BAB III
SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN BERFUNGSI SEBAGAI SURAT TANDA
BUKTI ADANYA HAK TANGGUNGAN
Dengan diberlakukannya ketentuan Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tangal 9 April
1996 maka dinyatakan bahwa ketentuan mengenai Creditverbands (Stb. 1908-542 jo Stb.
1909 -586 dan Stb. 1909-584 sebagai diubah dengan Stb. 1937-190 jo Stb. 191) dan
ketentuan mengenai Hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata sepanjang mengenai Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi .
Sekalipun demikian pada hakekatnya ciri-ciri dan sifat Hak Tanggungan sama
dengan undang –undang terdahulu dan dari isi pasal yang ada beserta penjelasannya antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya (droit de
preference) yaitu kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain (pasal 1 angka 1).
2. Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek hak tanggungan itu berada
(droit de suit) atau dengan kata lain seorang pemegang hak kebendaan dilindungi
ketangan siapapun kebendaan yang dimilikinya beralih pemegang hak kebendaan
berhak untuk menuntut kembali dengan atau tanpa disertai dengan ganti rugi (pasal
7).
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas .
51
Pemenuhan asas spesialitas ini merupakan muatan wajib pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan sebagaimana tercantum dalam pasal 11 antara lain :
Identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan.
Domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan.
Jumlah utang-utang yang dijamin.
Nilai tanggungan.
Benda-benda yang menjadi obyek hak tanggungan.
Sedangkan pemenuhan asas spesialitas dengan cara wajib didaftarkan Hak
Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat.
Dengan adanya pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat Hak Tanggungan
diumumkan dan dibukukan dalam Buku tanah di Kantor Pertanahan dengan
demikian Hak Tanggungan Lahir pada saat dibukukan dan sebagai kepastian tanggal
buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh
Kantor Pertanahan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur maka buku tanah
yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya dengan demikian
terpenuhi sudah adanya Asas Publisitas .
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya yaitu dengan cara :
Menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut
(pasal 6).
52
Penjualan obyek hak tanggungan secara bawah tangan jika dengan cara
tersebut akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak
(pasal 20 ayat 2).
Memberikan kemungkinan penggunaan acara Parate Eksekusi seperti yang
diatur dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 Rbg (Pasal 26 jo Pasal 14 Undang-
undang Hak Tanggungan).
5. Obyek Hak Tanggungan tidak masuk dalam boedel Kepailitan pemberi hak
tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari
hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 2 )
Sebagai tanda bukti adanya Hak tanggungan adalah terbitnya Sertipikat Hak
Tanggungan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan sebagaimana ditentukan pasal 14
Undang –undang Hak Tanggungan antara lain :
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan , Kantor pertanahan menerbitkan
sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku .
(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah
dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA “
(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud ayat (2) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse act Hypotheek sepanjang menganai
hak atas tanah.
53
(4) Kecuali apabila diperjanjikan lain , sertipikat Hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pasal pasal 13 ayat (3)
dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap sertipikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan
membubuhkan pada sampulnya kalimat “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa “ , dengan demikian Sertipikat Hak Tanggungan dengan pencantuman irah-irah
tersebut pada Hak Tanggungan maka untuk itu dapat dipergunakan Parate Eksekusi
sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 Rbg.
1. Suatu Perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang mempunyai
titel Parate Eksekusi sehingga dapat dilaksanakan sebagai putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap .
Sebagaimana diketahui bersama terbitnya suatu perikatan dapat terjadi karena
adanya Undang-undang dan terjadi karena diperjanjikan , dalam Undang-undang Perbankan
ditentukan pemberian suatu kredit harus dijamin pengembalian kreditnya dalam bentuk
jaminan yang khusus menyimpangi jaminan umum sebagaimana ditentukan dalam pasal
1131 dan pasal 1132 Kitab Undang–undang Hukum perdata .
Selain jaminan yang ditunjuk oleh undang-undang maka berdasarkan konsensus para
pihak dapat menentukan untuk menjamin terbayarnya atau pelunasan utang maka
dimungkinkan mereka membuat perjanjian penjaminan yang merupakan perjanjian Assesoir
54
yaitu suatu perjanjian yang mengikuti dan melekat pada perjanjian pokok yaitu utang piutang
dan perjanjian assesoir ini dapat berupa Pemberian Hak Tanggungan .
