30
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum dan Prosedur Penetapan Wali Pengganti terhadap Wali
Adhal/Enggan
1. Gambaran Umum Perkara Wali Adhal dalam Penetapan
No.005/Pdt.P/2012/PA.Skh
Bahwa pada tanggal 20 Februari 2012 telah terjadi pengajuan
permohonan Wali Adhal yang diajukan oleh Pemohon ke Pengadilan
Agama Sukoharjo dikarenakan keinginan Pemohon untuk melangsungkan
pernikahan dengan calon suami pilihannya yaitu SUPARJO bin
NGADIMAN tidak direstui oleh orang tua (wali) Pemohon yaitu SENEN
PRAPTO WIYONO. Pemohon mengajukan permohonan Wali Adhal
dikarenakan calon suami Pemohon telah meminang Pemohon sebanyak 3
kali kepada ayah Pemohon namun ayah pemohon tetap pada pendiriannya.
Pemohon dan calon suami pemohon tetap pada pendiriannya untuk
melangsungkan pernikahan walaupun tanpa persetujuan dan restu dari
orang tua pemohon dengan alasan bahwa hubungan antara pemohon dan
calon suami pemohon telah berlangsung selama 10 tahun dan telah terjalin
sedemikian erat dan sulit untuk dipisahkan. Hal ini bila tidak segera
melangsungkan pernikahan antara pemohon dan calon suami pemohon
dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan
Hukum Islam. Alasan lain pemohon adalah calon suami pemohon telah
30
31
dianggap mampu bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemohon atau
dengan kata lain calon suami pemohon telah dianggap mampu menafkahi
pemohon karena telah memiliki penghasilan sebesar Rp. 1.500.000,- setiap
bulannya. Antara pemohon dan calon suami pemohon juga telah
memenuhi syarat-syarat untuk menikah baik menurut aturan hukum yang
berlaku maupun menurut agama dan antara keduanya tidak terdapat
larangan-larangan untuk melangsungkan pernikahan baik menurut
ketentuan Hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku.
2. Duduk Perkara atau Permasalahan Hukum
Pemohon anak kandung dari Bp. Senen Prapto Wiyono yang
bertempat tinggal di Ds. Joho RT.01 RW.02, Desa Joho, Kecamatan
Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo hendak melangsungkan pernikahan
dengan Suparjo putra Bp. Ngadiman yang bertempat tinggal di Ds. Joho
RT.01 RW.02, Desa Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
Dalam surat permohonannya pemohon menerangkan bahwa
pemohon dan calon suami pemohon telah sedemikian erat dan sulit
dipisahkan, karena telah berlangsung selama 10 tahun dan telah siap untuk
menjadi suami istri dengan melaksanakan perkawinan.
Pemohon telah melakukan pendekatan dan memohon kepada ayah
kandung pemohon sebagai wali nikah untuk menerima pinangan dan
selanjutnya menikahkan pemohon dengan calon suami pemohon.
Walaupun calon suami pemohon telah meminang pemohon 3 kali, namun
ayah kandung pemohon menolak dengan alasan pesan dari kakek dan
32
neneknya, pemohon tidak boleh menikah dengan tetangga dekat dan
letaknya ke arah selatan lurus. Pemohon berpendapat bahwa penolakan
ayah pemohon tersebut tidak berdasarkan hukum.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, maka pemohon
memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo berkenan
menetapkan hal-hal sebagai berikut.
a. Mengabulkan permohonan pemohon;
b. Menetapkan, wali nikah pemohon adalah adhal;
c. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
d. Memberi putusan yang seadil-adilnya.
Dalam persidangan pemohon hadir bersama calon suami dan dua
orang saksi sedangkan ayah kandung pemohon sebagai calon wali nikah
pemohon tidak hadir. Ketidakkehadiran ayah kandung pemohon tidak pula
mengirim wakil/kuasanya yang sah dan tidak ternyata disebabkan oleh
suatu halangan yang sah.
