya produksi, bila dibandingkan dengan
harga sebelum krisis, harga jual tetap jauh lebih tinggi, c) effisiensi kerja,
termasuk diantaranya mengubah sistem pengupahan. Hal ini dilakukan
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
150
oleh beberapa perusahaan cor logam demi kelangsungan hidup perusahaan
serta kesejahteraan para pekerjanya. Sebelum krisis berlangsung,
perusahaan-perusahaan tersebut menerapkan cara pengupahan sistem
harian, baik bagi pekerja bagian cetak, pengecoran maupun finishing. Sejak
krisis berlangsung, perusahaan-perusahaan tersebut mengubah sistem
pengupahan, terutama bagi pekerjaan bidang pengecoran dari sistem harian
menjadi sistem borongan yang dirasakan lebih efisien dan menghemat
biaya. Beberapa perusahaan khususnya perusahaan kecil juga menitipkan
pengerjaan order pengecoran yang mereka dapat ke perusahaan lain yang
melakukan pengecoran.
Pada saat mengalami masa-masa klaster tumbuh dan dewasa,
saat terbentur dengan harga bahan bakar yang tinggi maka klaster
mengupayakan pembaharuan teknologi. Dampak dari pembaharuan
teknologi tersebut maka bagi pengusaha yang tidak mampu akan membuat
jaringan usaha sendiri. Demikian pula dengan yang maju, mereka juga mulai
membuat jaringan tersendiri. Maka terjadilah kelompok-kelompok kecil,
atau dalam pertumbuhan klaster disebut dengan transformasi (terpecah).
Kondisi transformasi menyebabkan klaster mengalami penurunan atau
melahirkan klaster-klaster baru. Menurut Yuli, salah seorang informan,
beberapa klaster baru seperti klaster otomotif sebenarnya sudah mulai
terbentuk seiring dengan sulitnya bahan bakar kokas. Tetapi akibat
peningkatan harga bahan bakar tersebut, jumlah pesanan cor logam juga
mengalami penurunan sehingga juga berdampak pada penutupan usaha.
Usaha cor logam tersebut mengalami pengurangan dan yang masih tetap
jalan sekitar 35% dari seluruh usaha.
Disamping beralih ke klaster otomotif, beberapa perusahaan
151
beralih ke produksi pembuatan mebel. Hal tersebut disebabkan adanya
perusahaan eksportir mebel yang berada tidak jauh dari Kecamatan Batur.
Menurut Bilal, perusahaan tersebut menawarkan order ke beberapa
pengusaha cor logam dan order itu diterima karena hasilnya lumayan
untuk menutup biaya perusahaan yang mesti dikeluarkan setiap bulan.
Walaupun dibandingkan dengan masa kejayaan cor logam, pesanan dari
industri mebel ini belum sebanding tetapi setidaknya mengurangi adanya
pengangguran.
Suyitno, salah seorang informan, mengatakan bahwa saat ini
banyak pengusaha telah mempersiapkan regenerasi perusahaannya kepada
anaknya. Bentuk usahanya biasanya PT dengan kepemilikan saham dari
anak-anaknya. Dahulu, pengusaha menjalankan usahanya sampai usia
tua sekali, namun sekarang para pengusaha yang sudah mulai tua mulai
“lengser” dan menyerahkan estafet kepemimpinan pada anaknya. Mereka
mulai berfikir untuk pensiun dan menikmati masa tua dengan tidak
bekerja lagi.
Sayangnya, anak-anak dari para pengusaha cor logam tersebut
banyak yang tidak mengikuti jejak orang tuanya. Menurut Yahya, ada
beberapa alasan mengapa anak-anak tidak menyukai pengecoran, pertama
karena tempat pengecoran cenderung kotor dan panas sehingga banyak
anak-anak pengusaha yang tidak menyukainya. Kedua, para orang tua
banyak yang tidak mau melibatkan anak-anaknya dalam bekerja, karena
tidak tega melihat anaknya bekerja sambil sekolah. Ketiga, pendewasaan
anak-anak sekarang relatif lama dari pada jaman dahulu, sehingga orang
tua agak ragu-ragu menyerahkan estafet usahanya pada anaknya yang
masih muda.
