BAB I PENDAHULUAN -...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Etnis Toraja merupakan salah satu suku dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dikenal trilogi identitas yang menonjol yaitu: aluk, adat dan kebudayaan (agama, adat dan kebudayaan). Ketiganya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya, ketiganya ini dapat disebut tiga nan tungku (tiga kaki tungku). Ketiga tungku itulah yang menopang kehidupan sosial masyarakat Toraja sehingga tetap dalam suasana integrasi. Ketiga tungku itu teraktualisasi dalam seluruh kehidupan sosial masyarakat Toraja dan membangun struktur falsafah hidup orang Toraja secara holistik. Itulah sebabnya bagi orang Toraja, totalitas kehidupan manusia adalah aluk (kepercayaan atau agama), yang memanifestasikan diri di dalam adat sebagai cara hidup. Implementasi aluk dan adat dalam kehidupan ini, dengan sendirinya menghasilkan kebudayaan. Sebelum orang Toraja melaksanakan seremonial adat dan ritus-ritus aluk (agama), baik yang berhubungan dengan sukacita (Aluk Rambu Tuka) atau yang berhubungan dengan dukacita (Aluk Rambu Solo’), menyelesaikan masalah/konflik (dalam keluarga maupun masyarakat), dan merancang kebersamaan dalam kehidupan persekutuan, maka didahului dengan pertemuan forum musyawarah yang disebut ma’kombongan. Dalam tingkat yang lebih besar, yang melibatkan etnis Toraja dan dengan agenda yang lebih besar disebut ma’kombongan kalua’. Bagi orang Toraja, ma’kombongan kalua’ merupakan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Etnis Toraja merupakan salah satu suku dari berbagai suku yang ada di

Indonesia. Dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dikenal trilogi identitas

yang menonjol yaitu: aluk, adat dan kebudayaan (agama, adat dan kebudayaan).

Ketiganya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya, ketiganya ini

dapat disebut tiga nan tungku (tiga kaki tungku). Ketiga tungku itulah yang

menopang kehidupan sosial masyarakat Toraja sehingga tetap dalam suasana

integrasi. Ketiga tungku itu teraktualisasi dalam seluruh kehidupan sosial

masyarakat Toraja dan membangun struktur falsafah hidup orang Toraja secara

holistik. Itulah sebabnya bagi orang Toraja, totalitas kehidupan manusia adalah

aluk (kepercayaan atau agama), yang memanifestasikan diri di dalam adat sebagai

cara hidup. Implementasi aluk dan adat dalam kehidupan ini, dengan sendirinya

menghasilkan kebudayaan.

Sebelum orang Toraja melaksanakan seremonial adat dan ritus-ritus aluk

(agama), baik yang berhubungan dengan sukacita (Aluk Rambu Tuka) atau yang

berhubungan dengan dukacita (Aluk Rambu Solo’), menyelesaikan

masalah/konflik (dalam keluarga maupun masyarakat), dan merancang

kebersamaan dalam kehidupan persekutuan, maka didahului dengan pertemuan

forum musyawarah yang disebut ma’kombongan. Dalam tingkat yang lebih besar,

yang melibatkan etnis Toraja dan dengan agenda yang lebih besar disebut

ma’kombongan kalua’. Bagi orang Toraja, ma’kombongan kalua’ merupakan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

2

forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat Toraja.

Keputusan dalam masyarakat Toraja tidak bisa diambil sendiri, tetapi harus

melalui musyawarah bersama lewat wadah ma’kombongan kalua’. Karena itu,

ma’kombongan kalua’ merupakan model demokrasi ala Toraja. Ini menunjukkan

bahwa dari dahulu masyarakat Toraja tidak mengenal hukum rimba dalam

menyelesaikan masalah.

