41
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal terletak di Kecamatan
Panekan dan Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Kecamatan Panekan merupakan kecamatan yang terletak di bagian utara
Kabupaten Magetan dan berada pada ketinggian antara 400 sampai dengan 750
mdpl. Batas wilayah Kecamatan Panekan di sebelah timur adalah Kecamatan
Sukomoro dan Kecamatan Karas, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Magetan dan Kecamatan Sidorejo. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Ngawi dan sebelah barat dengan Kabupaten Karanganyar.
Kecamatan Panekan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sidorejo.
Sebelum tahun 2003 beberapa wilayah di Kecamatan Sidorejo merupakan
wilayah di Kecamatan Panekan. Setelah tahun 2003, Kecamatan Panekan
mengalami pemekaran sehingga beberapa desa di wilayahnya bergabung dengan
Kecamatan Sidorejo. Kecamatan Sidorejo berada pada ketinggian 487 – 779
mdpl. Batas kecamatan di sebelah timur adalah Kecamatan Magetan, sebelah
selatan Kecamatan Plaosan, dan sebelah utara berbatasan langsung dengan
Kecamatan Panekan. Peta kecamatan dan desa dapat dilihat pada lampiran 9.
Wilayah kelola Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu Manunggal
terdiri dari 5 desa yaitu: Desa Sukowidi, Desa Tapak, dan Desa Sumberdodol di
Kecamatan Panekan, serta Desa Sumbersawit dan Desa Sidomulyo di
Kecamatan Sidorejo. Walaupun secara administratif wilayah kelola berada di
dua kecamatan, kelima desa tersebut berada dalam satu hamparan wilayah yang
sama. Luas wilayah di kelima desa terbagi dalam luas wilayah lahan basah
(sawah) dan lahan kering (tegal dan pekarangan). Di kawasan tegal dan
pekarangan inilah masyarakat mengembangkan hutan rakyat, baik dengan
pengelolaan khusus maupun secara tumpangsari.
Letak kelima desa berada dalam satu hamparan mempunyai
kecenderungan karakteristik masyarakat yang sama. Pada awal perkembangan,
wilayah kelima desa tersebut tergabung dalam satu wilayah administratif yaitu
42
Kecamatan Panekan. Kondisi penutupan vegetasi kelima desa didominasi oleh
tanaman yang hampir seragam. Lokasi ketinggian dengan kelembaban yang
tidak terlalu tinggi, menjadi lokasi tumbuh sengon laut yang sangat baik.
Pengelolaan tanaman pertanian berupa tanaman sayur dan palawija di tegalan
juga cukup berkembang. Kearifan lokal masyarakat dalam kesantunan menjaga
kawasan untuk sumber mata air serta pengembangan hutan rakyat sebagai pola
menjaga alam dan sebagai tabungan berupa hasil kayu untuk kepentingan jangka
panjang merupakan pola yang sudah berlangsung lama. Kondisi ini menjadi
modal sosial penting menuju pengelolaan hutan rakyat secara lestari.
Tabel 2. Luas tanah menurut penggunaan
No Kecamatan/Desa Jumlah
(Ha)
Luas Tanah (Ha)
Sawah Bukan
Sawah
Lainnya
A. Kec. Panekan
1 Desa Sukowidi 435,00 19,11 131,59 284,30
2 Desa Tapak 716,00 22.31 221,14 472,55
3 Desa Sumberdodol 244,10 122,13 92,54 244,10
B Kec. Sidorejo
1 Sumber Sawit 291,20 67,35 139,80 83,95
2 Sidomulyo 2.205,85 74,00 257,50 1.874,35
Jumlah : 4.163,15 304,90 842,57 2.959,25
Sumber: Kecamatan Panekan dan Sidorejo dalam angka tahun 2013
Tabel 2 menjelaskan luas tanah secara keseluruhan dari 5 desa yang
mengajukan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel adalah seluas 4.163,15 ha
dirinci sebagai tanah sawah 304,90 ha (7,32%), tanah bukan sawah seluas
842,57 ha (20,23%) dan tanah untuk penggunaan lainnya seperti bangunan, jalan
dan hutan negara seluas 2.959,25 ha (71.08%). Data ini merupakan data awal
terkait dengan luas tanah/lahan dari 5 desa. Namun, untuk mengetahui berapa
luas hutan rakyat yang terdiri dari luas lahan tegal, pekarangan, dan sawah yang
difungsikan sebagai hutan masih harus dipilah dalam proses pendampingan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11.
43
2. Pemanfaatan Hasil Hutan
Beragam hasil hutan yang diproduksi oleh KTHR Lawu Manunggal
menunjukkan tingkat kesuburan lahan dan potensi yang ada. Secara umum hasil
hutan dikelompokan menjadi dua macam yaitu hasil hutan kayu (HHK) dan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Jenis komoditas kayu yang dominan di
wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal adalah Sengon (Paraseriantes
falcataria), Mindi (Melia azedarach), Mahoni (Switenia Mahagoni), dan Jati
(Tectona grandis). Pemanfaatan HHK pada umumnya dimanfaatkan untuk dijual
dan dipakai sendiri, misalnya untuk membuat rumah dan bangunan lain.
Kebiasaan masyarakat menjual kayu pada umumnya dilakukan apabila
kebutuhan mereka sudah tidak bisa tercukupi dari hasil pertanian dan
peternakan. Dengan demikian, penebangan kayu merupakan solusi ekonomi
pada barisan akhir. Kebiasaan masyarakat yang menempatkan penjualan atau
panen kayu sebagai langkah akhir, merupakan solusi efektif agar pohon kayu
memberikan waktu lebih lama untuk melakukan fungsi konservasi. Di sisi lain
umur kayu yang semakin panjang memberikan harga yang lebih baik. Dalam
perdagangan kayu, biasanya ada pedagang yang menawar kayu ke desa-desa
yang dilakukan langsung kepada pemilik pohon.
Selain hasil hutan kayu, masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan bukan
kayu. Jenisnya beragam, diantaranya kopi, coklat, cengkeh, durian, rambutan,
mangga, alpukat, jahe, kunyit dll. Jahe dan kunyit merupakan tanaman yang
dikembangkan di bawah tegalan. Jenis buah-buahan (Multipurpose Trees
Species) biasanya banyak dihasilkan dari lahan pekarangan.
3. Sosial Ekonomi, Kependudukan dan Budaya Masyarakat
Sebagain besar masyarakat anggota KTHR Lawu Manunggal
bermatapencaharian sebagai petani termasuk ternak. Sebagian juga melakukakan
usaha sebagai pedagang, industri kecil, buruh bangunan, dan buruh tani.
Tanaman pangan yang umumnya dikembangkan adalah padi dan palawija,
seperti jagung dan kacang tanah. Selain itu, juga menanam tanaman palawija di
44
luar musim tanam padi. Masyarakat juga memelihara hewan ternak, diantaranya
kambing, sapi, dan ayam serta sebagian beternak ikan.
Namun, di sebagian masyarakat juga berkembang pemikiran bahwa
mereka juga membutuhkan tabungan jangka panjang yang dapat mereka
gunakan sewaktu-waktu. Salah satu bentuk tabungan itu adalah tanaman kayu.
Masyarakat menanam kayu untuk mempersiapkan pemenuhan kebutuhan jangka
panjang. Penebangan kayu pola “tebang butuh” pada prinsipnya mereka akan
panen jika telah membutuhkan kayu untuk membangun atau uang hasil
penjualan kayu. Penebangan kayu sebelum masa tebang akan dilakukan
manakala terjadi kebutuhan mendesak. Kondisi ini tentu cenderung merusak
lingkungan. Namun, di sisi lain apabila pemilik pohon kondisi ekonominya
cukup baik, pohon-pohon yang mereka miliki dibiarkan lama menjadi besar dan
sangat baik bagi konservasi lingkungan. Dengan demikian, kata kunci agar
pepohonan yang mereka miliki dapat bertahan lama menjaga lingkungan adalah
dengan cara memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Dari sisi demografi jumlah penduduk kelima desa berjumlah 16.347 jiwa
terdiri laki-laki 7.947 jiwa (48%) dan perempuan 8.400 jiwa (52%). Dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 3.782 KK, maka rerata setiap KK
beranggotakan 4,3 jiwa. Tabel berikut menjelaskan jumlah KK dan jumlah
penduduk kelima desa yang tergabung dalam KTHR Lawu Manunggal.
Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) dan penduduk
No Kecamatan/Desa Jumlah
KK
Jumlah penduduk (Jiwa)
Laki-
Laki
Perempuan Jumlah
A. Kec. Panekan
1 Desa Sukowidi 510 1.064 1.188 2.252
2 Desa Tapak 631 1.188 1.237 2.425
3 Desa Sumberdodol 849 1.812 1.911 3.723
B Kec. Sidorejo
1 Sumber Sawit 767 1.682 1.739 3.421
2 Sidomulyo 1.025 2.201 2.325 4.526
Jumlah : 3.782 7.947 8.400 16.347
Sumber: Kecamatan Panekan dan Sidorejo dalam angka tahun 2013
45
Karakteristik budaya masyarakat kedua kecamatan mempunyai
kecenderungan yang hampir sama. Nilai-nilai sosial yang dijunjung salah
satunya adalah kebersamaan. Hal itu terwujud dalam kegiatan-kegiatan bersih
desa, hajatan, gotong royong, dll. Musyawarah, saling membantu juga menjadi
nilai yang dipegang oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan modal yang
dapat digunakan dalam kegiatan pengelolaan hutan lestari. Kebersamaan dalam
menyusun rencana pengelolaan, musyawarah dalam menghadapi masalah dan
saling membantu dalam penyelesaiannya. Kearifan lokal mempunyai peranan
yang sangat penting yaitu dapat mengikat setiap individu yang ada walaupun
dengan perbedaan karakter yang dimiliki masing-masing individu.
B. Kondisi Awal Kelompok Tani Hutan Lawu Manunggal
Potret kondisi awal KTHR Lawu Manunggal merupakan pijakan dasar
dalam penelitian ini untuk mengetahui kondisi hutan, kelembagaan dan kesiapan
dokumen-dokumen sebelum dilakukan pemberdayaan melalui proses
pendampingan oleh PERSEPSI sebuah institusi pegiat lingkungan dan dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan. Berikut adalah potret kondisi awal
KTHR Lawu Manunggal yang dilihat dari sejarah pengelolaan hutan rakyat,
kondisi kelembagaan dan kondisi dokumen dari sisi produksi, ekologi, dan sosial.
1. Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat
Sampai menjadi kondisi hutan rakyat yang secara ekologis dan ekonomis
telah mampu meningkatkan kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat seperti
sekarang, maka tidak terlepas dari sejarah atau proses pembentukannnya.
Berikut adalah sejarah perkembangan pengelolaan hutan rakyat di 5 (lima) desa
yaitu Desa Sukowidi, Desa Tapak, Desa Sumberdodol di Kecamatan Panekan,
serta Desa Sumbersawit dan Desa Sidomulyo di Kecamatan Sidorejo, Kabupaten
Magetan, sebagaimana diuraikan pada Tabel berikut.
46
Tabel 4. Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat KTHR Lawu Manunggal.
Periode
(tahun) Uraian/Kejadian
1980-1990 Kondisi di wilayah Kec. Panekan dan Kec. Sidorejo pada masa
ini masih didominasi oleh jenis tanaman bambu dan dibeberapa
lokasi sudah terdapat jenis tanaman komersial seperti Jati dan
Sengon. Pengelolaan kawasan masih dilakukan secara sederhana
dan jenis tanaman yang sengaja ditanam masih terbatas.
Pada periode ini terdapat program pemerintah berupa Program
Terasering dengan tanaman kaliandra. Saat itu juga terdapat
bantuan pemerintah untuk pengembangan sektor perkebunan
dengan tanaman cengkeh.
1991-2000 Periode ini, pelaksanaan program pemerintah masih pada upaya
konservasi tanah dan air. Sehingga program yang dikembangkan
masih sama yaitu Program Terasering dengan jenis tanaman
Mahoni. Selain itu juga mulai dikembangkan jenis tanaman
MPTS (Multipurpose Trees Species) yang meliputi rambutan
dan durian.
2001-2009 Pengembangan hutan rakyat tidak semata dilakukan dengan
penanaman tanaman komersil kayu. Pada periode ini Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kab. Magetan memberikan bantuan
berupa bibit kelapa kepada masyarakat. Jenis yang
dikembangkan di kawasan hutan rakyat semakin beragam mulai
dari tanaman kayu komersil seperti sengon, mahoni dan jati, juga
dikembangkan tanaman produktif lain yang dipanen buahnya
seperti cengkeh, durian, alpokat dan lain-lain.
Sejak tahun 2003–2008 secara besar-besaran pengembangan
hutan rakyat didorong oleh program pemerintah yakni Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), yaitu pada lahan-
lahan yang kritis diberikan bantuan bibit tanaman, bangunan
sipil teknis (terasering, sumur resapan) upah penggarapan lahan
sampai dengan teknis pendampingan dari unsur pemerintah dan
swasta misalnya dari LSM.
2010-2015 Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan melalui GERHAN
selanjutnya diteruskan secara masif oleh pemerintah dengan
penyediaan bibit tanaman berbasis masyarakat dengan program
pembuatan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Jenis bibit apa yang
disiapkan di kebun tergantung kebutuhan masyarakat dan proses
pembuatan bibitnya dilakukan oleh masyarakat. Peran
pemerintah adalah membantu kebutuhan dana dan
47
Periode
(tahun) Uraian/Kejadian
pendampingan teknis cara pembuatan bibit. Melalui program
KBR diharapkan petani hutan mampu membuat bibit sendiri dan
tidak harus tergantung kepada para penangkar dan penjual bibit.
Jenis tanaman yang dikembangkan, diantaranya mindi, mahoni,
sengon, jati, jabon, alpokat, durian.
Pihak swasta juga mulai menunjukkan kepedulian terhadap
kondisi hutan rakyat. Ditunjukkan dengan pemberian bantuan
bibit jabon dalam program penghijauan oleh PT Telkom. Sejak
tahun 2014 bersama dengan Dinas HUTBUN Kab. Magetan
dilakukan pendampingan oleh LSM PERSEPSI dalam
pengelolaan hutan untuk mendapatkan pengakuan berupa
sertifikat ekolabel Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Lestari (PHBML) menurut skema dari Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI).
