Download - BAB IV IMPLEMENTASI MANAJEMEN DALAM PENGELOLAAN …eprints.walisongo.ac.id/7076/5/085113007_Bab4.pdf · A. Implementasi Fungsi Manajemen ... cerdas, arif, bijaksana, bertanggungjawab

Transcript

229

BAB IV

IMPLEMENTASI MANAJEMEN DALAM PENGELOLAAN WAKAF

ALKHAIRA>T PALU SULAWESI TENGAH

A. Implementasi Fungsi Manajemen

Bentuk lembaga pengelola wakaf Alkhaira>t dilihat dari aspek perundang-undangan

wakaf di Indonesia terdiri atas tiga bentuknya, yaitu: perseorangan, organisasi, dan

badan hukum. Artinya di Alkhaira>t secara formal ketiga bentuk itu dikembangkan

bersama-sama. Merujuk pada penjelasan di bab terdahulu, diketahui bahwa bentuk

lembaga pengelola wakafnya bukan berbentuk organisasi atau badan hukum,

melainkan perorangan; maka ini menjadi sesuatu yang tidak mungkin dijelaskan

dengan pendekatan manajemen. Tetapi dalam realitasnya Pengurus Besar Alkhaira>t

dan yayasannya selalu melaporkan hal-hal yang bertalian dengan harta wakaf. Ini

dapat dipahami kalau telah terjadi kesamaran dalam pengelolaan wakafnya.

Walaupun demikian, penelitian ini tetap mengungkap sejauh mana wakaf itu ada

dan dikelola oleh Alkhaira>t.

Berdasarkan aturan perundang-undangan pengelolaan wakaf harus dikelola

dalam sebuah organisasi atau badan hukum yang bergerak di bidang keagamaan dan

sosial masyarakat (UU. No. 41/2004, pasal 10 ayat (2-3)). Pengelolaan wakaf

Alkhaira>t Palu terlihat adanya pertentangan dengan pendelegasian kewenangan

mengelola aset wakaf yang diatur dalam peraturan organisasinya. Aturan organisasi

mendelegasikan kepada yayasan sebagai pengelola wakaf; tetapi secara

administratif bukan dilaksanakan oleh yayasan tetapi justru oleh Pengurus Besar.

230

Data administrasi dan hasil pengelolaannya serta pemanfaatannya dilakukan oleh

Pengurus Besar.

Sistem tersebut melahirkan sikap apatis dan saling mengharap terhadap

tanggungjawab pengelolaan. Berdasarkan ketentuan organisasi telah diatur tentang

mekanisme hubungan lintas lembaga; tetapi hal ini tolak ukur manajemen tampak

kesimpangsiuran. Pola manajemen yang baik melahirkan hasil yang baik dan

terukur. Wakaf Alkhaira>t masih banyak yang terbengkalai dalam pendataan dan

registrasinya. Proses pengelolaannya belum memperhatikan aspek-aspek yang

berhubungan dengan manajemen.

Mencermati dan mengikuti perkembangan pengelolaan wakaf di Alkhaira>t,

maka yang menjadi kendala; antara lain: a) kurang jelasnya penentuan nazir secara

kelembagaan yang memungkinkan diangkat oleh Pengurus Besar selanjutnya

didaftarkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI) melalui Kantor Urusan Agama

setempat, hal ini sebagaimana amanat dalam perundang-undangan wakaf di

Indonesia; b) mereka yang diangkat selama ini menduduki posisi pada bidang

perwakafan belum memiliki kualifikasi dan kemampuan yang cukup untuk

mengelola wakaf; c) sistem pengelolaan aset kekayaan yang belum dilakukan secara

terbuka dan transparansi; d) kepercayaan publik (abna’ Alkhaira>t) yang masih

bersifat sentralistik sehingga struktur kelembagaan kurang berjalan efektif; dan e)

tidak adanya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan wakaf.

Di bawah ini dijelaskan bagaimana tiga fungsi manajemen diterapkan dalam

pengelolaan wakaf Alkhaira>t:

231

1. Perencanaan (planning)

Perencanaan adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu

hasil yang diinginkan. Adanya rencana, maka memungkinkan sebuah organisasi

dapat memperoleh atau mengikat seluruh sumber daya yang dibutuhkan guna

mencapai tujuan organisasi. Rencana yang ada juga akan dapat menjadi acuan

bagi karyawan bekerja secara konsisten mencapai tujuan. Rencana itu juga

menjadi alat monitoring bagi pelaksanaan kegiatan organisasi. Rencana

merupakan langkah awal bagi sebuah organisasi untuk menata program-program

keorganisasian sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai. Perencanaan

sebuah organisasi dimulai dari penentuan visi, misi, tujuan, dan strategi. Dengan

demikian, tanpa ada rencana maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan

dalam rangka usaha pencapaian tujuan organisasi (Noor, 2014: 123).

Perencanaan dalam perwakafan terdapat tiga hal yang mendasar yang

perlu diperhatikan oleh nazir, yaitu: a) dari sisi proses, perencanaan merupakan

proses dasar yang digunakan untuk menetapkan tujuan pengelolaan wakaf dan

menentukan bagaimana tujuan tersebut dapat terealisasi, menentukan sumber

daya yang diperlukan, menetapkan standar keberhasilan dalam pencapaian

tujuan; b) dari sisi fungsi manajemen, perencanaan akan memengaruhi dan

memberikan wewenang pada nazir untuk menentukan rencana kegiatan

organisasi; c) dari sisi pengambilan keputusan, perencanaan merupakan

pengambilan keputusan untuk jangka waktu yang panjang atau masa yang akan

datang mengenai apa yang akan dilakukan nazir, bagaimana melakukannya,

kapan, dan siapa yang akan melakukannya (Rozalinda, 2015: 76).

232

Secara kelembagaan, Alkhaira>t mempunyai visi yaitu: ‚wadah

pemberdayaan pendidikan, dakwah, dan usaha sosial atas dasar Islam

Ahlussunnah waljama’ah‛ (Tap Muktamar, 2008, Nomor: 04, Bab III). Visi ini

tidak memberikan gambaran adanya produk yang akan dicapai dalam kurun

beberapa tahun ke depan. Padahal visi merupakan pernyataan yang

menggambarkan organisasi di masa depan dalam kurun waktu yang lama (antara

20-30 tahunan). Komponen pernyataan visi menurut Juliansyah Noor (2013:

125) dapat mencakup: seberapa besar jangkauan pekerjaan, apa yang organisasi

lakukan dan perannya, organisasi terlihat seperti apa ke depan, siapa mitra

terbesar yang dijadikan patner organisasi, dan sumber pendanaannya. Jika visi

adalah awal dari sebuah pembuatan rencana organisasi, maka visi Alkhaira>t

belum memberikan kejelasan makna dan sasaran. Walaupun demikian, dari sisi

pembuatan rencana telah dibuat oleh perhimpunan Alkhaira>t.

Misi perhimpunan Alkhaira>t adalah ‚mewujudkan masyarakat yang

cerdas melalui sistem pendidikan yang bermutu dan professional; mewujudkan

masyarakat yang berakhlak karimah melalui sistem dakwah yang professional

dan mandiri; mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera demokratis dan

berkeadaban.‛ Perumusan misi dilihat dari aspek teori perencanaan dianggap

telah terpenuhi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dengan sasaran yang

jelas serta menginformasikan cara pelaksanaannya.

Tujuan Alkhaira>t adalah membentuk insan yang beriman dan bertaqwa,

cerdas, arif, bijaksana, bertanggungjawab terhadap pembangunan agama, bangsa

dan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna terwujudnya masyarakat yang

aman, adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Tujuan tersebut dari sisi

233

fungsinya telah memberikan kejelasan makna. Tujuan yang jelas dapat dijadikan

landasan operasionalisasi bagi kegiatan organisasi dan menjadi tolak ukur dalam

menilai keberhasilan strategi organisasi (Nana, 2013: 59).

Sebagai upaya merealisasikan visi, misi, dan tujuan; maka perhimpunan

Alkhaira>t dalam kurun waktu lima tahunan telah membuat program kerja dan

juga menjadi rencana strategis yang akan ditargetkan dapat tercapai. Rencana

tersebut seperti yang tertuang dalam (Tap Muktamar, 2008, Nomor: 04, Bab

IV), antara lain:

a) Program pemberdayaan organisasi; dimaksudkan agar perhimpunan

Alkhaira>t dan perangkatnya dapat melaksanakan program yang sesuai

dengan peran dan fungsinya sehingga menghasilkan kinerja yang bermutu,

efektif, efisien, dan terbentuknya program terpadu yang dilaksanakan oleh

semua organisasi dan lembaga perangkat Alkhaira>t. Tercapainya agenda

tersebut, maka dibuatlah kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis.

Pemberdayaan organisasi dianggap sesuatu yang penting oleh pengurus,

sehingga ini perlu untuk diprogramkan karena menjadi strategis dalam

upaya pencapaian misi dan tujuannya.

b) Penerapan teknologi informasi; program ini bertujuan untuk tercapainya

pemanfaatan teknologi informasi oleh seluruh jajaran pengurus dan warga

Alkhaira>t secara baik dan benar guna dapat mengakses informasi lokal

maupun global. Disadari bahwa peran teknologi begitu besar, maka perlu

diprogramkan karena dengan penguasaan teknologi informasi yang baik

akan mendorong tingkat komunikasi lebih cepat; dan ini menjadi strategis

bagi upaya membangun kerjasama dengan berbagai pihak.

234

c) Pemberdayaan ekonomi umat; dimaksudkan berlangsungnya distribusi

ekonomi secara adil dan merata dan meningkatnya kesejahteraan umat.

Masalah ekonomi dalam sebuah organisasi ataupun lembaga merupakan

sesuatu yang sensitive dan prinsipil. Oleh sebab itu, pengurus Alkhaira>t

menganggap ini harus ditata dan diberdayakan agar tidak terjadi

kesenjangan dalam sistem distribusi ekonomi di lingkungan organisasi dan

berusaha memantapkan perekonomian organisasi sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan pengurus dan juga kepada umat. Ahmad

Aljufri (wawancara, 2012) mengatakan bahwa kebutuhan belanja

perhimpunan Alkhaira>t sangat besar, sehingga perlu adanya penataan yang

menjadi sumber-sumber perekonomiannya.

d) Penataan dan peningkatan kualitas pendidikan; sebagai organisasi yang

mengelola pendidikan selalu diperhadapkan dengan beragam masalah

ataupun kondisi yang selalu berbeda-beda; jika pengelolaan pendidikan

tidak ditata sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan yang terjadi,

maka organisasi ini lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat.

Disinilah program penataan dan kualitas pendidikan dipandang sesuatu

yang strategis untuk tetap melahirkan simpati masyarakat terhadap input

dan output pendidikan yang dikelola Alkhaira>t. Salim D. Masuka

(wawancara, 2012) menjelaskan bahwa kemajuan pendidikan dewasa ini

sangat cepat, kondisi ini membutuhkan perhatian dan kecekatan segenap

pengurus Alkhaira>t untuk selalu memperbaiki sistem yang selama ini

digunakan sehingga pendidikan Alkhaira>t tetap eksis di tengah kemajuan

teknologi.

235

e) Mobilisasi dana dan pengelolaannya; untuk melahirkan kemampuan

menghilangkan kesenjangan distribusi ekonomi dan meningkatkan

kesejahteraan seperti dikemukakan sebelumnya, maka harus ada upaya

mobilisasi sumber dana yang dapat memberikan penerimaan pendapatan

organisasi. Usaha tersebut juga harus diikutkan dengan sistem pengelolaan

yang sesuai ketentuan pengelolaan keuangan. Kemapanan dana sebuah

organisasi akan menentukan keberlangsungan dan kualitas pengelolaan

organisasi. Karena itu, upaya mobilisasi dana menjadi strategis dan perlu

dijadikan landasan program kerja organisasi.

Rencana strategi yang telah diprogramkan oleh Alkhaira>t, nampaknya

belum secara utuh menunjukkan rencana yang baik disebabkan belum adanya

realisasi rencana operasional yang lebih menampilkan bagaimana setiap program

yang ada direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata. Operasionalisasi dimaksud

mengikutsertakan kebutuhan belanja pada setiap pelaksanaan kegiatan. Adanya

alokasi sumber daya yang mencakup anggaran (keuangan), manusianya, dan

teknologi yang digunakan untuk mendukung kelancaran jalannya program.

Dilihat dari aspek tahapan penyusunan rencana yang ideal; maka

perhimpunan Alkhaira>t telah menerapkannya yang tergambar melalui tujuan

organisasi, kemudian adanya analisis potensi dan ancaman secara internal dan

eksternal; yaitu:

1) mengangkat sumber-sumber yang menjadi kekuatan bagi perhimpunan dalam

mengembangkan organisasi, misalnya: Alkhaira>t memiliki jama’ah (abna’)

yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan di luar negeri; lembaga

pendidikannya yang berupa madrasah dan pondok pesantren menjadi basis

236

Alkhaira>t tetap eksis mempertahankan khasanah keilmuan; dan lain-lainnya.

Semua ini merupakan sumber kekuatan yang harus dimanfaatkan dengan

sebaik-baiknya agar Alkhaira>t mampu menunjukkan keberlangsungan

hidupnya.

2) mencermati kondisi yang menjadi kelemahan bagi perhimpunan Alkhaira>t,

sehingga melahirkan upaya antisipasi lebih awal, misalnya: mengakui masih

adanya kesenjangan antara program kerja dengan pelaksanaannya yang

diakibatkan karena lemahnya sikap profesionalitas dan manajemen

organisasi; lemahnya sistem rekruitmen dalam proses kaderisasi oleh

pengurus; dan sebagainya. Lahirnya kesadaran terhadap kelemahan itulah,

dibuat program yang dapat meminimalisir mencuatnya kelemahan tersebut

yang mengakibatkan rendahnya nilai aktifitas organisasi di hadapan

masyarakat (publik).

3) menampilkan hal-hal yang menjadi peluang bagi pengembangan

perhimpunan; misalnya: adanya kecenderungan dunia internasional

mendukung berkembangnya pengetahuan masyarakat sipil dan memberikan

peluang bagi Alkhaira>t untuk mengenbangkan berbagai disiplin ilmu dalam

pendidikannya; adanya kebebasan berpolitik bagi setiap warga negara untuk

menentukan pilihannya menempatkan Alkhaira>t pada posisi strategis dan

memiliki daya tawar yang tinggi; dan sebagainya.

4) mengungkap hal-hal yang dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan dan

pengembangan perhimpunan; misalnya: modernisasi dan globalisasi telah

membawa nilai-nilai baru yang mempengaruhi moralitas, perilaku dan

idiologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam ahlu al-sunnah wa al-

237

jama’ah; globalisasi pendidikan menyebabkan terbukanya peluang masuknya

lembaga pendidikan asing di dalam negeri; dan lain-lainnya (Tap Muktamar,

2008, Nomor: 04, Bab II).

Konsep inilah yang menjadi landasan atas perumusan rencana-rencana

organisasi. Inti dari tahapan penyusunan rencana adalah: menetapkan tujuan,

merumuskan kondisi yang terjadi, mengidentifikasi kemudahan dan hambatan,

serta mengembangkan rencana (Bangun, 2008: 78-79).

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Alkhaira>t telah membuat

perencanaan yang sesuai standar manajemen; yakni: telah menetapkan visi, misi,

tujuan; mendasarkan pada tahapan penyusuan rencana dengan memanfaatkan

potensi dan ancaman internal ataupun eksternal; dan telah berupaya

mengaplikasikan visi, misi, tujuan organisasi ke dalam rencana strategi. Hanya

saja, rencana dimaksud masih membutuhkan rencana operasional dan ini belum

disusun sedemikian rupa sesuai dengan program-program pengembangannya.

Akibatnya tidak diketahui lebih lanjut metode atau cara yang tepat untuk

melaksanakan rencana yang ada secara praktis; demikian juga anggaran

operasional pada setiap bagian dari rencana program organisasi.

Adapun yang berhubungan dengan pengelolaan wakaf, secara langsung

dapat dikatakan belum mengikuti kaidah atau ketentuan dalam pembuatan

perencanaan. Mungkin saja, karena wakaf tidak dikelola secara mandiri dalam

sebuah organisasi atau badan hukum; yang bertanggungjawab mengelola

wakafnya Alkhaira>t bukan pada organisasi atau badan hukumnya, tetapi berada

pada orang secara pribadi yang ditunjuk oleh wakif menjadi nazir; peran dan

kedudukan pengurus besar atau yayasan hanyalah administrator atas dokumen

238

wakafnya. Oleh sebab itu, uraian visi, misi, tujuan, dan sebagainya tidak

menyebutkan wakaf di dalamnya melainkan visi perhimpunan secara

keseluruhan. Walaupun demikian, dalam laporan-laporan Pengurus Besar dan

yayasan selalu memasukan masalah wakaf, maka hal itu mengindikasikan

adanya upaya memanfaatkan potensi wakaf untuk mendukung pengembangan

perhimpunan.

Wakaf telah menjadi agenda yang tidak pernah luput dari perencanaan

program perhimpunan. Perencanaan dimaksud mencakup: upaya meningkatkan

pelaksanaan inventarisasi wakaf; meningkatkan akta ikrar wakaf dan sertifikasi

tanah wakaf; menyusun sistem pengelolaan wakaf; melakukan pembinaan; dan

menyelesaikan wakaf-wakaf yang masih bermasalah. Program ini merupakan

perencanaan dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t, tetapi uraian tentang aset

wakaf sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya belum terealisasi sesuai dengan

yang direncanakan itu. Program dimaksud selalu ditampilkan pada setiap periode

kepengurusan. Program yang ada juga belum menyentuh dan menyebutkan

sistem penggalangan, meningkatkan jumlah harta wakaf, meningkatkan manfaat

hasil wakaf melalui kegiatan produktif, dan sebagainya.

Bila program kerja dalam bidang wakaf salah satunya adalah melakukan

pembinaan, maka ini program akan sulit dilaksanakan sebab yang ditugasi

mengurus wakaf hanya ada satu orang saja dan sistem kerjanya merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari bidang pembangunan, wakaf dan

perlengkapan di Sekretariat Jenderal Pengurus Besar. Sistem tata kerja pengelola

wakaf berada pada kendali Sekretariat Jenderal, sehingga proses pembinaan

menjadi sesuatu yang tidak efektif.

239

Konsep program kerja yang telah direncanakan oleh Pengurus Besar, jika

merujuk pada syarat kelayakan perencanaan yang dijelaskan oleh Syaifullah K

yang dikutip Nana Herdiana (2013: 57) baru memenuhi tiga syarat dan dua

syarat lainnya belum dapat terpenuhi. Syarat-syarat dimaksud adalah: 1) faktual

atau realistis artinya segala hal yang dirumuskan perusahaan sesuai dengan fakta

dan wajar untuk dicapai dalam kondisi tertentu yang dihadapi perusahaan; 2)

logis dan rasional artinya apa yang dirumuskan itu dapat diterima oleh akal

sehingga rencana memungkinkan untuk dilaksanakan; 3) fleksibel artinya

perencanaan tidak kaku dengan segala perubahan yang dapat saja terjadi; 4)

komitmen artinya seluruh anggota yang ada dalam organisasi itu secara

bersama-sama membangun keinginan mewujudkan apa yang menjadi tujuan

organisasi;1 5) komprehensif artinya program yang ada mengakomodasi secara

menyeluruh aspek-aspek yang dipandang mempunyai keterkaitan baik langsung

maupun tidak langsung. Tiga syarat dimaksud adalah syarat pertama sampai

ketiga, tetapi syarat keempat belum memberikan tanda adanya komitmen dari

seluruh unsur dalam perhimpunan; demikian juga pada syarat kelima

komprehensif ini belum tergambar yang mempunyai hubungan terhadap

pelaksanaan program tersebut dengan aspek lainnya. Lebih lanjut Nana Herdiana

(2013: 58) menulis pendapat Didin Hafidhuddin bahwa kelayakan (visibility)

perencanaan itu mencakup orang yang melakukan atau mengerjakan program

dan sesuatu yang hendak dikerjakan.

1 Komitmen dalam menjalankan program atau perencanaan secara bersama-sama merupakan

bagian dari konsep manajemen Henry Fayol seperti dikutip Handoko (2003: 46-47; Usman, 2010: 29)

yakni disiplin maksudnya harus ada respek dan ketaatan pada peranan masing-masing dan tujuan

organisasi; dan esprit de corps atau semangat korps yakni ‚kesatuan adalah kekuatan‛, melaksanakan

program organisasi perlu memiliki rasa bangga, setia, dan rasa memiliki terhadap organisasi dan

programnya.