3. Pertimbangan atau Dasar Hukum dan Prosedur Penetapan Wali
Pengganti Karena Wali Adhal/Enggan
Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 20 Februari 2012
yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sukoharjo Nomor:
0042/Pdt.P/2010/PA.Skh tanggal 20 Februari 2012, telah mengemukakan
alasan-alasan sebagai berikut.
a. Bahwa pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan
calon suami pemohon, umur 34 tahun, pekerjaan dagang, bertempat
33
kediaman di Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dan
keduanya siap menjadi suami istri.
b. Bahwa yang berhak menjadi wali dalam pernikahan pemohon adalah
ayah kandung pemohon bernama Senen Prapto Wiyono, yang
bertempat kediaman di Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
c. Bahwa calon suami pemohon telah meminang Pemohon 3 kali, namun
wali nikah pemohon tetap menolak dengan alasan pesan dari kakek
dan nenek, pemohon tidak boleh menikah dengan tetangga dekat dan
pemohon tidak boleh menikah dengan calon suami yang letaknya ke
arah selatan lurus.
d. Bahwa pemohon telah berusaha keras melakukan pendekatan kepada
wali pemohon agar menerima pinangan calon suami pemohon, tetapi
wali pemohon tetap pada pendiriannya tidak memberi ijin dan
menolak menikahkan;
e. Bahwa pemohon mengajukan pemberitahuan hendak menikah
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah pada KUA Kecamatan Mojolaban,
Kabupaten Sukoharjo, tetapi ditolak dengan surat penolakan Nomor:
Kk.11.11.07/97/II/2012.
f. Bahwa berdasarkan surat penolakan dari KUA Kecamatan Mojolaban
tersebut, pemohon tetap bertekad bulat untuk melangsungkan
pernikahan dengan calon suami pemohon, karena pemohon telah siap
untuk menjadi seorang istri demikian juga calon suami pemohon siap
menjadi seorang suami, tidak ada larangan untuk menikah menurut
34
Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan, maka
selayaknya jika pernikahan ini dilaksanakan. Berdasarkan alasan-
alasan tersebut, pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Agama Sukoharjo untuk menetapkan sebagai berikut.
- Mengabulkan permohonan pemohon;
- Menetapkan wali nikah pemohon adalah adhal;
- Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
Bahwa pemeriksaan perkara dimulai dengan membacakan surat
permohonan pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon.
Bahwa wali pemohon maupun wakil/kuasanya tidak hadir dalam
persidangan, meskipun Pengadilan Agama telah memanggil dengan resmi,
sah dan patut. Bahwa tidak ternyata ketidakhadiran wali pemohon
disebabkan oleh suatu halangan yang sah.
Bahwa di depan sidang, pemohon telah mengajukan alat bukti
berupa Surat Penolakan pernikahan dari KUA Kecamatan Mojolaban,
Kabupaten Sukoharjo, Nomor: Kk.11.11.07/97/II/2012 (Tanda P.7).
Pemohon juga menghadirkan calon suami dan saksi-saksi dengan
kesaksiannya sebagai berikut.
Saksi kesatu, telah memberikan keterangan di bawah sumpah
sebagai berikut.
a. Bahwa Saksi kenal dengan Pemohon dan orang tua Pemohon karena
masih adahubungan keluarga dengan Pemohon;
b. Bahwa saksi tahu Pemohon mau menikah dengan Suparjo;
35
c. Bahwa ia telah mencintai Pemohon dan pernah melamar Pemohon
kepada ayah kandung Pemohon secara langsung sebanyak 3 kali,
namun belum merestui rencana pernikahan dirinya dengan Pemohon
alasannya karena adanya pesan dari kakek Pemohon bahwa Pemohon
tidak boleh menikah dengan tetangga (sekampung);
d. Bahwa antara Pemohon dengan calon suaminya sudah saling mencintai
bahkan sudah melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami istri
bahkan Pemohon sudah hamil 3 bulan;
e. Bahwa antara dirinya dengan Pemohon, tidak ada hubungan keluarga
atau semenda atau sesusuan yang dapat menghalangi dilangsungkan-
nya pernikahan dirinya dengan Pemohon;
Saksi kedua, telah memberikan keterangan di bawah sumpah
sebagai berikut.