Sumber : Hasil FGD dan analisis data primer, 2015
Masih bersumber dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dan hasil
wawancara secara personal, hal-hal yang melatarbelakangi pengembangan hutan
di Kecamatan Panekan dan Sidorejo adalah sebagai berikut:
1) Adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan
kesejahteraan sekaligus berupaya meningkatkan produktivitas lahan dan
perbaikan lingkungan.
2) Meningkatnya kesadaran tentang manfaat hutan, seperti hasil hutan kayu,
sumber hijauan pakan ternak, mencegah tanah longsor, meningkatkan
kualitas udara dan dapat menjaga serta meningkatkan debit mata air yang
telah ada di beberapa tempat.
3) Membangun hutan dengan bertanam kayu merupakan tabungan masa depan
dan dapat diwariskan kepada anak cucu, baik potensi produksinya (hasil
kayu dan non kayu) serta perbaikan lingungan.
4) Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan dan
kewajiban mereka dalam ikut menjaga kelestarian hutan.
5) Adanya kepedulian dari pihak lain baik pemerintah maupun swasta dalam
pelestarian hutan.
48
2. Sejarah Perkembangan Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal
Sejarah terbentuknya Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Lawu
Manunggal di Kecamatan Panekan dan Kecamatan Sidorejo, Kabupaten
Magetan dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya sejarah pengelolaan
hutan rakyat di tingkat kecamatan yang dimulai dari program-program
pemerintah yang kemudian mulai muncul kesadaran masyarakat dalam hal
pengelolaan hutan dengan perbaikan secara vegetasi dan sipil teknis. Sejarah
terbentuknya KTHR Lawu Manunggal tidak lepas dari perkembangan
kelembagaan kelompok tani yang ada ditiap desa. Di masa awal yaitu
kelembagaan kelompok tani yang kemudian berkembang dan bergabung
menjadi KTHR Lawu Manunggal sebagaimana dijelaskan pada Tabel berikut.
Tabel 5 . Alur Sejarah KTHR Lawu Manunggal
Periode
(tahun)
Uraian Kejadian
1986 – 2002 Awal tahun 1986 merupakan awal mula pembentukan
kelompok tani di wilayah Kecamatan Panekan dan Kecamatan
Sidorejo. Inisiasinya dilakukan Balai Penyuluh Pertanian
(BPP). Tujuan dibentuknya kelompok tani kala itu adalah
sebagai wahana bermusyawarah dalam hal pembagian air
pengairan, pemilihan benih unggul, pemupukan dan masalah
panca usaha tani lainnya
Hasilnya kemudian terbentuk kelompok tani tingkat desa
yakni: 1) Kelompok Tani Suko Maju di Desa Sukowidi, 2)
Kelompok Tani Lawu Makmur di Desa Tapak, 3) Kelompok
Tani Sumber Rejeki di Desa Sumberdodol, 4) Kelompok Tani
Mulyo di Desa Sumbersawit dan 5) Kelompok Tani Mulyo
Abadi di Desa Sidomulyo.
2003 – 2008 Pada masa ini melalui program nasional rehabilitasi hutan dan
lahan (GERHAN) terbentuk kelompok tani penghijauan.
Melalui kelompok tani yang sudah terbentuk sebelumnya,
mulai mengembangkan kegiatan dibidang kehutanan dan
mendapatkan bantuan bibit Jati (Tectona grandis), Mahoni
(Swietenia mahagoni), Sengon (Paraseriantes falcataria) dan
Durian (Durio zhibetinus).
Sebagai upaya untuk meningkatkan koordinasi antar kelompok
tani, selanjutnya BPP membentuk sebuah gabungan kelompok
yaitu Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang berdiri di
setiap desa.
49
Periode
(tahun)
Uraian Kejadian
2008 – 2012 Melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan,
masyarakat mendapat rekomendasi untuk membentuk
kelompok tani kopi dengan kegiatan yang dilakukan meliputi
penyemaian bibit, cara penanaman dan pemeliharaan.
2013 –
sekarang
Selain program kelompok tani kopi, pada masa ini juga
berkembang kelompok tani kakao dengan program kegiatan
masih berupa pencanangan yang diwujudkan dengan kegiatan
studi banding ke Blitar.
Dengan berkembangnya kegiatan pengelolaan lahan di
kawasan hutan hak dan meningkatnya kesadaran masyarakat
dengan turut serta menjaga kelestarian hutan maka dibentuk
sebuah kelompok tani hutan gabungan 5 desa di 2 kecamatan
yakni KTHR Lawu Manunggal yang dipersiapkan untuk
mendapatkan sertifikat ekolabel dalam hal pengelolaan hutan
rakyat secara lestari yang mendapatkan pendampingan dari
PERSEPSI dan dari Dinas HUTBUN Kabupaten Magetan. Sumber: Hasil FGD dan analisis data primer, 2015
Dengan demikian maka kondisi awal kelembagaan KTHR Lawu
Manunggal sebelum dilakukan pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat
ekolabel hutan rakyat, keberadaan kelompok menyebar pada lima desa, belum
ada pertemuan secara bersama dan struktur organisasi kelompok pengelola hutan
serta model manajemen yang belum fokus kepada pendekatan pengelolaan
ekosistem dengan pendekatan satuan wilayah.
3. Kondisi Dokumen Bidang Produksi, Ekologi dan Sosial
Keberadaan dokumen yang dimiliki kelompok tani dari sisi dokumen yang
terkait dengan bidang produksi, ekologi dan sosial secara umum dikatakan
belum lengkap, misalnya belum memiliki data tentang jenis, jumlah dan potensi
volume kayu yang dimiliki, Tidak ada anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga organisasi, tidak memiliki panduan atau Standard Operating Procedure
(SOP) seperti panduan tentang penanaman, pemeliharaan, pemanenan pohon
atau penebangan, panduan kelola lingkungan, resolusi konflik serta tidak adanya
dokumen terkait rencana kelola hutan.
Terkait dengan struktur organisasi belum tertata yang mengarah pada
pengelolaan hutan. Sistem administrasi yang dimiliki lebih banyak terkait
dengan keuangan kelompok misalnya buku arisan, buku simpan pinjam dan
50
buku kas. Daftar keanggotaan kelompok tani belum disusun sehingga berapa
jumlah pasti anggota kelompok tidak diketahui. Dokumen terkait bidang
produksi seperti perhitungan tebang lestari, jumlah penebangan pohon 5 tahun
terakhir, data tentang kecenderungan harga kayu serta daftar pedagang kayu di
desa juga belum tersedia.
Dari sisi dokumen bidang lingkungan seperti sejarah terbentuknya hutan
rakyat, daftar sumber mata air, daftar keberadaan tumbuhan dilindungi dan
satwa liar juga belum ada. Terkait data/dokumen bidang sosial seperti; profil
kelompok, daftar pendidikan dan pelatihan anggota dan daftar harga hasil hutan
bukan kayu serta daftar pedagang dan pengrajin kayu juga belum tersedia.
C. Kondisi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat ekolabel
Untuk bisa mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan hutan rakyat
secara lestari, maka KTHR Lawu Manunggal harus menata manajemen hutan dan
kelembagaannya mengikuti dan dapat memenuhi skema, pengertian-pengertian,
standar, kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia
(LEI) dalam sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
(PHBML) sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
1. Skema Sertifikasi Sumber Daya Hutan
Meskipun ada keberagaman dalam prakteknya, sertifikasi PHBML yang
dikembangkan ada dua macam, yaitu: sertifikasi sumberdaya hutan (forest
resource certification) yang menilai kinerja pengelolaan hutan, dan sertifikasi
lacak balak (chain of custody) yang menelusuri asal-usul produk berbasis hasil
hutan yang masuk ke pasaran dengan segala macam bentuk dan perubahan-
perubahannya. Namun dalam kontek penelitian ini disampaikan terkait dengan
skema sertifikasi sumber daya hutan saja.
Sertifikasi sumber daya hutan akan menilai kinerja unit pengelola hutan
dalam rangka memelihara kelestarian fungsi-fungsi hutan. Sesuai dengan
standar kelestarian PHBM (Standar LEI 5000-3) ada tiga aspek kelestarian
yang akan dinilai, yaitu aspek kelestarian produksi, ekologi dan kelestarian
51
sosial. Intensitas penilaian akan berbeda-beda pada ketiga aspek itu,
bergantung pada tuntutan sesuai dengan kategori PHBM yang bersangkutan.
Dalam hal ini ada dua skema yang dikembangkan untuk menilai kinerja
kelestarian PHBM. Skema-skema tersebut adalah: (1) skema sertifikasi dengan
penilaian lapangan oleh pihak ketiga (certification under third party
assessment), dan (2) skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim
(certification under recognition over claim).
Perbedaan pokok kedua skema adalah dalam pelaksanaan penilaian kinerja
pengelolaan menurut standar yang telah ditetapkan. Seperti namanya, skema
sertifikasi dengan penilaian lapangan oleh pihak ketiga, penilaian dilakukan
dengan pemeriksaan lapangan oleh pihak ketiga, yakni asesor (penilai
lapangan) yang mewakili pihak lembaga sertifikasi. Sementara untuk skema
kedua, penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni lembaga pendamping yang
mewakili masyarakat pengelola (pihak pertama) berdasarkan informasi
pendukung yang telah dipublikasikan. Jadi, boleh dikatakan bahwa klaim
kelestarian ini berasal dari pihak pertama.
Pada skema sertifikasi dengan penilaian lapangan oleh pihak ketiga,
terdapat tiga jalur, yaitu jalur: A, jalur B, dan jalur C. Perbedaan dari ketiga
jalur ini terletak pada penggunaan kriteria dan indikator yang berbeda,
meskipun sama-sama diperlukan proses penilaian lapangan oleh pihak ketiga.
Perbedaan pemakaian kriteria dan indikator ini disebabkan oleh perbedaan
katagori praktek PHBM seperti yang diuraikan di atas, yang selanjutnya
mengakibatkan adanya perbedaan pada beberapa kriteria dan indikator, sehingga
menimbulkan pemisahan jalur dalam sertifikasinya. Terkait dengan skema
penilaian untuk KTHR Lawu Manunggal maka termasuk skema penilaian jalur
C, karena kawasan hutan yang dikelola termasuk dalam kawasan budidaya non
kehutanan yang diusahakan secara komersial.
2. Standar Sistem PHBML
Untuk mendapatkan sertifikat ekolabel PHBML maka KTHR Lawu
Manunggal harus dilakukan pendampingan untuk dapat memenuhi standar
sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang
52
merupakan turunan dari Standar LEI 5000-3. Mengacu kepada standar ini,
panduan pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari
dijelaskan dalam Pedoman LEI 99 Seri 40, Dokumen LEI-05 dan Dokumen
LEI-06.
Adapun ruang lingkup standar ini merupakan kerangka penilaian
sertifikasi PHBML dan menjadi acuan bagi unit manajemen dalam
melaksanakan PHBML. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBML)
diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk
unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas),
maupun individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari.
Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh KTHR Lawu Lestari termasuk dalam
kategori pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan
sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang
diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial.
3. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
Masih menurut pedoman dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), standar
kriteria dan indikator yang digunakan untuk menilai KTHR Lawu Manunggal
dibatasi pada ukuran-ukuran kelestarian PHBM dengan produk utama kayu.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari akan dapat diwujudkan apabila
dimensi hasil (outcome) dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan
manajemen yang tepat (dimensi manajemen). James W (2003) menerangkan
bahwa kriteria dan indikator menjelaskan tujuan yang diinginkan untuk
pengelolaan hutan lestari. Rincian Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat Lestari adalah sebagai berikut :
a. Kelestarian Fungsi Produksi
Kelestarian fungsi produksi dalam suatu unit manajemen hutan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan telah dikelola dengan prinsip-
prinsip kelestarian yang menjamin bahwa hasil hutan, terutama kayu akan
diperoleh secara terus menerus. Untuk itu dibutuhkan kriteria dan indikator
53
sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi produksi
Kriteria Indikator
P.1. Kelestarian
Sumberdaya
P.1.1. Status dan batas lahan jelas
P.1.2. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi
tanaman
P.1.3. Manajemen pemeliharaan hutan
P.1.4. Sistem silvikultur sesuai daya dukung
hutan
P.2. Kelestarian
Hasil
P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan
P.2.2. Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen
lestari
P.2.3. Pengaturan hasil
P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan
P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan
P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan
P.2.7. Pengaturan manfaat hasil
P.3. Kelestarian
Usaha
P.3.1. Kesehatan usaha
P.3.2. Kemampuan akses pasar
P.3.3. Sistem informasi manajemen
P.3.4. Tersedia tenaga kerja terampil
P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk
pengelolaan hutan
P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi
sosial dan ekonomi setempat Sumber: Standar LEI 5000-3
Dari Tabel 6 bahwa suatu unit manajemen hutan untuk mendapatkan
kepastian bahwa pengelolaannya lestari secara produksi maka harus dinilai
dengan 3 kriteria dan 18 indikator yang harus dibuktikan dengan penilaian
lapang maupun ditunjukkan dengan adanya dokumen-dokumen bidang
produksi.
b. Kelestarian Fungsi Ekologi
Kelestarian fungsi ekologi dalam suatu unit manajemen hutan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan yang dikelola telah memenuhi
prinsip-prinsip kelestarian lingkungan terkait dengan stabilitas ekosistem hutan
serta terlindungi dan berkembangnya species langka. Untuk itu kriteria dan
indikator sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 7 berikut.