Budaya ma’kombongan kalua’ yang pernah dilaksanakan antara lain:

tonna tallan (peristiwa tenggelamnya) Londong di Rura, peristiwa To Pada Tindo

untulak Buntunna Bone (perlawanan dari To Pada Tindo atas invasi kerajaan

Bone) ke Toraja pada abad ke-17, peristiwa penetapan nama Tana Toraja menjadi

nama Kabupaten Daerah Tingkat II pada tahun 1947, peristiwa tahun 1953 dan

tahun 1958 menghadapi invasi Kahar Muzakkar (Pimpinan DI/TII Sul-Sel) dan

Andi Sose dengan misi meng-islam-kan Toraja. Penulis memilih ma’kombongan

kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja 1947 untuk dikaji dalam tesis

ini.

Budaya ma’kombongan kalua’ mempunyai makna yang sangat sakral,

sebab dianyam dalam tiga identitas orang Toraja yaitu aluk, adat dan kebudayaan

Toraja. Kesepakatan yang dicapai dalam ma’kombongan kalua’ disebut basse.

Konsensus (basse) itu dikukuhkan dalam ritus aluk ma’pesung urrambu langi’.

Itulah sebabnya basse dalam ma’kombongan kalua’ menjadi sakral (konsensus

sakral). Semua orang yang terlibat dalam ma’kombongan kalua’, bertanggung

jawab untuk menjaga dan menghormati basse kasiturusan (konsensus bersama),

ini disebut keputusan adat. Basse itulah yang menjadi puncak dalam budaya

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

3

ma’kombongan kalua’. Tujuan dari basse yaitu: untuk memelihara keutuhan

masyarakat (integrasi sosial), kerukunan (harmoni) dan kedamaian masyarakat. Ini

menegaskan bahwa dalam budaya ma’kombongan kalua’ ada kesadaran untuk

memelihara persekutuan (kolektifitas) masyarakat.

Budaya ma’kombongan kalua’ menghargai pluralitas masyarakat, sebab

semua orang yang ikut, dihargai eksistensinya. Mereka mempunyai ikatan

komitmen yang sama untuk taat dan setia kepada konsensus (basse) yang

disepakati bersama. Tetapi, jika ada yang melanggar kesepakatan bersama, maka

orang tersebut dicap: ti’pek lanmai kasiturusan/kada kalebu (keluar dari

kesepakatan persekutuan). Dengan demikian, masalah ini bukan hanya merupakan

masalah sosiologis saja, melainkan juga merupakan persoalan religius, sebab

perbuatan itu dianggap merupakan pelanggaran terhadap aluk dan adat nenek

moyang. Orang Toraja percaya, bahwa bagi mereka yang tidak taat kepada

konsensus ma’kombongan kalua’ akan kena tulah, hukuman dari dewa karena

melanggar komitmen aluk dan adat. Selain itu, hukuman bagi yang melanggar

konsensus, bisa pula disepakati dalam kombongan kalua’. Misalnya, diusir dari

kampung (diali’ lanmai Tondok), dibakar, disembeli sebagai korban dalam

upacara Rambu solo’ to dibaratan. Ini menunjukkan juga bahwa budaya

ma’kombongan kalua’ juga berfungsi sebagai wadah peradilan.

Budaya ma’kombongan kalua’ juga diikat dalam semboyan hidup orang

Toraja, yaitu: “misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (bersatu kita teguh,

bercerai kita ‘mati’ - runtuh). Ungkapan yang lain tetapi punya spirit yang sama

yaitu: “sangkutu’ banne, sangbuke amboran” artinya: persekutuan itu bagaikan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

4

serumpun, seikat benih padi, bagaikan benih yang penuh takaran untuk

ditaburkan. Gambaran paralelisme ini mengungkapkan suatu persekutuan tanpa

perbedaan, semuanya adalah benih-benih yang sama dan yang

disatukan/dipersekutukan dalam satu ikatan atau dalam satu tempat benih.

Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan persekutuan yang dinamis dan

penuh vitalitas, memberi semangat kepada orang Toraja untuk taat kepada

konsensus bersama. Sekaligus menegaskan cara orang Toraja menjaga agar sistem

(pranata) sosial tetap terpelihara dengan baik, demi integrasi sosial. Komitmen

kepada kedamaian dan harmoni sosial pun, ditegaskan dalam ungkapan “unnalli

melo” (membeli kebaikan), kebaikan dalam arti kerukunan, kedamaian.

Ungkapan: “sattu’-sattu’ unnalli melo” (sebentar-sebentar membeli kebaikan)

adalah tanda ke-Toraja-an. Orang Toraja rela berkorban demi kebaikan dan

konsensus bersama (kasiturusan to buda).

Masyarakat Toraja menganggap bahwa nilai-nili yang terkandung dalam

budaya ma’kombongan kalua’ sangat baik dan masih relevan sampai sekarang.

Karena itu, hingga kini, budaya ma’kombongan masih dilakukan dalam kehidupan

masyarakat Toraja. Budaya ini dilihat sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang

digunakan sebagai potensi alternatif dalam menyelesaikan masalah sosial.

Dengan latar belakang permasalahan di atas, maka tesis ini diberi judul:

KONSENSUS SAKRAL

Studi Sosial Kultural Budaya Ma’kombogan Kalua’ pada Kasus

Penetapan Nama Tana Toraja dan Hubungannya dengan Integrasi Sosial

Masyarakat Tana Toraja

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

5

Ma’kombongan kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja tahun

1947 menjadi nama Kabupaten, yang lahir dari kesadaran kolektif masyarakat

Toraja akan pentingnya identitas sosial mereka, yang dianyam dari nilai-nilai

moral masyarakat Toraja. Moral kolektif yang ada dalam masyarakat Toraja

mendorong lahirnya konsensus moral, lalu memungkinkan terjadinya konsensus

sakral (basse). Kasus ini menarik untuk di studi dengan menggunakan teori

sosiologi Durkheim. Ia sangat menekankan tentang collective consciousness

(kesadaran kolektif), yang merujuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan

sentiment-sentimen bersama atau nilai-nilai moral bersama yang ada pada

komunitas masyarakat yang sama. Collective consciousness itu pun yang

memungkinkan masyarakat membangun kesepakatan-kesepakatan (konsensus),

sehingga integrasi sosial tetap kuat dan tatanan sosial tidak ambruk. Kesadaran

kolektif sama sekali membungkus keseluruhan kesadaran kita dan dalam segala

hal, kesadaran kita serupa dengan kesadaran kolektif. Durkheim pun menekankan

tentang teori sakral, yang mengatakan bahwa yang sakral itu adalah masyarakat.

Menurut Durkheim sumber agama adalah masyarakat, dan agama adalah ”sesuatu

yang amat bersifat moral” yang bersumber dari moralitas kolektif (moral

community). Itu sebabnya ia menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan

lawan dari itu yang ia sebut profan adalah individu.

Inilah yg membuat penulis berminat untuk meneliti masalah budaya

ma’kombongan kalua’ dalam rangka penetapan nama Tana Toraja menjadi nama

Kabupaten Daerah Tingkat II pada tahun 1947. Dalam penelitian ini, penulis

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

6

menggunakan teori Durkheim sebagai “pisau” analisis terhadap masalah yang

diteliti.

1.2.Pertanyaan Penelitian (Riset Question)

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan

penelitian tesis ini, ialah:

a) Bagaimana proses pelaksanaan budaya ma’kombongan kalua’ pada kasus

penetapan nama Tana Toraja?

b) Apakah makna (nilai) yang terkandung dalam budaya ma’kombongan

kalua’?

c) Bagaimana dampak budaya ma’kombongan kalua’ terhadap integrasi

sosial masyarakat Toraja?

