BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Etnis Toraja merupakan salah satu suku dari berbagai suku yang ada di
Indonesia. Dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dikenal trilogi identitas
yang menonjol yaitu: aluk, adat dan kebudayaan (agama, adat dan kebudayaan).
Ketiganya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya, ketiganya ini
dapat disebut tiga nan tungku (tiga kaki tungku). Ketiga tungku itulah yang
menopang kehidupan sosial masyarakat Toraja sehingga tetap dalam suasana
integrasi. Ketiga tungku itu teraktualisasi dalam seluruh kehidupan sosial
masyarakat Toraja dan membangun struktur falsafah hidup orang Toraja secara
holistik. Itulah sebabnya bagi orang Toraja, totalitas kehidupan manusia adalah
aluk (kepercayaan atau agama), yang memanifestasikan diri di dalam adat sebagai
cara hidup. Implementasi aluk dan adat dalam kehidupan ini, dengan sendirinya
menghasilkan kebudayaan.
Sebelum orang Toraja melaksanakan seremonial adat dan ritus-ritus aluk
(agama), baik yang berhubungan dengan sukacita (Aluk Rambu Tuka) atau yang
berhubungan dengan dukacita (Aluk Rambu Solo’), menyelesaikan
masalah/konflik (dalam keluarga maupun masyarakat), dan merancang
kebersamaan dalam kehidupan persekutuan, maka didahului dengan pertemuan
forum musyawarah yang disebut ma’kombongan. Dalam tingkat yang lebih besar,
yang melibatkan etnis Toraja dan dengan agenda yang lebih besar disebut
ma’kombongan kalua’. Bagi orang Toraja, ma’kombongan kalua’ merupakan
2
forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat Toraja.
Keputusan dalam masyarakat Toraja tidak bisa diambil sendiri, tetapi harus
melalui musyawarah bersama lewat wadah ma’kombongan kalua’. Karena itu,
ma’kombongan kalua’ merupakan model demokrasi ala Toraja. Ini menunjukkan
bahwa dari dahulu masyarakat Toraja tidak mengenal hukum rimba dalam
menyelesaikan masalah.
Budaya ma’kombongan kalua’ yang pernah dilaksanakan antara lain:
tonna tallan (peristiwa tenggelamnya) Londong di Rura, peristiwa To Pada Tindo
untulak Buntunna Bone (perlawanan dari To Pada Tindo atas invasi kerajaan
Bone) ke Toraja pada abad ke-17, peristiwa penetapan nama Tana Toraja menjadi
nama Kabupaten Daerah Tingkat II pada tahun 1947, peristiwa tahun 1953 dan
tahun 1958 menghadapi invasi Kahar Muzakkar (Pimpinan DI/TII Sul-Sel) dan
Andi Sose dengan misi meng-islam-kan Toraja. Penulis memilih ma’kombongan
kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja 1947 untuk dikaji dalam tesis
ini.
Budaya ma’kombongan kalua’ mempunyai makna yang sangat sakral,
sebab dianyam dalam tiga identitas orang Toraja yaitu aluk, adat dan kebudayaan
Toraja. Kesepakatan yang dicapai dalam ma’kombongan kalua’ disebut basse.
Konsensus (basse) itu dikukuhkan dalam ritus aluk ma’pesung urrambu langi’.
Itulah sebabnya basse dalam ma’kombongan kalua’ menjadi sakral (konsensus
sakral). Semua orang yang terlibat dalam ma’kombongan kalua’, bertanggung
jawab untuk menjaga dan menghormati basse kasiturusan (konsensus bersama),
ini disebut keputusan adat. Basse itulah yang menjadi puncak dalam budaya
3
ma’kombongan kalua’. Tujuan dari basse yaitu: untuk memelihara keutuhan
masyarakat (integrasi sosial), kerukunan (harmoni) dan kedamaian masyarakat. Ini
menegaskan bahwa dalam budaya ma’kombongan kalua’ ada kesadaran untuk
memelihara persekutuan (kolektifitas) masyarakat.