a. Bahwa Saksi kenal dengan Pemohon dan orang tua Pemohon, karena
saksi adalah Paman Pemohon dan juga sebagai tetangga Pemohon;
b. Bahwa saksi telah mengetahui Pemohon telah menjalin hubungan
dengan seorang laki-laki bernama Suparjo bersatatus jejaka dan sudah
melakukan hubungan kelamin dan Pemohon sudah hamil 3 bulan, dan
berniat untuk meresmikan hubungan keduanya ke jenjang pernikahan;
c. Bahwa ia telah mencintai Pemohon dan pernah melamar Pemohon
kepada ayah kandung Pemohon secara langsung sebanyak 3 kali,
namun belum merestui rencana pernikahan dirinya dengan Pemohon
alasannya karena adanya pesandari kakek Pemohon bahwa Pemohon
tidak boleh menikah dengan tetangga (sekampung);
36
d. Bahwa, calon suami sudah bekerja sebagai pedagang batu bata dengan
berpenghasilan Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap
bulannya;
e. Bahwa antara Pemohon dengan calon suaminya tersebut tidak ada
hubungan keluarga, sesusuan, semenda, atau hubungan lain yang dapat
menghalangi dilangsungkannya pernikahan;
Bahwa perkara ini perkara permohonan penolakan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah disebabkan wali adhal, termasuk dalam bidang
perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam, sehingga sesuai
dengan ketentuan Pasal 49 huruf a vide penjelasan Pasal 49 huruf a angka
5 dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006, Pengadilan Agama Sukoharjo secara absolut berwenang untuk
mengadili perkara ini. Hal ini sesuai dengan bukti-bukti sebagai berikut.
a. Surat bukti P.1, ternyata Pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum
Pengadilan Agama Sukoharjo, maka Pengadilan Agama Sukoharjo
secara relatif berwenang untuk memeriksa perkara ini;
b. Bukti P.3, P.4, P.5, bahwa Pemohon adalah anak kandung dari,
SENEN PRAPTO WIYONO
c. Bukti P.7, ternyata Pemohon yang akan melangsungkan pernikahan
dengan calon suaminya bernama Rusiyanto yang berstatus duda (bukti
P.4), telah ditolak oleh Pegawai Pencatat Pernikahan Kantor urusan
Agama Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo dengan alasan wali
37
Pemohon bernama SENENPRAPTO WIYONO enggan (adhal) untuk
menikahkan kedua calon mempelai;
d. Bukti P.2, P.6 dan P.8, bahwa calon suami bernama SUPARJO
bertempat tinggal di Joho, Mojolaban, bersatus jejaka anak kandung
dari Ngadiman;
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 2
tahun 1987, Pengadilan Agama dalam memeriksa dan menetapkan
adhalnya wali dengana cara singkat yaitu permohonan Pemohon dengan
menghadirkan wali Pemohon, sementara itu wali Pemohon tersebut tidak
hadir menghadap di persidangan, maka ketidakhadirannya merupakan
indikator keengganan wali Pemohon tersebut;
Adapun prosedur ataupun proses perkara penetapan wali adhal di
Pengadilan Agama Sukoharjo melalui beberapa tahap sebagai berikut.
a. Meja 1
1) Menerima surat gugatan dan salinannya;
2) Menaksir panjar biaya
3) Membuat SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar)
b. Kasir
1) Menerima uang panjar dan membukukannya;
2) Menandatangani SKUM;
3) Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas.
c. Meja II
1) Mendaftar permohonan dalam register;
38
2) Memberi nomor perkara pada surat permohonan sesuai nomor
SKUM;
3) Menyerahkan kembali kepada pemohon satu helai surat
permohonan;
4) Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Ketua melalui
wakil panitera dan panitera.
d. Ketua Pengadilan Agama
1) Mempelajari berkas;
2) Membuat PMH (Penetapan Majelis Hakim);
e. Panitera
1) Menunjuk panitera sidang;
2) Menyerahkan berkas kepada majelis.
f. Majelis Hakim
1) Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang) dan perintah memanggil
para pihak oleh juru sita;
2) Menyidangkan perkara;
3) Memberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang berkaitan dengan
tugas mereka.
4) Memutus perkara
g. Meja III
1) Menerima berkas dari majelis hakim;
2) Memberitahukan isi penetapan kepada pihak yang tidak hadir lewat
juru sita;
39
3) Menyerahkan salinan kepada pemohon dan pihak-pihak terkait;
4) Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda
Hukum.
h. Panitera Muda Hukum
1) Mendata perkara;
2) Melaporkan perkara;
3) Mengarsipkan berkas perkara.