240

Rencana yang baik apabila didasarkan pada keyakinan bahwa sesuatu

yang diprogramkan itu adalah baik. Baik dimaksud yaitu mengikuti konsep

ajaran agama; sesuai dengan apa yang diperintahkan atau dianjurkan, bukan

sesuatu yang dilarang itu yang dibuat dalam bentuk perencanaan kerja. Jika yang

diprogramkan itu adalah wakaf, maka kebaikan itu harus mendasarkan pada

ketentuan wakaf sebagaimana tercantum dalam hukum-hukum wakaf. Rencana

yang baik itu juga harus memberi manfaat yang banyak bagi pembuat rencana

dan masyarakat umum, bukan hanya semata-mata untuk kepentingan

perorangan; jadi prinsip meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan

umum menjadi prioritas2. Rencana yang baik pula adalah rencana yang disusun

berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang menjadi

program kerja nanti. Rencana yang baik juga didasarkan pada hasil studi

perbandingan dari kesuksesan organisasi lain yang sejenis mengelola program

yang sama; atau apa yang menjadi pengalaman pihak lain yang dianggap sukses

menjadi bagian dari proses pembuatan rencana. Rencana yang baik juga

dipikirkan bagaimana nanti prosesnya untuk dapat dilaksanakan seperti yang

telah diprogramkan itu (Nana Herdiana, 2013: 64-65).

Rencana dalam bidang pengelolaan wakaf belum dapat diukur sesuai

teori yang ada, disebabkan wakaf tidak dikelola oleh organisasi otonomnya

perhimpunan Alkhaira>t seperti badan-badan otonomnya yang lainnya. Badan

otonomnya mempunyai program tersendiri sesuai jenis organisasinya, demikian

juga memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Sementara wakaf

2 Meletakkan kepentingan perseorangan di atas kepentingan umum atau organisasi adalah salah

satu prinsip manajemen dalam mengelola organisasi; jadi kepentingan pribadi harus tunduk pada

kepentingan organisasi. Prinsip ini adalah konsep yang dibuat oleh Henry Fayol seperti dikutip Handoko

(2003 : 46).

241

masih berada di bawah sekretariat jenderal Pengurus Besar. Kondisi ini telah

memberikan implikasi negatif pada penerapan fungsi-fungsi manajemen lainnya.

2. Pengorganisasian

Di dalam teori manajemen, pengorganisasian itu merupakan suatu proses yang

dilakukan oleh manusia untuk merancang struktur formal sehingga melahirkan

struktur oraganiasi yang dapat melaksanakan kegiatan keorganisasian.

Pengorganisasian itu ditujukan agar adanya perincian pekerjaan yang harus

dikerjakan untuk mencapai tujuan organisasi; adanya pembagian kerja dan

wewenang; dan pengembangan mekanisme untuk dapat dikoordinasikan oleh

seluruh anggota dalam organisasi (Handoko, 2003: 168; Nana Herdiana, 2013:

76-77; Boone, 1984: 6)3. Pengorganisasian akan melihat bagaimana organisasi

itu mempunyai struktur pengurusnya, tugas pengurus, hubungan antara setiap

unit dalam organisasi.

Alkhaira>t merupakan sebuah perhimpunan besar yang terdiri atas

beberapa organisasi dan lembaga-lembaga. Ada organisasi induk yaitu Pengurus

Besar; ada badan hukumnya yaitu Yayasan Alkhaira>t; ada organisasi otonom

dan lembaga otonom. Hal ini telah diuraikan keseluruhan pada bab sebelumnya.

Dilihat dari aspek penetapan struktur keorganisasian, semua jenis organisasi dan

badan hukumnya telah tersusun struktur pengurusnya secara sempurna; di mulai

dari tingkat pusat sampai di tingkat ranting. Misalnya untuk struktur di

Pengurus Besar terdiri: 1) Ketua Umum dan unsur-unsur Ketua lainnya; 2)

Sekretaris Jenderal dan unsur wakil-wakilnya; 3) Bendahara Umum dan wakil-

3 Jika menggunakan pemikiran Hendry Fayol seperti yang dikutip oleh Handoko (2003: 46-47),

maka sistem pembagian kerja, adanya wewenang, kesatuan perintah dan pengarahan, serta garis

wewenang sebagai prinsip manajemen akan dapat diterapkan dalam pengelolaan organisasi.

242

wakilnya; 4) Majelis-majelis yang terdiri atas: majelis pendidikan, majelis

dakwah, dan majelis organisasi. Semuanya telah terisi yang menduduki tugas

dan jabatan tersebut (Tap. Muktamar, No. 08/2008). Kemudian pada organisasi

dan lembaga otonomnya perhimpunan Alkhaira>t juga telah tersusun seluruh

struktur sesuai hasil keputusan musyawarah masing-masing organisasi.

Selanjutnya, untuk pengurus tingkat wilayah (Komwil), tingkat daerah

(Komda), tingkat kecamatan (Pengcab), dan tingkat ranting (Pengrat) pun telah

tersusun sesuai formasi struktur pada masing-masing tingkatan pengurus. Uraian

yang ada dapat dikatakan bahwa Alkhaira>t sebagai organisasi telah

mengaplikasikan fungsi pengorganisasian dalam penentuan orang-orang yang

duduk dalam struktur keorganisasian. Penempatan orang sebagai penggerak

organisasi dalam sebuah struktur oganisasi Alkhaira>t telah terlaksana.

Adapun yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan aset

wakaf sebagaimana dijelaskan di atas; belum terbentuk dalam struktur pengurus

yang dapat dikatakan sebagai implementasi fungsi pengorganisasian. Alasannya

bahwa pengelolaan wakaf Alkhaira>t berada dalam kendali Sekretariat

Jenderalnya. Sekretariat Jenderal Pengurus Besar merupakan satuan pendukung

dan motor kegiatan PB. Alkhaira>t dalam melaksanakan kegiatan administrasi

keorganisasian. Susunan perangkat sekretariat jenderal terdiri atas: bidang

administrasi umum; bidang organisasi dan hubungan masyarakat; bidang

program, pendataan, dan pelaporan; dan bidang pembangunan, wakaf dan

perlengkapan (PO> No. 04/2009, pasal 21). Bidang-bidang ini mempunyai

struktur masing-masing yang berbeda jumlahnya antara satu dengan lainnya.

Khusus bidang pembangunan, wakaf dan perlengkapan susunan personilnya

243

terdiri atas 5 (lima) orang; ketua bidang, seksi pembangunan, seksi wakaf, seksi

perlengkapan, dan satu orang staf.

Dilihat dari aspek pembagian tugas dalam struktur organisasi; untuk

tingkat Pengurus Besar telah diuraikan melalui Peraturan Organisasi Nomor:

04/PO-PBA/2009, tentang Tata Kerja Pengurus Besar Alkhaira>t. Tugas

struktural di Pengurus Besar sebagai contoh dapat digambarkan pada Ketua

Umum dan Sekretaris Jenderal: 1) Ketua Umum mempunyai tugas: (a)

memimpin, mengatur dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan Pengurus

Besar Alkhaira>t khususnya yang menyangkut tugas-tugas harian PB. Alkhaira>t;

(b) mengatur dan mengkoordinasikan pembagian tugas di antara Pengurus Besar;

(c) memimpin rapat-rapat di tingkat Pengurus Besar. 2) Sekretaris Jenderal

mempunyai tugas: (a) membantu Ketua Umum dan unsur Ketua-ketua dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing; (b) memimpin dan

mengkoordinasikan Sekretariat Jenderal; (c) bersama wakil-wakil sekretaris

jenderal, bendahara dan wakil-wakil bendahara mengusahakan dan melengkapi

perangkat pendukung Sekretariat Jenderal; (d) mengatur dan mengkoordinasikan

pembagian tugas di antara wakil-wakil sekretaris jenderal (PO. 04/2009, pasal: 8

& 10).

Seluruh pengurus, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat ranting secara

struktural telah ditetapkan tugas masing-masing sesuai tingkatannya dalam

sebuah peraturan organisasi yang di keluarkan oleh Pengurus Besar dengan

Nomor: 04/PO-PBA/2009. Berdasarkan keputusan tersebut, maka fungsi

pengorganisasian dari manajemen telah direalisasikan di tingkat pengurus

244

perhimpunan. Oleh sebab itu, secara formal Alkhaira>t dalam menjalankan roda

organisasi telah memperhatikan pentingnya fungsi pengorganisasian.

Sementara yang berhubungan dengan sistem koordinasi juga telah diatur

dalam sebuah Peraturan Organisasi dengan Nomor: 03/PO-PBA/2009 tentang

Tata Hubungan Kerja Organisasi-organisasi dalam Perhimpunan Alkhaira>t.

Peraturan ini mengatur mekanisme hubungan antara pimpinan tertinggi (Ketua

Utama) dengan seluruh organisasi di lingkup perhimpunan; hubungan antara

organisasi satu dengan lainnya dalam lingkup perhimpunan. Tetapi secara formal

juga belum di atur mekanisme hubungan antara unit-unit kerja dalam satu

organisasi atau antara pegawai/karyawan dengan atasan atau sesamanya.

Simpulnya bahwa pembagian tugas kerja, pembentukan bagian atau unit-

unit kerja dalam organisasi, serta sistem koordinasi sebagai standar fungsi

organizing dalam manajemen untuk lingkup perhimpunan Alkhaira>t telah dibuat

dalam bentuk peraturan organisasi. Adanya ketentuan ini memberikan kejelasan

setiap orang dalam perhimpunan itu untuk melaksanakan tugasnya. Wilson

Bangun (2008: 85) menjelaskan bahwa kegiatan pengorganisasian merupakan

proses manajerial berkelanjutan. Yang dilaksanakan dengan empat tahap, yaitu:

adanya pembagian kerja (tugas), departementalisasi, rentang kendali, dan

koordinasi. Keempat tahap dimaksud, untuk tingkat pengurus Alkhaira>t pada

umumnya telah diterapkan.

Terkait dengan pengelolaan wakaf belum menunjukkan adanya sistem

yang diatur secara khusus dalam organisasi, misalnya adanya lembaga kenaziran;

padahal pengorganisasian itu termasuk aspek penting yang semestinya ada, agar

tujuan organisasi dapat dengan mudah dicapai. Pembentukan lembaga kenaziran

245

merupakan bagian dari perancangan dan pengembangan suatu organisasi atau

kelompok kerja yang dapat membawa ke arah tujuan yang diharapkan4.

Proses pengorganisasian pengelolaan wakaf Alkhaira>t jika mendasarkan

pada penyebaran madrasah dan wilayah kerjanya, maka menjadi sebuah program

yang harus dilakukan. Pengorganisasian itu merupakan penggabungan sumber

daya manusia dan bahan melalui struktur formal antara tugas dan kewenangan

(Steers, 1985: 30). Aset wakaf yang telah ada dan potensi pengembangannya

sangat besar serta adanya sumber daya manusia yang telah tersebar di berbagai

tempat menjadi dasar utama melahirkan struktur organisasi yang terpisah dari

struktur organisasi Pengurus Besar.

Hal ini bertujuan agar pengelola wakaf dapat menentukan aktifitas

kerjanya dan rencana dapat diimplementasikan mencapai tujuan; menyerahkan

sebagian kerja pada posisi sumber daya manusia yang sesuai spesifikasinya;

mengkoordinasikan aktifitas kerja dari setiap kelompok kerja; dan melakukan

evaluasi hasil dari proses pengorganisasian5

; tetapi kenyataan yang ada

menunjukkan bahwa sistem ini tidak dapat dilaksanakan disebabkan oleh

kewenangan pengelolaan wakaf bukan di lembaga nazirnya melainkan pada

struktur sekretariat jenderal Pengurus Besar6

. Di sisi lain, proses

pengorganisasian pengelolaan wakaf Alkhaira>t belum dapat terlaksana karena

nazirnya bukan pada organisasi Pengurus Besarnya melainkan pada orang

4 Alkhaira>t sebagai lembaga berbasis keagamaan, tentunya pembentukan organisasi dengan

berbagai konsekuensinya tidak sia-sia tetapi karena ada landasan yang berakar dari al-Qur’a>n surah al-

S{a>ff ayat (4): ‚Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang

teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh‛. 5

Handoko (2003: 168-169) menjelaskan bahwa proses pengorganisasian dilakukan dengan

prosedur yaitu: perincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan, melakukan pembagian kerja secara

logis, dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan anggota organisasi. 6 Lihat: Struktur perhimpunan Alkhaira>t pada bagan I, II, dan III di bab III

246

perorang yang ditunjuk secara langsung oleh wakif.7 Kondisi ini menjadi kurang

tepat ketika Pengurus Besar mengurus dan menempatkan pengelolaan wakaf

dalam sistem keorganisasiannya.

Tanpa melihat dan menggunakan pola manajemen yang mengelompokan

bentuk-bentuk organisasi yang terdiri atas: organisasi fungsional, organisasi

matriks, organisasi piramid, dan lain-lain; upaya pembentukan organisasi

pengelola wakaf bagi Alkhaira>t adalah bagian dari program yang seharusnya

direalisasikan, sehingga pengelolaan wakaf dapat terorganisir dengan baik. Oleh

karena itu, khusus pengelolaan wakaf belum dapat diukur penerapan fungsi

organizing dari manajemen. Jika organizing itu menentukan tugas kerja bagi

setiap orang dalam struktur organisasi, membagikan tugas-tugas ke dalam unit-

unit, membuat perhitungan berapa banyak tenaga yang dilibatkan, serta

membuat sistem koordinasi; maka sesuai hasil penemuan data di Sekretariat

Jenderal Pengurus Besar ternyata pengelolaan wakaf tidak terimplementasikan

fungsi organzing tersebut.

3. Pengawasan

Pengawasan dimaksud adalah penemuan dan penerapan cara serta peralatan

untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah

ditetapkan. Pengawasan itu upaya yang dilakukan seseorang di berbagai bidang

berkaitan dengan administrasi dalam bentuk pengarahan kebijakan jalannya

organisasi (Depdikbud, 1995: 68). Pengawasan itu sesuatu yang penting

disebabkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi di lingkungan organisasi;

peningkatan kompleksitas; mengetahui kesalahan yang terjadi; dan mengetahui

7 Lihat: Lampiran data buku catatan tanah wakaf Alkhaira>t Sulawesi Tengah.

247

kebutuhan manajer terhadap pendelegasian wewenang. Pengawasan itu

dilakukan agar lahir keseimbangan antara kepentingan organisasi dan

kepentingan pribadi dari personalia (Handoko, 2003: 366-367).

Pengawasan atau biasa juga disebut dengan pengendalian8 merupakan

upaya yang dilakukan oleh manajer atau pimpinan dalam rangka mengevaluasi

kegiatan-kegiatan organisasi apakah telah sesuai dengan yang direncanakan atau

belum. Pengawasan itu mencakup: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan

personalia, pengarahan, dan pengawasan itu sendiri. Proses pengawasan melalui

beberapa tahap, yaitu: penetapan standar pelaksanaan (perencanaan); penentuan

pengukuran pelaksanaan kegiatan atau program; pengukuran penentuan hasil

kegiatan program, membandingkan antara pelaksanaan kegiatan program dengan

standar yang telah ditetapkan beserta analisis penyimpangan-penyimpangan; dan

membuat tindakan korektif jika ada yang dianggap perlu untuk diperbaiki.

Jika konsep pengawasan demikian itu dihubungkan dengan proses

pelaksanaan kegiatan di lingkungan Alkhaira>t, maka sesungguhnya berdasarkan

keputusan muktamar yang tercantum dalam anggaran rumah tangganya disebut

dengan ‚dewan pengawas‛ (ART, pasal 10). Dewan ini dipilih oleh muktamar

dengan wewenang: memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan tugas Pengurus

Besar; memberi pertimbangan kepada Pengurus Besar. Ketentuan dimaksud

dapat diketahui kalau proses pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja

perhimpunan khususnya di Pengurus Besarnya telah ditetapkan secara sah dan

8 Ada yang membedakan antara pengawasan dengan pengendalian. Pengendalian lebih luas

cakupannya dibandingkan dengan pengawasan. Pengendalian memiliki wewenang turun tangan secara

langsung sedangkan pengawasan hanya sebatas memberi saran dan tindak lanjutnya bukan pengawas

melainkan pada pengendali (Usman, 2010: 503). Sebutan controlling lebih banyak digunakan sebab

mengandung konotasi yang mencakup penentuan standar, pengukuran kegiatan, dan pengambilan

tindakan korektif (Handoko, 2003: 359).

248

tercantum dalam Anggaran Rumah Tangganya. Ini berarti sistem

pengawasannya telah dilakukan oleh badan atau dewan secara formal

terstruktur; dan bentuk pengawasan seperti ini termasuk pengawasan eksternal9.

Selain itu, ada pengawasan internal yaitu yang muncul dari adanya

tanggungjawab seorang individu untuk bersikap amanah dan adil dalam setiap

pekerjaan yang diembannya (Rozalinda, 2015: 85).

Teknis pelaksanaan pengawasan untuk seluruh unit dan kegiatan dalam

perhimpunan belum diatur melalui pedoman atau panduan pengawasan.

Pengawasan terhadap pengelolaan wakaf Alkhaira>t belum sepenuhnya berjalan.

Pengawasan yang ada masih bersifat umum, belum mengkhususkan pada unit-

unit kegiatan perhimpunan. Pengawasan yang terjadi di lingkungan perhimpunan

bukan semata-mata dari dewan pengawas, tetapi juga kadang dilaksanakan

langsung oleh pimpinan (baik Ketua Utama, Ketua Umum, Ketua Yayasan,

maupun Sekretaris Jenderal). Mekanisme pengawasan dapat terjadi secara tiba-

tiba atau langsung dan kadang karena adanya laporan dari masyarakat atau antar

pengurus. Tapi pada dasarnya pengawasan atas kinerja organisasi telah

dilaksanakan dalam lingkungan Alkhaira>t. Walaupun demikian, belum ada data

yang dapat dijadikan sumber informasi bahwa dewan pengawas yang dibentuk

oleh hasil muktamar telah melaksanakan tugasnya.

Sistem dan fungsi-fungsi manajemen sebagaimana pada landasan teori di

atas, belum secara konsisten diterapkan oleh Alkhaira>t dalam upaya mengelola

aset wakafnya. Hal ini disebabkan oleh belum adanya lembaga yang secara

khusus menangani masalah-masalah wakaf. Jika Alkhaira>t membentuk lembaga

9 Adanya pengawasan yang bersifat eksternal telah disinyalir oleh Allah dalam al-Qur’an yang

tecantum pada surah Ali Imran (3): 104.

249

kenaziran dengan menetapkan personalia (SDM) yang tepat; maka dapat

dipastikan bahwa Alkhaira>t akan menjadi lembaga pendidikan yang dapat

mandiri dengan hasil usahanya sendiri, sebab potensi wakaf yang ada di

Alkhaira>t sangat besar, apalagi diakumulasikan secara keseluruhan aset wakaf

yang tersebar di berbagai wilayah kerjanya menjadi satu sistem pengelolaan

yang terpadu. Apabila ini dilakukan, wakaf akan memberi kontribusi paling

terbesar bagi pengelolaan lembaga pendidikan ini, bahkan dapat memberi

bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswanya serta dapat meningkatkan

kesejahteraan para pegawai dan pengurus-pengurusnya.

Pengelolaan wakaf Alkhaira>t masih perlu ditingkatkan dan memerlukan

usaha kerja keras dari pengurusnya pada semua level dan tingkatan

perhimpunan. Wakaf yang penyebarannya hampir di seluruh daerah dan wilayah

yang ada Alkhaira>t dari aspek manajemen masih harus diakui lemah. Akhirnya

lokasi yang ratusan hectoare yang bersumber dari masyarakat belum

memberikan nilai produktifitas perekonomian Alkhaira>t10

. Jika wakaf Alkhaira>t

diklasifikasikan dalam model pengelolaan yang terdiri atas: pengelolaan

tradisional dan profesional (modern); maka kecenderungannya adalah masih

bersifat tradisional. Alasan yang menjadi pertimbangan yaitu: 1) memang masih

berkembang pemikiran dan paham kalau wakaf cenderung pada perbuatan

ibadah semata dan sebagian besar harta tanah wakaf hanya diperuntukan bagi

pembangunan madrasah; 2) pemanfaatan hasil atau pada harta wakafnya lebih

10

Lemahnya manajemen tersebut diakui oleh HS. Saqqaf Aljufri selaku Ketua Utama Alkhaira>t

pimpinan tertinggi Alkhaira>t seperti hasil wawancara dengan Gani Jumat (2012: 237), tanggal 24

Pebruari 2011 di Jakarta.

250

digunakan menutupi kebutuhan semata (konsumtif); 3) pola penggunaan fungsi

manajemen belum menjadi suatu acuan yang terintegrasi.11

Ketradisionalan pengelolaan wakaf dimaksud dikarenakan terjadinya

kebekuan dalam pemahaman tentang wakaf; nazir yang juga belum profesional;

peraturan perundangan wakaf yang belum memadai; dan harta yang dikelola

lebih banyak harta benda tidak bergerak. Kebekuan paham itu terlihat ketika

pendataan harta wakaf sangat sulit ditemukan adanya bukti-bukti tertulis

tentang penyerahan harta wakaf, ternyata ini dilakukan dengan mengandalkan

lisan semata. Akhirnya pihak perhimpunan Alkhaira>t merasakan kesulitan

mengurus surat-suratnya karena banyak di antara wakif yang sudah meninggal.

