78
BAB IV
KOMBONGAN KALUA’ Dalam BINGKAI KONSENSUS SAKRAL
Dan INTEGRASI SOSIAL
1.1.Menelaah Konsensus Kombongan Kalua’ Dalam Perspektif Durkheim
Budaya kombongan kalua’ di Toraja (sebagaimana diuraikan dalam bab
III) sangat menarik untuk ditelaah secara kritis dengan pemikiran sosiologi
Durkheim seperti yang diuraikan di depan (bab II). Karena itu ada beberapa hal
yang penulis dapat utarakan, antara lain: Durkheim sangat mengutamakan
masyarakat dari pada individu, sebab kepercayaan dan ritual keagamaan selalu
mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk
lebih memikirkan kelompok (komunitas) ketimbang diri pribadi, merasakan arti
penting dan kekuatan yang dimiliki masyarakat dan mau mengorbankan
kepentingan pribadinya demi masyarakat. Hal itu dimungkinkan karena adanya
kepercayaan, nilai-nilai moral (moral community), dan hubungan emosional
masyarakat. Moral community itu menungkinkan terjadinya konsensus moral
dalam masyarakat. Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut dinamakan oleh
Durkheim dengan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran
kolektif adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur hubungan sosial di
antara anggota masyarakat yang bersangkutan, yang didasarkan atas
prinsip-prinsip moral masyarakat.
Dalam perspektif pemikiran Durkheim, dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan budaya kombongan kalua’ dalam masyarakat Toraja, khususnya
kombongan kalau’ tahun 1947 untuk penetapan nama Tana Toraja menjadi nama
79
Kabupaten, dilaksanakan karena adanya kesadaran kolektif (collective
consciousness) masyarakat Toraja tentang identitas etnisitas mereka dan
kebutuhan akan integrasi sosial masyarakat Toraja. Kesadaran kolektif itu terjalin
erat dalam nilai-nilai moral masyarakat Toraja (moral community). Karena itu,
konsensus (basse) yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ tersebut dianyam
dalam keutamaan nilai-nilai moral (konsensus moral) masyarakat Toraja yang
bersifat kolektif.
Menurut Durkheim, kesadaran kolektif tersebut bisa berwujud
aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk,
luhur dan mulia. Kesadaran kolektif dalam masyarakat tradisional memungkinkan
terbentuknya komunitas moral yang didasarkan atas suatu konsensus moral yang
secara sangat tegas ditetapkan merupakan syarat mutlak bagi kohesi sosial.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa: Kesadaran kolektif
masyarakat Toraja menghasilkan konsensus (basse) tentang penetapan nama Tana
Toraja dalam kombongan kalua’ tahun 1947, sehingga menciptakan solidaritas
sosial dan integrasi sosial masyarakat Toraja. Karena adanya kesadaran kolektif
masyarakat Toraja untuk menciptakan integrasi sosial dalam masyarakat Toraja,
membuat mereka tahan melaksanakan kombongan kalua’ tahun 1947. Walaupun
berjalan sangat alot selama tiga hari, tetapi semua peserta setia menjalaninya tanpa
ada yang memaksakan kehendak. Kombongan kalua’ pun menghasilkan
konsensus bersama menetapkan nama Tana Toraja.
Kepercayaan bersumber dari masyarakat, kepercayaan melahirkan
nilai-nilai moral bagi masyarakat, dan mengkonstruksi konsep sakral. Inilah teori
80
agama menurut Durkheim, karena itu ia katakan masyarakat adalah sumber
agama, nilai-nilai moral dan segala sesuatu yang dianggap sakral. Jadi,
kepercayaan, yang sakral, nilai-nilai moral, dan masyarakat adalah satu. Ia
mendefenisikan agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku
yang utuh dan selalu dikaitkan dengan ‘yang sakral’, yaitu sesuatu yang terpisah
dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan ke dalam satu
komunitas moral. Durkheim menyebut komunitas moral itu “gereja”, tempat
masyarakat memberikan kesetiaannya.
Yang sakral tersebut memiliki pengaruh yang luas, menentukan
kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sementara yang
profane tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan
keseharian individu. Agama adalah cara masyarakat mengekspresikan dirinya
dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Dari perspektif itu, Durkheim
“menuhankan” masyarakat dan produk-produk utamanya, karena ia sangat
mengagungkan masyarakat. Hal-hal itu tercipta melalui ritual-ritual yang
mengubah kekuatan moral masyarakat (moral community) menjadi simbol-simbol
religius yang mengikat individu dalam konsensus bersama suatu kelompok
(komunitas), yang ia sebut kesadaran kolektif. Konsensus yang terjadi itu
merupakan konsensus sakral.