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
152
Teknologi dan Proses Produksi Industri Cor Logam
Teknologi merupakan hasil dari proses historis, mencakup
suatu tingkat tertentu yang melibatkan penggantian atau perubahan
seperangkat ciri dari tahap pembangunan teknologi lain (Tjokrowinoto,
1987). Industri cor logam di Ceper tidak hanya dapat diukur dari segi
aset dan manajemen perusahaan, melainkan juga dari segi teknologi. Dari
usaha pandai besi dengan peralatan tradisional menjadi usaha pengecoran
logam meski dengan alat sederhana. Dari pemakaian alat cor sederhana,
meningkat menjadi pemakaian alat modern. Akhirnya sejak tahun 1972
terdapat 400 unit usaha yang telah mampu menggunakan tahap akhir/
finishing process (Purbasari, 1997).
Dalam proses pengecoran logam, tahapan peleburan untuk
mendapatkan logam cair, akan dilakukan dengan menggunakan suatu
tungku atau dapur peleburan. Yaitu sebuah peralatan yang digunakan
untuk mencairkan logam pada proses pengecoran (casting) atau untuk
memanaskan bahan dalam proses perlakuan panas (heat treatment).
Idealnya tungku harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai
mencapai suhu yang seragam dengan bahan bakar dan tenaga kerja
sesedikit mungkin. Kunci dari operasi tungku yang efisien terletak pada
pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang
minimum (Abrianto Akuan, 2009).
Pemilihan dapur/tungku tergantung pada beberapa faktor (Mikell P.
Groover, 2000) seperti : a) paduan logam yang akan dicor, b) temperatur
lebur dan temperatur penuangan, c) kapasitas dapur yang dibutuhkan, d)
biaya operasi, e) pengoperasian, f) pemeliharaan dan g) polusi terhadap
lingkungan.
153
Berikut adalah teknologi pengecoran logam fero dari dapur tradisional
bernama besalen, sampai dengan teknologi modern dengan menggunakan
dapur induksi yang menggunakan energi listrik.
Pengerjaan cor pertama kali dalam bentuk alat pertanian bernama
kejen (mata bajak) yang konon menurut cerita merupakan peninggalan
dari Ki Ageng Serang. Dari memproduksi kejen berkembang lebih baik
dan beralih menjadi alat angkut lori. Proses pengecoran yang dilakukan
amat sederhana. Tungku peleburan besi tersebut bernama besalen. Besalen
berwujud tobong batu bata yang berbentuk pipa. Pada dasarnya diberi
kowen yang berbentuk cangkir dari bahan tanah yang didatangkan khusus
dari desa Bayat, Kabupaten Klaten, sebab pada waktu itu tanah dari daerah
lain tidak bisa dipergunakan untuk membuat kowen (kowi) tersebut.
Sebagai bahan bakar pengecoran adalah arang kayu kesambi.
Setelah dibakar kemudian dihembuskan dari ububan yang klepnya terbuat
dari kulit kerbau. Bentuk ububan sama dengan ububan pandai besi biasa
tetapi posisinya tidak berdiri melainkan mendatar (ditidurkan). Untuk
mencairkan (melebur) besi cor diperlukan waktu + 7 jam secara terus
menerus. Kapasitas pengecoran dalam satu hari adalah satu dacin atau
62,5 kg. Pengecoran dengan besalen berlangsung sangat lama. Masa-masa
itu adalah masa dimana masyarakat desa masih saling membantu secara
gotong-royong, tanpa meminta bayaran sama sekali (Koperasi Batur Jaya,
2004).
Seiring dengan semakin berkembangnya industri pengecoran di
Ceper maka pengecoran dengan besalen berpindah pada alat pengecoran
yang lebih cepat yaitu dapur tungkik. Dapur tungkik yaitu dapur peleburan
logam yang cara penuangan besi cairnya dengan cara ditungkikkan/
diungkit. Wadah peleburan berupa corong baja dengan diameter 65 cm
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
154
dan tingginya sekitar 2 m, kemudian tungku dan pengaduknya dari besi,
serta blower dengan baling-baling digerakkan mesin diesel. Peleburan
besi dilakukan dengan dapur tungkik, dengan cara besi dilebur pada suhu
sekitar 110°C (derajad Celcius) dengan kapasitas maksimal 800 kg per jam.
Setelah besi melebur corong dimiringkan untuk dituangkan ke dalam
wadah yang kecil disebut cinthung. Kemudian dengan cinthung tersebut
cairan besi dibawa sedikit menjauh dan diletakkan ke dalam cetakan
(tapel) yang biasanya dibuat dari pasir (Badaruddin, 2010).