Budaya ma’kombongan kalua’ menghargai pluralitas masyarakat, sebab
semua orang yang ikut, dihargai eksistensinya. Mereka mempunyai ikatan
komitmen yang sama untuk taat dan setia kepada konsensus (basse) yang
disepakati bersama. Tetapi, jika ada yang melanggar kesepakatan bersama, maka
orang tersebut dicap: ti’pek lanmai kasiturusan/kada kalebu (keluar dari
kesepakatan persekutuan). Dengan demikian, masalah ini bukan hanya merupakan
masalah sosiologis saja, melainkan juga merupakan persoalan religius, sebab
perbuatan itu dianggap merupakan pelanggaran terhadap aluk dan adat nenek
moyang. Orang Toraja percaya, bahwa bagi mereka yang tidak taat kepada
konsensus ma’kombongan kalua’ akan kena tulah, hukuman dari dewa karena
melanggar komitmen aluk dan adat. Selain itu, hukuman bagi yang melanggar
konsensus, bisa pula disepakati dalam kombongan kalua’. Misalnya, diusir dari
kampung (diali’ lanmai Tondok), dibakar, disembeli sebagai korban dalam
upacara Rambu solo’ to dibaratan. Ini menunjukkan juga bahwa budaya
ma’kombongan kalua’ juga berfungsi sebagai wadah peradilan.
Budaya ma’kombongan kalua’ juga diikat dalam semboyan hidup orang
Toraja, yaitu: “misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (bersatu kita teguh,
bercerai kita ‘mati’ - runtuh). Ungkapan yang lain tetapi punya spirit yang sama
yaitu: “sangkutu’ banne, sangbuke amboran” artinya: persekutuan itu bagaikan
4
serumpun, seikat benih padi, bagaikan benih yang penuh takaran untuk
ditaburkan. Gambaran paralelisme ini mengungkapkan suatu persekutuan tanpa
perbedaan, semuanya adalah benih-benih yang sama dan yang
disatukan/dipersekutukan dalam satu ikatan atau dalam satu tempat benih.
Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan persekutuan yang dinamis dan
penuh vitalitas, memberi semangat kepada orang Toraja untuk taat kepada
konsensus bersama. Sekaligus menegaskan cara orang Toraja menjaga agar sistem
(pranata) sosial tetap terpelihara dengan baik, demi integrasi sosial. Komitmen
kepada kedamaian dan harmoni sosial pun, ditegaskan dalam ungkapan “unnalli
melo” (membeli kebaikan), kebaikan dalam arti kerukunan, kedamaian.
Ungkapan: “sattu’-sattu’ unnalli melo” (sebentar-sebentar membeli kebaikan)
adalah tanda ke-Toraja-an. Orang Toraja rela berkorban demi kebaikan dan
konsensus bersama (kasiturusan to buda).
Masyarakat Toraja menganggap bahwa nilai-nili yang terkandung dalam
budaya ma’kombongan kalua’ sangat baik dan masih relevan sampai sekarang.
Karena itu, hingga kini, budaya ma’kombongan masih dilakukan dalam kehidupan
masyarakat Toraja. Budaya ini dilihat sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang
digunakan sebagai potensi alternatif dalam menyelesaikan masalah sosial.
Dengan latar belakang permasalahan di atas, maka tesis ini diberi judul:
KONSENSUS SAKRAL
Studi Sosial Kultural Budaya Ma’kombogan Kalua’ pada Kasus
Penetapan Nama Tana Toraja dan Hubungannya dengan Integrasi Sosial
Masyarakat Tana Toraja
5
Ma’kombongan kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja tahun
1947 menjadi nama Kabupaten, yang lahir dari kesadaran kolektif masyarakat
Toraja akan pentingnya identitas sosial mereka, yang dianyam dari nilai-nilai
moral masyarakat Toraja. Moral kolektif yang ada dalam masyarakat Toraja
mendorong lahirnya konsensus moral, lalu memungkinkan terjadinya konsensus
sakral (basse). Kasus ini menarik untuk di studi dengan menggunakan teori
sosiologi Durkheim. Ia sangat menekankan tentang collective consciousness
(kesadaran kolektif), yang merujuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan
sentiment-sentimen bersama atau nilai-nilai moral bersama yang ada pada
komunitas masyarakat yang sama. Collective consciousness itu pun yang
memungkinkan masyarakat membangun kesepakatan-kesepakatan (konsensus),
sehingga integrasi sosial tetap kuat dan tatanan sosial tidak ambruk. Kesadaran
kolektif sama sekali membungkus keseluruhan kesadaran kita dan dalam segala
hal, kesadaran kita serupa dengan kesadaran kolektif. Durkheim pun menekankan
tentang teori sakral, yang mengatakan bahwa yang sakral itu adalah masyarakat.