Dalam frame berpikir Durkheim, maka dapatlah dikatakan bahwa
konsensus (basse) yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ itu merupakan
konsensus sakral, karena ia merupakan hasil dari kesadaran kolektif masyarakat
Toraja. Durkheim pun menekankan tentang teori sakral, yang mengatakan bahwa
81
yang sakral itu adalah masyarakat. Menurut Durkheim sumber agama adalah
masyarakat, dan agama adalah ”sesuatu yang amat bersifat moral” yang bersumber
dari moralitas kolektif (moral community). Itu sebabnya ia menyebut yang sakral
itu adalah masyarakat dan lawan dari itu yang ia sebut profan adalah individu.
Dengan demikian, konsensus (basse) yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ itu
merupakan konsensus sakral. Selanjutnya, konsensus tersebut dilegitimasi melalui
ritus aluk ma’pesung.
Ritus tersebut dipimpin oleh To Minaa (imam Aluk) dan dihadiri oleh
peserta kombongan kalua’. Mereka adalah para pemimpin klan sosial = To
Parengnge’ (dari 32 wilayah adat yang ada di Toraja), tokoh adat dan tokoh-tokoh
agama (Aluk, Islam, dan Kristen) hadir dalam kombongan kalua’ tahun 1947
merupakan representasi kolektif dari masyarakat Toraja dan merupakan
representasi collective consciousness dari masyarakat Toraja saat itu.
Sakral dalam pemikiran Durkheim berada dalam bingkai believe and rite
(kepercayaan dan ritus). Ide kesucian terbentuk dalam masyarakat ketika para
anggotanya berkumpul bersama-sama dalam kesempatan-kesempatan khusus yang
disebut ritus-ritus. Dalam suasana ritus yang menyayat, dan segala macam suara
yang memekakkan telinga, sebuah keadaan yang memperkuat kondisi serup
mereka. Lalu di tengah-tengah lingkungan sosial yang meluap-luap (effervescent)
dan dari keadaan yang meluap-luap ini sendirilah nampaknya ide agama itu lahir.
Ritus membentuk dan memperkuat kesadaran tentang keberadaan kekuatan suci,
kekuatan yang lebih superior, di luar diri mereka, dan mendominasi mereka.
keadaan ini membuat masing-masing individu, kemudian menganggap diri mereka
82
dirasuki oleh kekuatan suci. Individu merasa tak menjadi dirinya lagi, ia merasa
menjadi makhluk baru.
Ritus agama dalam konteks pemikiran Durkheim, mirip dengan ritus
ma’pesung yang dilakukan dalam budaya kombongan kalua’ untuk melegitimasi
konsensus (basse) yang diputuskan. Ritus ma’pesung merupakan upacara yang
dilakukan setelah tercapai konsensus (basse) dalam kombongan kalua’ untuk
mempersembahkan korban sesajen kepada dewata = dewa dan arwah leluhur.
Makanan persembahan sajian itu adalah nasi atau lemang nasi dengan daging yang
diambil dari bagian-bagian tertentu dari binatang yang dipersembahkan (babi atau
kerbau) ditaruh dalam daun pisang (biasanya dibagi atas 4 tempat atau lebih), lalu
dipersembahkan oleh To Minaa (imam Aluk) dengan membacakan mantra doa dan
sumpah sakti. Dengan demikian konsensus (basse) yang dihasilkan mengikat
manusia dengan dewa dan arwah leluhur. Karena itulah, manusia berusaha keras
untuk menaati konsensus (basse) yang dibuat.
Hal itu memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan yang terbentuk antara
mereka bukan hanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi juga melibatkan campur
tangan dewa di dalamnya, karena itu yang akan merasakan akibat dari kesepakatan
tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Karena masyarakat merupakan
sumber dari kesakralan itu sendiri, maka masyarakat merupakan kekuatan yang
lebih besar dari kekuatan individu. Bahkan ada keterlibatan komunitas dalam
memberi sanksi atau menghukum orang yang menyimpang dari nilai-nilai
collective consciousness, karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap moral
kolektif. Dengan kata lain, kesadaran kolektif bersifat koersif terhadap individu.
83
Durkheim menegaskan masyarakat seperti itu digolongkan dalam
solidaritas mekanik. Dalam masyarakat Toraja, hukuman yang represif terhadap
pelanggar konsensus kombongan kalua’ pernah terjadi, yaitu: dalam bentuk
dipasung, diali lanmai tondok (diusir keluar dari kampung), dilammu’ diong salu
(ditenggelamkan di sungai), diekke barokona (dicekik lehernya), ditunu (dibakar),
atau sebagai korban seperti hewan (adat barata).