Sebagaimana uraian Bab II diatas pemberian Hak Tanggungan itu didahului dengan
janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Pemberian Hak tanggungan itu haruslah dilakukan oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan apabila obyek
Hak Tanggungan berupa hak atas tanah maka harus memenuhi persyaratan dan harus pula
didaftarkan pada Kantor Pertanahan sehingga terbit Sertipikat Hak Tanggungan..
Dalam Peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun
1966 disebutkan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan terdiri atas :
Salinan buku tanah Hak Tanggungan .
Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Keduanya dikeluarkan ataupun dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan, yang dijilid menjadi
satu dalam sampul dokumen yang bentuknya ditetapkan berdasarkan peraturan Menteri
Agraria tersebut.
Sedangkan tata cara Pembebanan Hak Tanggungan terdiri atas 2 (dua) tahapan , yaitu :
a. Tahap pemberian hak tanggungan yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian utang Pihutang yang
dijamin.
55
b. Tahap pendaftaran yang dilakukan Dikantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
setempat.
Dalam ketentuan pasal 14 Undang-undang Hak Tanggungan dikemukakan
sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan Kantor Pertanahan menerbitkan
Sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
Sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan Sertipikat ini mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sebagai pengganti Grosse akta hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah.
Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan cukup
dibuktikan dengan adanya Sertipikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial sebagaimana halnya sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak lagi melalui proses gugatan (litigasi)
apabila Debitor wanprestasi (ingkar janji).
Dalam ketentuan peralihan sebagai diatur pada pasal 26 ditentukan bahwa selama
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dengan memperhatikan
ketentuan dalam pasal 14, peraturan mengenai eksekusi Hypotheek yang ada mulai
berlakunya Undang-undang ini berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Dalam
penjelasan pasal 26 diuraikan : yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi
Hypotheek yang ada dalam pasal ini adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal
56
224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941 - 44) dan pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (Reglement tot regeling van het Rechwezen in de gewesten Java en
Madura, Staatsblad 1927 - 227). Ketentuan pasal dalam 14 yang harus diperhatikan
adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya
hypotheek dalam Hak Tanggungan adalah Sertipikat Hak Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada,
adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak
tanggungan sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas
tanah yang disebut diatas. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum angka 9
ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan bahwa selama masa
peralihan tersebut ketentuan hukum acara diatas berlaku terhadap eksekusi hak
tanggungan dengan penyerahan sertipikat hak tanggungan sebagai dasar
pelaksanaannya.
Dengan kata lain Undang-undang Hak Tanggungan memberi penegasan merupakan
salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
jika debitor wanprestasi atau cidra janji , walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi
telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku dipandang perlu untuk untuk
memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak tanggungan yaitu mengatur
lembaran parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 Reglemen Indonesia yang
diperbarui (Het herzeine Indonesisch Reglement) dan pasal 258 Reglemen hukum acara
57
untuk daerah luar Jawa dan Madura (reglement tot regelling van het rechtswezen in de
gewesten buiten Java en Madura).
Sehubungan dengan hal tersebut ditegaskan pula dalam undang-undang pada
Sertipikat Hak Tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tangungan
dibubuhkan irah-irah dengan kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
“ untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (vide pasal 14 ayat (2) dan (3). UU Hak Tanggungan).
Selain dari pada itu juga undang-undang menegaskan Sertipikat Hak Tanggungan
dinyatakan sebagai pengganti Grosse acte Hypotheek yang untuk eksekusi Hipotik atau tanah
ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan kedua reglemen diatas, lebih lanjut
dalam penjelasan umum undang-undang Hak Tanggungan menggariskan agar ada kesatuan
pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur dalam
kedua reglemen diatas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Berdasarkan penelitian pustaka dan wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri
Tulungagung bapak Eko Sugianto, S.H. pada tanggal 7 Juli 2009 beliau menjelaskan :
Apabila seseorang mengajukan pelaksanaan eksekusi berdasarkan Sertipikat Hak
Tanggungan yang mempunyai titel eksekutotial sebagaimana ditentukan dalam pasal 14
Undang-undang nomor 4 tahun 1996 maka apabila permohonannya dikabulkan maka
pelaksanaannya sebagaimana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
yaitu mengacu pada pasal 195 HIR yang proses intinya terurai sebagai berikut :
58
1. Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan Penetapan peneguran dan berdasarkan
peneguran tersebut pihak debitur selaku pemberi hak tanggungan akan dipanggil
dan diberi teguran berupa perintah agar membayar kewajiban sebagaimana
tercantum dalam akta pembebanan Hak Tanggungan yang telah direkatkan menjadi
satu dengan sertipikat hak tanggungan dalam jangka waktu 8 hari. Apabila lewat 8
hari setelah ditegur Termohon eksekusi/Debitur Pemberi Hak Tanggungan tidak
juga memenuhi kewajibannya ;
2. Atas permintaan pemohon eksekusi Ketua Pengadilan negeri akan menerbitkan
sita eksekusi terhadap obyek hak tanggungan ;
3. Dalam hal telah dilakukan sita eksekusi Termohon masih juga belum memenuhi
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam akta pembebanan hak tanggungan , maka
atas permintaan dari pemohon eksekusi Ketua Pengadilan negeri akan menerbitkan
Surat Penetapan Lelang .