Proses persidangan melalui beberapa tahap yaitu:
a. Pemanggilan pihak-pihak, yaitu pemohon dan wali
Panggilan maupun pemanggilan menurut hukum acara perdata
ialah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar
memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan
majelis hakim atau pengadilan.1 Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat
(1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya
yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah.
Kewenangan juru sita ini berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR
diperolehnya lewat perintah ketua (majelis hakim) yang dituangkan
pada penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan. Adapun
aturan pemanggilan pihak-pihak berperkara sebagai berikut.
1) Jika panggilan pertama untuk sidang pertama kepada penggugat
atau pemohon dilakukan dengan patut tetapi ia atau kuasa sahnya
1Irfan, 2012, Hukum Acara Perdata, dalam http://irfanrz.blogspot.co.id/2012/10/hukum-acara-
perdata.html diunduh 20 Oktober 2015
40
tidak hadir, maka sebelum perkaranya diputuskan atau digugurkan,
ia dapat dipanggil untuk kedua kalinya. Pasal 124, 126 HIR/Pasal
148,150 RBg.
2) Jika panggilan pertama untuk sidang pertama kepada tergugat atau
termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dilakukan dengan
patut, ia atau kuasa sahnya tidak hadir maka sebelum perkaranya di
putus dengan verstek, ia dapat dipanggil untuk kedua kalinya. Pasal
124, 126 HIR/Pasal 148,150 RBg
3) Apabila tergugat atau termohon lebih dari seorang sedangkan pada
panggilan pertama untuk sidang pertama, ada yang hadir dan ada
yang tidak hadir maka sidang wajib ditunda. Kepada yang belum
hadir dipanggil kembali untuk kedua kalinya sedangkan kepada
yang telah hadir cukup diberitahukan langsung. Setelah panggilan
kedua ini, perkara akan diperiksa. Tidak perduli apakah hadir
semua ataukah hadir sebagian. Pasal 127 HIR/Pasal 151 RBg
4) Panggilan terhadap tergugat atau termohon yang berada diluar
negeri dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia.
5) Tergugat atau termohon yang sudah dipanggil pertama untuk
sidang pertama dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak hadir
tetapi ia mengajukan eksepsi (perlawanan), baik eksepsi relatif
maupun eksepsi absolut, Pangadilan Agama wajib mengadili
terlebih dahulu akan eksepsi tersebut. Jika ternyata bahwa eksepsi
tersebut tidak beralasan maka Pengadilan Agama sebelum
41
memutus verstek, masih dapat untuk melakukan panggilan kedua
kalinya. Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg
6) Jika tergugat atau termohon tidak diketahui tempat tinggalnya,
sedangkan perkara itu bukan tentang gugatan cerai, maka pangilan
kepada yang tidak diketahui tempat tinggalnya tersebut dilakukan
dengan cara menempelkan panggilan pada Papan Pengumuman
Pengadilan Agama, dengan tenggang waktu antara panggilan dan
sidang adalah 30 hari.
7) Jika pihak yang dipanggil itu sudah meninggal dunia maka
panggilan disampaikan kepada ahli warisnya, tetapi jika ahli
warisnya tidak dikenal maka disampaikan melalui Lurah/Kepala
Desa tempat tinggal terakhir si mayit. Pasal 390/Pasal 719 RBg
8) Jika petugas yang memanggil sudah beertemu dengan pihak yang
dipanggil tetapi ia membangkang tidak mau menerima atau tidak
mau menandatangani relas panggilan maka oleh petugas tersebut
dibuat catatan pada relas panggilan bahwa ia sudah bertemu tetapi
pihak yang dipanggil tidak mau menerima/tidak mau
menandatangani relas panggilan. Tanggal catatan tersebut sama
dengan tanggal panggilan telah disampaikan.
b. Usaha perdamaian
Dalam proses persidangan perkara perdata, sebelum
dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim,
pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara.