Namun sejak Belanda menjajah Toraja di awal abad 19, hukuman seperti
itu dihapus dan dilarang oleh Belanda kerena dianggap tidak manusiawi. Karena
itu kombongan kalua’ yang dilaksanakan di tahun 1947, situasi masyarakat Toraja
sudah berada dalam solidaritas organik. Hal itu, ditandai dengan adanya
penghargaan terhadap situasi heterogenitas dan pluralitas masyarakat. Peserta yang
hadir dalam kombongan kalua’ 1947 ada dari agama Islam, Aluk, dan Kristen
bahkan controleur K. van Liejf (Belanda) saat itu bersama asistennya Adrial
Duma Andilolo dimungkinkan untuk memimpin acara kombongan kalua’.
Menurut Durkheim, agama melalui sistim kepercayaan dan ritus
membentuk dan membentengi kesadaran kolektif di antara sekelompok manusia.
Karena itulah dapat dikatakan bahwa pada dasarnya agama bermula (dibentuk)
dari perasaan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi lingkungannya
(masalah). Ia merasa takut, lemah dan tak berdaya terhadap kekuatan jahat yang
mengepungnya. Manusia membutuhkan suatu keberadaan yang lebih superior dari
dirinya untuk menjadi tumpuan bergantung. Bagi Durkheim, kekuatan superior
adalah suatu kekuatan moral yang memberi inspirasi kepada pengikut, kekuatan
itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Secara simbolis masyarakat menubuh ke
84
dalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistim simbol yang dengannya
masyarakat dapat menyadari dirinya. Itulah satu-satunya cara yang bisa
menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama.
Dalam konteks masyarakat Toraja, hal itu terbukti ketika ditahun
1950-1965 Toraja mengalami propaganda politik Islamisasi. Puncak goncangan
itu, yaitu Peristiwa 1953 ketika Tana Toraja mengalami tekanan dari pasukan
Kahar Muzakkar gabungan pemberontak DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa
Barat. Tahun 1953 pun pasukan Andi Sose melakukan ekspansi ke Toraja dengan
misi Islamisasi. Tekanan itu berhasil dikalahkan oleh masyarakat Toraja. Pada
tahun 1953 itu pun masyarakat Toraja melakukan kombongan kalua’ dan ritus
ma’pesung. Karena gagal di tahun 1953, maka pada tahun 1958 pasukan Andi
Sose kembali melakukan ekspansi ke Toraja, namun tetap dikalahkan. Pada tahun
1958 pun masyarakat Toraja melakukan kombongan kalua’ dan ritus ma’pesung.
Konsensus sakral kombongan kalua’ tercipta melalui ritual-ritual yang
mengubah kekuatan moral masyarakat (moral community) menjadi simbol-simbol
religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Durkheim mengatakan
bahwa ritual agama adalah sesuatu yang menghubungkan masyarakat dan
individu, karena melalui ritual terhadap yang sakral kategori sosial menjadi dasar
bagi konsep individu. Konsensus sakral itulah yang menuntun masyarakat
mengaktualisasi diri dalam sikap hidup yang diidentifikasi sebagai nilai-nilai atau
makna yang terkandung dalam budaya kombongan kalua’ yaitu: menjaga integrasi
sosial, kolektifitas (kohesi sosial), menghargai eksistensi orang lain, menghargai
85
perbedaan, dan bersifat sakral sehingga masyarakat hidup dalam kesetiaan,
kejujuran, kedamaian, dan tidak menonjolkan diri dsb (lihat bagian 3.8.).
Menurut Durkheim, integrasi sosial terjadi karena adanya kesepakatan
(konsensus) di antara anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai moral yang
ada dalam masyarakat. Konsensus dalam masyarakat merupakan hasil dari
kesadaran kolektif collective consciousness). Kesadaran kolektif sangat
dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai-nilai moral dan hubungan emosional atau
pengalaman masa lalu masyarakat Toraja, yang bangga dengan nama Toraja.
Berdasarkan pemikiran Durkheim, maka dapatlah dikatakan bahwa: pelaksanaan
kombongan kalua’ yang didasarkan atas nilai-nilai moral yang ada dalam
masyarakat Toraja, sangat berpotensi mewujudkan integrasi sosial masyarakat
Toraja. Hal itu dibuktikan ketika kombongan kalua’ tahun 1947 yang dihadiri oleh
peserta yang heterogen (ada pemeluk Aluk, Islam, dan Kristen), bahkan dihadiri
olek controleur K. van Liejf (Belanda), dan situasi sosial politik masyarakat
Toraja yang terbagi dalam 32 distrik yang otonom karena masing-masing
mempunyai pemimpin. Tetapi mereka semua menerima konsensus kombongan
kalua’ tentang penetapan nama Tana Toraja untuk diusulkan kepada pemerintah
provinsi dan pemerintah pusat untuk menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II.
Keinginan kolektif masyarakat Toraja terjawab pada tanggal 31 Agustus 1957
diresmikanlah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja berdasarkan
Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1957.