Menurut Durkheim sumber agama adalah masyarakat, dan agama adalah ”sesuatu
yang amat bersifat moral” yang bersumber dari moralitas kolektif (moral
community). Itu sebabnya ia menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan
lawan dari itu yang ia sebut profan adalah individu.
Inilah yg membuat penulis berminat untuk meneliti masalah budaya
ma’kombongan kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja menjadi nama
Kabupaten Daerah Tingkat II pada tahun 1947. Dalam penelitian ini, penulis
6
menggunakan teori Durkheim sebagai “pisau” analisis terhadap masalah yang
diteliti.
1.2.Pertanyaan Penelitian (Riset Question)
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan
penelitian tesis ini, ialah:
a) Bagaimana proses pelaksanaan budaya ma’kombongan kalua’ pada kasus
penetapan nama Tana Toraja?
b) Apakah makna (nilai) yang terkandung dalam budaya ma’kombongan
kalua’?
c) Bagaimana dampak budaya ma’kombongan kalua’ terhadap integrasi
sosial masyarakat Toraja?
c).3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:
a) Mendeskripsikan proses ma’kombongan kalua’ pada kasus penetapan
nama Tana Toraja
b) Mendeskripsikan nilai-nilai (makna) yang terkandung dalam budaya
ma’kombongan kalua’
c) Mendeskripsikan hubungan antara budaya ma’kombongan kalua’ dengan
integrasi sosial dalam masyarakat Toraja
c).4. Metode Penelitian
a) Metode dan Pendekatan Penelitian
7
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan
pada jenis penelitian deskriptif – explanatory dan teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Metode penelitian
deskriptif bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar fenomena yang
sedang diteliti. Dengan mempergunakan metode ini, peneliti berusaha
menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang terjadi pada saat penelitian
dilakukan serta memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
b) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini yaitu masyarakat Toraja yang ada di Kecamatan
Tallunglipu, Kecamatan Rantepao, Kecamatan Tondon, Kecamatan Kesu’-La’bo’,
Kecamatan Batutumonga (Kabupaten Toraja Utara); Kecamatan Makale,
Kecamatan Madandan (Kabupaten Tana Toraja). Hal ini dilakukan karena kedua
Kabupaten tersebut punya penghayatan dan bentuk pelaksanaan yang sama
terhadap budaya ma’kombongan kalua’, serta wilayah-wilayah adat yang ada di
kedua Kabupaten tersebut terlibat langsung dalam masalah yang diteliti dalam
tesis ini. Dari dua Kabupaten tersebut, ada beberapa orang dipilih menjadi sumber
informan/data (sebagai representasi masyarakat).
c) Waktu Penelitian
Untuk mengumpulkan data dan informasi dari orang-orang yang dipilih
menjadi menjadi responden dalam penelitian ini, maka penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Januari – Februari 2012.
d) Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
8
Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka peneliti melakukan penelitian dengan tiga cara yaitu:
1. Observation
Teknik ini digunakan untuk megungkapkan makna dibalik satu kegiatan
yang diamati. Misalnya perilaku masyarakat sehari-hari dalam kehidupan dengan
latar belakang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama, khususnya dalam
suatu bentuk interaksi antar suatu kelompok tertentu. Observasi semakin
diperkaya oleh pengalaman informan yang dipilih untuk memberikan data-data
(informasi) yang diprlukan dalam penelitian ini.
2. Studi Kepustakaan (Dokumenter)
Mempelajari literature serta dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang sedang diteliti. Tujuannya untuk memperdalam kajian teoritis dan
analisis tentang masalah yang diteliti. Sumber sekunder ini adalah
publikasi-publikasi dan juga naskah-naskah yang tidak terpublikasi.