42
Menurut Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada
hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan
negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika
perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta
(surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian
yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan
pengadilan biasa.2
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003
sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 130 HIR secara tegas
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di
pengadilan. Pasal 12 ayat (2) menjelaskan bahwa pengadilan baru
diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa
apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan
yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang
berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan
sebagai pihak ketiga (netral) dan berfungsi untuk membantu para pihak
dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-
baiknya dan saling menguntungkan. Mediator dapat berasal dari
mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan yang memenuhi
syarat memiliki sertifikat mediator. Seperti hakim bukan pemeriksa
2Antok, 2013, Proses Perdamaian dalam Peradilan, dalam http://antokyudi78.blogspot.co.id/
2013/04/proses-perdamaian-dalam-peradilan.htmldiunduh 20 Oktober 2015
43
perkara, advokat, profesi yang menguasai sengketa pokok dan hakim
majelis pemeriksa perkara.
Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan
Tingkat Pertama atau ditempat lain yang disepakati oleh para pihak.
Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar
pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan
Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. [Pasal 20 Perma No. 1 Tahun
2008]. Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan
perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke
pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian
dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai
atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen
yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek
sengketa.
Hakim di hadapan para pihak hanya akan menguatkan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila
kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Sesuai kehendak para pihak;
2) Tidak bertentangan dengan hukum;
3) Tidak merugikan pihak ketiga;
4) Dapat dieksekusi.
44
5) Dengan iktikad baik. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]
c. Pembacaan surat permohonan
Jika dalam pemanggilan wali tidak hadir dan atau usaha
perdamaian kedua pihak oleh majelis hakim tidak berhasil, maka
persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan
pemohon oleh hakim.
d. Pemeriksaan persidangan
Permohonan wali adhal termasuk perkara voluntair. Proses
perkara voluntair berbeda dengan perkara contentious, yaitu:
1) Proses pemeriksaan bersifat ex-parte atau sepihak. Proses ex-parte
bersifat sederhana, yakni hanya mendengarkan keterangan
Pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan,
memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak
ada replik, duplik, dan kesimpulan;
2) Pemeriksaan sidang hanya keterangan dan bukti Pemohon, tidak
berlangsung secara contradictoir atau optegenspraak, artinya
dalam pemeriksaan tidak ada hambatan pihak lain;
3) Tidak diterapkan seluruh asas persidangan, misalnya asas
mendengarkan kedua belah pihak atau asas memberi kesempatan
yang sama.
Pemeriksaan adhalnya wali di persidangan dengan acara singkat
dan dilakukan secara terbuka untuk umum. Pembuktian adhalnya wali
dilakukan dengan wali memberi keterangan dan harus dipertimbangkan
45
oleh hakim dengan mengutamakan kepentingan Pemohon. Apabila
wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan yang
kuat menurut hukum perkawinan, maka permohonan Pemohon akan
ditolak. Sekiranya perkawinan tetap dilangsungkan, maka ijabnya tidak
sah atau batil.
Hakim bertugas untuk membuktikan benar tidaknya peristiwa
atau fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian. Pembuktian
merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada hakim
oleh kedua belah pihak yang beperkara.
Pembuktian dalam hukum perdata adalah membenarkan
hubungan hukum dalam proses perdata, yaitu apabila hakim
mengabulkan tuntutan penggugat. Hal ini berarti bahwa hakim menarik
kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan penggugat sebagai
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar.3
Pembuktian dalam arti luas adalah memperkuat kesimpulan hakim
dengan syarat-syarat bukti yang sah. Pasal 163 Reglemen Indonesia
menentukan bahwa barang siapa mengaku mempunyai hak atau
memajukan peristiwa untuk menguatkan pengakuan haknya atau untuk
membantah haknya orang lain, maka orang itu harus membuktikan
benar adanya hak atau peristiwa itu. Dalam sistem Reglemen
Indonesia, hakim dalam mengambil keputusan terikat di dalam cara
mencapai keputusannya yang hanya berdasar alat-alat bukti yang sah
3Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm.137
46
sehingga dengan demikian hakim dapat mengambil keputusan. Pasal
1866 KUHPerdata menyebutkan alat-alat bukti terdiri atas: bukti
tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan, dan sumpah.