Dapur Pelebur kapasitas 300kg Blower
Dinamika dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten
126
Setelah dibakar kemudian dihembuskan dari ububan yang klepnya terbuat dari kulit kerbau. Bentuk ububan sama dengan ububan pandai besi biasa tetapi posisinya tidak berdiri melainkan mendatar (ditidurkan). Untuk mencairkan (melebur) besi cor diperlukan waktu + 7 jam secara terus menerus. Kapasitas pengecoran dalam satu hari adalah satu dacin atau 62,5 kg. Pengecoran dengan besalen berlangsung sangat lama. Masa-masa itu adalah masa dimana masyarakat desa masih saling membantu secara gotong-royong, tanpa meminta bayaran sama sekali (Koperasi Batur Jaya, 2004).
Seiring dengan semakin berkembangnya industri pengecoran di Ceper maka pengecoran dengan besalen berpindah pada alat pengecoran yang lebih cepat yaitu dapur tungkik. Dapur tungkik yaitu dapur peleburan logam yang cara penuangan besi cairnya dengan cara ditungkikkan/diungkit. Wadah peleburan berupa corong baja dengan diameter 65 cm dan tingginya sekitar 2 m, kemudian tungku dan pengaduknya dari besi, serta blower dengan baling-baling digerakkan mesin diesel. Peleburan besi dilakukan dengan dapur tungkik, dengan cara besi dilebur pada suhu sekitar 110°C (derajad Celcius) dengan kapasitas maksimal 800 kg per jam. Setelah besi melebur corong dimiringkan untuk dituangkan ke dalam wadah yang kecil disebut cinthung. Kemudian dengan cinthung tersebut cairan besi dibawa sedikit menjauh dan diletakkan ke dalam cetakan (tapel) yang biasanya dibuat dari pasir (Badaruddin, 2010).
Dapur Pelebur kapasitas 300kg Blower
155
Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grafit
Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik
Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur
Perkembangan Bisnis dan Teknologi Klaster Cor Logam
127
Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grafit Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik
Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur
Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan.
Perkembangan Bisnis dan Teknologi Klaster Cor Logam
127
Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grafit Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik
Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur
Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan.
Perkembangan Klaster Cor LogamPerkembangan Bisnis dan Teknologi Klaster Cor Logam
127
Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grafit Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik
Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur
Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan.
Perkembangan Bisnis dan Teknologi Klaster Cor Logam
127
Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grafit Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik
Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur
Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan.
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
156
Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola
dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola
lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan. Kupola
menggunakan lebih banyak bahan bakar, bahan mentah dan memerlukan
tenaga yang besar dari mesin diesel untuk proses perputaran panas.
Sedangkan untuk proses produksi dengan menggunakan dapur kupola
tidak berbeda dengan dapur tungkik. Memiliki diameter yang sama dengan
tungkik tetapi mempunyai tinggi sekitar 5m. Dapat mencapai suhu 1.400°C
(derajat celcius) dan dapat menampung 1.500 kg cairan besi per jam atau 2
kali lebih besar dari produksi menggunakan tungkik (Badaruddin, 2010).
Dapur kupola dibuat dari baja berbentuk silinder dengan posisi tegak, pada
dinding bagian dalam dilapisi dengan bata tahan api. Sebagai bahan bakar
yang diperlukan untuk peleburuan menggunakan kokas (batu bara).
Dapur kupola dengan konstruksi dari beberapa bagian mempunyai
fungsinya masing-masing, antara lain: a)bagian atau daerah pemanasan
awal, yaitu bagian mulai dari pintu pengisian sampai pada tempat dimana
logam mulai mencair, b) bagian daerah peleburan, yakni bagian dari alas
kokas dimana logam sudah mencair, c) bagian daerah pemanasan lanjut,
yakni bagian yang berada pada daerah lebur dari Tuyere. Pada daerah ini
dilakukan pemanasan pada logam cair yang mengalir diantara sela-sela
kokas, d) daerah krus, yaitu bagian dari batas Tuyere hingga dasar kupola
dimana pada bagian ini logam cair bersama dengan kerak ditampung.