4. Setelah Ketua Pengadilan negeri menerbitkan surat Penetapan Lelang kemudian
meminta kepada Kepala Kantor Lelang negera untuk ditetapkan hari dan tanggal
lelang , kemudian Kantor lelang minta SKPT (Surat Keterangan Pendataan Tanah)
dari Kantor Pertanahan setempat mengenai tanah yang akan dilelang .
5. Setelah pengadilan negeri mendapat Penetapan hari lelang dari Kantor Lelang maka
pengadilan negeri mengumumkan pengumuman lelang disurat kabar setempat 2
minggu sebelumnya selama 2 kali berturut-turut, selain itu Kantor lelang wajib
memberi tahu siterlelang /Penghuni obyek Hak Tanggungan dengan surat;
59
6. Pada hari dan tanggal sebagaimana ditentukan dilakukan pelelangan dan umumnya
pelelangan dilakukan dikantor pengadilan negeri yang bersangkutan dengan
perantaraan kantor lelang negara .
7. Hasil penjualan lelang setelah dikurangi biaya lelang , uang miskin dan biaya-biaya
lain oleh Kantor lelang negara , uang hasil penjualan lelang oleh pengadilan negeri
diserahkan kepada Pemohon lelang/Eksekusi maksimum sejumlah yang tertcantum
pada akta pembebanan hak tanggungan dan apabila masih ada sisanya diserahkan
kepada Termohon Eksekusi/Pemberi hak tanggungan.
Dari uraian tersebut diatas secara singkat dapatlah dikemukakan suatu
Perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang mempunyai titel Parate
Eksekusi sehingga dapat dilaksanakan sebagai putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, apabila perjanjian tersebut merupakan perjanjian pemberian
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda yang berkaitan dengan tanah sebagai
dimaksud dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1960 sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu, perjanjian mana harus dibuat dihadapan Pejabat pembuat Akta Tanah
(PPAT) .
Perjanjian pemberian hak tanggungan tersebut wajib didaftarakan pada Kantor
Pertanahan untuk dicatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan serta menyalin pencatatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan selanjutnya diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan yang memuat irah-
irah dengan kata-kata ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
60
MAHA ESA”.
Sertipikat Hak Tanggungan yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagi pengganti grosse akte hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.
2. Kendala yang dihadapi pemenenang lelang Parate Eksekusi dalam menguasai
obyek lelang yang dimenangkan .
Uraian diatas menggambarkan proses perjanjian pemberian hak tanggungan
berikut proses pendaftaran sehingga terbit Sertipikat Hak Tanggungan yang mempunyai
titel Eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap serta proses eksekusinya yang dilakukan melalui perantaraan atau dibawah
pimpinan Ketua pengadilan Negeri .
Selanjutnya perlu pula diuraikan bagaimana kalau proses eksekusi itu dilakukan
tidak melalui pengadilan negeri dan barang obyek lelang belum dikuasai oleh pemenang
lelang maka berdasarkan wawancara dengan Bapak Eko Sugianto, S.H. Ketua
Pengadilan Negeri Tulungagung beliau mengutarakan : apabila ada permohonan
pengosongan disebabkan obyek lelang masih ditempati penghuni atau ada yang
menempati , pelaksanaannya tidak dilakukan berdasarkan pasal 200 ayat 11 HIR/ 218
Rbg (harus melalui gugatan biasa).