54
Tabel 7. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi ekologi
Kriteria Indikator
E.1. Stabilitas
Ekosistem
hutan dapat
dipelihara
dan gangguan
terhadapnya
dapat
diminimalisir
dan dikelola
E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang
meminimasi gangguan terhadap integritas
lingkungan
E1.2 Ketersediaan informasi dan dokumentasi dampak
kelola produksi terhadap lingkungan
E1.3 Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif
Sumber: Standar LEI 5000-3
Dengan demikian suatu unit manajemen hutan rakyat untuk mendapatkan
kepastian bahwa pengelolaan lingkungan telah dikelola memenuhi prinsip
kelestarian secara ekologi maka dinilai dengan 1 kriteria dengan 3 indikator
yang bisa dibuktikan dengan penilaian lapang maupun ditunjukkan dengan
keberadaan dokumen terkait bidang ekologi.
c. Kelestarian Fungsi Sosial
Kelestarian fungsi sosial dimaksudkan untuk memastikan bahwa dalam
pengelolaan hutan secara lestari tidak terjadi permasalahan-permasalahan sosial
seperti soal tenurial (kepastian hak), terjaminnya ketahanan dan pengembangan
ekonomi komunitas, terbangunnya pola interaksi sosial yang baik serta keadilan
manfaat dalam pengelolaan hutan. Untuk itu dibutuhkan kriteria dan indikator
sebagai tolak ukur sebagaimana tersaji pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Kriteria dan indikator kelestarian fungsi sosial
Kriteria Indikator
S.1. Kejelasan tentang
hak penguasaan
dan pengelolaan
lahan atau areal
hutan yang
dipergunakan
S1.1. Pengelola hutan/lahan adalah warga komunitas
S1.2. Pengelola hutan/lahan adalah pemilik hutan
S1.3. Status lahan tidak dalam sengketa dengan
warga anggota komunitasnya yang lain
maupun dengan pihak lain di luar komunitas
S1.4. Kejelasan batas-batas areal hutan/lahan yang
digunakan
S1.5. Digunakannya tata cara atau mekanisme
penyelesaian sengketa yang berkeadilan
55
Kriteria Indikator
terhadap sengketa klaim yang terjadi
S.2. Terjaminnya
ketahanan dan
pengembangan
ekonomi
komunitas
S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga
dan mampu mendukung kelangsungan
hidup komunitas secara lintas generasi
S2.2. Penerapan teknologi produksi dan sistem
pengelolaan dapat mempertahankan tingkat
penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun
perempuan
S.3. Terbangun pola
hubungan sosial
yang setara
dalam proses
produksi
S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara
berbagai pihak dalam pengelolaan hutan
merupakan hubungan sosial relatif sejajar.
S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis
dalam organisasi penyelenggara PHBM
S.4. Keadilan manfaat
menurut
kepentingan
komunitas
S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang
diderita komunitas secara keseluruhan
akibat pengelolaan hutan oleh kelompok
dan disepakati seluruh warga komunitas
Sumber : Standar LEI 5000-3
Untuk itu suatu unit manajemen hutan rakyat agar mendapatkan
kepastian bahwa pengelolaan sosial telah dilakukan secara baik dalam rangka
menjamin kelestarian hutannya maka harus dinilai 4 kriteria dengan 10
indikator sebagaimana diuraikan pada Tabel 8 diatas.
Dengan demikian suatu unit manajemen hutan rakyat yang akan
mendapatkan sertifikat ekolabel menurut sistem PHBML dari Lembaga
Ekolabel Indonesia harus dinilai standar kelestarian produksi dengan 3 kriteria,
17 indikator. Untuk kelestarian ekologi 1 kriteria, 3 indikator dan untuk
kelestarian sosial 4 kriteria dengan 10 indikator atau secara total dinilai oleh 8
kriteria dengan 30 indikator.
d. Standar Kelulusan
Masih menurut standar LEI, setiap indikator atau “n” akan mendapatkan 3
kemungkinan predikat yakni nilai baik (B), cukup (C) dan jelek (J). Unit
manajemen hutan rakyat dikatakan Lulus, apabila nilai B lebih besar 50% x n,
dan nilai C lebih besar 25% x n. Sedangkan predikat Lulus dengan Catatan,
apabila nilai B lebih besar 25% x n, dan nilai C lebih besar 50% x n, dan Tidak
Lulus, apabila tidak termasuk keduanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
56
Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Kelulusan sertifikasi ekolabel skema PHBML – LEI
No Predikat Nilai Keterangan
1 Lulus B>50% x n dan
C>25% x n
Diberikan sertifikat
2 Lulus dengan
Catatan
B>25% x n dan
C>50% x n
Diberikan sertifikat
setelah memperbaiki
hingga nilai B mencapai
minimal 50% dalam
waktu maksimal 6 bulan
sejak penilaian
3 Tidak Lulus Tidak termasuk
keduanya
Dilakukan penilaian ulang
setelah perbaikan
dokumen dan manajemen
oleh unit manajemen
Sumber: Standar LEI 5000-3
Berdasarkan standar kelulusan tersebut maka KTHR Lawu Manunggal
akan dinilai dengan 8 kriteria dengan 30 indikator (n). Untuk mendapatkan
penilaian dengan hasil lulus maka sekurangnya nilai B harus diatas 16 dan nilai
C diatas 8. Sedangkan lulus dengan catatan maka nilai B harus diatas 8 dan nilai
C diatas 16. Sedangkan apabila hasil penilaian tidak termasuk kedua hal
tersebut makan KTHR Lawu Manunggal dinyatakan tidak lulus dan dilakukan
penilaian ulang setelah dilakukan perbaikan.
57
D. Model Pemberdayaan Sertifikasi Ekolabel Hutan Rakyat
Sebagai suatu model pemberdayaan untuk mendapatkan sertifikat ekolabel
dalam pengelolaan hutan rakyat maka diperlukan suatu input, proses dan output.
Input yang dibutuhkan diantaranya adalah keberadaan atau kondisi hutan,
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) baik dari masyarakat maupun
pendamping, ekspektasi KTHR (masyarakat), kebijakan, dan sistem atau standar
sertifikasi ekolabel. Setelah ada proses pemberdayaan melalui serangkaian kegiatan
pendampingan maka dihasilkan keluaran (output) berupa kepastian wilayah kelola
hutan, kelembagaan pengelola hutan, sistem manajemen hutan, dokumen ajuan,
sertifikat ekolabel, dan pengakuan publik. Untuk mengetahui secara skematik
model pemberdayaan ekolabel hutan rakyat dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Gambar 3. Model Pemberdayaan Ekolabel Hutan Rakyat
INPUT PROSES OUTPUT
- Kondisi Hutan
- Ekspekstasi
Masyarakat
- SDM
- Kebijakan
- Standar Ekolabel
Identifikasi
Pemangku
Kepentingan
- Wilayah Kelola
Hutan
- Kelembagaan
KTHR
- Sistem Manajemen
Hutan
Sosialisasi Sertifikasi
Ekolabel
Pendampingan:
- Aspek Produksi
- Aspek Ekologi
- Aspek Sosial
Penentuan Satuan
Wilayah Kelola
Penyiapan Kelembagaan
KTHR
Penilaian Lapang (Internal Audit)
Pengambilan Keputusan
Sertifikasi Ekolabel
58
Selanjutnya untuk mengetahui secara lebih rinci dari sisi proses model
pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sampai mendapatkan sertifikat ekolabel
PHBML diuraikan sebagai berikut.
1. Identifikasi Pemangku Kepentingan
Terkait dengan pengelolaan hutan rakyat maka banyak pihak yang
berkepentingan sejak saat penanaman, pembinaan teknis budidaya, kepastian
hak kepemilikan, pendampingan kelembagaan, sampai dengan perdagangan
hasil kayu bahkan pengolahannya. Para pemangku kepentingan (stakeholder)
adalah semua pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung.
Suporahardjo (2005) pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan
termasuk dalam manajemen kolaborasi dan merupakan respon akan tuntutan
manajemen sumber daya yang baru. Pemangku kepentingan dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua). Pertama, pemangku kepentingan utama
(primary stakeholder), mereka yang secara langsung akan mempengaruhi
proses dan keberhasilan hutan rakyat mereka yang akan mendapatkan manfaat
dan dampak langsung dari kegiatan pengelolaan hutan. Kelompok ini
diantaranya adalah pemilik hutan/lahan, kelompok tani, masyarakat, pedagang
dan perajin kayu desa serta masyarakat sekitar hutan. Suara atau aspirasi
mereka umumnya akan mempengaruhi keputusan-keputusan dalam pengelolaan
hutan rakyat. Kedua pemangku kepentingan sekunder (secondary stakeholder),
mereka yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi proses dan
keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat. Kelompok kedua ini umumnya
tidak terkena dampak langsung dari pengelolaan hutan. Tabel 10 berikut adalah
hasil identifikasi pemangku kepentingan dan perannya dalam pengelolaan hutan
rakyat.
59
Tabel 10. Pemangku kepentingan dan perannya dalam hutan rakyat
No Pemangku
Kepentingan
Peran
A. Utama
1 Petani Petani terdiri dari; pemilik, penyewa, penggarap
dan penyakap mereka sangat menentukan dalam
pengolahan lahan serta jenis tanaman apa yang
akan ditanam. Penikmat utama hasil hutan.
2 Kelompok Tani Berperan dalam mengorganisir anggota,
pengembangan kapasitas anggota dan
penyediaan sarana produksi (bibit, pupuk).
3 Pedagang kayu dan
industri
Komoditas kayu yang dibutuhkan sangat
menentukan terhadap jenis kayu yang ditanam
petani. Usaha mereka lancar jika panen kayu
dapat dilakukan secara lestari
4 Masyarakat sekitar
hutan
Penikmat manfaat lingkungan (udara, air) dan
membantu keamanan hutan.
B Sekunder
1 Lembaga Legislatif Keputusan terkait dengan persetujuan anggaran
dalam pembangunan hutan rakyat dan
lingkungan
2 Dinas Kehutanan dan
Perkebunan
Berperan dalam bimbingan dan penyuluhan
terkait pengembangan komoditas kehutanan dan
perkebunan
3 Dinas Pertanian Membantu dalam pengembangan komoditas
tanaman pangan bawah tegakan sehingga sangat
membantu pendapatan petani dan menunda
penebangan kayu sebelum umur (masak tebang).
4 Dinas Peternakan dan
Perikanan
Berperan dalam pengembangan ternak dan ikan
sehingga membantu peningkatan pendapatan
petani dan mampu menunda penebangan kayu
sebelum umur (masak tebang)
5 Dinas Perindustrian,
Perdagangan,
Koperasi dan UKM
Dinas ini berperan membantu dalam hal
perdagangan dan pengolahan hasil hutan baik
kayu maupun non kayu.
6 Bappeda Berperan dalam perencanaan yang mendukung
pengembangan hutan rakyat
7 BPDAS Solo Memiliki peran dalam penyediaan bibit-bibit
tanaman kehutanan dan perkebunan melalui
bantuan langsung bibit maupun program Kebun
60
No Pemangku
Kepentingan
Peran
Bibit Rakyat (KBR) yang dikelola oleh
masyarakat
8 Pemerintah Desa Peran yang sangat penting terkait dengan
kepastian hak lahan, usulan pembangunan hutan
rakyat dan keamanan hutan
9 LSM Membantu dalam manajemen hutan, penguatan
kelompok tani dan mendorong mendapatkan
sertifikat pengelolaan hutan secara legal dan
lestari.
Sumber: FGD dan analisis data primer, 2015
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa banyak pihak yang berperan dalam
pengembangan hutan rakyat yang berada di Kabupaten Magetan baik dari
kelompok peneriman manfaat utama ataupun kelompok sekunder. Menurut
PERSEPSI sebagai pendamping KTHR Lawu Manunggal, kejelian dalam
memetakan mana pemangku kepentingan utama dan kedua akan sangat
mempengaruhi kelancaran dalam pendampingan KTHR untuk menyiapkan
kelembagaan, manajemen dan dokumen untuk mendapatkan sertifikat ekolabel
dalam pengelolaan hutan. Dengan seefektif mungkin pelibatan para pihak maka
akan mendorong lahirnya perasaan saling memiliki (sense of belonging) dalam
pengelolaan hutan rakyat menuju kelestarian fungsi dan manfaatnya bagi para
pihak secara lebih luas.
2. Sosialisasi Sertifikasi Ekolabel
Sebelum dilakukan pemberdayaan kepada Kelompok Tani Hutan (KTHR)
melalui kegiatan pendampingan lebih lajut dari PERSEPSI, maka dilakukan
sosialisasi kepada para pemangku kepentingan. Sosialisasi ini dilaksanakan
kepada Masyarakat, kalangan Pedagang, Industri, Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan, Diperindag, pemerintah desa, pemerintah
kecamatan dan lain-lain. Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah agar
diketahuinya rencana dari PERSEPSI untuk melakukan pendampingan kepada
kelompok tani hutan dalam rangka mendapatkan sertifikat ekolabel dalam
61
pengelolaan hutan rakyat secara lestari.
Sisi lain yang lebih mendasar dari kegiatan sosialisai ini adalah agar
dalam pelaksanaan pendampingan selanjutnya mendapatkan dukungan dari para
pihak serta menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman dan tumpang tindih
program atau kegiatan dengan para pihak lainnya. Dalam pelaksanaan di lapang
tumpang tindih kegiatan tidak terjadi namun justru terjadi sinergi dimana
kegiatan pengkayaan tanaman tegakan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Magetan serta kegiatan serupa yang dilakukan oleh
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Solo menambah jumlah
populasi tanaman sangat mendukung pada kelestarian secara produksi dan
lingkungan.
Sertifikasi ekolabel memang diabdikan untuk meningkatkan dan menjaga
kelestarian fungsi hutan dari sisi produksi, ekologi dan sosial, namun dalam
sosialisasi disampaikan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memenuhi
kehendak dan tuntutan internasional atau pasar eksport. Oleh sebab itu kalangan
pedagang kayu desa merasa kawatir dengan adanya sertifikasi ekolabel kelak
dalam perdagangang kayu tidak melibatkan mereka. Kekhawatiran serupa juga
muncul dari industri kecil berbasis kayu rakyat sebab setelah sertifikasi ekolabel
kayu tidak lagi dijual kepada mereka.