157
Dapur kupola Kegiatan peleburan
Gambar kokas
(bahan bakar dapur kupola)
Seiring dengan tantangan yang dihadapi dan perkembangan
teknologi, industri pengecoran logam yang awalnya menggunakan dapur
tungkik atau dapur kupola, selanjutnya meningkat lagi menggunakan
dapur induksi. Dapur induksi mulai digunakan pada tahun 1997
(Badaruddin, 2010). Dapur induksi digunakan pada proses peleburan
besi, baja cor dan sedikit non fero. Energi peleburan diperoleh dari bahan
bakar listrik. Secara umum terdiri dari 2 jenis, yaitu jenis saluran (untuk
proses penahanan temperatur) dan jenis krus (untuk proses peleburan).
Perkembangan Klaster Cor Logam
Dinamika dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten
128
Kupola menggunakan lebih banyak bahan bakar, bahan mentah dan memerlukan tenaga yang besar dari mesin diesel untuk proses perputaran panas. Sedangkan untuk proses produksi dengan menggunakan dapur kupola tidak berbeda dengan dapur tungkik. Memiliki diameter yang sama dengan tungkik tetapi mempunyai tinggi sekitar 5m. Dapat mencapai suhu 1.400°C (derajat celcius) dan dapat menampung 1.500 kg cairan besi per jam atau 2 kali lebih besar dari produksi menggunakan tungkik (Badaruddin, 2010). Dapur kupola dibuat dari baja berbentuk silinder dengan posisi tegak, pada dinding bagian dalam dilapisi dengan bata tahan api. Sebagai bahan bakar yang diperlukan untuk peleburuan menggunakan kokas (batu bara).
Dapur kupola dengan konstruksi dari beberapa bagian mempunyai fungsinya masing-masing, antara lain: a)bagian atau daerah pemanasan awal, yaitu bagian mulai dari pintu pengisian sampai pada tempat dimana logam mulai mencair, b) bagian daerah peleburan, yakni bagian dari alas kokas dimana logam sudah mencair, c) bagian daerah pemanasan lanjut, yakni bagian yang berada pada daerah lebur dari Tuyere. Pada daerah ini dilakukan pemanasan pada logam cair yang mengalir diantara sela-sela kokas, d) daerah krus, yaitu bagian dari batas Tuyere hingga dasar kupola dimana pada bagian ini logam cair bersama dengan kerak ditampung Dapur kupola
Kegiatan peleburan
Gambar kokas (bahan bakar dapur kupola)
Dinamika dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten
128
Kupola menggunakan lebih banyak bahan bakar, bahan mentah dan memerlukan tenaga yang besar dari mesin diesel untuk proses perputaran panas. Sedangkan untuk proses produksi dengan menggunakan dapur kupola tidak berbeda dengan dapur tungkik. Memiliki diameter yang sama dengan tungkik tetapi mempunyai tinggi sekitar 5m. Dapat mencapai suhu 1.400°C (derajat celcius) dan dapat menampung 1.500 kg cairan besi per jam atau 2 kali lebih besar dari produksi menggunakan tungkik (Badaruddin, 2010). Dapur kupola dibuat dari baja berbentuk silinder dengan posisi tegak, pada dinding bagian dalam dilapisi dengan bata tahan api. Sebagai bahan bakar yang diperlukan untuk peleburuan menggunakan kokas (batu bara).
Dapur kupola dengan konstruksi dari beberapa bagian mempunyai fungsinya masing-masing, antara lain: a)bagian atau daerah pemanasan awal, yaitu bagian mulai dari pintu pengisian sampai pada tempat dimana logam mulai mencair, b) bagian daerah peleburan, yakni bagian dari alas kokas dimana logam sudah mencair, c) bagian daerah pemanasan lanjut, yakni bagian yang berada pada daerah lebur dari Tuyere. Pada daerah ini dilakukan pemanasan pada logam cair yang mengalir diantara sela-sela kokas, d) daerah krus, yaitu bagian dari batas Tuyere hingga dasar kupola dimana pada bagian ini logam cair bersama dengan kerak ditampung Dapur kupola
Kegiatan peleburan
Gambar kokas (bahan bakar dapur kupola)
Dinamika dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten
128
Kupola menggunakan lebih banyak bahan bakar, bahan mentah dan memerlukan tenaga yang besar dari mesin diesel untuk proses perputaran panas. Sedangkan untuk proses produksi dengan menggunakan dapur kupola tidak berbeda dengan dapur tungkik. Memiliki diameter yang sama dengan tungkik tetapi mempunyai tinggi sekitar 5m. Dapat mencapai suhu 1.400°C (derajat celcius) dan dapat menampung 1.500 kg cairan besi per jam atau 2 kali lebih besar dari produksi menggunakan tungkik (Badaruddin, 2010). Dapur kupola dibuat dari baja berbentuk silinder dengan posisi tegak, pada dinding bagian dalam dilapisi dengan bata tahan api. Sebagai bahan bakar yang diperlukan untuk peleburuan menggunakan kokas (batu bara).