3. Wawancara Secara Mendalam (depth interview)
Untuk mempermudah pengumpulan data dengan menggunakan
wawancara, maka wawancara dilakukan secara terbuka. Oleh karena itu peneliti
menggunakan tape recorder dan catatan. Memilih informan kunci (key informant)
untuk diwawancarai karena dianggap cukup memahami masalah yang sedang
diteliti. Misalnya: pemeluk Aluk, tokoh masyarakat, pemangku adat, orang Toraja
yang merupakan aktifis dan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Toraja (LSM
AMAT) dan Aliansi masyarakat Adat Nusantara (LSM AMAN), umat Kristen
(pengurus Sinode Gereja Toraja dan beberapa pendeta senior), juga representasi
9
perempuan. Informasi yang didapatkan lewat wawancara dan diskusi direkam
dalam kaset dan catatan peneliti.
3.5.Signifikansi Penelitian
a) Signifikansi Akademis
Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan mamperkaya bahan bacaan dan
informasi tentang masyarakat Toraja untuk pengembangan studi sosiologi agama.
b) Signifikansi Praktis
Ada dua signifikansi praktis yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
pertama, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat pembanding dan
memperkaya upaya-upaya terhadap penelitian dan tulisan-tulisan yang telah ada.
Khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Toraja, demi memperkaya khasana
wawasan terhadap nilai-nilai budaya Toraja, serta memperkaya wawasan tentang
makna kehadiran budaya daerah dalam bingkai budaya nasional Indonesia. Kedua,
diharapkan pula dapat memberikan tambahan informasi bagi Gereja Toraja,
tentang keadaan budaya anggota jemaatnya, sehingga pelayanan dapat lebih tepat
guna dan berdayaguna.
3.6.Defenisi Operasional Peristilahan
Dalam tesis ini ada beberapa istilah kunci yang perlu dipaparkan batasan
defenisi operasionalnya. Beberapa istilah kunci itu adalah: konsensus, sakral,
ma’kombongan kalua’, dan integrasi sosial.
a) Konsensus
10
Kata konsensus dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan:
kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb)
yg dicapai melalui kebulatan suara. Dalam kamus bahasa Inggris, konsensus
diartikan: persetujuan umum, mufakat (umum), persetujuan bersama. Sedangkan
dalam ensiklopedi pemikiran sosial, konsensus adalah istilah yang mengacu pada
kesepakatan umum antar individu atau kelompok, bukan hanya dalam pemikiran
tetapi juga dalam perasaan. Kata ini tidak hanya mengacu pada kesepakatan
nasional, tetapi juga mengimplementasikan sentiment (perasaan)
umum-pemahaman bersama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa konsensus
sakral adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dilakukan antar
individu atau kelompok, dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan keagamaan yang
secara sosial dianggap sebagai nilai-nilai perekat masyarakat. Nilai-nilai itu
sendiri menjadi kekuatan moral bagi semua partisan konsensus untuk setia dan
menghormati konsensus bersama. Include juga di dalamnya sanksi sebagai
konsekuensi dari ikatan moral dan kepercayaan. Dengan memiliki rasa afinitas
satu sama lain dan disatukan oleh ikatan efektif dan perhatian bersama atau
kepentingan bersama.
Dalam konteks budaya Toraja, konsensus sakral itu disebut: basse.
Secara harfiah ‘basse’ berarti ikrar, kaul, perjanjian dengan sumpah (bisa disebut:
konsensus, bisa pula disebut kontrak sosial). Dalam pengertian yang lebih luas
adalah merupakan perjanjian atau sumpah yang berkaitan dengan hubungan
sesama manusia maupun dengan yang adikodrati. Dalam konteks budaya
11
ma’kombongan kalua’ di Toraja, basse dilegitimasi dengan ritus aluk ma’pesung
urrambu langi’ (penjelasan tentang ritus ini lihat poin d hal 14).
b) Sakral
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sakral berarti suci, keramat. Dalam
bahasa Inggris disebut sacred, yang berarti keramat, suci, kudus. Sesuatu yang
sakral lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal
yang penuh misteri baik yang sangat mengangumkan maupun yang sangat
menakutkan. Dalam semua masyarakat terdapat perbedaan antara yang suci
dengan yang biasa, atau yang sering kita katakan, antara yang sakral dan yang
sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane). Misalnya orang
hindu memuja Lembu yang suci, orang Muslim memuja Batu Hitam yang ada di
(salah satu sudut) Ka’bah, orang Kristen memuja Salib di atas Altar, orang Yahudi
memuja Lembaran Batu tempat ditulisnya 10 Perintah Tuhan, dan orang yang
berperadaban rendah memuja binatang-binatang dan tanaman sebagai Totem
mereka (dipercayai dalam mitos sebagai lambang nenek moyang suku tersebut).