3. Penentuan Satuan Wilayah Kelola
Kegiatan ini merupakan kegiatan untuk memastikan berapa hektar luas
hutan rakyat yang akan dikelola dan diajukan untuk mendapatkan sertifikat
ekolabel, dimana saja sebaran wilayahnya serta berapa jumlah petani dalam
satuan kepala keluarga (KK) yang terlibat. Penentuan satuan wilayah kelola
atau sering disebut sebagai Forest Management Unit (FMU) menjadi dasar
penting bagi proses-proses pendampingan yang akan dilakukan berikutnya.
Proses penentuan satuan wilayah kelola dimulai dengan survei
pendahuluan yang dikoordinir oleh PERSEPSI melibatkan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Magetan, perangkat desa, ketua/pengurus kelompok
tani desa serta masyarakat lokal. Metode yang digunakan adalah dengan
penggalian data primer (observasi, wawancara) serta melengkapi dengan data
62
sekunder. Survei awal ini memegang peran strategis karena sebagai pintu
masuk untuk proses komunikasi dan koordinasi dengan para pihak penting
untuk menunjang kegiatan pendampingan selanjutnya.
Secara umum informasi awal yang dikumpulkan adalah yang berkaitan
dengan (1) kondisi umum wilayah. (2) potensi tegakan kayu komersial, (3)
legalitas kepemilikan lahan/hutan, (4) rantai perdagangan dan kondisi pasar
kayu serta (5) kondisi kelembagaan kelompok tani sebagai unit manajemen.
Penajaman data/informasi terkait hal tersebut selanjutnya akan diteruskan dalam
proses pendampingan. Namun yang paling utama dalam kegiatan ini adalah
untuk memastikan berapa luas unit manajemen dan anggota yang akan
didampingi oleh PERSEPSI. Tabel 11 berikut menjelaskan luas hutan rakyat
dan jumlah anggota (KK) KTHR Lawu Manunggal yang akan didampingi
untuk mendapatkan sertifikat ekolabel hutan.
Tabel 11. Luas Hutan Rakyat dan Jumlah Anggota (KK) KTHR
No. Desa Dusun Jumlah
KK
Luas Hutan Rakyat (Ha)
Tegal Pe
karangan Jumlah
1 Sukowidi Sukowidi 105 18.36 4.13 22.49
Sempu 158 30.16 3.38 33.54
Nerang 172 53.09 7.17 60.26
Sub Total
(a) 435 101.61 14.69 116.29
2 Tapak Guting 259 35.95 15.52 51.47
Sekarung 348 78.46 17.41 95.88
Banteran 378 87.42 8.95 96.37
Sub Total
(b) 985 201.83 41.89 243.72
3 Sumberdodol Gelang 233 0 34.08 34.08
Metegal 134 0 1.28 1.28
Ngablak 123 0 14.75 14.75
Blanten 116 0 10.24 10.24
Sub Total
(c) 606 0.00 60.35 60.35
4 Sumbersawit Godoh 261 21.56 21.69 43.25
Baran 345 66.20 8.47 74.68
63
No. Desa Dusun Jumlah
KK
Luas Hutan Rakyat (Ha)
Tegal Pe
karangan Jumlah
Mitir 373 81.48 15.26 96.74
Sub Total
(d) 979 169.25 45.42 214.67
5 Sidomulyo Gondang 448 41.00 55.81 96.81
Ngrobyong 513 48.52 17.92 66.43
Ngijo 368 92.42 30.67 123.09
Sub Total
(e) 1.329 181.94 104.40 286.34
Total (a,b,c,d,e) 4.334 654.63 266.74 921.37
Sumber: Buku II Dokumen Pengajuan KTHR Lawu Manunggal
Berdasarkan Tabel 11 diatas maka satuan wilayah kelola atau unit
manajemen yang didampingi adalah pada hutan rakyat seluas 921,37 ha, terdiri
hutan rakyat yang dikembangkan pada lahan tegal seluas 654,63 ha (71%) dan
pada lahan pekarangan seluas 266.74 (29%). Dari luas hutan rakyat tersebut
dimiliki oleh 4.334 petani anggota sekaligus sebagai anggota KTHR Lawu
Manunggal. Dengan demikian rerata kepemilikan hutan adalah seluas 0,21 ha
setiap anggota.
4. Menyiapkan Kelembagaan
Dalam sistem sertifikasi ekolabel Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Lestari (PHBML) yang diberikan kepada komunitas, maka sertifikat hanya akan
diberikan kepada kelompok sebagai lembaga pengelola hutan atau unit
manajemen. Dalam konteks KTHR Lawu Manunggal mereka menggunakan
nama Forest Management Unit (FMU) Lawu Manunggal.
Secara kelembagaan KTHR Lawu Manunggal merupakan gabungan dari
kelompok tani 5 desa yakni: Desa Sukowidi, Tapak, Sumberdodol,
Sumbersawit, dan Desa Sidowayah yang mengkoordinir pengelolaan hutan
seluas 921,37 ha tersebar pada 16 dusun di 2 kecamatan. Keberadaan
kelembagaan sebagai satuan pengelola hutan menjadi sangat penting karena dari
sinilah proses-proses pendampingan dan penyiapan dokumen dimulai dan
digerakkan oleh kepengurusan yang telah dibentuk bekerjasama dengan
64
pendamping dari PERSEPSI dan dari Dinas HUTBUN Kabupaten Magetan.
Terkait dengan susunan pengurus dan Struktur organisasi KTHR Lawu
Manunggal dapat dilihat pada Tabel dan gambar berikut.
Tabel 12. Susunan Pengurus KTHR Lawu Manunggal
No Jabatan Nama Asal Desa
1 Ketua Suwito Sumberdodol
2 Sekretaris Sujar Sidomulyo
3 Bendahara Purwanta Sumbersawit
4 Seksi-seksi :
A. Seksi Budidaya
dan Konservasi
1. Suwadi
2. Sugiyarto
Sukowidi
Tapak
B. Seksi Pengembangan
Organisasi
1. Sutrisno
2. Sukirno
Sukowidi
Sumbersawit
C. Seksi Pengembangan
Usaha dan Jaringan
1. Agung
Gunawan
2. Suwatiningsih
Sidomulyo
Tapak
D. Seksi Humas dan
Keamanan
1. A. Nur Zailani
2. Sunarso
Sumberdodol
Sumbersawit
5 Koordinator Desa
A. Desa Sukowidi Jumadi
B. Desa Tapak Warsiti
C. Desa Sumberdodol Haryono
D. Desa Sumbersawit Pamuji
E. Desa Sidomulyo Agus
Sumber: KTHR Lawu Manunggal, 2015
Dari susunan pengurus KTHR Lawu Manungal yang dipercayakan kepada
16 orang terdiri dari jabatan ketua, sekertaris dan bendahara serta seksi-seksi
dan koordinator desa yang berasal dari 5 desa sebagai wilayah kerja kelompok.
Bagaimana hubungan dan pola kerja dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
65
Gambar 4. Struktur Organisasi Lawu Manunggal
Terkait dengan susunan pengurus dan struktur diatas telah
menggambarkan pola kinerja kelembagaan yang mengarah kepada
pengelolaan hutan yang dilihat dari sisi pengembangan budidaya dan
konservasi, pengembangan kelembagaan, usaha serta publikasi dan
keamanan hutan. Untuk mengetahui secara lebih detail profil KTHR Lawu
Manunggal terkait dengan tanggal berdiri, kedudukan, keanggotaan, waktu
pertemuan kelompok luas hutan yang dikelola serta potensi kayu komersial
yang ada dapat dilihat pada lampiran 1.
KOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESAKOORDINATOR DESA
1. DESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDIDESA SUKOWIDI
2. DESA TAPAKDESA TAPAKDESA TAPAKDESA TAPAK
3. DESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOLDESA SUMBERDODOL
4. DESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWITDESA SUMBERSAWIT
5. DESA SIDOMULYODESA SIDOMULYODESA SIDOMULYODESA SIDOMULYO
KETUAKETUAKETUAKETUA
BENDBENDBENDBENDAHARAAHARAAHARAAHARA SEKRETARISSEKRETARISSEKRETARISSEKRETARIS
SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA SEKSI BUDIDAYA
DAN DAN DAN DAN
KONSERVASIKONSERVASIKONSERVASIKONSERVASI
SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN SEKSI HUMAS DAN
KEAMANANKEAMANANKEAMANANKEAMANAN
SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI
PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
ORGANISASIORGANISASIORGANISASIORGANISASI
SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI
PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
USAHA &USAHA &USAHA &USAHA & JARINGANJARINGANJARINGANJARINGAN
RAPAT RAPAT RAPAT RAPAT
ANGGOTAANGGOTAANGGOTAANGGOTA
66
5. Pendampingan Bidang Produksi, Ekologi dan Sosial
Pendampingan dalam rangka pemberdayaan masyarakat menyiratkan
sebuah pola hubungan yang penting antara pendamping dengan masyarakat itu
sendiri. Sebenarnya ada kata lain yang sering dipergunakan seperti pembinaan
atau pengajaran. Dua kata terkhir ini mulai tersingkir karena tidak menjadikan
masyarakat secara lebih baik tetapi justru menjadikan masyarakat tergantung,
tidak percaya diri, dan merasa dibodohkan. Padahal masyarakatlah yang lebih
tahu tentang sejarah, runtutan peristiwa dan realitas yang berkembang di sekitar
komunitas mereka. (Hasantoha Adnan, 1998).
Pendampingan menunjukkan posisi kesetaraan antara yang didampingi dan
mendampingi. Kesetaraan itu sekaligus menunjukkan kemitraan. Proses
pendampingan baik dalam bidang produksi, ekologi dan sosial yang berperan
utama adalah dari Tenaga Pendamping Lapang (TPL) dari PERSEPSI Proses
pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal melalui pendampingan dilakukan
melalui pertemuan kelompok secara terjadwal yang dilaksanakan setiap hari
sabtu minggu ke empat, mulai pukul 09.00 wib bertempat di sekretariat
kelompok maupun menurut kebutuhan (insidental) tergantung pada tema yang
akan dibahas. Pendampingan juga dilakukan secara langsung dengan cara
memberikan asistensi kepada pengurus ataupun langsung kepada anggota.
Sebagaimana mengacu pada Tabel 3 tentang kriteria dan indikator
kelestarian fungsi produksi menurut standar dari LEI, maka pendampingan
dalam bidang produksi diarahkan untuk menyiapkan dan memenuhi dokumen
yang bisa memberikan informasi berkaitan dengan pemenuhan 3 kriteria dengan
18 indikator yang dimaksud. Terhadap 3 kriteria yang dimaksud adalah:
kelestarian sumber daya, kelestarian hasil, dan kelestarian usaha.
Sebagaimana dalam buku II dukomen pengajuan sertifikasi PHBML KTHR
Lawu Manunggal, maka pendampingan dalam bidang produksi yang dilakukan
diantaranya: 1) pengelolaan hutan, 2) sistem silvikultur, 3) inventarisasi hutan,
4) inventarisasi jumlah pedagang dan pengrajin kayu serta 5) inventarisasi
perkembangan harga kayu.
67
a. Pendampingan Bidang Produksi
1) Pengelolaan hutan
Pengelolaan hutan secara lestari merupakan materi besar yang
terus dijadikan bahan oleh tenaga pendamping lapang dalam setiap
pendampingan baik disampaikan saat pertemuan kelompok maupun
pendampingan kepada pengurus dan anggota kelompok. Terdapat
beberapa definisi tentang pengelolaan hutan, namun secara umum
didefinisikan sebagai “ sutu sistem pengelolaan hutan yang menjamin
kelestarian fungsi secara produksi, ekologi dan sosial. Menurut
Muhtaman dan Djatmiko (2005), bahwa pengelolaan hutan adalah
serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan hasil
hutan secara berkelanjutan dan mencegah dampak negatif dari
pengelolaan yang dilakukan.
Proses pengelolaan hutan rakyat yang dikoordinir oleh KTHR
Lawu Manunggal sebenarnya adalah berbasis keluarga petani. Artinya
segala keputusan pengusahaan terkait jenis tanaman dan pola
budidayanya ditentukan oleh keluarga yang mayoritas juga sekaligus
sebagai pemilik hutan dan lahan. Proses pengelolaan hutan yang
dilakukan sudah berlangsung lama jauh sebelum terbentuk kelompok tani
dengan pola utama pengelolaan secara wanatani (agroforestry) yang
mengarah kepada kepentingan hasil untuk peningkatan pendapatan
sekaligus dalam rangka memperbaiki lingkungan karena lahan yang
mereka kelola sebagian besar memiliki topografi lereng sampai dengan
perbukitan. Dengan demikian telah terbentuk suatu sistem pengelolaan
hutan rakyat yang baik menuju hutan lestari yang menjamin
keberlangsungan produksi dan terjaganya ekosistem.
Namun demikian di dalam pendampingan yang dilakukan oleh
PERSEPSI bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
melalui Petugas Kehutanan Lapang (PKL) yang ada proses pengelolaan
hutan rakyat melalui KTHR Lawu Manungal terus dijaga dan diarahkan
menuju pada pengelolaan secara lestari dengan menetapkan jenis-jenis
kegiatan yang akan dilakukan seperti; sistem silvikultur, penataan batas
68
pemilikan, inventarisasi hutan, regenerasi hutan, perlindungan hutan dan
lain-lain.
2) Sistem Silvikultur
Menurut Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007, Tentang Tata
Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem bercocok
tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai,
menanam, memelihara tanaman dan memanen. Bagi petani hutan rakyat
yang tergabung di KTHR Lawu Manunggal bibit tanaman hutan berasal
dari pemudaan alami, bantuan dari pemerintah maupun swasta serta
untuk beberapa tanaman yang memiliki nilai komersial tinggi seperti
sengon maka banyak petani membeli bibit sendiri.
Pemeliharaan hutan biasa dilakukan bersamaan dengan
memelihara tanaman semusim lainnnya sebagai tanaman tumpangsari
ataupun secara khusus dilakukan untuk yang lahannya ditanamai kayu
saja dengan melakukan penjarangan dan perempelan. Tanaman hutan
berkayu ditanam secara kombinasi dengan tanaman semusim. Tanaman
kayu biasa ditanam pada pinggir batas pemilikan atau di punggung
tersering serta untuk penanaman baru di letakkan pada ruang lahan yang
masih kosong sehingga jarak tanaman keliharan acak dan tidak seumur.