Dapur kupola dengan konstruksi dari beberapa bagian mempunyai fungsinya masing-masing, antara lain: a)bagian atau daerah pemanasan awal, yaitu bagian mulai dari pintu pengisian sampai pada tempat dimana logam mulai mencair, b) bagian daerah peleburan, yakni bagian dari alas kokas dimana logam sudah mencair, c) bagian daerah pemanasan lanjut, yakni bagian yang berada pada daerah lebur dari Tuyere. Pada daerah ini dilakukan pemanasan pada logam cair yang mengalir diantara sela-sela kokas, d) daerah krus, yaitu bagian dari batas Tuyere hingga dasar kupola dimana pada bagian ini logam cair bersama dengan kerak ditampung Dapur kupola
Kegiatan peleburan
Gambar kokas (bahan bakar dapur kupola)
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
158
Ukuran bahan baku sangat ditentukan oleh frekuensi kerja dapur induksi.
Kualitas peleburan sangat ditentukan oleh lining dapur induksi.
Kelebihan dari dapur induksi dibandingan dengan dapur yang lain
adalah: hasil peleburan bersih, mudah dalam mengatur/ mengendalikan
temperatur, komposisi cairan homogen, efisien dalam penggunaan
energi panas tinggi, serta dapat digunakan untuk melebur berbagai jenis
material. Frekuensi kerja yang digunakan: jenis induksi frekuensi jala-jala
(50 Hz- 60 Hz) dengan kapasitas lebur di atas 1 ton/jam dan dapur induksi
frekuensi menengah (150 Hz- 10.000 Hz) untuk pengecoran dengan
kapasitas lebur rendah. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan teknologi induksi adalah: investasi biaya tetap (fixed cost) yang
cukup besar akan menuntut loading yang tinggi, biaya operasi yang besar
menuntut tingkat kegagalan yang rendah, dibutuhkan operator maupun
teknisi berpengalaman dalam mengoperasikannya, tingkat bahaya besar
mengingat dapur ini menggunakan energi listrik yang sangat besar, serta
biaya perawatan yang cukup besar.
Tuntutan modernisasi di berbagai aspek, mutu dan kualitas serta
produktifitas menjadi sangat penting kendati harus dibayar mahal. Hal ini
terjadi pula dalam proses peleburan dalam upaya menghasilkan produk
yang bermutu tinggi dengan dikembangkan pemakaian energi listrik
sebagai sumber panasnya. Dalam beberapa hal pemakaian energi listrik
ini memiliki berbagai keunggulan, antara lain : a). memberikan jaminan
homogenitas kemurnian bahan tuangan sesuai dengan komposisi yang
diharapkan, b). temperatur pemanasan dapat dikendalikan pada konstanta
yang diinginkan, c). dapat memperbaiki mutu logam dari bahan baku
dengan mutu rendah.
159
Terdapat 2 (dua) jenis dapur induksi yaitu :
1. Dapur Krus
Dapur krus ialah salah satu dari dapur listrik yang menggunakan
induksi listrik sebagai sumber panasnya. Dapur ini disebut dapur
krus atau dapur tak berinti karena tempat peleburannya berbentuk
krus atau bak atau kubangan. Dapur ini dibentuk dari sistem pemanas
listrik yang dilindungi oleh bahan tahan api dan dinding baja.
2. Dapur Induksi saluran
Dapur induksi saluran ini konstruksinya terbagi dalam dua bagian
yakni bagian pemanasan dan bagian krus atau dapur berinti. Induksi
listriknya diperolah dari dua bagian yakni bagian krus dan bagian
saluran. Dapur induksi saluran ini konsumsi listriknya relatif kecil
sehingga pemanasannya dilakukan pada kurang lebih 20 % sampai
30 % dari bahan yang akan dilebur kemudian ditambah setelah
peleburan. Disamping itu, dapur jenis ini juga memerlukan bata tahan
api yang bermutu tinggi dari berbagai jenis yang disesuaikan dengan
kebutuhan.