Benda-benda yang disebut di atas adalah benda-benda sakral; walaupun
benda-benda tersebut bisa dilihat dan kongkrit. Tetapi yang sakral itu juga
mempunyai aspek yang tidak kelihatan dan gaib. Makhluk-makhluk dan
wujud-wujud sakral yang bermacam-macam misalnya: dewa-dewa, roh-roh,
malaikat-malaikat, setan-setan, hantu-hantu disembah karena menakjubkan atau
suci; Pribadi Yesus Kristus yang bangkit dari kubur, Perawan Maria dan
orang-orang suci, Zeus dan semua candi (kuil) orang Yunani, keseluruhan
kosmologi (alam semesta menurut) Budha dan bodisatwa, Allah dan Muhammad
12
Rasulnya, adalah sakral bagi pengikut mereka masing-masing, dan disembah di
dalam upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran kepercayaan mereka.
Ciri umum dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas,
maka kesakralan itu bukanlah benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari
yang sakral, melainkan justru berbagai sikap dan perasaan manusia yang
memperkuat kesakralan benda-benda itu.
Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang
didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang
paling nyata, adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Perasaan kagum itu
menyibakkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. Tegasnya
bukanlah perasaan yang bersifat biasa atau duniawi, tetapi perasaan yang
memisahkan objek atau objek-objek tersebut dari jangkauan perhatian sehari-hari.
Jadi yang sakral itu dengan tepat dapat diartikan sebagai sesuatu yang disisihkan
dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari;
artinya bahwa yang sakral itu tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat
empiris untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kata sakral sangat berhubungan
dengan kepercayaan atau keyakinan, penganut kepercayaan (komunitas), ritus
keagamaan dalam masyarakat. Ketiga hal itulah yang berkontribusi
mengkonstruksi persepsi tentang yang sakral dalam hidup manusia. Dalam
konteks tesis ini, konsepsi sakral itu dimaksudkan kepada keampuhan basse =
konsensus sakral dalam budaya kombongan kalua’ di Toraja, khususnya peristiwa
penetapan nama Tana Toraja tahun 1947. Kesakralan konsensus kombongan
13
kalua’ merupakan cerminan kesadaran kolektif masyarakat yang lahir dari
nilai-nilai moral masyarakat, yang dikukuhkan lewat ritus ma’pesung. Walaupun
saat itu keadaan sosial masyarakat sudah pluralis, namun kombongan kalua’
menjadi alat terciptanya integrasi sosial masyarakat Toraja (lihat 3.8.).
c) Ma’kombongan Kalua’
Ma’kombongan berasal dari kata “kombong” artinya: menjadi kental,
berkumpul sedikit demi sedikit sehingga menjadi suatu jumlah yang besar,
terkumpul menjadi banyak orang. Berkumpul untuk bermusyawarah, rapat atau
sidang membicarakan sesuatu hal. Ketika mendapat awalan ma’ dan akhiran an
menegaskan bahwa melakukan musyawarah atau bermusyawarah; sedangkan
kalua’ dari kata lua’, artinya: luas, besar, atau lebar. Jadi, ma’kombongan kalua’
melakukan musyawarah besar (akbar) dalam suatu sistem musyawarah masyarakat
Toraja yang dihadiri sejumlah besar tokoh adat dan tokoh agama atau pemimpin
dalam masyarakat, sebagai representasi tiap wilayah adat untuk mengambil
keputusan atas suatu masalah yang dibicarakan melalui proses musyawarah
menuju mufakat. Ma’kombongan kalua’ punya makna yang sama dengan
kombongan kalua’, selanjutnya dalam tesis ini akan digunakan istilah kombongan
kalua’.
d) Ritus ma’pesung (ritus Aluk)
Ma’pesung dalam bahasa Toraja berasal dari kata pesung yang artinya
mendudukkan atau meletakkan. Dalam ritus Aluk, ma’pesung merupakan upacara
(ritus) yang dilakukan manusia untuk mempersembahkan korban sesajen kepada
dewata = dewa. Persembahan sajian kepada dewa yaitu nasi atau lemang nasi
14
dengan daging hewan (ayam, babi atau kerbau) yang dipotong (diiris) diambil
sedikit-sedikit dari bagian-bagian tertentu (dititi’-dikiki’, disadi) dari binatang
yang dipersembahkan ditaruh dalam daun pisang (biasanya dibagi atas 4 tempat
atau lebih), lalu dipersembahkan oleh To minaa (imam Aluk) dengan membacakan
mantra doa dan sumpah sakti.