Sementara sistem silvikultur untuk pemanenan kayu terbagi atas
sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis. Secara umum sistem
silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat oleh petani
adalah tegakan tidak seumur dan tebang pilih, dimana pohon yang
ditebang dipilih dari pohon yang telah masak tebang dan laku dijual.
Namun bagi petani dikenal juga dengan sistim silvikultur “ tebang
butuh” dimana mereka akan menebang atau memanen pohonnya
tergantung dari kebutuhan yang diperlukan.
69
3) Inventarisasi Hutan
Inventarisasi hutan diartikan sebagai suatu kegiatan untuk
mengetahui kekayaan (potensi) yang terkandung di dalam suatu hutan
pada saat tertentu (baik potensi kayu maupun non kayu) sebagai bahan
untuk penyusunan rencana pengelolaan sumber daya hutan di masa
depan. Karena hutan yang tersusun dari asosiasi tumbuh-tumbuhan dan
pohon-pohonan bersifat dinamis artinya selalu mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu sehingga inventarisasi hutan harus dilakukan secara
berkala dalam rentang waktu tertentu. (Purwanto dan Ris Hadi 2006).
Ditinjau dari aspek kegiatan inventarisasi, metode dan teknik
inventarisasi di hutan rakyat akan berbeda dengan metode inventarisasi
di hutan negara. Di kawasan hutan negara ditanam monokultur dan
satu umur dalam suatu hamparan, teknik inventarisasi yang digunakan
menggunakan sampel berupa petak ukur dengan intensitas sampling
tertentu. Akan tetapi untuk hutan rakyat tidak memiliki karakteristik
sebagaimana di atas tidaklah memungkinkan apabila menggunakan
pendekatan teknik sampling di hutan negara.
Terkait dengan penyiapan dokumen bidang produksi bagi
KTHR Lawu Manunggal maka secara garis besar tujuan kegiatan
inventarisasi di hutan rakyat adalah untuk mengetahui potensi (volume)
dari tegakan hutan rakyat sebagai dasar untuk menyusun rencana
pemanenan hutan menuju pengelolaan hutan lestari. Data potensi tegakan
ini akan menentukan perhitungan Jatah Tebang Tahunan (JTT)
selanjutnya bagi KTHR bermanfaat untuk melakukan pengendalian
jumlah penebangan agar produksi kayu yang dihasilkan tetap lestari.
Namun berdasarkan penuturan dari Tyas Asmarawati,
pendamping KTHR Lawu Manunggal dari PERSEPSI bahwa
inventarisasi yang dilakukan mempriotaskan pada perhitungan potensi
kayu komersial dari 4 (empat) jenis yang ada yaitu, sengon, mahoni,
mindi dan jati untuk menentukan JTT dengan metode Von Mantel
(dalam Hasanu Simon, 1996). Hal ini dilakukan karena hanya empat
jenis tersebut jenis kayu yang paling banyak ditanam, dipergunakan dan
70
diperdagangkan selain juga karena pertimbangan biaya untuk
melakukan inventarisasi. Tabel 13 berikut adalah hasil inventarisasi
potensi tegakan 4 jenis pohon komersial dan perhitungan jatah tebang
lestari di wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal.
Tabel 13. Potensi Kayu dan Perhitungan Jatah Tebang Lestari
No Jenis kayu Jumlah
(Btg)
Volume
(M3)
Daur
Tebang
(Th)
JTT
(M3/th)
JTB
(M3/th)
1 Sengon 15.856 3.958 7 1.131 94
2 Mahoni 21.824 3.267 15 435 36
3 Mindi 12.224 2.336 7 667 55
4 Jati 29.800 3.809 20 380 31
Jumlah: 79.704 13.372 2.615 217
Sumber : Hasil inventarisasi tegakan pohon komersial, 2015
Keterangan:
JTT: Jatah Tebang Tahunan
JTB: Jatah Tebang Bulanan
Dari Tabel 13 maka total jumlah 4 jenis pohon komersial di
wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal sebanyak 79.704 batang dengan
jumlah pohon jati paling banyak 29.800 batang (37%). Tegakan pohon
yang dihitung dalam inventarisasi ini adalah pohon yang telah memiliki
diameter 7 cm keatas. Perkiraan jumlah volume tegakan sebesar 13.372
M3 dengan jumlah volume terbanyak pada kayu sengon sebesar 3.958
M3 (29%). Namun, jika dilihat dari daur tebang yang diperhitungkan
dari rata-rata masyarakat memanen atau menebang pohon maka untuk
pohon sengon kebiasaan dipanen umur 7 tahun, mahoni 15 tahun, mindi
7 tahun dan untuk pohon jati ditebang umur 20 tahun.
Dalam pengelolaan hutan lestari, maka parameter kelestarian
ditentukan oleh pemilik hutan untuk tidak menebang pohon melebihi
volume jatah tebang lestari. Dari analisis yang mendasarkan hasil
inventarisasi yang telah dilakukan maka kawasan hutan yang dikelola
71
oleh KTHR Lawu Manunggal akan tetap diperoleh kelestarian produksi
apabila volume penebangan atau pemanenan khususnya untuk 4 jenis
pohon komersial tersebut tidak melebihi 2.615 M3 per tahun atau 217
M3 setiap bulan. Untuk mengetahui lebih rinci rekapitulasi penebangan
secara lestari untuk tanamaman kayu komersial dapat dilihat pada
lampiran 2, rekapitulasi penebangan kayu 5 tahun terakhir pada lampiran
3 dan hasil perhitungan kelas diameter pada lampiran 4 serta jumlah dan
volume kayu pada lampiran 5.
4) Inventarisasi Jumlah Pedagang dan Pengrajin Kayu
Jumlah pedagang dan pengrajin kayu pada suatu wilayah
menggambarkan tingkat produktivitas kayu pada wilayah tersebut. Sisi
lain semakin banyak anggota kelompok tani dan warga masyarakat lain
yang bekerja sebagai pedagang atau pengrajin kayu maka nilai tambah
(value aded) yang diperoleh akan semakin besar memberikan tambahan
penghasilan. Penelitian Teguh Suprapto 2015, tentang tata niaga kayu
rakyat di Wonogiri, sebagaimana dipublikasi oleh Dewan Riset Daerah
(DRD) Kabupaten Wonogiri terdapat 5 model perdagangan kayu rakyat
yang semuanya melibatkan para pedagang atau industri di desa. Dari
total 100 persen keuntungan yang dihasilkan hari proses tataniaga ini
maka; sebesar 79,4 % kue keuntungan dinikmati eksportir, 14 %
pengolah/ perajin kayu lokal, 4 % dinikmati pedagang pengumpul dan
2,6 % dinikmati pedagang perantara di desa.
Kesenjangan pembagian kue keuntungan yang sangat menyolok
antara eksportir dengan para pelaku lain dalam tataniaga kayu
menggambarkan betapa masih minimnya pengetahuan dan keterampilan
petani dan masyarakat pengembang hutan rakyat dalam pengelolaan
pasca panen kayu. Namun demikian dalam studi tersebut bahwa
keuntungan yang dinikmati para pedagang dan pelaku industri kayu di
desa masih jauh lebih besar dari pada keuntungan yang diperoleh oleh
petani hutan yang memerlukan masa tunggu panen hingga bertahun-
tahun.
72
Hasil identifikasi jumlah pedagang dan pengrajin kayu pada 5
desa di wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal ditemukan sebanyak 31
pelaku usaha. Dari jumlah tersebut di Desa Sukowidi terdapat 5 orang,
Desa Tapak 10 orang, Desa Sumberdodol 5 orang, Desa Sumbersawit 6
orang dan dari Desa Sidomulyo sebanyak 5 orang. Dari 31 orang pelaku
usaha tersebut sebanyak 13 orang (42%) sebagai pedagang kayu dan
sebanyak 18 orang (58%) sebagai perajin kayu dengan hasil produk
berupa almari, meja, kursi, pintu dan lain-lain yang mayoritas dipasarkan
secara lokal pada wilayah Kabupaten Magetan, Ponorogo dan Madiun.
Para pedagang umumnya menjual dalam bentuk kayu bulat (glondong)
dari 4 jenis tanaman kayu yang sering diperdagangkan yaitu: sengon,
mahoni, mindi dan jati. Dalam sistem penilaian sertifikasi ekolabel
standar dai LEI keberadaan jumlah pedagang dan industri atau pengarjin
kayu dalam suatu wilayah menjadi indikator penting terkait kelestarian
produksi dari hutan yang dikelola utamanya terkait dengan kriteia
kelestarian hasil dan kelestarian usaha .
5) Inventarisasi Perkembangan Harga Kayu
Perkembangan harga kayu menjadi indikator dinamika ekonomi
suatu wilayah dan nilai tukar produk kayu terhadap komoditas lain.
Perkembangan harga kayu yang baik berpengaruh langsung terhadap
peningkatan pendapatan petani hutan dan ini akan mempengaruhi laju
penebangan pohon. Dalam konsep “tebang butuh pilih” sebagaimana
yang dianut para petani hutan rakyat, mereka akan menebang pohon
secara terpilih (masak tebang) dan memanen secukupnya. Dengan
demikian harga kayu yang baik mampu mengurangi jumlah pohon yang
ditebang karena kebutuhannya telah tercukupi dari jumlah pohon yang
ditebang lebih sedikit. Hasil wawancara dengan pedagang dan
masyarakat mampu memetakan perkembangan harga kayu komersial
selama 5 tahun terakhir 2010 -2014 sebagaimana dalam Tabel 14 berikut.
73
Tabel 14. Perkembangan harga kayu 5 tahun terakhir 2010 -2014
No Jenis Kayu Harga kayu /M3
2010 2011 2012 2013 2014
1 Sengon 500.000 550.000 650.000 750.000 800.000
2 Mahoni 700.000 800.000 950.000 1.100.000 1.200.000
3 Mindi 1.000.000 1.150.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000
4 Jati 1.900.000 2.100.000 2.300.000 2.500.000 2.800.000
Sumber: Hasil wawancara dengan pedagang dan masyarakat 2015
Dari Tabel 14 terlihat bahwa perkembangan harga kayu selama 5
tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Untuk kayu sengon
mengalami kenaikan 60 % atau rerata 12 % per tahun, kayu mahoni 100
% (20% per tahun), mindi 60% (12% per tahun) dan perkembangan
untuk kayu jati mengalami kenaikan sebesar 47% (9 % per tahun).
Kenaikan harga untuk 4 jenis kayu diatas paling tinggi untuk
kayu mahoni disusul sengon dan mindi selanjutnya perkembangan harga
kayu paling rendah justru untuk harga kayu jati.. Jenis kayu mahoni dan
mindi paling banyak dibutuhkan untuk kebutuhan furniture untuk
kepentingan eksport, kayu sengon banyak dibutuhkan untuk industri
kayu lapis sedangkan kayu jati rakyat paling banyak dibutuhkan untuk
perabotan rumah tangga dan bangunan rumah yang banyak digunakan
untuk masyarakat sekitar. Kenaikan harga kayu terkait kriteria
kelestarian hasil dan usaha dalam standar PBML LEI.
b. Pendampingan Bidang Ekologi
Kelestarian fungsi ekologi dalam suatu unit manajemen hutan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa hutan yang dikelola telah memenuhi
prinsip-prinsip kelestarian lingkungan terkait dengan stabilitas ekosiostem
hutan serta terlindungi dan berkembangnya species langka. Hal ini senada
dengan konsep pembangunan berkelanjutan dimana akan tercapai jika mampu
membangun masyarakat beragam dan sadar lingkungan (Johan Silas, 2014).
74
Untuk itu pendampingan bidang ekologi diarahkan untuk dapat menyajikan
data atau dokumen yang dapat menjawab dari 3 indikator yang dibutuhkan
yakni: (1) tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan
terhadap integritas lingkungan, (2) ketersediaan informasi dan dokumentasi
dampak kelola produksi terhadap lingkungan dan, (3) adanya kegiatan kelola
lingkungan yang efektif.
Dengan pola dan strategi yang sama dalam pendampingan bidang
produksi, tenaga pendamping lapang dari PERSEPSI melakukan identifikasi,
menyiapkan dan melengkapi data/informasi yang dibutuhkan terkait bidang
ekologi diantarnya : 1) aturan kelola hutan rakyat, 2) keberadaan sumber
mata air, 3) keberadaan sungai dan 4) Keberadaan tumbuhan dan satwa yang
dilindungi.
1) Aturan Kelola Hutan Rakyat
Pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan oleh petani yang
dikoordinir oleh KTHR Lawu Manunggal ini berada pada Kawasan
Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Ini berbeda dengan hutan Negara
yang memang dikembangkan di Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).
Dengan demikian, pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat adalah
berada di lahan hak milik perorangan dan keluarga yang biasanya
diabdikan selain untuk tanaman kayu juga tanaman pangan semusim
dan tanaman perkebunan. Pada lahan –lahan tertentu atas kesadaran
sendiri, masyarakat mengambil keputusan mengubah penggunaan lahan
dari semula untuk tanaman pangan menjadi tanaman kehutanan.
Praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh
masyarakat telah lama dilakukan namun mereka jarang sekali
menuliskan pengalaman-pengalaman tersebut menjadi sebuah dokumen
yang dapat dibaca, difahami dan dipelajari dan dapat dikembangkan
oleh pihak lain bahkan oleh para anak cucu. Aturan kelola hutan rakyat
yang disusun oleh KTHR Lawu Manunggal selain berfungsi sebagai
syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam rangka mendapatkan
sertifikat ekolabel PHBML juga merupakan dokumen pengalaman
75
berharga dari para leluhur dalam pengusahaan hutan yang terbukti
mampu mengantarkan kesejahteraan hingga saat ini.