Bahan-bahan seperti besi tuang, besi kasar baru, skrap serta potongan-
potongan baja dapat dilebur pada dapur ini. Hal ini sangat berbeda
dengan dapur kupola dimana skrap lebih banyak dilebur. Proses
peleburan dengan menggunakan dapur listrik tidak menimbulkan
pengarbonan sehingga diperlukan penambahan kadar karbon
yakni dengan memasukan bubuk karbon atau bubuk kokas. Untuk
mencegah penurunan suhu di dalam dapur pengisian harus dilakukan
secara bertahap sedikit demi sedikit. Pada saat awal dimana skrap baja
dimasukan dan saat mulai mencair kira-kira 2/3 bagian dari bahan
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
160
pengarbonan dimasukkan dapur. Dan setelah itu ditambah besi
kasar baru, sekrap besi dan potongan-potongan baja dimasukan dan
kemudian paduan besi. Tabel 5.1
Jumlah Dapur Induksi Terpasang di Ceper
No Perusahaan Kapasitas (Kg)
Tahun Pasang Jumlah
Daya terpasang
(KVA)
Sub Total (KVA)
1 PT. Aneka Adhilogam Karya 1x1000 1993 1 685 685
2 PT. Itokoh Ceperindo 2x250 1997 1 250 250
3 CV. Sinar Super Baja1x250 1997 1 200 200
1x500 1997 1 345 345
4 CV. Kusuma Baja 1x500 1997 1 345 345
5 PT. Baja Kurnia
1x300 2000 1 200 2001x500 2000 1 345 345
6 Politeknik Manufaktur Ceper
1x400 2003 1 450 450
1x50 2004 1 100 100
7 CV. Baja Tunggal 1x500 2003 3 345 1,035
8 PT. Kembar Jaya 1x500 2004 1 345 345
9 PT. Suyuti Sido Maju1x1000 2004 1 500 500
1x500 2006 1 345 345
10 PT. Mitra Rekatama Mandiri 2x500 2004 2 345 690
11 PT. Aneka Gajah Tunggal 2x 1000 2005 2 600 1,200
12 PT. Sinar Semesta 1x500 2004 1 345 345
13 PT. Atmaja Jaya 2x500 2005 2 345 690
14 CV. Bahama Lasakka 1x500 2005 1 345 345
15 CV. Sari Geni 1x500 2005 1 555 555
16 CV. Roda Mas 1x500 2006 1 345 345
17 CV. Mitra Karya Utama 1x500 2006 1 345 345
Kapasitas Induksi Terpasang 14.000 Jumlah Tanur 26 Total Daya 9,660
Sumber: Laporan Koperasi Batur Jaya tahun 2006 (Badaruddin)
161
Gambar 5.1 Dapur Induksi
Tabel 5.2Penggunaan Dapur Pengecoran
No Nama Dapur Tahun Kapasitas Suhu Jangka waktu
1 Tungkik 1960 800 kg 1100oC 1 jam
2 Kupola 1970 1500 kg 1400 oC 1 jam
3 Induksi 1997 500 kg 1500 oC 2 jam
Sumber: Laporan Koperasi Batur Jaya tahun 2006 (Badaruddin)
Tahapan Proses Pengecoran Logam
Proses pengecoran logam dengan menggunakan dapur tungkik dan
kupola secara umum terdapat sekitar 15 tahap, yaitu (Purbasari, 1997):
1. Menyiapkan alat cetak,
2. Memasukkan arang ke dalam tungku,
3. Memasukkan bahan bakar ke dalam mesih diesel,
4. Membakar dan meniup arang dalam tungku,
5. Memasukkan batu arang kedalam tungku,
6. Memasukkan besi dan bahan lain ke dalam tungku,
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
162
7. Menuangkan besi cair ke dalam ember baja,
8. Membawa ember ke bagian cetakan,
9. Mencetak besi cair,
10. Mendinginkan besi cair,
11. Memecahkan cetakan dan mengeluarkan hasilnya,
12. Membawa produk ke ruang penyelesaian,
13. Menyelesaikan produk (finishing process),
14. Melakukan pengecatan,
15. Menyimpan di gudang.
Sedang pengecoran dengan cetakan pasir salah satu teknik
pembuatan produk, dilakukan dengan cara logam dicairkan dalam tungku
peleburan. Kemudian dituangkan ke dalam rongga cetakan yang serupa
dengan bentuk asli dari produk cor yang akan dibuat. Ada 4 faktor yang
berpengaruh terhadap proses pengecoran, yaitu: a) adanya aliran logam cair
ke dalam rongga cetak, b) terjadi perpindahan panas selama pembekuan
dan pendinginan dari logam dalam cetakan, c) pengaruh material cetakan
dan d) pembekuan logam dari kondisi cair.