Dalam budaya kombongan kalua’, setelah terjadi konsensus (basse) dan
kesepakatan tentang sanksi maka dilakukan pengukuhan konsensus (basse)
melalui ritus ma’pesung. Biasa pula disebut ritus ma’pesung urrambu langi’
(pemotongan korban untuk dewa dan arwah leluhur, asap korban yang
dipersembahkan itu menuju ke langit tempat dewa). Dalam tradisi budaya
kombongan kalua’, hewan yang dikorbankan yaitu babi atau kerbau (tergantung
kesepakatan peserta kombongan kalua’). Dengan demikian konsensus (basse)
yang dihasilkan mengikat manusia dengan dewa dan arwah leluhur. Karena itulah,
manusia berusaha keras untuk menaati konsensus (basse) yang dibuat.
e) Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki
keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan
kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki dua pengertian, yaitu:
15
Pertama, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu
sistem sosial tertentu. Kedua, membuat suatu keseluruhan dan menyatukan
unsur-unsur tertentu dalam masyarakat.
Jadi, integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau
dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar (ambruk) meskipun
menghadapi berbagai tantangan, baik tantangan fisik maupun konflik yang terjadi
secara sosial budaya. Menurut pandangan para penganut fungsionalisme, struktur
sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut: Pertama, suatu
masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di
antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental (mendasar). Kedua, masyarakat terintegrasi karena berbagai
anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial
(cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial
dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas
ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai
kesatuan sosial.
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas
paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki
kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan
pranata-pranata sosial. Integrasi sosial didorong oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi: kesadaran diri sebagai makhluk sosial, tuntutan
16
kebutuhan, jiwa dan semangat gotong royong. Sedangkan faktor eksternal
meliputi: tuntutan perkembangan zaman, persamaan kebudayaan, terbukanya
kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama, persaman visi, misi, dan
tujuan, sikap toleransi, adanya kosensus nilai, adanya tantangan dari luar.
Dalam konteks masalah yang diteliti dalam tesis ini, integrasi sosial
masyarakat Toraja terjadi karena adanya konsensus yang dibangun dalam
kombongan kalua’, yang di dasarkan atas kesamaan nilai-nilai moral, sosial
budaya dan kesadaran masyarakat Toraja agar sistem sosial tidak ambruk.
3.7.Sistematika Penulisan (garis besar penulisan)
Secara garis besar, tesis ini disusun dalam lima bab pembahasan. Kelima
bab tersebut yaitu bab satu, berisi: latar belakang masalah, pertanyaan penelitian
(riset question), tujuan penelitian, metode penelitian, signifikansi penelitian,
defenisi operasional peristilahan dan sistematika penulisan. Bab dua, merupakan
pemaparan tentang kajian teoritik mengenai konsensus sakral dalam perspektif
Durkheim. Bab tiga, berisi gambaran umum tentang masyarakat Toraja: tentang
suku Toraja, aluk sebagai sistem religi masyarakat Toraja, struktur sosial dan
kepemimpinan masyarakat tradisional masyarakat Toraja, adat dan kebudayaan
Toraja, asal usul kata Toraja dan studi kasus budaya kombongan kalua’ dalam
rangka penetapan nama Tana Toraja, serta makna yang terkandung dalam
kombongan kalua’. Bab empat, merupakan analisis konsensus sakral kombongan
kalua’ dalam perspektif Durkheim, dan peluang budaya kombongan kalua’ bagi
17
kehidupan berbangsa serta penggilan gereja dalam kehidupan berbangsa dalam
perpektif budaya kombongan kalua’. Bab lima, merupakan kesimpulan.