Abdurahman H. Halim (wawancara, 2012) mengatakan bahwa belum sempat

diurus dan diselesaikan harta wakaf sampai dikeluarkannya AIW, pewakifnya

sudah meninggal.

Apabila keterbengkalaian pengurusan akte lebih disebabkan faktor

meninggalnya wakif; maka masalah yang perlu diketahui adalah berapa lama

sejak harta wakaf itu diserahkan kepada Alkhaira>t kemudian sebelum adanya

akte sudah meninggal wakifnya. Hal ini tentunya menjadi dilema atas

kelambanan pihak pengelola menyelesaikan administrasinya harta wakaf

dimaksud. Alasan meninggalnya seseorang tidak dapat dijadikan dasar, sebab

jika memang sistem pengelolaan wakaf menggunakan manajemen; maka dapat

dipastikan status atas harta wakaf akan jelas dan kecil kemungkinan melahirkan

masalah di masa mendatang.

11

Pengelolaan wakaf yang sistem tradisional lebih mengandalkan kebiasaan (misalnya) akadnya

hanya disampaikan secara lisan; hanya jenis harta tidak bergerak; tidak boleh menukar harta wakaf;

nazirnya karena faktor ketokohannya; dan belum adanya tata hukum yang mengatur secara luas (Wadjdy,

2007: 61-62).

251

Aspek kenazirannya lebih cenderung diberikan pada seseorang karena ke-

tokohan atau sebagai ustaz, kiyai, ulama, tokoh masyarakat; bukan diberikan

karena memang memahami aspek pengelolaan wakaf yang sebenarnya.

Akibatnya harta wakaf tidak dapat dikelola dan memberikan hasil yang

maksimal. Jika dilihat dari data penerima wakaf Alkhaira>t nampak bahwa

nazirnya merupakan orang-orang yang dipercayakan ketokohannya di kalangan

perhimpunan Alkhaira>t.

Aspek regulasinya (peraturan tentang wakaf) belum memadai disebabkan

oleh tidak ditemukan aturan yang secara rinci mengatur pengelolaan wakaf

Alkhaira>t. Aturan yang ada masih bersifat umum dan tidak ada aturan

penjabaran dari setiap orang yang dipercayakan menjadi nazir agar dapat

mengetahui apa yang seharusnya dilakukan ketika menerima wakaf. Pengelolaan

wakaf Alkhaira>t dianggap masih menggunakan sistem tradisonal.

Bila pengelolaan wakaf Alkhaira>t dibandingkan dengan sistem yang

profesional (modern), akan nampak selisihnya; yakni: pengelolaan profesional

lebih mengedepankan aspek produktifitas harta wakaf (prosentase hasil menjadi

utama sehingga manfaatnya semakin besar). Hal ini dilakukan dengan

menerapkan pola: manajemen sebagai alat dan sarana; memperhatikan SDM

nazir; membangun kemitraan usaha; harta benda bergerak yang banyak

digalakan; membangun hubungan dengan political will; serta memanfaatkan

informasi teknologi12

.

12

Sistem pengelolaan wakaf di era modern saat ini lebih memperhatikan beberapa hal yang

dipandang sangat strategis seperti yang disampaikan oleh Thalhah Hasan (2010) ketika memberi kuliah di

Program Doktor PPs IAIN Walisongo angkatan 2008, yaitu: adanya upaya pemberdayaan nazir; perluasan

jenis barang yang diwakafkan, orientasi pengelolaan dan wakafnya adalah produktif, manajemen

wakafnya yang professional, adanya jaringan kerjasama antar lembaga, upaya merektrut sumber daya

manusia yang mempunyai potensi dan professional, dan adanya political will yang jelas.

252

Fungsi manajemen merupakan alat yang digunakan oleh setiap organisasi

untuk menjalankan aktifitas keorganisasiannya. Fungsi tersebut menjadi sesuatu

yang penting dibuat oleh organisasi agar rencana organisasi mencapai tujuannya

dapat dengan mudah dicapainya. Alkhaira>t sebagai sebuah organisasi yang

mengelola wakaf sudah selayaknya mengintrospeksi dan melakukan evaluasi

atas penerapan fungsi manajemen. Penerapan fungsi manajemen akan

mengantarkan perhimpunan Alkhaira>t menjadi kokoh dan kompetitif karena

seluruh rangkaian pengelolaan organisasi dapat dipertanggungjawabkan, baik di

internal organisasi maupun dengan pihak lain (eksternal) organisasi. Penggunaan

manajemen yang baik akan memberikan nilai manfaat yang baik pula bagi

organisasi itu di masa datang. Alkhaira>t tidak boleh lagi mengandalkan pola

kerja yang tidak berdasarkan pada standar pencapaian target dan tujuan

organisasi. Sebab bila ini terjadi, akan berdampak negatif pada tingkat

kompetisinya dengan organisasi lain yang mempunyai program yang sama.

Artinya lambat atau cepat Alkhaira>t akan tersingkir dalam percaturan arus

globalisasi.

B. Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia

a. Pentingnya manajemen SDM dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t

Pengelolaan organisasi, baik yang kecil maupun besar akan banyak ditentukan

oleh faktor sumber daya manusia. SDM dirasakan sangat strategis disebabkan

menjadi subyek dan sekaligus juga obyek dalam kegiatan organisasi. Manajemen

SDM dipandang sangat memberi pengaruh terhadap pengelolaan administrasi

(Fathani, 2006: 12). SDM sangat fundamental, sebab semua pengelolaan

organisasi akan bermuara pada manusianya. Manusia tidak mungkin

253

diperlakukan sama dengan alat produksi lainnya, melainkan harus diperlakukan

sesuai dengan harkat dan martabat manusia.13

Manusia mempunyai kebutuhan

yang sangat kompleks dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kebutuhan itu

termasuk pengembangan dirinya dan ini harus dipenuhi dan dipuaskan.

Berdasarkan kondisi inilah maka semua teori motivasi menekankan perhatian

terhadap pengelolaan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya

manusia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang; yaitu: a) manusia sebagai

administrator, 2) manausia sebagai manajer, 3) manusia sebagai pelaksana tugas.

Sementara manusia dalam konsep al-Qur’a>n terlalu dalam untuk didefinisikan;

sebab manusia memiliki keunggulan melebihi makhluk lainnya, dan dapat saja

kedudukannya lebih rendah dari binatang14

. Manusia adalah makhluk yang

memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan dunia.15

Manusialah yang

mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang menentukan nasibnya

(Muthahhari, 2006: 214). Dengan demikian manusia mempunyai peran strategis

untuk menempati dan mengelola organisasi sebagai wadah pengembangan

dirinya dan sekaligus juga untuk kepentingan hajat hidupnya. Manusia harus

mampu dimanej agar memberi nilai tambah bagi organisasi. Semakin baik

manusianya, maka akan meningkatkan kualitas organisasi.

13

Manusia memiliki harkat dan martabat yang terdepan dari semua makhluk yang mempunyai

kedudukan muhtaram. Bahkan kedudukan tersebut dalam QS. Al-Isra’ ayat 70 disebut ‚al-kara>mah al-insa>niyah‛(Yafie, 1996: 166). Al-Kara>mah dalam kajian tasawuf dipahami memiliki tiga makna; yakni:

al-ikram yang diartikan dengan kemuliaan atau kehormatan; al-taqdi>r yang diartikan dengan

penghargaan; dan al-wala>’ yang diartikan dengan persahabatan atau pertolongan (Azra, 2008: II/675). 14

Lihat: QS. Al-Ti>n (95):4-5, manusia memiliki keistimewaan dari makhluk lain karena: manusia

diciptakan sebaik-baik susunan; sebaik-baik bentuk; dan sebaik-baik keadaan. Selain itu, manusia juga

memiliki potensi spiritual dan ketika manusia tidak menggunakan potensi ini; maka derajatnya akan lebih

rendah dari binatang (Qutb, 2003: 13/460-461). 15

Lihat: QS. Al-Baqarah (2): 29 pesan ayat ini adalah bahwa tujuan Allah menciptakan seluruh

alam semesta ini adalah untuk menusia. Karena itu, hendaklah manusia memikirkan ciptaan itu,

mengolah dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah swt (Depag, 2009: I/73).

254

Apabila kita menempatkan manusia sedemikian rupa dalam organisasi,

maka ini dapat diberlakukan pada segala jenis organisasi. Di Alkhaira>t Palu

Sulawesi Tengah, dalam struktur keorganisasiannya nampak telah terbentuk

unsur manusia sebagai pengelola organisasi. Struktur pengurusnya telah

sempurna, karena di mulai dari tingkat pusat sampai di tingkat ranting; setiap

tingkatan itu telah tersusun secara rapi sesuai aturan organisasinya. Nampak

pemanfaatan sumber daya manusia untuk mengurus perhimpunan Alkhaira>t,

telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penentuan masa depan

organisasi. T.S Atjat (wawancara, 2012) menjelaskan bahwa peran sentral

manusia dalam menggerakan jalannya organisasi sangat perlu untuk

diperhatikan. Alkhaira>t pun demikian, karena ini organisasi besar yang

mengelola banyak madrasah dan juga banyak manusia yang terlibat di dalamnya

tidak boleh dikesampingkan sumber daya manusianya. Program organisasi harus

ada yang mengarahkan pada upaya memperhatikan sumber daya manusia.

Alkhaira>t secara kelembagaan telah mempertimbangkan pentingnya

sumber daya manusia dan untuk melengkapi kepengurusan di setiap tingkatan

telah dilaksanakan musyawarah yang intinya membicarakan pengurus dan

program kerja. Setiap musyawarah menghasilkan pengurus atau adanya

penempatan orang-orang yang nantinya bertugas mengelola organisasi. Begitu

pentingnya sumber daya manusia, sehingga untuk menentukan siapa yang

mengisi job dalam struktur organisasi dilaksanakan melalui musyawarah.

Pengelolaan wakaf pun demikian, yang ditandai dengan adanya bagian

pembangunan, wakaf dan perlengkapan. Mereka yang berperan sebagai pengurus

terdiri atas 4 (empat) orang. Adanya manusia yang dipercayakan itu, berarti

255

kebutuhan sumber daya manusia oleh Alkhaira>t menjadi sesuatu yang mendasar.

Walaupun, penentuan sumber daya manusianya masih perlu dikoreksi dan

diperbaiki seiring dengan perbaikan dan pembentukan lembaga kenazirannya,

sehingga proses pengelolaan wakafnya dapat lebih berkembang dan

dipertanggungjawabkan. Koreksi itu antara lain: mengangkat dan menempatkan

manusia (pegawai) pada posisi pengelola wakaf belum memperhatikan jumlah

harta wakaf yang dikelola; antara jumlah aset dengan pengurusnya tidak

berimbang; penentuan pegawai yang ditempatkan pada tugas itu tidak dilatar

belakangi oleh studi kelayakan dengan fakta lapangan.

Untuk itu di Alkhaira>t masih perlu sosialisasikan peran dan keududukan

sumber daya manusia secara praktis. Padahal secara teoritis telah jelaskan bahwa

sumber daya manusia dalam manajemen sering disebut dengan human resource

(tenaga atau kekuatan manusia). Melalui sumber tenaga, manusia dapat menjadi

perencana, pelaksana, pengendali, dan evaluasi suatu pembangunan dan

mempunyai peran yang sangat menentukan (Fathani, 2006: 11-12). Manusia

memiliki kekuatan yang sebagiannya menjadi bawaan dari pilihannya. Manusia

berdaya untuk menentang kecenderungan dan dorongan naluriahnya dan berdaya

untuk tidak mengikuti kecenderungan dimaksud. Manusia mempunyai daya

untuk memilah-milah antar beragam kondisi dan sesuatu dihadapannya.

Kemampuan ini karena dalam dirinya juga terdapat daya yang disebut kehendak.

Kehendak ini bekerja sesuai arahan akal16

. Manusia memiliki dua potensi yang

16

Akal berasal dari bahasa Arab yang berarti mengikat atau menahan (Manzdur, t.th: 11/459).

Akal juga berarti mengetahui sesuatu pada hakikatnya (Ibrahim, t.th: 2/616). Konsep al-Qur’a>n tentang

akal bermakna pada ‚paham‛ yang ditujukan bukan di otak kepala tetapi yang berpusat di kalbu (Haq,

2007: 42). Arti asli dari kata ‘aqala’ adalah mengikat dan menahan. Orang yang ‘aqil di zaman jahiliyah

dikenal dengan sebutan hamiyyah atau darah panas yakni orang yang dapat menahan amarahnya

karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang

256

berbeda dengan binatang, yaitu memiliki sejumlah kecenderungan spiritual yang

dapat memperluas aktifitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih

tinggi; dan memiliki daya kehendak. Daya inilah yang dapat menolak atau

menerima kecenderungan naluriahnya. Manusia dapat menentukan batas bagi

tiap kecenderungannya dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling

berharga (Muthahhari, 2006: 228).

Manusia dengan akal dan kehendaknya diharapkan dapat mengelola

bumi, memanfaatkannya dengan kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan dan

daya itulah yang menyebabkan berlakunya hukum takli>f. 17 Tetapi perbuatan

manusia ada yang di luar dayanya dan ada yang berada dalam batas dayanya

(Haq, 2007:177-178). Asy-Syathibi (t.th: I/187-188) mengemukakan perbuatan

yang di luar dayanya dilakukan dalam keadaan terpaksa; sedangkan perbuatan

yang dalam batas dayanya dilakukan atas kesadaran yang dengannya menjadi

obyek hukum18

baik diperintahkan, dilarang, atau diizinkan demi terwujudnya

kemaslahatan. Jenis perbuatan ini masuk kategori hukum wadh’i 19 yang

wujudnya tergantung pada usaha manusia sendiri. Manusia dengan dayanya

menjadi mukallaf yang dituntut melaksanakan kemaslahatan yang dikehendaki

dihadapinya. Jadi orang yang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan

masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problem dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya

yang dihadapinya (Harun, 1986: 6-7). 17

Hukum takli>f adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk

menjalankan sesuatu atau meninggalkannya (Zahrah, 2010: 27). Adanya penamaan hukum takli>f karena

titah atau ketentuan dimaksud langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Tuntutan itu

meliputi bagaimana mukallaf melaksanakan tuntutan atau meninggalkannya (Syarifuddin, 2008: 310). 18

Obyek hukum dalam hukum Islam dipahami sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat

hukum. Ahli Ushul Fiqh memahami ‚sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’ yang mencakup: takli>f dan wadh’i (Syarifuddin, 2008: 383, Zahrah, 2010: 480, Djazuli, 2000: 61, Satria, 2005:73-74). Sementara

obyek hukum dalam ilmu hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat

menjadi pokok suatu hubungan hukum agar dapat dikuasai oleh subyek hukum (Mudjiono, 1991: 48). 19

Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,

sebagai syarat, atau sebagai mani’. Hukum ini dimaksudkan titah Allah swt yang berhubungan dengan

sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum takli>f (Syarifuddin, 2008: 362; Satria, 2005: 61; Zahrah,

2010: 69).

257

Allah. Kewajiban manusia adalah beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi

untuk menegakkan kemaslahatan sesuai kemampuannya (Haq, 2007: 178).

Akal sebagai daya manusia menjadi tonggak kehidupannya dan dasar

kelanjutan wujudnya. Manusia harus menggunakan akalnya untuk berfikir dan

dalam al-Qur’an dilarang untuk bertaklid (Harun, 1987: 44-46). Berpikir dan

mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas; sehingga dengan akal,

manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya (Harun, 1986: 48-49).

Daya pada manusia harus ada, sebab kemaslahatan tidak terwujud tanpa usaha

keras yang melelahkan. Kemampuan daya manusia dalam berbuat ditemukan

dalam tiga bentuk; yaitu: melalui kekuatan jasmani, akal, dan niat20

(Haq, 2007:

180-181).

Manusia dipahami sebagai pelaku pembangunan, dari aspek manajemen

mencakup aspek biologis, psikologis, sosiologis, spiritual, pengembangan diri,

dan keamanan. Semuanya merupakan potensi yang memberi pengaruh pada

kehidupannya dan terintegrasi secara fungsional dalam sebuah sistem menuju

perubahan dan peningkatan kualitas sumber dayanya. Pengelola wakaf atau nazir

sebagai manusia harus dipandang memiliki potensi atau sumber daya yang perlu

secara terus menerus dikelola agar mampu menampilkan dirinya sebagai

manusia yang mempunyai kewajiban spiritual dan sosial.

Kesimpulannya bahwa manusia salah satu makhluk yang mempunyai

sumber daya yang sangat potensial yang dengan potensi itu dapat meningkatkan

derajatnya, produktifitasnya, kelangsungan hidupnya, dan sebagainya (Alma &

Priansa, 2014: 311-316). Begitu kompleksnya sumber dayanya, sehingga perlu di

20

Lihat: Imam al-Nawawi (1994: 5) bab al-Ikhlash dalam Niat.

258

manfaatkan oleh dirinya sendiri atau digerakkan oleh pihak lain. Manusia yang

dapat mengembangkan dirinya sendiri berarti telah mampu mamanfaatkan

potensi sumber dayanya sendiri. Tetapi bagi yang belum sanggup, maka

kemungkinan dapat melalui orang lain. Pengurus Alkhaira>t tidak boleh lagi

membiarkan pegawai atau karyawannya mengatur cara kerjanya sendiri, padahal

ada organisasi yang secara formal mempunyai tanggungjawab mengelola dan

mengembangkan organisasi.

b. Perencanaan sumber daya manusia

Perhimpunan Alkhaira>t sebagaimana di atas telah dijelaskan bahwa dari aspek

struktur, tugas, personalia telah diterapkan dalam organisasinya. Melihat

struktur yang ada, dapat dikatakan bahwa perhimpunan ini membutuhkan

sumber daya manusia yang banyak. Di tingkat pusat saja, kebutuhan SDM untuk

mengisi posisi dalam struktur sangat banyak; apalagi sampai pada tingkat

ranting. Olehnya itu, agar organisasi tidak kesulitan dalam menempatkan orang

dalam strukturnya; perlu adanya program perencanaan sumber daya manusia. Di

Alkhaira>t perencanaan sumber daya manusia nampak belum terpola, sebab

sistem pengangkatan tergantung pada kebutuhan saat itu saja dan jika kebutuhan

telah terpenuhi dianggap selesai. Analisis kondisi organisasi yang sedang

berjalan dengan masa depannya kebutuhan dan keberlangsungan organisasi tidak

tergambar dalam program dan ketentuan yang berlaku di perhimpunan itu.

Kebutuhan akan sumber daya manusia dirasakan sesuatu yang mendasar,

tetapi usaha untuk mempersiapkan agar kebutuhan dimaksud selalu saja

terpenuhi belum ada langkah-langkah yang ditemukan. Kebutuhan SDM

organisasi untuk masa mendatang tidak dapat diprediksi. Akhirnya organisasi itu

259

nampak berjalan tetapi SDM-nya stagnan, kelambanan menjadi suatu kondisi

yang terjadi di lingkup perhimpunan. Rencana melahirkan sumber daya manusia

yang berkualitas sesuai perkembangan yang terjadi, dari beberapa sumber yang

ada belum ditemukan bukti pelaksanaannya. Sebagai contoh, saat ini kebutuhan

guru untuk memenuhi kekosongan di banyak madrasah dan pondok pesantren

masih menjadi kendala. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa belum

terpenuhinya kekosongan guru di madrasah dengan alasan sulitnya mendapatkan

tenaga pengajar yang siap di tempatkan di daerah-daerah. Hal ini jika mengikuti

penerapan manajemen sumber daya manusia dengan program membuat

perencanaan secara sistematis, maka alasan yang demikian tidak akan muncul

dalam realitas.

Perencanaan SDM adalah langkah yang ditempuh oleh manajemen guna

lebih menjamin bahwa dalam organisasi telah tersedia tenaga kerja yang siap

untuk digunakan pada tempat dan waktu yang tepat dalam rangka pencapaian

tujuan dan program yang telah ditetapkan (Siagian, 2010: 41). Setiap organisasi

mempunyai tujuan yang berfungsi; memberikan dan menyatukan arah organisasi

harus bergerak; penetapan tujuan akan mempengaruhi perencanaan; tujuan

berfungsi sebagai alat dan motivasi pada karyawan; menjadi alat evaluasi dan

pengendalian yang efektif (Hanafi, 2003: 118; Terry, 2010: 29). Penyusunan

perencanaan SDM harus secara kontekstual yang dikaitkan pada penunaian

kewajiban sosial organisasi; pencapaian tujuannya; dan pencapaian tujuan-tujuan

pribadi anggota organisasi yang bersangkutan (Fathani, 2006: 42). Pelaksanaan

perencanaan sumber daya manusia menurut Schuler (1997: 139-143) melalui 5

(lima) fase, yaitu: mengidentifikasi isu bisnis yang utama; menentukan implikasi

260

sumber daya manusia; mengembangkan tujuan dan sasaran sumber daya

manusia; merancang dan melaksanakan kebijakan, program, dan praktek sumber

daya manusia; dan mengevaluasi, merivisi, dan menfokuskan kembali sumber

daya manusia.