Durkheim berpandangan, bahwa struktur solidaritas masyarakat mekanik
dan struktur solidariotas masyarakat organik, masing-masing membentuk corak
86
solidaritas sosial yang khas masyarakat itu. Dengan demikian masyarakat sebagai
suatu komunitas terbentuk atas dasar kesepakatan. Itu berarti, dapat pula dikatakan
bahwa terbentuknya Kabupaten Daerah Tingkat II tana Toraja sebagai satu
komunitas sosial atas dasar kesepakatan – konsensus (basse) kombongan kalua’
1947 membentuk satu corak solidaritas masyarakat yang khas pula. Peristiwa itu
merupakan fakta sosial baru dan fenomena sosial baru dalam kehidupan
masyarakat Toraja yang harus dihargai oleh masyarakat Toraja agar integrasi
sosial tetap terpelihara.
Ketika era Reformasi terjadi di Indonesia tahun 1998, melahirkan sistem
demokrasi baru di Indonesia dari sistem sentralisasi ke sistem otonomi daerah.
Dengan semangat otonomi daerah, maka pemerintah membuka pintu pemekaran
bagi daerah (Kabupaten, Kota atau Provinsi) yang memungkinkan berdasarkan
Undang-Undang untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
dan untuk mempercepat pembagunan di daerah. Karena itu pada tanggal 26
Nopember 2008 diresmikan Kabupaten Toraja Utara berdasarkan
Undang–Undang No 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Tana Toraja sebagai Kabupaten induk. Kenyataan sosial dan kenyataan politik ini
mesti dilihat dengan bijaksana dan mestinya hal tersebut tidak membuat
konsensus (basse) kombongan kalua’ tahun 1947 ”digugat” agar integrasi sosial
tidak rusak. Toh Kabupaten pemekaran itu masih tetap menggunakan nama
Toraja, sebagai upaya tetap memelihara semangat integrasi kultural dan etnisitas
Toraja.
87
1.2.Peluang Budaya Kombongan Kalua’ Bagi Kehidupan Berbangsa
Budaya kombongan kalua’ yang menghargai pluralitas sosial
(perbedaan), ini memungkinkan masyarakat Toraja untuk terbiasa menghargai
orang lain apapun latar belakangnya, sekaligus melatih diri berdialog dalam situasi
sosial yang plural dan multikulturalisme. Kenyataan ini menjadi peluang bagi
masyarakat Toraja untuk siap berinteraksi dalam kenyataan sosial bangsa
Indonesia yang sangat pluralis. Sistem sosial politik masyarakat Toraja yang
bersifat otonom di masing-masing wilayah kekuasaan adat dan berbentuk
konfederasi sub-sub etnis itu, sama dengan situasi sosial politik sebelum
terbentuknya negera Republik Indonesia. Sebelum proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 situasi sosial politik berbentuk konfederasi suku-suku dalam sistem
kerajaan lokal, tetapi dijajah oleh Belanda. Misalnya kerajaan Sriwijaya, Mataram,
Gowa, Tidore, Aceh dan lain sebagainya entitas primordial.
Semua kelompok entitas itu berjuang bersama melawan penjajah lalu
bersepakat bersama memproklamasikan berdirinya negara Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Para founding fathers and mothers telah
meletakkan dasar berdirinya negara Indonesia yang plural dan dapat dikatakan
sebagai bentuk negara yang modern. Ketika Negara Indonesia di Proklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945, maka ini merupakan fenomena baru yang belum
pernah ada preseden sebelumnya, masyarakat Indonesia adalah “masyarakat
baru.” Indonesia lahir karena adanya konsensus entitas primordial nusantara.
Proses itu melalui perjuangan demokrasi yang panjang oleh semua entitas
primordial nusantara, lewat wadah persidangan Badan Penyidik Usaha-Usaha
88
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945 dan
10 – 17 Juli 1945, puncaknya dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 – 22 Agustus 1945. Peristiwa itu memperlihatkan
proses bermusyawara yang elegan demi mewujudkan persatuan yang bulat. Proses
bermusyawarah seperti itu dalam konteks budaya Toraja sesungguhnya dapat
dikatakan ”sama dengan” budaya kombongan kalua’, sebab proses yang terjadi
dalam budaya kombongan kalua’ merupakan eksplorasi dari nilai-nilai moral yang
ada dalam masyarakat dan pluralitas sosial sangat diapresiasi, karenanya
menghargai semua pemikiran yang muncul dalam bermusyawarah (kombongan
kalua’). Hal itupun terjadi ketika para founding fathers and mothers mengadakan
sidang PPKI tanggal 18 - 22 Agustus 1945, mereka mampu mengelola conflict of
interest entitas yang ada sehingga mampu melahirkan konsensus nasional yaitu
Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 demi mewujudkan persatuan
nasional. Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan bentuk
eksplorasi dari nilai-nilai moral, budaya, agama dan sosial masyarakat Indonesia
yang majemuk. Ia lahir dari pluralitas sosial bangsa Indonesia.