Lebih lanjut untuk lebih cermatnya perlu dikutip ketentuan pasal 200 ayat (11)
HIR/218 ayat (2) Rbg. Antara lain berbunyi jika orang yang dijual barangnya , enggan
meninggalkan barang tetap itu maka Ketua Pengadilan negeri membuat surat perintah
61
kepada orang yang berkuasa akan menjalankan surat juru sita, supaya dengan bantuan
panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai penjabat bangsa Eropa yang ditunjukkan
oleh Ketua dan jika perlu dengan pertolongan polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta oleh sanak saudaranya.
Dengan demikian sebaliknya apabila suatu eksekusi hak tanggungan dilakukan
melalui Pengadilan Negeri maka permohonan pengosongan pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan upaya paksa atas perintah ketua pengadilan negeri untuk melakukan
pengosongan kepada juru sita dengan bantuan panitera dan jika perlu dengan bantuan
polisi mengosongkan tanah hak tanggungan dari penghuninya tanpa harus mengajukan
gugatan pengosongan .
Ketentuan yang demikian merupakan eksekusi riel sebagaimana diatur dalam
pasal 1033 Rv dan dimaksud dengan eksekusi riel adalah pelaksanaan putusan Hakim
yang memerintahkan pengosongan benda tetap . Apabila orang yang dihukum untuk
mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, maka Ketua
pengadilan negeri akan memerintahkan dengan surat kepada Juru sita supaya dengan
bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan pihak kepolisian agar
mengosongkan tanah/rumah dari penghuninya.
Dari hasil wawancara berkaitan dengan penjelasan dari Ketua Pengadilan Negeri
Tulungagung bapak Eko Sugianto , S.H. yang mengutarakan pengosongan obyek lelang
harus dilakukan melalui suatu gugatan jelas memakan proses waktu yang lama dan
mempunyai dampak negatif atas terselenggaranya proses pelelangan sebagaimana
62
dibenarkan oleh undang-undang sebab bagaimanapun Undang-undang Hak Tanggungan
dan ataupun Peraturan pelelangan memungkinkan dilakukan pelelangan tanpa melalui
atau dibawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri , dan kalau pelelangan dilakukan tanpa
melalui Ketua pengadilan sehingga pengosongan tanah obyek lelang dari penghunian
oleh pemenang lelang diharuskan melalui gugatan menimbulkan kesenjangan antara
lelang melalui perantaraan pengadilan negeri dengan melaksanakan sendiri pelelangan
sekalipun sama-sama dilakukan dengan kerjasama dengan Pejabat lelang ataupun kantor
Lelang , padahal prinsipnya pembeli lelang dengan etikad baik harus dilindungi.
Sejalan dengan hal tersebut penulis mendapati Surat Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia no . KMA/380/VI/1996 tanggal 3 Juni 1996 mengenai Hasil peru-
musan tentang penyelesaian masalah pengurusan Piutang dan lelang negara untuk dapat
dijadikan referensi bagi Ketua Pengadilan Tinggi maupun Ketua Pengadilan Negeri
dalam menangani kasus piutang dan lelang negara , yang pada intinya terurai pada bagan
berikut :
No Pokok masalah Uraian masalah Penyelesaian masalah
1 Prosedur penngo-songan tanah /ba-ngunan sitaan P-UPN yang telah terjual lelang
Adakalanya pengadilan negeri monolak penga-juan permohonan pengo-songan
Pemenang lelang/Ketua PUPN mengajukan permohopnan pengo-songan kepada Ketua Pengadilan negeri ditempat barang tersebut terletak dengan melampirkan risalah lelang..Gugatan diajukan setelah lelang dilaksanakan tidak menunda pengosongan
63
Hendaknya ketua Pengadilan Ne-geri mengabulkan permohonan pengosongan tersebut secepatnya kecuali ada hal-hal yang luar biasa
Sejalan dengan hasil Rumusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terurai
pada Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor KMA/380/VI/1996
tanggal 3 Juni 1996 , penulis mendapati pula hasil Rapat Kerja Nasional dari Mahkamah
Agung di Makasar tanggal 2-6 September 2007 yang membicarakan perihal Permohonan
pengosongan dari pemenang lelang termuat pada harian Jawa Pos tanggal 7 Januari 2008
sebagai hasil wawancara Jawa Pos dengan Ketua Muda perdata Mahkamah Agung
(sekarang Ketua Mahkamah Agung) DR. Harifin A Tumpa, S.H.,M.H. mengutarakan :
“Pembeli lelang yang akan menguasai barang , tak bisa karena pihak pemilik lama tak
mau menyerahkan , maka dia bisa mempergunakan pasal 200 ayat (11) HIR (soal
eksekusi pengosongan) Mahkamah Agung menetapkan terobosan .Walaupun pelelangan
itu dilakukan tanpa melalui proses hukum pengadilan (Parate eksekusi) , Maka pembeli
lelang bisa minta menggunakan pasal 200 ayat (11) HIR tersebut . Latar belakangnya ada
pengadilan yang mau menerima permohonan dan ada yang menolak dan pemohon harus
mengajukan lagi kepengadilan menurut pendapat Mahkamah Agung itu suatu hal yang
berbelit-belit dan tidak punya dasar”.