Perencanaan SDM perlu karena untuk mencapai protective benefits dan

positive benefits. Protective benefits dihasilkan dari pengurangan kemungkinan

terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan. Positive benefits

meningkatnya sukses pencapaian tujuan organisasi (Handoko, 2003: 80).

Pencapaian tujuan membutuhkan langkah dan strategi, sehingga penggunaan

manajemen strategik merupakan bagian tidak terpisahkan21

. Penyusunan

perencanaan sumber daya manusia dapat memberi manfaat bagi organisasi,

yaitu: a) SDM yang sudah ada dapat dimanfaatkan secara lebih baik; b)

produktifitas kerja dari tenaga kerja yang ada dapat ditingkatkan; c) kebutuhan

tenaga kerja di masa depan dapat disiapkan; d) penanganan informasi

ketenagakerjaan yang komprehenshif di setiap satuan kerja (Herdiana, 2013: 67).

Ada enam pendekatan strategi dalam manajemen sumber daya manusia

menurut Mangkuprawira (2011: 14-15), yaitu: a) pemahaman tentang pengaruh

lingkungan luar; b) pemahaman pengaruh dinamika dan persaingan pasar kerja;

c) fokus jangka panjang, mengembangkan strategi yang taat asas untuk menuju

masa depan yang lebih baik dan sukses; d) fokus terhadap pilihan dan

pengambilan keputusan; e) pertumbuhan seluruh personil; dan f) integrasi

dengan strategi perusahaan.

21

Pandangan lain mengemukakan bahwa proses manajemen strategi dimulai dari perumusan

strategi, implementasi strategi, dan evaluasi pengendalian strategi (Hubeis, 2008: 21)

261

Pengembangan manajemen sumber daya manusia dimulai dari

perencanaan strategi tenaga kerja; ini diarahkan kepada tenaga kerja untuk

pengembangan di masa mendatang. Tujuannya adalah membantu dan

memastikan bahwa organisasi tersebut mempunyai tenaga kerja yang terampil,

ahli, dan memiliki pengetahuan yang diperlukan dalam organisasi untuk

mencapai tujuan (Fathani, 2006: 76).

Realitas yang terjadi di lingkungan Alkhaira>t untuk usaha membuat

rencana agar organisasi tersebut mempunyai sumber daya manusianya selalu

tersedia sesuai kebutuhannya masih jauh dari teori-teori yang dijelaskan di atas.

Padahal tujuan perencanaan dimaksud adalah untuk memberikan jaminan bahwa

organisasi tidak lagi mengalami kekurangan sumber daya manusia ketika

dibutuhkan. Tersedianya sumber daya manusia dalam organisasi akan

memberikan peningkatan produktifitas kerja. Implikasinya terjadi kesulitan

merekrut tenaga kerja yang mengisi kekurangan tenaga pengajar di madrasahnya

atau juga melaksanakan tugas sebagai pegawai di sekretariat pengurus.

c. Pengembangan sumber daya manusia

Pengembangan SDM bertujuan meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas

baru di masa mendatang dan menjadi bagian dari program investasi jangka

panjang. Organisasi yang selalu melakukan pengembangan SDM, mendapatkan

manfaat; yaitu: lahirnya peningkatan produktifitas kerja organisasi; terwujudnya

hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan serta saling memberi

kesempatan berpikir dan bertindak; terjadinya pengambilan keputusan yang

lebih cepat dan tepat disebabkan melibatkan pegawai secara keseluruhan;

meningkatnya semangat kerja dalam organisasi dengan komitmen operasional

262

yang lebih tinggi; mendorong sikap keterbukaan manajemen dengan gaya

manajerial partisipasif; memperlancar jalannya komunikasi efektif yang pada

gilirannya memperlancar proses perumusan kebijaksanaan organisasi dan

operasionalisasinya (Siagian, 2010: 183-184).

Mengembangkan tenaga kerja dalam sebuah organisasi adalah sesuatu

yang pokok; menjadi tiang dasar dari manajemen yang baik. Inilah yang akan

melahirkan usaha terencana untuk membuat program pengembangan.

Pengembangan dimaksud akan melahirkan kecakapan dalam berkerja.

Kecakapan tenaga kerja adalah kekayaan organisasi yang paling besar. Usaha

meningkatkan asset tenaga kerja akan menjadi investasi (Terry, 2010: 224)22

.

Termasuk dalam pengembangan pegawai adalah karir tenaga kerja.

Pengembangan karir ini mencakup dua hal; yaitu: career planning yakni

bagaimana pegawai (tenaga kerja) merencanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan

karirnya sendiri; dan career management yakni bagaimana organisasi mendesain

dan melaksanakan program pengembangan karir tenaga kerja. Sasaran

pengembangan karir tenaga kerja meliputi empat karakteristik: kinerja tenaga

kerja, sikap tenaga kerja, adaptabilitas karir, dan identitas karir (Yuniarsih,

2009: 140; Mangkuprawira, 2011: 183-190).

Kaitan dengan pengurus organisasi dan juga masalah pengelolaan wakaf

Alkhaira>t; masih sangat sulit untuk mengukur adanya implementasi manajemen

sumber daya manusia; baik itu menyangkut perencanaan, rekruitmen tenaga

kerja atau personalia, pengembangan karir, produktifitas kerja, sistem

22

Yuniarsih (2009: 133) menambahkan bahwa pengembangan tenaga kerja dan pegawai

merupakan aktivitas memelihara dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja guna mencapai efektivitas

organisasi. Sasaran pengembangan tenaga kerja dapat diwujudkan melalui pengembangan karir,

pendidikan dan pelatihan.

263

insentif/gaji atau honorarium; sebab belum nampak adanya kebijakan atau

aturan yang manunujkkan bahwa sumber daya manusia itu sesuatu yang perlu

secara terus-menerus dikembangkan. Masih dominan prinsip siapa saja yang mau

mengabdikan dirinya di Alkhaira>t akan diterima dengan harapan jangan selalu

mengharapkan imbalan atau gaji di Alkhaira>t. Melamar jadi pegawai atau datang

mengabdi harus memegang prinsip lillahi ta’ala pengabdian seutuhnya dengan

tidak mengutamakan insentif atau dalam istilah manajemen Fayol ‚balas jasa‛.

Sumber daya manusia yang dianggap sebagai pendorong lahirnya produktifitas

kerja, belum dijadikan sebagai prioritas utama yang harus dipersiapkan. Salim

D. Masuka (wawancara, 2012) mengemukakan bahwa memang secara organisasi

Alkhaira>t belum melakukan sistem seleksi penerimaan dan pengangkatan

pegawainya khususnya yang berkerja di Sekretariat Pengurus Besar; namun yang

dilakukan adalah menerima dan mengangkat mereka yang benar-benar

mempunyai keinginan mengabdikan dirinya di Alkhaira>t. Hal ini menunjukkan

bahwa sumber daya manusia sebagai penggerak utama atas jalannya organisasi

belum menjadi sesuatu yang fundamental.

Implikasi dalam program kerja perhimpunan tidak tergambar adanya

perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang nyata. Manfaat dari

perencanaan dan pengembangan SDM pun tidak ditemukan dalam gerak

berkembangnya organisasi; justru yang ada hanyalah apa adanya dengan kondisi

karyawan yang tidak jelas orientasinya sebagai pekerja untuk peningkatan karir,

jabatan, dan bahkan finansialnya; apalagi mengukur masa depan yang lebih baik

sebagaimana manusia selalu menghendaki hidupnya lebih baik dari sebelumnya.

264

Wakaf Alkhaira>t baru ditemukan dalam bentuk data semata, itupun

belum secara keseluruhannya, sehingga mengukur penerapan manajemen

sebagaimana teori yang tergambar di atas masih dilematis. Alasan lain, yang

bertindak sebagai nazir itu bukanlah atas nama lembaga Alkhaira>t tetapi masih

sebagai individu. Nazir itu berlaku pada setiap jenis aset dan bersifat perorangan

tidak lebih dari satu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kalaupun ada yang atas nama yayasan atau Pengurus Besar tidak lebih

mendominasi jumlahnya.

Secara administratif urusan wakaf sudah ada yang mengelolanya,

walaupun jumlah mereka sebagaimana pernyataan Saiful Tompoh (wawancara,

2012) hanya ada empat orang, dan dari empat orang itu memiliki tugas yang

berbeda, sehingga untuk pengelolaan wakaf ditugaskan kepada satu orang saja

seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jumlah ini sebenarnya tidak berimbang

dengan beban kerja ideal pengelolaan wakaf Alkhaira>t yang penyebarannya

sangat luas; padahal wakif dan nazir yang dimiliki oleh Alkhaira>t sebagai

manusia, tentu tidak terlepas pentingnya manajemen sumber daya manusia.

Kedua kelompok ini ditentukan memiliki standarisasi syarat. Syarat dimaksud

secara otomatis menuntut pengungkapan dan pengelolaan sumber dayanya.

Wakif dan nazir memiliki potensi dan potensi itu bagaimana dikelola sehingga

setiap wakif akan berusaha memberikan harta yang dimilikinya sesuai ketentuan

pemanfaatan harta; sedangkan nazir dituntut untuk amanah dan

bertanggungjawab mengelola harta yang diamanahkan kepadanya.

Merujuk pada kenyataan demikian itu, maka Pengurus Besar perlu

menata dan melakukan evaluasi dan kalau boleh studi banding pada lembaga-

265

lembaga pengelola wakaf di Indonesia agar melihat dan mempelajari kemajuan

lembaga pengelola wakaf kemudian dijadikan bahan perbandingan atau juga

contoh dalam merestrukturisasi kembali pengelola wakaf Alkhaira>t. Di

upayakan sedemikian rupa agar wakaf tidak berada dalam sistem kerja

sekretariat jenderal PB, tetapi harus diotonomisasikan. Keberhasilan suatu

organisasi akan banyak ditentukan oleh faktor manusianya. Semakin berkualitas

manusianya, akan memberikan harapan semakin baik pula lembaga dan

organisasi tersebut. Manusia sebagai penggerak utama jalannya organisasi harus

mendapat perhatian dari pimpinan organisasi. Manusia sebagai pelaksana juga

tidak boleh hanya dipandang sebagaimana makhluk lainnya, tetapi ditempatkan

sesuai harkat dan martabatnya, sehingga lahir dari dalam dirinya potensi

kemanusiaannya yang mendorong lahirnya kreatifitas dan produktifitasnya.

Inilah peran manajemen sumber daya manusia yang patut diperhatikan oleh

pengurus perhimpunan Alkhaira>t di seluruh tingkatan.

C. Implementasi Manajemen Investasi

Wakaf sebagai instrumen ekonomi Islam yang beragam jenisnya, menjadi salah satu

sumber investasi potensial. Sasaran investasi dimaksud adalah investasi yang

bernafaskan syari’at Islam. Pengembangan wakaf melalui kegiatan produktif sangat

terbuka luas dengan beragam program investasi (Abu>ziad, 2000: 14-22). Program

investasi dimaksud tergantung hasil pilihan pengguna. Salah satu jenis investasi

yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah bisnis dengan sistem syari’ah; dan

kegiatan jenis ini sangat pesat perkembangannya. Dibalik pesatnya, peluang yang

dihadapi oleh pelaku bisnis syari’ah Islam dalam mengembangkan sumber daya

masyarakat harus disosialisasikan mengenai mekanisme, transaksi dan

266

operasionalisasi pada dunia bisnis, sehingga sistemnya dapat berkembang dengan

maksimal. Inilah yang menjadi tantangan bisnis syari’ah Islam di Indonesia, di mana

mayoritas masyarakatnya adalah muslim, maka partisipasi dari masyarakat sangat

diperlukan.

Salah satu tantangan yang di hadapi dalam investasi syari’ah Islam adalah

konsep bagi hasil yang dianggap belum mampu memberikan patokan tingkat

penghasilan yang pasti. Disadari bahwa instrumen investasi syari’ah Islam masih

terbatas, sehingga kemampuan pengelola dana dalam mengatur portofolionya harus

piawai. Diversifikasi investasi yang terbatas jelas akan menyulitkan pengelola dana,

sehingga investasi syari’ah Islam mempunyai resiko yang lebih tinggi (Rivai,

2010:419) 23

.

Wakaf yang berpotensi diproduktifkan melalui kegiatan investasi menuntut

adanya kehati-hatian dengan mempertimbangkan dampak buruknya akibat investasi

tersebut. Bagaimana pun yang berhubungan dengan bisnis selalu diperhadapkan

dengan resiko. Kondisi seperti inilah perlunya lembaga pengelola investasi Islam

(termasuk lembaga wakaf) memperhatikan manajemen resiko. Manajemen resiko

adalah suatu bidang ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu organisasi

menerapkan ukuran dalam memetakan berbagai permasalahan yang ada dengan

menempatkan beragam pendekatan manajemen secara komprehensif dan sistematis

(Fahmi, 2010: 2-3)24

. Upaya mengatasi resiko yang timbul dalam pengelolaan

23

Resiko (risk) dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidak pastian tentang suatu keadaan

yang akan terjadi nantinya dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat

ini. Resiko memiliki arti: keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus dimana hasilnya dapat

diperoleh dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambil keputusan; variasi dalam

keuntungan, penjualan, atau jenis keuntungan lainnya; kemungkinan dari sebuah masalah keuangan yang

mempengaruhi kinerja operasi perusahaan atau posisi keuangan (Fahmi, 2010: 2; Francis, t.th: 202-203). 24

Pandangan lain tentang manajemen resiko merupakan suatu usaha untuk mengetahui,

menganlisis serta mengendalikan resiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk

267

lembaga, ada empat cara mengelola resiko; yaitu: a) memperkecil resiko dengan cara

tidak memperbesar setiap keputusan yang mengandung resiko tinggi; b)

mengalihkan resiko ke tempat lain sebagian misalnya dengan mengasuransikan

perusahaan atau lembaga; c) mengontrol resiko, dengan cara melakukan kebijakan

antisipasi terhadap timbulnya resiko sebelum resiko itu terjadi; d) pendanaan resiko,

menyangkut penyediaan sejumlah dana sebagai cadangan guna mengantisipasi

timbulnya resiko kemudian (Fahmi, 2010: 7).

Secara umum, dapat dikatakan bahwa syari’ah Islam menghendaki kegiatan

ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi obyek, cara perolehannya, maupun

cara penggunaannya. Selain itu, prinsip investasi syari’ah Islam juga harus

dilakukan tanpa paksaan, adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan

jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi. Oleh

sebab itu, wakaf sebagai bagian dari sumber pendapatan umat dan organisasi agar

dapat berdayaguna maksimal, perlu dikembangkan dengan menggunakan

manajemen investasi.

Prinsipnya bahwa wakaf dapat disalurkan untuk proyek-proyek investasi

yang menguntungkan dengan tetap menjaga keutuhan hartanya. Bila ini dilakukan

oleh lembaga atau organisasi pengelola wakaf, maka perlu dilakukan dengan

menyusun langkah-langkah strategis yang tersusun rapi dengan menjadikan

manajemen sebagai alat, memperhitungkan secara matang resiko yang akan

dihadapi, dan memanfaatkan usaha-usaha lain yang dapat menunjang suksesnya

memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi (Darmawi, 2002: 17). Manajemen resiko adalah

pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan resiko oleh organisasi, perusahaan, keluarga

dan masyarakat (Soeisno, 1999: 4).

268

pengelolaan wakaf, sehingga keutuhan harta wakaf tetap terjamin (Nawawi, 2012:

247).

Wakaf Alkhaira>t berdasarkan data yang ada telah nampak dikelola dengan

menggunakan sistem investasi. Sistem ini sebagaimana terlihat dalam penanaman

modal dalam pembangunan ruko sebanyak 5 (lima) petak yang dananya diambil dari

dana abadi; penyertaan modal pembukaan KSU/Wartel; penyertaan modal usaha

tambak; kerjasama usaha agen motor; kerjasama usaha sawah; penyertaan modal

pengembangan swalayan (Yanggo, 2013: 267). Melihat kegiatan penanaman modal

yang telah dilakukan oleh Alkhaira>t; dilihat dari sisi manajemen investasi telah

sesuai dengan makna yang dikandung dari investasi itu sendiri.

Investasi berarti penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi di masa

datang. Pengertian ini dipahami bahwa investasi adalah menempatkan modal atau

dana suatu aset yang diharapkan akan memberikan hasil atau akan meningkatkan

nilainya di masa mendatang. Investasi berarti diawali dengan mengorbankan potensi

konsumsi saat ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar di masa

akan datang dengan karaktek: a) modal sebagai penentu keputusan; b) waktu yang

tepat untuk mengambil keputusan. Investasi juga diartikan dengan penanaman uang

atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh

keuntungan (Huda, 2008: 7).

Pengertian tersebut memberikan penegasan bahwa investasi merupakan

bentuk usaha yang dapat dilakukan dengan menyertakan modal dalam usaha

bersama, kemudian dengan modal tersebut diharapkan dapat memberi keuntungan

bagi kedua pihak di masa yang akan datang, sesuai dengan hasil yang diperolehnya.

Jenis modal investasi dapat bermacam-macam yang dalam kajian wakaf bisa harta

269

benda bergerak dan harta benda tidak bergerak. Konsep ini secara langsung telah

membuka peluang bagi wakaf dijadikan modal investasi. Konsep ini dengan

kenyataan yang dikembangkan oleh Alkhaira>t telah sejalan dengan nilai-nilai

investasi. Alkhaira>t dari dana abadi yang telah diinvestasikan ditahan nilainya untuk

digunakan pada saat itu, tetapi ada harapan di masa mendatang yakni mendapatkan

keuntungan yang lebih. Ternyata apa yang menjadi harapan tersebut telah

memberikan indikasi dengan mendapatkan keuntungan seperti dalam laporan

penerimaan dari wartel/KSU dan tambak serta usaha bagi hasil lainnya senilai Rp.

289.418.431.-(Yanggo, 2013: 268).

Dilihat dari aspek pengembangan investasi yang berbasiskan syari’at Islam,

harta wakaf Alkhaira>t yang dimilikinya sangat memungkinkan untuk ditanamkan,

misalnya: pembangunan ruko yang dananya diambil sebagian dari dana abadi dan

pembelian lokasi/tanah di Jakarta yang juga bersumber dari dana abadi; selain itu

juga Alkhaira>t memiliki tanah seluas 34 ha; dan lain-lainnya. Jika digunakan prinsip

penanaman modal, maka selesainya ruko ini dapat dilakukan sistem sewa di mana

Alkhaira>t sebagai pemiliknya memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk

dipersewakan. Hal serupa juga dapat dibuat oleh Alkhaira>t dengan menyewakan

lokasi yang berada di Jakarta. Bila lokasi yang ada dipersewakan untuk

penggunaannya, berarti Alkhaira>t akan menerima hasilnya dan kemudian dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan perhimpunan. Oleh sebab itu, sistem sewa

menyewa sebagai bagian dari bentuk investasi, terbuka peluang yang sangat besar

bagi Alkhaira>t untuk menjadikan harta wakaf sebagai modal investasi. Peluang

pengembangan harta wakaf ke berbagai sektor pembiayaan sangat terbuka bagi

Alkhaira>t. Teori di bawah ini akan dijelaskan tentang sistem pengembangan aset

270

harta yang dapat diikuti oleh setiap orang atau lembaga melalui kegiatan

penanaman modal.

Pembiayaan dapat saja berasal dari perorangan atau lembaga. Namun,

dewasa ini orang yang berinvestasi selalu melirik ke dunia perbankan. Perbankan

telah menyediakan berbagai jenis pembiayaan, bentuk investasi dan jasa kepada

peminjam, investor dan para nasabahnya. Jenis-jenis pembiayaan investasi dan jasa

ini terbatas pada usia bank, tapi akan berkembang sesuai tuntutan zaman. Perbankan

menyediakan pembiayaan dan investasi untuk kegiatan pengeluaran ekonomi yang

tidak bertentangan dengan syari’ah. Bentuk pembiayaan dan investasi bank dapat

meliputi bidang, yaitu:

a) Membiayai atau investasi pada suatu proyek, misalnya: proyek pertanian,

konstruksi, pertambangan minyak, perniagaan dan jasa.

b) Membiayai nasabah untuk memperoleh harta tetap, baik yang bergerak maupun

tidak bergerak; seperti: tanah, tambang dan pabrik, bangunan termasuk rumah

serta alat transportasi dan pengangkutan.

c) Membiayai nasabah untuk memperoleh modal kerja, misalnya: memperoleh alat

ganti bahan-bahan mentah, dan barang setengah jadi.

Ketiga bidang dimaksud sangat terbuka pengembangannya dalam berbagai

bentuk kegiatan usaha yang memungkinkan akan terbangun kerjasama antara

lembaga usaha atau organisasi yang bergerak dalam bidang bisnis dan ekonomi.

Rivai (2010: 425-426) berpandangan bahwa realisasi bentuk pembiayaan bank

terhadap kegiatan investasi dilihat dari aspek hukum dapat digambarkan berikut ini:

a) Pembiayaan proyek berdasarkan hukum mudha>rabah.