Dalam sidang (PPKI) muncul dua gugatan: Pertama, keberatan
masyarakat Indonesia bagian Timur terhadap anak kalimat ”dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik
Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Keberatan yang sama
pun diusulkan sampai empat kali diajukan Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam sidang
BPUPKI bulan Juli 1945. Karena usulan itu diterima, maka pasal 6 alinea 1 UUD
1945 menjadi: Presiden ialah orang Indonesia asli. Lalu naskah Piagam Jakarta di
89
Sila Pertama Pancasila dihapus, begitu juga pasal 29 UUD 1945 ayat 1 anak
kalimatnya dihapus, menjadi: Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Kedua, I Gusti Ktut Pudja mengusulkan “Atas berkat Rahmat Allah” diganti
dengan “Atas berkat Rahmat Tuhan” saja di alinea 3 pembukaan UUD 1945.
Sidang yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua waktu itu menyampaikan
kepada seluruh peserta sidang dan disetujui – diterima usulan Ktut Pudja.
Ketika pihak Islam sebagai kekuatan mayoritas agama, sosial-budaya,
dan politik di Indonesia mau menerima dan menyetujui dua usulan yang sangat
krusial bagi kehidupan bersama NKRI, maka peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, lahirnya Pancasila dan UUD 1945 melalui proses musyawarah
bangsa (budaya Toraja: kombongan kalua’) yang bermartabat itu layak disebut
sebagai peristiwa konsensus sakral bangsa Indonesia. Ia bukan hanya merupakan
kenyataan historis politis, tetapi juga merupakan kenyataan sosial budaya, dan
teologis yang luar biasa, sebab lahir dalam pergumulan sosial budaya dan teologi
dalam konteks ke-Indonesia-an yang orisinil. Karena itu, mesti diyakini bahwa
dalam proses tersebut Tuhan berkarya, sebab menjunjung tinggi kesetaraan
kemanusiaan. Dalam konteks inilah, John Titaley berkata: “kalau Gus Dur
mengatakan bahwa NKRI itu final, Pancasila dan UUD 1945 itu sangat Qur’ani,
maka saya mengatakan juga NKRI itu final, Pancasila dan UUD 1945 itu sangat
injili.” Karena itu, suku-suku di Indonesia perlu membangun spirit nasionalisme
yang kuat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dalam komunitas budaya nasional Pancasila dan UUD 1945.
90
Kebudayaan yang ada di daerah-daerah sebelum Indonesia merdeka,
disebut komunitas budaya primordial: komunitas budaya Aceh, komunitas budaya
Jawa, komunitas budaya Ambon, komunitas budaya Toraja, dsb. Oleh sebab itu,
ketika Indonesia di proklamasikan, maka kedudukan komunitas budaya suku-suku
(termasuk komunitas budaya Toraja) dalam situasi seperti itu harus dipahami
dalam perspektif baru. Sebagai entitas primordial, kita tidak bergabung, melainkan
lahir di dalamnya, sebab sejarah komunitas budaya nasional Indonesia adalah
sejarah yang merupakan proses dari bersatunya SARA (suku, agama, ras dan
golongan) menjadi satu bangsa. Merupakan proses menyatunya seluruh atribut
komunitas budaya daerah menjadi satu komunitas budaya nasional Indonesia.
Proses konvergensi itu, entah disengaja atau tidak disengaja dari fakta pluralitas
sosial bangsa Indonesia, maka pluralitas itu tidak dapat dinafikan:
Perlu disadari bahwa SARA merupakan cikal bakal Indonesia, bukan hanyalebih tua dari umur Indonesia akan tetapi bisa dikatakan sebagai nenekmoyang yang melahirkan bangsa Indonesia. Sifat-sifat asasi darikemajemukan SARA diturunkan menjadi sifat-sifat asasi dari bangsaIndonesia. Karakteristik kemajemukan itu merupakan sesuatu yang genetiksifatnya. Kepelbagaian adalah ciri Indonesia yang tidak bisa ditolak dandipungkiri. Menolak atau memungkiri SARA berarti menolak nenekmoyang atau ibu kita sendiri, dan itu berarti pula menolak dan membencidiri kita sendiri.
Karena itulah komunitas budaya nasional Pancasila dan UUD 1945 harus
dihargai sebab merupakan produk konsensus bersama dari seluruh entitas
primordial yang ada di Indonesia, karenanya disebut sebagai konsensus nasional
dan konsensus sakral bangsa Indonesia. Ia bukanlah buatan sengaja manusia,
tetapi merupakan masyarakat historis dengan sejarah perjuangan dan pencapaian
1
91
panjang serta tradisi sikap tingkah laku yang telah mapan. Buah dari nilai-nilai
moral masyarakat Indonesia yang majemuk, sebagai realitas bangsa Indonesia.