Oleh pendamping dari PERSEPSI proses penyusunan aturan
kelola hutan rakyat ini dilakukan dengan cara menuliskan praktek-
praktek terbaik dalam pengelolaan hutan yang difasilitasi melalui
pertemuan kelompok, wawancara maupun penugasan penulisan kepada
pengurus yang mereka adalah bagian dari tim penyiap dokumen untuk
mendapatkan sertifikat ekolabel. Setelah semua pengalaman terkumpul,
oleh pendamping selanjutnya ditulis menjadi sebuah aturan kelola hutan
rakyat yang selanjutnya digunakan acuan bersama dalam pengelolaan
hutan. Aturan kelola hutan untuk tanaman kayu dan non kayu yang
telah dibuat dalam bentuk panduan menjadi dokumen dan menjadi
acuan yang disimpan di kelompok.
2) Keberadan Sumber Mata Air
Keberadaan hutan rakyat di Kecamatan Panekan dan Sidorejo
dimana sebagian wilayahnya merupakan wilayah kelola KTHR Lawu
Manunggal menghasilkan banyak titik-titk sumber mata air. Hasil
identifikasi yang dilakukan oleh KTHR Lawu Manunggal untuk wilayah
kelola yang mencakup 5 desa ditemukan sekurangnya 24 sumber mata
air. Untuk tiap sumber mata air masyarakat memberikan nama untuk
memudahkan menyebut dan mengenalnya. Terkait nama sumber mata
air, alamat dan penggunaannya yang berada pada wilayah kelola KTHR
Lawu Manunggal dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.
76
Tabel 15. Daftar Sumber Mata Air
No
Nama Sumber
Mata Air
Alamat Desa
Penggunaan
Irigasi Rumah
Tangga
Lainnya
1 Sumber Bulu Tapak √ √
2 Nglumbur Sumbersawit √ √ -
3 Selangsang Sumbersawit √ √ PDAM
4 Sekatesan Sumbersawit √ √
5 Sendang Sumbersawit √ √ -
6 Seledok Kilen Sumbersawit - √ -
7 Sedoyo Sumbersawit √ - -
8 Santu Sumbersawit √ - -
9 Nganten Sukowidi √ √ PDAM
10 Sekarung Sukowidi √ √ -
11 Dongaron Sukowidi √ √ -
12 Ndempul Sukowidi √ √ -
13 Ngemplak Sumberdodol √ √ -
14 Serumbut Sumberdodol √ √ -
15 Tirto Mudo Sumberdodol √ √ PDAM
16 Sendang Sumberdodol √ - -
17 Salam Sumberdodol √ √ -
18 Sepletok Sumberdodol √ √ -
19 Dampit Sumberdodol √ √ -
20 Ngembak Sumberdodol √ - -
77
No
Nama Sumber
Mata Air
Alamat Desa
Penggunaan
Irigasi Rumah
Tangga
Lainnya
21 Gangging Sidomulyo √ √ -
22 Jumok Sidomulyo √ - -
23 Ngijo Sidomulyo - √ -
24 Sentul Sidomulyo √ - PDAM
Jumlah : 22 19 4
Sumber: Hasil wawancara dengan anggota dan pengurus KTHR , 2015
Dilihat dari sebaran sumber mata air menurut desa, maka yang
paling banyak adalah di Desa Sumberdodol dengan 8 sumber mata air,
Desa Sumbersawit 7 sumber mata air dan yang paling sedikit adalah di
Desa Tapak dengan 1 sumber mata air. Dari sisi penggunaan sebanyak
22 sumber mata air (91,6%) untuk kepentingan irigasi, 19 mata air (79%)
untuk keperluan air rumah tangga dan sebanyak 4 sumber mata air
(16,6%) dari 24 sumber mata air yang ada dikelola oleh Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM).
Sumber mata air yang dipergunakan untuk pertanian dikelola
dengan membuat saluran –saluran irigasi untuk mengairi padi sawah,
palawija dan sayuran. Untuk keperluan rumah tangga dengan cara
menyalurkan air melalui pipa-pipa kecil langsung kerumah yang
umumnya dilakukan secara swadaya. Sedangkan untuk sumber
Selangsang, sumber Nganten, sumber Tirto Mudo dan sumber Sentul
selain dimanfaatkan untuk irigasi dan keperluan rumah tangga
dimanfaatkan oleh PDAM untuk mencukupi kebutuhan air di kota
Magetan dan sekitarnya. Khusus untuk mata air atau sumber Tirto Mudo
di Desa Sumberdodol dikelola oleh pemerintah desa dan dijual untuk air
isi ulang yang hasilnya sebagai pendapatan desa.
78
3) Keberadaan Sungai
Hutan berperan sebagai spons raksasa menyerap air hujan selama
musim hujan dan perlahan-lahan melepaskannya selama musim kering.
Hutan menyediakan sistem penyaringan (infiltrasi) secara alami dan
penyimpanan yang memasok sekitar 75 persen air yang dapat digunakan
secara global (GEF, 2011). Perakaran pohon dan seresah dedaunan
menciptakan kondisi yang mendorong infiltrasi air hujan kedalam tanah
dan kemudian keluar dalam bentuk mata air ataupun langsung ke sungai.
Sementara pepohonan dan hutan meningkatkan kualitas aliran sungai
dengan mengurangi air limpasan dan mengurangi sedimen.
Terdapat 7 (tujuh) sungai yang melewati wilayah kelola hutan di
KTHR Lawu Manunggal yang mengalir saat musim penghujan maupun
kemarau. Namun sebagaimana diakui oleh Suwito ketua kelompok tani,
bahwa pada ujung akhir musim kemarau saja aliran air di sungai-sungai
tersebut masih tetap mengalir sekalipun dengan aliran yang kecil. Hal
ini menurutnya ada kaitan dengan keberadaan hutan rakyat yang
dikelola bersama teman-teman anggota kelompok tani dimana hutan
semakin menunjukkan kondisi baik dan terjaga. Tabel 16 berikut adalah
nama-nama sungai yang melewati wilayah hutan yang dikelola.
Tabel 16. Daftar nama – nama sungai
No Nama Sungai Desa yang
dilewati
Keterangan
1 Segue Sukowidi,
Tapak
Sungai Segue dan Sungai Sondo
merupakan satu aliran yang sama,
melewati 3 desa lainnya yaitu Desa
Manjung, Desa Sumberdodol dan
Desa Tanjungsari
2 Sondo Sumberdodol Alirannya bersatu dengan Sungai
Glagah menuju sungai Madiun
3 Segeger Sumberdodol Sungai Segeger dan Sungai
Slangsang merupakan satu aliran
yang sama, dengan kondisi air yang
jernih
4 Slangsang Sumbersawit Alirannya berlanjut ke sungai
Segeger kemudian menuju Sungai
Tinil dan langsung ke sungai
Madiun dan Bengawan Solo.
5 Glagah Sumbersawit Hampir sama dengan sungai
79
No Nama Sungai Desa yang
dilewati
Keterangan
Sidomulyo lainnya Aliran airnya banyak
dimanfaatkan untuk irigasi
6 Sejumok Sumbersawit
Sidomulyo
Merupakan aliran yang berasal dari
Sumber Mata Air Sekatesan dan
Sumber Mata Air Slangsang
7 Sejetis Sidomulyo Dalam badan sungai banyak
dibangun bangunan untuk
mengalirkan air kepentingan
pertanian Sumber: Hasil wawancara dengan anggota dan pengurus KTHR , 2015
Hasil pengamatan di lapang bahwa ketujuh sungai tersebut
termasuk sungai berdiri karena mengalir pada wilayah perbukitan
Gunung Lawu sisi timur sehingga air yang ada dapat dimanfaatkan
secara maksimal dengan dibuat beberapa bangunan untuk
memanfaatkan airnya dan disalurkan untuk kepentingan irigasi. Aliran
air sungai yang sebagian telah dibelokkan untuk irigasi maka kelebihan
air dari lahan pertanian masuk kembali kesungai dan pada bagian
bawahnya dibangun lagi bangunan untuk membelokkan dan
mengambail sebagian air sungai untuk pertanian dan keperluan lain.
Jika dicermati pada ujung sungai maka ketujuh sengai tersebut
selanjutnya bermuara di kali Madiun selanjutnya bergabung dengan
aliran sungai bengawan Solo yang bermuara dilaut Jawa.
4) Keberadaan Satwa Langka
Keberadaan satwa langka dalam habitat hutan sebagai petunjuk
bahwa ekosistem hutan telah terjaga dengan baik. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa, inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya
mengetahui kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah
penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun
di lembaga konservasi. Dalam Pasal 5 Suatu jenis tumbuhan dan satwa
wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah
memenuhi kriteria: (a). mempunyai populasi yang kecil; (b). adanya
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; dan (c) daerah
80
penyebaran yang terbatas (endemik). Terhadap jenis tumbuhan dan
satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud wajib dilakukan
upaya pengawetan.
Terkait dengan hal tersebut maka KTHR Lawu Manunggal dalam
rangka untuk mendapatkan sertifikat ekolabel, telah melakukan
inventarisasi tumbuhan dan satwa langka/dilindungi yang merupakan
bagian dari dokumen bidang ekologi yang harus dipenuhi. Hasil
identifikasi ditemukan bahwa terdapat 2 (dua) jenis tumbuhan yakni
Mojo (Aegele marmelos ) dan Trembesi (Samania saman) sudah sangat
sedikit ditemukan. Sedangkan masih ditemukan 14 (empat belas) jenis
satwa langka /dilindungi yang masih hidup pada hutan rakyat. Tabel 17
adalah hasil identifikasi jenis-jenis satwa langka yang ditemukan.
Tabel 17. Daftar satwa langka/dilindungi di KTHR Lawu Manunggal
No
. Jenis Hewan
Lokasi
Ditemukan
Kondisi
Keberadaan
1 Ayam Alas (Gallus gallus) Hutan Sering dijumpai
2 Babi Hutan (Sus scrofa) Hutan Sering dijumpai
3 Rusa (Cervus elaphus ) Hutan Jarang
4 Trenggiling (Manis
javanica)
Tegalan,
Pemukiman Sering dijumpai
5 Landak (Hystrix
brachyuran) Tegalan Sering dijumpai
6 Luwak (Paradoxurus
hermaphroditus)
Hutan,
Pemukiman Sering dijumpai
7 Garangan (Vulpes vulpes ) Hutan Sering dijumpai
8 Kera (Macaca
fascicularis) Hutan Sering dijumpai
9 Burung Hantu (Blak otus
migicus beccaril) Hutan Jarang
10 Harimau (Panthers tigris) Hutan Jarang
11 Ular Sanca (Phyon
morulus) Sawah Jarang
12 Ular Hijau (Trimeresurus
albbolabris) Pemukiman Jarang
13 Tupai (Tupala javanica ) Pemukiman Sering dijumpai
14 Elang Jawa (Spizaetus
bartelsi)
Pemukiman,
Hutan Jarang
Sumber : Hasil wawancara dengan masyarakat, 2015
Jenis hewan yang teridentifikasi di atas, rata-rata ditemukan di
seluruh wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal yakni di desa
81
Sukowidi, Tapak, Sumberdodol, Sumbersawit, dan Sidomulyo.
Masyarakat sering menjumpai satwa tersebut pada hutan rakyat (tegalan
atau wono) lahan sawah atau bahkan pada pemukiman warga dengan
intensitas jarang sampai sering dijumpai. Dengan ditemukannya 14
jenis satwa langka/dilindungi tersebut menjadi indikasi bahwa hutan
rakyat yang dikelola telah menjadikan habitat yang cocok bagi tumbuh
dan berkembangnya satwa-satwa tersebut.
c. Pendampingan Bidang Sosial
Kelestarian fungsi sosial dimaksudkan untuk memastikan bahwa
dalam pengelolaan hutan secara lestari tidak terjadi permasalahan-
permasalahan sosial seperti soal tenurial (kepastian hak), terjaminnnya
ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas, terbangunnya pola
interaksi sosial yang baik serta keadilan manfaat dalam pengelolaan hutan.
Oleh sebab itu pendampingan kepada KTHR Lawu Manunggal
diarahkan untuk dapat menyajikan data/dokumen dalam rangka pemenuhan
kriteria dan indikator bidang sosial. Terdapat 4 (empat) kriteria yang harus
dipenuhi yakni: (1) kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan
atau areal hutan yang dipergunakan, (2) terjaminnya ketahanan dan
pengembangan ekonomi komunitas , (3) terbangun pola hubungan sosial
yang setara dalam proses produksi dan (4) keadilan manfaat menurut
kepentingan komunitas.
Dengan pola dan strategi yang sama dalam pendampingan bidang
produksi dan ekologi, tenaga pendamping lapang dari PERSEPSI melakukan
identifikasi, menyiapkan dan melengkapi data yang dibutuhkan terkait
bidang sosial diantarnya: 1) pendampingan kelembagaan KTHR Lawu
Manunggal, 2) kalender musim dan riwayat sengketa lahan, 3)
pengembangan sumber daya manusia (SDM), 4) dinamika harga hasil hutan
bukan kayu dan upah tenaga kerja.
82
1) Pendampingan Kelembagaan KTHR Lawu Manunggal
Menurut Arifin (2005) bahwa definisi kelembagaan mencakup
dua demarkasi penting, yaitu (1) norma dan konvensi (norm and
convention), serta (2) aturan main (role of the game). Selanjutnya
dikatakan bahwa kelembagaan dapat secara tidak tertulis maupun
secara tertulis formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut
masyarakat. Keberadaan kelembagaan petani sangat penting dalam
pengembangan hutan rakyat .
Pendampingan kelembagaan yang dilakukan oleh tenaga
pendamping lapang dari PERSEPSI dilakukan dengan 3 pendekatan,
yakni (1) dilakukan bersamaan saat pertemuan kelompok, (2)
memberikan penugasan untuk mengisi formulir tertentu terkait
dokumen kelembagaan, dan (3) melakukan asistensi langsung kepada
pengurus dan atau anggota yang dilakukan sesuai kebutuhan.
Dalam konteks pendampingan penyiapan dokumen kelembagaan
dihasilkan tiga dokumen penting, yakni: (1) profil kelembagaan KTHR
Lawu Manunggal, (2) anggaran dasar KTHR Lawu Manunggal dan (3)
anggaran rumah tangga KTHR Lawu Manunggal. Profil kelembagaan
menjelaskan terkait dengan identitas kelembagaan, tanggal berdiri,
tempat sekertariat, keanggotaan, waktu pertemuan, luas kelola hutan,
potensi hutan dan susunan pengurus. Lebih rinci tentang profil
kelembagaan dapat dilihat pada lampiran 1.