271

Sistem ini dapat dilakukan oleh bank dalam pembiayaan suatu proyek dengan

syarat: bank sebagai pemilik modal menyediakan seluruh uang tunai untuk

membiayai proyek dan nasabah mengurus serta mengusahakannya; nisbah bagi

hasil antara kedua belah pihak disetujui dan dipastikan dalam perjanjian; bank

tidak mencampuri pengurusan proyek, tapi boleh mengawasi dan memberi usul;

dan jika ada kerugian, maka ditanggung oleh bank kecuali jika kerugian itu

disebabkan kelalaian atau ada unsur kesengajaan dari pengusaha (nasabah) (Iska,

2012: 186).

Syafi’i Antonio (2001: 137) memberikan gambaran jika sistem

mudharabah itu dikembangkan bersama bank, maka ada dua posisi bank yang

boleh dilakukan, yakni: sebagai mitra antara penabung maupun pengusaha yang

meminjam dana. Bersama penabung, bank bertindak sebagai mudha>rib atau

pengelola; sedangkan penabung bertindak sebagai sha>hib al-ma>l atau

penyandang dana. Antara kedua pihak mengadakan akad mudha>rabah yang akan

menyatakan keuntungan masing-masing pihak. Di sisi lain, bersama pengusaha

atau peminjam dana; bank akan bertindak sebagai shahib al-ma>l (penyandang

dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri

berupa modal pemegang saham). Posisi pengusaha berfungsi sebagai mudha>rib

atau pengelola karena melakukan usaha dengan memutar dan mengelola dana

bank.25

25

Status hukum mudha>rabah telah disepakati oleh para fuqaha dibolehkan dengan alasan

memiliki tujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang ahli dalam memutar

modal. Kebolehan tersebut didasarkan pada firman Allah swt pada surah al-Muzammil ayat (20) (Lihat:

Abdul Aziz Dahlan, 1996:1196). Hasil yang diperoleh dari system kerjasama ini (laba yang diperoleh)

menjadi milik bersama, yang dibagi berdasarkan kesepakatan (Zuhaily, 2010: II/189, Taqiyuddin, t.th:

I/319).

272

b) Pembiayaan proyek berdasarkan sistem musya>rakah.

Jenis usaha ini dalam dunia modern disebut dengan joint-venture. Sistem ini

adalah percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit

dibedakan. Makna menurut istilah adalah keikutsertaan dua orang atau lebih

dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan

perjanjian bersama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau

kerugian sesuai ketentuan. Makna lain ‚akad kerjasama antara dua pihak atau

lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi

dana (al-ma>l) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan

ditanggung bersama sesuai kesepakatan (Nawawi, 2012: 151). Sistem investasi

ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: syirkah kepemilikan dan syirkah akad.

Syirkah kepemilikan terjadi karena warisan, wasiat, atau kondisi lain yang

mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Syirkah akad

terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih yang menyetujui bahwa tiap-

tiap orang dari mereka memberikan kontribusi dari modal kerjasama (Nawawi,

2012: 153; Iska, 2012: 198).

Jenis syirkah akad inilah yang dimaksud pada point ini dimana bank

bersama dengan orang yang berinvestasi dengan syarat: bank dan nasabah

bersama-sama menyumbang untuk pembiayaan suatu proyek secara usaha

bersama; nisbah bagi hasil antara kedua pihak disetujui dan dipastikan dalam

surat perjanjian dan nisbah ini tidak harus setara dengan jumlah sumbangan

masing-masing pihak; bank akan menyertai pengurusan proyek itu, kecuali jika

bank memberi izin kepada nasabah untuk mengurusnya sendiri; dan jika ada

273

kerugian maka ditanggung bersama oleh kedua pihak menurut nisbah sumbangan

masing-masing.

c) Pembiayaan perolehan barang berdasarkan hukum penjualan angsuran.

Jika nasabah ingin mengangsur pembayaran barang hingga batas waktu tertentu

dimana bank yang akan membiayai dengan syarat: bank membeli barang yang

diinginkan oleh nasabah; waktu pengangsuran dan cara pembayaran angsuran

disetujui kedua pihak; bank menjual harta itu kepada pelanggan dengan harga

yang disetujui kedua pihak yang meliputi: harga barang yang dibeli bank, dan

margin bank.

d) Pembiayaan peroleh barang berdasarkan hukum sewa.

Jenis ini dimaksudkan adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau

jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti

dengan pemindahan hak pemilikan atas barang. Sistem ini bank dapat saja

meresponi dengan ketentuan: bank membeli barang yang diinginkan oleh

nasabah; bank menyewakan barang itu kepada nasabah menurut waktu, jumlah

sewaan, serta syarat-syarat lain yang disetujui oleh kedua pihak.

Berdasarkan teori manajemen investasi yang ada, maka harta wakaf

Alkhaira>t sangat memungkinkan dijadikan instrumen investasi. Sasaran

investasi dapat saja melalui bank-bank syari’ah atau bersama pihak lain yang

dianggap dapat memberikan keuntungan bersama. Alkhaira>t yang mempunyai

harta wakaf; mempunyai peluang memanfaatkan sistem investasi sebagai bagian

dari proses pengembangan dan peningkatan harta wakaf. Informasi yang

diterima dari Ahmad Aljufri (wawancara, 2012) bahwa wakaf dana abadi telah

diinvestasikan ke dalam beberapa jenis kegiatan, yaitu: pengembangan Swalayan

274

Alkhaira>t (SAL), pembangunan ruko, dan juga termasuk pendirian Koperasi

Pondok Pesantren seperti telah dijelaskan di atas. Keempat jenis pembiayaan

yang ada, Alkhaira>t baru memanfaatkan jenis pembiayaan mud}arabah

sebagaimana dana abadi yang telah dikembangkan dalam beberapa

pengembangan usaha Alkhaira>t. Namun, informasi menyangkut detail

penyaluran dan juga termasuk hasil investasi tidak dijelaskan lebih lanjut.

Sementara lokasi tanah yang mempunyai potensi ekonomi tinggi belum

ada informasi mengenai pengembangan melalui sistem investasi. Misalnya, di

desa Bulubute ada lokasi tanah seluas 34 ha tujuan wakifnya untuk keperluan

perkebunan anggur dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lagi.

Olehnya itu, jika memang Alkhaira>t mau mendapatkan hasil yang baik dengan

keterbatasan tenaga pengelola; maka lokasi tersebut dari sisi manajemen dapat

dikembangkan dengan sistem investasi kepada pihak yang mempunyai

kemampuan mengelolanya. Apabila mengikuti pola kerjasama dengan bank,

maka investasi dengan sistem musyarakah dapat saja diterapkan antara

Alkhaira>t dengan bank, atau mungkin dengan pihak lain; tetapi ternyata aset-

aset yang ada belum ada informasi atau data yang menunjukkan kalau Alkhaira>t

telah mengelolanya dengan membangun kerjasama.

Oleh karena itu, aset harta wakaf berupa tanah kosong yang dianggap

potensial dan wakaf dana abadi sangat tepat membangun sistem kerjasama

dengan pihak perbankan atau pihak lainnya. Selama ketentuan kerjasama tetap

dibangun di atas pondasi syari’ah Islam, maka dapat dibenarkan dan tidak

terhalang untuk dimanfaatkan dan dikembangkan. Bentuk pembiayaan atau

275

investasi dengan sistem kerjasama yang telah dijelaskan di atas menjadi salah

satu langkah dan upaya meningkatkan produktifitas harta wakaf Alkhaira>t.

Selain yang digambarkan di atas tentang kemungkinan kerjasama dengan

perbankan pada beberapa jenis pembiayaan, maka penyebaran program investasi

di lapangan sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin menanamkan modalnya;

baik bersifat perorangan maupun lembaga. Senduk (2004: 24) mengatakan

bahwa produk-produk investasi yang tersedia di pasaran yang dapat menjadi

pilihan bagi seseorang, antara lain: tabungan di bank, deposito, saham, properti,

emas, obligasi, dan lain-lain. Namun, semua itu dapat saja dilakukan oleh

seseorang atau lembaga pengelola wakaf (nazir) selama ketentuan yang ada di

dalamnya tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam prinsip umum jual

beli, atau mu’amalah pada umumnya.

Intisarinya bahwa peluang berinvestasi dari harta wakaf yang dimiliki

oleh setiap lembaga wakaf (nazir) khususnya bagi perhimpunan Alkhaira>t sangat

terbuka luas di pasaran; tergantung adanya komitmen dan upaya yang dilakukan

oleh Alkhaira>t. Kemampuan manajerial pengelola wakaf akan menjadi penentu

jalannya pengembangan harta melalui jalur investasi. Jika perhimpunan

Alkhaira>t mampu memanfaatkan sistem yang tersedia, maka hasil harta

wakafnya semakin bertambah. Implikasi positifnya dapat meningkatkan

perekonomian perhimpunan, meningkatkan daya saing perhimpunan, membuka

peluang dan kesempatan kerja, dan juga meningkatkan kesejahteraan pegawai

dan karyawannya. Namun apa yang terjadi, Alkhaira>t masih lamban

memanfaatkan peluang tersebut; sehingga harta wakafnya belum memberikan

korelasi perekonomian terhadap lembaga. Singkatnya teori manajemen investasi

276

sesungguhnya belum sepenuhnya diimplementasikan oleh Alkhaira>t dari aset

harta wakafnya yang mempunyai nilai produktifitas dan ekonomi tinggi.

Ruko yang telah digunakan, jika dilihat secara langsung telah

menunjukkan kemajuan yang harusnya memberi kontribusi bagi perhimpunan.

Ruko dimaksud yang terdiri atas lima petak telah terisi semuanya yang karena

itulah memberikan indikasi adanya penerimaan oleh Alkhaira>t. Hasil informasi

yang diterima di lapangan sistem pemanfaatannya adalah sewa. Investasi dengan

sistem sewa atas harta wakaf Alkhaira>t telah dipraktekkan, namun yang perlu

diperhatikan adalah proses penerimaan hasil dari sistem sewa tersebut. Laporan

penerimaan keuangan dan juga proses pengembangannya untuk penerimaan hasil

sistem sewa dari ruko belum ditemukan.26

Investasi merupakan bentuk aktif dari ekonomi syari’ah, sebab setiap

harta ada zakatnya, jika harta itu didiamkan maka lambat laun akan termakan

oleh kewajiban mengeluarkan zakatnya. Zakat menjadi kewajiban bagi umat

Islam. Diperintahkan mengeluarkan zakat karena ada sasaran yang wajib pula

untuk menerimanya. Tetapi dibalik kewajiban itu terkandung banyak hikmah.

Salah satu hikmah dari zakat adalah mendorong untuk setiap muslim

menginvestasikan hartanya. Harta yang diinvestasikan tidak akan termakan oleh

zakat, kecuali keuntungannya saja27

.

26

Lihat: uraian jenis penerimaan dan penggunaan dana di lingkungan Pengurus Besar seperti

diuraikan Huzaimah T. Yanggo (2013: 266-269). 27

Hikmah diwajibkannya zakat adalah: berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan,

gangguan kesehatan dan jenis penyakit sosial lainnya dalam masyarakat dapat tertanggulangi;

pertanggung jawaban sosial karena kekayaan yang diperoleh seseorang tidak terlepas dari andil orang

lain; orang yang mengeluarkan zakat menjadi sarana memantapkan hubungannya dengan Allah dan

akhirnya harta yang dikeluarkan zakatnya akan ditambah oleh Allah swt sebagaimana telah dinyatakan

dalam firman-Nya pada surah al-Baqarah ayat 261 (Qadir, 2001: 80-81; ash-Shiddiqy, 2009: 207).

277

Sistem investasi mengenal harga yakni nilai jual beli dari sesuatu yang

diperdagangkan. Selisih harga beli terhadap harga jual disebut profit margin.

Harga terbentuk setelah terjadinya mekanisme pasar28

. Imam al-Ghazali dalam

pernyataannya yang dikutip Yusuf al-Qardhawi (2002b: 539) menyatakan

keuntungan merupakan kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis dan

ancaman keselamatan diri pengusaha, sehingga sangat wajar seseorang

memperoleh keuntungan yang merupakan kompensasi dari resiko yang

ditanggungnya29

.

Ibnu Taimiyah seperti di kutip Muhammad Budi Setiawan30

berpendapat

bahwa penawaran bisa datang dari produk domestik dan impor. Perubahan dalam

penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah

barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan harapan dan

pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga tergantung besarnya perubahan

penawaran atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan,

maka kenaikan harga yang terjadi itu adalah bagian dari kehendak Allah SWT,

dan manusia tidak dapat menjangkaunya.

Pelaksanaan investasi dimaksud bertujuan mendapatkan pendapatan dan

keuntungan yang digambarkan oleh Nurul Huda (2008: 8): a) untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih layak, sehingga upaya-upaya untuk

28

Mekanisme pasar melahirkan hukum permintaan dan hukum penawaran. Tetapi di sisi lain juga

perlu memperhatikan bahwa di antara permintaan dan penawaran harus diberlakukan hukum

keseimbangan (equilibrium) (P3EI, 2008: 389). 29

Yusuf al-Qardhawi (2002: 539) memberikan keterangan bahwa untung dan rugi yang

didasarkan oleh investor bersama bank (misalnya) merupakan bentuk investasi yang adil dan inilah yang

dalam hukum Islam ‚bisnis yang dihalalkan‛, sementara keuntungan yang dijaminkan hanya dari satu

pihak ini termasuk kezaliman oleh karena itu ‚bisnis ini diharamkan‛. 30

Lihat: Muhammad Budi Setiawan, 2007, Pengantar Manajemen Investasi, (Manajemen Investasi Syari’ah), diunduh pada tanggal 5 Mei 2013, dari: http://cakwawan.wordpress.com/2007/

11/24/manajemen-investasi-syariah-bagian-1/

278

mencapai hal tersebut di masa depan selalu dilakukan; b) mengurangi tekanan

inflasi, faktor inflasi tidak pernah dapat dihindarkan dalam kehidupan ekonomi

namun harus ada usaha meminimalkan resiko akibat inflasi. Investasi termasuk

salah satu bisnis yang dikategorikan sebagai langkah yang efektif.31

Prinsip-prinsip Islam dalam bidang mu’amalah yang harus diperhatikan

oleh pelaku investasi syari’ah Islam (pihak terkait) adalah sebagai berikut: tidak

mencari rizki pada hal-hal yang diharamkan, baik dari segi zatnya maupun cara

mendapatkannya, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang diharamkan;

tidak menzalimi dan tidak dizalimi; keadilan dalam distribusi; transaksi

dilakukan atas dasar ridha sama ridha; tidak ada unsur riba, maysir, perjudian,

spekulasi, gharar (ketidakjelasan) atau samar-samar (Rivai, 2010: 423-424).

Qadri Azizy (2004: 191) yang mengutip hasil muktamar di al-Azhar Kairo dan

Rabithah Alam Islami bahwa prinsip pembiayaan Islam: tidak ada transaksi

keuangan berbasis bunga; pelarangan produksi barang dan jasa yang

bertentangan dengan sistem nilai Islam; menghindari aktivitas ekonomi yang

melibatkan maysir (judi) dan gharar (ketidakpastian).

Berdasarkan prinsip di atas, maka kegiatan di pasar modal atau di

lembaga pengelola investasi mengacu pada hukum syari’at yang berlaku.

Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syari’ah Islam tidak boleh

disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan kegiatan yang diharamkan.

Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus atas dasar suka sama suka,

tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang dizalimi atau menzalimi, dan

sebagainya yang dapat merugikan antar kedua pihak yang berinvestasi.

31

Kamaruddin Ahmad (2004: 4) menambahkan sebagai pendorong untuk penghematan pajak.

279

Uraian tersebut memberi pemahaman bahwa Alkhaira>t dengan potensi

wakafnya yang tersebar di banyak tempat dan mempunyai nilai ekonomi baik;

sudah perlu menyikapi peluang kerjasa sama dalam upaya menginvestasikan

harta wakaf dengan harapan akan mendatangkan hasil yang meningkat, sehingga

memberi kemaslahatan dan kesejahteraan yang positif bagi anggota

perhimpunan dan masyarakat Islam pada umumnya. Pengurus Alkhaira>t di

semua tingkatan tidak boleh lagi bersikap apatis atau tidak pro aktif terhadap

keterbengkalainnya harta wakaf yang ada; tetapi harus merubah prinsip dan

sikap dalam melihat kondisi wakafnya yang demikian itu. Peluang investasi

terbuka luas dengan beragam jenisnya; yang menentukan itu adalah pengurus

oragnisasi. Pengurus harus berkomitmen bahwa semakin banyak harta wakaf

yang dikembangkan dengan sistem investasi dan produktif, maka peluang

mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya akan tercapai. Bila kondisi ini terjadi di

lingkungan Alkhaira>t, maka secara tidak langsung kekurangan dan ketidak

cukupan biaya operasionalisasi pengelolaan pendidikan tidak lagi menjadi

hambatan. Inilah yang menjadi jalan menuju kemandirian perhimpunan. Mandiri

dari aspek kelembagaannya, manajemen, serta anggaran operasional.

Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan di atas tentang hasil penerimaan

investasi pada beberapa jenis kegiatan; sesungguhnya belum memperhatikan

aspek transparansi pemanfaatan sebagai harta wakaf. Laporan pengelolaan yang

dikhususkan dari harta wakaf belum terjadi. Kondisi ini akan mengarahkan pada

lenyapnya pokok harta wakaf karena hasil penerimaan investasinya tidak

dikembangkan pada penambahan modal harta wakaf. Padahal wakaf harusnya

tetap modalnya dan hasilnya saja yang dimanfaatkan untuk kepentingan umat.

280

Singkatnya, manajemen investasi dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t

bila mendasarkan pada pola pikir yang dikemukakan dalam landasan teori belum

diperhatikan oleh pengurus Alkhaira>t. Pola pikir dimaksud seperti dikemukakan

oleh Rozalinda (2015: 140) yang mencakup dua hal, yaitu: pertama, usaha

menghimpun modal melalui kegiatan membentuk wakaf, mengembangkan,

memperbarui, melakukan penggantian terhadapnya demi memelihara

kemampuan produksinya, manfaat dan keuntungan. Maksud dari konsep ini,

bahwa seharusnya wakaf Alkhaira>t diinvestasikan merupakan uapay

pengembangan harta wakaf, sehingga jumlahnya atau nilainya akan bertambah

di kemudian hari, tetapi hal ini justru tidak jelas adanya penambahan nilai

wakafnya. Kedua, penggunaan modal untuk mendapatkan hasil atau pemasukan,

ini dimaksudkan pula bahwa setelah harta wakaf itu diinvestasikan harusnya

menambah hasil penerimaan organisasi tanpa mengurangi pokok hartanya dan

pemanfaatannya menjadi lebih banyak menyentuh kegiatan operasionalnya

organisasi dan kepentingan umat; tapi kenyataannya belum ada laporan yang

dapat dianggap akurat.

D. Hambatan dan Solusi Manajerial Pengelolaan Wakaf Alkhaira>t

1. Hambatan manajerial

a) Alkhaira>t belum memiliki sistem informasi yang baik.

Informasi merupakan media menghubungkan organisasi dengan pihak lain

untuk dijadikan relasi maupun sebagai data agar mengetahui secara

keseluruhan keadaan organisasi yang sesungguhnya. Informasi menjadi

penting bagi sebuah organisasi baik secara internal maupun eksternal dalam

281

memberikan gambaran mengenai berbagai masalah yang ada dalam

organisasi dan termasuk cara memecahkan masalah.

Salah satu sistem yang dapat digunakan dalam pengelolaan

organisasi adalah manajemen dengan pendekatan informasi. Manajemen ini

dimaksudkan bahwa pengelolaan organisasi yang berpusat pada peran

pentingnya informasi bagi kemajuan dan kinerja organisasi. Informasi bukan

hanya sekedar berita, melainkan materi tentang berbagai kondisi dan situasi

yang terjadi di dalam dan di luar organisasi. Organisasi yang mau

membangun kerjasama dengan pihak lain, memerlukan informasi yang detail

mengenai profil organisasi atau lembaga yang dituju dalam kerjasama. Profil

kelembagaan menjadi sangat penting dalam membangun kerjasama dengan

pihak yang dapat memberi keuntungan dan kemajuan bersama. Melalui profil

akan diketahui sistem yang digunakan dalam pengelolaan organisasinya;

termasuk sistem informasi.

Kemajuan teknologi dewasa ini telah mampu menyatukan kemajuan

komputerisasi, televisi, radio, dan telepon sebagai satu kesatuan yang

terintegrasi sekaligus merubah sistem informasi komunikasi. Teknologi

informasi dan komunikasi dapat membantu dan memberi perubahan besar

dibanyak negara. Era global sekarang tidak ada lagi sekat dalam akses

informasi, sehingga semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang

sama untuk mengembangkan diri dalam segala aspek kehidupannya (Sa’ud,

2010: 185-186).