Klasifikasi pengecoran berdasarkan umur cetakan terdiri dari
pengecoran dengan sekali pakai (expendable mold) dan pengecoran dengan
cetakan permanen (permanent mold). Cetakan pasir yang banyak ditemui
di klaster cor logam Ceper termasuk expendable mold karena hanya bisa
digunakan satu kali pengecoran saja, setelah itu cetakan dirusak saat
pengambilan benda coran. Dalam pembuatan cetakan jenis-jenis pasir
yang digunakan adalah pasir silika, pasir zircon atau pasir hijau. Sedangkan
perekat antar butir-butir pasir dapat digunakan bentonit, resin, furan atau
163
air gela. Pengecoran dengan cetakan pasir melibatkan kegiatan-kegiatan
seperti menempatkan pola dalam kumpulan pasir untuk membentuk
rongga cetak, membuat sistem saluran, mengisi rongga cetak dengan
logam cair, membiarkan logam cair membeku, membongkar cetakan yang
berisi produk cor dan membersihkan produk cor.
Material dan proses pengecoran dengan cetakan pasir, dapat
diterangkan sebagaimana tersebut dibawah ini:
1. Pasir
Kebanyakan pasir yang digunakan dalam pengecoran adalah
pasir silika (SiO2). Pasir merupakan produk dari hancurnya batu-
batuan dalam jangka waktu lama. Alasan pemakaian pasir sebagai
bahan cetakan adalah karena murah dan ketahanannya terhadap
temperatur tinggi. Ada dua jenis pasir yang umum digunakan
yaitu naturally bonded (banks sands) dan synthetic (lake sands). Karena
komposisinya mudah diatur, pasir sinetik lebih disukai oleh banyak
industri pengecoran.
Pemilihan jenis pasir untuk cetakan melibatkan beberapa
faktor penting seperti bentuk dan ukuran pasir. Sebagai contoh, pasir
halus dan bulat akan menghasilkan permukaan produk yang mulus/
halus. Untuk membuat pasir cetak selain dibutuhkan pasir juga
pengikat (bentonit atau clay/ lempung) dan air. Ketiga bahan tersebut
diaduk dengan komposisi tertentu dan siap dipakai sebagai bahan
pembuat cetakan.
2. Jenis cetakan pasir
Ada tiga jenis cetakan pasir yaitu green sand, cold-box dan no-
bake mold. Cetakan yang banyak digunakan dan paling murah adalah
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
164
jenis green sand mold (cetakan pasir basah). Kata “basah” dalam cetakan
pasir basah berarti pasir cetak itu masih cukup mengandung air atau
lembab ketika logam cair dituangkan ke cetakan itu.
3. Pola
Pola merupakan gambaran dari bentuk produk yang akan
dibuat. Pola dapat dibuat dari kayu, plastik/polimer atau logam.
Pemilihan pola tergantung pada bentuk dan ukuran produk cor,
akurasi dimensi, jumlah produk cor dan jenis proses pengecoran yang
digunakan. Jenis-jenis pola: pola tunggal (one pice pattern/ solid pattern),
dan pola terpisah (split pattern), match-piate pattern.
4. Inti
Untuk produk cor yang memiliki lubang/ rongga seperti pada
blok mesin kendaraan atau katup-katup biasanya diperlukan inti.
Inti ditempatkan dalam rongga cetak sebelum penuangan untuk
membentuk permukaan bagian dalam produk dan akan dibongkar
setelah cetakan membeku dan dingin. Seperti cetakan, inti harus
kuat, permeabilitas baik, tahan panas dan tidak mudah hancur (tidak
rapuh). Agar tidak mudah bergeser pada saat penuangan logam
cair, diperlukan dudukan inti (core prints). Untuk membuat cetakan
diperlukan pola sedangkan untuk membuat inti diperlukan kotak
inti.
5. Operasi pengecoran cetakan pasir
Operasi pengecoran dengan cetakan pasir melibatkan tahapan
perancangan produk cor, pembuatan pola dan inti, pembuatan
cetakan, penuangan logam cair dan pembongkaran produk cair.