c).3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

a) Mendeskripsikan proses ma’kombongan kalua’ pada kasus penetapan

nama Tana Toraja

b) Mendeskripsikan nilai-nilai (makna) yang terkandung dalam budaya

ma’kombongan kalua’

c) Mendeskripsikan hubungan antara budaya ma’kombongan kalua’ dengan

integrasi sosial dalam masyarakat Toraja

c).4. Metode Penelitian

a) Metode dan Pendekatan Penelitian

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

7

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan

pada jenis penelitian deskriptif – explanatory dan teknik pengumpulan data

menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Metode penelitian

deskriptif bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar fenomena yang

sedang diteliti. Dengan mempergunakan metode ini, peneliti berusaha

menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang terjadi pada saat penelitian

dilakukan serta memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

b) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini yaitu masyarakat Toraja yang ada di Kecamatan

Tallunglipu, Kecamatan Rantepao, Kecamatan Tondon, Kecamatan Kesu’-La’bo’,

Kecamatan Batutumonga (Kabupaten Toraja Utara); Kecamatan Makale,

Kecamatan Madandan (Kabupaten Tana Toraja). Hal ini dilakukan karena kedua

Kabupaten tersebut punya penghayatan dan bentuk pelaksanaan yang sama

terhadap budaya ma’kombongan kalua’, serta wilayah-wilayah adat yang ada di

kedua Kabupaten tersebut terlibat langsung dalam masalah yang diteliti dalam

tesis ini. Dari dua Kabupaten tersebut, ada beberapa orang dipilih menjadi sumber

informan/data (sebagai representasi masyarakat).

c) Waktu Penelitian

Untuk mengumpulkan data dan informasi dari orang-orang yang dipilih

menjadi menjadi responden dalam penelitian ini, maka penelitian ini dilaksanakan

pada bulan Januari – Februari 2012.

d) Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

8

Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,

maka peneliti melakukan penelitian dengan tiga cara yaitu:

1. Observation

Teknik ini digunakan untuk megungkapkan makna dibalik satu kegiatan

yang diamati. Misalnya perilaku masyarakat sehari-hari dalam kehidupan dengan

latar belakang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama, khususnya dalam

suatu bentuk interaksi antar suatu kelompok tertentu. Observasi semakin

diperkaya oleh pengalaman informan yang dipilih untuk memberikan data-data

(informasi) yang diprlukan dalam penelitian ini.

2. Studi Kepustakaan (Dokumenter)

Mempelajari literature serta dokumen yang berhubungan dengan

masalah yang sedang diteliti. Tujuannya untuk memperdalam kajian teoritis dan

analisis tentang masalah yang diteliti. Sumber sekunder ini adalah

publikasi-publikasi dan juga naskah-naskah yang tidak terpublikasi.

3. Wawancara Secara Mendalam (depth interview)

Untuk mempermudah pengumpulan data dengan menggunakan

wawancara, maka wawancara dilakukan secara terbuka. Oleh karena itu peneliti

menggunakan tape recorder dan catatan. Memilih informan kunci (key informant)

untuk diwawancarai karena dianggap cukup memahami masalah yang sedang

diteliti. Misalnya: pemeluk Aluk, tokoh masyarakat, pemangku adat, orang Toraja

yang merupakan aktifis dan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Toraja (LSM

AMAT) dan Aliansi masyarakat Adat Nusantara (LSM AMAN), umat Kristen

(pengurus Sinode Gereja Toraja dan beberapa pendeta senior), juga representasi

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

9

perempuan. Informasi yang didapatkan lewat wawancara dan diskusi direkam

dalam kaset dan catatan peneliti.

3.5.Signifikansi Penelitian

a) Signifikansi Akademis

Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan mamperkaya bahan bacaan dan

informasi tentang masyarakat Toraja untuk pengembangan studi sosiologi agama.

b) Signifikansi Praktis

Ada dua signifikansi praktis yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

pertama, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat pembanding dan

memperkaya upaya-upaya terhadap penelitian dan tulisan-tulisan yang telah ada.

Khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Toraja, demi memperkaya khasana

wawasan terhadap nilai-nilai budaya Toraja, serta memperkaya wawasan tentang

makna kehadiran budaya daerah dalam bingkai budaya nasional Indonesia. Kedua,

diharapkan pula dapat memberikan tambahan informasi bagi Gereja Toraja,

tentang keadaan budaya anggota jemaatnya, sehingga pelayanan dapat lebih tepat

guna dan berdayaguna.