Hakim mengkualifikasikan fakta yang telah terbukti itu dengan
menilai peristiwa yang telah dibuktikan untuk kemudian dituangkan
dalam pertimbangan hakim. Hakim kemudian menetapkan hukumnya
yang dituangkan dalam amar putusan.
e. Pembacaan hasil penetapan majelis hakim
Berdasarkan alasan dan berbagai Pasal yang mengatur tentang
ketentuan-ketentuan wali adhal dijadikan oleh Majelis Hakim sebagai
pertimbangan hukum dan juga mendengarkan keterangan saksi-saksi
dari kedua belah pihak dan bukti-bukti yang ada, maka majelis hakim
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1) Mengabulkan Permohonan Pemohon;
2) Menetapkan wali nikah Pemohon adalah wali adhal;
3) Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara
yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 316.000,- (tiga ratus
enam belas ribu rupiah.
Penetapan pembebanan biaya perkara kepada Pemohon oleh
Majelis Hakim berdasarkan pada keterangan Pasal 89 ayat 1 UU No.7
Tahun 1989 jo. UU No.3 tahun 2006 bahwa semua biaya yang timbul
dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon.
47
B. Akibat Hukum dari Penetapan Wali Adhal/Enggan
1. Pernikahan Dengan Wali
Suatu perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut masing-
masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun
1974). Karena itu, perkawinan bagi setiap orang yang beragama Islam itu
sah hukumnya apabila dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Islam
(Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974). Ketentuan tersebut menyangkut
syarat dan rukun perkawinan yang salah satunya adalah adanya wali nikah.
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 tentang
Wali Hakim bahwa keabsahan suatu perkawinan menurut Agama Islam
ditentukan antara lain oleh adanya wali nikah.
Perkawinan atau pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali
nikah dari mempelai wanita harus diketahui dulu alasannya. Apakah
alasannya syar’i atau tidak syar’i? Alasan syar’i adalah alasan yang
dibenarkan oleh hukum (Islam) seperti mempelai perempuan telah dilamar
dan belum dibatalkan, calon suami orang kafir ataupun fasik dan calon
suami cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami.
Wali nikah yang menolak menikahkan anak gadisnya karena
alasan syar’i, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah
kepada pihak lain (wali hakim). Jika mempelai perempuan memaksakan
diri menikah dalam kondisi tersebut, maka akad nikahnya tidak sah atau
batil walaupun dinikahkan oleh wali hakim.4 Karena hak perwalian
mempelai perempuan tetap pada wali nashab dan tidak berpindah kepada
4 HAS Alhamdani, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 90-91
48
wali hakim sehingga pernikahan tersebut sama dengan tanpa wali yang
hukumnya batil. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak (sah) nikah kecuali
dengan wali.” (HR. Ahmad)
Wali nikah dalam pernikahan menjadi pihak pertama dalam aqad
nikah, yaitu yang berwenang menikahkan mempelai perempuan atau
melakukan ijab. Mempelai perempuan tidak berhak menikahkan dirinya
sendiri tanpa adanya wali yang berhak dari mempelai perempuan. Setiap
pernikahan disyaratkan adanya wali bagi perempuan. Jika pernikahan
tidak dipenuhi syarat adanya wali bagi perempuan, maka pernikahan
tersebut adalah batal. Umumnya wali nikah dari mempelai perempuan
adalah orang tua kandung, tetapi jika memang orang tua kandung
berhalangan dapat diwakilkan oleh paman, kakek, saudara laki-laki
sebagai wali nasab. Ada istilah wali kafalah dalam pernikahan dengan wali
tersebut yaitu perwalian yang timbul karena seorang lelaki yang
menanggung dan mendidik perempuan yang tidak mempunyai orang tua
lagi, sehingga ia seakan telah menjadi orang tua perempuan tersebut.
Pernikahan dengan wali nikah kadang terjadi wali menolak
menikahkan anak gadisnya karena alasan tidak syar’i yaitu tidak
berdasarkan atau dibenarkan oleh hukum syara’. Seperti alasan tidak
berasal dari suku yang sama, keluarga miskin, bukan sarjana, bukan
pejabat (pegawai) dan tidak rupawan. Hal tersebut tidak ada dasarnya
dalam pandangan syariah. Jika wali menolak menikahkan mempelai
perempuan karena alasan tidak syar’i seperti tersebut, maka wali tersebut
disebut wali adhal. Makna adhal tersebut diartikan sebagai menghalangi
49
seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah
menuntut nikah.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 232.