Realitas yang utuh dari ke-Indonesia-an adalah realitas primordial dan
realitas nasional. Ada orang Toraja, Batak, Jawa, Sumba, Ambon, Aceh, Manado,
Cina, Arab dsb, hal ini tidak dapat diingkari, karena memang sudah dilahirkan
dalam kondisi yang demikian. Akan tetapi kalau hanya melihat diri ini sebagai
yang demikian saja, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Hal itu hanya merupakan
realitas primordial saja. Melihat Indonesia itu hanya pada level realitas primordial
saja adalah salah. Sebab realitas primordial saja menunjuk kepada situasi
pra-Indonesia, ketika suku-suku masih memiliki independensinya masing-masing.
Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tetapi ketika Indonesia didirikan
sebagai satu negara, maka realitas suku-suku itu hanyalah merupakan salah satu
bagian saja dari ralitas Indonesia. Bagian yang lainnya adalah realitas nasional
Indonesia dalam bingkai konsensus nasional Pancasila dan UUD 1945.
Tetapi ketika rezim Orde Baru berkuasa, kenyataan potensi positif dari
pluralitas sosial bangsa Indonesia ”diabaikan”, sebaliknya yang berkembang
malah ”ketakutan” akan perbedaan (ke-gamang-an sosial). Orde baru mereduksi
perbedaan yang ada dalam masyarakat, karena di-inkorporasikan secara paksa
melalui jargon politik budaya uniformity untuk kepentingan nasional ”tafsir” Orde
Baru saja yang dipagari melalui gerakan militerisasi, sehingga berdampak pada
tindakan represif, diktator dan otoriter. Orde Baru mengabaikan pendidkan politik,
dan pluralisme, akibatnya rakyat kehilangan spirit dialog pluralisme dalam bingkai
92
nasionalisme yang telah diwariskan oleh founding fathers and mothers di masa
proklamasi kemerdekaan, lahirnya Pancasila dan UUD 1945.
Akibat doktrin politik Orde Baru, kehidupan sosial bangsa Indonesia
sangat rentan terhadap berbagai konflik, karena masyarakat dinina bobokan akan
kenyataan pluralitas bangsa dan melupakan jati diri mereka sebagai manusia etnis
dan suku-suku bangsa yang berbudaya. Ini terbukti, sejak lengsernya rezim Orde
Baru tahun 1998 sampai sekarang bangsa Indonesia diguncang oleh berbagai
konflik sosial yang bernuansa suku, agama, ras, dan golongan (SARA), banyak
orang mencari jawaban dengan melakukan pendekatan dari luar. Padahal sumber
untuk mewujudkan rekonsiliasi, perdamaian sosial ada dalam masyarakat itu
sendiri dengan mengeksplorasi kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan
warisan leluhur bangsa. Kearifan lokal itu ada dalam nilai-nilai budaya nusantara.
Dalam konteks inilah, terbuka peluang bagi setiap kebudayaan lokal yang
ada di Indonesia untuk mengisi ruang itu bagi penguatan integrasi sosial bangsa
Indonesia. Salah satunya yaitu budaya kombongan kalua’ yang dibangun atas
kesetaraan kemanusiaan dalam semboyan, “Misa’ kada dipotuo, pantan kada
dipomate”, artinya “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh (mati)”. Dan
ungkapan: “Sangkutu’ banne, sangbuke amboran”, maknanya parallel dengan
“kesetaraan,” bagaikan serumpun, seikat benih padi, bagaikan benih yang penuh
takaran untuk ditaburkan. Gambaran kesejajaran ini mengungkapkan suatu
integrasi sosial dan kohesi sosial tanpa perbedaan, semuanya adalah benih-benih
yang sama dan yang disatukan - dipersekutukan dalam satu ikatan atau dalam satu
tempat benih. Menggambarkan kohesi sosial yang dinamis dan penuh vitalitas.
93
Ungkapan-ungkapan tersebut memberi semangat kepada masyarakat Toraja untuk
menjaga integrasi sosial. Nilai-nilai itu memungkinkan masyarakt Toraja untuk
hidup dalam konteks pluralitas bangsa Indonesia.