Biasanya dalam proses peleburan besi cor kelabu, bahan baku yang
dipergunakan ada beberapa macam diantaranya, pig iron, besi skrap
165
dan baja skrap. Karena bahan baku skrap sulit diperoleh dan harganya
terus meningkat, saat ini untuk substitusi bahan baku telah digunakan
limbah permesinan (geram/chips) bagi yang memakai dapur induksi/
listrik. Tahapan lebih rinci terlihat pada gambar 5.2.
Gambar 5.2Diagram Proses Pengecoran dengan Pasir Cetak
Keterangan Gambar:
a) Setelah proses perancangan produk cor yang mengasilkan teknik
produk dilanjutkan dengan tahapan berikutnya,
b) Menyiapkan bidang dasar datar atau pelat datar dan meletakan pola,
atas (cope) yang sudah ada dudukan inti di permukaan pelat datar tadi,
c) Seperti pada langkah b, untuk cetakan bagian bawah (drag) beserta
sistem saluran,
d) Menyiapkan kotak inti (untuk pembuatan inti),
e) Inti yang telah jadi disatukan (inti yang dibuat berupa inti setengah
atau paroan inti),
Perkembangan Klaster Cor Logam
Perkembangan Bisnis dan Teknologi Klaster Cor Logam
135
Gambar 5.1
Diagram Proses Pengecoran dengan Pasir Cetak
Keterangan Gambar: a) Setelah proses perancangan produk cor yang mengasilkan teknik
produk dilanjutkan dengan tahapan berikutnya, b) Menyiapkan bidang dasar datar atau pelat datar dan meletakan
pola, c) atas (cope) yang sudah ada dudukan inti di permukaan pelat datar
tadi, d) Seperti pada langkah b, untuk cetakan bagian bawah (drag) beserta
sistem saluran, e) Menyiapkan kotak inti (untuk pembuatan inti), f) Inti yang telah jadi disatukan (inti yang dibuat berupa inti
setengah atau paroan inti), g) Pola atas yang ada dipermukaan pelat datar ditutupi oleh rangka
cetak atas (cope) dan ditambahkan sistem saluran seperti saluran masuk dan saluran tambahan (riser). Selanjutnya diisi dengan pasir cetak,
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
166
f) Pola atas yang ada dipermukaan pelat datar ditutupi oleh rangka cetak
atas (cope) dan ditambahkan sistem saluran seperti saluran masuk dan
saluran tambahan (riser). Selanjutnya diisi dengan pasir cetak,
g) Setelah diisi pasir cetak dan dipadatkan, pola dan system saluran
dilepaskan dari cetakan,
h) Giliran drag diisi pasir cetak setelah menempatkan rangka cetak diatas
pola dan pelat datar,
i) Setelah diisi pasir cetak dan dipadatkan, pola dilepaskan dari cetakan,
j) Inti ditempatkan pada dudukan inti yang ada pada drag,
k) Cope dipasangkan pada drag dan dikunci kemudian dituangkan logam
cair,
l) Setelah membeku dan dingin, cetakan dibongkar dan produk cor
dibersihkan dari sisa-sisa pasir cetakan.
Kesimpulan
Perkembangan klaster cor logam dapat dibagi dalam 3 tahapan, yaitu
tahap awal pertumbuhan/embrio tahap tumbuh dan dewasa serta tahap
penurunan dan transformasi. Tahap embrio mengalami tiga masa, yaitu
masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan jaman kemerdekaan.
Pada masa awal, industri cor logam tumbuh karena adanya kebutuhan
dari industri gula, baik di Klaten maupun seluruh Jawa, dan semakin
mahalnya impor peralatan dari luar negeri. Pada saat penjajahan Jepang
terpaksa memproduksi persenjataan. Perkembangan sektor pertanian di
masa kemerdekaan juga mendorong kemajuan industri cor logam.
Pada masa orde baru mengalami pertumbuhan yang pesat, sehingga
167
mulai melahirkan sistem subkontrak. Pada saat penurunan usaha cor
logam mulai menurun karena semakin mahalnya bahan baku, bahan
bakar/listrik serta permintaan yang semakin sedikit. Perubahan teknologi
pengecoran dari tungkik/besalen, kupola dan induksi tidak terjadi secara
bersama, sehingga sampai sekarang pun masih ada yang menggunakan
tungkik ataupun kupola.
Perkembangan Klaster Cor Logam
Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster
168
Top Related