Adapun penyiapan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah
tangga (ART) lebih menyiapkan kelompok tani hutan terkait dengan
aturan main yang perlu disusun, disepakati dan dilaksanakan bersama
untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan rakyat untuk
kesejahteraan bersama. Sebagaimana tertuang dalam maksud dan
tujuan dibentuknya KTHR Lawu Manunggal adalah (1) untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melestarikan hutan
rakyat, (2) meningkatkan nilai jual hasil hutan rakyat dan (3) sebagai
forum untuk meningkatkan jaringan kerjasama kelompok tani yang ada
di 5 desa. Bagaimana bentuk dan isi anggaran dasar dan anggaran
83
rumah tangga KTHR Lawu Manunggal dapat dilihat lebih rinci pada
lampiran 6 dan lampiran 7.
2) Kalender Musim dan Riwayat Sengketa Lahan
Salah satu dokumen penting yang harus disiapkan untuk
mendapatkan sertifikat ekolabel dalam pengelolaan hutan rakyat adalah
tentang kalender musim. Kalender musim adalah sebuah kalender yang
disusun secara partisipatif atas masukan dari banyak warga dan tokoh
masyarakat yang menjelaskan tentang tahapan dan kapan dilaksanakan
terkait budidaya tanaman semusim dan tanaman hutan atau tanaman
kayu. Kalender ini adalah memotret kebiasaan masyarakat dalam hal
bertanam mulai sejak penyiapan bibit, pengolahan tanah, penanaman
sampai dengan panen, dan pada tahapan tersebut biasa dilakukan pada
bulan apa. Sisi lain bahwa kalender ini juga memetakan kegiatan sosial
budaya yang berlaku di masyarakat seperti; kapan dilakukan bersih desa,
sadranan makam, musim hajatan atau orang punya kerja, musim anak
masuk sekolah dan lain-lain. Dengan demikian memahami kalender
musim kita secara mudah dapat memahami dinamika pengelolaan hutan
rakyat dan dinamika sosial budaya yang berlaku dimasyarakat
sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 8..
Aspek penting lain dalam dokumen sosial yang dicermati dalam
penilaian kelestarian fungsi sosial adalah terkait dengan konflik lahan.
Konflik tersebut diantaranya menyangkut status kepemilikan lahan,
kejelasan batas pemilikan dan bentuk-bentuk sengketa lain atas lahan.
Berdasarkan surat keterangan yang dikeluarkan oleh lima kepala desa
yang hutannya tergabung dalam wilayah kelola KTHR Lawu Manunggal,
maka dinyatakan; (1) jika terdapat sengketa atas lahan yang ada di
masing-masing desa maka akan diselesaikan secara kekeluargaan dan
apabila tidak tercapai mufakat maka baru akan diselesaikan sampai
tingkat desa yang melibatkan aparat bidang pertanahan, (2) selama kurun
waktu 5 tahun terakhir yakni 2010 -2014, pada masing-masing desa tidak
pernah terjadi sengketa warga atas lahan termasuk batas pemilikan.
84
3) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor penting dalam suatu
organisasi. Organisasi dibentuk untuk tujuan manusia dan berjalannya
organisasi dikendalikan oleh manusia. Jadi keberadaan dan kualitas SDM
menjadi sangat penting dalam suatu organisasi. Menurut Tadjudin
(2000:63): masyarakat lokal di Indonesia memiliki kearifan dan
pengetahuan lokal yang unggul dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Keunggulan tersebut ditunjukkan dengan praktek kebun-kebun
(agroforest) yang memiliki ciri umumnya: produktif, ramah lingkungan,
selaras dengan keanekaragaman sumberdaya hayati, dan berjalan secara
berkelanjutan.
Pengelolaan hutan rakyat (agroforest) sebagaimana telah dilakukan
oleh petani yang tergabung dalam KTHR Lawu Manunggal telah
mencapai pada kondisi pengelolaan yang baik. Untuk terus dapat
menjaganya maka dibutuhkan kemampuan SDM yang memiliki tingkat
keterampilan dan pengetahuan yang baik diantaranya mengikuti berbagai
jenis pendidikan dan pelatihan yang bersifat keterampilan teknis terkait
dengan pertanian dan kehutanan, pengelolaan organisasi, wirausaha,
penatausahaan hasil hutan dan lain-lain.
Dalam lima tahun terakhir saja yakni tahun 2010 – 2014, sebanyak
38 petani sebagai anggota dan pengurus KTHR telah mengikuti kegiatan
pendidikan dan pelatihan yang ditunjukkan dengan mendapatkan
sertifikat dan diselenggarakan dari berbagai pihak. Diantaranya adalah:
1) pembinaan pengurus kelembagaan usaha pertanian yang
diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Penyuluh dan Sumberdaya
Manusia Pertanian, tahun 2010. 2) In hause training “ Peningkatan
Kualitas Sumberdaya Pengelola Lingkungan, yang diselenggarakan
PPLH Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2011. 3) pelatihan
manajemen dan administrasi organisasi yang diselenggarakan oleh
PERSEPSI tahun 2014 serta jenis-jenis pelatihan lainnya yang terkait
dengan pengembangan organisasi dan pengelolaan hutan rakyat. Lebih
85
rinci mengenai peserta, jenis pelatihan yang pernah diikuti,
penyelenggara dan waktu pelaksanaan dapat dilhat pada lampiran 8.
Setelah mereka selesai mengikuti kegiatan pelatihan umumnya
disampaikan dalam kegiatan pertemuan kelompok, ditularkan kepada
sesama petani atau langsung dipraktekkan dalam pengelolaan hutan dan
lahan yang mereka kelola.
Peningkatan kemampuan SDM yang ditempa dari pengalaman dalam
mengelola hutan rakyat dan organisasi selama ini serta hasil pendidikan
dan latihan yang diikuti dan fasilitasi pendampingan dari PERSEPSI
maka mereka telah mampu menyusun beberapa panduan atau pedoman
diantaranya; pedoman penanaman, pedoman pemeliharaan tanaman,
pedoman penyelesaian konflik , rencana kelola hutan lestari dan lain-lain.
4) Hasil Hutan Bukan Kayu
Pengelolaan hutan secara lestari diantaranya ditunjukkan dengan
keberadaan hasil hutan bukan kayu yang memiliki sifat dapat dipanen
dalam jangka pendek, segera dapat diolah, dipasarkan dan mampu
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan petani. Dari hasil
identifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini maka terdapat 16 (enam
belas) jenis komoditas yang ternyata pada tahun 2014 saja memiliki
dinamika harga yang fluktuatif sebagaimana tertuang pada Tabel 18
berikut.
Tabel 18. Perkembangan harga tanaman hasil hutan bukan kayu
No. Jenis Komoditas
Harga Rupiah (per kg)
Rata-
rata
Terendah Tertinggi
1. Jagung (pipil) 2.900 1.900 3.400
2. Singkong 1.400 500 1.700
3. Jahe 8.500 2.000 15.000
4. Kunyit 1.000 500 2.500
5. Lengkuas 1.000 500 2.000
6. Alpokat 8.250 1.500 15.000
7. Durian 50.000 25.000 70.000
8. Rambutan 1.750 500 3.000
9. Kopi (robusta) 7.500 4.000 11.000
10. Cengkeh Basah 36.000 25.000 47.000
86
No. Jenis Komoditas
Harga Rupiah (per kg)
Rata-
rata
Terendah Tertinggi
11. Kakao Kering 13.500 12.000 15.000
12. Janggelan Kering 8.750 1.500 16.000
13. Ketela 1.350 200 2.500
14. Kubis 3.125 250 6.000
15. Tembakau 5.500 4.000 7.000
16. Cabai Hijau 20.750 1.500 40.000
Sumber : Hasil wawancara dan analisis data primer, 2015
Dari Tabel 18 terlihat bahwa hasil tanaman hutan bukan kayu
sangat dinamis atau fluktuatif dan kondisi ini dipengaruhi oleh musim
panen, musim tanam, kegagalan panen dan pengaruh lain yang sifatnya
diluar kendali petani. Hasil hutan bukan kayu sebagaimana ditampilkan
pada Tabel diatas belum mencakup semua komoditas. Komoditas lain
seperti pisang, bambu, kelapa dan lain-lain tidak terdeteksi harganya
dalam penelitian ini.
Berdasarkan data yang ada di KTHR, sekurangnya terdapat 66
(enam puluh enam) anggota kelompok yang mengelola hasil panen dari
produk hutan bukan kayu menjadi usaha sampingan dalam skala rumah
tangga. Produk produk tersebut diantaranya adalah; tempe, keripik, gula
kelapa, emping gadung dan berbagai produk dari anyaman bambu
seperti besek, caping dan lain-lain. Berdasarkan penelitian ini maka
hasil hutan non kayu nilainya jauh lebih besar daripada dari hasil berupa
kayu.
6. Penilaian Lapang
Dalam pelaksanaan sertifikasi ekolabel yang dilakukan pada KTHR
Lawu Manunggal sistem yang digunakan adalah sistem Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) menurut standar
dari LEI. Menurut sistem tersebut maka penilai lapang dilakukan sendiri oleh
lembaga pendamping yaitu Perhimpunan Untuk Studi dan Pengembangan
Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) sedangkan pengambilan keputusan dilakukan
87
dari Lembaga Sertifikasi (LS) yang telah mendapatkan akreditasi dari Lembaga
Ekolabel Indonesia.
Penilaian lapang atau audit internal yang dilakukan oleh PERSEPSI
selanjutnya dibentuk tim yang telah memiliki kapasitas sebagai assessor yang
dibuktikan telah mengikuti pelatihan standar PHBML dan telah
berpengalaman dalam pendampingan hutan rakyat. Tim penilai lapang terdiri
dari 3 orang yang akan menilai dari aspek produksi, aspek ekologi dan aspek
sosial.
Berdasarkan hasil penilaian lapang yang dilakukan, maka ditetapkan
bahwa skema sertifikasi PHBML menggunakan skema 2 jalur C. Skema 2
adalah skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim (certification under
recognition over claim). Pada skema ini penilaian lapangan dan pengajuan
(aplikasi) kepada lembaga sertifikasi dilakukan oleh lembaga
pemohon/pendamping yang merupakan wakil dari masyarakat pengelola hutan.
a. Metode
Metode penilaian lapang dilakukan melalui tiga cara. Pertama,
studi dokumen yang ada di KTHR Lawu Manunggal. Kedua pengecekan
di lapangan, serta ketiga diskusi kelompok terfokus. Studi dokumen
dilakukan untuk menilai bagaimana fakta-fakta lapang didokumentasikan
secara obyektif. Pengecekan lapang dilakukan untuk menilai konsistensi
antara apa yang dilaporkan dalam dokumen dengan kenyataan yang ada di
lapang. Metode diskusi kelompok terfokus dilakukan sebagai bentuk
triangulasi data, dan memberi kesepakatan kepada unit manajemen untuk
mengkritisi kinerja pengelolaan mereka dan mencari masukan dari
berbagai pihak tentang hubungan kenyataan tersebut dengan kepentingan
berbagai pihak.
Melalui studi dokumen maka diperoleh berbagai informasi untuk
menentukan tipologi PHBM dan tipologi Unit Manajemen, jalur dan
skema pengajuan. Setelah itu barulah ditentukan kriteria, indikator dan
verifier yang akan dipakai dalam penilaian. Sekaligus dengan metode ini
diperoleh keakuratan data dan informasi, kemudian dipahami pihak dalam
88
dan luar KTHR sebagai para pihak penting terkait dengan pengelolaan
hutan rakyat. .
Pengecekan lapang dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan
gambaran berbagai informasi yang terdokumentasi dengan realita lapang.
Dengan demikian, konsistensi data menjadi sesuatu yang bisa
dipertanggung jawabkan. Pengecekan lapang ini sekaligus memberi
kesempatan bagi unit manajemen dalam memahami apa yang mungkin
terjadi pada gejala alam, batas alam, perubahan yang terjadi pada berbagai
musim, dan dampaknya bagi pengelolaan hutan oleh unit manajemen.
Metode focus group discussion (FGD) dimaksudkan sebagai cara
untuk mendapatkan pandangan berbagai pihak yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan unit manajemen. Dari pihak unit
manajemen dengan cara ini berkesempatan memberikan masukan
sekaligus sebagai upaya cross chek terhadap berbagai informasi yang akan
ditulis dalam dokumen pengajuan sertifikasi ekolabel PHMBL. Ketiga
metode yang diterapkan untuk dapat menilai ketiga aspek (kelestarian
produksi, ekologi dan sosial) secara lebih baik. Gambar 4 berikut adalah
metode yang diterapkan dalam penilaian lapang di KTHR Lawu
Manunggal.
Gambar 5. Metode penilaian sertifikasi ekolabel
b. Hasil Penilaian Lapang
1) Tipe PHBM
KTHR Lawu Manunggal melakukan pengelolaan hutan di
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK). Kawasan yang dikelola
unit manajemen ini berada disekitar rumah dan lahan pertanian
mereka. Di situlah tumpuan hidup mereka. Selalu diyakini sebagai
Studi Dokumen
Cek Lapang
FGD
Produksi
Ekologi
Sosial
Temuan
lapang
Penilaian
Skala
intensitas
89
nilai yang hidup dimasyarakat bahwa hidup di lingkungan hutan
menjadikan mereka dekat dengan alam dan arif dalam menyikapi
alam. Pada kawasan itulah mereka bertempat tinggal dan
bermasyarakat, membuat rumah dan mengembangkan hubungan
sosial, ekonomi dan politik. Terbuka bagi masyarakat setempat
untuk mengkonversi lahan hutan mereka untuk pengembangan
pertanian, pemukiman, maupun prasarana umum desa di kawasan
lahan yang dikuasai. Pada kawasan itulah masyarakat
mengembangkan budidaya berbagai tanaman pangan untuk
konsumsi dan dijual.