Dari segala apa yang terurai diatas terjadilah pembedaan ketentuan mengenai
parate eksekusi atas Hak tanggungan apabila eksekusi Hak Tanggungan dilakukan
64
melalui Pengadilan maka apabila ada permohonan pengosongan dari pemenang lelang
untuk mengosongkan penempatan ataupun penghunian atas obyek lelang yang dibelinya
maka pengadilan negeri dapat melakukan pengosongan atas permohonan pemenang
lelang dengan menggunakan ketentuan pasal 200 ayat (11) HIR /pasal 218 ayat (2) Rbg..
Dengan kata lain pelaksanaan lelang melalui pengadilan atau dibawah
pimpinan ketua pengadilan dilakukan apabila obyek yang akan lelang tersebut masih
dalam keadaan dikuasai oleh pemilik jaminan/pemilik barang yang dilelang atau belum
dikosongkan dan ada indikasi perlawanan dari pemilik jaminan /pemilik barang yang
akan dilelang.
Tetapi apabila parate eksekusi Hak Tanggungan dilakukan tanpa melalui
pengadilan maka pengadilan negeri tidak dapat melakukan pengosongan secara langsung
melalui pasal 200 ayat (11) HIR melainkan pemohon harus mengajukan gugatan terhadap
penghuni tanah dan rumah obyek sengketa , dengan kata lain dalam praktek hukum
pelaksanaan lelang langsung melalui Balai lelang hanya dapat dilaksanakan jika tidak ada
kemungkinan bantahan dari pemilik yang assetnya dilelang ataupun obyek lelang dihuni
oleh pihak lain atau barang yang akan dilelang tersebut sudah dikuasai oleh Pemohon
lelang sehingga tidak memerlukan pengosongan lagi dengan kata lain termasuk dalam
kategori lelang secara sukarela.
Adanya pembedaan proses pelelangan melandasi adanya Parate eksekusi
dibawah pimpinan ataupun melalui Penetapan Ketua Pengadilan Negeri dengan eksekusi
tanpa dipimpin atau melalui Penetapan Pengadilan negeri sehingga untuk pemenang
65
lelang dalam menguasai obyek lelang yang dimenangkan harus melalui gugatan
pengosongan sebagaimana layaknya gugatan biasa yang tentunya proses beracara
memerlukan dan atau memakan waktu dan biaya adalah tidak efisien dan bertentangan
dengan tujuan pengaturan Prate eksekusi yang oleh Undang-undang disamakan dengan
putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap .
Sejalan dengan adanya pengaturan Parate eksekusi dalam Undang-undang Hak
Tanggungan telah mengatur cara Eksekusi yang mencakup 2 macam yaitu dengan
melaksanakan Parate Eksekusi bagi pemegang Hak Tanggungan pertama dan dengan
melandasi pada Sertipikat Hak Tanggungan yang dinyatakan Undang-undang mempunyai
titel eksekutorial sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal 14 ayat (3) Undang-
undang Hak Tanggungan yang mengutarakan “ sertifikat tersebut memiliki daya
(kekuatan) eksekusi apabila pemberi hak tanggungan wanprestasi, layaknya sebuah
putusan yang tidak tersedia upaya hukum biasa lagi dan dapat langsung dilaksanakan
(berkekuatan hukum tetap)”
Semestinya adanya ketentuan tersebut permasalahan Parate eksekusi merupakan
hukum perkecualian sebagai eksekusi yang disederhanakan sehingga bagi pemenang
lelang yang belum menguasai obyek yang dimenangkan dalam pelelangan dapat segera
menikmati barang yang dibelinya melalui pelelangan, kalaupun pengosongan harus
dilakukan melalui gugatan biasa tentunya berdampak negatif pada minat calon pembeli
lelang untuk mengikuti pembelian lelang sekalipun pelelangan itu sendiri hakekatnya
telah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang.
66
Top Related