3.6.Defenisi Operasional Peristilahan

Dalam tesis ini ada beberapa istilah kunci yang perlu dipaparkan batasan

defenisi operasionalnya. Beberapa istilah kunci itu adalah: konsensus, sakral,

ma’kombongan kalua’, dan integrasi sosial.

a) Konsensus

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

10

Kata konsensus dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan:

kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb)

yg dicapai melalui kebulatan suara. Dalam kamus bahasa Inggris, konsensus

diartikan: persetujuan umum, mufakat (umum), persetujuan bersama. Sedangkan

dalam ensiklopedi pemikiran sosial, konsensus adalah istilah yang mengacu pada

kesepakatan umum antar individu atau kelompok, bukan hanya dalam pemikiran

tetapi juga dalam perasaan. Kata ini tidak hanya mengacu pada kesepakatan

nasional, tetapi juga mengimplementasikan sentiment (perasaan)

umum-pemahaman bersama.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa konsensus

sakral adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dilakukan antar

individu atau kelompok, dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan keagamaan yang

secara sosial dianggap sebagai nilai-nilai perekat masyarakat. Nilai-nilai itu

sendiri menjadi kekuatan moral bagi semua partisan konsensus untuk setia dan

menghormati konsensus bersama. Include juga di dalamnya sanksi sebagai

konsekuensi dari ikatan moral dan kepercayaan. Dengan memiliki rasa afinitas

satu sama lain dan disatukan oleh ikatan efektif dan perhatian bersama atau

kepentingan bersama.

Dalam konteks budaya Toraja, konsensus sakral itu disebut: basse.

Secara harfiah ‘basse’ berarti ikrar, kaul, perjanjian dengan sumpah (bisa disebut:

konsensus, bisa pula disebut kontrak sosial). Dalam pengertian yang lebih luas

adalah merupakan perjanjian atau sumpah yang berkaitan dengan hubungan

sesama manusia maupun dengan yang adikodrati. Dalam konteks budaya

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

11

ma’kombongan kalua’ di Toraja, basse dilegitimasi dengan ritus aluk ma’pesung

urrambu langi’ (penjelasan tentang ritus ini lihat poin d hal 14).

b) Sakral

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sakral berarti suci, keramat. Dalam

bahasa Inggris disebut sacred, yang berarti keramat, suci, kudus. Sesuatu yang

sakral lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal

yang penuh misteri baik yang sangat mengangumkan maupun yang sangat

menakutkan. Dalam semua masyarakat terdapat perbedaan antara yang suci

dengan yang biasa, atau yang sering kita katakan, antara yang sakral dan yang

sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane). Misalnya orang

hindu memuja Lembu yang suci, orang Muslim memuja Batu Hitam yang ada di

(salah satu sudut) Ka’bah, orang Kristen memuja Salib di atas Altar, orang Yahudi

memuja Lembaran Batu tempat ditulisnya 10 Perintah Tuhan, dan orang yang

berperadaban rendah memuja binatang-binatang dan tanaman sebagai Totem

mereka (dipercayai dalam mitos sebagai lambang nenek moyang suku tersebut).

Benda-benda yang disebut di atas adalah benda-benda sakral; walaupun

benda-benda tersebut bisa dilihat dan kongkrit. Tetapi yang sakral itu juga

mempunyai aspek yang tidak kelihatan dan gaib. Makhluk-makhluk dan

wujud-wujud sakral yang bermacam-macam misalnya: dewa-dewa, roh-roh,

malaikat-malaikat, setan-setan, hantu-hantu disembah karena menakjubkan atau

suci; Pribadi Yesus Kristus yang bangkit dari kubur, Perawan Maria dan

orang-orang suci, Zeus dan semua candi (kuil) orang Yunani, keseluruhan

kosmologi (alam semesta menurut) Budha dan bodisatwa, Allah dan Muhammad

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

12

Rasulnya, adalah sakral bagi pengikut mereka masing-masing, dan disembah di

dalam upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran kepercayaan mereka.