Setiap orang akan setia kepada komunitas budayanya, karena ia
mendapatkan jaringan dukungan, solidaritas, sumber daya moral dan emosional,
serta perasaan yang mengakar dari komunitas budayanya. Karena itu, sebuah
kebudayaan hanya bisa dipertahankan oleh sebuah komunitas, seseorang juga
berhutang kepada komunitas tersebut, maka ia tetap menjaga kebudayaan itu agar
tetap hidup, meski menghadapi tantangan dari dalam atau dari luar komunitas
budaya itu. Nilai-nilai komunitas budaya daerah merupakan kekayaan komunitas
budaya nasional yang di-inkorporasi ke dalam perwujudan nilai-nilai ideal
Pancasila, sebagai kerangka ideal yang membawa kita secara dinamis bersatu dan
bersama-sama mencapai tujuan nasional yang terarah kepada masyarakat adil,
makmur dan sejahtera.
Karena itu, semua anak bangsa apapun latar belakang entitas
primordialnya harus taat dan setia kepada konsensus nasional yaitu, Pancasila dan
UUD 1945. Ini merupakan konsensus sakral bangsa Indonesia, yang dibangun atas
pengorbanan jiwa dan raga para pejuang, serta melalui proses legitimasi
persidangan BPUPKI dan PPKI yang dihadiri oleh representasi agama, etnis,
pulau, suku-bangsa, golongan dll yang ada di Indonesia. Adanya moral community
dan konsensus moral, memungkinkan terjadinya konsensus sakral.
Tetapi kesakralan konsensus nasional itu mengalami penghianatan dari
anak bangsa sendiri, ketika model pemerintahan otonomi daerah dan otonomi
94
khusus dibeberapa daerah sekarang ini dapat dikatakan sebagai “new federasi.”
Dengan adanya daerah di Indonesia yang memberlakukan hukum syariat Islam dan
partai politik lokal (seperti di Aceh), maka sesungguhnya kenyataan ini
merupakan gugatan mutlak terhadap eksistensi Pancasila sebagai satu-satunya
idiologi bangsa dan UUD 1945 sebagai satu-satunya landasan konstitusional
kehidupan berbangsa. Kondisi ini menunjukkan adanya fenomena “negara di
dalam negara”.
Konsensus nasional yang melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai
kekuatan perekat bangsa, bukan hanya lahir dari konsensus politik, tetapi ia juga
lahir dari konsensus sosial budaya dalam ikatan konsensus moral dan nilai-nilai
agama-agama di Indonesia. Hal inilah yang menjadi kekuatan luar biasa sehingga
lahirlah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang secara eksplisit menegaskan
tentang kesetaraan kemanusiaan anak bangsa. Karena itu, dalam konteks NKRI
harus ditumbuh kembangkan kesadaran multikulturalisme dengan membuka
pemahaman dasar tentang sisi heterogenitas bangsa, bahwa segala macam budaya
dan cara hidup harus dihargai. Tidak ada yang merasa budayanya lebih tinggi
(superiority) dan budaya yang lain dianggap lebih rendah (inferiority).
Sayangnya, dalam tataran implementasi, pembagian “kue” pembangunan
bangsa Indonesia sangat tidak adil, karena lebih banyak beredar di Jawa,
khususnya di Jakarta. Sementara di Indonesia bagian timur belum mendapatkan
pembangunan yang maksimal. Pada hal justru Indonesia bagian timur itulah yang
lebih luas dan banyak membawa dan memberikan tanah dan airnya dengan semua
kekayaan alam yang ada di dalamnya bagi ke-Indonesia-an. Dengan kata lain,
95
justru Indonesia bagian timur itulah yang lebih mayoritas menyuplai kebutuhan
pembangunan bangsa Indonesia, tetapi ironisnya justru mereka yang paling
terbelakang dalam hal pembangunan di semua bidang.
1.3.Panggilan Gereja dalam Kehidupan Berbangsa Menurut PerspektifBudaya Kombongan Kalua’
Adanya ruang penghargaan terhadap fakta sosial yang plural (perbedaan)
dalam budaya kombongan kalua’, ini bisa menjadi salah satu alternatif “referensi”
bagi gereja untuk memaknai tentang panggilannya dan kehadirannya dalam negara
Indonesia yang sangat majemuk dan multikulturalisme. Dalam konteks Indonesia
yang sangat pluralis, gereja harus mampu mempersiapkan diri untuk memasuki
arena interaksi dan dialog sosial, budaya, agama dan politik yang sangat “keras”
dan intens.
Karena itu, gereja harus mampu melahirkan konstruksi teologi
kontekstual, yang murni merupakan pergumulan gereja-gereja di Indonesia lepas
dari metodologi teologi gereja-gereja Barat. Gereja mesti menyadari bahwa teologi
yang mumpuni adalah teologi yang lahir dari konteksnya sendiri. Gereja sangat
diharapkan mampu menyajikan dialog yang ‘bermartabat’ dengan cara mampu
menterjemahkan makna panggilannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia yang majemuk.