Kebutuhan akan informasi bukan hanya dibutuhkan bagi organisasi

atau lembaga, tetapi setiap orang pun mempunyai kepentingan terhadap

282

informasi itu. Orang akan banyak mendapat pengetahuan hanya dengan

sering membuka informasi. Sumber informasi telah tersebar di banyak

tempat dan jenis barang serta teknologi. Apabila setiap orang dan organisasi

memilikinya akan mendorong percepatan peningkatan kemajuannya.

Sebaliknya, bila system informasinya tidak dimilikinya maka kemungkinan

orang atau organisasi itu lamban terhadap kemajuan. Akibatnya tingkat

kompetisinya sangat rendah dan bahkan dapat saja kalah bersaing.

Alkhaira>t memang telah memiliki media informasi, seperti: radio,

koran, dan jaringan komunikasi telepon; namun media tersebut belum dapat

digunakan secara maksimal berhubungan dengan pengembangan informasi

dalam tubuh organisasinya. Jaringan komunikasi antar sesama anggota

dalam satu pengurus, antar pengurus dengan pengurus, dan antar pengurus

dengan pihak lain; belum ada panduan dan tata aturan yang dapat dijadikan

sarana menghubungkan seluruh kegiatan keorganisasian. Sistem informasi

menjadi penghubung untuk menyampaikan kehendak atau sesuatu yang ingin

disampaikan. Ini sangat erat dengan sistem komunikasi. Komunikasi itu

merupakan saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan atau informasi

dari satu pihak kepada pihak lain (Noor, 2013: 220).

Ketua Yayasan menyatakan bahwa Alkhaira>t masih mengalami

banyak kendala dalam pengelolaan wakaf disebabkan oleh karena belum

memiliki sistem informasi yang baik. Memang kita akan merencanakan ke

depan penataan organisasi lebih banyak menggunakan media informasi

sebagaimana era sekarang yang seluruh daerah dan bahkan sampai ke

pelosok telah terjangkau oleh media informasi. Jadi kendala dalam

283

pengelolaan wakaf Alkhaira>t termasuk disebabkan oleh sistem informasi di

Alkhaira>t yang belum baik (Fadel, wawancara, 2012).

Kesimpulannya, Alkhaira>t bukan belum memiliki sarana informasi

tetapi bagaimana memanfaatkan sarana informasi dalam pengelolaan

lembaga dan organisainya yang belum tertata dengan baik; sehingga terjadi

kelambanan dalam pengembangan organisasinya. Oleh karena itu, Alkhaira>t

harus melaksanakan kegiatan pelatihan yang berhubungan dengan

pemanfaatan teknologi informatika. Melalui kegiatan seperti itu diharapkan

seluruh pengurus memahami dan mengetahui pentingnya sistem informasi

serta mampu mengaplikasikan system tersebut ke dalam pengelolaan

organisai. Adanya kemajuan teknologi di bidang informatika dijadikan alat

percepatan pengembangan organisasi.

b) Pengelola wakaf yang tidak berbentuk organisasi atau badan hukum

Penjelasan di bab terdahulu telah diuraikan bahwa berdasarkan ketentuan

perundang-undangan, Alkhaira>t dianggap layak menjadi pengelola wakaf.

Alasannya karena telah berbentuk organisasi dan mempunyai badan hukum.

Namun, bila syarat sebagai organisasi dan badan hukum pengelola wakaf

dimaksud dalam peraturan yang ada menghendaki anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga khusus pengelolaan wakaf, maka Alkhaira>t tidak

mempunyai wewenang melaksanakan pengelolaan wakaf disebabkan

organisasi dan badan hukumnya bukan sebagai pengelola wakaf.

284

Pengelola wakaf berdasarkan ketentuan yang berlaku harus berada di

wilayah atau tempat dimana harta wakaf itu berada (Hamami, 2003: 101).32

Hal ini berlaku juga pengelola wakaf bersifat perorangan; sedangkan yang

kelompok atau badan hukum harus memiliki perwakilan dimana harta wakaf

itu berada. Ini memberikan makna bahwa sekalipun di tempat itu hanya ada

satu lokasi atau jenis harta wakaf, maka perwakilan atau anggota nazir harus

ada pula.

Agar wakaf dapat melahirkan hasil yang menguntungkan dengan cara

diproduktifkan, maka badan atau lembaga yang secara khusus mengelola

wakaf harus terbentuk secara mandiri. Di tingkat nasional, pemerintah telah

membentuk Badan Wakaf Indonesia yang diberi tugas mengembangkan

wakaf secara produktif, sebagai implikasinya diharapkan dapat

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Lahirnya UU tentang wakaf yang

selanjutnya dijelaskan dengan Peraturan Pemerintahnya, telah membuka

kesempatan bagi berkembangnya organisasi dan badan hukum pengelola

wakaf dan bahkan peluang mendirikan badan hukum yang baru.

Perhimpunan Alkhaira>t yang sejak awal berdasarkan ketentuan

organisasinya telah menunjukkan adanya peran harta wakaf, berada pada

posisi strategis untuk melakukan proses reorganisasi. Diketahui selama ini

wakaf belum optimal cara pengelolaannya akan sangat bergantung pada

bentuk organisasinya. Terbentuknya organisasi pengelola wakaf inilah yang

nantinya diserahi tugas dan tanggung jawab secara penuh mengelola dan

mengembangkan harta wakaf yang ada.

32

Lihat: PP. Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf; pasal 4-12). PP. Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pasal 6.

285

Peraturan organisasi Alkhaira>t memang tegas menjelaskan peran

Alkhaira>t dalam menerima, mengelola dan mengembangkan wakaf, tapi

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka organisasi

dan yayasan Alkhaira>t seharusnya didaftarkan untuk menjadi nazir

organisasi dan badan hukum. Terdaftarnya sebagai nazir akan

memungkinkan sistem pengelolaan wakaf yang tersebar di daerah-daerah

dapat terkontrol disebabkan karena pengelolaan terpusat pada badan

dimaksud. Atau Pengurus Besar dan yayasan membentuk badan atau

lembaga baru yang mempunyai akte khusus sebagai lembaga pengelola

wakaf. Berdirinya organisasi dan badan hukum pengelola wakaf inilah yang

kemudian sistem manajerialnya dapat diterapkan.

Merujuk pada lembaga pendidikan di luar Alkhaira>t misalnya:

Muhammadiyah, Badan Wakaf Gontor, Dhampet Dhuafa, Yayasan Hasyim

Asy’ari PP Tobuireng, dan sebagainya (Fanani, 2010: 40-48; Djunaidi, 2006:

69-73) yang terbukti sukses mengelola dan mengembangkan wakafnya

karena ada badan atau lembaga otonomnya yang dipercayakan khusus

mengelola wakaf, maka sepatutnya Alkhaira>t menjadikan kemajuan dan

kesuksesan lembaga dimaksud untuk proses pembelajaran menuju

kemandirian institusi pendidikan dengan sumber ekonominya sendiri.

Sumber ekonomi itu antara lain adalah pengelolaan wakaf ke arah produktif

dengan manajemen profesional.

c) Pengelola wakaf belum memenuhi standarisasi nazir

Sebenarnya dari makna yang dikandung oleh wakaf telah memberikan kesan

adanya profesionalitas, yakni: wakaf perbuatan yang mulia dan

286

membutuhkan keikhlasan, karena ada tujuan yang diharapkan ‚mendekatkan

diri kepada Allah swt‛ 33

; wakaf menuntut ketelitian dalam mengeluarkan

harta milik karena harta yang diwakafkan harus memberi manfaat dan

nilai34

; wakaf juga harus dapat dijamin kelanggengannya; wakaf juga

menekankan aspek sasaran yang jelas serta ada yang menahan dan

mengelolanya; bahkan wakaf mengharuskan pengadministrasian. Kandungan

makna seperti itu menunjukkan lembaga wakaf merupakan lembaga

keagamaan yang orientasinya adalah produktifitas dan berkualitas.

Orientasinya dimaksud dapat dicapai jika personil yang mengurusnya

mempunyai kualitas pula. Jadi nazirnya secara langsung dituntut harus

profesional. Posisi nazir menjadi sangat penting dan strategis sebagai bagian

tak terpisahkan bagi keberhasilan wakaf dan realisasi pengelolaan harta

wakaf (Rafiq, 2004: 326, Munawar, 2004: 152).

Strategisnya nazir, menuntut adanya kualifikasi atau syarat (Rafiq,

2004: 326). Kualifikasi dimaksud menjadi kesepakatan imam mazhab yang

meliputi: berakal, dewasa, amanah, dan memiliki kemampuan untuk

mengelola segala yang bertalian dengan urusan wakaf (al-Baqy, 2006: 72).

Syarat yang umum yaitu: adil dan mampu. Adil adalah mengerjakan yang

diperintahkan dan menjauhkan yang dilarang menurut syari’at; dan mampu

mentasharrufkan apa yang dijaga (Djunaidi, 2008:51)35

. Kemampuan sebagai

syarat dimaksudkan adalah: mampu menggerakkan motivasi bawahan,

memberi tugas kepada bawahan sesuai dengan kompetensi mereka dan

33

Lihat: QS. Al-Bayyinah (97) ayat (5). 34

Lihat: QS. Al-Baqarah (2) ayat (177). 35

Lihat: Ayatullah Muhammad Ibrahim (2000: 34) dalam Thariq Abdullah, Jurnal Awqaf.

287

sekaligus mampu menempatkan orang pada posisi yang benar, memberikan

reward bagi bawahan berprestasi dan berani menghukum atau memberikan

punishment terhadap bawahan yang melanggar aturan dan mampu memberi

contoh yang baik.36

Ulama telah sepakat nazir sebagai wakil37

dari orang

yang mewakafkan hartanya menjadi penguasaan yang dikelola sebagai

amanat karena telah dipercaya (al-Kabisi, 2004: 523).

Bila standar di atas dikaitkan dengan pengelolaan wakaf Alkhaira>t,

maka masih membutuhkan analisis lebih lanjut. Pengelolaan wakaf Alkhaira>t

oleh pengurus saat ini belum memenuhi standarisasi nazir yang dapat

melahirkan kerja professional. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan,

yaitu: 1) pegawai yang terbatas, artinya jumlah pegawai yang ditempatkan

mengurus wakaf yang tersebar di seluruh wilayah kerjanya hanya antara 1

(satu) sampai 3 (tiga) orang saja untuk setiap periode kepengurusan.38

2)

kemampuan, maksudnya sebagai nazir harus sanggup mengelola harta wakaf

sehingga harta wakaf tidak terlantar atau bahkan di ambil alih oleh ahli waris

dan lain-lainnya yang mengakibatkan harta wakaf tidak mendatangkan hasil.

Kemampuan memahami seluk beluk perwakafan dan mempunyai keahlian

manajerial. Wakaf Alkhaira>t nampaknya berdasarkan realitas lapangan

menunjukkan kurang mempunyai kemampuan terhadap pengelolanya. 3)

36

Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa ‚Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan)

kebajikan sedangkan kamu sendiri melupakannya…...‛ (QS. Al-Baqarah: 44). 37

Nazir sebagai wakil, mewakili dua kelompok; pemilik dan mustahik. Selama wakif masih

hidup, tindakan nazir harus sesuai dengan petunjuk wakif. Wakif berhak memberhentikan dengan sebab

atau tanpa sebab. Nazir sebagai wakil dari mustahik, karena bekerja untuk kepentingan mereka dengan

membagikan manfaat darinya. Pengangkatan nazir, untuk menjaga dan membagikan harta manfaat wakaf

itu kepada yang berhak. Nazir adalah wakil mereka dan mengatasnamakan kepentingan mereka (al-

Kabisi, 2004: 518-522). 38

Jumlah tersebut dianalisis dari beberapa periode kepengurusan yang ada hasil penetapan

muktamar; sumber analisis Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Alkhaira>t tahun 2009 dan buku Sayyid

Idrus bin Salim al-Jufri Pendiri Alkhaira>t dan Kontribusinya dalam Pembinaan Umat, oleh Huzaimah T.

Yanggo (Ketua Tim).

288

sistem, ini dimaksudkan bahwa pengelolaan wakaf seharusnya ditata dengan

baik dan tertib. Tata kelola yang baik dan tertib hanya akan tercapai bila ada

perangkat aturan atau pedoman yang secara formal digunakan oleh orang

yang mengelola. Nazir bekerja berdasarkan aturan yang jelas atau dengan

mekanisme yang memberikan jaminan atas lahirnya produktifitas kerja.

Wakaf Alkhaira>t yang penyebarannya meliputi wilayah kerjanya,

tidak didukung oleh jumlah pegawai yang mengelola. Abd. Rahman H.

Halim (wawancara, 2012) mengungkapkan bahwa sebenarnya seluruh wakaf

yang menjadi milik Alkhaira>t harusnya terdata di Sekretariat PB; namun hal

ini belum bisa terlaksana karena yang mengurus langsung hanya satu orang

saja, seluruh urusan yang berhubungan dengan wakaf dibebankan pada

seorang saja. Jumlah ini dapat dipastikan wakaf tidak terkelola dengan baik.

Selain itu, masalah kemampuan pegawai; setiap orang memiliki potensi dan

kemampuan tetapi wakaf yang mempunyai keunikan tersendiri dari bidang

ekonomi lainnya dalam Islam, menuntut adanya kemampuan yang handal.

Kemampuan dimaksud yaitu: a) kemampuan memahami tentang falsafah

wakaf; b) kemampuan memahami tentang institusi wakaf; c) kemampuan

memahami tentang administrasi; d) kemampuan memahami tentang

pembinaan dan pengawasan (Nasution, 2008: 39-43).

Standart ini mencerminkan bahwa nazir siap dibina dan diawasi dari

pihak mana pun (baik internal maupun eksternal). Pengawasan internal lahir

dari lembaga atau organisasi yang bersangkutan dengan membentuk badan

atau tim pengawasnya sendiri; sedangkan pengawasan eksternal datangnya

dari Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia; dan lembaga-lembaga

289

pengawasan keuangan dan ekonomi. Pengawasan pengelolaan wakaf

dilakukan dengan cara menuntut tingginya kualitas kepemimpinan serta

kinerja seluruh unsur dalam lembaga kenaziran. Oleh sebab itu, untuk

mengelola wakaf secara professional, maka seorang nazir harus memiliki

banyak kemampuan. Kemampuan dimaksud juga meliputi kemampuan

teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan konseptual (Heresy, 2004: 5).

Wakaf Alkhaira>t pada dasarnya belum terkelola dengan baik. Belum

terkelola dengan baik disebabkan oleh lembaga kenazirannya tidak

berbentuk organisasi atau badan hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Alasan yang demikian itu mengakibatkan kurang jelasnya sistem perekrutan

tenaga kerja atau sumber daya manusia sebagai pelaksana. Sistem seleksi

tenaga kerja tidak dilakukan, sehingga tidak ada standar yang dapat

diterapkan guna mengukur kemampuan tenaga kerja. Pengangkatan pegawai

dalam bidang perwakafan hanya mengandalkan kesiapan mental personal dan

secara struktural semata, bukan mendasarkan pada kemampuan pengetahuan

dan manajerialnya. Padahal nazir diharapkan mempunyai kemampuan

mengelola wakaf sesuai standar manajemen. Nazir dituntut memiliki

kemampuan yang secara menyeluruh terhadap pengelolaan wakaf.

Kemampuan dimaksud juga menggerakan keterlibatan karyawan, fokus

kepada pelanggan (wakif dan mustahik), penentuan acuan (metode,

perencanaan, dsb), dan perbaikan terus menerus (Daft, 2006: 77).

Jika perhimpunan Alkhaira>t menginginkan harta wakafnya dapat

memberi kontribusi yang lebih besar, bukan hanya lokasi dapat digunakan

membangun madrasah atau pondok pesantren; tetapi juga mendatangkan

290

hasil keuangan atau hasil produktifitas lainnya yang bernilai ekonomis

tinggi, maka lembaga kenazirannya diperbaiki. Melalui lembaga kenaziran

inilah yang akan mengangkat sumber daya manusia berdasarkan kualifikasi

keilmuan dan skillnya. Skiil dimaksud adalah kemampuan

mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai nazir sehingga dapat digunakan

untuk memecahkan problem yang sementara dihadapinya. Masalah wakaf

banyak meninggalkan problem, hal ini membutuhkan kecakapan khusus dari

pengelolanya. Harta wakaf tidak lagi diterima oleh nazir perseorangan tetapi

atas nama organisasi atau badan hukumnya. Standarisasi kemampuan nazir

akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan wakaf Alkhaira>t.

d) Tidak adanya dana operasionalisasi pengelolaan wakaf

Masalah dana biasanya menjadi sebab maju atau mundurnya sebuah

organisasi dan bahkan juga negara. Termasuk perhimpunan Alkhaira>t masih

sangat kekurangan pendanaan pada operasionalisasi seluruh jenis kegiatan

organisasi. Sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan masalah

pembiayaan menjadi kendala umum. Oleh karena itu, menurut Daulay (2004:

70) kendala umum yang sering terjadi di lembaga pendidikan perlu dicarikan

solusi dan salah satunya adalah otonomi pendidikan. Alkhaira>t secara

institusi sebenarnya termasuk salah satu lembaga pendidikan yang otonom;

tetapi nampaknya masalah pembiayaan masih dianggap menjadi kendala.

Kurangnya ketersediaan pembiayaan pendidikan kemungkinan adanya

kelemahan pengelolaan pendidikan itu sendiri. Sudarwan Danim (2006: 77-

78) menjelaskan bahwa kelemahan pengelolaan pendidikan Indonesia

291

mencakup: manajemen dan ketatalaksanaan sekolah; masalah pendanaan;

masalah kultur; dan masalah geografis. Khusus masalah pendanaan lembaga

pendidikan masih banyak mengharapkan bantuan Pemerintah sementara

sumbangan sukarela dari masyarakat masih dipandang sebagai penunjang.

Alkhaira>t sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan,

dakwah, dan sosial bila dikelola dengan pola manajemen; akan dapat

mendorong lahirnya sumber-sumber perekonomiannya. Di manapun lembaga

pendidikan itu bila maju dan berkembang baik telah memberi dampak positif

bagi perekonomian masyarakat. terbukanya unit-unit usaha di sekitar

lembaga pendidikan merupakan dampak pesatnya pendidikan tersebut. Unit-

unit usaha yang berdiri di sekitar lembaga pendidikan bila ini menjadi bagian

dari usaha lembaga pendidikan itu secara otomatis akan memberikan

penerimaan dana rutin. Kondisi ini akan mengurangi sikap mengharap dan

ketergantungan dengan pihak lain atau pemerintah. Di kompleks Alkhaira>t

yang saat ini telah terjadi perkembangan pesat; berbagai unit usaha telah

berdiri. Lingkungan seperti ini harusnya menjadi bagian dari penguasaan

lembaga. Akan tetapi, justru hal ini tidak dikendalikan oleh perhimpunan

Alkhaira>t.

Oleh sebab itu, peluang untuk mendapatkan anggaran dari lingkungan

yang telah terbentuk demikian itu tidak memberikan dampak perekonomian

terhadap lembaga. Akibatnya kekurangan anggaran dalam pengelolaan

pendidikannya menjadi sesuatu yang sulit diselesaikan. Implikasinya bukan

hanya pada aspek pendidikan dan dakwahnya tetapi juga pada pengelolaan

wakaf pun dijadikan alasan keterbatasan anggaran operasional. Tidak adanya

292

dana yang dikhususkan bagi pengelolaan wakaf menjadi hambatan

pelaksanaan tugas di bidang wakaf. Misalnya ada program inventarisasi aset

wakaf, namun tidak dapat terlaksana dengan baik disebabkan oleh tidak

didukung anggaran operasional. Hal ini bisa saja dapat tercapai jika sistem

informasi seperti diungkapkan di atas telah berjalan dengan baik pula.

Kondisi ini diakui oleh Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Tompoh

(wawancara, 2012), bahwa memang ada beberapa program yang telah

dicanangkan oleh bidang pembangunan/wakaf seperti: inventarisasi, tabulasi,

sertifikasi; ini semua tidak dapat terlaksana. Di sisi lain, pihak Pengurus

Besar tetap mengharapkan bahwa dengan pengelolaan wakaf yang masih

sangat banyak masalah dapat memberi kontribusi bagi pemenuhan sebagian

kecil kebutuhan perhimpunan.

Kurangnya anggaran yang dimiliki oleh Pengurus Besar Alkhaira>t

terhadap pengelolaan wakaf, menyebabkan wakaf yang begitu banyak

penyebarannya dan bahkan ada beberapa tempat dan lokasi yang memiliki

potensi ekonomi tinggi tidak dapat tercapai. Manajemen wakaf tidak

terealisasi sesuai pesan dan makna yang dikandung oleh wakaf itu.

Dukungan anggaran bagi pemeliharaan dan pengembangan wakaf untuk

melanggengkan harta wakaf tidak terlepas adanya biaya dimaksud; untuk

menjamin kelanggengan harta wakaf agar terus menerus memberikan

pelayanan prima sesuai dengan tujuannya diperlukan dana pemeliharaan.

Bagaimana bisa tanah wakaf melahirkan produktifitas jika tidak ada

pengairan, pupuk, bibit, dan sebagainya; semua ini membutuhkan anggaran.