Yang artinya:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di
antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian di antara kamu. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”
Adanya wali adhal, maka perwaliannya pindah ke wali hakim,
yaitu orang yang memegang kekuasaan (penguasa) yang berwenang
menjalankan hukum Islam.5
2. Akibat Hukum dari Penetapan Wali Adhal/Enggan
Penetapan wali adhal diatur dalam Peraturan Menteri Agama No.2
Tahun 1987 Pasal 2 ayat (2) dan (3), yang menyebutkan sebagai berikut.
Ayat (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1)
Pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal calon mempelai perempuan.
Ayat (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali
dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai
5Muhammad Jawad Mughniyah, 1994, al-Figh ‘ala Mazahib al-Khamzah. Alih bahasa Afif
Muhammad, Jakarta: Basrie Press, hlm.58
50
perempuan dengan menghadirkan wali calon mempelai
perempuan.
Adapun sebab-sebab terjadinya wali hakim berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 23 ayat (1) adalah apabila mempelai perempuan tidak
mempunyai wali nasab sama sekali atau tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Sedangkan berdasarkan Keputusan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 Pasal 2 Ayat (2) dinyatakan bahwa:
Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah
Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia
ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali
Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan
atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali
Hakim.
Pengertian memenuhi syarat pada ayat ini adalah syarat-syarat pada
hukum Islam seperti baliq, berakal, Islam dan lain-lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan berhalangan dalam ayat ini adalah walinya ada tetapi
sedang ditahan dan tidak dapat dijumpai, sedang umrah atau haji, sakit
keras yang tidak dapat dijumpai, masalah al-qasri yang sulit dihubungi
dan sebagainya.
Adanya penetapan wali adhal/enggan dari Pengadilan Agama maka
harus ada pengganti wali nikah Pemohon. Berdasarkan penetapan
Pengadilan Agama Sukoharjo Nomor: 005/Pdt.P/2012/PA/Skh. Bahwa
larangan kawin antara seorang pria dengan seorang wanita telah diatur
dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 KHI, sementara itu alasan
keberatan/keengganan wali Pemohon untuk menikahkan Pemohon dengan
calon suami Pemohon tidak termasuk dalam ketentuan pasal-pasal di atas,
51
karenanya keengganan wali Pemohon tersebut tidak mempunyai alasan
yang sah.
Bahwa karena wali Pemohon terbukti enggan/adhal menikahkan
Pemohon dengan Calon Suami Pemohon, maka pernikahan keduanya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim sebagaimana dimaksud Pasal 23
Kompilasi Hukum Islam. Bahwa Majelis perlu mengetengahkan doktrin
dalam hukum Islam sebagaimana tersebut dalam kitab Mughnil Mughtaj
halaman 3 yang diambil alih sebagaipendapat Majelis Hakim, artinya:
“Demikian pula dikawinkan oleh Hakim, apabila wali nasabnya
adhal walaupun dengan dipaksa atau enggan mengawinkan,
selanjutnya dikatakan kalau mereka enggan mengawinkannya,
maka Hakimlah yang mengawinkannya dan tidak boleh sekali-laki
pindah perwaliannya kepada wali yang jauh.”
Dalam kehidupan masyarakat, banyak terjadi praktek perkawinan
dengan menggunakan wali hakim, yaitu pejabat yang oleh Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah
bagi calon mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali. Hal ini
terjadi karena mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali nasab
sama sekali atau wali melakukan adhal atau menolak menjadi wali nikah.
Ketentuan penggunaan wali hakim atau sulthan ini berdasarkan hadits
sebagai berikut.
Dari 'Aisyah, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
Siapa pun di antara wanita yang menikah tanpa seizin walinya,
maka nikahnya batal. Jika lelakinya telah menyenggamainya, maka
ia berhak atas maharnya, karena ia telah menghalalkan
kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkan, maka
hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak
ada walinya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi).
52
Keterangan seperti ini sesuai dengan azas penentuan hukum atau
menghilangkan kesulitan. Karena wanita akan melaksanakan pemikahan,
tetapi tidak ada wali yang berhak untuk menikahkannya, maka untuk
mengatasi kesulitan itu digunakan wali hakim. Demikian juga sesuai
dengan azas taisir (mempermudah) dan tahfif (memperingan). Sehingga
aturan seperti ini cocok sekali dan telah memenuhi konsep demi
kemaslahatan manusia.