Tanaman yang dikembangkan adalah jenis kayu dan bukan
kayu. Jenis kayu yang dominan adalah jati, mindi, sengon dan
mahoni. Lahan pada bawah tegakan digunakan untuk budidaya
empon – empon (tanaman obat, jahe, kunir, kunci) dan tanaman
pangan (uwi, gembili, suwek) dan dari jenis tanaman MPTS
(mangga, rambutan, durian). Hasil kayu sedikit dikonsumsi sendiri
untuk memenuhi kebutuhan pembuatan rumah, perabot rumah
tangga dan kayu bakar. Sebagian besar adalah dijual (komersial)
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam jumlah besar dan
mendesak (pendidikan, hajatan, dll).
Berdasar dokumen yang ada di KTHR, semua lahan yang
dikelola oleh petani berada di atas hak milik formal. Hal ini
dibuktikan dengan kepemilikan leter C, sertifikat hak milik atau girik
yang dalam dokumen ajuan ditunjukkan dengan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT sebagai bukti pembayaran
pajak atas tanah yang dimiliki. Meskipun dari pemilik lahan dari segi
posisi tempat tinggalnya bervariasi dari dusun, desa, serta
kecamatan, tetapi pengakuan kedaulatan kepemilikan tetap dihormati
antar dan oleh pemilik lahan. Terhadap pemilik lahan yang tinggal di
luar desa praktek yang berlaku dimasyarakat dan sudah mentradisi
adalah menyerahkan pengelolaannya kepada saudara yang tinggal di
90
dusun tersebut atau orang kepercayaan yang tinggal berbatasan
dengan lahannya dan memberi bagi hasil.
Berdasar informasi tersebut, maka tipologi PHBM untuk
KTHR Lawu Manunggal termasuk dalam kawasan budidaya non
kehutanan (KBNK), dengan orientasi usaha untuk komersial dan
dilakukan diatas lahan hak milik formal atau sama dengan tipologi
PHBM nomer 20. Ini penting ditegaskan agar berbagai pihak
memiliki informasi yang utuh dan akurat dalam memahami dan
mengambil keputusan penilaian tentang KTHR Lawu Manunggal.
Untuk mengetahui posisi tipe PHBM nomer 20 atau tipe PHBM
pada KBNK secara komersial yang berada pada tanah formal dapat
dilihat pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19. Matriks Tipologi PHBM dengan produk utama kayu
I. Orientasi
Pengelolaan
II. Status Penguasaan Tanah/ Lahan
Lahan/Hutan Hutan/ Tanah Tanah Adat Tanah
Hak
dan Penetapan
Kawasan
Publik/
Negara
Komunal Individual Milik
Formal
Kawasan
Dilindungi
Komersial 01 02 03 04
Subsisten 05 06 07 08
Kawasan
Budidaya
Kehutanan
Komersial 09 10 11 12
Subsisten 13 14 15 16
Kawasan
Budidaya
Non
Kehutanan
Komersial 17 18 19 20
Subsisten 21 22 23 24
2) Tipologi Unit Manajemen.
Tipologi unit manajemen di sini adalah karakteristik kerja suatu
unit manajemen yang diakibatkan oleh kenyataan biofisik dan sosial
yang timbul akibat kenyataan / kondisi wilayah dimana pengelolaan
hutan/ lahan dilakukan / terjadi.
91
3) Tipologi Unit Manajemen menurut aspek Ekologi.
Derajad fragmentasi habitat.
Kawasan hutan yang dikelola oleh unit manajemen ini tidak
berbatasan langsung dengan hutan alam ataupun kawasan yang
dilindungi atau termasuk kategorisasi yang fragmentet. Kondisi ini
menjadi penghalang tetap bagi terjadinya pergerakan penyebaran
(distribusi), pemencaran (dispersal) dan aliran genetik dari sub
populasi ke sub populasi lain disekitarnya. Kelerengan antara 25 % -
60 % solum tanah relatif tipis serta tidak berbatasan dengan flora dan
fauna yang dilindungi.
Dapatlah dipahami, semakin terfragmentasi habitat semakin berat
beban tanggungan unit manajemen untuk mempertahankan fungsi
ekologi/ lingkungan atau ekosistem daerah tersebut semakin sensitif.
Kondisi fragmentasi habitat menentukan tatatan (seting) unit
manajemen yang secara inheren akan mempengaruhi intensitas
menejemen hutan berbasis masyarakat lestari menurut prinsip
ekologi/lingkungan. Fragmentasi menciptakan halangan tetap bagi
pergerakan/aliran dalam tiga hal, yaitu : distribusi (penyebaran),
dispersal (pemencaran) dan aliran genetik dari suatu sub populasi ke
populasi lain diseputarnya. Untuk itu, derajad fragmentasi ditetapkan
berdasarkan kriteria berikut :
• Berhubungan (connected) : bila lebih dari 50 % batas areal unit
manajemen berhubungan langsung dengan ekosistem hutan lain
disekitarnya.
• Semi – Berfragmen ( Semi – Fragmented ) : Bila kurang dari 50
% batas areal unit manajemen berhubungan langsung dengan
ekosistem hutan lain disekitarnya.
• Berfragmen ( Fragmented ) : Bila tidak ada hubungan antara arel
unit manajemen dengan ekosistem hutan lain disekitarnya.
92
Ditinjau dari segi fregmentasi habitat, unit manajemen
diklasifikasikan menurut tiga skala orginal sensitivitas ekosistem
sebagai mana tertera dalam matrik berikut :
Tabel 20. Skala Sensitivitas untuk setiap Derajad Fragmentasi
Derajad Fragmentasi Skala sensitivitas
Berfragmen ( Fragmented ) 3
Semi Berfragmen
( Semi – Fragmented )
2
Berhubungan ( Connected) 1
Catatan : Makin besar skala ordinalnya, makin sensitif ekositem hutan
terhadap gangguan secara ekologis
Letak Kawasan tempat Unit Manajemen Beroperasi
Tipologi unit manajemen juga dipengaruhi oleh letak kawasan hutan
yang dikelolanya. Unit Manajemen yang dikelola KTHR Lawu
Manunggal berada di daerah hulu Sub Daerah Aliran Sungai (DAS)
kali madiun, dengan tipe tanah yang mudah tererosi serta tidak
berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Unit manajemen
ini hanya berbatasan dengan hutan rakyat yang ada di wilayah desa
sebelahnya dengan cara pengelolaan yang hampir sama. Batas
kawasan di alam ditandai dengan tumpukan batu, terasering serta
deretan pepohonan yang tumbuh rapat sepanjang garis perbatasan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa unit manajemen
hutan rakyat yang dikelola KTHR Lawu Manunggal ini berada
dikawasan yang berfragmentasi ( fragmented ), yang menurut skala
ordinal memiliki skala sensitivitas 3, dan terletak pada wilayah yang
rawan fisik serta rawan biologis, sebagaimana dijelaskan pada Tabel
berikut.
Tabel 21. Skala Sensitivitas Letak Unit Manajemen
Letak Rawan Biologis Aman Biologis
Rawan Fisik 3 2
Aman Fisik 2 1 Catatan : Makin besar skala ordinalnya, makin sensitif ekositem hutan terhadap
gangguan secara ekologi
93
4) Tipologi Unit Manajemen Menurut Aspek Sosial
Sedangkan tipologi unit manajemen menurut aspek sosial untuk
tipologi Unit Manajemen hutan rakyat yang dikelola KTHR Lawu
Manunggal menurut standar dari LEI adalah E, yang
rekomendasinya berarti kondisi tidak perlu penguatan kelembagaan
sosial budaya dan ekonomi, tetapi perlu inovasi teknologi konservasi
tanah dan air.
5) Tipologi Unit Manajemen menurut aspek produksi
Sebagaimana untuk Skema I – A/B, Tipologi unit manajemen
menurut aspek produksi untuk Skema I – C ditetapkan dengan
mempertimbangkan inovasi teknologi yang diperlukan dalam
pelaksanaan kelola produksi, kelola lingkungan dan kelola sosial.
Dengan kata lain, tipologi unit manajemen dari aspek produksi untuk
skema I-C ditetapkan untuk menilai proses pelaksanaan kerja di
lapangan dan bukan hasil akhir kinerjanya. Tipologi unit manajemen
dari aspek produksi untuk Skema I-C merupakan hasil perkawinan
antara aspek sosial dan aspek lingkungan. Sebagai hasil perkawinan
antara aspek sosial dan aspek lingkungan, tipologi unit manejemen
dari aspek produksi untuk skema I-C dapat disusun sebagaimana
Tabel berikut.
Tabel 22. Perkawinan aspek sosial dan ekologi
Tipologi UM
Aspek Sosial
Tipologi UM Aspek Ekologi
1 2
1 A E
2 B F
3 B F
4 C G
5 C G
6 D H
Berdasarkan pada Tabel diatas maka tipologi Unit Manajemen
menurut aspek produksi untuk KTHR Lawu Manunggal masuk
dalam kategori E, dimana Kondisi tidak perlu inovasi penguatan
94
kelembagaan sosial budaya dan ekonomi, tetapi perlu inovasi
teknologi dalam konservasi tanah dan air.
7. Pengambilan Keputusan Sertifikasi
Pada dasarnya proses pengmbilan keputusan dilakukan oleh Tim Panel
Pengambil Keputusan (TPPK) adalah melalui pendekatan sebagaimana telah
diatur dalam pedoman LEI 99-44 tentang Pedoman Pengambilan Keputusan
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Dimana
sistem sertifikasi pada KTHR Lawu Manunggal mengacu pada skema 2 jalur C,
maka proses sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi sebatas pada
pengambilan keputusan sertifikasi oleh TPPK, karena proses penilaian lapangan
telah dilakukan oleh Tim Penilai Lapangan dari lembaga pendamping, yaitu
PERSEPSI.
TPPK melakukan proses pengambilan keputusan atas dasar verifikasi
terhadap laporan penilaian lapangan dari tim PERSEPSI disamping melakukan
verifikasi kepada pengurus KTHR Lawu Manunggal dan mempelajari dokumen
pendukung. Disamping itu untuk memperkuat terhadap keputusan yang akan
diambil, maka TPPK melakukan kunjungan lapangan pada areal kelola hutan
rakyat yang dikelola dan komunitas masyarakat pengelola hutan. TPPK terdiri
dari 3 orang pakar kehutanan yang telah terakreditasi pada Lembaga Ekolabel
Indonesia yaitu; pakar bidang ekonomi dan produksi, pakar bidang ekologi dan
pakar bidang sosial dan budaya.
Secara garis besar tahapan proses dalam pengambilan keputusan
sertifikasi ekolabel hutan melalui 5 tahapan yaitu: 1) konsolidasi Tim Panel
Pengambilan Keputusan sekaligus pembahasan tipologi PHBM di KTHR Lawu
Manunggal, 2) pemaparan atas hasil penilaian lapang dari lembaga pendamping
PERSEPSI selanjutnya dibahas oleh panel pakar untuk mennetukan nilai aktual
dari masing-masing indikator, 3) kunjungan lapang oleh TPPK kepada cakupan
areal sertifikasi untuk melihat secara sekilas (overview) dari kondisi sumberdaya
hutan yang dikelola, 4) sesuai dengan bidangnya TPPK meneliti, menilai
diskripsi skala intensitas setiap indikator serta melakukan klarifikasi dan
95
verifikasi atas hasil penilaian kepada pengurus KTHR Lawu Manunggal dan 5)
pengambilan keputusan sertifikasi.
Berdasarkan metode pengambilan keputusan sertifikasi serta standar
kelulusan sebagaimana diatur dalam pedoman dari LEI maka diperoleh hasil
perhitungan keputusan untuk aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial
terhadap unit manajemen yang dikelola KTHR Lawu Manunggal sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Kalkulasi perhitungan kelulusan sertifikasi ekolabel
Nilai Baik Nilai Cukup Nilai Jelek Total (n)
Aspek Produksi 9 8 - 17
Aspek Ekologi 1 2 - 3
Aspek Sosial 7 3 - 10
Jumlah : 17 13 - 30 Sumber: Laporan Pengambilan Keputusan Sertifikasi, PT MAL, 2015
Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa total indikator yang digunakan
dalam penilaian ini (n) sebanyak 30 indikator. Dengan jumlah indikator
bernilai baik sebanyak 17 indikator, bernilai cukup 13 indikator dan
bernilai jelek tidak ada. Dengan demikian maka KTHR Lawu Manunggal
dinyatakan LULUS sertifikasi PHBML karena skor yang bernilai baik
sebesar 56,6 % sedangkan yang bernilai cukup adalah sebesar 43,4 %.
Keputusan tersebut merupakan keputusan yang telah menjadi
kesepakatan dari Tim Panel Pengambilan Keputasan (TPPK) sehingga
direkomendasikan kepada Lembaga Sertifikasi dalam hal ini PT
Mutuagung Lestari untuk menerbitkan sertifikat ekolabel dalam
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) untuk
Kelompok Tani Hutan Rakyat Lawu Manunggal di Kecamatan Panekan
dan Sidorejo untuk masa 15 tahun mendatang periode tahun 2015 – 2030
dengan sedikitnya setiap 5 (lima) tahun sekali dilakukan penilikan
(survailance) dari Lembaga Sertikasi.
Menurut PERSEPSI, sebagai lembaga pendamping bahwa proses
pemberdayaan KTHR Lawu Manunggal sejak melakukan identifikasi awal,
penyiapan kelembagaan, penyiapan dokumen untuk aspek produksi,
ekologi dan sosial sampai dengan lulus mendapatkan sertifikat ekolabel
96
membutuhkan waktu selama 18 bulan. Adapun terkait dengan biaya yang
dibutuhkan untuk biaya penilikan dan penilaian kembali setelah masa
sertifikasi berakhir (resertifikasi) maka masing masing anggota KTHR
Lawu Manunggal mencadangkan minimal 1 pohon yang dimiliki untuk
dijual. Keputusan ini telah disepakati bersama dan jika pada akhirnya
dampak dari sertifikat ekolabel yang diperoleh mampu meningkatkan
volume penjualan dan harga kayu secara signifikan.
Top Related