Mengusahakan dan mengeluarkan biaya untuk kepentingan seperti disebut di

293

atas, adalah bagian dari investasi atau penanaman modal terhadap harta

wakaf (Djunaidi, 2006: 112-113).

Alkhaira>t yang telah menjadikan kekurangan anggaran

operasionalisasi pengelolaan wakaf menjadi hambatan tidak terlaksananya

program, perlu mengoreksi kembali terhadap pemanfaatan sumber-sumber

daya yang ada di lingkungan perhimpunan. Atau memanfaatkan wakaf-

wakaf yang telah terisi di dalamnya berbagai jenis tumbuhan produktif

supaya dikelola sampai mendatangkan hasil kemudian disisihkan sebagian

untuk digunakan proses pengembangan harta wakaf yang ada. alasan

kurangnya anggaran operasional bagi pengelolaan wakaf merupakan

pandangan atau sikap yang bertentangan dengan esensi wakaf itu. Padahal

wakaf telah diakui sebagai salah satu sumber perekonomian umat dan

bahkan negara. Apabila ada aset wakaf yang tidak mempunyai pengelola,

maka negara dapat menjadi pengelolanya dan hasilnya diterima langsung

oleh negara, sehingga wakaf pun dipandang sebagai bagian dari sumber

pendapatan negara (Boedi Abdullah, 2010: 236).

e) Sistem kepemimpinan yang bersifat sentralistik

Kepemimpinan dalam ilmu menajemen dianggap sangat strategis.

Kepemimpinan merupakan variable pokok untuk memajukan sebuah

manajemen, dan memotivasi pegawai untuk melakukan pekerjaannya; jika

tidak ada kepemimpinan manajemen tidak akan berjalan efektif walaupun

ada faktor lain sebagai pendukung. Fungsi kepemimpinan jika dilihat dalam

manajemen Islam memiliki kekuatan keimanan serta tujuan yang jelas. Hal

inilah yang mendorong dan memotivasi setiap pegawai untuk menjalankan

294

tanggungjawabnya dengan harapan mendapatkan ridha Allah swt (Rozalinda,

2010: 41).39

Kepemimpinan dalam manajemen mengarahkan pada berfungsinya

tugas dan peran seorang manajer untuk mendorong kinerja pegawai

mencapai tujuan organisasi. Selain itu, kepemimpinan merupakan lambang

dan identitas organisasi/lembaga. Karena itulah peran dan kedudukan

pemimpin dalam sebuah organisasi sangat menentukan keberhasilan dan

kualitas organisasi. Di Alkhaira>t kepemimpinan adalah hal yang sangat

dihormati dan dijunjung tinggi. Kepemimpinan tertinggi Alkhaira>t dipegang

oleh ahli waris atau keturunan dari pendirinya yang diamanatkan memimpin

perhimpunan melalui penunjukan/bai’at pimpinan sebelumnya. Pemimpin

tertinggi diberikan hak prerogatif (AD, pasal 7; ART, pasal 8).

Kaitannya dengan sistem pengelolaan wakaf Alkhaira>t terhadap

peran kepemimpinan tersebut adalah masih kuatnya pemahaman dan

pemikiran bahwa keabsahan dan keberkatan wakaf itu hanya bisa terjadi jika

yang menerima wakaf adalah pimpinan tertinggi Alkhaira>t. Ini menjadi

kendala yang masih terus diupayakan untuk disosialisasikan agar

pemahaman ini tidak secara terus-menerus berkembang. Seseorang yang

sempat bertemu dengan pimpinan tertinggi merasakan sesuatu yang

istimewa. Sikap seperti ini dapat diterima dan sekaligus menunjukkan

kepercayaan abna’ Alkhaira>t kepada pimpinannya. Memang semua kalangan

di lingkungan Alkhaira>t masih mengakui akan peran pimpin tertinggi

39

Peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi sangat penting, karena perannya yang meliputi:

peran interpersonal, informasional, dan human skill (keterampilan insani). Khusus peran interpersonal

menampakkan diri seorang pimpinan pada tiga bentuk, yaitu: selaku simbol keberadaan organisasi; selaku

pemimpin yang bertanggungjawab segala urusan organisasi; dan selaku penghubung dengan pihak di luar

organisasi (Herdiana, 2013: 99).

295

Alkhaira>t (karena dianggap memiliki kharismatik); tetapi berhubung wakaf

merupakan harta umat, sistem manajemen pengelolaan pun harus dapat

dibuktikan kembali kepada umat (Saiful Tompoh, wawancara, 2012).

Pernyataan ini memberikan harapan bahwa harta wakaf Alkhaira>t dalam

proses pengelolaannya tidak tergantung pada pengaruh kepemimpinan,

melainkan diarahkan pada upaya menerapkan manajemen; sehingga sistem

pertanggungjawabannya dan sebagainya selalu mendasarkan akuntabilitas

dan transparansi.

Oleh karena itu, mengalihkan kepercayaan abna’ Alkhaira>t dan

masyarakat terhadap pengaruh kepemimpinan menjadi bertumpu pada

organisasinya adalah bagian yang seharusnya dibudayakan. Strategi yang

dibuat dengan membentuk lembaga pengelola wakaf yang otonom, kemudian

melalui lembaga inilah yang berperan aktif menepis dan meluruskan

pemahaman warga dan masyarakat untuk berwakaf. Abna’ Alkhaira>t dan

masyarakat umumnya harus dibiasakan untuk mendermakan hartanya kepada

lembaga pendidikan dan lainnya; bukan karena ketokohan yang ada dalam

organisasi/lembaga itu, melainkan pada kepercayaannya terhadap sistem

yang ditunjukan oleh organisasi/lembaga tersebut. Walaupun demikian,

peran sentral kepemimpinan yang ada tidak mungkin dihilangkan dalam

struktur keorganisasian; sebab hal itu bagian dari ciri lembaga pendidikan

yang berbasis keagamaan.

Hambatan-hambatan bagi pengelolaan wakaf Alkhaira>t, sebenarnya

sudah termasuk bagian dari hambatan umum yang dirasakan dalam

pengembangan wakaf di Indonesia, yakni:

296

a. Masih kuatnya paham mayoritas umat Islam yang stagnan terhadap

persoalan wakaf.

Pengembangan wakaf ke arah yang lebih signifikan dalam mendorong

kesejahteraan masyarakat menemukan banyak kendala dan yang menonjol

adalah pengelolaan wakaf yang profesional. Pengelola dana wakaf

memainkan peran yang sangat signifikan, sehingga pengelola harus bersikap

profesional. Integritas amanah dan kepercayaan bagi pengelola menjadi

perhatian serius mengingat rendahnya kepercayaan terhadap birokrasi yang

ada. Tantangan lain, pemahaman masyarakat terhadap wakaf masih sangat

tradisional dimana wakaf hanya dipahami harta benda tidak bergerak dan

ruang lingkupnya pun masih sangat terbatas pada kuburan, masjid, mushallah

dan madrasah (Nawawi, 2012: 252-253).

b. Sumber daya manusia pengelola wakaf belum profesional

Merujuk pada tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta

wakaf, maka nazir profesional sangat dibutuhkan bahkan menempati posisi

sentral. Di pundak merekalah tanggungjawab dan kewajiban memelihara,

menjaga dan mengem-bangkan serta menyalurkan hasil atau manfaat dari

wakaf kepada sasaran wakaf. ini dapat terealisasi apabila sumber daya

manusia pengelola wakaf mempunyai keahlian sebagaimana syarat-syarat

yang melekat pada seorang nazir.

Pihak Kementerian Agama RI mengakui bahwa kemampuan nazir

mengelola wakaf sangat lemah sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara

maksimal, bahkan sering membebani dan tidak memberi manfaat sama sekali

kepada sasaran wakaf. Kualifikasi nazir masih tergolong tradisional yang

297

kebanyakan mereka diangkat lebih karena faktor kepercayaan dari

masyarakat, sedangkan kemampuan manajerial dalam mengelola wakaf

masih lemah (Djunaidi, 2006: 48; Lubis, 2010: 176-178). Bahkan sulit

mendapatkan profesional pengelola wakaf kalau selama wakaf masih

dijadikan kerja sampingan oleh nazirnya. Nazirnya lebih mengutamakan

tugas pokoknya di luar dibandingkan mengurus wakaf (Najib, 2006: 97).

c. Pola manajemen pengelolaan wakaf yang masih tradisional-konsumtif.

Pola manajemen wakaf yang berkembang dihampir seluruh lembaga

pengelola wakaf di Indonesia diakui oleh pihak Kemenag RI masih tergolong

tradisional-konsumtif, hal ini dapat diketahui pada beberapa aspek, yaitu: 1)

corak kepemimpinan dalam lembaga ke-naziran masih bersifat sentralistik-

otoriter dan tidak ada sistem kontrol yang memadai; 2) rekuitmen SDM ke-

naziran hanya didasarkan pada aspek ketokohan bukan karena aspek

kemampuan mengelola wakaf sehingga banyak harta wakaf yang terkendala

dalam pengelolaannya; 3) tidak memiliki standar operasional pemberdayaan;

4) realisasi hasil wakaf masih banyak bersifat konsumtif-statis sehingga

kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat; 5) lemahnya sistem kontrol

dan pengawasan akibat dari tipe kepempinan yang sentralistik (Djunaidi,

2008: 105-106).

Wakaf Alkhaira>t sesuai data yang ada lebih banyak digunakan

pembangunan madrasah atau pondok pesantrennya. Hasil wawancara yang

ditemukan di lapangan memberikan informasi kalau wakaf yang dikelola

oleh pengurus atau nazir lebih banyak langsung di belanjakan pada

kebutuhan-kebutuhan konsumtif di madrasah tersebut. Sementara harta

298

wakaf yang memiliki luas dan potensi ekonomi tinggi belum diarahkan ke

program-program yang lebih bersifat produktif, sehingga hasilnya bertambah

banyak dan peluang pengembangan atas harta wakaf semakin terbuka luas.

Singkatnya harta wakaf hanya habis untuk digunakan menutupi kebutuhan

keseharian lembaga pendidikan.

d. Lemahnya kerjasama dan kemitraan.

Wakaf sebagai sumber ekonomi dari aspek manajemen membutuhkan sistem

investasi. Akan sangat merugi bila terdapat harta wakaf yang mempunyai

nilai ekonomis baik tetapi tidak menghasilkan. Oleh sebab itu, pengelolaan

wakaf membutuhkan adanya kemitraan dan kerja sama dengan stakeholders.

Sikap ini boleh dilakukan antar internal lembaga maupun dengan lembaga

eksternal (Lubis, 2010: 177).

Model ini belum banyak dipraktekan oleh lembaga-lembaga

pengelola wakaf. Alkhaira>t termasuk institusi yang punya wakaf tapi belum

membangun kemitraan dengan lembaga lain. Dilihat dari aspek hubungan

antara lembaga, Alkhaira>t memiliki peluang membangun kerjasama dengan

beberapa lembaga di Timur Tengah sebagaimana telah terbangun jaringan

dalam bidang pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa Alkhaira>t sangat

lemah dalam membangun kemitraan, padahal dengan sistem ini secara tidak

langsung telah membuka peluang investasi yang saling menguntungkan

antara kedua pihak.

2. Solusi Manajerial

Wakaf Alkhaira>>t dalam perjalanan sejarahnya terbentuk sejak perguruan ini

didirikan di tahun 1930, berarti usia perguruan ini telah mencapai 80 tahun lebih

299

atau beberapa tahun lagi akan genap berusia 1 abad. Usia tersebut jika

dimisalkan sebuah pohon, maka pohon dimaksud telah tumbuh dan berkembang

dengan kebesarannya serta memberi manfaat yang besar pula. Sisi

manajemennya pun dianggap telah memasuki masa dan waktu yang matang;

tetapi dalam tertib administrasinya sampai saat ini belum seperti yang telah

dilakukan oleh lembaga pendidikan lainnya. Tentu hal ini disebabkan oleh

adanya kendala dan masalah yang dapat saja terjadi dalam perhimpunan itu, atau

dalam pengelolaan wakafnya seperti telah dijelaskan di atas. Sebagai upaya

mencapai tujuan dalam pengelolaan wakaf dan jawaban atas kendala serta

masalah yang menjadi penyebab belum optimalnya wakaf Alkhaira>t, maka perlu

dirumuskan solusi menyelesaikannya sebagai berikut:

Mengikuti pola pikir dan gagasan yang disampaikan Munzir Qahaf

seperti dikutip Muhyar Fanani (2010: 211) manajemen yang dipergunakan untuk

mengelola wakaf adalah manajemen perusahaan yang tetap berbasis pada

kepentingan mauquf alaih (tujuan wakaf) dan komunitas setempat40

. Manajemen

seperti itu dapat diciptakan melalui skema: a) membentuk dewan pengawas yang

terdiri dari ahli waris, nazir, masyarakat setempat, LSM; b) menciptakan kriteria

dan efisiensi manajerial yang dapat diterapkan untuk semua jenis asset wakaf

dan tujuannya; c) melelang secara periodik pengelolaan wakaf berdasarkan

kompetisi; dan d) menciptakan lembaga pemerintah yang mendukung dan

memberikan bantuan teknis, fasilitas pembiayaan, regulasi yang dibutuhkan.

40

Uraian manajemen wakaf yang ideal juga menurut Sherafat Ali Hashmi yang dikutip oleh

Tuty A. Najib (2006: 139) menyerupai manajemen perusahaan yang berarti peranan kuncinya adalah pada

eksistensi nazir bersama tim kerja yang solid.

300

Lebih lanjut Muhyar Fanani (2010: 212) mengemukakan pendapat

Syafi’i Antonio bahwa ada tiga karakter pengelolaan wakaf professional, yaitu:

1) pola manajemen harus dalam bingkai proyek yang terintegrasi. Dana wakaf

akan dialokasikan untuk program pemberdayaan dengan segala macam biaya

yang terangkum di dalamnya. Termasuk kegiatan menggaji karyawan dan

keperluan lainnya yang masih bersentuhan dengan proyek dimaksud tanpa ada

kekhawatiran terhadap keharaman karena pengelola memberi upah dari dana

wakaf; 2) asas kesejahteraan nazir, agar mereka dapat bekerja maksimal

kesejahteraannya perlu diperhatikan. Setiap tenaga professional harusnya diupah

atau mendapat imbalan sesuai dengan hasil kerjanya; 3) asas transparansi dan

akuntabilitas, ini menjadi sangat penting dalam manajemen. Mencari wakif

tidak sulit jika lembaga pengelola wakafnya terpercaya, kepercayaan itu lahir

disebabkan adanya bukti yang ditunjukkan oleh pengelola dan dinikmati oleh

masyarakat. Asas ini sebagai sarana pengawasan bagi pengelola wakaf agar

tidak di salah gunakan amanah.41

Mencermati pola pengelolaan wakaf Alkhaira>t yang belum

memperhatikan aspek manajerial dan bahkan masih jauh dari profesionalitas,

maka hal-hal yang dijelaskan tersebut menjadi upaya melakukan pengembangan

harta wakaf. Secara sederhana sistem manajemen pengelolaan wakaf yang

mungkin dapat diterapkan di Alkhaira>t adalah mengikuti pola yang telah

dirancang oleh Kementerian Agama RI, yaitu:

a) Aspek kelembagaan

41

Pengawas pengelola harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat

mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf dengan

selalu memperhatikan hal-hal yang ditentukan oleh si wakif (Nawawi, 2012: 253).

301

Jika selama ini wakaf Alkhaira>t hanya dikelola oleh satu orang saja dan

bukan pada organisasi atau badan hukumnya; maka kondisi ini perlu dirubah

dengan menjadikannya sebagai lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari

organisasi Pengurus Besar. Terbentuknya lembaga yang diberi kepercayaan

khusus mengelola wakaf, akan memudahkan diterapkannya sistem

manajemen. Bila struktur organisasi terbentuk akan memberi peluang

seluruh potensi kelembagaan dapat berjalan dengan baik dan mekanisme

pengawasan pun dapat terkontrol. Adapun format kelembagaan wakaf

tergantung pada masing-masing institusi, tetapi yang terpenting

kepengurusan organisasi/lembaga dapat berjalan dan berfungsi. Jika

mengikuti pola beberapa lembaga lainnya, misalnya: 1) Yayasan Hasyim

Asy’ri yang diberi wewenang mengelola wakaf adalah badan wakaf. Badan

inilah yang mengelola secara penuh harta wakafnya. 2) Badan Wakaf

Gontor, untuk mengelola aset wakafnya dibentuklah badan hukum yang

diberi nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern

(Fanani, 2009: 40-41). 3) Muhammadiyah yang secara mandiri memberikan

pengelolaan wakafnya kepada Majelis Wakaf dan Kehartabendaan.

Aspek ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi perhimpunan

Alkhaira>t. Struktur organisasi telah dimiliki bahkan sampai pada tingkat

ranting, tetapi organisasi atau lembaga kenazirannya belum terbentuk.

Pembentukan lembaga kenaziran akan membuka peluang mekanisme kerja

lembaga yang lebih terstruktur dan terorganisir dengan baik. Memang

peraturan organisasinya telah menetapkan bahwa semua pengurus sesuai

tingkatannya dapat saja menjadi nazir; tetapi legalitasnya sebagaimana

302

dijelaskan sebelumnya yang harus memenuhi syarat-syarat seperti tertuang

dalam peraturan perundang-undangan wakaf, maka status pengurus

dimaksud dilaporkan kepada Badan Wakaf Indonesia melalui Kantor Urusan

Agama setempat (PP. No. 42/2006, pasal: 4).

b) Aspek pengelolaan operasional

Mengelola wakaf memerlukan standar operasional yaitu batasan atau garis

kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih

bermanfaat bagi kepentingan publik. Standar operasional merupakan

rangkaian program kerja yang dapat menghasilkan sebuah produk.

Operasionalisasi wakaf harus mendasarkan pada lima fungsi utama, yakni:

proses, kapasitas, sediaan, tenaga kerja, dan mutu.

Proses mengarahkan pada upaya mengadakan fasilitas yang akan

digunakan dalam memproduksi barang dan jasa. Alkhaira>t dari aspek ini

telah memiliki harta wakaf yang dengannya dapat digunakan untuk

memproduksi hasil. Olehnya itu, yang akan dilakukan oleh Alkhaira>t

bagaimana caranya memanfaatkan harta wakaf yang sudah ada dalam sebuah

sistem yang terencana dengan target melahirkan hasil. Kalau selama ini

wakaf hanya dibiarkan berkembang sendiri atau hanya diserahkan

sepenuhnya kepada perorangan dan dianggap kurang memberi hasil yang

banyak, maka perlu adanya upaya reorientasi pengelolaan.

Memang selama ini wakaf belum mendapat perhatian secara serius,

karena banyak harta wakaf yang diberikan ke Alkhaira>t bukan yang

mempunyai potensi pengembangan yang besar melainkan hanya untuk

kepentingan pembangunan madrasah, sehingga belum dikelola sesuai

303

ketentuan yang berlaku. Jika memang ada aset wakaf yang mempunyai

potensi ekonomi tinggi, itulah yang harus diupayakan dikelola supaya dapat

menghasilkan. Keterbatasan pemahaman dan sumber daya yang memahami

wakaf masih terbatas di lingkungan Alkhaira>t menjadi kendala, sehingga

nampaknya wakaf jadi terbengkalai (Salim, wawancara, 2012).

Kapasitas, ini menyangkut seberapa besar fasilitas yang telah tersedia

itu menghasilkan manfaat sesuai dengan rencana program. Wakaf yang

dikelola harus diupayakan mampu menghasilkan sesuai dengan target yang

direncanakan organisasi. Alkhaira>t yang mempunyai harta wakaf dimana ada

madrasahnya itu, sudah perlu memperhatikan kemampuan dan

kesanggupannya untuk: menertibkan, mengembangkan, memanfaatkan, harta

wakafnya bagi kepentingan dan kemaslahatan wakif serta umat. Mengelola

wakafnya harus memperhatikan keseimbangan antara jumlah harta yang

dikelola dengan sumber daya yang mengelolanya.

Sediaan, berkaitan dengan berapa banyak atau apa saja yang akan

dibutuhkan pada masa depan. Wakaf harusnya selalu melahirkan sesuatu

yang baru untuk dikembangkan pada masa berikutnya. Wakaf memang

menuntut adanya produktifitas; karena itulah perlu adanya terobosan yang

dibuat oleh pengelola untuk mempersiapkan sesuatu yang menjadi kebutuhan

dalam memproduktifkan harta wakaf.