Dalam suatu perkawinan harus memenuhi adanya rukun dan syarat
perkawinan, salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali. Perkawinan
tidak dapat dilangsungkan tanpa adanya seorang wali, karena dalam
perkawinan tanpa hadirnya seorang wali maka perkawinan tersebut dapat
dianggap tidak memenuhi rukun perkawinan. Berdasarkan Pasal 20
Kompilasi Hukum Islam, wali dibedakan menjadi dua yaitu wali Nasab
dan wali Hakim. Wali hakim dapat bertindak menjadi wali dalam
perkawinan apabila wali nasab memang tidak ada, sedang berpergian jauh
atau tidak ada ditempat, sedang berada di dalam penjara wali menjadi
tahanan yang tidak boleh dijumpai, sedang berihram haji atau umrah,
menolak atau berkeberatan bertindak sebagai wali, dan wali nasab yang
ada tidak memenuhi syarat.
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987,
Wali Hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau
pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi
calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Kedudukan wali
53
hakim itu sama pentingnya seperti halnya wali bagi seorang wanita. Wali
hakim dapat bertindak sebagai wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah
jika ada masalah yang terjadi pada wali yang paling berhak bagi wanita
itu, atau bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Wali
Hakim berperan sebagai pengganti dari wali nasab ketika terhalang dalam
pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, atau
menolak untuk melaksanakan ijab akad nikah (adhal) dalam perkawinan.
Kedudukan wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah adalah
sebagai wali pengganti dari wali wanita, atau yang menggantikan
kedudukan wali nikah dari seorang calon mempelai wanita karena dalam
keadaan tertentu wali (dalam hal ini ayah kandung pemohon) tidak bisa
atau tidak mau menjadi wali nikah bagi anaknya. Jadi, wali hakim disini
kedudukan dan wewenangnya sama dengan wali nasab atau wali yang
berhak atas wanita yang berada di bawah perwaliannya. Wali hakim dapat
berfungsi membantu bertindak menggantikan wali nasab bagi calon
mempelai wanita untuk menikahkan dengan calon mempelai laki-laki agar
memenuhi persyaratan yang sah menurut Hukum Agama Islam dan harus
sesuai pula ketentuan dalam perundangan-perundangan yang berlaku.
Penggunaan wali hakim adalah sah apabila wali nasab masih ada
tetapi enggan atau adhal dan tidak mengajukan keberatan atau pembatalan
atas perkawinan tersebut. Wali hakim berperan untuk mengatasi kesulitan
dalam perkawinan jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali
nikah. Dengan adanya wali hakim yang menggantikan wali nikah bagi
54
calon mempelai wanita tersebut, maka tujuan utama dari perkawinan akan
tercapai. Wali hakim berfungsi untuk mempermudah dan memperingan
dalam pelaksanaan perkawinan bagi wanita yang tidak mempunyai wali,
hal ini untuk mendapatkan kemaslahatan bagi para pihak yang ada
hubungannya dengan perkawinan tersebut. Setelah wali hakim tersebut
menikahkan mempelai perempuan berdasarkan penetapan yang
dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Agama bahwa wali nasab dari
mempelai perempuan tersebut dinyatakan adhal maka selesai sudah
kewajibannya dan kewajiban sebagai wali hakim dicabut kembali oleh
Hakim Pengadilan Agama. Sedangkan hak yang mungkin saja timbul dari
pelaksanaan akad nikah yaitu sama dengan hak-hak yang dimiliki oleh
wali nasabnya. Misalnya saja dalam hal membatalkan pernikahan tersebut
apabila ternyata terdapat syarat-syarat yang belum dilengkapi atau dengan
kata lain wali nasabnya juga ikut berhak membatalkan pernikahan
tersebut.
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Pasal 6,
disebutkan sebagai berikut:
(1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta
kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon
mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan
Agama tentang adhalnya Wali.
(2) Apabila Wali Nasabnya tetap adhal, maka akad nikah
dilangsungkan dengan Wali Hakim.
Sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang
wali hakim yaitu Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku pegawai
pencatat nikah dapat ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya
55
untuk menikahkan mempelai wanita dengan pria pilihannya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987,
yang menyebutkan: (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku
Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya
untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud Pasal 2 ayat (1)
peraturan ini. (2) Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama
menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara
menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.
Top Related