Sayangnya, gereja di Indonesia masih dikolonisasi oleh metodologi
teologi gereja Barat yang konteks sosialnya ‘homogen’ dan mayoritas. Dalam
konteks yang demikian tentulah gereja akan ‘selalu aman’ dan ‘diperhatikan’ oleh
penguasa. Gereja-gereja suku yang ada di Indonesia enggan melepaskan diri dari
96
warisan teologi yang eksklusif, sehingga belum mampu melahirkan kemandirian
berteologi di Indonesia. Kalau gereja-gereja hanya menganggap biasa (taken for
granted) kenyataan Indonesia ini sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja
(given), itu berarti gereja secara tidak sadar terperangkap dalam penerimaan
kenyataan sosial secara tidak kritis. Dengan demikian, kehadiran dan signifkansi
kedudukan gereja sebagai mitra kerja Allah tidak nyata dalam kehidupan sosial
Indonesia. Jangan heran ketika gereja hanya berputar pada pemahaman diri
sendiri, dan kaget ketika konteks sosial beruba sangat cepat sekali, dan
mendapatlkan diri gereja tidak siap untuk hidup dalam konteks seperti itu, bahkan
bisa kehilangan ‘wibawa’ di mata umatnya sendiri.
Jika gereja tidak ingin hal itu terjadi, maka gereja harus berani
merekonstruksi teologinya, lepas dari paradigm teologi Barat, lalu
mengembangkan teologi kultural (Kristen kultural) dalam konteks Indonesia.
Gereja di Indonesia harus menyadari dirinya bukan mayoritas dan pemerintah
tidak memberikan ‘proteksi’ bagi kekristenan. Bahkan kalau boleh dikatakan ada
kecenderungan fenomena pemerintah melakukan “pembiaran” terhadap berbagai
keadaan yang dialami gereja-gereja di Indonesia.
Gereja ada di Indonesia bukan karena faktor kebetulan saja (ada dengan
sendirinya), ia ada di Indonesia karena TUHAN punya maksud. Itulah sebabnya
gereja harus memaknai kehadirannya di Indonesia dalam konteks pergumulan
Indonesia, sehingga menghasilkan suatu pergumulan teologi yang orisinil. Dalam
frame berpikir seperti itulah, gereja mampu melahirkan suatu konstruksi
paradigma teologi yang mumpuni menjawab pergumulannya sendiri.
97
Untuk mewujudkan hal itu, maka gereja-gereja perlu melakukan:
Pertama, pertanyaan kritis bagi gereja, yaitu: Apakah gereja-gereja di
Indonesia mempunyai landasan pemahaman teologis tentang Indonesia? Hal itu
perlu dikonfirmasikan kepada gereja-gereja, apakah mereka sungguh memiliki
landasan teologis yang jelas tentang Indonesia? Para founding fathers and mothers
bangsa Indonesia yang bergulat langsung dengan pergumulan kemerdekaan,
dengan pergumulan iman mereka telah mendeklarasikan bahwa “kemerdekaan
Indonesia adalah Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa” (alinea 3 UUD 1945). Itu
berarti kenyataan Indonesia juga merupakan kenyataan teologis, bukan hanya
sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia secara pilitis.
Kedua, jika gereja sudah memiliki landasan dan konstruksi teologi yang
jelas tentang Indonesia, berarti gereja-gereja telah siap menjadikan realitas
Indonesia sebagai keharusan missiologi dan kebutuhan kontekstualisasi teologi
gereja-gereja di Indonesia. Tegasnya, ke-Indonesia-an mesti dijadikan sebagai
momentum dan arena berteologi, bersaksi dan mewujudkan panggilan hidup
bergereja yang memberikan pencerahan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, melihat Indonesia sebagai realitas yang utuh. Realitas
ke-Indonesia-an yang utuh adalah realitas primordial dan realitas nasional. Melihat
Indonesia itu hanya pada aras realitas primordial saja adalah salah. Sebab realitas
primordial saja menunjuk kepada situasi pra- Indonesia, ketika suku-suku masih
memiliki independensinya masing-masing (sebelum proklamasi kemerdekaan).
Selama ini realitas nasional kurang diberi perhatian oleh gereja. Padahal dalam
kehidupan kekinian bangsa Indonesia, justru direalitas nasional inilah sangat kuat
98
pengaruhnya terhadap diri rakyat Indonesia (warga gereja). Pendidikan, politik,
ekonomi, hukum, demokrasi, undang-undang, informasi publik (media),
pemerataan pembangunan, keseimbangan pusat dan daerah dll, adalah wujud dari
realitas nasional itu. Karenanya, salah satu cara untuk membela realitas primordial
itu, adalah dengan jalan turut merumuskan pula realitas nasional itu. Jika hal itu
tidak dilakukan, maka kedudukan dan peran realitas primordial lama kelamaan
akan menjadi lemah, bahkan bisa hilang sama sekali.
Top Related