Tenaga kerja, sebuah organisasi akan dapat berjalan lancar jika

mempunyai tenaga kerja. Lembaga wakaf pun tidak optimal menghasilkan

produk apabila sumber daya manusianya tidak mencukupi. Sumber daya

manusia sebagai penggerak utama jalannya organisasi harus mendapat

304

pertimbangan bagi lembaga pengelola wakaf. Alkhaira>t yang mempunyai

harta wakaf membutuhkan tenaga kerja yang jelas. Walaupun diakui

pengelolaannya bukan pada organisasinya tetapi di nazir perorangan

menuntut adanya tenaga kerja, sebab organisasinya (Pengurus Besar) sebagai

administrator terhadap seluruh aset harta wakafnya. Jumlah tenaga kerja di

bidang wakaf dengan jumlah harta yang ada tidak berimbang, sehingga

mengakibatkan tidak maksimalnya hasil pendataan aset. Siapapun yang akan

meminta informasi tetang aset wakaf Alkhaira>t tidak akan mendapatkan

sesuai dengan yang dikehendakinya. Keadaan kurangnya tenaga kerja telah

diakui oleh pegawai yang ditugaskan mengurus harta wakaf Alkhaira>t yaitu

Abdurrahman H. Halim (wawancara, 2012).

Mutu, ini dimaksudkan bahwa proses pengelolaan wakaf diharapkan

mampu menghasilkan sesuatu yang bermutu. Mutu akan menjadi ukuran

akhir kinerja kelembagaan. Hasil yang diperoleh memiliki kualitas, maka

lembaga tersebut semakin dipercaya dan selanjutnya semakin banyak wakif

yang mendermakan harta kekayaan mereka disebabkan oleh adanya output

yang berkualitas.42

Di atas telah jelaskan peran tenaga kerja, memang

diharapkan yang dapat melahirkan produktifitas tinggi dan bermutu. Setiap

organisasi selalu berupaya untuk melahirkan kualitas produk. Sebab itu yang

akan dinilai oleh pelanggan atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap

42

Memperhatikan pencapaian mutu merupakan bagian dari proses pengelolaan wakaf

menunjukkan akan pentingnya majamen mutu atau biasa dikenal dengan ‚Total Quality Manajemen

(TQM)‛.Total Quality Management memiliki arti ‚sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai

strategi usaha dan berorientasi pada kepuasaan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi

(Tjiptono, 2003: 4); pengelolaan kualitas semua komponen (stakeholder) yang berkepentingan dengan

visi, misi organisasi (Ismanto, 2009: 69). Prinsip teori ini adalah kepuasan pelanggan, respek terhadap

setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan, obsesi terhadap kualitas,

komitmen jangka panjang, kerja sama tim (team work), kesatuan tujuan, dan adanya keterlibatan dan

pemberdayaan karyawan (Tjiptono, 2003: 14-18)

305

organisai itu. Oleh sebab itu, dalam Islam usaha/amal seseorang tidak hanya

dilihat dari aspek kuantitasnya, tetapi lebih penting adalah mutu dari amalan

tersebut (Alma & Priansa, 2014: 329).

Berwakaf (misalnya) bukan hanya dilihat dari aspek banyaknya harta

yang diwakafkan itu, tetapi yang terpenting adalah apakah ada mutu atau

kualitas dari harta yang diwakafkan. Wakif seyogyanya tidak hanya tahu

mengeluarkan hartanya untuk di wakafkan tetapi harusnya mengetahui

bahwa harta yang disedekahkan itu merupakan harta yang mempunyai

kualitas, sehingga pengelola yang nantinya menerima harta itu dapat

mengembangkannya dengan baik dan mendatangkan hasil yang banyak.

Kondisi yang dialami di perhimpunan Alkhaira>t ternyata masih ditemukan

harta-harta wakaf yang sangat kecil potensi ekonominya bahkan ada yang

sulit untuk diproduktifkan.

Jika pengelolaan wakaf diibaratkan sebagai perusahaan, maka kunci

keberhasilannya perusahaan menurut Horngren (2008: 7-8) adalah: 1) biaya

dan efisiensi (cost and efficiency), dimaksudkan perusahaan harus selalu

memperhatikan kebutuhan biaya akibat adanya persaingan yang terjadi serta

biaya segala macam aktivitas di dalamnya; 2) kualitas (quality),

dimaksudkan setiap perusahaan mempunyai pelanggan yang harus menjadi

perhatian dalam pemberian pelayanan, secara filosofi menuntut perusahaan

untuk selalu meningkatkan operasi demi menghasilkan produk dan jasa yang

melebihi dari harapan pelanggan43

; 3) waktu (time)44

, dimaksudkan

43

Jika yang dimaksudkan kualitas oleh Horngren itu adalah mutu terhadap sesuatu yang

dihasilkan atau barang yang diolah, maka hal ini akan sangat dipengaruhi penggunaan TQM, seperti

dijelaskan di atas. Hal ini menekankan atas pentingnya manajemen kualitas itu.

306

kecepatan perusahaan menjawab segala yang menjadi tuntutan pelanggan

dan kebutuhan perusahaan; dan 4) inovasi dimaksudkan perusahaan harus

selalu melakukan inovasi atas produk dan sistem pelayanan yang menunjang

kemajuan perusahaan.

c) Aspek kehumasan

Aspek ini menekankan pada lembaga pengelola wakaf untuk melakukan

langkah memperkuat image bahwa harta benda wakaf yang telah

diamanatkan kepada lembaga dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya

dan hasilnya dimanfaatkan bagi kepentingan umat; memberi keyakinan

kepada para wakif jika wakafnya memang akan dikelola secara professional

dan termasuk mampu menarik orang lain untuk berwakaf; mendakwahkan

terhadap peran dan potensi ganda yang dimiliki oleh wakaf yaitu

mendapatkan pahala yang tak henti-hentinya (amal ja>riyah) dan telah

memberikan dukungan sosial kemanusiaan terutama bagi masyarakat kurang

mampu. Langkah dan upaya ini perlu dilakukan oleh perhimpunan Alkhaira>t

karena memang selama ini belum diterapkan dalam praktek pengelolaan

wakaf.

Faktor pendukung akan langkah tersebut di atas, diharapkan kepada

pengelola wakaf untuk selalu tampil dengan meyakinkan, membuat

pelayanan yang menyenangkan, melakukan komunikasi yang ramah dan

santun, mengupayakan adanya kepuasan orang yang berkepentingan

terhadap lembaga. Upaya semua ini dalam lingkup perhimpunan Alkhaira>t

44

Masalah waktu dalam kajian Islam banyak bersentuhan dengan motivasi lahirnya kerja keras

dan beramal shaleh (baik) (QS. Al-Ashr). Sebab mereka yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik

saja yang dapat berhasil. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan umatnya untuk mengisi hidupnya dengan

bekerja dan tidak membiarkan waktunya terbuang begitu saja (Alma & Priansa, 2014: 329).

307

tidaklah sulit disebabkan adanya ajaran dan metode dakwah yang

dikembangkan di dalamnya. Metode dakwahnya adalah memperhatikan

selalu sasaran dakwah dengan sistem tabsyi>r al-ummah dengan bil hikmah

wa al-mauizah al-hasanah (Sulaiman, 2008: 116; Kadir, 2012: 2).

d) Aspek sistem keuangan

Keuangan merupakan sesuatu yang dianggap paling pekah dan sensitif dalam

langkah gerak manusia. Keuangan telah memberi pengaruh besar dalam

perjalanan sebuah negara, komunitas, dan lembaga. Oleh sebab itu, proses

pengelolaan keuangan membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian.

Melahirkan sikap kehati-hatian dan ketelitian diperlukan adanya sistem

pertanggungjawaban. Namun, mengatur keuangan yang begitu sensitif

biasanya hanya dengan menggunakan teori ‚akuntansi45

dan auditing.‛

Sistem akuntansi mencatat kejadian serta transaksi ekonomi,

misalnya penjualan dan pembelian bahan, memproses data dalam transaksi

tersebut menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak (Horngren,

2008: 2). Akuntansi mengarahkan pada pertanggung jawaban yang dibentuk

dalam format laporan. Laporan itu diorientasikan pada neraca penerimaan

dan pengeluaran. Selanjutnya akan diketahui apakah perusahaan, organisasi,

lembaga pengelola harta kekayaan mempunyai keuntungan atau kerugian.

Aplikasi akuntansi ini dapat dilakukan pada: organisasi yang bermotifkan

45

Akuntansi dalam pandangan Horngren (2008: 2) dibagi menjadi tiga, yaitu: akuntansi

manajemen, akuntansi keuangan dan akuntansi biaya. Akuntansi manajemen mengukur, menganlisis dan

melaporkan informasi keuangan dan non keuangan yang membantu manajer membuat keputusan guna

mencapai tujuan organisasi. Akuntansi keuangan berfokus pada pelaporan kepada pihak eksternal; yang

mengukur dan mencatat transaksi-transaksi bisnis serta menyajikan laporan keuangan yang disusun

berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima umum. Akuntansi biaya mengukur, menganalisis dan

melaporkan informasi keuangan yang terkait dengan biaya perolehan atau penggunaan sumber daya

dalam organisasi.

308

profit oriented dan organisasi yang bersifat nirlaba (non profit). Profit

oriented banyak dikembangkan di perusahaan komersial, sedangkan non

profit banyak digunakan oleh lembaga pemerintahan, pendidikan, organisasi

masyarakat, termasuk lembaga pengelola wakaf.

Isi laporan dalam kegiatan akuntansi di perusahaan atau organisasi

biasanya terdiri atas empat jenis laporan; yaitu: neraca yang memberi

informasi mengenai aktiva, utang dan modal yang dikelola organisasi dalam

waktu tertentu, dengan neraca ini organisasi atau perusahaan akan

mengetahui kekayaan perusahaan, kemampuan membayar kewajiban dan

kemampuan memperoleh tambahan pinjaman pihak luar; laba rugi ikhtisar

mengenai pendapatan dan beban organisasi atau perusahaan yang dengannya

diketahui laba dan rugi; perubahan modal untuk menunjukkan adanya

perubahan modal yang dikelola perusahaan atau organisasi; dan arus kas

yakni dapat mengevaluasi aktiva bersih organisasi atau perusahaan, struktur

keuangan dan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan di masa

mendatang (Wikipedia.org, diakses tanggal 26 Januari 2013)46

.

Proses akuntansi merupakan sistem yang digunakan untuk

menganalisis dan merekam transaksi keuangan dalam perusahaan atau

organisasi melalui klasifikasi atau menyimpulkan informasi menyangkut

keuangan dan membuat interpretasi atas hasil yang diperoleh. Hal ini

dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu: membuat analisis, membuat

rekaman atau catatan, membuat klasifikasi, menarik kesimpulan, membuat

dalam laporan, dan menerjemahkan ke dalam pekerjaan (Carlson, 1982: 3-4).

46

Mengenai laporan rugi-laba dan perubahan modal suatu perusahaan dapat dilihat lebih lanjut

dalam Hadori Yunus dan Harnanto (1987: 24-27), dan demikian juga dalam buku-buku akuntansi lainnya.

309

Oleh karena itu, dengan sistem akuntansi, minimal sebuah organisasi

atau perusahaan akan mengetahui kekuatan modal, untung atau rugi,

kemampuan mengembangkan perusahaan di masa mendatang berdasarkan

kekuatan kas yang dimiliki perusahaan. Khusus bagi lembaga dan organisasi

pengelola wakaf perlu dikembangkan sistem ini untuk meningkatkan

kepercayaan wakif kepada nazir; dayaguna harta wakaf bagi kesejahteraan

umat; dan meningkatkan jumlah harta wakaf dari hasil yang diperoleh pada

masa yang akan datang. Tentu Alkhaira>t termasuk yang perlu untuk

melakukannya sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan akan sulitnya

menghidupkan kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosialnya yang menjadi

basis lembaga tersebut. Mengetahui perputaran keuangan akan memudahkan

organisasi bebas melakukan sesuatu yang positif bagi kemajuan organisasi.

Auditing adalah pihak pelaksana/pengelola yang diberi harta

membuat laporan secara terbuka sesuai dengan tugas dan amanah yang

diberikan kepadanya, kemudian pihak yang memberi amanah mendengarkan

atau pun memeriksa. Hal ini merupakan sistem pertanggung jawaban yang

bertujuan untuk mengetahui hasil yang dicapai, kemajuan, dan apakah tidak

ada penyelewengan atas pelaksanaan amanah. Proses auditing dilakukan oleh

pihak yang memiliki kompetensi untuk itu sesuai dengan kriteria yang telah

ditentukan. Sistem audit bisa dari dalam perusahaan atau dari luar; intinya

mengevaluasi manajemen keuangan yang tertuju pada: efisiensi dan

efektifitas operasional (Wallace, 1986: 3). Singkatnya sistem audit

merupakan sistem yang digunakan untuk mengetahui segala sesuatu yang

dikelola oleh organisasi menyangkut masalah penerimaan dan pengeluaran

310

biaya; sehingga diketahui apakah tidak ada penyelewengan atau memang

sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi organisasi tersebut. Hal ini

dianggap sangat rasional diterapkan dalam pengelolaan wakaf sebagai dana

umat dan tujuannya pula untuk kepentingan umat.

Kedua sistem aplikasi evaluasi keuangan belum ditemukan di

perhimpunan Alkhaira>t; mungkin pada unit-unit tertentu telah melakukan

sistem transparansi keuangan, tetapi pada tingkat Pengurus Besar nampak

belum adanya hal itu. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar baru

menceritakan biaya-biaya yang digunakan untuk beberapa jenis kegiatan;

tetapi laporan menyangkut berapa besar dan banyaknya keuangan yang

diterima pertahun atau per periode kepengurusan tidak dicantumkan (Tap

Muktamar No. 2/2008). Oleh sebab itu, aspek keuangan perhimpunan belum

diketahui yang sebenarnya. Kondisi ini dapat menimbulkan tanggapan: a)

sistem keorganisasian yang belum berjalan sesuai aturan dan program kerja

perhimpunan; b) memang perhimpunan ini dikelola dengan mengandalkan

manajemen tradisional tertutup; c) bentuk keorganisasian bersifat publik

tetapi kepemilikan organisasi bersifat privat. Akuntabel dan transparansi

termasuk bagian dari ciri organisasi yang menganut sistem terbuka.

Melihat perkembangan Alkhaira>t yang begitu pesat, maka seluruh

asumsi lahirnya ketidak transparansinya pengelolaan keuangan organisasi

perlu dikoreksi kembali untuk mengantarkan sistem manajemen organisasi

yang profesional; yakni lebih mengedepankan aspek akuntabilitas

pengelolaan. Sistem pengelolaan keuangan mungkin bersifat sentralistik

tetapi laporan pertanggungjawaban harusnya dapat diketahui oleh pihak-

311

pihak yang berperan dalam organisasi tersebut. Termasuk wakaf memang

belum berada pada sebuah organisasi atau badan hukum independen, tetapi

aset harta wakaf dan hasilnya tetap bagian yang tidak terpisahkan dalam

sistem akuntabilitas. Wakaf yang masih berada dalam lingkup Pengurus

Besar secara bertahap harus mereformasi sistem tata kelola aset wakaf dan

hasilnya, karena wakaf merupakan harta umat yang menuntut

pertanggungjawaban langsung.

Alkhaira>t sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial yang

mengelola wakaf di dalamnya tanpa dituntut atau dimintai oleh wakif atau

umat; memiliki kewajiban mempertangungjawabkan pengelolaan wakafnya.

Wakaf sebagai ajaran Islam yang mengandung dimensi ilahiyah dan

insa>niyah otomatis menuntut tanggungjawab. Tanggungjawab dimaksud

diarahkan kepada: Allah swt, 47

, kelembagaan, hukum, dan sosial (Djunaidi,

2008: 76-80).

e) Aspek Spiritualitas dan Moralitas

Alkhaira>t sebagai perhimpunan yang bergerak dalam bidang pendidikan,

dakwah, dan sosial yang bernafaskan pada nilai-nilai ajaran agama sangat

memberi pengaruh bagi perilaku sumber daya manusianya (SDM).

Penanaman nilai-nilai spiritualitas bagi manusia sebagai pelaku dan

penggerak utama di segala sektor kehidupan adalah bagian dari usaha

memberikan kesadaran bahwa apa yang dilakukannya memiliki dimensi

spiritual dan nilai-nilai keagamaan. Kesadaran inilah yang akhirnya akan

47

Allah swt menyatakan dalam al-Qur’an: ‚dan sesungguhnya mereka akan memikul beban-

beban mereka dan beberapa beban beserta pikulan-pikulan mereka, dan mereka akan ditanyai perihal

dusta yang mereka ada-adakan (QS. Al-Ankabut:13).

312

mendorong manusia siap mempertanggung jawabkan atas amanah yang

dititipkan kepadanya. Sikap amanah sangat penting dalam rangka

pencapaian tujuan pengelolaan wakaf.

Oleh sebab itu, dari makna yang tersirat dalam wakaf dituntut kepada

pengelola: agar mempunyai pengetahuan agama, sehingga dapat

menjabarkan nilai ajaran wakaf; memiliki integritas ibadah dan keshalehan

yang dengan sikap itu selalu dekat kepada Allah swt; mempunyai sikap

terpuji dan amanah, sebab wakaf yang dikelolanya adalah amanah yang

dititipkan kepadanya; mempunyai sikap tidak mengedepankan terhadap

kepentingan pribadi sebagai pengelola, kelompok, akan tetapi selalu

memperhatikan kepentingan publik sesuai tujuan perwakafan. Hal ini akan

menjadi kontrol terhadap penyelewengan hasil harta wakaf. Aspek

spiritualitas dan moral akan mengantarkan pengelola sadar

mempertanggungjawabkan atas kinerjanya.

Gambaran yang ada secara singkat menjadi solusi melakukan

perubahan dan perbaikan manajemen pengelolaan wakaf perhimpunan

Alkhaira>t. Kendala dan kelemahan yang dimiliki oleh perhimpunan ini

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dapat terantisipasi jika lima

komponen yang dijelaskan dijadikan standarisasi awal bagi pengelolaan

wakaf. Kelima aspek dimaksud merupakan bagian dari kesatuan pelaksanaan

manajemen di semua jenis lembaga dan organisasi. Menuju profesionalisme

manajemen wakaf hanya dapat terwujud jika aspek-aspek yang berhubungan

dengan manajerial diterapkan dan dilaksanakan. Perhimpunan Alkhaira>t,

sudah selayaknya menerapkan aspek manajerial ketimbang menerapkan

313

aspek manajemen ‚ikhlas beramal, apa adanya, atau manajemen

kepercayaan, dan tradisional tanpa direkontruksi kepada makna yang

mengarahkan pada lahirnya produktifitas dan hasil kerja yang mampu

menjawab tantangan di masa mendatang‛.

Abdullah Latopada (wawancara, 2012) mengungkapkan bahwa

memang Alkhaira>t memiliki harta wakaf yang banyak, sebab dimana ada

madrasahnya di tempat itu ada wakafnya. Tetapi untuk mengetahuinya

dalam sistem administrasinya nampak kesulitan. Ini menunjukkan kelemahan

dalam pengelolaannya. Dilihat dari aspek manajemennya dapat dikatakan

belum profesional. Profesional dimaksud mulai dari sistem perencanaan

sampai pengembangannya mampu meningkatkan hasil perolehan

pengelolaan. Ukurannya mempunyai daya saing dan manfaat besar; baik bagi

internal Alkhaira>t maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,

langkah dan upaya yang dilakukan oleh perhimpunan Alkhaira>t adalah

membuat perencanaan yang matang dan membuat pola pengelolaan yang

profesional terhadap aset wakafnya,48

sehingga hasilnya memberi pengaruh

dan perkembangan lembaga serta masyarakat luas. Merubah pola manajerial

wakaf menjadi keharusan bagi Alkhaira>t.

Sebagai kesimpulannya bahwa memang diakui wakaf Alkhaira>t

tidaklah dikelola dalam sebuah organisasi atau badan hukum mandiri,

melainkan berada dalam struktur di Sekretariat Jenderal Pengurus Besar.

48

Pemahaman tentang professional bukan semata-mata ditujukan pada pekerjaan; tetapi dapat

berlaku juga pada sikap seseorang. Sikap itu dibuktikan misalnya, ketika pesan dari pelanggan yang tidak

merasa bahagia, ini harusnya dipahami sebagai bagian dari peluang untuk perbaikan dalam kebijakan

perusahaan (Manning, 2010: 5). Adanya keluhan, ketidak senangan dengan besar upah yang diterima,

kadang membuat pegawai melakukan protes kepada manajemen; sikap ini harusnya dijadikan sebagai

upaya memperbaiki sistem penggajian dan pemberian upah yang selama ini diterapkan. Sikap ini adalah

bagian dari sikap professional.

314

Solusi manajerial yang terpenting adalah kesadaran akan peran wakaf bagi

kemaslahatan dan kesejahteraan umat yang diaplikasikan dalam bentuk

tanggungjawab mengelolanya. Mengelola wakaf akan lebih baik bila

dibentuk dalam sebuah organisasi atau badan hukum. Melalui organisasi atau

badan hukum nantilah yang menata menurut ketentuan keorganisasian.

Disinilah peran dan arti pentingnya manajemen dapat diterapkan oleh

pengelola wakaf. Alkhaira>t secara perlahan-lahan menata tata kelola

wakafnya dengan memperhatikan kemampuan yang dimilikinya. Berusaha

memandirikan dan mengamanatkan secara penuh kepada organisasi

wakafnya.