Ciri umum dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas,

maka kesakralan itu bukanlah benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari

yang sakral, melainkan justru berbagai sikap dan perasaan manusia yang

memperkuat kesakralan benda-benda itu.

Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang

didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang

paling nyata, adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Perasaan kagum itu

menyibakkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. Tegasnya

bukanlah perasaan yang bersifat biasa atau duniawi, tetapi perasaan yang

memisahkan objek atau objek-objek tersebut dari jangkauan perhatian sehari-hari.

Jadi yang sakral itu dengan tepat dapat diartikan sebagai sesuatu yang disisihkan

dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari;

artinya bahwa yang sakral itu tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat

empiris untuk memenuhi kebutuhan praktis.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kata sakral sangat berhubungan

dengan kepercayaan atau keyakinan, penganut kepercayaan (komunitas), ritus

keagamaan dalam masyarakat. Ketiga hal itulah yang berkontribusi

mengkonstruksi persepsi tentang yang sakral dalam hidup manusia. Dalam

konteks tesis ini, konsepsi sakral itu dimaksudkan kepada keampuhan basse =

konsensus sakral dalam budaya kombongan kalua’ di Toraja, khususnya peristiwa

penetapan nama Tana Toraja tahun 1947. Kesakralan konsensus kombongan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

13

kalua’ merupakan cerminan kesadaran kolektif masyarakat yang lahir dari

nilai-nilai moral masyarakat, yang dikukuhkan lewat ritus ma’pesung. Walaupun

saat itu keadaan sosial masyarakat sudah pluralis, namun kombongan kalua’

menjadi alat terciptanya integrasi sosial masyarakat Toraja (lihat 3.8.).

c) Ma’kombongan Kalua’

Ma’kombongan berasal dari kata “kombong” artinya: menjadi kental,

berkumpul sedikit demi sedikit sehingga menjadi suatu jumlah yang besar,

terkumpul menjadi banyak orang. Berkumpul untuk bermusyawarah, rapat atau

sidang membicarakan sesuatu hal. Ketika mendapat awalan ma’ dan akhiran an

menegaskan bahwa melakukan musyawarah atau bermusyawarah; sedangkan

kalua’ dari kata lua’, artinya: luas, besar, atau lebar. Jadi, ma’kombongan kalua’

melakukan musyawarah besar (akbar) dalam suatu sistem musyawarah masyarakat

Toraja yang dihadiri sejumlah besar tokoh adat dan tokoh agama atau pemimpin

dalam masyarakat, sebagai representasi tiap wilayah adat untuk mengambil

keputusan atas suatu masalah yang dibicarakan melalui proses musyawarah

menuju mufakat. Ma’kombongan kalua’ punya makna yang sama dengan

kombongan kalua’, selanjutnya dalam tesis ini akan digunakan istilah kombongan

kalua’.

d) Ritus ma’pesung (ritus Aluk)

Ma’pesung dalam bahasa Toraja berasal dari kata pesung yang artinya

mendudukkan atau meletakkan. Dalam ritus Aluk, ma’pesung merupakan upacara

(ritus) yang dilakukan manusia untuk mempersembahkan korban sesajen kepada

dewata = dewa. Persembahan sajian kepada dewa yaitu nasi atau lemang nasi

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

14

dengan daging hewan (ayam, babi atau kerbau) yang dipotong (diiris) diambil

sedikit-sedikit dari bagian-bagian tertentu (dititi’-dikiki’, disadi) dari binatang

yang dipersembahkan ditaruh dalam daun pisang (biasanya dibagi atas 4 tempat

atau lebih), lalu dipersembahkan oleh To minaa (imam Aluk) dengan membacakan

mantra doa dan sumpah sakti.

Dalam budaya kombongan kalua’, setelah terjadi konsensus (basse) dan

kesepakatan tentang sanksi maka dilakukan pengukuhan konsensus (basse)

melalui ritus ma’pesung. Biasa pula disebut ritus ma’pesung urrambu langi’

(pemotongan korban untuk dewa dan arwah leluhur, asap korban yang

dipersembahkan itu menuju ke langit tempat dewa). Dalam tradisi budaya

kombongan kalua’, hewan yang dikorbankan yaitu babi atau kerbau (tergantung

kesepakatan peserta kombongan kalua’). Dengan demikian konsensus (basse)

yang dihasilkan mengikat manusia dengan dewa dan arwah leluhur. Karena itulah,

manusia berusaha keras untuk menaati konsensus (basse) yang dibuat.

e) Integrasi Sosial

Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti

kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses

penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan

masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki

keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana

kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformitas terhadap

kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan

kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki dua pengertian, yaitu:

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

15

Pertama, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu

sistem sosial tertentu. Kedua, membuat suatu keseluruhan dan menyatukan

unsur-unsur tertentu dalam masyarakat.

Jadi, integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau

dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.

Integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar (ambruk) meskipun

menghadapi berbagai tantangan, baik tantangan fisik maupun konflik yang terjadi

secara sosial budaya. Menurut pandangan para penganut fungsionalisme, struktur

sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut: Pertama, suatu

masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di

antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang

bersifat fundamental (mendasar). Kedua, masyarakat terintegrasi karena berbagai

anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial

(cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial

dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas

ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai

kesatuan sosial.

Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas

paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.

Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki

kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan

pranata-pranata sosial. Integrasi sosial didorong oleh faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal meliputi: kesadaran diri sebagai makhluk sosial, tuntutan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

16

kebutuhan, jiwa dan semangat gotong royong. Sedangkan faktor eksternal

meliputi: tuntutan perkembangan zaman, persamaan kebudayaan, terbukanya

kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama, persaman visi, misi, dan

tujuan, sikap toleransi, adanya kosensus nilai, adanya tantangan dari luar.

Dalam konteks masalah yang diteliti dalam tesis ini, integrasi sosial

masyarakat Toraja terjadi karena adanya konsensus yang dibangun dalam

kombongan kalua’, yang di dasarkan atas kesamaan nilai-nilai moral, sosial

budaya dan kesadaran masyarakat Toraja agar sistem sosial tidak ambruk.

3.7.Sistematika Penulisan (garis besar penulisan)

Secara garis besar, tesis ini disusun dalam lima bab pembahasan. Kelima

bab tersebut yaitu bab satu, berisi: latar belakang masalah, pertanyaan penelitian

(riset question), tujuan penelitian, metode penelitian, signifikansi penelitian,

defenisi operasional peristilahan dan sistematika penulisan. Bab dua, merupakan

pemaparan tentang kajian teoritik mengenai konsensus sakral dalam perspektif

Durkheim. Bab tiga, berisi gambaran umum tentang masyarakat Toraja: tentang

suku Toraja, aluk sebagai sistem religi masyarakat Toraja, struktur sosial dan

kepemimpinan masyarakat tradisional masyarakat Toraja, adat dan kebudayaan

Toraja, asal usul kata Toraja dan studi kasus budaya kombongan kalua’ dalam

rangka penetapan nama Tana Toraja, serta makna yang terkandung dalam

kombongan kalua’. Bab empat, merupakan analisis konsensus sakral kombongan

kalua’ dalam perspektif Durkheim, dan peluang budaya kombongan kalua’ bagi

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8509/1/T2_752011032_BAB I.pdf2 forum strategis untuk menjaga integrasi sosial dan kerukunan masyarakat

17

kehidupan berbangsa serta penggilan gereja dalam kehidupan berbangsa dalam

perpektif budaya kombongan kalua’. Bab lima, merupakan kesimpulan.